PUBLIK ISLAM DAN MASA DEPAN DEMOKRASI DI NTB
Agus Dedi Putrawan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram Email:
[email protected]
Abstrak: Demokrasi sebagai sebuah “sistem” telah memenangkan dirinya sebagai satu-satunya “The Best Among The Worst”. Namun demikian penolakan terhadap dirinya tetap saja hadir di ruang publik terutama kalau dikaitkan-kaitkan “perkawinannya” dengan Islam. Para apparatus agama kini harus berfikir ulang tentang posisinya di ruang public, karena hanya di ruang inilah setiap orang bisa membahasakan agamanya (Armando Salvatore, Eickleman dan James Piscatori) sesuai pengetahuannya. Isu agama seperti fatwa MUI dan perda syariah yang kontroversial menjadi wacana empuk dalam publik Islam ini; penilaian, klarifikasi, diskusi, debat, hingga pada akhirnya orang-orang yang terlibat di dalam publik Islam harus berfikir ulang tentang Maqasid Al-Shariah ( Jasser Auda). Dalam konteks inilah Masyarakat NTB akan menjadi fokus analisis dalam tulisan ini. Index Demokrasi Indonesia (IDI) menempatkan Masyarakat NTB, dari 34 provinsi di Indonesia NTB menempati posisi terendah kedua indeks demokrasi secara nasional. Begitu pula dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)nya. Tentu ini merupakan pukulan yang begitu menyakitkan bagi masyarakat NTB yang kini sedang melakukan persiapan Pilkada serentak Desember 2015. Ditambah lagi ia sedang merayakan keberhasilannya menjadi ikon World Halal Travel Award 2015, baik nasional maupun internasional. Keyword: Public Sphere, Demokrasi, Islam, NTB
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
79
A. Pendahuluan Index Demokrasi Indonesia (IDI) menempatkan Masyarakat NTB, dari 34 provinsi di Indonesia NTB menempati posisi terendah kedua indeks demokrasi secara nasional. Begitu pula dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya. Tentu ini merupakan pukulan yang begitu menyakitkan bagi masyarakat NTB yang kini sedang merayakan keberhasilannya menjadi ikon World Halal Travel Award 2015, berskala internasional. Pertanyaan-pertanyaan mengemukan di ruang publik terutama diskusi-diskusi para analis. Gencarnya promosi NTB sebagai destinasi pariwisata1 setelah provinsi Bali berbanding terbalik dengan kondisi IPM mansyarakatnya. Dalam buku yang berjudul Politik Tuan Guru Bajang “Fajar Kebangkitan Demokrasi di Lombok”yang di tulis oleh Sarjono mengemukakan bahwa “Kebijakan pengembangan sector pariwisata di Nusa Tenggara Barat Berawal dari sebuah studi perencanaan pembangunan pariwisata yang disponsori oleh United Nations Development Program (UNDP) dan dilaksanakan World Tourism Organization (WTO). hasil studi tersebut merekomendasikan untuk wilayah Nusa Tenggara (NTT dan NTB) layak untuk pengembangan bagi sector pariwisata. hasil studi tersebut langsung direspon oleh Pemda dengan dikeluarkannya SK Gubernur Kepala Daerah Tk.I NTB No. 113/1984 tentang penunjukan lokasi dan pengaturan penggunaan tanah bagi pengembangan pariwisata di NTB.” dikutip dari, ABD. Karim, Kapitalisasi Pariwisata “dan Marjinalisasi Masyarakat Lokal di Lombok”, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), h. 92. 1
80
|
Komunitas
dalam empat dekade terakhir, Nusa Tenggara Barat bergerak lambat. NTB masuk dalam Indeks Pembangunan Manusia Peringkat ke-32 dari 33 provinsi dengan nilai 57,8. di tahun 2004 semakin merosot menjadi urutan 33, padahal Indeks Pembangunan Manusia sedang naik menjadi 60,6. Ini membuktikan betapa daya saing NTB sangatlah rendah.2 Kemudian tahun 2015 tetap saja NTB meraih renking buncit (kedua) paling bawah (Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Demokrasi Nasional). “Kepala BPS NTB, Wahyuddin mengatakan, IDI NTB 2014 sebesar 62,62 dari skala 0 sampai 100. Angka ini naik 5,40 poin dibandingkan dengan IDI NTB 2013 sebesar 57,22. Namun tetap saja tidak mampu mengerek peringkat NTB. “Artinya, tingkat demokrasi di NTB mengalami peningkatan. Semua dari kategori rendah naik menjadi kategori sedang,” katanya, dalam jumpa pers, Kamis kemarin (13/8). Perkembangan IDI NTB, jelasnya, dari 2009 hingga 2014 mengalami fluktuasi. Tingkat demokrasi di NTB berdasarkan penghitungan indeks mengalami peningkatn cukup signifikan di tahun 2014, sehigga NTB masuk dalam kategori sedang. IDI, terangnya, merupakan alat untuk mengukur perkembangan demokrasi. Alat ini sengaja dirancang dan sensitif dengan naik turun dinamika demokrasi. “Karena IDI disusun Sarjono, Politik Tuan Guru Bajang “Fajar Kebangkitan Demokrasi di Lombok, (Malang: Enzal Press, 2012), h. 104. 2
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
berdasarkan pada kejadian, sehingga potret yang dihasilkan merupakan refleksi dari realitas yang ada,” jelasnya. Dia menambahkan, angka IDI merupakan indeks komposit yang disusun dari skor beberapa aspek. Yakni, angka kebebasan sipil dengan nilai sekitar 53,75, aspek hak politik dengan nilai sekitar 62,08, dan aspek lembaga demokrasi dengan nilai sekitar 68,38.”3
Berbicara tentang anjloknya in deks demokrasi NTB, tidak lepas dari konteks lokal kedaerahan di mana NTB merupakan daerah rawan konflik (Bima, Dompu, Lombok Timur). Pada dasarnya, konflik dan kekerasan telah menjadi bagian dari konstruksi budaya dan tradisi masyarakat lo kal yang sulit untuk dihilangkan. Selain faktor budaya, terdapat juga faktor determinan termasuk faktor ekonomi, sektarianisme, eklusivisme, promordialisme dan pendidikan multi kulturalisme yang masih kurang.4 Sebagian mengatakan, salah satu peyebab “selalu” merosotnya nilai demokrasi NTB adalah sulit nya menghapus sisa-sisa budaya patrimornial5 di kalangan masyarakat http://www.r adarlombok.co.id/ indeks-demokrasi-ntb-terendah-kedua.html 4 Saipul Hamdi, Nahdlatul Wathan di Era Reformasi “Agama, Konflik Komunal dan Peta Rekonsiliasi”, (Yogyakarta: KKS Jogjakarta dan Nawa Institute Kalimantan Timur, 2014), h. vii. 5 “Hirarki kekuasaan ini dapat ditemukan dalam gambaran tentang konsep-konsep Max Weber mengenai sistem politik Patrimornial. Patrimornial dalam pengertian Weber 3
akar rumput. Budaya primordialisme masih mengakar dan kuat membayangbanyangi konsolidasi demokrasi di NTB, terlebih pasca tumbangnya rezim orde baru dengan lahirnya desentralisasi di setiap daerah. Warisan tradisi kekuasaan Jawa tradisional di Lombok NTB, para penguasa sibuk menghabiskan waktu dan energi untuk sumber legitimasi eksternal sebagaimana dilakukan oleh raja-raja tradisional Jawa pada masa Mataram. Hal ini terjadi karena para penguasa ingin menampilkan diri, harus digambarkan di mata rakyat, sebagai wakil dewa, wakil para nabi, yakni di mana seluruh kekuasaan mengalir langsung dari sang pemilik kekuasaan, yang dimaksud di sini adalah raja. Segala apa yang dikatakan oleh raja akan menjadi undangundang dan bahkan agama raja pun menjadi agama rakyatnya. Weber menulis tentang patrimornialisme sebagai bentuk dominasi otoritas tradisional. Pada awalnya berpusat pada struktur keluarga terutama kekuasaan ayah dalam keluarga (Patriarki).” Sebagaimana dikutip oleh I Gede Parimartha dalam R. Bendix, Max Weber On Intellectual Portrait, (New York: Anchor Books, Doubleday & Company Inc., 1962), hlm. 334-336. lihat pada I Gede Pamarimatha, Perdagangan dan politik di Nusa Tenggara 1815-1915, ( Jakarta: KTILV, 2002), hlm. 2-3. lihat juga, Dalam analisis Weber tentang patrimornial, ia membaginya menjadi dua bagian. pertama, salah satu bentuk patrimonisalisme ditandai dengan struktur Top-Down, di mana seorang penguasa (raja, kaisar, sultan) berkuasa atas dasar memiliki otoritas yang sah melalui pejabat birokrasi tradisional (misalnya; kasim); Kedua, struktur yang masih TopDown tapi memiliki kekuasaan yang sah di luar kewenangan penguasa pusat. Dikutip dari, Agus Dedi Putrawan, Dekarismatisasi di Lombok NTB “Studi Pudarnya Pesona Tuan Guru Pada Pemilu 2014”, (Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga, 2015), h. 42.
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
81
wakil tuhan, dengan kekuasaan luas gung binathara nyakrawati.6 Otonomi daerah di satu sisi melahirkan kemandirian setiap daerah, di mana mereka (orang-orang daerah) dapat menentukan sendiri apa yang menjadi kebutuhan dan nasip, guna mencapai kesejahtraan masyarakat daerah. Namun di sisi lain, otonomi ini melahirkan catatan kelam primordialisme (atas nama putra daerah; budayawan dan tokoh agamawan, karismatik), masyarakat feodal, fanatisme buta terhadap ketokohan sehingga mematikan nalar kritis untuk mengontrol kebijakankebijakan terkait kepentingan bersama di ruang publik. Sementara menyangkut penguatan masyarakat sipil, khususnya basis desa (ataupun sebutan adat dan lainnya), tidak pernah di eksplorasi dan dikembangkan secara mendasar.7 Dalam kondisi ini maka berbicara di ruang publik menjadi hal yang tabu (su’ul adab), pengkultusan terhadap sang tokoh mengakibatkan penggunaan instrumen-instrumen demokrasi hanya sebatas lips service. Sebagaimana dikawatirkan oleh Syaifullah dalam penelitiannya yang menyoroti tentang tokoh karismatik (kiai) terjun ke dunia politik praktik di Kabupaten Sumenep Madura: Zainuddin Maliki, Agama Priayi “Makna Agama di Tangan Elit Penguasa”, (Yogyakarata; Pustaka Maswa, 2004), h, 303 7 ABD. Karim, Kapitalisasi Pariwisata… (Yogyakarta: Genta Press, 2008), h. xviii 6
82
|
Komunitas
“Pertama, Kiai yang terjun ke pentas politik praktis, lebih-lebih di tingkat lokal, pada umumnya tidak memiliki background teoritik maupun pengalaman dalam politik praktis yang memadai, selain itu kiai lebih diakui sebagai tokoh agama pengayom masyarakat, benteng moral dan tempat bertanya serta memecahkan masalah agama dan masyarakat. Sehingga pemerintahan yang dipimpin oleh seorang kiai kerap kali terperangkap ke dalam praktek otoritarianisme. Hal ini disebabkan penyelesaian masalah-masalah politik tidak sama dengan penyelesaian masalah sosial keagamaan. Ditambah lagi klaimklaim bahwa para kiai sering kali tidak mampu membedakan mana wilayah politik dan mana wilayah agama. Ia mencampur adukkan isuisu agama dan isu-isu politik, bahkan sentimen-sentimen keagamaan kerap kali dieksploitasi untuk kepentingan politik. Kedua, hubungan kiai sebagai elit politik (lokal) dengan massanya bersifat paternalistik, hubungan guru dan murid, dan komunikasi yang dibangun antara keduanya bersifat emosional (kepatuhan). Akibatnya, massa cenderung pasif, pasrah dan tidak kritis terhadap elitnya. Ketiga, para kiai umumnya berperan ganda, di satu sisi sebagai elit politik dan pemimpin pesantren di sisi lain, maka tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin pesantren terabaikan.”8 Tesis, Syaifullah, Politik & Kiai (Studi Tentang Keterlibatan Kiai dalam Politik 8
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
Agus Dedi membagi tiga tahapan perubahan sistem kekuasaan pada masyarakat Lombok dengan mengutip teori otoritas Max Weber. Masyarakat Lombok hari ini adalah masyarakat yang berubah-ubah dari tokoh karismatik yang dikultuskan menjadi sebuah birokrasi tradisional (kerajaan), kemudian berubah menjadi birokrasi modern dengan undang-undang sebagai konstitusi Negara. Namun peninggalan budaya patrimornial masih mengakar sampai sekarang. ”Jenis otoritas seperti ini, masyarakat, jam’ah, atau pengikutnya bersedia untuk mengikuti dan mematuhi seorang pemimpin karismatik atas dasar keyakinan mereka akan wibawa atau karisma yang melekat pada dirinya. Biasanya wibawa atau karisma tersebut diyakini bersumber dari kekuatan yang sakral. Otoritas karisma dibangun atas dasar keyakinan orang-orang akan kesakralan pemilik otoritas yang tak boleh di pertanyakan.”9
Sebagian yang lain mengatakan, salah satu peyebab “selalu” merosotnya nilai demokrasi NTB adalah hubungan inharmonis antara Islam dan demokrasi. Demokrasi menjadi ancaman bagi elit agamawan (Muslim), Demokrasi di Kabupaten Sumenep, (Yogyakarta: Uin Sunan Kali Jaga, 2013).. 9 Tesis, Agus Dedi Putrawan, Dekarismatisasi di Lombok NTB “Studi Pudarnya Pesona Tuan Guru Pada Pemilu 2014”, (Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga, 2015), h. 96.
dengan kebebasannya sangat tidak diinginkan oleh para otoritas agama, ketika kebebasan itu terbuka, maka legitimasi yang dikeluarkan oleh para ulama akan hilang. Tentunya ini akan menghilangkan legitimasinya. Jauh sebelumnya, diskusi-diskusi bertemakan “hubungan Islam dan demokrasi” hampir selalu berujung pada pertanyaan: “apakah Islam cocok dengan demokrasi”. Dunia Barat pada umumnya memandang Islam kurang akrab dengan konsep kedaulatan rakyat, kewargaan (citizenship) dan kebebasan (freedom) yang bertentangan dengan konsep kedaulatan Tuhan. Sayid Qutb dan Maududi, memperkenalkan konsep kedaulatan Tuhan yang secara otomatis menggusur gagasan tentang kedaulatan rakyat, di mana kedaulatan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat) adalah termasuk gagasan kunci dari teori demokrasi. Maka dalam Islam kedaulatan rakyat menjadi barang yang asing dalam khasanah ajaran Islam. Dalam laporan “Us State Departement Country Report on Terrorism 2011, Setidaknya ada 10.000 aksi terror yang menelan 12. 500 korban meninggal dunia yang terjadi di 70 negara (Timur Tengah, Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia). Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo sebagai awal gerakan radikal berbasis agama di
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
83
Indonesia, ia menyatakan negeri ini merdeka dengan tujuan membentuk sebuah Negara berdasarkan syariat Islam dengan nama Negara Islam Indonesia (NII). Di Sulawesi terdapat Abdul Kahar Muzakar pempinan DI/ TII dengan jabatan Panglima Divisi IV TII wilayah Sulawesi, di Aceh terdapat Daud Beureueh pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM)10 dan menyatakan sebagai bagian atas DI/TII. Di Jawa Tengah terdapat dua tokoh utama; Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir, pada tahun 1963, Abdullah sungkar menyatakan diri keluar dari DI/TII dan membentuk al-Jama’ah al-Islamiyah.11 Di NTB berdasarkan hasil penelitian tentang “Pola Penyebaran dan Penerimaan Radikalisme di Mataram, Nusa Tenggara Barat” yang dilakukan oleh tim dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang diberi tugas oleh BNPT dan disosialisasikan pada tanggal 10 Desember 2013; tematema radikalisme dan teorirsme menunjukan hamper semua informan tidak setuju dengan aksiaksi radikalisme dan terorisme yang Latar belakang timbulnya gerakan ini adalah bentuk dari kekecewaan atas ingkar janjinya pemerintah untuk menerapkan syaraiah islam di aceh setelah selesainya perang kemerdekaan selesai. 11 Makalah, Mudjitahid, “Pemberdayaan Pemuda dan Perempuan dalam Rangka Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di NTB” lampiran I, h, 4-5. Mataram, 1 Oktober, 2015. 10
84
|
Komunitas
terjadi selama ini di Indonesia. Namun terdapat juga organisasi-oraganisasi yang memiliki “kecenderungan” setuju dengan konsep jihad perang, dan mendukung pola kekerasan yang dilakukan FPI, walaupun di sisi lain mereka tidak setuju dengan jihad “terorisme”, masuk dalam kategori ini versi mereka adalah Lembaga Dakwah Kampus (LDK) UNRAM, LDK IKIP Mataram, GAMAIS, Pemuda Bima, temuan lain adalah PII (Pelajar Islam Indonesia) yang merupakan jalur masuk bertemunya konsep Khilafah HTI ke berbagai Remaja Mushola dan LDK Mataram.12 Asef Bayat (2007), dalam “Islam and Democracy. What is the Real Question?”, tidak menampik adanya pandangan seperti itu, akan tetapi dia justru menolak pertanyaan awalnya. sebenarnya menurut Aseb Bayat pertanyaan apakah Islam cocok dengan demokrasi merupakan pertanyaan yang keliru. Jika pertanyaannya demikian, maka seakan-akan konsep tentang demokrasi adalah sesuatu konsep yang solid, padahal konsep tentang demokrasi sendiri tidak terlepas dari perdebatan panjang para tokoh demokrasi dan penuh dengan penyesuaian-penyesuaian dalam kons olidasinya. Maka pertanyaan yang seharusnya timbul adalah dalam kondisi apa Islam dan demokrasi dapat hidup dan dapat sejajar. Ibid… Lampiran II, h, 3-5. Mataram, 1 Oktober, 2015. 12
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
B. Ruang Publik dan Sebuah Tantangan Selama ini, diskusi tentang ruang publik atau disebut Public Sphare, sudah marak didiskusikan di berbagai tempat, baik dalam dunia akademisi maupun dalam diskusi-diskusi di warung kopi. Di mulai dari sarjana-sarjana yang concern di dalamnya termasuk Jurgen Jurgen Habermas, Jaser Auda, Nilüfer Göle, Armando Salvatore, Eickleman dan James Piscatori. Menurut Habermas, ruang publik mempunyai peran yang cukup signifikan dalam proses berdemokrasi.13 “Ruang publik, public sphere (Inggris) atau offentlichkeit ( Jerman) merupakan sebuah konsep yang dewasa ini menjadi popular di dalam ilmu-ilmu sosial, teori-teori demokrasi dan diskursus politis pada umumnya. …. konsep “ruang public” ingin mendorong pertisipasi seluruh warganegara untuk mengubah praktik-praktik sosio-politis mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif.”14
Ruang publik adalah ruang yang bersifat demokratis, yang mana warga negara dapat menyatakan opiniopini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang Publik itu adalah suatu Fresco Budi Hardiman Demokrasi Deliberatif. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2009). hlm. 128. 14 Lihat. Fransisco Budi Hardiman, Ruang Public (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 1. 13
kondisi, wahana diskursus masyarakat di mana orang dari berbagai macam latar belakang tanpa membedakan sukunya, status sosial, agama dan lain-lain, berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politisnya, bebas menyatakan sikap dan argumen, menyediakan semua orang untuk bisa terlibat membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama (negara atau pemerintah), bukan di tentukan oleh satu individu; presiden, tuan guru, pejabat, pendeta, kaisar, raja, kepala suku, dan lain-lain. Ruang publik harus bersifat “bebas” dari pengaruh siapapun termasuk pemerintah, “terbuka dan transparan” bagi/untuk warga Negara/masyarakat. Ruang ini harus mudah diakses semua anggota masyarakat.15 Dalam kondisi ini, ruang publik menjadi hal yang penting dalam sistem demokrasi. Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga sebagai civil society yang berperan mengontrol/ mengawasi kebijakan-kebijakan baik legislatif maupun eksekutif. Ruang publik dapat timbul di mana saja. Perkumpulan tiga, empat orang membicarakan kepentingankepentingan bersama, mengkritisi hukum, sosial, politik, ekonomi, agama dapat dikatakan ruang publik. Public Sphere lahir dari Gagasan Habermas Budi Hardiman, Ruang Publik. (Yogyakarta: Penerbit Kansius. 2010). hlm 185. 15
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
85
tentang demokrasi deliberatif16, demokrasi yang melahirkan partisipasi aktif warga masyarakat dalam ruang publik demokrasi. “Habermas’s deliberative model departs both from models of democracy that reduce the public sphere to nothing more than an arena for the clash of views or the thrashing out of grudging compromises, and from the hubris of Enlightenment humanism.”17
Menurut Nilufer Gole: “In the global era, the public sphere is not limited to a single national language community. Rather than the discursive and regulatory or normative aspects of the public sphere, the antagonistic and the experimental dimensions of the public sphere need stressing. The performative and visual repertoire of action staged in a given physical locality opens the way for new forms of public agency and brings the cultural−artistic realm to the fore. Just as Jürgen Habermas did in his works, we need to revisit the relations between the public “The civic–republican view legitimately corrects the bourgeois model’s tendency to view the common good as something given which can be revealed through public discussion. The common good is, instead, conceived as something that can potentially be generated through dialogue. This is a ‘deliberative’ model of democracy, one which Habermas revisits in his more recent work, The Inclusion of the Other” Luke Goode, Jurgen Habermas “Democracy and the Public Sphere”, (London: Pluto Press, 2005), h. 51. 17 Ibid, 52. 16
86
|
Komunitas
sphere and democracy and question the autonomous and interdependent aspects of both.”18
Di era global hari ini, ruang publik tidak terbatas pada komunitas bahasa pada suatu bangsa. Nilufer Gole banyak bercerita tentang protes, gerakangeraka baik gerakan wanita dengan kebebasan kerudungnya maupun gerakan gerakan semisal “The Gezi Park” di ruang publik19. Public sphare ini hadir sebagai antithesis dari sistem budaya patrimonial, primordial, masyarakat feodal dan segelintir elit birokrasi aristokrat yang mengatur masyarakat awam. Mereka menjadi penafsir tunggal akan fenomena-fenomena privat maupun sosial, dalam kondisi ini hanya merekalah yang maha tahu. “Keadilan itu apa, hanya dia yang paling tahu, kebenaran itu apa, amar maqruf itu apa, hanya dia yang paling tahu”. Rajaraja dari sistem patrimonial selalu menempatkan dirinya sebagai The Only Source of Authority, “satu-satunya Nilufer Gole, The Forbidden Modern “Civilization and Veiling” (USA: The University of Michigan Press, 1996), h. 3-84. lihat juga Nilufer Gole, Public Space Democracy, (An article from www.eurozine. com), h. 9 19 “The Gezi Park movement seeks to defend public space against commercialization and the transformation of urban life into a mere generator of rents. The park stands for the public sphere. The protection of the park is not merely metaphorical. The park signifies the physicality of the public sphere. It is the concrete, open space in which citizens can give voice to their opinions and gather together.”, Ibid, 3-8. 18
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
sumber kekuasaan” tidak boleh ada yang membantah, jika ada yang membantah titah raja, maka akan di jatuhkan hukuman sebagai melawan raja. Model kekuasaan patrimonial ini baru bisa di terapkan jika masyarakatnya masih bodoh, dungu, dan penguasa cenderung lebih mudah memimpin dalam kondisi seperti ini. Karena akses ilmu pengetahuan selalu dalam lingkaran keluarga aristokrat kerajaan, dan cenderung dalam kekuasaan patrimonial kekuasaan “selalu” berselingkuh dengan agamawan, “agar mendapatkan legitimasi yang kuat, harus ambil agamawan-agamawan” para agamawan memberikan justifikasi atas nama agama sehingga apa yang dikatakan raja adalah suatu yang bertuah, seakan-akan sacral titah tuhan dan lain sebagainya. C. Public Islam dan Peluang Demokrasi Selanjutnya diskusi tentang “Public Islam” hadir dari wacana kaum muslim tentang kehidupan keberislaman diruang publik “gabungan public sphere and Islam”. Noorhaidi Hasan dalam tulisannya berpendapat sebagaimana disarikan dari tulisan Armando Salvatore, Eickleman dan James Piscatori; “Mass education and mass communication have facilitated a greater sense of autonomy for both
men and women and an awareness in muslims of the need to reconfigure the nature of religious throught and action, create new forms of public space, and encourage debate over meaning. Open contests over the use of the symbolic language of islam and its meanings have increasingly shaped the new sense of public space that is discursive, performative, and participative. in such engagements, publicly shared ideas of community, identity and leadership take new shapes.”20
Ia Mengemukakan Perubahan besar-besaran yang terjadi di kalangan muslim terkait dengan terbukannya akses pendidikan, terbukanya akses komunikasi dan transportasi yang begitu mudah hanya dengan hitungan detik, membuat orang-orang diseluruh dunia seakan disulap menjadi desa global yang segalanya dapat diakses oleh siapa saja di belahan dunia. Dalam tulisannya yang berbeda ia juga berpendapat; “Although the new media did not necessarily call the so-called public Noorhaidi Hasan, Maqasid Al-Sharia, Knowledge Production, and Public Islam Towards a Post-Islamist Turn, Makalah Diskusi Mingguan, Yogyakarta, Pacasarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015, hlm. 1. Lebih lanjut pembahasan tentang Public Islam dapat kita temukan dalam tulisan Armando Salvatore dan James Eickelman, 2004. “Public Islam and Common Good,” Et al,, Public Islam and the Common Good. (Leiden; Boston, Brill, 2004),, hlm.. xi-xxv. lihat juga Dale F. Eickelman and James Piscatori, Muslim Politics, United States of America by Princeton University Press, 1996, 20
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
87
sphere into being, they contributed significantly to reshaping a sense and tructure of public that was already available. An embrio of “public islam” emerges and poses a challenge to the secularist definition of the boundaries and content of the public sphere. It public space for encounters on different levels dan inform individual and collective strategies of cultural dialogue (Salvatore and Eicklaman 2004)”21
budayawan dan para tuan guru sebagai penafsir tunggal dengan ditopang social capital yang dimilikinya23
Meningkatnya jumlah intensitas penyebaran informasi melalui media baik media cetak seperti buku-buku, surat kabar, majalah, bulletin, serta jurnal-jurnal lainnya, maupun media elektronik seperti televisi, radio, bahkan sekarang internet sudah masuk ke perkampungan, memberikan alternatif baru bagi masyarakat untuk tidak menjadikan tukoh tunggal seperti kiai sebagai satu-satunya saluran untuk memperoleh informasi baru”.22
Eickelman dalam tulisannya me ngatakan:
Jika dibandingkan dengan beberapa abad yang lalu, di mana ekses pendidikan hanya terbatas pada lingkaran bangsawan, aristokrat, dan keluarga kerajaan, sehingga tak heran bila melahirkan peran tunggal seorang tokoh dalam masyarakat atas tafsir kehidupan baik sosial maupun agama. Pada abad-abad yang lalu, masyarakat NTB mendudukan tokoh-tokoh Noorhaidi Hasan,. New Media and Post-Islamist Pity in Indonesia, Makalah Seminar Nasional, Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. hlm. 1. 22 Muhibbin, “Politik Kiai Versus Politik Rakyat”..hlm. 62. 21
88
|
Komunitas
Perkawinan Islam dan demokrasi hanya dapat terwujud jika dalam ruang publik partisipasi serta kebebasan setiap individu kelompok yang mandiri dapat mengekplorasikan hak dan kewajibannya, mengontrol dan membicarakan kebijakan-kebijakan terkait kesejahtraan bersama.
“Andai kata bab ini diselesaikan seluruhnya sebelum peristiwa 11 september 2011, tema utamanya adalah bahwa peningkatan tingkat pendidikan, kemudahan lebih besar dalam bepergian, dan kemunculan media-media komunikasi baru secara cepat telah mendorong “Pembicaraan mengenai faktor kepemilikan tanah, pemilikan pesantren kiai/tuan guru dapat dimasukkan ke dalam pembicaraan mengenai modal ekonomi. factor pengetahuan agama beserta cara transmisinya akan tergolong ke dalam modal cultural. Faktor pertalian kekerabatan dengan para penguasa lain yang lebih besar, dengan kiai/tuan guru di pesantrenpesantren lain, dapat dimasukkan ke dalam kategori modal simbolik. begitu juga faktor pertalian kiai/tuan guru dengan dan keanggotaannya dalam organisasi politik tertentu.” Sebuah pengantar oleh, Faruk, dalam buku Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat “Kiai Pesantren-Kiai, Langgar di Jawa” Cet-2 , (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm xxvii, “Para bangsawan Sasak dengan privilege yang diberikan oleh kolonial memberikan akses untuk sekolah di sekolahsekolah yang didirikan colonial”, lihat Fath Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, hlm. 181-185 23
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
berkembangnya sebuah wilayah public (public sphere) di masyarakat mayoritas muslim di mana sejumlah orang dan tidak terbatas pada elit politik dan ekonomi yang terdidik ingin berbicara dalam isu-isu agama, pemerintahan dan public. Pragmentasi dalam otoritas public dan agama ini menghadang otoritarianisme. ini akan membawa masyarakat kearah yang lebih terbuka, persis seperti globalisasi telah diikuti dengan perkembangan seperti gerakangerakan hak-hak asasi manusia lintas bangasa dan Vatican II.”24
Publik Islam pada masyarakat NTB yakni orang dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, berdiskusi, berdialog, dengan leluasa saling melempar isu. Setiap orang dari berbagai disiplin ikut melibatkan diri mendiskusikan agama private mereka, bahkan Gubernur, Bupati, Camat, kepala Desa, kepala Dusun, ketua RT, laki-laki, perempuan, tua, muda, dan lain-lain berkesempatan juga mengiterpretasikan doktrin-doktrin agama. Publik Islam berdampak terhadap peran tokoh agama yang tereliminasi oleh sarjana-sarjana baru penghafal al Quran dan Hadist, serta oleh orangorang yang mulai berani menafsirkan agama sebatas pengetahuan mereka. Hal ini ditandai dengan dakwahdakwah yang tersebar di internet, Dale F. Eickelman, Islam dan Pluralism, Dalam Bassam Tibi, et al, Etika Politik Islam “Civil Society, Pluralism, dan Konflik, ( Jakarta: ICIP, 2005), h. 158. 24
TV dan radio yang notabene bukan dilakukan oleh para tuan guru melainkan orang-orang biasa yang keilmuannya masih tidak sebanding dengan para tuan guru. Dalam segi sosial kemasyarakatan, para pejabat pemerintahan, guru, karyawan, petani, nelayan, buruh mulai sibuk “berkicau” di ruang-ruang (public sphere) membahas tentang isi perut, budaya, dan termasuk agama. Para tuan guru (Political A Religion Establishment) kini, hanya berfungsi sebagai religious authority dalam bidang keagamaan saja yang berkaitan dengan ibadah, sedang peran-peran yang lain diemban oleh ototitas-otoritas baru yang timbul oleh berbagai faktor (pembahasan sebelumnya). Orang-orang NTB kini tidak lagi menunggu fatwa dari tuan guru untuk menafsirkan kejadian-kejadian baik rumah tangga, regional, nasional serta internasional sebagai pedoman tindakan masyarakat di masa lampau yang ditandai dengan kehadiran akses internet (Google) yang memberikan informasi yang begitu mudah.25 Persaingan fatwa tuan guru dengan teknologi ilmu pengetahuan memang melahirkan suatu sangkaan oleh masyarakat modern, ketika seorang tuan guru dengan kekurangan dan kelebihannya sebagai manusia biasa selalu tampak kalah bersaing dengan kecepatan internet “google” dalam memberi informasi. Meski pun sebagian masyarakat tidak menyangkal bahwa informasi-informasi yang disediakan (internet) terkadang abu-abu. Lebih lanjut dapat dilihat dalam paparan, Pitra Narendra, “Internet, Public Sphere dan Perubahan Sosial”, dalam Jurnal Penelitian Ilmu 25
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
89
Tegaknya demokrasi dalam Publik Islam dimungkinkan apabila Negara memberikan perlindungan hukum bagi tiap warga Negara melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak dengan menjamin hak asasi manusia. peran serta masyarakat madani sebagai masyarakat yang terbuka, egaliter, bebas dari dominasi dan tekanan Negara. Partisipasi aktif masyarakat madani dalam prosesproses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah menjadi penting dalam proses demokrasi.26 D. Mengukur Kemajuan Demokrasi dan Islam Bagaimana pun idealnya public sphere dalam dunia demokrasi, tetap saja hanya akan menjadi wacana dalam angan-angan para analis, jika instrumen ini tidak hidup dan dihidupkan oleh masyarakat yang mandiri akan peranannya. Maka dalam kondisi demikian yang diperlukan adalah apa yang disebut oleh Weber dengan istilah rasionalitas. Rasionalitas memiliki pengertian-pengertian yang berbeda dari tokoh-tokoh sosiolog semisal Freud dan Habermas. Menurut Habermas; rasionalisasi adalah meluasnya wilayah-wilayah Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi, (Volume 8, no. 1, Juni 2006), hlm. 49-65. 26 Abdul Rozak, dkk, Pendidikan Kewargaan “Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani”, ( Jakarta: Kencana dan ICCE Uin Jakarta, 2008), h. 49-50.
90
|
Komunitas
masyarakat yang ditempatkan di bawah aturan-aturan keputusan rasional.27 “Freud mengatakan rasionalisasi adalah suatu proses mencari pembenaran terhadap tindakantindakan seseorang yang dirasanya benar namun menurut para analis dinyatakan keliru ketika dipastikan melalui psikoanalisis bahwa tindakantindakan itu dibawah alam sadar. Ketika Weber berbicara mengenai rasionalisasi, ia kemudian mengaitkan dengan kebangkitan sains dan tinjauan ilmiah atau kemajuan rasionalisme (pencapaian unik peradaban barat) dengan meyakini bahwa pengertian, persepsi dan penalaran merupakan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. 28
Jasser Auda dalam tulisannya yang berjudul Maqasid al-Shariah as ”Philosophy of Islamic Law A Systems Approach” yang menekankan pada konsep “keadilan”, memandang umat Islam, terlebih khusus di Indonesia selama ini berkutat pada fiqih-fiqih menurut empat Imam mazhab; Syafii, Maliki, Hambali, Hanafi. Dalam perkembangannya umat Islam mengalami kegelisahan, kesukaran dan ketidak pastian karena para imam J. Habermas, Toward a Rational Society: Student Protest, Science and Politics, trans. J. Shapiro (Cambridge: Polity Press, 1987 [1962]). 28 Tesis, Agus Dedi Putrawan, Dekarismatisasi … (Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga, 2015), h. 129. Lihat juga, Max Weber, Etika Protestan and Spirit of Kapitalisme, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006), h. xxxiii197. 27
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
mazhab di atas hidup di ruang dan waktu (zaman khilafah) yang berbeda dengan umat Islam yang hidup tersebar di seluruh belahan dunia. Entah itu negara dengan sistem sekuler, demokrasi, serta monarki, maupun yang mengaku diri Negara Islam seperti Arab Saudi. Maka menurut Jaser Auda perlu kiranya umat Islam melihat ulang maqasid syariah ini.29 Umat Islam kini tersebar di seluruh belahan dunia, dengan latar belakang suku dan bahasanya disetiap Negara dengan sistem yang tidak sama satu dengan lainnya, mereka memeluk agama Islam, meyakini keesaan Allah SWT dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Permasalahan yang timbul kemudian, bagaimana menerapkan Islam yang benar dalam Negara yang sistemnya berbeda-beda; ada yang skuler, demokrasi, monarki, federasi, komunis dan lain-lain. Sebagaimana sudah dipaparkan di atas, fiqih-fiqih menurut empat Imam mazhab; Syafii, Maliki, Hambali, Hanafi, kini perlu pembumian kembali sesuai konteks kekinian. Kegelisahan, kesukaran dan ketidak pastian karena para imam mazhab di atas hidup di ruang dan waktu (zaman khilafah) yang berbeda dengan umat Islam yang hidup di era digital hari ini. Lalu bagaimana Jaser Auda , Maqasid al-Shariah as ”Philosophy of Islamic Law A Systems Approach”(London:the International Institute of Islamic Thought, 2007), h. xx, 21-48. 29
mengukur tingkat keadilan yang berlaku bagi setiap warga masyarakat dalam sebuah Negara.?, Maka jawaban Jasser Auda adalah dengan melihat Human Development Index. Jika pendapatan perkapita sebuah Negara tinggi, minimnya pengangguran, tidak adanya buta huruf, pelayanan kesehatan yang tinggi, jaminan hari tua yang cerah, hukum yang ditaati karena adil, nihilnya korupsi, kolusi dan nepotisme, partisipasi masyarakat tinggi, penghargaan hak asasi manusia, penghargaan terhadapan perempuan, toleransi atas multikulturalisme yang kesemuanya itu membuat masyarakat sejahtra, maka Negara yang demikianlah yang menerapkan nilai-nilai Islami sesungguhnya. tidak masalah ia hidup di Negara yang sekuler, namun nilai-nilai Islami diterapkan, maka itulah hakikat keadilan “justice” yang dimaksud Jasser Auda. Banyak Negara mengklaim diri mereka Negara Islam, namun penghargaan terhadap perempuan diabaikan, kekerasan terhadap anak terus merebak, tingkat kriminalitas tinggi, intolerasi di mana-mana, masyarakat terjebak dalam lingkaran syetan kemiskinan, tumbuh suburnya koruptor, maka bukan itu yang dimaksud Negara Islam sesungguhnya. Atas nama Islam mereka mempertahankan status quo, atas simbol-simbol Islam mereka menghegemoni rakyat lemah.
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
91
“seringkali agama dimatimulasi untuk mempertahankan status quo, bahkan direkayasa untuk memberikan legitimasi yang cenderung mempolitisasi agama. Aspek dari fungsional agama yang antara lain untuk membangun nilai kemanusiaan, menghargai hak asasi manusia dan menegakkan keadilan, lambat laun menjadi terabaikan dan membeku. Demokrasi hanya dapat ditegakkan ketika keadilan dijalankan secara baik yaitu siapapun yang berkuasa dan dalam bentuk Negara apapun, selama sang penguasa menegakkan keadilan, maka ia bisa dikatakan sebagai pengawal demokrasi.”30
Ibn Taimiyyah (61-728 H/12631328) mengatakan: ”bahwa tuhan menolong Negara (kekuasaan) yang adil walaupun bukan islam, dan tuhan tidak mendukung Negara (kekuasaan) yang zalim meskipun Islam”31
Secara tidak langsung dalam tesis ini Ibn Taimiyyah ingin menyatakan bahwa keadilan itu adalah hukum alam (sunnahtullah) dan siapapun yang Makalah, Abd. Salam Arief, Dinamika Politik, Perkembangan Zaman dan Studi Politik dalam Islam, disampaikan dalam Seminar Nasional Implementasi Pembelajaran Integrasi Interkoneksi pada mata kulia Prodi Hukum Islam Pasca Sarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 2324 September, 2014. h. 3-4. 31 Ibn Taimiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, (Riyad; al-Muasasah al-Sa’idiyyah,ttp), h. 17. lihat juga Public Duties Of Islam The Institution Of The Hisbah, (London: Islamic Foundation, 1982), h. 25. 30
92
|
Komunitas
berkuasa jika menegakkan keadilan berarti menjunjung tinggi hukum alam. Kemudian sebaliknya siapapun yang melakukan kezaliman sama artinya ia menentang hukum alam. Secara esensial Islam artinya damai, benar, berserah diri, baik, ilmiah, dan akidah maupun amaliah adalah tidak mentolerir adanya kezaliman. Dengan demikian al-Adalah adalah al-Qanun, atau Nidham atau Sunnah Allah.”32 Keadilan adalah sesuatu yang dapat kita rasakan, keadilan bukan sebuah lips service atas jargon-jargon kampanye lima tahunan untuk mendulang suara mayoritas. “Keadilan dapat mencakup semua aspek kehidupan, mulai dari keadilan hukum, pendidikan, ekonomi, keadilan politik, sampai keadilan sosial kemasyarakatan. Karenanya dalam wacana agama dan Negara menuju spiritualitas politik, agaknya tesis ibn taimiyyah itu memberikan isyarat mengedepankan subtantik ajaran agama ketimbang formalistic ideology. Agama dalam persfektif tersebut merupakan sumber nilai bagi tegaknya demokrasi. artinya, agama juga sejalan dengan nilai-nilai demokrasi.”33
Makalah, Abd. Salam arief, Dinamika Politik,…. Yogyakarta, tanggal 23-24 September, 2014. h. 3-4. 33 Ibid 32
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
E. Penutup Public Sphere sendiri adalah istilah yang asing bagi masyarakat NTB, namun aplikasi public sphere sebenarnya sudah dimiliki NTB sejak dahulu, dapat kita temukan pada musyarawah di kampung-kampung, kemudian musyawarah di masjid-masjid, mem bicarakan kepentingan bersama dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dialami masyarakat desa. Namun public sphere dalam glombang ketiga atas demokratisasi yang dibawa oleh globalisasi kini tidak terbatas pada jumlah dan tempat, seperti balai desa, masjid dan tempat-tempat tradisional zaman dahulu. Kini public sphere dapat hadir di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Dengan adanya public sphere sebenarnya dapat mendorong partisipasi aktif warga Negara untuk ikut terlibat dalam kebijakan-kebijakan pemerintah. Jika ruang ini ditutup oleh kefanatikan, feodalisme, dan primordialisme atas warisan budaya patrimornial zaman dahulu. Maka dapat dipastikan demokrasi tidak akan tumbuh subur sebagai kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Meskipun hari ini NTB mendapat ranking kedua terbawah tidak menutup kemungkinan dengan rasionalitas warganya dengan memanfaatkan intrumen-instrumen demokrasi yang ada, maka ranking itu akan berubah kearah yang lebih baik.
NTB dikenal dengan masyarakat yang religious dan berbudaya. Banyak organisasi keagamaan tumbuh subur, di antara organisasi keagamaan terbesar adalah Nahdlatul Wathan (NW), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Di pulau Lombok sendiri NW menjadi organisasi keagamaan yang terbesar. Para tuan guru menduduki struktur sosial teratas pada masyarakat sasak.34 Mereka memerankan tindakan sosial masyarakat sasak yang pada umumnya, diikuti, diguru dan ditiru sebagai public figure. Partisipasi para tuan guru masih kurang maksimal sehingga demokrasi di NTB secara umum dan Lombok secara khusus masih tiarap, sebagian mereka masih menganggap demokrasi sebagai barang haram, thogut dan cenderung fasif. Sebagian lagi memanfaatkan instrumen-instrumen demokrasi dan ikut terjun menjadi perserta pemilihan umum sebagai kepala daerah. Seandainya demokrasi dapat disadari sebagai sebuah pilihan guna mewujudkan kesejahtraan, maka seharusnya para tuan guru ikut serta sebagai aliansi kelompok stragis mengontrol dan bekerjasama dengan pemerintah, menggerakan dan menghidupkan civil society. Meminjam Alkostar:
pendapat
Artidjo
Lihat penelitian, Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935. Seri Desertasi, Jakarta: Litbang Kementrian Agama RI, 2011. 34
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
93
“Negara demokrasi tidak bisa tidak harus dapat menujukan adanya kebebasan politik, yang menyangkut kebebasan berfikir, menyatakan pendapat dan aksi dalam urusan politik. Termasuk hak mendapat akses untuk informasi politik serta kebebasan untuk mendiskusikan dan mengkritik figure politik. Dalam suatu Negara demokrasi, selain menghargai mayoritas, juga pelaksanaan kekuasan harus dipertanggung jawabkan dan responsif terhadap aspirasi rakyat. Demokrasi menuntut suatu dasar kesepakatan ideologis suatu keteraturan dan kebebasan sehingga ada sofistikasi di dalam pertarungan politik.”35
Di satu sisi, demokrasi NTB akan tumbuh mana kala para aktor tindakan sosial seperti tuan guru dan budayawan faham akan demokrasi, kemudian menelurkannya kepada masyarakat. DI sisi lain fasilitas publik dalam arti umum, publik Islam dalam arti khusus ini dapat digunakan semua warga masyarakat religious untuk menyalurkan pendapatnya secara bebas dan aman, rasa aman dalam menyalurkan pendapat dan sikap harus dijamin oleh Negara melalui undangundang yang dijalankan secara adil. ruang publik (public sphere) sebagai sarana interaksi sosial, seperti stasiun radio dan televisi, taman dan fasilitas umum lainnya. Artidjo Alkostar, Negara Tanpa Hukum “Catatan Pengacara Jalanan”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 3-4. 35
94
|
Komunitas
Daftar Pustaka Abd.
Salam Arief, Dinamika Politik, Perkembangan Zaman dan Studi Politik dalam Islam, disampaikan dalam Seminar Nasional Implementasi Pembelajaran Integrasi Interkoneksi pada mata kulia Prodi Hukum Islam Pasca Sarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 23-24 September, 2014.
Abd. Karim, Kapitalisasi Pariwisata “dan Marjinalisasi Masyarakat Lokal di Lombok”, (Yogyakarta: Genta Press, 2008). Abdul Rozak, dkk, Pendidikan Kewargaan “Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani”, ( Jakarta: Kencana dan ICCE Uin Jakarta, 2008). Artidjo Alkostar, Negara Tanpa Hukum “Catatan Pengacara Jalanan”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) Armando Salvatore dan James Eickelman, 2004. “Public Islam and Common Good,” Et al,, Public Islam and the Common Good. (Leiden; Boston, Brill, 2004), Dedi Putrawan, Agus, Dekarismatisasi di Lombok NTB “Studi Pudarnya Pesona Tuan Guru Pada Pemilu 2014”, (Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga, 2015). Dale F. Eickelman and James Piscatori, Muslim Politics, United States of
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
America by Princeton University Press, 1996, Dale F. Eickelman, Islam dan Pluralism, Dalam Bassam Tibi, et al, Etika Politik Islam “Civil S o c i e t y , Pluralism, dan Konflik, ( Jakarta: ICIP, 2005). Fresco Budi Hardiman Demokrasi Deliberatif. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2009). Fransisco Budi Hardiman, Ruang Public (Yogyakarta: Kanisius, 2010). Faruk, dalam buku Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat “Kiai Pesantren-Kiai, Langgar di Jawa” Cet-2 , (Yogyakarta: LKiS, 2013). Fath Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, J. Habermas, Toward a Rational Society: Student Protest, Science and Politics, trans. J. Shapiro (Cambridge: Polity Press, 1987 [1962]). I Gede Pamarimatha, Perdagangan dan politik di Nusa Tenggara 1815-1915, ( Jakarta: KTILV, 2002). Ibn
Taimiyyah, al-Hisbah fi alIslam, (Riyad; al-Muasasah alSa’idiyyah,ttp), Public Duties Of Islam The Institution Of The Hisbah, (London: Islamic Foundation, 1982)
Jaser Auda, Maqasid al-Shariah as ”Philosophy of Islamic Law A Systems Approach”(London:the International Institute of Islamic Thought, 2007). Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935. Seri Desertasi, Jakarta: Litbang Kementrian Agama RI, 2011). Luke
Goode, Jurgen Habermas “Democracy and the Public Sphere”, (London: Pluto Press, 2005).
Muhibbin, Politik Kiai versus Politik Rakyat “Pembacaan Masyarakat Terhadap Prilaku Politik Kiai”, ( Y o g y a k a r t a : Pustaka Pelajar, STAIN Jember Press, 2012). Noorhaidi Hasan, Maqasid AlSharia, Knowledge Production, and Public Islam Towards a Post- Islamist Turn, Makalah Diskusi Mingguan, Yogyakarta, Pacasarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015 Noorhaidi Hasan,. New Media and Post-Islamist Pity in Indonesia, Makalah Seminar Nasional, Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014 Pitra Narendra, “Internet, Public Sphere dan Perubahan Sosial”, dalam Jurnal Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi, (Volume 8, no. 1, Juni 2006),
Volume 7, Nomor 1, Juni 2015
|
95
R. Bendix, Max Weber On Intellectual Portrait, (New York: Anchor Books, Doubleday & Company Inc., 1962). Salvatore dan Eickelman, 2004. “Public Islam and Common Good,” Et al,, Public Islam and the Common Good. (Leiden; Boston, Brill, 2004) Sarjono, Politik Tuan Guru Bajang “Fajar Kebangkitan Demokrasi di Lombok, (Malang: Enzal Press, 2012). Syaifullah, Politik & Kiai (Studi Tentang Keterlibatan Kiai dalam Politik di Kabupaten Sumenep, (Yogyakarta: Uin Sunan Kali Jaga, 2013). Saipul Hamdi, Nahdlatul Wathan di Era Reformasi “Agama, Konflik Komunal dan Peta Rekonsiliasi”, (Yogyakarta: KKS Jogjakarta dan Nawa Institute Kalimantan Timur, 2014) Nilufer Gole, The Forbidden Modern “Civilization and Veiling” (USA: The University of M i c h i g a n Press, 1996) Nilufer Gole, Public Space Democracy, (An article from w w w . eurozine.com).
96
|
Komunitas
Noorhaidi Hasan, Maqasid AlSharia, Knowledge Production, and Public Islam Towards a Post- Islamist Turn, Makalah Diskusi Mingguan, Yogyakarta, Pacasarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. Noorhaidi Hasan,. New Media and Post-Islamist Pity in Indonesia, Makalah Seminar Nasional, Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. Pitra Narendra, “Internet, Public Sphere dan Perubahan Sosial”, dalam Jurnal Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi, (Volume 8, no. 1, Juni 2006). Max Weber, Etika Protestan and Spirit of Kapitalisme, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006). Mudjitahid, “Pemberdayaan Pemuda dan Perempuan dalam Rangka Pencegahan Radikalisme d a n Terorisme di NTB” lampiran I, h, 4-5. Mataram, 1 Oktober, 2015. Zainuddin Maliki, Agama Priayi “Makna Agama di Tangan Elit Penguasa”, (Yogyakarata; Pustaka Maswa, 2004)
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam