KORELASI ANTARA RHINITIS DENGAN SINUSITIS PADA PEMERIKSAAN SINUS PARANASALIS DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
ABI SAMBUDA G0004028 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul: KORELASI ANTARA RHINITIS DENGAN SINUSITIS PADA PEMERIKSAAN SINUS PARANASALIS DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA Abi Sambuda, NIM/semester: G0004028/IX, Tahun 2008 Telah disetujui dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Pembimbing Utama Nama : Widiastuti, dr., Sp.Rad NIP : 140 149 593
(………………………………)
Pembimbing Pendamping Nama : Made Setiamika, dr., Sp.THT –KL NIP : 140 150 259
(………………………………)
Penguji Utama Nama : Soetjipto, Prof.,dr., Sp.Rad NIP : 030 060 728
(………………………………)
Anggota Penguji Nama : Bhisma Murti, dr., MPH, MSc., PhD NIP : 132 125 727
(………………………………)
Surakarta, …………………………… Ketua Tim Skripsi
Dekan FK UNS
Sri Wahjono, dr., MKes. NIP 030 134 646
Dr. A. A. Subiyanto, dr., MS. NIP 030 134 565
ii
PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta,
Abi Sambuda NIM G0004028
iii
ABSTRAK Abi Sambuda, G0004028, 2008. Korelasi antara Rhinitis dengan Sinusitis pada Pemeriksaan Sinus Paranasalis di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Rhinitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada membran mukosa hidung, yang dapat dibedakan menurut perjalanan penyakitnya menjadi rhinitis akut dan kronis.Sinusitis bukanlah penyakit yang mengancam jiwa, tapi menimbulkan morbiditas tinggi sehingga memerlukan perhatian pengobatan. Etiologi sinusitis sangat kompleks. Klasifikasi terbaru dari sinusitis mengarah pada rhinosinusitis, dimana radang sinus tidak akan terjadi tanpa adanya radang dari membran mukosa hidung sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi antara rhinitis dengan sinusitis pada pemeriksaan sinus paranasalis di instalasi Radiologi RS Dr. Moewardi Surakarta. Jenis penelitian ini ialah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian adalah pasien rhinitis kiriman dari SMF THT RS Dr. Moewardi yang akan melakukan pemeriksaan foto sinus paranasalis di Instalasi Radiologi RS Dr. Moewardi periode Mei-Juli 2008 Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling. Diagnosa rhinitis berdasarkan pemeriksaan klinis sedangkan penentuan sinusitis dengan pemeriksaan foto radiologi. Data dianalisis dengan uji kai kuadrat. Pada penelitian ini didapatkan sampel dengan rhinitis sebesar 23 orang dan non rhinitis sebesar 17 orang dengan kejadian sinusitis 39,1% pada rhinitis, 11,8% pada non rhinitis. Dari uji statistik didapatkan nilai kemaknaan korelasi antara penelitian ini menunjukkan p= 0,055 (p>0,05)
Kata kunci: Rhinitis, Sinusitis, Pemeriksaan Sinus Paranasalis
iv
ABSTRACT Abi Sambuda, G0004028, 2008. Corelation between Rhinitis and Sinusitis on Paranasal Sinus Examination at Radiology Instalation, Dr. Moewardi General Hospital Surakarta, Medical Faculty of Sebelas University. Rhinitis is an inflammation that can be found in the nose mucous membrane, which could be divided into acute rhinitis and chronic rhinitis. Sinusitis is not life threatening, but causes high morbidity so it is need more medical attention. Etiologic of sinusitis itself is more complex. Newer classifications of sinusitis refer to it as rhinosinusitis, taking into account the thought that inflammation of the sinuses cannot occur without some inflammation of the nose as well. The objective of this study is to know if there is a corelation between Rhinitis and Sinusitis on Paranasal Sinus Examination at Radiology Instalation, Dr. Moewardi General Hospital Surakarta This study is analytical observational with cross sectional enclosure. The subjects are rhinitis patients from SMF THT Dr. Moewardi general hospital whom take a paranasal sinus x-ray photo check in radiology installation between May-July 2008. Sample election executed by purposive sampling. The diagnose of rhinitis based on clinical examination and for sinusitis diagnose with radiological photo examination. Data analysis executed by chi square test. This study takes 23 samples for rhinitis and 17 samples for non rhinitis with sinusitis accidental equal to 39,1% on rhinitis, 11,8% without rhinitis. From statistic test got significance value between rhinitis and sinusitis on paranasal sinus examination p= 0,055 (p>0,05)
Key words: Rhinitis, Sinusitis, Paranasal sinus examination
v
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas petunjuk dan lindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik berkat bantuan, bimbingan, motivasi dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada: 1. Dr. A. A. Subijanto, dr.., MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Sri Wahjono, dr., M.Kes, selaku ketua tim skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Widiastuti, dr., Sp.Rad, selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan, saran, motivasi, dan pengarahan bagi penulis. 4. Made Setiamika, dr., Sp.THT –KL selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan saran dan bimbingan demi penulisan skripsi ini. 5. Soetjipto, Prof.,dr., Sp.Rad, selaku Penguji Utama yang berkenan menguji, memberikan masukan, serta turut memotvasi penulis. 6. Bhisma Murti, dr., MPH, MSc., PhD selaku Anggota Penguji yang telah memberikan banyak saran dan bantuan demi kesempurnaan skripsi ini. 7. Staf radiologi yang sangat membantu dalam pengumpulan data. 8. Staf bagian skripsi (Mas Nardi dan Mb Enny) 9. Keluargaku tercinta yang selalu mendorong untuk mengerjakan skripsi ini 10. Febri kurniawati sahabat terbaik penulis. 11. Nadia serta teman-teman yang telah banyak memberi dukungan baik materi maupun spiritual 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu tapi telah turut membantu dan membuat penulis terus ingin maju. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan disini dan dengan rendah hati penulis mengharap saran dan kritiknya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Surakarta, November 2008
Abi Sambuda
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….vi DAFTAR ISI………………………………………………………………...……....vii DAFTAR TABEL…………………………………………………………………....ix DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………x BAB I PENDAHULUAN…………………………………………..……………….1 A.
Latar Belakang Masalah………………………………..……………..1
B.
Perumusan Masalah……………………………………………….…. 2
C.
Tujuan Penelitian……………………………………………………...2
D.
Manfaat Penelitian………………………………………………….....2
BAB II LANDASAN TEORI………………………………………………….........3 A.
Tinjauan Pustaka……………………………………………………....3 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung……………………………………3 2. Sinusitis..............................…………………………………….....6 3. Pemeriksaan Sinus Paranasalis……………………………..........13
B.
Kerangka Pemikiran…………………………………………………15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………..………………………16 A.
Jenis Penelitian………………………………………………………16
B.
Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………….…16
C.
Sampel Uji Diagnostik……………………………………………....16
D.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi………………………………………...16
E.
Variabel Penelitian…………………………………………………...16
F.
Definisi Operasional Variabel……………………………………….18
G.
Alur dan Cara Kerja………………………………………………….18
H.
Analisis Data………………………………………………...…...…..19
I. Cara Kerja……………………………………………………………19
vii
BAB IV HASIL PENELITIAN……………………………………………………..20 A.
Data Penderita Rhinitis dan Sinusitis………………………………..20
B.
Hasil Uji dan Korelasi antara Rhinitis dan Sinusitis...........………....23
BAB V PEMBAHASAN…………………………...………………………………24 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN………………………………….....………….24 A. Simpulan……………………..………………………………....……27 B. Saran…………………………..……………………………………..27 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..28 LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Distribusi frekuensi subjek penelitian menurut umur……...………...20 Tabel 2. Distribusi frekuensi subjek penelitian menurut jenis kelamin…….…21 Tabel 3. Hasil analisis tentang korelasi antara sinusitis dan rhinitis pada pemeriksaan sinus paranasalis……………………………………….23
ix
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil uji chi- square
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rhinitis merupakan suatu jenis penyakit yang banyak dijumpai di masyarakat dengan distribusi yang luas.Rhinitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada membrana mukosa hidung, yang dapat dibedakan menurut perjalanan penyakitnya menjadi rhinitis akut dan rhinitis kronis (Adam, 1989). Sinusitis bukanlah penyakit yang mengancam jiwa,tapi menimbulkan morbiditas yang tinggi, sehingga memerlukan perhatian pengobatan (Neville 1995). Rhinitis dan sinusitis saling berkaitan karena rhinitis akan menyebabkan sumbatan pada hidung dan selanjutnya akan menghambat/memblock sinus (Budi, 2002).Klasifikasi terbaru dari sinusitis mengarah kepada rhinosinusitis, dimana radang sinus tidak akan terjadi tanpa beberapa radang dari hidung itu sendiri (rhinitis) (Palmer, 2005). Di Indonesia sendiri ternyata prevalensi penyakit ini tidak bisa dibilang rendah.
Malah
cenderung
menunjukan
peningkatan..
Hal ini terbukti dari beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa gejala rhinitis di Jawa dan Bali meningkat hingga 7,5 persen pertahunnya (elise, 2003). Berbagai etiologi dan faktor predisposisi berperan dalam timbulnya penyakit ini, seperti deviasi septum, polip kavum nasi, tumor hidung dan nasofaring serta alergi. Etiologi sinusitis adalah sangat kompleks. Hanya 25% disebabkan oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan perubahanperubahan pada mukosa sinus (Suprihati,1996).
xi
Bertolak dari pemikiran dan latar belakang masalah tersebut, penulis ingin meneliti Korelasi antara rhinitis dengan sinusitis pada pemeriksaan sinus paranasalis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi Surakarta? B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas,maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini, yaitu: Adakah korelasi antara rhinitis dengan sinusitis pada pemeriksaan sinus paranasalis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi Surakarta? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara rhinitis dengan sinusitis pada pemeriksaan
sinus paranasalis di Instalasi
Radiologi RSDM D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian lain serta manembah pengetahuan bagi peneliti maupun masyarakat luas tentang korelasi antara rhinitis dan sinusitis. 2. Manfaat aplikatif Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi dalam menentukan diagnosis sinusitis.
xii
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan pustaka 1. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG a. Anatomi hidung Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya dapat perhatian lebih dari biasanya.Hidung mempunyai beberapa fungsi: sebagai indra penghidu,menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara (peter, 1989). 1) Hidung Luar Menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas, kubah tulang, yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Belahan bawah aperture piriformis hanya kerangka tulangnya saja, memisahkan hidung luar dengan hidung dalam. Di sebelah superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan bagian dari prosesus maksilaris medial embrio yang meliputi premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian dari hidung luar. Bagian berikutnya, yaitu kubah kartilago yangs edikit dapat digerakkan, dibentuk oleh kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus hidung, dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus
xiii
menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolumela, di lateral oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung (Peter, 1989). 2) Hidung Dalam Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Selanjutnya, pada dinding lateral hidung terdapat pula konka dengan rongga udara yang tak teratur di antaranya—meatus superior, media dan inferior. Sementara kerangka tulang tampaknya menentukan diameter yang pasti dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam cenderung bervariasi tebalnya, juga mengubah resistensi, dan akibatnya tekanan dan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa, perubahan badan vascular yang dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan dari krusta dan deposit atau secret mukosa. Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Sel-sel sinus etmoidalis posterior bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada resesus sfenoetmoidalis. Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan latreral dinding hidung dalam dank e atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius, dan, dengan demikian dapat sangat mengganggu penghiduan.
xiv
Bagian
tulang
dari
septum
terdiri
dari
kartilago
septum
(kuadrangularis) di sebelah anterior, lamina perpendikularis tulang etmodalis di sebelah atas, vomer dan rostrum sphenoid di posterior dan suatu Krista di sebelah bawah, terdiri dari Krista maksial dan Krista palatina (Hilger, 1989). b. Fisiologi hidung Seperti halnya anatomi hidung biasanya tidak memungkinkan inspeksi celah olfaktorius dengan speculum hidung, maka untuk alas an yang sama lengkung aliran udara inspirasi normalnya tidak cukup tinggi untuk mencapai celah tersebut agar bau dapat terhidu, kecuali bila bau tersebut sangat kuat. Bila kita ingin mengenali suatu bau, biasanya kita mengendus, yaitu, menambah tekanan negative guna menarik aliran udara yang masfaktorius. Pada sumbatan hidung yang patologik, pasien sering mengeluh anosmia sebelum mengemukakan bahwa ia juga bernafas lewat mulut. Lebih lanjut, karena kita membedakan berbagai makanan lewat kombinasi rasa dan bau, keluhan pasiendapat pula berupa makanan tidak lagi “pas” rasanya. Indra penghidu pada manusia tergolong rudimenter dibandingkan hewan lainnya, namun kepekaan organ ini cukup mengejutkan. McKenzie menyatakan vanillin dapat dipersepsi manusia sebagai suatu bau bila terdapat dalam konsentrasi hingga serendah 5 x 10-10 gm/L udara. Proses persepsi bau belum dapat dipastikan, namun terdapat dua teori yang mengisyaratkan mekanisme kimia atau undulasi. Menurut teori kimia, partikel-partikel zat yang berbau desebarkan secara difusi lewat udara dan menyebabkan suatu reaksi kimia saat mencapai epitel olfaktorius. Menurut teori undulasi, gelombang energi serupa dengan tempaan ringan pada ujung saraf olfaktorius. Tanpa memandang mekanismenya, indra penghidu dengan cepat menghilang.
xv
Masih sangat sulit untuk melakukan standarisasi uraian ciri-ciri beragam bau atau pengukuran kadar bau yang dapat dibandingkan dalam suatu uji laboratorium. Amoore mengidentifikasi tujuh kategori utama dari bau, yang cukup memadai untuk menjembatani dan menjelaskan semua perbedaan yang dirasakan. Meskipun banyak peneliti dapat menerima teori ini, namun sistem ini belum diterima dalam praktek klinis rutin ataupun sebagai dasar untuk menentukan derajat kecacatan. Sebaliknya, peneliti seringkali mencoba membedakan anosmia, hiposmia, penghiduan normal dan parosmia (penghiduan yang berubah) memakai suatu zat yang berbau, misalnya minyak cengkeh dalam berbagai derajat pengeceran pada subjek yang diuji. Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Negus adalah salah satu pendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebagai indra penghidu dengan jalan memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama sinus frontalis dan sfenoidalis.Etmokonka yang dilapisi epitel penghidu dapat ditemukan pada beberapa binatang rendah. Pada manusia, sinus biasanya kosong dan indra penghidu kita jauh lebih rendah dari misalnya anjing atau kucing; etmokonka manusia jelas telah menghilang selama proses evolusi (Peter,1989)
2. SINUSITIS a. Definisi Sinusitis adalah radang pada sinus paranasalis, dimana dapat disebabkan oleh infeksi maupun bukan infeksi, dari bakteri, jamur, virus, alergi maupun sebab autoimun (Williams, 1992) Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinus sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal, disebut pansinusitis (Endang, 1990)
xvi
b. Klasifikasi 1) Berdasar lokasinya: Ditemukan beberapa pasang sinus paranasalis, yaitu; frontalis, ethmoidalis, maksilaris dan spenoidalis a) Sinusitis maksilaris: menyebabkan nyeri daerah maksila seperti sakit gigi dan kepala. b) Sinusitis frontalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakang dan atas mata. c) Sinusitis ethmoidalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakang mata, maupun sakit kepala. d) Sinusitis sphenoidalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakang mata, tetepi lebih sering pada vertex kepala (Mehle, 2005). 2) Berdasar durasinya: Menurut Adams (1978),sinusitis dibagi menjadi (a) sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu, (b) sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan, (c) sinusitis kronis apabila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun. Menurut Cauwenberge (1983) disebut sinusitis kronis, apabila sudah lebih dari 3 bulan.Tetapi apabila dilihat dari gejalanya, maka sinusitis dianggap sebagai sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang akut.Dikatakan sinusitis subakut, bila tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversibel dan disebut sinusitis kronik, bila perubahan histologik mukosa sinus sudah irreversibel, misal sudah berubah menjadi jaringan granulasi atau polipoid. Sebenarnya klasifikasi
xvii
tepat yang lain ialah berdasarkan pemeriksaan histopatologik, akan tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dikerjakan. a) Sinusitis Akut Sinusitis akut biasanya didahului infeksi traktus respiratorius, umumnya disebabkan oleh virus seperti: Haemophilus influenzae, Streptococcus
pneumoniae,
Moraxella
catarrhalis
dan
Staphylococcus aureus. Bakteri pathogen seperti: streptococci species, anaerobic bacteria dan beberapa gram negatif (Fokken, 2007). Penyakit ini dimulai
dangan penyumbatan kompleks
ostiomeatal oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi. Selain itu juga dapat merupakan penyebaran dari infeksi gigi (Nusjirwan, 1990). Sinusitis akut memiliki gejala subjektif dan gejala objektif. Gejala subjektif bersifat sistemik dan lokal. Gejala sistemik berupa demam dan rasa lesu. Gejala lokal dapat kita temukan pada hidung, sinus paranasal dan tempat lainnya sebagai nyeri alih (referred pain). Gejala pada hidung dapat terasa adanya ingus yang kental & berbau mengalir ke nasofaring. Selain itu, hidung terasa tersumbat. Gejala pada sinus paranasal berupa rasa nyeri dan nyeri alih (referred pain) Gejala subjektif yang bersifat lokal pada sinusitis maksila berupa rasa nyeri dibawah kelopak mata dan kadang tersebar ke alveolus sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih (referred pain) dapat terasa di dahi dan depan telinga. Gejala sinusitis etmoid berupa rasa nyeri pada pangkal hidung, kantus medius, kadangkadang pada bola mata atau dibelakang bola mata. Akan terasa
xviii
makin sakit bila pasien menggerakkan bola matanya. Nyeri alih (referred pain) dapat terasa pada pelipis (parietal). Gejala sinusitis frontal berupa rasa nyeri yang terlokalisir pada dahi atau seluruh kepala. Gejala sinusitis sfenoid berupa rasa nyeri pada verteks, oksipital, belakang bola mata atau daerah mastoid. Gejala objektif sinusitis akut yaitu tampak bengkak pada muka pasien. Gejala sinusitis maksila berupa pembengkakan pada pipi dan kelopak mata bawah. Gejala sinusitis frontal berupa pembengkakan pada dahi dan kelopak mata atas. Pembengkakan jarang terjadi pada sinusitis etmoid kecuali ada komplikasi. Rinoskopi sinusitis akut. Pemeriksaan rinoskopi anterior menampakkan mukosa konka nasi hiperemis dan edema. Terdapat mukopus (nanah) di meatus nasi medius pada sinusitis maksila, sinusitis forntal, dan sinusitis etmoid anterior. Nanah tampak keluar dari meatus nasi superior pada sinusitis etmoid posterior dan
sinusitis
sfenoid.
Pemeriksaan
rinoskopi
posterior
menampakkan adanya mukopus (nanah) di nasofaring (post nasal drip)(Muhammad, 2007). b) Sinusitis Subakut Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut, hanya tandatanda radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda. Pada rinoskopi anterior tampak sekret purulen di meatus medius atau superior.Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring.Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sedikit suram ataupun gelap (Endang, 1997) c) Sinusitis Kronis
xix
Sinusitis kronis adalah komplikasi dari berbagai penyakit radang sinus pada umumnya.Penyebabnya multi faktorial dan juga termasuk alergi,faktor lingkungan seperti debu, infeksi bakteri, atau jamur.Faktor non alergi seperti rhinitis vasomotor dapat juga menyebabkan masalah sinus kronis (Schreiber, 2005). Etiologi sinusitis kronis. Infeksi kronis pada sinusitis kronis dapat disebabkan : (1) Gangguan drainase: Gangguan drainase dapat disebabkan obstruksi mekanik dan kerusakan silia. (2) Perubahan mukosa: Perubahan mukosa dapat disebabkan alergi, defisiensi imunologik, dan kerusakan silia. (3) Pengobatan : Pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna. Sebaliknya, kerusakan silia dapat disebabkan oleh gangguan drainase, perubahan mukosa, dan polusi bahan kimia. Gejala sinusitis kronik. Secara subjektif, sinusitis kronis memberikan gejala : (1) Hidung: Terasa ada sekret dalam hidung. (2) Nasofaring: Terasa ada sekret pasca nasal (post nasal drip). Sekret ini memicu terjadinya batuk kronis. (3) Faring: Rasa gatal dan tidak nyaman di tenggorok. (4) Telinga: Gangguan pendengaran karena sumbatan tuba Eustachius. (5) Kepala: Nyeri kepala / sakit kepala yang biasanya terasa pada pagi hari dan berkurang atau menghilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui pasti. Mungkin karena malam
xx
hari terjadi penimbunan ingus dalam sinus paranasal dan rongga hidung serta terjadi stasis vena. (6) Mata: Terjadi infeksi mata melalui penjalaran duktus nasolakrimalis. (7) Saluran napas: Terjadi batuk dan kadang-kadang terjadi komplikasi pada paru seperti bronkitis, bronkiektasis, dan asma bronkial (8) Saluran cerna: Terjadi gastroenteritis akibat tertelannya mukopus. Sering terjadi pada anak-anak. Secara objektif, gejala sinusitis kronis tidak seberat sinusitis akut. Tidak terjadi pembengkakan wajah pada sinusitis kronis. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen di meatus nasi medius dan meatus nasi superior. Sekret purulen juga ditemukan di nasofaring dan dapat turun ke tenggorok pada pemeriksaan rinoskopi posterior. Pemeriksaan
mikrobiologik
sinusitis
kronis.
Biasanya
sinusitis kronis terinfeksi oleh kuman campuran, bakteri aerob (S. aureus, S. viridans & H. influenzae) dan bakteri anaerob (Peptostreptokokus & Fusobakterium)(Muhammad, 2007) 3) Berdasar penyebabnya a) Rhinogenik
(penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala
sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis b) Dentogenik/Odontogenik
(penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)(Sukri, 2007)
xxi
3. DIAGNOSIS Faktor predisposisi yang dapat mengembangkan sinusitis, antara lain: alergi; masalah struktural seperti deviasi septum atau ostium sinus yang kecil; merokok; polip hidung; membawa gen fibrosis kistik.Beberapa prediksi sudah dikembangkan untuk diagnosa berdasar fisik dan riwayat penyakit, prediktor terbaik yaitu adanya cairan hidung yang kental (Simel, 1992). Pemeriksaan yang dilakukan didapat nyeri tekan pada pipi kanan / kiri atau dua-duanya, terkadang nyeri tekan di atas hidung. Pemeriksaan lain misalnya: Transiluminasi, Rinoskopi, Sinoskopi, pemeriksaan foto rontgen sinus paranasal (foto waters, PA, lateral), pemeriksaan Naso-endoskopi, CT Scan, tentu juga pemeriksaan kultur kuman (Erawati, 2001)
4. PENGOBATAN Didapatkan beberapa obat yang dapat melegakan gejala yang menyertai sinusitis, seperti sakit kepala, nyeri maupun kelelahan.Biasanya dapat dikombinasikan antara jenis obat antihistamin bersamaan dengan decongestan atau pelega nyeri.Bila sinusitis tidak membaik pada 48 jam, atau menyebabkan nyeri berarti, dapat diberikan antibiotik (Amoxicillin yang paling umum).Flouroquinolone untuk pasien dengan alergi penicillin (Samsa, 1992). Antibiotik dosis penuh untuk 10 - 14 hari,obat dekongestan lokal berupa tetes hidung dengan waktu terbatas 5 – 10 hari (Erawati, 2001)
5. TINDAKAN MEDIS Penderita dengan sinusitis kronis, diindikasikan untuk mendapatkan pembedahan hidung, atau biasa disebut FESS (Functional Endoscopic Sinus
xxii
Surgery) dimana mengembalikan fungsi normal sinus dengan menghilangkan bagian-bagian baik yang normal maupun patologis yang menyebabkan sumbatan pada sinus (Ian, 2007). Pencucian hidung : Apabila dengan pengobatan tidak banyak menolong, maka mungkin pencucian hidung diperlukan. Dilakukan dengan Anestesi lokal, di mana trokar dan kanula dimasukkan melalui meatus inferior dan ditusukkan menembus dinding naso antral dan kemudian di drainase. Setiap pus yang didapatkan dibuat pemeriksaan biakannya. Apabila setelah 23 kali pencucian, infeksi belum sirna, maka mungkin diperlukan tindakan Antrostomi intranasal. Namun perlu diketahui, jarang dibutuhkan terapi pembedahan pada sinusitis akut. Antrostomi yaitu membuat hubungan / lubang di bawah pangkal konka inferior, sehingga ada hubungan langsung antara sinus maxilaris dengan cavum nasi supaya pengaliran lendir/sekret lebihbaik. Bila pengobatan konservatif tidak berhasil maka dilakukan tindakan radikal berupa: Operasi Cadwell-Luc. Selain itu tindakan operasi dengan menggunakan endosop disebut Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Sejumlah komplikasi sinusitis yang mungkin timbul adalah infeksi tulang (Osteomielitis dan abses periostal) biasanya pada anak-anak, kelainan Orbita (ruangan tempat bola mata), kelainan dalam kepala (intrakranial), kelainan paru. Sementara
jumlah
pencucian
sinus
tergantung
dengan
kondisi
penyakitnya. Jarak waktu pencucian kurang lebih dua minggu setelah pencucian pertama. Untuk menghindari kambuh, upayakan agar aliran silia mukosa sinus tidak rusak. Bila tidak rusak, kemungkinan kambuh sangat kecil (Erawati, 2001).
xxiii
6. PEMERIKSAAN SINUS PARANASALIS Untuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada X-photo rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis. Perhatikan batas sinus atau tulang, apakah masih utuh ataukah tidak (Sardjono, 2000) Spesifisitas dari pemeriksaan foto polos termasuk tinggi, tapi sensitifitasnya rendah kecuali untuk sinus maksillaris (sensitifitas 80%) (Hagtvedt, 2002). Foto polos adalah salah satu cara mendiagnosa penyakit sinus.Walaupun didapatkan beberapa gambaran radiografi untuk evaluasi sinus paranasal, umumnya hanya ada empat gambaran – Caldwell, water, lateral dan base. Pengerjaan rutin radiografis harus
meliputi sebuah cross-table atau film
lateral tegak dipadukan dengan penyinaran sinar-X horizontal, dimana menampilkan cairan dalam sinus dengan membandingkan tingkat cairanudara.Dengan cara lain, penyinaran sinar-X dari depan, dan pasien dalam posisi pronasi maupun supinasi dengan kepala menengok ke suatu sisi, cairan akan memenuhi dinding sinus, maka tidak akan tampak tingkat air-udara (Babbel, 1991)
xxiv
B. Kerangka Pemikiran
Rhinitis
Sekresi lendir berlebihan
Oedema mukosa
Obstruksi kompleks ostiomeatal
Invasi bakteri, jamur, virus
Radang sinus paranasalis
Sinusitis
Gambar 1. Skema kerangka pikiran
C. Hipotesis Ada korelasi antara rhinitis dengan sinusitis pada pemeriksaan sinus paranasalis di instalasi radiologi RSDM
xxv
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan rancangan cross sectional.
B. Lokasi Penelitian Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi Surakarta.
C. Populasi Penelitian Seluruh pasien rhinitis kiriman dari SMF THT RSDM yang melakukan pemeriksaan foto sinus paranasalis di instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi Surakarta periode April 2007- Mei 2008.
D. Sampel dan Teknik Sampling pengambilan sample secara purposive sampling, dimana dilakukan pemeriksaan sinusparanasalis pada pasien rhinitis yang masuk ke Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi Surakarta periode April 2007- Mei 2008.
E. Identifikasi Variabel Penelitian 1.Variabel bebas
: rhinitis
xxvi
2.Variabel tergantung
: sinusitis
3.Variabel luar yang terkendali
: umur, jenis kelamin, pekerjaan, lama menderita
4.Variabel luar yang tidak terkendali : penggunaan obat-obatan
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Rhinitis Rhinitis adalah radang pada hidung dengan gejala pilek, bersinbersin dan hidung tersumbat terutama bila pagi dan cuaca dingin.Rhinitis terbagi menjadi beberapa tipe. Rhinitis alergi disebabkan adanya reaksi dari sistem imun tubuh terhadap alergen yang bisa ditemui di dalam ataupun di luar rumah. Umumnya pencetus yang ada d luar rumah yaitu debu, jamur, serbuk sari, rumput liar yang disebut alergi musiman. Rhinitis alergi juga dapat dicetuskan oleh alergen yang ada di dalam rumah, seperti bulu binatang, jamur ataupun debu rumah yang bisa ditemukan sepanjang tahun tanpa dipengaruhi musim, disebut rhinitis perennial. Rhinitis alergi berdasarkan riwayat keluarga dan gejala atau melalui tes alergi.Kadang rinitis tidak disebabkan oleh alergen, tapi dapat disebabkan penggunaan berlebihan obat semprot hidung topikal, perubahan hormon, struktur tidak normal dari hidung dan kadang disebabkan oleh obat-obatan.(budi, 2002) Cara pengukuran : pemeriksaan klinis Skala
: Nominal
2) Variabel tergantung : Sinusitis Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Sinusitis banyak ditemukan pada penderita terjadi pilek menahun akibat dari alergi terhadap debu dan sari bunga. Sinusitis juga dapat disebabkan oleh
xxvii
bahan bahan iritan seperti bahan kimia yang terdapat pada semprotan hidung serta bahan bahan kimia lainnya yang masuk melalui hidung. Sinusitis juga bisa disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri (Wirawan, 2008). Cara pengukuran : Pembacaan Foto Skala
: nominal
G. Alur dan Cara Kerja Penelitian dilakukan dengan cara melihat hasil foto sinus paranasalis pada pasien yang menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta. Pasien rhinitis
Foto sinus paranasalis
Normal
Sinusitis
Sinus frontalis
Sinus maksillaris
Sinus ethmoidalis
Sinus sfenoidalis
Analisis
Kesimpulan
Gambar 2. Skema alur penelitian
xxviii
H. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis dengan uji kai kuadrat.
xxix
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Data penderita Rhinitis dan Sinusitis Berdasarkan data yang diperoleh yaitu data hasil pemeriksaan rhinitis yang terdiagnosa secara radiologis melalui pemeriksaan sinus paranasalis sebagai penderita sinusitis maupun non sinusitis di RSDM Surakarta sejumlah 40 orang didapatkan hasil seperti yang tampak dalam tabel-tabel sebagai berikut : Tabel 1. Distribusi Frekuensi subjek penelitian yang telah melalui pemeriksaan sinus paranasalis di RSDM surakarta menurut umur Rhinitis Non Rhinitis Jumlah Umur (tahun) jumlah % Jumlah % Jumlah % 11-20 5 12,5 1 2,5 6 15 21-30 6 15 5 12,5 11 27,5 31-40 5 12,5 3 7,5 8 20 41-50 6 15 3 7,5 9 22,5 51-60 1 2,5 2 5 3 7,5 61-70 0 0 3 7,5 3 7,5 Jumlah 23 57,5 17 42,5 40 100 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa presentase probandus terbanyak berasal dari responden rentang usia 21- 30 sebanyak 27,5 % dan paling sedikit pada rentang usia 51- 60 sebesar 7,5 %. Sedangkan frekuensi terjadinya rhinitis tersering muncul pada rentang usia 21- 30 dan 41- 50 sebesar 15 %
xxx
Tabel 2. Distribusi frekuensi subjek penelitian yang telah melalui pemeriksaan sinus paranasalis di RSDM surakarta menurut jenis kelamin Rhinitis Non Rhinitis Jumlah Umur (tahun) jumlah % Jumlah % Jumlah % Laki-laki Perempuan Jumlah
6 17 23
15 42,5 57,5
7 10 17
17,5 25 42,5
13 27 40
32,5 67,5 100
Dari tabel 2 diketahui bahwa subjek lebih banyak terdiri dari perempuan (67.5%), dan kejadian rhinitis pun lebih tinggi pada subjek perempuan sebanyak 17 orang (42,5).
12
10
8
11-20 21-30 31-40
6
41-50 51-60 61-70
4
2
0 1
Gambar 1 : Distribusi sampel berdasarkan usia
xxxi
30 25 20 15
perempuan laki-laki
10 5 0
1
perempuan
27
laki-laki
13
Gambar 2 : Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
B. Hasil uji dan korelasi antara rhinitis dan sinusitis Tabel
menunjukkan terdapat hubungan antara sinusitis dan rhinitis. Pasien
dengan diagnosis rhinitis memiliki risiko mengalami sinusitis 5 kali lebih besar daripada tanpa rhinitis (OR 4.82; p= 0.055).
Tabel 3. Hasil analisis tentang korelasi antara sinusitis dan rhinitis pada pemeriksaan sinus paranasalis Diagnosis Diagnosis sinusitis rhinitis OR X2 p Positif (%) Positif
9 (39.1%)
Negatif (%) 14 (60,9%)
xxxii
4,82 Negatif
2 (11.8%)
3,67
0.055
15 (88.2%)
Sinusitif Positif
Sinusitis Negatif
Persen Sinusitis Positif
100% 80% 60% 40% 20% 0% Rhinisitis Positif
Rhinitis Negatif
Diagnosis Rhinitis
Gambar 3 : Perbedaan persentase diagnosis sinusitis pada kelompok pasien dengan rhinitis dan pasien dengan rhinitis negatif
xxxiii
BAB V PEMBAHASAN Rhinitis adalah peradangan pada selaput lendir hidung. Rhinitis ditandai dengan adanya hidung tersumbat, keluar lendir dari hidung, bersin, gatal hidung, lendir yang mengalir ke tenggorokan, ataupun kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Rhinitis itu sendiri dapat disebabkan oleh alergi dan non- alergi. Yang paling sering terjadi adalah rhinitis alergi, seperti yang dialami oleh Mas Pramudiyo. Sedangkan rhinitis nonalergi dapat disebabkan oleh infeksi, hormonal, okupasional, dan lain-lain (Novianty, 2008) Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Sinusitis banyak ditemukan pada penderita hay fever yang mana pada penderita ini terjadi pilek menahun akibat dari alergi terhadap debu dan sari bunga. Sinusitis juga dapat disebabkan oleh bahan bahan iritan seperti bahan kimia yang terdapat pada semprotan hidung serta bahan bahan kimia lainnya yang masuk melalui hidung.Sinusitis juga bisa disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Sinus atau sering pula disebut dengan sinus paranasalis adalah rongga udara yang terdapat pada bagian padat dari tulang tenggkorak di sekitar wajah, yang berfungsi untuk memperingan tulang tenggkorak. Rongga ini berjumlah empat pasang kiri dan kanan. Sinus frontalis terletak di bagian dahi, sedangkan sinus maksilaris terletak di belakang pipi. Sementara itu, sinus sphenoid dan sinus ethmoid terletak agak lebih dalam di belakang rongga mata dan di belakang sinus maksilaris. Dinding sinus terutama dibentuk oleh sel sel penghasil cairan mukus. Udara masuk ke dalam sinus melalui sebuah lubang kecil yang menghubungkan antara rongga sinus dengan rongga hidung yang disebut dengan ostia. Jika oleh karena suatu sebab lubang ini buntu maka udara tidak akan bisa keluar masuk dan cairan mukus yang diproduksi di dalam sinus tidak akan bisa dikeluarkan (Cock, 2008).
xxxiv
Sinusitis memang banyak berangkat dari rhinitis, hingga akhirnya lahir istilah rhinosinusitis. Studi terkini mendefinisikan hubungan rhinitis dan sinusitis secara lebih baik.Disimpulkan, sinusitis sering didahului oleh rhinitis dan jarang sekali yang terjadi tanpa berbarengan dengan rhinitis. Hal tersebut diduga terjadi karena adanya inter-relationship antara hidung dan sinus passages. Lapisan mukosa hidung dan sinus secara simultan terlibat dalam timbulnya gejala flu biasa. Mekanisme hubungan rhinitis dan sinusitis diperkirakan melibatkan penyumbatan aliran sinus nasal, diikuti dengan kolonisasi bakteri, dan infeksi yang mengarah pada sinusitis akut, berulang, atau kronik (Arnita, 2006). Berdasarkan data- data yang diperoleh dari hasil penelitian serta perhitungan statistik maka hasil penelitian tersebut akan dibahas sebagai berikut. Telah dilakukan penelitian dengan subyek berjumlah empat puluh pasien dengan kriteria inklusi pasien yang dikirim dari SMF THT dengan diagnosa rhinosinusitis kemudian melakukan pemeriksaan sinus paranasalis di Instalasi Radiologi RSU Dr. Moewardi Surakarta.Diagnosis sinusitis dengan cirri-ciri sebagai berikut : 1. Hidung. Terasa ada sekret dalam hidung (Nurbaiti, 2006). 2. Nasofaring. Terasa ada sekret pasca nasal (post nasal drip). Sekret ini memicu terjadinya batuk kronis(Nurbaiti, 2006). 3. Faring. Rasa gatal dan tidak nyaman di tenggorok(Nurbaiti, 2006). 4. Telinga.
Gangguan
pendengaran
karena
sumbatan
tuba
Eustachius(Nurbaiti, 2006). 5. Kepala. Nyeri kepala / sakit kepala yang biasanya terasa pada pagi hari dan berkurang atau menghilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui pasti. Mungkin karena malam hari terjadi penimbunan ingus dalam sinus paranasal dan rongga hidung serta terjadi stasis vena(Nurbaiti, 2006). 6. Mata.
Terjadi
infeksi
mata
nasolakrimalis(Nurbaiti, 2006).
xxxv
melalui
penjalaran
duktus
Peneliti mendapatkan sampel lima puluh dua pasien, lalu setelah disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan empat puluh pasien. Frekuensi responden terbanyak berasal dari rentang usia 21-30 tahun. Berdasarkan distribusi jenis kelamin dapat diketahui bahwa jumlah responden lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Dari Tabel 3 dapat diketahui dari empat puluh pasien, yang terdiagnosa sinusitis positif dengan rhinitis positif sebanyak 9 orang (39,1%), sedangkan sinusitis positif tanpa rhinitis sebanyak 2 orang (11,8%). Dari hasil penelitian didapatkan nilai signifikansi sebesar 4.82 maka dapat ditarik simpulan ada korelasi antara rhinitis dengan sinusitis (p= 0.055)
xxxvi
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa ada korelasi antara rhinitis dengan sinusitis. B. Saran 1. Lebih teliti memperhatikan kriteria baik inklusi maupun eksklusi 2. Lebih teliti dalam mendiagnosa sinusitis pada pasien 3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan korelasi antara rhinitis dengan sinusitis dengan mengendalikan variabel perancu dan memperbesar sampel.
xxxvii
DAFTAR PUSTAKA
Adams
GL, Boies LC, PA (eds). 1989. Philadelphia,W.b.Saunders, : 249-270
Fundamentals
Otolaryngology.
Arnita. 2006. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=162/ (14 November 2008) Babbel R, Harnsberger HR, Nelson B, et al. 1991. Optimization of techniques in screening CT of the sinuses. Am J Neroradiol; 12:849-854. Berg O, Carenfelt C. 1988. Analysis of symptoms and clinical signs in the maxillary sinus empyema. Acta Otolaryngol. 105 (3-4): 343-9. Boies. 1989. Fundamental of Otolaryngology. 6th edition 250-253 Budi,
S. 2008. Seputar kesehatan.Pontianak http://www.pontianakpost.com/berita (16 April 2008)
post.
Cock IM. 2008 http://www.blogdokter.net/2008/01/30/sinusitis/(14 November 2008) Erawati. 2008. Seputar pengobatan sinusitis. http://www.sinarharapan.co.id/berita/ 0109/28 /fea02.html (4 Maret 2008). Hagtvedt T, Aaløkken TM, Nøtthellen J, Kolbenstvedt A. 2002. Conventional sinus radiography compared with low dose CT and standard dose CT in the diagnosis of acute sinusitis. Poster published at ECR http://dmfr.birjournals.org/cgi/ content/full/32/1/60 (20 Maret 2008) Kesakeyan E, 2003. Rhinitis. http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2005/ 0729/ (16 April 2008). Mangunkusumo E, Nusjirwan Rifki. Sinusitis.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. Mehle ME, Schreiber CP 2005. Sinus headache, migraine, and the otolaryngologist. Otolaryngology--head and neck surgery : official journal of American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery 133 (4)
xxxviii
Muhammad, 2007. Sinusitis akut. http://hennykartika.wordpress.com/category/sinusparanasal/ (20 Maret 2008) Neville BW. 1995. Oral and Maxillofacial Pathology. WB Saunders Co., Philladelphia, 159-160 Novianty Cut. 2008. http://konsultasikesehatan.epajak.org/flu/pilek-setiap-pagi-3 (14 November 2008) Nurbaiti. 2006. Sinusitis http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/sinusitis-kronik/ November 2008)
kronik. (14
Nusjirwan, R. 1990. Sinusitis. Buku Ajar THT Edisi 3.Jakarta: Balai Penerbitan UI. Hal 121 Schreiber C, Hutchinson S, Webster C, Ames M, Richardson M, Powers C. 2004. Prevalence of migraine in patients with a history of self-reported or physician-diagnosed "sinus" headache. Arch. Intern. Med. 164 (16): 1769-72. Soedjak Sardjono, Sri Rukmini, Sri Herawati, Sri Sukesi. 2000. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta: EGC. Sukri, R. 2008. Sinusitis. http://id.wikipedia.org/wiki/Sinusitis. (20 Maret 2008) Suprihati. 1996. Faktor Alergi Pada Sinusitis Kronis. Lab /UPF THT/ FK UNDIP. RS Kariadi Semarang Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VIII Perhati Ujung Pandang, Juli 1996, 927 – 31. Williams JW, Simel DL, Roberts L, Samsa GP. 1992. Clinical evaluation for sinusitis. Making the diagnosis by history and physical examination. Ann. Intern. Med. 117 (9): 705-10. Williamson IG et al. 2007. Antibiotics and Topical Nasal Steroid for Treatment of Acute Maxillary Sinusitis. JAMA 298: 2487-2496. Wirawan made. 2008. Sinusitis. http://www.blogdokter.net/2008/01/30/sinusitis/. (16 April 2008).
xxxix