Kontra Propaganda Warisan Tradisi Tulis & Pembelajaran Sastra Bahan Bacaan Penelitian Sastra Ahid Hidayat
1
Kontra Propaganda, Warisan Tradisi Tulis, & Pembelajaran Sastra Bahan Bacaan Penelitian Sastra © Ahid Hidayat
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
HIDAYAT, Ahid Kontra Propaganda, Warisan Tradisi, dan Pembelajaran Sastra/ Ahid Hidayat - Kendari: Penerbit FKIP Unhalu ISBN 978-9791. Sastra I. Judul 2
Daftar Isi
5
Kontra-Propaganda dalam Drama Propaganda Zaman Jepang
21
Sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara: Warisan Tradisi Tulis yang Belum Tergenggam
39
Aspek Psikologis yang Terabaikan dalam Pembelajaran Menulis
47
Menumbuhkan Kegairahan Kreatif Siswa dalam Pembelajaran Sastra
59
Sumber Tulisan
60
Biodata Ringkas Penulis
3
4
Kontra-Propaganda dalam Drama Propaganda Zaman Jepang
Abstrak Drama-drama yang lahir pada masa penjajahan Jepang, menurut beberapa kritikus, merupakan drama untuk kepentingan propaganda. Apalagi drama yang diterbitkan Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho (Rombongan Sandiwara Keliling, Poesat Keboedajaan) seperti Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon. Membaca drama-drama dalam kumpulan tersebut, timbul beberapa pertanyaan berikut. (1) Benarkah drama-drama yang dimuat dalam kumpulan sandiwara dan lelucon itu mengandung propaganda untuk kepentingan Jepang? (2) Hal-hal apakah yang dipropagandakan dalam drama-drama tersebut? (3) Selain muatan propaganda, adakah muatan lain yang bersifat kontra-propaganda dalam drama-drama tersebut? Tulisan ini mendeskripsikan muatan propaganda dan kontra-propaganda dalam drama zaman penjajahan Jepang, khususnya drama-drama yang dimuat dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon. Drama-drama yang dimuat dalam tiga jilid lakon sandiwara dan lelucon itu memang dimaksudkan sebagai propaganda, sejalan dengan prioritas kebijaksanaan perintah militer Jepang di Indonesia masa itu. Namun, walaupun ditujukan untuk propaganda, di dalam drama-drama tersebut terkandung juga pesan berupa penentangan terhadap apa yang dipropagandakan. Pesan kontra-propaganda ini disampaikan secara tersirat melalui pengaluran dan penokohan.
5
Pendahuluan Abad kedua puluh, kata A.P. Foulkes dalam Literature and Propaganda (1983: 1), bisa dianggap sebagai abad propaganda. Bagi Foulkes, propaganda merupakan konsep yang cukup sulit untuk dirumuskan dan karena itu banyak ahli yang membatasi konsep itu pada situasi-situasi yang ekstrem, misalnya masa perang. Di masa itu, propaganda dengan mudah dapat dikenali sebagai komunikasi yang bertujuan untuk menghilangkan semangat musuh atau memperbesar semangat pihaknya sendiri. Selama Perang Dunia I, Foulkes (1983: 8-9) mencontohkan, Angkatan Perang Inggris mengirimkan berim-rim kertas ke garis depan, yang memuat beragam puisi dan prosa patriotik. Sebagian berupa pesanan, dan sebagian besar lainnya diambil secara langsung dari karya-karya Wordsworth, Shakespeare dan sastrawan lain. Contoh di atas menunjukkan hubungan antara sastra dan propaganda; karya sastra bisa menjadi alat yang bermanfaat bagi penyebarluasan propaganda. Meskipun kapan karya sastra merupakan propaganda dan kapan bukan propaganda masih menjadi masalah yang diperdebatkan, J.A. Cuddon (1986: 534) mengemukakan bahwa suatu karya sastra bisa dikatakan sebagai propaganda jika pengarangnya merencanakan untuk mencipta sesuatu dengan sudut pandang agama, sosial atau politik tertentu melalui media drama atau novel, misalnya, dan pada prosesnya ia ‘mengorbankan’ kebenaran atau kenyataan dengan mencipta tokoh dan situasi untuk mengantarkan tesisnya. Merriam-Webster’s Encyclopedia of Literature (1995: 908) merumuskan karya (drama) propaganda sebagai karya yang menganjurkan respons tertentu terhadap masalah yang sedang dibahas. Dari sudut pandang pengarang, pengertian sastra propaganda ini bisa disamakan dengan sastra bertendens. Sastra bertendens, menurut Budi Darma (1983: 12), pada garis besarnya dapat dibedakan atas sastra bertendens yang sejalan dengan pemerintah serta sastra bertendens yang sejalan dengan aspirasi masyarakat. Sapardi Djoko Damono (1994: 3), sementara itu, menganggap propaganda sebagai bagian dari nasihat atau godaan untuk melakukan sesuatu. Sastra yang ‘menggoda’ untuk melakukan sesuatu itulah yang disebut sastra propaganda. Di Indonesia, perkembangan sastra propaganda paling jelas terlihat pada masa penjajahan Jepang. Dalam makalah “Novel dan Propaganda”, Sapardi Djoko Damono (1994) mengemukakan bahwa bala tentara 6
Jepang yang berkuasa di Indonesia mempunyai perhatian terhadap sastra karena sastra bisa menjadi alat untuk propaganda. Novel yang terbit pada masa itu, di bawah tekanan dan sensor pemerintah militer Jepang, harus menjadi wahana propaganda. Sapardi mencontohkannya dengan novel Tjinta Tanah Air karya N. St. Iskandar. Novel bukanlah satu-satunya genre sastra yang digunakan sebagai wahana propaganda, melainkan juga drama. Bahkan, jika dibandingkan antara novel dengan drama yang lahir sepanjang masa penjajahan Jepang, tampaklah bahwa jumlah karangan drama jauh lebih banyak dibanding novel. Dalam “Daftar Novel Indonesia Modern 1920-1990” yang merupakan lampiran dari buku Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, Maman S. Mahayana dkk. (1992: 298-307) hanya mencatat dua buku novel yang terbit pada masa Jepang, yakni karya N. St. Iskandar di atas dan Palawidja karya Karim Halim. Sementara itu, drama yang terbit selama tiga tahun penjajahan Jepang, berdasarkan data Boen S. Oemarjati (1971), E.U. Kratz (1988), Jakob Sumardjo (1992), dan drama-drama yang dimuat dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon, berjumlah lebih dari tiga puluh drama. Dari sejumlah karangan drama itu, seperti dikemukakan Boen S. Oemarjati dan Jakob Sumardjo, sebagian besar merupakan drama propaganda. Kelahiran drama-drama propaganda ini berkaitan erat dengan ketatnya sensor pemerintah militer Jepang terhadap setiap pementasan. Tulisan ini akan membicarakan drama yang luput dari pengamatan, yakni drama-drama yang terhimpun dalam kumpulan drama terbitan Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho. Untuk kepentingan propaganda yang tengah begitu gencar dilakukan, Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho secara khusus menerbitkan buku Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon. Membaca drama-drama tersebut, kita dapat mengajukan tiga pertanyaan berikut. Pertama, benarkah drama-drama yang dimuat dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon itu mengandung propaganda untuk kepentingan Jepang? Kedua, hal-hal apakah yang dipropagandakan dalam drama-drama tersebut? Ketiga, selain muatan propaganda, adakah muatan lain yang bersifat kontrapropaganda dalam drama-drama tersebut?
Drama Zaman Jepang Banyak kritikus yang menyatakan pentingnya masa Jepang bagi 7
perkembangan genre sastra drama Indonesia. Dalam Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, Boen S. Oemarjati (1971: 10) menyebut masa penjajahan Jepang ini sebagai “periode pembangunan”. Oemarjati mencatat bahwa sepanjang masa penjajahan Jepang karya drama yang lahir mencapai hampir dua kali lipat (sebanyak 21 buah) dibanding jumlah karya yang ditulis selama lima belas tahun sebelumnya, sejak Bebasari sampai kedatangan Jepang awal 1942 (12 buah). H.B. Jassin pada satu tulisannya yang termuat dalam Tifa Penyair dan Daerahnya (1991: 91), mengemukakan bahwa “Terutama di masa Jepang banyak sekali ditulis dan dipertunjukkan drama-drama”. Dikatakan terutama, karena dalam tulisan itu Jassin membandingkannya dengan masa sebelum dan sesudahnya, yakni Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan 1945. Namun, pernyataan Jassin bahwa di masa Jepang banyak sekali ditulis karya drama tidak tergambarkan dengan jelas dalam bunga rampai susunan Jassin sendiri, Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1985). Dalam bunga rampai tersebut, hanya dimuat satu karangan Amal Hamzah berjudul “Seniman Pengkhianat” yang berisi dialog antara X dan Y, tanpa sedikit pun keterangan tentang pemanggungan sebagaimana lazimnya teks drama pada masa itu (Jassin, 1985: 88-92). Pada bagian pendahuluan buku itu pun, Jassin (1985: 15-16) hanya membicarakan sekilas tentang drama ini pada ulasan mengenai karangan El Hakim dengan fokus pembicaraan pada karangan drama berjudul “Dewi Reni”. Dalam Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi, bunga rampai “yang terjadi dari kumpulan hasil-hasil kesusastraan yang dikutip selama semenjak kedatangan Jepang di Indonesia tahun 1942 hingga tahun 1948”, Jassin (1993: 76-86) hanya menyertakan satu drama karya Amal Hamzah yang lain, berjudul “Tuan Amin”. Dalam keterangan pengarang pada bagian awal, drama berjudul “Tuan Amin” ini ditulis Amal Hamzah pada masa Jepang (ditulis di Jakarta, 1 Juli 2603-6 Juli 2605 – perhitungan tahun Jepang) sebagai “Kenangan pada waktu aku tersesat masuk ke dalam ‘Rumah Gila’ dan juga kenangan kepada pasien-pasien di sana…”. Yang dimaksud dengan “rumah gila” ialah kantor seni propaganda Jepang, Poesat Keboedajaan. Pada ketiga bunga rampai yang disusunnya, Jassin menganggap perlu mencantumkan keterangan tentang genre apa saja yang tercakup di dalamnya, yakni prosa dan puisi. Dengan hanya menyebut dua genre 8
itu, tidak begitu jelas bagaimana Jassin memandang genre drama, apakah tergolong ke dalam prosa, atau merupakan satu genre lain yang dengan sengaja tidak dibicarakan dalam semua bunga rampai yang disusunnya. Akan tetapi, disertakannya drama Amal Hamzah dalam bunga rampai Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang dan Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi di atas memberi kesan bahwa dalam pandangan Jassin, drama menjadi satu ragam dengan genre prosa. Jika drama dianggap satu ragam dengan prosa, lalu bagaimana dengan drama yang lain? Dalam hal ini, ada kesan bahwa Jassin dengan sengaja (atau tidak sengaja?) ‘menghindar’ untuk membicarakan drama-drama yang lain yang sebagian besar mempunyai corak yang berbeda dengan dua drama karya Amal Hamzah itu. Dalam kata pengantar Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi, Jassin (1993) mengemukakan bahwa sumber-sumber yang dipergunakannya adalah sejumlah majalah dan surat kabar seperti Djawa Baroe, Keboedajaan Timoer, dan Pandji Poestaka. Pada tahun-tahun penjajahan Jepang, seperti dikemukakan Kratz (1988) dalam A Bibliography of Indonesian Literature in Journals: Drama, Prose, Poetry, majalah-majalah yang terbit memuat pula karya-karya drama. Djawa Baroe terbitan sepanjang tahun 1945 memuat “Kumityoo Istimewa”, “Gerakan Hidup Baru”, dan “Hidup dan Mati” (Ananta Gs.) serta “Kuli dan Romusha” (J. Hoetagaloeng). Keboedajaan Timoer selama tiga tahun penjajahan Jepang memuat lima karya drama, yakni “Bende Mataram” (Arifin K. Oetojo), “Sakura dan Nyiur” (M.D. Alif), “Pandu Pertiwi” (Merayu Sukma), “Mutiara dari Nusa Laut” (Usmar Ismail), dan “Jinak-Jinak Merpati atau Hantu Perempuan” (Armijn Pane). Pandji Poestaka pada tahun 1944 memuat satu karya drama berjudul “Bangsacara dan Ragapadmi” (Ajirabas). Berbeda dengan dua karya Amal Hamzah, kebanyakan drama yang lain pada masa Jepang ini, dalam pengamatan Oemarjati (1971) dan Sumardjo (1992) merupakan dramadrama propaganda. Dengan kata lain, Jassin seperti tidak mau membicarakan dramadrama yang mengandung muatan propaganda di dalamnya. Keengganan Jassin untuk membicarakan hal ini menjadikan gambaran tentang dramadrama pada masa Jepang yang sesungguhnya tidak dijumpai pada, dan malah bertolak belakang dengan, drama-drama yang dimuat dalam bunga rampai Jassin itu.
9
Propaganda dalam Panggoeng Giat Gembira Sejalan dengan makin gencarnya usaha pemerintah militer Jepang melakukan mobilisasi untuk kemenangan Jepang yang mulai meningkat sejak Oktober 1943 (Ricklefs, 1995: 308), maka wajar jika propaganda untuk meningkatkan keterlibatan (rakyat) Indonesia dalam mobilisasi itu juga makin gencar. Pada Oktober 1943 pihak Jepang memerintahkan penghimpunan romusha dan membentuk organisasi pemuda Peta di samping pasukan pembantu Heiho yang sudah lebih dulu ada. Program mobilisasi ini melibatkan pula kalangan sastrawan yang tergabung dalan Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho (Rombongan Sandiwara Keliling, Poesat Keboedajaaan) yakni dengan mencipta karangan drama propaganda. Seperti karangan puisi dan prosa, karangan drama pada masa Jepang juga banyak dipublikasikan melalui majalah, antara lain Djawa Baroe, Keboedajaan Timoer, dan Pandji Poestaka. Sebagian dari majalah itu merupakan penerbitan resmi pemerintah militer Jepang, dan karena itu jelas menyuarakan, termasuk mempropagandakan, kepentingan pihaknya. Sebagian lagi adalah penerbitan partikelir yang tidak lepas dari mata sensor yang ketat sehingga mau tidak mau harus turut pula menyampaikan propaganda pihak Jepang itu. Maka drama-drama yang lahir pada masa itu, seperti dikemukakan Oemarjati (1971: 110) dan Sumardjo (1992: 246-50), sedikit banyak pada umumnya mengandung muatan propaganda. Untuk kepentingan propaganda yang tengah gencar dilakukan, Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho secara khusus menerbitkan buku Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjoen. Kumpulan ini terbit sebanyak tiga jilid; pada jilid pertama dinyatakan bahwa buku itu terbit pada bulan “Pebroeari 2605” (perhitungan tahun Jepang = 1945M), sedangkan pada jilid kedua dan ketiga tidak dinyatakan waktu penerbitannya, tetapi dapat dipastikan bahwa keduanya terbit pada tahun yang sama. Panggoeng Giat Gembira jilid I memuat dua buah lakon: “Kami Perempoean” karya Asia Poetera dan “Bekerdja!” karya Ananta Gs., serta dua buah lelucon: “Djarak” karya Djojokoesoemo dan “Gendoet dan Kampret” karya A. Kartahadimadja. Panggoeng Giat Gembira jilid II memuat tiga lakon, “Koesoema Noesa” karya Kotot Soekardi, “Ajoo…. Djadi Roomusha!” karya Ananta Gs., dan “Awas, Mata-Mata Moesoeh” karya D. Djojokoesoemo. Panggoeng Giat Gembira 10
jilid III berisi dua lakon: “Lolobis (Ajo, Semoea Sadja Bekerdja)” karya A. Subyanto dan “Kembali dari Medan Perang” karya Ananta Gs., serta dua buah lelucon, “Huzinkai” karya Anak Masjarakat, dan “Bebek Bertoeah” karya Aki Panjoempit. Bahwa drama-drama yang dimuat dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon dimaksudkan sebagai propaganda, secara tersurat dinyatakan dalam “Permoelaan Kata” berikut. Panggoeng sandiwara dimasa perdjoeangan jang sedang memoentjak ini, maka mendjadi tempat jang penting bagi pengolahan semangat garis belakang. Dimana-mana, sampaisampai kepeloksok negeri, orang siboek mengoesahakan pertoendjoekan-pertoendjoekan sandiwara. Njatalah, keinsafan soedah tertanam. Meskipoen bagaimana djoega, oentoek mentjapai kemenangan jang sempoerna atas moesoeh kita Inggris-Amerika dan Belanda, garis belakang hendaknja sekedjap poen djangan melemah, malahan hendaknja menjamai semangat garis depan, seperti jang ditoendjoekkan oleh “Kamikaze Tokubetsu Kogeki-tai”. Demikianlah dari segala peloksok kami terima permintaan soepaja dikirimi lakon-lakon sandiwara serta leloetjon, hingga kami merasa perloe menerbitkan boekoe ketjil ini. Kiranja lajak dipertoendjoekkan oleh penggemar-penggemar sandiwara dalam paberik, bengkel, sekolah, dimana sadja dirasa perloe menggerakkan semangat, boekoe ketjil ini bermaksoed djoega menghiboer, hingga moedah-moedahan tertjapailah “sekali memboeka peti, doea tiga oetang terbajar”. Uraian berikut ini akan memaparkan propaganda yang disampaikan dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon. “Kami, Perempoean” adalah drama karya Asia Poetera yang, dalam “Kata Pembimbing” dinyatakan, “mengemoekakan so’al wanita dan Pembela Tanah Air dengan tjara jang loetjoe dan menarik”. Seorang suami bernama Mahmoed bingung tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan kabar kepada Aminah, istrinya, bahwa ia diterima menjadi anggota barisan Pembela Tanah Air. Kebingungan dirasakan Mahmoed karena Aminah tidak setuju dengan keinginan Mahmoed menjadi anggota Peta. Adapun Sri, adik Aminah, malahan putus dengan Soepono tunangannya karena “… Pono penakoet. Dia tidak maoe masoek Tentera Pembela Tanah Air. Akoe maloe mempoenjai toenangan 11
jang takoet toeroet perang....” Takut sang istri tidak berkenan, Mahmoed meminta bantuan Sri untuk memberi tahu Aminah. Pada saat yang sama, Soepono datang meminta bantuan Aminah untuk memberi tahu Sri bahwa ia sudah lama mendaftarkan diri dan kini diterima masuk Peta, dan dengan demikian ia “berhak” kembali menjadi tunangan Sri. “Cara yang lucu dan menarik” muncul dalam drama ini, ketika Aminah dan Sri saling bertukar kabar, sementara Mahmoed bersembunyi di lemari dan Soepono di bawah meja. Drama ini menyampaikan propaganda agar segenap penduduk, baik laki-laki maupun perempuan, para pemuda sampai kaum tua, bekerja sama bahu-membahu untuk kemenangan Jepang “mengoesir orang Inggeris, Amerika dan Belanda”. Semua tokoh dalam drama ini mempropagandakan berbagai upaya yang dapat dilakukan masingmasing. Mahmoed dan Soepono dengan “toeloes ichlas” masuk barisan Peta. Sementara Aminah (istri Mahmoed) dan Sri (tunangan Soepono), masing-masing berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran suami dan kekasihnya bergabung ke dalam Peta. Bapak beserta dua tetangga mereka, Arifin dan Soeharto yang merasa cemburu karena Mahmoed dan Soepono masuk Peta, “bekerdja oentoek oemoem” dengan bergabung ke Badan Pembantoe Pembelaan. Demikian pula dengan tokoh Ibu yang bergabung membaktikan keahliannya “memasak oentoek rakjat oemoem”, dalam Fujinkai. Propaganda untuk memasuki barisan Peta juga disampaikan dalam “Koesoema Noesa”, drama dua babak karya Kotot Soekardi. R. Handiman, seorang bekas aktivis pergerakan “jang semangatnja tetap menjala” menderita batin dan hampir saja membunuh Hartomo akibat tidak kuasa menanggung malu karena anaknya itu tidak mau masuk barisan Peta. Sebaliknya, Hardjanti menolak keinginan orang tuanya untuk menikah dengan Oetojo karena lelaki itu bukan seorang prajurit. Suasana keluarga itu menjadi dingin dan tidak menyenangkan, sampaisampai pembantunya juga pergi. Hartomo melarikan diri dan R. Handiman menjadi pemurung dan tidak punya semangat hidup. Akhir cerita drama ini mirip dengan drama Asia Poetera di atas. Hartomo dan Oetojo pulang dengan seragam prajurit Heiho. Hardjanti pun kini tidak menolak Oetojo. Bahkan Amat, pembantu keluarga yang turut menghilang, kini menjadi seorang Kaigun Heiho. Dua drama karya Ananta Gs. berjudul “Bekerdja!” dan “Kembali 12
dari Medan Perang” juga mempropagandakan untuk ikut “berjuang” menjadi barisan Heiho serta menjadi barisan pendukungnya; pokoknya, turut ambil bagian untuk kemenangan Jepang. Dalam drama “Bekerdja!”, Bang Djangkoeng berusaha “menanamkan kesadaran” kepada Pak Gendoet agar mau bekerja untuk “kepentingan bersama”. Pak Gendoet yang malas bekerja dan sering cekcok dengan istrinya, setelah dinasihati Pak Kumicho dan Bang Djangkoeng kawannya, akhirnya insaf. Pak Gendoet sekeluarga ambil bagian dalam “perjuangan”: Gendoet anaknya menjadi prajurit “madjoe kemedan perang jang paling depan”, Pak Gendoet “kemedan perang sebagai pradjoerit patjoel digaris belakang”, dan Mak Gendoet masuk Fujinkai. Dalam drama “Kembali dari Medan Perang” dilakonkan seorang Heiho bernama Hamid yang baru kembali dari Birma. Ia pulang dengan membawa berita yang menyedihkan; Samad, kakak iparnya yang juga Heiho, tewas di Birma. Sangat jelas bahwa drama ini mempunyai tendens bahwa keluarga-keluarga yang ditinggal mati oleh anggota keluarga yang menjadi Heiho harus merasa bangga karena mereka dianggap telah berjasa dan yang tewas itu tidaklah sia-sia karena menjadi pahlawan. Meskipun anak sulungnya tewas, Pak Djangkoeng merasa bergirang hati karena anaknya yang ketiga, tanpa takut menghadapi resiko kematian, sudah meminta izin menjadi prajurit Peta. Jika keempat drama di atas mempropagandakan masuk Peta dan Heiho, drama “Lolobis (Ajo, Semoea Sadja Bekerdja) karya A. Subyanto berisi “andjoeran masoek mendjadi romusha dengan kesedaran dan atas kemaoean sendiri (soekarela)”. Djaja, Oedjang, Parta, bahkan Mak Idjah yang sudah tua bersemangat menjadi romusha karena mereka sadar, seperti dikatakan Djaja, bahwa “… kalau perang ini haroes dipertjepat mentjapai kemenangan soepaja kita djoega selekasnja terlepas dari kesoesahan sebab adanja perang, maka sanggoeplah akoe toeroet bantoe peperangan ini”. Muatan propaganda pada drama ini sama dengan propaganda dalam karya Ananta Gs. “Ajoo…. Djadi Roomusha!”. Dalam drama ini disampaikan propaganda agar penduduk mau dengan sukarela menjadi romusha. Pak Gendoet yang mendapat tugas untuk mencari tenaga romusha berhasil membujuk Pak Krempeng dan Toean Moeda menjadi tenaga kerja paksa. Dipropagandakan dalam drama ini bahwa menjadi romusha penting untuk “menggalang Indonesia merdeka dikemoedian 13
hari.” Dua drama karya D. Djojokoesoemo dalam kumpulan ini adalah drama pendek “Djarak” dan drama dua babak “Awas, Mata-Mata Moesoeh”. Drama yang menggambarkan ketololan Mbok Bopeng memakan buah jarak ini mempropagandakan penanaman pohon jarak, yang hasilnya dijual dengan harga yang ditetapkan pemerintah militer Jepang. Sementara itu, yang disebut mata-mata musuh dalam drama “Awas, Mata-Mata Moesoeh” ternyata Mpok Moot yang mengambil daun pisang ambon Mpok Botak, dan Kasim, suruhan Tuan Saman, yang mencuri air dari selokan untuk mengairi sawah majikannya. Ketiga orang ini, seperti layaknya dalam drama didaktis, akhirnya insaf. Drama “Huzinkai” karya Anak Masjarakat mengisahkan Soeharti, anggota Huzinkai, yang aktif memberikan pelajaran dari satu kursus ke kursus lain. Aktivitas Soeharti mula-mula mendapat tentangan keras Pak Sastra, pamannya. Pada akhir drama, sikap pamannya berubah setelah melihat betapa besar manfaat dari aktivitas keponakannya yang bergabung dalam Huzinkai. “Sajang akoe boekan perempoean, tidak bisa masoek Huzinkai,” sesal Pak Sastro pada dialog terakhir drama ini. “Bebek Bertoeah” karya Aki Panjoempit berpropaganda agar berbakti kepada negeri dan “memperlipatkan hasil” untuk kepentingan perang. Ketika Kutyo meminta bantuan uang untuk kepentingan umum, Pak Djoeriah yang kikir hanya memberikan seekor bebek yang sudah tidak lagi bertelur. Di tangan Kutyo, bebek itu mau bertelur bahkan sekali bertelur bukan hanya satu butir. Melihat Pak Djoeriah yang keheranan atas kejadian itu, Saenan menjelaskan, “Doeloe ia haroes berteloer oentoek kepentingan Pak Djoeriah sendiri, sekarang ia berbakti kepada Negeri”. Cerita bebek ajaib yang bertelur untuk “berbakti kepada negeri” itu ternyata hanya siasat Kutyo agar Pak Djoeriah rela menyumbangkan hasil panennya untuk pemerintah. Adapun drama “Gendoet dan Kampret” karya A. Kartahadimadja menyampaikan propaganda pentingnya mengurus keluarga. Gendoet yang sedang bermain gundu dengan Kampret ditangkap Kumicho garagara bolos sekolah. Anak itu membolos sekolah karena “orang tuanja koerang memperhatikan anak-anak itoe”. Atas nasihat Kucho, Pak Gendoet menyadari kelalaiannya memperhatikan anaknya. Demikianlah propaganda dalam Panggoeng Giat Gembira: Lakon Sandiwara dan Leloetjon. Propaganda disajikan dengan menggunakan 14
piranti kesastraan berupa dialog. Karena hanya menggunakan dialog, maka propaganda yang disajikan dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon cenderung bersifat verbalistis. Dialog-dialog dalam sejumlah drama di atas berisi propaganda yang sejalan dengan prioritas kebijaksanaan pemerintah militer Jepang di Indonesia masa itu, yakni mobilitas untuk kemenangan Jepang.
Kontra-Propaganda dalam Drama Propaganda Pada tiga tahun terakhir menjelang Indonesia merdeka, pemerintahan militer Jepang bukanlah satu-satunya kenyataan sosial yang berpengaruh terhadap penciptaan karya sastra termasuk drama. Patut pula diperhitungkan semangat perjuangan kemerdekaan yang telah tumbuh jauh sebelum Jepang datang menduduki wilayah jajahan Hindia Belanda. Dalam kadar yang beragam, semangat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan ini berseberangan dengan sikap membela penjajah dengan turut membantu mempropagandakan ajakan untuk membantu pemerintah Jepang. Dengan demikian, bisa dipertanyakan apakah benar drama-drama di masa Jepang itu sepenuhnya merupakan propaganda, atau adakah maksud lain yang tersirat di dalamnya yang mungkin berupa penolakan atas propaganda itu sendiri atau kontra-propaganda. Benarkah drama-drama itu sepenuhnya merupakan propaganda? Dialog-dialog dalam drama di atas memang secara tersurat merupakan ajakan untuk turut berjuang bersama-sama Jepang melawan penjajah, mengajak masyarakatnya untuk merelakan hartanya demi kepentingan perang, dan bahkan menanamkan kesadaran untuk mau menjadi romusha. Namun, dialog jelas bukan satu-satunya unsur pokok dalam drama. Di samping dialog, terdapat unsur lain yang dapat menjadi kendaraan untuk mengangkut tema sebuah karya, seperti alur, tokoh dan latar. Pada uraian berikut ini, drama-drama yang telah dibicarakan akan ditinjau ulang dari sudut yang belum dibicarakan. Drama “Kami, Perempoean” menyajikan konflik antara dua pasang lelaki dan perempuan: pasangan kekasih Sri-Soepono dan pasangan suami-istri Mahmoed-Aminah. Kedua pasangan ini mengalami konflik gara-gara ketidaksepahaman yang timbul akibat keterlibatan dan ketidakterlibatan si lelaki dalam organisasi Peta. Sri putus dengan Soepono gara-gara Soepono tidak menjadi anggota Peta, sementara Aminah cekcok dengan Mahmoed gara-gara suaminya itu masuk Peta. 15
Dalam drama yang bermaksud mempropagandakan masuk Peta ini tergambar urusan pemerintah telah masuk ke wilayah keluarga. Hubungan percintaan Sri-Soepono dan keutuhan keluarga AminahMahmoed hanya bisa langgeng jika si lelaki pada kedua pasangan ini memenuhi kewajiban yang dibebankan pemerintah militer Jepang, yakni menjadi anggota Peta. Drama ini menggambarkan merasuknya kekuasaan pemerintah militer Jepang ke dalam wilayah yang sangat pribadi yaitu ikatan keluarga dan hubungan percintaan. Masuknya kekuasaan negara ke dalam wilayah keluarga juga terlihat pada drama “Koesoema Noesa”. Kewajiban menjadi Heiho telah memorakporandakan keluarga R. Handiman. Hubungan ayah-anak menjadi berantakan gara-gara Hartomo menolak menjadi Heiho, sementara Hardjanti menolak menikah dengan Oetojo karena persoalan yang sama. Hubungan antaranggota keluarga itu baru kembali harmonis setelah “syarat” dipenuhi; Hartomo dan Oetojo masuk ke dalam barisan Heiho – bahkan pembantu keluarga itu juga. Dalam “Kembali dari Medan Perang” terdapat tokoh Pak Krempeng. Nama tokoh ini merupakan sebutan terhadap tokoh berdasarkan keadaan fisiknya yang sangat kurus. Kamus Besar Bahasa Indonesia memerikan k(e)rempeng sebagai “sangat kurus sehingga tulang rusuk tampak menonjol; kurus sekali (sehingga tampak tipis)”. Menghadirkan tokoh yang kurus sekali, dalam drama bercorak lelucon memang bisa dianggap sebagai hal biasa. Namun, keadaan tokoh ini juga bisa dimaknai lain. Keadaan sangat kurus, apalagi sampai tulang rusuknya tampak menonjol, dapat pula menggambarkan penderitaan dalam waktu yang tidak sebentar, menderita kelaparan atau menderita pikiran. Dalam drama “Ajoo…. Djadi Romusha!”, keengganan Pak Gendoet, pekerja yang bertugas mengumpulkan “romusha soeka rela” dapat dipandang sebagai kontra-propaganda atas apa yang dipropagandakan Pak Gendoet sendiri. Meskipun pada akhirnya Pak Gendoet menuliskan namanya dalam daftar “romusha soeka rela”, tetapi tindakan itu dilakukan karena desakan istrinya. Sebagai “pekerdja mengoempoelkan romusha soeka rela”, Pak Gendoet tentulah orang yang paling tahu apa yang akan terjadi pada pekerjaan tersebut. Drama “Djarak” diawali dengan tindakan tolol Mbok Bopeng memakan buah jarak. Tindakan lucu pada awal drama ini mengandung makna metaforik. Seperti nama Pak Krempeng dalam drama “Kembali 16
dari Medan Perang”, nama Mbok Bopeng mengacu pada keadaan fisik, wajah tokoh yang mengesankan seram dan menakutkan. Pada zaman Jepang, penduduk diwajibkan menanam jarak dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah militer Jepang dengan harga murah. Mbok Bopeng dapat diartikan sebagai gambaran pemerintah militer Jepang yang “memakan” kekayaan penduduk. “Awas Mata-Mata Moesoeh” menyajikan propaganda dengan pernyataan-pernyataan kabur makna. Pernyataan bermakna kabur ini di sisi lain justru melahirkan ambiguitas yang cenderung bersifat kontrapropaganda. Seorang perempuan tua yang mengambil daun pisang dari kebun milik perempuan tua lainnya dan seorang buruh tani yang mencuri air dari selokan untuk mengairi sawah majikannya diberi julukan yang seram yakni sebagai “mata-mata musuh”. Drama ini menggambarkan betapa represifnya pemerintah militer Jepang, sehingga hal-hal yang amat sepele pun bisa mengakibatkan malapetaka yang amat besar. “Bebek Bertoeah” menyajikan sebuah keajaiban; seekor bebek yang sudah tidak bertelur tiba-tiba besaja bertelur kembali, bahkan sekali bertelur lebih dari satu butir. Alasannya, karena kini bebek itu disumbangkan untuk kepentingan umum. Akan tetapi, keajaiban itu ternyata hanyalah taktik Kutyo menipu Pak Djoeriah agar dengan rela menyumbangkan hasil panennya. Kehadiran tokoh Kutyo sebagai penipu, tentu dapat memperlemah propaganda yang disampaikan drama ini. Penelaahan lebih kritis atas drama-drama yang terhimpun dalam tiga jilid Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon di atas menunjukkan bahwa pada sebagian besar drama tersebut terkandung juga pesan terselubung yang sesungguhnya dapat dipandang sebagai penolakan terhadap apa yang dipropagandakan yang dinyatakan secara verbal dalam unsur dialog drama tersebut. Penolakan semacam itu dikategorikan sebagai kontra-propaganda. Berbeda dengan muatan propaganda yang demikian jelas dan karena itu dengan mudah segera tertangkap pembaca – karena Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon memang diterbitkan untuk maksud propaganda, muatan kontra-propaganda dalam drama tersebut dinyatakan secara tersirat dan bahkan tersembunyi. Jika pesan propaganda disampaikan secara verbal melalui dialog, pesan yang bersifat kontra-propaganda disusupkan ke 17
dalam drama melalui piranti pengaluran dan penokohan.
Penutup Setelah menelaah sebelas drama (sandiwara dan lelucon) yang dimuat dalam kumpulan sandiwara dan lelucon Panggoeng Giat Gembira, dapat disimpulkan bahwa drama-drama yang dimuat dalam kumpulan Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon memang dimaksudkan sebagai propaganda. Propaganda yang disampaikan dalam drama-drama tersebut sejalan dengan prioritas kebijaksanaan perintah militer Jepang di Indonesia masa itu, yakni mobilisasi untuk kemenangan Jepang. Adapun isi yang disampaikan dalam drama-drama yang ditelaah adalah: (a) penanaman kesadaran untuk bergabung ke dalam barisan Pembela Tanah Air, Heiho, serta perkumpulan lain seperti Badan Pembantu Pembelaan, Fujinkai, dan Huzinkai; (b) penanaman kesadaran untuk bersedia menyumbangkan tenaganya dengan menjadi romusha atau tenaga kerja paksa; serta (c) penanaman kesadaran untuk bersedia mendukung perjuangan dengan menyumbangkan harta benda yang dimiliki. Propaganda tersebut disampaikan secara verbal dengan menggunakan piranti kesastraan berupa dialog tokoh-tokoh dalam drama. Meskipun drama-drama tersebut ditulis dengan tujuan propaganda sebagaimana kehendak pemerintah Jepang, di dalam drama-drama tersebut terkandung juga pesan berupa penentangan terhadap apa yang dipropagandakan. Pesan yang dapat dianggap sebagai kontra-propaganda itu berupa penggambaran bahwa penderitaan atau keadaan yang tidak membahagiakan akibat kekuasaan pemerintah Jepang yang menjangkau sampai ke wilayah yang bersifa personal. Pesan kontra-propaganda ini disampaikan secara tersirat melalui pengaluran dan penokohan.
18
Daftar Pustaka Cuddon, J.A. Dictionary of Literary Terms, revised edition. Middlesex: Penguin Book. 1986. Damono, Sapardi Djoko. “Novel dan Propaganda” (makalah seminar). 1994. Darma, Budi. “Beberapa Gejala dalam Penulisan Sastra”, dalam Horison Tahun XVIII No. 1, Januari 1983. Foulkes, A.P. Literature and Propaganda. New York: Methuen. 1983. Jassin, H.B. Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi. Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-10. 1993. Jassin, H.B. Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-5. 1985. Jassin, H.B. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Haji Masagung, cet. ke8. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1991. Kratz, E.U. Bibliography of Indonesian Literature in Journals: Drama, Prose, Poetry. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1988. Mahayana, Maman S. dkk. Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 1992. Merriam-Webster’s Encyclopedia of Literature. 1995. Oemarjati, Boen S. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. 1971. Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon, jilid I – III. Djakarta: Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho. 2605. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1995. Sumardjo, Jakob. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti. 1992.
19
20
Sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara: Warisan Tradisi Tulis yang Belum Tergenggam1 Abstrak Southeast Sulawesi inherits a brilliant written tradition from Buton’s Sultanate. However, from the past time to the present day this tradition has not been well-sustained as it has been done by other regions with similar tradition. This paper aims to discuss the position of Southeast Sulawesi in the realm of Indonesian literatures as well as the development of Indonesian literatures in Southeast Sulawesi. As this paper indicates, as far as literature is concerned, Southeast Sulawesi has not yet well-established in the realm of Indonesian literature. Most important factors contributed to this condition include the non-existence of literary figures who are capable of developing literature community in the region, and lack of awareness of cultural responsibility in the part of the mass media for the provision of ample opportunities for literary creation.
Warisan Terpendam, Warisan Tergenggam Adakah nama Sulawesi Tenggara dalam peta sastra Indonesia? Bila merujuk kepada warisan tradisi penulisan pada masa lampau, semestinya nama Sulawesi Tenggara sudah tercatat dalam peta itu. Di provinsi ini, pada masa silam, berdiri antara lain sebuah kerajaan (yang kemudian berubah menjadi kesultanan) bernama Buton. Kerajaan yang diperkirakan berdiri pada awal abad XIV dan berakhir pada tahun 1960 ini meninggalkan kekayaan warisan yang masih terpendam: naskah. Sebuah proyek inventarisasi naskah Buton yang dikerjakan oleh 21
Achadiati Ikram dkk. telah berhasil melakukan pembuatan katalog dan sinopsis isi sebanyak 320 naskah koleksi Abdul Mulku Zahari.2 La Niampe menyatakan bahwa di Kesultanan Buton tradisi penulisan naskah ini berkembang di kalangan keluarga bangsawan yang diajar oleh para ulama yang datang ke Buton atas undangan para sultan.3 Para ulama yang datang ke Negeri Butun antara lain Syarif Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman, Firus Muhammad, Sayid Raba, Said Ulwi, Haji Sulaiman atau lebih dikenal dengan nama Haji Pada, Abdullah atau Mojina Kalau, Tuan Muda Abdul Rahman Khudari Wan Ali Fatani, serta Syekh Muhammad bin Syais Sumbul al-Makki. Dari didikan para ulama yang datang itulah kemudian di kesultanan ini lahir para penulis seperti Muhammad Idrus Qaimuddin, Muhammad Isa Qaimuddin, Haji Abdul Ganiu, Haji Abdul Hadi, La Kobu, dan Abdul Khalik Maa Saadi.4 Oleh karena itu, tidaklah salah jika Saifuddin Gani menjuluki Kesultanan Buton ini sebagai negeri pujangga.5 Karena kegemilangan tradisi penulisan di masa silam itulah, maka perkembangan sastra di Sulawesi Tenggara semestinya dapat menyamai kemajuan di daerah lain yang memiliki tradisi masa silam yang sama. Akan tetapi, walaupun tradisi penulisan di masa Sultan Muhammad Idrus Qaimuddin (penulis Bula Malino, memerintah pada 1824-1851) di Buton lebih kurang sezaman dengan Raja Ali Haji (penggubah Gurindam 12, 1809-1870) di Riau, 6 ternyata keberlanjutan tradisi penulisan ke masa kini tidaklah sama. Keberlanjutan hidup sastra Melayu, menurut Abdul Razak Zaidan, mewujud dalam bentuk “metamorfosis”, seperti pengolahan mantra dalam tradisi Melayu Riau oleh Sutardji Calzoum Bachri, penafsiran tambo oleh Gus tf, serta pergulatan kreatif Ediruslan P. Amanriza dan Taufik Ikram Jamil. 7 Sementara Riau telah melahirkan beberapa generasi sastrawan ternama, Sulawesi Tenggara hingga kini masih belum juga melahirkan sastrawan yang dikenal khalayak pembaca di seluruh Indonesia. Tepatlah kiranya jika Achadiati Ikram dkk. menganggap koleksi naskah Buton sebagai warisan terpendam.8 Warisan tradisi tulis yang terpendam dari masa Kesultanan Buton itu belum digali dengan baik sehingga belum juga lahir penulis-penulis yang dapat menorehkan nama Sulawesi Tenggara pada peta sastra Indonesia. Adapun di Riau, tradisi penulisan semasa Raja Ali Haji dan sebagainya telah menjadi warisan yang tergenggam oleh generasi penerusnya di masa kini. 22
Perbedaan kondisi keberlanjutan tradisi masa silam pada masa kini antara Riau (serta beberapa daerah lain yang memiliki tradisi tulis pada masa silam) dengan Sulawesi Tenggara, khususnya Buton (yang juga memiliki tradisi yang sama di masa lalu) tentu menarik untuk menjadi bahan penelaahan. Tulisan ini pertama-tama akan membahas posisi Sulawesi Tenggara dalam peta sastra Indonesia. Selanjutnya akan diuraikan pertumbuhan sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara; siapa saja pengarang yang berkecimpung dalam dunia sastra di provinsi ini serta berbagai persoalan yang muncul dalam proses pertumbuhan tersebut.
Sulawesi Tenggara dalam Peta Sastra Indonesia Satu-satunya buku sejarah sastra Indonesia yang mencatat kegiatan sastra di Sulawesi Tenggara adalah Pengantar Sejarah Sastra Indonesia karangan Yudiono K.S. 9 Catatan Yudiono K.S. dalam buku itu didasarkan pada sebuah hasil penelitian Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara tentang komunitas sastra di Sulawesi Tenggara.10 Dalam bukubuku sejarah sastra Indonesia yang lain, belum pernah tercatat seorang pun sastrawan yang lahir dan/atau tinggal menetap di Sulawesi Tenggara. Dalam Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern karangan Pamusuk Eneste misalnya, dalam seluruh angkatan sastra yang ada, tidak seorang sastrawan pun yang berasal dari Sulawesi Tenggara.11 Sesungguhnya ada dua sastrawan yang lahir di Sulawesi Tenggara. Namun keduanya memulai dan menjalani proses kepengarangan di daerah lain. Kedua sastrawan itu adalah La Ode Pesu Aftarudin dan Asia Ramli Prapanca. 12 La Ode Pesu Aftarudin adalah kelahiran Kampung Kasaka, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Ia mulai menulis puisi ketika duduk di bangku SGA Garut. Puisi-puisinya dimuat antara lain pada majalah Basis, Horison, dan Budaya Jaya. Ketika kuliah di IKIP Bandung (kini Universitas Pendidikan Indonesia), ia mulai pula menulis masalah-masalah sastra dan kebudayaan.13 Adapun Asia Ramli Prapanca lahir di Kampung Usuku, Kecamatan Tomia, yang kini termasuk wilayah Kabupaten Wakatobi. Ia menempuh pendidikan menengah di Banyuwangi, Pasuruan, dan Ambon hingga kemudian kuliah di IKIP Ujung Pandang (kini Universitas Negeri Makassar). Tahun 1993 ia menerbitkan kumpulan puisi berjudul Berita dari Karaeng.14 Karena proses kepengarangan keduanya berlangsung di luar Sulawesi 23
Tenggara – La Ode Pesu Aftarudin di Jawa Barat dan Asia Ramli Prapanca di Sulawesi Selatan, maka keduanya tidak serta-merta menjadikan provinsi tanah kelahiran keduanya sebagai kantong sastra yang patut diperhitungkan. Tidak adanya sastrawan asal Sulawesi Tenggara yang ditokohkan atau tokoh sastra yang tinggal di Sulawesi Tenggara ini kiranya harus diakui sebagai salah satu penyebab mengapa kekayaan warisan tradisi penulisan dari masa silam masih saja terpendam, sementara daerah lain yang memiliki sastrawan yang ditokohkan di daerahnya warisan tradisi penulisan itu dapat tergenggam.15 Kenyataan ini sejalan dengan pernyataan Goenawan Mohamad bahwa “kesusastraan Indonesia adalah … kesusastraan kota”.16 Di Sulawesi Tenggara pun, kegiatan seni masih terpusat di Kendari sebagai ibukota provinsi. Upaya menempatkan nama Sulawesi Tenggara untuk dikenal sebagai salah satu kantong sastra di Indonesia mulai dilakukan oleh Syaifuddin Gani, seorang penyair kelahiran Salubulung, Mambi, Sulawesi Barat, yang memulai aktivitas berkesenian sebagai pemain drama di Teater Sendiri, dua puluh tahun lalu. Kumpulan puisinya berjudul Perjalanan yang terbit pada 2004 dapat dicatat sebagai kumpulan puisi tunggal pertama yang terbit di Kendari. Di samping mengirimkan karya-karyanya sendiri, penyair ini secara aktif mengirimkan karya-karya puisi karangan kawan-kawannya ke sejumlah media yang terbit di luar Sulawesi Tenggara, baik cetak maupun elektronik. Maka sejak 2005, karya-karya Syaifuddin telah tersebar di berbagai media yang terbit di luar Sulawesi Tenggara seperti Republika, Seputar Indonesia, Horison, Annida (Jakarta), Gong (Yogyakarta), Lampung Post (Bandar Lampung), Bali Post, Sundih (Denpasar), Pedoman Rakyat (Makassar), Analisa (Medan), dan Pikiran Rakyat (Bandung).17 Selain Syaifuddin Gani, masih ada beberapa penulis lain yang “melaut di samudera sastra Indonesia”, walaupun mereka belum seproduktif Syaifuddin Gani. Di bidang puisi, terdapat nama Iwan Konawe (nama lain dari Iwan Comcom atau Irawan Tinggoa) dan Sendri Yakti – karya keduanya antara lain pernah dimuat di Majalah Gong. Di bidang prosa, karya-karya S. Gali (kadang-kadang menggunakan nama pena Galih) yang dimuat di majalah Horison dan Majalah Gong setidaknya telah memperkenalkan keberadaan penulis cerpen di Kendari.18 Kemunculan Syaifuddin Gani serta penulis lain seperti Iwan Konawe, S. Gali, dan Sendri Yakti dalam gugusan peta sastra Indonesia 24
ini memang masih terlalu sedikit jumlahnya bagi pertumbuhan sastra yang cukup sehat di sebuah provinsi; tetapi intensitas berkarya Syaifuddin Gani dan kawan-kawannya setidaknya dapat memberikan harapan bahwa di masa depan Sulawesi Tenggara dapat menyejajarkan diri sebagai kantong sastra setara dengan kantong sastra daerah lain.19
Pertumbuhan Sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara Pertumbuhan sastra di Sulawesi Tenggara tidak dapat dilepaskan dari hadirnya komunitas-komunitas seni di provinsi ini, sejak akhir tahun 1960-an. Pada masa itu, berdiri dua komunitas yakni Ikatan Seniman Sulawesi Tenggara (Ika Sastra) dan Ikatan Seniman dan Budayawan Angkatan Sekarang (ISBAS). Komunitas Ika Sastra (berdiri hingga akhir 1980-an) dimotori oleh Heri Imran Nur, Munawar Fatiha, Nor Satega Ali, Saleh Manja dan Sarham D.T. (nama yang disebut terakhir ini bersama Muh. Edi Sul kemudian mendirikan ISBAS). Kegiatan Ika Sastra yang penting dicatat adalah Festival drama se-Sulawesi Tenggara pada tahun 1968 dan 1971.20 Walaupun telah dicatat Yudiono K.S. dalam Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, kehidupan sastra di Sulawesi Tenggara pada kurun 1960-an sampai awal 1990-an sesungguhnya masih agak gelap. Hingga saat ini belum ditemukan dokumen-dokumen yang membuktikan adanya publikasi karya sastra, baik dalam bentuk buku maupun media cetak. Yang lebih mengemuka pada masa itu adalah kegiatan di bidang seni drama, bidang seni yang merupakan aktivitas utama dua komunitas yang telah disebutkan di atas. Setelah Ika Sastra dan ISBAS bubar, komunitas seni yang aktif kemudian adalah Teater Angkasa, komunitas yang anggotanya adalah pegawai RRI Kendari yang memfokuskan perhatian pada drama-drama radio serta pertunjukan untuk mengisi acara yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran tersebut. Dari tahun 1990-an hingga sekarang, sastra tumbuh di Sulawesi Tenggara juga antara lain dari komunitas yang kegiatan utamanya adalah teater. Pada periode ini, patut dicatat kehadiran kelompok Teater Sendiri yang didirikan pada 21 Juni 1992 oleh dramawan Achmad Zain.21 Di samping kegiatan seni teater yang menjadi aktivitas utamanya, kelompok ini telah berperan penting dalam menumbuhkan kehidupan sastra di provinsi ini. Diawali dengan penerbitan antologi penyair Sulawesi Tenggara Dengung (1996), Teater Sendiri kemudian menerbitkan empat 25
kumpulan puisi berupa antologi bersama yakni Sendiri (2003), Sendiri 2, Malam Bulan Puisi (2004), Pembacaan Sajak Akhir Tahun (2005), dan Sendiri 3 (2006).22 Teater Sendiri juga menerbitkan dua kumpulan puisi tunggal yaitu Perjalanan (kumpulan puisi Syaifuddin Gani), dan Merobek Malam (kumpulan puisi Achmad Zain).23 Di samping Teater Sendiri, pada 2004 ada sembilan komunitas lain yang bidang kegiatan utamanya mencakup sastra.24 Akan tetapi, kesembilan komunitas tersebut kini sudah tidak terdengar lagi aktivitasnya. Dua komunitas/lembaga yang tercatat pernah membuat publikasi karya adalah Studio Drama FKIP Unhalu yang menerbitkan Memberi Harga pada Kata: Kumpulan Sajak Mengenang Chairil Anwar 2007, dan Rumah Puncak Puisi Kolaka yang menerbitkan Tanah Merah Tanah Sorume Tanah Mekongga.25 Pertengahan 2004, Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara berdiri. Di samping menyelenggarakan kegiatan bengkel sastra (mencakup penulisan dan musikalisasi puisi, penulisan cerpen, serta penulisan naskah drama) dan sejumlah perlombaan sastra (antara lain baca puisi, musikalisasi puisi, penulisan cerita rakyat), lembaga ini memberikan sumbangan penting bagi dunia kesusastraan di Sulawesi Tenggara yakni terbitnya Antologi Puisi Kendari, Jejak Haluoleo Antologi Puisi Pelajar Kota Kendari, Antologi Drama Sulawesi Tenggara, serta Langkolee Si Kupu-kupu Antologi Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara.26 Kedatangan sastrawan nasional ke Sulawesi Tenggara untuk memberikan pelatihan yang diselenggarakan Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara juga dirasakan telah meningkatkan kegairahan bersastra khususnya di Kota Kendari.27 Pada akhir 2007, Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara memberikan penghargaan penghargaan kepada seniman dan kelompok seni yang berdedikasi menghidupkan kesenian di Sulawesi Tenggara – penghargaan sastra pertama yang diberikan sejak Provinsi Sulawesi Tenggara berdiri. Hal lain yang juga berarti bagi pertumbuhan sastra di Sulawesi Tenggara adalah terbukanya kesempatan bagi para pengarang di Sulawesi Tenggara untuk mengikuti kegiatan sastra tingkat nasional yang dikoordinasi oleh Pusat Bahasa (seperti kegiatan Bengkel Sastra yang diselenggarakan oleh Majelis Sastra Asia Tenggara dan berbagai acara dalam rangkaian kegiatan Bulan Bahasa Nasional di Jakarta). Hingga di sini, belum sedikit pun dibahas peran media cetak lokal di Kendari bagi pertumbuhan sastra di provinsi ini. Sampai akhir 2007, dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sastra di Sulawesi Tenggara tidak 26
berlangsung di media cetak. Dari tiga media cetak yang terbit harian di Kendari, sampai akhir tahun lalu, tidak ada satu pun media yang menyediakan ruang tetap untuk memuat karya sastra. Karena ketiadaan ruang sastra di media massa (di Kendari) itulah maka para penulis di Kendari lebih banyak mempublikasikan karyanya dalam bentuk buku yang digandakan dalam jumlah terbatas (sekitar puluhan eksempar saja) oleh kelompoknya seperti yang dilakukan oleh Teater Sendiri dan Teater 72 Kolaka. Bila tidak dipublikasikan dalam bentuk buku yang dicetak terbatas, sebagian penulis mendokumentasikan karyanya dalam bentuk manuskrip (dalam pengertian satu eksemplar naskah yang di-print), seperti yang dilakukan oleh antara lain Syaifuddin Gani, Kamilus Nara Odung, dan Irianto Ibrahim.28 Upaya pemublikasian karya sastra dengan mengirimkannya ke media-media massa di luar Sulawesi Tenggara baru dilakukan pada tahun 2005 – sebuah cara pemublikasian karya yang hanya dilakukan oleh satu atau dua penulis Sulawesi Tenggara. Ruang sastra di koran lokal itu baru hadir pada awal tahun ini setelah para pekerja seni di Kendari pada 29 Desember 2007 mengadakan diskusi sastra yang mengangkat tema “Sastra dan Media”. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam diskusi tersebut adalah, “Meminta media massa di Kendari menyediakan ruang sastra yang terbit secara berkala satu minggu satu kali untuk menyalurkan ekspresi kreatif dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni sastra khususnya, dan seni-budaya pada umumnya”. 29 Risalah diskusi tersebut mendapat tanggapan positif dari salah satu media di Kendari, sehingga mulai 5 Januari 2008 setiap Sabtu media tersebut menyajikan rubrik “Sastra & Budaya”. Selama sekitar delapan bulan (sampai 23 Agustus 2008) pengelolaan rubrik tersebut dibantu secara suka rela oleh dua pekerja seni Kendari, salah satunya adalah Syaifuddin Gani. Hingga terbitan tersebut, rubrik “Sastra & Budaya” di koran itu telah terbit sebanyak 34 kali. Dalam catatan pengelolanya, dalam 34 edisi yang terbit, rubrik itu telah memuat 22 cerita pendek, 133 puisi dari 31 penyair, dan 10 esai. Dari sejumlah itu, porsi terbesar diberikan kepada cerita pendek, puisi dan esai yang ditulis oleh penulis-penulis lokal Kendari, yakni 17 cerpen (68,18%), 88 puisi (66,92%) dari 22 penyair lokal (70,97%) dan 8 esai (80%).30 Pemuatan karya penulis-penulis lokal menjadi prioritas walaupun dari segi kualitas boleh jadi berada di bawah kualitas karya 27
pengarang-pengarang yang sudah ternama. Kebijakan tersebut diambil agar semakin banyak penulis-penulis lokal yang karyanya terpublikasikan. Berdasarkan data publikasi karya di atas, baik dalam bentuk buku cetakan yang terbatas tirasnya maupun di media massa, dapat dikemukakan daftar nama penulis puisi dan cerpen Sulawesi Tenggara. Para penulis yang berkreasi mencipta puisi berjumlah lebih dari enam puluh orang,31 sementara penulis cerita pendek baru berkisar belasan orang saja.32 Sebelum mengakhiri bahasan tentang pertumbuhan sastra di Sulawesi Tenggara ini, perlu pula dikemukakan ragam tulis lain yang juga mulai tumbuh yakni penulisan cerita populer dan penulisan cerita anak. Penulisan cerita populer di Sulawesi Tenggara dimulai oleh Krisni Dinamita dengan karyanya berjudul Cintai Aku Sekali Lagi.33 Jejak Krisni Dinamita ini kemudian diikuti oleh Arham-Kendari yang menulis cerita lucu dengan judul yang merupakan parodi dari buku lain, yakni Jakarta Underkompor, Sebuah Memoar Garing.34 Adapun penulisan cerita anak digeluti antara lain oleh Lukas Atakasi dan La Ode Boa.35
Penutup Setelah membahas kekayaan warisan tradisi penulisan dari masa lampau yang masih terpendam, posisi Sulawesi Tenggara dalam peta sastra Indonesia, serta pertumbuhan sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara, dapatlah dikemukakan beberapa simpulan berikut. Sulawesi Tenggara sesungguhnya mewarisi tradisi penulisan yang mengagumkan dari masa Kesultanan Buton. Namun, keberlanjutan tradisi penulisan dari masa silam ke masa kini di Sulawesi Tenggara ini tidaklah semulus di daerah lain yang memiliki warisan tradisi penulisan yang sama. Akibatnya, Sulawesi Tenggara hingga kini belum memiliki posisi yang kukuh dalam peta sastra Indonesia. Tidak adanya tokoh sastra yang dapat membangun masyarakat sastra di provinsi ini, serta belum tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab kultural pada media massa di daerah ini antara lain menjadi penyebab tidak mulusnya pewarisan tradisi tulis itu. Walaupun demikian, para penulis di Sulawesi Tenggara telah melakukan berbagai upaya untuk membangun kegairahan penulisan kreatif sehingga pertumbuhan sastra pada satu dekade terakhir ini dapat dirasakan cukup menggembirakan.
28
Catatan Penulisan makalah ini dapat dirampungkan antara lain karena bantuan dari beberapa kolega dan kawan-kawan penulis di Kendari. Penulis perlu menyampaikan terima kasih kepada: Syaifuddin Gani dan Achmad Zain – yang telah membantu meminjami penulis bahan-bahan yang diperlukan untuk makalah ini; pimpinan dan staf Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk memperoleh informasi di perpustakaan; serta Deddy Amrand yang telah meluangkan waktu untuk mendiskusikan draf akhir makalah ini. 1
Hasil kerja Achadiati Ikram dkk. itu terhimpun dalam sebuah buku Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001). Naskah-naskah yang diinventarisasi mencakup kurun empat abad, dari awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke20. Naskah tertua yang terdata dalam katalog tersebut adalah naskah kategori Islam berjudul Al-Aqwâl Al-Hidâyat yang selesai ditulis pada 19 Jumadil Akhir 1031 H (sekitar tahun 1621 M). 2
La Niampe, “Butun” dalam Edi Sedyawati dkk. (editor), Sastra Melayu Lintas Daerah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004), hlm. 172. 3
4
ibid, hlm. 174-8.
Syaifuddin Gani, “Mereguk Cinta di Negeri Butuni” {online} Kendari Ekspres, diperoleh dari http://kendariekspres.com, diakses tanggal 13 September 2008. 5
Ali Rosdin, Amiruddin & Ramlah Mappau, “Khazanah Sastra Sulawesi Tenggara: Manusia dan Karyanya” (Laporan Penelitian Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2004), hlm. 14. 6
Abdul Razak Zaidan, “Epilog: Keberlanjutan ke Masa Kini” dalam dalam Edi Sedyawati dkk. (editor), Sastra Melayu Lintas Daerah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004), hlm. 399. 7
Akhadiati Ikram dkk. (penyunting), Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001), hlm. 1. Bab “Pendahuluan” buku ini dimulai dengan judul subbab “Warisan Terpendam: Koleksi Naskah Buton”. 8
29
Yudiono K.S., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Grasindo, Jakarta, 2007), hlm. 175-6. 9
Penelitian ini dilaksanakan oleh Ahid Hidayat, Rahmania dan Uniawati, dilaksanakan pada tahun 2004. 10
Pamusuk Eneste, Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (Djambatan, Jakarta, 1988). Bandingkan dengan Sulawesi Utara, misalnya. Pada masa Pujangga Baru, daerah ini telah memiliki sastrawan yang dikenal di tingkat nasional seperti J.E. Tatengkeng yang lahir di Kolongan Sangihe, dan M.R. Dayoh yang lahir di Airmadidi, Minahasa, Sulawesi Utara (hlm. 39). 11
Ada satu pengarang lain yang kalau dilihat dari namanya ada hubungannya dengan Sulawesi Tenggara, yaitu Wa Ode Wulan Ratna. Dalam Kamus Budaya Sulawesi Tenggara susunan Sandra Safitri Hanan (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, 2007) hlm. 113, Wa Ode adalah gelar bangsawan kaum perempuan di Buton dan Muna. Namun, cerpenis ini sesungguhnya lahir di Jakarta dan proses kepengarangannya agaknya dimulai di kota itu juga. 12
Pesu Aftarudin, “Catatan Kecil Pengarang” dalam Pengantar Apresiasi Puisi (Angkasa, Bandung, 1990), hlm. 101. Selain terbit dalam sebuah buku kumpulan puisi Doa Sebatang Lilin (Nurcahya, Yogyakarta, 1980), sejumlah puisi karya Pesu Aftarudin juga dimuat dalam sebuah antologi susunan Linus Suryadi A.G., Tonggak 3 (Gramedia, Jakarta, 1987). 13
Asia Ramli Prapanca, Berita dari Karaeng (Macassar Impresariat Cooperation, Ujung Pandang, 1993), hlm. 61. Asia Ramli Prapanca kini lebih banyak berkreasi bidang teater. 14
Daerah-daerah yang kini dikenal memiliki tradisi kukuh dalam melahirkan para sastrawan di Indonesia tidak lepas dari adanya tokoh yang hidup di daerah ini dapat dibuktikan dengan melihat daftar sastrawan yang kita kenal dalam sejarah sastra Indonesia baik pada masa sebelum kemerdekaan maupun pada dekade awal setelah kemerdekaan. Daerah yang dianggap memiliki tradisi kukuh dalam melahirkan sastrawan di Indonesia seperti dinyatakan Agus R. Sarjono, “Pengantar Dewan Kesenian Jakarta” dalam Birahi Hujan Suara dari Jawa Timur 15
30
(Logung Pustaka & Akar Indonesia, Yogyakarta, 2004, hlm. vii) adalah Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Riau, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Goenawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita (Sinar Harapan, Jakarta, 1981), hlm. 39. 16
Di samping dimuat di media-media cetak di atas, karya-karya puisi Syaifuddin Gani dimuat pula dalam sejumlah antologi puisi seperti Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Sumatera Utara, Medan, 2005), Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, Banjarbaru, 2006), Medan Puisi, Antologi Puisi Pesta Penyair Indonesia The 1st Medan International Poetry Gathering (Laboratorium Sastra Medan, 2007), dan Kenduri Puisi Bungahati untuk Diah Hadaning (Ombak, Yogyakarta, 2008). 17
Lihat Horison Juli 2003, hlm. 20-23. Majalah tersebut memuat cerpen S. Gali berjudul “Jemuran”. 18
Kemunculan Syaifuddin Gani dari Sulawesi Tenggara dan pengarang-pengarang lain dari berbagai daerah di Indonesia antara lain pernah disinggung oleh Korrie Layun Rampan dalam “Estetika Sastra”, makalah Seminar “Meningkatkan Peran Komunitas Sastra Sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia” dalam Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008. 19
Ahid Hidayat, Rahmania dan Uniawati, “Komunitas Sastra di Sulawesi Tenggara” (Laporan Penelitian Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2004), hlm. 9. 20
Syaifuddin Gani (penyunting), “Tentang Teater Sendiri” dalam Sendiri 3 Antologi Sajak Teater Sendiri (Teater Sendiri, Kendari, 2006), hlm. 61. 21
Antologi penyair Sulawesi Tenggara Dengung (Teater Sendiri, Kendari, 1996) memuat sejumlah puisi karya 7 penulis Sulawesi Tenggara. Antologi sajak Sendiri (Teater Sendiri, Kendari, 2003) memuat 73 puisi karya 13 anggota Teater Sendiri. Sendiri 2 (Teater Sendiri, Kendari, 2004) memuat 100 puisi karya 14 anggota Teater Sendiri. 22
31
Malam Bulan Puisi disunting oleh Syaifuddin Gani (Teater Sendiri, Kendari, 2004) memuat 17 puisi karya 18 penulis serta 43 sajak karya 19 pelajar. Antologi sajak Pembacaan Sajak Akhir Tahun (Teater Sendiri, Kendari, 2005) memuat 63 sajak dari 20 penyair – termasuk di dalamnya 3 sajak Evi Idawati, 2 sajak Sapardi Djoko Damono, dan 2 sajak Moh. Wan Anwar. Sendiri 3 disunting oleh Syaifuddin Gani (Teater Sendiri, Kendari, 2006) memuat 127 sajak karya 13 anggota Teater Sendiri. Sampai saat ini, tidak ada kelompok kesenian lain, bahkan kelompok kesenian yang mengkhususkan diri di bidang sastra, di Sulawesi Tenggara yang memiliki produktivitas penerbitan karya sastra sebanyak Teater Sendiri. Kumpulan sajak Perjalanan (Teater Sendiri, Kendari, 2004), memuat 64 sajak karya Syaifudin Gani tahun 2002-2003. Adapun Merobek Malam (Teater Sendiri, Kendari, 2007) memuat 28 sajak Achmad Zain ciptaan tahun 2007. 23
24
Ahid Hidayat, Rahmania & Uniawati, op.cit. hl. 15.
Memberi Harga pada Kata: Kumpulan Sajak Mengenang Chairil Anwar 2007 disunting oleh Ahid Hidayat (Studio Drama FKIP Unhalu, Kendari, 2007) memuat 30 puisi karya enam alumni dan dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Haluoleo. Adapun Tanah Merah Tanah Sorume Tanah Mekongga (Rumah Puncak Puisi, Kolaka, 2007) memuat 54 puisi karya 20 anggota Teater 72 Kolaka. 25
Antologi Puisi Kendari disunting dan diberi kata pengantar oleh Dad Murniah (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, 2004) memuat 83 puisi karya delapan penyair Sulawesi Tenggara. Jejak Haluoleo Antologi Puisi Pelajar Kota Kendari disunting oleh Sandra Safitri Hanan (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, 2004) memuat 35 puisi karya 23 pelajar peserta Bengkel Puisi yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Agustus 2004 bimbingan Slamet Sukirnanto, Fredie Arsie & Harlina Irdijati. Antologi Drama Sulawesi Tenggara disunting oleh Dad Murniah (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2005) memuat 15 naskah drama karya 15 penulis drama Sulawesi Tenggara. Langkolee Si Kupu-kupu Antologi Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara disunting oleh Rahmania (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, 2006) 26
32
memuat 26 cerita rakyat hasil lomba penulisan cerita rakyat setahun sebelumnya. Dalam waktu empat tahun, Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara telah mendatangkan sejumlah sastrawan/seniman antara lain AGS Arya Dipayana, Ahmadun Y. Herfanda, Gunoto Saparie, Hamsad Rangkuti, dan Slamet Sukirnanto. Kehadiran para sastrawan ini biasanya tidak hanya mengisi acara di Kantor Bahasa, tetapi juga dimanfaatkan untuk berdiskusi dengan para pekerja seni di Kendari. Kedatangan sastrawan nasional ke Sulawesi Tenggara sebenarnya telah terjadi pula sebelum Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara berdiri. Pada 2003, Majalah Sastra Horison menyelenggarakan acara “Sastrawan Bicara Siswa Bertanya” di lima sekolah di Sulawesi Tenggara (SMAN 1 Kendari, SMAN 2 Kendari, SMAN Ranomeeto, MAN Kendari, dan SMAN 1 Raha). Sastrawan yang datang pada acara itu adalah Agus R. Sarjono, Cecep Syamsul Hari, Moh. Wan Anwar, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, dan Titie Said. Kegiatan lain Majalah Horison di Kendari adalah Pelatihan Sastra dan Jurnalistik dengan pemateri Moh. Wan Anwar dan Herry Dim, serta “Sastrawan Bicara Siswa Bertanya” di SMKN 3 Kendari pertengahan April 2008, mendatangkan empat sastrawan yaitu Agus R. Sarjono, Cecep Syamsul Hari, Joni Ariadinata dan Putu Wijaya. 27
Terdapat beberapa manuskrip yang biasanya hanya dibuat untuk kepentingan pendokumentasian karya oleh penulisnya sendiri, seperti Syaifuddin Gani (2006) pernah membuat manuskrip “Dermaga” yang memuat 37 sajaknya, Kamilus Nara Odung, membuat manuskrip “Rasa Itu Siksa”, dan Irianto Ibrahim membuat dua buah manuskrip, masingmasing berjudul “Barasanji di Atas Karang” dan “Bunda Kirimi Nanda Doa-doa”. 28
Risalah Diskusi “Telaah Karya dan Ruang Sastra di Media Massa” di Taman Budaya Prov. Sultra, Kendari, 29 Desember 2007, hlm. 2. 29
Data diambil dari bahan yang dipersiapkan oleh pengelola ruang “Sastra & Budaya”, data tersebut mungkin berbeda dengan data karya yang dipublikasikan. Data tersebut penting dikemukakan sebagai bukti bahwa rubrik “Sastra & Budaya” memang dibuka terutama untuk memberikan ruang bagi para penulis lokal mempublikasikan karyanya. 30
33
Mulai edisi 30 Agustus 2008, kedua pekerja seni yang telah bersuka rela membantu itu tidak lagi turut mengelola rubrik tersebut. Sejak itu, kebijakan mengenai karya yang dimuat dalam rubrik itu agaknya berubah. Dalam empat edisi terakhir yang terbit 30 Agustus sampai dengan 20 September 2008, hanya satu cerpen karya penulis lokal yang dimuat, sementara selebihnya adalah tulisan (puisi, cerpen, esai) yang diambil dari tulisan pernah dimuat pada koran satu atau dua minggu sebelumnya yang diperoleh melalui jaringan koran tersebut. Mereka adalah (berdasarkan urutan abjad): A.R. Ar-Rasyidi Budiman, Abd. Razak Abadi, Achmad Zain, Ahid Hidayat, Arnes, Asidin La Hoga, Asmar Laode, Carmil Edo Sendiri, Cipto Hadi, Didit Marshel, Didul, Djusdiman, Er Agung Abdillah, Etsan, Farah Hamdana, Fatmi Yuliana, Firman Sofyan, Gatot Subair, Hafid Triadmo, Hamzah, Herman, Iqbal Oktavian, Irawan Tinggoa, Irianto Ibrahim, Irwansyah Maal (Iwa Q), Iwan Comcom, Jag Donat, Jurais, Karmil Edo Sendiri, Kiki Reskiyana Ilyas, Kristiana, La Ode Balawa, La Ode Farid Akhyar, La Ode Sadia, La Ode Syaiful Islami, Laila Kurniawaty, LM Gusman Nasiru, Mashun, Moh. Wan Anwar, Muh. Ilyas, Munawar Jibran, Mustakim Cerbon, Nur Iman, Rahmad, Royan Ikmal, Rusland Manan, Rustina, S. Gali, Sahrul, Salim, Samsuddin, Sartian Sorume, Sendranto R., Sendri Yakti, Sri Dewi Neneng, Subur, Subur Assiddiq Didie Boim, Sumarlan Rasyid, Syaifuddin Gani, Tongis Alamsyah, Uniawati, Wa Ode Rizki Adi Putri, Witarmin Akbar, dan Zainal Surianto. 31
Abd. Razak Abadi, Astuty Natalia, Galih, Irianto Ibrahim, Muh. Syahrial Ashaf, Muh. Syaiful, None Tirayoh, Syaifuddin Gani, Uniawati, Zakiah M. Husba, Marniati Murtaba, dan Karamanuru. 32
Krisni Dinamita, Cintai Aku Sekali Lagi (C Publishing, Yogyakarta, 2005). 33
Arham Kendari, Jakarta Underkompor, Sebuah Memoar Garing (Gramedia, Jakarta, 2008). 34
35
34
Ali Rosdin, Amiruddin & Ramlah Mappau, op.cit., hlm. 34, 38.
Daftar Pustaka Afrion, Antilan Purba & M. Yunus Rangkuti (penyunting), Medan Puisi, Antologi Puisi Pesta Penyair Indonesia The 1st Medan International Poetry Gathering. Medan: Laboratorium Sastra Medan. 2007 Aftarudin, Pesu. Pengantar Apresiasi Puisi. Bandung: Angkasa. 1990. Arham-Kendari. Jakarta Underkompor, Sebuah Memoar Garing. Jakarta: Gramedia. 2008. Dengung, Antologi Puisi Penyair Sulawesi Tenggara. Kendari: Teater Sendiri. 1996. Dinamita, Krisni. Cintai Aku Sekali Lagi. Yogyakarta: C Publishing. 2005. Eneste, Pamusuk. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan. 1988. Gani, Syaifuddin (penyunting). Sendiri 3 Antologi Sajak Teater Sendiri. Kendari: Teater Sendiri. 2006. Gani, Syaifuddin. “Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, Apa Kabar Kendari?” dalam Kendari Pos, 2 Februari 2008. Gani, Syaifuddin. “Mereguk Cinta di Negeri Butuni” {online} diperoleh dari http://kendariekspres.com, diakses tanggal 13 September 2008. Gani, Syaifuddin (penyunting). Malam Bulan Puisi. Kendari: Teater Sendiri. 2004. Gani, Syaifuddin. Perjalanan. Kendari: Teater Sendiri. 2004. Hanan, Sandra Safitri (penyunting). Jejak Haluoleo Antologi Puisi Pelajar Kota Kendari. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 2004. Hanan, Sandra Safitri (penyunting). Kamus Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 2007. Hidayat, Ahid, Rahmania dan Uniawati, “Komunitas Sastra di Sulawesi Tenggara”, Laporan Penelitian Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 2004. Hidayat, Ahid. “Risalah Diskusi Telaah Karya dan Ruang Sastra di Media 35
Massa” di Taman Budaya Prov. Sultra, Kendari, 29 Desember 2007. Hidayat, Ahid. Memberi Harga pada Kata: Kumpulan Sajak Mengenang Chairil Anwar 2007. Kendari: Studio Drama FKIP Unhalu. 2007. Horison No. 7 Tahun XXXVI, Juli 2003 Ikram, Achadiati dkk. (penyunting). Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2001. Indradi, Arsyad (penyunting). Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan. Banjarbaru: Kelompok Studi Sastra Banjarbaru. 2006. Miharja, Dimas Arika (penyunting). Kenduri Puisi Bungahati untuk Diah Hadaning. Yogyakarta: Ombak. 2008. Mohamad, Goenawan. Seks, Sastra, Kita Jakarta: Sinar Harapan. 1981. Murniah, Dad (penyunting). Antologi Drama Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005. Murniah, Dad (penyunting). Antologi Puisi Kendari. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 2004. Pembacaan Sajak Akhir Tahun 2005. Kendari: Teater Sendiri. 2005. Prapanca, Asia Ramli. Berita dari Karaeng Ujung Pandang: Macassar Impresariat Cooperation. 1993. Rahmania (penyunting). Langkolee Si Kupu-kupu Antologi Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 2006. Rampan, Korrie Layun. “Estetika Sastra”, makalah Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008. Rosdin, Ali, Amiruddin dan Ramlah Mappau. “Khazanah Sastra Sulawesi Tenggara: Manusia dan Karyanya”, Laporan Penelitian Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 2004. Sarjono, Agus R. “Pengantar Dewan Kesenian Jakarta” dalam Sarjono, Agus R. dkk. (penyunting) Birahi Hujan Suara dari Jawa Timur Yogyakarta: Logung Pustaka & Akar Indonesia. 2004. Sedyawati, Edi dkk. (penyunting). Sastra Melayu Lintas Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa. 2004. Sendiri 2. Kendari: Teater Sendiri. 2004. 36
Sendiri. Kendari: Teater Sendiri. 2003. Suryadi A.G., Linus (penyunting). Tonggak 3. Jakarta: Gramedia. 1987. Tanah Merah Tanah Sorume Tanah Mekongga. Kolaka: Rumah Puncak Puisi. 2007. Umry, Shafwan Hadi, Sahril & Hassan Al Bana (penyunting). Ragam Jejak Sunyi Tsunami Medan: Balai Bahasa Sumatera Utara. 2005. Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. 2007. Zain, Achmad. Merobek Malam. Kendari: Teater Sendiri. 2007.
37
38
Aspek Psikologis yang Terabaikan dalam Pembelajaran Menulis
Pelajaran mengarang sudah dimulai. “Kalian punya waktu 60 menit,”ujar Ibu Guru Tati. Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama Keluarga Kami yang Berbahagia. Judul kedua Liburan ke Rumah Nenek. Judul ketiga Ibu. Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pena pada kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati…. Peristiwa di atas, mudah-mudahan saja, hanya terdapat dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma, “Pelajaran Mengarang”, cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 1993. Pelajaran mengarang seperti itu, dalam pandangan Mary Leonhardt – penulis buku 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis (2001), pastilah tergolong ke dalam cara mengajarkan menulis dengan cara lama yang membosankan. Para siswa “dipaksa” menulis suatu topik yang bukan pilihannya sendiri, dan entah untuk apa tulisan itu. Dengan kondisi pembelajaran menulis yang pada umumnya dilaksanakan mirip dengan apa yang digambarkan dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma di atas, maka wajarlah jika banyak muncul pandangan yang tidak menggembirakan ihwal menulis ini. Taufiq Ismail, misalnya, menganggap para siswa kita pincang mengarang. Erizal Gani (2004) 39
berpendapat bahwa kemahiran menulis peserta didik tetap lemah, sekalipun aneka perbaikan dan perubahan telah dilakukan. Di perguruan tinggi pun, demikian pula, kondisi pembelajaran menulis relatif sama gagalnya; seperti yang tecermin pada pendapat Sabarti Akhadiah dkk. (1990) dan Novita Dewi (2005). Akhadiah dkk. (1990:v) berpendapat bahwa persoalan yang sering terlontar dalam pengajaran mengarang adalah kurang mampunya mahasiswa dan siswa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Adapun Novita Dewi (2005) memberikan bukti kegagalan pembelajaran menulis berupa banyaknya mahasiswa yang menyelesaikan studi setelah lima atau bahkan batas maksimal tujuh tahun dengan dalih menemui kesulitan dalam menulis skripsi. Tulisan ini akan mencoba menyoroti ihwal penyebab ketidakberhasilan pembelajaran menulis di sekolah dalam memahirkan siswanya mengungkapkan gagasan atau imajinasi melalui tulisan. Pembahasan mengenai penyebab ketidakberhasilan pembelajaran menulis ini hanya akan difokuskan pada dua aspek psikologis yang sering terabaikan, yakni (a) menumbuhkan rasa suka terhadap menulis, dan (b) membantu siswa mengaktualisasikan diri melalui menulis. Kedua hal di atas berhubungan erat dengan dua peran guru di sekolah, yakni (a) sebagai motivator, dan (b) sebagai fasilitator.
Sukakah Siswa Anda Menulis? Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa kesulitan yang besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apa pun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan…. (Seno Gumira Ajidarma, “Pelajaran Mengarang”) Ilustrasi pada cerpen yang dikutip pada awal makalah ini menggambarkan bagaimana pembelajaran menulis dilakukan dengan dorongan eksternal semata: karena guru menugasi siswa untuk menulis. Artinya, jika guru tidak menugasi siswa menulis, maka siswa tak akan 40
menulis. Akibatnya, pelajaran mengarang terasa oleh siswa sebagai beban, seperti dirasakan Sandra. Di sini, guru agaknya mengabaikan pentingnya dorongan internal dari dalam diri siswa: rasa suka dan gemar menulis. Padahal, bagi Leonhardt (2001), rasa suka menjadi pintu utama bagi keberhasilan siswa belajar menulis. “Sekali anak jatuh cinta dengan menulis,” Leonhardt menjamin, “tulisan mereka akan melejit.” Mengapa gemar menulis itu penting? Leonhardt (2001) menjawabnya dengan sepuluh alasan berikut. 1. Rasa suka terhadap suatu kegiatan merupakan prasyarat untuk keberhasilan di bidang apa pun, demikian pula halnya dengan menulis. 2. Hanya anak-anak yang suka menulis saja yang akan menulis dengan sering dan teliti. 3. Hanya siswa-siswa yang gemar menulis dan banyak menulis secara mandiri, yang akan mengembangkan irama dan gaya pribadi mereka. 4. Hanya anak-anak yang terbiasa menulis mandiri sajalah yang akan belajar cara menulis dengan fokus yang tajam dan jelas. 5. Anak-anak harus sering dan bebas menulis (dan membaca) supaya terampil menggunakan struktur kalimat yang kompleks dengan benar. 6. Anak-anak yang menikmati tulis-menulis jarang menunda-nunda menyerahkan makalah dan laporan yang ditugaskan. 7. Anak-anak yang suka menulis lebih memahami hal-hal yang dibacanya. 8. Anak-anak yang gemar menulis (dan membaca) menjadi murid yang unggul dalam hampir semua mata pelajaran. 9. Anak-anak dengan kebiasaan menulis mandiri mempunyai cara yang mudah untuk mengatasi trauma emosional. 10. Penulis yang terampil dan fasih punya keuntungan luar biasa dalam sebagian besar bidang pekerjaan. Berbeda dari cara lama dalam pembelajaran menulis yang terasa membosankan (siswa), “paradigma baru” pembelajaran menulis yang ditawarkan Taufiq Ismail (2003) adalah bahwa kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak terasa jadi beban, baik bagi siswa, maupun untuk guru. Maka, pekerjaan pertama seorang guru adalah menumbuhkan rasa suka terhadap menulis. Pada taraf membaca-menulis permulaan, ketika “menulis” diartikan 41
sebagai menuliskan lambang-lambang grafis, harus kita akui, para guru di sekolah dasar telah berhasil memperkenalkan kita pada huruf: membaca dan menuliskannya. Para siswa yang sebelumnya pada umumnya tidak mengenal huruf satu pun, pada akhir tahun pertama mereka telah mampu mengenal huruf-huruf, merangkai-rangkai huruf menjadi kata-kata, kalimat-kalimat sederhana, serta mampu menuliskannya. Akan tetapi, setelah berhasil mengenalkan siswa kepada huruf-huruf, kata, dan kalimat-kalimat sederhana serta mampu menuliskan lambang-lambang grafis itu, mengapa para guru gagal membuat para siswa terampil merangkai kalimat-kalimat menjadi karangan yang menarik? Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan itu, pada hemat saya, adalah kurangnya upaya guru membangkitkan motivasi internal pada diri siswa sehingga mereka memiliki rasa suka terhadap menulis. Pada taraf membaca-menulis permulaan, para guru telah berhasil merangsang keinginan siswa untuk mampu membaca dan menuliskan huruf-huruf karena para siswa menyadari pentingnya memiliki kemampuan membaca huruf, kata dan kalimat. Siswa yang gagal mengenali huruf, kata dan kalimat sederhana akan segera tergolong sebagai si buta huruf. Yang mendapat julukan “anak pintar” di kelas awal sekolah dasar adalah, antara lain, anak yang mampu membaca huruf, kata, dan kalimat sederhana dengan benar, sementara siswa yang tidak mampu tergolong “anak bodoh”. Di sini, dorongan dari dalam diri siswa demikian tinggi karena menyangkut bisa tidaknya membaca dan menuliskan huruf, kata dan kalimat, berkaitan dengan bisa tidaknya siswa mencapai aktualisasi diri. Ketika menulis dimaknai “keterampilan menyampaikan pesan dengan menggunakan media bahasa tulis”, perbedaan antara siswa yang mampu menulis dan tidak mampu menulis mulai tidak tampak dengan jelas seperti pada taraf membaca-menulis permulaan. Penghargaan yang diterima oleh siswa yang mampu menulis dan tidak mampu menulis relatif tidak beroposisi biner seperti pintar vs bodoh atau naik kelas vs tertinggal. Perbedaan antara anak yang mampu menulis karangan yang bagus dan anak yang kurang mampu mengarang, barangkali hanya perbedaan angka dalam buku laporan pendidikan belaka. Maka dorongan dari dalam diri siswa untuk terampil mengungkapkan gagasan dan perasaan melalui bahasa tulis pun perlahan-lahan mengendor. 42
Agar dorongan untuk menulis tetap terpelihara dan rasa suka terhadap menulis bertumbuhkembang dalam diri siswa, Leonhardt antara lain memberikan sepuluh kiat utama berikut: (1) tumbuhkan kecintaan dan kebiasaan membaca pada diri siswa; (2) dukunglah selalu tulisan siswa Anda; dalam setiap tulisan, pasti ada yang dapat dipuji; (3) tawarkan saran dan kritik hanya kalau siswa sudah menjadi penulis yang terampil dan percaya diri; (4) hargai privasi siswa; janganlah membaca tulisannya tanpa seizinnya; (5) hargai pendapat siswa; (6) jangan menuntut kesempurnaan; (7) jangan menyensor tulisan siswa; (8) sadarilah bahwa siswa mempunyai selera menulis yang berbeda-beda, doronglah mereka untuk menulis apa yang mereka senangi; (9) tak perlu mengajarkan tata bahasa kepada siswa ketika mereka baru mulai menulis, sebagian besar pengetahuan ketatabahasaan berkembang sehingga lebih baik dikuasai siswa sedikit demi sedikit; dan (10) Anda sendiri, menulislah untuk kesenangan. Hal lain yang perlu diketahui siswa adalah bagaimana dunia menghargai tulisan. Penghargaan Nobel (diberikan sejak 1901) misalnya, menetapkan karya sastra sebagai salah satu dari lima bidang yang diberi penghargaan, yakni: fisika, kimia, sastra, kedokteran, perdamaian – bandingkan dengan ilmu ekonomi yang baru diberi penghargaan Nobel mulai tahun 1969.
Bagaimana “Nasib” Tulisan yang Dibuat Siswa? Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu Guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah. Ia memang belum sampai pada karangan Sandra…. (Seno Gumira Ajidarma, “Pelajaran Mengarang”) Ketika para siswa ditugasi menulis, para siswa kemudian menyerahkan tulisan itu, lalu bagaimanakah nasib tulisan tersebut di tangan guru? Karena belum berkeluarga(?), Ibu Guru Tati, guru Sandra, punya waktu untuk memeriksa (memberi nilai?) pekerjaan muridmuridnya – walau sambil nonton televisi (acara sinetron atau gosip selebritas, ya?). Tidak begitu jelas apa yang diperiksa Ibu Guru Tati, 43
sehingga sampai pada kesimpulan bahwa murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah. Tidak begitu jelas juga, apakah karangan yang telah diperiksa itu dikembalikan kepada penulis masing-masing, dipajang di majalah dinding sekolah, ataukah ditumpuk di laci meja ruang guru. Guru yang baik tentu akan membaca karangan yang diserahkan siswa, dan pada kelas-kelas tinggi guru akan mengoreksinya. Memang, di samping pendekatan frekuensi, pendekatan yang kerap digunakan dalam pembelajaran menulis adalah pendekatan koreksi (Suparno dan Yunus, 2002). Guru yang baik akan memberi kesempatan kepada siswa untuk banyak berlatih menulis, termasuk mendorong siswa untuk menulis catatan harian. Ketika para siswanya telah menjadi penulis yang terampil dan percaya diri, sang guru akan memberikan saran dan kritik atas tulisan yang dibuat siswa. Sayang sekali, tidak banyak guru yang memiliki waktu untuk mengoreksi, dalam arti memberikan catatan, tanggapan, serta saran-saran untuk perbaikan tulisan para siswanya. Yang banyak dilakukan guru adalah sebatas memberikan skor atau nilai atas tulisan tersebut. Siswa yang memperoleh skor tinggi pastilah merasa senang, sementara siswa yang memperoleh skor rendah tentu tidak puas. Namun, baik siswa yang memperoleh skor tinggi maupun siswa yang mendapat nilai rendah tidak pernah tahu mengapa karangan yang ditulisnya dinilai bagus atau kurang bagus. Guru yang kreatif barangkali akan menyediakan papan tempel yang biasa dikenal dengan sebutan majalah dinding, sebagai ruang bagi siswa untuk berekspresi. Pada Rencana Pembelajaran yang di dalamnya terkandung “alternatif strategi pembelajaran menulis puisi dengan pendekatan kontekstual berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi di sekolah dasar dan menengah” yang disusun oleh Marliana (2005), misalnya, kegiatan inti terakhir pada skenario pembelajaran adalah “kelompok terbaik mendapat penghargaan dari guru. Puisi karya kelompok akan dipublikasikan dalam Puisi Dinding di sekolah tersebut, sedangkan puisi terbaik akan diperlombakan di tingkat kelas”. Pemublikasian karya tulis siswa memang dapat dipandang sebagai penghargaan terhadap kreativitas siswa. Di sini peran guru sebagai fasilitator diperlukan untuk membantu siswa mencapai aktualisasi diri melalui keterampilan menulis. Seandainya Ibu Guru Tati bisa membantu siswa-siswanya memperbaiki karangan mereka, maka karangan 44
para siswa itu mungkin saja bisa dikirim (secara kolektif, mengapa tidak?) ke sebuah majalah remaja ataupun majalah sastra. Seandainya lagi satu atau beberapa karangan yang dikirim itu menarik hati redaktur, tentu akan dimuat. Pemuatan tulisan siswa pada majalah berskala nasional akan membuat penulisnya dikenal dan bukan tidak mungkin memperoleh imbalan finansial.
Penutup Pembelajaran menulis di sekolah hingga saat ini dipandang belum sepenuhnya berhasil memahirkan para siswa untuk mengungkapkan gagasan atau imajinasi melalui tulisan. Dari aspek psikologis, ketidakberhasilan pembelajaran menulis ini antara lain disebabkan oleh kurangnya upaya guru dalam memberikan motivasi/dorongan agar pada diri siswa tumbuh rasa suka terhadap menulis. Penyebab lain belum berhasilnya pembelajaran menulis adalah kurangnya kesempatan guru memberikan koreksi atas karangan siswa serta memfasilitasi siswa mempublikasikan tulisannya di media yang relevan.
45
Daftar Pustaka Ajidarma, Seno Gumira. “Pelajaran Mengarang” dalam Pelajaran Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2002. Akhadiah, Sabarti dkk. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. 1990. Dewi, Novita. “Membaca, Menulis, dan Membaca untuk Menulis: Diagnosis Dini Penulisan Karya Tulis di Fakultas Sastra”, makalah Konferensi Internasional Kesusastraan HISKI di Palembang , 18-21 Agustus 2005. Gani, Erizal. “Menuju Pemberdayaan Pembelajaran Menulis: Upaya Memahirkan Menulis Sejak Dini”, makalah Seminar Nasional HPBI di Kendari, 11-13 Oktober 2004. Ismail, Taufiq. Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta . 2003. Leonhardt, Mary. 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis, terj. Eva Y. Nukman. Bandung : Kaifa. 2001. N. Lia Marliana. “Alternatif Strategi Pembelajaran Menulis Puisi dengan Pendekatan Kontekstual Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Sekolah Dasar dan Menengah”, makalah Konferensi Internasional Kesusastraan HISKI di Palembang, 18-21 Agustus 2005. Suparno dan Mohammad Yunus. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. 2002.
46
Menumbuhkan Kegairahan Kreatif Siswa dalam Pembelajaran Sastra
Begitu pentingnya kreativitas, sampai-sampai Clegg & Birch (2007) berani mengatakan bahwa kreativitas “sudah menjadi faktor untuk bertahan hidup”. Clegg & Birch menyebut tiga jenis kreativitas, yakni (1) kreativitas artistik seperti mengarang, melukis atau mencipta lagu – kreativitas yang umumnya dimiliki secara alamiah; (2) kreativitas penemuan seperti Archimides yang keluar dari kamar mandinya dan berteriak “eureka!”; dan (3) kreativitas humor, sebuah kreativitas yang memandang dunia dari sudut pandang yang berbeda. Dalam dunia pendidikan, kita patut bertanya, benarkah pendapat Clegg & Birch bahwa kreativitas tidak disukai? Alasannya, karena melawan hasil yang diinginkan oleh pendidik. Buktinya, sistem pendidikan kita sebagian besar didesain untuk membuat mereka memberikan jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan pengujinya. Tidak ada jawaban yang murni ataupun kreatif dalam lembar jawabannya, yang ada hanya jawaban yang benar. Lebih mudah membuat orang menjadi tidak kreatif daripada meningkatkan kemampuan kreativitas mereka. Boleh jadi kita tanpa sadar sudah melakukannya. Sebut saja misalnya, cap “nakal” yang kita berikan kepada anak yang tidak mau diatur. Padahal, bisa jadi yang sedang terjadi pada diri anak yang kita cap nakal itu adalah: menunjukkan kreativitasnya. Mengapa sastra mesti menjadi bagian dari pembelajaran di sekolah? Karena sastra berpotensi mengembangkan kreativitas siswa. Bahasa dalam 47
pandangan sastra adalah media yang dapa dipermainkan dengan sesuka hati dan tidak ada bahaya yang mengancam dengan mempermainkan bahasa sesuka hati itu. Tetapi, mengapa kreativitas siswa tidak terlihat? Boleh jadi karena cara pandang kita terhadap bahasa yang terlalu serius ataukah kita kurang paham apa itu kreativitas. Ketika kita mengajari (oh ya, sekarang kita harus menyebutnya: membelajarkan) siswa bernyanyi “Balonku”, sesungguhnya apa tujuan kita mengajari anak dengan nyanyian tersebut? Kita sepertinya hanya sampai pada tujuan, “ya agar siswa kita bisa menyanyikan lagu itu!” Hanya itukah, tak ada tujuan lain? Sepertinya hanya berhenti sampai di situ. Tak ada kreativitas lain. Mari kita coba membaca lebih saksama teks lagu “Balonku”. Balonku ada lima Rupa-rupa warnanya Hijau kuning kelabu Merah muda dan biru Meletus balon hijau (dor!) Hatiku sangat kacau Balonku tinggal empat Kupegang erat-erat Dilihat dari susunan katanya, lagu “Balonku” merupakan contoh yang sangat bagus tentang sajak. Rimanya sempurna. Kata-katanya akrab di telinga. Kaya dengan citraan: penglihatan, pendengaran, perasaan, dan gerak. Namun kita hanya menjadikan lagu itu sebatas nyanyian yang harus dijaga keasliannya dan tugas anak-anak hanyalah menyanyikan lagu itu sesuai dengan notasi yang benar. Lagu itu tidak pernah menjadi bahan atau media untuk mengelaborasi kreativitas siswa. Padahal lagu itu menyediakan dirinya untuk dielaborasi. Mestinya, lagu itu bisa dianggap sebagai karya yang “belum selesai”. Perhatikan, ada lima buah balon yang dimiliki si aku. Balon hijau meletus sehingga perasaan hati si aku sangat kacau. Balon yang tertinggal berjumlah empat. Lalu, apa yang terjadi dengan empat balon yang tersisa? Di sinilah ruang bagi 48
guru untuk “bermain-main” dengan siswa, melanjutkan penciptaan lagu. Misalnya saja, saya akan menambahkan dengan larik berikut. Meledak balon kuning Kepala jadi pening Balonku tinggal tiga Kuikat di jendela Atau bisa juga mencipta lagu balonku dengan jumlah yang berbeda, misalnya saja kita meminta anak-anak mengubah jumlah balon yang dimilikinya menjadi: Balonku ada enam Rupanya macam-macam Coklat jingga kesumba ungu hitam dan nila…”
Kondisi Pembelajaran Sastra Bagaimanakah kondisi pembelajaran sastra sekarang ini? Jawaban atas pertanyaan ini pada garis besarnya terbagi dua. Sebagian kalangan meng-anggap kondisi pembelajaran sastra di sekolah sangatlah mengecewakan. Pandangan semacam ini muncul terutama di kalangan sastrawan dan pemerhati sastra (Sarjono, 2001: 207). Ada juga yang beranggapan sebaliknya; tak ada yang perlu dicemaskan dalam pembelajaran sastra dewasa ini. Salah seorang guru menyatakan, selama ini ia tidak merasakan bahwa pembelajaran sastra di sekolah menengah memprihatinkan (Hidayat dalam Sarumpaet, 2002: 109). Perbedaan persepsi tentu sah-sah saja, akan tetapi yang perlu dikhawatirkan adalah, jangan sampai perbedaan persepsi itu merupakan bukti bahwa guru kurang paham apa sesungguhnya hakikat pembelajaran sastra di sekolah. Pembelajaran sastra pada hakikatnya dilaksanakan untuk memampukan siswa menemukan hubungan antara pengalaman batinnya dengan esensi cipta sastra yang dipelajarinya (Gani, 1988: 121). Oleh karena itu, meskipun kurikulum di sekolah telah berubah dan berganti 49
berkali-kali, tujuan pembelajaran sastra tetap berkisar pada terwujudnya pengalaman bersastra, yakni pengalaman apresiatif dan pengalaman ekspresif, yang ditunjang oleh penguasan pengetahuan sastra yang memadai. Tujuan pembelajaran sastra tersebut, bertumpu pada dua keterampilan utama yakni membaca dan menulis, meskipun dua keterampilan lain, yakni mendengarkan dan berbicara, tidak diabaikan begitu saja. Dengan kisaran tujuan seperti itu serta dua keterampilan utama yang menyokong pembelajaran sastra, maka indikator keberhasilan pembelajaran sastra secara sederhana dapatlah dilihat dari dua hal saja, yakni (a) tingginya minat baca siswa terhadap karya sastra, dengan tingkat apresiasi yang memadai, dan (b) banyaknya karya yang ditulis siswa sebagai wujud kreativitas bersastra. Sudahkah dua indikator tersebut tercapai manakala siswa lulus dari satu jenjang pendidikan? Gambaran kasar menunjukkan bahwa kedua indikator tersebut belum tercapai. Mari kita ukur dengan beberapa pertanyaan berikut. Setelah bersekolah enam tahun (di jenjang sekolah dasar) atau tiga tahun (di jenjang menengah pertama dan menengah atas), berapa karya cerpen/puisi/ drama yang diciptakannya? Adakah karya mereka yang dimuat di media massa atau diterbitkan dalam sebentuk buku? Berapakah jumlah buku sastra yang dibaca siswa selama tiga tahun mereka bersekolah? Adakah peningkatan jumlah buku yang mereka baca dari tahun ke tahun? Sementara itu, kenyataan yang saya temukan di tempat saya bekerja adalah, banyak mahasiswa tidak mampu menulis dengan baik, dan karena itu masih saja ada mahasiswa yang pada akhirnya lebih memilih melakukan penjiplakan atau meminta bantuan orang lain daripada menulis karangan dengan menggunakan kepalanya sendiri. Ketidakmampuan menulis ini salah satu penyebabnya pastilah minat baca mereka yang rendah. Bukti lain dari kegagalan menumbuhkan minat baca dan menulis adalah, sedikitnya penulis yang lahir dari daerah kita ini. Lihatlah halaman-halaman cerita anak di koran dan majalah. Sejumlah nama dari berbagai kota lahir sebagai cerpenis dan penyair, tapi tak banyak yang berasal dari daerah kita ini. Sementara anak-anak usia belasan tahun sudah menerbitkan buku, adakah anak-anak kita seusia itu menerbitkan buku? Rendahnya kualitas pembelajaran sastra dapat disebabkan oleh 50
berbagai faktor seperti kurikulum, sarana belajar dan guru. Dari sejumlah faktor yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pembelajaran sastra, Atar Semi (dalam Sarumpaet, 2002: 134) menganggap faktor guru sebagai faktor dominan dengan alasan bahwa guru dalam setiap pembelajaran selalu menjadi faktor penentu utama. Bagi para guru sastra (termasuk dosen seperti saya), pernyataan ini memang bukan hal yang menggembirakan. Akan tetapi, penyangkalan seperti yang dikemukakan oleh salah seorang guru seperti pada awal tulisan ini pun tidak akan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, pernyataan itu seyogyanya ditanggapi dengan tindakan yakni melakukan upaya-upaya nyata untuk mewujudkan pembelajaran sastra yang berkualitas, yakni yang mengarah pada tumbuhnya kegairahan kreatif pada para siswa.
Sastra Sebagai Basis Pembelajaran Chaedar Alwasilah (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2006) menawarkan pembelajaran bahasa berbasis sastra. Tawaran tersebut didasari sejumlah alasan sebagai berikut. Pertama, secara psikologis manusia memiliki kecenderungan untuk menyukai realita dan fiksi. Kedua, karya sastra memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan pengalaman dan masalah pribadi dan lewat sastra pembaca belajar bagaimana orang lain menyikapi semua itu. Ketiga, karya sastra adalah harta karun berbagai kearifan lokal yang seyogianya diwariskan secara turun-temurun lewat pendidikan. Keempat, sastra dalam dirinya ada isi, yakni nilai-nilai dan interpretasi kehidupan. Kelima, melalui sastra siswa diterjunkan langsung ke dalam dunia nyata lewat rekayasa imajiner. Keenam, pembiasaan terhadap karya sastra meningkatkan kecerdasan naratif yaitu kemampuan memaknai secara kritis dan kemampuan memproduksi narasi. Ketujuh, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengajaran sastra lebih berkontribusi terhadap kemampuan menulis. Alasan-alasan di atas memang cukup menjadi dasar bagi guru untuk menggunakan karya sastra sebagai basis, bukan hanya dalam pembelajaran sastra melainkan juga bagi pembelajaran bahasa secara umum. Pembelajaran bahasa dengan berbasis sastra, di sisi lain, akan dapat mengikis ketergantungan guru terhadap buku teks yang selama ini sangat tinggi. Guru dituntut untuk memilih bahan sendiri dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Realisasi pendekatan ini, menurut Alwasilah, mesti berpedoman 51
pada empat hal berikut. Pertama, ada keseimbangan dalam kategori materi sastra, sehingga hampir semua genre sastra terwakili, misalnya komedi, epik, lirik, legenda, dan fabel, dan sebagainya. Kedua, kurikulum sastra tidak boleh dibatasi pada tradisi etnis atau aliran tertentu saja. Karya sastra daerah, nasional, bahkan asing seyogianya terwakili asalkan karyakarya itu cocok untuk usia siswa. Ketiga, keseimbangan untuk memenuhi kebutuhan dan minat kelompok di satu pihak dan individu siswa pada pihak lain. Guru harus peka terhadap berbagai faktor seperti usia, pengalaman, perkembangan akademik, cara belajar, dan lingkungan sosial siswa. Keempat, keseimbangan dalam hal kualitas karya sastra. Pada tahap awal bisa jadi siswa dibiarkan membaca apa saja yang disukainya, tetapi lambat laun mereka mesti diperkenalkan kepada karya sastra yang berkualitas.
Guru Sebagai Model Telah dikemukakan bahwa keberhasilan pembelajaran sastra secara sederhana dapatlah dilihat dari dua hal saja, yakni (a) tingginya minat baca siswa terhadap karya sastra, dengan tingkat apresiasi yang memadai, dan (b) banyaknya karya yang ditulis siswa sebagai wujud kreativitas bersastra. Untuk mencapai hal itu, para guru dan mahasiswa calon guru bahasa dan sastra Indonesia perlu sejenak berintospeksi tentang apa yang sudah dilakukannya berkaitan dengan tugas-tugas yang dihadapi sebagai guru atau calon guru bahasa dan sastra. Seorang guru sastra sudah semestinya memiliki minat baca yang tinggi, khususnya terhadap buku-buku sastra. Sudah berapa buku sastra (puisi, kumpulan cerpen, novel dan drama) yang dibaca? Apakah anda sendiri tidak punya kesulitan dalam memahami karya-karya tersebut? Minat baca yang tinggi perlu dimiliki para guru/dosen dan mahasiswa calon guru bahasa dan sastra Indonesia karena karya sastra terus bermunculan dalam beragam bentuk terbitan. Koran-koran Minggu menyediakan ruang sastra yang memuat karya berupa cerita pendek, puisi, serta esai. Majalah-majalah sastra dan budaya semisal Horison dan Gong terbit setiap bulan dengan jumlah karya yang dimuat lebih banyak lagi jumlahnya dibanding koran. Buku-buku karya sastra semakin semarak penerbitannya, bisa mencapai puluhan judul setiap tahun. Bila guru, dosen, dan mahasiswa calon guru bahasa tidak mengikuti semua itu, maka bisa dipastikan bahwa materi pembelajaran sastra hanya 52
berkutat dari itu ke itu saja dan dengan demikian akan tertinggal dari perkembangan perjalanan sastra itu sendiri. Apa saja yang perlu dibaca guru bahasa dan sastra Indonesia? Karya sastra jelas harus menjadi bacaan wajib. Idealnya, seorang guru bahasa dan sastra membaca karya-karya yang terbit dalam berbagai media dan buku. Aktivitas membaca yang intens dan berulang-ulang niscaya akan dapat membantu para guru memahami karya dengan lebih baik. Bacaan berupa hasil telaahan karya sastra juga merupakan bacaan yang semestinya tidak dilewatkan oleh guru bahasa dan sastra. Pembacaan atas hasil telaahan terhadap karya sastra seyogyanya didahului dengan membaca karya yang ditelaah tersebut. Upamanya saja, bila anda membaca tulisan saya tentang “Puteri Keraton, Karya Sastra Koran dalam Pandangan Mimesis” (Pasassung & Hidayat, 2006: 48-54) yang membahas cerpen “Puteri Keraton” karya Marselli Sumarno, maka semestinya anda pun terlebih dahulu membaca cerpen yang dibahas itu. Membaca hasil telaahan semacam itu akan memberikan dua manfaat bagi pembacanya, yakni (a) memperoleh informasi dari isi telaahan itu dan (b) menjadi model bila mau menulis telaahan semacam itu. Demikian pula hanya dengan indikator yang kedua, banyaknya karya yang ditulis siswa sebagai wujud kreativitas bersastra. Untuk mewujudkan hal itu, guru dituntut untuk menunjukkan kemampuannya menulis. Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa belajar berbahasa pada hakikatnya dimulai dari meniru. Oleh karena itu, guru dituntut untuk menjadi model bagi para siswanya. Dengan kata lain, agar pembelajaran sastra berhasil menumbuhkan kegairahan kreatif pada para siswanya, maka guru bahasa seyogyanya terlebih dahulu memiliki kegairahan yang sama, bahkan semestinya lebih tinggi dibanding siswa. Dengan minat baca yang tinggi dan kemampuan menulis yang baik, maka guru bahasa tidak akan lagi memiliki ketergantungan kepada buku teks. Dengan kemampuan yang dimilikinya, guru seharusnya mampu memilih dan menentukan sendiri bahan yang relevan dengan kebutuhan siswa, bukan mengambil begitu saja bahan yang ada dalam buku teks. Perlu disadari bahwa materi pembelajaran yang terdapat dalam buku teks bukan merupakan jaminan bahwa materi tersebut sangat relevan untuk digunakan di seluruh wilayah. Sementara itu, dari segi kualitas, sebuah buku teks belum tentu memiliki kualitas yang memadai. Kekurangmantapan kualitas buku teks ini bahkan nyaris menjadi 53
kesimpulan umum semua makalah yang diajukan dalam “Seminar Pengolahan Bahan Pelajaran Sastra dalam Buku Teks Bahasa dan Sastra Indonesia” di Pascasarjana IKIP Bandung (Sarjono, 2001: 209). Pembelajaran sastra membutuhkan guru yang memiliki minat baca tinggi dan suka menulis. Bagaimana mungkin mau mengajak siswa banyak membaca kalau gurunya sendiri sudah tidak lagi membaca. Bagaimana mungkin mau mengajak siswa menulis kalau gurunya sendiri tidak menulis. Kegiatan menulis semestinya menjadi kebiasaan. Hampir semua buku tentang menulis menyarankan kepada pembacanya agar membiasakan diri menulis. Oleh karena itu, ajaklah para siswa anda menulis. Guru sesungguhnya bisa dengan mudah meminta siswa menulis bukan sebagai tugas yang harus dikerjakan, melainkan dirasakan siswa sebagai sebuah kebutuhan. Anjurkanlah para siswa untuk menulis catatan harian atau catatan pagi begitu siswa mampu menulis kalimat – sejak kelas III atau kelas IV sekolah dasar. Namun, anjuran ini hendaknya disertai dengan penghormatan atas privasi siswa; guru jangan pernah membaca catatan harian mereka bila mereka tidak meminta guru untuk membacanya. Pemaksaan akan berakibat fatal, yakni siswa tidak akan pernah mau menulis.
Menulis dan Tantangan Berkarya Tantangan pembelajaran sastra saat ini amat kompleks. Di rumah ada televisi yang setiap hari menyajikan hiburan yang diminati anakanak dan remaja, bahkan ibu-ibu. Akibatnya, minat membaca terpengaruhi, bukannya naik tetapi menurun karena anak lebih senang menonton televisi daripada membaca. Karena tidak suka membaca, maka wajar jika siswa kemudian tidak bisa menulis. Demikian kira-kira keadaan siswa kita. Dalam pada itu, di tempat lain, ada anak yang kadar kreatifnya bahkan melebihi orang dewasa. Misalnya saja, Qurrota Aini. Bulan Maret tahun ini umurnya 11 tahun. Sekarang ia duduk di bangku kelas V SDIT Insan Mandiri, Jakarta Selatan. Seperti anak-anak lainnya, Aini punya hobi membaca, menulis, menggambar, renang, nonton VCD dan main komputer. Yang tidak seperti anak-anak lainnya adalah, pada usia 8 tahun ketika masih duduk di bangku kelas II sekolah tersebut, ia sudah menerbitkan novel anak berjudul Asyiknya Outbound (Dar! Mizan, 54
2005). Yang lebih tidak biasa lagi: buku tersebut adalah karyanya yang kedua. Buku pertamanya, Nasi untuk Kakek, terbit setahun sebelumnya yang mengantarkan-nya meraih piagam penghargaan Museum Rekor Indonesia sebagai penulis antologi cerpen termuda usia tujuh tahun. Nah, lalu apa yang bisa dilakukan agar siswa kita juga ada yang seperti itu? Kita perlu menumbuhkan kegairahan kreatif mereka. Selama ini, siswa menulis karena dorongan eksternal semata: karena guru menugasi siswa untuk menulis. Artinya, jika guru tidak menugasi siswa menulis, maka siswa tak akan menulis. Guru kadang mengabaikan pentingnya dorongan internal dari dalam diri siswa: rasa suka dan gemar menulis. Padahal, bagi Leonhardt (2001), rasa suka menjadi pintu utama bagi keberhasilan siswa belajar menulis. “Sekali anak jatuh cinta dengan menulis,” Leonhardt menjamin, “tulisan mereka akan melejit.” Mengapa gemar menulis itu penting? Leonhardt (2001) menjawabnya dengan sepuluh alasan berikut. Pertama, rasa suka terhadap suatu kegiatan merupakan prasyarat untuk keberhasilan di bidang apa pun, demikian pula halnya dengan menulis. Kedua, hanya anak-anak yang suka menulis saja yang akan menulis dengan sering dan teliti. Ketiga, hanya siswasiswa yang gemar menulis dan banyak menulis secara mandiri, yang akan mengembangkan irama dan gaya pribadi mereka. Keempat, hanya anak-anak yang terbiasa menulis mandiri sajalah yang akan belajar cara menulis dengan fokus yang tajam dan jelas. Kelima, anak-anak harus sering dan bebas menulis (dan membaca) supaya terampil menggunakan struktur kalimat yang kompleks dengan benar. Keenam, anak-anak yang menikmati tulis-menulis jarang menunda-nunda menyerahkan makalah dan laporan yang ditugaskan. Ketujuh, anak-anak yang suka menulis lebih memahami hal-hal yang dibacanya. Kedelapan, anak-anak yang gemar menulis (dan membaca) menjadi murid yang unggul dalam hampir semua mata pelajaran. Kesembilan, anak-anak dengan kebiasaan menulis mandiri mempunyai cara yang mudah untuk mengatasi trauma emosional. Kesepuluh, penulis yang terampil dan fasih punya keuntungan luar biasa dalam sebagian besar bidang pekerjaan. Berbeda dari cara lama dalam pembelajaran menulis yang terasa mem-bosankan (siswa), “paradigma baru” pembelajaran menulis yang ditawarkan Taufiq Ismail (2003) adalah bahwa kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak terasa jadi beban, baik bagi siswa, maupun untuk guru. Maka, pekerjaan pertama seorang 55
guru adalah menumbuhkan rasa suka terhadap menulis. Agar dorongan untuk menulis tetap terpelihara dan rasa suka terhadap menulis bertumbuhkembang dalam diri siswa, Leonhardt antara lain memberikan sepuluh kiat utama berikut: (1) tumbuhkan kecintaan dan kebiasaan membaca pada diri siswa; (2) dukunglah selalu tulisan siswa Anda; dalam setiap tulisan, pasti ada yang dapat dipuji; (3) tawarkan saran dan kritik hanya kalau siswa sudah menjadi penulis yang terampil dan percaya diri; (4) hargai privasi siswa; janganlah membaca tulisannya tanpa seizinnya; (5) hargai pendapat siswa; (6) jangan menuntut kesempurnaan; (7) jangan menyensor tulisan siswa; (8) sadarilah bahwa siswa mempunyai selera menulis yang berbeda-beda, doronglah mereka untuk menulis apa yang mereka senangi; (9) tak perlu mengajarkan tata bahasa kepada siswa ketika mereka baru mulai menulis, sebagian besar pengetahuan ketatabahasaan berkembang sehingga lebih baik dikuasai siswa sedikit demi sedikit; dan (10) Anda sendiri, menulislah untuk kesenangan. Ketika para siswa ditugasi menulis, para siswa kemudian menyerahkan tulisan itu, lalu bagaimanakah nasib tulisan tersebut di tangan guru? Guru yang baik tentu akan membaca karangan yang diserahkan siswa, dan pada kelas-kelas tinggi guru akan mengoreksinya. Di samping pendekatan frekuensi, pendekatan yang kerap digunakan dalam pembelajaran menulis adalah pendekatan koreksi (Suparno dan Yunus, 2002). Ketika para siswanya telah menjadi penulis yang terampil dan percaya diri, sang guru akan memberikan saran dan kritik atas tulisan yang dibuat siswa. Sayang sekali, tidak banyak guru yang memiliki waktu untuk mengoreksi, dalam arti memberikan catatan, tanggapan, serta saran-saran untuk perbaikan tulisan para siswanya. Yang banyak dilakukan guru adalah sebatas memberikan skor atau nilai atas tulisan tersebut. Siswa yang memperoleh skor tinggi pastilah merasa senang, sementara siswa yang memperoleh skor rendah tentu tidak puas. Namun, baik siswa yang memperoleh skor tinggi maupun siswa yang mendapat nilai rendah tidak pernah tahu mengapa karangan yang ditulisnya dinilai bagus atau kurang bagus. Pada akhirnya, guru yang kreatif barangkali akan menyediakan papan tempel yang biasa dikenal dengan sebutan majalah dinding, sebagai ruang bagi siswa untuk berekspresi. Pemublikasian karya tulis siswa memang 56
dapat dipandang sebagai penghargaan terhadap kreativitas siswa. Di sini peran guru sebagai fasilitator diperlukan untuk membantu siswa mencapai aktualisasi diri melalui keterampilan menulis. Setelah direvisi, karangan para siswa itu mungkin saja bisa dikirim (secara kolektif, mengapa tidak?) ke sebuah majalah remaja ataupun majalah sastra. Seandainya lagi satu atau beberapa karangan yang dikirim itu menarik hati redaktur, tentu akan dimuat. Pemuatan tulisan siswa pada majalah berskala nasional akan membuat penulisnya dikenal dan bukan tidak mungkin memperoleh imbalan finansial.
57
Daftar Pustaka Alwasilah, A. Chaedar. “Pengajaran Berbasis Sastra” dalam Pikiran Rakyat, 27 Desember 2006. Clegg, Brian & Paul Birch. 2007. Instant Creativity. Jakarta: Esensi. Gani, Rizanur. Pengajaran Sastra Respons dan Analisis. Jakarta: Ditjen Dikti. Hidayat, Ahid. “Guru dan Kakilangit Pengajaran Sastra” dalam Riris K. Toha-Sarumpaet, Sastra Masuk Sekolah. Magelang: IndonesiaTera. 2002. Ismail, Taufiq. Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta . 2003. Kristanto, J.B. Seribu Tahun Nusantara. Jakarta: Harian Kompas. 2000. Leonhardt, Mary. 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis, terj. Eva Y. Nukman. Bandung : Kaifa. 2001. Pasassung, Nikolaus dan Ahid Hidayat. Cakrawala Karya. Kendari: Penerbit FKIP Unhalu. 2006. Sarjono, Agus R. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 2001. Semi, M. Atar. “Buku Pendukung Pengajaran Sastra” dalam Riris K. Toha-Sarumpaet, Sastra Masuk Sekolah. Magelang: IndonesiaTera. 2002. Suparno dan Mohammad Yunus. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. 2002.
58
Sumber Tulisan “Kontra-Propaganda dalam Drama Propaganda Zaman Jepang” merupakan revisi dari makalah yang disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (Hiski) di Yogyakarta, 2002. “Sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara: Warisan Tradisi Tulis yang Belum Tergenggam” disajikan dalam Kongres (Internasional) IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28-31 Oktober 2008. “Aspek Psikologis yang Terabaikan dalam Pembelajaran Menulis” disajikan pada Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia dalam Perspektif Pergaulan Antarbangsa, IKIP PGRI Semarang 2-4 Juli 2006 “Menumbuhkan Kegairahan Kreatif Siswa dalam Pembelajaran Sastra” merupakan revisi dari makalah yang disajikan pada Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lakidende - Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 28 Januari 2008.
59
Biodata Penulis
Ahid Hidayat menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Susastra pada FIPB Universitas Indonesia (2001), mengajar di FKIP Universitas Haluoleo sejak 1993. Tulisannya dimuat dalam buku Sastra Masuk Sekolah suntingan Riris K. Toha-Sarumpaet (Indonesia-Tera, 2002), dan Cakrawala Karya yang disuntingnya bersama Nikolaus Pasassung (Penerbit FKIP Unhalu, 2006). Menulis puisi dan cerpen, di samping menerjemahkan cerpen dan menulis artikel, yang telah dimuat di sejumlah media massa (Fajar, Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, dan Republika). Bersama Syaifuddin Gani, mengelola ruang Sastra & Budaya Kendari Pos (Januari-Agustus 2008).
60