Tradisi Menulis Ala Departemen Sastra Inggris UNAIR NEWS – Konsisten dalam melestarikan tradisi kepenulisan, itulah yang senantiasa digalakkan oleh Departemen Sastra Inggris FIB UNAIR. Hal ini dibuktikan dengan mengadakan acara tahunan berupa Seminar on Journalism in the 21st Century, Sabtu (30/4). Bertempat di Aula Siti Parwati FIB UNAIR, acara yang diselengggarakan atas kerja sama dengan RELO (Regional English Language Office) tersebut menghadirkan banyak tokoh, mulai pemateri dari pihak RELO dan berbagai pegiat dunia kepenulisan. Mewakili Departemen Sastra Inggris, Pujo Sakti Nur Cahyo selaku penanggung jawab Seminar on Journalism in the 21st Century, menuturkan bahwa seminar ini bertujuan agar melatih mahasiswa untuk bisa lebih aktif dan produktif dalam kepenulisan. “Saya harap dengan berlangsungnya acara ini agar mahasiswa, khususnya Sastra Inggris bisa lebih kreatif dan produktif dalam menulis,” jelasnya. Tradisi tahunan tersebut juga dihadiri Perwakilan Komisariat Jendral Amerika di Surabaya, Erica Karlson. Selain itu kesuksesan acara tersebut baginya tidak bisa lepas dari berbagai pihak pendukukng, mulai dari IALF (Indonesia Australia Language Foundation) cabang Surabaya, Pusat Bahasa Universitas Airlangga Surabaya, dan Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya. “Semoga melalui acara ini terciptanya hubungan yang lebih erat sesama sivitas akademika minat bahasa dan Sastra Inggris antar universitas. Selain itu, dengan seminar ini diharapkan semakin banyak muncul tulisan-tulisan kreatif, baik yang bersifat jurnalistik maupun populer dari mahasiswa-mahasiswa Sastra
Inggris,” pungkasnya. Penulis : Yulis Majidatul C. Editor : Nuri Hermawan
Gelar Peluncuran dan Bedah Buku, Magister Kajian Sastra dan Budaya Layak Jadi Pilihan UNAIR NEWS – Sastra Bandingan merupakan salah satu mata kuliah yang ditawarkan pada Program Studi Magister Kajian Sastra dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga. Teks-teks sastra mutakhir yang banyak disadur dan didaptasi ke dalam karya sastra lain, dari novel menjadi film, dari puisi menjadi novel misalnya, merupakan kajian hangat pada mata kuliah ini. Salah satu output mata kuliah sastra bandingan yang ditawarkan Magister KSB ialah menerbitkan buku. Seperti yang baru dirilis akhir minggu lalu, mahasiswa KSB angkatan 2013 me-launching buku mereka yang diberi judul “Dari Religiusitas Hingga Seksualitas dalam Bahasa, Sastra, dan Budaya”, pada Jumat (29/4). Bedah buku berlangsung di ruang Chairil Anwar, FIB UNAIR, dengan mengundang narasumber Puji Karyanto, S.S., M.Hum dan Ida Nurul Chasanah, S.S M.Hum. “Dari Religiusitas Hingga Seksualitas merupakan spirit yang kami ambil dari salah satu tulisan dari buku yang kami terbitkan. Keseluruhan isi buku berbicara tentang sastra bandingan. Ada tentang pendidikan, gender dan seksualitas, plagiarisme dalam karya sastra. Macam-macam,” kata Akhmad Fatoni, S.S., M.Hum, salah satu mahasiswa yang memprogram mata
kuliah ini. Mengenai judul buku yang terbilang “seksi” itu, Akhmad Fatoni mengatakan bahwa meskipun secara harfiah kata religiusitas dan seksualitas sangat jauh maknanya, namun keduanya memiliki terterkaitan yang erat. “Ketika berbicara seksualitas kita juga bisa berbicara religiusitas, berbicara bagaimana seseorang menempatkan seksualitas. Ketika tingkat religus seseorang berbeda, menyikapi seksualitas juga akan berbeda. Secara harfiah memang berbeda. Tetapi secara spirit sangat mempengaruhi satu sama lain,” katanya. Layak Jadi Pilihan Pada kesempatan ini, Wakil Dekan I FIB UNAIR mengatakan, bahwa Magister KSB merupakan prodi yang patut menjadi jujugan mahasiswa sastra yang ingin melanjutkan studi jenjang magister. Pasalnya, selain karena sudah terakreditasi A, KSB merupakan salah satu dari dua prodi magister di Indonesia yang telah ditunjuk Kemenristekdikti untuk mahasiswa yang ingin mendaftar Beasiswa Unggulan Calon Dosen Dikti. “Sejak pertama berdiri, selalu ada mahasiswa asing yang mengambil prodi ini. Peminatnya selalu banyak. Namun secara keseluruhan, maksimal hanya 30 mahasiswa yang kami diterima,” kata Puji. Ada mahasiswa asing yang juga memprogram Mata Kuliah Sastra Bandingan ini. Menurut Puji, kualitas lulusan mahasiswa asing yang menempuh studi KSB bergantung dengan personalitas masingmasing mahasiswa. Persoalan penguasaan Bahasa Indonesia penting dimiliki mahasiswa asing. Ia juga menuturkan bahwa ada kebijakan baru dari Direktur Pendidikan UNAIR yang dapat membantu mahasiswa asing dalam meningkatkan kualitas diri ketika menjalani studi di UNAIR. “Terkait pembelajaran Program Bahasa Indonesia untuk Penutur
Asing (BIPA), Prof. Nyoman mengharuskan ada tambahan materi akademic writing untuk mengejar persoalan substansi mahasiswa asing,” paparnya. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Nuri Hermawan
Gandeng Awak Media, Beri Tips Sukses Berkarir di Media UNAIR NEWS – Langkah UNAIR dalam meningkatkan kualitas lulusan terus digalakkan, mulai mengadakan pameran bursa kerja, pelatihan-pelatihan memasuki dunia kerja, seminar, hingga mengadakan konsultasi karir. Kali ini, UNAIR melalui Pusat Pembinaan Karir dan Kewirausahaan (PPKK) bersama Fakultas Ilmu Budaya (FIB) menggelar seminar yang bertajuk Sukses Berkarir di Media, Jumat (29/4). Seminar yang dilaksanakan di Aula Siti Parwati FIB UNAIR tersebut, dibuka langsung oleh Wakil Dekan I FIB UNAIR, Puji Karyanto, S.S., M.Hum. Pada sambutannya ia berharap bahwa kegiatan seminar dengan menggandeng awak media seperti bisa lebih sering diadakan di FIB, pasalnya FIB dirasa memiliki potensi mahasiswa yang dekat dengan media. “Saya harap kegiatan seperti ini lebih sering diadakan di fakultas kami, agar kemampuan mahasiswa FIB bisa terus terasah dan berani untuk bertarung dipersaingan global,” jelasnya. Didampingi moderator Lastiko Endi Rahmantyo, S.S., M.Hum., ketua PPKK UNAIR, Dr. Elly Munadziroh, M.S., Drg., menyatakan bahwa dalam dunia industri media seseorang tidak sekedar berkarir, namun baginya penting untuk melangkah menuju sukses
berkarir. “Makanya dalam jagat media pentingnya sebuah kreatifitas dan tata mental untuk senantiasa percaya diri,” ujarnya. Ir. Latif Harnoko, MBA., selaku Senior Vice President Trans TV mengaku sudah tidak asing lagi memberikan materi di UNAIR, dalam pemaparananya ia menjelaskan dinamika perjalanan media di Indonesia, baginya jatuh bangun dalam menjalankan dunia media di negeri ini bisa menjadi landasan untuk memajukan industri media. “Dulu tahun 1998 jumlah penonton tertinggi di salah satu stasiun TV bisa sampai 30%, namun tahun ini hanya bisa 12%, berangkat dari menurunnya peminat TV ini makanya sekarang sebagian stasiun TV memilih bergabung,” jelasnya. Harnoko juga mengimbuhkan bahwa untuk meniti sukses dalam industri media diperlukan beberpa karakter mulai dari sikap percaya diri, terus ingin belajar, berani adaptasi, dan menggali pengalaman baru. “Namun yang tidak kalah penting dalam berkarir di industri media adalah sikap kerja keras dan yang pasti bekerjalah sesuai dengan passion, ini kuncinya agar bisa sukses,” pungkasnya. (*) Penulis : Nuri Hermawan
Diah Ariani Arimbi: Perjuangan Kartini Masih
Panjang UNAIR NEWS – Menelusuri jejak-jejak Raden Ajeng Kartini hingga hari ini tidak akan ada habisnya. Begitu juga dengan hal yang diungkapkan oleh Diah Ariani Arimbi, S.S., M.A., Ph.D. Perjuangan Kartini tidak hanya berhenti ketika beliau sudah tiada, bagi Diah Ariani masih banyak hal yang harus dilakukan untuk melanjutkan perjuangan pahlawan yang jasanya selalu dikenang setiap tanggal 21 April tersebut. Ditemui di ruang kerjanya, Dekan Fakultas Ilmu Budaya UNAIR tersebut menuturkan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan oleh Kartini sepenuhnya diteladani oleh generasi sekarang.
tidak
“Memang sebagian langkah Kartini sudah terlihat nyata, terutama dalam pendidikan, hari ini sudah banyak perempuanperempuan yang menempuh pendidikan tinggi dan bahkan tidak sedikit yang menempati posisi strategis pada sebuah instansi,” jelas master lulusan University of Northern lowa Amerika Serikat. Doktoral University of New South Wales tersebut menambahkan bahwa banyak kiprah Kartini yang tidak diketahui oleh perempuan hari ini, salah satunya mental rajin membaca dan berfikir kritis yang dimiliki pahlawan asli Jepara tersebut. “Kartini selalu belajar dari membaca banyak buku, ini yang hilang dari perempuan sekarang yang terlebih suka pada yang instan, kasus di mahasiswa sendiri banyak sekali yang suka copy paste,” tegasnya. Dekan perempuan pertama FIB UNAIR tersebut kembali menegaskan bahwa perbedaan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang lumrah, namun menjadi sebuah problem jika perbedaan tersebut menciptakan sebuah hierarki. “Sebenarnya perbedaan laki-laki dan perempuan adalah hal yang wajar, namun kalau ada hierarki itu yang jadi masalah,” tegasnya.
“dengan pendidikanlah hierarki antara laki-laki dan perempuan bisa ditepis,” imbuhnya. Diakhir wawancara, dekan yang juga mengajar kajian gender di FIB UNAIR tersebut menekankan, bahwa momen hari Kartini memang sangat penting untuk menghidupkan kembali semangat Kartini. Pasalnya Kartini telah betul-betul memberikan makna pada perempuan, utamanya pada bidang pendidikan. “Momen hari Kartini ini penting untuk mengingatkan bahwa semangat Kartini harus ada, karena semangat Kartini adalah semangat melawan ketidakadilan dan kesetaraan,” pungkasnya. (*) Penulis : Nuri Hermawan Editor : Dilan Salsabila
Wisudawan Terbaik, Yolanda Pantang Pulang Sebelum Sidang, Sandra Berkat Usaha yang Fokus UNAIR NEWS – Terharu. Inilah perasaan Yolanda Anggritha ketika mengetahui dirinya dinyatakan sebagai wisudawan terbaik jenjang sarjana (S1) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) dalam wisuda Maret 2016 lalu. IPK yang diraihnya, 3,97, terbilang tinggi, namun gadis kelahiran Serang 7 Maret 1994 ini tetap tidak menyangka dirinya yang terpilih untuk menyandang predikat itu.
Yolanda Anggritha. “Sampai detik ini (dua hari menjelang wisuda – red) masih tidak menyangka kalau saya yang terpilih. Saya yakin pasti banyak teman lain dengan IPK lebih tinggi dari saya. Tetapi puji syukur saya yang diamanatkan Allah untuk ini,” ujarnya penuh rasa haru. Sebagai mahasiswa, Yolanda mengaku selama ini biasa-biasa saja. Juga mengaku tidak sekritis teman-temannya, dalam banyak hal. Ia yakin, hanya ada satu hal yang diyakini mengantarnya menjadi yang membanggakan ini. “Satu hal itu adalah bahwa tidak ada hasil yang mengingkari dari usaha dan doa,” ujar cewek yang pernah menjadi asisten dosen Manajemen Keuangan ini. Usaha keras Yolanda memang patut diacungi jempol. Ketika musim liburan, ia tidak seperti banyak mahasiswa perantauan yang memilih pulang kampong, tetapi ia memilih tetap tinggal di Surabaya. Pengakuannya, ia pantang untuk pulang sebelum melaksanakan sidang. “Semua teman kos saya pulang, hanya saya yang tidak. Karena saya janji pada diri saya bahwa tidak akan pulang sebelum selesai sidang skripsi,” ujarnya, seraya mengatakan bahwa semua yang ia lakukan ini semata untuk membanggakan kekedua orang tuanya. Di kampus FEB, sarjana manajemen ini juga mengaku bersyukur telah memperoleh kesempatan diajar oleh para dosen yang sangat
perhatian, serta bertemu kawan-kawan yang saling memberi dukungan. Memori hampir empat tahun kuliah di FEB UNAIR akan selalu diingatnya sebagai memori indah pada masa-masa mendatang. (*) SANDRA MENGKAJI NOVEL AYU UTAMI
Sandra Whilla Mulia. SEMENTARA ini, kajian-kajian terhadap novel-novel karya Ayu Utami, kebanyakan hanya dilihat dari segi seksualitas, gender, dan feminisme semata. Namun tidak bagi Sandra Whilla Mulia. Ia menemukan sisi lain, yaitu unsur realisme magis juga menonjol dalam novel Ayu Utami. Salah satunya yang ada dalam novel “Simple Miracles Doa dan Arwah”. “Novel tersebut banyak mengisahkan tentang kepercayaan, mitos, dan tradisi yang berkaitan dengan makhluk halus yang melegenda di tanah Jawa (misalnya pocong dan kuntilanak). Itu sesuatu yang jarang dibahas,” ujar perempuan asli Lamongan ini seraya menjelaskan bahwa selama ini banyak peneliti yang lebih memilih menganalisis karya sastra realisme magis dari negara lain. Selama menyelesaikan tesisnya, diakui memang tidak mudah. Karena harus bolak-balik ke UGM untuk mencari rujukan penelitian yang cocok. Tetapi akhirnya usaha kerasnya itu berbuah manis, dan mengatrol IPK-nya menjadi 3,84 sehingga dinobatkan sebagai wisudawan terbaik program magister Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dalam wisuda Maret lalu.
”Fokus dan sungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas, tidak malu berkonsultasi dengan dosen, berdiskusi dengan teman, itu resepnya,” ujar staf pengajar Ilmu Folklore di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ini mengenai tips-triknya saat menempuh studi. Ia menegaskan bahwa yang ia raih ini juga tidak terlepas dari doa orang tuanya. Baginya, keberhasilannya menjadi wisudawan terbaik ini sebagai bagian dari prinsip yang ia pegang bahwa menjadi perempuan cantik saja tidak cukup, lebih dari itu sebuah kombinasi yang luar biasa akan terbentuk ketika paras yang menawan diimbangi dengan intelektualitas yang mumpuni. (*) Penulis : Yeano Dwi Handika, Disih Sugianti. Editor : Bambang Bes
Belajar Budaya dan Sejarah di Negeri Sakura UNAIR NEWS – Kesempatan berkunjung ke negeri luar dalam rangka studi memang tak boleh dilewatkan. Setelah dari luar negeri, ada saja pengalaman menarik yang bisa dibagikan kepada temanteman atau pihak yang membutuhkan informasi.
Ni Made Ayu Karina Wiraswari, mahasiswa Fakultas Sains Teknologi Istimewa)
dan (Foto:
Ni Made Ayu Karina Wiraswari, mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, akhir Maret 2016 lalu baru saja kembali dari Negeri Sakura. Ia bersama delapan mahasiswa asal Indonesia terpilih mengikuti spring program lainnya berkunjung ke Universitas Kumamoto, Jepang, selama sepuluh hari. Mahasiswa program studi Sistem Informasi, FST UNAIR, itu menuturkan bahwa pihak penyelenggara kegiatan menyuguhkan beragam edukasi budaya, mulai dari tarian tradisional, kuliner, olahraga bela diri, ke tempat pembuatan pernak-pernik khas Jepang, hingga disuguhkan dengan sejarah Istana Kumamoto. “Kegiatan ini memang bertujuan untuk menarik minat mahasiswa asing untuk belajar ke Jepang, ya, utamanya belajar di Universitas Kumamoto,” jelas Karina yang juga penerima beasiswa Bank Indonesia. Karina menuturkan, dengan adanya kegiatan spring program ia akhirnya mendapatkan banyak relasi baru dengan mahasiswa dari berbagai negara di Asia. “Dengan interaksi dengan mahasiswa-
mahasiswa asing lainnya, secara tidak langsung, kita juga mempromosikan keunggulan yang dimiliki Indonesia. Pengalaman penting, ya, bisa punya relasi, teman baru, banyak pengalaman yang saya dapatkan dari komunikasi dengan mahasiswa dari beragam negara,” ujar perempuan kelahiran 19 Oktober 1993. Berkunjung ke museum Mahasiswa UNAIR lainnya yang juga berkesempatan mengunjungi Negeri Matahari Terbit adalah Annisa Rochma Sari. Ia mengikuti program Study and Visit Japan 2016 dengan kegiatan bertema ‘Modernization and Post-War Experience’ di Universitas Okayama yang berakhir pada penghujung Maret lalu.
Annisa Rochma Sari mahasiswa Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (Foto: Istimewa) Pada kunjungannya ke Jepang, mahasiswa Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, UNAIR itu mengagumi sistem perkuliahan di Jepang. Ia menilai penjelasan para profesor di Jepang cukup detail, serta mendorong dan mengembangkan daya kritis mahasiswa. Selain itu, mahasiswa kelahiran 11 Mei 1995 tersebut juga kagum dengan sistem pelayanan museum di Jepang. Annisa menyebutkan bahwa museum di Jepang memiliki visualisasi yang terintegrasi dengan permainan audio, diorama, dan media
informasi yang lengkap. “Museum di sana sangat menarik, misalnya di Museum Yamato yang kami kunjungi, tidak hanya menampilkan sejarah tentang kapal perang Yamato, tetapi juga replika dan beberapa bagian mesin asli. Peralatan itu sengaja dihadirkan supaya pengunjung bisa menyentuh dan menyadari adanya koneksi antara masa lalu dan masa kini,” ujar Annisa. Ia juga dibuat takjub dengan Hiroshima Peace Museum and Memorial Park. Beragam memori, barang bukti, audio visual tentang sejarah, atmosfer sunyi bercampur sedih dan mencekam, serta diorama korban bom atom di Hiroshima juga dihadirkan. “Hal itu memang bertujuan untuk menyadarkan pengunjung bahwa tragedi kemanusiaan seperti ini tidak boleh terulang kembali,” imbuhnya. Ditanya mengenai rencana selanjutnya usai pulang dari Jepang, mahasiswa yang hobi travelling tersebut menjelaskan bahwa dirinya ingin mengembangkan cara belajar sejarah dan budaya sebagaimana yang ia dapatkan di Jepang. “Saya ingin kembangkan pembelajaran sejarah melalui datang ke situs asli sejarah, melakukan wawancara dengan masyarakat lokal untuk menggali fakta, memori, dan memahami dampak sosial yang terjadi, serta menuliskan dan mempublikasikan hasil yang didapatkan ke masyarakat,” pungkasnya. (*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Defrina Sukma S.
Surabaya Tempo Dulu Simpan Sejarah Diskriminasi UNAIR NEWS – Pada permulaan abad 20, Surabaya bisa dikatakan sebagai kota yang maju. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya artikel seorang pelancong dari Makassar yang dipublikasikan di Surat Kabar Bintang Toedjoe pada tahun 1904. Pada artikel tersebut bertuliskan mengenai ungkapan kemegahan kota Surabaya dari si pelancong. Pernyataan itu dikemukakan oleh Dr. (Cand) Samidi, S.S., MA., dalam Seminar Internasional “On Urban History”. Pada seminar yang dilaksanakan Selasa (5/4), Samidi menyampaikan tulisan disertasinya yang berjudul “Simbol Modernitas dan Gaya Hidup di Surabaya”. Kandidat doktor bidang sejarah tersebut juga mengatakan, bahwa saat itu Surabaya sudah menjadi kota industri, hal ini ditunjukkan karena sudah terdapat unsur hiburan, konsumsi yang mencakup food court, transportasi, serta komunikasi. Hal demikian yang menjadikan industrialisasi sebagai simbol modernitas sebuah kota. Kondisi tersebut ia nilai sebagai penyebab terjadinya diskriminasi. Pasalnya, perbedaan gaya hidup yang dipraktikkan oleh golongan elit dan kelas bawah akan terlihat nyata. Beberapa faktor yang mencirikan gaya hidup golongan elit adalah distingtif, glamoritas, serta mahal. “Golongan elit pasti akan memilih lingkungan sosialnya, masyarakat yang tergolong kelas bawah dilarang bergabung dengan mereka,” ujarnya. Dalam seminar yang berlangsung di Auditorium Siti Parwati FIB UNAIR tersebut, dijelaskan tentang keberadaan Societet di zaman kolonial. Baginya hal ini tersebut menjadi bukti awal dari bentuk diskriminasi di kota Surabaya. “Societet merupakan sebuah lembaga yang beranggotakan kaum
elit eropa di Surabaya yang dianggap membedakan diri dari masyarakat kelas bawah. Pikiran mereka cuma senang-senang, terbebas dari beban, karena fokus mereka adalah materi duniawi,” imbuh dosen Ilmu Sejarah UNAIR. Selain Societet, juga ditemukan Schouwburg yaitu gedung kesenian atau rumah komedi yang biasa digunakan untuk mementaskan kesenian eropa di kota Surabaya. Pengunjungnya juga di dominasi oleh orang eropa yang tergolong elit, sehingga akan ada pelarangan bagi non eropa. Memang di awal pembentukannya sempat ada perlawanan dari masyarakat setempat yang sudah memperkirakan bahwa akan terjadi diskriminasi. Namun organisasi tersebut masih tetap terbentuk. “Walapun
ada
unsur-unsur
penolakan
ketika
pembentukan
organisasi, namun nyatanya tetap berlangsung,” paparnya. Di
akhir
penjelasannya,
Samidi
mengungkapkan
bahwa
diskriminasi akan selalu ditemui hingga sekarang. Walaupun bentuknya yang tersamar, namun batas yang membedakan antar golongan elit dan kelas menengah bawah akan selalu terasa. (*) Penulis: Dilan Salsabila Editor: Nuri Hermawan
UNAIR Gandeng Peneliti Asing untuk Bicara Sampah dan Tata Kelola Kota UNAIR NEWS – Hubungan personal yang berjalan baik selama bertahun-tahun menjadi faktor penting bagi kerjasama antara Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Airlangga dengan Vrije Universiteit Amsterdam dan Delft University of Technology. Buktinya, pada Jumat (4/3), kedua belah pihak menggelar seminar bertajuk “International Seminar on Urban History”. Seminar yang digelar di Ruang Siti Parwati FIB UNAIR ini dihadiri oleh Dr. Freek Colombijn dari Vrije Universiteit Amsterdam, dan Dr. Pauline K.M van Roosmalen dari Delft University of Technology. Freek dan Pauline merupakan dua peneliti asal Belanda yang telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun di Indonesia. Freek telah menaruh perhatian risetnya terhadap pengelolaan sampah, sedangkan Pauline mengenai tata perkembangan kota. Penelitian mereka sejalan dengan kajian studi Departemen Ilmu Sejarah UNAIR yang berfokus pada sejarah perkotaan. “Kerjasama ini dimulai dengan hubungan personal. Dengan Freek, sejak 2005 ia sering berkunjung ke UNAIR. Sekarang sudah ada Memorandum of Understanding (MoU) dengan FIB. Kerjasama ini dalam rangka mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kedatangan mereka kali ini dalam rangka kunjungan ke Indonesia dan memberikan ceramah ilmiah di Departemen Ilmu Sejarah, termasuk melanjutkan riset tentang pengelolaan sampah di Surabaya,” tutur Gayung Kasuma, S.S., M.Hum., selaku Ketua Departemen Ilmu Sejarah UNAIR. Dalam
seminarnya,
Freek
berbicara
tentang
berbagai
penelitiannya di Indonesia, termasuk penelitiannya tentang sampah di Surabaya yang ia lakukan sejak enam tahun terakhir. “Dimana-mana lingkungan sangat penting untuk manusia. Banyak masalah lingkungan yang dilalaikan. Saya ingin mengetahui kenapa manusia tidak bisa berinteraksi dengan ekosistem secara baik. Kita tahu bahwa banyak masalah lingkungan hidup, tapi kita tidak bergerak. Menurut saya itu sangat mengkhawatirkan. Dan saya fokus pada sampah dan pengelolaannya,” tutur Freek. Sebelumnya, Freek juga melakukan berbagai penelitian di Indonesia. Seperti kekerasan di Indonesia, kehidupan sosial
masyarakat Indonesia setelah merdeka, modernisasi kota-kota di Indonesia. Penelitian studi doktoralnya membahas tentang perkembangan Kota Padang, Sumatera Barat. Mengenai penelitian tentang sampah ini, Freek berencana untuk menerbitkannya dalam sebuah buku. “Penelitian ini belum selesai, sedang dilaksanakan. Mungkin penelitian ini tidak pernah selesai. Saya sudah mengumpulkan bahan di lapangan selama enam tahun. Sementara itu saya juga menulis tentang topik lain. Mudah-mudahan penelitian ini akan menjadi artikel dalam bentuk buku,” papar Freek. MoU antara Departemen Ilmu Sejarah dengan Freek telah dilakukan sejak Desember 2015 silam yang berlangsung di Vrije Universiteit Amsterdam, dan akan terus berlangsung hingga lima tahun ke depan. Dalam beberapa bulan ke depan, Freek juga akan memberikan pelatihan tentang publikasi ilmiah internasional. Pelatihan ini untuk mendorong para dosen melakukan penelitian dan publikasi ilmiah internasional, sesuai dengan target FIB UNAIR bahwa minimal terdapat sepuluh judul penelitian yang dimuat dalam jurnal internasional pada 2016 ini. “Dengan adanya MoU tingkat fakultas, akan membantu paling tidak saling berbagi tentang proses dan indentifikasi menuju jurnal ilmiah internasional. Sehingga bisa lebih mudah dimuat ke terindeks Scopus,” papar Gayung. Seminar ini merupakan seri ke dua dari rangkaian seminar yang diadakan oleh Departemen Ilmu Sejarah UNAIR. Pada Februari lalu, Departemen Ilmu Sejarah menghadirkan pembicara dari Australia, Prof Howard Dick, penulis “Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000” dan Robbie Petters penulis “Surabaya, 1945-2010: Neighbourhood, State and Economy in Indonesia’s City of Struggle”. Ke depan, kerjasama internasional akan terus dilakukan sesuai dengan target universitas menuju World Class University.
Gayung mengatakan bahwa Departemen Ilmu Sejarah sangat terbuka terhadap keilmuan lain yang ingin sinergis dan memiliki disiplin ilmu yang sama. Sebab menurutnya, Ilmu Sejarah belajar tentang masyarakat, yang di dalamnya mengkaji problematika sosial, budaya, arsitektur, ekonomi, dan bidangbidang lainnya.(*) Penulis: Binti Quryatul Masruroh
Kenalkan Budaya Jepang Melalui Japanese World UNAIR News – Suasana Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga di minggu terakhir liburan semester nampak berbeda dari biasanya. Kawasan FIB yang semula lengang, berubah ramai karena adanya semarak festival dengan suasana layaknya di Negara Jepang. Sebuah perhelatan akbar kembali diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD) Sastra Jepang (Sasjep) dalam rangka memperingati ulang tahun Departemen Sastra Jepang yang keenam. Adalah Japanese World (JW), festival tahunan dengan rangkaian acara bernuansa ala Jepang yang unik dan berbeda. JW tahun ini diadakan pada 27-28 Februari 2016, dengan mengangkat tema Mukashi kara mirai e tsunagaru yang berarti “Dari masa lalu terhubung ke masa depan”. (Galeri foto klik di sini) “JW adalah acara tahunan untuk merayakan ulang tahun Sastra Jepang. Selain itu, JW juga bertujuan untuk mengenalkan budaya Jepang kepada publik. Tidak hanya budaya tradisional, budaya modern pun ada di sini. Jadi, publik bisa tahu bahwa budaya Jepang sangat unik. JW 2016 juga menandai kelahiran dari ikon JW yang akan menemani dievent-event selanjutnya melalui Jun
dan Wati, dua ikon yang menandakan hubungan baik antara Indonesia dan Jepang,” tutur Ezzy, ketua pelaksana JW 2016. Memasuki area JW, pegunjung disambut oleh torii (gerbang khas Jepang) yang menandadakan pintu masuk acara yang kental dengan nuansa Jepang. Pada salah satu stage di parkiran FISIP, tertata rapi berbagai stan makanan dan minuman Jepang seperti takoyaki, okonomiyaki, dan ramen. Pemukulan gong sebagai pembukaan acara JW dihadiri oleh Ketua Departemen Sastra Jepang UNAIR, perwakilan dari Konsulat Jendral Jepang di Surabaya, serta Ketua Humas Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Sementara itu di dalam gedung FIB, terdapat berbagai macam stand-stand unik, terutama di lantai 3 FIB. Ada berbagai macam penampilan yang dipertunjukkan, seperti obake yashikiya, rumah hantu ala jepang yang menampilkan Yuki Onna sebagai hantu utamanya. Rumah hantu ini membolehkan pengunjung untuk mencoba sendiri atau berdua dengan tarif tertentu. Selain itu ada show case chanoyu, upacara penyajian teh hijau dan JW Café yang menampilkan pelayanan dari maid dan butler yang disertai hidangan-hidangan menarik seperti set nasi berserta chicken karaage. Setelah memesan menu yang disediakan, pengunjung dapat meminta untuk foto bersama para pelayan di dalam JW Café. Di ruangan berbeda, terdapat ruang ganti yang dapat dimanfaatkan pengunjung untuk mencoba yukata, jenis kimono yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis. Sementara di lantai 2 FIB, terdapat display berbagai macam gambaran manga. Ada juga berbagai macam lomba yang diadakan, seperti okeru (karaoke), tabetaikai (lombamakan), dan kuizutaikai (lomba quiz yang diadakan bagi peserta SMA dari berbagai daerah). Bermacam lomba tersebut ada yang diadakan secara indoor dan outdoor. Pada JW kali ini juga terdapat berbagai komunitas yang hadir dan membuka stand di hall FIB. Seperti Aliansi Vocaloid
Surabaya dan Komunitas Osu! Surabaya. “Osu! Surabaya merupakan game berbasis ritme yang dapat diunduh secara gratis,” tutur Bagus Satria, salah satu anggota komunitas Osu! Surabaya yang juga mahasiswa FIB angkatan 2014. Selain lomba, berbagai penampilan pertunjukan ikut memeriahkan JW kali ini. Seperti penampilan tarian dari Niseikai Yosakoi, penampilan BSO Pakarsajen, dan Mini-Undokai. Menjelang petang terdapat penampilan dari Niseikai Story, dan dilanjutkan dengan penutupan untuk menyambut hari kedua JW UNAIR 2016. (*) Penulis: Lovita Martafabella dan Aldi Syahrul Putra Editor: Binti Q. Masruroh
Mahasiswa Sastra Jepang Terbantu Native Speaker yang Jadi Asisten Dosen UNAIR NEWS – Sudah delapan tahun ini, Jurusan Sastra Jepang menjalin kerjasama dengan Ashinaga Foundation. Salah satu bentuknya, yayasan dari Jepang itu mengirimkan dua orang native speaker untuk menjadi asisten dosen. Menariknya, usia mereka relatif sama dengan para mahasiswa. Umumnya, mereka adalah mahasiswa semester enam atau tujuh di kampus masingmasing. Tahun ini, dua asisten dosen dari Jepang itu adalah Seira Oie dan Kenya Yoshida. Seira merupakan mahasiswi semester tujuh dari Universitas Kuansei Gakuin. Sementara Kenya merupakan mahasiswa semester tujuh Universitas Tenri.
“Mereka membaur dengan para mahasiswa. Para mahasiswa biasa jalan-jalan bareng dengan mereka. Bahkan, ke luar kota,” kata Ghulam Bintang Syahrial, salah satu mahasiswa Sastra Jepang. Dia mengatakan, kehadiran native sangat membantu proses perkuliahan. Para mahasiswa bisa langsung mempraktekkan ilmu dan kemampuan bahasa Jepang pada orang asli negeri Sakura. Bahkan, dua orang itu juga mengajar kaligrafi huruf kanji. Baik Seira maupun Kenya merasa senang sudah bisa berkenalan dengan mahasiswa Indonesia. Mereka mendapat banyak pengalaman menarik. Sayangnya, per tanggal 1 Maret 2016, dua mahasiswa asal Nippon itu bakal pulang ke kampung halaman. “Saya akan sangat merindukan teman-teman di sini,” kata Seira saat ditemui di gedung Fakultas Ilmu Budaya Selasa (23/2) lalu. “Kehangatan kawan-kawan tidak akan mungkin bisa kami lupakan,” tambah Kenya. Para native dari Ashinaga Foundation biasanya datang ke Indonesia sejak April tiap tahun. Lantas, berakhir pada Februari tahun berikutnya. Selain mengirimkan mahasiswa Jepang untuk berbagi ilmu di Indonesia, yayasan ini juga memberi peluang summer course untuk para mahasiswa. (*) Penulis: Rio F. Rachman