PSIKOLOGI ISLAM SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN: Epistemologi & Pengembangan di Masa Depan Aliah B. Purwakania Hasan Universitas Al-Azhar Indonesia ABSTRACT This paper aims to provide an overview of the progress of Islamic Psychology as a science is the result of the integration between method, which is a combination of reading and kauniyah kauliyah a slightly different character to the other sciences put the valuefree objectivity and total empiricism. This paper also discusses the importance of efforts to improve the quality and quantity of outcome of thought and research, resulting in the development of a cumulative and do not spin in place. In this case the role of Islamic Psychology Association in collaboration with universities that are the competence of the resources of scientists and psychologists in Keywords: Islamic psychology, epistemology, Islamic psychology association
lebih Psikologi Islam (Islamic Psychology) berkembang di Indonesia. Sejak akhir 1980-an banyak mahasiswa dan dosen program studi psikologi di seluruh Indonesia, baik di universitas negeri dan swasta, berlatar pendidikan universitas Islam maupun umum, yang mencoba secara pribadi atau bersama-sama mengembangkan Psikologi Islam. Terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi, banyak pencapaian yang telah
* Korespondensi: HP: 0856 7910 789 Email:
[email protected] /
[email protected]
Diri dan Spiritualitas
|1
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
didapatkan yang semakin mengukuhkan Psikologi Islam sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan. Sebagai terjemahan dari kata Islamic Psychology, secara sederhana kita dapat menyatakan Psikologi Islam adalah psikologi yang memiliki warna atau nuansa Islam. Namun, pembentukannya kemudian memang tidak sesederhana itu. Integrasi antara ilmu pengetahuan (termasuk psikologi) dengan agama seringkali menimbulkan pertentangan, terutama bagi mereka yang memandang bahwa ilmu pengetahuan haruslah objektif dan bebas nilai. Sejarah kelam ketika otoritas gereja di dunia Barat melakukan sensor besar-besaran terhadap pemikiran ilmiah yang didasarkan faktafakta empirik, seperti yang dilakukan terhadap Nicholas Copernicus (1473-1543) dan Charles Darwin (1758-1778), telah menimbulkan trauma yang membawa keterpisahan antara ilmu pengetahuan dan agama. Walaupun tokoh-tokoh tertentu, termasuk Thomas Aquinas (1225-1274) mencoba menyatukan rasionalisme dan teologi, tetapi kenyataannya, perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Barat yang didasari kemenangan empirisme telah membuat para ilmuwan seolah enggan menyentuh hal yang bernuansa agama. Hal ini juga terjadi pada ilmuwan psikologi dan psikolog. Sewaktu psikologi berkembang ke seluruh dunia, sikap sekuler ini tetap melekat, termasuk juga pada para ilmuwan muslim. Bahkan beberapa ilmuwan muslim seakan mengabaikan berbagai konsep dasar psikologi yang jika dikaji mendalam tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Padahal, seorang muslim yang baik seharusnya mendasari pemikiran dan perilakunya dengan nilai-nilai agamanya. Di lain pihak, agama Islam mengajarkan tidak ada pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan, selama keduanya dikaji dan dimengerti dengan benar. Bahkan, menuntut ilmu adalah kewajiban seorang yang beragama Islam. Psikologi lahir sebagai disiplin ilmu formal yang berdiri sendiri di Eropa pada abad ke-19 dengan lahirnya laboratorium psikologi pertama di Leipzig oleh Wilhelm Wundt (1832-1930) yang memungkinkan penerapan metode eksperimental untuk meneliti perilaku manusia. Tetapi, psikologi sesungguhnya merupakan produk tradisi intelektual yang dibentuk, dikembangkan dan distrukturisasi selama 2500 tahun lebih yang telah ada jauh sejak masa Yunani klasik. Meskipun saat ini psikologi seolah mengalami ketergantungan pada pemikiran intelektual Barat, tetapi tradisi Timur Tengah dan Persia, selain juga India, dan Cina 2|
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
tetap memiliki kontribusi berharga1. Brennan (2003) menyatakan bahwa perang salib (1095-1291) antara Kristen dan Islam justru menjadi jembatan yang memberikan banyak manfaat bagi kemajuan intelektual Barat yang saat itu sedang berada dalam masa kegelapan. Para cendekiawan muslim dan guru Yahudi di berbagai wilayah Islam menyimpan karya penting Yunani klasik, dan memperluas interpretasinya dengan berbagai pemikiran orisinil dalam belajar membuat semua tulisan Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab di Damaskus, Kairo, dan Baghdad. Para cendekiawan Islam, lebih 1000 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW tetap menjadi wilayah yang memiliki peradaban paling maju di dunia. Hal ini disebabkan karena Islam menekankan pentingnya pendidikan, melarang penghancuran, mengembangkan penghargaan pada otoritas dan disiplin, dan toleransi antar umat beragama. Ummat Islam yang terkenal cemerlang dan haus ilmu pengetahuan merupakan pemegang obor penelitian imiah internasional. Mereka menjadi innovator ilmu pengetahuan yang terkenal dengan orisinalitas dan produktivitasnya, dan merupakan sumber bola pengetahuan yang berkembang melewati pagar Eropa. Dalam bidang pemikiran psikologi, para cendekiawan muslim banyak membuat karya klasik dan meneliti ilmu jiwa pada manusia yang berdimensi spiritual. Namun ketika dinasti Islam melemah, banyak kontribusi Islam di dalam ilmu pengetahuan hancur. Orang Mongol membakar Baghdad (1258 M) yang saat itu menjadi pusat penting pengembangan budaya Islam. Orang-orang Spanyol kemudian menghancurkan banyak warisan Islam di negaranya. Pertengahan abad ke empat belas, wabah besar menyerang umat Islam. Gempa bumi yang sangat kuat juga menyebabkan kehancuran. Selain itu, terjadi reorientasi rute perdagangan dan jalan komersial. Hal ini menyebabkan jalur dagang melalui wilayah Islam bukan lagi merupakan kepentingan utama. Kejayaan Islam mulai menurun pada abad ke-20. Kejadian ini membuat kejayaan Islam terpuruk ditelan waktu. Setelah itu, ilmu pengetahuan berkembang berpusat di dunia Barat. Ilmuwan Islam terlihat tidak berkembang semaju ilmuwan di Amerika maupun Eropa. Modernisasi peradaban, baik dalam era industrialisasi maupun era informasi, terlihat 1
Brennan, J.F. (2003). Sejarah dan Sistem Psikologi. Terjemahan. Jakarta: Penerbit
Diri dan Spiritualitas
|3
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
lebih pesat terjadi di negara-negara non-muslim. Walaupun demikian, ummat Islam tetap memegang kunci warisan sejarah yang penting yang didapat dari ajaran Nabi Muhammad SAW yang terus berkembang ketika dunia barat masih mengalami abad kegelapan. Pada awal abad ke-20, mulai berkembang perspektif pertukaran antar budaya dalam ilmu pengetahuan. Sarjana-sarjana barat mulai memperhatikan dan menggali ilmu pengetahuan yang mulai hilang di dunia Timur. Di saat itu, mulai terlihat bahwa ilmu pengetahuan yang lahir dalam budaya barat memiliki banyak kelemahan yang tidak terdapat pada masyarakat Timur. Modernisasi yang menyampingkan spritualitas membuat gejala depresi timbul di mana-mana. Mulai timbul kesadaran akan pentingnya unsur spiritual dalam kehidupan manusia. Sarjana-sarjana Islam mendapatkan kesempatan berbicara untuk menggali kembali ilmu pengetahuan berlandaskan Islam. Banyak pendapat yang bermunculan tentang pentingnya integrasi Islam dan ilmu pengetahuan. Perkembangan ini juga mendatangkan upaya untuk mengintegrasikan Islam dan psikologi yang saat ini telah melahirkan Psikologi Islam. Pemikiran psikologi yang berlandaskan Islam disertai dengan banyaknya penelitian empirik oleh para akademisi di seluruh dunia telah mengukuhkan kelahiran Psikologi Islam. Psikologi Islam telah berkembang jauh dan terus melangkah maju dengan karakter dan telah dicapai dan mencoba membahas berbagai strategi dan metodologi pengembangan di masa depan.
A. PEMIKIRAN PSIKOLOGI ISLAM Psikologi Islam adalah psikologi yang berlandaskan Islam. Psikologi Islam berasal dari ilmu nafs (dalam bahasa Arab berarti “jiwa”) yang merupakan salah satu ilmu kajian kejiwaan yang berkembang pada zaman keemasan Islam, yang mempunyai kemiripan dan dikembangkan juga berdasarkan psikologi modern yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Selain dilahirkan dari penelitian empirik yang terbatas sesuai dengan kemampuan manusiawi, psikologi Islam berdasarkan kepada kitab suci Al Qur’an dan kajian Al Hadits Nabi Muhammad SAW. Psikologi Islam memiliki berbagai sumber klasik. Di dalam Al Qur’an dan Al Hadits terdapat ayat-ayat yang menceritakan keadaan jiwa orang-orang beriman, orang-orang kafir, sikap serta tingkah 4|
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
lakunya. Berbagai cerita tentang sahabat Nabi Muhammad SAW juga menjadi sumber yang sangat berharga. Selain itu, para cendekiawan Islam pada zaman keemasan Islam, seperti Al Kindi (801-873), Al Farabi (878-950), Ibnu Sina (980-1037), Al Ghazali (1058-1111) dan lain-lain menghasilkan berbagai karya klasik tentang pemikiran atau penelitian mereka tentang jiwa pada manusia. Selain sumber klasik, pemikiran dan perkembangan psikologi modern juga memberikan kontribusinya yang pada akhrinya melahirkan Psikologi Islam. Dengan berbagai sumber seperti ini, Psikologi Islam tak hanya berdimensi ilmu jiwa secara psikologis, tetapi juga ilmu jiwa dalam hubungannya dengan Allah SWT. Lahirnya Psikologi Islam tidak terlepas dari sejarah upaya islamisasi pengetahuan. Ancok dan Suroso (1994) menyatakan bahwa sejarah perkembangan islamisasi pengetahuan telah dimulai pada abad 20 yang dipelopori salah satu oleh lembaga The International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada tahun 1981 yang awalnya berpusat di Washington DC Amerika Serikat. Para pemikir Islam merasa prihatin karena kondisi umat Islam yang begitu saja meniru kebudayaankebudayaan asing. Proses deislamisasi, westernisasi, dan sekularisasi akhirnya mengantarkan umat Islam berada “di anak tangga terbawah bangsa-bangsa”. Lembaga ini melakukan perbandingan-perbandingan antara Al Qur’an dan ilmu pengetahuan Barat modern, untuk kemudian membuang bagian ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Al Qur’an. Al Qur’an dipergunakan sebagai penyaring daripada ilmu pengetahuan modern. Banyak program yang dilaksanakan secara aktif seperti mengadakan pertemuan internasional, menerbitkan banyak buku teks, review buku, jurnal, majalah yang semuanya mengarah kepada integrasi Islam dan ilmu pengetahuan. Mereka juga memberikakn pandangan mengenai bagaimana integrasi islam dan ilmu pengetahuan secara umum seharusnya dilakukan. Salah satu gagasan tentang integrasi Islam dan ilmu pengetahuan diberikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas. Syed Muhammad Naquib al-Attas memusatkan diri pada pengembangan ilmu-ilmu humaniora. Ia merupakan pendiri lembaga The International Institute of Islamic Thought and Civilization di Malaysia pada tahun 1991 sebagai salah satu langkah awal mengintegrasikan Islam dan ilmu pengetahuan dalam suatu lembaga yang terorganisir. Selain itu, Ismail al-Faruqi juga merumuskan 12 langkah untuk mengintegrasikan Islam ilmu pengetahuan Langkah-langkah itu terdiri Diri dan Spiritualitas
|5
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
dari (1) penguasaan disiplin ilmu pengetahuan modern, (2) survey disiplin ilmu, (3) penguasaan khazanah islam sebagai sebuah antologi, (4) penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisis, (5) kritis terhadap disiplin modern, (7) penilaian kritis terhadap khazanah Islam, (8) Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam, (9) survey mengenai problem-problem umat manusia, (10) Analisis kreatif dan sintesis terhadap khazanah Islam dan disiplin modern, (11) merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja Islam, dan langkah terakhir (12) adalah penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah terintegrasi dengan Islam. Langkah-langkah ini, harus diakui, cukup banyak menginspirasi ilmuwan lain untuk memulai integrasi Islam dan ilmu pengetahuan. Strategi lain diajukan oleh Ziauddin Sardar. Sardar mengajukan kritik terhadap pemikiran Al Faruqi. Menurut Sardar, bukan Islam yang perlu dibuat relevan dengan ilmu pengetahuan modern, melainkan ilmu pengetahuan modern yang dibuat relevan dengan Islam. Usaha mengintegrasikan Islam dengan ilmu pengetahuan berarti masih menggunakan corak berpikir Barat yang kemudian isinya disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Agenda pertama yang harus dilakukan adalah membangun Islamic world view atau epistemologi Islam yang berdasarkan Al Quran, Hadits, serta perkembangan kontemporer umat manusia. Pemikiran-pemikiran para tokoh-tokoh ini yang kemudian mewarnai usaha untuk melakukan integrasi islam dan ilmu pengetahuan. Semangat untuk mengintegrasikan Islam dan ilmu pengetahuan terjadi pada semua bidang tak terkecuali pada bidang psikologi. Dunia psikologi terutama ilmuwan-ilmuwan muslim semakin tersentak dan tergugah semangatnya untuk mengkritisi ilmu psikologi yang selama ini digelutinya setelah terbit buku kecil yang berjudul The Dillema of Muslim Psychologist (1979) oleh Malik B. Badri. Dalam bukunya, Malik B. Badri mengatakan ahli psikologi muslim mengikuti pemikiran psikologi Barat sehingga seperti kutipan hadits Nabi “apabila masuk ke lubang biawak, mereka pasti akan mengikutinya.” Dari sisi sejarah, dalam perkembangangannya menurut Haque (2004) tercatat tiga corak pendekatan dalam memahami jiwa manusia dalam keilmuan Islam. Pertama, pendekatan Qur’ani-Nabawi dimana jiwa manusia dipahami dengan merujuk pada keterangan Al-Qur’an
6|
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
pada pengalaman spiritual ahli-ahli tasawuf. Ketiga pendekatan tersebut dapat saling menunjang untuk memahami jiwa manusia. Pendekatan Qur’ani-Nabawi membahas sifat-sifat universal manusia (syahwat kepada lawan jenis, properti, uang, fasilitas mewah, takut mati, takut kelaparan, pongah, pelit, korup, gelisah, mudah frustrasi), sebab maupun akibatnya (lupa kepada Allah, kurang berzikir, ikut petunjuk syaitan, tenggelam dalam hawa nafsu, hidup merana dan mati menyesal, di akhirat masuk neraka), dan beberapa karakter jiwa (nafs): yang selalu menyuruh berbuat jahat (ammarah bis-su’), yang senantiasa mengecam (al-lawwamah) dan yang tenang damai (al-mutma’innah). Perspektif ini diwakili oleh tokoh-tokoh semisal Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1292-1350). Dalam kitabnya ar-Ruh, misalnya, diterangkan bagaimana ruh menjalar di tubuh manusia yang memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak. Ruh orang mati itu wujud dan merasakan siksa di alam kubur sekalipun jasadnya hancur. menyusul penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Para psikolog Muslim pada masa itu banyak dipengaruhi oleh teori-teori jiwa Plato dan Aristoteles. Tak mengherankan, sebab Aristoteles mengupas aneka persoalan jiwa manusia dengan sangat logis dan terperinci. Teori-teorinya tertuang dalam bukunya De Anima (tentang hakikat jiwa dan aneka ragam kekuatannya) dan Parva Naturalia (risalah-risalah pendek mengenai persepsi inderawi dan hubungannya
teori tiga aspek jiwa manusia: rasional (berdaya pikir), animal (hewani), menulis karya tentang jiwa bertolak dari pandangan Aristoteles. Mulai dari Miskawayh yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq dan Abu Bakr ar-Razi (864-930) pengarang kitab at-Thibb ar-Ruhani, Al-Baghdadi
Menurut mereka, jiwa manusia adalah penyebab kehidupan. Tanpa
Diri dan Spiritualitas
|7
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
bahwa jiwa manusia itu tunggal dan sendiri. Karenanya mereka menolak teori transmigrasi jiwa dari satu tubuh ke tubuh yang lain, seperti dalam kepercayaan agama tertentu. Dalam salah satu kitabnya, Ibnu Sina (9801037) menegaskan pentingnya penyucian jiwa dengan ibadah seperti shalat dan puasa. Sebab, menurutnya, jiwa yang bersih akan mampu menangkap sinyal-sinyal dari alam ghaib yang dipancarkan melalui Akal Suci (al-‘aql al-qudsi). Kemampuan semacam inilah yang dimiliki oleh para nabi, tambahnya. Jiwa para nabi itu begitu bersih dan kuat sehingga mereka mampu menerima intuisi, ilham dan wahyu ilahi. dengan pendekatan filosofis. Termasuk dalam aliran ini kitab arRiyadhah wa Adab an-Nafs karya At Tirmidzi (824-892) dimana beliau terangkan kiat-kiat mendisiplinkan diri dan membentuk kepribadian luhur. Menurut Abu Thalib al-Makki (996), jiwa manusia sebagaimana tubuhnya membutuhkan makanan yang baik, bersih, dan bergizi. Jiwa yang tidak cukup makan pasti lemah dan mudah sakit. Semua itu diterangkan beliau dalam kitab Qut al-Qulub atau nutrisi hati. Tokoh penting lainnya ialah Al Ghazali (1058-1111 M) yang menguraikan dengan sangat memukau aneka penyakit jiwa dan metode penyembuhannya. Penyakit yang diderita manusia ada dua kesehatan tubuh tetapi jarang peduli dengan kesehatan jiwa. Bagaimana cara mengobati penyakit-penyakit jiwa seperti egoisme, serakah, phobia, iri hati, depresi, waswas, dan lain sebagainya dijelaskan dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ Ulumiddin.
B. PENDEKATAN METODOLOGIS Psikologi Islam berbeda dengan psikologi modern lainnya. Psikologi Islam lahir berdasarkan penafsiran terhadap Al Qur’an dan Al Hadits disertai pengamatan langsung melihat alam semesta yang berhubungan dengan segenap perilaku manusia. Psikologi Islam lahir dari ummat Islam yang memiliki cara pandang akan pola-pola kehidupan yang berbeda dengan dunia Barat. Hal ini membuat Psikologi Islam memiliki dasar yang berbeda dengan ilmu modern lainnya, sehingga membutuhkan metode yang khusus pula. Menurut Salisu Shehu (dalam Hasan, 2006)2, psikologi saat ini 2
8|
Salisu Shehu. 1999. Towards an Islamic Perspective of Developmental Psychology,
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
lebih banyak bersifat sekuler. Hal ini mendatangkan implikasi yang penting, bahwa paradigma dasar dan metodologi yang diterapkan di dalam bidang ini lebih banyak bersifat materialis. Sejalan dengan pandangan duniawi dengan dominasi yang berkarakter sekuler seperti atheisme, agnostisisme, dan humanisme ini, kecenderungan dominan dalam intelektualisme Barat adalah materialistik dan sekuler. Hal ini membuat psikologi modern mengkaji tingkah laku manusia dengan pola pandang materialistik Barat, sehingga manusia secara fundamental dilihat sebagai makhluk materi. Spiritualitas atau komponen di dalamnya kurang dihargai atau sepenuhnya diabaikan. Pengabaian komponen spiritual pada manusia menjadi perlu karena keberadaannya tidak dapat memenuhi standar empirisme yang kaku, yang mempengaruhi ilmu perilaku dan ilmu sosial secara menyeluruh, yang menuntut keakuratan dan presisi ilmiah. Pandangan Islam berlawanan dengan pandangan yang demikian. Dalam pandangan Islam, manusia dan segala makhluk yang ada di alam semesta merupakan ciptaan Allah SWT. Ia menciptakan alam semesta dan secara berdiri sendiri mengaturnya. Kehidupan manusia memiliki tujuan transendental, manusia memiliki tugas kekhalifahan di muka bumi dari Allah SWT. Dengan demikian, manusia harus bertanggung jawab pada Allah di hari kemudian. Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan terdiri dari dua komponen materi dan spirit. Dia harus berjuang supaya kedua hal tersebut seimbang. Hukum Islam (shari’ah), yang mengatur kehidupan manusia, telah diformulasikan melalui pewahyuan sehingga kedua komponen tersebut dapat berjalan dengan cara yang harmoni. Kehidupan seorang muslim dan ummat Islam secara menyeluruh dipengaruhi oleh cara pandangnya, seperti juga masyarakat Barat dipengaruhi oleh cara pandang mereka. Salisu Shehu (dalam Hasan, 2006) 3 selanjutnya menyatakan bahwa perbedaan esensial di atas membuat kita harus mengembangkan metodologi sendiri. Paling tidak terdapat tiga masalah metodologikal yang harus dibahas: sumber pengetahuan dalam psikologi modern, makna dari pengujian ilmu pengetahuan dan tujuan dari data empirik. 1.
Sumber Ilmu Pengetahuan Dalam psikologi modern, seperti juga ilmu pengetahuan perilaku atau ilmu sosial lainnya, sumber pengetahuan hanya berasal dari 3
Salisu Shehu. 1999. Towards an Islamic Perspective of Developmental Psychology,
Diri dan Spiritualitas
|9
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
pemikiran dan penginderaan manusia. Pewahyuan diabaikan dan ditolak sebagai sumber pengetahuan dan di anggap hanya sebagai mitos atau takhayul. Penolakan wahyu sebagai sumber pengetahuan merupakan konsekuensi dari anteseden sejarah dan filsafat. Hal subsekuensi kemenangan ilmuwan yang menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan yang mendatangkan segala kemajuan yang berhubungan hal yang bersifat material. Dengan revolusi ilmu pengetahuan, epistemologi ilmiah, yang sepenuhnya berdasarkan aturan pemikiran dan bahkan ateistik, mendapatkan tempat dan diterima menjadi sebagai paradigma penelitian yang sempurna, tidak bisa salah dan tidak bisa dibantah. Paradigma pengetahuan ini, menurut Abul-Fadl (1994)4, kemudian menjadi asumsi yang menguasai segala hal lainnya, yang membuat mereka berbeda dan meninggalkan era prasejarah. Sebagai hasilnya, masing-masing disiplin ilmu memiliki pilihan untuk mengadopsi model epistemologikal ini atau menjadi hilang. Penelitian humaniora yang memiliki dasar alamiah pada dunia sosial dipaksa untuk mengadopsi model empirical ini sebagai basis epistemologikal. Percaya kepada wahyu Allah sebagai sumber pengetahuan yang sempurna merupakan keimanan yang penting dalam Islam. Seluruh muslim percaya terhadap hal ini. Hal inilah yang menyebabkan ummat muslim menerima Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber utama pengetahuan. Kepercayaan ini secara sadar mempengaruhi setiap msulilm ketika mencari segala jenis ilmu pengetahuan. Seorang psikolog muslim, dengan demikian akan menghadapi kontradiksi fundamental antara keimanannya dan model epistemologikal Barat. Dengan alasan ini, psikolog muslim harus mengembangkan kerangka epistemologi yang sesuai dengan kepercayaan mereka. Kegagalan melakukan hal ini akan membuat mereka terus menerus dalam dilemma, seperti yang dinyatakan oleh Badri (1979)5. Lebih serius lagi, bahkan, terdapat fakta adanya ketidaksesuaian dalam menggunakan teori yang telah dirumuskan dan diuji sepenuhnya dengan menggunakan model untuk mempelajari individu atau kelompok individu yang pandangannya saling bertolak belakang. 4 Lihat Mona Abdul-Fadl, “Contemporary Social Theory: Tawhidi Projections.” The American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 2, no.3. (1994): 316. 5
10 |
Malik Badri, The Dilemma of Muslim Psychologists. London: MWH Publishers, 1979.
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
Tidak diragukan lagi, hasil yang akurat tidak dapat diperoleh. Untuk membahas hal ini lebih jelas, maka masalah metodologi harus dikaji secara lebih kritis. 2.
Makna Pengujian Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan sosial dan ilmu perilaku modern, segaris dengan pandangan mereka tentang sumber ilmu pengetahuan, mengakui experimen di atas segala alat lainnya sebagai alat dasar dalam menguki kebenaran ilmu pengetahuan. Sebagai prototip ilmu alam, ilmu sosial harus memenuhi prinsip dasar eksperimen untuk mencapai kebenaran empirik ilmu pengetahuan. Dengan demikian, positivisme logikal menjadi metode yang paling dominan dalam ilmu pengetahuan perilaku dan ilmu sosial, termasuk psikologi. Pengalaman semata-mata dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan, dan segala elemen non empirik harus dibuang.6 Konsekuensi alamiah dan logikal dari metodologi ini, serta basis epistemologikal yang dipergunakan, adalah reduksionisme. Reduksionisme dapat dilihat dari dua dimensi: pertama, sebagai sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan sosial dan ilmu perilaku, manusia dan masyarakat merupakan objek penelitian. Dengan mengambil positivisme logikal (metodologi deduksi-hipotesis) sebagai alat untuk mempelajari manusia dan dunia sosialnya, keduanya telah mengalami reduksi pada tingkat tubuh material yang dapat dipelajari dalam belenggu mekanisme kontrol dan observasi. Hal ini menghasilkan pandangan mekanistik terhadap manusia dan dunia sosialnya, dan terutama mereduksi dan mendehumanisasi manusia dan masyarakatnya. Sekali lagi, faktor ini yang menjelaskan kenapa psikologi perkembangan modern membatasi kajian perkembangan manusia secara ketat dalam batasan konteks kekuatan dan pengaruh alamiah. Hal ini dinyatakan dengan jelas oleh Abul-Fadl7: “Reduksionisme tidak mempengaruhi pemahaman kajian secara umum atau khusus dari penelitian, tetapi konsekuensinya adalah samar dan mempengaruhi sikap dalam konteks yang lebih praktis. Distorsi yang ada
6 Mona Abdul-Fadl, “Contemporary Social Theory: Tawhidi Projections.” The American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 2, no.3. (1994): 317. 7 Mona Abdul-Fadl, “Contemporary Social Theory: Tawhidi Projections.” The American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 2, no.3. (1994): 326.
Diri dan Spiritualitas
| 11
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
gejala alamiah manusia dan dunia sosial, tetapi juga secara negatif yang merusak kemanusiaan dan masyarakat.”
Masalah terbesar yang dihasilkan oleh paradigma reduksionis adalah paradigma ini telah menghalangi pemahaman yang tepat dan akurat dari gejala alamiah manusia dengan membatasi visi kita, membelenggu dan mereduksi kehidupan dalam konsep biologis yang dangkal dan dalam alam dunia sensorik yang saling berhubungan. Seperti yang dinyatakan Alexis Carrel dengan tepat, “Manusia masih tidak diketahui... dan pengetahuan kita tentang diri kita sendiri masih primitif dan parsial.”8 Situasi ini mendorong pentingnya kebutuhan segera untuk melakukan pendekatan yang seimbang dan komprehensif dalam mempelajari manusia. Hal inilah yang secara tepat digambarkan oleh Abul-Fadl sebagai pendekatan yang berintikan budaya. Perspektif khususnya psikologi perkembangan dalam perspektif Islami. Tanpa menolak manfaat dan validitas relatif dari eksperimen, metodologi dan model epistemologikal dari ilmu sosial yang Islami secara mendasar menggunakan wahyu sebgai sumber dan metode ilmu pengetahuan. Konsekuensinya, ilmu sosial dan ilmu perilaku Islami juga memperhitungkan komponen spiritual dan material dari gejala alamiah manusia dalam hubungan yang interaktif. Pendekatan ini tidak hanya komprehensif dan seimbang, tetapi juga merekstrurisasi dasar penelitian dalam bidang ilmu sosial, melakukan penelitian dengan makna dan tujuan dan juga membersihkan dasar dari keterpecahan, keterpisahan, kerancuan penelitian yang keabsahannya hanya berdasarkan nilai data yang dikumpulkan yang 9
Banyak penulis Barat telah menggaungkan kritik yang serupa melawan materialisme yang berlebihan dan emprisme yang membabi buta. Penulis-penulis ini memberi saran untuk mengakui bentuk lain dari alat non-eksperimental untuk mempelajari manusia. Salah satunya adalah Hearnshaw (1987), yang berkaitan dengan psikologi, menyatakan hal berikut ini: 8
Alexis Carrel, “Man: The Unknown”
9 Mona Abdul-Fadl, “Contemporary Social Theory: Tawhidi Projections.” The American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 2, no.3. (1994): 327.
12 |
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
Psikologi experimental telah sangat melewati batasannya. Tentu saja masih terdapat keterbatasannya. Eksperimen, sampai sejauh ini, tidak dapat, dan mungkin tidak akan pernah dapat, menerangkan keluhuran kreativitas atau kedalaman emosional dari gejala alamiah manusia. Masih terdapat, dan mungkin akan selalu ada, wilayah kajian psikologi yang melampaui ranah ilmu pengetahuan alam. Eksperimen, bagaimanapun, bukan satu-satunya sumber data psikologikal.10
Harris (1998) lebih lanjut menunjukkan keterbatasan empirisisme dalam bentuk yang lebih terelaborasi. Dia memperdebatkan ketidaksempurnaan dan kemunduran dari model empirikal dalam sumber dan pengujian pengetahuan, dalam rangkaian berikut: a. Kesimpulan yang diturunkan tidak selalu absah secara logik untuk generalisasi, karena selalu ada kemungkinan pengecualian. b. Metode pengumpulan data terlalu berat dengan teori, yaitu, peneliti telah memiliki prakonsepsi dan motif, yang mempengaruhi pilihan metodologi penelitian, dan pada gilirannya akan mempengaruhi hasil. c. Dalam usaha mengumpulkan data dari alam, mekanisme penyaringan terjadi antara penginderaan dunia dan persepsi kita dari pengetahuan tentangnya. Mekanisme ini antara lain: 1) Waham psikologis: misalnya, kegilaan mempengaruhi persepsi kita dan terdapat kesulitan untuk mengetahui siapa orang yang sebenarnya waras. 2) Jika tidak sepadan, skema konseptual kita dapat membuat kita menggambarkan dunia tidak sebagaimana mestinya. 3) Tekanan sosial dapat mendorong kita menerima hal-hal tertentu karena dinyatakan oleh otoritas terkenal atau mayoritas masyarakat. 4) Prasangka (prejudice) dapat membuat orang mempersepsikan lebih daripada yang ia lihat atau membuat seseorang selektif dalam memperhatikan sesuatu. 5) Pengetahuan, pengalaman dan prakonsepsi yang dimiliki seseorang pada saat itu dapat membuat ia mempersepsikan apa yang orang lain yang kurang dalam hal tersebut tidak dapat mempersepsikan. Anak yang lahir dalam lingkungan yang bising mungkin tidak dapat memperhatikan pengaruh suara perlahan yang dapat dipersepsikan anak di lingkungan lain. 10 L. S. Hearnshaw. 1987. The Shaping of Modern Psychology: An Historical Introduction. London: Routledge.
Diri dan Spiritualitas
| 13
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
6)
Kesiagaan mental juga mempengaruhi persepsi seseorang, misalnya dalam membaca kalimat, “Anak itu itu pemalas,” seseorang mungkin tidak memperhatikan pengulangan “itu”, karena ingatannya telah terbentuk untuk membaca kalimat yang benar.11
3.
Objektivitas dan Universalitas Ilmu Pengetahuan Empirik Inti dari positivisme logik atau empirisme adalah observasi, pengukuran, kuantifikasi dari data yang diambil oleh observer. Dalam melakukan observasi dan kuantifikasinya, observer hanya melihahat objek penelitiannya untuk mengikuti hukum alam. Dengan melakukan hal ini, bersama-sama diasumsikan dan dipercayai bahwa ia mengumpulkan data yang bersifat netral, bebas nilai, dan karenanya universal. Hal ini didapat karena, seperti biasa dinyatakan, observer telah melindungi objek penelitianya dan metodologinya dari pengaruh variabel luar atau variabel lain yang turut mempengaruhi penelitian termasuk sikap pribadi, nilai dan bias, dengan mekanisme kontrol yang ketat dan mekanisme randomisasi. Asumsi objektivitas seperti ini bisa benar bila dikaitkan dengan
diperoleh dari observasi material yang bukan manusia adalah “mati”, tidak sama dengan perilaku manusia yang hidup. Eliminasi pengaruh faktor sebelumnya, prasangka dan bias dalam penelitian manusia masih sulit untuk dihindarkan. Hal ini diperdebatkan secara cerdas oleh Al-Faruqi (1977).12 Pada awalnya dia memperdebatkan bahwa data dari perilaku manusia tidak bebas dari sikap dan preferensi observer. Mereka tidak secara mudah atau teratur memunculkan dirinya sebagaimana adanya pada setiap atau masing-masing peneliti. Al-Faruqi tetap menyatakan bahwa “sikap, perasaan, keinginan, penilaian dan harapan” dari manusia cenderung untuk mengelabui diri mereka dari ketergantungan simpatik observer bagi mereka. Al-Faruqi lebih lanjut menolak gagasan objektivitas 11
Harris, Kelvin. Education and Knowledge (London: Routledge and Kegan Paul,
and Implementation Strategies,” makalah seminar, Muslim Forum Islamization of Knowledge Seminar Series, Bayero University, Kano, Nigeria 1998. 12 Ismail Raji al-Faruqi, “Islamizing the Social Sciences,” dalam “Social and Natural Sciences: Islamic Perspective,” edited by I. R. al-Faruqi (Jeddah: King Abdul-Aziz University, 1977), 12.
14 |
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
pada ilmu sosial dan perilaku dari titik pandang persepsi axiological, sebagaimana pernyataan berikut: mereka sepenuhnya ditentukan oleh data. Dalam perseppsi tentang nilai, sebaliknya, observer secara aktif berempati atau terbawa emosi dengan data, baik untuk mendukung atau melawan mereka. Persepsi nilai sendiri merupakan determinasi nilai... Suatu nilai dikatakan berhubungan jika dan hanya jika ia mengalir, dirasakan, dan mengendalikan emosi atau perasaan dari observer seperti gejala yang membuatnya terjadi. Persepsi nilai tidak mungkin terjadi kecuali jika perilaku manusia dapat menggerakkan observer. Senada dengan itu, observer tidak dapat bergerak kecuali ia terlatih untuk dipengaruhi, dan kecuali ia memiliki empati terhadpa objek dari pengalamannya. Sikap subyek terhadap data menentukan hasil penelitian.13
Dalam menerangkan argumen di atas, Al-Faruqi mengambil kesimpulan berikut ini: Penelitian humanistik oleh orang Barat dan analisis sosial bagi masyarakat Barat adalah sepenuhnya bersifat “Barat” dan tidak dapat menjadi model kajian muslim atau masyarakatnya.14
Dari titik pandang kritik metodologikal dan epistemologikal, orang tidak hanya akan setuju dengan Al-Faruqi dalam masalah ini, namun juga akan yakin dengan fakta, bahkan dalam ilmu alam dan atau mitos. Menurut Langgulung (1989), penelitian telah menantang kepercayaan penganut realis tradisional (penganut empirisme) ata melalui akumulasi fakta yang bebas konteks.15 Langgulung lebih jauh menjelaskan bahwa, berbeda dengan melakukan penelitian mereka di dalam konteks paradigma yang dipergunakan. Paradigma demikian adalah yang disebut Kahn sebagai cara untuk mempersepsikan dan memahami alam semesta dar kelompok ilmuwan dengan pandangan yang sama. Menurut Kahn, paradigma 13 Ismail Raji al-Faruqi, “Islamizing the Social Sciences,” dalam Social and Natural Sciences: Islamic Perspective, edited by I. R. al-Faruqi (Jeddah: King Abdul-Aziz University, 1977), 12. 14 Ibid 15 Hassan Langgulung, “Research in Psychology: Toward an Ummatic Paradigm,” dalam Toward Islamization of the Disciplines (Herndon, Va.: IIIT, 1989), 115-116.
Diri dan Spiritualitas
| 15
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
ilmiah merupakan skema kognitif yang dianut secara sosial, dan hanya skema kognitif seseorang yang memberikan orang tersebut cara untuk memahami dunia di sekitarnya, paradigma ilmiah memberkan sekelompok ilmuwan dengan cara kolektif untuk memahami dunia ilmiah mereka.16 Dengan demikian dapat diperdebatkan bahwa penelitian, Langgulung “epistemologi paradigmatik,” dan karena paradigma merupakan skema kognitif yang berevolusi atau bersumber pada terlepas dari subyektivitas dan kontekstualitas. Faktor ini menunjukkan keraguan dalam pemahaman yang secara umum diterima bahwa penemuan ilmiah adalah aksioma kebenaran dari validitas universal yang dapat diterapkan. Harris (1998) juga memperdebatkan hal ini dengan cara yang serupa. Pendapatnya sangat jelas memperlihatkan objektivitas dan universalitas ilmiah sebagai lelucon dan kepalsuan. Dia menyatakan: Memahami alam semesta, atau berusaha memahami alam semesta, bukanlah merupakah hal untuk mempelajari atau berusaha memperoleh serangkaian fakta atau kebenaran tentang alam semesta, apa yang ada di alam semesta, dan apa yang alam semesta perlihatkan pada mempersepsikan alam semesta dengan cara tertentu dari perspektif tertentu, dari dari titik pandang tertentu, yang sangat ditentukan dan ditimbulkan oleh interaksi seseorang dengan konteks sejarah dan sosial tertentu.17
Pendapat yang ditujukan di sini, meskipun panjang, penting untuk menolak pernyataan akan universalitas dari teori dan prinsip ilmu pengetahuan sosial Barat. Walaupun demikian tidak berarti bahwa seluruh teori dan prinsip ilmu pengetahuan Barat seluruhnya salah. Harus dicatat bahwa, seperti yang dinyatakan Badri (1979)18, beberapa teori psikologi Barat telah meunjukkan validitas lintas budaya, meskipun kebanyakan mereka terikat dengan budaya dan nilai 16 Hassan Langgulung, “Research in Psychology: Toward an Ummatic Paradigm,” dalam Toward Islamization of the Disciplines (Herndon, Va.: IIIT, 1989), 115-116. 17
Harris, Kelvin. Education and Knowledge (London: Routledge and Kegan Paul,
and Implementation Strategies,” an unpublished seminar paper, Muslim Forum Islamization of Knowledge Seminar Series, Bayero University, Kano, Nigeria 1998. 18 Malik Badri, The Dilemma of Muslim Psychologists. London: MWH Publishers, 1979.
16 |
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
ideologi Barat. Kesimpulan yang penting diambil adalah ummat Islam harus merumuskan sendiri psikologi dengan perspektif yang berbeda. Dengan demikian, harus dilakukan usaha untuk menunjukkan psikologi perkembangan dalam perspektif Islam, terutama dalam menyusun postulat paradigma dan prinsip dasarnya. Sesuai dengan kritik metodologi penelitian psikologi modern yang dibahas sebelumnya, maka untuk mengembangkan Psikologi Islam, dibutuhkan metodologi penelitian yang sesuai dengan perspektif Islam. Secara umum, kita dapat menyepakati bahwa dari perspektif Islam, ilmu pengetahuan dapat dipandang sebagai gabungan antara pembacaan dari ayat kauliyah (berasal dari Al Qur’an dan Al Hadist) dan ayat kauniyah (berasal dari pembacaan alam semesta). Dengan demikian, pendekatan metodologis dari psikologi perkembangan Islami, sebagaimana cabang Psikologi Islam lainnya, merupakan gabungan antara metodologi tafsir dari Al Qur’an dan Al Hadist serta metodologi ilmu pengetahuan modern pada umumnya. Metodologi tafsir merupakan upaya untuk membaca ayat kauliyah, sementara metodologi ilmu pengetahuan modern merupakan upaya untuk membaca ayat kauniyah. Jika kedua metode ini dilakukan dengan benar, tidak akan terdapat pertentangan antara ayat kauliyah dan ayat kauniyah. Kalaupun terlihat adanya perbedaan dari kedua jenis ayat ini, maka yang terjadi adalah kesalahan penafsiran terhadap ayat kauliyah, kesalahan pembacaan ayat kauniyah, atau kedua-duanya. Ummat Islam meyakini bahwa Al Qur’an, sebagai wahyu Allah, terlepas dari kesalahan manusiawi, namun penafsiran Al Qur’an tetap merupakan upaya manusia yang sering kali tidak terlepas dari dinamika politik dan kondisi sosial budaya, sehingga kekeliruan penafsiran dapat saja terjadi. Pembacaan ayat kauniyah yang benar juga merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Metode penelitian yang saat ini dikenal dapat merupakan alat bantu untuk menyelidiki alam semesta, namun kerangka metode tersebut harus sesuai dengan paradigma dasar Psikologi Islam. 1.
Ayat Kauliyah Dalam membaca ayat kauliyah, landasan berpikir yang dipergunakan adalah Al Qu’an dan Al Hadist. Para ilmuwan Islam telah mengembangkan metode yang ketat untuk mempelajari Al Qur’an dan Al Hadist. Metode ini telah memperhatikan validitas dan reliabilitas ilmu pengetahuan yang ketat.
Diri dan Spiritualitas
| 17
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
Al Qur’an yang menjadi landasan berpikir ummat Islam dapat “Al Qur’an adalah kalamullah ta’ala yang diturunkan kepada Rasulullah (Muhammad SAW) dengan bahasa Arab, merupakan mu’jizat dengan surat terpendeknya, tertulis dalam mushaf, dinukil secara mutawatir, membacanya dihitung ibadah, dimulai dengan surat al Fatihah dan diakhiri surat an-Nas.”19
cukup operasional sebagai acuan bahasan yang ada. Pada masa Rasul, Al Qur’an hadir secara berangsur-angsur. Terdapat teori yang dikenal sebagai asbabun nuzul yang menegaskan adanya hubungan antara beberapa peristiwa dengan turunya ayatayat Al Qur’an. Namun, tidak semua ulama sepakat bahwa hubungan yang ada harus bersifat sebab akibat20. Kesepakatan yang ada adalah bahwa turunnya ayat-ayat Al Qur’an memiliki kaitan dengan peristiwaperistiwa tertentu yang tengah dialami oleh Rasul maupun para sahabat. Tidak jarang suatu ayat turun untuk membenarkan pendapat salah seorang sahabat21. ucapan dan ketetapan yang disandarkan pada Nabi Muhammad. Penyandaran ini dapat bersifat lafdzi (dikutip kata perkata sebagaimana Rasul mengucapkan pertama kali) dan maknawi (dikutip hanya menurut isinya saja, sedangkan redaksi telah berubah). Adapun periwayatan mengenai perbuatan dan ketetapan (bisa berupa diamnya atau bahasa isyarat lain dari Rasul yang mempunyai arti tertentu) dapat dipastikan bersifat maknawi. Berbeda dengan hadist, periwayatan secara maknawi ini tidak dikenal dalam transmisi Al Qur’an. Jika pada umumnya periwayatan 19 Dr. Wahbah az Zuhaili, Ushulul Fiqhil Islami. Darul Fikril Mu’asir, Beirut, 1998, Jilid karya Manna” Khalil al-Qattan dan kitab karya Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni. 20 Aisyah binti Syathi sekalipun memandang penting riwayat asbab al-nuzul, namun ia menolak peristiwa-peristiwa tersebut sebagai sine qua non (syarat mutlak) terjadinya pewahyuan Al Qur’an. Lihat Issa J. Boulatta, Syathi’, Jurnal Al Hikmah No 3. Juli-Oktober 1999 hal 7. 21 Misalnya QS At Taubah 9:84 merupakan pembenaran atas pendapat Umar bin Khatab yang saat itu berbeda pendapat mengenai perintah Rasulullah SAW untuk
18 |
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
hadist dilakukan secara maknawi dan perorangan (ahad), maka periwayatan Al Qur’an diyakini berlangsung secara lafdzi dan melalui banyak orang (mutawatir). Oleh karena itu, keaslian sanad (rangkaian matan (maksud atau makna yang terkandung dalam suatu ayat) dari Al Qur’an tidak menimbulkan masalah. Sebaliknya masalah utama dalam hadist adalah pembuktian sanad dan matan. Periwayatan secara maknawi ini tentu saja membuka peluang munculnya pemalsuan hadist. Dalam ilmu hadist berkembang teori untuk menguji validitas dan reliabilitas sebuah hadist, yaiut ilmu riwayah hadist dan ilmu dirayah hadist. Yand dimaksud dengan ilmu riwayah hadist adalah ilmu yang dipakai untuk menentukan sanad suatu hadist (kritik sanad). Sedangkan ilmu dirayah hadist adalah ilmu yang dipakai untuk meneliti matan suatu hadist (kritik matan). Dalam ilmu riwayah hadist telah dibuat teori untuk menentukan validitas dan reliabilitas suatu hadist. Menurut teori ini validitas dan reliabilitas suatu hadist harus memiliki syarat-syarat berikut ini: a. Rangkaian sanad harus bersambung (ittishal) dari perawi awal (yang menerima langsung dari Rasulullah) hingga perawi akhir (perawi b. c.
Setiap perawi yang berada dalam rangkaian sanad suatu hadist harus mendengar langsung dari perawi sebelumnya. Setiap perawi harus memiliki integritas (tsiqah) tertentu yang diukur dengan ketakwaannya (‘adalah), kejujurannya (shidq) dan kekuatan hafalannya (dlabith).
Selain itu, dalam ilmu ini telah dibuat berbagai kategori perawi yang dapat membatalkan validitas hadist dari segi sanadnya. a. Majhul: perawi tidak dikenal sebagai ulama hadist b. Matruk: perawi dinilai buruk c. La yu’raf: perawi tidak dikenal d. Ya yasihhu hadisuhu: perawi yang hadist-hadistnya dinilai tidak valid e. Laisa bitsiqqah: perawi tidak memiliki integritas f. Munqathi: perawi yang rangkaiannya terputus g. Layyin: perawi yang lemah ingatannya. Sementara ilmu dirayah hadist juga menyajikan teori yang dipergunakan untuk menentukan validitas dan reliabilitas suatu hadist
Diri dan Spiritualitas
| 19
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
dari tinjauan isi. Secara garis besar, dalam ilmu dirayah hadist, kritik matan dilakukan dengan dua cara: a. Matan hadist dari seorang perawi dapat dikatakan tidak valid jika redaksinya bertentangan dengan matan hadist dari perawi lain yang integritasnya lebih tinggi, atau dari perawi lain yang jumlahnya lebih banyak dengan tingkat integritas yang sama. Kejanggalan ini dapat berupa penambahan teks, pembalikan, perbedaan mencolok, salah baca tulis, dan masuknya penafsiran periwayat dalam matan hadist. b. Matan suatu hadist dapat dikatakan tidak valid jika bertentangan dengan22 ayat Al Qur’an, hadist lain yang lebih reliabel, fakta sejarah, rasionalitas, temuan indrawi, berisi tentang dosa dan pahala besar karena tindakan yang remeh, susunan bahasa yang rendah. Pembacaan ayat kauliyah sebagai landasan ilmu dalam Islam memiliki metode yang cukup ketat. 2.
Ayat Kauniyah Selain membaca ayat kauliyah, ummat Islam diwajibkan untuk membaca ayat kauniyah. Dalam Islam ayat kauliyah dan ayat kauniyah bukan merupakan hal yang bertentangan, melainkan suatu yang secara bersama-sama membentuk ilmu pengetahuan. Ummat Islam justru diwajibkan untuk membaca alam semesta untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih dalam. Namun, ayat kauliyah yang diyakini oleh ummat Islam bersifat ilahiah merupakan landasan ayat kauniyah. Dengan menjadikan ayat kauliyah sebagai landasan berpikirnya, maka diharapkan kesalahan kerangka pikir dalam membahas ayat kauniyah dapat dihindarkan. Dalam membaca ayat kauniyah, ilmu pengetahuan Islam dapat mengambil metodologi yang telah cukup dikenal dalam psikologi 22 Ibnu Jawzi (597 H) menuliskan tujh indicator lemahnya matan hadist ini dalam kitab al Maudlatul Kubro yang dijadikan rujukan dalam memilah-milah hadist Ibnul Qayyim al
20 |
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
perkembangan modern, selama tidak bertentangan dengan pembacaan ayat kauliyah. Metodologi penelitian ilmiah merupakan serangkaian pengukuran yang memperhatikan validitas dan reliabilitas hasil penelitian, sehingga diharapkan prinsip atau teori yang dihasilkan lebih dapat memiliki nilai kebenaran. Ilmuwan yang terjun untuk mendalami Psikologi Islam dapat memilih metode yang sesuai dengan masalah yang mereka hadapi. Metode penelitian yang banyak dipergunakan dalam bidang ini, antara lain metode eksperimen atau korelasional, retrospektif atau prospektif, longitudinal atau cross sectional, serta studi lapangan atau laboratorium. Metode eksperimen merupakan metode yang penting yang banyak dipergunakan dalam psikologi. Dalam eksperimen, seorang peneliti membuat dua atau lebih kondisi yang berbeda satu sama lainnya yang dapat diukur dengan tepat dan pasti. Orang-orang kemudian secara acak ditugaskan untuk mengalami kondisi tersebut, dan kemudian reaksinya diukur. Misalnya, untuk melihat apakah dukungan sosial kelompok religius membantu meningkatkan penyesuaian diri terhadap penyakit kanker, pasien penyakit kanker dapat dibagi dalam kelompok dukungan sosial, dan kemudian kemampuan penyesuaian dirinya diukur. Eksperimen merupakan metode yang memegang peran utama, karena seringkali menyediakan jawaban masalah yang lebih pasti dari metode riset lain. Namun kurang praktis untuk membahas kasus. Orang, misalnya, tidak dapat secara acak diberi tugas penyakit tertentu. Sebagai hasilnya, metode korelasional, juga merupakan metode yang cukup sering dipergunakan dalam psikologi. Dengan metode ini, peneliti dapat mengukur apakah perubahan satu variabel berhubungan dengan perubahan variabel lainnya. Studi korelasional mengontrol rasa amarahnya memiliki resiko yang lebih besar dalam penyakit jantung. Kelemahan studi korelasional adalah tidak mungkin untuk menentukan arah sebab akibat yang terjadi. Misalnya, masih terdapat kemungkinan bahwa penyakit jantung justru membuat orang menjadi lebih sering marah. Namun di sisi lain, studi korelasional juga memiliki kelebihan dibanding eksperimen, karena lebih adaptif dan dapat mempelajari masalah dimana variabel yang ada tidak mungkin dimanipulasi dengan metode eksperimen. Peneliti juga dapat menggunakan penelitian retrospektif, yang mencoba melihat masa lampau dan berusaha untuk melakukan Diri dan Spiritualitas
| 21
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
rekonstruksi kondisi yang mendatangkan situasi yang terjadi saat ini. Misalnya, peneliti ingin mengetahui faktor resiko suatu penyakit. Subyek yang memiliki penyakit tertentu ditanya tentang perilakunya sebelum ia sakit. Kelemahan pendekatan ini adalah hasil penelitian tergantung pada ingatan informan atau subyek penelitian atas peristiwa yang telah terjadi. Bias karena kesalahan mengingat dapat saja terjadi. Untuk menghindari bias karena kemampuan ingatan dapat dilakukan pendekatan prospektif. Pendekatan prospektif melihat bagaimana perubahan individu atau kelompok, atau perubahan hubungan dua variabel dalam perspektif waktu. Variabel atau prediktor yang ingin diteliti telah ditentukan sebelumnya, baru dilakukan pengukuran. Misalnya, peneliti telah mengumpulkan subyek dengan adat kebiasaan makan tertentu, dan setelah periode tertentu ia kemudian mengukur perbedaan detak jantung kedua kelompok tersebut. Walaupun demikian, penelitian ini bukan penelitian eksperimen, namun penelitian korelasional. Dalam penelitian ini tidak terdapat randomisasi atauu penugasan tidak dapat dilakukan secara acak. Penelitian longitudinal, merupakan penelitian yang mengamati orang-orang yang sama untuk jangka waktu tertentu. Misalnya, pasien penyakit jantung yang telah berobat pada klinik tertentu diteliti dua bulan sekali dengan memberikan kuesioner yang mengumpulkan emosional yang dialami, kepribadian dan keadaan psikososial. Faktorfaktor ini diketahui memiliki hubungan dengan penyakit jantung. Penelitian ini memakan waktu yang lama. Untuk menghemat waktu, peneliti dapat melakukan penelitian cross-sectional. Penelitian ini merupakan penelitian yang mengumpulkan data pada saat yang sama. Misalnya, peneliti dapat membagi kelompok usia 20, 30, 40, dan seterusnya untuk melihat kaitan antara usia dengan perilaku kesehatan. Namun tentu saja hasil yang diperoleh dapat disebabkan faktor di luar usia subyek. Tempat penelitian dilakukan juga memiliki implikasi terhadap hasil penelitian. Penelitian dapat dilakukan pada lingkungan laboratorium. Studi laboratorium biasanya merupakan eksperimen, walaupun tidak seluruhnya demikian. Dalam laboratorium, kontrol biasanya dapat dilakukan lebih ketat, namun terkadang kurang menggambarkan subyek dalam situasi sehari-hari. Untuk mendapatkan hasil penelitian pada lingkungan yang lebih alamiah peneliti dapat 22 |
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
melakukan studi lapangan. Studi lapangan dapat merupakan penelitian eksperimen, walaupun kebanyakan studi lapangan biasanya hasil observasi dengan kontrol yang kurang dibandingkan studi laboratorium. Perbedaan di atas, tidak harus membuat Psikologi Islam tidak sesuai sepenuhnya dengan karakteristik ilmu pengetahuan yang seharusnya. Sumber yang dimiliki Psikologi Islam sebagai ilmu pengetahuan bersifat integratif dan saling melengkapi, sehingga seharusnya tidak bertentangan satu sama lainnya jika seluruhnya ditafsirkan dengan tepat. Namun dalam hal ini terdapat keterbatasan manusia dalam melakukan penafsiran tersebut. Menurut Earl R. Babbie (1973)23 karakteristik ilmu pengetahuan intersubjektif dan terbuka terhadap perubahan. Dengan penyesuaian yang tepat, karakter ini tidak akan hilang sepenuhnya, namun menjadi: 1.
Logis Dengan sifatnya yang logis, ilmu pengetahuan merupakan kegiatan rasional. Walaupun berlandaskan pada Al Qur’an dan Al Hadits, Psikologi Islam adalah merupakan hasil penafsiran manusia. Menurut Islam, Al Qur’an tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan jika ilmu pengetahuan itu didapat dengan proses yang benar. Dengan demikian, ilmuwan yang mendalami Psikologi Islam tidak perlu ragu untuk menggunakan pemikirannya dan melakukan penelitian ilmiah pada bidang ini. 2.
Deterministik Ilmu pengetahuan bersifat deterministik. Al Qur’an telah menyatakan konsep determinisme alam semesta dalam istilah sunatullah. Sunatullah merupakan ketetapan Allah yang berlaku untuk mengatur alam semesta. Menurut Islam, tidak ada perubahan dalam sunatullah. Tugas ilmuwan Psikologi Islam adalah melakukan upaya untuk membaca ketetapan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang ada. 3.
General Ilmu pengetahuan bersifat general, yaitu mencari pemahaman umum terhadap suatu gejala alamiah. Dengan demikian, konsep yang didapat melalui penelitian Psikologi Islam harus dapat diterapkan 23 Dalam buku Survey Research Method, 1973, Wardsworth Publishing Company California.
Diri dan Spiritualitas
| 23
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
pada populasi secara umum. Suatu populasi mungkin memiliki karakteristik yang berbeda dengan populasi lainnya. Karakteristik populasi ini mempengaruhi aturan yang ada pada populasi tersebut. Namun, sebagai ilmu pengetahuan, teori dalam Psikologi Islam harus dapat digeneralisasikan pada populasi secara umum sesuai dengan karakteristik populasi tersebut. 4.
Parsimoni Dengan sifatnya yang parsimoni, Psikologi Islam harus merupakan upaya untuk menyederhanakan gejala alamiah yang ada dalam suatu teori yang tersusun dengan logis dan dapat dimengerti oleh orang lain. Perumusan yang sederhana terhadap gejala yang diamati tidak harus menghilangkan kejelasan dari gejala tersebut. Teori yang dikembangkan dalam Psikologi Islam harus memiliki penting agar suatu gejala dapat diamati dengan lebih cermat dan teliti. Dengan demikian masalah yang dihadapi juga dapat dijawab dengan lebih tepat. 6.
Empirisme Terbatas Sebagai cabang ilmu pengetahuan, Psikologi Islam harus dapat
Psikologi Islam bisa didapatkan dari merupakan hasil pengataman dan pengukuran gejala alamiah yang dilakukan ilmuwan ketika membaca Psikologi Islam akan terus berkembang. Berbagai pernyataan di dalam keterbatasan alat-alat indera manusia. Dalam hal ini, ummat Islam dapat mempercayai sepenuhnya kebenaran Al Qur’an sebagai berita Allah melalui Nabinya dan mengusahakan penafsiran yang tepat. Ibnu Sina (980-1037) dan Ibnu Tufail (1105-1185) terlihat sebagai orang yang berpandangan empiris mendahului teori tabula rasa dari John Locke (1632-1704), namun mereka menerima wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. 7.
Intersubjektif Babbie (1973) lebih senang menggunakan istilah intersubjektif daripada objektif, walaupun ia menyetujui sifat sekulerisme ilmu pengatahuan. Ia menyatakan bahwa seluruh ilmuwan dalam beberapa 24 |
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
hal tidak dapat terlepas dari pengaruh motivasi pribadi. Dengan demikian istilah objektif, terutama dalam ilmu pengetahuan sosial seperti ilmu politik, hanya akan menghasilkan kebingungan. Intersubjektif artinya adalah dua ilmuwan yang memiliki orientasi subyektif berbeda, akan sampai pada kesimpulan yang sama jika melakukan eksperimen atau penelitian yang sama. 8.
Terbuka terhadap perubahan Ilmu pengetahuan terbuka terhadap perubahan. Islam mengajarkan untuk memperhatikan konteks turunnya ayat Al Qur’an dan Al Hadits. Pentingnya pemahaman kontekstual ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan ummatnya untuk tidak berpikiran kaku, namun terbuka terhadap perubahan masa. Sebagai ilmu pengetahuan, Psikologi Islam terus berkembang sesuai dengan perjalanan dan kemajuan peradaban manusia. Menurut Ancok (1994), pengembangan Psikologi Islam dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, psikologi dipakai sebagai pisau analisis masalah-masalah umat Islam. Kedua, Islam dipakai sebagai pisau analisis untuk menilai konsep-konsep psikologi. Ketiga, menciptakan konsep psikologi baru yang didasarkan pada Islam. Penelitian-penelitian yang dilakukan tidak perlu tertutup satu sama lainnya.
C. STRATEGI PENGEMBANGAN PSIKOLOGI ISLAM Lebih dari dua puluh tahun setelah terbitnya buku The Dilemma of Muslim Psychologist (1979) dari Malik B. Badri, Psikologi Islam telah berkembang pesat di dunia. Hal ini dapat dilihat dari hadirnya berbagai buku tentang Psikologi Islam. Selain itu, penelitian empirik yang bersifat kuantitatif, baik dengan rancangan eksperimen maupun non eksperimen, dengan menggunakan alat ukur, seperti skala Likert, juga sangat berkembang terutama melalui penulisan thesis S2, skripsi S1, penelitian hibah atau penelitian mandiri lainnya. Penelitian-penelitian ini tidak hanya berupa penelitian yang mencoba mencari model teoritik hubungan antara variabel Psikologi Islami, tetapi juga penelitian aplikatif yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam di dalam psikoterapi. Berbagai buku awal yang berpengaruh terbit di Indonesia. Zakiah Daradjat mulai menerbitkan buku pertama dengan tema Ilmu Jiwa & Agama (1970) yang merupakan kumpulan kuliah di Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah lalu diikuti dengan karyanya
Diri dan Spiritualitas
| 25
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
Kesehatan Mental, Remaja: Harapan dan Tantangan, Perawatan Jiwa untuk Anak-anak, dan Pendidikan Agama dan Kesehatan Mental. Setelah itu, tahun 1995 dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hanna Djumhana Bastaman menerbitkan buku “Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islam” yang membuat buku ini hadir menjadi referensi awal para mahasiswa dan ilmuwan psikologi yang ingin mengembangkan Psikologi Islam dari sisi keilmuan. Selain itu, buku-buku tulisan Fuad Nashori juga memberikan agenda tentang perkembangan psikologi Islam lebih lanjut seperti buku Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi ditulis bersama Djamaludin Ancok (1994), Paradigma Psikologi Islam (1994), dan Psikologi Islam: Agenda Menuju Aksi (1999). Tokoh yang lain adalah yang banyak menghasilkan karyanya dalam Psikologi Islam adalah Abdul Mujib dengan karya-karyanya yaitu Kepribadian dalam Psikologi Islam (2005), Ruh dan Psikospiritual Islam (2008), Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (2002), Fitrah & Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis. (1999), Risalah Cinta: Seri Psikologi Islam (2004), Apa Arti Tangisan Anda: Seri Psikologi Islam (2004), Islam dan Psikologi (2004), dan Psikologi Islam: Tipologisasi atas Karya Psikologi Islam Kontemporer di Indonesia (2005). Achmad Mubarok mengeluarkan karya mengenai (2001), Sunatullah dalam Jiwa Manusia (2003), dan Psikologi Keluarga: Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa. Hasil penelitian empirik karya mahasiswa S1, S2 dan S3 di bidang ini juga terlihat sangat banyak dan dengan pendekatan yang beragam. Penelitian yang berbentuk tugas akhir di Kajian Islam & Psikologi PKTTI-UI, misalnya, memiliki dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan melakukan komparasi antara konsep Psikologi Barat dan konsep Islam. Pendekatan kuantitatif di KIP PKTTI-UI dilakukan dengan mengoperasionalisasikan konsep-konsep Islam dengan menggunakan skala Likert, seperti sabar, tawakal, raja’, zuhud, qana”ah dan lain-lain. Demikian juga hasil penelitian yang dipresentasikan dalam konferensi internasional pertama di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2011, juga menunjukkan beragamnya metode penelitian yang dilakukan, baik dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif yang membahas epistemologi atau ontology berbagai konsep Islam di Islam, dan lain-lain. Beberapa penelitian dengan pendekatan kuantitatif 26 |
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen, seperti penelitian tentang zikir terhadap intensitas emosi, efektivitas pelatihan atau psikoterapi, dan lain-lain. Juga terdapat penelitian korelasional yang membahas tentang hubungan antar berbagai variabel yang dihubungkan dengan konsep Islam. Upaya untuk menerbitkan jurnal ilmiah di bidang Psikologi Islam juga telah dilakukan di Indonesia. Usaha pertama dilakukan oleh Forum Kajian Psikologi Islami (sekarang di bawah FUSI) SM Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 1995 melalui Al Wustho, yang terlihat masih sangat sederhana namun cukup berarti. Asosiasi Psikologi Islami juga telah menerbitkan Jurnal Psikologi Islami beberapa edisi. Selain itu, berbagai universitas yang berlatar belakang Islam juga mencoba menerbitkan jurnal di bidang ini, seperti Fakultas Psikologi & Pendidikan Universitas Al-Azhar Indonesia, yang mencoba menerbitkan jurnal Enlighten. Melihat pencapaian dengan terbitnya beragam buku, artikel, jurnal ilmiah dan terlaksananya penelitian di bidang Psikologi Islam, maka terlihat bahwa Psikologi Islam bukan lagi sekedar wacana, melainkan telah mulai dapat dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan. Psikologi Islam memang memiliki metode tersendiri, tetapi tidak menghilangkan karakternya sebagai ilmu pengetahuan. Ketidaksetujuan yang ada, dapat dijawab dengan terus melakukan penelitian dan publikasi ilmiah. Untuk meningkatkan pencapaian ini, para ilmuwan Psikologi Islam harus terus menerus meningkatkan kualitas dan kuantitas publikasi sehingga lebih diterima masyarakat. Penelitian lanjutan dapat difokuskan untuk membuktikan efektivitas ilmu dan aplikasinya dibandingkan psikologi lainnya untuk menjawab masalah yang terdapat di masyarakat, sehingga tuntutan masyarakat terhadap ilmu ini, termasuk di bidang lapangan kerja, dapat meningkat. Selain itu, pemetaan terhadap hasil penelitian dan publikasi ilmiah yang ada, melalui metode metaanalysis juga harus dilakukan, supaya penelitian Psikologi Islam tidak hanya berputar-putar di tempat. Pengembangan kompetensi ilmuwan dan psikolog Islam juga harus ditingkatkan. Asosiasi Psikologi Islami, harus memikirkan kompetensi apa yang seharusnya dimiliki oleh orang-orang yang bergerak di bidang ini. Matriks kompetensi ini kemudian dapat dikembangkan dalam kurikulum formal melalui program studi yang berminat melaksanakan muatan lokal Psikologi Islam, atau spesialisasi Diri dan Spiritualitas
| 27
Aliah B. Purwakania Hasan, MKes, Psikolog
di bidang ini, atau dalam pendidikan non formal melalui berbagai pertemuan ilmiah, seperti penataran, seminar, lokakarya, konferensi dan unit pendidikan lanjutan. Pengembangan kompetensi ini harus disertai dengan kepekaan terhadap permintaan masyarakat akan lapangan kerja yang menerapkan Psikologi Islam, dengan tetap memperhatikan kaidah ilmiah di bidang ini. Sebagai persiapan untuk kurikulum pendidikan tinggi, di Indonesia juga mulai bermunculan buku-buku yang mencoba mengintegrasikan mata kuliah psikologi tertentu dengan Islam atau dapat dipergunakan sebagai buku pegangan mata kuliah tertentu. Misalnya, untuk mata kuliah psikologi kepribadian Abdul Mujid telah menulis buku Kepribadian dalam Psikologi Islam (2005) dan Fitrah & Kepribadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis (1999); Yadi Purwanto juga menulis Psikologi Kepribadian: Integrasi Nafsiyah dan Aqliyah Perspektif Psikologi Islam (2007). Untuk mata kuliah psikologi perkembangan terbit buku Psikologi Perkembangan Islami (2006) karangan Aliah B.P. Hasan. Bagi yang ingin mengembangkan mata kuliah psikologi keluarga terdapat buku Psikologi Keluarga: Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa karangan Achmad Mubarok. Untuk mata kuliah psikologi kesehatan juga terbit buku Pengantar Psikologi Islam (2008) karya Aliah B.P. Hasan. Mata kuliah psikologi dakwah telah terbit buku Psikologi Dakwah (2001) oleh Achmad Mubarok. Untuk mata kuliah metode penelitian dapat dipergunakan buku Epistemologi Psikologi Islam: Dialektika Pendahuluan Psikologi Barat dan Psikologi Islam (2007) yang ditulis Yadi Purwanto, buku Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islam (1995) dari H.D. Bastaman, buku Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen Psikologi Yadi Purwanto juga telah menulis buku Etika Profesi Psikologi Profetik: Perspektif Psikologi Islam (2007) yang dapat dipergunakan dalam mata kuliah kode etik. Masih banyak buku lainnya, baik terjemahan maupun hasil karya ilmuwan Indonesia. Semuanya ini merupakan modal yang berharga untuk mengembangkan Psikologi Islam di dunia perguruan tinggi. Melihat uraian di atas, terlihat bahwa pencapaian yang telah didapat di bidang Psikologi Islam masih harus ditingkatkan terus menerus. Penelitian dan publikasi ilmiah melalui berbagai media harus terus ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Demikian juga dengan pengembangan kompetensi bidang Psikologi Islam bagi ilmuwan dan psikolog Islam. 28 |
Jurnal Psikologi, Vol. V, No. 1, Juni 2012
Psikologi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan: Epistemologi & Pengembangan di ...
D. SIMPULAN Psikologi Islam telah menjadi ilmu pengetahuan tersendiri yang memiliki metode ilmiah tersendiri. Psikologi Islam merupakan integrasi antara Islam dan psikologi, yang menggunakan Al Qur’an dan Al Hadits sebagai landasannya, karena itu Psikologi Islam mengkaji perilaku manusia sebagai makhluk yang memiliki dimensi ruhaniah yang disadari atau tidak selalu berhubungan dengan Allah SWT. Dari sisi metode ilmiah, Psikologi Islam merupakan gabungan dari metode pembacaan ayat kauliyah dan ayat kauniyah, yang memiliki empirik terbatas, intersubjektif dan terbuka terhadap perubahan. Untuk mengembangkan Psikologi Islam lebih jauh, perlu peningkatan kualitas dan kuantitas penelitian dan publikasi di bidang ini. Perlu dilakukan pemetaan terhadap hasil penelitian dan publikasi yang telah dilakukan. Asosiasi Psikologi Islami harus lebih membina kerjasamanya dengan perguruan tinggi untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia di bidang ini, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal.
DAFTAR PUSTAKA Ancok, D & Nashori, F. (1994). Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Brennan, J.F. 2003. Sejarah dan Sistem Psikologi. Terjemahan. Jakarta: Hasan, A.B.P. (2006). Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: Penerbit Rajawali Press. Hasan, A.B.P. (2008). Pengantar Psikologi Kesehatan Islami. Jakarta: Penerbit Rajawali Press. Haque, A. (2004). “Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists,” Journal of Religion and Health 43/4, hlm 357-77. Purwanto, Y. (2007). Epistemologi Psikologi Islami: Dialektika Pendahuluan Psikologi Barat dan Psikologi Islami. Bandung: PT Nashori, F. (1996). Peta Pemikiran Psikologi Islami: Upaya Memahami Problem. Tema, dan Agenda Kerja untuk Pengembangan Psikologi Islami. Makalah dalam Seminar Nasional Psikoterapi Islami.
Diri dan Spiritualitas
| 29