1 Laporan Kasus
Kor Pulmonal Kronik Diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Oleh:
Alde Aris 1407101030346 Pembimbing: dr. Hj. Sri Murdiati, Sp. JP (K)-FIHA
BAGIAN/SMF ILMU KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN
2
BANDA ACEH 2015
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesehatan dan waktu untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini. Adapun maksud dan tujuan pembuatan tugas laporan kasus yang berjudul “Kor Pulmonal Kronik” ini adalah untuk memenuhi tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian/SMF Ilmu Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK-Unsyiah, RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pembimbing dr. Hj. Sri Murdiati, Sp. JP (K)-FIHA yang telah membimbing, memberi saran, dan kritik sehingga terselesaikannya tugas ini, juga kepada teman-teman dokter muda yang turut membantu dalam pembuatan tugas ini. Akhirnya Penulis mohon maaf segala kekurangan dalam tulisan ini, kritik, dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca sekalian untuk kesempurnaan tulisan ini, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Banda Aceh, Oktober 2015 Penulis
BAB I PENDAHULUAN Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang struktur, fungsi paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung kanan. 1,2 Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital (bawaan).3 Kor pulmonal merujuk kepada abnormalitas fungsi dan/atau peningkatan kemampuan pemompaan dari bagian kanan jantung (ventrikel kanan) yang mana dapat berkembang menjadi penyakit sekunder dari paru-paru atau sistem arteri pulmonal. Onset dari terjadinya kor pulmonal, yang biasanya mengarah kepada gagalnya ventrikel kanan, dapat terjadi secara akut ataupun bertahap (kronik). Meskipun cor pulmonal seringkali berlangsung kronis dengan progress yang lambat, onset akut cor pulmonal dapat memburuk dengan komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel kanan dengan bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru akan mempengaruhi secara selektif jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum yang menyebabkan kor pulmonal adalah peningkatan dari resistensi aliran darah melalui sirkulasi paru dan mengarah pada hipertensi arteri pulmonal.4 Penyebab signifikan dari kronik kor pulmonal termasuk penyakit paru obstruktif kronik, dan penyakit paru restriktif yang berhubungan dengan beberapa kondisi, seperti pneumoconiosis, sarcoidosis, penyakit kolagen vaskular, bronkiektasis atau kistik fibrosis. Penyebab lain yang biasa dari cor pulmonal kronik adalah sumbatan pembuluh darah yang membawa darah ke paru-paru (arteri pulmonal) oleh embolus yang berasal dari tromboflebitis pada kaki. Penyebab lain termasuk obstructive sleep apneu, severe kyphoscholiosis dan hipertensi pulmonal primer.1 Insidens yang tepat dari kor pulmonal tidak diketahui karena seringkali terjadi tanpa dapat dikenali secara klinis. Diperkirakan insidens kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung di Amerika Serikat. 4Di
Inggris terdapat sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya kor pulmonal pada populasi usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalami hipertensi pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.5 Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru.6 Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia, menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal berturut-turut adalah asma bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit interstisial paru, bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-90% pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK akan berkembang menjadi kor pulmonal.5 Angka mortalitas yang berkaitan dengan kor pulmonal sulit dinilai karena penegakan diagnosis kor pulmonal membutuhkan pemeriksaan yang invasif. Terdapat data mortalitas akibat penyakit paru kronik di Amerika yakni sekitar 100.000 populasi per tahun, tetapi angka ini tidak menggambarkan secara khusus peran kor pulmonal maupun hipertensi pulmonal sekunder.5 Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan berlebihan pada ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan kerja ventrikel kanan yang menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya berdinding tipis, yang akhirnya dapat menyebabkan disfungsi ventrikel dan berlanjut kepada gagal jantung.3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi
Kor pulmonal adalah suatu peningkatan dari struktur dan fungsi dari ventrikel kanan yang didasarkan pada hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang paru-paru atau sirkulasi paru. Penyakit jantung bagian kanan berasal dari penyakit primer dari sisi kiri jantung atau penyakit jantung kongenital masih belum diketahui1,2 Istilah cor pulmonale pertama kali dikenalkan pada tahun 1931 oleh Dr. Paul D. White. Pada tahun 1963 komite ahli WHO mengusulkan sebuah definisi untuk kor pulmonal yakni, hipertropi ventrikel kanan yang diakibatkan oleh penyakit yang mengganggu fungsi dan atau struktur paru, tetapi gangguan paru tersebut bukan akibat penyakit primer yang mengenai jantung sisi kiri seperti pada penyakit jantung bawaan. Pada tahun 1970, Behnke et al mengganti konsep hipertropi dengan “gangguan pada struktur dan fungsi ventrikel”, sehingga definisi ini mencakup hal yang lebih luas mulai dari gangguan ringan hingga terjadinya gagal jantung kanan. 1,2 Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru, tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital (bawaan).3 Kor pulmonal kronik terjadi akibat dilatasi atau hipertropi yang merupakan kompensasi langsung dari vasokonstriksi kronik pulmonal dan hipertensi arteri pulmonal yang menyebabkan peningkatan beban kerja ventrikel kanan. Ketika ventrikel kanan tidak dapat lagi melakukan kompensasi maka terjadilah gagal jantung kanan3
2.2 Epidemiologi Prevalensi pasti kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan. Pertama, tidak semua kasus penyakit paru kronis menjadi kor pulmonal, dan kedua, kemampuan kita untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan kor pulmonal dengan
pemeriksaan
fisik
dan
hasil
laboratorium
tidaklah
sensitif.
Namun, kemajuan terbaru dalam 2-D echo/Doppler memberikan kemudahan untuk mendeteksi dan mendiagnosis suatu kor pulmonal.2
Cor pulmonal mempunyai insidensi sekitar 6-7 % dari seluruh kasus penyakit jantung dewasa di Amerika Serikat, dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) karena bronchitis kronis dan emfisema menjadi penyebab lebih dari 50% kasus cor pulmonale. 6 Secara global, insidensi kor pulmonal bervariasi antar tiap negara, tergantung pada prevalensi merokok, polusi udara, dan faktor resiko lain untuk penyakit paru-paru yang bervariasi. 2.3 Etiologi Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada pembuluh darah paru dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal. Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan menjadi 3 kelompok : 1. Penyakit primer yang berhubungan dengan aliran udara di paru dan alveoli 2. Penyakit primer yang mempengaruhi pergerakan dinding dada 3. Penyakit primer yang mempengaruhi pembuluh darah paru 2.4. Patogenesis Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan cor pulmonal adalah penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paruparu berulang, dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.1,4,6 Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul cor pulmonal biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola kecil.6 Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia
alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis, hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.6 Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis cor pulmonal. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi. 6 Setiap penyakit paru memengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan cor pulmonal.4,6,9 Patogenesis cor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi pulmonal dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada parenkim paru, kinerja paru, maupun sistem peredaran darah paru secara akut maupun kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.7 Pelebaran atau hipertropi ventrikel kanan pada kor pulmonal kronis adalah efek langsung dari kompensasi ventrikel akibat vasokonstriksi pulmonal kronis dan hipertensi arteri pulmonalis yang menyebabkan peningkatan beban kerja ventrikel kanan. Ketika ventrikel kanan tidak mampu lagi mengimbangi beban kerja melalui dilatasi atau hipertropi, kegagalan ventrikel kanan dapat terjadi. Beberapa mekanisme patofisiologis dapat menyebabkan hipertensi pulmonal yang akan menyebabkan cor pulmonale, mekanisme tersebut antara lain :
1. Vasokonstriksi pulmonal akibat hipoksia alveolar atau asidemia darah, hal ini dapat menyebabkan hipertensi pulmonal dan jika hipertensi pulmonal tersebut cukup parah akan dapat menyebabkan cor pulmonale 2. Peningkatan viskositas darah yang menyebabkan kelainan pada darah seperti : polisitemia vera, sickle cell disease, makroglobulinemia 3. Peningkatan aliran darah dalam vascular paru 4. Hipertensi pulmonal idiopatik primer Mekanisme diatas dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis. Ventrikel kanan memiliki dinding yang lebih tipis dibandingkan ventrikel kiri yang lebih memiliki fungsi sebagai pompa volume dibandingkan pompa tekanan. Ventrikel kanan memiliki fungsi yang lebih baik dalam preload dibandingkan dengan afterload. Dengan adanya peningkatan afterload, ventrikel kanan akan meningkatkan tekanan sistolik untuk menjaga gradient. Pada titik tertentu, peningkatan tekanan arteri pulmonal lebih lanjut menyebabkan dilatasi ventrikel kanan yang signifikan. Adanya penurunan output ventrikel kanan dengan penurunan diastolic ventrikel kiri menyebabkan penurunan output ventrikel kiri. Penurunan output ventrikel kiri menyebabkan penurunan tekan darah di aorta dan menyebakan menurunnya aliran darah pada arteri Coronaria termasuk arteri Coronaria kanan yang menyuplai darah ke dinding ventrikel kanan. Hal ini menjadi suatu lingkaran setan antara penurunan output ventrikel kiri dan ventrikel kanan. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, cor pulmonal dibagi menjadi 5 fase Tabel1.Fase perjalanan penyakit cor pulmonal
Fase Fase 1
Deskripsi Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya gejala awal penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), bronkitis kronis, tuberkulosis paru, bronkiektasis dan sejenisnya. Anamnesa pada pasien 50 tahun biasanya didapatkan kebiasaan banyak merokok.
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru. Gejalanya antara lain, batuk lama yang Fase 2
berdahak (terutama bronkiektasis), sesak napas, mengi, sesak napas ketika berjalan menanjak atau setelah banyak bicara.
Sedangkan
sianosis
masih
belum
nampak.
Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa, hipersonor, suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, ronki basah dan kering, mengi. Letak diafragma rendah dan denyut jantung lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan berkurangnya corakan bronkovaskular, letak diafragma rendah dan mendatar, posisi jantung vertikal.
Pada fase ini Nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan pula berkurangnya nafsu makan, berat badan berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik Nampak sianotik, disertai sesak dan tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung Fase 3
kadang somnolen. Pada keadaan yang berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran.
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal meningkat. Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel kanan masih dapat kompensasi. Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik
nampak sianotik, bendungan vena jugularis, hepatomegali, edema tungkai dan kadang asites. Fase 4
Fase 5 Untuk mempermudah pemahaman mengenai pathogenesis cor pulmonal, disediakan ringkasan pada gambar Penyakit paru kronis
Kerusakan paru & semakin terdesaknya pembuluh darah Asidosis oleh dan paruhiperkapnia yang mengembang HipoksiaPolisitemia alveolar dan hipervi
Vasokonstrikii
Berkurangnya vascular bed paru
Hipertensi Pulmonal kroniss Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan
Corpulmonal
2.5 Diagnosis Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis kor pulmonal secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.5,7 Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan.8 Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru (fibrosis penyakit paru atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK). Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan hipoksemia.1,2 Selama jantung masih bisa melakukan kompensasi terhadap hipertensi pulmonal, anamnesis pada penderita kor pulmonal hanya didapatkan keluhan yang terkait dengan gangguan yang melatarbelakanginya. Keluhan yang biasanya didapatkan adalah batuk produktif, sesak nafas saat aktivitas (dispneu d effort), adanya mengi, cepat letih, dan lemas. Ketika progresivitas penyakit bertambah keluhan yang sering muncul adalah sesak nafas walaupun tidak beraktivitas, tachypnea, orthopnea, edema, dan perasaan tidak nyaman pada kuadran kanan atas 5,7 Pada pemeriksaan fisik didapatkan bentuk dada dengan diameter terbesar anteroposterior atau disebut barrel chest. Pada pemeriksaan auskultasi paru
didapatkan memanjangnya suara nafas ekspirasi dan pada pasien eksaserbasi biasanya didapatkan mengi dan ronki5,7 Pasien yang telah menjadi gagal jantung kanan didapatkan tanda-tanda seperti edema, peningkatan tekanan vena jugularis, refluks hepatojugular, pulsasi epigastrium dan parasternal, asites, hepatomegali dan takikardia. Menurunnya cardiac output dapat menyebabkan hipotensi dan pulsasi yang lemah. Pada pemeriksaan jantung pasien dengan gagal jantung kanan didapatkan kardiomegali ventrikel kanan yang menyebabkan batas jantung kanan bawah bergeser ke bawah kanan. Pada auskultasi didapatkan suara gallop S3 disertai meningkatnya intensitas bunyi P2. Insufisiensi katup trikuspid ditandai dengan adanya pansistolik murmur yang terdengar di parasternal kiri bawah dan mengeras dengan inspirasi. Selain itu, dapat pula terdengar ejeksi sistolik pulmonal 5,8 2.5.1. Pemeriksaan Penunjang Radiologi Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu akan menyebabkan berbagai gambaran parenkim dan pleura yang mungkin dapat menunjukkan penyakit primernya. Gambaran radiologi hipertensi pulmonal adalah dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer tampak relatif oligemia. Pada hipertensi pulmonal, diameter arteri pulmonalis kanan >16mm dan diameter arteri pulmonalis kiri >18mm pada 93% penderita. Hipertrofi
ventrikel
kanan
terlihat
pada
rontgen
thoraks
PA
sebagai pembesaran batas kanan jantung, pergeseran kearah lateral batas jantung kiri dan pembesaran bayangan jantung ke anterior, ke daerah retrosternal pada foto dada lateral. Pelebaran jantung kanan menyebabkan diameter transversal meningkat dengan cardiothorax ratio (CTR) 50% dan bayangan jantung melebar ke kanan pada foto toraks posisi anteroposterior. Pada pasien dengan PPOK didapatkan gambaran sela iga melebar, diafragma mendatar dan gambaran pinggang jantung pendulum3
Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal 2.5.2 Elektrokardiogram Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat berupa: a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih. b. Terdapat pola S1 S2 S3 c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1 d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1 e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau inkomplet. g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan prekordial. h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena adanya hiperinflasi. i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark miokard. j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial paroksismal, takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat dicetuskan.
k. karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia, gangguan keseimbangan
asam-
basa,
gangguan
elektrolit,
serta
penggunaan
bronkodilator berlebihan).1,4,6 2.5.3 Ekokardiografi Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari hasil ekokardiografi dapat ditemukan dimensi ruang ventrikel kanan yang membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a” hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena “accoustic window” sempit akibat penyakit paru.1,4
Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan) 2.6 Diagnosis Banding -
Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup mitral. Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran arteri pulmonal karena peninggian tekanan aorta yang relative kecil (pada fase lanjut), pembesaran ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan vena
-
Perikarditis
-
Gagal jantung kongestif
-
Kardiomiopati infiltrative
-
Stenosis pulmonal
-
Gagal jantung kanan akibat infark ventrikel kanan
-
Gagal jantung kanan akibat penyakit jantung bawaan
-
Defek septum ventrikel
2.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan, meningkatkan kelangsungan hidup, dan mengobati penyakit dasar dan komplikasinya.1 Tirah Baring dan Pembatasan Garam Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya hipoksemia, yang nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi tidak secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan menghalangi usaha untuk menurunkan hiperkapnia.1 Terapi Oksigen Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1) terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan, (2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lainnya. Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute of Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) , dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan dengan pasien tanpa terapi oksigen. Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%, PaO2 55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti, edema yang disebabkan gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, dan eritrositosis hematokrit > 56%.1 Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan. Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.1,3,8 Vasodilator Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum direkomendasikan pemakaiannya secara rutin. Vasodilator dapat menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal kronik, meskipun efisiensinya lebih baik pada hipertensi pulmonal yang primer.1 Agonis beta selektif memiliki keuntungan tambahan sebagai bronkodilator dan efek mukosiliar. Epoprostenol, treprostinil, dan iloprost adalah analog prostasiklin dan memiliki efek vasodilator yang kuat. Epoprostenol dan treprostinil diberikan secara intravena dan iloprost sebagai inhaler. Bosentan yang merupakan antagonis reseptor endotelin-A dan endotelin-B diindikasikan untuk hipertensi arteri pulmonalis termasuk hipertensi pulmonal primer. Dalam uji klinis, bosentan meningkatkan kapasitas, penurunan laju kerusakan klinis, dan peningkatan hemodinamika. Sildenafil merupakan inhibitor PDE5 telah dipelajari secara intensif dan telah disetujui untuk pengobatan hipertensi pulmonal. Sildenafil secara selektif dapat merelaksasikan otot polos pembuluh darah vascular paru. Warfarin merupakan antikoagulan yang dianjurkan pada pasien dengan resiko tinggi tromboemboli. Peran menguntungkan dari penggunaan antikoagulan dalam mengurangi gejala dan angka kematian pada pasien telah dibuktikan dalam beberapa penelitian. Digitalis Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia.1,3 Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.1 2.8. Prognosis Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti "restrictive pulmonary disease", dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat hidup antara 5 sampai 17 tahun setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan mendapat pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14 tahun. Sadouls di Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.3 Para peneliti telah mengumpulkan data demografi, komorbiditas, dan data manifestasi klinis pada 582 pasien rawat inap pada unit gawat darurat maupun unit perawatan intensif dan didiagnosa menderita emboli paru. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pada pasien emboli paru dengan hemodinamik yang stabil factor-faktor berikut dapat menjadi predictor independen kematian di rumah sakit, yaitu : 1. Usia yang lebihtuadari 65 tahun 2. Istirahat total selama lebih dari 72 jam 3. Menderita kor pulmonal kronis 4. Sinus takikardia 5. Takipneu BAB III LAPORAN KASUS 2.1 Identitas Pasien Nama Umur Jenis Kelamin No. CM Alamat Pekerjaan Tgl. Masuk RS
: Ny. Sr : 34 tahun : Perempuan : 1-01-66-56 : Gp. Baroh Ujong Rimba, Kec. Mutiara Timur, : Swasta : 30 september 2015
Tgl. Pemeriksaan : 5 Oktober 2015
2.2 Anamnesis Keluhan Utama: Pasien mengeluh sesak nafas Keluhan Tambahan: Pasien mengeluh batuk, demam hilang timbul Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dibawa oleh keluarga ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. keluhan sesak disertai dengan rasa lemas. Selain itu pasien juga mengeluh batuk sejak 3 bulan yang lalu. Terkadang batuk disertai darah. Batuk darah terakhir 1 minggu sebelum masuk masuk rumah sakit. Jumlah darah yang dikeluarkan saat batuk kurang lebih satu sendok. Pasien mengalami penurunan berat badan 7 kg sejak 2 bulan terakhir. Selain itu pasien juga mengeluh sering berkeringat malam. Pasien juga mengeluhkan adanya demam yang tidak terlalu tinggi, dan bersifat hilang timbul. Nafsu makan menurun sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh cepat lelah, dan kedua kaki bengkak sejak satu bulan yang lalu. Pasien menyangkal memiliki riwayat asma, diabetes militus, penyakit tiroid dan penyakit ginjal. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, asma, diabetes militus, penyakit gangguan hormon tiroid dan penyakit ginjal. Riwayat Penggunaan Obat Pasien sedang minum obat OAT bulan ke 2. Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami hal yang sama. Riawayat hipertensi, diabetes militus, dan penyakit gangguan hormon tiroid pada keluarga disangkal Riwayat Kebiasaan Sosial
pasien bekerja sebagai penjual nasi sejak 5 tahun terakhir dan memasak dengan kompor gas. Sebelumnya pasien tinggal bersama orang tua yang memasak dengan kompor minyak. 2.3 Pemeriksaan Fisik a
Status Present
Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan Darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 116 x/menit, reguler
Frekuensi Nafas
: 32 x/menit
Temperatur
: 36,8 0C
b Status General Kulit Warna
: Sawo matang
Turgor
: cepat kembali
Ikterus
: (-)
Anemia
: (-)
Sianosis
: (-)
Kepala Bentuk
: Kesan normocephali
Rambut
:Tersebar rata, sukar dicabut, berwarna hitam.
Mata
: Cekung (-), refleks cahaya (+/+), sklera ikterik (-/-), konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+)
Telinga
: Sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Hidung
: Sekret (-/-), perdarahan (-/-), Nafas cuping hidung (-/-)
Bibir
: Pucat (-), sianosis (-)
Lidah
: Beslag (-), tremor (-)
Mukosa
: Basah (+)
Tenggorokan
: Tonsil dalam batas normal
Faring
: Hiperemis (-)
Mulut
Leher Bentuk
: Kesan simetris
Kel. Getah Bening
: Pembesaran (-)
Peningkatan TVJ
: (-), R - 2 cmH2O
Axilla Pembesaran KGB (-) Thorax Thorax depan dan belakang 1
Inspeksi Bentuk dan Gerak
: Normochest, pergerakan simetris
Tipe Pernafasan
: Abdominal Thoracal
Retraksi
: (-)
2
4
Palpasi - Pergerakan dada simetris - Nyeri tekan (-/-) - Suara fremitus taktil kanan = suara fremitus taktil kiri 3 Perkusi - Sonor (+/+) Auskultasi Vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (+/+) Jantung 1. Inspeksi
: Ictus kordis tidak terlihat
2. Palpasi
: Ictus kordis teraba di ICS V linea mid clavicula sinistra
3. Perkusi
: Batas jantung: -
Atas: ICS III sinistra
-
Kanan: ICS IV linea parasternalis dextra
-
Kiri:
ICS
V
satu
jari
dalam
midklavikula sinistra 4. Auskultasi
:BJ II meningkat, regular, bising (-), gallop (-)
Abdomen 1. Inspeksi
: Soepel (-)
2. Palpasi
: Nyeri tekan (-) Undulasi (-) Hepar/ Lien/ Renal tidak ada pembesaran
linea
3. Perkusi
: Timpani (+), Shifting dullness (-) undulasi (-)
4. Auskultasi
: Peristaltik usus normal, bising usus (-)
Genetalia
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas Ekstremitas Sianotik Edema Ikterik Kekuatan Otot Sensibilitas Atrofi otot Akral Dingin
Superior Kanan Kiri + + 5555 5555 N N -
Inferior Kanan Kiri + + 5555 5555 N N -
2.4 Pemeriksaan Penunjang 2.4.1
Laboratorium (05 Oktober 2015)
Jenis Pemeriksaan Hemoglobin Leukosit Trombosit Eritrosit Hematokrit Hitung Jenis Leukosit Eosinofil Basofil Neutrofil Segmen Neutrofil Batang Limfosit MonositMg MCV MCH MCHC LED 2.4.2
Elektrokardiografi
Hasil 13,7 7,9 365
Nilai rujukan 14 -17 gr/dl 4.5-10,5 x 103/ul 150 – 450 x 103/ul
4,9 38
4,7-6,1x106/mm3 45.0 - 55.0 %
0 0 93*
0-6% 0-2% 50 - 70 %
0* 5* 2*
2-6 % 20 - 40 % 2-8%
88 28 32* 30*
80-100fL 27-31pg 32-36% <20mm/jam
Tanggal 3 oktober 2015
Kesimpulan: Sinus takikardi 2.4.3
Photo thorax Tanggal 1 oktober 2015
Kesimpulan: kesan TB paru 2.5 Resume Pasien datang dibawa oleh keluarga ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. keluhan sesak disertai dengan rasa lemas. Selain itu pasien juga mengeluh batuk sejak 3 bulan yang lalu. Terkadang batuk disertai darah. Batuk darah terakhir 1 minggu sebelum masuk masuk rumah sakit. Jumlah darah yang dikeluarkan saat batuk kurang lebih satu sendok. Pasien
mengalami penurunan berat badan 7 kg sejak 2 bulan terakhir. Selain itu pasien juga mengeluh sering berkeringat malam. Pasien juga mengeluhkan adanya demam yang tidak terlalu tinggi, dan bersifat hilang timbul. Nafsu makan menurun sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh cepat lelah, dan kedua kaki bengkak sejak satu bulan yang lalu. Pasien menyangkal memiliki riwayat asma, diabetes militus, penyakit tiroid dan penyakit ginjal. Pada pemeriksaan penunjang lektrokardiografi ditemukan kelainan berupa sinus takikardi. Pada photo toraks PA terdapa kesan TB paru. . 2.5 Diagnosis -
Edema Paru ec. Dd 1.
HHD
2. CPC -
TB paru on therapi
2.7 Penatalaksanaan 2.7.1 Non-Medikamentosa -
Bed rest
-
Oksigen 2-4 L/menit
-
Intake oral 800cc/24 jam
2.7.2 Medikamentosa Terapi TS Kardio: -
Injeksi Lasix 1 amp/12 jam
-
Sironolakton 1x 75 mg tab
-
Simvastatin 1x20 mg BAB IV ANALISA MASALAH Pasien datang dengan keluhan sesak, batuk berdahak terkadang disertai
darah. Selain iti juga terdapat penurunan berat badan, berkeringat pada malam hari dan demam yang tidak terlalu tinggi dan hilang timbul sejak 3 bulan. Hal
ini merupakan gejala dari penyakit TB pau. Pada TB paru terdapat 3 gejala respiratorik dan beberapa gejala non respiratorik. Gejala respiratorik diantaranya adalah batuk berdahak lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak nafas, dan nyeri dada. Sedangkan gejala non respiratorik adalah demam malaise, anoreksia, berkeringat malam, dan terdapat penurunan berat badan. Pada pemeriksaan penunjang foto thoraks terdapat kesan TB paru. Sehingga pasien didiagnosis dengan TB paru. Pada pemeriksaan fisik, Vital Sign. 100/70 mmHg, Nadi : 116 x/menit, reguler Frekuensi Nafas : 32 x/menit, Temperatur: 36,8 0C. Pada pemeriksaan fisik kepala dan leher dalam batas yang normal. Tidak ditemukan peningkatan tekanan vena jugulais. Pemeriksaan fisik thoraks terdapat suara napas tambahan berupa wheezing dan rhonki di kedua lapangan paru saat dilakukan aukskultasi. Pada pemeriksaan fisik jantung terdengan BJ II meningkat. Pada ekstremitas terdapat udem pada kedua tangan dan kaki. Pada pemeriksaan penunjang foto thoraks ditemukan adanya kesan TB paru karena terdapat fibroinfiltrat. Hal tersebut sesuai dengan tanda yang bisa di jumpai pada pasien dengan kor pulmonale kronik. Terjadi peningkatan tekan arteri pulmonal akibat adanya berkurangnya anyaman pembuluh darah paru dan vasokontriksi arteri pulmonal dan percabangannya. Pada kondisi pasien dengan TB paru bisa terjadi proses fibrosis pada parenikim pari. Pada pasien ini terdapat perselubungan dan fibroinfiltrat pada kedua lapang paru. Hilangnya anyaman pembuluh darah paru dan menyebabkan terjadinya gangguan pertukan oksigen sehingga terjadi heposia dan hipoksemia pada paru. Kondisi hipoksemia pada paru akan menyebabkan pelebasan endotelin 1 oleh sel endotel. Endotelin 1 bersifat vasokronstriktor.
Mengecilnya
diameter
pembuluh
darah
paru
akan
menyebabpeningkatan tahanan perifer, sehingga terjadi peninggaktan tekanan darah. Bunyi jantung II terdengar karena adanya penutupan katup aorta dan katup pulmonal. Tekanan arteri pulmonal yang tinggi akan mengakibatkan bunyi jantung II yang meningkat. Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah bed rest, intake oral 800cc/24 jam, Simvastatin spironolakton dan injeksi furosemide (Lasix) 1 ampul (Ektra). Prinsip terapi pasien yang didiagnosis kor pulmonale kronik adalah menurunkan
hipertensi pulmonal, pengobatan gagal jantung kanan, dan meningkatkan keberlansungan hidup. Penurunan tekanan arteri pulmonal dapat dilakukan dengan pemberian vasodilator seperti golongan nitrat, agonis kalsium, agonis alfa adrenergic, inhibitor ACE. Pada pasien diberikan injeksi furosemide I ampul/8 jam. Hal ini bertujuan mengeluarkan cairan dari tubuh pasien untuk mengurangi cardiac output sehingga mengurangi beban jantung dan tekanan darah pulmonal. Simvastatin diberikan segai obat anti kolesterol, pada pasien ini berfungsi sebagai terapi pencegahan arterosklelrosis.
BAB V KESIMPULAN Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang struktur, fungsi paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung kanan. Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital (bawaan). Tanda dan gejala yang muncul pada pasien dipengaruhi oleh penyakit yang menjadi penyebab naiknya tekan arteri pulmonal. Prisip terapi pada pasien dengan kor pulmonale kronik adalah, menurunkan hipertensi pulmonal. Pengobatan gagal jantung kanan, disertai dengan pengobatan penyekit yang menjadi etiologi
DAFTAR PUSTAKA 1. Harun S, Ika PW. Kor Pulmonal Kronik. Dalam Buku Ajar I lmu Penyakit Dalam, Ed 4. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; 1680-81 2. Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart Failure and CorPulmonale.Dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 17 th ed. United States of America. The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008; 217-244 3.
Weitzenblum E. Chronic CorPulmonale. Dalam :Education in Heart http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1767533/ . 2003; 89:225-
30 4. Dines
DE, Parkin TW. Some
Observation
on the Value of the
Electrocardiogram in Patient with Chronic CorPulmonale. Mayo Clinic-Proc 2005; 40: 745-750 5. Sovari AA. CorPulmonale: Overview of CorPulmonale Management. Medscape.
2011.
Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/154062-overview#showall
6. Han MK et all. Pulmonary disease and the heart. Medscape. 2007;116(25): 2992-3005.
Available
at
http://www.medscape.com/medline/abstract/18086941
7. Mekontso DA et all. Prevalence and prognosis of shunting across patent foramen ovale during acute respiratory distress syndrome. Medscape. 2010;38(9):
1786-1792.
Available
at
http://www.medscape.com/medline/abstract/20601861
8. Fedullo PF et all. Chronic thrombo embolic pulmonary hypertension. Medscape.
2001;345(20):
1465-1472.
Available
at
http://www.medscape.com/medline/abstract/11794196
9. Anderson JR, Nawarskas JJ. Pharmacotheurapetic management of pulmonary arterial
hypertension.
Medscape.
2010;18(3):
148-162.
http://www.medscape.com/medline/abstract/20395700
Available
at
10. Hoeper MM. Drug treatment of pulmonary arterial hypertension : current and future
agents.
Medscape.
2005;65(10):
1337-1354.
Available
at
http://www.medscape.com/medline/abstract/15977967
11. Sitbon O et all. Long term response to calcium channel blockers in idhiopathic pulmonary
arterial
hipetension.
Medscape.
2005;111(23):
3105-3111.
Available at http://www.medscape.com/medline/abstract/15939821