KONSTRUKSI SENSUALITAS MODEL PEREMPUAN PADA KOMUNITAS “BUKAN FOTOGRAFER” Oleh: Moch Harits Pribadi (070915110) - BC Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini menggambarkan tentang konstruksi sensualitas model perempuan pada komunitas “Bukan Fotografer”. Perempuan merukapakan sosok yang paling sering dijadikan objek fotografi.Oleh karena itu, foto berperan dalam pembentukan image perempuan.Foto sendiri merupakan media yang dapat mengkonstruksi tubuh perempuan menjadi symbol, tanda dan lambang.Hal tersebut merpakan upaya komodifikasi dari fotografer (produsen media) untuk membentuk representasi khalayak.Komunitas Bukan Fotografer dipilih dikarenakan komunitas tersebut tidak memiliki pakem-pakem tertentu dalam menentukan sebuah foto.Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif.Dimana peneliti melakukan Indepth Interview kepada fotografer yang mengonsep dan melakukan foto di komunitas “Bukan Fotografer”.Setelah melakukan penelitian, peneliti memperoleh hasil bahwa setiap fotografer memiliki cara tersendiri dalam mengkonsep sebuah foto. Hal itu dikarenakan pandangan masing-masing fotografer terhadap konsep sensualitas berbeda-beda.Sudut pandang terhadap konsep sensualitas yang berbeda tersebut mempengaruhi baik konsep foto maupun angle yang diambil oleh fotografer. Kata kunci: Konstruksi, Fotografi, Model Perempuan. PENDAHULUAN Penelitian ini menggambarkan tentang konstruksi sensualitas model perempuan pada komunitas “Bukan Fotografer”.Perempuan merupakan sosok yang paling sering dijadikan objek fotografi.Mulai dari fotografi model hingga fotografi Human Interest (HI). Foto merupakan salah satu jenis media massa. Media massa menawarkan berbagai bentuk hiburan dan memberikan kelompok yang berbeda dengan apa yang mereka inginkan (Horkheimer dan Adorno, 1979). Secara tidak langsung Horkheimer dan Adorno mengatakan bahwa media massa menggambarkan realitas kedua atau realitas yang ditangkap dari sudut tertentu. Oleh karena itu, foto berperan dalam pembentukan image seorang perempuan.Media mengkonstruksi tubuh perempuan menjadi simbol, tanda dan lambang.Hal tersebut merupakan upaya komodifikasi dari produsen media, untuk membentuk representasi khalayak pada sebuah produk ataupun perempuan itu sendiri. Mengutip dari Busby dan Leitch, Suharko (1998) mengatakan bahwa tubuh perempuan digunakan untuk menciptakan citra tertentu atau paling tidak berfungsi sebagai latar dekoratif.Killbourne (2004) mengatakan, bahwa tubuh perempuan hanya menjadi potongan-potongan tanda. Tubuh perempuan yang “dipotong-potong” (betis, kaki, dada, punggung, dll) kemudian direproduksi menjadi tanda-tanda yang akan membentuk citra,
makna dan identitas yang ada didalamnyan (Santi,2012). Oleh karena itu, tubuh perempuan sangat menarik dijadikan objek bagi orang-orang yang bekerja di media. Fotografi modelling seringkali dikaitkan dengan sensualitas oleh berbagai pihak. Danis Dailey dalam bukunya Health and Wellness for Life (2010, p.195) mengatakan bahwa sensualitas melibatkan kesadaran kita dalam penerimaan dan kesenangan diri pada tubuh seseorang atau orang lain. Disisi lain Marshall Sylver (2006) mengatakan bahwa sensualitas adalah kemampuan merangsang secara positif semua indera orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sensualitas adalah kemampuan merangsang secara positif semua indera kita dalam penerimaan dan kesenangan diri pada tubuh seseorang atau orang lain. Mulai dari penggambaran tubuh seseorang, respon siklus seksual, fantasy dan lainnya. Seperti halnya sebuah foto, dimana orang akan melihat busana, lekuk tubuh, warna kulit dan orang tersebut melakukan imajinasi terhadap foto tersebut. Sehingga pemotongan tubuh perempuan pada frame-frame foto akan membentuk citra, makna dan juga identitas perempuan didalamnya. Perempuan tidak pernah lepas dari kontradiksi, sebagaimana dia berharap untuk menjadi berbagai hal: Sexy, Sukses, Glamour, Kuat dan lain sebagainya (Gauntlet, 2002). Perempuan harus terus-menerus menyesuaikan citra pada setiap waktu dan tempatnya (Winship, 2002).Adanya keinginan perempuan menyesuaikan citranya pada setiap waktu dan tempat, maka hal tersebut juga berimbas pada dunia fotografi.Salah satunya yang terkena imbasnya adalah jenis fotografi model. Fotografi model, dapat merepresentasikan keinginan perempuan untuk menjadikan dirinya seperti apa yang dia inginkan. Hal tersebut dikarenakan fotografi model dikonsep sedemikian rupa, baik oleh fotografer maupun oleh model itu sendiri. Proses produksi foto merupakan hal yang penting dalam pembentukan image (citra) seorang perempuan. Bagi orang yang bukan pecinta foto akan menganggap bahwa tahapan pada proses produksi foto akan sama antara satu fotografer dengan fotografer lain ataupun model satu dengan model yang lain. Setiap fotografer mempunyai cara yang berbeda dalam melakukan proses produksi sebuah foto. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar fotografer hanya menyewa model atau model meminta sendiri untuk difoto dan fotografer hanya mengkonsep dan foto.Namun beberapa fotografer yang harus melakukan pendekatan terlebih dahulu untuk mendapatkan mood saat memotret model. Ada juga yang membahas konsep dengan model, membicarakan lighting arah jatuhnya cahaya, menggambar objek dan lokasi yang akan diftoto dan lain sebagainya. Berbeda dengan fotografer, model juga tak hanya datang dan langsung difoto. Untuk model professional biasanya mereka ingin
menentukan konsep bersama, terkadang mereka meminta make up artis dari luar, wardrobe terkadang bisa disiapkan sendiri atau dari sang fotografer, dan masih banyak yang lain. Model seringkali diidentikkan dengan perempuan, dan sebaliknya seorang fotografer lebih di identikkan dengan laki-laki. Kapasitas peran fotografer biasanya dianggap lebih besar daripada model dalam proses produksi sebuah foto. Peranan ini erat kaitannya dengan gender. Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian dan kewanitaan di budaya tertentu (Baron and Byrne, 1979). Berdasar konteks ideologi gender, tubuh dan seksualitas merupakan hal yang signifikan mengatribusi fakta biologis tubuh (lakilaki atau perempuan) sebagai atribusi sosial dan kultural (Prabasmoro, 2006). Seorang bertubuh perempuan harus menunjukkan identitas feminin termasuk melakukan tugas-tugas atau pekerjaan yang berada di ranah feminin. Sementara mereka yang bertubuh laki-laki berada di ranah publik. Seorang laki-laki mempunyai otonomi yang lebih besar daripada seorang perempuan. Seperti halnya seorang fotografer yang diidentitikan dengan pekerjaan yang berhubungan dengan publik/maskulin. Berkaitan dengan hal ini seorang fotografer memiliki peran yang biasanya lebih besar daripada peran seorang model. Seorang fotografer dapat membentuk image seorang perempuan melalui tatanan lighting, arah angle, konsep dan lokasi foto yang ditata sedemikian rupa untuk membentuk makna dari sebuah foto. Sedangkan model mempunyai peranan dalam ber-make up serta manampilkan pose. Tak jarang juga apabila pose tersebut diarahkan oleh para fotografer. Mengutip dari Busby dan Leitch, Suharko (1998) mengatakan bahwa tubuh perempuan digunakan untuk menciptakan citra tertentu atau paling tidak berfungsi sebagai latar dekoratif. Tubuh perempuan tampil sebagai simbol keanggunan, keindahan, glamour dan sebagainya.
Penggunaan
tubuh
perempuan
sebagai
simbol
merupakan
upaya
komodifikasi.Sehingga bisa dimengerti, apabila Killbourne (2004) mengatakan bahwa tubuh perempuan hanya menjadi potongan-potongan tanda. Tubuh perempuan yang “dipotongpotong” (betis, kaki, dada, punggung dll) kemudian diproduksi menjadi tanda-tanda yang akan membentuk citra, makna dan identitas yang ada didalamnya (Santi, 2012). Seorang model perempuan akan berpose sesuai kesan yang akan ditampilkan pada hasil sebuah foto. Pose tersebut merupakan hasil interpretasi model pada kesan anggun, cantik, glamour, seksi dan sebagainya. Namun di sisi lain seorang fotografer juga mempunyai interpretasi tersendiri tentang kesan cantik, anggun, glamour, dan sebagainya. Sehingga terkadang seorang fotografer hanya memotret dan membiarkan model tersebut berpose atau
fotografer lebih mengarahkan pose untuk model. Interpretasi tersebut merupakan bentukan dari budaya yang ada disekitar model maupun fotografer tersebut. Komunitas fotografi dibangun oleh para fotografer untuk saling bertukar ilmu. Setiap fotografer mengunggah foto mereka untuk mendapatkan kritik maupun saran dari fotografer lainnya. Peran penting dari media online khususnya, yang mewadahi para fotografer untuk saling bertukar ilmu. McLuhan (1964) menyatakan adanya masa neo-tribal, yakni masa dimana alat elektronis memungkinkan manusia menggunakan beberapa macam alat indra dalam komunikasi. Fotografer menggunakan social media atau alat komunikasi lain untuk saling berinteraksi dan bertukar ilmu. Perkembangan dunia foto yang cukup cepat, ternyata juga mempengaruhi perkembangan fotografi di Indonesia. Munculnya berbagai komunitas fotografi pemula, menandai bahwa fotografi mulai mewabah di Indonesia. Penelitian ini memandang Komunitas Bukan Fotografer sebagai salah satu komunitas fotografi di Jawa Timur khususnya di wilayah sekitar Surabaya hingga Sidoarjo. Komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas karena adanya kesamaan interest atau values (Kertajaya Hendrawan, 2008). Keintiman yang terjalin pada setiap anggota komunitas, membuat sebuah komunitas rentan pecah. Hal yang sama juga mewarnai perjalanan komunitas “Bukan Fotogrefer”. Bukan Fotografer merupakan komunitas yang terbentuk sejak tahun 2010, tepatnya pada bulan Agustus. Bukan fotografer merupakan hasil dari perkawinan berbagai komunitas. Yosi Diarto selaku ketua dari “Bukan Fotografer” mengatakan bahwa nama komunitas tersebut dipilih karena banyaknya persepsi miring tentang fotografer dimata masayarakat. Persepsi miring itu antara lain, fotografer dianggap orang yang mengeksploitasi tubuh wanita melalui foto, orang yang mengeksklusifkan diri, dan orang yang memproduksi foto sensual. Oleh kerena itu nama “Bukan Fotografer” dipilih untuk menepis citra buruk tersebut dan membangun citra baru di masyarakat. Komunitas ini seringkali mengadakan hunting foto, lomba foto dan sebagai partisipan lomba fotografi. Foto modelling awalnya berasal dari foto potrait yang kemudian beralih menjadi foto yang mengarah ke arah fashion. Fotografi portrait awalnya dikenalkan oleh Louis Daguerre pada tahun 1838 dan berhasil memotret manusia. Teknologi yang digunakan oleh Louis Daguerre dinamakan Daguerreotype. Meskipun Daguerrotype bukanlah teknik memproses foto (Proses menjadikan negatif film menjadi foto yang kekal) yang pertama dicipta, namun ini adalah proses fotografi pertama yang dapat dikomersilkan. Teknik yang digunakan
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan pencahayaan yang baik. Oleh karena itu, teknologi yang digunakan sebelum ini tidka bisa untuk memotret manusia. Untuk merekam foto potret manusia dengan Daguerrotype sebenarnya agak sulit. Proses ini memerlukan proses pengambilan gambar (exposure) selama 15 menit dan kepala subyek tidak boleh bergerak sedikit pun untuk memastikan foto yang dihasilkan tajam tanpa ada kesan gerak. Untuk memastikan kepala benar-benar tidak bergerak, kepala subjek dipegang menggunakan sejenis pengapit kepala. Wanita pertama yang menjadi model dalam sebuah foto bernama Dorothy Catherine Draper, adik dari Profesor John W. Drapper, Universitas New York. Dorothy Catherine difoto menggunakan Daguerrotype Potrait yang pertama di Ameika Serikat pada tahun 1839. Dia juga menjadi wanita pertama yang dipotret dengan mata terbuka. Tidak ada pengertian yang baku akan fotografi portrait, portrait dapat diartkan sebagai lukisan, patung atau gambaran keindahan dari manusia, dimana ekspresi wajah begitu dominan untuk mengungkapkan persamaan, kepribadian, bahkan perasaan seseorang. Fotografi modelling merupakan perkembangan dari jenis fotografi potrait. Secara sederhana fotografi model adalah fotografi yang melibatkan model, sedangkan fotografi potrait adalah fotografi yang mengekspresikan karakter orang. Proses produksi foto model perempuan menarik untuk diteliti mengingat proses produksi foto merupakan bagian dari pembentukan citra seorang perempuan dimata masyarakat. Disamping itu pada proses produksi foto baik model maupun fotografer mempunyai peran yang tak tergantikan satu dengan yang lain. Masing-masing peran tersebut beberapa masih dapat digantikan baik oleh model maupun fotografer. Tipe penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan metode indepth interview.
PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan menggunakan metode penelitian eksploratif. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menguraikan informasiinformasi mengenai proses produksi foto model perempuan dalam komunitas ”Bukan Fotografer”. Secara lebih luas, penelitian kualitatif dilakukan untuk memperoleh pemahaman mengenai masalah serta faktor-faktor yang mendasarinya (Malhotra, 2009). Tujuannya adalah menjelaskan konsep sensualitas di mata para fotografer dan menjelaskan makna angle lensa di mata fotografer yang diarahkan ke model perempuan pada proses produksi foto dengan kajian teori, untuk kemudian dapat ditarik kesimpulan dari masalah yang ada dan disusun secara sistematis berdasarkan data yang telah dikumpulkan.
Hunting akbar yang telah dilakukan bertemakan “Woman in Action Movie”. Dalam hal ini D-Polis serta “Bukan Fotografer” ingin menyuguhkan konsep fotografi yang berbeda dari hunting fotografi yang lain. Maka dari hunting akbar inilah peneliti akan melihat dan meneliti bagaimana komunitas “Bukan Fotografer” dalam melakukan proses produksi foto. Untuk dapat menjelaskan hal tersebut, maka peneliti melakukan wawancara kepada Imam Saifudin, Ronansa Halim, Wiraswati Ali selaku konseptor pada acara hunting akbar Bukan Fotografer dan D-Polis dengan konsep “Woman in Action Movie”, serta fotografer yang aktif di komunitas “Bukan Fotografer”. Selain melakukan wawancara peneliti melakukan observasi partisipatoris, guna mendapatkan data yang ada di lapangan. Observasi partisipatoris dilakukan karena peneliti terlibat langsung sebagai anggota komunitas “Bukan Fotografer”. Sehingga peneliti bisa terlibat secara langsung dalam proses produksi foto. Data yang diperoleh tersebut dianalisa dengan memasukkan tiga pokok bahasan yakni, pembuatan konsep yang mana komunitas “Bukan Fotografer” membuat konsep foto hingga pemilihan tempat, Produksi foto yakni pada saat melakukan foto bersama model, hingga proses editing dimana para fotografer melakukan pembenahan foto melalui komputer. Concept Shooting is a way of approaching photography that can take your work to a new level. It takes a little more you to convey a message with those viewing your shots. (Christina N Dickson, 2013)
Konsep foto diperlukan dalam hal apapun baik foto advertising, stock maupun foto jurnalis untuk beberapa alasan. Menurut Christina N Dickson alasan utama untuk membuat konsep dalam fotografi yakni untuk memperkuat pesan yang ingin dibuat oleh fotografer. Alasan kedua yakni bisa lebih mendekat kepada audiens dan memberikan sentuahan pesan yang sangat kuat. Alasan ketiga yakni, konsep fotografi berpusat pada emosi dan bercerita akan pesan tersebut. Menulis sebuah foto, adalah sihir yang dikenal sejak ditemukannya kamera.Kemampuan tersebut lahir dengan disebut dengan “Konsep” yang terdiri dari garis abstrak permukaan, yakni encoding dan decoding konseptor dan audiens. Zananeichan pemilik Devian Art, mengatakan bahwa seni sensualitas tidak dilihat dari erotica sexualitas tubuh perempuan ataupun hanya untuk menarik orang untuk melihatnya. Namun dilihat dari bagaimana seorang fotografer dapat membuat audiensnya mempunyai perasaan yang acak dan tidak terstimulasi akan hal yang berbau pornografi. Artinya sensualitas perempuan tidak dilihat dari seksualitas tubuh atau memperlihatkan bagian tubuh tertentu. Seperti halnya Ronansa Halim yang tidak ingin membuat foto seksual melainkan foto yang sensual.
Ketiga pandangan yang berbeda ini menghasilkan konsep yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pada awalnya tema besar tercetus sejak akhir bulan Oktober namun terealisasi untuk rapat pertama hunting akbar pada tanggal 3 November 2013 di CK Taman Apsari Surabaya. Mulanya komunitas “Bukan Fotografer” bukan merupakan bagian dari tim untuk membentuk Tema “Woman In Action”. Proyek ini sempat terhenti hingga memasuki pertengahan bulan November. Hingga akhirnya komunitas “Bukan Fotografer” masuk sebagai konseptor beberapa sub tema pada tema besar “Woman in Action Movie” pada tanggal 13 November 2013. Proses produksi foto merupakan hal yang penting dalam pembentukan Image (Citra) seorang perempuan. Bagi orang yang bukan pecinta fotografi maka akan menganggap bahwa tahapan pada proses produksi foto akan sama antara satu fotografer dengan fotografer lainnya. Setiap fotografer memiliki cara yang berbeda dalam melakukan proses produksi sebuah foto mulai dari mengkonsep hingga masuk kedalam proses editing. Begitu pula dalam konsep foto, hingga proses foto dan pasca foto yang dilakukan oleh komunitas “Bukan Fotografer”. Sebelumnya para fotografer dibedakan berdasarkan jenis lensa yang digunakan, hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan saat memotret. Bagi yang menggunakan lensa Tele (range 70mm ke atas) menggunakan gelang berwarna hitam, sedangkan warna biru digunakan untuk fotografer dengan lensa wide (50mm ke bawah), Oranye untuk fotografer menggunakan lensa Mix (campuran antara wide dan zoom), serta warna merah untuk fotografer dengan lensa Fix (tanpa batas range bukan zoom). Setelah mengumpulkan fotografer berdasarkan jenis lensa kemudian fotografer diarahkan kepada konsep-konsep yang disediakan. Pada dunia fotografi modelling, setiap bagian yang dikenakan objek foto dapat menambah nilai jual barang tersebut. Terkait hal tersebut yang dimaksudkan adalah Ducati itu sendiri. Busby dan Leitchy, Suharko (1998) mengatakan bahwa tubuh perempuan digunakan sebagai simbol untuk menciptakan citra produk tertentu atau paling tidak berfungsi sebagai latar dekoratif sebuah produk seperti halnya model yang digunakan pada hunting kali ini. Setiap pose yang dilakukan oleh model seharusnya memiliki makna. Itulah mengapa Erving Goffman penulis buku Gender and Advertising menjelaskan tentang makna pose di depan kamera. Pose pertama adalah malu-malu serta lutut ditekuk sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki (Goffman, 1979). Pose bisa dibaca dengan melihat situasi sosial di lingkungan sekitar. Putri Yolanda pada foto itu terkesan menikmati ketika menunggangi
motor DUCATI. Setiap pose Putri Yolanda tidak terlepas dari motor DUCATI yang disediakan oleh konseptor. Goffman (1979) menjelaskan sentuhan feminin adalah salah satu cara dalam fotografi untuk menggunakan jari atau tangan model yang biasanya ditunjukkan menyentuh benda dan diberikan efek menggengam, memainkan dan untuk menahan. Sentuhan feminin biasanya digunakan untuk iklan parfum dan sebagainya. Sentuhan feminin juga digunakan untuk ketika model menyentuh bagian tubuhnya sendiri atau yang biasa disesbut Self touching (Goffman, 1979). Sebagian besar model akan menyentuh bagian kepala dan juga leher. Pose Self touching disepakati oleh Goffman (1979) adalah untuk menunjukkan kepada audiens tentang rasa dari tubuh perempuan yang dinilai sebagai hal yang lembut dan sesuatu yang berharga. Penggunaan cahaya berpengaruh dalam menentukan karakteristik dari sebuah foto. Munculnya Shadow pada model akan menonjolkan bentuk-bentuk tubuh. Christopher Grey (2004) dalam bukunya Master Lighting Guide for Potrait Photographers, “Cahaya digunakan untuk membuat shadow dan shadow akan membuat efek tiga dimensi”. Efek tiga dimensi inilah yang dimaksud oleh Imam Saifudin untuk membawa audiens dapat merasakan karakter yang diperankan model tersebut. Flash atau Ring Flash digunakan untuk menambah karakter yang dibawa oleh model meskipun objek foto berada diluar ruangan. Ditambah dengan angle pengambilan seperti close up shot yang mengeksploitasi bagian bibir, dan low angle memperlihatkan paha wanita dan sebagainya. Editing foto merupakan tahapan terakhir pada proses produksi foto. Pada proses terakhir ini fotografer dapat membuat apapun yang dia inginkan di komputer. Ketika menggunakan peralatan digital untuk maka akan mempermudah fotografer untuk melakukan modifikasi pada sebuah foto. Komputer merupakan media yang sangat tepat untuk memanipulasi foto, mulai dari warna, tampilan, hingga foto itu bisa menjadi beberapa macam varian. Dalam fotografi terdapat dua tipe penting digital imaging yakni warna dan hitam putih. Gambar yang berwarna terbuat dari pixels yang berwarna, sementara gambar hitam putih dibuat dari bayangan abu-abu. Tonal atau yang sering disebut Tone adalah komposisi warna dari sebuah foto (Grey, 2004). Tonal pada foto tersebut membuat kulit model tampak terlihat lebih jernih dibandingkan foto yang pertama. Disisi lain apabila gambar itu diperbesar pori-pori model masih terlihat dengan jelas dibandingkan dengan foto yang pertama. Pada foto pertama model mempunyai jerawat disekitar area wajah. Namun pada foto ini model terlihat bersih dan cantik tanpa adanya jerawat, namun tetap pori-pori wajah model terlihat dengan jelas.
Penambahan aksen warna kuning pada foto untuk memberikan kesan foto Vintage (foto lama). Ditambah lagi munculnya cahaya dibelakang model digunakan sebagai penghias untuk mempercantik hasil foto. Setiap warna pada sebuah foto memiliki karakteristik tertentu. Seperti halnya warna yang dipilih oleh Imam Saifudin dan Wiraswati Ali lakukan. Ada tiga sifat dasar yang digunakan untuk mengidentifikasikan warna yakni Hue adalah jensi warna, misalnya merah, kuning, biru dan hijau, Value yaitu tingkat kecerahan atau kegelapan warna, sedangkan Chroma adalah kualitas warna (Jeanne Kopacz, 2004). Warna memiliki kesan temperatur berdasarkan karakteristik sejuk dan hangat (Jeanne Kopacz, 2004). Hal tersebut dikarenakan sebuah warna memiliki panjang gelombang yang berbeda. Sehingga membuat efek sejuk dan hangat dimata. Warna juga juga dibedakan menjadi warna maskulin dan feminin. Menurut Natalia Khouw (2007), wanita lebih menyukai warna hangat dan warna lembut, sedankan pria lebih menyukai warna tegas dan tua. Berdsaarkan penelitian yang dilakukan oleh Deborah T. Sharpe ditemukan bahwa anak perempuan pun lebih menyukai warna hangat, sedangkan anak laki-laki lebih menyukai warna sejuk (Jeanne Koppacz, 2004). Warna hangat atau yang termasuk warna feminin ,menurut Jasic Howard bear (What Colors Appeal to Men) adalah warna merah, kuning, merah muda, dan ungu-merah.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan dan interpretasi data penelitian, maka dapat disimpulkan konstruksi sensualitas model perempuan pada komuntas “Bukan Fotografer” sebagai berikut: 1. Setiap fotografer memiliki cara tersendiri dalam membuat konsep foto. Imam Saifudin melekatkan perempuan dengan benda yang ada disekitarnya. Sedangkan Ronansa Halim dan Wiraswati Ali mencari model sedari awal serta bertanya-tanya kepada model untuk mendapatkan karakter yang akan diperankan model. Kedua fotografer ini menyesuaikan dengan model yang digunakannya. 2. Perbedaan pandangan mengenai konsep sensualitas membauat setiap fotografer memiliki cara tersendiri untuk diaplikasikan dalam konsep yang dimiliki. 3. Fotografer tidak mengarahkan gaya model melainkan model yang bergaya sendiri. Sehingga fotografer hanya mempunyai peran dalam foto, namun model dalam hal ini berperan penting dalam sensualitas khususnya dalam melakukan pose. 4. Terkait proses editing, pemberian tonal warna, cropping dan sebagainya menambah sensualitas model itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Ambrose, G & Harris.The Visual Dictionary of Fashion Design. Switzerland: AVAPublishing, 2007 Bear, Jacci Howard. “Color Meanings”. New York: The New York Times Company,2008. Barker, C (2000) Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage. Gauntlet, David. Media, Gender and Identity An Introduction. London: Routledge, 2002. Goffman, E.Gender Advertisement. New York: Harper & Row, 1976. Grasswick, Heidi E. Feminist Epistimology and Philosophy of Science. London: Springer Heidelberg, 2011. Gurevitch, Michael. Mass Media and Society. London: Routledge, 1991. Grey, Christopher. Master Lighting Guide. Korea: AmherstMedia.Inc, 2004 Ida, Rachmah. Metode Penelitian Kajian Media dan Budaya. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair, 2011. Khouw, Natalia. ”The meaning of Color for Gender”. 2007 Koeswinarno. "Metode Penelitian Kualitatif: Perspektif Etnografis." 2000. Lawder, Brian P. "Simple Potrait Lighting." 2006. McLuhan, Marshall. Understanding Media. London: Routledge, 2001. Morton, J.L. Color Symbolism. 2004 Pease, Allan. Body Language: How to Read Other's Thought by Their Gestures. Sydney: Camel, 1984. Priyatna, Aquirini. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra, 2007. Reid, Fil Hunter and Robin. Focus On Lighting Photos. New York: Focal Press, 2011. Simone, de Beauvoir. The Second Sex. London: Picador Classic, 1949. Spiro, Trevor. "The basics of professional modelling." 1992. Spradley, James P. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997. Studies, Visual Culture. Smith Marquard. London: Sage, 2008. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta Suharko. Budaya Konsumen dan Citra Perempuan dalam Media Massa. Bandung: Rosda Sylver, Marshall. Passion Profit & Power. Jakarta: Gramedia Pustaka Tama, 2006. Vineyard, Jeremy. "Setting up your shots." 1999, n.d. Wickgren, Scott. Health and Wellness for Life. Australia: Human Kinetics, 2009