Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 61-75, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
Negara Dan Keuangan Publik: Konvergensi Masa Awal Islam dan Kontemporer Fahrur Ulum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
INTISARI Keuangan public Islam kontemporer sedang berupaya mencari format yang tepat untuk menciptakan perekonomian yang adil. Oleh karena itu pembacaan kembali terhadap keuangan public masa awal Islam menjadi hal yang penting. Research ini merupakan studi pustaka terhadap al-amwāl, al-kharāj, dan al-ahkām al-sulṭāniyyah untuk dikonversikan dengan upaya mencari mekanisme keuangan public Islam kontemporer. Berbagai bukti menunjukkan bahwa telah terdapat konvergensi keuangan public awal Islam dengan upaya pencarian keuangan public kontemporer yang mengacu pada semangat ukhuwah, keadilan dan pemerataan kesejahteraan di masyarakat, misalnya dengan mengaktualisasikan kembali kharāj, ushr dan jizyah yang direkonstruksi sesuai dengan sosiokultural historis saat ini sehingga terwujud maqasid syar’i. Kata kunci: keuangan public, rekonstruksi, keadilan. Pendahuluan Pada masa awal Islam, dakwah berkembang begitu cepat. Kekuasaan Islam ke barat telah sampai Afrika dan Spanyol, serta ke timur mencapai Asia Tengah dan Cina. Hal ini mengharuskan adanya administrasi pemerintahan yang baik, termasuk kebijakan keuangan publik. Rekaman historis menunjukkan bahwa para perancang keuangan dan kebijakan fiskal masa itu telah membahas berbagai persoalan keuangan public tersebut. Dalam perjalanan sejarah Islam telah dikenal beberapa sumber pendapatan dan keuangan negara. Berdasarkan perolehannya, menurut Khalaf (Khalaf,1977:114) sumber-sumber pendapatan negara tersebut dapat dikategorikan menjadi dua, yakni yang bersifat rutin (dawriyyah) dan insidental (ghayr dawriyyah). Pendapatan rutin negara terdiri dari zakat, kharāj (pajak bumi/tanah), jizyah (pajak jaminan keamanan atas nonMuslim), dan ‘ushur (pajak ekspor dan impor). Sedangkan pendapatan tidak rutin adalah pemasukan tak terduga seperti ghanimah dan fay’ (harta rampasan perang), ma’adin (seperlima hasil tambang) dan rikaz (harta karun), harta peninggalan dari pewaris yang tidak mempunyai ahli waris, harta temuan dan segala bentuk harta yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya. Sedangkan berdasarkan tujuan alokasinya, sumber-sumber pendapatan negara menurut Azmi (Azmi, 2004:206) bisa berasal dari; 1) Pendapatan ghanimah, 2) Pendapatan shadaqah, dan 3) Pendapatan fay’. Secara historis, para fuqaha masa awal, para perencana keuangan, serta para menteri yang bertanggung jawab atas perpajakan dan pembelanjaan publik, merupakan pionir dalam pengembangan pemikiran keuangan publik Islam. Mereka berusaha memahami persoalan-persoalan keuangan publik yang muncul di masa mereka, khususnya setelah meluasnya wilayah-wilayah taklukan, dengan mencari
61
62
landasan dari al-Qur‟an dan Sunnah, serta merujuk pada praktik para khalifah (imamah) maupun pendapat-pendapat fuqaha sebelumnya. Dengan memperhatikan eksistensi keuangan public di masa awal Islam serta urgensitasnya pada masa sekarang, maka perlu adanya pengungkapan bagaimana para ekonom Muslim masa awal merespon persoalan-persoalan yang ada pada zamannya. Diharapkan akan diperoleh gagasan yang jelas mengenai tahap-tahap awal perkembangan teori keuangan publik Islam dan sekaligus mendeskripsikan sumbangan yang diberikan oleh para pemikir ekonomi Muslim sehingga dapat dicarai konversinya pada era kontemporer. Kutaib Keuangan Publik Islam Masa Awal Karya-karya awal yang membahas keuangan publik pada umumnya menggunakan judul al-amwāl, al-kharāj, dan al-ahkām al-sulṭāniyyah. Sekalipun arah tulisan kitab-kitab tersebut hampir sama namun muatan yang terkandung di dalamnya berbeda. Berikut ini beberapa kitab yang dapat dibaca sebagai bahan penelusuran keuangan public Islam sebagai akar dari keuangan public saat ini. Kitab al-Amwāl Al-amwāl adalah bentuk jamak dari al-māl yang berarti “kekayaan atau keuangan”(Ibn Manzur, tt:158). Kitab-kitab yang menggunakan judul ini pada umumnya membahas tentang sumber-sumber serta pengelolaan pendapatan negara. Istilah al-kharāj dan al-amwāl sering digunakan secara bergantian oleh para ulama pada masa itu. Dalam penggunaannya, pembahasan tentang al-kharāj lebih menekankan pada pajak tanah, sedangkan pembahasan al-amwāl membicarakan semua bentuk dan sumber-sumber pendapatan keuangan publik. Dengan demikian kitab al-amwāl memiliki cakupan lebih luas dibanding al-kharāj. Diantara kitab-kitab dengan judul al-amwāl adalah karya Abu Ubayd, Abu Humaid ibn Zanjawaih dan Abu Ja’far ibn Nashr al-Dawudi. Kitab al-amwāl karya Abu Ubayd, merupakan kitab yang sistematis dan komprehensif mengenai keuangan publik. Kitab ini merupakan refleksi seorang ulama sekaligus praktisi hukum. Abu Ubayd senantiasa menggunakan pendekatan fiqih dalam membahas berbagai kasus keuangan publik, yaitu dengan merujukkan pandangannya pada nash dan hadits, praktek khalifah maupun pendapat ulama-ulama terdahulu. Dengan merujuk pada praktek dan pandangan-pandangan ulama terdahulu, maka kitab Abu Ubayd juga bercorak historis. Kitab al-amwāl kedua adalah karya Humaid ibn Zanjawaih, salah seorang murid Abu Ubayd. Kitab ini membahas tentang norma-norma kepemimpinan dalam Islam; tentang kewajiban pemimpin untuk bersikap adil, kewajiban rakyat untuk mentaati pemimpin dan sebagainya. Selanjutnya Humaid ibn Zanjawaih mendiskusikan tentang keuangan publik Islam, terutama terkait dengan wilayahwilayah taklukan dan wilayah yang membuat perjanjian damai dengan Islam. Kitab Zanjawaih ini lebih tepat sebagai syarah atas Kitāb al-Amwāl karya Abu Ubayd. Kitab al-Amwāl berikutnya ditulis oleh Ja’far ibn Nashr al-Dawudi yang bermazhab Māliki. Kitab ini disusun pada akhir abad ke-4 Hijriyah dan merupakan satu-satunya kitab yang secara spesifik membahas keuangan publik dari perspektif mazhab Māliki. Berbeda dengan dua kitab al-amwāl sebelumnya, menurut Azmi (Azmi, 2004:33) dalam pembahasannya al-Dawudi mengangkat praktek perpajakan yang berlaku pada saat itu, khususnya di Irak, Sisilia, dan Spanyol. Secara
63
umum, kitab ini menjelaskan praktek pemerintahan yang bersih dari korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Kitab al- Kharāj Secara literal, kharāj adalah “mengeluarkan dari tempatnya.” Dalam pengertian fiqh, sebagaimana dinyatakan ibn Manzur, adalah “sesuatu yang dikeluarkan tiap tahun oleh umat dari harta benda mereka, dengan takaran yang telah diketahui”(Ibn Manzur,tt:66). Kharāj merupakan pajak negara yang diambil dari para pemilik tanah. Dengan demikian, kharāj mencakup semua jenis pajak seperti jizyah, khums, ushr, dan lain-lain. Namun pada awalnya kata kharāj lebih dimaksudkan untuk pajak yang dibebankan kepada tanah-tanah yang ditaklukkan oleh kaum Muslim yang dibiarkan tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya. Orang pertama yang menulis tentang kharāj adalah Mu’awiyah ibn Ubaidillah (w.786), menteri terkemuka Khalifah al-Mahdi (Abbasiyah). Sayangnya kitab ini tidak bisa ditemukan lagi. Dari puluhan judul kitab tentang kharāj yang terselamatkan sampai saat ini adalah karya Abu Yusuf, Yahya ibn Adam dan Qudamah ibn Ja’far. Kitab Al-Kharāj karya Abu Yusuf disusun untuk memenuhi permintaan Khalifah Harun al-Rasyid (w. 809). Sebagaimana ditulis sendiri dalam pengantarnya, Abu Yusuf menyatakan bahwa kitabnya dimaksudkan sebagai rujukan dan pertimbangan bagi khalifah dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pajak yang Islami (Abu Yusuf, 1979:3). Pendekatan yang digunakan dalam buku tersebut tampak pragmatis dan bercorak fiqih, bahkan di dalamnya banyak ditemui fatwa mengenai adab kepemimpinan. Kitab al-Kharāj yang lain disusun oleh Abu Zakariyya Yahya ibn Adam (w. 818). Sama seperti Al-Kharāj Abu Yusuf, kitab ini juga dimaksudkan sebagai pedoman umum dasar-dasar keuangan publik Islam. Kitab ini tidak menyinggung tentang praktek perpajakan yang ada saat itu, namun lebih banyak mengemukakan hadits-hadits terkait dengan persoalan keuangan publik. Setidaknya terdapat 640 hadits perihal keuangan publik (sumber-sumber pendapatan dan pengeluaran negara) dalam kitab tersebut. Hadits-hadits yang dikompilasikan oleh Yahya ibn Adam mengupas tentang topik-topik seperti ghanimah, fai’, kharāj, jizyah; baik yang diperoleh dari rampasan perang maupun melalui perjanjian damai; mengenai otoritas khalifah untuk mendistribusikan tanah taklukan; larangan menyewakan tanah kharāj; ketentuan tentang menghidupkan tanah mati; pajak barang tambang; ketentuan yang berlaku untuk masyarakat yang ditaklukkan, dan sebagainya. Persoalanpersoalan tersebut sebenarnya telah dibahas secara komprehensif oleh Abu Yusuf. Meskipun demikian, pendekatan yang digunakan Yahya ibn Adam berbeda dengan Abu Yusuf. Kitab Abu Yusuf lebih bercorak judicial-oriented, sedangkan kitab Yahya ibn Adam lebih dimaksudkan sebagai buku compilation-oriented. Kitab Abu Yusuf lebih kaya dengan analisis dan upaya untuk melakukan istinbaṭ hukum, sedangkan kitab Yahya ibn Adam lebih berkosentrasi untuk menggali sebanyak mungkin hadits-hadits sebagai landasan hukumnya (Meera dan Ahsan, 1992:205). Kitab Al-Kharāj terakhir meskipun sudah tidak utuh lagi adalah karya Qudamah ibn Ja’far (w. 932). Tidak jauh berbeda dengan latar belakang kedua penulis sebelumnya, penulisan buku ini memiliki keterkaitan dengan pemerintah saat itu. Dua penulis sebelumnya menulis karena kapasitasnya sebagai ulama yang diakui pemerintah dan tidak memegang jabatan tertentu dalam pemerintahan. Sedangkan Qudamah ibn Ja’far adalah seorang aparat yang terlibat langsung dalam pemerintahan sehingga tulisannya lebih bersifat kontekstual. Bahkan penulisan
64
buku ini ditengarai sebagai konter terhadap kritik yang diajukan oleh para kātib (kolektor dan administrator pajak) saat itu bahwa praktek keuangan publik yang dijalankan pemerintah banyak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Islam. Dalam pembahasannya, Qudamah ibn Ja’far tidak banyak menampilkan hadits sebagaimana pendahulunya, namun mengemukakan berbagai pendapat yang telah ada. Kitab al-Aḥkam al-Sulthaniyah Kitab-kitab klasik yang membahas tentang keuangan publik selanjutnya berjudul al-aḥkam al-sulthaniyah. Kitab ini memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan kitab alkharāj dan al-amwāl yang lebih menekankan pembahasan pada keuangan publik. Selain membahas keuangan publik, kitab ini juga membahas topiktopik administrasi pemerintahan, makro ekonomi (sistem pasar, intervensi pemerintah ke dalam pasar), moneter (sistem mata uang), dan sebagainya. Kitab dengan judul al-Aḥkam al-Sulṭāniyah ditulis oleh dua sarjana pada paruh pertama abad ke-15, yaitu Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 1058) dan Abu Ya‟la al-Farra‟ (w. 1065). Selain dengan judul yang sama, kedua kitab ini pun memiliki cakupan yang sama dan dari periode yang sama. Meski demikian, tidak diketahui secara persis siapa yang lebih dulu menyelesaikan bukunya. Kedua buku ini ditulis dengan sistematika yang baik dan runtut. Topik pembahasan kedua buku ini tidak hanya pada keuangan publik, namun juga mengangkat persoalan pajak, pengelolaan tanah, pembelanjaan publik dan sebagainya. Di samping itu, keduanya juga membahas masalah pemerintahan dan prosedur administrasi, termasuk peran pemerintah dalam perekonomian, baik fiskal maupun moneter. Perbedaan utama dari dua buku tersebut terletak pada bahasan aspek-aspek administrasi keuangan. Abu Ya‟la lebih banyak mengutip pendapat-pendapat dari mazhabnya sendiri, yakni Hanbali, sedangkan Al-Mawardi tidak hanya merujuk pada mazhabnya sendiri (Syafi‟i), namun juga dari mazhab Hanafi dan Māliki. Lebih jauh, dalam pembahasannya Mawardi menyebutkan rujukan-rujukan yang ia gunakan, sehingga bukunya sudah menggunakan gaya penulisan seperti buku-buku ilmiah saat ini. Embrio Keuangan Publik Islam Sepeninggal Rasul, daerah kekuasaan Islam terus berkembang dan mulai menembus batas semenanjung Arabia, terlebih pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Kompleksitas dalam pengelolaan keuangan di wilayah taklukan menuntut sebuah sistem keuangan yang profesional dan efisien. Pada masa Khulafa al-Rasyidun maksimalisasi fungsi Baitul Mal mampu mengatur stabilitas keuangan yang ada. Apalagi pendapatan negara yang diperoleh dari hasil perluasan wilayah dan rampasan perang masih mencukupi untuk kebutuhan-kebutuhan negara. Sikap cermat, efisien serta amanah para khalifah membuat kondisi keuangan negara berlangsung dengan baik. Sebagai contoh, Khalifah Umar saat kedatangan Abu Hurairah yang menjabat sebagai Gubernur Bahrain dan membawa dana pemungutan kharāj sebesar 500.000 dirham, lalu Umar memutuskan untuk tidak menghabiskan pendapatan pajak tersebut, namun dicadangkan untuk kepentingan negara. Sekalipun mendapat pertentangan dari beberapa sahabat, namun kebijakan Umar tersebut sangat berguna di kemudian hari dan menjadi salah satu kebijakan moneter yang cukup cerdas.
65
Selanjutnya Oran dan Rashid menjelaskan pada masa Khalifah Uthman, pajak tanah (kharāj) dari Irak, Mesir, Afrika, Cyrenaica, Syprus yang diterima negara adalah sebesar 200.492.000 dirham atau senilai 20 juta dinar, dimana jumlah tersebut belum termasuk kharāj dari Arabia, Siria, Armenia, Azerbaijan dan Persia. Sedangkan perolehan negara dari pajak jizyah Irak adalah sekitar 15,4 juta dirham atau 1,54 juta dinar, dari Mesir sebesar 4 juta dinar atau 40 juta dirham; dan dari Siria 0,5 juta dinar (Oran dan Rashid,1996:108). Ini menggambarkan besarnya pemasukan negara pada masa Uthman tersebut. Kompleksitas persoalan fiskal yang semakin besar menjadikan para khalifah untuk berfikir keras mengaturnya dengan upaya-upaya baru yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah. Misalnya Umar pernah memutuskan untuk tidak menyerahkan tanah taklukan kepada para tentara, namun tetap dimiliki pemilik awal dengan kewajiban membayar pajak dan jizyah (Abu Ubayd,1986:65). Umar juga menetapkan pungutan ‘ushur kepada penduduk Manbij (Abu Yusuf,1979:26-27). Dalam sejarah Islam, sebagaimana dicontohkan Nabi, sebenarnya tidak ada halangan untuk mengadopsi tradisi dan praktik pra-Islam selama tidak bertentangan dengan ketentuan dasar Islam. Praktik yang ada bisa diadopsi dengan modifikasi tertentu supaya sejalan dengan maqāshid al-syarī’ah. Berdasarkan pertimbangan itu, bisa dipahami bila Khalifah Umar menerima sistem perpajakan tanah masa Sasaniyah setelah merevisi ketetapan tingkat pajak, pengumpulan dan administrasinya. Karena itu, Umar bin Khaththab menyerahkan tanah kepada para penyewa dan menjadikannya sebagai pemilikan umum umat Islam dan menetapkan pajak, yang kemudian disebut kharāj atas tanah tersebut (Abu Ubayd,1986:65). Khalifah Umar juga merasa perlu melakukan rekontekstualisasi beberapa kebijakan keuangan publik yang telah diberlakukan masa Nabi Muhammad SAW. Umar pernah berijtihad pada kebijakan pembagian tanah ghanimah. Pada masa Rasul tanah yang diperoleh dari penaklukan dengan perang dibagikan seperlima kepada negara dan kebutuhan sosial (bagian ini dikenal dengan sebutan khums), serta sisanya dibagikan untuk mereka yang ikut berperang. Ketika banyak daerah yang ditaklukkan, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak membagi-bagikan tanah tersebut sebagaimana ditentukan dalam Q.S Al-Anfāl (8): 41, namun tanah-tanah tersebut dibiarkan tetap dimiliki oleh para pemilik semula dengan kompensasi membayar kharāj dan jizyah. Tanah-tanah tersebut oleh Umar diperlakukan sebagaimana tanah fay’. Menurut Yahya ibn Adam (Adam, tt:121) ghanimah ini merupakan segala sesuatu yang diperoleh dari musuh dengan cara perang, sedangkan yang diperoleh dengan cara damai disebut dengan fay’. Eksistensi Ushr dan Jizyah Pada masa pra-Islam, retribusi atau upeti atau ju’alah biasa dilakukan terhadap para kafilah yang melewati wilayah tertentu. Jumlahnya berkisar 10 hingga 15%. Setelah Islam hadir, Nabi mengambil kebijakan untuk menghapuskan pajak ju’alah antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan termasuk dalam wilayah perjanjian yang disepakati dengan suku-suku yang tunduk di bawah kekuasaannya. Menurut sebagian ulama, kebijakan ini dimaksudkan Nabi sebagai upaya untuk menggairahkan perdagangan. Namun, sebagian ulama lain menilai bahwa pelarangan itu terkait dengan adanya unsur kezaliman (pemaksaan dan vandalisme) dalam ju’alah (Munawar Iqbal, 2004:53). Kecaman Nabi tersebut sebagai respon untuk mencegah bentuk-bentuk kezaliman dalam praktek-praktek
66
pemungutan upeti sebelumnya, apalagi banyak hadits yang mengisahkan keengganan sejumlah orang untuk diangkat sebagai āsyir karena merasa bertentangan dengan hati nuraninya. Ibn Sirin menjelaskan, “Mereka ingin mempekerjakanku untuk menarik upeti sepersepuluh atas Ablah (sebuah negeri di pesisir Dijlah) tetapi aku menolak. Seorang lalu datang kepadaku dan berkata, “Mengapa anda tidak mau mengerjakan sesuatu yang dikerjakan oleh Umar...?” (Abu Yusuf: 148). Retribusi 10 % bagi pedagang asing yang melintasi wilayah negara tersebut beberapa dibekukan, namun kemudian oleh Khalifah Umar ibn Khaṭṭāb diterapkan kembali sebagai salah satu sumber pemasukan keuangan publik, namun dengan istilah yang berbeda, yakni ushr (Abu Yusuf: 134). Penetapan kembali pajak retribusi “sepersepuluh” ini adalah adanya permohonan dari kaum ḥarby Manbij untuk melakukan perdagangan di negara Islam dengan membayar sepersepuluh dari nilai barang. Setelah berkonsultasi dengan para sahabat, Umar mengabulkan permintaan mereka. Abu Yusuf (Abu Yusuf: 135) juga menjelaskan dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Abu Musa al-Asy‟ary melaporkan kepada Khalifah Umar bahwa pedagang-pedagang Muslim dikenakan pajak sepersepuluh di wilayah asing (ard alḥarby). Khalifah menanggapi laporan itu dengan menetapkan pajak ushur kepada mereka dengan tingkat prosentase yang berbeda, “Ambillah olehmu dari mereka (ahl al-ḥarb) sebesar pungutan yang mereka ambil dari pedagang Muslim (10%). Ambil dari ahl al-dhimmahseparuhnya (5%), sementara untuk orang-orang Islam ambillah satu dirham dari setiap kelipatan 40 (2,5%).” Menurut Oran dan Rashid (Oran dan Rashid:126) semua jenis komoditas perdagangan yang masuk ke negara Islam merupakan objek ushr dengan ketentuanketentuan dasar seperti yang digariskan oleh Abu Yusuf sebagai berikut; 1). Barangbarang wajib pajak adalah komoditas perdagangan, 2). Bila pedagang seorang Muslim, maka besarnya pajak 2,5 persen dari total komoditas, 3). Bila pedagang seorang dhimmy, besarnya pajak 5 persen, 4). Bila pedagang orang asing, besarnya pajak 10 persen, 5). Pajak boleh dibayarkan dalam bentuk uang maupun barang, 6). Batas minimāl barang wajib pajak sama dengan ketentuan nishab dalam zakat, yaitu senilai 200 dirham, 7). Bila pedagang tinggal selama lebih satu tahun, maka komoditasnya akan dikenakan pajak lagi, 8). Pedagang Muslim dan dhimmy hanya dikenakan sekali pajak untuk komoditas yang sama, 9). Bila pedangang asing telah pulang ke negaranya dan kemudian kembali lagi, maka dikenakan pajak lagi, 10). Bukti pembayaran pajak harus menyebutkan jumlah pajak yang dibayarkan, nilai barang kena pajak, dan tanggal, 11). Pajak dikenakan untuk perdagangan antar propinsi di negara Islam, 12). Besar kecilnya beban pajak mempertimbangkan kebijakan yang berlaku di negara-negara lain, 13). Barang-barang yang dinilai hanya sedikit dibebaskan dari pajak, dan 14). Barang-barang kebutuhan pokok dibebaskan dari pajak atau dibebani pajak dengan pertimbangan lain. Pada saat itu salah satu faktor penentu tingkat pajak adalah status para pedagang, yakni status kewarganegaraan dan agamanya. Pembedaan tersebut wajar untuk realitas sosio-politik saat itu. Kenyataannya para pedagang dhimmy lebih banyak membutuhkan perlindungan dari perampok dibandingkan dengan kaum Muslim. Di samping itu dipertimbangkan pula bahwa pedagang Muslim harus membayar zakat untuk komoditas mereka, sedangkan dhimmy hanya berkewajiban membayar ushr ketika mengadakan aktifitas perdagangan lintas batas saja.
67
Dalam sistem kebijakan publik modern, sistem ushr mirip dengan kebijakan subsidi. Lebih jauh, penggunaan pajak insentif, dalam arti memberikan peluang yang lebih besar kepada kalangan pedagang nasional untuk tumbuh lebih cepat serta melindungi mereka dari kompetitor asing merupakan implikasi dari sistem ushr periode klasik. Memang ushr dalam pengertiannya sebagaimana dipraktekkan pada masa awal akan kehilangan relevansinya dengan kontek kebijakan ekonomi saat ini, terutama dari sisi persaudaraan universal Islam. Abdul Mannan (Manan, 1993:250) menilai ushr sebagai kendala bagi perdagangan internasional dan bertentangan dengan norma Islam yang tidak mengenal diskriminasi dalam perdagangan. Namun dari sisi lain, yakni melihat kondisi Negara-negara Islam yang miskin dan sedang berkembang, praktek modern bea cukai dapat diterima sejauh untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Dalam kenyataannya, “versi modern” ushr masih diterapkan oleh berbagai negara untuk melindungi produksi dalam negeri. Selain praktek ushr, berbagai istilah yang digunakan al-Qur‟an untuk menyebut sumber-sumber keuangan publik antara lain fay‟, ghanimah, anfāl, khums dan jizyah. Penyebutan istilah-istilah tersebut terkait dengan jihad, qital, ghazwah dan penaklukan (futuḥ). Beberapa istilah tersebut hanya muncul sekali dalam al-Qur‟an, seperti anfāl dalam Q.S. al-Anfāl (8): 1, khums dalam Q.S. alAnfāl (8): 41, dan jizyah dalam Q.S. al-Taubah (9): 29 Ayat yang menyebut jizyah turun ketika terjadi Perang Tabuk, yakni pertempuran terakhir yang diikuti Rasulullah. Latar belakang perang tersebut adalah pertikaian antara Dār al-Islām dengan Dār al-ḥarb. Setelah wahyu turun Nabi menghimbau para pemimpin dan raja non-Muslim, antara lain raja Zoroaster, Oman, Yaman, Bizamtium, Persia dan Absinia untuk memeluk Islam atau membayar jizyah. Pilihan bagi yang tidak mau menerima tawaran tersebut adalah perang. Secara sosio-ekonomik saat itu, pengenaan jizyah kepada non-Muslim merupakan bentuk kompensasi atas perlindungan dan rasa aman yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka. Jizyah juga dapat dipahami sebagai bentuk penghargaan yang diberikan kepada mereka atas ketundukannya (sahirun) kepada hukum Islam. Sehingga seorang warga negara hanya dapat dikategorikan sebagai dhimmy bila ia telah menundukkan diri kepada aturan-aturan pemerintah Islam. Secara ekonomik, kategorisasi ini lebih menguntungkan bagi mereka dibandingkan dengan kondisi mereka bila tidak mau menundukkan diri pada hukum yang berlaku. Menurut Ugi (Ugi, 2004: 115) Al-Qur’an tidak menetapkan jumlah yang baku mengenai penarikan jizyah. Sementara itu, al-Sunnah menyebutkan berbagai besaran yang bervariasi. Pada prinsipnya, besarnya pungutan didasarkan pada kemampuan untuk membayar dan tidak memberatkan bagi wajib pajak, yaitu ahl aldhimmah. Dalam jizyah ini, anak-anak dan wanita tidak diwajibkan membayar jizyah. Tingkat pajak dalam sistem perpajakan masa awal Islam menekankan pada kriteria kesamaan dan prinsip kemampuan untuk membayar. Abu Yusuf berpendapat bahwa penguasa memiliki kewenangan untuk mengurangi atau menambah tingkat pajak sesuai dengan produktifitas tanah dan kemampuan wajib pajak(Abu Yusuf, 85). Tingkat beban jizyah juga tidak ditetapkan di awal, sebab penetapannya mempertimbangkan perubahan sesuai dengan kemampuan para pembayar pajak. Karena itu, perbedaan tingkat jizyah (12, 24, 48 dirham per
68
tahun) dibebankan sesuai dengan kemampuan membayar ahl al-dhimmah (Abu Ubayd, 45). Dalam teori modern, pembayaran tingkat pajak yang berbeda-beda disesuaikan dengan kemampuan seperti dalam kebijakan keuangan publik Islam masa awal tersebut kemudian disebut dengan “kapasitas fiskal.” Kapasitas fiskal mencakup dua pengertian, yakni keadilan horizontal dan vertikal. Berdasarkan keadilan horizontal, maka setiap warga negara harus membayar pajak sesuai dengan pendapatannya. Sedangkan berdasarkan keadilan vertikal, setiap warga negara yang berpendapatan lebih tinggi harus membayar pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan warga berpenghasilan lebih rendah (Aronson, 1985:308). Abu Yusuf menyebut prinsip pemungutan pajak yang didasarkan kepada nilai yang tidak tetap dengan istilah muqasamah. Menurutnya, tingkat pajak semestinya tidak ditetapkan di awal dengan nilai yang pasti (wazifah), namun harus mempertimbangkan tingkat kemampuan dan prosentase penghasilan (pajak proporsional). Sistem ini menuntut adanya pembedaan tingkat pajak menurut pendapatan mereka. Sebagai contoh, Abu Yusuf mengemukakan sistem pajak yang berlaku di Sawad pada masa Khalifah Umar. Sebelum menetapkan prosentase pajak, Khalifah telah membentuk sebab dewan yang ditugaskan untuk mengukur luas tanah Sawad serta meneliti kapasitas finansialnya. Dari survei yang dilakukan, luas tanah tersebut adalah 36000000 acre Abu Yusuf, 36). Berdasarkan masukan dewan, Khalifah menetapkan besarnya pajak adalah satu dirham untuk setiap jarib (ukuran tanah) dan satu qafiz gandum atau barley (sejenis gandum) untuk daerah (tanah) yang dilalui sungai. Jumlah ini merupakan sepertiga dari jumlah pajak yang telah ditentukan oleh pemegang otoritas kekuasaan sebelumnya. Dengan menganalisis sistem pajak yang diterapkan di Sawad, Abu Yusuf berpendapat bahwa sistem yang seharusnya diberlakukan adalah system muqasamah (Majid, 84). Menurut Nezhad (Nezhad, Vol 5:1) prinsip-prinsip yang digunakan dalam penetapan pajak di Sawad adalah; 1) Tingkat produktifitas tanah, 2) Elastisitas income demand terhadap tanah pertanian, 3) Biaya irigasi, dan 4) Situasi tanah terkait dengan pasar. Relevansi Kharāj, Ushr, Jizyah dan Pajak Modern Relevansi kharāj, ushr dan jizyah dalam Islam dengan pajak dalam ekonomi modern mungkin bisa dilakukan dalam bingkai prinsip-prinsip perpajakan secara umum mengingat rentang waktu yang sangat panjang dan telah terjadi perkembangan yang pesat. Pada masa awal pendapatan pemerintah dari sektor ghanimah, fay dan jizyah sangat urgen. Demikian juga pengeluaran pemerintah untuk keperluan perluasan wilayah dan menjaga perbatasan sangat besar. Bila pembahasan saat ini masih berkisar pada pendekatan legal reasoning atau judicial oriented, dan bukan pendekatan historis, maka diskusi tersebut berhenti pada tataran teoritis. Dengan kerangka epistemologis, konsep dan praktek perpajakan di zaman modern tidak berbeda dengan yang disinggung dalam kitab-kitab keuangan publik periode awal Islam. Abu Yusuf dan Qudamah ibn Ja’far misalnya, lebih dari seribu tahun yang lalu telah menjelaskan teori dan praktek jizyah dan ushr dalam pemerintahan Islam, dengan konsep yang mirip dengan teori modern kapasitas fiskal yang mencakup keadilan horizontal dan vertikal. Literatur konvensional tentang keuangan publik banyak memberi perhatian pada kriteria keadilan dalam
69
kebijakan pajak. Kriteria ini menyatakan bahwa masing-masing pembayar pajak harus memberikan bagian yang adil dari kepemilikannya untuk pembiayaan pemerintah. Bagian yang adil tersebut dalam ekonomi konvensional pada umumnya diukur dengan dua cara, yaitu pengukuran yang mengacu kepada prinsip manfaat dan prinsip kemampuan membayar. Sedangkan prinsip manfaat menyatakan bahwa setiap pembayar pajak memberikan kontribusi senilai dengan manfaat yang akan diterimanya dari layanan publik (Musgrave, 1987:228-229). Prinsip kemampuan membayar dalam ekonomi konvensional menyatakan bahwa masyarakat harus memberikan sumbangan terhadap pengeluaran pemerintah sesuai dengan kemampuan mereka untuk membayar. Berdasarkan prinsip ini, warga negara wajib pajak yang memiliki kemampuan yang sama dalam membayar pajak harus membayar dengan jumlah yang sama dan warga yang memiliki kemampuan lebih harus membayar lebih. Sistem pajak dalam ekonomi Islam masa awal telah menfokuskan pada kriteria kesamaan dan penekanan utama pada prinsip kemampuan untuk membayar. Abu Yusuf misalnya, menyatakan bahwa penguasa memiliki wewenang untuk mengurangi atau meningkatkan pajak sesuai dengan produktifitas tanah dan kemampuan pembayar pajak (Abu Yusuf, 85). Demikian juga, tingkat beban jizyah tidak ditetapkan di awal, namun mempertimbangkan situasi dan kondisi pembayar pajak. Setelah beberapa abad berlalu, Adam Smith juga menetapkan bahwa perlindungan pemerintah untuk masyarakat dalam menutupi beban umum harus sesuai dengan kemampuan dan ketentuan. Ukuran tersebut didasarkan pada tingkat pemasukan, yaitu kewajiban membayar pajak harus disesuaikan dengan kemampuan financial (Inayah, 1995:44). Selain penekanan pada kemampuan membayar, Abu Yusuf juga menyarankan penerapan prinsip kemanfaatan umum dalam pembiayaan layanan publik. Gagasan ini sebanding dengan teori pengacuan pada kemanfaatan dalam ekonomi konvensional. Asas ini menurut Abu Yusuf juga diterapkan untuk proyekproyek pembangunan. Misalnya para petani yang telah mengambil manfaat dari proyek irigasi harus berpartispasi secara proporsional dalam pembiayaan proyek tersebut (Inayah, 109). Menuju Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Keadilan ekonomi pada dasarnya terjaminnya kebutuhan minimum pokok bagi semua warga negara. Untuk tujuan inilah maka zakat dan fai’ dialokasikan. Jika keduanya tidak mencukupi, maka tugas itu menjadi tanggungjawab pemerintah. Abu Yusuf menambahkan bahwa jizyah yang dikenakan kepada dzimmi harus dialokasikan untuk kepentingan perlindungan bagi harta kekayaan dan usaha mereka. Oleh karena itu para wanita, anak-anak, dan orang tua tidak dikenakan jizyah (Abu Yusuf, 272). Dengan demikian keadilan dalam kebijakan keuangan publik berarti adanya timbal balik antara hak dan kewajiban. Bahkan al-Gazali menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban menolong warga negara yang menderita kesusahan karena masa paceklik, kelangkaan barang, dan tingginya harga-harga kebutuhan pokok. Pemerintah berkewajiban mengeluarkan pembiayaan untuk mereka yang diambil dari bayt al-mal (al Ghazali, tt:94). Suatu perekonomian dikatakan telah mencapai taraf keadilan jika barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan semua orang terpenuhi secara memuaskan, dan terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, serta tidak memberikan pengaruh yang merugikan terhadap
70
kesempatan kerja, motivasi usaha, tabungan dan investasi. Dalam hal ini Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa terhadap pemerataanpendapatan maupun kesempatan kerja memiliki keistimewaan tertentu yang membedakannya dengan pendekatan yang diterapkan dalam sistem ekonomi modern. Menurutnya, pemberantasan kemiskinan merupakan kewajiban yang bersifat ganda, yaitu perintah agama dan kewajiban sebagai warga Negara (Ibn Taimiyyah, 1969:178). Kebijakan keuangan publik diharapkan memainkan peran penting dalam pemberantasan kemiskinan dan menjaga agar pendapatan dan kekayaan yang adil terpelihara dalam batas batas yang diterima oleh perekonomian Islam. Al-Qur‟an dan as-Sunnah tidak menetapkan suatu sistem keuangan yang kaku. Penekanan yang utama adalah pada tanggung jawab negara untuk memberikan penyelamatan pada fakir miskin, dan dalam konteks inilah maka pengumpulan dan pendistribusian zakat pada setiap bagian negara merupakan suatu kewajiban. Meskipun pajak dan zakat dibebankan dan didistribusikan dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan, namun harus disadari bahwa keduanya tidak semata mata diarahkan untuk memperkaya kaum miskin. Pajak dan zakat diharapkan dapat berfungsi menghapus ketidakadilan pendapatan dan kekayaan karena terbatasnya factor-faktor produksi yang mampu diakses oleh fakir miskin. Menurut Ahmad (Ahmad, 1998:51), zakat memiliki potensi untuk mengalihkan 3 hingga 4% hasil kotor domestik setiap tahun kepada penduduk miskin. Kajian keuangan publik Islam yang mengarah pada pencapaian perekonomian yang berkeadilan social mengerucut kepada focus keadilan dan kesejahteraan sosial. Kondisi ini hanya dapat dicapai bila pemerintah bersikap adil dan menganggap kepemimpinannya sebagai amanat rakyat. Oleh karena itu dalam suatu perekonomian Islam, semua kebijakan dapat diambil asal tetap berpegang pada fungsi keadilan dan mengarah pada penciptaan keadilan social. Maka mungkin saja terjadi kebijakan anggaran defisit diambil asalkan terdapat data-data yang menunjukkan terjadinya peningkatan hasil dari negara peminjam dan ada kemampuan untuk membayar hutang itu (Chapra, 1995:303). Kebijakan tersebut tentunya sudah merupakan keputusan terakhir dan bukan merupakan kebijakan utama dalam pengaturan moneter dan fiscal. Bagaimanapun juga pemakaian defisit anggaran sangat rawan dan seringkali menimbulkan ketergantungan pada bantuan negara lain. Jika hal itu telah terjadi, biasanya sulit untuk keluar dari ketergantungan tersebut. Menurut data Jubilee Debt Campaign, sebuah jaringan yang melakukan advokasi untuk menghapus utang luar negeri negara-negara berkembang, pada tahun 2006, total utang luar negeri negara-negara berkembang 2.9 triliun USD, dan pada tahun yang sama mereka membayar 573 miliar USD. Sementara negara-negara paling miskin di dunia, pada tahun yang sama membayar 34 miliar USD kepada negara-negara kaya. Hal ini berarti negara-negara miskin membayar 94 juta USD setiap harinya kepada negara-negara kaya. Perhitungan lain menunjukkan bahwa negara-negara berkembang membayar 13 USD untuk membayar kembali 1 USD dan sekitar 60 negara termiskin telah membayar 550 miliar USD untuk pinjaman pokok dan bunganya selama 30 tahun terakhir, namun masih berutang 523 milliar USD (Irkhami, 2014:22). Seringkali kebijakan pemotongan pengeluaran yang tinggi atau penaikan pajak yang berlebihan yang dituntut oleh pengembalian selalu tidak dapat diterima secara politis maupun publik. Indonesia merupakan contoh konkrit untuk menerangkan hal ini. Walaupun pengeluaran pemerintah disusun berdasarkan anggaran berimbang, namun secara substansial selalu defisit. Alokasi anggaran sering tak begitu efektif
71
untuk menstimulasi perekonomian karena menghadapi berbagai persoalan pelik seperti kultur birokrasi yang korup dan sumber pendanaan yang diperoleh dari utang. Akibatnya, upaya pemerintah untuk menstimulasi kebutuhan ekonomi selalu dibarengi dengan akumulasi hutang (Irkhami, 2014:23). Menurutnya banyak negara penerima bantuan hanya involve sedikit dalam proyek-proyek yang didanai dengan hutang luar negeri. Menurut Sritua Arief (Arief, 1998:238), terakumulasinya hutang luar negeri ini terjadi karena dua hal, pertama, nilai cicilan plus bunga yang lebih besar dari nilai hutang baru yang diterima, kedua, merosotnya nilai tukar (terms of trade) produk-produk ekspor dari negara-negara tersebut ke negara-negara maju. Penghasilan dari pajak tidak bisa ditingkatkan seiring dengan pengeluaran, karena dasar-dasar perpajakan yang terbatas dan ketidakefisienan serta korupsi administrasi perpajakan yang biasanya terjadi di negara-negara berkembang. Selain itu, pajak yang terlalu tinggi akan merusak dunia investasi dan output, sehingga menyebabkan lambannya pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi perekonomian seperti ini, postulat yang menyatakan bahwa investasi berfungsi sebagai alat untuk memperbesar permintaan efektif sulit untuk dipakai. Rupanya investasi tidak sesederhana yang dikemukakan oleh Keynesan. Para pengambil keputusan ekonomi nasional di negara-negara berkembang sering melakukan upaya-upaya efektif untuk mengarahkan investasi ke sectorsektor produktif. Justru yang terjadi adalah kegiatan investasi yang mendukung rentier consumption. Semakin besar dana investasi disalurkan untuk tujuan investasi seperti ini, justru semakin rendah tingkat pertumbuhan persediaan barang modal yang dapat digunakan untuk tujuan reproduksi. Pendapat itu dikuatkan oleh ekonom Joseph E. Stiglitz (Stiglitz, 2012:32) yang mengatakan bahwa kontribusi rente signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di Amerika Serikat melalui lobi untuk kebijakan pemerintah yang membiarkan orang kaya dan berkuasa mendapatkan penghasilan dengan meraih pangsa lebih besar dari kekayaan yang seharusnya telah diproduksi tanpa usaha mereka.. Rent-seeking ini sebenarnya illegal namun berlindung pada legalitas karena biasanya penguasa dengan sukarela menerima kemudahan-kemudahan finansial dari para investor. Maka tidak heran jika kebijakan ekspor impor kita itu sering tidak signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat, namun dipaksakan untuk kepentingan tertentu. Tidak logis jika kita harus impor beras dan garam, padahal kita negara agraris dan kepulauan. Dalam tata negara yang semakin samar dan tata perekonomian yang semakin buram ini mestinya kita jeli terhadap perbedaan manfaat laba perekonomian dan rentseeking yang merugikan. Artinya harus jelas perbedaan pure produktifitas dan ilusi pendapatan. Oleh karena itu semestinya arah perekonomian kita tidak hanya pada pertumbuhan (growth oriented) namun harus benar-benar mengoptimalkan sektor riil yang ada di masyarakat. Tugas negara adalah menjamin bahwa faktor-faktor produksi dapat dijangkau dengan mudah oleh seluruh lapisan masyarakat secara merata. Perputaran dana di sektor non riil dikurangi dan dialihkan pada sektor riil yang melibatkan perkonomian masyarakat banyak. Dengan demikian mutuality and brotherhood tetap terjaga. Kepercayaan masyarakat juga meningkat. Etos kerja meningkat dan simultannya adalah produktifitas yang tinggi serta kesejahteraan. Sebaliknya jika kepercayaan masyarakat melemah, maka sikap apatis melanda lapisan masyarakat.
72
Perangkat kebijaksanaan Keynes kendati mengandung tujuan pemerataan dan perluasan kerja, masih dianggap oleh banyak pihak sebagai perangkat kebijakan ekonomi yang berorientasi kepada pertumbuhan. Redistribusi dijalankan melalui pertumbuhan, bukannya pemerataan bersama pertumbuhan. Sementara itu banyak kalangan yang berpendapat bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dijalankan untuk menghadapi gejolak-gejolak eksternal yang berpengaruh negatif terhadap ekonomi Indonesia dianggap sebagai kebijaksanaan yang hanya bersifat stop-gap measures. Kebijaksanaan-kebijaksanaan ini kurang mengandung bobot strategis untuk jangka panjang sehingga dikhawatirkan tujuan-tujuan jangka panjang proses pembangunan menjadi semakin jauh dari jangkauan (Irkhami, 2014:24). Strategi perdagangan luar negeri yang pragmatis dapat menjadi lebih dominan dalam wawasan pembangunan disubordinasikan terhadap strategi perdagangan luar negeri bukan sebaliknya. Stabilisasi ekonomi jangka pendek yang memakai kebijakan fiskal banyak menghadapi masalah, yakni kurang efektif. Perubahan tingkat pajak, khususnya perubahan pajak pendapatan tidak praktis dan memakan waktu yang lama. Perubahan dalam pajak dan pengeluaran juga mengakibatkan multiple effect, yaitu perubahan semula dari pengeluaran akan bertambah dan menyebar dalam ekonomi secara keseluruhan. Apalagi penggunaan kebijakan fiskal untuk mempertahankan perekonomian tetap berjalan pada tingkat permintaan agregat yang tinggi sering mengarah pada inflasi yang disebabkan oleh permintaan (demand-pull inflation). Kebijakan perekonomian yang benar dan penting sebenarnya adalah harus ada pembagian yang adil antara kebutuhan konsumsi langsung dengan kebutuhan pembentukan modal (investasi). Belanja masyarakat harus mencerminkan kenyataan nilai riil ekonomi. Selain itu negara harus memainkan peran penting dalam sirkulasi perkonomian, tidak hanya sebagai katalisator namun juga sebagai agen perubahan yang aktif, dalam proses dinamis menggerakkan perekonomian ke arah cita-cita perekonomian yaitu mewujudkan keadilan social dan ekonomi bagi seluruh rakyat. Negara harus terlibat aktif dalam proyek-proyek untuk menciptakan kesempatan kerja di daerah-daerah minus dan mampu membangkitkan permintaan efektif pada saat depresi. Negara harus memastikan peran swasta dan memastikan factor-faktor produksi dapat diakses oleh semua warga Negara. Negara hendaknya juga dapat mengelola fungsi zakat dengan baik, sebab zakat mempunyai potensi besar untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh, penciptaan kesejahteraan dan keadilan sosial bisa dilakukan dengan penekanan pada distribusi kekayaan di masyarakat. Mekanisme distribusi ini tidak hanya menyangkut keuangan saja, namun dalam bingkai yang lebih luas. Mekanisme distribusi kekayaan ini tentu saja tidak bisa berdiri sendiri, namun terkait dengan konsep yang lain yaitu konsep kepemilikan. Oleh karena untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial harus diurai dari persoalan besar dalam sistem ekonomi, meliputi konsep kepemilikan dan pengelolaannya serta distribusi kekayaan di masyarakat. Pengelolaan kepemilikan harus diikat dengan berbagai hukum yang menyangkut masalah pertanian, jual beli dan aktifitas produksi. Dalam masalah pertanian, misalnya, seseorang harus senantiasa terikat dengan pemanfaatan lahan pertaniannya. Jika lahan tersebut dibiarkan kosong selama tiga tahun, maka ia sudah tidak berhak lagi atas tanah tersebut sesuai dengan pendapat Umar ibn al-Khaththab yang didiamkan oleh sahabatsahabat yang lain sehingga menjadi ijma’ sahabat. Umar r.a. menyampaikan;
73
“Bagi orang yang membiarkan tanahnya, maka tidak ada hak baginya setelah dibiarkan selama tiga tahun.” Kebijakan ini dengan sendirinya akan menghindari munculnya sistem zamindari atau feodalisme yang akan merintangi pemanfaatan tanah yang tepat, mubadzir dan merugikan pemilik dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu ekonomi Islam menawarkan pengelolaan lahan pertanian dengan cara-cara kerjasama seperti muzara’ah dan musaqat. Pada persoalan jual beli, seseorang harus menempatkan etika bisnis dengan baik dan menghindari riba. Seorang penjual dan pembeli harus sama-sama ridha. Seorang penjual tidak boleh menyembunyikan cacat, berbuat curang dan melakukan penimbunan. Sedangkan pada persoalan produksi, biasanya seseorang berhadapan dengan faktor produksi yaitu alam ( tanah), tenaga, modal dan skill. Oleh karena itu seseorang akan senantiasa berhubungan dengan pihak lain, sehingga ia harus terikat dengan berbagai peraturan seperti syari’at shirkah, ijārah dan jual beli. Selain pembatasan pengelolaan dan pengembangan kepemilikan melalui hukum-hukum syara’, juga dibatasi pula dengan menempatkan manusia sebagai makhluk sosial sehingga harus memperhatikan dan mensupply orang-orang yang mempunyai keterbatasan faktor produksi sehingga tercipta keharmonisan di masyarakat, yaitu diatur dengan hukum-hukum zakat, infaq, s}adaqah dan sebagainya. Selain pengelolaan kepemilikan individu, harta benda yang terkategori kepemilikan umum juga harus dikelola dengan baik. Harta milik umum yang pemanfaatannya mudah, maka siapa saja dapat memanfaatkannya secara langsung, misalnya memanfatkan sumur, mata air dan sungai yang mengalir, mengambil airnya dan dialirkan untuk (keperluan) hewan serta ternak-ternaknya. Sedangkan harta milik umum yang tidak mudah memanfaatkannya secara langsung, seperti minyak bumi, gas dan barang-barang tambang, maka negara mengambil alih penguasaan eksploitasinya. Negara mewakili rakyat dan mendistribusikannya demi kemaslahatan seluruh warga negara. Lebih jauh, harus dilarang dengan tegas, diantaranya; perjudian, riba, penipuan (al-ghabn ), menyembunyikan cacat (tadlis), penimbunan (al-kanzu), dan pematokan harga (tas’ir). Dengan ditetapkannya pengelolaan kepemilikan yang dilarang tersebut, maka akan menghindari perselisihan di masyarakat, menghindari penumpukan kekayaan pada orang-orang tertentu serta menghindari eksploitasi sesama manusia. Selanjutnya distribusi ekonomi di masyarakat dapat dilakukan dengan mekanisme pasar dan non pasar. Mekanisme pasar pun dibatasi dengan larangan praktik penimbunan barang (al-ihtikâr), pematokan harga (al-tash’îr), penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (at-tadlîs), penipuan pada harga (al-ghabn alfâh}isy), Kendati telah tercipta pasar yang bersih, tetap saja ada orang-orang yang tersingkir dari mekanisme pasar, seperti cacat fisik maupun non-fisik, keterampilan dan keahlian yang kurang, modal yang sedikit, tertimpa musibah, dan sebagainya. Karena itulah harus disediakan mekanisme kedua, yaitu mekanisme nonpasar diantaranya adalah zakat, infak dan sedekah, hibah, hadiah, dan wasiat, termasuk pula pembagian harta waris. Negara juga bisa melakukan iqthâ’. Dengan adanya dua mekanisme tersebut, maka dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warga Negara
74
dan sekaligus menciptakan pemerataan ekonomi. Negara berperan besar dalam distribusi kekayaan agar berjalan baik dan rakyat terpenuhi kebutuhan pokok (al-h}ajat al-asasiyah), baik kebutuhan dasar individu (sandang, pangan dan perumahan), maupun kebutuhan dasar masyarakat (keamanan, kesehatan dan pendidikan) secara murah dan berkualitas. Penutup Perkembangan peran negara dalam keuangan publik telah dimulai sejak awal kehadiran Islam. Khalifah Umar ibn Khaṭṭāb memulai upaya kontekstualisasi hukum Islam, termasuk dalam hal ekonomi sesuai dengan kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Pemberlakuan sistem keuangan publik masa Islam klasik mencapai puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah. Tokoh utama pada masa itu misalnya Abu Yusuf dan Abu Ubayd. Karya-karya awal yang membahas keuangan publik pada umumnya menggunakan judul al-amwāl, al-kharāj, dan al-ahkām alsulṭāniyyah. Karya-karya klasik ini menemukan konvergensinya dengan keuangan public kontemporer, terutama semangat keadilan dan pemerataan kesejahteraan. Eksistensi kharaj, ushr dan jizyah sesuai ijtihad Khalifah Umar membuktikan bahwa keuangan public pada masa awal Islam mampu mewujudkan keadilan serta menghindari diskriminasi diantara masyarakat. Saat ini diperlukan upaya-upaya reaktualisasi hukum ekonomi Islam dengan mempertimbangkan perubahan kondisi sosio-historis sehingga terwujud perekonomian yang mampu mengantarkan pada keadilan social bagi seluruh rakyat. Negara harus mengupayakan keuangan public yang adil dan mengupayakan mekanisme distribusi kekayaan dengan memperhatikan konsep kepemilikan dan pengelolaannya serta distribusi kekayaan di masyarakat. Dengan adanya mekanisme tersebut, maka dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warga Negara dan sekaligus menciptakan pemerataan ekonomi. Wallahu a’lam bi al-shawab DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Ziauddin. 1998. Al-Qur’an, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, terj. Ratri Pirianita. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. Al-Gazali, Abu Hamid. Tt. at-Tibr al Masbuk fi Nasaikh al-Muluk. Kairo: Matba‟ah Khairiyyah. Azmi, Sabahuddin. 2004. Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought. New Delhi: Goodword Books. Azwar, Adiwarman Karim. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafinso Persada. Chapra, Umer. 1995. Islam and the Economic Challenge. Herndon: The Islamic Foundation. Inayah, Gazi. 1995. Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, terj. Zainudin Adnan dan N. Falah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Iqbal, Munawar. 2004. Financing Public Expenditure: An Islamic Perspective. Jeddah: IRTI. Irkhami, Nafis. 2014. Konvergensi Keuangan Publik Islam dengan Teori Modern, paper AICIS-14. Mannan, M. Abdul. 1980. Islamic Economics. Thoery and Practice. Delhi: Idarah Adabiyati.
75
_________. 1984. The Making of An Islamic Economic Society, Cairo: International Association of Islamic Banks.
Manzur, Ibn. Tt. Lisan al-Araby. Kairo: Dār al-Mishriyyah. Musgrave, R.A. dan P.B. Musgrave. 1987. Public Finance in Theory and Practice. Singapura: McGraw Hill. Nezhad, M. Sarra. “Tribute (Kharāj) as a Tax on Land is Islam,” dalam International Journal of Islamic Financial Services, Vol. 5, No. 1. Sadeq, Abulhasan dan Aidit Ghazali (ed.). 1992. Readings in Islamic Economic Thought. Kuala Lumpur: Longman Mālaysia. Suharto, Ugi. 2004. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Yogyakarta: PSZ STIS. Taimiyah, Ibn. 1969. al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah. Mesir: Dār al-Kitab al-Arabiy. ________. 1976. Al-Hisbah fi al-Islam. Beirut: Dār al-Kutub al-Arabiyyah. Ubayd, Abu. 1986. Kitab al-Amwāl. Beirut: Dār al-Kutub. Yusuf, Abu. 1979. Kitab al-Kharāj. Beirut: Dār al-Ma‟rifah.