i
KONTRIBUSI TERIGU TERHADAP KECUKUPAN GIZI RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH DKI JAKARTA
TITIN ALIYAH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kontribusi Terigu terhadap Kecukupan Gizi Rumah Tangga Miskin di Wilayah DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Titin Aliyah NIM I14114001
ii
ABSTRAK TITIN ALIYAH. Kontribusi Terigu terhadap Kecukupan Gizi Rumah Tangga Miskin di Wilayah DKI Jakarta. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF dan DRAJAT MARTIANTO Data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2002-2008 menunjukkan bahwa terigu merupakan pangan pokok setelah beras yang paling banyak dikonsumsi. Fortifikasi wajib tepung terigu diharapkan dapat meningkatkan status gizi masyarakat, terutama rumah tangga miskin. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga miskin. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Hasil studi menunjukkan bahwa jenis olahan terigu yang yang berkontribusi signifikan terhadap asupan terigu dan zat gizi mikro adalah mie instan, roti manis, dan makanan gorengan. Rata-rata berat terigu hasil konversi olahan terigu yang dikonsumsi rumah tangga contoh adalah 42.35 gram per kapita per hari, memberikan kontribusi berturut-turut sebesar 7.7%, 7.2%, 3.4%, 2.9%, 4.1%, 2.7%, dan 1.1% terhadap kecukupan energi, protein, zat besi, seng, vitamin B1, vitamin B2, dan asam folat. Fortifikasi tepung terigu diharapkan meningkatkan kontribusi zat gizi mikro yaitu masing-masing sebesar 17.4%, 13.9%, 14.3%, 18.0%, dan 24.5% terhadap tingkat kecukupan zat besi, seng, vitamin B1, vitamin B2, dan asam folat. Kata kunci : kecukupan gizi, rumah tangga miskin, tepung terigu
ABSTRACT TITIN ALIYAH. Wheat Flour Contribution to Nutritional Adequacy of Poor Households in DKI Jakarta. Supervised by HIDAYAT SYARIEF and DRAJAT MARTIANTO National Economic and Social Survey during the periode of 2002-2008 indicated the important of wheat flour as the second staple food after rice. Mandatory fortification of wheat flour was expected to improve the community nutritional status, especially poor households, but evaluation regarding the impact is remained limited. The aim of the study was to analize the contribution of wheat flour to the nutritional adequacy of poor households. This was a cross sectional study. The result of the study showed the wheat processing food that gave significant contribution to the wheat flour and micro nutrient intake were instant noodles, sweet breads, and fried foods. The average of wheat consumption among the sample households was 42.35 gram per capita per day that gave contribution to the adequacy of energy, protein, iron, zinc, vitamin B1, vitamin B2, and folic acid as follows; 7.7%, 7.2%, 3.4%, 2.9%, 4.1%, 2.7%, and 1.1%. Wheat flour fortification was expected to increase the contribution of micro nutrients iron, zinc, vitamin B1,vitamin B2, and folic acid as follows; 17.4%, 13.9%, 14.3%, 18.0%, and 24.5%. Keywords: nutritional adequacy, poor households, wheat flour
iii
KONTRIBUSI TERIGU TERHADAP KECUKUPAN GIZI RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH DKI JAKARTA
TITIN ALIYAH
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
iv
v
Judul Skripsi : Kontribusi Terigu terhadap Kecukupan Gizi Rumah Tangga Miskin di Wilayah DKI Jakarta Nama : Titin Aliyah NIM : I14114001
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS Pembimbing I
Diketahui oleh
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Dr Ir Drajat Martianto, MSi Pembimbing II
vi
vii
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 ini ialah konsumsi olahan terigu pada rumah tangga miskin, dengan judul Kontribusi Terigu terhadap Kecukupan Gizi Rumah Tangga Miskin di Wilayah DKI Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS dan Bapak Dr Ir Drajat Martianto, MSi selaku pembimbing, atas segenap bimbingan, saran dan dukungannya selama penulis menyusun karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Budi Setiawan, MS selaku pembimbing akademik yang juga telah banyak memberi bimbingan dan dukungan selama menjalani pendidikan. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan kepada suami tercinta, Kamal Mursid, S.Pt, atas segenap cinta, dukungan dan pengorbanannya selama mendampingi penulis hingga selesainya karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Bapak dan Ema di Slawi, Bapak dan Mama di Kebon Jeruk, kakak-kakak dan adik-adik, ponakan-ponakan tersayang atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis tak lupa menghaturkan terima kasih kepada Pemprov DKI Jakarta, atas pemberian kesempatan kepada penulis untuk menjalani tugas belajar. Ungkapan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada pimpinan dan segenap staf di Badan Kepegawaian Daerah dan Badan Pendidikan dan Latihan Provinsi DKI Jakarta atas dukungannya selama ini. Terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada dr. Erda Husni dan dr Mirsad yang telah memberi ijin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar dari Pemprov DKI Jakarta. Terima kasih kepada pimpinan dan semua rekan sejawat di Puskesmas Kecamatan Gambir yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih buat teman-teman seperjuangan di Program Sarjana Alih Jenis Gizi Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, segenap dosen dan staf khususnya Mba Rian, Mba Ine, dan Mba Anna atas bantuannya selama ini. Akhirnya penulis berharap, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amiin...
Bogor, Maret 2014
Titin Aliyah
viii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. ix PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Kerangka Pemikiran
3
METODE ................................................................................................................ 6 Desain, Waktu, dan Tempat
6
Teknik Penarikan Contoh
6
Jenis dan Metode pengumpulan data
7
Pengolahan dan Analisis Data
8
Definisi Operasional
11
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 12 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
12
Karakteristik Sosial Demografi Responden
15
Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat Rumah Tangga Contoh
17
Konsumsi Pangan Olahan Terigu
21
Kontribusi Terigu terhadap Kecukupan Gizi Rumah Tangga Contoh
25
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 32 Simpulan
32
Saran
33
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 33 LAMPIRAN .......................................................................................................... 37 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 44
ix
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Data primer dan sekunder dalam penelitian Pengkategorian variabel penelitian Faktor konversi terigu dari pangan olahan terigu AKG bagi orang Indonesia (WNPG Tahun 2004) Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk per kecamatan di Jakarta Pusat Jumlah Rumah Tangga Sasaran per kecamatan Tahun 2010 Jumlah RTS-PM dan Raskin di Kelurahan Duri Pulo Tahun 2013 Jumlah RTS-PM dan Raskin Kelurahan Petamburan Tahun 2013 Karakteristik sosial demografi rumah tangga contoh Konsumsi pangan sumber karbohidrat rumah tangga contoh Konsumsi pangan olahan terigu rumah tangga contoh Sumbangan energi pangan olahan terigu rumah tangga contoh Hubungan besar rumah tangga dengan konsumsi terigu Hubungan pendidikan kepala rumah tangga dengan konsumsi terigu Hubungan pekerjaan kepala keluarga dengan konsumsi terigu Kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga contoh Kandungan zat gizi mikro dalam fortifikasi tepung terigu Kandungan gizi terigu alami dan dengan fortifikasi
7 8 9 10 12 13 14 14 15 18 21 22 23 24 25 25 26 26
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3.
Kerangka Pemikiran Penelitian Persentase rumah tangga menurut jenis pangan olahan terigu yang dikonsumsi Kontribusi terigu alami dan dengan fortifikasi
5 20 29
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah pangan dan gizi sering dihubungkan dengan kemiskinan. Rendahnya tingkat pendapatan keluarga, menyebabkan keterbatasan jumlah dan mutu pangan yang dapat dibeli, dan selanjutnya menyebabkan rendahnya asupan gizi yang dapat mempengaruhi keadaan gizi anggota rumah tangga miskin (Martianto dan Ariani 2004). Selain masih tingginya prevalensi kurang gizi pada balita, masalah kurang gizi mikro seperti vitamin dan mineral menjadi masalah yang serius di Indonesia. Kurang Gizi Mikro (KGM) sering disebut kelaparan tidak kentara, karena umumnya tidak disadari gejalanya oleh masyarakat umum. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa KGM berdampak pada kualitas hidup, pertumbuhan ekonomi dan sosial, meningkatkan angka kematian ibu dan anak, penyakit akibat infeksi, menurunkan tingkat kecerdasan anak dan produktivitas kerja (Wimalawansa 2013, Manno et al. 2012, Arlappa et al. 2011, Oktaviana 2012). Penanggulangan KGM yang paling tepat menurut para ahli saat ini adalah melalui fortifikasi pangan (Tabor et al. 2004). Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau beberapa zat gizi tertentu pada pangan alami maupun olahan yang ditujukan untuk meningkatkan mutu gizinya. Berdasarkan tujuannya, fortifikasi pangan dibedakan menjadi dua macam yaitu yaitu fortifikasi sukarela dan fortifikasi wajib (Soekirman 2011). Fortifikasi sukarela dilakukan oleh industri pangan kemasan untuk meningkatkan nilai tambah produknya, dan tidak selalu bertujuan untuk peningkatan gizi. Fortifikasi wajib bertujuan untuk menanggulangi masalah kurang gizi masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Makanan atau pangan yang ditetapkan dalam fortifikasi wajib harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu tersedia secara umum di setiap rumah tangga, dimakan secara teratur dan terus-menerus oleh masyarakat termasuk masyarakat miskin. Makanan yang difortifikasi diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar mudah dalam pengawasan dan tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih sehingga makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah difortifikasi. Makanan yang difortifikasi juga harus tetap aman dan tidak membahayakan kesehatan. Fortifikasi harus menjamin harga makanan setelah difortifikasi tetap terjangkau daya beli konsumen yang menjadi sasaran, terutama masyarakat miskin. Salah satu fortifikasi pangan wajib yang dilakukan di Indonesia adalah fortifikasi zat gizi mikro (zat besi, seng, asam folat, vitamin B1, dan vitamin B2) pada tepung terigu. Latar belakang fortifikasi zat gizi mikro pada tepung terigu adalah masih tingginya masalah pangan dan gizi, terutama masalah kurang gizi mikro. Masih tingginya prevalensi anemia gizi, tingginya angka kematian ibu, bayi dan anak balita, serta masih tingginya angka kesakitan akibat penyakit infeksi berkaitan dengan kekurangan gizi mikro seperti zat besi, asam folat, dan seng. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 menunjukkan bahwa prevalensi anemia ibu hamil di Indonesia 40.1% dan pada tahun 2007 turun menjadi 24.5%. Namun demikian keadaan ini mengindikasikan bahwa anemia gizi besi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Studi tentang status gizi
2
pada rumah tangga miskin di Jakarta Utara menunjukkan bahwa prevalensi anemia tertinggi adalah pada kelompok remaja perempuan (37.0%) dan pada wanita dewasa (27.8%). Studi tersebut juga menunjukkan tingginya prevalensi defisiensi besi dan seng pada kelompok tersebut masing-masing sebesar 37.0% dan 38.9% (Sandjaja dkk. 2010). Fortifikasi zat gizi mikro pada tepung terigu di Indonesia juga dilatarbelakangi oleh pergeseran pola konsumsi penduduk ke arah pola konsumsi pangan cepat saji/instan. Perubahan konsumsi pangan pokok di Indonesia berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2002, 2005 dan 2008 menunjukkan kecenderungan penurunan konsumsi beras dari 115.5 kilogram per kapita pada tahun 2002 menjadi 105.2 kilogram per kapita pada tahun 2005 dan 104.9 kilogram per kapita pada tahun 2008. Sementara pada tahun yang sama terjadi peningkatan konsumsi pangan pokok terigu dari 8.5 kilo gram per kapita pada tahun 2002 menjadi 11.2 kilo gram per kapita pada tahun 2008 (Ariani 2010b). Hasil analisis data Susenas tahun 1999-2007 menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan pokok masyarakat berpendapatan rendah baik di pedesaan maupun perkotaan mengarah pada beras dan bahan pangan berbasis terigu. Pergeseran pola pangan pokok dari beras, jagung dan umbi-umbian menjadi beras dan terigu menyebabkan terigu dan hasil olahannya memberikan sumbangan energi secara signifikan di samping beras sebagai penyumbang energi terbesar dalam pola konsumsi pangan pokok di Indonesia (DKP 2008). Perkembangan pangan olahan terigu di Indonesi didorong oleh kebijakan pemerintah sejak jaman Orde Baru, seperti kebijakan impor gandum dan kebijakan subsidi harga terigu yang berlangsung lama, yang menyebabkan harga terigu menjadi murah. Kampanye dan promosi yang intensif melalui berbagai media serta perkembangan teknologi pangan terutama di bidang „product development’ menyebabkan produk olahan terigu semakin mudah diperoleh, dengan berbagai macam cara pengolahan, penyajian, dan cara pengemasan serta variasi harga produk yang memungkinkan masyarakat memilih produk olahan terigu yang sesuai dengan kemampuan daya belinya. Sawit dalam Ariani (2010a) menyatakan bahwa beralihnya konsumsi pangan pokok non terigu menjadi terigu pada kelompok berpendapatan rendah dan menengah di Indonesia lebih cepat dibanding negara-negara Asia lainnya. Fortifikasi wajib zat gizi mikro pada tepung terigu merupakan program pemerintah yang sudah cukup lama dilangsungkan. Namun hingga kini evaluasi terhadap program fortifikasi tepung terigu ini khususnya terkait dengan penurunan prevalensi masalah kurang gizi mikro di Indonesia belum dilakukan secara spesifik. Selain itu studi dan penelitian tentang kontribusi terigu dan pangan olahannya terhadap kecukupan gizi masyarakat terutama kelompok rawan pangan dan gizi yang menjadi sasaran program fortifikasi zat gizi mikro pada terigu secara spesifik masih sedikit ditemukan, sehingga studi tentang kontribusi terigu dan olahannya terhadap kecukupan gizi rumah tangga miskin diperlukan untuk mendapatkan informasi dan gambaran tentang masalah tersebut.
3
Perumusan Masalah Rumah tangga miskin merupakan kelompok masyarakat yang rawan terhadap masalah pangan dan gizi. Terigu dan pangan olahannya sebagai bahan pangan pokok yang makin banyak dikonsumsi baik oleh rumah tangga berpendapatan tinggi maupun rendah (miskin). Program fortifikasi wajib tepung terigu (SNI 3751:2009) diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap tingkat kecukupan gizi pada rumah tangga miskin. dan mengatasi masalah pangan dan gizi, terutama masalah Kurang Gizi Mikro (KGM). Berdasarkan latar belakang tersebut, perumusan masalah yang diajukan peneliti adalah : Bagaimana kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga miskin di wilayah DKI Jakarta? Jenis olahan terigu apa yang berkontribusi signifikan terhadap asupan terigu dan zat gizi mikro? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga miskin di wilayah DKI Jakarta. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik sosial demografi rumah tangga contoh di lokasi penelitian 2. Mempelajari pola konsumsi pangan sumber karbohidrat pada rumah tangga contoh di lokasi penelitian 3. Mengidentifikasi jumlah dan jenis pangan olahan terigu yang dikonsumsi rumah tangga contoh di lokasi penelitian 4. Mengidentifikasi angka kecukupan gizi rumah tangga contoh mencakup energi, protein, zat besi, seng, vitamin B1, vitamin B2, dan asam folat 5. Menganalisis kontribusi terigu terhadap kecukupan energi, protein, zat besi, seng, vitamin B1, vitamin B2, dan asam folat rumah tangga contoh di lokasi penelitian.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah memberikan informasi kepada institusi, organisasi profesi dan masyarakat umum tentang perkembangan pola konsumsi pangan khususnya bahan pangan sumber karbohidrat dan tingkat kecukupan gizi rumah tangga miskin sehingga dapat dijadikan masukan bagi upaya peningkatan mutu pangan dan gizi masyarakat dan perbaikan program penanggulangan masalah pangan dan gizi yang telah dilakukan. Kerangka Pemikiran Kerangka penelitian dalam penelitian ini disusun berdasarkan kerangka model World Bank mengenai keterkaitan kemiskinan dan status gizi. Sesuai
4
dengan kerangka model World Bank, kemiskinan mempengaruhi tingkat ketersediaan pangan rumah tangga. Pada rumah tangga miskin, yang dalam penelitian ini diwakili oleh rumah tangga penerima program Raskin mempunyai keterbatasan dalam mendapatkan akses pangan yang bermutu, terkait dengan rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga serta faktor sosio demografi lain seperti rendahnya tingkat pendidikan yang akan mempengaruhi pola konsumsi pangan rumah tangga serta status gizi anggota rumah tangganya. Variabel yang diteliti adalah karakteristik rumah tangga yang meliputi karakteristik demografi dan karakteristik sosial rumah tangga. Keduanya diduga berhubungan dengan variabel Kecukupan Gizi rumah tangga, yang dinilai melalui pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan konsumsi pangan olahan terigu rumah tangga. Pola konsumsi pangan rumah tangga sumber karbohidrat dinilai melalui metode food frequency dengan modifikasi pada pangan olahan terigu. Konsumsi pangan olahan terigu rumah tangga diukur melalui metode food recall 2X24 jam berturut-turut untuk mendapatkan data jumlah asupan zat gizi rumah tangga serta jumlah asupan zat gizi dari terigu dan pangan olahannya. Penelitian juga didasari adanya pergeseran pola konsumsi pangan masyarakat, dimana terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi pangan atau makanan cepat saji, baik di perkotaan maupun pedesaan. Sebagai kelompok pangan utama, terigu dan pangan olahannya memberikan sumbangan energi yang cukup besar dibanding kelompok pangan lain, sehingga peningkatan konsumsi terigu dan olahannya diduga akan mempengaruhi tingkat pemenuhan dan kecukupan gizi rumah tangga. Kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga dinilai dengan membandingkan variabel rata-rata Angka Kecukupan Gizi rumah tangga contoh dengan rata-rata jumlah asupan zat gizi dari terigu (hasil konversi pangan olahan terigu) yang dikonsumsi rumah tangga contoh. Kontribusi terigu dalam penelitian ini juga memperhitungkan kandungan zat gizi mikro sebagai fortifikan berkaitan dengan program fortifikasi wajib pada tepung terigu melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1452/2003 dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk tepung terigu (SNI 3751:2009). Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein serta zat gizi mikro (vitamin dan mineral) dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi. Kerangka pemikiran penelitian yang dilaksanakan disajikan pada Gambar 1.
5
Karakteristik Rumah Tangga Miskin Karakteristik demografi : Karakteristik sosial : Umur Jenis kelamin Berat badan Besar rumah tangga
Pendidikan Pekerjaan kepala keluarga
Akses pangan rumah tangga
Konsumsi pangan rumah tangga
Angka Kecukupan Gizi (AKG) WNPG Tahun 2004
Konsumsi Pangan Olahan Terigu Angka Kecukupan Gizi (AKG) rumah tangga (Energi, Protein, Zat Besi, Seng, Vitamin B1, B2, dan Asam Folat)
Jumlah dan jenis pangan olahan terigu yang dikonsumsi rumah tangga (food recall 2x24 jam) Berat terigu hasil konversi pangan olahan terigu Kandungan zat gizi terigu alami (Energi, Protein, Zat Besi, Seng, Vitamin B1, B2, dan Asam Folat) dan dengan fortifikasi
Pola Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat (metode food frequency)
Kontribusi Terigu terhadap Kecukupan Gizi Rumah Tangga (Energi, Protein, Zat Besi, Seng, Vitamin B1, B2, dan Asam Folat)
Keterangan: : Variabel yang diteliti : : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
6
METODE Desain, Waktu, dan Tempat Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Cross sectional study dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik demografi dan sosial, serta konsumsi pangan sumber karbohidrat khususnya terigu dan pangan olahannya pada rumah tangga miskin yang diteliti, dalam sekali waktu pengukuran. Penelitian dilakukan di wilayah Kotamadya Jakarta Pusat. Wilayah tersebut dipilih dengan pertimbangan merupakan wilayah terpadat penduduknya di Provinsi DKI Jakarta, sehingga diharapkan populasi penelitian lebih terkonsentrasi dan memudahkan proses pengumpulan data. Jakarta Pusat juga dipilih dengan pertimbangan merupakan salah satu wilayah dalam kategori „Kota Bermasalah Non Miskin‟ berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat tahun 2009 (TNP2K 2010). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai Januari 2014.
Teknik Penarikan Contoh Rumah tangga miskin yang menjadi populasi penelitian ini adalah rumah tangga miskin yang didata oleh BPS Provinsi DKI Jakarta dan digunakan sebagai data dasar untuk penetapan RTS-PM (Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat untuk Program Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin). Unit analisis dilakukan pada rumah tangga untuk variabel-variabel karakteristik demografi, karakteristik sosial ekonomi, dan konsumsi pangan rumah tangga serta variabel kecukupan gizi rumah tangga. Penetapan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan kriteria jumlah RTS-PM di wilayah tersebut adalah sekurang-kurangnya 10% dari total populasi rumah tangga miskin. Hal ini didasarkan pada data jumlah dan persentase penduduk dan atau rumah tangga miskin di wilayah DKI Jakarta, di mana persentase penduduk miskin di DKI Jakarta tergolong paling rendah di Indonesia dengan angka <5%. Penentuan kecamatan terpilih dilakukan berdasarkan data RTS tingkat kotamadya, sehingga dua Kecamatan di Jakarta Pusat ditetapkan sebagai lokasi penelitian yaitu Kecamatan Gambir dan Kecamatan Tanah Abang. Penarikan contoh rumah tangga miskin di kelurahan terpilih dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling), dengan pertimbangan karakteristik contoh yang relatif homogen. Jumlah contoh minimal dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus Slovin (Singarimbun dan Effendi 2011) sebagai berikut :
Keterangan: n = Jumlah contoh N= Jumlah populasi d = Tingkat kesalahan yang dapat ditolerir (10%)
7
Berdasarkan perhitungan, maka besar contoh minimal adalah sebesar 100 rumah tangga. Besar contoh dari masing-masing kelurahan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan: nh = besar contoh untuk tiap wilayah (kelurahan terpilih) Nh = jumlah RTS-PM (populasi) pada wilayah terpilih n = besar contoh keseluruhan N = jumlah total RTS-PM (populasi) pada kedua wilayah Berdasarkan jumlah RTS-PM di masing-masing kelurahan maka jumlah contoh di Kelurahan Duri Pulo adalah sebanyak 46 KK dan 56 KK di Kelurahan Petamburan. Jenis dan Metode pengumpulan data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara lansung dengan responden dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan. Data sekunder diperoleh dari berbagai lembaga dan instansi yang mempunyai data terkait dengan penelitian serta data literatur yang mendukung penelitian. Jenis, sumber dan cara pengumpulan data primer dan sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1 Data primer dan sekunder dalam penelitian Jenis Data Data Primer : a. Karakteristik sosial demografi rumah tangga : Umur, jenis kelamin, berat badan, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan kepala keluarga.
b. Konsumsi pangan rumah tangga (pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan konsumsi terigu dan pangan olahannya) Data Sekunder : a. Profil wilayah/kelurahan
b. Data RTS-PM Program Raskin (DPM) Kelurahan
Sumber
Cara Pengumpulan
Responden (Ibu atau kepala keluarga)
Wawancara langsung dengan kuesioner (untuk data berat badan dilakukan pengukuran langsung dengan timbangan badan) Wawancara dengan metode food recall 2X24 jam dan FFQ
Responden (Ibu)
Kantor kelurahan Kantor kelurahan
Pencatatan dan pengumpulan dokumen Pencatatan dan pengumpulan dokumen
8
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh melalui wawancara kuesioner kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for windows. Proses pengolahan data meliputi entry, coding, editing dan analyzing. Karakteristik sosial demografi contoh yang diperoleh dari wawancara dengan responden meliputi data jumlah anggota rumah tangga, umur anggota rumah tangga, pendidikan dan pekerjaan kepala keluarga dan anggota rumah tangga lainnya. Pengkategorian variabel penelitian secara garis besar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pengkategorian variabel penelitian No 1
Variabel Karakteristik demografi
Sub Variabel Besar rumah tangga Umur kepala keluarga
Umur anggota rumah tangga
2
Karakteristik sosial
Pendidikan kepala keluarga dan anggota rumah tangga
Pekerjaan
1) 2) 3) 1) 2) 3) 4) 1) 2) 3) 4) 5) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 1) 2)
Kategori Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-6 orang) Besar (≥ 7 orang) Remaja (< 20) Dewasa awal (20-40 ) Dewasa tengah (41-65) Dewasa akhir (> 65) <5 tahun 5-12 tahun 13-18 tahun 19-54 tahun >54 tahun
Sumber BKKBN (1998)
Belum/tidak sekolah
BPS (2011)
Papalia & Old (1986)
-
Tidak tamat SD/sederajat
Tamat SD/sederajat
Tamat SMP/ sederajat Tamat SMA/ sederajat Tamat PT/sederajat Karyuwan swasta Buruh (kasar/ pabrik/bangunan) 3) Pedagang (asongan/kaki lima, dll) 4) Lainnya
-
Variabel konsumsi pangan rumah tangga diperoleh dengan menghitung konsumsi pangan rumah tangga melalui metode food recall 2X24 jam dan food frequency menggunakan kuesioner FFQ termodifikasi. Data konsumsi pangan sumber karbohidrat meliputi jenis dan jumlah pangan dalam satuan gram maupun Ukuran Rumah Tangga (URT). Jumlah pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi oleh rumah tangga dalam satu bulan terakhir dicatat dalam satuan gram (jika diketahui secara pasti) atau dalam URT, untuk selanjutnya dikonversi menjadi satuan gram. Untuk dapat mengkonversi URT ke dalam gram, peneliti mengambil sampel pangan sumber karbohidrat di warung-warung di sekitar
9
rumah tangga miskin responden, yang biasanya digunakan sebagai tempat pembelian kebutuhan pangan sehari-hari. Konsumsi pangan olahan terigu diperoleh dari wawancara melalui metode food recall 2x24 jam. Semua jenis pangan olahan terigu dan terigu yang dikonsumsi rumah tangga dicatat dalam satuan gram atau URT. Jika ada anggota rumah tangga yang makan di luar, maka ditanyakan konsumsi pangan olahan terigu di luar rumah. Data konsumsi hasil food recall 2x24 jam tersebut kemudian diolah untuk mengetahui berat masing-masing jenis pangan olahan terigu. Faktor konversi pangan olahan terigu yang digunakan adalah berdasarkan acuan pangan olahan terigu dari Susenas (Hardinsyah dan Amalia 2007), sebagaimana tabel berikut ini : Tabel 3 Faktor konversi terigu dari pangan olahan terigu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pangan Olahan Tepung terigu Mie basah Mie instan Makaroni Roti tawar Roti manis Kue kering/biskuit Kue basah Makanan gorengan Mie bakso Makanan ringan anak
Faktor Konversi 1.00 0.33 0.92 0.92 0.68 0.68 1.00 0.47 0.25 0.33 0.92
Konsumsi terigu masing-masing rumah tangga dihitung dalam bentuk jumlah terigu (hasil konversi berat pangan olahan terigu) dalam satuan gram per rumah tangga contoh. Perhitungan berat terigu yang dikonsumsi rumah tangga contoh untuk beberapa pangan olahan terigu yang belum ada faktor konversinya (pada jenis pangan olahan terigu lainnya, misalnya sosis, nuget, dan lainnya) disetarakan dengan faktor konversi pangan olahan terigu yang sejenis, dengan memperhatikan komposisi terigu dalam pangan olahan terigu lainnya tersebut. Rata-rata konsumsi terigu per kapita rumah tangga contoh dihitung dari hasil pembagian antara berat terigu yang dikonsumsi dengan jumlah anggota rumah tangga contoh. Rata-rata konsumsi terigu per kapita (gram/kapita/hari) digunakan untuk menghitung konsumsi zat gizi rumah tangga contoh dari pangan olahan terigu yang meliputi energi, protein, vitamin B1 (thiamin), B2 (riboflavin), asam folat, zat besi dan seng. Jumlah konsumsi zat gizi dari rata-rata berat terigu per kapita per hari menggunakan data kandungan zat gizi terigu alami dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) dan Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia Depkes RI Tahun 1990 (Almatsier 2009). Berdasarkan jumlah konsumsi zat gizi per kapita per hari maka akan dihitung kontribusi terigu dan pangan olahannya terhadap kecukupan gizi rumah tangga contoh. Penentuan kecukupan gizi rumah tangga yang dihitung dari rata-rata kecukupan gizi anggota rumah tangga yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan pada Angka Kecukupan Gizi (AKG) hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004, sebagaimana tabel berikut ini :
10
Tabel 4 AKG bagi orang Indonesia (WNPG Tahun 2004) Kelompok Umur
Berat Badan (Kg)
Anak 1) 0-6 bulan 6 2) 7-12 bulan 8,5 3) 1-3 tahun 12 4) 4-6 tahun 17 5) 7-9 tahun 25 Laki-laki (tahun) 1) 10-12 35 2) 13-15 46 3) 16-18 55 4) 19-29 56 5) 30-49 62 6) 50-60 62 7) > 60 62 Perempuan (tahun) 1) 10-12 37 2) 13-15 48 3) 16-18 50 4) 19-29 52 5) 30-49 55 6) 50-60 55 7) > 60 55 Hamil Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Menyusui 6 bulan pertama 6 bulan kedua -
Energi (kkal)
Protein (g)
Tiamin (mg)
Riboflavin (mg)
Asam folat (µg)
Besi (mg)
Seng (mg)
550 650 1000 1550 1800
10 16 25 39 45
0.3 0.4 0.5 0.6 0.9
0.3 0.4 0.5 0.6 0.9
65 80 150 200 200
0.5 7 8 9 10
1.3 7.5 8.2 9.7 11.2
2050 2400 2500 2550 2350 2250 2050
50 60 65 60 60 60 60
1.1 1.2 1.3 1.2 1.2 1.2 1.0
1.0 1.2 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
300 400 400 400 400 400 400
13 19 15 13 13 13 13
14.0 17.4 17.0 12.1 13.4 13.4 13.4
2050 2350 2200 1900 1800 1700 1600
50 57 50 50 50 50 50
1.1 1.1 1.1 1.0 1.0 1.0 1.0
1.0 1.0 1.0 1.1 1.1 1.1 1.1
300 400 400 400 400 400 400
20 26 26 26 26 12 12
12.6 15.4 14.0 9.3 9.8 9.8 9.8
+180 +300 +300
+17 +17 +17
+0.3 +0.3 +0.3
+0.3 +0.3 +0.3
+200 +200 +200
+0 +9 +13
+1.7 +1.7 +1.7
+500
+17
+0.3
+0.4
+100
+6
+4.6
+550
+17
+0.3
+0.4
+100
+6
+4.6
Penggunaan AKG WNPG 2004 didasarkan pada tujuan penelitian, yaitu menganalisis kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi terkait dengan fortifikasi zat gizi mikro pada tepung terigu. AKG WNPG tahun 2012 merupakan penyempurnaan dari AKG tahun 2004, namun khusus kecukupan zat gizi mikro, terutama angka kecukupan besi, seng, vitamin B1, B2, dan asam folat yang merupakan fortifikan pada tepung terigu, baik pada AKG WNPG tahun 2004 maupun tahun 2012 tidak banyak perbedaan, sehingga penggunaan AKG WNPG tahun 2004 masih relevan untuk penelitian ini. Angka kecukupan gizi untuk masing-masing anggota rumah tangga khususnya untuk energi dan protein akan dihitung dengan faktor koreksi berat badan aktualnya. Selanjutnya akan dihitung rata-rata kecukupan gizi masingmasing rumah tangga contoh. Kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga merupakan angka perbandingan antara jumlah zat gizi yang diperoleh dari konsumsi terigu per kapita/hari masing-masing rumah tangga dengan rata-rata kecukupan zat gizi rumah tangga per kapita per hari. Kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga disajikan dalam satuan persen (%). Selain perhitungan kontribusi ini, juga dilakukan perhitungan jumlah zat gizi dari rata-
11
rata berat terigu hasil konversi pangan olahan terigu, dengan menggunakan asumsi terigu yang dikonsumsi rumah tangga adalah terigu yang sudah difortifikasi zat gizi mikro. Perhitungan kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan acuan normatif (berdasarkan perhitungan menggunakan DKBM, KZGPI Depkes 1990, dan kandungan fortifikan dalam terigu yang difortifikasi sesuai ketentuan dosis minimal fortifikan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1452/2003). Data yang dihasilkan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabulasi, dan dianalisis secara deskriptif serta dilakukan uji statistik untuk melihat hubungan antara beberapa variabel.
Definisi Operasional Rumah Tangga adalah kelompok dari individu, berdasarkan pada hubungan kekeluargaan yang hidup bersama dalam satu atap yang sama dan menggunakan sumber daya yang sama dalam pemenuhan kebutuhan kebutuhan pangannya, dimana proses penyediaan, pengolahan dan konsumsi pangan/makanan sehari-hari dilakukan secara bersama-sama, tidak terpisah. Rumah Tangga Miskin adalah adalah rumah tangga yang menurut kriteria Badan Pusat Statistik memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan, yang tercantum sebagai Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) Program Raskin (Beras untuk orang Miskin) serta Daftar Penerima Manfaat (DPM) Program Raskin tingkat kelurahan. Karakteristik demografi rumah tangga adalah karakteristik rumah tangga contoh yang meliputi jenis kelamin anggota rumah tangga (dibedakan lakilaki dan perempuan), umur anggota rumah tangga (dikelompokkan menjadi (a) < 5 tahun; (b) 5-12 tahun; (c) 13-18 tahun; (d) 19-54 tahun; dan (e) ≥ 55 tahun), umur kepala rumah tangga (dikelompokkan menjadi (a) remaja (<20 tahun); (b) dewasa awal (20-40 tahun); (c) dewasa tengah (41-65 tahun); dan (d) dewasa akhir (>65 tahun)), serta besar rumah tangga yaitu jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah dan hidup dari penghasilan yang sama (dikelompokkan menjadi: (a) keluarga kecil (≤4 orang); (b) keluarga sedang (5-6 orang); dan (c) keluarga besar (≥7 orang)) Karakteristik sosial rumah tangga adalah karakteristik rumah tangga contoh yang meliputi pendidikan terakhir anggota rumah tangga (dikelompokkan menjadi: (a) tidak/belum sekolah; (b) tidak tamat SD/ sederajat; (c) tamat SD/ sederajat; (d) tamat SMP/ sederajat; (e) tamat SMA/ sederajat; dan (f) tamat perguruan tinggi) serta pekerjaan yang dikelompokkan menjadi: (a) karyawan swasta; (b) buruh; (c) dagang; dan (d) lainnya. Konsumsi pangan sumber karbohidrat adalah jumlah semua pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi rumah tangga responden dalam satuan gram atau Ukuran Rumah Tangga (URT) yang akan dikonversi ke dalam satuan gram. Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat adalah susunan pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi rumah tangga contoh dalam sebulan terakhir
12
berdasarkan kuantitas gr/kap/hari paling tinggi dan batas kontribusi terhadap total energi minimal 5 persen yang dinilai dengan metode food frequency. Pangan Olahan Terigu adalah semua jenis pangan mengandung terigu yang terdapat dalam susunan daftar konsumsi pangan pada data Susenas yang meliputi mie basah, mie instan, makaroni, roti tawar, roti manis, kue kering/biskuit, kue basah, makanan gorengan, mie bakso, dan makanan ringan anak yang dikonsumsi anggota rumah tangga contoh. Angka Kecukupan Gizi Rumah Tangga rata-rata jumlah zat gizi harian (meliputi energi, protein, vitamin B1, vitamin B2, asam folat, zat besi, dan seng) yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan gizi anggota rumah tangga contoh sesuai kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologisnya, berdasarkan acuan Angka Kecukupan Gizi (AKG) hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2004. Kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga adalah perbandingan antara rata-rata jumlah zat gizi (energi, protein, zat besi, seng, vitamin B1, B2, dan asam folat) yang terkandung dalam terigu (hasil konversi pangan olahan terigu) yang dikonsumsi rumah tangga dalam satuan per kapita per hari dengan rata-rata kecukupan zat gizi per kapita per hari rumah tangga, yang dinyatakan dengan satuan persen (%).
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Administrasi Jakarta Pusat merupakan salah satu wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Wilayah ini terdiri dari 8 kecamatan, yaitu Sawah Besar, Kemayoran, Cempaka Putih, Senen, Gambir, Johar Baru, Menteng, dan Tanah Abang. Kotamadya Jakarta Pusat juga merupakan pusat pemerintahan, jalur protokol, perwakilan negara asing, kantor pemerintahan dan swasta, pusat perdagangan, serta bank pemerintah dan swasta. Luas wilayah dan jumlah penduduk menurut kecamatan di Jakarta Pusat disajikan pada tabel berikut ini : Tabel 5 Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk per kecamatan di Jakarta Pusat Kecamatan Tanah Abang Menteng Senen Johar Baru Cempaka Putih Kemayoran Sawah Besar Gambir Jakarta Pusat
Luas wilayah (km2) 9.31 6.53 4.22 2.38 4.69 7.25 6.16 7.59 48.13
Sumber : BPS Prov DKI Jakarta (2013)
Jumlah Penduduk (jiwa) 144 459 68 309 91 082 116 261 84 850 215 331 100 801 78 422 871 317
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 15 519.04 10 453.11 21 582.39 48 910.81 18 083.20 29 686.29 16 374.17 10 333.50 18 103.40
13
Sebagai wilayah perkotaan yang sekaligus merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian, Jakarta Pusat merupakan salah satu wilayah yang menjadi tujuan urbanisasi. Urbanisasi menyebabkan peningkatan pesat jumlah penduduk perkotaan seperti Jakarta Pusat. Pendatang berpenghasilan rendah yang mencari pekerjaan dan akses terhadap layanan yang lebih baik bermukim di lokasi yang murah, sehingga menyebabkan jumlah masyarakat miskin perkotaan seperti Jakarta Pusat semakin meningkat. Data BPS Provinsi DKI Jakarta yang bersumber dari data Susenas Tahun 2008-2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Jakarta Pusat cenderung meningkat. yaitu sebesar 31.0 ribu jiwa pada tahun 2008, 32.1 ribu jiwa pada tahun 2009, dan 35.7 ribu jiwa pada tahun 2010. Persentase Jumlah penduduk miskin di Jakarta Pusat lebih rendah (3.68% pada tahun 2009 dan 3.97% pada tahun 2010) dari pada persentase penduduk miskin Provinsi DKI Jakarta (3.80% pada tahun 2009 dan 4.04% pada tahun 2010), namun menduduki urutan ke tiga setelah Kabupaten Kepulauan seribu dan Kotamadya Jakarta Barat. Data RTS Kotamadya Jakarta Pusat untuk masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut : Tabel 6 Jumlah Rumah Tangga Sasaran per kecamatan Tahun 2010 Jumlah RTS Hampir Miskin Miskin Sangat Miskin Tanah Abang 1 547 734 521 Menteng 1 351 530 253 Senen 1 564 606 306 Johar Baru 3 422 905 707 Cempaka Putih 772 243 121 Kemayoran 2 364 1 164 623 Sawah Besar 2 398 617 413 Gambir 1 469 377 196 Jakarta Pusat 14 300 5 476 1 130 Sumber : PSE 2005, PPLS 2008 (BPS Prov. DKI Jakarta (2013)) Kecamatan
Total 2 802 2 134 2 576 4 034 1 136 4 361 3 471 2 042 23 106
Kelurahan Duri Pulo Kecamatan Gambir Kelurahan Duri Pulo mempunyai luas wilayah sebesar 0.70 km2, yang terbagi atas 12 RW dan 159 RT. Jumlah penduduk Kelurahan Duri Pulo adalah sebanyak 22 319 jiwa yang terdiri atas 5 521 KK. Jumlah penduduk laki-laki sedikit lebih besar daripada penduduk perempuan, masing-masing sebesar 50.86% dan 49.14%. Data tentang rumah tangga miskin di Kecamatan Gambir menunjukkan bahwa Kelurahan Duri Pulo mempunyai jumlah rumah tangga miskin paling besar dibandingkan kelurahan lain. Jumlah RTS-PM di Kelurahan Duri Pulo pada tahun 2013 adalah sebanyak 625 KK, dari 706 RTS. Jumlah RTSPM dan jumlah Raskin yang didistribusikan untuk masing-masing RW di Kelurahan Duri Pulo pada tahun 2013 disajikan pada tabel berikut ini :
14
Tabel 7 Jumlah RTS-PM dan Raskin di Kelurahan Duri Pulo Tahun 2013 RW 01 02 03 04 06 07 08 09 011 012 Total Sumber : Data Kelurahan Duri Pulo (2013)
Jumlah RTS-PM
Jumlah Raskin (Kg) 20 11 10 53 8 121 206 62 14 120 625
300 165 150 795 120 1 815 3 090 930 210 1 800 9 375
Kelurahan Petamburan Kecamatan Tanah Abang Kelurahan Petamburan mempunyai luas wilayah sebesar 90.10 Ha dan jumlah penduduk sebanyak 25 343 jiwa, yang terdiri dari 11 RW dan 119 RT. Penggunaan lahan di Kelurahan Petamburan sebagian besar sebagai pemukiman (65%), sedangkan sisanya sebesar 10% merupakan daerah perkantoran dan pertokoan serta 25% sebagai sarana Fasos (fasilitas sosial) dan Fasum (fasilitas umum). Kelurahan Petamburan terletak di ketinggian rata-rata 1 meter di atas permukaan air laut, sehingga merupakan daerah rawan banjir (±35% dari total wilayah). Penduduk Kelurahan Petamburan sebagian besar merupakan kelompok umur produktif 19-54 tahun (56.35%). Jumlah balita di Kelurahan Petamburan adalah sebanyak 2 001 jiwa atau sebesar 7.9%, sedangkan jumlah penduduk usia sekolah sebanyak 5 844 jiwa atau sebesar 23.1%. Jumlah penduduk perempuan (50.7%) sedikit lebih besar dari pada penduduk laki-laki (49.3%). Jumlah KK di Kelurahan Petamburan sebanyak 8 898 KK, dan sebagian besar (71.2%) kepala keluarganya adalah laki-laki. Sebagian besar penduduk Kelurahan Petamburan bekerja sebagai buruh (29.3%), pegawai swasta (27.7%) dan di bidang perdagangan (26.3%). Jumlah rumah tangga miskin yang tercantum dalam daftar RTS-PM Kelurahan Petamburan adalah sebanyak 856 KK dari jumlah seluruh RTS sebanyak 963 KK. Jumlah RTS-PM dan Raskin yang didistribusikan ke masingmasing RW di Kelurahan Petamburan pada tahun 2013 adalah sebagai berikut : Tabel 8 Jumlah RTS-PM dan Raskin Kelurahan Petamburan Tahun 2013 RW 01 02 03 04 05 06 07 08 09 011 Total
Sumber : Data Kelurahan Petamburan (2013)
RTS-PM
Jumlah Raskin (Kg) 115 72 180 113 113 52 43 80 78 11 856
1 725 1 080 2 700 1 695 1 695 780 645 1 200 1 170 165 12 840
15
Karakteristik Sosial Demografi Rumah Tangga Contoh Jumlah rumah tangga contoh secara keseluruhan adalah 102 rumah tangga, yang terdiri dari 46 rumah tangga berasal dari Kelurahan Duri Pulo Kecamatan Gambir dan 56 rumah tangga berasal dari Kelurahan Petamburan Kecamatan Tanah Abang. Jumlah anggota rumah tangga contoh keseluruhan adalah 584 orang, yang terdiri dari 258 orang dari Kelurahan Duri Pulo dan 326 dari Kelurahan Petamburan. Karakteristik rumah tangga contoh disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel 9 Karakteristik sosial demografi rumah tangga contoh No
Karakteristik n
1
2
3
4
5
Umur (tahun) a. Kepala keluarga 20-40 41-65 >65 Rata-Rata±SD b. ART lainnya <5 5-12 13-18 19-54 ≥55 Rata-rata±SD Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah ART ≤4 orang 5-6 orang ≥7 orang Rata-rata±SD Tingkat Pendidikan a. Kepala keluarga : Tidak sekolah Tidak tamat SD/Sederajat Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Tamat PT/sederajat b. ART lainnya : Tidak/belium sekolah Tidak tamat SD/Sederajat Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Tamat PT/sederajat Pekerjaan a. Kepala Keluarga Karyawan swasta Buruh Pedagang Lainnya Tidak Bekerja b. ART lainnya Karyawan swasta Buruh Pedagang Lainnya Tidak Bekerja
Duri Pulo %
n
Petamburan %
Total n
%
6 36 4
13.04 78.26 8.70 53.0±11.6
4 36 16
7.14 64.29 28.57 60.2±12.5
10 72 20
9.80 70.59 19.61 56.9±12.5
23 44 30 106 9
10.85 20.75 14.15 50.00 4.25 22.5±15.8
27 47 34 146 16
10.00 17.41 12.59 54.07 5.93 25.3±16.8
50 91 64 252 25
10.37 18.88 13.28 52.28 5.19 24.1±16.4
137 121
53.10 46.90
170 156
52.10 47.90
307 277
52.57 47.43
18 22 6
39.13 47.83 13.04 5.6± 2.4
16 29 11
28.57 51.79 19.64 5.9 ±2.4
34 51 17
33.33 50.00 16.67 5.8±2.4
0 5 16 17 8 0
0.00 10.87 34.78 36.96 17.39 0.00
4 17 16 6 12 1
7.1 30.4 28.6 10.7 21.4 1.8
4 22 32 23 20 1
3.92 21.57 31.37 22.55 19.61 0.98
29 42 47 39 54 1
11.24 18.22 24.42 21.71 24.03 0.39
39 52 59 44 72 4
13.19 21.17 23.01 15.34 25.77 1.53
68 94 106 83 126 5
14.11 19.50 21.99 17.22 26.14 1.04
6 14 5 7 14
13.04 30.43 10.87 15.22 30.43
3 15 13 2 23
5.36 26.79 23.21 3.57 41.07
9 29 18 9 37
8.82 28.43 17.65 8.82 36.28
32 16 17 6 141
15.09 7.55 8.02 2.83 66.51
33 41 20 7 169
12.22 15.19 7.41 2.59 62.59
65 57 37 13 310
13.49 11.82 7.68 2.70 64.31
16
Besar rumah tangga ditetapkan berdasarkan kategori besar rumah tangga menurut BKKBN (1998) menjadi tiga kategori yaitu kecil, sedang dan besar. Anggota rumah tangga dihitung berdasarkan fungsi pangannya, yaitu semua orang yang bertempat tinggal dalam satu lingkungan rumah dimana proses penyediaan, pengolahan dan konsumsi pangan/makanan sehari-hari dilakukan secara bersamasama, tidak terpisah. Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar (50%) rumah tangga contoh dari dua kelurahan mempunyai anggota rumah tangga 5-6 orang, sehingga termasuk dalam kategori sedang. Besar rumah tangga atau jumlah anggota rumah tangga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan keluarga, baik pola konsumsi maupun distribusi pangannya, sehingga mempengaruhi kecukupan gizinya (Djauhari & Friyanto dalam Cahyaningsih 2008). Kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada masing-masing orang per hari bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan keadaan fisiologis individu tersebut. Tabel 9 menyajikan data umur anggota rumah tangga contoh dari masing-masing kelurahan. Rata-rata umur anggota rumah tangga contoh di Kelurahan Duri Pulo sedikit lebih muda jika dibandingkan dengan rata-rata umur anggota rumah tangga di Kelurahan Petamburan. Sebagian besar (52.2%) anggota rumah tangga mempunyai umur yang termasuk dalam kategori usia produktif (1954 tahun), dengan rata-rata umur 24.1±16.4 tahun. Umur kepala rumah tangga digunakan untuk melihat distribusi umur dan produktivitas kerja dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Umur kepala keluarga pada rumah tangga contoh sebagian besar (70.59%) termasuk dalam kelompok umur dewasa tengah, dengan rata-rata umur 56.9±12.5 tahun. Rata-rata umur kepala keluarga pada rumah tangga contoh di Kelurahan Duri Pulo lebih muda dari pada umur kepala keluarga pada rumah tangga contoh di Kelurahan Petamburan. Investasi di bidang pendidikan merupakan salah satu peranan pemerintah dalam meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital) dan mendorong peningkatan produktivitas manusia yang sangat penting. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan melalui investasi di bidang pendidikan ditunjukkan dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat, sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas kerjanya (Kemensos 2012). Rumah tangga dengan anggota keluarga yang mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi cenderung memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang diperlihatkan dengan peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas rumah tangga miskin sering kali disebabkan oleh rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan. Rumah tangga contoh di dua lokasi penelitian menunjukkan profil yang sedikit berbeda dalam tingkat pendidikan anggota rumah tangganya. Di Kelurahan Duri Pulo, anggota rumah tangga contoh yang mempunyai tingkat pendidikan tamat SD/sederajat sebanding dengan anggota rumah tangga yang tamat SMA/sederajat, masing-masing sebesar 24.42% dan 24.03%, sementara di Kelurahan Petamburan anggota rumah tangga dengan tingkat pendidikan tamat SMA/sederajat sedikit lebih besar (25.77%) jika dibandingkan dengan anggota rumah tangga contoh yang tamat SD/sederajat (23.01%). Selain itu, anggota rumah tangga di Kelurahan Petamburan dengan tingkat pendidikan tamat PT/sederajat juga lebih besar (1.53%) jika dibandingkan dengan Kelurahan Duri Pulo (0.39%). Secara umum, sebagian besar anggota rumah tangga contoh berpendidikan tamat SMA/sederajat.
17
Tingkat pendidikan anggota rumah tangga terutama kepala keluarga atau ibu sangat mempengaruhi konsumsi pangan keluarga. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik, sehingga mempengaruhi ketepatan dalam pemilihan menu dan komposisi jenis makanan yang memenuhi kebutuhan dan kecukupan gizi. Tingkat pendidikan kepala keluarga pada rumah tangga contoh di dua kelurahan sedikit berbeda. Sebagian besar kepala keluarga rumah tangga contoh berpendidikan tamat SD/sederajat (31.37%), dengan sedikit perbedaan di kedua lokasi. Kepala keluarga pada rumah tangga contoh di Kelurahan Duri Pulo sebagian besar adalah tamat SMP/sederajat (36.96%) dan tamat SD/sederajat (34.78%), sedangkan di Kelurahan Petamburan sebagian besar kepala keluarga mempunyai tingkat pendidikan tidak tamat SD/sederajat (30.4%) dan tamat SD/sederajat (28.6%). Konsumsi pangan keluarga dan kecukupan gizinya selain dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, juga dipengaruhi oleh pekerjaan orang tua (kepala keluarga). Pekerjaan berhubungan dengan pendapatan keluarga, dimana semakin tinggi pendapatan keluarga akan semakin besar pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk memenuhi kecukupan gizi dalam keluarga (Sediaoetama 2000). Rumah tangga contoh di kedua lokasi penelitian mempunyai karakteristik yang hampir sama dalam hal jenis pekerjaan. Sebagian besar kepala keluarga rumah tangga contoh tidak bekerja (36.28%), namun terdapat sedikit perbedaan di kedua lokasi. Kepala keluarga yang tidak bekerja di Kelurahan Duri Pulo sebanding dengan yang bekerja sebagai buruh, yaitu 30.43%, sedangkan di Kelurahan Petamburan sebagian besar (41.07%) kepala keluarganya tidak bekerja, dan yang bekerja sebagai buruh sebesar 26.79%. Sebagian besar rumah tangga yang kepala keluarganya tidak bekerja, pendapatan yang dipergunakan untuk konsumsi pangannya berasal dari anggota rumah tangga lain yang bekerja. Tabel 9 menunjukkan bahwa sebanyak 33.49% dari anggota rumah tangga contoh di Kelurahan Duri Pulo mempunyai pekerjaan, sedangkan di Kelurahan Petamburan jumlah anggota rumah tangga yang bekerja sedikit lebih besar yaitu 37.41%. Sebagian besar anggota rumah tangga contoh di Kelurahan Duri Pulo bekerja sebagai karyawan swasta (15.09%), sedangkan di Kelurahan Petamburan sebagian besar bekerja sebagai buruh (15.19%). Beberapa studi menunjukkan faktor sosial ekonomi dan demografi seperti tingkat pendidikan ibu dan kepala keluarga, pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga dan umur kepala keluarga berhubungan dengan masalah gizi terutama status gizi balitanya (Marut 2007, Saputra dan Nurrizka 2012, Ulfani et al. 2011). Studi lain menunjukkan bahwa faktor sosial demografi seperti status kemiskinan dan jumlah keluarga mempengaruhi pola konsumsi dan permintaan pangan pokok terigu dan olahannya (Pusposari 2012).
Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat Rumah Tangga Contoh Konsumsi pangan sumber karbohidrat pada rumah tangga contoh dalam penelitian ini dinilai melalui metode frekuensi pangan (food frequency). Metode ini berguna untuk mengetahui pola konsumsi pangan sumber karbohidrat rumah tangga contoh. Pangan sumber karbohidrat dalam penelitian ini dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok serealia non terigu (terdiri dari beras
18
dan olahannya, beras ketan dan olahannya, jagung dan olahannya, serta sagu dan olahannya), kelompok umbi-umbian (terdiri dari singkong dan olahannya, ubi jalar dan olahannya, kentang dan olahannya, talas dan olahannya, serta umbi lainnya), dan kelompok pangan olahan terigu. Pangan olahan terigu dikelompokkan tersendiri untuk mendapatkan data yang lebih spesifik tentang jenis pangan olahan terigu yang dikonsumsi rumah tangga contoh. Data tersebut digunakan sebagai data pembanding pada saat melakukan „recall‟ konsumsi pangan olahan terigu. Jenis pangan sumber karbohidrat, frekuensi dan jumlah yang dikonsumsi rumah tangga contoh disajikan pada tabel berikut ini : Tabel 10 Konsumsi pangan sumber karbohidrat rumah tangga contoh Jenis Pangan Beras Nasi uduk/goreng/kuning Bubur nasi Ketupat/lontong Beras ketan Tape ketan Beras ketan hitam Tape ketan hitam Jagung segar Jagung masak Singkong/olahannya Tape singkong Ubi jalar/ olahannya Kentang/olahannya Talas/olahannya Sagu/olahannya Pangan Olahan Terigu : Mie Basah Mie Instan Makaroni Roti Tawar Roti Manis Kue kering/biskuit Kue basah Makanan gorengan Mie bakso Makanan ringan anak Lainnya
Frekuensi (kali/bulan) Rata-rata±SD 70.9±14.5 10.7±8.3 4.9±7.7 6.4±6.3 2.4±6.2 0.1±0.8 0.3±3,.0 0.0±0.4 0.4±1.2 1.6±3.2 3.2±4.3 0.2±1.2 3.3±5.5 2.1±5.9 0.3±1.7 0.6±2.6
g/kap/hr Rata-rata±SD 177.1±71.1 17.8±17.8 9.5±14.5 16.6±22.1 1.4±5.8 0.0±0.1 0.1±0.8 0.7±2.9 4.7±12.3 5.3±11.6 4.2±10.1 2.1±5.6 3.2±8.2 4.6±14.4 0.3±1.9 0.2±0.9
Berat pangan Kg/kap/bln Rata-rata±SD 5.3±2.1 0.5±0.5 0.3±0.4 0.5±0.7 0.0±0.2 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.1 0.1±0.4 0.2±0.3 0.1±0.3 0.1±0.2 0.1±0.2 0.1±0.4 0.0±0.1 0.0±0.0
Kg/kap/th Rata-rata±SD 64.8±26.0 6.4±6.4 3.4±5.2 6.0±7.9 0.5±2.1 0.0±0.0 0.0±0.3 0.2±1.0 1.7±4.4 1.9±4.2 1.5±3.6 0.8±2.0 1.1±2.9 1.7±5.2 0.1±0.7 0.1±0.3
2.8±3.9 14.9±9.7 0.9±3.0 1.6±2.6 12.2±11.7 15.4±16.7 2.4±6.4 16.7±9.8 7.1±8.7 14.2±19.9 9.9±15.2
6.3±9.2 16.3±12.7 0.6±2.6 3.3±5.3 8.5±11.3 6.2±18.8 1.5±5.5 12.9±13.5 19.4±24.4 2.7±4.0 5.0±7.7
0.2±0.3 0.5±0.4 0.0±0.1 0.1±0.2 0.3±0.3 1.3±0.6 0.0±0.2 0.4±0.4 0.6±0.7 0.1±0.1 0.1±0.2
2.3±3.3 5.9±4.6 0.2±0.9 1.2±1.9 3.0±4.1 2.2±6.8 0.6±2.0 4.6±4.9 7.0±8.8 1.0±1.4 1.8±2.8
Tabel 10 menyajikan data frekuensi jenis pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi oleh rumah tangga contoh dalam satu bulan terakhir. Jenis pangan yang paling sering dikonsumsi adalah beras (yang diolah menjadi nasi), dengan frekuensi lebih dari sekali dalam sehari (rata-rata 2.4±0.5). Selain beras, jenis pangan yang dikonsumsi paling sering adalah nasi uduk, dengan rata-rata frekuensi 10.7±8.3 kali dalam sebulan. Nasi uduk biasa dikonsumsi sebagai sarapan/makan pagi oleh sebagian besar rumah tangga contoh selain bubur dan ketupat atau lontong sayur. Kelompok serealia lainnya seperti jagung dan beras
19
ketan masih rendah konsumsinya, dan biasanya dikonsumsi sebagai makanan selingan. Tabel 10 juga menyajikan berat pangan yang dikonsumsi rumah tangga contoh dalam sebulan terakhir. Rumah tangga contoh mengkonsumsi beras sebesar 177.1±71.1 gram per kapita per hari. Angka konsumsi tersebut belum termasuk konsumsi pangan olahan beras seperti nasi uduk/goreng/kuning, bubur nasi dan ketupat/lontong sebagai makanan pokok maupun jenis beras lainnya (beras ketan) yang umumnya dikonsumsi sebagai makanan selingan. Data Susenas pada tahun 2005-2009 menunjukkan bahwa konsumsi beras di perkotaan umumnya lebih rendah daripada di pedesaan. Data Statistik Konsumsi 2012 (Kementan 2012) menyebutkan bahwa konsumsi beras di DKI Jakarta pada tahun 2011 adalah sebesar 96.71 kg/kap/th atau sama dengan 264.9 gr/kap/hr. Rata-rata konsumsi beras dan beberapa pangan olahan beras pada rumah tangga contoh adalah sebesar 198.1 g/kap/hr, setara dengan 5.9 kg/kap/bln, setara dengan 72.3 kg/kap/th. Jumlah konsumsi beras pada rumah tangga contoh lebih kecil daripada angka konsumsi beras di DKI Jakarta. Hal ini kemungkinan disebabkan karena konsumsi beras yang dihitung adalah konsumsi beras dalam rumah tangga, sedangkan konsumsi di luar rumah tangga (jika anggota rumah tangga bekerja atau tidak berada di rumah) tidak diperhitungkan. Kelompok pangan olahan terigu yang paling sering dikonsumsi adalah makanan gorengan, kue kering/biskuit dan mie instan. Rata-rata konsumsi makanan gorengan adalah sebanyak 16.7±9.8 kali dalam sebulan, yang artinya setiap dua hari sekali rumah tangga contoh mengkonsumsi makanan gorengan. Konsumsi kue kering/biskuit dan mie instan hampir sama dengan makanan gorengan. Rata-rata frekuensi konsumsi kue kering/biskuit pada rumah tangga contoh adalah sebanyak 15.4±16.7 kali dalam sebulan, artinya sekitar dua hari sekali dikonsumsi oleh sebagian besar rumah tangga contoh, umumnya sebagai makanan selingan. Hal ini didukung oleh kondisi lingkungan sekitar rumah, di mana warung-warung yang menjual makanan ringan menyediakan berbagai jenis biskuit dalam kemasan kecil dan harga yang terjangkau oleh sebagian besar anggota rumah tangga contoh, baik anak-anak maupun orang dewasa lainnya. Mie instan merupakan kelompok pangan olahan terigu ketiga yang paling sering dikonsumsi. Rata-rata rumah tangga contoh mengonsumsi mie instan sebanyak 14.9±9.7 kali dalam sebulan, artinya hampir setiap dua hari sekali bahkan pada beberapa rumah tangga contoh dikonsumsi setiap hari sebagai makanan pokok pengganti nasi atau sebagai pendamping nasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Sandjaja dkk. (2010) yang menyatakan bahwa rata-rata frekuensi konsumsi mie instan pada rumah tangga miskin dan hampir miskin di Jakarta Utara adalah 14.3±9.8 dan 12.9±9.7 kali dalam sebulan. Saat ini hampir tidak ada rumah tangga yang tidak mengkonsumsi mie instan, termasuk rumah tangga dengan pendapatan terbatas, mengingat harga mie instan relatif murah. Persentase rumah tangga menurut jenis pangan olahan terigu yang dikonsumsi dapat dilihat pada gambar berikut ini :
20
Lainnya Makanan ringan anak Mie Bakso Makanan gorengan Kue Basah Kue kering/Biskuit Roti Manis Roti Tawar Makaroni Mie Instan Mie Basah
56,9 51 77,1 93,1 15,7 79,4 75,7 42,2 10,8 99 58,8 0
20
40
60
80
100
120
Gambar 2 Persentase rumah tangga menurut jenis pangan olahan terigu yang dikonsumsi
Berdasarkan Gambar 2 di atas, hampir semua rumah tangga mengonsumsi mie instan dalam satu bulan terakhir, dan hanya 1% yang tidak pernah mengonsumsinya dalam satu bulan terakhir. Studi yang lain menunjukkan bahwa tingkat partisipasi konsumsi (persentase rumah tangga yang mengkonsumsi) pangan olahan terigu tertinggi di perkotaan adalah mie instan (65.81%) (Mauludyani et al. 2010). Gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi konsumsi mie instan pada rumah tangga contoh lebih besar dari pada hasil studi tersebut. Pangan olahan terigu lain yang dikonsumsi sebagian besar rumah tangga adalah makanan gorengan, kue kering/biskuit, mie bakso dan roti manis. Jumlah rumah tangga yang mengonsumsi jenis pangan olahan terigu lain seperti mie basah dan makanan ringan anak lebih dari 50%, sedangkan kue basah dan makaroni hanya dikonsumsi kurang dari 20% rumah tangga contoh. Hal ini sejalan dengan penelitian Hardinsyah dan Amalia (2007) yang menyatakan bahwa makaroni merupakan jenis pangan olahan terigu yang paling sedikit dikonsumsi penduduk Indonesia. Pangan olahan terigu yang paling banyak dikonsumsi oleh rumah tangga contoh berdasarkan berat pangannya adalah mie bakso, mie instan dan makanan gorengan. Meskipun secara kualitas frekuensi mie bakso lebih jarang dikonsumsi daripada jenis kue kering/biskuit, tetapi jumlah yang relatif besar dalam setiap konsumsinya menyebabkan kuantitas konsumsi jenis pangan ini lebih besar. Konsumsi pangan sumber karbohidrat selain beras dan pangan olahan terigu pada rumah tangga contoh seperti kelompok umbi-umbian masih rendah, baik dari segi kualitas (frekuensi) maupun kuantitas (jumlah) konsumsinya. Rata-rata konsumsi ubi jalar dan singkong adalah 3.3±5.5 kali/bulan untuk ubi jalar dan 3.2±4.3 kali/bulan untuk singkong. Hal ini berarti rumah tangga contoh mengonsumsi ubi jalar dan singkong kurang dari sekali dalam seminggu. Kelompok umbi-umbian ini umumnya dikonsumsi sebagai makanan selingan. Rata-rata konsumsi singkong pada rumah tangga contoh sebesar 4.2±10.1 gram/kap/hari masih lebih kecil daripada angka konsumsi singkong nasional yaitu sebesar 5.79 kg/kap/tahun atau sama dengan 15.9 gram/kap/hari. Konsumsi ubi jalar pada rumah tangga contoh sebesar 3.2±8.2 gram/kap/hari juga lebih kecil daripada angka konsumsi nasional pada tahun 2011 yaitu sebesar 2 686
21
gr/kap/tahun atau 7.36 gram/kap/hari. Konsumsi kelompok umbi-umbian pada rumah tangga contoh yang lebih kecil dari angka konsumsi nasional disebabkan karena kelompok umbi-umbian dikonsumsi rumah tangga contoh sebagai makanan selingan, bukan sebagai pangan pokok.
Konsumsi Pangan Olahan Terigu Terigu dan pangan olahannya sudah lama menjadi bagian dalam pola konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia. Perkembangan konsumsi terigu dan pangan olahannya di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat. Rata-rata laju pertumbuhan konsumsi terigu nasional adalah sebesar 6.86% per tahun (Ariani 2010a). Konsumsi pangan olahan terigu rumah tangga contoh dalam penelitian ini dinilai melalui metode food recall selama 2x24 jam. Jenis dan jumlah pangan olahan terigu yang dikonsumsi oleh rumah tangga contoh disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel 11 Konsumsi pangan olahan terigu rumah tangga contoh Jenis pangan Terigu Mie basah Mie instan Makaroni Roti tawar Roti manis Kue kering/biskuit Kue basah Makanan gorengan Mie bakso Makanan ringan anak Lainnya
Rata-rata berat pangan gram/RT/hari gram/kapita/hari 7.06 1.60 29.98 6.30 81.42 15.92 0.22 0.04 7.18 1.19 47.28 9.44 13.98 2.68 12.23 3.28 112.84 23.82 54.17 11.83 8.15 1.60 19.87 3.64
Jenis pangan olahan terigu yang paling tinggi konsumsinya oleh rumah tangga contoh adalah makanan gorengan dan mie instan. Selain makanan gorengan dan mie instan, mie bakso dan roti manis juga menjadi jenis pangan olahan terigu yang tinggi konsumsinya. Jenis pangan olahan terigu yang paling rendah konsumsinya adalah makaroni. Hasil penelitian Hardinsyah dan Amalia (2007) yang menganalisis data Susenas 1993-2005 menunjukkan bahwa pangan olahan terigu yang paling tinggi konsumsinya pada 2005 adalah mie instan (10.7 g/kap/hr) dan makanan gorengan (10.6 g/kap/hr), sedangkan yang terendah adalah makaroni (0.2 g/kap/hr), dengan laju pertumbuhan yang bervariasi. Konsumsi pangan olahan terigu pada rumah tangga contoh sedikit berbeda dengan hasil penelitian tersebut, dimana konsumsi makanan gorengan lebih besar dari pada mie instan, namun sama dalam jenis pangan olahan terigu yang terendah konsumsinya yaitu makaroni. Berdasarkan berat pangannya, konsumsi pangan olahan terigu rumah tangga contoh relatif lebih besar. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan peningkatan konsumsi terigu dan olahannya secara umum, dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 6.86%/tahun (Ariani 2010b).
22
Studi lain terhadap rumah tangga miskin dan hampir miskin di Jakarta Utara oleh Sandjaja dkk. (2010) menunjukkan bahwa jenis olahan terigu yang paling tinggi konsumsinya adalah makanan gorengan (17.6 g/kap/hr dan 14.3 g/kap/hr), biskuit/krakers (17.0 g/kap/hr dan 12.8 g/kap/hr) dan mie instan (14.3 g/kap/hr dan 12.9 g/kap/hr). Hasil studi tersebut hampir sama dengan konsumsi pangan olahan terigu rumah tangga contoh, dengan sedikit perbedaan pada konsumsi biskuit/krakers yang pada rumah tangga contoh konsumsinya sedikit lebih rendah (13.98 g/kap/hr). Pangan sumber karbohidrat merupakan kelompok pangan yang paling tinggi sumbangan energinya terhadap total energi. Pada rumah tangga dengan pendapatan dan daya beli terbatas, umumnya lebih memprioritaskan pada kebutuhan pangan pokok yaitu sumber karbohidrat seperti beras. Adanya pergeseran pola konsumsi pangan pokok dari pola pangan pokok tunggal „beras‟ ke arah pangan pokok yang lebih beragam, merupakan kecenderungan yang positif pada pola konsumsi pangan penduduk Indonesia. Pola pangan yang beragam akan menjamin semakin tingginya kualitas konsumsi pangan penduduk. Pergeseran pola pangan pokok dari beras, jagung dan umbi-umbian menjadi beras dan terigu menyebabkan terigu dan hasil olahannya memberikan sumbangan energi secara signifikan di samping beras sebagai penyumbang energi terbesar dalam pola konsumsi pangan pokok di Indonesia (DKP 2008). Sumbangan energi terigu dihitung dari berat terigu yang dikonsumsi rumah tangga dalam bentuk terigu dan pangan olahan terigu. Berat terigu adalah jumlah seluruh terigu dalam satuan gram setelah masing-masing pangan olahan terigu dikonversi ke dalam satuan gram terigu. Jumlah energi dalam setiap 100 gram terigu berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) adalah 365 kkal, sehingga dapat dihitung sumbangan energi dari masing-masing jenis pangan olahan terigu yang dikonsumsi rumah tangga contoh. Tabel berikut ini menyajikan sumbangan energi dari masing-masing jenis pangan olahan terigu yang dikonsumsi rumah tangga contoh : Tabel 12 Sumbangan energi pangan olahan terigu rumah tangga contoh Jenis Pangan Terigu Mie basah Mie instan Makaroni Roti tawar Roti manis Kue kering/biskuit Kue basah Makanan gorengan Mie bakso Makanan ringan anak Lainnya Total
Rata-rata berat pangan (gram/kapita/hari) 1.60 6.30 15.92 0.04 1.19 9.44 2.68 3.28 23.82 11.83 1.60 3.64 81.35
Rata-rata berat terigu hasil konversi (gram/kapita/hari) 1.60 2.08 14.65 0.04 0.81 6.42 2.68 1.54 5.96 3.90 1.48 1.20 42.35
Rata-rata sumbangan energi (kkal/kapita/hari) kkal % 5.9 3.8 7.6 4.9 53.5 34.6 0.1 0.1 2.9 1.9 23.4 15.2 9.8 6.3 5.6 3.6 21.7 14.1 14.2 9.2 5.4 3.5 4.4 2.8 154.6 100.0
Tabel 12 menunjukkan bahwa jenis pangan yang paling tinggi konsumsi rata-ratanya adalah makanan gorengan, mie instan dan mie bakso. Sumbangan energi dari masing-masing jenis pangan diperoleh dari berat terigu hasil konversi. Rata-rata berat terigu tertinggi berasal dari konsumsi mie instan, roti manis dan
23
makanan gorengan, sehingga ketiga jenis pangan olahan terigu inilah yang memberikan sumbangan energi paling tinggi. Mie instan memberikan sumbangan energi lebih dari sepertiga (34.6%) total energi pangan olahan terigu. Di wilayah perkotaan, selain mudah diperoleh, mie instan merupakan jenis pangan yang praktis, rasanya yang enak dan harga yang terjangkau oleh rumah tangga dengan daya beli terbatas seperti rumah tangga contoh, jika dibandingkan dengan pangan olahan terigu berbentuk mie lainnya seperti mie basah/ayam dan mie bakso yang umumnya harus dibeli dengan harga yang relatif lebih mahal. Konsumsi roti manis dan makanan gorengan pada rumah tangga contoh juga memberikan sumbangan energi yang cukup besar yaitu 15.2% dan 14.1%. Jika dihubungkan dengan rata-rata frekuensi konsumsi dari ketiga jenis pangan pada rumah tangga contoh dan rata-rata berat pangan yang dikonsumsi, maka mie instan merupakan jenis pangan olahan terigu yang memiliki potensi paling besar memberikan sumbangan energi dalam konsumsi harian rumah tangga contoh. Tabel 12 juga menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi terigu rumah tangga contoh adalah 42.35gram per kapita per hari. Data Susenas 2002, 2005 dan 2008 menunjukkan bahwa konsumsi terigu nasional pada tahun tersebut berturut-turut sebesar 8.5, 8.4, dan 11.2 kg/kap/tahun, atau setara dengan 23.29, 23.01, dan 30.68 gram/kap/hari (Ariani 2010b). Tingkat konsumsi terigu rumah tangga contoh relatif lebih besar dari pada konsumsi nasional, hal ini sesuai dengan hasil studi Mauludyani (2008) yang menyatakan bahwa konsumsi pangan olahan terigu, terutama mie instan dan mie basah di perkotaan lebih tinggi daripada konsumsi nasional. Studi pada rumah tangga miskin dan hampir miskin di Jakarta Utara (Sandjaja dkk. 2010) menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi terigu rumah tangga secara agregat adalah 62.0±50.4 gram/kap/hari, lebih besar dari pada konsumsi terigu per kapita rumah tangga contoh pada penelitian ini. Pada studi tersebut konsumsi pangan olahan terigu dinilai melalui metode food recall 1x24 jam secara individual untuk masing-masing anggota rumah tangga. Konsumsi pangan rumah tangga dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga, di samping faktor-faktor lain seperti ketersediaan pangan wilayah, dan faktor sosial budaya. Karakteristik rumah tangga yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan rumah tangga antara lain besar rumah tangga.Besar rumah tangga yang diidentifikasi dengan jumlah anggota rumah tangga mempengaruhi konsumsi rumah tangga terkait dengan distribusi pangannya. Pada rumah tangga miskin, yang cenderung mempunyai jumlah anggota rumah tangga relatif lebih besar, umumnya lebih memprioritaskan jumlah (kuantitas) pangan dibandingkan mutu (kualitas) pangannya. Tabel berikut ini menyajikan distribusi frekuensi konsumsi rumah tangga contoh berdasarkan jumlah anggota rumah tangganya : Tabel 13 Hubungan besar rumah tangga dengan konsumsi terigu Kategori Besar rumah tangga Kecil Sedang Besar Total
Konsumsi terigu per kapita rumah tangga (gram/hari) <15.0 15.0 – 75.0 >75.0 n % n % n % 2 14.3 20 27.8 12 75.0 3 21.4 30 41.7 3 18.8 9 64.3 22 30.5 1 6.2 14 100.0 72 100.0 16 100.0
24
Tabel 13 menunjukkan bahwa semakin besar rumah tangga (semakin banyak jumlah anggota rumah tangga), makin kecil konsumsi terigu per kapitanya. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara besar rumah tangga dengan konsumsi terigu per kapita rumah tangga (r=0.434, p=0.000). Studi tentang pola permintaan pangan pokok di Maluku menunjukkan bahwa pola konsumsi terigu dan olahannya dipengaruhi oleh variabel sosial demografi yaitu jumlah anggota keluarga dan status miskin (Pusposari 2012). Faktor lain yang menentukan pola konsumsi pangan keluarga adalah latar belakang pendidikan dan pengetahuan kepala keluarga maupun ibu. Djauhari & Friyanto dalam Cahyaningsih (2008) menyatakan bahwa dalam pemilihan menu makanan yang memenuhi kebutuhan dan kecukupan gizi serta pemilihan komposisi jenis makanan yang tepat, diperlukan tingkat pengetahuan yang relatif tinggi, terutama tingkat pengetahuan kepala keluarga dan istri yang berperan sangat penting dalam menentukan keputusan konsumsi rumah tangga. Tabel berikut ini menyajikan distribusi frekuensi konsumsi terigu rumah tangga menurut tingkat pendidikan kepala keluarganya : Tabel 14 Hubungan pendidikan kepala rumah tangga dengan konsumsi terigu Tingkat pendidikan kepala keluarga Tidak sekolah Tidak tamat SD/sederajat Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Tamat PT/sederajat Total
Konsumsi terigu per kapita rumah tangga (gram/hari) <15.0 15.0 – 75.0 >75.0 n % n % n % 0 0.0 2 2.8 2 12.5 5 35.7 17 23.6 0 0.0 5 35.7 25 34.7 2 12.5 2 14.3 12 16.7 9 56.2 2 14.3 15 20.8 3 18.8 0 0.0 1 1.4 0 0.0 14 100.0 72 100.0 16 100.0
Tabel 14 menunjukkan bahwa konsumsi terigu per kapita tidak berhubungan dengan pendidikan kepala rumah tangga. Rumah tangga dengan konsumsi terigu per kapita sebesar <15.0 gram per hari dan 15.0-75.0 gram per hari , sebagian besar kepala keluarganya mempunyai pendidikan tamat SD/sederajat, sedangkan pada rumah tangga yang konsumsi terigu per kapitanya >75.0 gram per hari sebagian besar (56.2%) kepala keluarganya berpendidikan tamat SMP/sederajat. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara tingkat pendidikan kepala keluarga dengan konsumsi terigu rumah tangga contoh (r=0.134, p=0.180). Pekerjaan kepala rumah tangga berkaitan dengan pendapatan rumah tangga, dimana semakin tinggi pendapatan keluarga akan semakin besar pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk memenuhi kecukupan gizi dalam keluarga (Sediaoetama, 2000). Distribusi frekuensi konsumsi terigu rumah tangga contoh menurut pekerjaan kepala keluarganya disajikan pada tabel berikut ini :
25
Tabel 15 Hubungan pekerjaan kepala keluarga dengan konsumsi terigu Pekerjaan kepala keluarga Tidak bekerja Karyawan swasta Buruh Pedagang Lainnya Total
Konsumsi terigu per kapita rumah tangga (gram/hari) <15.0 15.0 – 75.0 >75.0 n % n % n % 6 42.8 28 38.9 3 18.7 1 7.2 6 8.3 2 12.6 3 21.4 20 27.8 6 37.4 3 21.4 12 16.7 3 18.7 1 7.2 6 8.3 2 12.6 14 100.0 72 100.0 16 100.0
Tabel 15 menunjukkan bahwa pada rumah tangga dengan konsumsi terigu per kapita sebesar <15.0 gram per hari maupun 15.0-75.0 gram per hari sebagian besar kepala keluarganya tidak bekerja, sedangkan pada rumah tangga yang konsumsi terigu per kapitanya lebih besar yaitu >75.0 gram per hari, sebagian besar kepala keluarganya bekerja sebagai buruh. Uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan kepala keluarga dengan konsumsi terigu per kapita rumah tangga contoh (r=0.090, p=0.367).
Kontribusi Terigu terhadap Kecukupan Gizi Rumah Tangga Contoh Penelitian ini menggunakan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang ditetapkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi IX Tahun 2004. Rata-rata AKG untuk masing-masing rumah tangga contoh digunakan untuk menentukan kontribusi terigu rumah tangga contoh. Kontribusi terigu dihitung dari jumlah zat gizi dari rata-rata konsumsi terigu rumah tangga dengan rata-rata kecukupan gizi per kapita rumah tangga. Tabel berikut ini menyajikan kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga contoh yang meliputi energi, protein, zat besi, seng , vitamin B1, B2, dan asam folat : Tabel 16 Kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga contoh
Zat Gizi Energi (kkal) Protein (gram) Zat Besi (mg) Seng (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Asam folat (µg)
Kandungan zat gizi alami dari ratarata konsumsi terigu (kap/hari) 2081.0 154.60* 54.3 3.77* 15.5 0,51* 11.6 0,34* 1.0 0,04* 1.1 0,03** 360.0 3,85**
Rata-rata AKG rumah tangga (kap/hari)
*Daftar Komposisi Bahan Makanan **Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia, Depkes 1990 (Almatsier 2009)
Kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi (%) 7.7 7.2 3.4 2.9 4.1 2.7 1.1
26
Tabel 16 menunjukkan bahwa kontribusi energi dan protein dari konsumsi terigu rumah tangga contoh adalah sebesar 7.7% dan 7.2%. Hal ini menunjukkan bahwa terigu dan pangan olahannya sudah menjadi bagian dalam pola konsumsi pangan rumah tangga miskin di lokasi penelitian. Kontribusi terigugu terhadap kecukupan zat gizi mikro masih rendah (<5%), di mana kontribusi tertinggi adalah terhadap kecukupan vitamin B1 dan zat besi. Fortifikasi zat gizi mikro pada tepung terigu juga merupakan upaya global dari berbagai negara di dunia, karena sebagai bahan pangan pokok bagi sebagian besar negara, terigu dan pangan olahannya merupakan salah satu jenis pangan yang memberikan asupan gizi cukup besar. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1452 Tahun 2003 menegaskan bahwa tepung terigu yang diproduksi, diimpor dan diedarkan di Indonesia dalam kemasan kurang dari 500 kg atau 500 liter, wajib didaftarkan dan harus ditambahkan fortifikan dengan dosis yang ditentukan sebagai berikut : Tabel 17 Kandungan zat gizi mikro dalam fortifikasi tepung terigu Zat Gizi Mikro
Dosis (ppm)
Zat Besi Seng Vitamin B1 (Thiamin) Vitamin B2 (Riboflavin) Asam Folat
Minimal 50 Minimal 30 Minimal 2.5 Minimal 4 Minimal 2
Data APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) pada tahun 2012 menyebutkan bahwa di Indonesia ada 21 pabrik penggilingan gandum di Indonesia yang memproduksi tepung terigu, dengan kapasitas 8.2 juta MT/tahun. Sebagian besar dari produksi tepung terigu nasional yaitu sebanyak 92% dikonsumsi dalam negeri dan sisanya diekspor. Kebijakan fortifikasi wajib pada tepung terigu sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1452/2003 dan pemberlakuan kembali Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk tepung terigu yaitu SNI 3751:2009 dapat dijadikan landasan bahwa semua tepung terigu yang dikonsumsi masyarakat Indonesia di tingkat rumah tangga adalah tepung terigu yang sudah memenuhi standar yang ditetapkan (mengandung fortifikan yang ditetapkan dalam SNI untuk tepung terigu). Berdasarkan asumsi tersebut, maka kandungan zat gizi mikro yang dikonsumsi rumah tangga contoh dari rata-rata berat terigu per kapita sebesar 42.35 gram mengalami peningkatan, sebagaimana tabel berikut ini : Tabel 18 Kandungan gizi terigu alami dan dengan fortifikasi Zat Gizi Mikro Zat Besi (mg) Seng (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Asam Folat (µg)
Kandungan gizi terigu alami 0,51 0,34 0,04 0,03 3,85
Kandungan gizi terigu dengan fortifikasi 2,63 1,61 0,15 0,2 88,56
27
Tabel 18 menunjukkan peningkatan kandungan gizi terigu dan pangan olahannya yang dikonsumsi rumah tangga contoh dengan fortifikasi zat gizi mikro. Fortifikasi meningkatkan kandungan zat besi hampir lima kali lipat daripada terigu tanpa fortifikasi. Zat besi merupakan mineral mikro esensial dan memegang peranan penting dalam berbagai proses metabolisme. Zat besi mempunyai fungsi esensial sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh , alat angkut elektron di dalam sel, dan terlibat dalam berbagai reaksi enzim. Zat besi juga merupakan bagian dari hemoglobin dan mioglobin. Peranan zat besi berhubungan dengan metabolisme energi, fungsi otak (terutama fungsi sistem neurotransmitter) dan sistem kekebalan. Defisiensi zat besi sering dijumpai pada kelompok rawan seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pada masyarakat berpenghasilan rendah. Defisiensi dapat terjadi karena kurang konsumsi sumber zat besi, terutama zat besi dari pangan hewani yang mempunyai tingkat absorpsi lebih baik dari pada sumber nabati. Sebagian besar anemia gizi di Indonesia disebabkan defisiensi zat besi sehingga sering disebut anemia gizi besi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anemia gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, mempengaruhi produktivitas, kebugaran dan kekebalan tubuh, berhubungan dengan daya ingat serta kemampuan belajar. Anemia gizi juga berhubungan dengan tingginya angka kematian ibu dan anak balita (WHO, FAO 2006) Seng merupakan mineral yang berperan sebagai bagian dari enzim atau koenzim dalam berbagai proses metabolisme, seperti sintesis dan degradasi karbohidrat, protein lemak dan asam nukleat. Seng juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh, penyembuhan luka, sebagai antioksidan, pembentukan struktur dan fungsi membran, serta pengembangan fungsi reproduksi laki-laki. Seng banyak terdapat dalam sumber protein hewani seperti daging, hati, kerang, dan telur. Kandungan seng pada serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga cukup tinggi, namun bioavailabilitasnya rendah. Pada masyarakat berpendapatan rendah, konsumsi protein hewani yang rendah berpotensi menyebabkan defisiensi seng. Selain itu, konsumsi serealia dan kacang-kacangan yang tinggi serat dan fitat dapat menghambat absorpsi seng. Fortifikasi pada tepung terigu meningkatkan kandungan seng, sehingga dapat mencegah dan menanggulangi defisiensi seng terutama pada golongan rawan seperti anak-anak, ibu hamil dan menyusui. Fortifikasi meningkatkan kandungan vitamin B1 hampir tiga kali lipat dibanding tanpa fortifikasi, sedangkan kandungan vitamin B2 meningkat lebih dari lima kali lipat. Vitamin B1 dan vitamin B2 merupakan jenis vitamin larut air sehingga proses pengolahan makanan dapat mempengaruhi kadar kedua vitamin tersebut. Vitamin B1, atau sering disebut tiamin, merupakan zat gizi mikro esensial yang banyak terdapat pada serealia tumbuk atau setengah giling. Selain itu tiamin juga banyak terdapat pada kacang-kacangan, jerohan, daging tanpa lemak, kuning telur, ikan dan unggas (Almatsier 2009). Tiamin merupakan kofaktor beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme karbohidrat dan berhubungan dengan fungsi syaraf (WHO, FAO 2006). Selain itu tiamin juga berhubungan dengan metabolisme zat gizi makro lain seperti lemak, protein dan asam nukleat (Almatsier 2009). Kekurangan atau defisiensi tiamin umumnya berhubungan dengan rendahnya konsumsi energi, sehingga defisiensi tiamin sering dijumpai pada masyarakat miskin yang mengalami masalah kurang gizi, atau masalah gizi lain
28
seperti anoreksia (kurang nafsu makan) dan gangguan absorpsi. Meskipun di Indonesia tidak ditemukan masalah defisiensi tiamin yang nyata, namun masih tingginya masalah kurang gizi makro (energi dan protein) di Indonesia, merupakan salah satu alasan perlunya fortifikasi vitamin B1 (tiamin) dalam bahan pangan pokok seperti terigu. Vitamin B2, atau riboflavin merupakan vitamin larut air yang banyak terdapat dalam makanan hewani seperti susu, keju, hati, dan daging dan bahan makanan nabati seperti sayuran hijau. Riboflavin merupakan komponen koenzim yang berperan dalam metabolisme energi (glukosa dan asam lemak) dan respirasi sel. Riboflavin juga berperan secara tidak langsung terhadap pertumbuhan (sintesis DNA), serta perubahan piridoksin (vitamin B6) menjadi koenzim fungsionalnya, serta perubahan triptofan menjadi niasin. Kekurangan riboflavin umumnya disebabkan rendahnya konsumsi protein hewani serta sayuran hijau. Defisiensi riboflavin ditandai dengan gejala dermatitis seperti cheilosis dan stomatitis angular. Defisiensi vitamin B2 juga menyebabkan gangguan dalam penyerapan dan penggunaan zat besi untuk sintesis hemoglobin, sehingga defisiensi vitamin ini dianggap berkontribusi dalam tingginya prevalensi anemia di seluruh dunia (WHO, FAO 2006). Rendahnya asupan protein hewani dan sayuran hijau di sebagian besar masyarakat dengan pendapatan terbatas seperti masyarakat miskin, merupakan salah satu pertimbangan perlunya fortifikasi vitamin ini dalam pangan yang banyak dikonsumsi masyarakat umum seperti terigu. Asam folat merupakan zat gizi mikro yang paling besar peningkatannya dengan fortifikasi. Asam folat banyak terdapat dalam sayuran hijau, hati, daging tanpa lemak, serealia utuh, biji-bijian dan kacang-kacangan serta jeruk (Almatsier 2009). Asam folat merupakan koenzim yang berperan dalam metabolisme asam amino dan sintesis asam nukleat. Asam folat juga berperan dalam pembentukan sel darah merah dan sel darah putih dalam sunsum tulang dan pematangannya. Peranan asam folat banyak berhubungan dengan vitamin B12. Kekurangan asam folat dapat menyebabkan gangguan metabolisme DNA, hambatan pertumbuhan, anemia megaloblastik dan gangguan saluran cerna. Defisiensi asam folat juga menyebabkan gangguan pembentukan fungsi syaraf yang disebut sebagai neural tube defect (NTD). Umumnya defisiensi asam folat disebabkan rendahnya konsumsi bahan pangan sumber asam folat, seperti pada masyarakat berpendapatan rendah, atau terjadi karena meningkatnya kebutuhan, seperti pada kehamilan, anemia, leukimia dan penggunaan obat-obatan tertentu. Peningkatan kandungan gizi mikro pada terigu yang difortifikasi menyebabkan peningkatan kontribusinya terhadap kecukupan zat gizi aktual rumah tangga contoh sebagaimana gambar berikut ini :
29
30 24,5 20
18
17,4 14,3
13,9 10 3,4
2,9
4,1 2,7 1,1
0 Zat Besi
Seng
% Kontribusi terigu alami
Vitamin B1
Vitamin B2
Asam Folat
% Kontribusi dengan fortifikasi
Gambar 3 Kontribusi terigu alami dan dengan fortifikasi
Gambar 3 menunjukkan kontribusi zat gizi terbesar dari fortifikasi tepung terigu adalah terhadap kecukupan asam folat (24.5%) dan vitamin B2 (18.0%). Hardinsyah dan Amalia (2007) menyatakan bahwa kontribusi zat gizi mikro dari pangan olahan terigu yang terfortifikasi 9.6% untuk zat besi, 14.4% untuk seng, dan 24.1% untuk asam folat, berdasarkan angka kecukupan 2000 kkal. Kontribusi terigu dari konsumsi pangan olahan terigu terhadap kecukupan zat gizi mikro rumah tangga contoh hampir sama dengan hasil studi tersebut. Indonesia sebagai salah satu dari lima negara di dunia yang melaksanakan fortifikasi wajib pada tepung terigu merupakan negara dengan konsumsi terigu terendah yaitu sebesar 50 gram/kapita/hari (FFI 2009). Rata-rata konsumsi terigu per kapita rumah tangga contoh sebesar 42.35 gram/hari berkontribusi besar pada kecukupan zat gizi mikro, terutama asam folat (24.5%). Hal ini berarti hampir ¼ kecukupan asam folat diperoleh dari konsumsi terigu yang difortifikasi. Hasil studi pada rumah tangga miskin dan hampir miskin di Jakarta Utara (Sandjaja dkk. 2010) menunjukkan bahwa kadar asam folat dalam darah subyek penelitian dalam batas normal (>7nmol/L). Kontribusi konsumsi terigu yang difortifikasi terhadap kecukupan zat besi adalah 17.4%, dan 13.9% terhadap kecukupan seng. Studi yang sama menunjukkan bahwa kadar seng (zinc status) dan hemoglobin serta ferritin plasma pada subyek cenderung defisien. Hal ini menyebabkan masih tingginya prevalensi anemia dan angka kesakitan pada subyek penelitian, terutama pada kelompok rawan seperti remaja putri dan anak balita. Hasil studi tersebut secara garis besar menggambarkan kondisi masalah gizi mikro di Indonesia, yang masih didominasi oleh tingginya prevalensi anemia gizi dan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat masih rendahnya asupan pangan sumber zat gizi mikro, seperti zat besi dan seng, di samping faktor lain seperti pola konsumsi dan keragaman pangan, masalah absorpsi dan bioavalabilitas zat gizi mikro serta faktor lainnya. Fortifikasi zat gizi mikro pada tepung terigu meningkatkan asupan maupun kontribusi terhadap kecukupan zat gizi mikro, namun ada faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kadar zat gizi mikro yang terkandung dalam pangan yang difortifikasi, antara lain proses pengolahan dan penyimpanan pangan. Studi tentang pengaruh metode pengolahan, penyimpanan dan pemasakan pangan/bahan
30
makanan terhadap kadar zat gizi mikro menunjukkan bahwa beberapa teknik modifikasi pangan dapat meningkatkan kandungan dan bioavalabilitas zat gizi mikro di satu pihak, namun juga dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan kandungannya. Studi oleh Ruel dan Buois (2010) menunjukkan bahwa teknik pengolahan makanan dapat meningkatkan kandungan zat besi dalam pangan. Studi yang lain oleh Hotz dan Gibson (2007) juga menunjukkan bahwa beberapa praktik dan teknik dalam pengolahan dan penyajian pangan tradisional seperti pengolahan dengan panas, mekanik, fermentasi, maupun kombinasi berbagai teknik dapat meningkatkan bioavalabilitas zat gizi mikro pada pangan nabati. Stabilitas vitamin seperti B1 (tiamin) dan vitamin B2 yang ditambahkan dalam tepung terigu bervariasi (DSM 2012). Vitamin B1 merupakan vitamin yang paling tidak stabil. Pengolahan dengan memanggang, pasteurisasi, maupun perebusan dapat menghilangkan kadar vitamin B1 hingga 50%. Dalam proses pemanggangan roti, kadar vitamin B1 dapat berkurang antara 5-25%. Proses penyimpanan juga mempengaruhi kadar vitamin B1. Kadar vitamin B1 selama penyimpanan dipengaruhi oleh kadar air dalam bahan makanan tersebut. Tepung terigu dengan kadar air 12%, akan kehilangan sekitar 12% setelah lima bulan penyimpanan. Pengurangan kadar air hingga 6% dapat mencegah kehilangan vitamin B1. Vitamin B2 (riboflavin) merupakan vitamin B yang paling stabil terhadap proses pemanasan, penyimpanan, maupun pengolahan makanan, namun tidak stabil dalam paparan cahaya. Penyimpanan bahan pangan dalam kemasan kedap cahaya dapat mencegah kehilangan vitamin ini. Asam folat tidak stabil terhadap paparan cahaya, proses oksidasi dan reduksi, serta suasana asam maupun basa, namun stabil terhadap panas maupun kelembaban, sehingga penambahan asam folat dalam bentuk premiks, baked product, maupun tepung tidak berkurang kadarnya selama lebih dari 6 bulan penyimpanan. Pemanggangan roti menyebabkan kadar asam folat berkurang sekitar 30% dari kadar asam folat yang ditambahkan pada tepung. Stabilitas mineral secara umum lebih baik dibandingkan vitamin, meskipun paparan terhadap panas, udara dan air dapat menyebabkan perubahan terhadap mineral. Mineral seperti zat besi dan seng dipengaruhi oleh kadar air, dan dapat bereaksi dengan komponen makanan lain seperti protein dan karbohidrat. Berdasarkan stabilitas vitamin dan mineral tersebut, maka jumlah fortifikan dalam bahan pangan yang difortifikasi direkomendasikan sebagai kompensasi kehilangan vitamin dan mineral selama proses pengolahan, distribusi, dan penyimpanan. Jumlah tambahan zat gizi mikro tersebut disebut sebagai angka overage. Angka overage zat gizi mikro untuk tiap vehicle berbeda-beda. Pada tepung terigu, angka overage vitamin B1, B2, asam folat dan zat besi untuk kondisi penyimpanan selama 3 bulan dalam suhu ruang adalah 10%,10%,10% dan 5% (DSM 2012a). Jenis pangan olahan terigu tertentu membutuhkan penambahan yang lebih banyak, seperti pada produk roti, biskuit, dan cookies karena kandungan zat gizi mikro lebih banyak yang hilang dalam proses pemanggangan. Pangan olahan terigu yang paling resisten terhadap kehilangan vitamin dan mineral fortifikan adalah mie instan/kering, hal ini selain kadar air yang rendah dan kadar natrium yang tinggi dalam mie, proses pengolahan mie (dengan merebus selama 1-2 menit atau diseduh dengan air panas selama 3-4 menit) meminimalisir kehilangan
31
vitamin dan mineralnya. Berdasarkan stabilitas vitamin dan mineral, selama proses pembuatan, penyimpanan dan pengolahan/pemasakan pangan atau makanan menjadi dasar bagi fortifikasi pangan, sehingga mie direkomendasikan sebagai pangan yang paling potensial untuk fortifikasi zat gizi mikro (DSM 2012b). Jumlah zat gizi mikro yang ditambahkan dalam fortifikasi tepung terigu di Indonesia sudah memperhitungkan retensi zat gizi mikro selama proses penyimpanan dan pengaruh pemasakan, sehingga dosis minimal zat besi minimal 50 ppm, seng minimal 30 ppm, vitamin B1 minimal 2.5 ppm, vitamin B2 minimal 4 ppm, dan asam folat minimal 2 ppm diharapkan dapat berkontribusi terhadap kecukupan zat besi, seng, vitamin B1, B2, dan asam folat. Studi tentang peranan dan dampak fortifikasi zat gizi mikro pada tepung terigu telah banyak dilakukan. Laporan Global Alliance for Improving Nutrition (GAIN) tahun 2006 menyatakan bahwa fortifikasi tepung terigu dengan asam folat di Amerika Serikat, Kanada, Chili, Costa Rica dan Afrika Selatan berhasil menurunkan insiden neural tube defect (NTD). Fortifikasi zat besi pada tepung terigu dan jagung di Venezuela juga secara nyata berhasil menurunkan prevalensi defisiensi zat besi pada anak-anak keluarga miskin (diukur melalui serum ferritin) dari 36% menjadi 15% (Nutriview 2009). Masalah anemia gizi besi di Chili juga berhasil diatasi dan tidak menjadi masalah kesehatan melalui program fortifikasi terigu dengan zat besi. Fortifikasi tepung terigu dengan zat besi juga terbukti dapat menurunkan prevalensi anemia gizi besi secara signifikan di Amerika Serikat dan Eropa. Studi di berbagai negara tersebut menunjukkan bahwa fortifikasi zat gizi mikro merupakan pencegahan dan penanggulangan masalah kekurangan gizi mikro yang paling efektif dan berkelanjutan (sustainable). Biaya fortifikasi tepung terigu per metrik ton cukup murah dan penambahan zat gizi mikro merupakan investasi yang manfaaatnya jauh melampaui biaya yang dikeluarkan. Laporan Unicef (Salman 2009) menyatakan bahwa setiap $1 yang dikeluarkan untuk fortifikasi tepung terigu dengan asam folat di Chili dapat menghemat $11.80 biaya-biaya rumah sakit; sedangkan di Afrika Selatan setiap $1 dapat menghemat $46 dan $40 di Amerika Serikat (disebabkan oleh biaya perwatan medis yang lebih tinggi di dua negara tersebut). Fortifikasi zat gizi mikro pada tepung terigu dinilai merupakan upaya yang efektif dalam mengatasi masalah gizi mikro di Indonesia. Di Indonesia, kerugian ekonomis akibat anemia pada perempuan dewasa diperkirakan mencapai 395 juta dollar (sekitar 3,6 triliun rupiah), sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk fortifikasi tepung terigu jauh lebih kecil. Bogasari sebagai salah satu produsen tepung terigu di Indonesia menyatakan bahwa fortifikasi tepung terigu layak secara teknis. Biaya yang diperlukan tidak mahal, hanya 0,5 persen dari harga produk. Fortifikasi juga tidak mengubah rasa maupun tekstur produk (Kompas 2008). Studi-studi lain yang berkaitan dengan fortifikasi zat gizi mikro baik di Indonesia maupun di negara lain telah menunjukkan bahwa fortifikasi pangan dengan zat gizi mikro mampu menurunkan masalah kurang gizi mikro. Studi efikasi fortifikasi zat besi, seng, yodium dan vitamin A pada yoghurt di Bangladesh menunjukkan bahwa fortifikasi berhasil meningkatkan kadar Hb
32
(hemoglobin), status seng, yodium dan retinol binding protein kelompok perlakuan serta berpengaruh nyata pada pertumbuhannya (Sazawal et al. 2013). Studi di Vietnam juga menunjukkan bahwa fortifikasi zat gizi mikro pada minyak goreng, beras, dan kecap ikan/kedelai meningkatkan asupan zat gizi mikro pada anak-anak, meskipun dampak fortifikasi tanpa program gizi/pangan lain terhadap penurunan prevalensi defisiensi zat gizi mikro masih kecil (Laillou et al. 2012). Hasil studi di China menunjukkan bahwa pelaksanaan fortifikasi (sukarela) zat besi pada kecap ikan dan kecap kedelai selama setahun, menyebabkan prevalensi anemia di kalangan perempuan dan balita turun dari 35-40 menjadi 10%. Studi efikasi fortifikasi beras dengan zat besi di Filipina menunjukkan pula penurunan prevalensi anemia di antara anak sekolah dasar di Manila. Di Indonesia, studi terhadap anak usia 7-9 tahun di Sekolah Dasar Surakarta menunjukkan bahwa pemberian susu yang difortifikasi zat besi dan seng selama enam bulan dapat meningkatkan tingkat kesegaran jasmani (Lestari et al. 2010). Fortifikasi zat gizi mikro pada tepung terigu di satu sisi dan pertumbuhan konsumsi terigu yang semakin pesat dari tahun ke tahun di sisi yang lain merupakan peluang bagi semakin meningkatnya kecukupan zat gizi mikro yang sampai saat ini masih menjadi masalah di berbagai negara, seperti Indonesia. Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini seperti keterbatasan data tentang kandungan gizi dan faktor konversi pangan olahan terigu yang belum spesifik (mengingat saat ini jumlah pangan olahan di Indonesia, termasuk pangan olahan terigu berkembang dengan pesat), terbatasnya data prevalensi masalah kekurangan zat gizi mikro (terbatas pada tiga masalah gizi mikro utama seperti defiensi vitamin A, zat besi, yodium), dan keterbatasan data konsumsi aktual berbagai pangan sumber zat gizi mikro (terkait pengaruh metode pengolahan, penyimpanan dan pemasakan serta penyajian makanan), dapat dijadikan bahan, materi maupun acuan untuk dilakukan studi dan penelitian yang mendalam di masa yang akan datang.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakteristik sosial demografi rumah tangga contoh secara umum adalah mempunyai jumlah anggota keluarga yang relatif besar, tingkat pendidikan dan pendapatan keluarga (diidentifikasi dengan masih banyaknya kepala keluarga dan anggota rumah tangga lain yang tidak bekerja) yang masih rendah. Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat rumah tangga contoh adalah beras dan terigu. Konsumsi pangan sumber karbohidrat dari kelompok serealia lain (selain beras dan terigu) dan kelompok umbi-umbian masih rendah, dan umumnya dikonsumsi bukan sebagai pangan pokok melainkan sebagai makanan sellingan. Jenis olahan terigu yang berkontribusi signifikan terhadap asupan terigu dan zat gizi mikro adalah mie instan, roti manis dan makanan gorengan. Rata-rata berat terigu (hasil konversi pangan olahan terigu) yang dikonsumsi rumah tangga
33
contoh sebesar 42.35 gram per kapita per hari, memberikan sumbangan energi sebesar 155 kkal per kapita per hari. Rata-rata angka kecukupan gizi rumah tangga contoh berdasarkan acuan AKG hasil Widyakarya Nasinal Pangan dan Gizi tahun 2004 adalah 2081 kkal untuk kecukupan energi, 54.3 gram protein, 15.5 mg zat besi, 11.6 mg seng, 1.0 mg vitamin B1, 1.1 mg vitamin B2, dan 360 µg asam folat. Kontribusi terigu dari konsumsi pangan olahan terigu rumah tangga contoh adalah sebesar 7.7% terhadap kecukupan energi, 7.2% terhadap kecukupan protein, 3.4% terhadap kecukupan zat besi, 2.9% terhadap kecukupan seng, 4.1% terhadap kecukupan vitamin B1, 2.7% terhadap kecukupan vitamin B2, dan 1.1% terhadap kecukupan asam folat. Fortifikasi meningkatkan kontribusi zat gizi mikro, dengan kontribusi masing-masing sebesar 17.4%, 13.9%, 14.3%, 18.0%, dan 24.5% terhadap kecukupan zat besi, seng, vitamin B1, B2, dan asam folat.
Saran Kontribusi konsumsi terigu yang difortifikasi terhadap kecukupan zat gizi mikro dalam penelitian ini (sebesar 13.9-24.5%) dapat dijadikan acuan untuk evaluasi program fortifikasi pangan di Indonesia, khususnya fortifikasi wajib zat gizi mikro pada tepung terigu. Fortifikasi tepung terigu yang terintegrasi dengan program subsidi pangan seperti Program Raskin, upaya promosi dan pendidikan gizi secara implisit berpeluang meningkatkan konsumsi pangan sumber zat gizi mikro (terutama pangan hewani yang mempunyai bioavailabilitas relatif lebih tinggi), sehingga dapat menanggulangi masalah kurang gizi mikro secara nyata. Peranan pemerintah sebagai pemegang regulasi dan kebijakan, serta sektor swasta terutama produsen tepung terigu dan industri pangan lainnya dalam program fortifikasi wajib tepung terigu perlu ditingkatkan untuk menjamin kelangsungan dan keberlanjutan program. Studi dan penelitian terkait tentang dampak fortifikasi, konsumsi pangan yang difortifikasi dan masalah terkait fortifikasi masih diperlukan untuk mendapatkan data dan informasi yang lebih luas dan akurat tentang program fortifikasi pangan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Ed ke-6. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Ariani M. 2010a. Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung Pencapaian Diversifikasi Pangan. Gizi Indon 2010. 33(1) : 20-28 Ariani M. 2010b. Diversifikasi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras. Prosiding Pekan Serealia Nasional 2010. ISBN :978-979-8940-29.3 : 65-73. Arlappa N, Laxmaiah A, Balakrishna N, Harikumar R, Kodavanti MR, Gal Reddy Ch, Saradkumar S, Ravindranath M, Brahmam GNV. Micronutrient deficiency disorders among the rural children of West Bengal, India. Annals of Human Biol. May–June 2011; 38(3): 281–289
34
Cahyaningsih R. 2008. Analisis Pola Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat [Skripsi]. Bogor : Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [DKP]Dewan Ketahanan Pangan. 2008. Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015. Jakarta : Dewan Ketahanan Pangan DSM Publications. 2012. Fortification Basics : Instan Noodles : A Potensial Vehicles for Micronutrient Fortification. Diacu pada tanggal 16 Februari 2014. Tersedia di http://www.dsm.com/content/dam/dsm/nip/en _US/ documents/instan.noodles_potensial.vehicles.for_micronutrient.fortification pdf?fileaction=openFile. DSM Publications. 2012. Fortification Basics : Stability. Diacu pada tanggal 16 Februari 2014. Tersedia di http://www.dsm.com/content/dam/dsm/nip/en _US/documents/stability.pdf?fileaction=openFile. [FFI]Flour Fortification Initiative. 2009. Flour Fortification in The Region, Karen Codling, FFI East Asia Secretariat. Hardinsyah, Amalia L. 2007. Perkembangan Konsumsi Terigu dan Pangan Olahannya di Indonesia 1993-2005. J Gizi Pang. Ed. Maret 2007. 2(1) : 815. Hotz C, Gibson RS. 2007. Traditional Food-Processing and Preparation Practices to Enhance the Bioavalability of Micronutriens in Plant-Based Diets. J Nutr. 2007. 137 : 1097-1100 [Kemenkokesra]Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI. 2012. Pedoman Umum Penyaluran Raskin : Subsidi Beras untuk Masyarakat Berpendapatan Rendah. [Kemensos]Kementerian Sosial RI. 2012. Analisis Data Kemiskinan Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) (PPLS) 2011. [Kementan]Kementerian Pertanian RI. 2012. Statistik Konsumsi Pangan Tahun 2012. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Sekjen Kementerian Pertanian. Kompas.com. 2008. Unicef Sesalkan Pencabutan Kewajiban Fortifikasi Tepung Terigu [internet]. Diacu tanggal 18 September 2013. Tersedia di : http://sains.kompas.com/read/2008/02/08/19282488/Unicef.Sesalkan.Penca butan.Kewajiban.Fortifikasi.Tepung.Terigu Laillou A, Le BM, Le TH, Nguyen CK, Panagides D, Wieringa F, Berger J, Moench-Pfanner R. 2012. An Assesment of the Impact of Fortification of Staples and Condiments on Micronutrient Intake in Young. Nutrient. 2012, 4, 1151-1170; doi:10.3390/nu4091151 Lestari ED, Adhim ZN, Salimo H, Mustarsid. 2010. Pengaruh Susu Fortifikasi Besi-Zink terhadap Tingkat Kesegaran Jasmani Anak Usia 7-9 tahun di Sekolah Dasar Surakarta. Sari Pediat . Agustus 2010. Vol 12 (2) : 92-98 Martianto D, Ariani M. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi & Pola Konsumsi Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir, dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004 (Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah & Globalisasi). Editor : Soekirman dkk. Jakarta: LIPI Marut UD. 2007. Aspek Sosial Ekonomi dan Kaitannya dengan Masalah Gizi Kurang di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. J Gizi Pang, November 2007 2(3) : 36-43
35
Manno D, Kowa PK, Bwalya HK, Siame J, Grantham-McGregor S, Baisley K, De Stavola BL, Jaffar S, Filteau S. Rich micronutrient fortification of locally produced infant food does not improve mental and motor development of Zambian infants: a randomised controlled trial. British J of Nutr. 2012. 107 : 556-566 Mauludyani AVR, Martianto D, Baliwati YF. Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan Pokok Berdasarkan Analisis Data Susenas 2005. J Gizi Pang. Juli 2008. 3(2) : 101-117 Nutriview. 2009. Improving Asian‟s nutrition with fortified flour. Published by DSM Nutritional Products Ltd, Nutrition Improvement Program, Basel, Switzerland. Oktaviana. 2012. Hubungan Kejadian Gizi Kurang, Anemia Gizi Besi dan GAKY dengan Prestasi Belajar. UJPH. 2012. 1(2). ISSN 2252-6781 Pusposari F. 2012. Analisis Pola Konsumsi Pangan Masyarakat di Provinsi Maluku [Tesis]. Jakarta : Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Ruel MT, Bouis HE. 2010. The Role of Food, Agriculture, Forestry and Fisheries in Human Nutrition : Food Modifications and Impact on Nutrition. EOLSS. 2010 (IV). Salman. 2009. Pentingnya Fortifikasi Tepung Terigu. Diacu tanggal 18 September 2013.Tersedia dihttp://www.unicef.org/indonesia/id/reallives_12588.html. Sandjaja, Soekatri M, Wibowo Y, Budiman B, Sudikno. Nutritional Status of Poor Families in North Jakarta. Gizi Indon. 2010. 33(2):150-161 Saputra W, Nurrizka RH. 2012. Faktor Demografi dan Risiko Gizi Buruk dan Gizi Kurang. Maka Kesh. Desember 2012. 16 (2) : 95-101 Sazawal S, Habib AKM A, Dhingra U, Dutta A, Dhingra P, Sarkar A, Deb S. Alam J, Husna A, Black RE. 2013. Impact of micronutrient fortification of yoghurt on micronutrient status markers and growth – a randomized double blind controlled trial among school children in Bangladesh. BMC Publ Heal. 2013. 13:514. Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi Jilid 1 : untuk mahasiswa dan Profesi di Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat. Singarimbun M, Effendi S. 2011. Metode Penelitian Survei. Jakarta : LP3ES. Soekirman. 2011. Fortifikasi Pangan : Program Gizi Utama Masa Depan. Koalisi Fortifikasi Indonesia. Diacu tanggal 23 September 2013 . Tersedia di http : http://www.kfindonesia.org/index.php?pgid=11&contentid=13 Tabor S, Soekirman, Martianto D. Keterkaitan antara krisis ekonomi, ketahanan Pangan, dan perbaikan gizi. Dalam Soekirman et al., editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”; Jakarta 17-19 Mei 2004. Jakarta : LIPI [TNP2K]Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2011. Indikator Kesejahteraan Daerah Provinsi DKI Jakarta. TNP2K. Jakarta Ulfani DH, Martianto D, Baliwati YF. 2011. Faktor-faktor Sosial Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat Kaitannya dengan Masalah Gizi Underweight, Stunted, dan Wasted di Indonesia : Pendekatan Ekologi Gizi. J Gizi Pang. 2011. 6(1) : 59-65 [WHO],[FAO]World Health Organization, Food and Agricultural Organization of United Nations. 2006. Guidelines on food fortification with micronutrient.
36
edited by : Allen L, de Benoist B, Dary O, Hurrel R. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. Wimalawansa SJ. 2013. Rational Food Fortification Program to Alleviate Micronutrient Deficiencies. JFPT. 2013. 4(8). http ://dx.doi.org/10.41727110.1000257
37
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian untuk Rumah Tangga
KUISIONER PENELITIAN
ANALISIS KONTRIBUSI TERIGU DAN OLAHANNYA TERHADAP KECUKUPAN GIZI RUMAH TANGGA MISKIN DI DKI JAKARTA
Sheet: Identitas Responden
A. Identitas contoh No Urut Contoh
A1
: ........................................
Nama Responden
A2
: ........................................
Alamat Rumah
A3
: ........................................ ........................................ ........................................ ........................................
Tanggal Wawancara A4
: ........................................
Nama Enumerator
: ........................................
A5
38
Sheet : Karakteristik Rumah Tangga B. Karakteristik sosio demografi B1 1
2
No
Nama
3 Status dl Klg
4 JK
5 6 Umur Thn Bln
7 BB (Kg)
8 Kondisi Fisiologis
9
10
Pendidikan
Pekerjaan
Keterangan: 3) Status dalam keluarga: 1 = suami, 2 = istri, 3 = anak, 4 = lainnya 4) Jenis kelamin: 1 = laki-laki, 2 = perempuan 5) Umur: tahun = digunakan pada orang dewasa 6) Umur: bulan = digunakan pada balita (bayi di bawah lima tahun) 8) Kondisi Fisiologis : 0 = tidak hamil dan tidak menyusui, 1 = Hamil, 2 = menyusui bayi umur 0-6 bulan, 3 = menyusui bayi umur 7-12 bulan 9) Pendidikan: 1 = belum sekolah, 2 = tidak tamat SD/ sederajat, 3 = tamat SD/ sederajat, 4 = tamat SMP/ sederajat, 5 = tamat SMA/ sederajat, 6 = tamat perguruan tinggi 10) Pekerjaan: 1 = PNS/TNI/Polri, 2 = Pegawai swasta; 3 = Buruh kasar/pabrik/bangunan; 4 = Pedagang (asongan, kaki lima, dll); 5 = Lainnya (Isikan)
39
Sheet : Konsumsi Pangan Rumah Tangga C. Pola Konsumsi Pangan Pokok/ Sumber Karbohidrat (Food Frequency Questioner) C1 No
Jenis Pangan/Makanan
1 1
2 Serealia Non Terigu 1. Beras & olahannya 1.1 Beras putih giling 1.2 Nasi/goreng/uduk/ kuning 1.3 Bubur nasi 1.4 Ketupat/lontong/ aremarem 1.5 Beras merah tumbuk 1.6 Beras merah, kukus 1.7 Tepung Beras/olahan lainnya, sebutkan! .................... ..................................... 1.8 Lainnya, sebutkan! ..................... .................................... 2. Beras Ketan 2.1 Beras ketan putih 2.2 Beras ketan putih, kukus 2.3 Tape ketan putih 2.4 Tepung Beras ketan 2.5 Beras ketan hitam 2.6 Beras ketan hitam masak/kukus 2.7 Tape ketan hitam 2.8 Lainnya, sebutkan ! ................... .................................... 3. Jagung 3.1 Jagung pipil/segar 3.2 Jagung rebus/kukus/ bakar/goreng 3.3 Tepung jagung (maizena)/olahannya 3.4 Olahan jagung lainnya, sebutkan! .................... ................................ 4. Lainnya, sebutkan .............................. .............................................
Frekuensi konsumsi kali per ...(dalam sebulan terakhir) Hari 3
Minggu 4
Bulan 5
Rata-rata konsumsi setiap kali makan URT Gram 6 7
40
Lanjutan C1... No
Jenis Pangan/Makanan
1 2
2
3
Umbi-umbian 1. Singkong/Ketela pohon/ Ubi kayu 1.1 Singkong masak, rebus/ kukus/ bakar/ goreng 1.2 Tape singkong 1.3 Tepung tapioka/ olahannya 1.4 Gaplek/tiwul/tepung gaplek a. Lainnya, sebutkan ! ................ 2. Ubi jalar 2.1 Ubi jalar merah/ putih/ ungu 2.2 Ubi jalar rebus/ kukus/ bakar 2.3. Lainnya, sebutkan ! ................... 3. Kentang/olahannya 4. Talas/olahannya 5. Sagu/tepung sagu/olahannya 6. Lainnya (sebutkan) ........................ Pangan olahan Terigu 1. Mie basah 2. Mie Instan 2.1 Mie rebus 2.2 Mie goreng 3. Makaroni 4. Roti tawar 5. Roti Manis 6. Kue Kering/Biskuit 6.1 Kue bolu/cake 6.2 Biskuit marie 6.3 Malkis/crackers 6.4 Biskuit krim 6.5 Cookies 6.6 Lainnya, sebutkan! ......................
Frekuensi konsumsi kali per ...(dalam sebulan terakhir) Hari Minggu Bulan 3 4 5
Rata-rata konsumsi setiap kali makan URT Gram 6 7
41
Lanjutan C1 ... No
Jenis Pangan/Makanan
1
2 7. Kue Basah 8. Makanan gorengan 8.1 Bakwan 8.2 Pisang goreng 8.3 Tahu Grg Tepung 8.4 Tempe Grg Tepung 8.5 Gorengan lainnya sebutkan ! ................ ............... 9. Mie Bakso 10. Makanan Ringan Anak 11. Lainnya : 11.1 Sosis 11.2 Nuget 11.3 Lainnya, sebutkan! ........................ .............
Frekuensi konsumsi kali per ...(dalam sebulan terakhir) Hari Minggu Bulan 3 4 5
Rata-rata konsumsi setiap kali makan URT Gram 6 7
2. Apakah konsumsi pangan tersebut/ di atas menggambarkan konsumsi harian? a. Ya b. Tidak (Kenapa?tuliskan ...................................................................................)
42
D. Konsumsi Pangan Rumah Tangga (Food Recall 2X24 jam) D1 1.
Hari Pertama
Waktu Makan*
Nama Makanan
1
2
Bahan Pangan/Makanan Jenis Banyaknya Asal** URT Gram 3 4 5 6
Jumlah Yang Makan 7
Ratarata/orang (Gram) 8
43
2.
Hari Kedua
Waktu Makan*
Nama Makanan
Jenis
1
2
3
Bahan Pangan/Makanan Banyaknya Asal** URT Gram 4 5 6
Jumlah Yang Makan 7
Ratarata/orang (Gram) 8
Keterangan :
*) **)
waktu makan : makan pagi/siang/malam, selingan asal perolehan makanan/bahan pangan : hasil pembelian, pemberian
44
RIWAYAT HIDUP Penulis yang bernama lengkap Titin Aliyah dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 26 April 1976, merupakan putri ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Mukhlis dan Nuryati. Penulis menyelesaikan pendidikan menengahnya di SMA Negeri 1 Slawi, di kota kelahirannya, dan melanjutkan pendidikan tinggi di Akademi Gizi Jakarta pada tahun 1994. Penulis menyelesaikan pendidikan di Akademi Gizi Jakarta pada tahun 1997, dengan gelar Ahli Madya Gizi (AMG). Penulis pernah bekerja sebagai ahli gizi di sebuah rumah sakit swasta, hingga akhirnya mengikuti seleksi penerimaan CPNS di lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2001, secara resmi penulis menjadi PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan ditempatkan di Puskesmas Kecamatan Gambir. Pada tahun 2011, penulis mengikuti seleksi Pegawai Tugas Belajar (PTB) untuk program Sarjana (S1), dan dinyatakan lulus. Penulis mendaftar sebagai Mahasiswa Program Sarjana Alih Jenis Gizi untuk tahun akademik 2011/2012, dan dinyatakan lolos seleksi. Penulis mulai menjalankan kegiatan akademik pada Semester Ganjil Tahun 2011/2012 hingga saat ini.