FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT STRES PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR YANG SIBUK DAN TIDAK SIBUK
NUR LAELA
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
12
RINGKASAN NUR LAELA. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Stres pada Anak Usia Sekolah Dasar yang Sibuk dan Tidak Sibuk. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI PRANADJI. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada anak usia sekolah dasar yang sibuk dan tidak sibuk. Adapun tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut: 1) mengidentifikasi karakteristik contoh (umur saat masuk sekolah dasar dan jenis kelamin), 2) mengidentifikasi karakteristik keluarga contoh (besar keluarga, umur, pendidikan, pekerjaan serta pendapatan orangtua), 3) mengidentifikasi alokasi waktu dan aktivitas contoh di luar sekolah, 4) mengidentifikasi persepsi contoh dan ibu contoh terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua terhadap anak, 5) membandingkan tingkat stres pada anak sibuk dan tidak sibuk, 6) menganalisis hubungan berbagai variabel dalam penelitian, dan 7) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres contoh. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. SD Bina Insani Bogor, Jawa Barat, dipilih secara purposive sebagai lokasi penelitian. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2008. Contoh adalah anak kelas 5 SD Bina Insani, yang dipilih berdasarkan urutan alokasi waktu kegiatan di luar sekolah. Total contoh penelitian ini sebanyak 60 anak yakni 30 anak sibuk (memiliki alokasi waktu aktivitas di luar sekolah ≥ 7 jam dalam seminggu) dan 30 anak tidak sibuk (alokasi waktu aktivitas di luar sekolah ≤ 3 jam dalam seminggu). Data yang dikumpulkan meliputi data primer (karakteristik contoh, karakteristik keluarga, alokasi waktu dan aktivitas contoh di luar sekolah, persepsi contoh dan ibu contoh, serta tingkat stres) serta data sekunder (gambaran umum sekolah). Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses pengecekan, coding, dan scoring, dengan menggunakan microsoft exel dan SPSS 13 for windows. Setelah itu, data dianalisis dengan menggunakan uji deskriptif, beda mean, korelasi, dan regresi. Lebih dari separuh (60.0%) contoh anak sibuk berjenis kelamin perempuan, sebaliknya sebagian besar (76.7%) contoh anak tidak sibuk berjenis kelamin laki-laki. Terdapat perbedaan yang nyata pada variabel jenis kelamin contoh. Sebanyak 40.0 persen anak sibuk dan 36.7 persen anak tidak sibuk masuk sekolah dasar ketika berumur kurang dari 6 tahun. Tidak terdapat perbedaan umur saat masuk SD diantara contoh anak sibuk dan tidak sibuk. Persentase terbesar (53.3%) contoh anak sibuk memiliki besar keluarga sedang, sedangkan persentase terbesar contoh (53.3%) anak tidak sibuk memiliki besar keluarga kecil. Usia ayah contoh saat ini berkisar antara 34 hingga 52 tahun sedangkan usia ibu saat ini berada dalam kisaran 31 hingga 50 tahun. Persentase terbesar ayah contoh anak sibuk (76.7%) dan anak tidak sibuk (70.0%) saat anak pertama lahir berusia antara 20 hingga 30 tahun, demikian halnya dengan persentase terbesar (86.6%) ibu contoh. Sebagian besar ayah (93.3%) dan ibu (86.7%) contoh berpendidikan perguruan tinggi. Persentase terbesar ayah contoh anak sibuk (43.3%) dan anak tidak sibuk (53.3%), memiliki pekerjaan utama sebagai pegawai swasta. Lebih dari separuh ibu contoh pada kedua kelompok (60.0 persen pada anak sibuk dan 63.3 persen pada anak tidak sibuk) adalah ibu bekerja. Persentase terbesar (33.3%) pendapatan total ayah contoh pada kelompok anak tidak sibuk berada dalam kisaran lebih dari Rp 10 juta, dan persentase terbesar (30.0%) pendapatan total ayah pada kelompok anak sibuk berada dalam kisaran yang lebih rendah, yaitu Rp 7.500.001-Rp 10
13
juta. Persentase terbesar (46.7%) ibu pada kelompok anak sibuk, memiliki pendapatan antara Rp 2.500.000 hingga Rp 5.000.000, sedangkan pada kelompok anak tidak sibuk, persentase terbesar ibu contoh (40.0%) tidak memiliki pendapatan sendiri. Tidak terdapat adanya perbedaan pada seluruh variabel karakteristik keluarga di kedua kelompok contoh. Terdapat perbedaan yang nyata pada alokasi waktu leisure dan aktivitas di luar sekolah pada kedua kelompok contoh. Alokasi waktu contoh anak sibuk untuk kegiatan di luar sekolah adalah sebesar 1.12 jam (67 menit) tiap harinya (sebesar 4.67 persen alokasi waktu dalam sehari), sedangkan alokasi waktu anak tidak sibuk adalah sebesar 0.31 jam (18 menit). Persentase terbesar contoh (48.4%) anak sibuk dan lebih dari separuh contoh (56.0%) anak tidak sibuk melakukan kegiatan di luar sekolah berdasarkan usulan orangtua. Persentase terbesar contoh (78.3%) dan ibu contoh (73.3%) memiliki persepsi yang cukup terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua pada anak. Tidak terdapat perbedaan (P>0.05) persepsi contoh dan ibu contoh terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua diantara anak sibuk dan tidak sibuk. Persentase terbesar contoh anak sibuk (73.3%) dan anak tidak sibuk (80.0%) berada dalam kategori tingkat stres sedang. Tidak terdapat adanya perbedaan tingkat stres di kedua kelompok contoh yang diamati. Semakin meningkat jenis, jumlah dan alokasi waktu kegiatan di luar sekolah, maka persentase contoh yang berjenis kelamin perempuan dalam kategori tersebut semakin banyak. Semakin meningkat alokasi waktu kegiatan contoh di luar sekolah, maka persepsi terhadap kegiatan di luar sekolah dan harapan orangtua pada anak akan semakin kurang baik (p=0.03, r=-0.281). Selain itu, semakin baik persepsi contoh terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua, maka tingkat stresnya akan semakin menurun (p=0.02, r= -0.298). Alokasi waktu untuk menonton televisi dan pendidikan ayah memiliki pengaruh yang nyata terhadap tingkat stres. Semakin meningkatnya alokasi waktu menonton televisi dan pendidikan ayah akan menurunkan tingkat stres anak. Meskipun demikian, alokasi waktu untuk kegiatan di luar sekolah tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat stres anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi anak berhubungan dengan tingkat stres. Oleh karena itu, sebaiknya sebelum menganjurkan untuk melakukan kegiatan di luar sekolah, orangtua menumbuhkan persepsi yang positif dalam diri anak terhadap kegiatan yang akan dilakukannya tersebut, diantaranya adalah dengan jalan memaparkan manfaat kegiatan tersebut bagi anak (menyalurkan hobi, menambah teman, dan sebagainya). Meskipun demikian orangtua tidak diperbolehkan menekan atau memaksa anak untuk mengikuti kegiatan di luar sekolah. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa menonton televisi merupakan salah satu kegiatan yang dapat mengurangi stres anak. Meskipun demikian, orangtua sebaiknya mendampingi anak dalam menonton televisi untuk memberikan arahan mengenai tayangan televisi dan supaya anak tidak terlalu lama menonton televisi.
14
ABSTRAK The main purpose of the research is to learn more about the factors influence stress in busy children and un busy children of elementary school. Cross sectional study is a design which used in this research. The location of research is chosen purposively, that is : SD Bina Insani, Bogor, Jawa Barat. Results of the research show that there are significant differences in leisure and after school activities. Generally, samples had done after school activities depend of their parent’s choose. The biggest proportion of samples and their mother had middle perception for after school activities and parent’s hopes. There aren’t difference in perception in busy children and unbusy children. Eventhough, the biggest proportion of samples had degrees of stress in middle category. Due to increase of variances, summaries, and time allocations for after school activities, proportion samples with female sex in those category being increasing. By increasing time allocations for after school activities, perception for after school activities and their parent hopes is more bad (p=0.03, r=-0.281). However, by increasing samples’ perception for after school activities and their parent hopes, the degrees of stress in children being decrease (p=0.02, r= 0.298). Time alocations for watch television and father’s educations have significant influens in children stress. By increasing time alocations for watch televition and father’s educations will degrees of stress in children. However, time allocations for after school activities doesn’t have significant regression with children stress.
15
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT STRES PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR YANG SIBUK DAN TIDAK SIBUK
NUR LAELA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
16
Judul Skripsi
: Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Stres Pada Anak Usia Sekolah Dasar Yang Sibuk dan Tidak Sibuk
Nama
: Nur Laela
NIM
: A54104073
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Diah K. Pranadji, MS. NIP 131 476 543
Diketahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof.Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP 131 124 019
Tanggal lulus :
17
RIWAYAT HIDUP Pada tanggal 27 September 1986, penulis dilahirkan di Purworejo. Penulis merupakan putri terakhir dari tiga bersaudara keluarga Bapak Muh. Kasful Anwar dan Ibu Istiqomah. Tahun 1992 penulis memulai pendidikan di SDN 2 Banyumas, kemudian setelah selesai kelas 4, penulis pindah ke SDN 2 Purworejo dan menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di sana. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTPN 2 Purworejo. Tahun 2001, penulis diterima di SMUN 1 Purworejo dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
18
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabilalamin, terimakasih penulis panjatkan kehadirat Allah, Tuhan Semesta alam, karena kasih sayang-Nya yang demikian agung, penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Selain itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu, yakni: 1. Keluarga : orangtua dan kakak tercinta; Mbak Nurul dan A Indra, Mas Amat dan Teh Euis, yang tak terhitung jasanya pada penulisan skripsi ini dan dalam hidup penulis. 2. Pembimbing sekaligus ibu yang baik : Dr. Ir. Diah K. Pranadji, MS. atas segala keceriaan, bimbingan yang tak kenal waktu, kesabaran yang tak bertepi, dan samudra pengetahuan yang terdalam. Tak ada kata yang lebih pantas untuk disampaikan selain Jazakillah Khairon Katsiro (Semoga Allah memberikan kebaikan kepada ibu) 3. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS. atas segenap masukan, arahan, serta saran yang bermanfaat bagi penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk masyarakat. 4. Ir. Melly Latifah, MSi. baik sebagai dosen pemandu seminar maupun pendidik atas saran, teladan, dan ilmu pengetahuan yang begitu luas. Terimakasih ibu. 5. Teman-teman kecilku : Hafidz , Raihan ZAW, Akbar, Ai, LG, Noor, Ama, Fairuz & Rifki, Indra, Hariadi, Rezqy, Tiktik, Dariel, Ibnu, Raka, Ikhsan, Arsya, Risma, Atikah, Uma, Opin, Rahmat, Sakinah, Rizka, Sashi, Utami, dan semua anak kelas 5 dan 6 SD Bina Insani, yang bukan hanya membuat penulis mengerti lebih banyak tentang arti sebuah perjuangan dan kesabaran, namun juga bahagianya memiliki banyak teman-teman kecil. Terimakasih untuk kenangan ini. 6. Wali kelas 5 (Pak Uci, Pak djajat, Ibu Hera, Pak Sahal, dan Ibu Jannah) dan orangtua murid (terutama Mama Abby, Mama Farras, Mama Raihan, mama Hafidz, Papa Andrea, Mama Fairuz, dan Papa LG) atas bantuan, semangat, dan partisipasinya dalam penelitian ini 7. Vika Puspitasari dan Astri Dwi Ananda yang telah berkenan memberikan bantuan dalam membahas makalah seminar sekaligus memberikan kritik serta saran yang bermanfaat. Terimakasih atas bantuannya.
19
8. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes dan Tien Herawati, SP.,M.Si yang telah banyak membantu memberikan saran dan jawaban atas masalah analisis data. 9. Eka Septiani, SP., Ari Adriyani, SP., Renaningsih, SP. , Arina Rizkiana, SP., serta Noorma Bunga Aniri, SP., atas bantuan pengambilan data. 10. Yesa Sri Utami, SP. teman satu bimbingan sekaligus penyemangat. 11. Teman terbaikku : Ari, Ningste, Eka, Cheu, Nurika, Devit, Dedew (atas semua hal), Arti, Icha, Onye, Pyn, Rizka, Adien, Rika, dan GMSK 41 yang telah memberikan himbauan, bantuan tiada henti, limpahan semangat, dan pelangi persahabatan yang mempesona. Terimakasih. 12. Untuk semua Gamasakers 41 sebagai angkatan GMSK terakhir, yang tak pernah akan terlupakan. 13. Seluruh anak IKK 42 : Teman yang baik. 14. Yang penulis sayangi : Hannah, Harits, Hanif, dan Rumaisha. 15. Segenap Staf Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga, yang telah berjuang memajukan GMSK. Terimakasih atas pelayanan terbaik yang telah diberikan. Terimakasih atas semuanya. 16. Semua pihak yang telah berkenan berpartisipasi. Semoga Allah membalas kebaikan saudara dengan hal yang lebih baik. Amien. Penulis menyadari bahwa segala sesuatu tidaklah luput dari kesalahan, oleh karena itu penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini serta mengharapkan kritik dan saran untuk dapat memperbaikinya. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Januari 2009
Nur Laela
20
DAFTAR ISI Halaman RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ i KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFTAR ISI .................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
vi
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Hurried children ............................................................................... Anak Usia Sekolah Dasar ................................................................ Stres pada Anak .............................................................................. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres .........................................
4 5 5 8
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................
13
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu penelitian ............................................ Contoh dan Cara Penarikan Contoh................................................ Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................. Pengolahan dan Analisa Data ......................................................... Definisi Operasional.........................................................................
15 15 16 16 21
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................ Karakteristik Contoh ........................................................................ Karakteristik Keluarga...................................................................... Alokasi waktu ................................................................................... Aktivitas di Luar sekolah .................................................................. Persepsi terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua terhadap anak................................................................... Tingkat stres .................................................................................... Hubungan Antar Variabel ................................................................ Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat stres...................
23 25 26 32 37 39 44 47 50
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
55
LAMPIRAN ..................................................................................................
58
21
DAFTAR TABEL Halaman 1 Variabel dan reliabilitasnya....................................................................... 18 2 Variabel dan cara pengkategorian............................................................ 19 3 Karakteristik SD Bina Insani ..................................................................... 23 4 Struktur kurikulum SD Bina Insani ............................................................ 24 5 Beban balajar tatap muka keseluruhan di SD Bina Insani ....................... 24 6 Sebaran contoh menurut jenis kelamin .................................................... 26 7 Sebaran contoh menurut usia anak saat masuk SD…………………….. 26 8 Sebaran contoh menurut besar keluarga ................................................. 27 9 Sebaran orangtua contoh berdasarkan usia saat ini ................................ 28 10 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua saat anak pertama lahir .... 29 11 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orangtua................................ 30 12 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan utama orangtua ...................... 31 13 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan total ayah............................. 31 14 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan ibu ....................................... 32 15 Sebaran contoh berdasarkan alokasi waktu dalam satu hari ................. 33 16 Sebaran contoh menurut jenis kegiatan di luar sekolah dalam satu minggu......................................................................................................37 17 Sebaran contoh menurut jumlah kegiatan di luar sekolah dalam satu minggu......................................................................................................38 18 Sebaran contoh berdasarkan inisiator kegiatan di luar sekolah ............ 39 19 Sebaran contoh menurut skor rata-rata pernyataan persepsi .............. 40 20 Sebaran contoh menurut kategori persepsi........................................... 42 21 Sebaran ibu contoh menurut skor rata-rata pernyataan persepsi ....... 43 22 Sebaran contoh menurut kategori persepsi ibu ..................................... 44 23 Sebaran contoh berdasarkan seringnya mengalami gejala stres.......... 45 24 Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres ............................................ 46 25 Hubungan antara jenis kelamin dengan jenis, jumlah, dan alokasi waktu aktivitas di luar sekolah .............................................................. 47 26 Hubungan antara alokasi waktu aktivitas di luar sekolah dan persepsi contoh .................................................................................................... 48 27 Hubungan antara persepsi anak dengan tingkat stres ........................... 49 28 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat stres ......................... 50
22
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran Tingkat Stres pada Anak Sibuk dan tidak sibuk...... 14 2 Metode pengambilan contoh ................................................................... 16
23
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Variabel dan reliabilitasnya……………………………………………..........58 2 Uji normalitas ............................................................................................ 59 3 Contoh jadwal pelajaran anak SD Bina Insani……………………………...60
24
PENDAHULUAN Latar Belakang Seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi, dunia menuntut tenaga kerja yang semakin handal untuk menjalankan sektor-sektor penting dalam kehidupan. Tenaga kerja yang dibutuhkan bukan hanya manusia yang pandai, namun juga memiliki ketrampilan, keluasan wawasan, menguasai teknologi, memiliki kemampuan bekerjasama, dan sebagainya. Semakin sulitnya mencari pekerjaan menyebabkan angka pengangguran melonjak tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran baru semenjak Agustus 2004 hingga Februari 2005 bertambah sebanyak 600 ribu jiwa. Tak dapat dipungkiri bahwa hal ini menyebabkan sebuah kekhawatiran tersendiri bagi para orangtua akan nasib dan kesejahteraan anak-anaknya dikemudian hari. Kekhawatiran ini membuat banyak orangtua membekali berbagai ketrampilan dan pengetahuan baik kurikuler maupun ekstrakurikuler kepada anaknya sedini mungkin. Dua
puluh
memperkenalkan
tahun
yang
lalu,
sebuah
istilah
baru
ahli
psikologi
yakni
hurried
Amerika,
Elkind
children
untuk
menggambarkan fenomena anak yang dipercepat perkembangnya. Salah satu cirinya adalah anak diberi berbagai aktivitas ekstrakurikuler setiap minggu yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan di bidang akademik, sosial, olahraga, budaya, dan kemampuan psikologi. Berbagai aktivitas tersebut dilakukan di bawah pengawasan orangtua sehingga bukan sekedar untuk bersenang-senang, namun lebih diarahkan pada pencapaian tujuan (Gross tt). Menurut memperoleh
Hurlock
dasar-dasar
(2002),
anak
pengetahuan
usia yang
sekolah
dasar
dianggap
diharapkan
penting
untuk
keberhasilan penyesuaian diri dalam kehidupan dan mempelajari berbagai ketrampilan penting tertentu baik ketrampilan kurikuler maupun ekstrakurikuler. Meskipun demikian, sebaiknya kegiatan tersebut tidak terlalu banyak dan membebani anak serta dilakukan berdasarkan kemauan anak dan bukan tekanan dari orang tua. Penelitian Universitas Michigan pada tahun 1997 menyatakan bahwa anak sekolah di Amerika hanya memiliki waktu bebas yang digunakan sesuai keinginannya sebanyak 30.0 persen dari jumlah waktunya dalam sehari (Mindock 1999). Elkind khawatir dengan banyaknya aktivitas ekstrakurikuler, anak akan kehilangan waktu luang untuk permainan tidak
25
terstruktur, berkhayal, menjelajahi diri dan lingkungannya sehingga rentan mengalami stres (Anonim 2002). Menurut Alvin (2007), anak-anak masa kini menghadapi apa yang seharusnya menjadi masalah orang dewasa lebih dini dalam kehidupannya. Tidak seperti anak-anak di generasi lalu yang memiliki banyak waktu untuk bermain setelah pulang sekolah bersama dengan teman-temannya, anak-anak sekarang sulit untuk mendapatkan waktu seperti itu.
Menurut survei yang
dilakukan oleh Radani Edutainment terhadap 300 responden di wilayah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), hanya sekitar 25 persen anak yang dapat bermain sesuai dengan keinginannya. Dua aktivitas yang paling banyak dilarang oleh para orangtua adalah bermain video games (50.0%) dan bermain di luar rumah (30.0%). Sekitar 60.0 persen anak-anak di Jabodetabek lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengikuti kegiatan les sepulang dari sekolah (Anonim 2007). Data dari The National Mental Health Assosiation menunjukkan satu dari tiga anak di Amerika menderita depresi. Menurut Denta, pakar psikiatri anak di Universitas Hokaido, tingkat kecenderungan depresi secara keseluruhan pada anak usia 6-15 tahun di Jepang adalah sebesar 13.0 persen. Di Indonesia memang belum terdapat data statistik yang pasti mengenai kasus depresi pada anak, meskipun demikian, maraknya kasus bunuh diri yang terjadi pada anak usia sekolah mengindikasikan bahwa anak-anak Indonesia pun rentan mengalami depresi. Depresi merupakan gangguan kejiwaan yang berat dan kronis, bermula dari stres ringan yang tidak ditangani dengan tepat atau dibiarkan saja sehingga akhirnya menumpuk (Imam 2007). Hal ini semakin diperkuat
oleh
pernyataan
Manarosana
dalam
Sjafriani
(2007)
yang
mengemukakan bahwa dalam lima tahun terakhir ini, stres di kota besar cenderung mengalami peningkatan, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas. Salah satu fenomena menarik ialah semakin mudanya usia penderita stres. Jika beberapa tahun yang lalu, stres lebih banyak dialami oleh usia produktif diatas 20 tahun, kini stres banyak diderita oleh anak usia remaja, bahkan dalam beberapa kasus, anak-anak diperkirakan telah mengalami stres. Fenomena tersebut menegaskan mengenai pentingnya mempelajari tingkat stres pada anak usia sekolah dasar yang sibuk dan tidak sibuk. Apakah meningkatnya aktivitas di luar sekolah dan berkurangnya alokasi waktu untuk bermain mempengaruhi tingkat stres anak?. Bagaimanakah pengaruh faktor
26
internal (persepsi anak, umur saat masuk sekolah dasar, serta jenis kelamin) dan faktor eksternal (persepsi ibu dan keadaan sosial ekonomi keluarga) terhadap stres pada anak?. Hal inilah yang diantaranya melandasi pentingnya dilakukan penelitan yang mempelajari tingkat stres pada anak sibuk dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada anak usia sekolah dasar yang sibuk dan tidak sibuk. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi karakteristik contoh (umur saat masuk sekolah dasar dan jenis kelamin) 2. Mengidentifikasi karakteristik keluarga contoh (besar keluarga, umur, pendidikan, pekerjaan serta pendapatan orangtua) 3. Mengidentifikasi alokasi waktu dan aktivitas contoh di luar sekolah 4. Mengidentifikasi persepsi contoh dan ibu contoh terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua terhadap anak. 5. Membandingkan tingkat stres pada anak sibuk dan tidak sibuk 6. Menganalisis hubungan berbagai variabel dalam penelitian 7. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres contoh Kegunaan Penelitian 1. Bagi peneliti, karya ilmiah ini bermanfaat sebagai sarana berlatih dan mempelajari fenomena yang terdapat di masyarakat, menganalisisnya dan menjadikannya sebuah informasi yang bermanfaat untuk orang lain. 2. Bagi para orangtua dan generasi muda, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sarana kajian ilmiah aktivitas di luar sekolah dan kaitannya dengan tingkat stres anak. 3. Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
informasi
kepada
masyarakat kaitannya dengan tingkat stres pada anak, sehingga masyarakat diharapkan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini.
27
TINJAUAN PUSTAKA Hurried Children Abdullah (2005) mendefinisikan hurried children sebagai anak yang mendapatkan banyak beban belajar dan terus menerus bekerja dalam deraan waktu; dipaksa untuk menguasai pelajaran dalam waktu yang cepat; serta dipaksa untuk menguasai tugas akademik lebih dini. Sedangkan Elkind (1988) diacu oleh Mindock (1999) menyatakan bahwa hurried children adalah anak yang dipercepat baik fisik, psikologis ataupun sosial untuk menjadi dewasa sebelum waktunya. Gasell dan Thompson (1976) membuktikan melalui percobaan terhadap anak kembar identik, bahwa latihan yang diberikan kepada seorang anak sebelum anak mencapai tahapan kematangan untuk dapat menerima suatu latihan, tidak akan berhasil bahkan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan pada perkembangan aspek-aspek lain (Gunarsa & Gunarsa 2006). Hurried children dapat mengalami gangguan tidur, depresi, kehilangan keinginan untuk belajar, ketakutan apabila mengalami kegagalan, bahkan melakukan percobaan bunuh diri (Gross tt). Menurut Amstrong (2004), hurried children dapat mengalami sakit kepala, ketidakbahagiaan dalam kehidupan, hiperaktif,
dan
kehilangan
motivasi.
Elkind
dalam
Anonim
(2002)
mengkhawatirkan anak-anak tersebut akan kehilangan waktu bebas untuk bermain, berkhayal, menemukan diri dan lingkungannya. Hurried children seringkali tertidur di kelas karena mereka merasa kelelahan akibat aktivitas yang padat. Meskipun demikian, Dockett dalam Anonim (2002) mengemukakan bahwa efek dari hurried children tidak selamanya buruk. Beragamnya kegiatan dapat menyebabkan anak memiliki ketrampilan dan kemampuan. Selain itu, anak juga dapat belajar untuk menjadi bagian dari suatu kelompok, belajar bergaul dengan berbagai macam orang, dan memiliki kebahagiaan karena rasa bangga orangtua akan prestasi anak. Sunarti et al. (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Ekologi Pengasuhan Anak : Keragaan Anak-anak Sibuk dan Tergesa-gesa
(Hurried
Children) serta Faktor yang Mempengaruhinya” mendefinisikan anak sibuk sebagai anak yang anak yang memiliki ≥ 4 macam kegiatan di luar sekolah (les, kursus, bimbingan belajar, ekstrakurikuler) dalam satu minggu. Anak sibuk disebut hurried children jika memiliki jumlah kegiatan di luar sekolah yaitu ≥ empat macam kegiatan per minggu, lama waktu kegiatan anak per hari ≥ satu
28
jam per hari dan terdapat minimal satu kali jeda waktu antar kegiatan yang singkat (≤ setengah jam) dalam seminggu. Anak Usia Sekolah Dasar Menurut Nasution (1994), masa usia sekolah sering disebut dengan masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar yakni ketika anak berumur kurang lebih 9 atau 10 tahun hingga umur 12 atau 13 tahun. Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini antara lain adalah sebagai berikut: a. adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret. Hal Ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan secara praktis. b. realistis, keingintahuan serta minat belajar tinggi c. menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus. d. sebelum usia 11 tahun, anak masih membutuhkan bantuan orang dewasa atau guru untuk menyelesaikan tugasnya atau memenuhi keinginannya, namun setelah sekitar usia 11 tahun, pada umumnya anak menghadapi tugastugasnya dengan mandiri dan berusaha menyelesaikannya sendiri. e. pada masa ini, anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat bagi prestasi anak. f. anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk dapat bermain bersama. Akhir masa kanak-kanak (late childhood) berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Pada awal dan
akhirnya,
masa
kanak-kanak
ditandai
oleh
kondisi
yang
sangat
mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Selama satu atau dua tahun terakhir dari masa kanak-kanak terjadi perubahan fisik yang menonjol dan hal ini juga dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku. (Hurlock 2002). Stres pada Anak Imam (2007) mengemukakan bahwa stres merupakan respon fisiologis, psikologis, dan perilaku dari seseorang untuk mencari penyesuaian terhadap tekanan yang bersifat internal maupun eksternal. Sedangkan Lyness (2007)
29
menyebutkan bahwa stres adalah perasaan yang terjadi ketika seseorang bereaksi terhadap kejadian tertentu. Hal ini merupakan cara agar tubuh dapat siap
menghadapi
situasi
dengan
konsentrasi,
kekuatan,
stamina,
dan
kewaspadaan yang tinggi. Terkadang stres bersifat normal dan dapat diprediksikan dalam kehidupan sehari-hari. Stres dapat membentuk seseorang untuk belajar dan mempersiapkan diri secara lebih baik, misalnya, stres ketika hendak menghadapi peristiwa penting. Hal ini menerangkan bahwa stres tidak selalu berkonotasi negatif. Stres dapat memacu seseorang untuk lebih memotivasi, menyesuaikan, dan mempersiapkan diri; membuat keputusan serta mencari solusi. Hal inilah yang dinamakan dengan stres positif (eustres) (Imam 2007). Meskipun demikian stres yang berlarut-larut dapat menyebabkan banyak masalah (Ruffin 2001). Dalam pengertian umum, stres terjadi jika seseorang dihadapkan dengan peristiwa yang dirasakan mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya (Atkinson et al. 2000). Meskipun demikian, reaksi seseorang terhadap peristiwa stres sangat berbeda dan bersifat subjektif, sangat tergantung pada konsep diri dan ketahanan mental. Sebagian orang yang menghadapi peristiwa stres, mengalami masalah psikologis atau fisik serius, sedangkan orang lain yang berhadapan dengan peristiwa stres yang sama, tidak mengalami apa-apa dan bahkan mungkin merasa peristiwa itu sebagai suatu yang menantang atau menarik. Hal ini dikaitkan dengan persepsi terhadap stressor (sumber stres). Stres dalam dunia anak terjadi apabila anak merasa tidak mampu untuk menahan tekanan-tekanan yang berasal dari luar dirinya (external pressure), misalnya tekanan dari teman-teman, keluarga dan sekolah; atau dari dalam dirinya sendiri (internal pressure) (Anonim 2003). Anak-anak bereaksi terhadap stres melalui cara yang berbeda-beda. Beberapa anak mungkin dapat sakit, beberapa dapat mengalami ketegangan dan menarik diri dari lingkungan, sedangkan yang lainnya, dapat menunjukkan amarah dan menjadi manja. Meskipun demikian, terdapat juga beberapa anak yang tidak mengalami kesulitan oleh stres. Anak-anak seperti ini
dikenal sebagai anak yang tabah
(Ruffin 2001). Stres muncul sebenarnya sebagai manifestasi dari perasaan cemas yang membuat anak tertekan dan merasa tidak mampu mengatasinya. Anak usia sekolah awal terkadang akan mengekspresikan perasaan secara langsung. Beberapa anak mungkin akan memendam stres dan menunjukkannya melalui
30
kesedihan, depresi, atau menarik diri dari lingkungan. Anak yang lain mungkin mengekspresikan perasaan stres keluar dan mulai berperilaku tidak pantas misalnya mencuri dan berbohong (Longo tt). Baik kejadian negatif maupun positif dapat menyebabkan stres. Kejadian dalam keluarga seringkali merupakan sumber stres pada anak. Perpecahan dalam keluarga, kekerasan fisik, perpisahan, pertengkaran merupakan contoh sumber stres yang negatif. Kejadian lain seperti orangtua kehilangan pekerjaan dan kematian anggota keluarga, dapat juga menciptakan stres. Kejadian positif juga mampu menyebabkan stres pada anak, misalnya pesta ulang tahun, memiliki peliharaan baru, dan kelahiran adik baru (Ruffin 2001). Hal yang paling sering menimbulkan stres adalah situasi yang mengancam dan menimbulkan rasa tidak aman. Bagi anak, sedikit perubahan atau kehilangan sesuatu atau seseorang yang disayangi maupun situasi yang bisa mengancam rasa aman atau kasih sayang dan perhatian bisa menjadi sumber stres yang besar, misalnya, pindah rumah, perceraian orangtua, masuk sekolah, pindah sekolah, ditinggal orang terdekat, kematian orang terdekat atau binatang kesayangan (Anonim 2005). Kondisi fisik yang menurun, misalnya seperti seringkali sakit untuk jangka waktu lama, juga membuat anak tertekan dan daya tahan tubuhnya melemah, sehingga mempengaruhi pula ketahanan mentalnya. Sibling Rivalry (persaingan antar saudara) juga dapat menimbulkan stres pada anak, karena hal tersebut berpengaruh pada kedudukan anak di rumah (Anonim 2005). Orangtua yang sering menuntut akan semakin memperbesar rasa stres pada diri anak, misalnya, orangtua yang ambisius dan menuntut anaknya agar prestasi akademiknya baik atau menjadi juara di sekolah (Anonim 2003). Menurut Anton (2006), salah satu penyebab terjadinya stres pada anak-anak adalah rasa khawatir orangtua mengenai prestasi anak. Kecemasan orangtua akan prestasi anak kemudian membuat orangtua memberikan berbagai kursus tanpa menyediakan ruang dan waktu untuk bermain dan bersosialisasi, sehingga membuat anak merasa jenuh dengan rutinitasnya dan prestasi menjadi menurun. Stres pada anak terhadap kejadian di sekolah dapat disebabkan oleh beban pekerjaan rumah (PR) dan tugas yang terlalu banyak, adanya guru atau seseorang yang ditakuti sehingga membuat anak merasa kurang percaya diri, terasing, diejek, dimusuhi, dianggap lemah, dan tidak diajak bermain oleh temantemannya (Anton 2006).
31
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres pada Anak Karakteristik Anak Usia masuk sekolah. Menurut Nurdadi (2001), seorang anak dikatakan telah pantas masuk sekolah dasar (SD) apabila telah mencapai kematangan untuk duduk di kelas 1 SD. Adapun kematangan tersebut meliputi : • kematangan fisik, termasuk kematangan fungsi-fungsi motorik halus. Anak telah siap untuk menulis, misalnya. • kemampuan memusatkan perhatian dalam jangka waktu yang cukup lama • kemampuan menerima otoritas, sehingga bersedia mendengarkan perintah • kemampuan mengendalikan emosinya • kemandirian, misalnya mengurus diri sendiri di toilet, memakai sepatu, makan, dan lain-lain. Menurut Suhesti (2003), anak yang mogok sekolah kemudian mengalami stres dapat disebabkan karena faktor usia yang belum matang. Usia mempengaruhi kematangan seorang anak untuk masuk SD. Meskipun demikian, banyak orangtua yang berkeinginan untuk sesegera mungkin mendaftarkan anaknya ke SD meskipun usia anak belum cukup. Mungkin pada awalnya, saat anak duduk di kelas satu atau dua anak dapat mengikuti pelajaran yang diberikan. Tetapi selanjutnya, saat anak berada di kelas lima atau enam akan merasa bosan, jenuh, atau malas, sehingga harus selalu dibimbing atau diberikan semangat. Hal tersebut berbeda dengan anak yang sudah matang. Jenis Kelamin. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki motivasi belajar yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan anak perempuan (Anonim 1998). Penelitian di Taiwan tahun 2007, menemukan bahwa anak perempuan kehilangan waktu untuk bermain dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca, kegiatan ektrakurikuler, rutinitas, dan aktivitas lain yang dipilih oleh orangtuanya (Newman et al. 2007). Karakteristik Keluarga Besar keluarga. Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga. Elkind mengemukakan bahwa makin sedikitnya jumlah anak merupakan salah satu hal yang menyebabkan makin meningkatnya harapan orangtua terhadap anak (Anonim 2002). Meskipun demikian, harapan yang terlalu tinggi dan berlebihan pada anak justru dapat membuat anak mengalami tekanan yang akhirnya memicu terjadinya stres.
32
Pendidikan orangtua. Tingkat pendidikan orangtua mempunyai korelasi yang positif terhadap cara mendidik dan mengasuh anak. Tingkat pendidikan baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi cara, pola, kerangka berpikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadian yang nantinya merupakan bekal dalam berkomunikasi (Gunarsa & Gunarsa 1995 dalam Astuti 2007). Menurut Alvin (2007), di kalangan orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi dan informasi yang lebih banyak, persaingan untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki kemampuan dalam segala aspek juga semakin meningkat. Pendapatan orangtua. Pada golongan ekonomi yang lebih tinggi, Persaingan untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki kemampuan di berbagai aspek juga semakin meningkat (Alvin 2007). Kegiatan les, kursus, dan tambahan ketrampilan lain biasanya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini menjadi alasan mengapa anak sibuk biasanya berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas. Umur orangtua. Elkind mengemukakan bahwa makin sedikitnya jumlah anak dan semakin tuanya usia orangtua pada saat memiliki anak membuat mereka memiliki harapan yang lebih tinggi pada anaknya. Orangtua dianggap bukanlah orang tua yang baik jika tidak memberikan 101 aktivitas pada anak seperti anak-anak yang lain (Anonim 2002). Harapan orangtua. Orangtua yang sering menuntut akan semakin memperbesar rasa stres pada diri anak, misalnya orangtua yang ambisius dan menuntut anak agar prestasi akademiknya baik atau menjadi juara di sekolah (Anonim 2003). Salah satu penyebab terjadinya stres pada anak adalah rasa khawatir dari orangtua mengenai prestasi anak (Anton 2006). Kecemasan orangtua akan prestasi anak kemudian membuat anak diberi berbagai kursus tanpa memperhitungkan waktu untuk bermain dan bersosialisasi, sehingga membuat anak merasa jenuh dengan rutinitasnya dan prestasi menjadi menurun. (Ruffin 2001). Salah satu alasan yang menyebabkan orangtua memberikan anaknya berbagai macam aktivitas ekstrakurikuler adalah karena menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Orangtua beranggapan bahwa bermain dan waktu luang merupakan hal yang sia-sia. Orangtua juga merasa bahwa lingkungan bermain seperti taman dan jalan raya sudah tidak seaman dahulu (Anonim 2002). Adanya harapan terpendam dari orangtua yang tidak tercapai juga menjadi salah satu penyebab diberikannya bebagai aktivitas pada anak, sebagai
33
contohnya adalah keinginan orangtua untuk menjadi seorang atlet renang yang handal, namun tidak tercapai. Hal ini mendorong orangtua untuk memberikan kursus renang pada anaknya. Para orangtua berpendapat bahwa jika anak dapat merealisasikan impian masa kecilnya, maka hal tersebut belum terlambat (Anonim 2002). Juan dalam Anonim (2002) mengatakan bahwa ambisi orangtua berkaitan dengan kondisi ekonomi. Dalam era globalisasi, meskipun kesejahteraan meningkat namun
untuk memperolehnya juga semakin sulit. Orangtua
beranggapan bahwa jika anak sukses di kelak kemudian hari maka orangtua tidak akan terlalu dirugikan. Alokasi Waktu Dan Aktivitas Anak Alokasi waktu anak antara lain dipergunakan untuk: 1) pekerjaan rumah tangga (membantu ibu dan membersihkan tempat tidur), 2) kegiatan sosial dan pendidikan (belajar, sekolah, les, dan ekstrakurikuler), 3) kegiatan pribadi (mandi, beribadah), dan 4) waktu luang (rekreasi, menonton, dan olahraga) (Suprihatin 1992). Menurut Soekirman et al. (1999) dalam Agustina (2003), aktivitas utama anak sekolah digolongkan dalam 8 kegiatan yaitu 1) belajar selama jam sekolah, 2) belajar diluar jam sekolah, 3) menonton TV, 4) bermain, 5) olahraga, 6) membantu pekerjaan orangtua, 7) tidur siang, dan 8) tidur malam. Menurut Craig et al. (1986) diacu dalam Agustina (2003), kegiatan anak sekolah dibagi menjadi 1) aktivitas belajar di sekolah, 2) aktivitas bermain, 3) aktivitas olahraga, dan 4) aktivitas ektrakurikuler. Sebuah penelitian dari Universitas Michigan menemukan bahwa sejak tahun 1981, anak-anak Amerika telah kehilangan sekitar 30 menit setiap harinya atau sekitar 4 jam per minggu untuk bermain dan aktivitas di luar rumah. Waktu luang yang tersedia setelah kegiatan makan, tidur, perawatan pribadi, dan sekolah, berkurang dari 40 persen menjadi 25 persen setiap harinya (Anonim 2002). Banyaknya aktivitas setelah pulang sekolah dapat memicu terjadinya stres, karena terlalu banyak hal yang harus dilakukan, waktu untuk hiburan dan rekreasi tidak mencukupi, serta tidak memiliki waktu luang untuk bersama keluarga dan teman (Delongis et al. 1988 diacu dalam Johson 2004). Penelitian Universitas Michigan pada tahun 1997 menyatakan bahwa anak sekolah di Amerika hanya memiliki waktu bebas yang digunakan sesuai keinginannya sebanyak 30 persen dari jumlah waktunya dalam sehari (Mindock 1999).
34
Persepsi Persepsi dapat diartikan sebagai proses mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungannya (Atkinson et al. 2000). Persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungan, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Pengertian tentang persepsi yang lebih spesifik dikemukakan oleh McMahon dan McMahon (1986) diacu dalam Endaryanto (1999), yakni merupakan proses penyusunan informasi untuk membuat penafsiran dan pengertian. Karena itu, persepsi merupakan proses komunikasi yang timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang masuk ke dalam otak kemudian diartikan, ditafsirkan, dan diberi makna melalui proses yang rumit sehingga akhirnya terbentuk persepsi. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi (Thoha 1986 diacu dalam Endaryanto 1999). Berlo (1960) dalam Endaryanto (1999) mengemukakan bahwa individu dalam memberikan makna terhadap suatu stimuli seringkali tidak sama antara individu yang satu dengan lainnya, tergantung pada faktor-faktor tertentu yang ada di dalam dan di luar individu tersebut yang dapat mempengaruhi persepsinya. Akibatnya tidak jarang terjadi ketidaksamaan persepsi antara individu yangn satu dengan lainnya tentang obyek yang sama, sehingga peluang terjadinya kesalahan mempersepsikan selalu ada. Myers (1988) diacu dalam Endaryanto (1999) mengemukakan bahwa setiap individu berbeda kebutuhan, motivasi, minat, dan lain-lainnya. Hal inilah yang menyebabkan persepsi individu terhadap sesuatu cenderung menurut kebutuhan, minat, dan latar belakang masing-masing. Persepsi seseorang terhadap suatu hal akan mempengaruhi respon terhadap hal tersebut. Dalam kaitannya dengan stres, persepsi umumnya dikelompokkan menjadi positif dan negatif. Menurut Hayslip dan Panek (1989) diacu dalam Endaryanto (1999), persepsi terhadap stres akan mempengaruhi tingkat stres dan responnya terhadap sumber stres.
35
KERANGKA PEMIKIRAN Manarosana dalam Sjafrani (2007) mengemukakan bahwa saat ini stres banyak diderita oleh anak usia remaja, bahkan dalam beberapa kasus, anakanak diperkirakan telah mengalami stres. Stres pada anak usia sekolah dasar dapat dipengaruhi oleh tingginya alokasi waktu anak untuk kegiatan di luar sekolah. Hal ini disebabkan karena terlalu banyak hal yang harus dilakukan, waktu untuk hiburan dan rekreasi tidak mencukupi, serta tidak memiliki waktu luang untuk bersama keluarga dan teman (Delongis et al. 1988 diacu dalam Johson 2004). Selain dari segi alokasi waktu dan aktivitas di luar sekolah, tingkat stres pada anak sibuk dapat dipengaruhi oleh faktor yang lain, yaitu karakteristik anak, karakteristik keluarga, persepsi anak serta persepsi ibu. Stres dari segi karakteristik anak dapat ditinjau dari jenis kelamin serta umur pada saat mendaftar SD. Usia anak yang masih terlalu dini ketika masuk sekolah dapat mengakibatkan anak menjadi jenuh dan bosan ketika di akhir masa sekolah (Suhesti 2003). Karakteristik keluarga juga dapat mempengaruhi tingkat stres anak. Perbedaan karakteristik sosial ekonomi keluarga seperti pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan usia orangtua serta persepsi ibu tentang aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua pada anak diduga memiliki kaitan dengan tingkat stres anak. Elkind mengemukakan bahwa semakin sedikitnya jumlah anak dan semakin tuanya usia orangtua pada saat memiliki anak merupakan beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya harapan orangtua pada anak (Anonim 2002). Persepsi anak dan ibu terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua terhadap anak diduga ikut mempengaruhi tingkat stres anak. Menurut Hayslip dan Panek (1989) diacu dalam Endaryanto (1999), persepsi terhadap sumber stres akan mempengaruhi tingkat stres dan responnya terhadap sumber stres tersebut. Secara umum, penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat stres pada anak sekolah dasar (anak sibuk dan tidak sibuk) yakni ditinjau dari segi karakteristik anak, karakteristik keluarga, persepsi anak dan ibu, serta aktivitas dan alokasi waktu anak.
36
Karakteristik anak Umur Jenis Kelamin
-
Persepsi Anak terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua pada anak
Aktivitas dan alokasi waktu Di Luar Sekolah
Sekolah Tingkat Stres Anak usia sekolah Dasar
- Pendidikan orangtua - Pendapatan orangtua - Pekerjaan orangtua -
Interaksi dengan teman
• Anak sibuk • Anak tidak sibuk Kurikulum - mata ajaran - PR
Karakteristik keluarga - Besar Keluarga
Interaksi dengan Guru
Persepsi Ibu terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua pada anak
Umur orangtua
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Tingkat Stres pada Anak Sibuk dan Tidak Sibuk
58
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tingkat stres pada anak usia sekolah dasar ini menggunakan desain cross sectional study, yakni penelitian dilaksanakan pada satu waktu tertentu. Penentuan lokasi penelitian menggunakan metode purposive, yaitu dengan pertimbangan bahwa sekolah merupakan sekolah dasar swasta favorit yang memiliki jadwal yang padat dan jumlah anak yang memiliki aktivitas di luar sekolah cukup tinggi, sehingga terpilih SD Bina Insani Bogor. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2008. Contoh dan Cara Penarikan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah anak kelas 5 sekolah dasar (SD), dengan pertimbangan anak memiliki waktu yang lebih banyak untuk melakukan kegiatan di luar sekolah (les/kursus/bimbingan/klub olahraga). Kriteria anak sibuk dalam penelitian ini berbeda dengan kriteria Sunarti et al. (2006). Jika dalam Sunarti et al. (2006) kriteria anak sibuk didasarkan pada jumlah kegiatan di luar sekolah (anak sibuk adalah anak memiliki ≥ 4 macam kegiatan di luar sekolah dalam satu minggu), maka dalam penelitian ini, kriteria anak sibuk didasarkan pada alokasi waktu untuk kegiatan di luar sekolah. Jumlah siswa kelas 5 SD Bina Insani adalah sebanyak 119 anak. Pada tahap awal pemilihan contoh, dilakukan proses penyaringan siswa melalui penyebaran kuisioner tentang jumlah dan alokasi waktu aktivitas di luar sekolah yang dilakukan dalam satu minggu. Dari proses penyaringan tersebut, ternyata hanya 99 siswa yang mengisi kuisioner dengan benar dan lengkap. Selanjutnya 99 siswa tersebut diurutkan berdasarkan alokasi waktu kegiatan di luar sekolah yang dilakukan. Contoh anak sibuk dipilih berdasarkan urutan 30 teratas untuk alokasi waktu kegiatan di luar sekolah sedangkan contoh anak tidak sibuk dipilih berdasarkan urutan 30 terendah. Dari data tersebut, diperoleh kriteria anak sibuk adalah anak yang memiliki alokasi waktu aktivitas di luar sekolah ≥ 7 jam setiap minggu dan anak tidak sibuk adalah anak yang memiliki alokasi waktu aktivitas di luar sekolah ≤ 3 jam setiap minggu. Total contoh dalam penelitian ini adalah sebanyak 60 anak (Gambar 2).
59
Sekolah dasar di Bogor
SD Bina Insani (purposive)
Jumlah anak kelas 5 = 119 anak
Anak yang mengisi quisioner dengan benar = 99 anak
Anak sibuk = 30 anak (purposive) ( aktivitas di luar sekolah ≥ 7 jam perminggu )
Anak tidak sibuk = 30 anak (purposive) ( aktivitas di luar sekolah ≤ 3 jam perminggu)
Gambar 2 Metode penarikan contoh. Jenis dan Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik anak (umur saat masuk SD dan jenis kelamin anak), karakteristik keluarga (besar keluarga, usia, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan orangtua), persepsi anak dan ibu terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua, aktivitas dan alokasi waktu kegiatan di luar sekolah anak, serta tingkat stres pada anak. Data primer tersebut diperoleh melalui record oleh anak dan wawancara. Data sekunder dalam penelitian ini mencakup gambaran umum lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari keterangan pihak sekolah dan buku komunikasi SD Bina Insani. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh kemudian diolah melalui proses pengecekan, coding, dan scoring. Pada mulanya data dari kuisioner ditransfer ke dalam microsoft exel, selanjutnya dianalisis menggunakan SPSS 13.0 for windows. Analisis data yang dilakukan meliputi statistika deskriptif (modus, mean, minimum, maksimum) dan inferensia (uji beda, korelasi, dan regresi).
60
Karakteristik anak yang diamati dalam penelitian ini adalah jenis kelamin dan umur anak saat masuk sekolah dasar (SD). Jenis kelamin dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan, sedangkan umur saat masuk SD diukur berdasarkan umur anak (diketahui dari tanggal lahirnya) per Juli 2003 (tahun ajaran baru saat anak masuk kelas 1 SD). Data karakteristik keluarga mencangkup besar keluarga, usia (usia saat ini dan usia saat anak pertama lahir), pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan orangtua. Data alokasi waktu anak diperoleh berdasarkan pencatatan (record) aktivitas oleh anak selama satu minggu (7x24 jam). Alokasi waktu anak yang diperoleh kemudian dibedakan menjadi 7 jenis aktivitas, yaitu aktivitas pribadi, waktu antara, sekolah, tidur, leisure, belajar di rumah, dan aktivitas di luar sekolah anak (les/kursus/bimbingan/klub olahraga). Aktivitas pribadi meliputi aktivitas makan, beribadah, mandi, dan sebagainya. Waktu antara adalah waktu yang digunakan anak untuk melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, termasuk perjalanan dari dan ke tempat kursus/les/bimbingan/klub olahraga. Aktivitas sekolah adalah kegiatan yang dilakukan oleh anak selama berada di sekolah sejak mulai masuk hingga pulang sekolah. Aktivitas tidur dalam penelitian ini dibedakan menjadi tidur siang dan tidur malam. Aktivitas leisure mencakup kegiatan anak yang dilakukan pada saat luang. Dalam penelitian ini, aktivitas leisure dibedakan menjadi bermain, olahraga, menonton televisi, bersantai, melakukan hobi, dan jalan-jalan. Aktivitas belajar anak merupakan kegiatan belajar di rumah yang dilakukan anak seperti membaca buku pelajaran, mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah), mencari literature di internet/media lain, dan mengerjakan tugas kelompok. Aktivitas anak di luar sekolah merupakan kegiatan les/kursus/bimbingan/klub olahraga yang dilakukan oleh anak. Data mengenai aktivitas di luar sekolah anak meliputi jenis dan jumlah aktivitas anak dalam satu minggu serta inisiator kegiatan anak. Jenis kegiatan adalah banyaknya macam kegiatan di luar sekolah yang dilakukan dalam satu minggu, sedangkan jumlah kegiatan merupakan banyaknya frekuensi kegiatan yang dilakukan dalam satu minggu. Inisiator kegiatan adalah orang yang mengusulkan diadakannya aktivitas di luar sekolah. Inisiator kegiatan dalam penelitian ini dibedakan menjadi 5 yaitu: anak; orangtua; anggota keluarga lain (kakak, saudara); anak dan orangtua; serta orangtua dan anggota keluarga lain.
61
Alokasi waktu kegiatan yang telah diperoleh selama satu minggu kemudian dirata-ratakan dalam satu hari dan dihitung dalam satuan jam, yakni untuk mencari persentase rata-rata alokasi waktu dalam sehari. Persepsi anak dan ibu terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orang tua pada anak diukur melalui 15 pertanyaan. Jawaban yang diperoleh dikelompokkan menjadi tidak setuju (skor 1), kurang setuju (skor 2), dan setuju (skor 3) untuk pernyataan positif dan skor yang berlawanan untuk pernyataan yang negatif. Pengkategorian persepsi anak dan ibu dilakukan berdasarkan mean ± standar deviasi. Adapun rumus pengkategoriannya adalah sebagai berikut : ● Rendah adalah kurang dari (mean – standar deviasi) ● Sedang adalah (mean – standar deviasi) hingga (mean + standar deviasi) ● Tinggi/baik adalah lebih besar dari (mean + standar deviasi) Alat ukur tingkat stres yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari Pratama (2005). Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan subyek penelitian. Dalam Pratama (2005), subyek penelitiannya adalah orang dewasa sedangkan dalam penelitian ini adalah anak-anak. Reliabilitas tingkat stres dalam penelitian Pratama (2005) adalah sebesar 0.8041 dan ketika diadaptasi dalam penelitian ini menjadi 0.8607 (Tabel 1). Tabel 1 Variabel dan reliabilitasnya Variabel 1. Tingkat stres (diadaptasi dari Pratama 2005) 2. Persepsi anak Persepsi anak terhadap aktivitas (13 pertanyaan) Persepsi anak terhadap harapan orang tua ( 2 pertanyaan) 3. Persepsi ibu Persepsi ibu terhadap aktivitas anak (11 pertanyaan) Persepsi anak terhadap harapan orang tua (4 pertanyaan)
Reliabilitas (α-cronbah) 0.8607 0.8075 0.8466 0.7304 0.7794
Jawaban tingkat stres dikategorikan menjadi tidak pernah (apabila gejala stres tidak pernah dialami selama 6 bulan terakhir ini), kadang-kadang (apabila dalam 6 bulan terakhir ini gejala stres dialami ≤ 3 kali), dan sering terjadi (apabila dalam 6 bulan terakhir ini gejala stres dialami lebih dari 3 kali). Total skor stres kemudian dibagi dalam 3 kategori berdasarkan mean ± standar deviasi, yakni rendah, sedang, dan tinggi. Tabel 2 menyajikan berbagai variabel yang diteliti serta cara pengkategoriannya.
62
Tabel 2 Variabel dan cara pengkategorian Variabel
Dasar Pengkategorian
Kategori
Karakteristik anak 1. < 6 tahun 2. ≥ 6 tahun 1.Laki-laki 2. Perempuan
● Usia anak saat masuk SD ● Jenis Kelamin Karakteristik Keluarga ● Besar Keluarga
Hurlock (1991)
1.Kecil ( ≤ 4 orang) 2. Sedang (5-6 orang) 3. Besar ( ≥ 7 orang)
Papalia dan Olds (1981)
1. 18-40 tahun (Dewasa muda) 2. 41-65 tahun (dewasa madya) 3. >65 tahun (dewasa lanjut) 1. Usia 20-30 2. Usia 31-40 3. Usia 41-50 1. SMA 2. Perguruan Tinggi
● Usia orang tua - Usia saat ini
- Usia saat anak pertama lahir
● Pendidikan orangtua ● Pekerjaan orangtua (Utama dan tambahan) Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu
● Pendapatan orangtua (Utama dan tambahan) Pendapatan ayah Pendapatan ibu
Alokasi waktu anak (pribadi, waktu antara, sekolah, tidur, leisure, belajar, dan aktivitas di luar sekolah) Aktivitas di luar sekolah anak ● jenis aktivitas dalam satu minggu ● jumlah aktivitas dalam satu minggu ● alokasi waktu aktivitas dalam satu minggu ● Inisiator kegiatan
1. Tidak bekerja (IRT) 2. PNS 3. POLRI 4. Swasta 5. Wiraswasta 6. BUMN 1. < Rp 2.5 juta 2. 2.500.001 – 5 juta 3. 5.000.001 –7.5 juta 4. 7.500.001 – 10 juta 5. > 10 juta
1. Sendiri 2. Orangtua 3. Anggota Keluarga yang lain (kakak, saudara,dll) 4. Sendiri dan orangtua
63
Tabel 2 (Lanjutan) Variabel Persepsi anak
Dasar Pengkategorian Mean± Standar deviasi
● Persepsi anak terhadap aktivitas ● Persepsi anak terhadap harapan orangtua Persepsi orangtua ● Persepsi terhadap aktivitas anak ● Persepsi terhadap harapan orangtua Tingkat stres anak (diadaptasi dari Pratama 2005) Tidak pernah (skor 1) Jarang (skor 2) Sering (skor 3)
Mean± Standar deviasi
Kategori Setuju (skor 3) Kurang setuju(skor 2) Tidak setuju (skor 1) Kurang (skor < 32) Cukup (skor 32-38) Baik (skor > 38) Setuju (skor 3) Kurang setuju(skor 2) Tidak setuju (skor 1) Kurang (skor < 31) Cukup (skor 31-37) Baik(skor > 37)
Mean± Standar deviasi Rendah (skor < 29) Sedang (skor 29-40) Tinggi (skor >40)
Sebelum dilakukan pengujian, data yang diperoleh diuji normalitasnya dahulu. Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji uji normalitas Shapiro-Wilk yakni disebut normal, jika p > 0.05 (Dahlan 2004). Data mengenai uji normalitas secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah itu, data diuji dengan menggunakan uji deskriptif, beda mean, korelasi, dan regresi. 1. Uji deskriptif digunakan pada seluruh variabel yang diamati untuk melihat sebaran contoh menurut variabel yang diteliti 2. Uji beda yang digunakan adalah uji beda Mann Whitney (untuk data ketegorik) dan uji beda t-test (untuk data numerik). Uji beda dilakukan pada seluruh variabel yang diamati yakni untuk melihat ada tidaknya perbedaan pada masing-masing variabel di kedua kelompok contoh (anak sibuk dan tidak sibuk). 3. Uji korelasi Chi-Square dan Rank Spearman untuk mengetahui hubungan antara variabel-variabel yang diteliti, menggunakan SPSS 13.0 4. Uji regresi linear berganda, untuk melihat pengaruh karakteristik anak; karakteristik keluarga, persepsi ibu dan anak; serta aktivitas dan alokasi waktu anak terhadap tingkat stres anak. Y = B0 + B1x1+ B2x2+ B3x3+ B4x4+ B5x5+ B6x6+ B7x7 Y = Tingkat stres B = Unstandardized Coefficients B
64
B0 = Constant X1 = Jenis kelamin X2 = Umur anak saat masuk SD X3 = Alokasi waktu kegiatan di luar sekolah X4 = Alokasi waktu menonton TV X5 = Usia ibu saat anak pertama lahir X6 = Pendapatan utama ayah X7 = Total persepsi anak
Definisi Operasional Contoh adalah anak usia sekolah dasar kelas 5 yang sibuk dan tidak sibuk. Anak sibuk adalah anak yang memiliki waktu aktivitas di luar sekolah ≥ 7 jam setiap minggu Anak tidak sibuk adalah anak yang memiliki waktu aktivitas di luar sekolah ≤ 3 jam setiap minggu Aktivitas di luar sekolah adalah kegiatan informal yang diikuti oleh anak di luar jam sekolah, yang meliputi les, kursus, dan klub olahraga, dan bukan merupakan kegiatan ektrakurikuler di sekolah. Alokasi waktu adalah penggunaan waktu oleh anak dalam 24 jam selama 1 minggu. Alokasi waktu ini dikelompokkan menjadi aktivitas pribadi, waktu antara, sekolah, tidur, leisure, belajar, serta aktivitas di luar sekolah anak. Alokasi waktu kegiatan di luar sekolah adalah penggunaan waktu untuk kegiatan di luar sekolah selama 1 minggu, di luar perjalanan dari dan ke tempat les/kursus/bimbingan. Karakteristik individu adalah ciri-ciri khas anak yang diteliti, yang meliputi umur pada saat masuk SD dan jenis kelamin. Karakteristik keluarga adalah ciri-ciri keluarga contoh, yang diduga ikut mempengaruhi tingkat stres pada anak, yang meliputi besar keluarga, umur, pendidikan, pendapatan, serta pekerjaan orangtua. Besar Keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dan menggunakan sumberdaya yang sama. Pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan formal yang telah diselesaikan oleh orangtua contoh, meliputi SMA dan Perguruan Tinggi. Pendapatan orangtua adalah jumlah pendapatan ayah dan ibu dinyatakan dalam rupiah per bulan.
65
Pekerjaan orangtua adalah jenis pekerjaan yang ditekuni orangtua (pekerjaan tetap dan tambahan) Persepsi anak adalah cara pandang anak terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orang tua terhadap anak. Persepsi ibu adalah cara pandang ibu terhadap aktivitas di luar sekolah anak dan harapan orang tua terhadap anak. Tingkat stres adalah derajat tekanan yang dialami contoh dalam 6 bulan terakhir, meliputi gejala fisik maupun emosional.
66
HASIL DAN PEMBAHASAN SD Bina Insani Penelitian mengenai tingkat stres pada anak usia sekolah dasar ini dilakukan di SD Bina Insani, Jalan K.H Sholeh Iskandar, Tanah Sareal Bogor. SD Bina Insani dipilih secara purposive dengan pertimbangan bahwa SD tersebut merupakan salah satu SD swasta favorit di Bogor dengan populasi siswa yang memiliki kegiatan di luar sekolah (les, kursus, bimbingan, klub olahraga) yang cukup besar. Data mengenai karakteristik SD Bina Insani tercantum dalam Tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Karakteristik SD Bina Insani Karakteristik SD Bina Insani Luas SD Bina Insani Jumlah Ruang •
Kelas paralel
• • • • • • • • •
UKS Perpustakaan Masjid Ruang Guru Ruang Kepala Sekolah Laboratorium komputer Tata Usaha Kantin Lapangan olahaga
Jumlah Guru Pendidikan Guru • S1 • D3/D2/D1 • SMU Jumlah Murid ● Laki-laki ● Perempuan ● Total Jumlah Murid kelas V ● Laki-laki ● Perempuan ● Total Sumber Air Bersih Jumlah Karyawan
Keterangan
18,000 m2
Kelas 1 = 5 buah Kelas 2 = 5 buah Kelas 3 = 6 buah
Kelas 4 = 5 buah Kelas 5 = 4 buah Kelas 6 = 5 buah Total kelas = 30 1 buah 1 buah 1 buah 3 buah 1 buah 2 buah 1 buah 2 buah Lapangan basket = 2 buah Lapangan sepakbola = 1 buah Lapangan bulutangkis = 1 buah Lapangan voli = 1 buah 49 orang 36 orang 9 orang 4 orang 479 anak 402 anak 879 anak 70 anak 49 anak 119 anak PAM TU = 2 orang Kebersihan = 8 orang Keamanan = 8 orang Pustakawan = 2 orang
67
Kurikulum. Kurikulum yang digunakan di SD Bina Insani adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Kurikulum ini disusun oleh satu tim penyusun yang terdiri atas unsur dan komite sekolah dibawah koordinasi dan pengawasan Dinas Pendidikan Kota Bogor, serta bimbingan Pusat Pengembangan Akademik (PPA) Perguruan Bina Insani. Kurikulum SD Bina Insani memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri. Pembelajaran pada kelas 1 hingga kelas 3 dilaksanakan melalui pendekatan tematik sedangkan untuk kelas 4 hingga 6, pembelajaran dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran. Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu. Contoh jadwal pelajaran lengkap siswa kelas 5 SD Bina Insani dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 4 Struktur kurikulum SD Bina Insani (dalam jam pembelajaran per minggu) Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Metematika Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial Seni budaya dan ketrampilan Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan
Alokasi waktu Kelas 1-3 Kelas 4-6 3 2 TEMATIK 5 6 4 3
Muatan lokal Bahasa sunda Bahasa Inggris AL Qur'an Teknologi
Alokasi waktu Kelas 1-3 Kelas 4-6 2 3 TEMATIK 3 2
4 4
Kegiatan pembelajaran di SD Bina Insani dimulai pada pukul 07.15 hingga 14.15 WIB. Kegiatan ini dilaksanakan pada Hari Senin hingga Jum’at, sedangkan Hari Sabtu, aktivitas sekolah diliburkan. Peraturan tersebut dapat berubah pada saat kondisi tertentu, seperti ujian. Apabila sedang ujian, aktivitas sekolah diakhiri pada pukul 11.30 hingga 12.00 WIB, hal ini dimaksudkan supaya anak-anak dapat belajar di rumah untuk mempersiapkan ujian. Tabel 5 Beban belajar tatap muka keseluruhan di SD Bina Insani Kelas
Jumlah jam pembelajaran tiap minggu 26-28
Minggu efektif per tahun ajaran 34-38
Waktu pembelajaran per tahun
1-3
Satu jam pembelajaran tatap muka 35 menit
4-6
35 menit
39
34-38
1088-1216 jam
884-1064 jam
68
Kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler di SD Bina Insani dibedakan menjadi 3 yaitu : 1. Estrakurikuler wajib yakni Pramuka. Esktrakurikuler ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 3 hingga 6. 2. Ekstrakurikuler pilihan terdiri dari : ● Ekstrakurikuler pilihan untuk kelas 1 dan 2 meliputi seni lukis, seni tari, renang, pencak silat, dan paduan suara ● Ekstrakurikuler pilihan untuk kelas 3 hingga 6 terdiri dari ekstrakurikuler sanggar bahasa, English club, sepakbola, pencak silat, karate, renang, seni lukis, paduan suara, band cilik, seni tari, dan marawis. 3. Ekstrakurikuler khusus Ekstrakurikuler khusus yakni ekstrakurikuler yang pesertanya ditunjuk oleh pihak sekolah berdasarkan standar kecakapan masing-masing, yang meliputi ekstrakurikuler drum band, sains club, social club, degungan, tartil Qur’an, dan Da’i cilik. Setiap akhir masa pembinaan ekstrakurikuler, yakni pada bulan April, diadakan kegiatan apresiasi seni. Apresiasi seni adalah ajang kreasi untuk mempertunjukkan kemampuan yang telah diperoleh selama mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Apresiasi seni tahun ajaran 2007/2008 diadakan pada hari Sabtu tanggal 26 April 2008. Setelah apresiasi seni, kegiatan ekstrakurikuler ditiadakan untuk sementara waktu hingga tahun ajaran baru. Hal ini dimaksudkan supaya anak dapat lebih fokus pada persiapan ujian. Karakteristik Contoh Jenis Kelamin Lebih dari separuh (60.0%) contoh anak sibuk berjenis kelamin perempuan. Hal ini sangat berlawanan dengan anak tidak sibuk, yakni sebagian besar (76.7%) contoh berjenis kelamin laki-laki (Tabel 6). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki motivasi belajar yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan anak perempuan (Anonim 1998), termasuk diantaranya jumlah kegiatan di luar sekolah yang dilakukan lebih sedikit. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (p<0.01) pada variabel jenis kelamin diantara kedua kelompok contoh.
69
Tabel 6 Sebaran contoh menurut jenis kelamin Jenis kelamin
Anak sibuk n % 12 40.0 18 60.0 30 100.0
Anak tidak sibuk n % 23 76.7 7 23.3 30 100.0 0.004**
Laki-laki Perempuan Total P-value Keterangan: **= nyata pada p<0.01
Total n
% 58.3 41.7 100.0
35 25 60
Usia Saat Masuk SD Usia mempengaruhi kematangan seorang anak untuk masuk sekolah dasar. Meskipun demikian, banyak orangtua yang berambisi untuk sesegera mungkin mendaftarkan anaknya masuk ke SD meskipun usia anak belum cukup. Sebanyak 40.0 persen anak sibuk dan 36.7 persen anak tidak sibuk masuk sekolah dasar ketika berumur kurang dari 6 tahun (Tabel 7). Tabel 7 Sebaran contoh menurut usia anak saat masuk SD Umur Saat Masuk SD (Tahun) <6 ≥6 Total Min-maks Rata-rata±SD P-value
Anak sibuk
Anak tidak sibuk
n 12 18 30
n 11 19 30
% 40.0 60.0 100.0
5.3-6.6 6.026±0.322
% 36.7 63.3 100.0
5.4-6.7 6.080±0.380 0.561
Total n 23 37 60
% 38.3 61.7 100.0
5.3-6.7 6.04 ± 0.764
Menurut Suhesti (2003), anak yang mogok sekolah kemudian mengalami stres dapat disebabkan karena faktor usia yang belum matang. Mungkin pada awalnya, saat anak duduk di kelas satu atau dua anak dapat mengikuti pelajaran yang diberikan. Tetapi selanjutnya, saat anak berada di kelas lima atau enam akan merasa bosan, jenuh, atau malas, sehingga harus selalu dibimbing atau diberi semangat. Hal ini berbeda dengan anak yang telah matang. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada variabel umur saat masuk SD diantara contoh anak sibuk dan tidak sibuk. Karakteristik Keluarga Contoh Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terikat oleh hubungan perkawinan dan hubungan darah, tinggal dalam satu rumah dengan menjalankan fungsi dan peran tertentu untuk mencapai tujuan yang sama (Guhardja et al. 1992 diacu dalam Kusumaningrum 2004). Karakteristik keluarga
70
yang diamati dalam penelitian ini meliputi besar keluarga, usia, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan orangtua. Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dan menggunakan sumberdaya yang sama. Menurut Hurlock (1991) besar keluarga dibedakan menjadi tiga yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar.
Keluarga kecil memiliki ≤ 4 orang anggota
keluarga, keluarga sedang terdiri dari 5-6 anggota keluarga, dan keluarga besar memiliki ≥ 7 orang anggota keluarga. Tabel 8 Sebaran contoh menurut besar keluarga Besar keluarga Kecil ( ≤ 4 orang) Sedang (5-6 orang) Besar ( ≥ 7 orang) Total Min-maks Rata-rata±SD P-value
Anak sibuk n % 14 46.7 16 53.3 0 0.0 30 100.0 3-6 4.63±0.850
Anak tidak sibuk n % 16 53.3 14 46.7 0 0.0 30 100.0 4-6 4.57±0.679 0.738
Total n 30 30 0 60
% 50.0 50.0 0.0 100.0
3-6 4.60 ± 0.764
Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga contoh berkisar antara 3 hingga 6 orang. Persentase terbesar (53.3%) contoh anak sibuk memiliki besar keluarga sedang, sedangkan persentase terbesar contoh (53.3%) anak tidak sibuk memiliki besar keluarga kecil. Tidak terdapat contoh yang memiliki jumlah anggota keluarga ≥ 7 orang. Uji beda t-test tidak menunjukkan adanya perbedaan (P>0.05) besar keluarga di kedua kelompok contoh. Elkind mengemukakan bahwa makin sedikitnya jumlah anak merupakan salah satu hal yang menyebabkan makin meningkatnya harapan orangtua terhadap anak (Anonim 2002). Meskipun demikian, harapan yang terlalu tinggi dan berlebihan pada anak justru dapat membuat anak mengalami tekanan yang akhirnya memicu terjadinya stres. Usia Orangtua Menurut Papalia dan Olds (1981), usia orangtua dikelompokkan menjadi 3 yaitu dewasa awal (20-40 tahun), dewasa madya (41-65 tahun), serta dewasa akhir (> 65 tahun). Usia orangtua yang diamati dalam penelitian ini dibedakan menjadi usia orangtua saat ini dan usia pada saat anak pertama lahir.
71
Usia Saat Ini. Usia ayah contoh saat ini berkisar antara 34 hingga 52 tahun (Tabel 9). Lebih dari separuh (73.3%) contoh anak sibuk dan sebagian besar (80.0%) contoh anak tidak sibuk memiliki ayah dengan kategori usia dewasa madya (41-65 tahun). Tidak terdapat contoh yang memiliki ayah dengan kategori usia dewasa akhir. Rata-rata ayah contoh pada kedua kelompok berusia 44.1 tahun. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) usia ayah saat ini di kedua kelompok contoh. Tabel 9 Sebaran orangtua contoh berdasarkan usia saat ini Usia Orangtua (Tahun) Usia Ayah Dewasa awal (20-40) Dewasa madya (41-65) Dewasa akhir (>65) Total Min-maks Rata-rata±sd P-value Usia Ibu Dewasa awal (20-40) Dewasa madya (41-65) Dewasa akhir (>65) Total Min-maks Rata-rata±sd P-value
Anak sibuk n %
Anak tidak sibuk n %
n
8 22 0 30
6 24 0 30
20.0 80.0 0.0 100.0 34-50 43.67±3.69 0.386
14 46 0 60
13 17 0 30
13 17 0 30
43.3 56.7 0.0 100.0 31-47 40.83 ± 3.649 0.479
26 34 0 60
26.7 73.3 0.0 100.0 36-52 44.63±4.80
43.3 56.7 0.0 100.0 34-50 41.53±3.954
Total %
23.3 76.7 0.0 100.0 34-52 44.15±4.27
43.3 56.7 0.0 100.0 31-50 41.18±3.789
Tabel 9 juga memperlihatkan bahwa usia ibu contoh saat ini berkisar antara 31 hingga 50 tahun. Persentase terbesar (56.7%) usia ibu pada kedua kelompok berada dalam kategori dewasa madya (41-65 tahun). Tidak terdapat ibu contoh yang berada dalam kategori usia dewasa akhir. Rata-rata ibu contoh pada kedua kelompok berusia 41.2 tahun. Uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) pada variabel usia ibu saat ini di kedua kelompok contoh. Usia Saat Anak Pertama Lahir. Usia orangtua saat anak pertama lahir dikategorikan menjadi 3 yaitu usia 20-30, 31-40, dan 41-50 tahun. Persentase terbesar ayah contoh anak sibuk (76.7%) dan anak tidak sibuk (70.0%) saat anak pertama lahir berusia antara 20 hingga 30 tahun (Tabel 10). Sebesar 23.4 persen ayah contoh pada anak sibuk dan 26.6 persen ayah dari anak tidak sibuk berusia
72
31 hingga 40 tahun saat anak pertama lahir. Bahkan terdapat 3.3 persen ayah dari anak tidak sibuk berusia antara 41 hingga 50 tahun saat anak pertama lahir. Rata-rata ayah contoh berusia 29.6 tahun ketika anak pertama lahir. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan di kedua kelompok pada variabel usia ayah saat anak pertama lahir. Sama halnya dengan persentase terbesar usia ayah saat anak pertama lahir yakni berada dalam kategori usia 20 hingga 30 tahun, demikian juga dengan persentase terbesar (86.6 persen contoh) usia ibu saat anak pertama lahir. Ratarata ibu contoh berusia 26.7 tahun ketika anak pertama lahir. Sebesar 11.7 persen ibu contoh pada anak sibuk berusia 31 hingga 40 tahun ketika anak pertama lahir. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan pada variabel usia ibu saat anak pertama lahir di kedua kelompok contoh. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua saat anak pertama lahir Usia orangtua (tahun) Usia ayah Usia 20-30 Usia 31-40 Usia 41-50 Total Min-maks Rata-rata±sd P-value Usia ibu Usia kurang dari 20 Usia 20-30 Usia 31-40 Usia 41-50 Total Min-maks Rata-rata±sd P-value
Anak sibuk n % 23 7 0 30
76.7 23.3 0.0 100.0 25-40 29.5±3.451
1 27 2 0 30
3.3 90.0 6.7 0.0 100.0 18-36 26.5 ±3.391
Anak tidak sibuk n % 21 8 1 30
70.0 26.7 3.3 100.0 23-41 29.8±3.319 0.790 0 25 5 0 30
0.0 83.3 16.7 0.0 100.0 20-32 26.8 ± 3.108 0.244
Total n
%
44 15 1 60
73.3 25.0 1.7 100.0 23-41 29.6±3.359
1 52 7 0 60
1.7 86.6 11.7 0.0 100.0 18-36 26.7±3.261
Elkind dalam Anonim (2002) mengemukakan bahwa semakin sedikit jumlah anak dan semakin tua usia pada saat memiliki anak membuat orangtua memiliki harapan yang lebih tinggi pada anak. Harapan yang terlalu tinggi pada anak terkadang justru dapat berbalik menjadi suatu tekanan yang dapat memicu terjadinya stres pada anak.
73
Pendidikan orangtua. Pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan formal yang telah diselesaikan oleh orangtua contoh. Sebagian besar (93.3%) ayah contoh dan sebagian besar (86.7%) ibu contoh telah menamatkan pendidikan hingga Perguruan Tinggi (Tabel 11). Uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) pendidikan orangtua pada anak sibuk dan tidak sibuk. Menurut Alvin (2007), di kalangan orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi dan informasi yang lebih banyak, persaingan untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki kemampuan dalam segala aspek juga semakin meningkat. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orangtua Anak sibuk
Anak tidak sibuk
Total
Pendidikan orangtua Pendidikan ayah
n
%
n
%
n
%
SLTA Perguruan Tinggi Total P-value Pendidikan ibu SLTA Perguruan Tinggi
2 28 30
6.7 93.3 100.0
2 28 30 1.000
6.7 93.3 100.0
4 56 60
6.7 93.3 100.0
4 26
13.3 86.7
4 26
13.3 86.7
8 52
13.3 86.7
30
100.0
30
100.0
60
100.0
Total P-value
1.000
Pekerjaan Utama Pekerjaan orangtua adalah jenis pekerjaan yang ditekuni orangtua (pekerjaan utama dan tambahan), dibedakan menjadi tidak bekerja, PNS, POLRI, pegawai swasta, wiraswasta, dan pegawai BUMN. Persentase terbesar ayah contoh yakni 43.3 persen pada anak sibuk dan 53.3 persen pada anak tidak sibuk, memiliki pekerjaan utama sebagai pegawai swasta (Tabel 12). Hanya terdapat 3 orang ayah anak sibuk dan 2 orang ayah dari anak tidak sibuk yang memiliki pekerjaan tambahan, yakni sebagai pegawai swasta dan wirasawasta. Lebih dari separuh ibu contoh pada kedua kelompok (60.0 persen pada anak sibuk dan 63.3 persen pada anak tidak sibuk) adalah ibu bekerja. Salah satu alasan pemberian kegiatan ekstrakurikuler, les, kursus, dan bimbingan setelah sepulang sekolah pada anak adalah karena kedua orangtua bekerja. Orangtua akan merasa lebih aman apabila anak-anak berada di bawah pengawasan orang dewasa setelah pulang sekolah, dalam kegiatan yang dirasa lebih bermanfaat daripada bermain (Gross tt). Meskipun demikian, hasil uji beda
74
Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan pekerjaan utama ayah (p>0.05) dan pada pekerjaan utama ibu (p>0.05) diantara kedua kelompok contoh (Tabel 12). Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan utama orangtua Pekerjaan Utama Orangtua Pekerjaan Utama Ayah PNS POLRI Swasta Wiraswasta BUMN Total P-value Pekerjaan Utama Ibu Tidak bekerja Bekerja Total P-value
Total
Anak sibuk n %
Anak tidak sibuk n %
n
%
6 4 13 4 3 30
20.0 13.3 43.3 13.3 10.0 100.0
5 0 16 7 2 30
16.7 0.0 53.3 23.3 6.7 100.0 0.376
11 4 29 11 5 60
18.3 6.7 48.3 18.3 8.3 100.0
11 19 30
40.0 60.0 100.0
12 18 30
36.7 63.3 100.0 0.877
23 37 60
38.3 61.7 100.0
Pendapatan Orangtua. Status ekonomi seseorang dapat dilihat dari besarnya pendapatan. Pendapatan contoh dikategorikan menjadi 5 kelompok, yaitu kurang dari Rp 2.5 juta; Rp 2.500.001-Rp 5.000.000; Rp 5.000.0001-Rp 7.500.000; Rp 7.500.000Rp 10.000.000, dan lebih dari Rp 10.000.000. Tabel 13 menunjukkan bahwa tidak terdapat pendapatan total ayah pada kelompok anak sibuk yang berada dalam kisaran kurang dari Rp 2.500.000. Kegiatan les, kursus, bimbingan, dan klub olahraga biasanya memerlukan biaya yang cukup besar. Hal inilah yang menyebabkan mengapa biasanya anak sibuk berasal dari keluarga dengan pendapatan yang cukup besar. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan total ayah Pendapatan total ayah < 2.5 juta 2.500.001 - 5 juta 5.000.001 - 7.5 juta 7.500.001 - 10 juta > 10 juta Total P-value
Anak sibuk n % 0 0.0 9 30.0 5 16.7 9 30.0 7 23.3 30 100.0
Anak tidak sibuk n % 3 10.0 6 20.0 8 26.7 3 10.0 10 33.3 30 100.0 0.873
Total n 3 15 13 12 17 60
% 5.0 25.0 21.7 20.0 28.3 100.0
75
Meskipun demikian, persentase terbesar (33.3%) pendapatan total ayah contoh pada kelompok anak tidak sibuk berada dalam kisaran lebih dari Rp 10 juta, dan persentase terbesar (30.0%) pendapatan total ayah pada kelompok anak sibuk berada dalam kisaran yang lebih rendah, yaitu Rp 7.500.001-Rp 10 juta. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan antara pendapatan total ayah pada kedua kelompok. Ayah contoh yang hanya berpendapatan kurang dari Rp 2.500.000 biasanya memiliki istri yang bekerja. Persentase terbesar (46.7%) ibu pada kelompok anak sibuk, memiliki pendapatan antara Rp 2.500.000 hingga Rp 5.000.000, sedangkan pada kelompok anak tidak sibuk, persentase terbesar ibu contoh (40.0%) tidak memiliki pendapatan sendiri (Tabel 14). Hal ini diduga karena pendapatan ayah sudah dianggap mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga ibu tidak perlu bekerja. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) antara pendapatan ibu pada kedua kelompok. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan ibu Pendapatan Ibu 0 (Tidak Bekerja) < 2.5 juta 2.500.001 - 5 juta 5.000.001 - 7.5 juta 7.500.001 - 10 juta > 10 juta Total P-value
Anak sibuk n % 11 36.7 2 6.7 14 46.7 1 3.3 1 3.3 1 3.3 30 100.0
Anak tidak sibuk n % 12 40.0 5 16.7 8 26.7 2 6.7 1 3.3 2 6.7 30 100.0 0.737
Total n 23 7 22 3 2 3 60
% 38.3 11.7 36.7 5.0 3.3 5.0 100.0
Alokasi Waktu Contoh Alokasi waktu contoh dihitung berdasarkan pencatatan aktivitas contoh selama 7x24 jam. Alokasi waktu yang didapat kemudian dikelompokkan menjadi 7 jenis aktivitas yaitu pribadi, waktu antara, sekolah, tidur (malam dan siang), leisure (bermain, menonton, olahraga, melakukan hobi, dan jalan-jalan), belajar, serta aktivitas di luar sekolah. Setelah dikelompokkan, alokasi waktu anak kemudian dirata-rata dalam satuan jam per hari. Kegiatan pribadi adalah kegiatan anak yang meliputi makan, beribadah, mandi, dan lain-lain. Kegiatan pribadi total contoh rata-rata dalam satu hari adalah sekitar 2.8 jam atau 11.7 persen alokasi waktu dalam sehari. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) pada kegiatan pribadi anak di kedua kelompok (Tabel 15).
76
Waktu antara adalah waktu yang dibutuhkan contoh untuk mencapai suatu tempat tertentu, termasuk perjalanan menuju dan pulang dari tempat les/kursus/bimbingan/klub olahraga. Rata-rata total contoh melakukan perjalanan dalam satu hari selama kurang lebih satu jam. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) alokasi waktu untuk perjalanan pada anak sibuk dan tidak sibuk (Tabel 15). Ternyata anak sibuk tidak mengalami perjalanan yang lama untuk mencapai tempat les/kursus/bimbingan. Hal ini diduga karena jarak rumah ke sekolah contoh anak sibuk dekat dan kegiatan di luar sekolah yang dijalani anak sibuk lebih sering dilakukan di rumah atau tempat yang dekat dengan rumah/sekolah. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan alokasi waktu dalam satu hari Jenis kegiatan
Anak sibuk Mean % (jam) sehari
Anak tidak sibuk Mean % (jam) sehari
Total Mean % (jam) sehari
Sig
1. Pribadi
2.9
12.1
2.7
11.3
2.8
11.7
0.27
2. Waktu antara
1.2
4.9
1.0
4.3
1.1
4.6
0.27
3. Sekolah
4.9
20.3
4.7
19.7
4.8
20.0
0.22
Malam
8.2
34.3
8.1
33.8
8.2
34.1
0.37
Siang
0.5
2.2
0.6
2.3
0.5
2.2
0.85
5. Leisure
3.7
15.3
5.0
21.0
4.4
18.2
0.00**
Bermain
1.5
6.0
2.1
8.9
1.8
7.5
0.02*
Menonton TV
1.4
6.0
1.8
7.7
1.6
6.8
0.16
Olahraga
0.2
0.7
0.6
2.4
0.4
1.5
0.00**
Hobi
0.2
0.8
0.2
1.0
0.2
0.9
0.60
Jalan-jalan
0.5
1.9
0.3
1.3
0.4
1.5
0.18
1.5
6.3
1.5
6.3
1.5
6.3
0.98
1.1
4.7
0.3
1.3
0.7
3.0
0.00**
4. Tidur
6. Belajar 7. Aktivitas di luar sekolah
Total 24.0 100.0 24.0 100.0 24.0 Keterangan: * = nyata pada p<0.05 **= nyata pada p<0.01
100.0
Kegiatan sekolah adalah kegiatan yang dilakukan oleh anak selama berada di sekolah sejak mulai masuk hingga pulang sekolah. Kegiatan sekolah ini mencakup aktivitas seperti belajar di kelas, istirahat pertama, dan istirahat kedua (makan dan sholat dzuhur berjamaah). Biasanya kegiatan sekolah anak dimulai pada pukul 07.15 dan diakhiri pada pukul 14.15 WIB setiap hari Senin hingga Jum’at. Namun ketika penelitian ini dilakukan, hari Kamis hingga Sabtu sedang diadakan Uji Mutu, sehingga kegiatan sekolah yang seharusnya
77
dilaksanakan hanya sampai hari Jum’at ditambah dengan hari Sabtu, dan kegiatan belajar diakhiri pada pukul 11.30 hingga 12.00 WIB. Hari Senin hingga Rabu kegiatan sekolah berlangsung seperti biasanya. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) antara alokasi waktu sekolah anak sibuk dan tidak sibuk (Tabel 15). Aktivitas tidur dibedakan menjadi tidur malam dan siang hari. Contoh biasa tidur pada pukul 21.00 dan bangun sekitar pukul 05.00 hingga 05.30 atau sekitar 8 hingga 8.5 jam. Persentase terbesar alokasi waktu anak dalam sehari merupakan kegiatan tidur malam (34.1 persen dari alokasi waktu sehari). Menurut Handajani (2001), jumlah waktu tidur yang dibutuhkan oleh anak usia 10 hingga 13 tahun adalah sekitar 8.5 jam sehari. Tidur siang dilakukan sekitar 30 menit setiap hari oleh contoh pada kedua kelompok. Data tersebut menunjukkan bahwa meskipun anak sibuk memiliki kegiatan di luar sekolah yang lebih banyak, namun masih sempat untuk melakukan tidur siang. Hal ini diduga karena aktivitas di luar sekolah biasanya dilakukan pada pukul 16.00 ke atas, sehingga anak masih memiliki waktu untuk tidur sejenak. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan alokasi waktu tidur pada anak sibuk dan tidak sibuk (Tabel 15). Bryant (1992) diacu dalam Agustina (2003) mendefinisikan aktivitas leisure sebagai alokasi kegiatan waktu luang yang dapat menghasilkan kepuasan langsung bagi orang yang melakukannya. Aktivitas leisure yang diamati dalam penelitian ini dibedakan menjadi kegiatan bermain, menonton TV, olahraga, melakukan hobi/kesukaan, serta jalan-jalan. Kegiatan bermain adalah kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir dan dilakukan secara sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban (Hurlock 1978). Kegiatan bermain anak meliputi kegiatan anak bermain dengan teman ataupun bermain sendirian menggunakan alat (komputer atau play station). Rata-rata aktivitas bermain yang dilakukan oleh anak sibuk adalah sekitar 1.5 jam sehari atau sekitar 87 menit. Kegiatan bermain anak tersebut dilakukan diantaranya ketika menunggu bel masuk sekolah ataupun menunggu kegiatan di luar sekolah dimulai. Rata-rata alokasi waktu bermain anak tidak sibuk dalam satu hari lebih tinggi yaitu sekitar 2.1 jam atau 125 menit. Kegiatan bermain anak tidak sibuk biasanya dilakukan ketika menunggu bel masuk sekolah dan saat sore hari. Hasil uji beda t-test menunjukkan adanya perbedaan yang sangat
78
nyata (p<0.01) pada alokasi waktu bermain anak di kedua kelompok (Tabel 15). Sebuah penelitian dari Universitas Michigan menemukan bahwa sejak tahun 1981, anak-anak Amerika telah kehilangan sekitar 30 menit setiap harinya atau sekitar 4 jam per minggu untuk bermain dan aktivitas di luar rumah (Anonim 2002). Aktivitas menonton televisi dilakukan oleh sebagian besar contoh di kedua kelompok. Rata-rata anak sibuk dan tidak sibuk menghabiskan waktu untuk menonton televisi dalam satu hari sekitar 1.6 jam (98 menit) (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun anak sibuk memiliki aktivitas yang lebih banyak, namun masih menyempatkan diri untuk menonton televisi. Meskipun demikian, pada hari-hari sekolah, contoh biasanya menonton TV lebih sebentar dibandingkan ketika hari libur (Sabtu malam dan Minggu pagi). Aktivitas olahraga yang banyak dilakukan oleh contoh adalah sepakbola dan bulutangkis. Aktivitas ini biasanya dilakukan oleh contoh pada sore hari, saat menunggu bel masuk sekolah ataupun pada saat hari libur. Aktivitas olahraga dilakukan oleh contoh dalam satu hari rata-rata selama 0.4 jam (18 menit). Hasil uji beda t-test menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (p<0.01) pada alokasi waktu olahraga pada kedua kelompok (Tabel 15). Contoh anak tidak sibuk melakukan aktivitas olahraga lebih lama dibandingkan dengan contoh anak sibuk. Hal ini disebabkan karena sebagian besar contoh anak tidak sibuk adalah anak laki-laki dan senang melakukan aktivitas olahraga. Di samping bermanfaat untuk kesehatan tubuh serta membantu proses pertumbuhan fisik anak, olahraga juga dapat menyehatkan emosi. Dengan berolahraga, anak akan memperoleh kegembiraan. Rasa percaya diri dan disiplin anak juga akan tumbuh seiring dengan meningkatnya ketrampilan berolahraga (Sumosardjuno 2001). Diduga bahwa anak yang gemar berolahraga (anak tidak sibuk) lebih jarang terkena stres daripada anak sibuk (jarang berolahraga). Aktivitas hobi yang dilakukan oleh contoh antara lain adalah menggambar, membuat komik, memancing, membaca buku cerita, dan lain sebagainya. Waktu yang digunakan anak sibuk melakukan aktivitas hobi lebih sedikit dibandingkan dengan anak tidak sibuk. Meskipun demikian, hasil uji beda t-test tidak menunjukkan adanya perbedaan alokasi waktu (p>0.05) pada aktivitas hobi di kedua kelompok contoh.
79
Aktivitas jalan-jalan adalah aktivitas yang dilakukan oleh contoh untuk mengisi waktu luang dengan cara berkunjung ke suatu tempat tertentu, seperti shoping, berkunjung ke rumah saudara, atau ke tempat wisata. Aktivitas berjalan-jalan ini biasanya dilakukan oleh contoh setiap akhir pekan. Anak sibuk melakukan aktivitas jalan-jalan yang lebih banyak dibandingkan dengan anak tidak sibuk. Hal ini diduga karena sebagian besar contoh anak sibuk adalah perempuan dan lebih suka melakukan aktivitas leisure berupa jalan-jalan dibandingkan aktivitas leisure lain seperti olahraga. Meskipun demikian, hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) pada alokasi waktu aktivitas jalan-jalan diantara kedua kelompok. Secara keseluruhan, aktivitas leisure (bermain, menonton TV, berolahraga, melakukan hobi, dan jalan-jalan) pada kelompok anak sibuk menghabiskan waktu sekitar 3.7 jam (220 menit) dalam sehari, dan anak tidak sibuk menghabiskan waktu yang lebih lama yaitu sekitar 5.0 jam (300 menit) dalam satu harinya untuk aktivitas tersebut. Hasil uji beda t-test menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) pada aktivitas leisure anak di kedua kelompok contoh (Tabel 15). Persentase alokasi waktu leisure contoh dalam sehari termasuk besar (18.7 persen dari alokasi waktu sehari) apabila dibandingkan dengan alokasi waktu anak untuk kegiatan di luar sekolah (3.0 persen dari alokasi waktu sehari). Aktivitas belajar di rumah meliputi aktivitas seperti mengerjakan PR, latihan
soal,
membaca
buku
pelajaran,
mencari
literature
di
internet,
mengerjakan tugas kelompok, dan sebagainya. Rata-rata aktivitas belajar dalam satu hari pada contoh secara keseluruhan memerlukan waktu sekitar 1.5 jam (90 menit) dalam satu hari. Ketika masa ujian, biasanya anak belajar lebih lama dibandingkan dengan hari-hari biasa. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) pada alokasi waktu belajar di rumah pada kedua kelompok contoh. Alokasi waktu contoh anak sibuk untuk kegiatan di luar sekolah adalah sebesar 1.1 jam (67 menit) tiap harinya (sebesar 4.7 persen alokasi waktu dalam sehari), sedangkan alokasi waktu anak tidak sibuk lebih rendah, yaitu sebesar 0.3 jam (18 menit). Hasil uji beda t-test menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (p<0.01) pada variabel alokasi waktu contoh untuk kegiatan di luar sekolah (Tabel 15). Delongis et al. (1988) diacu dalam Johson (2004), mengemukakan bahwa banyaknya aktivitas setelah pulang sekolah dapat
80
memicu terjadinya stres, karena terlalu banyak hal yang harus dilakukan, waktu untuk hiburan dan rekreasi tidak mencukupi, serta tidak memiliki waktu luang untuk bersama keluarga dan teman. Aktivitas di luar sekolah Aktivitas di luar sekolah adalah kegiatan informal yang diikuti oleh anak di luar jam sekolah, yang meliputi les, kursus, bimbingan, ataupun klub olahraga, dan bukan merupakan kegiatan ektrakurikuler di sekolah. Alasan ditiadakannya kegiatan ekstrakurikuler pada aktivitas di luar sekolah yang diamati dalam penelitian ini adalah karena pada saat dilaksanakan penelitian, kegiatan ekstrakurikuler di SD Bina Insani pada tahun ajaran tersebut telah selesai seiring dengan diadakannya kegiatan apresiasi seni. Kegiatan apresiasi seni adalah suatu ajang kreasi untuk memperlihatkan kemampuan/ketrampilan yang telah didapatkan anak ketika mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Selain itu, waktu yang digunakan oleh contoh untuk melakukan kegiatan ekstrakurikuler adalah seragam, yakni ektrakurikuler pilihan (70 menit) dan pramuka (105 menit). Aktivitas di luar sekolah yang banyak dilakukan oleh contoh adalah les mata pelajaran, les bahasa inggris, mengaji, les musik, les kumon, privat, dan klub olahraga (bulutangkis dan renang). Jenis aktivitas anak tidak sibuk berkisar antara 0 (tidak memiliki aktivitas di luar sekolah) hingga 3 aktivitas dalam satu minggu, sedangkan anak sibuk memiliki jumlah aktivitas antara 1 hingga 5 jenis aktivitas di luar sekolah. Setiap jenis aktivitas memerlukan waktu antara 0.5 hingga 4 jam. Tabel 16 Sebaran contoh menurut jenis kegiatan di luar sekolah dalam satu minggu Jenis kegiatan anak sibuk dalam n % seminggu 0 0 0.0 1 2 6.7 2 11 36.7 3 5 16.7 4 7 23.3 5 5 16.7 Total 30 100.0 Min-maks 1-5 Rata-rata±SD 3.07±1.26 P-value Keterangan: **= nyata pada p<0.01
anak tidak sibuk n 11 14 4 1 0 0 30
% 36.7 46.7 13.3 3.3 0.0 0.0 100.0
0-3 0.83±0.79 0.000**
Total n 11 16 15 6 7 5 60
% 18.3 26.7 25.0 10.0 11.7 8.3 100.0 0-5
81
Tabel 16 memperlihatkan bahwa persentase terbesar (36.7%) contoh anak sibuk memiliki 2 jenis aktivitas dalam satu minggunya, sedangkan persentase terbesar anak tidak sibuk (46.7%) memiliki 1 jenis aktivitas dalam satu minggu. Tabel 16 tersebut juga memperlihatkan bahwa terdapat 2 orang contoh anak sibuk yang hanya memiliki satu jenis aktivitas dalam seminggu. Aktivitas tersebut adalah mengaji atau les privat yang dilaksanakan setiap jam per hari dengan frekuensi tujuh kali satu minggu, sehingga meskipun hanya memiliki satu jenis kegiatan dalam seminggu, namun tergolong ke dalam kriteria anak sibuk dalam penelitian ini (memiliki alokasi waktu aktivitas di luar sekolah ≥ 7 jam seminggu). Rata-rata anak sibuk memiliki 3 jenis aktivitas dan anak tidak sibuk mempunyai 1 jenis aktivitas setiap minggu. Hasil uji beda t-test menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (p<0.01) pada variabel jenis kegiatan di luar sekolah contoh dalam satu minggu pada kedua kelompok anak. Jumlah kegiatan adalah banyaknya (frekuensi) kegiatan di luar sekolah yang dilakukan contoh dalam satu minggu. Tabel 17 menunjukkan bahwa tidak terdapat contoh anak tidak sibuk yang memiliki jumlah kegiatan > 6 dalam seminggu. Meskipun demikian, terdapat satu orang contoh anak sibuk yang memiliki jumlah kegiatan sebanyak 3 buah. Sedikitnya jumlah kegiatan ini disebabkan karena alokasi waktu untuk setiap kegiatan cukup lama yakni 2 hingga 4 jam. Rata-rata contoh anak sibuk memiliki 6 buah kegiatan dan contoh anak tidak sibuk mempunyai 1 buah kegiatan setiap minggunya. Terdapat perbedaan yang nyata pada jumlah kegiatan pada contoh anak sibuk dan anak tidak sibuk. Tabel 17 Sebaran contoh menurut jumlah kegiatan di luar sekolah dalam satu minggu Jumlah kegiatan anak sibuk dalam n % seminggu 0-3 1 3.3 3-6 21 70.0 >6 8 26.7 Total 30 100.0 Min-maks 3-10 Rata-rata±SD 5.80±1.88 P-value Keterangan: **= nyata pada p<0.01
anak tidak sibuk n 28 2 0 30
% 93.3 6.7 0.0 100.0
0-6 1.43 ±1.52 0.000**
Total n 29 23 8 60
% 48.3 38.3 13.3 100.0
0-10 3.62±2.78
82
Inisiator kegiatan adalah orang yang mengusulkan diadakannya aktivitas di luar sekolah. Inisiator kegiatan dalam penelitian ini dibedakan menjadi; anak; orangtua; anggota keluarga lain (kakak, saudara); anak bersama orangtua; serta orangtua bersama anggota keluarga lain. Persentase terbesar contoh (48.4%) anak sibuk dan lebih dari separuh contoh (56.0%) anak tidak sibuk melakukan kegiatan di luar sekolah berdasarkan usulan orangtua (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa orangtua memiliki peran yang besar dalam diadakannya kegiatan di luar sekolah. Orangtua yang lebih banyak berperan adalah ibu. Meskipun demikian, peran anak sebagai inisiator kegiatan juga cukup besar, yaitu 33.3 persen pada anak sibuk dan 36.0 persen pada anak tidak sibuk. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan di luar sekolah yang dilakukan biasanya atas kemauan dan persetujuan anak juga. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan inisiator kegiatan di luar sekolah
Inisiator Kegiatan 1. Anak 2. Orangtua 3. Anggota keluarga yang lain 4. Anak dan orangtua 5. Orangtua dan anggota keluarga lain Total
Anak sibuk Jumlah kegiatan % (n=93) 31 33.3 45 48.4 1 1.1 13 14.0 3 93
Anak tidak sibuk Jumlah kegiatan % (n=25) 9 36.0 14 56.0 0 0.0 2 8.0
3.3 100.0
0 25
0.0 100.0
Total Jumlah kegiatan % (n=118) 40 34.7 59 52.2 1 0.5 15 11.0 3 118
1.5 100.0
Persepsi terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua Persepsi dapat diartikan sebagai proses mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungannya (Atkinson et al. 2000). Persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami
informasi
tentang
lingkungannya,
baik
lewat
penglihatan,
pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi (Thoha 1986 diacu dalam Endaryanto 1999). Persepsi yang diamati dalam penelitian ini adalah persepsi mengenai aktivitas di luar sekolah (les/kursus/bimbingan/klub olahraga) dan harapan orangtua terhadap anak. Persepsi mengenai aktivitas di luar sekolah mencakup variabel-variabel yang berhubungan dengan kegiatan anak di luar sekolah yakni aktivitas les, kursus, bimbingan, atau klub olahraga. Persepsi mengenai harapan
83
orangtua meliputi variabel-variabel harapan yang diinginkan orangtua terhadap anak. Persepsi contoh. Persepsi contoh terdiri dari 15 pernyataan, yakni 13 pernyataan mengenai persepsi contoh terhadap kegiatan di luar sekolah (les, kursus, bimbingan, dan klub olahraga) dan 2 pernyataan mengenai persepsi contoh terhadap harapan orangtua pada anak. Tabel 19 Sebaran contoh menurut skor rata-rata pernyataan persepsi No
Pernyataan
Persepsi tentang aktivitas les/kursus/bimbingan 1 Anak yang memiliki banyak kegiatan di luar sekolah tidak memiliki waktu untuk bermain dengan temannya* 2 Melakukan kegiatan les/kursus/bimbingan sepulang sekolah lebih bermanfaat daripada bermain 3 Anak yang memiliki banyak kegiatan di luar sekolah sering merasa kelelahan* 4 Anak seringkali merasa terpaksa melakukan kegiatan di luar sekolah* 5 Kegiatan di luar sekolah tidak menyita waktu 6 Semakin banyak kegiatan di luar sekolah maka semakin banyak teman 7 Anak merasa berat jika memiliki banyak kegiatan di luar sekolah* 8 Kegiatan di luar sekolah bermanfaat untuk masa depan 9 Guru dan pelatih kegiatan di luar sekolah menyenangkan 10 Perjalanan menuju tempat kursus melelahkan* 11 Anak harus diajari berbagai ketrampilan sejak dini 12 Anak yang memiliki banyak kegiatan di luar sekolah tidak menikmati masa kanak-kanaknya* 13 Memiliki banyak kegiatan di luar sekolah dapat membahagiakan orangtua Persepsi tentang harapan orangtua terhadap anak 14 Para orangtua tidak mengharuskan anak lebih unggul dibandingkan dengan teman-temannya 15 Para orangtua tidak mengharuskan anak untuk mengerjakan segala sesuatunya dengan sempurna Keterangan : 1 = tidak setuju 2= kurang setuju 3= setuju * = pernyataan negatif
Anak sibuk
Anak tidak Total sibuk
1.9
2.0
1.9
2.8
2.8
2.8
2.3
2.3
2.3
1.6
1.9
1.7
2.5 2.9
2.3 2.9
2.4 2.9
2.3
2.2
2.2
2.8 2.6
2.9 2.6
2.9 2.6
1.9 2.7 1.8
2.0 2.7 1.8
1.9 2.7 1.8
2.4
2.6
2.5
2.4
2.6
2.5
2.3
2.3
2.3
Tabel 19 menyajikan rata-rata skor persepsi contoh untuk setiap pernyataan. Skor jawaban meliputi 1 (tidak setuju), 2 (kurang setuju), dan 3 (setuju) untuk pernyataan positif maupun negatif. Pernyataan positif mencakup pernyataan no 2, 5, 6, 8, 9, 11, 13, 14, dan 15, sedangkan pernyataan negatif
84
meliputi pernyataan no 1, 3, 4, 7,10, dan 12. Tabel 19 tersebut menjelaskan bahwa contoh, baik anak sibuk maupun tidak sibuk, setuju dengan pernyataan ”melakukan kegiatan les/kursus/bimbingan sepulang sekolah lebih bermanfaat daripada bermain” (skor 2.8), ” semakin banyak kegiatan di luar sekolah maka semakin banyak teman” (skor 2.9), “kegiatan di luar sekolah bermanfaat untuk masa depan” (skor 2.9), “anak harus diajari berbagai ketrampilan sejak dini” (skor 2.7), dan “memiliki banyak kegiatan di luar sekolah dapat membahagiakan orangtua” (skor 2.5). Pernyataan tersebut pada dasarnya merupakan suatu pernyataan mengenai manfaat kegiatan di luar sekolah. Hal ini berarti bahwa contoh menganggap bahwa kegiatan di luar sekolah memiliki berbagai manfaat. Meskipun demikian, contoh cenderung setuju dengan pernyataan “anak yang memiliki banyak kegiatan di luar sekolah sering merasa kelelahan” (skor 2.3) dan “anak merasa berat jika memiliki banyak kegiatan di luar sekolah” (skor 2.2). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun anak setuju bahwa kegiatan di luar sekolah banyak memiliki manfaat, namun memiliki banyak kegiatan di luar sekolah seringkali membuat anak kelelahan dan merasa berat. Selain itu, contoh juga cenderung tidak setuju dengan pendapat bahwa ”anak seringkali merasa terpaksa melakukan kegiatan di luar sekolah ” (skor 1.7). Hal ini diduga karena meskipun sebagian besar inisiator kegiatan di luar sekolah adalah orangtua, hal tersebut terlaksana dengan persetujuan dari anak, sehingga anak tidak merasa terpaksa menjalani kegiatannya tersebut. Selain itu, banyak juga kegiatan yang dilakukan atas dasar keinginan anak sendiri. Skor yang diperleh berkisar antara 25 hingga 41, dengan rata-rata sebesar 35. Persepsi contoh kemudian dikategorikan menurut mean± standar deviasi, menjadi kurang, cukup, dan baik. Berlo (1960) dalam Endaryanto (1999) mengemukakan bahwa individu dalam memberikan makna terhadap suatu stimuli seringkali tidak sama antara individu yang satu dengan lainnya, tergantung pada faktor-faktor tertentu yang ada di dalam dan di luar individu tersebut yang dapat mempengaruhi persepsinya. Akibatnya tak jarang terjadi ketidaksamaan persepsi antara individu yang satu dengan lainnya tentang obyek yang sama, sehingga peluang terjadinya kesalahan mempersepsikan selalu ada. Sebagian besar contoh (78.3%) memiliki persepsi yang cukup terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua. Hasil uji beda Mann whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (P>0.05) pada persepsi contoh terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua di kedua kelompok (Tabel 20).
85
Tabel 20 Sebaran contoh menurut kategori persepsi Persepsi contoh Kurang Cukup Baik Total Skor min-max Rata-rata±SD P-value
Anak sibuk n % 4 13.3 23 76.7 3 10.0 30 100.0 25-41
Anak tidak sibuk n % 2 6.7 24 80.0 4 13.3 30 100.0 26-41 35.03±3.04
Total n
% 6 10.0 47 78.3 7 11.7 100.0 60 25-41
0.411
Myers (1988) diacu dalam Endaryanto (1999) mengemukakan bahwa setiap individu berbeda kebutuhan, motivasi, minat, dan lain-lainnya. Hal inilah yang menyebabkan persepsi individu terhadap sesuatu cenderung menurut kebutuhan, minat, dan latar belakang masing-masing. Persepsi seseorang terhadap suatu hal akan mempengaruhi respon terhadap hal tersebut. Dalam kaitannya dengan stres, persepsi umumnya dikelompokkan menjadi positif dan negatif. Menurut Hayslip dan Panek (1989) diacu dalam Endaryanto (1999), persepsi terhadap stres akan mempengaruhi tingkat stres dan responnya terhadap sumber stres. Persepsi Ibu Contoh. Variabel persepsi ibu terdiri dari 15 pernyataan, yakni 11 pernyataan mengenai bagaimana persepsi ibu contoh terhadap kegiatan di luar sekolah anak (les/kursus/bimbingan/klub olahraga) dan 4 pernyataan mengenai persepsi ibu terhadap harapan orangtua pada anak. Tabel 21 menyajikan rata-rata skor persepsi ibu contoh untuk setiap pernyataan. Skor jawaban meliputi 1 (tidak setuju), 2 (kurang setuju), dan 3 (setuju) untuk pernyataan positif maupun negatif. Pernyataan positif mencakup pernyataan no 3, 4, 7,10, 12, 13, 14, dan 15, sedangkan pernyataan negatif meliputi pernyataan no 1, 2, 5, 6, 8, 9, 11, dan 13. Tabel 21 tersebut memberikan gambaran bahwa ibu contoh tidak setuju dengan pernyataan ”bermain merupakan hal yang tidak bermanfaat” skor (1.4). Ibu contoh diantaranya berpendapat
bahwa
dengan
bermain
anak
dapat
belajar
banyak
hal,
bersosialisasi, dan melepaskan beban pikiran. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Anonim (2002) yakni saat ini orangtua cenderung beranggapan bahwa bermain dan waktu luang merupakan hal yang sia-sia.
86
Tabel 21 Sebaran ibu contoh menurut skor rata-rata pernyataan persepsi No
Pernyataan Persepsi tentang aktivitas les/kursus/bimbingan Anak yang memiliki banyak kegiatan di luar sekolah tidak 1 memiliki waktu untuk bermain dengan temannya* Anak merasa berat jika memiliki banyak kegiatan di luar 2 sekolah* Mengikuti banyak kegiatan di luar sekolah tidak 3 menyebabkan prestasi akademik dan nilai anak menurun Anak SD kelas 5 tidak harus memiliki banyak kegiatan di 4 luar sekolah 5 Bermain merupakan hal yang tidak bermanfaat* 6 Anak harus selalu lebih unggul di banding anak yang lain* Memiliki banyak kegiatan di luar sekolah membuat anak 7 lebih pandai bersosialisasi Anak yang memiliki banyak kegiatan di luar sekolah tidak 8 menikmati masa kanak-kanaknya* Para orangtua seringkali memaksakan anak untuk 9 mengikuti kegiatan di luar sekolah* 10 Kegiatan di luar sekolah bermanfaat untuk masa depan Kegiatan diluar sekolah dipilih berdasarkan keinginan 11 anak Persepsi tentang harapan orangtua terhadap anak Anak harus mengerjakan segala sesuatunya dengan 12 sempurna* Anak tidak harus dapat menyelesaikan masalahnya 13 sendiri Anak-anak harus secepatnya dilatih untuk menjadi 14 dewasa* 15 Anak harus diajari berbagai ketrampilan sejak dini Keterangan : 1= tidak setuju 2= kurang setuju 3=setuju * = pernyataan negatif
Anak sibuk
Anak tidak sibuk
Total
2.1
2.1
2.1
2.3
2.4
2.3
2.4
2.4
2.4
2.1 1.4 1.7
2.2 1.3 1.7
2.1 1.4 1.7
2.9
2.8
2.8
1.6
2
1.8
1.9 2.9
2.1 2.7
2.0 2.8
2.9
2.8
2.9
1.9
1.9
1.9
2.4
2.3
2.4
1.7 2.8
1.7 2.8
1.7 2.8
Selain pernyataan mengenai manfaat bermain, ibu contoh juga setuju terhadap manfaat kegiatan di luar sekolah, yaitu ”memiliki banyak kegiatan di luar sekolah membuat anak lebih pandai bersosialisasi” (skor 2.8) dan “kegiatan di luar sekolah bermanfaat untuk masa depan” (skor 2.8). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ibu contoh setuju dengan manfaat kegiatan di luar sekolah, namun tetap menekankan bermain sebagai faktor yang penting dalam masa kanak-kanak. Menurut Anton (2006), salah satu penyebab terjadinya stres pada anak adalah rasa khawatir dari orangtua mengenai prestasi anak. Kecemasan tersebut kemudian membuat banyak orangtua memberikan berbagai kursus tanpa menyediakan ruang dan waktu untuk bermain dan bersosialisasi, sehingga membuat anak merasa jenuh dengan rutinitasnya dan prestasi menurun.
87
Skor jawaban ibu contoh atas pernyataan ”kegiatan di luar sekolah biasanya dipilih oleh anak” cukup tinggi (2.9). Hal ini menunjukkan bahwa ibu contoh setuju bahwa biasanya kegiatan di luar sekolah berdasarkan atas usulan anak. Ibu contoh kurang setuju dengan pendapat bahwa orangtua seringkali memaksa anak untuk mengikuti kegiatan di luar sekolah (skor 2.0). Dari segi persepsi terhadap harapan orangtua terhadap anak, ibu contoh rata-rata berpendapat tidak setuju bahwa anak harus mengerjakan segala sesuatunya dengan sempurna (skor 1.9), anak-anak harus secepatnya dilatih untuk menjadi dewasa (skor 1.7) dan anak harus selalu lebih unggul dibandingkan dengan anak yang lain (skor 1.7) Selain itu, ibu contoh setuju dengan pernyataan anak tidak harus dapat menyelesaikan masalahnya sendiri (skor 2.3). Hal ini memberikan gambaran bahwa menurut persepsi ibu, orangtua seharusnya tidak melakukan penekanan terhadap anak. Orangtua yang sering menuntut akan semakin memperbesar rasa stres pada diri anak (Anonim 2003). Skor yang diperoleh berkisar antara 26 hingga 41, dengan rata-rata skor adalah 34. Persepsi ibu kemudian dikategorikan menurut mean± standar deviasi, menjadi kurang, cukup, dan baik. Tabel 22 memperlihatkan bahwa persentase terbesar (73.3%) ibu contoh memiliki persepsi cukup. Persentase ibu pada kelompok anak sibuk yang berpersepsi baik (13.3%) lebih banyak daripada persepsi ibu pada kelompok anak tidak sibuk (6.7%) dalam kategori yang sama. Meskipun demikian, hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada variabel persepsi ibu diantara kedua kelompok yang diamati. Tabel 22 Sebaran contoh menurut kategori persepsi ibu Persepsi ibu Kurang Cukup Baik Total Skor min-maks Rata-rata±SD P-value
Anak sibuk n % 4 13.3 22 73.3 4 13.3 30 100.0 29-41
Anak tidak sibuk n % 6 20.0 22 73.3 2 6.7 30 100.0 26-41 33.90±2.99 0.411
Total n 10 44 6 60
% 16.7 73.3 10.0 100.0 26-41
Tingkat Stres Sari dalam Imam (2007) mengemukakan bahwa stres merupakan respon fisiologis, psikologis, dan perilaku dari seseorang untuk mencari
88
penyesuaian terhadap tekanan yang bersifat internal maupun eksternal. Dalam pengertian umum, stres terjadi jika seseorang dihadapkan dengan peristiwa yang dirasakan mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya (Atkinson et al. 2000). Anak-anak bereaksi terhadap stres melalui cara yang berbeda-beda. Beberapa anak mungkin dapat sakit, beberapa dapat mengalami ketegangan dan menarik diri dari lingkungan, sedangkan yang lainnya, dapat menunjukkan amarah dan menjadi manja. Meskipun demikian, ada juga beberapa anak yang tidak mengalami kesulitan oleh stres. Anak-anak seperti ini dikenal sebagai anak yang tabah (Ruffin 2001). Tabel 23 menunjukkan bahwa gejala stres yang seringkali dialami oleh hampir separuh contoh anak sibuk adalah jantung berdebar kencang dan keras (46.7 persen contoh), merasa sukar berkonsentrasi pada saat melakukan kegiatan (43.3%), dan merasa sangat lemas/lesu/tidak memiliki tenaga (43.3%). Sedangkan gejala stres yang seringkali dialami oleh anak tidak sibuk adalah merasa sukar berkonsentrasi (43.3 persen contoh) dan mengalami mimpi buruk (50 persen contoh). Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan seringnya mengalami gejala stres
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Gejala stres Merasa pusing/sakit kepala tanpa alasan yang jelas Merasa pegal-pegal pada leher/punggung/bahu Perut terasa mual/kembung/mulas/diare pada saat akan melakukan kegiatan tertentu Mengalami tangan gemetaran Sering menjatuhkan/memecahkan barang/tersandung/terjatuh Jantung berdebar kencang dan keras Merasa tidak tenang/tegang/cemas/terancam Merasa sukar berkonsentrasi pada saat melakukan kegiatan Mengalami sulit tidur/tidak dapat tidur nyenyak seperti biasanya Mudah tersinggung Mengalami perubahan nafsu makan Merasa sangat lelah/lesu/lemas/ tidak memiliki tenaga Merasa tidak sabar dan cepat marah tanpa sebab Merasa tidak memiliki harapan/putus asa
Anak Sibuk n %
Anak tidak sibuk n %
Total n %
2
6.7
6
20.0
8
13.3
7
23.3
4
13.3
11
18.3
4 7
13.3 23.3
2 2
6.7 6.7
6 9
10.0 15.0
6 14 6
20.0 46.7 20.0
9 9 7
30.0 30.0 23.3
15 23 13
25.0 38.3 21.7
13
43.3
13
43.3
26
43.3
5 7 2
16.7 23.3 6.7
12 11 4
40.0 36.7 13.3
17 18 6
28.3 30.0 10.0
13
43.3
7
23.3
20
33.3
2 5
6.7 16.7
4 4
13.3 13.3
6 9
10.0 15.0
89
Tabel 23 (Lanjutan)
15 16 17 18
Anak Sibuk n %
gejala stres Merasa bingung/takut bila bertemu dengan orang lain Merasa sedih sekali dan ingin menangis Merasa dipaksa dengan sangat oleh orang lain (tertekan) Mengalami mimpi buruk
Anak tidak sibuk n %
n
Total %
6 9
20.0 30.0
7 7
23.3 23.3
13 16
21.7 26.7
5 10
16.7 33.3
9 15
30.0 50.0
14 25
23.3 41.7
Menurut Gross (tt), Hurried children dapat mengalami gangguan tidur, depresi,
kehilangan
keinginan
untuk
belajar
dan
menguasai
berbagai
ketrampilan, ketakutan apabila mengalami kegagalan, bahkan melakukan percobaan bunuh diri. Sedangkan menurut Amstrong (2004), hurried children dapat mengalami sakit kepala, ketidakbahagiaan dalam kehidupan, hiperaktif, dan kehilangan motivasi. Rata-rata skor gejala stres yang dialami contoh adalah sebesar 34, dengan kisaran antara 25 hingga 49. Total skor kemudian dikategorikan berdasarkan mean ± standar deviasi menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Tabel 23 memberikan gambaran bahwa persentase terbesar contoh anak sibuk (73.3%) dan anak tidak sibuk (80.0%) berada dalam kategori tingkat stres sedang. Tingkat stres sedang memberikan arti bahwa gejala stres kadangkadang dialami oleh contoh. Persentase anak sibuk yang mengalami tingkat stres yang tinggi (6.7%) ternyata lebih sedikit dibandingkan persentase anak tidak sibuk dalam kategori tersebut (13.3%). Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres Tingkat stres Rendah Sedang Tinggi Total Min-maks Rata-rata± SD P-value
Anak sibuk n % 6 20.0 22 73.3 2 6.7 30 100.0 25-45
Anak tidak sibuk n % 2 6.7 24 80.0 4 13.3 30 100.0 26-49 34.20±5.46
Total n 8 46 6 60
% 13.3 76.7 10.0 100.0 25-49
0.110
Hal ini berlawanan dengan pendapat Delongis et al. (1988) diacu dalam Johson (2004) yang mengemukakan bahwa banyaknya aktivitas setelah pulang sekolah dapat memicu terjadinya stres, karena terlalu banyak hal yang harus
90
dilakukan
dan
waktu
untuk
hiburan
dan
rekreasi
tidak
mencukupi.
Ketidaksesuaian dengan pendapat tersebut diduga karena anak menikmati aktivitasnya sebagai anak sibuk, anak masih memiliki cukup waktu untuk bermain, dan kegiatan di luar sekolah dilakukan atas persetujuan anak atau bahkan berdasarkan keinginan anak sendiri. Dockett dalam Anonim (2002) mengemukakan bahwa anak sibuk dapat memiliki perasaan bahagia karena telah membuat bangga orangtua, dan anak mampu menguasai berbagai ketrampilan, anak dapat bergaul dan belajar berorganisasi, sehingga anak dianggap menikmati kesibukannya sebagai anak sibuk. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) pada variabel tingkat stres di kedua kelompok contoh tersebut. Hubungan Antar Variabel Faktor-faktor yang diamati hubungannya dalam penelitian ini adalah jenis kelamin dengan aktivitas contoh di luar sekolah, alokasi waktu kegiatan di luar sekolah dengan persepsi contoh, persepsi contoh dengan tingkat stres. Hubungan antara jenis kelamin dengan aktivitas contoh di luar sekolah Hubungan antara variabel jenis kelamin dengan aktivitas di luar sekolah diuji dengan menggunakan uji Chi Square. Hasil uji Chi Square menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara jenis kelamin contoh dengan jenis (p=0.02), jumlah (p=0.004), dan alokasi waktu aktivitas di luar sekolah (p=0.008). Tabel 25 Hubungan antara jenis kelamin dengan jumlah dan alokasi waktu aktivitas di luar sekolah
Aktivitas di luar sekolah 1. Jenis kegiatan (dalam seminggu) 0 1 2 3 4 5 P-value 2. Jumlah kegiatan (dalam seminggu) 0-3 4-6 >6 P-value
Laki-laki (n=35) n %
Perempuan (n=25) n %
Total (n=60) n %
9 11 9 2 2 2
81.8 68.8 60.0 33.3 28.6 40.0
2 5 6 4 5 3
18.2 31.3 40.0 66.7 71.4 60.0 0.020*
11 16 15 6 7 5
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
21 13 1
72.4 56.5 12.5
8 27.6 10 43.5 7 87.5 0.004**
29 23 8
100.0 100.0 100.0
91
Tabel 25 (Lanjutan) Laki-laki (n=35) n %
Perempuan (n=25) n %
Aktivitas di luar sekolah 3. Alokasi waktu (jam dalam sehari) <1 25 64.1 14 35.9 1–2 10 52.6 9 47.4 >2 0 0.0 2 100.0 P-value 0.008** Keterangan: * = nyata pada p<0.05 **= nyata pada p<0.01
Total (n=60) n % 39 19 2
100.0 100.0 100.0
Tabel 25 memberikan gambaran bahwa semakin meningkatnya jumlah, jenis, dan alokasi waktu kegiatan di luar sekolah, maka persentase contoh yang berjenis kelamin perempuan dalam kategori tersebut semakin banyak. Hal ini diperkuat oleh Penelitian di Taiwan tahun 2007, yang menemukan bahwa anak perempuan kehilangan waktu untuk bermain dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca, kegiatan ektrakurikuler, rutinitas, dan aktivitas lain yang dipilih oleh orangtuanya (Newman et al. 2007). Hubungan antara alokasi waktu kegiatan di luar sekolah dengan persepsi contoh Uji hubungan antara alokasi waktu kegiatan di luar sekolah dengan persepsi anak diamati dengan menggunakan korelasi Spearman. Hasil uji tersebut menunjukkan adanya hubungan yang nyata (p=0.03, r= -0.281) dan negatif antara alokasi waktu kegiatan di luar sekolah dan persepsi anak (Tabel 26). Hal ini berarti bahwa semakin meningkat alokasi waktu kegiatan contoh di luar sekolah, maka persepsinya terhadap kegiatan di luar sekolah dan harapan orangtua pada anak akan semakin kurang baik. Tabel 26 Hubungan antara alokasi waktu aktivitas di luar sekolah dan persepsi contoh Alokasi waktu kegiatan di kurang luar sekolah (jam dalam sehari) n % <1 3 7.69 1-2 2 10.5 >2 1 50.0 P-value Koefisien korelasi (r) Keterangan: * = nyata pada p<0.05
Persepsi anak cukup baik n % n % 29 74.4 7 18.0 17 89.5 0 0.0 1 50.0 0 0.0 0.030* - 0.281
n 39 19 2
Total % 100.0 100.0 100.0
92
Tabel 26 memperlihatkan bahwa tidak terdapat contoh yang memiliki alokasi waktu kegiatan di luar sekolah selama > 1 jam dalam sehari yang berpersepsi baik. Hal ini diduga bahwa contoh yang memiliki alokasi waktu aktivitas yang lebih lama sudah merasakan sendiri bagaimana dampak banyaknya aktivitas di luar sekolah terhadap anak, sehingga kecenderungan contoh tersebut cenderung untuk memandang aktivitas di luar sekolah serta harapan orang tua sebagai stressor lebih besar daripada pandangan/persepsi anak tidak sibuk terhadap hal yang sama. Hubungan antara persepsi contoh dengan tingkat stres Hubungan antara persepsi contoh dengan tingkat stres diuji dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan adanya hubungan yang nyata dan negatif antara persepsi contoh dengan tingkat stres (p=0.021, r= - 0.298). Hal ini berarti bahwa semakin baik persepsi contoh terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua, maka tingkat stresnya akan semakin menurun. Tabel 27 Hubungan antara persepsi contoh dengan tingkat stres kurang n % 0 0.0 5 10.9 1 16.7
Tingkat stres anak Rendah sedang Tinggi P-value koefisien korelasi (r) Keterangan: * = nyata pada p<0.05
Persepsi contoh cukup baik n % n % 5 62.5 3 37.5 37 80.4 4 8.7 5 83.3 0 0.0 0.021* -0.298
Total n % 8 100.0 46 100.0 6 100.0
Tabel 27 menunjukkan bahwa tidak terdapat contoh dengan tingkat stres rendah yang memiliki persepsi kurang dan tidak terdapat pula contoh dengan persepsi baik yang memiliki tingkat stres tinggi. Hal ini didukung oleh pendapat Atkinson et al. (2000) yang mengemukakan bahwa reaksi seseorang terhadap peristiwa stres sangat berbeda dan bersifat subjektif, sangat tergantung pada konsep diri dan ketahanan mental. Sebagian orang yang menghadapi peristiwa stres, mengalami masalah psikologis atau fisik serius, sedangkan orang lain yang berhadapan dengan peristiwa stres yang sama, tidak mengalami apa-apa dan bahkan mungkin merasa peristiwa itu sebagai suatu yang menantang atau menarik. Hal ini dikaitkan dengan persepsi terhadap stressor.
93
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Stres Faktor-faktor yang diuji pengaruhnya terhadap tingkat stres dalam penelitian ini adalah karakteristik anak (jenis kelamin, umur anak saat mendaftar sekolah dasar), karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan ibu, pendapatan utama ayah, dan umur orangtua), aktivitas anak (alokasi waktu aktivitas dalam waktu satu minggu), alokasi waktu anak (pribadi, perjalanan, tidur, bermain, menonton TV, olahraga, dan belajar), serta persepsi anak dan ibu terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua pada anak. Setelah dilakukan uji regresi linear berganda, didapatkan berbagai jenis model regresi. Model yang terpilih adalah sebagai berikut : Y = B0 + B1x1+ B2x2+ B3x3+ B4x4+ B5x5+ B6x6+ B7x7 Y = 53.11 – 2.07X1 – 2.90 X2 –1.70 X3 +0.22 X4 + 0.33 X5 – 6.37X6 – 0.35 X7 + 0.55X8 Keterangan : Y = Tingkat stres B = Koefisien tidak terstandarisasi B B0 = Constant X1 = jenis kelamin X2 = Umur anak saat masuk SD X3 = Alokasi waktu menonton TV
X4 = Usia ayah saat ini X5 = Usia ibu saat anak pertama lahir X6 = Pendidikan ayah X7 = Persepsi anak X8 = Pendapatan utama ayah
Tabel 28 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat stres Koefisien terstandarisasi Beta t 1 3.17 (Constant) 2 Jenis kelamin -0.19 -1.50 3 Umur anak saat masuk SD -0.19 -1.48 4 Alokasi waktu menonton TV -0.34 -2.67 5 Usia ayah saat ini 0.17 1.32 6 Usia ibu saat anak pertama lahir 0.19 1.52 7 Pendidikan ayah -0.29 -2.27 8 Total skor persepsi anak -0.19 -1.52 9 Pendapatan utama ayah 0.17 1.35 13.6% Adjusted R square Keterangan: * = nyata pada p<0.05 **= nyata pada p<0.01 No
Variabel
Koefisien tidak terstandarisasi B Std. Error 53.36 16.81 -2.07 1.38 -2.90 1.96 -1.70 0.64 0.22 0.17 0.33 0.21 -6.37 2.80 -0.35 0.23 0.55 0.41
Sig. 0.00 0.14 0.14 0.01** 0.19 0.13 0.03* 0.14 0.18
Dari berbagai variabel yang tercantum dalam model regresi tersebut, yakni jenis kelamin, umur anak saat masuk SD, alokasi waktu anak menonton televisi, usia ayah saat ini, usia ibu saat anak pertama lahir, pendidikan ayah, pendapatan utama ayah, dan persepsi anak, hanya variabel alokasi waktu menonton televisi (p=0.01) dan pendidikan ayah (p=0.03) yang memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat stres contoh.
94
Nilai adjusted R Square (R2) dalam model regresi ini adalah sebesar 13.6 persen. Hal ini berarti bahwa kedelapan variabel diatas hanya dapat menjelaskan 13.6 persen dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat stres yang dialami oleh contoh, selebihnya dijelaskan oleh variabel-variabel yang lain di luar model tersebut, misalnya lingkungan sekolah. Menurut Anton (2006), stres pada anak terhadap kejadian di sekolah dapat disebabkan oleh beban PR dan tugas yang terlalu banyak, adanya guru atau seseorang yang ditakuti sehingga membuat anak merasa kurang percaya diri, terasing, diejek, dimusuhi, dianggap lemah, dan tidak diajak bermain kawan-kawannya. Hasil uji regresi linear tersebut menunjukkan bahwa alokasi waktu untuk menonton televisi memiliki pengaruh yang nyata terhadap tingkat stres. Semakin meningkatnya alokasi waktu menonton televisi akan menurunkan tingkat stres anak. Dengan menonton televisi anak dapat memenuhi rasa ingin tahunya yang besar, menghilangkan kebosanan, untuk belajar sesuatu, dan lain sebagainya. Hal ini mungkin disebabkan karena dunia anak merupakan dunia eksplorasi, dunia penjelajahan terhadap sesuatu di sekelilingnya. Rasa ingin tahu anak sangat besar, sementara bentuk-bentuk komunikasi interpersonal dengan orangtua dan saudara-saudaranya tidak selalu mudah diperoleh (YKAI 2005 diacu dalam Halim 2006). Meskipun terlalu banyak menonton televisi juga dapat memberikan dampak yang tidak baik pula bagi anak, namun menonton televisi dalam takaran yang tepat terutama acara hiburan juga dapat memberikan anak kesenangan sehingga tingkat stresnya terkurangi. Contoh dalam penelitian ini rata-rata dalam sehari menonton televisi kurang dari 2 jam. Selain alokasi waktu menonton televisi, hasil uji regresi linear juga menunjukkan bahwa pendidikan ayah memiliki pengaruh terhadap stres anak. Tabel 28 memperlihatkan bahwa semakin tinggi pendidikan ayah maka tingkat stres anak akan semakin menurun. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan,
diduga
seorang
ayah
akan
lebih
bijaksana
dalam
mempertimbangkan kegiatan di luar sekolah yang sesuai untuk anak, sehingga stres anak terhadap kegiatan di luar sekolah dapat terkurangi. Hasil uji regresi linear diatas memperlihatkan bahwa alokasi waktu aktivitas di luar sekolah tidak memiliki pengaruh terhadap stres anak. Hal ini diduga disebabkan karena anak masih memiliki waktu yang cukup untuk bermain dan aktivitas lain yang disukai (persentase alokasi waktu leisure contoh adalah 18.7 persen dari alokasi waktu sehari dan persentase alokasi waktu anak untuk
95
kegiatan di luar sekolah adalah 3.0 persen dari alokasi waktu sehari), kegiatan di luar sekolah dipilih sendiri oleh anak (33.3 persen pada anak sibuk dan 36.0 persen pada anak tidak sibuk memilih sendiri kegiatan di luar sekolah yang dilakukan), serta anak menikmati kegiatan di luar sekolah yang dilakukannya (persentase anak sibuk yang mengalami tingkat stres yang tinggi (6.7%) lebih sedikit dibandingkan persentase anak tidak sibuk (13.3%) dalam kategori tersebut).
96
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Lebih dari separuh contoh anak sibuk berjenis kelamin perempuan, dan sebaliknya sebagian besar contoh anak tidak sibuk berjenis kelamin laki-laki. Kurang dari separuh contoh masuk SD ketika berumur kurang dari 6 tahun. Persentase terbesar contoh anak sibuk memiliki besar keluarga sedang, sedangkan anak tidak sibuk memiliki besar keluarga kecil. Lebih dari separuh contoh anak sibuk dan sebagian besar contoh anak tidak sibuk memiliki orangtua dengan kategori usia dewasa akhir. Persentase terbesar usia ayah dan ibu contoh saat anak pertama lahir yakni berada dalam kategori usia 20 hingga 30 tahun. Sebagian besar orangtua contoh berpendidikan perguruan tinggi. Persentase terbesar ayah contoh memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta. Lebih dari separuh ibu contoh pada kedua kelompok
adalah ibu bekerja.
Persentase terbesar pendapatan total ayah contoh pada kelompok anak tidak sibuk berada dalam kisaran lebih dari Rp 10 juta, dan sedangkan pendapatan total ayah pada kelompok anak sibuk berada dalam kisaran yang lebih rendah, yaitu Rp 7.500.001-Rp 10 juta. Terdapat perbedaan yang nyata pada alokasi waktu leisure dan aktivitas di luar sekolah pada kedua kelompok contoh. Alokasi waktu contoh anak sibuk untuk kegiatan di luar sekolah adalah sebesar 1.12 jam (67 menit) tiap harinya (sebesar 4.67 persen alokasi waktu dalam sehari), sedangkan alokasi waktu anak tidak sibuk adalah sebesar 0.31 jam (18 menit). Hampir separuh kegiatan contoh di luar sekolah dilakukan berdasarkan usulan orangtua. Sebagian besar contoh dan ibu contoh memiliki persepsi yang cukup terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua. Tidak terdapat adanya perbedaan baik pada persepsi contoh maupun ibu contoh terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua di kedua kelompok contoh. Persentase terbesar contoh berada dalam kategori tingkat stres sedang. Persentase anak sibuk yang mengalami tingkat stres tinggi lebih sedikit dibandingkan persentase anak tidak sibuk dalam kategori tersebut. Semakin meningkatnya jumlah, jenis, dan alokasi waktu kegiatan di luar sekolah, maka persentase contoh yang berjenis kelamin perempuan dalam kategori tersebut semakin banyak. Semakin meningkat alokasi waktu kegiatan di luar sekolah contoh, maka persepsinya terhadap kegiatan di luar sekolah dan harapan orangtua pada anak akan semakin berkurang. Selain itu, semakin baik
97
persepsi contoh terhadap aktivitas di luar sekolah dan harapan orangtua, maka tingkat stresnya akan semakin menurun. Alokasi waktu untuk menonton televisi dan pendidikan ayah memiliki pengaruh yang nyata terhadap tingkat stres. Semakin meningkatnya alokasi waktu menonton televisi dan pendidikan ayah akan menurunkan tingkat stres anak. Selain itu, ternyata alokasi waktu untuk kegiatan di luar sekolah tidak memiliki pengaruh terhadap stres anak. Saran ● Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi anak berhubungan dengan tingkat stres. Oleh karena itu, sebaiknya sebelum menganjurkan untuk melakukan kegiatan di luar sekolah, orangtua menumbuhkan persepsi yang positif dalam diri anak terhadap kegiatan yang akan dilakukannya tersebut, diantaranya adalah dengan jalan memaparkan manfaat kegiatan tersebut bagi anak (menyalurkan hobi, menambah teman, dan sebagainya). Meskipun demikian orangtua tidak diperbolehkan menekan atau memaksa anak untuk mengikuti kegiatan di luar sekolah. ● Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa menonton televisi merupakan salah satu kegiatan yang dapat mengurangi stres anak. Meskipun demikian, orangtua sebaiknya mendampingi anak dalam menonton televisi untuk memberikan arahan mengenai tayangan televisi dan supaya anak tidak terlalu lama menonton televisi.
98
DAFTAR PUSTAKA Abdullah H. 2005. Fenomena Sindrom ”Hurried Child”. reference not valid. [25 Desember 2007]
Error! Hyperlink
Agustina H. 2003. Alokasi Waktu Anak Untuk Leisure dan Hubungannya dengan Prestasi Belajar Siswa SD di Kota Medan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Alvin N. 2007. Handling Study Stress. Jakarta : PT elex Media Komputindo. Amstrong T. 2004. The Hurried Child Syndrome: What You Can Do About It. www.tnpc.com/parentalk/index.htm. [25 Desember 2007] Anonim. 1998. Motivasi belajar rendah. Seri Majalah Ayahbunda (Kesehatan dan Perilaku Anak Usia Sekolah 6-12 Tahun, hlm. 100 _________ 2002. Hurry!hurried!hurrumph!.www.det.nmw.edu.au/inform. Desember 2007]
[25
_________ 2003. Mungkinkah anak stres lalu bunuh diri?. www.pikiranrakyat.com [25 Januari 2008] _________ 2005. Dampak perceraian bagi anak. http://www.balipost.com/ BaliPostcetak/ 2005/4/3/ce2.html [25 Januari 2008] _________ 2007. Radani Edutainment. Bermain Cerdaskan Emosi Anak. http://www2.kompas.com/ver1/Perempuan/0704/26/184534.htm. [17 Oktober 2008] Anton
W, 2006. Waspadai stress pada www.portal.Cbn.net.id [25 Januari 2008]
anak.
Tabloid
Ibu
Anak
Astuti DF. 2007. Tingkat Stres dan Coping Strategy pada Prajurit Zeni di Pusat Pendidikan Zeni Kodiklat TNI AD, kota Bogor. [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. BPS [Badan Pusat Statistik]. 2005. Pengangguran bertambah 600 ribu orang. http://www.tokohindonesia.com/pejabat/badan/bps/2005/index.shtml . [17 Oktober 2008] Dahlan MS. 2004. Statistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta : PT Arkans Endaryanto T. 1999. Persepsi dan partisipasi masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat program makanan tambahan Anak Sekolah (PMT-AS). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Gunarsa SD, Gunarsa YSD. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
99
Gross G. tt. Are your giving your kids hurried child syndrome ? http://www. naturalfamilyonline.com/5-ap/46-hurried-child.htm. [25 Desember 2007] Halim YH. 2006. Pengaruh Pola Menonton Film Kartun Berunsur Kekerasan Di Televisi Terhadap Tindakan Kekerasan Anak. [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hurlock E. 1978. Child Develompment, sixth edition. New York: Mc Graw-Hill, Inc _________ 2002. Perkembangan Anak, Edisi Keenam. Meitasari T, Muslich Z, penerjemah. Jakarta : Penerbit Erlangga. Imam S. 2007. 15 Desember 2007. Sekolah, sumber stres anak. Tabloid Nakita No 454/TH. IX/. hal. 14 Johnson JJ. 2004. Stress in children. www.acces.mylibrary.com/coms/browse .JJJ069. [25 Desember 2007] Karen, J.P. tt. Stress and young children. http://www.ericdigests.org/20034/stress.html [25 Desember 2007] Kusumaningrum A. 2006. Keragaan Anak Sibuk ; Prestasi Belajar, Kecerdasan Emosional, Status Gizi, dan Status Kesehatan [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Longo, M.F. tt. Children and stress : Are you pushing children too hard?. http://ohio line.osu. edu/ hyg-fact/ 5000/5152.html [25 Desember 2007] Lyness D. 2007. Stress. http://www.kidshealth.org/teen/your_mind/Emotions/ stress.html [25 Desember 2007] Mindock PL. 1999. Calender Overload. www.cribnotes.com/html/so-99/so-99family.html [17 Oktober 2008] Newman J, Bidjerano T, Kao C, Johnson JJ. 2007. What do they usually do after school? A comparative analysis of fourth-grade children in Bulgaria, Taiwan, and The United States. The Journal of Early Adolenscence, Vol 27, No 4: 431-456. http://jea.sagepub.com/cgi/content /abstract/ 27/4/431? rss=1 Nurdadi S. 2001. Usia masuk sekolah. Majalah Ayahbunda No 03, 10-23 Feb 2001, hlm 40. Nasution 1994. Materi Pokok Psikologi Pendidikan. Jakarta : Penerbit Universitas Terbuka, Dekdikbud. Pratama AA. 2005. Stres Ibu Dan Keharmonisan Pasangan Suami Istri Pada Keluarga Miskin Di Kota Bogor Dan Depok [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Papalia, D. E. & Olds, S. W. 1981. Human Development 2nd ed. US : Mc Graw Hill Book Company.
100
Ruffin NJ, 2001. Children and stress: caring strategies to guide children. http://www.ext.vt.edu/pubs/family/350-054/350-054.html [25 Desember 2007] Sjafriani R. 2007. 14 Juni 2007. Stres mengintai kaum muda. Seputar Indonesia :31(kolom 1-6). Suhesti. 2003. Saat anak mogok sekolah. www.pikiranrakyat.com. [25 Januari 2008] Sumosardjuno S. Aktivitas fisik. Seri Majalah Ayahbunda (Kesehatan dan Perilaku Anak Usia Sekolah 6-12 Tahun, hlm. 32-33 Sunarti E, Karsin E, Djamaluddin MD. 2006. Kajian Ekologi Pengasuhan Anak : Keragaan Anak-anak Sibuk dan Tergesa-gesa (Hurried Children) serta Faktor yang Mempengaruhinya. Laporan Kemajuan Penelitian Hibah Due-Like. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Uyanto SS. 2006. Pedoman Analisis Data Dengan SPSS. Jakarta : Penerbit Graha Ilmu Zoelandari M. 2006. Stres bisa hinggapi anak. www.insipiredkidmagazines.com [25 Januari 2008].
101
58
Lampiran 1 Variabel dan reliabilitasnya Variabel 1. Tingkat stres 2. Persepsi anak Persepsi anak terhadap aktivitas - Anak yang memiliki banyak kegiatan di luar sekolah tidak memiliki waktu untuk bermain dengan temannya - Melakukan kegiatan les/kursus/bimbingan sepulang sekolah lebih bermanfaat daripada bermain
Reliabilitas (αcronbah) 0.8607 0.8075
- Anak yang memiliki banyak kegiatan di luar sekolah sering merasa kelelahan - Anak merasa terpaksa melakukan kegiatan di luar sekolah - Kegiatan di luar sekolah tidak menyita waktu - Semakin banyak kegiatan di luar sekolah maka semakin banyak teman - Anak merasa berat jika memiliki banyak kegiatan di luar sekolah - Kegiatan di luar sekolah bermanfaat untuk masa depan - Guru dan pelatih kegiatan di luar sekolah menyenangkan - Perjalanan menuju tempat kursus melelahkan - Anak harus diajari berbagai ketrampilan sejak dini - Anak yang memiliki banyak kegiatan di luar sekolah tidak menikmati masa kanak-kanaknya - Memiliki banyak kegiatan di luar sekolah dapat membahagiakan orangtua Persepsi anak terhadap harapan orang tua - Para orangtua mengharuskan anak lebih unggul dibandingkan dengan teman-temannya - Para orang tua selalu mengharapkan anak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri 3. Persepsi ibu Persepsi ibu terhadap aktivitas anak Anak yang memiliki banyak kegiatan di luar sekolah tidak memiliki waktu untuk bermain dengan temannya Anak merasa berat jika memiliki banyak kegiatan di luar sekolah Mengikuti banyak kegiatan di luar sekolah tidak menyebabkan prestasi akademik dan nilai anak menurun Anak SD kelas 5 tidak harus memiliki banyak kegiatan di luar sekolah
.8466
0.7304
59
Lampiran 1 (Lanjutan) Variabel Bermain merupakan hal yang tidak bermanfaat Memiliki banyak kegiatan di luar sekolah membuat anak lebih pandai bersosialisasi Anak yang memiliki banyak kegiatan di luar sekolah tidak menikmati masa kanak-kanaknya Para orang tua seringkali memaksakan anak untuk mengikuti kegiatan di luar sekolah Kegiatan di luar sekolah bermanfaat untuk masa depan Anak harus diajari berbagai ketrampilan sejak dini Kegiatan diluar sekolah dipilih berdasarkan keinginan anak Persepsi anak terhadap harapan orang tua Anak harus selalu lebih unggul di banding anak yang lain Anak tidak harus dapat menyelesaikan masalahnya sendiri Anak harus mengerjakan segala sesuatunya dengan sempurna Anak-anak harus secepatnya dilatih untuk menjadi dewasa
Reliabilitas (αcronbah)
0.7794
60
Lampiran 2 Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov(a) Statistic df Sig. 0.126 60 0.020 0.187 60 0.000
Shapiro-Wilk Statistic df Sig. 0.973 60.000 0.205 0.899 60.000 0.000
Umur anak saat masuk SD Jumlah aktivitas dalam seminggu alokasi waktu aktivitas dalam satu minggu 0.201 60 0.000 0.913 Perjalanan 0.117 60 0.040 0.954 Tidur siang 0.190 60 0.000 0.850 Tidur malam 0.140 60 0.005 0.962 Leisure total 0.105 60 0.096 0.961 Belajar 0.101 60 0.196 0.955 Besar Keluarga 0.284 60 0.000 0.829 Usia ayah saat ini 0.081 60 0.200 0.981 Usia ibu saat ini 0.098 60 0.200 0.986 Usia ayah saat anak pertama lahir 0.189 60 0.000 0.907 Usia ibu saat anak pertama lahir 0.121 60 0.028 0.978 Total skor tingkat stres 0.090 60 0.200 0.974 Total skor persepsi anak 0.129 60 0.015 0.946 Total skor persepsi ibu 0.096 60 0.200 0.980 Keterangan : Normal, jika p > 0.05 ( uji normalitas Shapiro-Wilk)
60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000
0.000* 0.025 0.000* 0.057 0.055 0.027 0.000* 0.454 0.716 0.000* 0.341 0.233 0.010* 0.447
Lampiran 3 Contoh jadwal pelajaran anak SD Bina Insani kelas 5B tahun ajaran 2008/2009 Kelas Waktu
Senin
07.10-07.20 07.20-07.55 07.55-08.30 08.30-09.05 09.05-09.20 09.20-09.55 09.55-10.30
UPACAR A IPA IPA
Selasa TADARU S MTK MTK MTK
Tek. Info Tek. Info
Inggris olahraga
10.30-11.05
MTK
olahraga
11.05-11.40 11.40-12.30 12.30-13.05 13.05-13.40 13.40-14.15
MTK
olahraga
MTK Bhs Ind Bhs Ind
olahraga Bhs Ind Bhs Ind
5B Rabu TADARUS AGAMA AGAMA AGAMA ISTIRAHAT bhs sunda bhs sunda kewarganegaraa n kewarganegaraa n ISTIRAHAT IPA IPA Bhs Ind
Kamis SHOLAT DHUHA Inggris Inggris
Jumat TADARU S AL Qur'an AL Qur'an AL Qur'an
seni seni
IPS IPS
seni
IPS
seni Pramuka Pramuka Pramuka
Keterangan : IPA = Ilmu Pengetahuan Alam IPS = Ilmu Pengetahuan Sosial MTK = Matematika Ekskul = Ekstrakurikuler Seni = Seni budaya dan ketrampilan Olahraga = Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan Bhs Ind = Bahasa Indonesia Tek. Info = Teknologi Informasi
ekskul ekskul