KONSTRUKSI KONFLIK DALAM LAPORAN JURNALISME SASTRAWI (Analisis Framing tentang Konstruksi Konflik Aceh dalam Laporan Jurnalisme Sastrawi “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”) SHAHNAZ ASNAWI YUSUF ABSTRAK Jurnalisme sastrawi merupakan gaya penulisan berita dengan mengadaptasi unsur-unsur dari sastra. Meskipun menggunakan unsur sastra yang didominasi fiksi, tapi jurnalisme sastrawi tetaplah jurnalisme yang menyucikan fakta. Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft karya Chik Rini merupakan salah satu karya jurnalisme sastrawi. Tulisan yang pernah terbit di majalah Pantau ini telah dibukukan bersama karya-karya jurnalisme sastrawi lainnya dengan judul Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Tragedi Simpang Kraft—salah satu kejadian kekerasan dalam konflik Aceh—dikonstruksi dalam naskah jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan pisau analisis framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Pan dan Kosicki sendiri membagi perangkat framing dalam empat struktur besar yaitu sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat struktur ini yang akan dianalisis satu per satu untuk mendapat jalinan konstruksi dari naskah ini. Wawancara dengan penulis menunjukkan bahwa penulis sendiri harus berupaya keras untuk menghasilkan sebuah tulisan yang independen, lepas dari bias. Penulis menekankan pentingnya reporter untuk bersandar pada hasil reportase sendiri, tanpa menambah atau mengurangi hal sekecil apa pun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemilihan narasumber dari sudut pandang wartawan yang bertugas di daerah konflik tersebut membuat berita tidak terlalu berat ke salah satu pihak yang bertikai. Menulis mengenai kekerasaan yang dialami masyarakat Aceh juga tidak serta-merta membuat penulis memojokkan pihak militer. Tulisan ini cukup komprehensif dan proporsional karena merunut akar masalah kejadian di Simpang Kraft. Kata kunci: Analisis framing, jurnalisme sastrawi, konstruksi konflik.
PENDAHULUAN Pemberitaan di media massa, terutama media cetak dan online, cenderung monoton. Gaya bahasa yang digunakan oleh wartawan umumnya statis dan dipakai berulang kali. Prinsip faktual jurnalistik yang ditandai dengan unsur 5W+1H juga hanya digali secara dangkal. Berita seperti ini biasanya hanya sepintas dan tidak mendalam karena dikemas dengan standar straight news yang konvensional. Media massa kini menghadapi tantangan menyajikan sebuah pemberitaan mendalam dan menyeluruh atas fakta peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Praktik jurnalisme di media cetak sebenarnya bisa menjadi lahan yang tepat bagi praktik jurnalisme yang memungkinkan evaluasi, analisis, dan intepretatif atas fakta peristiwa. Di sinilah letak keunggulan media cetak dibanding media elektronik dan online yang cenderung hanya mengejar aktualitas. Sayangnya, media cetak masih menyajikan laporan mendalamnya dengan bentuk straight news atau indepth news yang kaku. Padahal pemberitaan yang mendalam akan membosankan jika ditulis secara berat. Salah satu bentuk penulisan yang bisa menyajikan berita mendalam secara lebih menarik adalah jurnalisme narasi atau lazim disebut jurnalisme sastrawi. Jurnalisme sastrawi sejatinya adalah sebuah gaya penulisan. Ia membungkus berita berat dan mendalam secara naratif dan panjang, lengkap dengan deskripsi yang mendetail. Meskipun memakai kata „sastrawi‟ dan „narasi‟, jurnalisme ini tetap jurnalisme yang menyucikan fakta (Harsono, 2008: xii). Jurnalisme sastrawi menggunakan gaya penulisan fiksi atau sastra untuk membuat artikel jadi memikat. Hal ini bisa ditandai dari adanya detail-detail potret subjek atau kondisi, yang secara sengaja diserahkan kepada pembaca untuk dipikirkan, digambarkan, dan ditarik kesimpulannya. Pembaca dibiarkan membayangkan fakta-fakta yang dirancang jurnalis dalam urutan adegan, percakapan dan amatan suasana. Banyak
yang
menyalahartikan
jurnalisme
sastrawi
dalam
perkembangannya di Indonesia. Seperti Septiawan Santana Kurnia dalam bukunya Jurnalisme Sastra yang mengatakan bahwa feature bisa dijadikan medium
penerapan jurnalisme sastrawi (Kurnia, 2002: 201). Padahal feature dan jurnalisme sastrawi adalah dua hal yang berbeda. Kedua hal ini sangat berbeda secara substansi, meskipun feature juga bisa menerapkan beberapa hal yang ada dalam jurnalisme sastrawi, seperti deskripsi atau penyusunan adegan. Feature merupakan jenis berita yang tergolong dalam kategori soft news, sedangkan jurnalisme sastrawi adalah gaya pengemasan untuk berita keras atau hard news dengan gaya sastra atau bernarasi. Ada juga yang berpendapat kalau apa yang disajikan Tempo dalam Catatan Pinggir atau laporan utama sudah merupakan jurnalisme sastrawi. Padahal jelas, Catatan Pinggir yang ditulis Goenawan Mohamad merupakan kolom atau esai yang hanya berupa opini, meskipun didukung dengan literatur yang kuat, bahkan ada sedikit liputan. Sedangkan laporan utamanya, meski menggunakan deskripsi yang membuat tulisan jadi hidup, masih belum memenuhi syarat untuk disebut sebagai jurnalisme sastrawi karena deskripsi hanya digunakan di awal tulisan, untuk mengikat pembaca. Jurnalisme sastrawi memang membutuhkan deskripsi yang kuat. Deskripsi di sini bukan berarti harus mendayu-dayu, tapi deskripsi yang memang mendukung cerita supaya cerita lebih hidup. Tapi bukan cuma deskripsi, jurnalisme sastrawi juga juga memerlukan apa yang sebuah karangan sastra perlukan, seperti penokohan, kronologis, alur yang kuat, konflik dan antiklimaks serta akhir yang memikat. Semuanya harus kuat dan terjalin dalam sebuah kisah yang utuh. Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft adalah salah satu contoh tulisan yang dikemas dengan gaya penulisan sastrawi. Tulisan ini dimuat pada buku Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Buku ini sendiri pertama kali diterbitkan oleh Yayasan Pantau pada tahun 2005 dan cetakan keduanya diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2008. Tulisan sepanjang hampir 12 ribu kata atau delapan puluh ribu karakter ini menceritakan tentang salah satu kejadian pada konflik Aceh yang menelan banyak korban jiwa. Kejadian ini dikenal dengan sebutan Tragedi Simpang KKA yang merupakan singkatan dari Kertas Kraft Aceh. Data dari NGO‟s Coalition for
Human Right mencatat ada 46 warga Aceh yang meninggal, 156 terluka parah dan 10
orang
menghilang
(http://ngo-ham.9f.com/tragedi_simpang_kka.htm).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat ini terjadi di Simpang Pabrik KKA Krueng Geukueh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Aceh sendiri memang sudah bergejolak sejak Hasan Di Tiro mendirikan GAM pada tahun 1974, setelah sebelumnya pemberontakan Darul Islam yang dipimpin
Tengku
Daud
Beureueh
usai
pada
1962.
Pemerintah
lalu
memberlakukan “Operasi Jaring Merah” atau yang biasa disebut DOM (Daerah Operasi Militer) sejak 1989 sampai 1998. Forum Peduli HAM Aceh mencatat ada 1.321 kasus orang tewas atau terbunuh, 1.958 kasus orang hilang, 3.430 kasus penyiksaan, 128 kasus pemerkosaan, dan 597 kasus pembakaran selama operasi ini (KontraS, 2006: 56). Saat kejadian Simpang Kraft terjadi pada tahun 1999, internet belum terlalu populer sehingga media elektronik dan cetak masih mendominasi. Pemberitaan di media massa seperti televisi dan surat kabar cenderung menampilkan sepotong-sepotong. Selama pemberlakuan DOM di Aceh, sumber berita media nasional dan lokal mayoritas berasal dari pihak TNI. Ini terjadi karena pihak GAM tidak terbuka pada media nasional yang dianggap berpihak pada Indonesia dan militer. Informasi ini juga disajikan dalam bentuk straight news atau terkadang indepth news. Semua media baik surat kabar hingga televisi hanya sekadar memberitahu sebuah kejadian tanpa merunut kejadian sebelumnya. Padahal suatu kejadian terjadi akibat ada penyebabnya. Pemberitaan terusmenerus dari sebuah pihak tanpa ada keberimbangan tentu mengkonstruksi pemikiran dan pemahaman masyarakat. Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft menggali pemberitaan tetang kejadian Simpang Kraft dari sisi yang berbeda, dengan pengemasan yang berbeda pula. Kejadian ini dikisahkan ulang secara rinci dan runut, juga memiliki penokohan dan deskripsi yang detail. Tentu saja berita sepanjang ini sangat berbeda dengan berita yang biasa dikonsumsi masyarakat yang hanya menampilkan sebuah kejadian secara sepintas. Berbeda dengan tulisan lain dari genre ini yang terkadang sedikit membosankan dan bertele-tele, tulisan ini benar-benar kuat
dalam alur, konflik cerita, dan mampu membuat pembaca hanyut. Tulisan ini bahkan dibuat menjadi cerita pertama dalam buku Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kuatnya unsur jurnalisme sastrawi yang ada dalam tulisan ini membuat tulisan ini sangat layak untuk diteliti dibanding beberapa tulisan lain yang ada di buku tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat konstruksi konflik Aceh dalam laporan jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.
PEMBAHASAN
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan paradigma konstruktivis sebagai cara pandang dalam meneliti media. Konstruksi teks atau berita sebagai objek penelitian akan dianalisis dengan menggunkan analisis framing yang dibuat oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki berasumsi bahwa setiap berita memiliki frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi berita. Melalui tulisan A Framing Analysis: An approach to New Discourse, ada empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat teks framing. Analisis framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dalam praktiknya mengoperasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing. Keempatnya adalah sintaksis, skrip, tematik dan retoris yang membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik berita dalan koherensi global (Sobur, 2004: 175). Laporan jurnalistik yang terdiri atas sebelas bagian ini dianalisis dalam empat struktur besar. Pertama adalah sintaksis yang membahas tentang bagaimana wartawan menyusun fakta. Hal ini bisa diamati dari skema berita, mulai dari headline, lead, latar informasi, pemilihan kutipan, hingga penutup. Kedua adalah struktur skrip yang melihat bagaimana wartawan mengisahkan sebuah fakta. Ini bisa dicermati dari kelengkapan berita yaitu unsur 5W+1H. ketiga adalah struktur tematik yang bisa melihat bagaimana wartawan menuliskan fakta. Ini bisa dicemati dari detail, koherensi, bentuk kalimat dan kata ganti. Struktur terakhir
adalah retoris. Struktur ini melihat bagaimana wartawan menekankan fakta. Hal ini bisa dicermati dari leksikon, grafis dan metafora yang digunakan wartawan. Penulis membuka tulisan dengan deskripsi tentang Lhokseumawe dan sekitarnya pada bagian satu. Beberapa tokoh utama juga diperkenalkan pada bagian ini, namun porsi tentang kota Lhokseumawe dan sekitarnya lebih menonjol dengan adanya deskripsi mengenai bentang alam dan bagaimana sumber daya alam dikerok oleh pemerintah pusat. Penulis juga menceritakan tentang ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Aceh dan riwayat kekerasan yang dialami masyarakat Aceh. Bagian ini memberi pemahaman bagi orang-orang yang sebelumnya tidak terlalu memahami riwayat konflik Aceh. Penulis kemudian beralih ke adegan saat warga Krueng Geukeuh saling bertukar informasi mengenai tentara yang akan kembali masuk ke kampung. Pada bagian dua ini, penulis menjelaskan mengapa masyarakat Aceh trauma dengan tentara. Penjelasan mengenai kegelisahan masyarakat Krueng Geukeuh masih dilanjutkan di bagian tiga. Penulis memaparkan alasan kenapa tentara masuk ke perkampungan. Bagian ini juga memuat informasi mengenai masyarakat Aceh yang biasanya menggunakan acara-acara keagamaan untuk menyebarkan propaganda. Penulis juga menggunakan diksi „pemerintah Indonesia Jawa‟ sebagai substitusi kata „pemerintah pusat‟. Hal ini jelas mengandung sentimen tersendiri karena pusat pemerintahan berada di Jawa, dikuasai oleh orang Jawa, dan pembangunan jelas berpusat di Jawa. Hal ini juga terkait dengan ketidakadilan yang diterima rakyat Aceh, seperti yang dibahas di bagian satu. Bagian empat dibuka dengan suasana yang berbeda dengan sebelumnya. Setting di warung kopi membuat ritme yang sebelumnya naik kembali tenang. Bagian ini menggambarkan bagaiman wartawan-wartawan yang menjadi tokoh utama dalam tulisan ini mendapat informasi bahwa warga Krueng Geukeuh akan melakukan demonstrasi. Bagian lima sendiri menceritakan tentang bagaimana kondisi di lokasi demonstrasi dari sudut pandang Azhari, asisten koresponden kantor berita Antara. Bagian enam juga masih bercerita tentang demonstrasi yang dilakukan massa, namun dari sudut pandang keempat wartawan RCTI. Pada bagian ini penulis
menunjukkan kalau mereka sebagai wartawan juga sempat mendapat sambutan yang dingin oleh para demonstran. Mereka tidak mudah mendapat akses untuk liputan. Sikap ini kemudian luluh ketika ada orang yang lebih dihormati mengatakan kalau mereka tidak berbahaya. Tulisan selanjutnya mendeskripsikan mengenai kondisi Simpang Kraft, tempat terjadinya tragedi tersebut. Penulis kembali menggambarkan tentang massa yang semakin memanas pada bagian tujuh ini. Penulis menceritakan bagaimana massa terbagi ke dua titik konsentrasi, dan massa yang berada di depan markas Arhanud Rudal malah sempat melempar batu ke markas tersebut dan membakar sepeda motor milik tentara. Sementara itu, Camat Dewantara juga diboyong ke Simpang Kraft untuk mendinginkan suasana karena massa di sana sudah saling berhadapan dengan pihak militer. Bagian delapan sendiri menceritakan tentang kondisi yang sudah mendingin di Simpang Kraft. Penulis menguatkannya dengan mendeskripsikan bagaimana massa dan tentara saling berbagi api rokok, serta bagaimana tentara bisa berteduh dan tertawa ringan melihat demonstran yang pasang gaya di depan kamera wartawan. Tempo tulisan tiba-tiba naik saat ada bala bantuan datang untuk tentara. Setelah adanya truk yang membawa personel tambahan, tentara menembaki massa secara terus-menerus, tak terkontrol. Penulis pun memperkuat bagian ini dengan menceritakan bagaimana wartawan menyaksikan ini semua dan melihat para korban setelah penembakan usai. Detail yang dibangun penulis dalam mendeskripsikan korban sangat kuat, sehingga bisa membuat miris pembaca. Bagian sembilan menggambarkan mengenai aktivitas wartawan setelah adanya kejadian tersebut. Penulis menceritakan tentang mereka yang kerap mendapat teror dan dipersulit saat meliput di lapangan karena adanya ketidakpahaman masyarakat tentang berita TVRI yang direlai RCTI. Bagian sepuluh juga masih menceritakan tentang kesulitan wartawan pascakejadian Simpang Kraft. Bedanya adalah penulis menambahkan kalau berita asli yang diliput oleh wartawan RCTI sudah tayang di televisi. Adanya pemberitaan itu
paling tidak bisa menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi di Simpang Kraft, selain dari sudut pandang pihak militer. Bagian sebelas berisi epilog tentang apa yang terjadi beberapa tahun setelah kejadian Simpang Kraft. Penulis menceritakan nasib semua tokoh yang terkait dalam tulisan ini juga bagaimana kondisi Simpang Kraft sekarang. Penulis juga memberi penekanan bahwa masyarakat Aceh sudah apatis untuk meminta keadilan. Selain itu penulis juga menyelipkan informasi bahwa ada personel GAM yang ikut terlibat dalam pergerakan massa, dan orang tersebut memegang peranan penting dalam demonstrasi tersebut. Informasi ini memang hanya tertuang dalam satu paragraf. Namun jika pembaca cermat, informasi yang sepertinya tidak berkaitan dengan cerita utama ini sebenarnya mengkonstruksi pesan tertentu, yaitu adanya keterlibatan GAM dalam memicu kejadian penembakan tersebut. Secara keseluruhan tulisan ini menceritakan secara kronologis, mulai dari akar permasalahan hingga akhir kejadian Simpang Kraft yang menambah trauma masyarakat Aceh terhadap militer. Ketidakjelasan alasan militer untuk menembaki massa yang berdemonstrasi secara tiba-tiba membuat pembaca mengerti kenapa ada banyak sekali korban dalam peristiwa tersebut. Penulis juga memberi informasi atas apa yang diberitakan media pada saat itu, sekaligus dampaknya. Bagaimana pihak militer, melalui TVRI memberi pengumuman resmi bahwa tindakan yang diambil pihak militer semata-mata untuk mempertahankan diri dari massa yang mengamuk. Pemberitaan ini yang kemudian dilansir dan direlai oleh berbagai media. Penulis merangkum itu secara runut sehingga pembaca bisa terbawa dalam kondisi yang terjadi pada saat itu. Tulisan ini memang mengisahkan tentang kekerasan yang dialami masyarakat Aceh, namun penulis tidak terlihat lebih berat ke salah satu pihak. Penulis bisa memaparkan apa yang tidak baik di masyarakat Aceh, dan apa yang tidak baik pada militer. Semuanya disampaikan apa adanya. Hal ini bisa diamati dari pemilihan diksi „dakwah GAM‟ yang mengacu pada propaganda yang disampaikan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan. Penulis memaparkan dengan detail apa arti dari sebutan itu, apa saja isi propagandanya dan bagaimana
biasanya hal itu dilangsungkan. Penulis juga tidak menutup-nutupi sentimen masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat. Pemaparan-pemaparan seperti ini mengesankan tulisan ini merupakan karya yang apa adanya, tanpa sentimen. Tulisan yang menceritakan tentang kekerasan yang dialami masyarakat Aceh ini tidak serta-merta memojokkan pihak militer. Penulis hanya memaparkan apa yang terjadi pada kejadian tersebut dari kacamata lima wartawan dan beberapa figur tambahan lainnya. Meski demikian penulis tetap tidak bisa benar-benar lepas dari kerangka berpikir dan subjektivitasnya. Penulis menambahkan satu paragraf yang secara keseluruhan sebenarnya tidak terlalu berkaitan dengan jalan cerita. Paragraf ini menceritakan tentang koordinator aksi akhirnya mengaku pada camat bahwa ia adalah personel GAM dan meminta maaf. Umumnya, penulis tidak akan menambahkan informasi yang lari dari alur utama. Kalaupun paragraf ini dihilangkan, keseluruhan cerita tentang kejadian di Simpang Kraft tidak akan berkurang. Namun penulis menyelipkan informasi ini dalam bagian epilog saat tulisan sudah memasuki antiklimaks. Penulis memang tidak secara vulgar mengatakan bahwa pihak GAM berada dalam peristiwa ini. Dia hanya menjabarkan apa yang dialami oleh Camat Marzuki saat Faisal yang merupakan koordinator aksi menunjukkan selongsong peluru dan mengaku bahwa dia anggota GAM. Penulis membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri dari apa yang penulis paparkan, sesuai dengan hasil temuan di lapangan. Namun jika pembaca cermat, informasi sepintas tersebut bisa mengkonstruksi pemikiran pembaca bahwa memang ada campur tangan GAM untuk memprovokasi massa.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan data yang telah disajikan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Analisis yang dilakukan terhadap naskah jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft menunjukkan bahwa pemberitaan konflik yang mengambil sudut pandang dari orang yang tidak terlibat konflik—dalam berita ini wartawan—bisa meminimalkan subjektivitas dari dua pihak yang berseteru, dalam hal ini militer dan masyarakat Aceh. Pemilihan sudut pandang dari pihak yang bertikai tentu cenderung akan lebih defensif atau membela pihak sendiri dan menyalahkan pihak lain. Sedangkan pemilihan narasumber dari pihak luar yang turut mengalami kejadian tersebut— dalam hal ini wartawan—bisa membuat berita sesuai dengan kejadian sebenarnya, tanpa ada persepsi maupun sentimen dari awal.
Konstruksi yang dibangun penulis dalam naskah berita yang diteliti adalah penunjukan fakta bahwa tentara bersalah karena telah menembaki masyarakat yang sedang berdemonstrasi. Pihak tentara juga berkata di media bahwa tindakan itu merupakan wujud pembelaan diri, yang sebenarnya tidak terjadi di lapangan. Terlepas dari itu, tulisan yang membahas tentang kekerasan yang dialami masyarakat Aceh ini tidak serta-merta berpihak pada masyarakat dan memojokkan militer. Penulis malah mengkonstruksi pesan secara tersirat bahwa ada keterlibatan GAM di balik kejadian ini.
Tulisan panjang yang dikemas dengan jurnalisme sastrawi mempunyai kekuatan untuk mengupas sebuah berita secara komprehensif. Selain deskripsi dan unsur-unsur pendukung sastra yang membuat tulisan jadi enak dibaca, panjangnya tulisan juga memungkinkan penulis untuk membuat berita secara mendalam dan multi-angle. Dalam tulisan yang diteliti, peneliti menemukan satu paragraf yang sebenarnya tidak terlalu signifikan perannya dalam keseluruhan berita, namun cukup kuat untuk mengkonstruksi pesan tertentu. Terlebih dengan penggunakan gaya penulisan jurnalisme sastrawi, penulis lebih leluasa untuk memasukkan
informasi dari narasumber yang dianggap kapabel, tanpa harus terlalu kaku dalam penyampaian informasi. Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan berita yang umumnya ditulis dalam bentuk straight news. Berita jenis ini hanya umumnya memuat satu angle, bahkan terkadang tidak lengkap unsur 5W 1H sehingga lebih sulit untuk mencari konstruksi atas sebuah kejadian.
DAFTAR PUSTAKA Harsono, Andreas dan Budi Setiyono. 2008. Jurnalisme Sastrawi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. KontraS. 2006. Aceh, Damai dengan Keadilan?: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu. Jakarta: KontraS. Kurnia, Septiawan Santana. 2002. Jurnalisme Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Jurnal Ilmiah Pan, Zhondang and Gerald M. Kosicki, “Framing Analysis: An Approach to News Discourse” dalam Political Communication vol 10/1991.
Internet http://komfis.wordpress.com/2008/05/11/sejarah-konflik-aceh/ (diakses pada 31 Maret 2012) http://ngo-ham.9f.com/tragedi_simpang_kka.htm (diakses pada 31 Maret 2012) http://spkpham-aceh.blogspot.com/2010/04/tragedi-simpang-kka-dewantaraaceh.html (diakses pada 31 Maret 2012)