KONTRIBUSI PETERNAKAN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PEDESAAN: “TA PASINUR PINAHAN ASA LAM GABE NA TAULA”*) Oleh : Mangonar Lumbantoruan
**)
1. Pengantar Kendati program industrialisasi sudah demikian berkembang saat ini di Negara kita, namun tidak dapat dipungkiri bahwa perekonomian sebagian besar warga masyarakat kita masih mengandalkan pertanian, baik langsung maupun tidak langsung. Khususnya di pedesaan, hampir 90% dari penduduk adalah petani; bahkan di pinggiran kota-kota besarpun tidak sedikit penduduknya yang tetap setia menjadi petani. Di pinggiran kota Medan, misalnya, cukup banyak halak hita yang tidak bisa melepaskan diri dari sektor ini. Fakta di atas menyiratkan bahwa maju mundurnya perkembangan wilayah pedesaan dan wilayah pinggiran kota (sub-urban) di Negara kita tidak bisa lepas dari perkembangan usaha pertanian yang digeluti warganya. Oleh sebab itu sangat wajar apabila kita semua memberi perhatian yang serius terhadap pengembangan sektor ini. Bagi pembaca yang paham bahasa Batak, makna yang tersirat dibalik judul artikel ini mungkin tidak lagi asing. Namun bagi generasi yang lebih muda, apalagi yang lahir di parserahan, mungkin penjelasan berikut diperlukan agar dapat memahaminya. Kata sinur dan gabe mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Setiap petani selalu berharap agar dapat mencapai makna yang disiratkan oleh kedua kata ini. Kata sinur menunjukkan kondisi di mana ternak peliharaan beranak pinak, sehat dan berproduksi tinggi. Kata gabe juga mengandung makna yang sama akan tetapi ditujukan terhadap tanaman atau manusia. Sebenarnya ungkapan yang lebih populer adalah gabe na ni ula sinur na pinahan. Bila kondisi seperti itu tercapai maka makmurlah kehidupan petani. Dan, itulah dulu yang dapat diraih oleh petani kita ketika hutan masih terpelihara sehingga tercipta iklim yang bersahabat dan ketika tuntutan hidup masih sederhana sehingga sumberdaya alam didayagunakan secara bijaksana. Ketika itu, lahan subur tersedia di mana-mana, ternakpun leluasa menggembala. Sayang, kondisi ideal tersebut sudah tinggal kenangan. Baik kuantitas mapun kualitas sumberdaya pertanian telah merosot. Laju pertambahan penduduk yang pesat dan orientasi hidup yang konsumtif memaksa agar sumberdaya lahan dan hutan dieksploitasi berlebihan. Akibatnya, iklim menjadi tidak menentu - lebih sering bersifat deterioratif (merusak) - dan lahan pertanian bukan hanya berkurang akan tetapi kualitasnyapun merosot. Jangankan untuk ternak, untuk kebutuhan manusia sekalipun produksi pertanian sering tidak memadai. Pada kondisi ideal, ternak akan sinur, bila tanaman gabe. Itulah yang terjadi di negeri Paman Sam (Amerika Serikat) di mana produksi gandum, jagung dan kedele melimpah. Itu juga penyebabnya kenapa populasi ternak Indonesia menumpuk di Pulau Jawa. Aktivitas pertanian yang intensif, terutama tanaman pangan, selalu menyisakan berbagai jenis limbah dan hasil ikutan yang berguna sebagai pakan ternak. Ketersediakan pakan yang cukup menjadi penghela perkembangan peternakan. Itulah yang sudah lama hilang dari pedesaan kita di Sumatera Utara namun tidak pernah menjadi perhatian kita. Akibatnya, terjadilah suatu ironi : penduduk desa menjadi importir (pembeli) ternak.
2. Mengabaikan Peternakan Berarti Memiskinkan Petani? Setidaknya untuk kondisi pedesaan, menurut hemat penulis sikap mengabaikan usaha ternaklah yang menjadi salah satu penyebab mengapa petani kita sulit beranjak dari ketertinggalan. Bagi sementara orang kesimpulan ini mungkin dinilai berlebihan. “Ah, itu kan egoisme jurusan. Karena dia jurusan peternakan, dia tulislah begitu! Lalu, bagaimana petani di Berastagi atau Seribudolok?. Bukankah mereka banyak yang tidak memelihara ternak?”. Mungkin begitu kata mereka. Akan tetapi argumen berikut mungkin dapat mengubah pendapat tersebut. Dari sudut sosial-budaya, kehidupan halak hita – sejak lahir hingga meninggal - selalu diisi dengan ritualritual yang tidak bisa lepas dari kehadiran ternak; bahkan termasuk saat menjalankan seremoni agama. Seberapapun harganya, kehadiran ternak atau hasil-hasilnya wajib ada pada saat menjalankan adat atau ritual budaya lainnya. Molo porlu mangurang pe taho asal ma jagar ulaon i! Begitu prinsip halak hita. Akibatnya tidak jarang hasil panen padi setahun habis guna membeli ternak untuk keperluan adat. Di sekitar kampung kelahiran penulis (Sipultak Parhorboan Kecamatan Pagaran Taput) dengan penghuni sekitar 800 KK , jumlah 1
jumlah keluarga petani yang jumlah panen padinya mencapai 300 kaleng setahun tidak sampai 10 KK. Bila harga padi satu kaleng (sekitar 11 kg) adalah Rp 40,000 maka nilai panen tersebut adalah Rp 12 juta. Jumlah ini hanya setara dengan harga seekor anak kerbau jantan umur setahun atau 5 ekor babi umur 12 bulan. Lalu, bila pada saat ulaon saur matua harus dipotong seekor kerbau (katakanlah senilai Rp 12 juta) dan 2 ekor babi (katakanlah senilai Rp 4 juta) maka hanya untuk membeli ternak saja nilai jual panen padi tadi belum cukup. Okelah, itu kan hanya terjadi sesekali. Tapi, bagaimana dengan pangoli anak - pamuli boru, tardidi, malua, wisuda? Bukankah pada setiap acara tadi kita selalu memotong ternak? Bila anda seorang petani halak hita maka semua ritual-ritual tadi, disadari atau tidak, telah memiskinkan anda! Kecuali anda sekaligus juga peternak. Akan halnya petani di Tanah Karo atau Simalungun, memang harus diakui mereka umumnya mengutamakan budidaya saur mayur dan ekonominya tidak begitu terpengaruh walau tidak memelihara ternak. Menurut hemat penulis setidaknya ada dua alasan untuk itu. Petama, petani sayur mayur di Tanah Karo atau Simalungun umumnya bukan lagi petani gurem seperti halnya di daerah lain. Sebagian besar dari mereka tergolong pengusaha tani dengan skala usaha besar sehingga omsetnya mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah pertahun. Kedua, dalam menjalankan ritual adat atau budaya, rekan-rekan kita dari Tanah Karo dan Simalungun tidak sejor-joran halak hita orang Toba menyediakan daging. Dengan demikian biaya untuk pesta adat mereka tidak sepantastis pesta par-Bona Pasogit. Lalu bagaimana? Apakah kehadiran ternak atau produk ternak saat pelaksanaan ritual adat atau budaya harus dikurangi? Tentu saja tidak! Yang ingin kami kemukakan adalah agar kita menyadari betapa kebiasaan dan adat istiadat kita itu telah menyedot biaya miliaran rupiah setiap tahun. Dan, itu menjadi memiskinkan pedesaan karena sebagai besar dari uang untuk membeli ternak tadi dibelanjakan ke kota. Akh, masa demikian! Bukankah penduduk pedesaan kita umumnya memiliki ternak? Betul, tetapi jumlah dan produktivitasnya tidak seberapa. Perkiraan sementara, hampir 70% dari jumlah ternak yang dipotong di Bona Pasogit diimpor dari luar daerah. Faktanya, setiap minggu bertruk-truk ternak babi, kerbau dan ayam mengalir ke Bona Pasogit dari Sumatera Bagian Timur, Tapsel dan Dairi; bahkan dari Aceh (kerbau) dan Riau (ternak babi). Mau bukti ? Tanyakan kepada peternakan-peternakan besar di sekitar kota Medan ke mana mereka melempar babi-babi afkirnya. Tanyakan juga hal yang sama kepada peternakan babi rakyat di pinggiran kota Kisaran, Rantau Prapat atau Dumai. Sebagian besar dari mereka akan menjawab : Ba, tu hamu an! Dan ironisnya, yang kita impor adalah ternak-ternak afkir, terutama karena sudah tua. Preferensi (kesukaan) halak hita terhadap daging bertekstur kenyal (bahasa Batak: hojal) dan kebanggaan semu bila mampu menyajikan ternak berukuran besar pada saat pesta, telah dieksploitasi dengan sangat baik oleh para peternak kota. Yang mereka lempar ke Bona Pasogit sebenarnya adalah ternak-ternak yang tidak disukai konsumen kota, tetapi justru itulah yang kita senangi! Bayangkan, kita rela membayar mahal produk yang sebenarnya tidak disukai orang lain. Bukankah itu ironis. Selain menguras uang, peternak kota juga membodoh-bodohi kita. Dengan argumen seperti di atas masuk akallah kalau penulis simpulkan bahwa sikap atau keputusan penduduk Bona Pasogit mengabaikan peternakan, disadari atau tidak, telah memiskinkan mereka. Dengan demikian masuk akal pulalah kalau penulis mengemukakan hipotetis seperti pada judul sub-bab di atas. Penulis berkeyakinan bahwa apabila masih tetap seperti sekarang, menomorsekiankan pengembangan usaha peternakan, maka perekonomian penduduk pedesaan kita akan sulit beranjak dari kondisi seperti sekarang. Seberapa besarpun investasi yang ditanamkan, seberapa banyakpun pabrik yang di bangun atau seberapa banyakpun uang yang dikirim para perantau kepada kerabatnya desa, ujung-ujungnya : hasil na i godangan do i habis tu jagal. Bila ternak masih harus diimpor maka uang tadi pada akhirnya tersedot juga ke kota. Dampaknya, pedesaan tetap minus tabungan dan pada gilirannya minus investasi. Inilah akar permasalahan perekonomian pedesaan sebenarnya : minimnya investasi. Memang harus diakui bahwa minusnya investasi di pedesaan bukan hanya karena banyaknya uang yang tersedot untuk mengimpor ternak. Yang terbesar mungkin adalah untuk biaya pendidikan. Yang tidak kalah besar adalah kecenderungan Halak Hita menanamkan uangnya di kota. Adalah menjadi kebanggaan bagi kita bila mampu membeli rumah atau tanah di kota. (Kebiasaan ini bertolak belakang dengan perantau Minang yang justru merasa sukses bila mampu membangun rumah di kampung halaman walau untuk itu mereka harus rela tinggal di rumah kontrakan). Kami bukannya hendak menggurui para pemilik uang bagaimana menggunakan uangnya. Bukan juga mau mengajak agar tekad Halak Hita menyekolahkan anak dikurangi. Yang mau kami kemukakan adalah begaimana rendahnya kemampuan penduduk pedesaan kita berinvestasi, setidaknya untuk kondisi saat ini, dan juga betapa minimnya daya tarik pedesaan kita sebagai tempat berinvestasi. 2
3. Pengertian Peternakan Pada berbagai kesempatan diskusi dengan petani-peternak, penulis sering menanyakan pemahaman mereka tentang peternakan. Ternyata sebagian besar dari mereka belum memahami secara tepat apa yang dimaksud dengan peternakan. Pada hal pemahaman seperti itu sangat perlu agar kita bisa merumuskan secara tepat langkah-langkah apa yang diperlukan agar berhasil mengelola usaha peternakan. Karena istilah “peternakan” akar katanya adalah “ternak” maka kite perlu terlebih dahulu memahami makna istilah ternak. Ternak pada dasarnya adalah hewan. Hewan adalah semua golongan binatang baik yang liar maupun jinak atau dipelihara oleh manusia (Bahasa Batak : nasa na manggulmit di sisik ni tano dohot di bagasan aek rodi na habang martonga-tonga langit). Namun bukan semua hewan merupakan ternak, bahkan yang jinak sekalipun. Kucing, anjing atau perkutut misalnya, tidak lazim disebut sebagai ternak melainkan hewan kesayangan (pets animal) yang dipelihara untuk tujuan kesenangan atau hobi tanpa mempertimbangkan motif ekonomi. Seorang pemilik burung perkutut misalnya rela mengeluarkan biaya yang besar tanpa mengharapkan imbalan atau keuntungan ekonomi. Yang penting, sang burung sehat dan rajin mengeluarkan suara-suara indah. Imbalannya adalah kepuasan mendengar suara indah tadi yang nilainya tidak bisa diukur dengan uang. Sebaliknya, hewan ternak dipelihara untuk tujuan-tujuan produktif terutama tujuan ekonomi atau keuntungan finansial. Antara biaya pemeliharaan dengan nilai jual selalu diperhitungkan. Bila biaya lebih besar dari nilai jualnya maka pemeliharaan ternak tidak dilanjutkan; sekiranya tetap dilanjutkan, itu namanya bukan beternak. Agar tidak merugi maka pemeliharaan ternak harus dilakukan sedemikan rupa agar produktivitas (pertumbuhan, perkembangbiakan dan/atau produksi)-nya tinggi. Untuk itu ternak tidak lagi dibiarkan mengatur sendiri hidup dan kehidupannya, sebagaimana hewan liar, melainkan manusialah yang mengendalikannya. Dalam khasanah ilmu peternakan, semua aspek hidup dan kehidupan ternak menjadi objek pengaturan manusia, yang secara garis besar dibagi menjadi tiga aspek yaitu perkembangbiakan, pemakanan dan managemen. Aspek perkembangbiakan menyangkut pengaturan ternak betina dan jantan mana yang layak dikawinkan dan kapan mereka dikawinkan agar berpeluang memperoleh keturunan yang banyak dengan kualitas yang lebih baik, atau setidaknya sama dengan, tetuanya. Aspek pemakanan menyangkut pengadaan dan pemberian bahan-bahan pakan yang murah dan mudah diperoleh namun mampu menyediakan zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh ternak untuk bertumbuh, berproduksi dan/atau berreproduksi secara optimal sesuai kapasitas genetiknya. Sedangkan aspek managemen menyangkut penyediaan lingkungan dan tempat tinggal yang nyaman dan sehat bagi ternak sehingga mereka terhindar dari faktor-faktor stress (penyakit dan stress lingkungan). Penggunaan kata pengaturan atau pengendalian pada penjelasan di atas mengandung makna bahwa hidup dan kehidupan ternak berada di tangan manusia. Implikasi praktisnya, pemenuhan semua kebutuhan ternak tanpa terkecuali dipenuhi dan diatur oleh manusia, bukan tergantung kepada kemurahan alam semata sebagaimana dialami oleh hewan liar. Sedangkan kata produktif memberikan basatan bahwa tindakan pengaturan atau pengendalian tadi dilakukan secara efektif (tepat guna) dan efisien (ekonomis). Dari uraian diatas dapatlah kita simpulkan bahwa ternak adalah hewan yang hidup dan kehidupannya dikendalikan oleh manusia untuk tujuan-tujuan produktif. Berkembang dari situ, maka istilah peternakan dapat kita artikan sebagai semua daya upaya atau campur tangan manusia terhadap ternak dan lingkungannya dengan tujuan meningkatkan dayaguna ternak tersebut dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia. Selanjutnya, kata peternak dengan mudah pula bisa kita pahami sebagai orang yang menjalankan kegiatan peternakan. Peternak adalah mereka yang betul-betul memberi campur tangan bagi kehidupan ternak-ternaknya, jadi bukan hanya sekedar memiliki ternak tanpa mempersoalkan apakah kebutuhan ternak tersebut terpenuhi atau tidak. 4. Potensi Kontribusi Peternakan Bagi Manusia Ternak menawarkan sejumlah potensi yang dapat memberi keuntungan bagi manusia. Namun yang tidak boleh kita abaikan adalah bahwa ternak juga berpotensi menghadirkan sejumlah dampak negatif bagi manusia. Tabel berikut menginventarisasi sejumlah sisi positif dan sisi negatif dari kontribusi ternak tersebut. Salah satu kontribusi ternak yang paling penting dan berlaku universal adalah produksi bahan pangan. Dalam perjalanan waktu, di semua tempat di permukaan bumi ini, umat manusia telah mengambil manfaat yang sangat berarti dari bahan pangan hewani (daging, telur dan susu) yang disumbangkan oleh ternak. Dibanding bahan pangan nabati seperti beras, jagung, ubi dan sayur-sayuran, pangan hewani memiliki berbagai keunggulan. Tiga diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut ini. 3
Potensi Kontribusi Ternak Bagi Manusia No 1. 2. 3. 4. 5.
Sisi positif Produksi bahan pangan hewani: daging, telur dan susu. Produksi kotoran ternak : bahan baku pupuk organik (kompos) dan energi alternatif (biogas). Produksi tenaga kerja. Produksi bahan sandang: kulit, kuku, tanduk, tulang dll. Fungsi sosial-budaya: kesempatan kerja, ketahanan pangan (food security), livelihood (mata pencaharian), status sosial, olahraga, hiburan dan komponen sistim budaya.
Sisi negatif Persaingan penggunaan bahan makanan. Persaingan penggunaan sumber-daya lingkungan: lahan, hutan dan air. Polusi lingkungan: tanah, air dan udara. Transmisi (pemindahan) faktor-faktor penyebab penyakit (zoonosis). Media terorisme biologis (bio-terrorism)
Pertama, pangan hewani mengandung lebih banyak dan lebih lengkap zat-zat gizi esensil khususnya PROTEIN, MINERAL dan VITAMIN. Protein adalah zat gizi utama yang sangat penting bagi tubuh manusia. Hanya kalau memperoleh protein dalam jumlah cukup maka tubuh kita bisa bertumbuh dan berkembang. Bila kekurangan protein, terutama pada masa bayi dan fase pertumbuhan maka sulit bagi tubuh manusia untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal. Lebih daripada itu, kekurangan protein juga akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan otak. Dampaknya adalah kecerdasan yang rendah sehingga kemampuan belajarnyapun terbatas. Bersamaan dengan itu, sistim kekebalan tubuh menjadi lemah sehingga mudah terserang penyakit. Jadi, kalau di antara kita - mudah-mudahan tidak - ada yang mempunyai anak kurang cerdas dan/atau gampang sakit maka kesalahan ada pada kita orangtuanya. Kitalah mungkin yang tidak mampu (atau mungkin tidak tau) memberi mereka gizi yang cukup. Mungkin saat mengandung ibunya kekurangan asupan gizi sehingga tidak mampu menopang pertumbuhan si janin. Mungkin pula sewaktu masa bayinya si anak tidak memperoleh ASI yang cukup. Dari penjelasan ini kiranya kita bisa menerima kesimpulan para ahli yang menyebutkan bahwa tingkat kecerdasan seorang anak sangat dipengaruhi oleh kecerdasan dan kesehatan ibunya. (Mudah-mudahan para ayah tidak tersinggung membaca pernyataan ini, malah sebaliknya menyadari kesalahannya selama ini. Mudah-mudahan juga di keluarga kita tidak berlaku lagi istilah “ikkan ni bapa”). Kembali ke topik protein tadi, tubuh manusia tidak mungkin memperoleh protein yang cukup kalau hanya makan nasi, ubi, jagung, sayur dan bahan pangan nabati lainnya. Hanya kalau di dalam menu seharihari kita terdapat pangan hewani, baik asal ternak maupun asal ikan, tubuh kita berkesempatan memperoleh gizi yang cukup dan seimbang, sehingga tecipta tubuh yang sehat, dan pada akhirnya, otak yang cerdas. Negara maju dan makmur terbangun dari masyarakat sehat dan cerdas, yang hanya akan tercapai bila konsumsi gizinya cukup, dan pada gilirannya dapat tercipta bila produksi ternak melimpah (Bahasa Batak : Sinur pinahan). Keunggulan kedua dari pangan hewani adalah nilai biologis yang tinggi. Nilai biologis adalah jumlah zat gizi yang dapat dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan dari suatu bahan makanan. Tidak semua zat gizi yang kita konsumsi dapat diambil oleh saluran pencernaan. Selalu ada yang tersisa dan akhirnya terbuang. Semakin tinggi nilai biologis suatu bahan makanan maka semakin banyak zat gizi yang dapat diambil darinya. Kenapa pangan hewani lebih unggul? Pangan hewani umumnya mengandung lebih sedikit serat kasar dibanding pangan nabati. Kandungan serat kasar inilah yang menjadi biang keladinya. Serat kasar akan menghambat aksi saluran pencernaan untuk memproses bahan makanan. Semakin tinggi kandungan serat kasar semakin sulit bahan makanan dicerna. Namun perlu diingat bahwa serat kasar itu tidak selamanya merugikan. Dalam jumlah tertentu serat harus ada dalam menu kita sehari-hari agar proses pencernaan (terutama untuk pengeluaran sisa makanan) berjalan lancar. Jadi pola makanan yang ideal adalah yang seimbang antara pangan nabati dan pangan hewani. Ketidakmampuanlah, dan mungkin juga ketidaktahuan, yang membuat kita lebih mengutamakan pangan nabati dibanding pangan hewani. Keunggulan ketiga bahan pangan hewani adalah aroma dan citarasa yang enak sehingga merangsang selera makan (Bahasa Batak : pa ro ijur), bahkan ketika kita sedang sakit. Sewaktu masih kanakkanak kami jarang makan daging, paling saat ada tamu, pesta atau ada ternak yang mati. Tapi kalau sudah sakit maka bolak-baliklah orangtua kami menawarkan : "Boha! Seatonta manuki asa lakku indahani allangonmu?”. (Mudah-mudahan tidak ada lagi di antara kita yang baru menawari anak-anaknya makanan enak dan bergizi setelah mereka sakit). Kemampuan pangan hewani membangkitkan selera makan terletak 4
pada kandungan zat flavor-nya yang tinggi dan citarasanya yang unik. Zat flavor adalah senyawa-senyawa penyebab aroma, yang dapat ditangkap oleh indra penciuman sehingga kita mengetahui apakah sesuatu itu harum, busuk atau tengik. Sedangkan citarasa adalah kesan yang ditangkap oleh indra pengecap (lidah). Lidah manusia mengenal 4 rasa utama yaitu manis, pahit, asam dan asin. Kombinasi antara aroma dan citarasalah yang membangkitkan, atau sebaliknya menghilangkan, selera makan kita. Zat-zat pemberi aroma akan menguap bila dipanaskan. Itu sebabnya kita lebih berselera melihat makanan hangat dibanding yang dingin. Itupula sebabnya kenapa sering kita katakan : "Ta allangkon ba, binsan las!". Potensi kontribusi ternak poin 2 – 5 pada tabel di atas lebih bersifat fakultatif (pilihan), karena bagi sebagian peternak (terutama di negara-negara maju) kontribusi tersebut tidak begitu penting malah lebih sering menjadi beban (terutama menyangkut limbah). Sementara itu, bagi peternak di negara-negara sedang berkembang yang notabene adalah petani, kontribusi tersebut (seharusnya) tidak kalah pentingnya. Ketika harga pupuk kimia semakin mencekik dan dampak negatifnya terhadap kualitas lingkungan semakin disadari maka pemanfaatan kotoran ternak sebagai bahan baku pupuk organik dapat menjadi pilihan strategis, baik dari sisi ekonomi maupun kesehatan lingkungan. Ketika kayu semakin langka serta harga BBM semakin mahal maka potensi pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber energi alternatif (biogas) akan sangat menguntungkan bagi peternak. Keuntungan yang sama akan diperoleh bila tenaga ternak dimanfaatkan mengganti traktor (jetor). Secara teknis, ekonomis dan sosiologis, traktor sebenarnya kurang layak beroperasi di daerah-daerah pertanian dataran tinggi yang lahannya berbukit-bukit dan tingkat pemilikannya per keluarga kecil (sempit). Kelatahan dan sikap serba instan-lah yang menyebabkan petani kita lebih menggandrungi traktor daripada bajak atau luku. Modernisasi yang semu ini dipersubur pula oleh mentalitas pejabat-pejabat kita yang gemar memburu rente atau komisi. Bila pada uraian di atas telah dikemukakan berbagai potensi menguntungkan yang ditawarkan oleh peternakan maka kita juga harus menyadari bahwa di baliknya ada sisi negatif yang berpotensi menjadi ancaman bagi kesejahteraan manusia. Potensi kontribusi negatif poin 1 dan 2 (Tabel 1) lebih merupakan konsekuensi logis dari kegiatan pengembangan peternakan itu sendiri sehingga sulit dihindarkan. Poin 5, bioterorisme yaitu pemanfaatan ternak atau produknya sebagai media penyebar senjata biologis, memerlukan aplikasi teknologi canggih yang berada di luar jangkauan kaum awam sehingga lebih tepat menjadi perhatian pihak karantina atau badan intelijen. Yang lebih penting menjadi perhatian kita adalah poin 3 – 4 yaitu potensi peternakan sebagai pencemar lingkungan dan pemindah faktor penyebab penyakit. Kotoran ternak mengandung berbagai senyawa yang bersifat toksik (beracun) bagi mahluk hidup. Yang paling penting di antaranya adalah karbon dioksida (CO 2), amonia (NH4), asam sulfida (H2S) dan residu obatobatan. Bila senyawa-senyawa toksik ini mencemari air atau udara lalu terminum atau terhirup oleh manusia, mereka dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Oleh sebab itu seorang peternak yang bertanggungjawab tidak akan membiarkan kotoran ternaknya tersebar atau membiarkan ternaknya menyebarkan kotorannya ke mana-mana. Sekiranyapun tidak menyebabkan gangguan kesehatan, kotoran ternak yang berserakan tadi akan menimbulkan ketidaknyamanan. Karena kedekatan fisiologis, tubuh ternak beserta limbah yang dihasilkannya mengandung berbagai jenis kuman yang bersifat pathogen (membahayakan) terhadap kesehatan manusia, terutama dari golongan bakteri dan virus. Salmonella dan coli adalah dua jenis bakteri yang paling sering mengkontaminasi air minum yang tercemar oleh limbah peternakan. Kalaupun tidak mematikan, kedua golongan bakteri ini dapat menyebabkan diare pada manusia, terlebih anak-anak. Dari golongan virus yang sangat perlu menjadi perhatian peternak adalah penyebaran virus flu (kasus flu burung dan flu babi), anthraks dan brucellosis. Penyakit TBC juga dapat menular dari ternak ke manusia atau sebaliknya. Pada kondisi ternak dibiarkan bebas berkeliaran (khususnya ayam dan babi), penyebaran cacing juga perlu diwaspadai. Menyadari bahaya-bahaya tersebut di atas, peternak yang bertanggungjawab akan mengelola usahanya sedemikian rupa sehingga dapat meminimalkan kontak antara ternak dengan manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Peternak yang bertanggungjawab akan berupaya agar setiap ternak atau produk ternak yang keluar dari usahanya bebas dari faktor-faktor penyebab penyakit. Dia tidak akan menjual ternak yang sakit atau diduga sakit, tetapi akan menunggu sampai yakin ternak tersebut telah sembuh. Peternak yang bertanggungjawab juga tidak akan membiarkan hewan-hewan liar seperti burung, tikus, lalat atau serangga lainnya berkeliaran di sekitar usaha ternaknya karena mereka dapat menjadi vektor (pemindah) bibit penyakit. 5. Profil Umum Peternakan di Pedesaan Seperti telah disebut di atas, memelihara ternak adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan petani pedesaan karena mereka umumnya mempraktekkan usaha tani campuran di mana tanaman dan ternak, 5
kadang-kadang juga ikan, diusahakan secara bersama-sama oleh sekeluarga. Namun sekali lagi, sumbangan usaha ternak terhadap totalitas penghasilan mereka sangat kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, namun menurut hemat kami tiga faktor berikut menjadi penyebab utama: Pertama, posisi usaha ternak dalam sistim usaha tani. Hampir seluruhnya petani pedesaan kita memposisikan usaha ternak sebagai usaha sampingan, dengan budidaya tanaman sebagai usaha utama. Dengan posisi seperti itu maka sumberdaya (lahan, modal, waktu, dan pikiran) yang dicurahkan ke usaha ternak juga bersifat sampingan yaitu apa yang tersisa (Bhs Batak : lobi-lobi manang eba-eba) dari usaha tani tanpa mempersoalkan apakah sisa-sisa tadi dapat mencukupi kebutuhan ternak tersebut. Dengan demikian tidak mengherankan bila produktivitas dan reproduktivitas ternak-ternak menjadi rendah. Bagaimana mungkin usaha yang dioperasikan dengan mengandalkan sisa-sisa mampu memberi keuntungan besar? Bagaimana mungkin usaha yang diurus asal-asalan mencapai efisiensi yang tinggi? Kedua, teknologi beternak sederhana yang diwarisi secara turun temurun (tradisional). Karena minimnya pendidikan (formal, informal maupun nonformal) peternak pedesaan kita umumnya memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang minim sehingga hanya mampu mengelola usaha ternak dengan sistim yang sama seperti yang diwarisi dari para pendahulu. Penerapan inovasi baik di bidang teknis dan finansial maupun di bidang sosial dan kultural, hampir tidak ada. Akibatnya produktivitas, efektivitas dan efisiensi usaha ternak bukannya meningkat malah cenderung menurut dari waktu ke waktu. Ketiga, peranan usaha ternak yang lebih dominan sebagai tabungan. Bagi mayoritas petani pedesaan kita, usaha ternak memiliki peran utama sebagai sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat dicairkan bila ada keperluan mendadak. Dengan peranan seperti itu maka ternak baru dijual ketika pemilik memerlukan uang tunai, tanpa memperhitungkan untung-ruginya dan tanpa mempersoalkan apakah ternak tersebut sudah terlalu tua atau sebaliknya masih terlalu kecil. Pada hal, semakin tua usia ternak maka efisiensi produksinya akan menurun. Sebaliknya, bila dijual terlalu muda potensi produksinya belum optimal. 6. Mengembangkan Peternakan yang Mensejahterakan Menurut hemat kami, peternakan akan mensejahterakan semua pihak apabila sisi potensi positifnya dieksplorasi secara optimal, sebaliknya ancaman kontribusi negatifnya diminimalkan. Bila hanya menonjolkan sisi positifnya namun mengabaikan sisi negatifnya, peternakan mungkin saja menguntungkan bagi pemiliknya namun akan menyengsarakan orang lain. Peternakan seperti itu bukanlah peternakan yang mensejahterakan. Meraup untung untuk dari peternakan namun membiarkan orang lain terkena dampak negatifnya - seperti pencemaran lingkungan, penyebaran bibit penyakit atau perusakan hutan – bukanlah peternakan yang mensejahterakan, malah bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak bermoral. Sistim penggembalaan tak terkendali yang dipraktekkan oleh para peternak kerbau kita, misalnya, tidak memenuhi kategori peternakan yang mensejahterakan karena hanya menguntungkan bagi pemiliknya namun merugikan bagi kepentingan umum. Karena dibiarkan tak terkendali, ternak-ternak kerbau tersebut merambah sampai ke kawasan hutan. Bukan hanya itu, kerbau-kerbau tersebut mengokupasi lahan yang sangat luas per satuan ternak. Saat kunjungan lapangan ke satu desa di Kecamatan Simanindo pada awal tahun 2009 ini, seorang Kepala Desa setempat menginformasikan bahwa 1000-an ekor kerbau yang ada di desanya mengokupasi sekitar 23.000 ha areal penggembalaan alami; berarti tiap ekor mengokupasi lebih dari 20 ha lahan. Mengorbankan lebih dari 20 ha lahan hanya untuk memelihara seekor kerbau dan pada akhirnya hanya akan memberi keuntungan bagi pemiliknya, sungguh bukan merupakan sistim ekonomi yang berkeadilan. Sekiranya dikelola dengan tepat, 1 ha padang penggembalaan alami dapat menampung 0.5 unit ternak pertahun sehingga seyogyanya kerbau sebanyak 1000-an ekor tadi memerlukan hanya sekitar 2000-an ha lahan sehingga sisanya bisa digunakan untuk hutan atau kegiatan produktif lain. Kendati mungkin keakuratan informasi tadi masih perlu dipertanyakan, namun kami yakin hal itu bukanlah isapan jempol belaka. Agar tidak menimbulkan dampak negatif yang terlalu besar seperti ilustrasi di atas, tapi sebaliknya berhasil mengoptimalkan sisi positif peternakan, menurut hemat kami ada tiga aspek yang perlu berubah dari peternakan pedesaan kita. Pertama, meningkatkan posisi usaha ternak dari usaha sampingan menjadi setidaknya cabang usaha. Dalam Ilmu Pembangunan Peternakan dikenal 4 (empat) skala usaha ternak yang sekaligus menunjukkan posisi dan peranannya bagi usaha tani, yaitu : Usaha Sampingan bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani < 30%. Cabang Usaha bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani > 30% – 50%. Usaha Pokok bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani >50 - 70%. 6
Usaha Industri bila sumbangannya terhadap penghasilan total petani mencapai 100%. Tentu saja agar mampu memberi sumbangan yang lebih besar maka pencurahan atau alokasi sumberdaya yang dimiliki petani ke dalam usaha ternak juga harus ditingkatkan yaitu setara dengan tingkat penghasilan yang diharapkan disumbangkannya. Seorang petani yang mengharapkan penghasilannya 50% berasal dari usaha ternak, misalnya, seyogyanya harus mengalokasikan 50% dari lahan, tenaga kerja, modal, waktu, pikiran, perhatian dan sumberdaya lain yang dimilikinya ke usaha ternak. Kedua, meningkatkan sistim beternak tradisonil menjadi sistim beternak yang progresif. Yang kami maksud dengan sistim progresif adalah sistim yang mengalami perubahan, dalam arti perbaikan, dari waktu ke waktu kendatipun secara bertahap. Jadi bukan sistim yang stagnan, yang dari waktu ke waktu tanpa perbaikan. Agar mampu mengembangkan sistim beternak yang progressif, seorang peternak perlu mencari dan menerapkan inovasi di berbagai aspek. Untuk itu dia harus tetap belajar kendatipun usianya sudah dewasa bahkan sudah tua. Kalaupun tidak memungkinkan lagi menempuh pendidikan formal, sistim pendidikan informal (misalnya melalui penyuluhan, kursus, pelatihan, magang dan yang sejenis) dan pendidikan nonformal (belajar mandiri, studi banding, diskusi informal, mempelajari pengalaman orang lain dan yang sejenis), dapat menjadi kesempatan belajar yang tepat bagi orang dewasa. Belajar perlu dilakukan sepanjang hayat (long-life education) dengan ruang lingkup yang tak terbatas. Dalam konteks pengembangan sistim beternak progressif, agar berpeluang mengembangkannya maka menurut hemat kami seseorang perlu memiliki syarat-syarat dasar berikut: a. Budaya Beternak. Budaya manusia menyangkut banyak hal. Salah satu di antaranya adalah sistim nilai yang dianut oleh seseorang. Sistim nilai menyangkut apa yang kita anggap lebih penting atau lebih bernilai. Sistim nilai ini akan mempengaruhi kita dalam mengambil keputusan saat menentukan suatu pilihan. Mana yang akan kita dahulukan, misalnya, antara membeli dedak untuk ternak atau minum segelas tuak? Mana yang akan kita pilih antara markombur di kedai kopi atau membersihkan kandang ternak? Pada masyarakat tradisional, termasuk pada kebanyakan keluarga Batak, terdapat sisitim pembagian kerja yang sangat jelas antara kaum ibu dan kaum bapak. Pekerjaan-pekerjaan domestik yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan urusan rumah tangga termasuk mengurus ternak, biasanya menjadi tanggungjawab kaum ibu atau anak-anak sementara kaum bapak merasa bertanggungjawab hanya untuk pekerjaan-pekerjaan di luar rumah. Bahkan untuk pekerjaan di luar rumahpun, kaum bapak Halak Hita masih merasa perlu memilih pekerjaan-pekerjaan yang lebih bergengsi atau lebih maskulin. Karena alasan ini, kebanyakan ama-ama Halak Hita akan merasa turun gengsinya untuk membantu istri menanam, mengurus atau memanen ubi; terlebih-lebih lagi untuk membantu memasak, membersihkan rumah atau pekarangan. Ironisnya, sistim pembagian kerja yang tidak adil ini diterapkan pula terhadap pekerjaan mengurus ternak yang sebenarnya lebih membutuhkan kehadiran laki-laki karena perlu tenaga fisik yang kuat. Bila tetap terikat dengan budaya seperti di atas maka kita akan kesulitan mengembangkan sistim beternak progressif. Agar sukses beternak kita harus mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ketinggalan jaman, siap mengorbankan kepentingan-kepentingan atau kesenangan-kesenangan personal dan menjauhkan gengsi semu yang tidak membawa kebaikan bagi kesejahteraan keluarga kita. b. Komitmen Beternak. Komitmen adalah tekad atau janji. Memiliki komitmen berarti bertekad atau berjanji, terutama kepada diri sendiri, untuk melakukan suatu pekerjaan hingga berhasil apapun tantangannya. Memiliki komitmen berarti tidak mudah menyerah apapun kesulitan yang dihadapi. Memiliki komitmen berarti berani menghadapi kegagalan dan mau belajar darinya. Memelihara ternak pada dasarnya adalah pekerjaan yang membosankan karena harus dilakukan secara berulang-ulang dari hari ke hari. Memelihara ternak berarti harus bekerja 24 jam sehari, tujuh hari seminggu dan seterusnya. Hanya orang-orang yang memiliki komitmen yang tinggilah yang mau menjalani rutinitas seperti itu. Dan merekalah yang biasanya berhasil berternak. Kata-kata bijak berikut kami harap dapat menggugah kita untuk belajar memiliki komitmen: “Pangkulingi suan-suanan/pahan-pahanan mi, ai sian i do dalanmu dapot ngolu” “Nunut do si raja ni ampuna” “Di tangan ni jolma do napu ni tano” c. Kompetensi Beternak. Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan melakukan sesuatu pekerjaan sesuai dengan seharusnya; sesuai secara teori dan tepat secara praktek. Ternak, apapun jenisnya, pada dasarnya bisa hidup sendiri kalaupun dibiarkan bebas tanpa campur tangan manusia; malah kalau dilepas mungkin mereka akan lebih senang. Malasahnya, masih adakah areal atau tempat yang cocok untuk 7
beternak dengan cara seperti itu? Atau, masih cocokkah kondisi kita yang sekarang beternak dengan cara demikian? Menurut hemat kami sudah sulit, bila tidak mustahil. Jadi, kalau ingin beternak maka seseorang harus benar-benar memeliharanya. Memelihara berarti menyediakan semua kebutuhan ternak. Itulah makna dari kalimat “Beternak dengan kompetensi yang tinggi”. Agar mampu menjalankan sistim beternak yang progresif, seseorang perlu menguasai paling tidak 4 (empat) kompetensi dasar yaitu : 1) Kompetensi Teknis. Yang dimaksud dengan kompetensi teknis adalah penguasaan atau kapasitas untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tatacara atau prosedur yang dilandasi oleh teori/konsep/prinsip yang tepat. Teknis atau cara memelihara ternak juga didasari oleh banyak teori seperti nutrisi (ilmu tentang gizi), reproduksi (ilmu tentang perkembangbiakan), etologi (ilmu tentang tingkahlaku), agrostologi (ilmu tentang budidaya tanaman pakan ternak) dan sebagainya. Menguasai teori tapi tidak mampu mempraktekkannya menunjukkan seseorang belum kompeten. Namun, terampil melakukan sesuatu tanpa menguasai teori yang mendasarinya juga akan membuat seseorang kurang mampu melakukan pembaharuan atau berimprovisasi. Penguasaan teori dan praktek harus sejalan agar seseorang disebut kompeten. Secara lebih terperinci, teknis produksi ternak yang perlu dikuasai seorang agar sukses beternak adalah: (a) Pemililihan bibit dan pengembangbiakan ternak. (b) Penyediaan dan pemberian pakan ternak. (c) Penanganan kesehatan ternak. (d) Tatalaksana pemeliharaan ternak. (e) Penanganan dan pemanfaatan limbah ternak. 2) Kompetensi Pemasaran. Bila teknis produksi diterapkan secara tepat dan konsisten maka dapatlah seseorang berharap bahwa usaha ternaknya akan berhasil. Persoalan berikutnya adalah memikirkan pemasaran bagi ternak bila kelak sudah layak jual. Untuk itu peternak harus kompeten di bidang pemasaran. Yang dimaksud dengan kompetensi pemasaran adalah kemampuan untuk menemukan secara tepat ke manakah ternak atau produk ternak akan laku dijual dengan harga yang menguntungkan, bagaimana cara membawa ke sana dan bagaimana pula cara menjualnya kepada para calon pembeli di pasar yang dituju. Hanya apabila memiliki kompetensi seperti inilah maka seorang peternak mampu menjual hasil usaha ternaknya secara menguntungkan. Kalau tidak, mereka akan menjadi korban atau bulan-bulanan tengkulak. Adalah suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa kondisi seperti itulah yang dialami oleh sebagian besar petani kita; petani yang bersusah payah menanam tetapi pedaganglah yang paling banyak menikmati untungnya. Salah satu prinsip pemasaran yang menurut hemat kami sangat perlu kita renungkan adalah prinsip yang berbunyi sebagai berikut : “Jangan menjual apa yang bisa Anda produksi, tapi produksilah apa yang bisa Anda jual”. Artinya, jangan memproduksi sesuatu tanpa tanpa memikirkan dan merencanakan terlebih dahulu pemasarannya. Aplikasinya, jangan memelihara ternak sebelum kita yakin mampu menangani pemasarannya. Bila pemasaran ternak atau produk ternak tersebut kita serahkan sepenuhnya kepada pedagang, maka keuntungan terbesar dari usaha beternak tadi akan jatuh ke tangan mereka. 3) Kompetensi Finansial. Setelah sistim produksi dan sistim pemasaran dipersiapkan, maka persoalan berikut adalah uangnya. Berapa yang diperlukan dan dari mana diperoleh? Bagaimana mengelolanya agar modal tidak habis sebelum panen terjual? Itulah persoalannya. Bahwa uang sangat penting untuk berusaha itu tergambar dari ungkapan para pebisnis berikut ini : Uang adalah bibit uang!. Halak hita menyebut: "HMH" : Hepeng Mangalap Hepeng! Agar dapat menerapkan prinsip di atas secara benar maka seseorang harus memiliki kompetensi yang tinggi di bidang pengelolaan keuangan usaha. Yang dimaksud dengan kompetensi finansial adalah menguasai bagaimana merencanakan atau menghitung jumlah biaya yang diperlukan untuk memproduksi suatu barang serta bagaimana cara menyediakan dan mengelolanya. Jadi, misalnya, jika seseorang berencana memelihara 3 ekor induk babi maka dia harus mengetahui secara tepat apa jenis dan berapa jumlah sarana produksi yang diperlukan untuk memelihara ketiga ekor babi tersebut. Selanjutnya dia harus tau berapa biaya yang diperlukan untuk itu dan dari mana itu diperoleh serta bisa membuat rencana penggunaan dan pengadaan uang tersebut sehingga tersedia pada waktu dibutuhkan. Kalau tidak demikian maka usaha ternak tadi akan amburadul atau angin-anginan. 8
4) Kompetensi Sosial. Salah satu ciri manusia, yang sekaligus menjadi keunggulannya dibanding mahluk hidup lain, adalah sifat sosial yaitu kemampuan menjalin hubungan atau relasi dengan sesama manusia. Dari kemampuan menjalin relasi inilah lahir apa yang kita kenal sebagai kelompok. Setiap individu manusia memiliki keinginan untuk mengikatkan diri kepada suatu kelompok sesuai kebutuhannya. Halak Hita dikenal sebagai orang-orang yang memiliki keinginan yang kuat untuk berkelompok. Masalahnya, kecenderungan Halak Hita untuk berkelompok lebih dominan di bidang sosial budaya yang cenderung konsumtif. Sementara di bidang sosial-ekonomi Halak Hita cenderung mengambil jalan sendiri-sendiri. Pada hal potensi kecenderungan berkelompok yang tinggi tadi dapat juga kita arahkan untuk aktivitas-aktivitas sosial ekonomi yang bersifat produktif. Sekiranya kita mau memberi hati dan pikiran yang cukup untuk memupuk modal secara berkelompok, misalnya dengan mendirikan usaha simpan pinjam yang saat ini populer dengan sebutan CU (credit union), maka keluhan banyak petani pedesaan kita tentang minimnya modal dapat teratasi. Berkelompok bukan hanya berpotensi membantu kita memupuk modal tapi juga dalam aspek pemasaran, baik dalam rangka menjual produk maupun membeli sarana produksi. Berkelompok juga dapat memudahkan kita untuk memperoleh informasi dan belajar secara bersama-sama. 7. Penutup Peternak, dalam arti yang sebenarnya, bertindak secara adil. Meningkatnya kesejahteraan dari memelihara ternak memang merupakan tujuannya, namun menyebabkan kerugian bagi orang lain bukanlah gayanya. Baginya, peternakan yang mensejahterakan adalah peternakan yang menguntungkan secara berkeadilan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain sebagaimana dipesankan leluhur orang Batak melalui kata-kata bijak: “Poltak bulan ama ni manggule, sada pe dapotan uli sude maulae”.
BAHAN BACAAN Anonimous. 1985. Usaha Peternakan : Perencanaan Usaha, Analisa dan Pengelolaan. Diretorat Bina Usaha Tani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan, Dirjen Peternakan Deptan. Jakarta. Cheeke, P. R. 1999. Contemporary Issues in Animal Agriculture. Interstate Publishers, Inc. Danville Illinois. Chantalakhana, C. 1990. Small Farm Animal Production and Sustainable Asgriculture. Food and Fertilizer Technology Centre (FFTC). Extension Bulletin. No, 309. 18p Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfeld, S. Ehui and C. Courbois. Livestock to 2020. The Next Food Revolution. Food, Agriculture, and the Environment Discussion Paper 28. Hazell, P., C. Poulton, S. Wiggins and A. Dorward. 2006. The Futufre of Small Farms: Synthesis Paper. Rimisp-Latin American Center for Rural Development Holmes, R., N. Jones and S. Wiggins. Understanding the impact of Food Prices on Children. How rising food prices affect poor families. What can be done to protect children in the developing world. Plan UK, 5-6 Underhill Street, London NW1 7HS Lihgfoot, C. 1990. Integration of Agriculture : A Route to Sustainable Farming System. Naga. The ICLARM Quaterry. January, 1990: 9–12. Lumbantoruan, M. 1994. Posisi dan Peranan Peternakan di Pedesaan. Warta Nommensen. Edisi II Tahun XI : 44-47. -----------------------. 2001. Meningkatkan Pandaraman Warga dengan Sistim Usaha Tani Terpadu. IMMANUEL. Vol. 111 (No. 11):54–57.
Surat Parsaoran
-----------------------. 2002. Mengubah Pola Bantuan ke Bona Pasogit Surat Parsaoran IMMANUEL. Vol. 112 (No. 01):57. -----------------------. 2002. Pengembangan Sistim Usaha Tani Terpadu dengan Introduksi Usaha Ternak Berorientasi Bisnis sebagai Starting Poinnya dalam Rangka Implementasi Konsep Pembangunan Berkelanjutan di Kawasan Danau Toba. Di dalam : Strategi Pembangunan Berkelanjutan dan Pengelolaan Kawasan Danau Toba. Prosiding Seminar Nasional. 6 April 2002. Partungkoan Batak Toba (Parbato) Medan, Yayasan Del Jakarta dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba (YPPDT) Jakarta. (18 hlmn).
9
Obias, E. D. 1988. Integrated Farming System and Waste Recyling. FFTC. Ext. Bull. No. 220. Pp.7-11. Rosegrant, M. W, M. S. Paisner, S. Meijer and J Witcover. 2001. 2020 Global Food Outlook: Trends, Alternatives, and Choices. A 2020 Vision for Food,Agriculture, and the Environment Initiative International Food Policy Research Institute Washington,D.C. Samosir, O. 2002. Peluang dan Tantangan Pertanian di Dataran Tinggi Toba. Di dalam : Strategi Pembangunan Berkelanjutan dan Pengelolaan Kawasan Danau Toba. Prosiding Seminar Nasional. 6 April 2002. Partungkoan Batak Toba (Parbato) Medan, Yayasan Del Jakarta dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba (YPPDT) Jakarta. (11 hlmn).
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------*)
Disampaikan pada Penyuluhan di Lokasi KPPM 36 Universitas HKBP Nommensen di Desa Blok 10 dan Desa Dolok Manampang Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara tanggal 19 dan 20 Februari 2013.
**)
Dosen Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen Medan. Alamat email :
[email protected] dan
[email protected]
Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen memiliki cita-cita dan komitmen untuk memberi kontribusi dalam revitalisasi usaha peternakan rakyat yang berbasis sumberdaya dan kearifan lokal. Impian kami adalah usaha ternak rakyat kembali menjadi tuan di negeri sendiri dalam rangka mewujudkan mimpi MEMBANGUN BANGSA DARI DESA.
Bagi Anda yang memiliki minat, keprihatinan dan kepedulian yang sama, mari bergabung membangun kemitraan dan sinergisme yang bermartabat dan berdaulat. Hubungan kami: lisan (061-4522922); surat (Jl. Sutomo No. 4a Medan – 20234. PO Box 1133. Fax. 061-4571426).
10