KONVERSI AGAMA PADA ANAK SEKOLAH DASAR: LATAR BELAKANG DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Aziza Meria Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Padang
Abstract: The convert on religion is the process of running his faith and finally deciding to choose another belief. Generally, it is done by an adult, after acquiring the information about one particular belief, understand it, comprehend it, and decide to choose it and make it as his own belief and the principle become his faith and deed. On the other hand, it is something hard to the convert on religion and done by children, especially those who are still 6-12 age, laid in the same position as the student at the elementary level. This paper present unique and different thing about convert on religion, it was done by children. The process of convert on religion which are done by the children raise an essential questions students background that make the student change their belief and factor that make it happen. Based on the research which were done in Agam, it was found that the factors that make it happen are the social environment and education Key words: convert on religian, belief, children
Abstrak: Konversi agama adalah tindakan seseorang setelah menjalani sebuah proses batin untuk memutuskan memilih keyakinan atau prinsip yang berbeda dari sebelumnya. Konversi ini pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa, setelah mereka mendapatkan informasi tetang keyakinan tertentu, memahaminya, mendalaminya, dan memutuskan untuk menjadikan keyakinan dan prinsip tersebut menjadi sesuatu yang wajib diyakini dan dilakukan. Oleh sebab itu, konversi agama sangat sulit dialami dan dilakukan oleh anak anak, khususnya yang masih berusia 6-12 tahun, setara dengan murid Sekolah Dasar. Tulisan ini mengemukakan sesuatu yang berbeda dari kaidah umum tentang konversi agama, yaitu konversi agama yang dilakukan oleh anak-anak. Terjadinya konversi agama pada anak Sekolah Dasar ini tentu menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak tentang bagaimana latar belakang terjadinya konversi agama pada mereka, serta faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi agama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kabupaten Agam, dapat diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi agama pada anak adalah pengaruh lingkungan sosial dan pendidikan mereka. Kata kunci: konversi agama, keyakinan, anak
A. Pendahuluan Manusia dikenal sebagai makhluk multidimensi dan multipotensi. Secara umum dimensi tersebut meliputi fisik dan psikis. Dari aspek kebutuhan juga demikian, manusia memiliki kebutuhan yang tidak hanya menyangkut fisik melainkan juga kebutuhan psikis. Dimensi yang disebut kedua ini sejak lama telah menjadi perhatian para pakar psikologi. Dengan sebuah pemahaman bahwa dalam diri manusia terdapat kebutuhan terhadap Yang Maha Kuasa. Ada yang menilai bahwa kebutuhan tersebut merupakan perasaan ketergantungan, ketergantungan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dibandingkan yang lain. Menurut Jalaluddin kebutuhan ini selanjutnya menuntun manusia untuk mengabdikan diri kepada sesuatu yang di-
anggap Maha Kuasa tadi sebagai suatu zat yang lebih dibandingkan yang lain. Rasa ini tidak hanya sebagai suatu zat yang lebih dibandingkan yang lain. Rasa ini tidak hanya dirasakan oleh orang tertentu melainkan semua orang dan semua stratifikasi (Jalaluddin, 2005: 274). Jika demikian, apakah perasaan atau kebutuhan tesebut muncul dengan sendirinya? Adakah hal yang menjadi sumber utamanya? Hal inilah yang dalam beberapa kajian pakar Psikologi Agama sebagai sumber jiwa keberagamaan manusia. Secara teoritis cukup banyak uraian tentang sumber jiwa agama, dari berbagai sumber kejiwaan agama umumnya ada dua kelompok, yakni monistik dan fakulti (James, 1982 : 92).
358
359 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV, Edisi 1, hlm 358-366
Pertama teori monistik, menurut teori ini yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu. Namun demikian ada satu sumber tunggal yang dominan. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, ada yang menilai sumber jiwa agama adalah berfikir. Tegasnya manusia ber-Tuhan karena manusia mempergunakan pikirannya. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa sumber jiwa keberagamaan adalah sense of depend. Rasa ketergantungan ini menjadikan manusia lemah dan karena kelemahan inilah manusia bergan-tung pada hal yang lebih besar di luar dirinya. Adapun sumber dominan menurut Rudolf Otto adalah the wholly other. Ia menilai seseorang itu merasa kagum terhadap sesuatu yang lebih dari yang lain, diidentifikasi sebagai sumber kejiwaan agama manusia. Rasa kagum terhadap sesuatu inilah sumber dominan. Sementara Mac Dougall berpendapat bahwa instink khusus yang menjadi sumber agama tidak ada, hanya saja terdiri dari kumpulan dari beberapa instink. Masing-masing manusia memiliki 14 instink dan agama timbul secara terintegrasi. Kedua teori fakulti, berbeda dengan teori pertama yang menganggap sumber itu satu, teori ini berpendapat bahwa sumber keberagamaan terdiri dari berbagai unsur yang dianggap dominan. Seperti reason, emotion dan will. Reason berkaitan dengan persoalan benar salah berdasarkan pertimbangan intelektual. Kemudian emotion menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama. Adapun will menimbulkan amalan-amalan keagamaan yang benar dan logis. Karena sumber jiwa keagamaan yang timbul dari berbagai pengaruh internal dan eksternal manusia, maka hal inilah yang menyebabkan terjadinya konversi agama. Konversi agama secara etimologi adalah berasal dari kata conversion yaitu tobat, pindah, berubah (agama). Sedangkan kata tersebut dipakai dalam kata Inggris yang berarti berubah dari satu keadaan ke keadaan lain, atau dari satu agama ke agama lain. Secara terminologi konversi agama adalah suatu tindakan seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya. (Ramayulis, 2011: 79-81).
Melihat ciri-ciri orang yang melakukan konversi agama, maka Ramayulis menyatakan bahwa konversi agama banyak terjadi pada orang dewasa. Hal ini disebabkan orang dewasa sudah memiliki kondisi kejiwaan, mental, intelektual, dan pertimbangan yang matang dalam hidup. Walaupun demikian konversi agama juga tidak tertutup kemungkinannya terjadi pada anak-anak. Konversi agama yang terjadi pada anak-anak tentu merupakan pembahasan yang sangat unik dan menarik, disebabkan sifat keberagamaan anak-anak (Jalaluddin, 1996: 6566), yang dapat dikatakan masih jauh dari kematangan beragama. Dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan anak, maka anak mengalami partumbuhan dan perkembangan meliputi : fisik, emosional, sosial, intelektual dan rasa beragama. Darajat mengemukakan teori pertumbuhan agama sebagai berikut: (Daradjat, 1979: 48) 1. Rasa ketergantungan (sense of depende). Tokoh yang terkenal dengan teori ini adalah Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak. 2. Insting keagamaan. Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting di antaranya insting keagamaan. Belum terlihat tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna. Misalnya instink sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru berfungsi setelah mereka dapat bergaul dan berkembang untuk berkomunikasi. Jadi instink sosial itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Memahami konsep keagamaan pada anakanak berarti memahami sifat agama pada anak-
Aziza Meria: Konversi Agama pada Anak Sekolah Dasar | 360
anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority, ide keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran. Banyak teori yang mengemukakan perkembangan agama pada anak atau remaja. Namun, sejatinya sama tujuannya yaitu untuk mendapatkan kebenaran agama yang hakiki. Adapun perkembangan agama pada anak sebagaimana dikemukakan Ernes Harms dalam bukunya The Development of Religious Children, bahwa perkembangan anak melalui tiga tingkatan: 1. The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng) Konsep mengenai Tuhan pada tingkat ini lebih banyak dipengaruhi oleh emosi dan fantasi. Seorang anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Pada fase ini, seorang anak banyak dipengaruhi oleh konsep fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Fase ini biasanya ketika seorang anak baru berumur 3-6 tahun. 2. The realistic stage (tingkatan kenyataan) Fase ini dimulai dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga sampai masa adolesense. Pada masa ini rasa ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada hal-hal yang nyata. Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak di dasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
Berdasarkan hak itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat. 3.
The individual-stage (tingkat individu) Pada tingkat ini akan telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan: Pertama konsep keTuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luas. Kedua, konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan). Ketiga, konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.
Perkembangan agama kepada anak yang paling dominan sejatinya karena pengaruh lingkungan. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan agama kepada anak. Zakiah Derajat dalam buku Ilmu Jiwa Agama menjelaskan, guru agama di sekolah dasar menghadapi tugas yang tidak ringan dalam pengembangan agama pada anak. Sebab, seorang anak dalam satu kelas membawa sikap sendiri-sendiri dalama agamanya, sesuai dengan pengalaman agama yang diajarkan di rumah. Selanjutnya guru di sekolah memiliki tugas untuk mengembangkan jiwa keagamaan kepada anak secara sehat. Dia dapat memupuk anak yang pertumbuhan agamanya baik menjadi lebih baik dan yang kurang baik menjadi lebih baik sesuai dengan yang diharapkan. Kendati untuk mengetahui seseorang telah melakukan konversi agama membutuhkan analisa mendalam, namun umumnya proses konversi agama itu melalui tahapan-tahapan umum sebagai berikut:
361 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV, Edisi 1, hlm 358-366
a.
b.
c.
d.
e.
Masa tenang pertama, pada masa ini semua sikap dan tingkah laku individu serta sifatsifatnya menunjukkan acuh tak acuh terhadap agama Masa ketidaktenangan, masa ini terjadi konflik dan pertentangan batin berkecamuk dalam hatinya, muncul perasaan gelisah, putus asa, tegang, panik dan sebagainya. Ini dapat disebabkan oleh moralnya, kekecewaan atau yang lainnya. Umumnya pada tahap ini individu menjadi amat peka, cepat tersinggung dan hampir-hampir pustus asa dalam hidupnya, serta mudah kena sugesti. Peristiwa konversi, setelah mengalamai puncak konversi seseorang tiba-tiba merasa mendapat petunjuk Tuhan, mendapat kekuatan dan semangat. Pada tahap ini gejolak atau konflik kejiwaan yang terjadi dalam dirinya, menjadi reda, jiwa menjadi tenang dan tentram Keadaan tenang dan tenteram, setelah krisis konversi selesai, maka timbullah perasaan atau keadaan jiwa yang baru, rasa aman dan damai di hati. Lepas dari segala dosa, permasalahan yang dihadapi menjadi ringan dan dapat diselesaikan Ekspresi dalam kehidupan, tahap terakhir dalam konversi agama adalah pengungkapan konversi agama dalam tindak tanduk, perbuatan sesuai dengan tuntunan ajaran agama (Baharuddin dan Mulyono, 2008 : 209).
Sebenarnya sulit untuk dideteksi apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya konversi agama. Menurut Zakiah Daradjat, ada beberapa faktor yang nampaknya terjadi dan terdapat dalam setiap peristiwa konversi agama, yakni: a. Pertentangan batin dan ketegangan perasaaan Orang-orang yang mengalami pertentangan batin dan ketegangan perasaan mudah mengalami konversi agama. Salah satu di antara penyebab pertentangan batin itu ialah ketidakmampuan seseorang untuk mematuhi nilai-nilai agama yang dipeluknya. Hal ini dapat terjadi karena kedangkalan pengetahuan agamanya, dan bisa juga karena adanya ajaran agama bersangkutan yang kurang sesuai dengan akal dan pemikirannya.
b.
Pengaruh hubungan dengan tradisi agama Sekilas terlihat bahwa, konversi agama itu nampaknya terjadi secara tiba-tiba. Namun sebenarnya setiap konversi agama mempunyai riwayat yang panjang, bahkan terkait dengan pengalaman mulai dari waktu kecil. c.
Ajakan, seruan dan sugesti Banyak juga peristiwa konversi agama yang terjadi akibat ajakan atau sugesti dari luar. Pengaruh ajakan ini mulanya mungkin tidak begitu kuat dan mendalam, sehingga tidak sampai mempengaruhi perubahan keyakinan seseorang. Namun suatu saat apabila orang tersebut mencoba berpikir dan kemudian merasakan adanya suatu kebenaran dan kedamaian batin, maka ia bisa mengalami perubahan keyakinan agama atau mengalami konversi agama. Orang-orang yang sedang mengalami kesusahan dan kegoncangan jiwa, pada lazimnya akan lebih mudah tersugesti untuk meninggalkan ajaran agamanya. Bujukan atau sugesti yang membawa harapan akan dapat melepaskannya dari kesusahan dan kegoncangan jiwa tersebut, pada biasanya akan lebih mudah diikutinya. Karenanya dalam Islam ditekankan untuk membantu fakir miskin agar dapat menghindarkan mereka dari kemungkinan murtad atau kafir. d.
Faktor emosi Orang-orang yang mempunyai tingat emosi dan sensitifitas yang tinggi, akan lebih berpeluang untuk mengalami konversi agama. Walaupun faktor emosi secara lahir tidak menampakkan pengaruh yang besar, namun dapat dibuktikan menjadi suatu faktor yang turut mendorong terjadinya konversi agama. Adanya pengaruh faktor emosi ini, menyebabkan banyak dari kalangan usia masih muda dan emosinya masih kurang stabil mengalami konversi agama. Walaupun memang tidak jarang juga konversi agama itu terjadi kepada mereka-mereka yang usianya sudah senja, atau di atas 50 tahun. e.
Faktor kemauan sendiri Kemauan juga merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi konversi agama. Dalam beberapa kasus terbukti bahwa orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas
Aziza Meria: Konversi Agama pada Anak Sekolah Dasar | 362
dan mendalam banyak yang mengalami konversi agama. Dengan demikian tidak sedikit di antara orang yang mengalami konversi agama itu mempunyai emosi yang stabil, jiwa yang tenang, dan tanpa adanya sugesti dari orang lain. Namun karena pengetahuannya yang luas dan mendalam, memungkinkannya untuk menganalisis dan mengkaji sendiri ajaran berbagai agama secara ilmiah, sehingga ia mendapatkan suatu kebenaran agama tertentu, dan dengan kesadaran dan kemauan sendiri ia akhirnya melakukan konversi agama. Hal inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengangkatkan masalah ini menjadi sebuah penelitian. Adanya kesenjangan antara teori yang dikemukakan dengan kenyataan yang da di daerah transmigrasi Kenagarian Tiku Limo Jorong Muaro Putuih. Rumusan masalah atau masalah pokok yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah “Bagai-mana terjadinya konversi agama pada siswa Sekolah Dasar di Kenagarian Tiku Limo Jorong Muara Putuih Kabupaten Agam?” Batasan penelitian yang menjadi fokus dari tulisan ini adalah: latar belakang dan factorfaktor terjadinya konversi agama pada anak pada Sekolah Dasar di Muara Putuih Kabupaten Agam. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep terjadinya konversi agama pada siswa Sekolah Dasar di Kenagarian Tiku Limo Jorong Muara Putuih Kabupaten Agam. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan latar belakang dilakukannya konversi agama oleh siswa Sekolah Dasar di Kanagarian Tiku Limo Jorong Muaro Putuih Kabupaten Agam. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang data dan sumber datanya didapatkan dan ditemui di lapangan bukan dari buku (Mardalis, 1993:28). Dengan menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian yang dalam pemaparan data dan hasil analisanya dengan cara deskripsi (Arikunto, 1992:73-74 ).
Jenis dan pendekatan penelitian ini adalah fenomenologi. Fenomenologi merupakan pendekatan penelitian berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana keseharian, dunia intersubyektif (dunia kehidupan) atau juga disebut lebenswelt terbentuk. Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata pahainomenon yang berarti fenomena atau sesuatu yang tampak dan terlihat. Dalam bahasa Indonesia, biasa dipakai istilah gejala. Istilah fenomenologi diperkenalkan oleh Johann Heinrick Lambert, sedangkan tokoh pelopor fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938) (Kusnanrno, 2009: 58 ). Metodologi kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi merupakan riset terhadap dunia kehidupan orang-orang, pengalaman subjektif mereka terhadap kehidupan pribadi sehari-hari. Periset secara konsisten akan melakukan bracketing atau mengurung asumsi-asumsi pribadi peneliti sehingga peneliti mampu melihat fenomena dari sudut pandang responden. Fenomenologi berusaha mendekati objek kajian secara konstrukvis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak menyertakan prasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Sumber data terdiri: Sumber data primer, yaitu para convert atau pelaku konversi agama. Jumlah pelaku konversi agama anak di kenagarian ini sebanyak 5 orang. Pada saat peneliti observasi awal dalam rangka persiapan pembuatan proposal penelitian, pelaku konversi agama berjumlah 17 orang. Akan tetapi dalam beberapa bulan ini ada yang pindah kembali ke daerah asalnya. Sedangkan data sekunder atau orang yang tidak mengalami konversi agama secara langsung seperti tokoh masyarakat, guru di sekolah, keluarga, penyuluh agama setempat, dan masyarakat sekitarnya. Untuk menentukan informan, penulis menggunakan tekhnik purposive sampling atau sampel bertujuan (Mulyana, t.th : 8 ). Dalam mendapatkan data dari informan penulis menggunakan tekhnik snowball sampling (Maleong,2002:166), dan berhenti apabila terjadi pengulangan informasi atau kejenuhan informasi. Data pada penelitian ini memnggunakan data data kualitatif, yaitu data yang didapatkan da-
363 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV, Edisi 1, hlm 358-366
ri hasil wawancara dengan berbagai pihak. Sesuai dengan sumber data, data dibagi menjadi dua: data primer dan data sekunder. Data primer berkenaan dengan informasi tentang latar belakang terjadinya konversi agama, keagamaan para convert, dan pembinaan yang dilakukan berbagai pihak pada convert. Sedangkan data sekunder berkenaan dengan letak gambaran umum lokasi penelitian, keadaan masyarakat, dan kerbeagamaan masyarakat di daerah tersebut. Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan di daerah tempat convert. Dalam penelitian kualitatif fenomenologis terdapat beberapa cara pengumpulan data atau informasi. Beberapa cara tersebut antara lain melalui: a. Pengamatan (observation). Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan data tentang keberagamaan convert anak. b. Wawancara mendalam (in-depth interview). Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data latar belakang dan penyebab dilakukannya konversi agama. c. Pengamatan terlibat (partisipation observation). Pengamatan terlibat ketika peneliti dan convert melakukan kegiatan keagamaan bersama. Seperti shalat berjamaah, berbuka puasa bersama, dan sebagainya. d. Diskusi kelompok terfokus (focus groups discusion), diskusi kelompok dilakukan untuk mendapatkan data tentang pengaruh sosial yang melatarbelakangi terjadinya konversi. e. Guide participant. Mengingat penelitian ini memakan waktu yang cukup lama, dan berlokasi di daerah yang jauh dari domisili peneliti, maka dibutuhkan penelti participan sebagai perpanjangan tangan kegiatan penelitian, di lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan peneltian ini bersifat fenomena jadi perlu adanya peneliti partisipan. f. Teknik triangulasi, yakni penggunaan beberapa tehnik yang berbeda dalam satu kegiatan. Di samping untuk meng cross check data yang di dapatkan, dengan melakukan trianggulasi data juga dapat melengkapi data yang belum lengkap selama penelitian. Serta dapat membantu untuk mempertajam analisa hasil penelitian.
Instrumen utama penelitian adalah peneliti, dengan alat bantu seperti catatan, alat perekam, kamera dan sebagainya. Khusus untuk kegiatan wawancara, peneliti menggunakan pedoman wawancara dan bersifat wawancara terbuka. Dimana peneliti mewawancarai sumber data primer maupun sekunder. Teknik analisis naratif deskriptif digunakan untuk menganalisis hasil wawancara, sekaligus sebagai cross check dari observasi yang dilakukan serta melakukan alur pengolahan dan analisa data studi feomenologis. B. Pembahasan dan Hasil Penelitian 1. Keadaan Convert Kanagarian Tiku Limo Jorong merupakan kanagarian yang terletak di pedesaan yang kebanyakan petani, berkebun, dan berladang. Kebun yang cukup besar adalah dengan adanya perkebunan sawit pada daerah pedalaman. Seperti daerah lain di Sumatera Barat, daerah perkebunan sawit biasanya dikelola masyarakat yang bertransmigrasi dari pulau jawa. Penduduk transmigrasi ini yang membawa keragaman pada budaya dan agama. Penduduk yang berasal dari pulau Jawa sebagian mereka beragama Kristen. Anak-anak dari keluarga Kristen bersekolah, bermain, dan bergaul dengan anakanak muslim. Hal tersebut membuat mereka terbiasa dengan adat istiadat dan ajaran Islam. Di sekolah pun mereka tidak diajar oleh guru yang beragama Kristen karena guru mereka muslim. Walaupun mereka tidak masuk kelas pada saat pelajaran agama, akan tetapi karena sifat anakanak mereka yang ingin tahu dalam berbagai hal, menjadikan mereka juga ingin mengetahui ajaran Islam secara langsung dan tidak langsung. Sewaktu pelajaran agama, mereka kadang-kadang tidak mau ke luar dari kelas dan mendengar pelajaran. Kehidupan keluarga mereka cukup sederhana. Perkerjaan orang tua mereka berkebun sawit. Lingkungan mereka kebanyakan muslim, hanya ada beberapa yang beragama Kristen. Walaupun demikian mereka berbaur dan bergaul dengan baik dengan warga muslim. Keluwesan mereka mengakibatkan mereka tidak mempermasalahkan anak-anak mereka bergaul
Aziza Meria: Konversi Agama pada Anak Sekolah Dasar | 364
dengan anak anak muslim. Termasuk ketika a nak mereka tertarik dengan ajaran Islam, mereka juga memperbolehkan dan tidak melarangnya. Sebelum dikemukakan latar belakang dan faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi agama pada anak, ada baiknya dideskripsikan kondisi keagamaan anak, meliputi : a. Akidah dan kepercayaan Sebagaimana karakteristik jiwa keberagamaan pada anak anak, maka anak yang melakukan konversi agama juga memahami agama sesuai dengan pikirannya. Bagi mereka masalah keyakinan dan akidah hanya sebatas percaya pada Allah, Rasul, dan Ma-laikat. Kitab suci dimaknai dengan al-Quran yang hanya sebatas dibaca setiap hari. b. Ibadah Anak-anak yang merupakan convert agama melaksanakan shalat sebatas shalat secara zahiriah saja. Maksudnya adalah shalat sebagaimana anak seusia mereka yang cukup rukun dan syaratnya. Mereka juga shalat di mesjid sebagaimana teman-temannya yang lain. Para convert baru melaksanakan shalat wajib, mengenai shalat sunnah, mereka hanya melakukannya ketika bulan Ramadhan, yaitu shalat tarawih dan witir. Para convert puasa sama halnya dengan kebanyakan muslim yaitu pada bulan Ramadhan. Mereka sangat semangat apabila bulan Ramadhan tiba. Karena mereka bisa berpuasa bersama-sama dengan teman, terlebih lagi shalat Tarawih di mesjid. Amalan membaca al-Quran para convert seiring biasanya dengan proses belajar di sekolah dan mengaji di mesjid setelah shalat magrib. Kemampuan mereka dalam membaca al-Quran memang tidak begitu bagus, akan tetapi semangat mereka untuk belajar cukup bagus. c. Akhlak atau tingkah laku keseharian. Ahklak anak anak convert dalam kesehariannya cukup baik. Meraka cukup sopan dalam bergaul dengan teman sebaya. Dilihat dari segi perkataan jarang sekali kedengaran mereka berkata kata kotor. Seandainya terjadi tingkah laku yang kurang baik, masih dianggap wajar dikarenakan usia mereka yang masih belia. Walaupun beda keyakinan, mereka masih saja membantu perkerjaan orang tua mereka.
2. Latar Belakang terjadinya Konversi Agama pada Anak Berdasarkan data yang didapatkan, ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya konversi agama anak Sekolah Dasar ini, di antaranya : a. Adanya ketertarikan mereka terhadap Islam, dikarenakan ajaran Islam telah menjadi konsumsi mereka dengan melihat apa yang dilakukan oleh teman teman sebaya. Begitu juga dalam pergaulan di masyarakat, masyarakat di sekeliling mereka tidak mengucilkan dan bergaul dengan mereka sebagaimana mestinya, sehingga mereka menganggap teman, guru, dan masyarakat seperti saudara mereka. b. Jiwa labil yang dimiliki mengingat mereka masih berusia belia, otomatis lingkungan sangat berpengaruh pada perkembangan mental, emosional, dan social mereka, sehingga mempengaruhi pemikiran mereka tentang sebuah agama. c. Pemahaman keyakinan agama asli mereka yang tidak mendalam, menyebabkan mereka seperti tidak memiliki keterikatan dengan keyakinan sebelumnya. Dengan pikiran mereka yang masih dangkal, ada anggapan bahwa agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tempat mereka tinggal itulah yang benar. d. Pembiaran dari keluarga, membuat mereka lebih leluasa untuk mengetahui dan memutuskan keyakinan apa yang akan mereka anut. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi agama a. Faktor internal 1) Hidayah Hidayah merupakan suatu hal yang sangat menentukan seseorang mengalami konversi agama. Hidayah tidak saja dialami oleh orang dewasa, hidayah tidak saja didapatkan oleh orang pandai, akan tetapi hidayah bisa didapatkan siapa saja selagi mereka juga berusaha untuk mendapatkannya. Sebagaimana data yang didapatkan dari informan yang menyatakan bahwa yang menjadikan mereka melakukan konversi agama adalah:
365 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV, Edisi 1, hlm 358-366
2) Ketertarikan untuk masuk Islam disebabkan hatinya merasa tenang dan damai. Seperti ketika mereka mendengar azan dan bacaan al-Quran. 3) Keseringan melihat teman-teman mereka melaksanakan ibadah. Seperti melihat teman sebayanya mengaji di mesjid. Pertama-tama mereka ke mesjid karena tidak ada teman yang bisa diajak bermain, mereka pun ikut ke mesjid. Tapi lamakelamaan mereka menyukai dan ikut mengaji. 4) Betul-betul atas kesadaran sendiri. Dikarenakan kesibukan orang tua, di antara mereka ada yang dititipkan dengan saudara yang masih memiliki hubungan kerabat dengan mereka dan beragama Islam. Karena setiap hari mereka bergaul dengan keluarga muslim, membuat mereka ingin masuk Islam. 5) Internal keluarga Berdasarkan data yang didapat, longgarnya pengawasan orang tua juga menjadikan anak-anak Kristen yang keseharian bergaul dengan anak-anak muslim leluasa dan terbiasa dengan nilai-nilai ajaran Islam. Begitu juga para orang tuanya, mereka telah bertahun-tahun tinggal dan bergaul dengan masyarakat muslim. Hal ini menjadikan mereka cukup tidak begitu fanatik dengan agama yang dipeluk. b. Faktor eksternal 1) Teman sebaya. Pergaulan convert dengan teman sebaya memberikan pengaruh yang cukup besar pada keinginan mereka masuk agama Islam. Para convert ini bersekolah dan bermain dengan anak anak muslim. Ketika sehabis magrib, teman teman mereka mengaji di mesjid, hal ini mengakibatkan mereka tidak memiliki teman bermain. Hal ini menjadikan mereka juga ikut ke mesjid atau musalla, karena sering melihat teman teman mereka melakukan ibadah, membuat mereka akhirnya juga tertarik dengan ibadah Islam. 2) Pendidikan sekolah
Pendidikan di sekolah yang dari segi materi, contoh, aturan dan sebagainya bernuansa Islam. Membuat convert ini terbiasa dengan ajaran Islam. Seperti sebelum belajar mereka membaca alQuran atau asmau al husna, berdoa dengan doa menurut Islam, contoh-contoh pelajaran, kegiatan sekolah lainnya. Hal ini membuat mereka tertarik untuk mempelajari Islam. Begitu juga dari sikap pendidik atau guru. Tidak adanya paksaan oleh guru agama untuk siswa selain Islam untuk wajib mengikuti pelajaran agama. Akan tetapi siswa non-Islam ini juga tidak dilarang untuk berada di kelas saat pelajaran agama berlangsung. Pada saat mereka bertanya tentang Islam guru menjawab pertanyaan mereka sesuai dengan tingkat intelektual mereka. Hal ini membuat siswa non-muslim juga sangat menyenangi pelajaran agama Islam. Pembinaan yang dilakukan guru agama dan pihak seolah ketika convert ini baru memeluk Islam, sangat dirasakan baik oleh mereka. Dari awalnya hanya satu orang yang melakukan konversi agama, satu persatu siswa non Islam lainnya juga masuk Islam. Alasan mereka beragam, ada dengan kesadaran sendiri, melihat teman, kagum pada guru dan sebagainya. 3) Lingkungan masyarakat Seiring misi Kabupaten Agam yang menciptakan masyarakat Agam yang agamis, maka diseluruh penjuru Agama banyak sekali program-program pemerintah dan kegiatan masyarakat bersifat religius. Sebagai daerah yang mayoritasnya muslim, tentu berpengaruh pada pola tingkah laku masyarakat menuju masyarakat yang agamis. Lingkungan masyarakat di Jorong Tiku Limo Jorong ini, merupakan masyarakat yang agamis. Ini terbukti dengan hidupnya aktivitas keagamaan di kampung ini, seperti ibadah shalat berjamah, banyaknya tempat tempat mengaji seperti mesjid dan musallah, adanya program wajib mengaji di surau, jarang terjadinya kasus
Aziza Meria: Konversi Agama pada Anak Sekolah Dasar | 366
kenakalan remaja, dan sebagainya. Lingkungan masyarakat yang mempengaruhi terjadinya konversi agama termasuk pada peranan pemuka masyarakat, adat, agama, dan pemerintahan alam menciptakan lingkungan Islami, sehingga sangat kondusif terjadinya konversi agama. Ditambah lagi sarana prasarana yang ada untuk melancarkan kegiatan keagamaan. C. Penutup Berdasarkan hasil peneltian yang telah dipaparkan, maka sekaitan dengan latar belakang dan faktor faktor yang mempengaruhi konversi agama pada siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Agam adalah: 1. Latar belakang terjadinya konversi agama, yaitu; ketertarikan mereka terhadap ajaran Islam, pembiaran keluarga, tidak fanatik atau tidak memiliki pengetahuan mendalam terhadap agama asli mereka, dan kebiaaan lingkungan sekitar yang dilihat sehari hari. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi agama. Sedangkan faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi agama adalah dapat dilihat dari dua faktor: faktor internal dan eksternal. Internal meliputi: hidayah dan sikap kebebasan dalam keluarga. Sedangkan eksternal adalah pendidikan di sekolah, lingkungan masyarakat, dan pengaruh teman sebaya. Referensi Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan model Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003 Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1970 Byrnes, Yoseph, The Psychology of Religion, London: Collier Macmillan Publisher, 1984 Furchan, Arief (alih bahasa), Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: suatu Pendekatan
Fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial, Surabaya: Usaha Nasional, 1992. James, William, The Varieties of Religious Experience, Amerika: The Penguin American Library, 1982 Ibrahim, Abd. Syukur dan Machrus Syamsudin (alih bahasa), Penemuan Teori Grounded: Beberapa Strategi Penelitian Kualitatif, (Surabaya: Usaha Nasional, 1984/1985 Jalaluddin, Rakhmat, Psikologi Agama: sebuah Pengantar, Bandung: Mizan, 2003 Moeloeng, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998 Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rodakarya, t.tt Purwakania, B dan Aliah Hasan, Psikologi Perkembangan Islami Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Pra-kelahiran hingga Pasca-kematian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008 Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 2004