KONVERGENSI PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ADMINISTRASI PUBLIK DAN PEMBANGUNAN Rumzi Samin1
Abstract The concept of science, the state administration there was a shift from the pressure point of public administration which the country as a single agent function implementation of state/government; administration for the public that emphasize the function of state/ government who served in public service; to public administration by public demand beroreintasi that are differentiated. The administrator has to do with guiding the development of change in question. Development Administration used the term compared with term administration of traditional governance to indicate the need for a dynamic process, particularly designed to meet the needs associated with social and economic changes.
1. Sekilas Tentang Administrasi negara ke administrasi publik Ilmu Administrasi selalu mengikuti perkembangan zaman. Ilmu ini terus mengalami perubahan-perubahan, penyempurnaan-penyempurnaan dan bahkan juga penambahan cakupannya. Administrasi adalah : proses penataan usaha yang timbul ketika sekelompok orang yang memiliki tujuan sama kemudian berinteraksi dalam suatu organisasi, melakukan kerjasama dengan menggunakan instru1
men dan sumber yang mungkin terbatas. Dengan demikian, maka jika syarat-syarat seperti adanya sekelompok orang, penataan usaha, kerjasama dan tujuan tertentu sudah terpenuhi, maka segala kegiatan apapun itu bentuknya, sudah muncul apa yang disebut administrasi. Oleh karenanya cakupan pembelajarannya sangatlah luas. Dalam perkembangan konsep ilmu administrasi negara maka terjadi pergeseran titik tekan dari administration of public dimana nega-
Plt. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji dan Dosen Tetap pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raa Ali Haji.
2
Konvergensi Perkembangan Pemikiran Administrasi Publik dan Pembangunan
ra sebagai agen tunggal imlementasi fungsi negara/pemerintahan; administration for public yang menekankan fungsi negara/pemerintahan yang bertugas dalam public service; ke administration by public yang beroreintasi bahwa public deand are differentiated, dalam arti fungsi negara/pemerintah hanya sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik tekan pada putting the costumers in the driver seat. Dimana determinasi negara/pemerintah tidak lagi merupakan faktor atau aktor utama atau sebagai driving forces. 2. Pengertian Administrasi Pembangunan. Sebelum memberikan definisi kerja dari administrasi pembangunan, Dr. S.P. Siagian, MPA, memisahkan pokok pengertian dari administrasi pembangunan. Menurutnya administrasi pembangunan meliputi dua pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan. Dalam bukunya yang berjudul Filsafat Administrasi, 1973:13, dia mengemukakan bahwa : “administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan daripada keputusan-keputusan yang telah diambil dan pelaksanaan itu pada umumnya ditentukan oleh dua orang manusia atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.” Dan mengenai pembangunan, dalam bukunya yang berjudul “Administrasi Pembangunan”, SP. Siagian mendefinisikan sebagai: “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nationbuilding).” Dari definisi pembangunan menurut Siagian tersebut, maka jelas dapat kita lihat pokok-pokok ide yang tersurat, yaitu adanya suatu proses yang terus menerus, usaha yang dilakukan dengan perencanaan, orientasi pada perubahan yang signifikan dari keadaan sebelumnya, memiliki arah yang lebih modern dalam artian luas yang mencakup seluruh
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, memiliki tujuan utama untuk membina bangsa. Definisi kerja (working definition) dari Administrasi Pembangunan menurut Siagian adalah “seluruh usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk memperbaiki tata kehidupannya sebagai suatu bangsa dalam berbagai aspek kehidupan bangsa tersebut dalam rangka usaha pencapaian tujuan yang telah ditentukan.” Namun sekedar perbandingan untuk dapat memberikan rumusan definisi mengenai administrasi pembangunan yang mudah diingat tanpa mengurangi unsur yang ada, ada baiknya apabila kita juga melihat pendapat dari para cendekia yang lain. Bintoro Tjokroamidjojo dalam bukunya Pengantar Administrasi Pembangunan mengemukakan bahwa: “Proses pengendalian usaha (administrasi) oleh negara/pemerintah untuk merealisir pertumbuhan yang direncanakan ke arah suatu keadaan yang dianggap lebih baik dan kemajuan di dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.” Giandjar Kartasasmita dalam bukunya Administrasi Pembangunan mengemukakan bahwa administrasi pembangunan adalah “suatu administrasi bagi usaha pembangunan sosial ekonomi yang bersifat dinamis dan inovatif dan mengupayakan perubahan berbagai aspek kehidupan masyarakat melalui berbagai pengerahan dan alokasi sumber daya untuk kegiatan pembangunan” Dari beberapa definisi tersebut, terdapat kesamaan ide pokok, yaitu : 1. Adanya suatu proses. Proses disini berarti suatu usaha yang dilakukan secara terus menerus. 2. Adanya administrator, dalam hal ini adalah pemerintah atau negara. 3. Adanya masyarakat. 4. Perubahan dan Modernisasi. Yang maksudnya adalah keinginan perubahan kearah yang lebih baik yang multi dimensi,
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 1-10
dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan dan juga administrasi. Maka, dengan berpedoman dan tanpa menghilangkan ke 4 (empat) pokok pemikiran diatas, maka penulis mencoba merumuskan definisi mengenai Administrasi Pembangunan dalam rangka mempermudah pemahamannya. Administrasi Pembangunan menurut penulis adalah :”Proses yang dilakukan oleh Administrator dalam upaya mendorong masyarakat kearah modernisasi yang multi-dimensional secara administratif.”
3. Rasionalisasi administrasi : mengatasi kelangkaan dana Sejarah pemerintahan RI pada bagian depan telah memperlihatkan bahwa Republik Indonesia adalah negara-kelanjutan dari Hindia Belanda. Artinya struktur negara RI bukanlah struktur yang baru, dan dalam sangat banyak hal malah melanjutkan —jika bukannya melestarikan— budaya dan perilakunya. Euphoria kemerdekaan 1945 untuk sementara menghasilkan pemerintahan pada 1950-an yang bersifat relatif demokratis, ada puluhan partai politik dan pemerintahannya bersistem parlementer. Namun, berlawanan dengan nilai demokrasi, dalam negara “baru” ini para politisi mengatur sistem administrasi hingga pada penempatan personalianya, dimana jabatan administrasi tampaknya dipandang sebagai imbalan bagi kemenangan politik mereka. Sistem politik yang demokratis menghasilkan perubahan pemerintahan yang sangat sering, dan dalam tubuh administrasi terjadi penyalahgunaan wewenang. Ini disadari oleh politisi manapun. Karena itu, melawan praktik mereka sendiri, berbagai pemerintahan dari partai manapun berusaha melakukan perbaikan sistem adminstrasi dari tahun ke tahun yang salah satu nilainya adalah: rasional, the right man on the right place.
3 Penyimpangan praktik administrasi atau mal-administrasi yang ditandai dengan menurunnya atau tiadanya disiplin, ketekunan, ketelitian, kecermatan dan semangat kerja —yang dengan mudah tertumpangi oleh korupsi— disebabkan oleh beberapa sebab. Pertama, situasi transisi menciptakan ketidaknyamanan dan ketidakamanan kerja, sehingga kebanyakan pegawai “menyelamatkan diri sendiri”; ke-dua, pejabat yang duduk di dalam birokrasi kebanyakan adalah pejabat lama yang sebelumnya merupakan pegawai Hindia Belanda, yang berorientasi bukan kepada prestasi melainkan askripsi, masih sangat sedikitnya jumlah profesional modern yang dapat ditarik ke dalam birokrasi. Memang praktik administrasi kolonial Belanda sejak Daendels (sekitar 1810) telah dapat disebut sebagai administrasi negara “modern”, tetapi tidak banyak orang Indonesia yang bekerja di dalamnya apalagi memegang jabatan pimpinan dan lebih dari itu mereka cenderung mempertahankan gaya patrimonial yang askriptif. Sementara itu organisasi pergerakan nasional yang pertama pada awal abad ke-20 seperti Boedi Oetomo dan Muhammadiyah serta organisasi pergerakan berikutnya seperti Syarekat Dagang Islam dan Partai Komunis Indonesia tentunya juga sudah mengenal adminstrasi modern itu, tetapi ketika negara Indonesia terbentuk tidak dijumpai tenaga terdidik dalam jumlah yang memadai di bidang ini. Hal itu disadari sepenuhnya oleh pemerintah, sehingga setelah RI dalam kondisi relatif normal, sukses memenangkan pengakuan internasional, pemerintah mulai berusaha memecahkan penyebab yang ketiga, yakni kelangkaan tenaga profesional di bidang administrasi negara. Sejak 1951 hingga 1955 diperkenalkanlah ilmu administrasi negara “modern”, jauh lebih belakangan dibanding pengenalan ilmu hukum dan ekonomi —serta teknik dan kedokteran— yang telah dimulai sejak 1900-an. Ilmu administrasi yang diintrodusir pada paruh pertama dasawarsa 1950-
4
Konvergensi Perkembangan Pemikiran Administrasi Publik dan Pembangunan
an ini berorientasi ke Amerika Serikat, yang dipandang lebih praktis dan pragmatis dibanding sistem administrasi kolonial Belanda yang bersifat legalistik. Pengintroduksiannya dilakukan melalui pembentukan jurusan administrasi negara di Universitas Indonesia (UI) di Jakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Pengenalan di bidang akademik itu berlangsung berbarengan dengan usaha rasionalisasi organisasi pemerintah Pusat oleh Kabinet Wilopo yang berumur sekitar 15 bulan (3 April 1952 hingga 1 Agustus 1953). Kabinet berikutnya yang dipimpin Ali Sastroamidjojo (berumur dua tahun, 1 Agustus 1953 hingga 12 Agustus 1955) mempunyai program yang antara lain berisi: (a) menyusun aparatur pemerintah yang efisien serta pembagian tenaga yang rasional dengan mengusahakan perbaikan taraf kehidupan pegawai dan (b) memberantas korupsi dan birokrasi. Terlihat dari visi kedua kabinet di awal RI yang baru ini, bahwa sistem administrasi hendaklah disusun secara rasional: sederhana, mudah dan tidak birokratis, dimana para pegawainya yang sejahtera dapat bekerja secara efisien dan tidak memungkinkan terjadinya korupsi. Visi seperti ini terus dibawa pada masa-masa berikutnya, ditambah dengan peningkatan kemampuan pegawai. Program berikutnya adalah pembentukan Panitia Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian (PANOK, 1952-1954). Pada 1953 T.R. Smith dari USA menyusun laporan untuk Biro Perancang Negara berjudul Public Administration Training. Setahun kemudian dua orang profesor dari Amerika yang diundang ke Indonesia, Edward H. Lichtfeld dan Alan C. Rankin, menyusun laporan rekomendasi yang berjudul Training for Administration in Indonesia. Selanjutnya pada 1957 dibentuk Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai lembaga yang hingga kini punya peran yang menentukan terhadap penampilan birokrasi Indonesia, pada 1962 dibentuk Panitia Retooling
Aparatur Negara (PARAN) dan pada 1964 Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR). Retooling atau “pembersihan” dalam dua kepanitian terakhir bernuansa politis: menyingkirkan pegawai yang tak sehaluan dengan partai yang sedang memerintah (the ruling party). Dengan kata lain birokrasi di Indonesia pada dua dasawarsa pertama ini bersifat spoil system —situasi yang juga sangat dominan selama tahun-tahun pertama pemerintahan Amerika Serikat abad-18. Sementara itu pada 1958, sebagai imbas dari politik luar negeri Indonesia yang berusaha untuk membangun solidaritas regional Asia Tenggara, Indonesia mengikuti sebuah konferensi di Manila yang kemudian membentuk organisasi Eastern Regional Organisation for Public Administration (EROPA). Kecuali itu Indonesia juga menjalin hubungan dengan International Institute for Administrative Science (IIAS) di Brussel. Sesudah itu hingga 1965 dijumpai banyak tulisan tentang administrasi pada umumnya dan administrasi negara pada khususnya oleh penulis-penulis seperti Prajudi Atmosudirdjo, Awaloedin Djamin, Achmad Sanusi, Tobias Subekti, Soejoed, Sondang P. Siagian, Sujoto, The Liang Gie, Daoed Joesoef, J.E. Ismail dan Kosim Adisaputra. Penulis yang terakhir ini meletakkan embrio pemikiran tentang administrai pembangunan di Indonesia yang akan dijelaskan di belakang. Instabilitas politik dan ketidaknetralan birokrasi merupakan dua isu penting yang hendak dikoreksi oleh Presiden RI kedua, Soeharto, yang memerintah sejak Juli 1966 dan resmi mulai Maret 1968. Sekalipun sesungguhnya Indonesia era Soekarno telah mencoba mempraktikkan dua sistem ekonomi politik yang saling bertolak-belakang: liberal pada awalnya dan etatis pada akhirnya, pemerintahan Soeharto dalam diskurs publiknya selalu menonjolkan buruknya liberalisme era Soekarno tentu saja untuk melegitimasi etatisme dalam modelnya. Pada tahun 1967 dibentuklah secara berturut-turut tiga buah tim: tim
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 1-10
penyusun daftar susunan pegawai dan peralatan, tim pembantu Ketua Presidium Kabinet Ampera dan tim penertiban aparatur/administrasi pemerintah (Tim PAAP). Masih dengan nafas politis, tim yang terakhir ini diketuai oleh Menteri Tenaga Kerja, bukannya misalnya Mendagri atau Sekneg. Mereka bertugas untuk merestrukturisasi susunan departemen, mengubah penggolongan pegawai, rasionalisasi serta restrukturisasi perusahaan negara dengan mengurangi peran negara (deetatisasi), menyederhanakan prosedur administrasi (debirokrasi) antara lain dengan menggolongkan perusahaan negara ke dalam tiga bentuk sesuai dengan besarnya kapital pemerintah di dalamnya (perusahaan jawatan, perusahaan perseroan dan perusahaan umum) dan mengurangi kontrol negara terhadap perusahaan negara (dekontrolisasi). Selanjutnya, tidak ketinggalan, dibentuk pula Tim Pemberantasan Korupsi. Terlihat pada visi administrasi baik pemerintahan Soekarno(-Hatta) maupun Soeharto di atas bahwa pemerintah Indonesia sejak awal telah meyakini ide-ide administrasi yang rasional, tidak nepotis, tidak berbelit-belit dan tidak korup. Namun berbeda dengan visi, fase bernegara yang masih sangat muda pada era Soekarno terbukti tidak mampu menahan nepotisme yang berakibat pada korupsi. Bahkan usaha rasionalisasi militer yang dirancang oleh AH Nasution (dan Hatta) menghasilkan resistensi yang meletus sebagai pemberontakan di beberapa daerah. Bagaimana dengan era Soeharto? Berturut-turut selama 32 tahun pemerintahannya penyempurnaan administrasi sesungguhnya menjadi salah satu program yang dipertahankannya. Tetapi stabilitas politik yang cenderung monolitik memungkinkan berlangsungnya pemekaran birokrasi yang hampir tak terkontrol. Akibatnya sama saja dengan era sebelumnya: korupsi. Ide tentang penyempurnaan administrasi dan administrative reform itu berkembang sebagai bagian dari konsep administrasi pembangunan. Yang ketiga sebagai induknya
5 akan kita bahas setelah ini, sedangkan yang pertama dan kedua dibahas pada bagian sesudahnya. 4. Administrasi pembangunan: menciptakan kesejahteraan Pemikiran tentang administrasi pembangunan mulai masuk dan tumbuh di Indonesia pada tahun 1963, ketika Soekarno masih berkuasa dengan gaya etatisme melalui semboyan “demokrasi terpimpin”-nya. Gagasan ini sejak 1967 semakin dikembangkan, yakni ketika Soeharto sebagai pejabat sementara Presiden memilih untuk melakukan pembangunan yang terencana bentuk lunak dari etatisme dan kemudian menjadikan pembanguan sebagai “ideologi” dan basis legitimasi utama pemerintahannya. Dari segi akademik konsep administrasi pembangunan kiranya merupakan perkembangan lanjutan dari studi tentang perbandingan administrasi dan ekologi administrasi yang merespons paradigma konsep dan prinsip umum administrasi serta ilmu administrasi fungsionil. Tokoh-tokoh pemikiran administrasi pembangunan ini di Indonesia antara lain adalah Awaloedin Djamin yang pernah menjabat Menteri Tenaga Kerja, Bintoro Tjokroamidjojo yang pernah mengepalai LAN dan Sondang P. Siagian , Ginandjar Kartasasmita yang pernah menjadi Ketua Bappenas dan Menteri Negera Perencanaan pembangunan, keempatnya sepertinya tidak tergantikan oleh penulis lain hingga tahun 2000 ini. Pemerintahan Soeharto berusaha untuk mengoreksi kelemahan —untuk tidak menyebut kegagalan— sistem liberal di satu pihak dan etatisme di pihak lain pada masa pemerintahan antara 1950 hingga 1965. Konsepnya adalah: dikembangkannya suatu sistem ekonomi pasar yang terencana dimana pemerintah merupakan unsur pembangunan (agent of development). Agen di sini mempunyai pengertian bahwa pemerintah bukanlah pihak yang (paling) menguasai kegiatan-kegiatan ekonomi melainkan merupakan organ yang
6
Konvergensi Perkembangan Pemikiran Administrasi Publik dan Pembangunan
mengarahkan, mengawasi, membimbing dan menggairahkan kegiatan ekonomi. Untuk itu pemerintah membuat rencana pembangunan dan mendekonsentrasikan pengambilan keputusan ekonomi kepada swasta. Dibandingkan dengan gagasan new public management, reiinventing government, lean government atau schlanker Staat, konsep administrasi pembangunan pada akhir 1960-an ini dapat dikatakan sudah sangat maju. Tetapi berbeda dengan negara-negara Amerika dan Eropa, dimana konsep new public management berkembang sejak awal 1980-an setelah pemerintah menyadari bahwa dirinya telah mulai terlalu aktif dan kemudian merasa tidak lagi berdaya untuk tetap aktif, di Indonesia sejak awal 1970-an konsep tersebut dikembangkan justru ketika pemerintah sedang memperoleh rejeki minyak yang memungkinkannya aktif bekerja sebagai aktor utama pembangunan. Akibatnya sekalipun gagasan itu tetap bertahan dan disebarkan dalam berbagai pendidikan dan latihan (diklat) pegawai negeri, praktiknya adalah bahwa administrasi Indonesia berperan sebagai penguasa dan bukannya pengarah hingga paruh pertama 1980-an. Perkembangan gagasan administrasi pembangunan dapat dilacak awalnya dari tahun 1951 ketika PBB mengeluarkan buku kecil tentang standar dan teknik administrasi negara khususnya untuk keperluan bantuan teknis bagi negara-negara berkembang.
Tahun 1952 para ahli melakukan pertemuan dan menghasilkan laporan berjudul Outline of a Suggested Method of Study of Comparative Administration —mereka di kemudian hari terbentuk sebagai Comparative Administration Group (CAG) lalu berkembang menjadi Development Administration Group (DAG). Perhatian utama dari organisasi ini adalah masalah-masalah administrasi di negaranegara sedang berkembang dalam konteks sosial, budaya , politik dan ekonomi mereka. Tahun 1961 PBB menyusun buku lagi berjudul A Handbook of Public Administration Current Concepts and Practice with Special Reference to Developing Countries. Dari pengalaman empiris negara-negara sedang berkembang, DAG merumuskan alat analisa untuk administrasi di negara-negara tersebut. Mereka kemudian merasakan adanya beberapa perbedaan antara konsep administrasi negara di negara-negara maju dengan administrasi negara di negara-negara yang sedang membangun, sebagaimana terlihat pada Tabel berikut. Terlihat pada pembedaan ini bahwa apa yang disebut “administrasi pembangunan” bersifat sangat reformatif untuk mengejar tujuan-tujuan perubahan ke arah yang lebih “baik” pada khususnya dan untuk menanggapi situasi riil lingkungan pada umumnya. Dalam penjelasannya Tjokroamidjojo mengatakan, bahwa administrasi pemba-
Perbedaan antara administrasi negara dan administrasi pembangunan. Administrasi negara netral di hadapan masyarakat
Administrasi pembangunan mempengaruhi dan mengarahkan masyarakat
pelayanan publik dan efisiensi
Inovasi
agen penyeimbang
Agen perubahan dan pembangunan
legalistis, hukum dan ketertiban
ekologis, pemecahan orientasi pada program
Sumber: Diringkas dari Tjokroamidjojo 1995, h. 9-10.
masalah,
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 1-10
ngunan tidak saja menghendaki administrasi kepegawaian yang rapi tapi juga memungkinkan diperolehnya pegawai yang berkualitas untuk sektor-sektor yang diprioritaskan bagi pembangunan serta yang berorientasi kepada prestasi. Contohnya dalam hal ekspor, administrasi pembangunan tidak saja menghendaki tertibnya ekspor melainkan juga bergairahnya ekspor dan ini seringkali mensyaratkan adanya perubahan sistem administrai yang beresiko kurang tertib dan kurang lancar untuk sementara waktu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa adminitrasi pembangunan mengandung arti “pengadministrasian usaha-usaha pembangunan” di satu pihak dan “pembangunan sistem administrasi” di pihak lain. Konsep administrasi pembangunan juga terkesan berusaha menjadi jalan tengah antara bentuk negara yang laissez faire dan welfare state. Pemerintah tidak membiarkan masyarakat memenuhi kebutuhannya sendiri dan sebaliknya tidak juga menjadi abdi sosial, melainkan mendorong masyarakat untuk berkembang. Tetapi konsep ini tampaknya sulit dilaksanakan, dalam arti pemerintah di negara yang sedang berkembang cenderung memperluas kegiatannya, karena di negara tersebut hanya pemerintahlah yang memiliki potensi modernitas tenaga terdidik, teknologi, sentuhan informasi dan penguasaan dana. Dan tampaknya memang dalam praktiknya konsep ini sulit dijumpai dalam bentuknya yang ideal. Apa yang diharapkan sebagai pemerintahan-tengah tidak terwujud, dan konsep administrasi pembangunan relatif tinggal angan-angan, jika bukannya konsep itu sendiri memang bersifat utopis. Hal ini diakui sendiri oleh Tjokroamidjojo, yang melihat bahwa negara-negara yang pada dasarnya laissez faire pun pada akhir 60an cenderung untuk meningkatkan aktivitasnya di bidang pelayanan umum, apalagi di negara-negara yang sedang berkembang. Konsep ini menjadi surut popularitasnya ketika praktik pembangunan di Indonesia mendapatkan kritik terutama karena terjadinya
7 bias pembangunan ke Jawa, ke perkotaan dan ke lapisan yang mampu, sehingga menimbulkan jurang sosial yang sangat lebar antara kelompok kaya dan miskin di satu pihak, dan karena pembangunan terbukti dijadikan ideologi untuk melanggengkan kekuasaan dan menekan pertumbuhan demokrasi. Bahkan pada 1982 dua orang pengamat administrasi pembangunan telah melontarkan kritik mereka dalam istilah the paradox of development administration pembangunan memerlukan sistem administrasi yang efektif, tapi sistem administrasi yang efektif menghambat pembangunan politik (baca: demokratisasi) yang akibatnya justru menjadikan sistem administrasi itu korup, yang mengakibatkan sistem administrasi itu boros, nepotis, tidak efektif, sehingga menciptakan distorsi pembangunan dan apa yang disebut “ekonomi biaya tinggi”. Nepotisme berlangsung secara meluas, dimana para pejabat instansi berusaha merekrut “teman-teman” mereka. Dan karena banyak pejabat yang melakukan ini, maka “ketenteraman dan keharmonisan” kerja di instansi tak dapat terjaga. Selain bias pembangunan, kritik terhadap praktik pembangunan juga diajukan terhadap prioritas kebijakannya, yakni terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (yang berdampak kesenjangan sosial) dan mengabaikan pembangunan sumberdaya manusia. Oleh karena itu, apalagi dengan menguatnya kepedulian terhadap pencemaran lingkungan, sejak akhir 1980-an dan awal 1990-an di Indonesia konsep pembangunan berkelanjutan (pertumbuhan plus pemerataan atau redistribusi dan penghapusan kemiskinan, perhatian terhadap kualitas manusia dan lingkungan hidup) mulai dikenal. Administrasi pembangunan seringkali terwujud sebagai “proyek pemerintah” dengan masyarakat sebagai obyeknya —yang tidak boleh menolak. Misalnya, “pembangunan pengusaha kecil” berarti dilakukannya pembinaan oleh banyak instansi pemerintah terhadap pengusaha kecil, sehingga para peng-
8
Konvergensi Perkembangan Pemikiran Administrasi Publik dan Pembangunan
usaha itu justeru mengeluh karena terlalu sering dibina oleh instansi yang berbeda, yang memakan banyak waktu tapi dengan hasil yang tidak jelas. Contoh lain adalah di bidang kesehatan. Program-program pembangunan kesehatan dilancarkan bukan karena masyarakat ingin sehat, melainkan karena memang pemerintah “harus” menjalankan program itu dan menjadikan masyarakat sebagai kliennya, sebagai “saluran bantuan obat yang memang harus disalurkan”. Di berbagai pelosok desa dididik apa yang disebut kader sehat, bukan karena mereka menghendakinya melainkan karena para birokrat lokal harus melakukan itu untuk membuat “laporan pembangunan kesehatan”. Masyarakat tidak terlibat atau dilibatkan dalam perumusan program, aspirasinya tersumbat dan tidak berdaya. Mereka menjadi bersifat tergantung dan menggantungkan diri kepada pemerintah, kehilangan daya kritis, pasif dan menunggu. Aktivitas pembangunan (dari dan oleh pemerintah untuk masyarakat) jadinya menawarkan proyek-proyek yang seringkali asing bagi masyarakat penerima, dan inilah yang tampaknya memupuk rasa frustrasi masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan dan menyulut berlangsungnya banyak protes massal sejak 1992-an. Lebih dari itu, anehnya, pada tahun 1992 itu kemiskinan dan keterbelakangan masih tetap merupakan masalah paling nyata di pedesaan Indonesia, di tengah puja-puji Bank Dunia terhadap kesuksesan pembangunan Indonesia. Oleh karena itu, tampaknya patut dicurigai bahwa “administrasi pembangunan” seperti yang dipopulerkan oleh Tjokroamidjojo sedikit-banyaknya, sengaja atau tidak, berusaha atau minimal berdampak memberikan legitimasi-intelektual bagi pemerintahan Soeharto. Dengan kata lain, “administrasi pembangunan” sebenarnya tidak mengandung pengertian akademik baru kecuali tidak lebih dari penerapan “administrasi negara” dalam masyarakat yang dikategorikan sedang “membangun”: nation building and socioeconomic progress,
dimana persoalan-antara maupun -lanjutannya adalah the legitimacy of regime, growth with distributive justice, social impact of development and partizipation in the development, sedangkan strateginya adalah ekonomi pasar yang berencana. Artinya, kedua istilah ini hanya berbeda dalam lokus-nya sedangkan persoalan fokus- (konseptual)nya adalah sama saja. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnyalah administrasi pembangunan merupakan suatu bentuk reformasi administrasi guna menanggapi tantangan negara yang sedang berkembang.
5. Kesimpulan Penjelasan di atas kiranya telah memberikan informasi tentang model perubahan administrasi yang dipilih pemerintah-pemerintah di Nusantara untuk merespon perkembangan lingkungan sosial, politik dan ekonominya. Sebagaimana divisualisasikan pada gambar, perubahan administrasi dapat dikatakan dimulai pada awal abad ke-19, ketika pemerintahan Raffles berusaha memodernisasikan administrasinya sesuai dengan semangat zaman: munculnya negara bangsa dan terjadinya revoluasi industri di Eropa dengan segenap nilainya rasional, analitik, serba tertulis dan efisien. Ketika kemerdekaan melepaskan keterkekangan yang lama, mekarlah demokrasi politik yang ironisnya melahirkan nepotisme. Ini direspons dengan rasionalisasi administrasi. Ketika kemudian pemerintah berhasil menguasai sistem politik, mereka mengundang masuknya modal asing dan melancarkan program pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan. Untuk itu digunakanlah model administrasi pembangunan. Namun ketika dana pemerintah berkurang, mereka mengurangi perannya melalui proses deregulasi dan debirokratisasi. Ini berlanjut terus hingga ketika dirasakan perlunya mempersiapkan diri menghadapi globalisasi perdagangan dan melesatnya teknologi informasi dirasakan perlunya
Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 1-10
mempertegas modernisasi administrasi lagi. Terakhir, ketika demokrasi “terbatas” selama pemerintahan pembangunan mulai
9 dirasakan terlalu pengap, diusulkanlah perubahan administrasi dalam bentuknya reformasi administrasi.
10
Konvergensi Perkembangan Pemikiran Administrasi Publik dan Pembangunan
Daftar Pustaka
Kartasasmita, Ginandjar, 1997, Administrasi Pembangunan (perkembangan pemikiran dan praktiknya di Indonesia), LP3ES, Jakarta. Rigss, Fred W. 1996, Administrasi negaranegara berkembang (Teori Masyarakat prismatis), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sjihabudin, Achmad dan Arselan Harahap, 1998, Pembangunan Administrasi Pem-
bangunan (kumpulan karangan/penyunting), LP3ES, Jakarta. Siagian, P. Sondang, 2001, Administrasi Pembangunan (konsep, dimensi dan strateginya), Bumi Aksara, Jakarta. Tjokroamidjojo, Bintoro, 1978, Pengantar Administration Pembangunan, LP3ES, Jakarta. Utomo, Warsito, 2006, Administrasi Publik Baru Indonesia, Yogyakarta.