KONSTRUKSI IDENTITAS KHALAYAK MELALUI SIMBOL SIGNIFIKAN GERAKAN SOSIAL BARU (Studi Kasus Musik Rock Underground Tengkorak Band)
HARYO RADIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konstruksi Identitas Khalayak Melalui Simbol Signifikan Gerakan Sosial Baru (Studi Kasus Musik Rock Underground Tengkorak Band) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 27 Juli 2011
Haryo Radianto NIM: I353060211
ABSTRACT HARYO RADIANTO. Construction of Public Identity through a Significant Symbol of the New Social Movement (Case Study of Tengkorak band Underground Rock Music) Under direction of SARWITITI SARWOPRASODJO and RICHARD W. E. LUMINTANG As the manifestation of the new social movement in the globalization era, underground rock music is a potential form of human expression that can mobilize hearts and mind. It is a symbolic communication that can be a theme, a rallying cry, a protest around which we gather to do something about social conditions. The objectives of the research were (1) to identify about the power of underground rock music in the process of identity construction of it’s audience and (2) to identify about the social conditions that condusive to the growth of new social movement among the young generation. Methodology of study was a qualitative paradigm using a case study design. Research located in Jakarta and conducted from July 2009 to December 2010. The study’s findings indicated that at the level of Tengkorak band showed that at first the band try to imitate the music comes from abroad. After a long period of time the tendency is to incorporate into their own cultural experience. At the level of Tengkorak band’s significant symbols, study’s findings indicated that their illustration, lyrics, oration, and one finger movement implied a semiotic guerilla warfare. The emergence of three different identity among their audiences due to penetration of Tengkorak’s band significant symbols occurred at the level of audience. From the first one emerged “the grey” identity audience, from the second and third emerged the critical thinking identity audiences, and from the fourth emerged the apolitical identity audience. And, the new social movement growth at condition when there was a rapid importation of new ideas, items, and values of foreign societies that contrary to the values of local communities. Keywords: underground rock music, new social movement, social change, audience
RINGKASAN HARYO RADIANTO. Konstruksi Identitas Khalayak Melalui Simbol Signifikan Gerakan Sosial Baru (Studi Kasus Musik Rock Underground Tengkorak Band). Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan RICHARD W. E. LUMINTANG Bidang komunikasi pembangunan mengalami titik kritis terkait dengan perubahan struktur sosial, ekonomi, dan politik dalam skala global. Oleh karena itu, bidang ini harus mengalihkan perhatian, terutama dengan menggambarkan penemuan ilmu pengetahuan gerakan sosial baru dan mengkombinasikannya dengan area-area yang relevan dari komunikasi partisipatori untuk riset pembangunan. Musik rock underground, sebagai musik subkultur oposisi, merupakan manisfestasi dari gerakan sosial baru ketika simbolsimbol signifikan di dalamnya mampu memobilisasi hati dan pikiran audiensnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami sejauhmana kekuatan musik rock underground dalam membentuk identitas audiensnya serta memahami kondisi seperti apa yang mendukung lahirnya gerakan sosial baru ini. Desain penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui fenomena sosial tertentu, namun tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi terhadap data. Hal tersebut dimaksudkan juga untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan tuntas. Penelitian dikonstruksi melalui makna yang tercermin dalam realitas. Penyusunan hasil penelitian tentang realitas sosial yang kompleks dalam bentuk tampilan kalimat yang bermakna dan mudah dimengerti. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci, yaitu orang yang kompeten, terlibat dan mengetahui banyak informasi dalam proses konstruksi realitas melalui simbol-simbol signifikan Tengkorak band. Selain itu, wawancara mendalam juga dilakukan terhadap informan untuk mengetahui kekuatan simbol-simbol signifikan Tengkorak band dalam proses konstruksi identitas. Informan penelitian ini satu orang berstatus pelajar, satu orang berstatus pekerja kasar, satu orang tanpa pekerjaan, satu orang wanita berstatus karyawati swasta. Peneliti menggunakan alat bantu handycam, kamera digital, dan alat tulis untuk merekam, mendokumentasikan serta mencatat apa yang disampaikan informan kunci dan para informan. Setelah itu, peneliti memasukkan data yang diperoleh ke dalam catatan lapang. Data sekunder didapat dari kumpulan dokumen yang berkaitan dan mendukung penelitian. Analisis data dialogik atau dialektikal untuk mengembangkan terjadinya dialog dan dialektika antara peneliti dan sumber data. Analisis dilakukan secara komprehensif, kontekstual dan multilevel, menempatkan peneliti sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial. Langkah-langkah yang dilakukan adalah (1) mencatat atau merekam informasi, menyeleksi data sesuai dengan faktor-faktor yang diteliti dan memahami data satu per satu untuk memperoleh pengertian; (2) mengembangkan data yang sudah bermakna terhadap tema-tema secara sistematis berdasarkan kerangka pemikiran, sehingga terbangun suatu pemahaman yang sebenarnya; (3) dari tema yang sudah dikembangkan disusun penjelasan secara deskriptif dan diformulasikan kesimpulan-kesimpulan secara keseluruhan dalam bentuk tampilan kalimat yang lebih bermakna dan mudah dimengerti. Hasil penelitian pada tingkatan Tengkorak band menunjukkan bahwa perubahan identitas Tengkorak band tidak terjadi begitu saja. Pada awalnya Tengkorak band mencoba
untuk meniru secara detail musik rock underground yang berasal dari luar negeri. Setelah melalui perjalanan waktu yang cukup lama, terlihat kecenderungan Tengkorak band berusaha menyesuaikan musik rock underground dengan budaya lokal. Analisis pada tingkatan signifikan simbol Tengkorak band menunjukkan bahwa lirik, ilustrasi, orasi, dan salam satu jari merefleksikan sebuah “perang gerilya semiotik” (semiotic guerilla warfare). Hal ini berarti bahwa simbol-simbol signifikan yang dihasilkan Tengkorak band tidak saja menjadi sebuah kekuatan sosial dalam proses konstruksi identitas namun juga menjadi kekuatan sosial dalam mendekonstruksi simbol-simbol signifikan musik rock underground barat. Pada tingkatan audiens, hasil analisis penetrasi simbol-simbol signifikan Tengkorak band di dalam proses sosialisasi sekunder keempat audiensnya menghasilkan identitas yang beragam. Dari informan pertama menghasilkan audiens identitas ”abu-abu”, sedangkan dari informan kedua dan ketiga menghasilkan audiens dengan kesadaran kritis. Sementara itu, dari informan keempat, penetrasi simbol-simbol signifikan Tengkorak band menghasilkan audiens yang apolitis. Suatu kondisi sosial yang kondusif mendorong lahirnya gerakan sosial baru adalah kondisi sosial ketika dimana terjadi peningkatan yang tajam dari arus impor ide-ide baru, barang-barang serta nilai-nilai dari masyarakat asing yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat lokal. Penelitian gerakan sosial baru yang direpresentasikan oleh Tengkorak band menegaskan pentingnya individu memiliki kesadaran kritis akan keunikan nilai-nilai budaya lokal sebagai tujuan utama pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan harus mengutamakan terminologi budaya daripada terminologi ekonomi dan politik. Terminologi budaya menjadi penting karena budaya merupakan ”arena” untuk mencapai pemberdayaan dan juga karena identitas budaya yang independen merupakan inti permasalahan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
KONSTRUKSI IDENTITAS KHALAYAK MELALUI SIMBOL SIGNIFIKAN GERAKAN SOSIAL BARU (Studi Kasus Musik Rock Underground Tengkorak Band)
HARYO RADIANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Tesis
: Konstruksi Identitas Khalayak Melalui Simbol Signifikan Gerakan Sosial Baru (Studi Kasus Musik Rock Underground Tengkorak band)
Nama
: Haryo Radianto
NRP
: I353060211
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS (Ketua)
Ir. Richard W. E. Lumintang, MSEA (Anggota)
Diketahui,
Koordinator Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 20 Juli 2011
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Basita Ginting, MA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 ini ialah gerakan sosial baru, dengan judul Konstruksi Identitas Khalayak Melalui Simbol Signifikan Gerakan Sosial Baru (Studi Kasus Musik Rock Underground Tengkorak Band) Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo dan Bapak Ir. Richard W. E. Lumintang, MSEA yang telah banyak memberi bimbingan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada rekan-rekan program studi KMP yang selalu mendukung dan berbagi pengetahuan selama studi. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak M. Hariadi Nasution, SH, rekan-rekan Tengkorak band, dan audiensnya yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
Haryo Radianto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Maret 1974 dari ayah H. Gandhi Suharto dan ibu Hj. Nurhasanah Wahid. Penulis merupakan putra sulung dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2006, penulis berkesempatan melanjutkan studi magister di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Penulis bekerja sebagai staf Subbidang Publikasi Hasil Penelitian pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor sejak tahun 2000 hingga sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………........... ii DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….. iii DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………... iv I. PENDAHULUAN ..…………...…………………………………………… 1.1 Latar Belakang Penelitian ...…………………………………………... 1.2 Masalah Penelitian ..…………………………………………………… 1.3 Tujuan Penelitian…...………………………………………………….. 1.4 Kegunaan Penelitian…...……………………………………………….
1 1 5 7 7
II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………… 2.1 Komunikasi Pembangunan..…………………………..………………. 2.2 Gerakan Sosial Baru …………………………………………………... 2.2.1 Sebab dan Kondisi Munculnya Gerakan Sosial Baru ………… 2.2.2 Karakteristik Gerakan Sosial Baru ………………….…………. 2.2.3 Musik Subkultur sebagai Gerakan Sosial Baru 2.3 Simbol sebagai Bentuk Pesan…….....……………................................ 2.3.1 Simbol-simbol Signifikan Musik Subkultur................................ 2.4 Sosialisasi..………………………………………………................…… 2.4.1 Agen Sosialisasi…………………………………………………... 2.4.2 Musik dan Sosialisasi Generasi Muda……………..…………… 2.5 Kerangka Pemikiran..…………………………..………………………... 2.6 Definisi Konseptual……….....…………………………..……………….
8 8 9 11 15 16 20 22 32 33 36 41 45
III. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………....... 3.1 Desain Penelitian…………….…... .…………………………………….. 3.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data...………………………………….. 3.3 Pengolahan dan Analisis Data……………………………………………
49 49 50 53
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………...... 4.1 Sejarah Musik Rock …………………………………………………… 4.2 Perkembangan Musik Rock di Indonesia…………………………….. 4.3 Tengkorak band dan Sosialisasi Audiens…………………………….. 4.3.1 Biografi Tengkorak band………………………………………... 4.3.2 Konstruksi Realitas Simbol Signifikan Tengkorak band……… 4.3.3 Konstruksi Identitas Audiens Tengkorak band………………... 4.3.4 Konstruksi Identitas Audiens Hasil Penetrasi Simbol Signifikan Tengkorak band………………………………………
55 55 58 65 65 81 90
4.4 Penelitian Gerakan Sosial Baru untuk Komunikasi Pembangunan...........
107 113
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………….. 117 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………..................
119
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………..
127
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Lirik Musik Subkultur Oppositional (pattern of resistance)................
27
2.
Makna Stagediving dan Slamming..........................................................
30
3.
Warna yang Diasosiasikan dengan Kepribadian...................................
31
4.
Nilai Perlambangan Warna.....................................................................
31
5.
Karakteristik Informan............................................................................
52
6.
Perkembangan Musik Rock.....................................................................
58
7.
Perubahan Identitas Tengkorak band....................................................
80
8.
Lirik Tengkorak band..............................................................................
82
9.
Ilustrasi Sampul Album dan T-shirt Tengkorak band.........................
85
10.
Salam Satu Jari.........................................................................................
89
11.
Budaya Musik Rock Barat vs Tengkorak band.....................................
115
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Teori Segitiga Makna...............................................................................
22
2.
Ilustrasi pada cover cd Napalm Death dan Tengkorak........................
26
3.
Aktivitas stagediving.................................................................................
29
4.
Aktivitas slamming....................................................................................
29
5.
Media Massa Paradigma Lama...............................................................
34
6.
Media Massa Paradigma Baru................................................................
35
7.
Fully Respecified Perspective on School-Media relationship…………..
40
8.
Skema Kerangka Pikir……………………………………………………
44
9.
Komponen Analisis Data: Model Interaktif…..…………………………..
54
10.
Skema Konstruksi Identitas Audiens 1………………………………...
94
11.
Skema Konstruksi Identitas Audiens 2………………………………...
99
12
Skema Konstruksi Identitas Audiens 3………………………………...
103
13
Skema Konstruksi Identitas Audiens 4………………………………...
106
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Silsilah Musik Rock....................................................................................
128
2.
Panduan Wawancara...............................................................................
129
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah Wilkins dalam Huesca (2001) mengemukakan bahwa bidang komunikasi pembangunan menghadapi titik kritis terkait teori dan relevansi pragmatis karena debat internal dan kritik-kritik, serta restrukturisasi eksternal politik, ekonomi, dan sistem
sosial
pada
skala
global.
Debat-debat
internal
dan
kritik-kritik
mengindikasikan, di satu sisi, bahwa bidang ini sedang dalam kondisi yang ”kacau balau”, sebaliknya, mengganggu tujuan peningkatan kondisi manusia secara materi dan simbolik. Sesuai dengan perubahan eksternal pada sistem sosial, merupakan satu konteks menakutkan yang mempertanyakan legitimasi serta dasar pemikiran dari usaha-usaha pengembangan ketika menunjang bentuk-bentuk baru perubahan sosial. Oleh karena itu, Huesca (2001) berargumen bahwa bidang komunikasi pembangunan harus mengalihkan perhatian dalam rangka merespon kondisi-kondisi persistensi kehidupan di bawah standar yang mendemonstrasikan relevansi berkelanjutan dari usaha-usaha pembangunan secara umum, terutama dengan menggambarkan
penemuan
ilmu
pengetahuan
gerakan
sosial
baru
dan
mengkombinasikannya dengan area-area yang relevan dari komunikasi partisipatori untuk riset pembangunan. Dalam konteks komunikasi pembangunan, pemanfaatan media rakyat (citizen media) merupakan satu pendekatan strategi baru yang dapat digunakan dalam proses pembangunan. Sejak jatuhnya Orde Baru, dari sekian banyak media, satu yang mengalami perkembangan cukup signifikan dan mendapat perhatian lebih di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, adalah musik. Namun, di era globalisasi ini, posisi musik tradisional sebagai media rakyat, sedikit banyak mulai tersaingi oleh musik populer, salah satunya musik indie (survey Litbang Kompas, 9/3/2008). Musik indie menjadi suatu perekat sosial di kalangan generasi muda, bahkan dapat disebut sebagai bentuk subkultur generasi muda kita hari ini (Kompas, 4/5/2007) atau meminjam istilah James Lull, sebagai pattern of resistance. Tidak hanya di
perkotaan, diseminasi musik indie juga meluas ke berbagai wilayah negeri ini, urban dan sub-urban. Generasi muda dan musik merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Pemuda merupakan sumber perubahan dari ”bawah” atau kalangan grassroot yang seringkali memelopori suatu gerakan sosial, sementara itu, musik belakangan ini merupakan media yang seringkali digunakan oleh banyak anak muda dalam mengekspresikan diri, menunjukkan identitas atau konsep diri, serta menyampaikan pesan berupa kritik sosial atau
ide-ide baru (survey Litbang Kompas, 31/8/2008). Artinya, di sini
generasi muda atau musisi muda tidak hanya berpotensi menjadi pionir gerakan sosial baru, namun juga memungkinkan mereka menjadi subyek pembangunan atau agen perubahan dalam masyarakat, setidaknya di lingkungannya maupun audiensnya. Fenomena yang mengarah pada munculnya gerakan sosial baru yang menunjang perubahan sosial semakin kuat terlihat di kalangan generasi muda kita pascareformasi. Dari sini muncul satu pertanyaan, apakah musik memiliki suatu arti? Pertanyaan yang juga menjadi judul dari tulisan John Sloboda (1998) ini, merupakan pertanyaan umum dan menjadi inspirasi studi masa kini. Jika dalam mencari jawabannya diuji cara masyarakat memanfaatkan musik, ternyata musik
sangat
berarti bagi banyak orang. Oleh karena itu, James Lull (1989) mengatakan bahwa musik populer merupakan suatu bentuk komunikasi unik dan benar-benar berpengaruh yang layak untuk dianalisa dengan sungguh-sungguh – bukan hanya di jalanan dan pers umum, akan tetapi juga dalam karya ilmiah maupun saat di dalam kelas. Eksplorasi terhadap “musik sebagai komunikasi” mengundang untuk menganalisis di banyak area. Jika kita melihat dari sejarah Amerika, atmosfer perubahan sosial melibatkan musik secara langsung. Musik memiliki kemampuan untuk menyebarluaskan protes sebagai satu kesatuan, melegitimasi, bahkan membuat glamour protes rakyat sipil. Musik yang dibuat oleh para musisi ini juga menjadi suatu media untuk memperluas pengaruh gerakan subkultur terhadap pendengar yang baru mulai membentuk opini mereka atas berbagai kontroversi. Wyatt (2003) menjelaskan, ilustrasi dari pengaruh
kuat konteks sosial politik dalam musik yang menyuarakan protes akan situasi nasional dalam negeri tentang hak-hak rakyat sipil terlihat di awal 1960-an sampai dengan pertengahan tahun itu. Sedangkan, konteks anti perang Vietnam terlihat pada pertengahan 1960-an sampai awal 1970-an. Bagaimana dengan Indonesia? Globalisasi musik indie di Indonesia sebenarnya sudah terlihat pada awal tahun 1990-an. Hadirnya puluhan ribu anak muda pada pertunjukan Sepultura band, salah satu kelompok musik rock underground dari Brasil, di Jakarta pada tahun 1992, menguatkan asumsi bahwa globalisasi musik indie telah mencapai Indonesia. Jeremy Wallach, asisten profesor pada Departemen Popular Culture
di
Bowling Green University, Amerika, dalam artikel ilmiahnya pada World Literature Today (September-Desember 2005) yang berjudul Underground Rock Music and Democratization in Indonesia menyatakan keterkejutannya ketika tiba di Jakarta untuk melakukan penelitian lapang tentang musik populer dan generasi muda. Awalnya, berasumsi bahwa pengetatan musik rock di Indonesia hanya terbatas pada kelompok-kelompok yang dipromosikan oleh industri musik global. Di balik semua itu, justru menemukan jaringan ekstensif skala nasional dari scene di Indonesia yang didedikasikan terhadap satu genre musik yang dikenal dengan istilah underground. Lebih jauh, Wallach mengungkapkan bahwa komunitas ini tidak hanya dilengkapi dengan penjualan musik rock underground dari berbagai penjuru dunia, namun juga memproduksi kaset-kaset, fanzines, bersusah payah dalam melakukan latihan atau merekam hasil karya serta mengorganisir konser-konser pertunjukan yang menampilkan band-band lokal yang memainkan lagu-lagu band asing favoritnya atau sebaliknya memainkan lagu-lagu komposisi mereka sendiri baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Jelas sekali hal ini tidak dapat dijelaskan dengan mudah melalui strategi konglomerat-konglomerat media multinasional. Beberapa band Indonesia yang sukses antara lain: Tengkorak, Step Forward, Betrayer, Sucker Head, dan Trauma (Jakarta); Burger Kill, Balcony, Koil, Puppen, Pas (Bandung); Slow Death (Surabaya); Eternal Madness (Bali) serta Death Vomit (Yogyakarta). Band-band ini telah mengalami tempaan khusus dengan cara masing-
masing dan menghasilkan lagu-lagu yang secara langsung menunjukkan rasa ketakutan, emosi-emosi, serta aspirasi-aspirasi generasi muda Indonesia masa kini (Wallach, 2005). Bentuk pengakuan lain dari eksistensi band-band indie di Indonesia adalah dengan diikutsertakannya band indie Indonesia Tengkorak band, yang telah merilis piringan hitam dan compact disc (cd) produksi indie label Jepang, Bloodbath Records, dalam sebuah film dokumenter produksi Universal Music Kanada “Global Metal” yang dilakukan oleh peneliti antropologi dari Kanada, Sam Dunn, pada 2006. Selain itu, pembuatan film dokumenter serupa juga dilakukan terhadap band yang sama oleh Amkas dkk (2007), salah satu kelompok mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Program Studi Penyiaran D3 Departemen Ilmu Komunikasi, namun dengan tema berbeda, “Metal is Not a Crime”. Film ini bertujuan untuk menghilangkan stereotipe negatif yang melekat pada musik ini dan memberikan penjelasan kepada masyarakat umum seperti apa sebenarnya visi dan misi generasi muda pengguna musik indie tersebut. Adalah Urban Indie Festival X Over 24-26 Agustus 2007 dan 28-29 Juni 2008 lalu yang semakin mempertegas legitimasi pergerakan musik indie di tanah air. Acara yang merupakan rangkaian kegiatan festival masyarakat urban meliputi gaya hidup, seni rupa, kuliner, fashion, musik, dan olah raga melibatkan empat pihak, Kelompok Kompas-Gramedia, bekerjasama dengan Institut Kesenian Jakarta, Masima (Radio Prambors) dan PT Jaya Ancol, Jakarta. Salah satu tujuannya adalah mengangkat potret komunitas dan musik indie di Indonesia. Bahkan, sejak pertengahan Maret sampai dengan Agustus 2007, Kompas sengaja menyediakan kolom khusus yang mengulas segala hal menyangkut budaya dan problematik indie tersebut sebagai bentuk sosialisasi sekaligus transmisi budaya kepada masyarakat. Dalam tulisannya, Kompas mengakui bahwa musik masih menjadi “perhatian utama” dan “ujung tombak” dari berbagai kegiatan yang berorientasi pada budaya indie tersebut.
1. 2. Masalah Penelitian Persentase musik dalam ruang lingkup pendengaran meningkat drastis beberapa dekade terakhir. Kini, setiap individu tidak hanya terekspose oleh musik lewat radio, berbagai jenis kaset dan cd saja. Musik juga telah menjadi bagian yang esensial dari program-program televisi, film, iklan-iklan televisi, computer games, dan CD-ROM’s. Musik terus mengalir masuk ke dalam ruang publik, sehingga indra pendengaran kita tidak mampu menolak suara-suara musik yang muncul di pertokoan, supermarket, ruang tunggu, restoran, cafe, transportasi umum, hingga nada sambung pribadi telepon genggam (ring back tone). Pada sisi lain, tidak dapat disangkal bahwa walkman dan piranti pemutar musik (mp3 player) memungkinkan kita semua membawa ”musik kita” kemana pun kita melangkah. Sebagai komunikasi simbolik, musik merupakan salah satu varian komunikasi antarmanusia yang paling tua yang dapat berperan besar atau pun kecil dalam interaksi antarmanusia. Suatu ”human universal” yang dapat dijumpai di berbagai budaya sepanjang masa, bahkan dalam beberapa hal, musik adalah aspek paling global dari apa yang kita sebut ”global village”. Musik memiliki berbagai bentuk dan kegunaannya, namun, telah diakui secara umum keutamaan musik adalah membangkitkan emosi. Sebagai himne, lagu kebangsaan, lagu cinta atau lagu protes bernuansa politis, musik mampu membangkitkan perasaan religiusitas, patriotisme, romantis bahkan memberontak (Roe, 1999). Oleh karena itu, globalisasi musik indie tanpa disadari telah menjadi suatu katalisator fenomena komunikasi global. Musik indie, dengan berbagai sub-genrenya, telah menyebar jauh dari tempat asalnya di kawasan industri Eropa dan sub-urban Amerika untuk menjadi suatu fenomena global, mulai dari Indonesia deathmetal, Cina blackmetal sampai dengan Iran trashmetal (Stroumboulopoulos, 2008). Ketika sebagian besar orang berpikir tentang globalisasi, umumnya apa yang ada di dalam pikiran adalah istilah-istilah ekonomi yang serius seperti World Bank, International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO) atau hal-hal yang berkaitan dengan penyebaran budaya massa (mass culture) seperti halnya Britney Spears dan KFC. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ”metal” telah menyebar dari ”mulut ke
mulut” serta internet, bukan karena tingginya intensitas volume pemberitaan berbagai media massa (Aykroyd, 2008). Suatu fenomena komunikasi yang disebut Huesca (2001) dengan istilah globalization from below. Singkatnya, globalisasi musik indie adalah sebuah realitas sosial. Menurut Abrar (2005), fenomena komunikasi terdiri atas (i) semua kenyataan masyarakat yang berkaitan dengan penerimaan, penyampaian dan pemanfaatan informasi; (ii) semua situasi komunikasi yang mengarah pada berbagai perubahan wawasan, sikap, perilaku, dan sosial pada individu, kelompok serta masyarakat secara sukarela; dan (iii) semua yang berkaitan dengan media, mulai dari media massa, media sosial hingga media interaktif. Ketiga fenomena inilah sumber dari tema penelitian komunikasi, atau seperti yang diungkapkan oleh Hamidi (2007), penelitian komunikasi di lapangan berawal dari tertangkapnya suatu fenomena atau peristiwa komunikasi. Meski demikian, pada mulanya, para peneliti komunikasi sedikit terlambat menaruh perhatian terhadap fenomena tersebut. Menjelang tahun 1970-an, studi atas musik populer baru benar-benar meraih legitimasi sebagai suatu penelitian yang serius. Ada tiga tonggak penting yang menjadi pertanda kemapanan musik pada agenda penelitian adalah publikasi pertama ”The Sociology of Rock” oleh Simon Frith pada tahun 1978 yang banyak menginspirasi para peneliti untuk memulai studi sosial atas musik dengan sunguh-sungguh. Yang kedua adalah pada tahun 1981, yaitu formasi the International Association for The Study of Popular Music yang dengan cepat menyediakan forum internasional dan interdisiplin penting bagi para peneliti. Ketika American Journal, Communication Research, mendedikasikan seluruh edisinya pada hasil-hasil penelitian tentang musik, inilah tonggak sejarah ketiga yang terjadi pada tahun 1985. Sehingga, situasi tersebut menjadi sinyal bagi para peneliti musik bahwa pada akhirnya terbuka peluang bagi mereka menerbitkan hasil karyanya untuk dipublikasikan dalam jurnal internasional terdepan (Roe, 1999). Penelitian mengenai fenomena musik di Indonesia, khususnya musik indie, juga telah dilakukan oleh berbagai pihak, antara lain Sen dan Hill (2000), Effendy (2000), Wallach (2005), Novarina (2005), Amkas (2007) serta Dunn (2007). Namun,
dari hasil-hasil penelitian tersebut belum ada yang menjawab permasalahan sejauhmana musik indie, sebagai agen sosialisasi di dalam masyarakat Indonesia, mempengaruhi audiensnya dalam proses pembentukan konsep diri atau konstruksi identitas. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan kegiatan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka penelitian ini diarahkan untuk memahami: a. Apakah musik rock underground, sebagai musik subkultur oppositional, dapat menjadi suatu kekuatan sosial dalam membentuk identitas diri? b. Kondisi seperti apa yang cenderung mendorong terjadinya gerakan sosial baru?
1. 3. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan pada rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian ini diarahkan untuk memahami: a. Kekuatan musik rock underground dalam membentuk identitas diri di kalangan audiens Tengkorak band. b. Kondisi sosial yang mendorong terjadinya gerakan sosial baru di kalangan generasi muda.
1. 4. Kegunaan Penelitian Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap minimnya informasi dan ilustrasi mengenai kajian musik, khususnya musik indie, sebagai komunikasi simbolik dalam kehidupan generasi muda kepada para akademisi, praktisi komunikasi maupun para mahasiswa. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi pengambil kebijakan maupun orang tua dalam memahami musik indie sebagai gejala sosial yang merefleksikan perasaan masyarakat dan membuka peluang terciptanya kerja sama antar berbagai dengan kelompok-kelompok musik indie dalam menyampaikan pesan-pesan positif kepada generasi muda.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Komunikasi Pembangunan Secara sederhana Widjaya et al. (Dilla, 2007), mengartikan komunikasi pembangunan sebagai komunikasi yang berisi pesan-pesan pembangunan. Ibarat dua mata sisi uang yang saling mendukung, posisi komunikasi dan pembangunan tidak dapat dipisahkan. Secara konseptual komunikasi dan pembangunan memandang perubahan sebagai proses sosial yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan komunikasi, setiap individu dan kelompok dalam masyarakat mampu melihat, menafsirkan, dan memaknai tentang diri serta realitas sosialnya. Selanjutnya, para ahli sepakat bahwa komunikasi berperan penting dalam pembangunan, baik pembangunan diri individu, pembangunan masyarakat, maupun pembangunan bangsa. Sejak diperkenalkan hingga digunakan, konsep pembangunan di negaranegara dunia ketiga diklaim sebagai awal paradigma pembangunan dilaksanakan. Pada mulanya, paradigma awal pembangunan ini banyak terinspirasi oleh tiga teori besar tentang perubahan sosial pada masyarakat, yaitu teori modernisasi, teori ketergantungan, dan teori sistem dunia. Teori modernisasi lahir pada akhir tahun 1950-an, disusul lahirnya paradigma yang lebih radikal pada akhir tahun 1960-an, yaitu teori ketergantungan (teori dependensi). Selanjutnya, pada pertengahan tahun 1970-an lahir paradigma baru, yaitu teori sistem dunia yang tampil menguji isu-isu pembangunan kedua teori terdahulu. Di akhir tahun 1980-an, ketiga aliran bergerak saling melakukan sintesis. Singkatnya, sisi pandang ketiga teori ini melihat kondisi keterbelakangan dan keterpurukan ekonomi akibat berbagai situasi. Ketiga teori ini menawarkan formulasi penanggulangan terhadap kondisi tersebut dengan cara pandang masing-masing (Dilla, 2007). Dalam perkembangannya, Wilkins dalam Huesca (2001) mengemukakan bahwa bidang komunikasi pembangunan akhir-akhir ini menghadapi suatu situasi kritis. Dua tantangan yang harus dihadapi bidang komunikasi pembangunan adalah masalah relevansi sosial dan terbukanya peluang baru untuk kemajuan praktis serta
teoritis. Kondisi ini dikarakterisasi oleh berbagai perubahan eksternal, material, dan konteks-konteks simbolik yang membentuk banyak tantangan dimana berpotensi pada progresivitas teori komunikasi pembangunan. Kemajuan teknologi-teknologi komunikasi yang terjadi secara simultan dengan restrukturisasi politik, ekonomi, dan sistem sosial dunia telah mereduksi legitimasi institusi-institusi tradisional, menawarkan pasar yang lebih baik serta mempertanyakan ketepatan teori komunikasi pembangunan dan penerapannya. Lebih jauh, evolusi teori komunikasi pembangunan telah ditandai dengan kritik-kritik internal dan perdebatan yang semakin memanas meski memperluas definisi, mendorong pluralisme intelektual, dan memperbarui kajian dalam bidang ini - telah mengarahkan pada kemajuan konseptual di masa yang akan datang. Oleh karena itu, bidang komunikasi pembangunan harus mengalihkan perhatian dalam rangka merespon persistensi kondisi-kondisi kehidupan di bawah standar
yang
mendemonstrasikan
relevansi
berkelanjutan
dari
usaha-usaha
pembangunan secara umum, terutama dengan menggambarkan penemuan ilmu pengetahuan gerakan sosial baru dan mengkombinasikannya dengan area-area yang relevan dari komunikasi partisipatori untuk riset pembangunan (Huesca, 2001).
2. 2. Gerakan Sosial Baru Horton dan Hunt (1999) menjelaskan bahwa gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif. Secara formal, gerakan sosial didefinisikan sebagai suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri. Sedangkan batasan yang sedikit kurang formal dari gerakan sosial adalah usaha kolektif yang bertujuan untuk menunjang atau menolak perubahan. Namun demikian, menurut Tilly dalam Schaefer (2003), pada akhir tahun 1960-an para peneliti sosial di Eropa melakukan suatu observasi dan berpendapat bahwa terdapat suatu perubahan baik di dalam komposisi maupun target-target munculnya gerakan-gerakan sosial ini. Jika sebelumnya gerakan-gerakan sosial
tradisional memfokuskan pada isu-isu ekonomi dan seringkali dipimpin oleh orang yang memiliki kesamaan pekerjaan atau oleh serikat-serikat buruh, akan tetapi beberapa gerakan sosial yang aktif dekade belakangan ini – seperti gerakan wanita kontemporer, gerakan perdamaian, dan gerakan lingkungan – tidaklah memiliki akar kelas sosial seperti halnya protes-protes kaum buruh di Amerika dan Eropa yang terjadi ratusan tahun silam. Lebih jauh, Huesca (2001) menjelaskan bahwa pada permulaan akhir tahun 1960-an tersebut, para ahli sosiologi dan politik mulai mengkonseptualisasikan kekuatan-kekuatan perubahan sosial yang muncul dari aksi terkoordinasi di luar institusi-institusi formal seperti partai politik dan serikat buruh. Yang menjadikan teori-teori perubahan sosial ini menjadi ”sesuatu yang baru” adalah perhatian mereka terhadap formasi identitas sebagai sebuah tempat dari aksi terkoordinasi dan kurangnya perhatian mereka atas akses kelompok terhadap sumberdaya institusi atau kesetiaan terhadap ideologi-ideologi yang mengarah pada mobilisasi. Dalam perkembangannya, fokus gerakan sosial baru ini memperoleh kembali momentum pada tahun 1980-an dan 1990-an, terutama di Amerika Latin, dengan munculnya etnis, gender, dan isu-isu mengorganisasi inisiatif-inisiatif yang tidak dijelaskan secara memuaskan oleh demokrasi liberal atau pun teori Marxist tentang perubahan sosial. Kendall (2005) mengemukakan bahwa istilah gerakan sosial baru mengacu kepada kebanyakan gerakan sosial yang muncul dari berbagai masyarakat barat sejak pertengahan tahun 1960-an yang berangkat dari paradigma konvensional gerakan sosial. Teori gerakan sosial baru melihat pada berbagai aksi-aksi kolektif, identitas mereka serta hubungannya dengan budaya, ideologi, dan politik. Sementara itu, Buechler (1999) juga berpendapat bahwa gerakan-gerakan sosial ini berbeda dengan gerakan-gerakan sosial tradisional yang sebelumnya terlihat yang menganut paradigma Marxism, dengan pusat perhatian masalah ekonomi, seperti gerakan kaum buruh. Gerakan-gerakan sosial baru lebih menitikberatkan perubahan sosial dalam gaya hidup dan budaya ketimbang mendorong terjadinya perubahan tertentu pada kebijakan publik maupun ekonomi, misalnya gerakan kaum
lesbian dan gay, pecinta lingkungan sampai dengan seperti yang diungkapkan oleh George H. Lewis dalam Lull (1989) yaitu gerakan ideologi anti perang Vietnam pertengahan tahun 1960-an dan awal 1970-an yang dikomunikasikan lewat musikmusik subkultur politis di Amerika dan berbagai negara di dunia - mulai dari gerakan budaya anak muda internasional tahun 1960-an, gerakan British punk di akhir tahun 1970-an, sampai dengan new wave sound tahun 1980-an - adalah bagian yang menunjukkan revolusi budaya sedang terjadi di Barat. Oleh karena itu, Huesca (2001) berpendapat gerakan-gerakan sosial baru ini telah dikonseptualisasikan sebagai respon secara efektif terhadap perubahan besar di dalam hubungan-hubungan sosial, politik, dan ekonomi dalam skala global. Kesimpulannya bahwa dalam pemikiran yang lebih umum, gerakan sosial baru telah didefinisikan sebagai kelompok heterogen yang terbentuk di luar institusi formal dan beroperasi di dalam lingkaran-lingkaran terputus guna meneguhkan makna bersama dan identitas-identitas yang menunjukkan aksi. 2. 2. 1. Sebab-sebab dan Kondisi-kondisi Terbentuknya Gerakan Sosial Teori-teori psikologi menunjukkan bahwa akar dari gerakan sosial terletak pada kepribadian para pengikut gerakan sosial tersebut. Teori ketidakpuasan berpandangan bahwa akar dari gerakan terletak pada perasaan ketidakpuasan (Horton dan Hunt, 1999). Sejalan dengan Horton dan Hunt, Purwanto (1999) mengungkapkan bahwa menurut teori agregasi psikologis suatu gerakan muncul karena adanya motivasi psikologis yang didasari oleh kemarahan, kekecewaan, dan ketidakpuasan. Misalnya saja, orang yang hidup nyaman dan puas, kurang menaruh perhatian terhadap gerakan sosial. Banyak ragam ketidakpuasan, mulai dari luapan kemarahan orang-orang yang merasa dikorbankan oleh ketidakadilan yang kejam sampai dengan kadar kejengkelan terendah dari orang-orang yang tidak menyukai perubahan sosial. Namun, kondisi ketidakpuasan itu sendiri belum cukup untuk membangkitkan munculnya gerakan sosial. Horton dan Hunt juga menyebutkan bahwa gerakan sosial lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok orang yang tidak puas terhadap keadaan. Orang-orang saling membagi duka dan mengeluh, para cendikiawan menulis
karangan, para warga negara menulis surat pembaca ke editor, atau orang melakukan eksperimen meyangkut bentuk eksperimen baru. Dari perspektif psikologi sosial, khususnya perspektif yang berpusat pada persona (person-centered perpective), kemarahan, kekecewaan sampai dengan ketidakpuasan adalah berbagai bentuk dari emosi. McDougall dalam Rakhmat (2004) menekankan pentingnya faktor-faktor personal dalam menentukan interaksi sosial dan masyarakat. Menurutnya, faktor-faktor personallah yang menentukan perilaku manusia. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan emosi merupakan salah satu faktor personal atau internal yang mempengaruhi perilaku manusia secara psikologis, termasuk salah satu bentuk utama perilaku kolektif yaitu gerakan sosial. Berasal dari bahasa Latin, emovere, dimana ”e” berarti out dan ”movere” adalah move, emosi merupakan suatu pernyataan mental serta psikologis yang berasosiasi dengan berbagai bentuk perasaan, pemikiran, dan perilaku. Selain itu, emosi juga merupakan faktor yang menentukan kebahagiaan subyektif dan menjadi peran utama dalam berbagai aktivitas manusia (www.emotionalcompetency.com). Menurut Rakhmat (2004) emosi menunjukkan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keperilakuan, dan proses fisiologis. Misalnya saja, bila anda dicemoohkan, anda akan bereaksi secara emosional karena anda mengetahui makna cemoohan itu (kesadaran). Jantung akan berdetak lebih cepat atau kulit memberikan respon dengan mengeluarkan keringat (proses fisiologis). Anda mungkin saja membalas cemoohan dengan mengeluarkan kata-kata keras (keperilakuan). Meski demikian, emosi sebagai faktor-faktor yang timbul dari dalam diri individu (psikologis) dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku manusia, tidak selalu bersifat negatif. Oleh karena itu, Coleman dan Hammen dalam Rakhmat (2004) menguraikan empat fungsi emosi, antara lain: a) Emosi adalah pembangkit energi (energizer). Tanpa emosi, tidak sadar atau mati. Hidup
berarti
merasakan,
mengalami,
bereaksi,
dan
bertindak.
Emosi
membangkitkan dan memobilisasi energi, misalnya saja marah menggerakkan kita untuk menyerang, takut menggerakkan untuk lari. b) Emosi adalah pembawa informasi (messenger). Bagaimana keadaan diri dapat diketahui dari emosi. Jika marah, diketahui dan dihambat atau diserang orang lain. Sedih berarti kehilangan sesuatu yang disenangi. c) Emosi bukan saja pembawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga pembawa pesan dalam komunikasi interpersonal. Contohnya, dalam retorika diketahui bahwa pembicara yang menyertakan seluruh emosinya dalam pidato akan dipandang lebih hidup, lebih dinamis, dan meyakinkan. d) Emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan. Misalnya saja menginginkan kesehatan dan mengetahuinya ketika dirasakan sehat. Dengan demikian, emosi merupakan faktor internal individu dan menjadi penggerak
dalam
mengekspresikan
pemikiran
secara
simbolik
atau
memvisualisasikan berbagai informasi yang ada dalam pikirannya dalam bentuk simbol-simbol yang memiliki makna emosional. Menurut Gerungan (2004) semua penggerak, alasan atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu adalah pengertian dari motif. Dalam gerakan sosial baru, kekuatan (power) baru berada dalam kode-kode informasi dan representasi imej-imej di sekeliling dalam mana masyarakat mengorganisasi institusi-institusi, membangun kehidupan serta memutuskan bagaimana mereka berperilaku. Karenanya, pikiran adalah tempat dari kekuatan individu. Lebih jauh, teori penyadaran menyebutkan bahwa penyadaran diartikan sebagai belajar memahami kontradiksi sosial, politik, ekonomi serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut (Freire, 2008). Artinya, emosi yang muncul dari kesadaran pikiran individu dalam memahami kontradiksi-kontradiksi yang terdapat di lingkungan sosio-kulturalnya dapat menjadi sumber kekuatan dalam memobilisasi diri untuk bertindak melakukan suatu gerakan sosial. Singkatnya, emosi adalah motif sosiogenetis individu untuk ambil bagian dalam suatu gerakan sosial baru.
Meski demikian, Fritz Heider dalam Walgito (2003) menyatakan
bahwa
selain faktor internal, perilaku manusia ditentukan pula oleh faktor eksternal. Sehingga, menurut perspektif yang berpusat pada situasi (situation-centered perspective), perilaku manusia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial atau faktorfaktor berpengaruh yang datang dari luar diri individu (faktor eksternal). Ross dalam Rakhmat (2004) menegaskan utamanya faktor situasional dan sosial dalam membentuk perilaku individu. Oleh karena itu, J. Milton Yinger dalam Roberts dan Kloss (1979) mengutip tujuh kondisi sosial yang diasosiasikan dengan munculnya counterculture di Amerika dan Eropa. Ditegaskan bahwa tak perlu dijelaskan lagi kondisi-kondisi ini juga diakui serupa dengan kondisi-kondisi yang kondusif terhadap tumbuhnya gerakan-gerakan sosial. Menurut Yinger, gerakan sosial dapat terbentuk dalam kondisi-kondisi sosial: a. Ketika terjadi reorganisasi drastis dari pola masyarakat dalam mencukupi kebutuhan hidup mereka. b. Ketika terjadi perubahan dalam ”ukuran, lokasi, distribusi usia, dan rasio jenis kelamin suatu populasi”. c. Ketika terjadi peningkatan yang tajam dari impor ide-ide baru, teknik-teknik, barang-barang serta nilai-nilai dari masyarakat-masyarakat asing atau periodeperiode sebelumnya. d. Ketika terdapat suatu ”peluang besar meningkatkan taraf hidup yang lebih baik, harapan-harapan, aktualisasi-aktualisasi yang diikuti dengan masa stabil, kerugian atau pun ancaman serius dari kerugian itu sendiri.” e. Ketika dijumpai ”semakin rendahnya partisipasi sosial dalam mendekatkan dan mendukung lingkaran-lingkaran sosial – keluarga, lingkungan sekitar, dan kelompok-kelompok kerja. f. Ketika terjadi peningkatan jumlah orang-orang yang menentang aturan-aturan dan cara-cara lama (antinomian persons). g. Ketika terjadi hilangnya suatu makna pada ritual-ritual dan simbol-simbol yang penuh arti dalam masyarakat – delegitimasi.
2. 2. 2. Karakteristik Gerakan Sosial Baru Meski pendefinisian terhadap gerakan sosial baru yang dilakukan oleh para ahli masih terus berlanjut, Huesca (2001) mengemukakan bahwa terdapat beberapa karakteristik umum yang ada dan membedakan gerakan sosial baru tersebut dengan pendekatan sebelumnya, yaitu: a. Gerakan sosial baru ini dipahami sebagai kecil atau sedikit, terdesentralisasi, dan demokratis dalam struktur mereka. Menurut Borda dalam Huesca (2001), kecil atau sedikit, terdesentralisasi, dan demokratis dalam struktur gerakan sosial baru diinterpretasikan sebagai satu penolakan atas, alternatif dari, dan model organisasi-organisasi tradisional yang menjembatani lingkungan-lingkungan sistem yang terinstitusionalisasi dengan kehidupan sehari-hari di dunia. Gerakan sosial baru menawarkan struktur-struktur yang merefleksikan skala yang lebih manusiawi dan mengandalkan partisipasi anggotanya dalam pemeliharaan. Hasil partisipasi yang intens dalam struktur-struktur alternatif ini berarti bahwa gerakan-gerakan sosial baru seringkali bertemu pada isu-isu yang sangat personal, seperti gender dan seksualitas, yang membatasi kepentingan mereka. Ironisnya, b. Gerakan sosial baru ini membentuk lingkaran (cyclical) dan menyebar dalam susunan mereka yang bersifat temporer; Selain itu, karena jumlahnya yang kecil atau sedikit, strukturnya terdesentralisasi, gerakan sosial baru sementara ditandai dengan sporadis, cyclical, orientasi-orientasi yang mengekspresikan identitas bersama dan ketidakpuasan (Downing, 1996; Huesca, 2001). Sifatnya yang temporer dan arus aksi terkait dengan konteks-konteks gerakan sosial baru yang tidak terinstitusi, dimana seringkali muncul dari tempat yang tidak terlihat dan memiliki jaringan yang bergerak di “bawah” kehidupan sehari-hari. Beragam jaringan tersebut adalah kelompok yang responsif terhadap perubahan lingkungan, suatu orientasi yang konsisten dengan kondisi saat ini. Sedangkan Jelin dalam Huesca (2001) menambahkan bahwa sebuah orientasi sporadis yang bersifat temporer menunjukkan arti gerakan sosial baru ini sulit untuk didokumentasikan, karena mereka tidak terlihat oleh pandangan-pandangan kritik sosial. Gerakan-gerakan sosial baru ini juga muncul dalam waktu singkat, namun
menyatakan sebuah “realitas yang permanen” karena dampaknya atas hubunganhubungan sosial yang tidak mudah dipahami (Huesca, 2001). c. Gerakan sosial baru ini tidak terlalu berorientasi pada tujuan instrumen material namun lebih kepada konstruksi identitas serta makna-makna yang mengarah kepada perilaku kolektif (Huesca, 2001). Namun, orientasi identitas gerakangerakan sosial baru telah dikonseptualisasikan dengan sangat beragam oleh para ahli. Satu kelompok menganggap identitas formasi sebagai kategori statis yang secara teoritis beroperasi menggantikan ideologi. Sedangkan yang lainnya, memberi istilah “experienced conciousness,” “interactional accomplishment,” and “identity frames,” berbagai konseptualisasi identitas ini memfokuskan pada ekspresi simbolik diri, bersifat antagonis, bersekutu atau beraliansi, dan audiensaudiens sebagai sebagai basis dalam menginterpretasi aksi sosial. Meski terdapat suatu pernyataan akan pentingnya peran dari proses interaksional dalam konstruksi dan rekonstruksi identitas, berbagai analisis dari orientasi ini cenderung memfokuskan pada “skema interpretif” atau produk-produk akhir, yang mendahului dan mengarahkan pada aksi-aksi berikutnya. 2. 2. 3. Musik Subkultur sebagai Gerakan Sosial Baru (Pattern of Resistance) Musik atau lagu dapat didefinisikan sebagai organisasi atau susunan suara atau bebunyian (Irwin, 1982), dan merupakan sebuah cetusan ekspresi perasaan atau pikiran yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi (Ensiklopedi, 1990). Diambil dari nama dewa Yunani yang memimpin seni dan ilmu, musik berasal dari kata mousike. Menurut James Lull (1989), musik merupakan suatu rangkaian pemikiranpemikiran dan perasaan-perasaan yang mengekspresikan arti pada sebuah sikap yang berbeda-beda dalam kehidupan manusia. Hal tersebut merupakan sintesis yang dikenal secara universal dari hakikat dan gaya eksistensi kita – suatu perpaduan antara pribadi, sosial, dan pemahaman budaya yang tidak dipusingkan oleh berbagai bentuk komunikasi lainnya. Selain itu, musik juga mempromosikan pengalamanpengalaman ekstrem bagi para pencipta dan pendengarnya, membuat emosional,
keberhasilan, mudah terluka, perayaan, dan hentakan irama antagonisme-antagonisme kehidupan yang menghipnotis, yang dapat dialami seseorang secara pribadi atau pun dengan orang lain. Sementara itu, Guevara (2005) mengemukakan bahwa musik lebih dari sekadar obyek hiburan semata, akan tetapi musik juga menjadi sebuah perangkat penting yang memengaruhi sikap kita dan juga sebagai referensi dasar dari konstruksi dan ekspresi dari pemikiran “siapa diri kita”. Lebih jauh, Redana (2007) menambahkan bahwa musik jelas seperti bahasa: suatu artikulasi rangkaian bunyi yang kemudian bermakna lebih dari bunyi. Musik mengungkapkan sesuatu, baik politis dan bisa juga manusiawi. Meski demikian, apa pun bunyi yang dihasilkan dan maknanya, musik berasal dan berada di dalam kehidupan sosial-budaya suatu masyarakat. William dalam Lull (1989) menjelaskan if a culture is a particular way of life, then a subculture is an alternative particular way of life that contrasts with the mainstream culture. Oleh karena itu, Blacking dalam Lull (1989) berasumsi bahwa music is not a language that describes the way society seems to be, but a methaporical expression of feelings associated with the way society really is. Dengan demikian, kedua pendapat tersebut secara tegas menyatakan dikotomi pemikiran musik sebagai realitas obyektif dan subyektif, serta kategori musik mainstream dan subkultur. Menurut Lull (1989), musik subkultur dibedakan menjadi dua tipe utama. Kategori pertama adalah “aesthetic subculture” atau taste culture, yaitu kategori yang terdiri dari berbagai musisi dan audiens yang menciptakan serta mengapresiasi musik yang berbeda dari genre-genre musik populer dalam hal style-nya saja. Jazz, klasik, dan beragam musik etnik (misalnya saja: salsa, polka, flamenco) termasuk dalam kategori ini. Musik kategori ini tidak bersifat politis, namun lebih merayakan bentuk-bentuk alternatif atau irama-irama yang jarang diputar di radio karena limited commercial appeal. Oleh karena itu, musisi dan pendengarnya tidak memiliki ketertarikan akan isu-isu politis. Sebagian besar musik kategori ini berada di wilayah periphery budaya mainstream.
Kategori yang kedua dari musik subkultur adalah “oppositional subculture”. Dari sisi sejarahnya, banyak musik subkultur yang bernuansa politis ini berasal dari kelompok-kelompok tertindas yang seringkali didefinisikan pada seluruh lapisan sosial-ekonomi. Musisi kadang kala menciptakan musik tidak sesuai dengan parameter budaya industri. Oleh karena itu, ideologi bisnis musik dalam beberapa manifestasinya tidak semata-mata mewakili pemikiran umum. Kondisi ini mengakibatkan tumbuhnya ketegangan antara kekuatan konvensional dan kekuatan resistensi dalam produksi pop culture. Kekuatan konvensional ini dianggap sebagai pattern of control, dimana ideologi-ideologi dominan (konservatif, keamanan, atau “status quo” cara berpikir mengenai politik, ekonomi, sosial, dan isu-isu budaya yang umum serta cara melakukan bisnis yang menunjukkan karakterisasi aktivitas dari industri-industri rekaman dan radio) dinyatakan dalam manufaktur dan promosi musik populer (Lull, 1989). Sebaliknya, berlawanan dengan apa yang disebut aktivitas pattern of control, adalah pattern of resistance. Pattern of resistance ini tidak terlalu mementingkan masalah finansial, para musisi memanfaatkan industri lebih untuk menyatakan orientasi alternatif dan subkultur, sesekali dengan implikasi mendalam. Dengan kata lain, musik sebagai aktivitas pattern of resistance, merupakan kategori kedua dari musik subkultur yaitu “oppositional subculture” (Denisoff dan Peterson, 1972). Musik subkultur ini memiliki tujuan kesenangan yang lebih besar dengan mendengarkan suara-suara alternatif. Ini adalah musik subgroups yang menentang praktik-praktik dan institusi sosial tertentu. Terdapat konvergensi ideologi antara musisi dan audiensnya. Musik subkultur oposisi menegaskan posisi politik yang ada pada pencipta serta pendengarnya. Selain itu, musik subkultur ini melegitimasi ideologi-ideologi sosial-politik serta gerakan-gerakan dengan memperkuat nilai-nilai dan aksi-aksi alternatif yang dinyatakan dalam ruang publik sehingga secara tidak langsung juga menciptakan peluang difusi suatu ideologi alternatif. Informasi biasanya didistribusikan melalui musik hasil rekaman (kaset atau compact disc) serta pertunjukan langsung. Dua contoh yang jelas dalam masyarakat barat kontemporer
adalah punk dan Rastafarians (Lull, 1989). Oleh karena itu, dari perspektif ini, musik mencoba untuk: 1.
Mendapatkan atau membangun dukungan untuk gerakannya.
2.
Menguatkan struktur nilai individu yang mendukung gerakan ini.
3.
Menciptakan kohesi, solidaritas, dan moril untuk anggota gerakan ini.
4.
Merekrut individu ke dalam suatu gerakan tertentu.
5.
Membuat solusi bagi suatu masalah sosial dengan aksinya.
6.
Menggambarkan masalah sosial, di dalam terminologi emosional.
7.
Membagi para pendukungnya dari dunia di sekitar mereka (fungsi esotericeksoteric).
8.
Menetralkan keputusasaan dalam pembaharuan sosial, ketika harapan untuk berubah tidak dapat diwujudkan. Berdasarkan hal tersebut, Lull (1989) menyimpulkan bahwa musik memberi
kontribusi pada konstruksi personal, sosial, dan kehidupan kultural pendengarnya pada lokasi yang variatif (rumah, tempat kerja, lokasi konser), dengan kelompok orang yang berbeda (teman dan jutaan orang lainnya), melalui berbagai macam teknis (merekam, melalui radio, penampilan langsung) serta pada berbagai level volume. Sehingga, dapat dikatakan bahwa musik merupakan suatu bentuk manjur dari ekspresi manusia yang dapat memobilisasi hati dan pikiran. Musik hasil rekaman adalah sebagai kekuatan sosial, yang berarti musik mampu mengumpulkan kekuatan, menghasilkan perubahan, dan juga sebagai refleksi dari perubahan nilai-nilai (Vivian, 1999). Dengan demikian, hal ini juga menunjukkan bahwa musik oppositional subculture (pattern of resistance) sebagai ekspresi simbolik diri dapat dikatakan sebagai manifestasi dari gerakan sosial baru ketika “kode-kode informasi atau simbol-simbol signifikan” yang ada di dalamnya mampu mempengaruhi serta memobilisasi pikiran dan perilaku audiensnya. Sebab, selain merupakan lokus aksi, pikiran individu adalah letak kekuatan gerakan sosial baru.
2. 3. Simbol sebagai Bentuk Pesan Pada dasarnya pesan bersifat abstrak. Untuk membuatnya konkret agar dapat dikirim dan diterima oleh komunikan, manusia dengan akal budinya menciptakan sejumlah lambang komunikasi berupa suara, mimik, gerak-gerik, bahasa lisan, dan bahasa tulisan. Karena pesan bersifat abstrak, maka komunikan tidak mengetahui apa yang ada di benak komunikator sampai ia mewujudkannya dalam salah satu bentuk atau kombinasi lambang-lambang kombinasi ini. Oleh karena itu, lambang atau simbol (Mulyana, 2007) komunikasi disebut juga bentuk pesan, yaitu wujud konkret dari pesan, berfungsi mewujudkan pesan yang abstrak menjadi konkret. Suara, mimik, dan gerak-gerik lazim digolongkan dalam pesan nonverbal, sedangkan bahasa lisan dan bahasa tulisan dikelompokkan dalam pesan verbal. Dengan demikian, pesan didefinisikan sebagai segala sesuatu, verbal maupun nonverbal, yang disampaikan komunikator
kepada
komunikan
untuk
mewujudkan
motif
komunikasinya
(Vardiansyah, 2004). Menurut teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer (1969): 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. 2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain. 3. Makna-makna tersebut disempurnakan pada saat proses interaksi sosial sedang berlangsung. Dalam satu frase, interaksionisme simbolik adalah studi bagaimana diri seseorang dan lingkungan sosial saling membentuk satu sama lain melalui komunikasi. George Herbert Mead dalam Lindlof dan Taylor (2002) berpendapat bahwa komunikasi merupakan hal yang fundamental dalam pengembangan diri. Esensi dari interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2001). Mulyana (1999) mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses simbolik, yakni penggunaan lambang atau simbol yang diberi makna. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk atau mewakili sesuatu yang
lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan demikian, musik sebagai sebuah sistem tanda dan simbol-simbol, juga merupakan suatu bentuk komunikasi. Menurut Poerwadarminta (1982) definisi simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya warna putih merupakan lambang kesucian atau padi sebagai lambang kemakmuran. Sementara itu, Hartoko dan Rahmanto dalam Sobur (2006), menjelaskan bahwa secara etimologis simbol berasal dari kata Yunani sym-ballein yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Simbol yang tertuliskan sebagai bunga, misalnya, mengacu dan mengemban gambaran fakta yang disebut ”bunga” sebagai sesuatu yang ada di luar bentuk simbolik itu sendiri. Pierce mengemukakan bahwa: ”A symbol is a sign which refers to the object that is denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as refering to that object”. Dengan demikian, dalam konsep Pierce, simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada obyek tertentu di luar tanda itu sendiri (Sobur, 2006). Musik sebagai komunikasi simbolik,
menurut Lewis dalam Lull (1989),
dapat menjadi sebuah tema, sebuah protes mengenai kondisi-kondisi sosial bahkan musik juga menjadi badge identitas – sebuah makna yang menunjukkan pada orang lain (juga diri kita sendiri) bahwa kita merupakan bagian dari suatu kelompok atau aspirasi tertentu. Selain itu, sebagai komunikasi simbolik, musik juga merupakan suatu sistem tanda dan simbol-simbol yang teratur dalam interaksi sosial. Lebih jauh, di dalam musik populer terdapat kerangka kepercayaan, ekspresi simbol-simbol, serta nilai-nilai
dimana
individu-individu
mendefinisikan
dunia,
mengekspresikan
perasaan, dan membuat penilaian mereka. Dengan demikian, studi musik populer juga merupakan studi atas maknamakna bagi individu-individu dan kelompok-kelompok yang menciptakan serta mereka yang mengonsumsinya. Artinya, musik juga mengkomunikasikan berbagai
pesan yang mengandung informasi kepada audiens, baik secara verbal maupun nonverbal bagi mereka yang menemukan signifikansi di dalamnya. 2. 3. 1. Simbol-simbol Signifikan Musik Subkultur (Oppositional Subculture) Menurut Mead dalam Ritzer dan Goodman (2007), simbol signifikan adalah sejenis gerak isyarat yang hanya dapat diciptakan manusia. Isyarat menjadi simbol signifikan bila muncul dari individu yang membuat simbol-simbol itu sama dengan sejenis tanggapan (tetapi tidak selalu sama) yang diperoleh dari orang yang menjadi sasaran isyarat. Kita hanya dapat berkomunikasi bila mempunyai simbol yang signifikan. Kumpulan isyarat suara yang paling mungkin menjadi simbol yang signifikan adalah bahasa, yaitu ”simbol yang menjawab makna yang dialami individu pertama dan yang mencari makna dalam individu kedua.” Isyarat suara yang mencapai situasi seperti itulah yang dapat menjadi ”bahasa”. Ia menjadi simbol yang signifikan
dan
memberitahukan
makna
tertentu.
Dengan
bahasa,
yang
dikomunikasikan adalah isyarat dan maknanya. Karenanya, simbol signifikan memungkinkan proses mental, berpikir atau percakapan implisit individu dengan dirinya sendiri dengan memakai isyarat. Mead bahkan juga menyatakan bahwa ”berpikir adalah sama dengan berbicara dengan orang lain.” Menurut teori segitiga makna, lambang komunikasi atau simbol mengacu kepada sesuatu di luar dirinya, yaitu obyek, dan ini akan mempunyai pengaruh pada pikiran pemakainya. Ini terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara ketiga elemen tersebut. Hasil dari hubungan ini menghasilkan makna atas suatu obyek, yang kemudian disimbolkan sebagai lambang komunikasi oleh pemakainya (Vardiansyah, 2004). Pikiran Pemakai
Simbol
Obyek
Gambar 1. Teori Segitiga Makna (Vardiansyah, 2004)
Oleh karena itu, Mead dalam Ritzer dan Goodman (2007) menyatakan bahwa simbol signifikan juga memungkinkan interaksi simbolik. Artinya, orang dapat saling berinteraksi tidak hanya melalui isyarat tetapi juga melalui simbol signifikan yang memungkinkan terwujudnya pola interaksi dan bentuk organisasi sosial. Begitu pula halnya dengan musik, sebagai bentuk komunikasi simbolik, di dalam musik juga terdapat simbol-simbol signifikan sebagai lambang komunikasi. Simbol-simbol
signifikan
tersebut
memungkinkan
terjadinya
interaksi
atau
komunikasi di antara pencipta dengan audiensnya secara simbolik. Aktivitas interaksi dan komunikasi melalui simbol-simbol signifikan tersebut, juga melibatkan proses berpikir setiap partisipan. Selanjutnya, dari proses berpikir dengan menggunakan akal budinya, pada akhirnya menghasilkan suatu makna atas simbol-simbol signifikan tersebut di dalam pikiran masing-masing individu. Pada musik subkultur oposisi atau ”pattern of resistance” simbol-simbol signifikan atau lambang-lambang komunikasi yang digunakan dapat bersifat verbal maupun nonverbal. Adapun simbol-simbol signifikan atau lambang-lambang komunikasi yang memiliki makna dalam musik subkultur oposisi antara lain: Artefak Artefak adalah berbagai jenis benda yang dihasilkan dari kecerdasan manusia. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, seringkali mengandung makna tertentu. Rumah, kendaraan, perabot, patung, lukisan, kaligrafi, bendera, foto saat bersalaman dengan presiden, buku, koran, dan benda-benda lain dalam lingkungan kita adalah pesan-pesan bersifat nonverbal, sejauh dapat diberi makna (Mulyana, 2007). Menurut Cangara (2006), artefak adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat pada diri manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum. Selain dimaksudkan untuk kepentingan estetika, artefak juga untuk menunjukkan status atau identitas diri seseorang atau suatu bangsa. Misalnya: baju, topi, pakaian dinas, cincin, gelang, alat transportasi, alat rumah tangga, arsitektur, monumen, patung, dan sebagainya.
Lull (1989) mengemukakan bahwa terdapat aksesoris-aksesoris kultural yang berasosiasi dengan musik dan diaplikasikan pada saat postexposure. Sebagai contoh, memakai t-shirt yang sesuai atau tampilan poster di dinding kamar. Hal ini dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk pernyataan tentang nilai-nilai atau style audiens muda. Lebih jauh, audiens kadang-kadang mengidentifikasi diri secara kuat dengan satu kelompok atau jenis musik tertentu (country dan western, jazz, heavy metal, dan sebagainya), sehingga pakaian, poster-poster, stiker-stiker, dan berbagai artefak lainnya, yang menyangkut preferensi musikal, juga menegaskan suatu kebanggaan dari pendengarnya bahwa artis atau genre tersebut pada dasarnya merepresentasikan kepribadian audiens dalam beberapa hal. Gaya vokal/vokalika/parabahasa Gaya vokal/parabahasa adalah merujuk pada aspek-aspek selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara, geraman, gerutuan, dialek dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita (Mulyana, 2007). Menurut DeVito (1997) parabahasa mengacu pada dimensi vokal tetapi nonverbal dari pembicaraan dan juga pada cara kita menguapkan sesuatu, bukan pada apa yang kita ucapkan. Parabahasa juga mencakup vokalisasi yang kita lakukan ketika menangis, berbisik, mengerang, bersendawa, menguap, dan berteriak. Seseorang yang berbicara cepat, misalnya, mengkomunikasikan hal yang berbeda dengan orang yang berbicara lambat-lambat. Meski kata-katanya sama, jika kecepatan (atau volume, irama, dan tinggi rendahnya) berbeda, makna yang kita terima juga berbeda. Begitu pula halnya dalam musik, khususnya musik protes subkultur, Lull (1989) dan Kahn-Harris (2007) sama-sama berpendapat bahwa gaya vokal dan intonasi merupakan elemen penting sebagai ekspresi dari rasa ketidakpuasan atau pengalaman tertindas dan penuh tekanan dalam kehidupan sosial para musisinya. Dalam perkembangan musik subkultur, mulai dari pertengahan sampai dengan akhir tahun 1980-an, salah satu teknik vokal yang mereka ciptakan menurut tulisan Kahn-Harris (2007) adalah growl atau death grunt serta high-pitched shrieking. Teknik-teknik vokal tersebut menjadi tanda yang sengaja diciptakan
sebagai pernyataan sikap antikomersil. Meski tidak begitu dipahami oleh masyarakat awam, namun gaya vokal seperti ini sangat populer baik di kalangan musisi maupun audiens musik subkultur di Indonesia. Mehrabian dan Ferris dalam Mulyana (2007) menyebutkan bahwa parabahasa adalah terpenting kedua setelah ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau emosi. Menurut formula mereka, parabahasa punya andil 38% dari keseluruhan impak pesan. Genre Menurut Roy Shuker dalam Novarina (2005), genre dapat didefinisikan sebagai kategori atau tipe. Genre secara luas dapat digunakan untuk menganalisa teks popular culture terutama untuk menjelaskan berbagai macam kategori musik (pop, rock, folk, dance) dan film (sains fiksi, horor, komedi, drama). Ada juga yang menyatakan bahwa genre dan style tidak berbeda, dan menyatakan bahwa genre seharusnya didefinisikan sebagai sebuah musik yang menyajikan style tertentu (Negus, 1999; Holt, 2007). Misalnya, Dunaway dalam Lull (1989) mengemukakan bahwa ketika para musisi kulit hitam meninggalkan gaya bernyanyi gospel pada masa hak-hak sipil, banyak dari mereka yang mencoba mencari bentuk-bentuk musik yang baru untuk menyuarakan isu-isu terkini. Sebagai contoh adalah genre soul untuk nasionalisme kulit hitam serta kebanggaan cultural, funk untuk redistribusi ekonomi dan penolakan atas budaya kemiskinan. Sedangkan, genre folk, rock, disko, country and western, new wave serta punk rock untuk musik bernuansa politis seperti kampanye kelompok grassroot menentang penggunaan tenaga dan senjata nuklir dan sebagainya. Pernyataan “music fits well in my life” juga berkorelasi tinggi dengan mendengarkan genre rock, new wave dan punk, dimana bentuk-bentuk tersebut dapat diidentifikasi secara jelas sebagai gaya subkultur atau kelompok. Berbagai subkultur ini memiliki perbedaan norma-norma serta nilai-nilai, baik dalam pakaian, gaya rambut, sikap maupun model perilaku. Dengan
demikian,
genre
musik
menjadi
sebuah
saluran
mengekspresikan nilai-nilai kelompok dan identitas (Lull,1989).
utama
dalam
Ilustrasi Ilustrasi adalah sesuatu yang dapat berbentuk gambar, ungkapan dan lain-lain untuk memperindah atau memperjelas suatu hasil pemikiran (Effendy, 1989). Menurut Arsyad (2000), ilustrasi merupakan unsur-unsur desain yang paling banyak digunakan pada media komunikasi cetak. Ilustrasi, baik foto maupun gambar garis, dapat mengungkapkan sesuatu dengan lebih cepat dari pada hanya berupa teks. Ilustrasi berupa gambar garis berfungsi menjelaskan teks atau hal abstrak yang tidak mungkin dilukiskan dalam foto. Kegunaan lainnya adalah untuk membuat karikatur dan ilustrasi iklan. Pada sisi lain, foto sebagai hasil pemotretan dari benda sesungguhnya, mengungkapkan bayangan konkrit secara menyeluruh. Foto melibatkan emosi pembaca, sehingga kadangkala lebih efektif dari kata-kata. Turnbull dan Baird (1980) menyatakan bahwa suatu gambar mempunyai arti sama dengan seribu kata. Berikut contoh-contoh ilustrasi pada cover compact disc:
Gambar 2. Ilustrasi pada cover cd Napalm Death dan Tengkorak
Lirik Lirik adalah ungkapan-ungkapan yang disusun secara terpadu untuk menggugah perasaan-perasaan tertentu (Effendy, 2000). Oleh karena itu, Lull (1989) berpendapat bahwa lirik sangat penting dalam penggunaan musik. Lirik lagu digunakan sebagai sumber komunikasi untuk membantu pembentukan identifikasi personal. Selain itu, lirik lagu juga dapat menceritakan mengenai kehidupan serta permasalahan mereka sehari-hari, bahkan lirik juga berguna untuk menyampaikan pesan, kritik atau imbauan bagi para pendengarnya. Lirik lagu, tak dapat dipungkiri lagi pasti mengekspresikan pandangan dunia dalam kacamata para penyanyi dan
pengarang. Bahkan, hal ini juga untuk menggambarkan kesadaran masyarakat umum. Misalnya saja lirik lagu dari Napalm Death, pionir band indie asal Birmingham, Inggris, seperti diungkapkan oleh Dan Tobin (2001) yang menyatakan bahwa dampak band ini tidak hanya di dunia musik subkultur namun juga pada kesadaran publik. Matriks 1. Lirik Musik Subkultur Oposisi (pattern of resistance) ASAP TEBAL Bumi dihamparkan dan langit dibentangkan Alam semesta ini bukan warisan nenek moyangmu Ribuan pasang mata kini berlinang air mata Hutan yang dulu hijau kini berwarna hitam legam Lihat hutan, hangus hancur Lihat udara, mandi asap Lihat tanah,kering kerontang Lihat hewan, mati lemas Siapa yang salah…… Silakan cari kambing hitamnya…2X
UNFIT EARTH Looking from outside inwards A view to dumbfound the most outspoken minds Silent screams from an unfit earth Battered and bruised with nowhere to hide Disasters man made and natural Gradually pushing to absolute imbalance On the scales of survival Soon to tip in favour of extinction An unrelenting dioxin cloud Propelled to dispel our oxygen Slowly seizing up our lungs And choking the ground we depend upon Silent screams from an unfit Earth Battered and bruised with nowhere to hide Transforming aquatic inhabitance Overcome by cocktails of sludge and chemicals Interfering with life on which so many rely Then dumping our shit to economise Wanton destruction Environment in regression All reverse into decline Kiss this unfit earth goodbye Silent screams from an unfit Earth A future of provocation with nowhere to go
Sumber: Tengkorak, 2001 dan Napalm Death, 1992
Pesan yang disampaikan melalui lirik lagu, tidak hanya merupakan reaksi perasaan mereka atas kondisi lingkungan sosial di Birmingham, yang mereka gambarkan sebagai real problems of unemployment, lack of cash and prospect for the future an everyday worry and source of frustation, namun juga dalam skala global. Oleh karena itu, lirik Napalm Death juga terkait dengan isu-isu seperti eksploitasi, ketidakadilan, kekejaman, penyalahgunaan wewenang dan perlakuan semena-mena terhadap bumi beserta seluruh isinya. Tidak jauh berbeda, penelitian yang dilakukan Amkas (2007) menyebutkan bahwa Tengkorak, pionir band rock underground dari, Jakarta, Indonesia, yang menjadikan Napalm Death sebagai reference group-nya,
juga menekankan liriknya yang eksplisit pada masalah-masalah sosial skala lokal maupun global. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lirik merupakan elemen musik subkultur yang bermakna dalam proses interaksi antara musisi dan audiensnya. Nama (band) Menurut Mulyana (2007) penamaan adalah dimensi atau fungsi pertama dari bahasa. Nama adalah simbol pertama dan utama bagi seseorang. Nama dapat melambangkan status, cita-rasa budaya, untuk memperoleh citra tertentu (pengelolaan kesan), sebagai nama hoki atau apapun alasannya. Selain itu, nama adalah unsur penting identitas seseorang dalam masyarakat, karena interaksi dimulai dengan nama dan hanya kemudian diikuti dengan atribut-atribut lainnya. Nama adalah bagian dari konsep diri yang sangat penting, bahkan nama juga menunjukkan kesadaran seseorang. Demikian pula dalam dunia musik, pemilihan atau penggunaan sebuah nama bagi suatu kelompok musik pada umumnya juga menjadi simbol yang memiliki makna tertentu. Dedi (2006) menyatakan bahwa selain sebagai identitas, dengan mengenal nama band maka asosiasi akan terbentuk dan menciptakan citra yang akan tersimpan di dalam kepala orang atau audiensnya. Artinya, nama band juga memiliki makna yang menyampaikan pesan kepada audiensnya. Misalnya saja Dead Kennedy’s, sebuah band punk asal Amerika, yang memilih nama tersebut sebagai bentuk perhatian anggota band atas kematian Presiden John F. Kennedy, ikon perubahan bagi anak muda Amerika di tahun 70-an. Stage diving dan slamming Umumnya, aktivitas stage diving seringkali diikuti dengan aktivitas slamming dan diasosiasikan dengan konser-konser musik hardcore punk, heavy metal, and alternative rock dan rock (Tsitsos, 1999). Stage diving merupakan suatu aksi penyanyi melompat dari sebuah panggung konser ke arah kerumunan audiens yang berada di bawahnya, lalu dilemparkan kembali oleh kerumunan audiens ke arah panggung. Tidak hanya musisi, audiens juga melakukan hal serupa dengan memanjat panggung lalu melemparkan diri ke tengah audiens lainnya Thorne (2008).
Gambar 3. Aktivitas stagediving
Selain itu, Thorne (2008) juga mengemukakan bahwa slamming atau sering juga disebut dengan istilah seperti yang diungkapkan Tsitsos (1999) yaitu slam dancing, adalah bentuk tarian yang muncul sekitar tahun 1980-an dan berhubungan dengan musik post-punk hardcore. Para peminatnya saling melemparkan tubuh atau membenturkan badan di tembok, panggung, dan peralatan lainnya. Slamming lahir bersama generasi pertama punk pada tahun 1977 sebagai bentuk kekerasan yang diritualkan secara gembira sehingga lebih bersifat katarsis daripada agresif.
Gambar 4. Aktivitas slamming
Dengan demikian, bentuk komunikasi yang unik antara musisi dan audiens musik tersebut berimplikasi ideologis. Selain itu, kedua aktivitas ini juga merupakan simbolisasi suatu kesadaran pada setiap orang yang tidak menginginkan adanya perbedaan-perbedaan “kelas” di antara kedua pihak yang berinteraksi (Lull, 1989). Matriks 2. Makna Stagediving dan Slamming
Aktivitas Stagediving dan Slamming
Makna Runtuhnya jarak baik secara fisik maupun psikis antara musisi dan audiensnya. Menjadi simbolisasi suatu kesadaran pada setiap orang yang tidak menginginkan adanya perbedaan-perbedaan “kelas”.
Sumber: diadaptasi dari Lull
Warna Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna putih). Warna dapat mempengaruhi jiwa atau emosi manusia serta menggambarkan suasana hati seseorang atau ungkapan emosi pribadi (Sulasmi, 2002). Selain itu, warna juga sering digunakan untuk menunjukkan cita rasa, afiliasi politik, dan agama (Mulyana, 2007). Sebagian orang berpendapat, karena warna mempunyai pengaruh terhadap emosi dan asosiasinya terhadap macam-macam pengalaman, maka setiap warna mempunyai arti perlambangan dan makna. Dewasa ini, warna tetap digunakan sebagai lambang oleh masyarakat yang belum maju maupun masyarakat modern. Nilai-nilai simbolis penting untuk diketahui karena warna sebagai lambang digunakan untuk segala bidang kehidupan (Sulasmi, 2002). Berikut ini adalah gambaran mengenai warna yang diasosiasikan dengan kepribadian dan nilai perlambangan warna secara umum:
Matriks 3. Warna yang Diasosiasikan dengan Kepribadian
Warna Merah Merah jingga Jingga Kuning jingga Kuning Kuning hijau Hijau muda Hijau biru Biru Biru ungu Ungu Merah ungu Coklat Hitam Abu-abu Putih Sumber: Sulasmi, (2002)
Makna Cinta, nafsu, kekuatan, berani, primitif, menarik, bahaya, dosa, pengorbanan, vitalitas. Semangat, tenaga, kekuatan, pesat, hebat, gairah. Hangat, semangat muda, ekstremis, menarik. Kebahagiaan, penghormatan, kegembiraan, optimisme, terbuka. Cerah, bijaksana, terang, bahagia, hangat, pengecut, pengkhianatan. Persahabatan, muda, kehangatan, baru, gelisah, berseri. Kurang pengalaman, tumbuh, cemburu, iri hati, kaya, segar, istirahat, tenang. Tenang, santai, diam, lembut, setia, kepercayaan. Damai, setia, konsevatif, pasif terhormat, depresi, lembut, menahan diri, ikhlas. Spiritual, kelelahan, hebat, kesuraman, kematangan, sederhana, rendah hati, keterasingan, tersisih, tenang, sentosa. Misteri, kuat, supremasi, formal, melankolis, pendiam, agung (mulia). Tekanan, intrik, drama, terpencil, penggerak, teka-teki. Hangat, tenang, alami, bersahabat, kebersamaan, tenang, sentosa, rendah hati. Kuat, duka cita, resmi, kematian, keahlian, tidak menentu. Tenang. Senang, harapan, murni, lugu, bersih, spiritual, pemaaf, cinta, terang.
Matriks 4. Nilai Perlambangan Warna
Warna Merah Merah keunguan Ungu Biru Hijau Kuning Putih Abu-abu Hitam Sumber: Sulasmi, (2002)
Makna Darah, marah, berani, seks, bahaya, kekuatan, kejantanan, cinta, kebahagiaan. Mulia,agung, kaya, bangga (sombong), mengesankan. Dukacita, kontemplatif, suci, lambang agama. Kesucian harapan, kedamaian. Perenungan, kepercayaan (agama), keabadian. Kesenangan, kelincahan. Kesucian, jujur, polos, murni. Ketenangan, sopan, sederhana Kegelapan, ketidakhadiran cahaya
Warna juga memberi arti pada suatu obyek (Cangara, 2006). Oleh karena itu, warna memiliki perlambangan yang tidak dapat dikesampingkan dalam hubungannya dengan penggunaannya. Dalam kehidupan modern dewasa ini, lambang-lambang yang menggunakan warna masih tetap digunakan meski telah terjadi pergeseran dalam nilai simbolisnya (Sulasmi, 2002).
2. 4. Sosialisasi Clausen (1968) mengemukakan bahwa sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Bagi individu, di satu sisi, sosialisasi menyediakan sumberdaya untuk bertindak dan berpartisipasi di dalam masyarakat. Pada sisi lain, bagi masyarakat, memasukkan semua individu ke dalam norma-norma, sikap-sikap, nilai-nilai, motif-motif, peran-peran sosial, bahasa, dan simbol-simbol berarti terwujudnya kontinuitas sosial dan budaya. Sementara itu, menurut Schaefer (2003), proses sosialisasi adalah dimana seseorang belajar akan sikap-sikap, nilai-nilai, dan perilaku-perilaku yang tepat untuk menjadi anggota suatu kebudayaan tertentu. Sosialisasi terjadi melalui interaksiinteraksi manusia. Setiap individu mempelajari banyak hal dari orang-orang yang dianggap penting dalam hidupnya, seperti anggota keluarga, teman-teman dekat, dan para pengajar. Namun demikian, setiap individu juga belajar dari orang-orang yang dilihatnya di jalanan, di televisi, di internet, maupun di film-film dan majalahmajalah.
Sosialisasi
mempengaruhi
seluruh
aspek-aspek
kebudayaan
suatu
masyarakat, selain itu juga membentuk imej-imej kita. Pada sisi lain, Peter L. Berger (1978) mendefinisikan sosialisasi sebagai proses yang dilalui seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Melalui sosialisasi masyarakat dimasukkan ke dalam manusia. Frans M. Parera dalam Berger dan Luckman (1990) menjelaskan bahwa sosialisasi sebagai proses dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultural. Dialektika ini berlangsung dalam proses dengan tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).
2. 4. 1. Agen Sosialisasi Kontinuitas dan keberlangsungan proses sosialisasi melibatkan berbagai kekuatan sosial yang berbeda yang mempengaruhi kehidupan serta mengubah citra diri seseorang (Schaefer, 2003). Kekuatan-kekuatan sosial tersebut merupakan agenagen sosialisasi, yaitu pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Menurut Henslin (2006), agen sosialisasi adalah orang-orang dan kelompok-kelompok yang mempengaruhi konsep diri, emosi, sikap, dan perilaku kita. Lebih jauh, Henslin mengidentifikasi lima agen sosialisasi, yaitu: 1) Keluarga. Dalam sosialisasi, keluarga bertanggung jawab pada beberapa hal diantaranya menentukan sikap seseorang terhadap religi serta memperkuat tujuan yang akan dicapai. 2) Sekolah. Dalam hal ini, sekolah merupakan agensi yang bertanggung jawab atas generasi muda dalam menyosialisasikan berbagai keahlian tertentu dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat. Menurut Horton dan Hunt (1991) fungsi nyata pendidikan antara lain: (a) sebagai modal penting dalam menentukan mata pencaharian; (b) Dapat mengembangkan potensi demi pemenuhan kebutuhan pribadi dan pengembangan masyarakat; (c) Melestarikan kebudayaan dengan cara mewariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan; (d) Membentuk kepribadian. 3) Kelompok Sebaya (peer group). Kelompok sebaya berfungsi antara lain: (a) Memberi
rasa
aman
dan
dianggap
penting
dalam
kelompoknya;
(b)
Perkembangan kemandirian; (c) Tempat penyaluran rasa kecewa, takut, khawatir, gembira dan sebagainya yang mungkin tidak di dapat di rumah; (d) Melalui interaksi, dapat mengembangkan berbagai keterampilan sosial; (e) Mendorong bersikap lebih dewasa karena adanya pola perilaku dan norma-norma tertentu dalam kelompok. 4) Media Massa. Media massa merupakan media mekanis yang digunakan dalam komunikasi massa (Nurudin, 2007). Menurut Kunczik (1985), in all social systems, mass media are especially important as a factor in socialization. Sedangkan Defleur dalam Hendratno (2005) menyatakan bahwa media tidak
hanya memiliki efek langsung terhadap individu, namun juga mempengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serta nilai-nilai dari suatu masyarakat. Oleh karena itu, McQuail (1994) berpendapat bahwa fungsi utama media massa bagi masyarakat diantaranya adalah: (a) Informasi; (b) Korelasi; (c) Kesinambungan; (d) Hiburan; (e) Mobilisasi. Sedangkan fungsi utama bagi individu adalah: (a) Informasi; (b) Identitas pribadi; (c) Integrasi dan interaksi sosial; (d) Hiburan. Sementara itu, secara lebih spesifik Arnett dalam Santrock (2001) menyebutkan fungsi media bagi generasi muda adalah: (a) Hiburan; (b) Informasi; (c) Sensasi; (d) Fungsi kopi. Dua cara kopi yang paling terkenal adalah ”mendengarkan musik” dan ”menonton televisi”; (e) Gender-role modeling; (f) Youth culture identification. Berikut beberapa media massa berdasarkan paradigma lama dan paradigma baru (Nurudin, 2007):
Gambar 5. Media Massa Paradigma Lama (Nurudin, 2007)
Gambar 6. Media Massa Paradigma Baru (Nurudin, 2007)
5) Agen-agen lainnya, antara lain: religi, lingkungan kerja, dan negara.
Berdasarkan fungsinya, pesan-pesan yang disampaikan oleh agen sosialisasi tersebut berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan oleh keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh agen sosialisasi lain. Sehingga, sangat sulit untuk menentukan manakah di antara agen-agen sosialisasi tersebut yang paling mempengaruhi konsep diri seseorang. Meski demikian, pada dasarnya sosialisasi memiliki dua fungsi utama yaitu on the one hand, it prepares the individual for the roles he is to play, providing with him the necessary repertoire of habits, beliefs, and values, the appropriate patterns of emotional response and the modes of perception, requisite skills and knowledge. On the other hand, by communicating the contents of culture from one generation to the other, it provides for its persistence and continuity (Chinoy,1961).
Oleh karena itu, Lull (1989) mengemukakan bahwa musik, sebagai agen sosialisasi dan komunikasi, mempengaruhi sosialisasi dalam dua sisi, yang pertama berkaitan dengan peran musik terhadap munculnya konsep diri atau identitas diri para audiens serta dampak isi pesan yang ditunjukkan generasi muda melalui musik populer. Dengan demikian, secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa musik subkultur, sebagai kekuatan sosial, memiliki kemampuan mempengaruhi proses sosialisasi seorang individu yang menjadi audiensnya dengan membentuk konsep diri atau identitas serta melestarikan budaya subkultur itu sendiri melalui simbol-simbol signifikan yang ada di dalamnya. Sehingga, keterlibatan individu secara aktif dengan suatu musik, memberikan makna khusus dan meningkatkan potensinya sebagai agen sosialisasi. 2. 4. 2. Musik dan Sosialisasi Generasi Muda Individu oleh Berger dan Luckman (1990) dikatakan mengalami dua proses sosialisasi, yaitu sosialisasi primer dan sekunder. Sosialisasi primer dialami individu pada masa anak-anak, yang dengan itu, ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses lanjutan dari sosialisasi primer yang mengimbas ke individu, yang sudah disosialisasikan ke dalam sektor-sektor baru di dalam dunia obyektif masyarakat. Oleh karena itu, dalam setiap kehidupan individu memang terdapat suatu urutan waktu, dan selama itu pula ia diimbaskan sebagai partisipan ke dalam dialektika masyarakat, eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Individu terlahir ke dunia sebagai anak-anak sudah dipenuhi oleh media, termasuk musik serta berbagai sistem yang mereproduksinya seperti radio, televisi, kaset, dan cd (compact disc). Pada usia ini, tanpa disadari telah memiliki hubungan khusus dengan musik. Terbukti ketika anak-anak, di rumah maupun di tempat umum, mereka sering bernyanyi atau menari mengikuti irama musik dan terjatuh tanpa merasa sakit. Sebagian besar tidak menyadari atau kurang peduli terhadap apa yang orang lain pikirkan tentang ekspresi fisik mereka yang bersifat spontan dan kreatif (Lull, 1989). Meski demikian, di dalam sosialisasi primer, yang pertama kali diinternalisasi oleh individu pada masa anak-anak bukanlah musik, tetapi bahasa
(Berger dan Luckmann, 1990). Karena, bahasa merupakan isi dan alat yang paling penting dalam sosialisasi. Melalui bahasa seluruh dunia bisa diaktualisasikan setiap saat serta berbagai skema motivasi dan interpretasi diinternalisasikan yang pada akhirnya ada penginternalisasian perangkat legitimasi. Anak mengidentifikasi dirinya dengan anggota keluarga yang mempengaruhinya dengan berbagai cara yang emosional. Anak-anak mengalihkan peran dan sikap orang tua atau orang-orang berpengaruh (significant others) yang mempengaruhi mereka. Artinya, anak menginternalisasi dan menjadikan peran serta sikap orang tua sebagai sikapnya sendiri. Melalui internalisasi seperti ini, anak mampu melakukan identifikasi terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian, dalam sosialisasi primer inilah dunia pertama individu terbentuk. Sampai di sini, tidak ada masalah identifikasi. Dalam sosialisasi primer, orang-orang berpengaruh tidak dapat dipilih, si anak tidak memahami orang lain yang berpengaruh sebagai-fungsionaris-fungsionaris kelembagaan, tetapi semata-mata hanya sebagai perantara bagi kenyataan. Anak menginternalisasi dunia orang tua sebagai dunia satu-satunya dan tidak sebagai dunia yang termasuk dalam suatu konteks kelembagaan yang spesifik. Pada masa ini, dunia terbentuk begitu rupa sehingga menanamkan dalam diri individu suatu struktur kesadaran di mana ia dapat menaruh kepercayaan bahwa ’everythings is all right’ (tidak apa-apa). Penemuan individu di belakang hari bahwa ada hal-hal yang sama sekali tidak ”all right” mungkin akan sangat atau tidak begitu mengejutkan, tergantung kepada kondisi biografisnya (Berger dan Luckman, 1990). Pascasosialisasi primer, berarti berlalunya masa anak-anak. Chinoy (1961) dan Johnson (1961) melihat bahwa sosialisasi tidak berhenti hanya sampai ketika masa anak-anak tersebut berakhir. Sosialisasi tidak pernah total dan tidak pernah selesai. Dengan kata lain, internalisasi masyarakat, identitas, dan kenyataan ini tidak terjadi sekali jadi dan selesai tuntas (Berger dan Luckman, 1990). Sehingga, dalam hal ini individu-individu dihadapkan pada dua pilihan antara mempertahankan kenyataan yang sudah diinternalisasikan dalam sosialisasi primer atau akan terjadi
lagi internalisasi-internalisasi berikutnya - atau sosialisasi sekunder - dalam biografi selanjutnya (Berger dan Luckman, 1990). Pada masa transisi ini, menurut Berger dan Luckman (1990), berbagai krisis dapat terjadi yang sesungguhnya disebabkan oleh timbulnya kesadaran bahwa dunia orang tua bukanlah satu-satunya dunia yang ada. Di sini, perkembangan usia individu menjadi seorang pemuda, menandakan suatu masa dalam kehidupan generasi muda dimana banyak perubahan terjadi. Tidak hanya fisik, namun orientasi mental dan aktivitas lifestyle juga mengalami perubahan. Pada masa ini pula, bagi sebagian besar anak muda, merupakan suatu masa yang penuh gejolak serta resistensi. Mereka mencari kesenangan serta berusaha menemukan jalan untuk menyalurkan ekspresi kreatif yang tidak mereka dapatkan baik di rumah atau pun sekolah. Keluarga dan televisi, dua entitas yang tidak terpisahkan dalam dunia barat, tidak lagi menyediakan hal-hal yang mereka cari. Kontak dengan keluarga semakin berkurang, sebaliknya terjadi peningkatan interaksi dengan peer group dan juga mobilitas dalam rutinitas sehari-hari. Selain itu, kebiasaan bermedia mereka juga berubah. Waktu menonton televisi semakin sedikit, sementara eksposur media audio meningkat drastis. Musik populer mulai masuk secara perlahan dalam kehidupan rutin kaum muda sehari-hari ketika isi lirik dan atmosfir yang dihasilkan melalui suaranya merefleksikan sebagian besar halhal yang menjadi perhatian mereka. Sehingga, peran orang tua dalam sosialisasi pada masa ini mulai berkurang. Terdapat suatu reorientasi umum dari kaum muda dengan menaruh hormat pada sumber-sumber informasi alternatif yang mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan. Aktivitas hubungan interpersonal baru dan media saling berinteraksi. Keluarga, sekolah, dan media massa termasuk musik, berinteraksi di dalam sosialisasi generasi muda. Adalah televisi yang menjadi bagian dalam kehidupan keluarga, sementara itu film, radio, dan terutama musik populer menjadi bagian dari kehidupan peer group. Anak muda, pada masa ini, lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah, institusi yang memperkenalkan kepada mereka cara berpikir yang secara umum mendukung budaya mainstream dan sikap konvensional. Akan tetapi, pada sisi lain, sekolah juga menjadi tempat di mana
terjalinnya pertemanan serta terbentuknya peer group, yang bagi sebagian anak muda perkembangan diri jauh lebih penting daripada pembelajaran formal di dalam kelas. Oleh karena itu, Roe dalam Lull (1989), berpendapat bahwa setelah keluarga, dua agen utama sosialisasi di dalam masyarakat modern adalah sekolah dan media massa. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa seluruh lingkungan pergaulan generasi muda, pada beberapa level, dipenetrasi oleh rasa ketertarikan yang tinggi terhadap musik, dimana banyak anak muda menggunakannya sebagai suatu ”pelumas sosial” dan menjadi satu hal penting yang menjadi ”wacana utama” mereka seputar bahasa serta terminologi musik rock. Selain itu, musik juga memberikan nilai-nilai inti dari beberapa subkultur kaum muda (Hebdige, 1979; Roe, 1989; Lull, 1989). Generasi muda terekspose nilai-nilai yang ada dalam musik tersebut dan mengintegrasikannya ke dalam substansi kehidupan mereka sehari-hari (Lull, 1989). Dengan demikian, hal tersebut menegaskan bahwa semakin sulit untuk menghindar dari suatu kesimpulan, yang hanya tinggal menunggu waktu dan menyatakan, adalah musik, bukan televisi, yang menjadi media paling penting bagi generasi muda (Roe dan Lull, 1989). Terlihat jelas indikasi-indikasi bahwa anak-anak dan generasi muda tidak berhubungan dengan media atau sekolah dalam kevakuman sosial dan budaya. Pada masa ini kecenderungan menjadi anggota peer group sangat kuat. Kaum muda menginginkan teman dan menjadi bagian dari ikatan di antara sesama mereka, sehingga membatasi pengaruh orang dewasa seperti orang tua dan guru. Interaksi yang intensif ini disertai dengan fenomena yang disebut peer pressure atau tekanan teman sebaya. Peer pressure ini biasanya meliputi cara berbicara, berpakaian sampai dengan tingkah laku (Hendratno, 2005). Dengan demikian, dalam hal ini menunjukkan bahwa peer group memegang peranan penting sebagai faktor mediasi antara individu-individu, kehidupan mereka di sekolah, dan media yang diidentifikasi. Sehingga, pada sosialisasi sekunder, dapat dikatakan bahwa secara umum peer group, dan khususnya subkultur anak muda, dalam hal ini berperan menjadi fungsionaris kelembagaan atau agen sosialisasi yang berpengaruh (significant others) terhadap kemungkinan terjadinya internalisasi kembali subdunia berlandaskan
kelembagaan dan pada umumnya merupakan kenyataan-kenyataan parsial yang berbeda dengan ”dunia dasar” yang diperoleh dalam sosialisasi primer. Berdasarkan fakta tersebut, Roe dalam Lull (1989) kemudian melakukan spesifikasi ulang atas perspektif teoritis ortodoks school-media relationship dengan menggabungkan peer group secara umum dan khususnya subkultur-subkultur generasi muda seperti terlihat pada gambar berikut:
ASPECTS OF SCHOOL EXPERIENCE
lead to
INVOLVEMENT IN CERTAIN PEER GROUPS AND SUBCULTURES RATHER THAN OTHERS
which has effect upon
THE USES OF AND GRATIFICATIONS OBTAINED FROM DIFFERENT MEDIA
Gambar 7. Fully Respecified Perspective on School-Media relationship (Roe, 1989)
Spesifikasi ulang Roe tersebut, dengan menekankan peran penting peer group sebagai fungsionaris kelembagaan atau agen sosialisasi dalam sosialisasi generasi muda, berarti sejalan dengan asumsi teori hubungan sosial (Suprapto, 2006). Teori tersebut menyatakan bahwa dalam menerima pesan-pesan komunikasi melalui media, orang lebih banyak memperoleh pesan itu melalui hubungan atau kontak dengan orang lain daripada menerima langsung dari media massa. Dengan demikian, hubungan sosial yang informal merupakan salah satu variabel yang turut menentukan besarnya pengaruh media, termasuk musik, dalam proses sosialisasi generasi muda.
2. 5. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya, individu-individu terlahir sebagai manusia ke dunia ini tidak mengetahui apa-apa tentang diri dan lingkungannya. Individu memiliki diri apabila pikiran telah berkembang setelah melalui suatu proses sosial yang disebut sosialisasi. Sosialisasi adalah proses dimana seseorang belajar akan sikap-sikap, nilai-nilai, dan perilaku-perilaku yang tepat untuk menjadi anggota suatu kebudayaan tertentu. Sebagai proses sosial, sosialisasi tidak hanya terjadi sekali. Sosialisasi merupakan suatu proses yang terus terjadi selama hidup individu. Sosialisasi mengkonstruksi diri individu secara sosial dan tidak berlangsung dalam ruang hampa. Akan tetapi, di dalamnya terdapat berbagai kekuatan sosial atau agen sosialisasi sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi kontinuitas dan keberlangsungan proses sosialisasi individu. Tanpa agen sosialisasi tersebut, proses sosialisasi tidak akan berjalan. Individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Oleh karena itu, sebagai proses dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokulturalnya, sosialisasi berlangsung dalam tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Di era globalisasi ini, momen eksternalisasi atau fase eksposur dari musik rock underground berlangsung dalam kondisi di mana terjadi restrukturisasi sistem politik, ekonomi, dan sosial dalam skala global. Hal tersebut secara tidak langsung juga ikut mempengaruhi setiap individu dalam menyikapi kondisi lingkungan sosiokulturalnya. Sebagai makhluk sosial, adalah sudah sifat dasar manusia, individu akan selalu mencurahkan dan berusaha menyesuaikan diri ke tempat dimana ia berada. Aktivitas individu dipengaruhi oleh faktor eksternal atau faktor-faktor yang ada di luar dirinya yang terdiri dari agen-agen sosialisasi yang ada di dalam masyarakat seperti keluarga, rekan sebaya, media massa, dan lembaga pendidikan. Selain faktor eksternal, aktivitas individu juga tidak lepas dari faktor internal atau faktor yang muncul dari dalam diri individu itu sendiri yaitu faktor yang terkait dengan emosi individu sebagai respon atas kondisi lingkungan sosiokulturalnya. Proses penyesuaian diri ini, berarti terjadinya juga proses komunikasi yang tidak terjadi dalam kevakuman sosial budaya. Musik subkultur, dengan nilai-nilai
serta norma-norma yang ada di dalamnya, hadir di saat ketika individu mulai menemukan dunia lain selain dunia orang tua yang diketahuinya pada masa sosialisasi primer. Sebagai generasi muda, pada masa yang penuh gejolak ini, musik hadir di tengah-tengah interaksi antara individu dengan keluarga, media massa, lembaga pendidikan, serta rekan sebayanya. Musik menjadi salah satu produk sosial yang memiliki irama dan tema-tema berdaya tarik tinggi sebagai topik pembahasan sehari-hari yang memiliki kesesuaian emosional. Musik subkultur menjadi “kendaraan” yang baik bagi individu sebagai generasi muda untuk belajar secara sosial mengenai berbagai pemikiran-pemikiran alternatif dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Sebagai audiens, individu berusaha menangkap dirinya, dengan
mengolah berbagai informasi dari musik subkultur yang bermakna dalam pikirannya, sehingga dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia. Dengan kata lain, individu menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Selanjutnya, sebagai hasil dari momen eksternalisasi atau fase eksposur, individu melakukan objektivasi terhadap dunia musik subkultur sebagai produk sosial, baik itu produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Individu mewujudkan dunia musik subkulturnya menjadi suatu realitas obyektif sebagai bentuk ekspresi diri. Ekspresi ini ditunjukkan melalui simbol-simbol signifikan atau simbol-simbol yang memiliki makna subyektif baginya. Mulai dari t-shirt sebagai salah satu artefak, beat lagu, gaya vokal, genre, ilustrasi, lirik, nama band, stagediving, slamming, dan warna merupakan simbolsimbol penting bagi individu sebagai audiens musik subkultur. Simbol-simbol ini selain menunjukkan preferensi musik, juga menjadi tanda yang membedakan individu dengan anggota masyarakat lainnya. Sehingga, pengetahuan yang dimiliki individu sebagai audiens musik subkultur, menuntun pada tindakan yang spesifik dan menjadi tipifikasi dari beberapa anggota masyarakat. Pada akhirnya, setelah melewati momen obyektivasi atau fase konsumsi, individu sampai pada momen internalisasi, dimana ia menyerap kembali dunia objektif musik subkultur ke dalam kesadaran sedemikian rupa. Individu berusaha mengidentifikasi dirinya kepada
significant other dalam dunia musik subkultur
tempat ia menjadi anggotanya. Sebagai audiens, individu memasukkan nilai-nilai serta norma-norma musik subkultur ke dalam diri dan memahaminya. Sehingga, musik subkultur sebagai subdunia dimana individu sebagai audiens menjadi anggota memberikan kesadaran bahwa simbol-simbol signifikan yang ada merupakan pengungkapan suatu makna dari proses-proses subyektif significant other, yang juga bermakna subyektif bagi individu itu sendiri. Dengan demikian, karena individu benar-benar telah memahami dunia musik subkultur di mana ia hidup, dapat dikatakan bahwa pada titik ini individu memiliki suatu “diri” atau identitas dan sebuah dunia individu bagi dirinya.
PROSES SOSIALISASI
Musik rock underground
Faktor Eksternal:
Keluarga Sekolah Peer Group Media Massa
Fase Ekposur
Artefak Gaya vokal Genre Ilustrasi Lirik Nama band Slamming Warna
Fase Konsumsi
Identitas diri
Faktor Internal: Emosi
eksternalisasi---------------------------------------obyektivasi--------------------------------internalisasi
Gambar 8. Skema proses konstruksi identitas diri individu
2.6. Definisi Konseptual Definisi konseptual adalah penjelasan pengertian mengenai beberapa peubah. Agar terdapat kesamaan pengertian dalam penelitian ini, maka berikut ini didefinisikan istilah yang dipakai yaitu:
Sosialisasi adalah proses dimana seseorang belajar akan sikap-sikap, nilai-nilai, dan perilaku-perilaku yang tepat untuk menjadi anggota suatu kebudayaan tertentu. Tengkorak band, sebagai salah satu agen sosialisasi,
secara tidak
langsung mempengaruhi proses sosialisasi dalam munculnya konsep diri atau konstruksi identitas audiensnya. Sosialisasi dalam penelitian ini adalah bagaimana individu sebagai audiens musik indie berinteraksi dengan agen-agen sosialisasi dalam lingkungan sosialnya (keluarga, sekolah, media massa, dan rekan sebaya), sehingga dari proses tersebut menjadikan musik sebagai elemen penting dalam kehidupan sehari-hari individu.
Individu adalah orang-perseorang atau organisme yang hidupnya berdiri sendiri. Individu dalam penelitian ini adalah audiens Tengkorak band.
Eksternalisasi adalah proses penyesuaian diri individu dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Eksternalisasi dalam penelitian ini adalah interaksi audiens Tengkorak band dengan agen sosialisasi dan emosi dirinya sehingga membawa individu kepada musik Tengkorak band.
Obyektivasi adalah interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Obyektivasi dalam penelitian ini adalah pemanfaatan simbol-simbol signifikan Tengkorak band sebagai bentuk ekspresi diri individu.
Internalisasi adalah individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembagalembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Internalisasi dalam penelitian ini adalah individu mengidentifikasikan dirinya dengan Tengkorak band sehingga menjadi audiens dengan kesadaran kritis.
Faktor Eksternal adalah faktor-faktor sosial atau faktor-faktor berpengaruh yang ada di luar diri individu dan merupakan stimulus untuk membentuk atau
mengubah perilaku. Faktor eksternal ini dilihat melalui apa yang audiens lakukan (perhatikan, ingat, dan serap) dalam interaksinya dengan agen-agen sosialisasi dalam lingkungan sosiokulturalnya, yaitu: 1. Keluarga adalah pengelompokan kekerabatan yang menyelenggarakan pemeliharaan anak dan kebutuhan manusiawi tertentu. Keluarga audiens meliputi keluarga inti (adik dan kakak) dan keluarga luas (saudara tidak sekandung, misalnya: sepupu). 2. Rekan sebaya (peer group) adalah suatu kelompok yang para anggotanya ”setara”. Peer group dikategorikan: teman sepergaulan yang seringkali menjadi sumber informasi dan menambah pengetahuan audiens tentang kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun lingkungan tempat tinggal. 3. Media massa adalah media yang terdiri atas media cetak dan media elektronik serta diidentifikasi sebagai suatu agen sosialisasi yang berpengaruh terhadap perilaku khalayaknya. Media massa ini bersifat mainstream maupun alternatif dan sering digunakan oleh audiens dalam mencari informasi dan menambah pengetahuan tentang kehidupan sehari-hari. Media cetak meliputi surat kabar, tabloid dan majalah. Media elektronik dikategorikan: radio, film, televisi, internet, video, piringan hitam, kaset, compact disc (cd). 4. Sekolah adalah suatu sistem sosial yang memiliki sejumlah peranan, status, dan
hubungan-hubungan
sendiri,
yang
beberapa
diantaranya
dapat
diperlihatkan melalui sebuah sosiogram. Sekolah dikategorikan tempat pendidikan formal (SD, SMP, SMA, Universitas) dan pendidikan informal (lembaga-lembaga kursus) yang pernah dijalani audiens dan berbagai pengalaman yang dialami di dalamnya.
Faktor Internal adalah faktor-faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri (psikologis)
dan menjadi salah satu faktor yang membentuk atau
mempengaruhi perilaku. Faktor internal audiens diketahui dengan menanyakan pemikiran dan motif audiens. 1. Emosi, yaitu suatu pernyataan mental serta psikologis yang berasosiasi dengan berbagai bentuk perasaan, pemikiran, dan perilaku. Emosi audiens
meliputi perasaan apa saja yang ada pada diri dan mendorong mereka untuk menggunakan musik indie, seperti ketidakpuasan, kemarahan, dan kesadaran.
Simbol-simbol signifikan adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Dalam penelitian ini, simbol-simbol signifikan dalam musik indie diketahui dari interpretasi atau makna apa yang ada dalam pikiran audiens terhadap: 1. Artefak adalah berbagai jenis benda yang dihasilkan dari kecerdasan manusia dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia serta dalam interaksi manusia, seringkali mengandung makna tertentu. Artefak ini meliputi: pakaian, stiker, badge, dan poster yang berkaitan dengan preferensi musik audiens. 2. Gaya vokal/parabahasa adalah merujuk pada aspek-aspek selain ucapan yang dapat dipahami, meliputi kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara, geraman, gerutuan, dan dialek. Gaya vokal band indie Tengkorak, meliputi growls (geraman) dan high-pitched shrieking (nada tinggi). 3. Genre adalah suatu kategorisasi serta konstruk tipologi yang menunjukkan bunyi musik yang dimiliki suatu kategori atau tipe musik yang membedakan dengan tipe-tipe musik lainnya, meliputi: rock underground (grindcore). 4. Ilustrasi adalah suatu teknik penyampaian pesan dengan menggunakan gambar garis atau foto pada kaset maupun cd. Foto adalah gambar yang dibuat dengan teknik fotografi melalui kamera. Gambar garis adalah gambar hasil lukisan tangan dengan menggambar bagian-bagian yang diinginkan atau penting saja. Ilustrasi meliputi gambar garis atau foto yang terdapat pada cover kaset, cd atau t-shirt Tengkorak band yang dimiliki oleh audiens. 5. Lirik adalah kata benda yang berarti sajak untuk nyanyian yang melukiskan perasaan. Lirik meliputi teks lagu-lagu yang ada pada kaset atau cd hasil karya Tengkorak band.
6. Nama (band) adalah dimensi atau fungsi pertama dari bahasa dan menjadi simbol pertama dan utama bagi band tersebut yang memiliki makna tertentu. Nama band di dalam penelitian ini adalah nama band indie, Tengkorak. 7. Stagediving dan slamming adalah bentuk komunikasi antara musisi dan audiens yang merupakan simbolisasi tidak adanya jarak fisik maupun psikis serta kesadaran tidak adanya perbedaan-perbedaan “kelas” di pihak-pihak yang berinteraksi. Stagediving dikategorikan aksi melompat dari sebuah panggung konser ke arah kerumunan audiens yang berada di bawahnya dan slamming dikategorikan saling melemparkan tubuh atau membenturkan badan sesama audiens pada saat pertunjukan Tengkorak band berlangsung. 8. Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna putih). Warna meliputi warna pakaian, dan artefak lainnya yang seringkali muncul & digunakan pada aktivitas audiens.
Identitas diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita atau suatu ciri seseorang secara khas yang membedakannya dari orang lain. Identitas audiens dilihat dari sejauhmana komitmen audiens terhadap musik dan mengidentifikasi dirinya dengan significant other atau kelompok musik indie yang menjadi role model-nya dalam aktivitas sehari-hari.
III. METODE PENELITIAN
3. 1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan strategi studi kasus. Penelitian kualitatif menurut Strauss dan Corbin (2003) adalah penelitian tentang kehidupan, riwayat dan perilaku seseorang, di samping juga tentang peran organisasi, pergerakan sosial atau hubungan timbal balik. Desain penelitian menggunakan pendekatan studi kasus yang bersifat deskriptif. Desain tersebut digunakan dengan maksud untuk mengetahui fenomena sosial tertentu, namun tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi tentang data. Hal itu dimaksudkan juga untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan tuntas melalui kasus-kasus yang diambil (Vredenbergt, 1979; Yin, 1989). Kasus gerakan sosial baru dalam penelitian ini adalah musik rock underground Tengkorak band. Tengkorak band dipilih karena termasuk dalam kategori musik subkultur oposisi yang merupakan manifestasi dari gerakan sosial baru. Di samping itu, Tengkorak band juga mewakili komunitas musik rock underground yang resisten terhadap budaya musik rock underground barat Zionis. Dalam penelitian ini kasus khalayak ditentukan berdasarkan status sosial mereka. Hal ini dilakukan untuk dapat mengetahui sejauhmana kekuatan simbolsimbol signifikan Tengkorak band dalam proses konstruksi identitas audiensnya di berbagai lapisan masyarakat. Peristiwa simbolik yang diikuti oleh peneliti di dalam penelitian ini adalah pertunjukan Tengkorak band di Bulungan outdoor, Jakarta Selatan (Minggu, 29 Juni 2008), pertunjukan Tengkorak band di Taman Topi, Bogor (Sabtu, 9 November 2008), dan pertunjukan Tengkorak band di Balai Pemuda, Surabaya (Sabtu, 15 Oktober 2010). Peneliti mengikuti aktivitas ini karena di dalam pertunjukan tersebut memungkinkan
peneliti
melakukan
pengamatan
terhadap
pemusik
maupun
audiensnya sehingga diperoleh data dari simbol-simbol signifikan yang ada dalam peristiwa tersebut.
Penelitian ini dilakukan di Jakarta. Sedangkan waktu penelitian adalah pada Juli 2008 sampai dengan Desember 2010, di mana pengumpulan data lebih ditekankan pada aspek kontekstual, yaitu proses pembentukan identitas dan kondisi yang mendukung lahirnya gerakan sosial baru. Penelitian ini tidak dikonstruksi melalui instrumentasi ketat dan peubahpeubah, tetapi dikonstruksi melalui makna yang tercermin dalam realitas. Penelitian dilakukan melalui klasifikasi mengenai fenomena atau gejala sosial yang dipermasalahkan untuk menyusun suatu hasil penelitian deskriptif mengenai realitas sosial yang kompleks dalam bentuk tampilan kalimat yang lebih bermakna dan mudah dimengerti. Dalam hal ini, menurut Vredenbergt (1979) di dalam pengumpulan data, seorang peneliti dibimbing oleh suatu conceptual outline yang berhubungan dengan masalah penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dibangun dalam bentuk instrumentasi berupa pedoman-pedoman pertanyaan yang bersifat luwes dan dikembangkan pada saat di lapangan melalui wawancara bebas (indepth interview) disertai pengamatan langsung terhadap informan, dan dokumentasi yang relevan tentang konstruksi identitas audiens Tengkorak band. 3. 2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang secara langsung diperoleh melalui sebuah penelitian yang berupa kata-kata atau tindakan dengan: 1. Teknik wawancara, baik itu wawancara mendalam (indepth-interview) terhadap individu yang merupakan audiens Tengkorak band. 2. Observasi dilakukan peneliti dengan mengikuti dan melibatkan diri dalam aktivitas pertunjukan musik rock underground Tengkorak band, terutama yang melibatkan audiensnya. 3. Melakukan pengamatan terhadap pemusik maupun audiensnya pada saat pertunjukan berlangsung di Bulungan outdoor, Jakarta Selatan (Minggu, 29 Juni 2008), pertunjukan Tengkorak band di Taman Topi, Bogor (Sabtu, 9 November
2008), dan pertunjukan Tengkorak band di Balai Pemuda, Surabaya (Sabtu, 15 Oktober 2010). Sedangkan, data sekunder diperoleh peneliti dari hasil studi kepustakaan seperti: 1. Karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) 2. Artikel-artikel di media massa (Majalah NewsMusik No. 24/III/2002 dan Sabili No. 13/XVII/2010) 3. Foto-foto 4. Dokumen-dokumen yang berkaitan dan mendukung penelitian seperti lirik lagu, ilustrasi pada sampul album dan t-shirt Tengkorak band. Melalui dokumendokumen ini peneliti berupaya melakukan penggalian data tentang makna simbolsimbol signifikan Tengkorak band
baik yang ada pada audiensnya maupun
Tengkorak band sendiri. Selama penggalian informasi di lapangan, peneliti menggunakan alat bantu perekam suara (voice recorder) dan kamera digital untuk merekam apa yang disampaikan maupun dilakukan informan kunci dan para informan. Kemudian memasukkan informasi yang diperoleh ke dalam catatan lapangan dalam bentuk transkrip hasil wawancara. Penggunaan voice recorder dan kamera digital diperlukan agar pencatatan data hasil wawancara dapat dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Penggunaan kedua alat bantu tersebut dalam penelitian ini telah memperoleh persetujuan informan. Penentuan informan dilakukan dengan prinsip convenience (kemudahan). Ruslan (2003) menyatakan bahwa penentuan informan dengan cara ini berdasarkan kemudahan dalam memilih unsur populasi (orang atau peristiwa) yang datanya berlimpah dan mudah diperoleh oleh peneliti. Artinya, peneliti memiliki kebebasan untuk memilih sumber informasi yang paling cepat, mudah dan murah. Dalam penelitian ini, peneliti sendiri merupakan salah seorang personil Tengkorak band.
Secara umum, batasan subyek penelitian ini meliputi (1) generasi muda yang menjadi audiens kelompok musik rock underground Tengkorak band, (2) memiliki hasil rekaman, baik itu kaset atau compact disc (cd), atau pun artefak lainnya seperti t-shirt, stiker, dan poster dari Tengkorak band, (3) pernah menyaksikan pertunjukan Tengkorak band, (4) masih aktif terlibat dengan musik rock underground. Dari penelusuran di lapangan, peneliti memilih dan menggunakan sumber data yang dikelompokkan sebagai berikut: Matriks 5. Karakteristik Informan No
Nama
1
Ombat Nasution (informan kunci)
2
3
Aries Zona Febrian
Maraja Saimima
Jenis Kelamin /Umur
Pekerjaan
Alasan Pemilihan
Laki-laki/ 38thn
Pengacara
Pendiri dan vokalis Tengkorak band serta pencipta salam satu jari
Laki-laki/
Laki-laki/
-
Pelajar
Anggota senior sebuah komunitas penggemar musik rock underground, di wilayah Ciranggon, Karawang Memiliki kaset Metalik Klinik 1 Sering menyaksikan penampilan Tengkorak band. Suka memainkan lagu ”Konflik” milik Tengkorak band bersama temantemannya Anggota sebuah komunitas penggemar musik rock underground, di wilayah Ciranggon, Karawang Mengkoleksi semua album Tengkorak band Memiliki t-shirt Tengkorak ”Agenda Suram” Sering menyaksikan penampilan Tengkorak band. Hafal beberapa lirik dan suka menyanyikan lagu Tengkorak band bersama teman-temannya
Matriks 5. Karakteristik Informan No
4
5
Nama
Handy Hariyanto
Trias Sari
Jenis Kelamin /Umur
Pekerjaan
Alasan Pemilihan
Buruh
Meneteskan air mata ketika mendengar Tengkorak akan membubarkan diri Mengkoleksi semua album Tengkorak band Memiliki t-shirt Tengkorak band dengan ilustrasi ”Konsentrasi Massa” Sering menyaksikan penampilan Tengkorak band. Hafal beberapa lirik dan suka menyanyikan lagu Tengkorak band bersama teman-temannya
Laki-laki/
Perempuan /40thn
Karyawati swasta
Setahun ini sering menyaksikan pertunjukan Tengkorak band, terutama di Surabaya Memiliki mp3, stiker dan t-shirt Tengkorak band berilustrasi ”A.S.U” Mengaku penggemar berat vokalis Tengkorak band
3. 3. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh melalui penelitian ini merupakan data kualitatif dan dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang berlanjut, berulang, dan terus-menerus. Analisis data dalam penelitian ini berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data. Di antaranya meliputi tiga jalur, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles & Huberman 1994). Reduksi data merupakan bentuk analisis yg menajamkan, menggolongkan, mengarahkan membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan akhir dapat diambil. Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penarikan kesimpulan juga mencakup verifikasi atas kesimpulan. Kesimpulan2 diverifikasi selama penelitian berlangsung dengan cara: (1) memikir ulang selama penulisan, (2) tinjauan ulang pada catatancatatan lapangan, (3) mengembangkan "kesepakatan intersubyektif", dan (4) upaya-
upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Ketiga kegiatan analisis tersebut merupakan proses siklus dan interaktif. Data selanjutnya disunting, untuk menentukan kelengkapan data dan keabsahan data. Keabsahan data dicek ulang dengan membandingkan antar data. Seluruh data primer dan sekunder ditelaah. Pada analisis untuk suatu topik masalah menghimpun fakta-fakta menurut unit analisis. Baru kemudian data-data dalam unit analisis yang sama dipisah lagi menurut konsep-konsep penting yang dijadikan dasar untuk menyederhanakan gambaran himpunan. Ketiga tahapan tersebut berlangsung secara simultan. Analisis data ini terlihat dalam gambar 9.
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data
Simpulan:Verifikasi
Gambar 9. Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif (Miles dan Huberman, 1992)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. Sejarah Musik Rock (pattern of resistance) Tidak ada sumber tulisan yang menyebutkan usia musik rock dengan pasti. Sejarah rock dalam literatur memiliki versinya sendiri-sendiri. Beberapa sumber menyebutkan rock’n’roll lahir di akhir 1951, saat penyanyi Johnny Ray tampil atraktif di atas panggung atau ketika Elvis Presley pada bulan Juli 1954 muncul. Atau pada Maret 1955 saat film Blackboard Jungle melesatkan ”Rock Around the Clocknya” Bill Haley. Oleh karena itu, sering terjadi perdebatan mengenai asal muasal rock’n’roll di awal 1950-an, serta lagu apa yang pertama kali benar-benar rock. Rock dibentuk dari hibridisasi berbagai macam roots menjadi suatu identitas yang orang-orang menyebutnya sebuah genre baru (lihat lampiran). Hal tersebut dieksplorasi dan dikembangkan oleh banyak orang. Lagu Bill Haley ini tercatat sebagai lagu rock pertama yang menjadi hit serta mengejutkan kesadaran nasional. Elvis, Carl Perkins, Jerry Lee Lewis, dan Roy Orbison, para bintang rock kala itu, pertama kali muncul di bawah bendera Sun Records, satu dari sekian banyak record label yang memproduksi musik rock serta musik blues Howlin’ Wolf dan juga musik country Johny Cash. Musik rock sendiri mengalami perkembangan pesat pada awal tahun 60-an di Amerika. Pada masa ini, rock menjadi agen resistensi situasi dalam negeri tentang hak-hak rakyat sipil Amerika terlihat sampai pertengahan tahun 1960. Aktivis-aktivis Amerika keturunan Afrika (Afro-Amerika) menggambarkan tradisi menyanyi mereka sebagai objektivasi dalam memperoleh keadilan dan kebebasan. Melalui lagulagunya, mereka menyuarakan protes, membangun komunitas, menjadikan model sebuah demokrasi, dan memfasilitasi sebuah pandangan akan sebuah dunia yang lebih baik. Di era ini, sound yang muncul mulai diperkeras dengan adanya organ, dan pemakaian tamborin. Selain itu, ditandai juga dengan munculnya warna surf rock dan folk rock. Surf rock lahir di kawasan pantai Amerika (terutama di pantai barat) sebagai musiknya para peselancar. Kelompok Beach Boys tercatat sebagai pengusung surf rock yang paling berkibar. Sementara folk rock merupakan perpanjangan tangan
dari musik folk. Mengangkat isu politik dan sosial dalam lirik sekaligus balutan musik elektrik, folk rock melesatkan penyanyi seperti Bob Dylan dan Joan Baez. Pertengahan tahun 1960-an sampai dengan awal tahun 1970-an, tema anti perang Vietnam muncul ke permukaan. Ini merupakan ilustrasi akan kekuatan musik yang paling tidak diharapkan sebagai agen resistensi. Masyarakat Amerika terluka oleh keterlibatan permusuhan di Vietnam, gerakan menuntut hak-hak rakyat sipil, credibility gap dan generation gap, masalah keprihatinan kaum feminis, meningkatnya penggunaan obat-obat terlarang di kalangan generasi muda kelas menengah ke atas, pembunuhan atas beberapa pemimpin negara yang sangat karismatik dan kesadaran baru akan pentingnya isu lingkungan. Era ini ditandai dengan sound gitar elektrik dan grup berformasi empat serta melahirkan beberapa subgenre musik rock juga musisi maupun band seperti Jimi Hendrix, Eric Clapton, Alvin Lee, Grateful Dead, Jefferson Airplane, Quicksilver Messenger Service sampai dengan Big Brother and Holding Company. Ketika perang Vietnam usai, industri musik dan radio kembali normal. Musik politis jarang ditemukan. Inilah era berakhirnya booming musik rock. Lahirnya subgenre heavy metal lebih mengarah pada jalur pelarian hedonis dari masalahmasalah personal atau murni hiburan. Industri musik sempat mengalami destabilisasi ketika Sex Pistols, The Clash, dan band punk lainnya muncul di London, Inggris. Era 1980-an ini, dari punk juga lahir genre new wave yang oleh Rick Carroll, program director radio KROQ-FM di Los Angeles, Amerika Serikat, disebut dengan “rock of the eighties”. Beberapa stasiun radio mengalami polemik apakah perlu memutar musik dari B 52’s, Talking Heads, dan The Police. Banyak kolaborasi antara musik rock dan pop pada masa ini, salah satunya adalah Usa for Africa yang menghasilkan 50 juta dollar untuk mengurangi kelaparan di Etiopia. Rock of eighties ini dikenal dengan sound yang serba elektronik–komputer, keyboard, dan synthesizer. Mulai akhir tahun 1980-an sampai saat ini, musik rock begitu beragam. Pada era informasi ini tidak ada lagi yang mendominasi. Jika ada yang muncul dengan sound yang serba ”industrial” itu bukan varian baru. Rock kemudian menjadi payung besar yang menaungi berbagai macam genre musik, mulai dari hard rock, heavy
metal, speedmetal, acid rock, psychedelic rock, glam rock, punk rock, art rock, jazz rock, trashmetal, grindcore, hipmetal, hingga nu metal. Apa pun sebutannya, semua jenis musik itu akan merujuk pada satu kata: rock. Di Era ini, dikarakterisasi dengan fenomena berakhirnya perang dingin yang mengakibatkan perubahan struktur sosial dalam skala global. Disintegrasi Uni Soviet sebagai salah satu kekuatan akibat globalisasi menjadikan Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di dunia baik secara ekonomi maupun politik. Tidak ada lagi ancaman militer yang signifikan bagi Amerika Serikat di dunia sehingga pemerintah Amerika lebih fokus pada industri budaya. Peranan CIA termarjinalisasi dan digantikan oleh perwakilan dagang (trade representatives) sebagai representasi dari kepentingan pemerintah Amerika Serikat mulai dari para ahli ekonomi, investor, dan berbagai komunitas bisnis. Selama Amerika Serikat masih melakukan intervensi secara intens di wilayah Timur Tengah, Amerika Tengah, dan berbagai wilayah lainnya di dunia, para musisi rock underground akan terus menghasilkan musik protes terhadap kebijakan luar negeri pemerintahan negara tersebut. Salah satu suara protes tersebut muncul dari band subkultur asal Amerika Serikat sendiri yaitu Dead Kennedy’s band. Berikut lirik yang merefleksikan kekecewaan mereka terhadap kebijakan pemerintahan Amerika Serikat: In the name of world peace, in the name of world profits America pumps up our secret police, America wants fuel To get it, it need puppets, So what’s ten million dead If it’s keeping out the Russians? When cowboy Ronnie comes to town, forks out his tounge at human rights... Smile at the mirror as cameras click, and make big business happy C’mon bleed...bleed for me
Perkembangan tema musik rock era permulaan sampai tema terakhir, dapat dilihat pada matriks 6 berikut ini: Matriks 6. Perkembangan Musik Rock Era
Tema
1950-1965
Protes akan situasi nasional dalam negeri tentang hak-hak rakyat sipil Amerika
1965-1975
Anti perang Vietnam dan kesadaran baru akan pentingnya isu lingkungan
1975-1986
Kebebasan berekspresi (katarsis dan hiburan)
1986-2011
Resistensi terhadap intervensi pemerintah Amerika Serikat
Dari matriks di atas terlihat bahwa musik rock dari tahun ke tahun mengalami perubahan tema. Meski tidak selalu terjadi dalam kurun waktu tertentu, perubahan tema yang disuarakan secara tidak langsung merefleksikan situasi sosial pada masa tersebut serta perasaan masyarakat dimana musik rock tersebut disuarakan. Dengan demikian, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir mayoritas terlihat resistensi masyarakat dunia mengarah kepada satu kekuatan negara adidaya yaitu Amerika Serikat. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa musik memiliki peranan penting dalam komunikasi antarmanusia. Sebagai manifestasi pergerakan sosial musik rock underground merupakan bentuk ekspresi manusia yang potensial dalam memobilisasi hati dan pikiran. Musik rock underground merupakan komunikasi simbolik yang dapat menjadi tema sebuah protes tentang kondisi sosial seperti yang terlihat pada era 1950-1965, era 1965-1975, dan era 1986-2011. Musik rock underground merupakan sebuah refleksi dan respons terhadap situasi kehidupan yang mengkonfirmasi identitas budaya penciptanya. 4. 2. Perkembangan Musik Rock di Indonesia Genre musik Indonesia selalu sinkretis dan menyerap pengaruh dari luar. Usaha mempribumikan musik asing dimulai jauh sebelum derasnya pembicaraan tentang ”musik dunia” atau ”globalisasi” saat ini, dan jauh sebelum munculnya minat dalam pemasaran musik rekaman secara internasional.
Pada abad 20, perubahan dalam teknologi rekaman dan praktik pemasaran barat juga mempengaruhi pola produksi dan konsumsi musik di Indonesia. Alat musik gramofon Columbia buatan AS diimpor ke Hindia Belanda pada awal 1900-an. Pada awal tahun-tahun sebelum perang, ada tiga perusahaan rekaman milik Cina di wilayah jajahan ini, dua di Batavia dan satu di Surabaya dengan pasar kecil di kalangan elit perkotaan. Musik populer di Indonesia mulai berkembang sejak 1950-an. Saat itu festival musik, pergelaran musik, dan misi kesenian (yang mencakup musik) mulai banyak diadakan. Di tahun 1951, untuk pertama kali Radio Republik Indonesia (RRI) mengadakan pemilihan ”bintang radio”. Di tahun 1959 berdiri Persatuan Warga Musik Indonesia (PWMI), suatu organisasi yang bertujuan menyatukan semua tenaga musik yang masih berpencaran. Pada 1951, sebuah perusahaan pribumi, Irama, mulai memproduksi rekamanrekaman piringan hitam, diikuti pada oleh Remaco dan Dimita. Lokananta, perusahaan rekaman milik negara yang didirikan di Solo tahun 1955, segera mendominasi industri rekaman dalam negeri, berkonsentrasi hampir secara eksklusif pada musik-musik Jawa (Philip Yampolsky. Lokananta: A Discography of the National Recording Company of Indonesia 1957-1985, Center for South-East Asian Studies, University of Wiscounsin, Madison, 1987). Dominasinya berlangsung singkat, karena perubahan teknologi di tahun 1960-an mengakibatkan masuknya perusahaan serta teknik produksi yang baru ke dalam industri ini. Pada pertengahan dasawarsa 1950-an itu berkembang jenis musik rock’n’roll yang diperkenalkan Bill Halley and The Comets dan kemudian dipopulerkan oleh Elvis Presley. Bahkan, di Amerika Serikat, musik ini mendapatkan sorotan keras dari para “pengawal budaya” karena dianggap mengancam nilai-nilai budaya dominan. Lewat medium piringan hitam, rock’n’roll masuk Indonesia dan menjadi populer di kalangan anak-anak muda golongan menengah kota besar yang jumlahnya sangat terbatas. Pada 1960-an, pengaruh musik rock’n’roll diperkuat dengan masuknya jaringan hitam kelompok-kelompok musik Inggris seperti The Shadows dan The Beatles.
Dalam perkembangan sejarah musik Indonesia belum pernah terjadi bahwa kaum muda total gandrung kepada musik asing seperti terjadi pada tahun-tahun itu. Suatu situasi yang secara kultural-politis sangat memprihatinkan penguasa pada satu pihak, akan tetapi juga sekaligus merisaukan para orang tua dan para pejuang kebangsaan yang sedang mencari bentuk jati diri budayanya sebagai sebuah bangsa. Di satu sisi ada upaya memberi bentuk, watak, dan cara-cara baru pengucapan musik yang dapat mencitrakan cita rasa ke-Indonesiaan. Namun, pada sisi lain, kuatnya pengaruh budaya musik bebas nilai yang datang dari luar melanda begitu kuat kaum mudanya seperti tidak pernah dapat dibendung. Presiden Sukarno, dalam pidatonya 17 Agustus 1959 (ketika memaparkan suatu ‘manifesto politik’ atau ‘manipol’) mendesak anak-anak muda untuk melawan kebudayaan dari yang disebutnya sebagai negara-negara nekolim (neo-kolonialis dan imperialisme) barat: “dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya anti imperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock’n’roll-rock’n’roll-an, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musikmusikan ala ngak-ngik-ngek gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi?”. Kritik tersebut menjadi dorongan bagi tumbuhnya musik pop Indonesia yang lebih nasionalistis. Band-band menghidupkan kembali lagu-lagu lama dengan gaya baru. Lagu standar keroncong yan terkenal, ”Bengawan Solo”, dibawakan dalam gaya musik rock dan cara menyanyi gaya Elvis. Setelah keputusan September 1959 oleh DPA untuk mengadopsi prinsip-prinsip manipol presiden sebagai GBHN, terjadi pelarangan atas lagu-lagu barat yang dianggap ngak-ngik-ngok. Musik rock barat populer oleh artis-artis seperti Elvis Presley dan The Beatles dikeluarkan dari radio Pemerintah. Rekaman-rekaman musik rock dikumpulkan dan dibakar di depan umum. Namun, kecaman resmi dari pemerintah malah mengubah rock menjadi simbol perlawanan terhadap otoritas negara: album-album asing diselundupkan dan anak-anak muda Jakarta menyetel siaran gelombang pendek dari luar negeri.
Periode tahun 1960-an banyak dianggap memunculkan musik-musik murahan yang bersifat kedaerahan atau berbau agitasi politik, serta kurang memenuhi selera baik musik. Banyak orang tak profesional yang hanya berbekal berani tampil muncul sebagai idola-idola baru musik yang semata-mata telah menjadi pentas dunia hiburan. Musik modern Indonesia yang sedang tumbuh semakin kehilangan basis orientasi keseniannya lalu berbalik menjadi semata-mata komoditi kesenangan yang tak jelas arah perkembangannya dan tak jarang menjadi alat pencari kuasa politik. Di awal dasawarsa 1960-an tersebut, anak-anak dari golongan kaya, yang mampu membeli peralatan musik seperti gitar, mulai membentuk kelompok band. Mereka ini memainkan lagu-lagu barat populer dari kelompok yang baru mereka dengar seperti Everly Brothers atau pun irama jenis baru (rock’n’roll), The Beatles dari piringan hitam yang mereka dengar. Los Suitama, Eka Djaja Combo, The Shadow, Koes Bersaudara adalah beberapa dari yang melakukan hal ini. Menjelang pertengahan dasawarsa 1960-an, kelompok-kelompok seperti ini mulai menyanyikan lagu sendiri yang jelas terpengaruh lagu-lagu asing yang sering mereka bawakan. Pada masa ini di berbagai kota mulai dikenal festival band. Perubahan politik pada 1965-1966 membuka kembali pasar Indonesia bagi produk musik barat serta mendorong tumbuhnya kelompok band pop baru. Mereka menggabungkan yang sebelumnya dilarang sebagai rock barat ke dalam lagulagunya. Lagu-lagu dari kelompok-kelompok rock barat seperti The Rolling Stones, Deep Purple, maupun lagu-lagu dari kelompok Indonesia seperti Rollies serta Godbless, terus menerus diputar di stasiun-stasiun radio amatir, begitu pula d
lam
pertunjukkan konser-konser rock yang digelar di kota-kota besar di Indonesia. Penyanyi utama Rolling Stones, Mick Jagger, memiliki pengaruh yang luar biasa terutama pada band-band di Bandung. Nama, kebiasaan maupun judul lagu Rolling Stones, telah menjadi semacam standar ”kebudayaan” kaum muda Indonesia. Politik ”pintu terbuka” membawa konsekuensi terjadinya arus penyatuan dengan budaya populer dunia. Berbagai macam produk budaya yang berasal dari negeri-negeri kapitalis maju memasuki Indonesia. Gaya hidup kaum muda barat masuk ke Indonesia melalui media massa, di masa itu kebanyakan majalah hiburan
menyadur tulisan dari majalah luar negeri. Majalah-majalah hiburan Indonesia mayoritas menyajikan tulisan-tulisan mengenai gaya hidup pemuda negara-negara Eropa/Amerika, salah satunya adalah kaum hippies. Mereka bagian dari youth counter-culture yang menggugat kemapanan masyarakat kapitalisme industri maju yang tidak memberikan kebahagiaan kepada mereka, sebaliknya justru bersifat menindas. Rock juga merupakan bagian dari counter-culture ini. Akan tetapi di tahun 1970-an rock mengalami masalah. Musik yang oleh para pendukungnya pada 1960an dianggap bisa mengubah dunia menjadi lebih baik itu, di awal 1970-an mulai terserap dalam dunia bisnis dan berubah menjadi industri hiburan. Saat rock mengalami kondisi seperti inilah, musik ini dengan segala perniknya membanjiri Indonesia. Kaum muda perkotaan Indonesia mulai meniru gaya hidup kaum muda barat, meski untuk alasan yang tidak sama. Anak-anak muda perkotaan mulai muncul dengan rambut panjang dengan celana jeans yang lebar di bagian bawahnya. Lakilaki dan perempuan pun menghisap ganja dan tak jarang mempraktekkan seks bebas. Guruh Soekarnoputra misalnya, mengikuti flower generation (hippies) di barat, tahun 1970-an membentuk band yang dinamakan Flower Poetman yang anggotanya berambut gondrong, menyanyi dengan pakaian bunga-bunga, dan menyelipkan bunga di telinga. Mereka kemudian juga ikut yoga dan menghisap ganja. Di tahun 1970-an, konser musik rock sangat sering diadakan di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, Medan, Malang, dan Surabaya. Menurut Sawung Jabo dan Suzan Piper, musik ini ”menggusur musik populer yang lembut dan menggantikannya dengan lagu-lagu dari band Black Sabbath, Led Zeppelin, dan Deep Purple.” Keributan berupa perkelahian atau pelemparan ke atas panggung oleh penonton yang tidak puas, banyak mewarnai pertunjukkan musik rock. Begitu pun halnya dengan minuman keras. Musik rock dalam dasawarsa 1970-an adalah musik panggung. Frekuensi panggung musik rock pada tahun 70-an ini cukup tinggi. Pada masa ini mulai banyak pihak yang melihat pertunjukkan musik sebagai usaha yang bisa menarik untung. Di bidang rekaman, pada awal sampai dengan medio 1970-an, para produser rekaman
tak berani menjual musik rock Indonesia. Album God Bless, Huma di Atas Bukit (1976) merupakan album rock pertama di Indonesia. Satu tahun kemudian, rock ”berhasil” masuk TVRI lewat iklan ”Mana Suka Siaran Niaga”. Sejak 1978 banyak musisi rock yang terlibat dalam musik pop yang menandai kemunduran dalam dunia rock. Sampai mendekati pertengahan 1980-an, musik rock suasananya masih lesu, walaupun ada banyak usaha yang dilakukan anak-anak muda penggemar rock untuk menggairahkan kembali. Kebanyakan pentas sifatnya masih seperti mayoritas pentas di tahun 1970-an, tidak diselenggarakan secara profesional dengan pendekatan bisnis. Grup yang tampil adalah grup dari dasawarsa 1970-an yang masih bertahan seperti God Bless, Superkidd, dan grup-grup baru yang membawakan warna musik lama maupun baru (misalnya new wave-nya The Police). Di tahun 1984, tampak semacam kegairahan baru di beberapa kota digelar kembali festival musik rock. Dalam festival ini, tampil grup-grup baru membawa warna musik heavy metal yang jenis baru yang sedang melanda dunia rock. Festival yang sifatnya kompetitif ini berakhir dengan babak final yang diselenggarakan di Malang (kota yang pernah menjadi barometer musik rock Indonesia) dan Surabaya. Festival ini diselenggarakan tiap tahun, yang semakin lama semakin besar dengan melibatkan semakin banyak grup dan kota. Kembali populernya jenis musik rock di akhir 1980-an berkaitan dengan perkembangan di berbagai bidang lain. Di sekitar tahun 1986, di Jakarta muncul RCTI, televisi swasta pertama di Indonesia, setahun kemudian di Surabaya berdiri SCTV. Bersaing dengan televisi negara, TVRI, televisi swasta itu menampilkan halhal yang tidak ada di TVRI. Mereka pun membuat acara musik yang diambil dari videoklip musisi dunia. Hadirnya televisi swasta, memungkinkan para perekam kaset lagu asing, yang sekarang menggandakannya dengan ijin pemegang hak ciptanya, mempromosikan kasetnya di televisi dengan cara memutar videoklipnya. Akibatnya, audiens dapat lebih mudah mengakses atau menyaksikan musisi heavy metal seperti Europe, Extreme, Scorpions, dan sebagainya. Pada tahun 1990-an musik rock underground berkembang dengan pesat di Indonesia yang ditandai dengan munculnya berbagai band rock underground lokal di
berbagai daerah mulai dari Jakarta (Tengkorak band), Bandung (Jasad band), Yogyakarta (Death Vomit band), Malang (Rotten Corpse), Surabaya (Slow Death) sampai dengan Bali (Eternal Madness). Arus musik rock underground mengalir semakin deras ke dalam negeri setelah pemerintah Indonesia menghapus paket deregulasi November 1988 tentang kemitraan asing-lokal. Sebagai gantinya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1994 yang memungkinkan lima perusahaan rekaman transnasional yaitu Warner Music Group (Amerika), Sony Music Entertainment (Jepang), EMI (Inggris), Universal Music Group (Perancis), dan Bertelsmann Music Group (BMG, Jerman) mengoperasikan bisnisnya secara penuh di Indonesia tanpa memerlukan kemitraan dengan perusahaan rekaman lokal. Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 ini tidak lepas dari regulasi tata dunia mengenai perdagangan bebas yang direkomendasikan di Uruguay pada tahun 1994. Industri budaya ini menjadi perdebatan beberapa negara karena terdapat ketidakseimbangan perdagangan yang sangat signifikan antara Amerika Serikat dengan negara-negara lain dalam produk budaya populer (popular culture). Fakta menunjukkan bahwa industri budaya adalah area surplus ekspor terbesar untuk Amerika Serikat (Chloridiany, 2004). Oleh karena itu, pemerintah Indonesia sempat melarang pertunjukan band-band rock asing setelah terjadi peristiwa kerusuhan konser pertunjukan Metallica band pada April 1993 di stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan yang mengakibatkan kerusakan parah di sekitar wilayah tersebut. Menurut pemerintah di Jakarta, musik ini memungkinkan ekspresi spontan dari kemerdekaan yang instan dan berbahaya bagi daerah yang berbeda iklim budayanya dengan London atau Los Angeles (Christie, 2004) Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berbagai budaya di dunia tidaklah sempit. Adanya perkembangan berbagai teknologi komunikasi serta praktik-praktik bisnis internasional menunjukkan bahwa budaya di dunia, termasuk Indonesia, telah terpengaruh oleh ”budaya luar”. Konsekuensi dari penetrasi ”budaya luar” ini adalah terdapatnya kekhawatiran akan dampak ”flow of information” dari negara maju, terutama Amerika Serikat sebagai negara yang mendominasi produk budaya, kepada negara yang masih berkembang di dunia.
Pengaruh internasional melalui musik bukan fenomena saat ini saja, begitu pula dengan globalisasi musik rock undergound di Indonesia. Kekhawatiran pemerintah Indonesia akan munculnya imperialisme budaya modern melalui musik tersebut pada dasarnya telah direfleksikan melalui pidato Presiden Sukarno tahun 1959 dan larangan terhadap pertunjukan musik rock underground dari pemerintah Orde Baru pada tahun 1993. Jika homogenisasi ini terjadi akibat globalisasi budaya musik rock underground, sebuah ”identitas anak muda rock underground internasional” akan muncul. Selain itu, homogenisasi budaya ini dikhawatirkan juga akan mengarah kepada erosi musik lokal secara gradual dan semakin melebarnya kesenjangan budaya serta sikap mereka terhadap generasi yang lebih tua.
4. 3. Tengkorak band dan Sosialisasi Audiens 4. 3. 1. Biografi Tengkorak band Tengkorak merupakan sebuah kelompok musik (band) yang dibentuk pada akhir 1993 di wilayah Ciledug, Tangerang, Provinsi Banten. Lahirnya band ini berawal dari bertemunya empat anak muda yang memiliki hobi dan kesamaan visi dalam bermusik yaitu Muhammad Hariadi Nasution atau biasa dipanggil Ombat (vocalist), Danang Budhiarto (bassist), Haryo Radianto (guitarist), dan Deni Julianto (drummer). Saat itu, mereka baru saja menyelesaikan pendidikan menengah pada institusi pendidikannya masing-masing. Danang dan Haryo adalah lulusan SMAN 28 Jakarta, sedangkan Ombat dan Deny adalah keluaran SMA Islamic Village Tangerang. Hijrahnya domisili Danang dari wilayah Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan ke wilayah Perumahan Taman Asri Larangan Selatan, Ciledug, Tangerang inilah yang akhirnya mempertemukan keempat anak muda tersebut. Pada awalnya mereka sepakat untuk memainkan lagu-lagu dari band asal Inggris, Napalm Death, sebagai ekspresi rasa suka keempat anak muda terhadap grup idolanya itu. Kemudian, nama Tengkorak sengaja dipilih dengan harapan agar dapat mengingatkan orang lain pada kematian, sehingga dengan mengingat kematian yang tidak dapat diprediksi kepastiannya, orang tersebut akan selalu melakukan kebaikan selama hidupnya.
Band ini memiliki markas di Jalan Baru, Cipondoh Tangerang, kediaman Ombat Nasution beserta orang tuanya, H.M. Lian Nasution. Akan tetapi, krisis finansial yang terjadi di keluarga Nasution mengakibatkan mereka terpaksa menjual tempat tinggalnya. Sehingga, markas Tengkorak kemudian dialihkan ke Komplek Taman Asri Blok I3 No.14 yang merupakan kediaman orang tua Danang, yaitu F. Sunardi dan istrinya yang pensiunan seorang guru sekolah menengah pertama. Rumah ini terletak di jalan utama perumahan yang cukup ramai dilalui kendaraan bermotor yang melintas di depan tempat berkumpulnya para personil Tengkorak. Dengan pindahnya markas Tengkorak dari Cipondoh ke Ciledug tersebut, maka alamat korespondensi pun ditetapkan di alamat kediaman basist Tengkorak, Danang. Sejak didirikan, formasi Tengkorak telah mengalami beberapa kali pergantian. Awalnya formasi band underground ini terdiri dari empat orang, dengan formasi ini Tengkorak mengawali aksi panggung mereka lewat jalur festival di kampus Universitas Mercu Buana. Meski tidak berhasil memperoleh predikat apa pun, aksi panggung mereka cukup menarik perhatian audiens yang menyaksikan saat itu. Namun, di tahun 1994, seorang gitaris dari band Retaliator, Adam Mustofa yang akrab disapa Adhonx, ikut bergabung memperkuat posisi gitar sehingga formasi band ini pun menjadi lima orang. Dengan formasi ini, Tengkorak meneruskan perjalanannya dari satu panggung ke panggung lainnya. Selanjutnya, mereka pun mulai mencoba untuk menciptakan lagu-lagu karya mereka sendiri. Langkah awal ini dilakukan para personil Tengkorak dengan sedikit banyak meniru pola musik band asing favorit mereka yang pada masa itu sedang banyak diminati oleh anak muda akibat semakin derasnya arus globalisasi. Mulai dari suara vokal, chords gitar sampai dengan kecepatan drum lagu-lagu yang mereka ciptakan memang mengingatkan pendengarnya akan nuansa musik band grindcore asal Birmingham, Inggris, Napalm Death. Oleh karena itu, Tengkorak pun kerap dijuluki sebagai Napalm Death-nya Indonesia oleh para penggemar musik rock independen. Setahun kemudian, tepatnya 12 September 1995, personil Tengkorak band akhirnya menjejakkan kakinya ke dapur rekaman. Dengan materi lagu, bekal finansial
dan pengetahuan akan dunia rekaman yang serba terbatas, mereka merekam lagu-lagu hasil karya sendiri dengan judul Primitive Jokes, Aggression, The Grave Torment, serta Bencana Moral di studio Triple M, Jakarta Pusat. Tidak lebih dari satu minggu mereka menyelesaikan proses rekaman. Selanjutnya, mereka berusaha menawarkan hasil rekaman kepada beberapa perusahaan rekaman lokal seperti Aquarius Records, Musica Records sampai Java Musikindo. Akan tetapi, setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama, jawaban yang dikeluarkan pihak perusahaan rekaman tidak sesuai harapan. Artinya, untuk dapat memperoleh kontrak rekaman, Tengkorak harus menyesuaikan musiknya dengan arus bisnis mainstream industri musik. Mereka menolak untuk memproduksi lagu-lagu hasil karya Tengkorak karena dianggap tidak komersil. Perusahaan rekaman lokal lebih memberikan prioritas kepada band-band musik pop mainstream yang memenuhi selera pasar, yaitu vokal yang nyaman didengar, minimalisasi distorsi gitar, beat drum yang sudah umum serta isi lirik lagu yang berpihak pada status quo atau apolitis. Hal ini jelas tidak konvergen dengan karakter musik Tengkorak band yang merupakan representasi musik subkultur politis. Kondisi tersebut tidak mematahkan semangat personil Tengkorak band untuk coba memproduksi hasil karyanya. Tanpa melakukan kompromi dengan perusahaan rekaman, mereka justru memutuskan untuk menempuh jalur “indie label” dalam memproduksi mini album yang diberi judul It’s a Proud to Vomit Him di tahun 1995 tersebut. Tengkorak band memproduksi lagu-lagu hasil karya mereka tanpa keterlibatan perusahaan rekaman major sedikit pun. Mulai dari proses rekaman, penggandaan kaset, desain sampul album, pencetakan, promosi, distribusi sampai dengan proses penjualan, Tengkorak band melakukannya sendiri atau lebih dikenal dengan istilah do it yourself di bawah naungan label yang dibentuk oleh sang vokalis yaitu Sebelas April Record sebagai respon dari tekanan budaya dominan industri musik nasional yang mereka hadapi. Berikut penuturan vokalis Tengkorak, ON, ketika menyiasati hegemoni budaya mainstream industri musik nasional yang dihadapinya saat itu:
“Gue bentuk Sebelas April Record gunanya untuk memproduksi dan mendistribusikan mini album Tengkorak. Sebab, kalo nggak begini, mana bisa gue bikin musik yang sesuai idealisme” Dengan membentuk Sebelas April Record, artinya Tengkorak band memilih strategi bermusik do it yourself atau indie label. Mereka tanggung bersama biaya rekaman atau swadana, sama halnya ketika mereka melakukan duplikasi kaset hasil rekaman. Pada awalnya, karena keterbatasan finansial, Tengkorak menggandakan mini album “It’s a Proud to Vomit Him” hanya seratus keping saja. Namun, di luar dugaan permintaan akan mini album tersebut semakin meningkat. Sehingga, sebagian kaset terpaksa diperbanyak dengan cara yang sangat tradisional, yaitu direkam dengan menggunakan tape recorder milik personilnya. Kaset kosong beserta boksnya mereka dapatkan dengan membelinya di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Sementara itu, urusan desain dan mencetak cover kaset sang vokalis mendesainnya sendiri dibantu beberapa teman yang bersedia melakukan cetak sablon cover album tersebut secara manual tanpa menggunakan mesin cetak. Dengan demikian, predikat band independen semakin melekat di tubuh Tengkorak band. Dalam hal strategi promosi dan penjualan hasil karyanya, baik itu berupa kaset, t-shirt, sampai dengan stiker, personil Tengkorak band menciptakan sistem penjualan
sendiri.
Mereka
tidak
saja
di
dalam
negeri,
namun
juga
mendistribusikannya sampai ke luar negeri. Tengkorak menjualnya secara langsung (direct selling) pada saat mereka tampil di berbagai event atau sebaliknya melalui jalur pos (mail order) dan bekerja sama membentuk jaringan distribusi bersama rekan-rekan penggemar musik rock underground lain yang memiliki distribution outlet (distro) di berbagai kota besar dan kecil di negeri ini. Sistem jaringan distribusi ini bagi yang sudah kenal baik biasanya Tengkorak band menerapkan sistem kosinyasi atau titip jual. Sedangkan bagi yang belum dikenal baik atau yang berlokasi cukup jauh biasanya harus membayar kontan atau jual putus. Sistem jual putus ini juga berlaku pula untuk distro-distro yang ada di luar negeri sehingga distribusi hasil karya Tengkorak band juga tersebar ke berbagai negara di benua Amerika, Asia, dan Eropa. Mulai dari Malaysia, Jepang, Republik Ceko, Polandia, Spanyol sampai
dengan Amerika. Namun, selain jual putus, untuk distribusi luar negeri personil Tengkorak juga melakukan sistem barter, yaitu saling bertukar merchandise seperti kaset, compact disc, atau t-shirt sebagai strategi alternatif dari sistem titip jual di luar negeri. Strategi yang dijalani ternyata berdampak positif. Secara perlahan, nama Tengkorak band mulai dikenal kalangan audiens musik rock independen tidak saja di dalam negeri namun juga di luar negeri berkat diseminasi mini album It’s a Proud to Vomit Him melalui aktivitas tukar-menukar kaset yang melibatkan penggemar musik rock independen antarnegara di dunia (tape trader circuit). Di dalam negeri, Tengkorak band pun mulai sering diminta tampil dalam sebuah event, baik itu di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, sampai dengan kafe atau kelab-kelab kecil. Minimal dua kali dalam satu bulan mereka memiliki jadwal untuk tampil di venuevenue tersebut. Di luar negeri, Tengkorak ikut ambil bagian dalam proyek kompilasi rock underground yang dirilis oleh label independen dari berbagai negara seperti kompilasi “Till Your Ears Bleed Compilation” yang dirilis oleh Hibernia Records (Portugal), dan kompilasi “Grind the Faces of Rockstar” oleh Bloodbath Records (Jepang). Akan tetapi, setelah beberapa kali tampil bersama Tengkorak di tahun 1995, Adam Mustofa terpaksa mengundurkan diri. Diterimanya gitaris Tengkorak tersebut sebagai calon pegawai negeri sipil pada Departemen Kehutanan membuatnya harus menetap di Denpasar, Bali. Sehingga, aktivitasnya sebagai gitaris Tengkorak band terpaksa ia tinggalkan. Meski demikian, dengan seorang gitaris tidak menjadi halangan bagi Tengkorak band untuk melanjutkan kiprahnya di dunia musik. Salah satu hasil yang cukup signifikan dari aktifitas tape trader
adalah
tertariknya Bloodbath Records, satu label independen asal Jepang, untuk merilis lagulagu Tengkorak band dalam format piringan hitam. Album yang dirilis pada akhir tahun 1996 itu diberi judul Dying Poor dimana Tengkorak bersanding dengan band rock underground asal Republik Ceko, Cerebral Turbulency. Dengan demikian, Tengkorak menjadi band rock underground pertama di tanah air yang merilis lagu
dalam format piringan hitam dan semakin diakui eksistensinya di komunitas musik indie international. Munculnya Tengkorak, band rock underground asal Indonesia semakin membuka mata komunitas penggemar musik rock independen dan media massa independen luar negeri seperti Malaysia, Jepang, Thailand, Belarusia, Spanyol, Rusia, Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Republik Ceko, Polandia, Belgia, Latvia, Perancis, dan Portugal. Banyak yang tidak menduga bahwa di Indonesia juga eksis sebuah band rock underground. Tengkorak pun mulai mengisi kolom interview serta review di media massa independen luar negeri tersebut. Sedangkan, munculnya profil Tengkorak band di Majalah Hai, salah satu majalah lokal yang seringkali menampilkan profil band pendatang baru, semakin meningkatkan popularitas band rock underground tersebut di dalam negeri. Publikasi media massa ini mau tidak mau pada akhirnya membuat beberapa produser major label lokal mulai memusatkan perhatiannya pada jenis musik rock underground. Salah satunya adalah produser dari Warner Musik Indonesia, Pak Handi. Dengan Anang Hermansyah dan Irfan Sembiring sebagai mediator, akhirnya keempat personil Tengkorak band dipertemukan dengan pemilik Warner Musik Indonesia di kantornya di wilayah Mangga Besar, Jakarta Utara. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan bahwa sebelum merilis album penuh, Tengkorak band akan merilis album kompilasi Metalik Klinik 1 terlebih dulu sebagai pilot project. Proyek ini sengaja dilakukan pihak perusahaan rekaman sebagai strategi untuk melihat sejauhmana tingkat penjualan genre musik rock underground di tanah air sebelum mereka merilis album Tengkorak band. Akhir Desember 1997, Album kompilasi yang berisikan 23 band underground dari dalam negeri dengan berbagai genre tersebut akhirnya dirilis oleh Rotorcorp, sublabel dari perusahaan rekaman Musica Records yang mengkhususkan diri pada genre musik indie mulai dari punk, hardcore sampai dengan ska. Hanya dalam waktu satu bulan angka penjualannya sudah melebihi angka 60.000 keping. Sebuah angka penjualan yang cukup mengejutkan untuk jenis musik baru yang mereka usung. Di album kompilasi ini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagu berdurasi sekitar
tiga menit dengan judul “Konflik”. Lagu yang bercerita mengenai kegelisahan Tengkorak band akan menurunnya dedikasi para pelajar tanah air dalam berbakti kepada orang tuanya dimana mereka merasa lebih bangga dengan melibatkan diri dalam perkelahian antarpelajar ketimbang menuntut ilmu ini semakin mengangkat nama mereka di kalangan audiens musik rock underground. Dari angket yang dikeluarkan oleh pihak Musica Records, Tengkorak band menjadi band favorit para pembeli album kompilasi pertama musik underground tersebut. Gaya vokal menggeram yang seakan mewakili kegelisahan mereka, distorsi gitar yang meliukliuk serta beat drum super cepat yang memompa semangat menjadi pengantar lirik lagu “Konflik” yang ampuh untuk lebih dekat dengan audiensnya. Singkat kata, Tengkorak band sukses menembus hegemoni major label lewat warna musik grindcore dan berbagi kegelisahan bersama audiensnya. Meski berhasil merilis Metalik Klinik 1, Tengkorak band tidak lepas dari kritik sesama band rock underground lokal asal Malang, Bandung, dan Yogya. Mereka menganggap bahwa Tengkorak band telah melanggar dari norma-norma indie label yaitu dengan melakukan kerja sama merilis Metalik Klinik 1 di bawah perusahaan rekaman major atau major label sehingga band-band yang ikut berpartisipasi dalam kompilasi tersebut diboikot. Namun, para personil Tengkorak band tidak ambil pusing dengan ancaman boikot tersebut. Mereka berpendapat bahwa sebagai produk sosial, budaya indie label lokal tidak perlu mengikuti pola indie label luar negeri begitu saja, karena kondisi sosial yang dihadapi Tengkorak band berbeda dengan kondisi sosial band-band indie label asal luar negeri. Tengkorak band pun bergeming dan terus mempromosikan single “Konflik” ke berbagai stasiun radio serta media cetak di dalam negeri dengan donasi minim dari label mereka. Di saat masa promosi album kompilasi Metalik Klinik 1 bersama Rotorcop sedang berjalan, di tubuh Tengkorak band justru terjadi perubahan formasi. Mereka terpaksa menghentikan drummer lama Denny Julianto karena pola hidupnya tidak lagi sejalan dengan personil lainnya. Donnirimata, drummer band Suffering, rekan lama gitaris Tengkorak band, segera dihubungi untuk sementara waktu mengisi posisi drummer yang kosong. Setelah tampil dua kali bersama Tengkorak, Donni pun
diangkat menjadi personil tetap dan tidak lagi berstatus drummer Suffering band. Selain memiliki drummer baru, Tengkorak band juga menambah seorang gitaris bernama Heilla Tanissan, mantan gitaris Trauma band, yang tinggal tidak jauh dari base camp Tengkorak band untuk mengisi posisi gitar yang sudah lama ditinggalkan oleh Adam Mustofa. Dengan demikian, setelah merilis single “Konflik” dalam album kompilasi Metalik Klinik 1, Tengkorak band memiliki formasi Ombat Nasution (vocal), Danang Budhiarto (bass), Haryo Radianto (guitar 1), Heilla Tanissan (guitar 2), dan Donnirimata (drummer). Pada tahun 1998, dengan formasi tersebut Tengkorak kembali diikutsertakan oleh pihak Rotorcorp dalam lanjutan proyek album kompilasi musik indie Metalik Klinik 2. Ini dilakukan pihak Rotorcorp atas dasar hasil angket yang diedarkan sebelumnya oleh perusahaan rekaman yang menunjukkan tingginya animo audiens pembeli kaset tersebut akan lagu hasil karya Tengkorak band. Dalam album kompilasi Metalik Klinik 2 ini, Tengkorak band menyumbangkan satu single baru mereka yang diberi judul “Rusuh”. Lagu yang menggambarkan sikap represif Polri terhadap aksi unjuk rasa mahasiswa ini menuai sukses pula mengikuti jejak single terdahulu di Metalik Klinik 1. Di bulan Maret 1999, akhirnya Tengkorak band kembali masuk dapur rekaman untuk menggarap debut album mereka di Magenta Studio, Jakarta Selatan. Album yang diberi judul “Konsentrasi Massa” ini memuat 20 lagu dimana sebagian besar lagu-lagu tersebut memiliki tema kritik sosial yang merefleksikan kondisi sosial di Indonesia pada masa itu. seperti Oknum, Gawean Reget, Asap Tebal, Kemelut, Primitive Jokes, Prestasi Gila, Buruh, Propaganda, Spekulasi Bisnis, Bisnis Ejakulasi, Dosa Keluarga, Bencana Moral, dan Konsentrasi Massa. Album perdana ini dirilis dalam format kaset di bawah label Rotorcorps dan didistribusikan secara nasional melalui jaringan distribusi yag dimiliki Musica Records, sebagai label induk dari Rotorcorps. Akan tetapi, setahun lebih tampil bersama Tengkorak band mempromosikan lagu-lagu album perdana di berbagai kota mulai dari Medan, Surabaya, Jakarta sampai Lombok, Heilla Tanisan (gitar 2), mengundurkan diri untuk kembali
bergabung bersama band lamanya, Trauma. Musik Tengkorak band ternyata kurang sejalan dengan pola permainan yang dimiliki Heilla, sehingga ia pun memutuskan untuk kembali bergabung dengan rekan-rekan lamanya. Posisi Heilla sebagai gitaris 2 digantikan oleh Muhammad Taufik yang lebih akrab dipanggil dengan nama Opick, seorang mahasiswa Universitas Mercu Buana asal Palembang yang juga seorang penggemar Tengkorak band dan gitaris dari band rock underground bernama Sarcastic band. Sampai dengan Mei 1999, Tengkorak band, memiliki formasi M. Hariadi Nasution (vokal), Haryo Radianto (gitar 1), Muhammad Taufik (gitar 2), Danang Budhiarto (Bass), dan Donnirimata (drum). Bersama formasi baru tersebut Tengkorak band melakukan berbagai pertunjukan di berbagai lokasi. Mereka juga kerap berlatih hampir setiap akhir pekan untuk memperbanyak materi lagu baru. Pada April 2001, Yutaka Kimura, rekan tape trader dari Bloodbath Records Jepang, menginformasikan bahwa album “Konsentrasi Massa” telah dirilis oleh label Jepang tersebut. Berbeda dengan rilisan Rotorcorp Records, album Tengkorak band versi Bloodbath Records ini dirilis dalam format compact disc dan memasukkan dua single Tengkorak dari album kompilasi Metalik Klinik 1 dan 2 sebagai bonus tracks. Oleh Bloodbath Records, album ini didistribusikan secara internasional mulai dari Jepang, Jerman, Belarusia, Republik Ceko sampai dengan Malaysia. Bulan Mei 2002, Tengkorak band kembali masuk Magenta studio bersama formasi terakhirnya untuk ikut berpartisipasi dalam proyek kompilasi yang berjudul “Tribute to Rotor”. Kompilasi ini diikuti oleh 12 band rock underground Indonesia serta 1 band asal Malaysia, Sil Khannaz. Proyek ini merupakan kerja sama antara Rotorcorps dengan Sebelas April Records untuk mengenang salah satu band pionir musik rock underground, Rotor. Di sini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagu diambil dari album perdana Rotor yang berjudul “Pluit Phobia”. Di saat proses rekaman akan dimulai, Deni, drummer lama Tengkorak sempat mencoba mengisi permainan drum, namun tidak berjalan dengan baik. Sehingga, Donnirimata kembali dipercaya oleh para personil Tengkorak band untuk melakukan proses rekaman lagu “Pluit Phobia” sampai selesai. Proses rekaman lagu Pluit Phobia tersebut akhirnya berjalan lancar sesuai harapan.
Begitu selesai dengan Album kompilasi “Tribute to Rotor”, para personil Tengkorak harus menghadapi dilema dalam menentukan label untuk produksi album berikutnya. Di satu sisi, Rotorcorp Records sebagai label sebelumnya dan telah berganti nama menjadi Krossover Records, tetap ingin bekerjasama dan siap merilis album Tengkorak band selanjutnya, sedangkan pada sisi lain Ombat, sang vokalis sekaligus motor penggerak dan juga pendiri sebelas April Records, ingin melakukan produksi album di bawah label miliknya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, sempat terjadi perdebatan diantara para personil Tengkorak band dalam menyikapi hal tersebut. Akan tetapi, akhirnya kelima personil sepakat untuk kembali bekerja sama dengan pihak Krossover Records hanya sampai produksi album ini saja. Selanjutnya, mereka berencana memproduksi album di bawah label Sebelas April Records. Akhirnya, pertengahan September 2002 para personil Tengkorak kembali masuk studio Magenta yang berlokasi di wilayah Pondok Pinang, Jakarta Selatan untuk menggarap album kedua Tengkorak band yang diberi judul “Darurat Sipil”. Sebanyak empat belas lagu mereka kemas di dalam album tersebut di bawah naungan label Krossover Record/Hemaswara/Sebelas April Records. Dua belas lagu bertempo cepat dengan tema yang merefleksikan fenomena sosial Indonesia sampai dunia, sedangkan dua lagu sisanya bertempo cenderung lambat. Untuk lebih memperkaya warna musik, Tengkorak band juga melibatkan beberapa musisi tamu yaitu Rockmor dari band rock underground Bromo serta Iwan Hassan, gitaris band rock progresif, Discuss. Rockmor mengisi backing vocal pada lagu Pemimpin Gila sedangkat Iwan Hassan mengisi harpa pada intro lagu Diskriminasi Harta. Proses rekaman sendiri berlangsung kurang dari satu minggu atau sebanyak 7 shift jadwal studio mereka habiskan untuk menyelesaikan album “Darurat Sipil”. Pada Oktober 2002, album ini pun dirilis oleh pihak label. Selain itu, album ini juga dirilis oleh Bloodbath Records Jepang dalam format compact disc pada akhir tahun 2002. Album versi compact dics ini memuat video clip Pemimpin Gila sebagai bonus track dalam format mpeg 4 serta didistribusikan ke seluruh dunia oleh pihak label.
Namun demikian, di pertengahan tahun 2003, formasi Tengkorak band kembali mengalami perubahan. Opick, yang biasanya bertugas sebagai gitaris kedua terpaksa mengundurkan diri dari posisinya. Kedua orang tuanya meminta gitaris Tengkorak band itu kembali ke Palembang, Sumatera Selatan untuk meneruskan bisnis rempah-rempah yang telah lama mereka jalani. Hal ini sempat menimbulkan polemik di Tengkorak band, dimana Ombat menginginkan Opick untuk bertahan sementara personil lainnya dengan berat hati merelakan Opick untuk kembali ke Palembang. Situasi ini menjadi dilema bagi Opick, ia pun tidak dapat mengambil keputusan. Guna mencari solusi, Ombat dan para personil lainnya segera bermusyawarah dan menghasilkan kesepakatan untuk menganjurkan Opick kembali ke Palembang untuk memenuhi keinginan kedua orang tuanya. Dengan mundurnya Opick, Tengkorak band kembali memerlukan seorang gitaris lagi untuk menggantikan posisinya sebagai gitaris kedua. Namun demikian, tidak perlu menunggu lama, posisi Opick akhirnya digantikan oleh Samir, gitaris dari band rock underground asal Surabaya, Slow Death. Dalam waktu singkat, Samir mampu beradaptasi dengan lagu-lagu Tengkorak band. Panggung perdana Tengkorak band dengan gitaris baru adalah saat mereka tampil di acara peringatan 10 tahun berdirinya Tengkorak band yang digelar oleh Lian Mipro Organizer di Nirvana Café, Jakarta Selatan. Sebanyak 21 lagu mereka bawakan pada momen tersebut. Mulai dari Oknum, Primitive Joke, Rusuh, sampai Pemimpin Gila mereka bawakan. Sekitar 500 audiens lebih memadati kafe yang berlokasi di bagian bawah Hotel Maharaja, Jakarta Selatan tersebut. Selain ber-slamdancing, ada juga audiens yang memberikan kue tart beserta lilin saat Tengkorak jeda membawakan lagu-lagu. Ritual tiup lilin bersama Tengkorak band akhirnya terlaksana di atas panggung. Dengan formasi ini, Tengkorak band ikut ambil bagian dalam beberapa proyek kompilasi independen yang bertema perjuangan HAM yang bertitel “Strip Hitam”. Dalam album kompilasi ini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagunya yang berjudul Rusuh. Selain itu, mereka juga merilis mini album Lunatic Leader yang berisi empat lagu dari cikal bakal album Darurat Sipil.
Pertengahan tahun 2004, perubahan formasi kembali terjadi di tubuh Tengkorak band. Setelah tampil di satu event di Gelanggang Olah Raga Bekasi, Danang Budhiarto, bassist sekaligus salah satu pendiri Tengkorak band, mengundurkan diri. Statusnya sebagai pegawai negeri pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan menuntut perhatian yang lebih. Ia memutuskan untuk lebih konsentrasi pada pekerjaannya. Sehingga, Tengkorak band untuk sementara waktu tampil minus pemain bass. Posisinya kemudian digantikan oleh Bonny Sidharta, mantan pemain bass Thrashline band. Bersama bassist baru, Tengkorak band ikut ambil bagian dalam proyek kompilasi Tribute to Death, sebuah kompilasi yang berisi lagu-lagu dari band rock underground legendaris asal Amerika, Death. Mereka merekam lagu klasik dari band tersebut yang berjudul “Back from the Dead”. Album kompilasi ini diproduseri oleh sebuah label independen lokal, yaitu Amon-Ra Records. Setahun kemudian, Donnirimata, sang drummer, mengundurkan diri dari Tengkorak band. Aktivitasnya di beberapa band lain serta kesibukan bekerja di perusahaan swasta membuatnya kesulitan untuk dapat lebih fokus di Tengkorak band. Sehingga, posisinya untuk sementara digantikan oleh Roni Yuska, drummer band rock underground Bekasi, Panic Disorder. Setelah berlatih dan tampil bersama di beberapa event, akhirnya Roni diresmikan sebagai drummer tetap. Di bulan April 2005, Tengkorak band mencatat sejarah dengan menjadi grup pembuka band pionir rock underground Inggris, Napalm Death, di Pantai Festival Ancol, Jakarta Utara. Tengkorak band membawakan 10 lagu selama satu jam, mulai dari Primitive Jokes, Konsentrasi Massa, Teroris, Buruh sampai single mereka yang berjudul Konflik. Sekitar 7000 audiens musik rock underground dengan antusias menyaksikan event tersebut. Penampilan Tengkorak band saat itu tidak saja mendapat apresiasi dari audiens, namun juga para personil Napalm Death yang menyaksikan langsung dari sisi panggung. Mereka tidak menduga, bahwa Tengkorak band mempelajari jenis musik tersebut cukup detail dan memainkan musiknya di atas panggung dengan baik. Event yang bertema Grinding Indonesia 2005 ini kembali meningkatkan popularitas Tengkorak band baik di khasanah musik rock dalam dan
luar negeri. Inilah event besar musik rock underground pertama sejak pemerintah Orde Baru mengeluarkan larangan tampil bagi grup-grup musik rock asing setelah insiden konser Metallica tahun 1993 di stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Setelah Napalm Death, pada 23 september 2005 Tengkorak band kembali mendampingi Kreator, band rock underground Jerman, yang didatangkan oleh Lian Mipro Event Organizer untuk tampil di dua kota, Surabaya dan Jakarta. Namun, Tengkorak band hanya tampil di satu event sebagai grup pembuka yaitu di Kenjeran, Surabaya. Terbatasnya waktu yang diberikan, membuat Tengkorak band hanya membawakan 5 lagu di depan 1000-an audiens yang hadir di Kenjeran, Surabaya. Secara keseluruhan, event di Surabaya ini berjalan kurang berhasil karena masalah sponsor, promosi, dan lokasi yang tidak representatif. Memasuki pertengahan tahun 2006, para personil Tengkorak band kembali merekam materi-materi baru untuk album berikutnya. Dengan dana terbatas, mereka terpaksa menyelesaikan proses rekaman album baru di tiga studio berbeda. Enam lagu pertama mereka rekam di studio milik Piyu, gitaris band Padi, yang berlokasi di wilayah Cinere, Jakarta Selatan. Sedangkan materi lainnya mereka selesaikan di Bee Sound studio Condet, Jakarta Timur dan Buana Sound studio, Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Setelah menyelesaikan proses produksi rekaman, Tengkorak band akhirnya merilis album baru di bawah naungan label independen Sebelas April Records, pada 14 Juli 2007 dengan judul Agenda Suram. Terdiri dari 20 lagu rock underground, sebagian besar lagu di album ini merefleksikan sikap Tengkorak band yang mengkritisi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan kelompok Zionist Israel. Adapun lagu-lagu tersebut antara lain berjudul Jihad, Boycott Israel, United state of Asu, Zionist Exaggeration, dan Hisbullah. Sementara itu, materi lagu lainnya, menyuarakan kondisi sosial politik dalam negeri seperti, Trias Politica, Buruh, Disgusting Agenda, Celebrity Syndrome, dan lainnya. Namun, sebelum tampil sebagai pembuka Suffocation band, satu rock underground Amerika Serikat, di Ancol, Jakarta Utara, pada 12 Agustus 2007, formasi Tengkorak band kembali mengalami perubahan pada posisi pemain bass.
Bonnie, bassist yang bergabung pada Maret 2004, terpaksa mengundurkan diri karena tidak sependapat dengan sikap bermusik Tengkorak band yang militan terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan Zionist Israel. Ia merasa tidak nyaman lagi untuk bertahan di Tengkorak band karena tema lagu yang disuarakan oleh Tengkorak band menurutnya sama dengan cara pandang seorang teroris. Posisi Bonnie untuk sementara diambil alih oleh Opick, mantan gitaris Tengkorak. Sikap bermusik Tengkorak band yang kritis terhadap zionisme Israel ini menarik perhatian Sam Dunn, seorang antropolog Kanada, dan Scott McFadyen, produser dari Universal Music Canada. Selain telah tertarik dengan lagu Tengkorak band di album Darurat Sipil yang berjudul Destroy Zionist, mereka melihat apa yang dilakukan Tengkorak band adalah sebuah kontradiksi sosial, berbeda dengan bandband rock underground lain di Indonesia. Oleh karena itu, kedua warga Kanada tersebut rela melakukan perjalanan jauh agar dapat mewawancarai Tengkorak band secara langsung untuk sebuah film dokumenter mengenai globalisasi musik rock underground yang berjudul Global Metal. Film dokumenter ini akhirnya dirilis pada awal tahun 2008 di bawah naungan Universal Music Canada dalam format dvd. Selain itu, Universal Music Canada juga merilis cd soundtrack film Global Metal dimana satu lagu Tengkorak band yang berjudul Jihad Soldiers ikut terpilih masuk. Hasilnya, kedua produk dari Universal Music Kanada tersebut kembali meningkatkan popularitas Tengkorak band di kalangan audiens musik rock underground. Setelah dvd dan cd soundtrack Global Metal beredar secara resmi, Tengkorak band kembali mengejutkan audiens musik rock underground di Indonesia. Mereka mengubah “salam metal tiga jari” yang merupakan salah satu simbol signifikan audiens musik rock underground menjadi “salam satu jari” pada saat tampil di event Urban Garage Festival 27 Maret 2010 di Rossi Music, Fatmawati Jakarta Selatan. Tengkorak band melakukan ini setelah personilnya mendapat tambahan stock of knowledge dari berbagai media massa nonmainstream serta berdiskusi dengan sesama rekan-rekan. Napalm Death tidak lagi menjadi reference group Tengkorak band. Mereka melihat adanya kontradiksi, dimana salam metal tiga jari yang terdiri dari jempol, telunjuk dan kelingking memiliki makna yang merujuk pada simbol setan
dengan dua tanduknya dan anti Tuhan. Sedangkan salam satu jari, yang hanya terdiri dari jari telunjuk memiliki makna ketauhidan Allah SWT. Mulai saat itu mereka memandang musik rock underground dengan perspektif yang berbeda. Tengkorak band melihat budaya musik rock underground yang datang dari luar nusantara mengarah pada imperialisme budaya modern dan berpotensi mengambil alih nilai-nilai budaya lokal secara gradual dari pikiran audiens musik tersebut. Tengkorak band mengkhawatirkan terjadinya homogenisasi budaya anak muda internasional yang dengan mudah akan dikendalikan pola pikirnya oleh rezim pemaknaan yang berada di balik industri musik dunia. Salam satu jari sebagai simbol signifikan hasil reproduksi Tengkorak band menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagai pihak. Mulai dari audiensnya, bandband rock underground lain sampai dengan para produser musik rock independen. Sebagian dari mereka sependapat dengan salam satu jari, namun ada juga yang tidak sependapat. Wendy Putranto, wartawan majalah Rolling Stone dan pemerhati musik rock underground, tidak sependapat dengan pemikiran Tengkorak band mengenai simbol signifikan satu jari. Menurutnya salam metal tiga jari adalah simbol produksi seorang vokalis rock senior bernama Ronie James Dio. Hal yang sama diutarakan oleh Bonny Sidarta, mantan pemain bass Tengkorak band yang kini aktif bersama band rock underground Dead Squad. Bonie mengutarakan pendapatnya,“Masak tengkorak yang udah puluhan tahun main musik metal nggak tau siapa Ronie James Dio sih. Salam tiga jari bukan simbol zionis.” Sedangkan Azis, pengelola Dapurletter webzine, sebuah majalah elektronik khusus musik independen yang sudah lama eksis di kalangan rock underground, lebih memilih netral dalam memandang simbol signifikan tersebut. Ia mengemukakan,“Sebagai pihak media, selama itu masih rock underground
saya tetap akan memberikan ruang di media saya dan tidak
mempermasalahkan apakah itu salam satu jari atau salam metal tiga dan dua jari.” Kondisi tersebut tidak menggoyahkan Tengkorak band untuk membawa visi dan misi mereka yaitu menjadi band rock underground tanpa melupakan aspek-aspek penting dari budaya bangsa Indonesia dan mengajak audiensnya berpikir kritis
terhadap pesan-pesan media massa, khususnya simbol-simbol signifikan dalam musik rock underground. Matriks 7. Perubahan identitas Tengkorak Band Kurun waktu Perubahan yang dialami Tengkorak band perubahan 1993-1995
1993-1995
1995-1998
1998-2006
2006-2008
2008-2009 2009-2011
Memandang musik sebagai hiburan dan katarsis Membentuk formasi band 4 orang Memainkan lagu-lagu karya band asing (spesialis ND) Mendapat label sebagai Napalm Death-nya Indonesia Mulai berlomba-lomba mengumpulkan dan mengenakan artefak-artefak musik rock underground impor tanpa memahami makna dari simbolsimbol signifikan yang ada di dalamnya.
Menyatakan diri sebagai band rock underground namun berharap mendapatkan kontrak dengan perusahaan rekaman mainstream lokal agar dapat memiliki album rekaman Memandang musik sebagai kompetisi Mulai menghasilkan lagu-lagu karya sendiri dengan tema beragam Merilis mini album melalui jalur indie label krn ditolak oleh perusahaan rekaman mainstream lokal Memutuskan untuk bekerja sama dengan perusahaan rekaman mainstream lokal, Musica Records, dengan merilis album kompilasi Metalik Klinik 1 Mendapat kritik dan boikot dari komunitas rock underground di beberapa wilayah Indonesia, karena bekerja sama merilis kompilasi tersebut dengan Musica Records Merilis album Konsentrasi Massa dan Darurat Sipil di bawah Musica Menghentikan kerja sama dengan Musica Records Merilis Album Agenda Suram di bawah Sebelas April Records Turning point melepaskan diri dari imitator band asing Mulai memahami realitas subyektif dari musik rock underground sehingga lebih kritis dalam memandang simbol-simbol signifikan yang ada di dalamnya Menciptakan lagu Boycott Israel yang bertema resistensi terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan sekutunya Mulai mengenakan artefak-artefak musik rock underground lokal Mengalami vakum akibat conflict of interest dalam diri personilnya Memutuskan kembali aktif di dunia musik rock underground karena rasa tanggungjawab untuk mengungkapkan introyeksi gerakan zionisme lewat simbol-simbolnya dalam musik rock underground kepada audiens Membentuk simbol baru dalam budaya rock underground yaitu salam satu jari sebagai strategi membuka pikiran audiens dan respon terhadap simbol-simbol zionisme Tidak lagi memandang musik sebagai sebuah kompetisi
Dari matriks di atas terlihat bahwa Tengkorak band telah mengalami pergeseran pola pemikiran dari penerima pasif sebuah budaya rock underground
barat menjadi sebuah kelompok musik yang lebih kritis dalam menyikapi budaya tersebut. Perubahan tidak dalam waktu singkat, namun cukup lama. Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan bahwa proses sosialisasi yang membentuk kesadaran kritis personil Tengkorak band juga memerlukan waktu yang panjang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat suatu pola dimana pada awalnya Tengkorak band sebagai sebuah band rock underground mencoba untuk melakukan imitasi dengan detail terhadap musik “rock underground asing” yang menjadi role model-nya. Kemudian, setelah melewati fase imitasi tersebut, kecenderungan yang terlihat adalah Tengkorak band menggabungkan materi budaya baru tersebut ke dalam pengalaman budaya mereka sendiri daripada mencoba untuk menciptakan suatu budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal. Hal ini menunjukkan tumbuhnya kembali satu rasa nasionalisme dan harga diri dalam tubuh Tengkorak band, yang juga berarti menyatakan identitas budaya mereka sendiri dalam menghadapi budaya internasional. Nasionalisme dan harga diri yang tumbuh dalam tubuh Tengkorak band tidak muncul dalam waktu singkat. Kesadaran nasionalisme dan harga diri tersebut muncul pada saat sistem politik di Indonesia mengalami perubahan dari sistem politik pemerintahan orde baru yang otoriter menjadi sistem politik pemerintahan reformasi yang lebih demokratis. 4. 3. 2. Konstruksi Realitas Simbol-simbol Signifikan Tengkorak Band Sebagai agen sosialisasi dalam tahap sosialisasi sekunder, Tengkorak band memiliki simbol-simbol signifikan dalam melakukan interaksi dengan audiensnya. 1. Lirik Lirik merupakan refleksi atau obyektivasi dari stock of knowledge vokalis Tengkorak band. Ditemukan bahwa lirik lagu hasil karya Tengkorak band menunjukkan bagaimana memandang dunia. Tabel berikut menyajikan beberapa lirik yang merepresentasikan visi dan misi Tengkorak band.
Matriks 8. Lirik, makna dan ideologi Tengkorak band Signifier
Makna
Ideologi
BENCANA MORAL Seks bebas tradisi barat mencoba hancurkan moral…
Lirik Tengkorak band
Bahaya pengaruh budaya barat
Berpikir kritis dan menjaga budaya lokal
KONFLIK Pegang pena bukan belati, orang tua maunya nanti, jadi anak yang berbakti…
Lirik Tengkorak band
Keprihatinan akan identitas generasi muda
Berpikir kritis dan menjaga budaya lokal
RUSUH Kerusuhan yang berlarut-larut harus segera kita hentikan… Aparat serta mahasiswa samasama orang Indonesia
Lirik Tengkorak
Keprihatinan akan reformasi 98 yang menimbulkan gejolak sosial
Berpikir kritis
BOYCOTT ISRAEL Boycott Israel and all their allied products…..boycott america They want to take over and control the world
Lirik Tengkorak band
Resistensi atas kebijakan luar negeri Amerika & gerakan zionisme Israel
Berpikir kritis
ZIONIST EXAGGERATION Aren’t what Israel done is the real terrorism?....
Lirik Tengkorak band
Bahaya gerakan Zionisme Israel
Berpikir kritis
JIHAD SOLDIERS Lets fight in the name of Allah
Lirik Tengkorak band
Solidaritas sesama muslim
Berpikir kritis dan menjaga budaya lokal
Lagu “Bencana Moral” merupakan salah satu lagu dari empat lagu awal yang ditulis oleh personil Tengkorak. Lagu ini merefleksikan kekhawatiran Tengkorak band akan pengaruh infiltrasi budaya barat khususnya seks bebas. Selain narkotika, pada masa itu, musik rock underground juga identik dengan budaya seks bebas yang dapat membawa penyakit HIV serta merusak moralitas generasi muda. Sebagai generasi muda muslim, melalui lagu ini, Tengkorak band coba menyampaikan pesan kepada audiensnya untuk tetap berpegang pada norma-norma religi yang ada sehingga dapat terhindar dari demoralisasi. Lagu “Konflik” merupakan lagu yang populer di kalangan audiens Tengkorak band. Audiens selalu menunggu lagu ini dan seringkali menjadi lagu penutup pertunjukan. Lagu “Konflik”, merefleksikan keprihatinan Tengkorak band akan penyakit sosial tawuran yang terjadi di kalangan para pelajar sekolah menengah. Ikut tawuran seakan menjadi tren, sedangkan, menuruti keinginan orang tua merupakan hal yang tidak sesuai tren di kalangan pelajar. Bertindak sesuai norma-norma adalah hal tabu atau menjadi sesuatu sikap yang memalukan terutama bagi pelajar yang
menyukai musik rock underground. Ikut tawuran seolah menjadi suatu prestasi yang membanggakan. Melalui lagu ini, Tengkorak band berusaha menyampaikan bahwa tidak perlu malu dan ragu bersikap sesuai norma-norma agama dengan tetap fokus menuntut ilmu serta berbakti pada kedua orang tua. Dengan demikian, implikasi lagu ini adalah ajakan kepada generasi muda untuk selalu berpikir kritis dengan tetap memegang teguh nilai-nilai budaya lokal sehingga kita tetap berada di jalur yang benar. Pada lagu “Rusuh”, Tengkorak band memotret situasi ibukota Negara Indonesia saat terjadi aksi reformasi mahasiswa yang berakhir dengan kerusuhan. Keprihatinan atas tindakan represif aparat kepolisian yang merespons aksi reformasi, perusakan fasilitas umum dan aksi penjarahan berbagai oleh masyarakat yang frustasi akan kondisi sosial, seakan mencerminkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal yang tercermin dalam sila-sila Pancasila. Semua pihak terlibat, tidak lagi berpikir jernih bahwa mereka satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia. Melalui lagu ini, Tengkorak band mengingatkan seluruh pihak agar dapat berpikir kritis dan memegang teguh norma-norma budaya lokal sebagai jati diri bangsa Indonesia. Lagu “Boycott Israel”, “Zionist Exaggeration”, dan “Jihad Soldiers” memiliki makna yang berkaitan. “Boycott Israel” merefleksikan sikap protes Tengkorak band terhadap kebijakan luar negeri Amerika yang cenderung berpihak kepada Israel dalam krisis di Palestina dan Timur Tengah. Tengkorak band melihat bahwa kebijakan luar negeri pemerintahan Amerika Serikat selalu menguntungkan Israel. Bagi Tengkorak band, di antara kedua negara tersebut terdapat “kerja sama mutualisme”. Ketika perang dingin berakhir dan Uni Soviet runtuh pada tahun 90-an, di era informasi ini tidak ada lagi ancaman militer bagi Amerika Serikat. Mereka coba mengendalikan dunia dengan ekspor industri budaya seperti musik, film, bukubuku, periklanan, dan internet. Tengkorak band mengkhawatirkan ekspor produk budaya tersebut, khususnya musik, mengarah pada electronic colonialism yang sasarannya adalah pikiran individu. Menurut McPhail (2002), electronic colonialism bertujuan mempengaruhi sikap, keinginan (hawa nafsu), keyakinan, gaya hidup, dan perilaku konsumerisme yang berakibat pada hilangnya budaya lokal, kebiasaan, nilai-
nilai termasuk proses sosialisasi itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan Robinson dalam Lull (1989) bahwa distribusi musik akan menimbulkan kekhawatiran akan modern cultural imperialism yang dapat membawa pada homogenisasi sebuah “international youth culture” dan mengakibatkan erosi gradual budaya lokal. Implikasi lagu ini adalah Tengkorak band menghimbau audiensnya untuk berpikir kritis dan tetap berpegang pada norma-norma budaya lokal Indonesia agar tidak terjebak pada electronic colonialism dalam menghadapi era informasi ini. Pada lagu “Zionist Exaggeration” Tengkorak band menggambarkan bahwa electronic colonialism merupakan hasil kerja rahasia gerakan Zionis internasional. Sebagai rezim pemaknaan (regime of significance) yang berada di balik lahirnya politik luar negeri Amerika Serikat, mereka dapat melakukan apa yang disebut Marcuse (1964) dalam Nugroho (1999) sebagai desublimasi represif, yaitu memproduksi realitas sosial yang diterima masyarakat dengan puas walaupun implikasi makna-makna tersebut menindas secara intelektual dan kultural. Mereka mempengaruhi pikiran masyarakat internasional melalui dominasi dan hegemoni makna atas berbagai peristiwa, pengetahuan, kesadaran dan wacana. Oleh karena itu, Tengkorak band berargumen bahwa tindakan zionis internasional sebagai regime of significance inilah teroris yang sebenarnya. Melalui lagu ini, Tengkorak band membangkitkan kesadaran audiensnya untuk berpikir secara kritis dengan mengingatkan bahaya gerakan zionis ini. “Jihad Soldiers” menjadi lagu Tengkorak band yang merefleksikan semangat juang dalam menghadapi penindasan dan solidaritas sesama muslim di dunia. Lagu ini memiliki makna yang luas. Di satu sisi, dengan melihat agresi militer Israel di wilayah Palestina yang dilakukan pada Desember 2008, Tengkorak band berusaha mengajak audiensnya untuk mendoakan saudara-saudaranya sesama muslim di wilayah tersebut untuk tetap kuat. Sebagai generasi muda muslim, Tengkorak band mengajak audiensnya berpikir kritis untuk berjuang mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam diri sendiri sebagai bentuk jihad di era electronic colonialism ini. Karena, berjuang melawan hawa nafsu merupakan pertempuran terbesar yang harus dihadapi oleh kita yang tidak berada di Timur Tengah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lirik lagu merupakan ekspresi pandangan dunia dalam kaca mata penyanyi dan penciptanya. Pesan yang disampaikan melalui lirik lagu Bencana Moral, Konflik, Rusuh, Boycott Israel, Rusuh, Zionist Exaggeration, dan Jihad Soldiers tidak hanya merupakan reaksi perasaan mereka atas kondisi lingkungan skala lokal namun juga dalam skala global. Selain menjadi elemen yang penting, lirik lagu-lagu tersebut juga menjadi sumber komunikasi untuk membantu konstruksi identitas audiens Tengkorak band. Bahkan, lirik lagu-lagu Tengkorak band dapat juga menggambarkan kesadaran masyarakat umum. 2. Ilustrasi Ilustrasi bagi Tengkorak band adalah sesuatu yang dapat berbentuk foto atau gambar garis, ungkapan dan lain-lain untuk memperjelas pemikiran mereka. Ilustrasi merefleksikan realitas sosial, sehingga dapat mengungkapkan sesuatu dengan lebih cepat dari pada hanya berupa teks. Dari hasil observasi, penulis memperoleh data bahwa Tengkorak band banyak menggunakan ilustrasi pada media komunikasi cetak seperti T-shirt dan sampul album (kaset maupun compact disk). Berikut matriks ilustrasi yang terdapat dalam sampul album dan t-shirt Tengkorak band:
Matriks 9. Ilustrasi sampul album, t-shirt, makna dan ideologi Tengkorak band Signifier
Makna Gambar mumi Firaun pada cover demo kaset Tengkorak band
Pelajaran bagi mereka yang mau mengambil pelajaran dan peringatan bagi mereka yang bersikap keras kepala, arogan dan tidak beriman pada Allah SWT
Ideologi Berpikir kritis
Signifier
Makna
Ideologi
Ilustrasi pada cover album “Konsentrasi Massa”
Peristiwa kerusuhan yang terjadi tahun 1998 di Indonesia mengindikasikan adanya konspirasi kelompok elit tertentu
Berpikir kritis
Ilustrasi pada cover album “Darurat Sipil”
Nusantara tidak lepas dari pengaruh gerakan zionisme internasional
Berpikir kritis
Ilustrasi pada cover album “Agenda Suram”
Resistensi/keprihatin an atas kebijakan militer Israel atas Palestina
Berpikir kritis
Ilustrasi Tshirt Tengkorak band (United State of ASU): Gambar kiri tampak depan. Gambar kanan tampak belakang
Keprihatinan atas kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang bersifat desublimasi represif
Berpikir kritis
Ilustrasi album “Agenda Suram” pada tshirt Tengkorak band. Gambar kiri tampak depan. Gambar kanan tampak belakang.
Resistensi/keprihatin an atas kebijakan militer Israel atas Palestina
Berpikir kritis
Ilustrasi pada cover album “It’s a Proud to Vomit Him” mencerminkan banyak pelajaran yang dapat diambil dari kisah seorang Firaun. Mulai dari pertandingan antara Nabi Musa dengan para tukang sihir pengikut Firaun yang dimenangkan oleh Nabi Musa berkat bantuan Allah SWT sampai dengan tenggelamnya Firaun dan bala tentaranya di tengah-tengah laut pada saat mengejar Nabi Musa. Sebagai generasi muda muslim, pesan yang ingin disampaikan oleh Tengkorak band melalui cover album ini adalah agar kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Firaun dengan menghindari sikap keras kepala, arogan serta tidak beriman kepada Allah SWT mengingat budaya negatif musik rock underground dapat menjauhkan kita dari Sang Pencipta. Situasi kerusuhan pada saat reformasi pemerintahan tahun 1998 merupakan refleksi dari ilustrasi cover album perdana Tengkorak band yang berjudul “Konsentrasi Massa”. Kepada penulis, Ombat Nasution, vokalis Tengkorak band menyatakan bahwa sengaja mendesain gambar dua pria berdasi yang sedang berdiskusi pada posisi sentral di cover tersebut untuk menggambarkan adanya aktor intelektual dari tragedi tersebut. Sehingga, cover album tersebut memiliki makna adanya permainan politik atau konspirasi di tingkat elite politisi terkait kerusuhan 1998 di Indonesia. Menurut Ombat Nasution, vokalis Tengkorak band, ilustrasi gambar mata satu (all seing eyed) dengan bendera Israel disilang yang terletak di atas gambar kepulauan nusantara pada cover album Darurat Sipil yang didesain olehnya memiliki makna besarnya pengaruh gerakan zionis internasional dalam berbagai aspek kehidupan sosial di Indonesia. Ridyasmara (2006) mengungkapkan bahwa gambar mata satu ini merupakan gambar mata dewa horus (dewa matahari kaum paganisme). Simbol ini menjadi simbol paling terkenal di dunia yang digunakan oleh Freemason, salah satu fungsionaris kelembagaan zionisme yang berada di balik pemerintahan Amerika Serikat. Mereka merupakan representasi dari negara adidaya tersebut yang melakukan intervensi terhadap pemerintah Indonesia sehingga memiliki kemampuan untuk membentuk wacana publik yang diterima apa adanya oleh individu meskipun pada dasarnya implikasi wacana yang diciptakan itu menindas intelektual dan kultural
masyarakat. Sementara itu, Ombat mengaku bahwa makna dari ilustrasi bendera Israel disilang yang dimuat olehnya adalah sikap resistensi Tengkorak band terhadap gerakan zionis Israel tersebut. Untuk ilustrasi pada cover album “Agenda Suram”, Ombat Nasution mengatakan bahwa gambar sepatu tentara tanpa terlihat bagian atas memiliki makna ekspansi yang dilakukan negara-negara maju terutama Amerika Serikat terhadap negara-negara dunia ketiga. Ekspansi dilakukan berdasarkan agenda-agenda yang dimiliki, dimana salah satu agenda tersebut adalah homogenisasi budaya anak muda melalui musik. Sementara itu, untuk ilustrasi United State of ASU pada t-shirt produksi Tengkorak band, Ombat menjelaskan bahwa ilustrasi tersebut ia desain untuk merefleksikan keprihatinan Tengkorak band terhadap intervensi Amerika Serikat mulai dari bidang politik, ekonomi, sampai budaya di berbagai wilayah di dunia. Menurutnya, negara Amerika Serikat sengaja dilustrasikan sedemikian rupa menjadi seekor hewan yang identik setia dengan tuannya, dimana tuan yang dimaksud di sini adalah negara Israel. Dengan demikian, ilustrasi tersebut berimplikasi bahwa Israel memiliki posisi kuat dalam menentukan kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Berbagai ilustrasi yang didesain oleh Tengkorak band pada sampul album maupun t-shirt mereka merupakan elemen penting dalam membentuk realitas dalam pikiran audiensnya. Ilustrasi pada sampul album Its a Proud to Vomit Him, Konsentrasi Massa, Darurat Sipil, Agenda Suram, dan A.S.U membantu Tengkorak band dalam memvisualisasikan dan memperjelas lirik-lirik lagu sebagai pesan yang bersifat abstrak yang ingin mereka sampaikan kepada audiensnya. 3. Salam satu jari. Berdasarkan temuan lapang penulis, simbol salam satu jari merupakan reinterpretasi Tengkorak band terhadap simbol salam metal tiga jari melalui proses bricolage. Claude Levi-Strauss (1982) mengemukakan bahwa bricolage merupakan proses dimana elemen simbolik dikombinasikan menjadi sebuah format budaya baru. Tengkorak band merelokasi dan mentransformasikan budaya salam metal tiga jari menjadi sebuah budaya baru yang memiliki makna berbeda dari sebelumnya
disesuaikan dengan budaya lokal yang ada. Makna dari salam satu jari dapat dilihat pada matriks 10 di bawah ini: Matriks 10. Salam satu jari, makna, dan ideologi Tengkorak band Signifier Salam satu jari
Makna
Ideologi
Keesaan Allah SWT
Berpikir Kritis
Menurut vokalis Tengkorak band, salam satu jari memiliki makna pengakuan atas ketauhidan atau keesaan Allah SWT. Pada sisi lain, peneliti melihat bahwa selain merefleksikan kesadaran religius, salam satu jari juga berimplikasi pada nasionalisme Tengkorak band. Oleh karena itu, salam satu jari menunjukkan posisi Tengkorak band yang tidak mau ikut dan tunduk terhadap hegemoni salam metal tiga jari sebagai produk sosial yang memiliki makna negatif, yaitu tanduk iblis, dan sudah lama diterima begitu saja oleh mayoritas audiens musik rock underground. Tengkorak band memandang bahwa budaya musik rock undergound yang identik dengan penggunaan
obat-obatan
terlarang
dan
minuman
keras,
seks
bebas
dan
pemberontakan terhadap orang tua cenderung mengarah pada desublimasi represif hasil produksi rezim pemaknaan di balik industri musik internasional. Karena pada dasarnya budaya musik rock underground barat tersebut bertentangan dengan nilainilai budaya lokal di Indonesia. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa simbol salam satu jari tidak saja menjadi strategi Tengkorak band dalam menyebarkan makna positif di audiensnya namun juga merupakan respons mereka terhadap hegemoni salam metal tiga jari. Hal ini sejalan dengan pendapat Hebdige (1979) yang mengatakan bahwa bricolage merupakan strategi dan respon atas situasi sosial yang spesifik. Melalui salam satu jari, Tengkorak band memberikan pilihan kepada audiensnya untuk berpikir kritis dengan menggunakan akal pikirannya dalam memandang signifikan simbol yang ada
dalam musik rock underground barat agar tidak terlena dalam pengaruh negatif musik tersebut. Sehingga, pada akhirnya audiens tidak lagi menjadi obyek namun memposisikan diri mereka sebagai subyek dalam menyikapi implikasi ideologi budaya musik rock underground barat. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa simbol-simbol signifikan Tengkorak band mulai dari lirik, ilustrasi, sampai dengan salam satu jari merupakan objektivasi pengetahuan personil Tengkorak band. Simbol-simbol signifikan Tengkorak band di atas merefleksikan sebuah “perang gerilya semiotik” (semiotic guerilla warfare). Menurut Eco dalam Hebdige (1999), perang gerilya semiotik merupakan sebuah istilah yang dipakai dalam menggambarkan strategi bersifat resisten yang digunakan oleh kelompok subkultur dalam mengkonstruksi kontra hegemoni makna-makna di media. Hal ini berarti bahwa simbol-simbol signifikan yang dihasilkan Tengkorak band tidak saja menjadi sebuah kekuatan sosial dalam proses
konstruksi
identitas
namun
juga
menjadi
kekuatan
sosial
dalam
mendekonstruksi simbol-simbol signifikan musik rock underground barat. 4. 3. 3. Konstruksi Identitas Audiens Tengkorak band 1. Audiens 1 (Audiens dengan identitas abu-abu) Aries Zona Febrian atau biasa dipanggil dengan nama Gomes adalah seorang penggemar Tengkorak band yang lahir pada tahun 1989. Ia merupakan lulusan sebuah sekolah menengah kejuruan di wilayah Karawang, Jawa Barat. Saat ini, Gomes terpaksa kehilangan pekerjaan dari tempatnya bekerja akibat dampak krisis global yang melanda tempatnya bekerja dua tahun lalu. Kegiatannya sehari-hari lebih banyak membantu orang tuanya dengan menjaga adik perempuannya di rumahnya di Ciranggon, Karawang, Jawa Barat. Sebagai produk sosial, pada dasarnya musik rock underground telah hadir di wilayah penghasil beras tersebut sebelum Gomes memasuki pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Menurut Gomes, anak-anak muda di lingkungannya yang tergabung dalam komunitas Ciranggon Bergerak Gerakan Bawah (CBGB) sering berkumpul setiap Jumat malam di warung tidak jauh dari rumah tetangganya yang
bernama Ewok, seorang anak muda yang menjadi pusat informasi karena banyak memiliki pengetahuan tentang musik rock underground. Mereka
menghabiskan
waktu sambil memutar musik rock underground melalui perangkat elektronik yang tersedia. Gomes mengatakan bahwa musik rock underground menjadi pelumas sosial dalam interaksi tersebut dimana Tengkorak band adalah salah satu wacana utama dalam interaksi sosial ini karena memiliki audiens yang besar di kalangan penggemar musik rock underground. Gomes sendiri mengaku bahwa pada awalnya ia hanya ikut kumpul bersama temanteman sekitar rumahnya dan tidak mengerti sama sekali tentang jenis musik rock underground yang dimainkan oleh Tengkorak band. Berikut penuturannya: ”Yah..biasa-biasa aja gitu waktu pertama denger om. Saya tanya sama si Ewok, ini musik apa sih wok? Lu mah gak bakalan ngerti deh ceuna dengerin musik ginian mah. Ya udah dengerin aja. Ya, nggak sempet langsung suka gitu om. Nggak ngerti dan belum paham banget.” Memasuki bangku kelas 3 SMP tahun 2003, interaksi Gomes dengan EW dan teman-teman lainnya dalam komunitas CBGB semakin intensif. Rasa ketertarikannya akan musik rock underground juga semakin tinggi, sementara waktu menyaksikan televisi bersama keluarga mulai kurang menarik bagi dirinya. Setiap lepas sholat Maghrib, ia sering berkunjung ke rumah Ewok untuk mendengarkan musik rock underground. Di sinilah momen pertama Gomes mendengar lagu ”Konflik” milik Tengkorak band yang ada dalam kaset kompilasi Metalik Klinik 1 produksi Musica Records. Dari sekian banyak lagu rock underground yang diputar kaset kompilasi tersebut, ia tertarik dengan Tengkorak band. Sejak itu, Gomes mulai mengenal Tengkorak band dan menemukan dunia lain selain keluarganya, sub dunia musik rock underground mulai masuk dalam kehidupan sehari-harinya. Adanya fenomena peer pressure dalam interaksi Gomes dengan komunitasnya semakin mendorong Gomes untuk mengetahui lebih jauh musik rock underground yang dimainkan Tengkorak band. Berikut pengakuan Gomes mengenai peer pressure:
”Heeh..sering dengerin terus sering kumpul bareng sama temen gitu. Didoktrin sama temen. Wah, pokoknya gitu...apa....pamer-pamer melulu lah, musik kita nih laki banget gitu macho banget.” Dari hubungan informal peer group ini, Gomes juga mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan musik rock underground dari Ewok dan teman-teman lainnya. Mulai dari ideologi sampai simbol-simbol signifikan yang terdapat dalam rock underground. Akan tetapi, Gomes menyatakan bahwa dalam hal cara berpakaian ia lebih banyak mempelajarinya dari foto-foto personil band yang ada cover kaset dan majalah khusus musik, bukan melalui interaksi dengan sesama teman dalam peer group. Sedangkan aktivitas slamming, yang biasa dilakukan saat pertunjukan berlangsung, dipelajari secara langsung dalam sebuah pertunjukan musik rock underground yang diselenggarakan di Gelanggang Olah Raga Karawang. Turning point Gomes semakin menyukai Tengkorak band adalah pada saat menyaksikan pertunjukan Tengkorak band tahun 2003 di Senayan, Jakarta. Keingintahuan, kekaguman serta keinginan untuk mereduksi tekanan emosinya yang terpendam melatarbelakangi ia menghadiri pertunjukan Tengkorak band. Berikut pernyataan Gomes: “Waktu nonton di Senayan. Wah, chaos banget nih Tengkorak manggungnya. Di situ sukanya oom, jadi ah…gila banget. Liriknya juga pemberontakan-pemberontakan gitu, resis sama pemerintahan. Nggak mau tertindas gitu.” Gomes menyukai Tengkorak band karena musik, isi lirik, dan orasi vokalis Tengkorak band di atas panggung cocok dengan jiwanya. Ia mengungkapkan bahwa ketiga elemen tersebut dapat merefleksikan realitas sosial yang ia lihat dan rasakan selama ini. Musik yang dihasilkan serta orasi vokalis Tengkorak band sebelum tampil, menjadi pengantar kepada dirinya dalam mengirimkan pesan dalam lirik lagu. Gomes melegitimasi makna pesan dari Tengkorak band, sehingga terjadi konvergensi ideologi antara Tengkorak band dengan dirinya. Ia menangkap bahwa inilah dunia musik dimana sesuai dengan pemikirannya. Sebagai perwujudan bahwa dirinya merupakan penggemar Tengkorak band, Gomes mengekspresikan kekagumannya dengan mengoleksi hasil karya Tengkorak
band mulai dari album Tengkorak band baik dalam format kaset maupun cd, serta tshirt, sampai dengan stiker. Artefak-artefak ini menjadi penting bagi Gomes bukan saja karena menjadi tanda bahwa ia merupakan bagian dari audiens Tengkorak band namun juga di dalamnya terdapat simbol-simbol signifikan yang memiliki makna subyektif baginya maupun produsennya. Ketika ditanya simbol-simbol signifikan apa saja yang bermakna, Gomes menyebutkan simbol-simbol tersebut antara lain lagu dan lirik, ilustrasi pada t-shirt dan cover kaset serta aktivitas slamming dan orasi sang vokalis. Lagu Konflik yang terdapat dalam salah satu koleksi kasetnya dan juga menjadi lagu favoritnya memiliki makna kritik terhadap para pelajar yang terlibat dalam tawuran. Bagi Gomes, lagu ini seolah merepresentasikan fenomena tawuran antarpelajar yang sering terjadi di Karawang. Sedangkan aktivitas slamming yang dilakukannya pada saat pertunjukan baginya memiliki makna luapan emosi dirinya. Sementara itu, Gomes menyetujui orasi vokalis Tengkorak band sebelum membawakan lagu ”Boycott Israel”, orasi tersebut menunjukkan arogansi politik luar negeri Amerika dan Israel di wilayah Timur Tengah, terutama di wilayah Palestina. Gomes menyadari bahwa semua simbol-simbol signifikan yang terdapat dalam hasil karya Tengkorak band merupakan bentuk komunikasi simbolik. Simbolsimbol signifikan yang dimaksud di sini adalah lagu dan liriknya, orasi, aktivitas slamming serta ilustrasi pada t-shirt Tengkorak band. Simbol-simbol tersebut merupakan suatu produksi makna dari proses-proses subyektif para personil Tengkorak band. Sebagai penggemar, Gomes mengidentifikasikan dirinya dengan Tengkorak band. Ia secara aktif menyerap makna-makna yang terkandung dalam lagu dan lirik, orasi, serta ilustrasi yang ada sehingga makna-makna yang dilegitimasinya mengkonstruksi pemikiran atau cara pandangnya terhadap dunia. Ia memahami identitas dirinya sebagai penggemar Tengkorak band yang mencoba untuk berpikir kritis dan tidak terpengaruh budaya negatif musik rock underground seperti mengkonsumsi narkoba, menghiasi tubuhnya dengan tato, memberontak terhadap orang tua maupun melakukan seks sebelum nikah. Meski demikian, Gomes tidak selalu melegitimasi simbol-simbol signifikan yang
diproduksi Tengkorak band.
Berikut pernyataannya mengenai simbol signifikan
salam satu jari: “Yang saya rasain, metal itu satu kesatuan. Semuanya sama rata dan nggak ada yang dibedain.” Untuk simbol signifikan salam satu jari, Gomes mengaku sama sekali tidak memahami makna simbol signifikan tersebut. Menurutnya, salam dua, tiga, atau pun satu jari di dalam rock underground tidak memiliki perbedaan makna yang signifikan. Akan tetapi, Gomes menegaskan bahwa hal tersebut tidak mengurangi rasa kagumnya terhadap Tengkorak band. Ia menegaskan salah satu alasan ia mengidentifikasi dirinya dengan Tengkorak band adalah karena keinginan untuk memiliki band seperti Tengkorak band dan mereproduksi kembali simbol-simbol signifikan tersebut di Karawang, Jawa Barat. Secara skematis, proses konstruksi identitas Gomes dapat dilihat pada gambar berikut ini: PROSES SOSIALISASI
Keluarga (-) Sekolah (+) Peer group (+) Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 1
Lirik (+) Ilustrasi (+) Orasi (+) Salam satu jari (-)
Audiens identitas “abu-abu”
Ketidakpuasan (+) Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi Gambar 10. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 1
2. Audiens 2 (Audiens berpikiran kritis) Maraja Saimima, atau biasa dipanggil dengan Aja, adalah seorang penggemar Tengkorak band yang berstatus sebagai pelajar kelas 2 bekasi SMAN 5 Bekasi. Ia lahir di Jakarta 16 tahun lalu dan saat ini masih tinggal bersama kedua orang tuanya di wilayah Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. Menurut Aja, keluarganya belum memiliki tempat tinggal yang tetap, sehingga mereka harus mengontrak rumah untuk berdiam diri. Mulai dari wilayah Ciputat, Kalibata, sampai dengan area Ciranggon, Karawang, Jawa Barat pernah menjadi tempat tinggalnya. Aja mengatakan bahwa perkenalannya dengan musik rock underground pertama kali dimulai pada tahun 2001 saat ia masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Saat itu ia masih tinggal bersama orang tuanya di salah satu wilayah Ciranggon, Karawang, Jawa Barat. Di sinilah ia mendengar musik rock underground dari kaset kompilasi musik underground Metalik Klinik 1 produksi Musica Records milik kakak kandungnya yang bernama Abdul. Menurut Aja, Abdul cukup sering memutar kaset kompilasi Metalik Klinik 1 ketika berada di rumah dan pada saat berkumpul dengan teman-temannya di lingkungan rumahnya. Aja mengatakan bahwa sejak ia tinggal di Ciranggon, lingkungan sekitarnya sudah dipenuhi oleh anak-anak muda yang menyukai musik rock underground. Namun, saat pertama kali mendengarkan musik tersebut Aja belum dapat menikmatinya. Pada waktu itu, ia lebih dapat menikmati lagu-lagu dari musik rock mainstream. Berikut pengakuan Aja: ”Ya pertamanya dengar gak jelas gitu....apaan nih? Waktu itu dengerinnya Jamrud band melulu sih...he-he-he.” Ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP), Aja mengatakan mulai lebih sering mendengarkan Metalik Klinik 1 karena lingkungan pergaulan di sekolah juga dipenuhi para pelajar yang menggemari musik rock undergound. Ia mengaku dari kaset kompilasi tersebut mulai mengetahui Tengkorak band dengan lagunya ”Konflik”. Namun, ia belum memperhatikan secara detail lagu Tengkorak band itu, hanya mendengar secara sepintas saja tanpa ada kesan sedikit pun. Uniknya, Aja menyatakan bahwa turning point ia menyukai Tengkorak band itu terjadi bukan dari Tengkorak band sendiri, melainkan ketika ia menyaksikan
Gomes dan teman-temannya tampil menyanyikan lagu ”Konflik” milik Tengkorak band di suatu pertunjukan musik di Karawang. Aja sangat terkesan dengan musik, lirik, serta gaya vokal dari lagu tersebut. Bagi Aja, musik Tengkorak band, gaya vokal dan lirik yang diproduksi terasa pas di jiwanya yang sedang dalam masa peralihan dari sosialisasi primer ke arah sosialisasi sekunder. Aja mengatakan bahwa alasan dirinya menyukai Tengkorak band disebabkan karena musik, lirik, suara vokal & sikap personilnya. Berikut penuturan Aja: “Musiknya enak & liriknya sosial politik banget, beda sama yang lain. Vokalnya bagus & personilnya jg baik-baik.” Situasi ini menunjang terjadinya peningkatan interaksi antara dirinya dengan peer group serta mobilitas dalam rutinitas sehari-hari. Sedangkan waktu bersama kedua orang tuanya mulai berkurang begitu pula dengan kebiasaannya menggunakan media. Ia pun semakin intens mendengarkan Tengkorak band dan berinteraksi dengan Gomes dan teman-temannya. Dari Gomes, ia banyak belajar dari tentang musik rock underground dan pengalaman dalam bermusik seperti aktivitas slamming dan cara berpakaian. Selain itu, Musik rock underground menjadi bagian penting dalam rutinitas sehari-harinya. Aja mulai menemukan sebuah subdunia di luar dunia orang tuanya dengan melegitimasi makna simbol-simbol signifikan produksi Tengkorak band. Sebagai penggemar Tengkorak band, Aja mewujudkan rasa kagumnya dengan mengumpulkan berbagai artefak yang berkaitan dengan Tengkorak band, mulai dari cd, kaset, t-shirt, poster, sampai dengan stiker. Untuk kaset, Aja memiliki album Metalik Klinik 1 dan Its a Proud to Vomit Him. Sedangkan dalam format cd ia memiliki album Konsentrasi Massa, Darurat Sipil, dan Agenda Suram. Selain itu, Aja juga memiliki vcd Release from Suffering dari Tengkorak band. Baginya, semua artefak tersebut menjadi simbol-simbol signifikan yang menjadi tanda bahwa dirinya merupakan bagian dari audiens Tengkorak band dan mengantarnya pada tindakan tertentu.
Aja mengaku bahwa ia tidak begitu memahami makna dari lirik lagu Agenda Suram meskipun lagu tersebut merupakan lagu favoritnya. Begitu juga dengan ilustrasi pada t-shirt dan cover kaset Agenda Suram, meskipun ia memiliki kedua artefak itu, kepada penulis Aja mengaku belum dapat memahami maknanya. Namun ia juga menyukai lagu lainnya yang sesuai dengan jiwanya seperti Jihad Soldiers, Konflik, Rusuh, Pemimpin Gila, dan United State of ASU. Menurut Aja, orasi vokalis Tengkorak band sebelum membawakan sebuah lagu yang dapat memudahkan dirinya untuk memahami isi lirik lagu. Aja mengakui orasi yang sangat sesuai dengan pemikirannya adalah orasi vokalis Tengkorak band yang mengkritik kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Sementara itu, ia menyatakan bahwa makna stiker dan poster agar menunjukkan bahwa dirinya adalah salah seorang penggemar Tengkorak band. Berikut penuturannya: ”Stiker ditempelin di gitar. Ya kalo bukti nge-fans aja gitu....masak nge-fans nggak punya atributnya. Poster tengkorak band album ”Konsentrasi Massa” saya pasang di tembok kamar. Harus punyalah....nge-fans masak nggak ada!...he-he.” Aja menambahkan bahwa pada saat menyaksikan Tengkorak, ia juga sering melakukan aktivitas slamming sebagai bentuk apresiasi kepada Tengkorak band. Kepada penulis ia mengaku bahwa makna aktivitas slamming adalah menghilangkan stress atau membebaskan beban pikiran dari tekanan pelajaran sekolah yang tinggi. Menurutnya, setelah melakukan aktivitas slamming, pikirannya terasa bebas. Singkatnya aktivitas slamming menjadi sebuah katarsis. Satu lagi simbol signifikan produksi Tengkorak band yang memiliki makna bagi Aja adalah salam satu jari. Simbol ini muncul paling akhir dalam kehidupannya, namun memiliki makna paling signifikan karena bagi Aja salam satu jari memiliki makna ketaatan kepada sang Pencipta yaitu Ketuhanan yang maha esa. Aja menyadari bahwa simbol-simbol signifikan tersebut merupakan suatu produksi makna dari proses-proses subyektif para personil Tengkorak band. Oleh karena itu, sebagai penggemar, Aja mengidentifikasikan dirinya dengan Tengkorak band. Ia secara aktif menyerap makna-makna yang terkandung dalam lagu dan lirik,
serta orasi yang sering disuarakan vokalis Tengkorak. Makna-makna yang dilegitimasi olehnya secara tidak langsung ikut mengkonstruksi pemikiran atau cara pandangnya terhadap dunia sehari-hari. Oleh karena itu, ia sangat menyetujui pemikiran Tengkorak band yang disimbolisasi melalui salam satu jari. Berikut penuturan Aja. “Saya setuju, Dengan adanya salam satu jari bisa menimbulkan halhal positif om buat para penikmat musik underground. InsyaAllah mereka bisa berubah, dari yang sesat kembali ke jalan yang benar om. Tp itu tergantung individunya, karena dengan adanya salam satu jari menimbulkan berbagai opini tuh om. Ada yg setuju ada yang enggak. Bagi yg gak setuju, mungkin yg sejak awal suka band-band metal tiga jari jd membenci band-band metal satu jari setelah muncul salam satu jari. Tapi saya mah setuju om dgn adanya salam satu jari.” Menurut Aja, pengetahuan yang ia serap dari simbol-simbol signifikan Tengkorak band sedikit banyak mempengaruhi sikapnya dalam mengambil tindakan. Sebagai pelajar, ia memang tidak setuju dengan aktivitas tawuran, lebih dari itu, ia juga berusaha tidak melakukan korupsi nantinya jika ia bekerja. Sedangkan , sebagai penggemar Tengkorak band, simbol satu jari menjadikannya lebih kritis dalam memandang simbol-simbol signifikan yang ada dalam musik rock underground itu sendiri. Aja mengaku tidak merokok, menggunakan obat-obatan terlarang dan minuman keras, terlibat tawuran serta seks bebas karena tidak tertarik. Selain itu, agama masih menjadi filter baginya dalam menjauhkan hal-hal negatif tersebut darinya. Ia pun mengaku bahwa dirinya ingin sekali dapat memiliki kelompok musik seperti Tengkorak band yang menyuarakan pesan-pesan positif melalui penampilan di atas panggung sehingga ia berharap dapat menyebarluaskan kepada temantemannya. Untuk lebih mudahnya, secara skematis proses konstruksi identitas Maraja Saimima dapat dilihat pada gambar berikut ini:
PROSES SOSIALISASI
Keluarga (+) Sekolah (+) Peer group (+) Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 2
Lirik (+) Ilustrasi (-) Orasi (+) Salam satu jari (+)
Audiens berpikiran kritis
Ketidakpuasan (+) Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi Gambar 11. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 2
3. Audiens 3 (Audiens berpikiran kritis) Handy Hariyanto atau biasa dipanggil Andy merupakan penggemar Tengkorak band yang lahir di Tangerang 23 tahun yang lalu. Sehari-hari Andy bekerja pada sebuah pabrik produksi gitar yang terkemuka di Jakarta. Sampai saat ini, Andy belum berkeluarga dan saat ini ia masih tinggal bersama orang tuanya di daerah Rawa Lumbu, Bekasi. Ayah Andy adalah seorang Slankers sementara ibunya mengurus rumah tangga. Andy memiliki band rock underground bernama Vagintor dan seringkali membawakan lagu Konflik dari Tengkorak band pada berlatih bersama. Andy mengutarakan bahwa pada dasarnya musik, terutama rock underground, sudah ia dengar sejak ia masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar (SD). Menurutnya, hal ini disebabkan oleh banyaknya anak-anak muda sering berkumpul sambil
mendengarkan musik rock underground yang diputar melalui perangkat pemutar musik portabel di lingkungan sekitar rumahnya. Selain memiliki band, menurut Andy, anak-anak muda tersebut adalah teman-teman kakak kandungnya dan berusia lebih tua dari dirinya. Akan tetapi, Andy mengaku bahwa pada saat itu belum memahami jenis musik yang sering diputar kakak kandung dan teman-temannya, ia hanya sebatas mendengar & mengetahui eksistensi musik tersebut. Memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP), Andy mengatakan bahwa ia mulai banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman sepergaulannya, terutama teman satu meja di sekolahnya. Interaksi mereka tidak hanya berlangsung di sekolah saja, namun juga di luar sekolah. Tidak hanya pelajaran sekolah, mereka juga sering berdiskusi masalah musik sehingga ia mulai menyukai Tengkorak band saat mendengar teman satu mejanya memutar lagu ”Konflik” Tengkorak band dari kaset kompilasi Metalik Klinik 1. Menurut Andy saat mendengar lagu Konflik, ia merasa tersentuh oleh isi liriknya. Berikut penuturan Andy: ”Pertama kali kenal musik underground dan gue jatuh hati sama Tengkorak band pas gue dengerin kaset Metalik Klinik 1 yang judulnya Konflik, kepunyaan temen sebangku kelas 1 SMP. Waktu pas gue suka itu pas lagu Konflik deh. Kalo menurut gue itu masalah tawuran kan? Jadi, gue dalam-dalamin kayaknya kalo kayak gitu-gitu orang yang gak punya nyali. Kayaknya lagu walaupun keras...cadas kayak gini, jadi ada masukan buat orang gitu lho. Diri gue sendiri, gue ngaca sendiri lho.” Sebagai pelajar yang sering ikut dalam aksi tawuran antarsekolah, Andy merasa mendapat kritik dan masukan dari Tengkorak band melalui lagu Konflik. Akan tetapi, ia tidak menolak kritik tersebut. Sebaliknya ia merasa menemukan musik rock underground yang sejalan dengan pemikirannya. Andy melegitimasi makna yang ada dalam lagu tersebut sehingga mulai saat itu ia pun merasa menemukan sebuah dunia audiens Tengkorak band. Setelah menyukai Tengkorak band, Andy mengaku mulai mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan Tengkorak band. Mulai dari cara berpakaian, sampai aktivitas slamming yang biasa dilakukan audiens pada saat pertunjukan Tengkorak band. Menurutnya penampilannya sebelum menjadi
penggemar
Tengkorak band tidak seperti sekarang. Andy mengatakan bahwa cara berpakaian seperti personil Tengkorak band ia pelajari dari foto yang ada di cover kaset, pamfletpamflet pertunjukan musik rock underground serta meniru teman-teman sesama audien
musik
tersebut.
Sementara
itu,
untuk
informasi
pertunjukan
dan
perkembangan Tengkorak band Andy memperolehnya dari , majalah musik independen, teman-teman dan sebuah distro (distribution outlet) yang ada di wilayahnya. Andy mengemukakan bahwa pada awalnya sang ibu kurang menyukai dirinya mendengarkan musik rock underground. Menurutnya, ibu kandungnya lebih terbiasa mendengarkan musik campur sari sehingga merasa terlalu bising dengan musik Andy. Selain itu, sang ibu khawatir dengan citra musik rock underground yang identik dengan narkoba dan hal negatif lainnya. Namun, Andy berhasil meyakinkan ibu kandungnya untuk tidak terlalu khawatir bahwa ia masih memiliki agama sebagai filter. Untuk mewujudkan kekagumannya terhadap Tengkorak band, Andy mulai mengumpulkan hasil karya Tengkorak band seperti album Tengkorak band dalam format kaset dan cd, poster, pamflet, t-shirt, dan stiker. Bagi dirinya, artefak-artefak hasil reproduksi Tengkorak band ini memiliki simbol-simbol signifikan di dalamnya. Sehingga, dengan mengumpulkan berbagai artefak tersebut, secara tidak langsung ia mengekspresikan bahwa dirinya adalah bagian dari audiens Tengkorak band. Kepada penulis Andy mengaku bahwa lagu favoritnya adalah lagu Tengkorak band yang berjudul Konflik. Ia menyatakan bahwa lagu tersebut merupakan cerminan dirinya. Andy memaknai lirik lagu tersebut sebagai sebuah nasihat bagi para pelajar, begitu juga dirinya, agar tidak melakukan aktivitas tawuran yang dapat merugikan banyak pihak. Sementara itu, t-shirt Tengkorak band yang dimiliki bagi Andy memiliki makna aktualisasi dirinya sebagai penggemar Tengkorak band. Pada saat menyaksikan pertunjukan Tengkorak band Andy juga mengatakan bahwa ia selalu memperhatikan orasi vokalis Tengkorak band, melakukan salam satu jari, dan aktivitas slamming. Andy, memaknai orasi sebagai gambaran dari isi lagu yang akan dibawakan oleh Tengkorak band, sedangkan untuk salam satu jari ia
memaknainya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Sementara itu, ia memaknai aktivitas slamming sebagai bentuk apresiasi terhadap musik Tengkorak band. Menurut Andy, vokalis Tengkorak band merupakan inspirasi dirinya. Oleh karena itu, ia menyadari bahwa simbol-simbol signifikan tersebut merupakan suatu produksi makna dari proses-proses subyektif para personil Tengkorak band. Andy mengidentifikasikan
dirinya
dengan
Tengkorak
band
terutama
vokalisnya.
Menurutnya, apa yang disampaikan vokalis Tengkorak band sebelum menyanyikan sebuah lagu pada saat pertunjukan merefleksikan realitas kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan apa yang ada dalam benak pikirannya. Andy menyerap makna-makna yang terkandung dalam lagu dan lirik, serta orasi yang sering disuarakan vokalis Tengkorak band. Berikut penuturannya: ”Kalo nonton Tengkorak band seperti nonton Abang sendiri. Soalnya, Tengkorak band udah mendarah daging di otak gue. Ibarat organ tubuh gue sendiri. Ombat Nasution, vokalis tengkorak band itu influence gue bang.” Andy sangat kecewa saat mendengar vokalis Tengkorak band menyatakan bahwa Tengkorak band akan vakum. Ia mengaku langsung meneteskan air mata dan melaksanakan sholat sangat. Andy tidak setuju karena menurutnya tidak ada band rock underground yang memiliki karakter seperti Tengkorak band yang sering menyuarakan kritik terhadap kebijakan Amerika Serikat dan Israel di Timur Tengah dan wilayah lainnya. Meskipun Andy memiliki band rock underground belum sebesar Tengkorak band, ia berharap dapat mengikuti jejak idolanya tersebut. Jika ada kesempatan, setidaknya ia ingin tampil bersama Tengkorak band dalam sebuah pertunjukan. Secara skematis, proses konstruksi identitas Andy seperti telah diuraikan sebelumnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
PROSES SOSIALISASI
Keluarga (+) Sekolah (+) Peer group (+) Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 3
Lirik (+) Ilustrasi (-) Orasi (+) Salam satu jari (+)
Audiens berpikiran kritis
Ketidakpuasan (+) Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi Gambar 12. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 3
4. Audiens 4 (Audiens apolitis) Trias Sari atau lebih akrab dipanggil dengan Nia adalah pengemar Tengkorak band wanita yang lahir 40 tahun lalu di Surabaya. Pada saat masih di perguruan tinggi, ia sempat menjadi vokalis band rock underground, Retry Beauty, yang semua personilnya adalah wanita. Saat ini ia sibuk bekerja pada sebuah biro perjalanan swasta dan berstatus single parent dalam mengurus putri semata wayangnya. Sebelum mengenal Tengkorak band, Nia mengaku bahwa ia sudah mendengarkan musik rock underground sejak duduk di bangku terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 1988. Awalnya, seorang teman sekolahnya meminjamkan kaset-kaset band rock underground asing seperti Slayer band dan sebagainya. Begitu mendengarnya ia merasa cocok, karena irama yang dihasilkan sesuai dengan jiwanya saat itu. Setelah itu, Nia mengaku mulai banyak
mendengarkan berbagai band-band rock underground asing lainnya karena keingintahuannya yang besar akan jenis musik tersebut. Berikut penuturannya: ”Terus terang menyukai musik ini karena penasaran dengan musik yang cepat” Namun
demikian,
kedua
orang
tuanya
kurang
menyukai
jika
ia
mendengarkan musik rock underground karena musik tersebut identik dengan kaum adam serta hal-hal negatif seperti narkoba dan seks bebas. Oleh karena itu, Nia mengaku bahwa ia lebih sering mendengarkan musik rock underground saat bersama teman-temannya di luar rumah. Nia juga mengatakan bahwa ia lebih banyak memperoleh pengetahuan mengenai budaya musik rock underground dari temanteman sepergaulan dan cover kaset, misalnya saja cara berpakaian. Nia mengungkapkan bahwa ia mulai menyukai Tengkorak band pada saat ia duduk di bangku perguruan tinggi. Saat itu ia mendengar lagu Tengkorak band yang berjudul Konflik dari kaset kompilasi Metalik Klinik 1 milik seorang temannya dan langsung menyukai lagu tersebut karena mengingatkan dirinya akan band rock underground asal Birmingham, Inggris yaitu Napalm Death. Akan tetapi, untuk mewujudkan kekagumannya Nia tidak mengkoleksi semua album Tengkorak band seperti halnya audiens pria. Tidak semua simbol-simbol signifikan hasil reproduksi Tengkorak band bermakna bagi dirinya. Selain sulit diperoleh, sebagai wanita ia merasa cukup dengan mengunduh lagu-lagu dalam format mp3 melalui internet serta menyimpan t-shirt dan stiker Tengkorak band. Berikut penuturannya: ”Kalo stiker, aku merasa bangga aja kalau ada yang nanya–nanya… suka atau tau sama band Tengkorak nggak?” Nia mengaku dengan memiliki stiker dan menempelkannya pada motor dan helm yang dimilikinya menjadi sebuah cara bagi Nia untuk mengekspresikan diri sebagai bagian dari penggemar Tengkorak band. Ia memang lebih sering mengendarai motor dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari di Surabaya.
Sebagai seorang ibu dari seorang putri, saat ini Nia tidak dapat menyaksikan pertunjukan Tengkorak band yang digelar di luar kota Surabaya. Menurutnya, ia tidak mungkin meninggalkan putrinya hanya untuk menyaksikan penampilan Tengkorak band. Nia mengaku bahwa pada saat menyaksikan pertunjukan Tengkorak band ia tidak melakukan aktivitas slamming karena menurutnya aktivitas tersebut hanya untuk kaum pria saja, tidak untuk dirinya. Sementara itu, Nia juga mengatakan bahwa selain lagu Konflik, lagu yang ditunggu saat Tengkorak band tampil adalah lagu yang berjudul Pemimpin Gila dan Konsentrasi Massa. Akan tetapi, kepada penulis ia berterus terang bahwa dirinya tidak memperhatikan isi lirik dari kedua lagu Tengkorak band tersebut. Baginya ketiga lagu tersebut memberi kesan lucu untuk dirinya. Nia mengaku bahwa pada dasarnya ia menyukai Tengkorak band bukan karena isi liriknya, namun karena musik yang dihasilkan Tengkorak band dan penampilan mereka di atas panggung yang berbeda dengan band rock underground lainnya. Menurut Nia, Tengkorak band memainkan musik yang keras, namun sang vokalis sering menyampaikan orasinya dengan santai dan penuh humor. Namun demikian, Nia mengaku bahwa ia tidak mengidentifikasi dirinya dengan Tengkorak band sepenuhnya. Tidak semua simbol-simbol signifikan dan orasi yang disampaikan oleh vokalis Tengkorak band diserap olehnya. Ia belum dapat menentukan pendapatnya terhadap orasi yang bersifat politis seperti masalah intervensi Amerika Serikat dan Israel di Timur Tengah dan wilayah lain di dunia karena ia sendiri belum memiliki kepastian mengenai kebenarannya. Baginya, musik sebaiknya dipisahkan dari unsur politik. Begitu pula halnya dengan simbol salam satu jari yang dihasilkan Tengkorak band pada awal tahun 2010 sebagai bentuk bricolage. Nia belum sependapat dengan Tengkorak band karena menurut pendapatnya musik rock underground tidak memiliki hubungan dengan zionisme. Uniknya, Nia mengakui bahwa ia tetap merupakan fans berat Tengkorak band meskipun di satu sisi pemikiran Tengkorak band bertentangan dengan cara pandang dirinya terhadap realitas kehidupan sehari-hari. Ia bahkan mengakui jika musik yang dimainkan Tengkorak band berperan menaikkan semangat dan rasa
percaya dirinya. Oleh karena itu, kepada penulis ia berharap agar Tengkorak band tidak berhenti di tengah jalan dalam bermusik. Proses konstruksi identitas yang telah dilalui oleh Nia seperti yang telah diuraikan di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini: PROSES SOSIALISASI
Keluarga (-) Sekolah (+) Peer group (+) Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 4
Lirik (-) Ilustrasi (-) Orasi (-) Salam satu jari (-)
Audiens Apolitis
Ketidakpuasan (-) Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi Gambar 13. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 4
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa konstruksi identitas audiens Tengkorak band melalui proses sosialisasi menghasilkan identitas yang berbeda. Dua audiens memiliki kesadaran kritis yaitu audiens 2 dan 3, satu audiens memiliki identitas abu-abu yaitu audiens 1, dan satu audiens memiliki identitas apolitis yaitu audiens 4. Keberagaman identitas ini disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan komunikasi dari keempat audiens Tengkorak band. Tidak ada seorang audiens tersebut yang memiliki kesempatan yang sama untuk membaca berbagai materi-
materi dan tidak ada seorang audiens pun yang berinteraksi secara akurat dengan agen sosialisasi yang sama pula. Selain itu, perbedaan aspek sosiodemografik (jenis kelamin, usia, lokasi, tingkat pendidikan, bahasa, agama, pekerjaan, ideologi, dan kepemilikan media), aspek psikologis (emosi dan kebutuhan), dan aspek karakteristik perilaku (nilai dan norma serta mobilitas sosial) di antara satu audiens dengan yang lainnya juga secara tidak langsung ikut mempengaruhi proses sosialisasi yang menghasilkan keberagaman identitas audiens Tengkorak band. Artinya proses konstruksi identitas audiens yang berlangsung dalam masa sosialisasi sekunder ini tidak semudah pada masa sosialisasi primer. Dalam masa sosialisasi sekunder, konstruksi identitas audiens tidak berlangsung dalam kondisi yang nihil, namun di dalam audiens sudah terbentuk sebuah dunia beserta nilai-nilai yang dibawa pada masa sosialisasi primer. Sehingga, untuk menghasilkan audiens dengan identitas kesadaran kritis memerlukan strategi yang tepat dan waktu yang lama.
4. 3. 4. Konstruksi Identitas Audiens Hasil Penetrasi Simbol-simbol Signifikan Tengkorak band Tengkorak band merupakan sebuah kelompok musik yang memainkan jenis musik rock underground. Menurut James Lull (1989), musik jenis ini termasuk dalam kategori musik oppositional subculture. Hal ini disebabkan karena ideologi bermusik Tengkorak band tidak mementingkan masalah finansial serta memanfaatkan industri lebih untuk menyatakan orientasi alternatif dan subkultur yang dinyatakan dalam ruang publik melalui simbol-simbol signifikan yang bersifat politis. Simbol-simbol signifikan yang dihasilkan oleh Tengkorak band disebut sebagai manifestasi dari gerakan sosial baru yang memiliki potensi terjadinya difusi ideologi di antara mereka dengan audiensnya. Musik Tengkorak band yang berirama cepat, lirik yang eksplisit dan kritis yang mengangkat tema kritik sosial dimana mayoritas anak muda tidak berani menyuarakannya serta sikap personil yang bersahabat menjadi daya tarik sebagian generasi muda yang memiliki kegelisahan terhadap situasi sosial sehingga membuat Tengkorak band memiliki audiens yang cukup banyak di Indonesia.
Audiens Tengkorak band adalah individu-individu yang memperlihatkan selera musik mereka terhadap musik Tengkorak band. Keempat subyek penelitian menunjukkan keterlibatan mereka terhadap musik Tengkorak band melalui proses sosialisasi. Berger (1990) mengatakan bahwa sosialisasi adalah suatu proses interaksi individu dengan lingkungannya dimulai dari momen eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural), objektivasi (interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi (proses dimana individu mengindentifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya). Menurut peneliti, empat audiens Tengkorak band yang menjadi subyek penelitian ini membentuk identitas dengan melakukan pemaknaan terhadap simbolsimbol signifikan yang terdapat pada budaya musik Tengkorak band melalui proses sosialisasi. Pada awalnya, keempat audiens mulai mengenal Tengkorak band pada masa sosialisasi sekunder. Mereka mengalami eksposur dan menyukai musik Tengkorak band pada saat berinteraksi dengan peer group yang dekat dengan lingkungan sehari-hari. Kemudian, audiens mulai mengekspresikan kekaguman dengan mengumpulkan kaset, cd, t-shirt, menghadiri konser yang sesuai dengan selera mereka. Setelah itu, mereka mulai mengintegrasikan nilai-nilai yang ada ke dalam substansi kehidupan sehari-hari dan berusaha menjadi identik dengan Tengkorak band. Berbeda dengan apa yang teori Berger jelaskan sebelumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi identitas audiens Tengkorak band tidak hanya terbentuk oleh teman sebaya yang berfungsi sebagai significant others mereka, akan tetapi di dalam proses konstruksi identitas ini juga melibatkan media massa seperti yang dinyatakan oleh Bungin (2007). Audiens Tengkorak band melakukan pemaknaan terhadap simbol-simbol signifikan Tengkorak band yang tersedia di media massa (majalah underground serta cover kaset dan cd), media format kecil (stiker dan pamflet) serta media lini bawah (t-shirt dan stiker). Menurut Laswell (1964), salah satu fungsi media massa adalah mentransmisikan nilai dan kultur dari satu generasi ke generasi lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa media
massa, media format kecil dan media lini bawah, secara tidak langsung ikut memperkuat konstruksi identitas audiens Tengkorak band. Salah satu temuan peneliti menunjukkan bahwa audiens Tengkorak band banyak melakukan pemaknaan terhadap simbol-simbol signifikan gaya berpakaian melalui media cover kaset, cd, dan majalah underground. Audiens Tengkorak memaknai gaya berpakaian Tengkorak band sebagai gaya berpakaian yang sederhana, apa adanya, namun kritis. Gaya ini kemudian menjadi identitas audiens Tengkorak band yang dapat dilihat secara kasat mata. Menurut Barnard (1996), di dalam gaya berbusana terdapat muatan budaya dan ideologi. Melalui gaya yang sederhana dan kritis, karena ilustrasi yang terdapat di dalamnya menunjukkan sikap politis Tengkorak band, audiens Tengkorak mengekspresikan ideologinya sebagai individuindividu yang berpikiran kritis. Individu-individu ini menampilkan gaya berpakaian tersebut dengan tujuan menunjukkan identitasnya kepada orang lain dan gaya yang demikian itu membuat mereka merasa sebagai bagian dari audiens Tengkorak band yang tersebar di berbagai wilayah meskipun tidak saling mengenal. Simbol signifikan Tengkorak band berikutnya yang berpotensi menimbulkan terjadinya difusi ideologi adalah ilustrasi yang terdapat pada cover kaset, cd, dan tshirt produksi Tengkorak band. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat audiens melakukan pemaknaan terhadap ilustrasi tersebut secara beragam. Pada satu sisi, Gomes dan Aja melakukan pemaknaan bahwa ilustrasi merupakan ekspresi pemikiran dari Tengkorak band, sehingga keduanya menjadikan ilustrasi sebagai bagian dari identitas diri mereka sebagai audiens Tengkorak band yang berpikiran kritis. Di sisi lain, Andy dan Trias memberi makna bahwa ilustrasi tersebut tidak memiliki implikasi yang mendalam. Lagu-lagu Tengkorak band yang memiliki beat yang enerjik dan lirik yang kritis juga menjadi salah satu simbol signifikan yang dimaknai oleh audiens Tengkorak band dalam membentuk cara pandang terhadap dunia. Menurut Lull (1989) jelas bahwa lirik dan beat sebuah lagu tidak dapat dipisahkan, keduanya memiliki dampak yang mendalam. Beat lagu dipandang sebagai suatu media untuk mengirimkan lirik masuk jauh ke dalam pikiran audiensnya secara ritmik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa keempat audiens Tengkorak band memiliki lagu kesukaan yang beragam dan dimaknai secara beragam pula oleh mereka. Bagi ketiga subyek penelitian pria, lirik lagu-lagu Tengkorak band yang mereka sukai memberi kontribusi dalam membentuk cara pandang mereka terhadap dunia, terutama dalam menyikapi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Amerika Serikat dan Israel. Sehingga, tiga subyek penelitian berpotensi untuk menjadi audiens yang berpikiran kritis seperti yang diharapkan Tengkorak band. Akan tetapi, satu-satunya audiens wanita mengaku lebih menikmati beat lagu Tengkorak band
daripada
memperhatikan isi liriknya. Ia memaknai beat tersebut sebagai sebuah reduksi ketegangan atau hiburan semata yang mampu menaikkan situasi mood-nya. Baginya lirik-lirik politis yang ditulis Tengkorak band belum dapat mengkonstruksi identitas dirinya sebagai audiens Tengkorak band yang berpikiran kritis. Dengan demikian, temuan peneliti menunjukkan bahwa terdapat dua kategori audiens dalam Tengkorak band yaitu mereka yang memanfaatkan lirik dan beat dan mereka yang hanya lebih mengutamakan beat saja. Kategori audiens Tengkorak band yang pertama memiliki kecenderungan untuk menjadi identitas audiens yang berpikir kritis sedangkan kategori kedua lebih mengarah pada identitas audiens yang apolitis. Simbol signifikan Tengkorak band lainnya yang peneliti temukan selama pengamatan
lapang
adalah
orasi
vokalis
Tengkorak
band.
Orasi
yang
menggambarkan isi lagu dilakukan pada saat berinteraksi dengan audiens ketika sedang konser. Komunikasi antara vokalis dengan audiensnya pada saat konser ini memperkuat pemaknaan yang dilakukan audiens terhadap pesan yang terkandung dalam isi lagu Tengkorak band. Sehingga, dapat dikatakan bahwa orasi vokalis tersebut juga berperan memberikan acuan di dalam proses konstruksi identitas audiens tengkorak band. Temuan peneliti menunjukkan bahwa tiga audiens pria memiliki pemaknaan yang sama sedangkan satu audiens wanita menyatakan keraguannya dalam melegitimasi makna yang terdapat dalam orasi vokalis Tengkorak band. Gejala ini disebabkan oleh adanya pertentangan
antara isi orasi vokalis
Tengkorak band dengan nilai-nilai yang sudah terinternalisasi sebelumnya pada audiens tersebut.
Aktivitas slamming merupakan sebuah simbol signifikan yang peneliti temukan sering terlihat pada saat Tengkorak band melakukan pertunjukan. Pada dasarnya simbol ini bukan hasil produksi Tengkorak band, melainkan produksi budaya musik rock underground pada umumnya. Menurut Lull (1989) aktifitas slamming merupakan simbolisasi kesadaran pada setiap orang yang tidak menginginkan adanya perbedaan-perbedaan kelas di antara kedua pihak yang berinteraksi atau hilangnya jarak baik fisik maupun psikis antara musisi dan audiensnya. Berbeda dengan Lull, dari hasil penelitian mengungkapkan bahwa tiga audiens pria memaknai aktifitas slamming ini sebagai bentuk pelepasan emosi mereka serta apresiasi mereka terhadap band idolanya. Melalui aktifitas ini audiens juga berusaha menunjukkan identitas mereka sebagai penggemar Tengkorak band. Sementara itu, satu orang audiens wanita tidak melakukan aktifitas tersebut karena aktifitas tersebut tidak sesuai jika dilakukan oleh seorang wanita. Simbol signifikan yang paling akhir muncul di dalam tubuh Tengkorak band adalah salam satu jari. Simbol ini muncul di awal tahun 2010, namun sangat membantu audiens Tengkorak band dalam proses konstruksi identitas mereka sebagai audiens yang kritis. Simbol salam satu jari berpotensi menjadi refensi simbol yang membangkitkan kesadaran mereka agar tetap ingat kepada sang pencipta serta belajar memahami kontradiksi sosial dan berpikir kritis terhadap budaya musik rock underground yang lebih identik dengan nilai-nilai negatif seperti yang disebut dalam Lull (1989) yaitu memberontak dari orang tua, menggunakan narkoba, dan radikalisasi penampilan. Hadirnya simbol salam satu jari dengan nilai dan gaya yang meninggalkan budaya mapan musik rock underground membuktikan bahwa ideologi Tengkorak band menjadi kekuatan untuk menggeser posisi salam metal dua dan tiga jari dalam konteks yang tepat. Dari temuan peneliti, keempat audiens memaknai salam satu jari secara beragam. Dua audiens melegitimasi makna tersebut dengan mulai mengubah pola salam sebagai bentuk konvergensi ideologi mereka dengan Tengkorak band. Sedangkan dua audiens lainnya masih tetap bertahan dengan pola salam budaya musik rock underground lama. Satu audiens pria tidak mengubah pola salam lebih disebabkan oleh karena distribusi pengetahuan yang tidak merata seperti
yang dikatakan oleh Berger (1990). Sementara itu, satu audiens wanita belum melegitimasi salam satu jari karena memiliki kecenderungan adanya konflik intrapersonal. Widgery dalam Hamidi (2007) menyebut konflik intrapersonal tersebut dengan istilah disonansi kognitif, yaitu suatu ketegangan keadaan psikologis yang terjadi, sehingga seseorang menjadi sadar akan adanya hubungan yang tidak serasi antara kognisi-kognisinya, perasaan-perasaannya, nilai-nilainya, dan perilakuperilakunya. Sejumlah audiens yang tergabung dalam komunitas salam satu jari bekerja sama dengan personil Tengkorak band memanfaatkan media jejaring sosial di internet dengan membuka akun facebook untuk Tengkorak band yaitu “Tengkorak (The Greatest Indonesian Metal Legend)” untuk menyebarluaskan informasi terkini serta berinteraksi dengan audiens lainnya di berbagai wilayah. Melalui media ini, komunikasi antara Tengkorak band dan 33.176 audiensnya dapat tetap terjaga. Umumnya, para audiens mengakses facebook Tengkorak band ini untuk mengetahui karya-karya terbaru, jadwal pertunjukan, kehidupan personil, serta mengajukan berbagai pertanyaan mulai dari visi-misi Tengkorak band sampai dengan dukungan terhadap Tengkorak band. Pada dasarnya, Tengkorak band yang diharapkan identitas audiens adalah anak muda yang berpenampilan sederhana, sesuai dengan norma-norma budaya lokal dan berpikiran kritis. Ideologi ini berusaha ditularkan kepada audiens Tengkorak band melalui penetrasi simbol-simbol signifikan yang diproduksi oleh para personil Tengkorak band seperti lagu-lagu beserta liriknya, ilustrasi pada cover kaset, cd, dan t-shirt, orasi vokalis pada saat pertunjukan serta salam satu jari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua audiens berusaha membangun identitasnya sesuai dengan ideologi Tengkorak band, namun hanya dua audiens pria yang telah melakukan identifikasi dirinya dengan Tengkorak band. Kedua audiens ini adalah individuindividu yang telah masuk dalam kategori audiens berpikiran kritis dengan mengikuti perubahan pola dari salam tiga dan dua jari menjadi salam satu jari yang diproduksi Tengkorak band setahun yang lalu. Sedangkan satu audiens pria masuk dalam kategori identitas audiens “abu-abu”. Kategori identitas “abu-abu” ini adalah individu
yang melegitimasi ideologi politik Tengkorak band akan tetapi belum mengikuti perubahan pola salam satu jari. Munculnya audiens dengan identitas “abu-abu” ini diduga karena distribusi pengetahuan yang tidak merata dalam proses sosialisasi. Sementara itu, satu audiens wanita masuk dalam kategori identitas audiens yang apolitis karena ia belum melegitimasi makna simbol-simbol signifikan Tengkorak band yang berimplikasi politis dan juga belum mengikuti pola salam satu jari. Dengan demikian, pemaknaan yang telah dilakukan keempat audiens Tengkorak band melalui proses sosialisasi yang melibatkan Tengkorak band sebagai agen sosialisasi membentuk identitas mereka yang beragam. Belum adanya keseragaman identitas audiens yang diharapkan Tengkorak band melalui sosialisasi ini diduga karena distribusi pengetahuan yang tidak merata serta adanya pertentangan nilai-nilai yang sudah diinternalisasi sebelumnya dengan nilai-nilai baru yang dipenetrasi melalui simbol-simbol signifikan Tengkorak band. 4. 4. Penelitian Gerakan Sosial Baru untuk Komunikasi Pembangunan Pada bagian awal telah dikemukakan bahwa untuk mengatasi titik kritis yang dialami bidang komunikasi pembangunan akibat perubahan struktur sosial, ekonomi, dan politik dalam skala global, maka bidang komunikasi pembangunan dianjurkan untuk mengalihkan perhatian pada bidang gerakan sosial baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manifestasi gerakan sosial baru yang dilakukan Tengkorak band melalui penetrasi simbol-simbol signifikan mereka dalam proses konstruksi identitas atau sosialisasi keempat audiens telah menghasilkan identitas audiens yang beragam. Terkait dengan komunikasi partisipatif, keberagaman identitas audiens yang dihasilkan ini merupakan sebuah konsep yang akan mendorong pemberdayaan disebut oleh Rahim (2004) dengan istilah heteroglasia. Heteroglasia merupakan konsep yang menunjukkan fakta bahwa sistem pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbedabeda dengan berbagai variasi ekonomi sosial, dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik di
tingkat
nasional-lokal,
makro-mikro,
publik-privat,
teknis-ideologis,dan
informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan tersebut, terdapat pula berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau komunikasi yang melibatkan beragam peserta. Sebagai contoh, dalam level nasional pembangunan ekonomi dan politik akan menggunakan bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya kepada orang lain karena mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda. Sementara itu, petani subsisten di level pedesaan juga akan menggunakan kosakata yang berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor industri meskipun mereka memiliki bahasa nasional yang sama. Mereka mungkin membicarakan permasalahan yang sama akan tetapi mereka bisa saja tidak mengerti satu dengan yang lainnya. Tantangan bagi komunikasi pembangunan adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan heteroglasia. Bagaimana menempatkan konsep tersebut untuk kepentingan publik, bagaimana menghubungkan ideologi-ideologi, dan kelompok yang berbedabeda atau variasi pandangan tentang pembangunan tanpa menekan satu pandangan atas pandangan yang lain. Inilah yang menjadi problem dari komunikasi partisipasif. Artinya, hal ini juga menjadi problema bagi Tengkorak band bagaimana memanfaatkan keberagaman identitas audiensnya dalam menghadapi hegemoni budaya musik rock barat. Menghadapai situasi yang demikian, seperti halnya sebuah negara yang memiliki berbagai perbedaan budaya, Tengkorak band tidak memaksakan ideologi kesadaran kritis yang terdapat dalam simbol-simbol signifikan mereka. Keberagaman identitas audiens ini dipandang sebagai kekayaan budaya. Audiens dibiarkan bebas mengkonstruksi makna simbol-simbol signifikan tersebut sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki dalam konteks pendewasaan bersama. Seperti yang diungkapkan oleh Dervin dan Huesca (1997) bahwa komunikasi partisipatoris sebagai “kata kerja” untuk menegaskan bahwa tidak ada teori yang final. Begitu pula dengan identitas audiens yang tidak bersifat statis, proses sosialisasi audiens atau konstruksi identitas terus berjalan mulai individu lahir sampai akhir hayat. Ia tidak berhenti dalam satu kurun waktu. Sehingga, proses pembentukan kesadaran kritis memerlukan waktu yang dialog pengetahuan yang berkelanjutan, tidak dapat tercapai dalam waktu singkat.
Apa yang dilakukan Tengkorak band di dalam penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Servaes dalam White (2004) bahwa pembangunan harus berdasarkan pada inisiatif lokal dan mengandalkan pada diri sendiri, dimana setiap unit dari pembangunan akan memiliki modelnya masing-masing dan terdapat banyak jalan untuk melakukan pembangunan. Semua ini berimplikasi pada penolakan terhadap tesis modernisasi yang mengartikan pembangunan dengan implantasi rasionalitas dan nilai-nilai bisnis budaya barat. Berikut perbandingan budaya musik rock underground barat dengan budaya Tengkorak band: Matriks 11. Budaya Rock underground Barat vs Tengkorak band
Rock underground Barat
Tengkorak band
Penggunaan minuman keras
Menghindari minuman keras
Memberontak dari orang tua
Hormat kepada orang tua
Seks bebas
Menghindari seks bebas
Menuntut ilmu bukan prioritas
Menuntut ilmu adalah prioritas
Penggunaan salam dua dan tiga jari
Penggunaan salam satu jari
Untuk itu, komunikasi pembangunan perlu mempertimbangkan bahwa memiliki sebuah kesadaran kritis akan keunikan nilai-nilai kultural sebagai sebuah tujuan utama dari pembangunan sama pentingnya dengan produktivitas ekonomi. Semakin kuatnya rasa identitas budaya lokal dan regional akan menyediakan sebuah basis untuk mendekonstruksi hegemoni ideologi. Bricolage simbol signifikan salam satu jari Tengkorak band yang dilegitimasi oleh dua audiensnya dalam penelitian ini merupakan bukti otentik dari kekuatan pemberdayaan dalam mendekonstruksi hegemoni nilai-nilai bisnis budaya barat serta menolak homogenisasi budaya. Servaes dalam White (2004) menambahkan bahwa model pembangunan seperti ini merupakan multiplicity model, yaitu pembangunan harus diterjemahkan terutama dalam terminologi budaya daripada terminologi ekonomi dan politik. Hal ini disebabkan karena budaya merupakan arena dari perjuangan memperoleh
pemberdayaan serta gerakan-gerakan pemberdayaan itu sendiri menegaskan bahwa identitas budaya yang independen merupakan inti permasalahan.
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan 1. Pada dasarnya musik rock underground berpotensi dalam membentuk identitas diri audiensnya melalui proses sosialisasi. Tengkorak band melalui simbol-simbol signifikan yang dihasilkan menjadi kekuatan sosial dalam konstruksi identitas audiensnya. Simbol-simbol signifikan yang dimaksud adalah lirik lagu, orasi vokalis Tengkorak band pada saat melangsungkan pertunjukan, ilustrasi pada sampul album dan t-shirt Tengkorak band, serta salam satu jari. Simbol-simbol signifikan tersebut membantu memberikan referensi kepada audiens Tengkorak band dalam memandang realitas sosial sehingga dapat menampilkan tindakan yang sesuai dengan pandangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua audiens Tengkorak band memiliki identitas dengan kesadaran kritis melalui legitimasi pemaknaan terhadap simbol-simbol signifikan yang terdapat dalam lirik, orasi vokalis, dan salam satu jari Tengkorak band sehingga terjadi konvergensi ideologi di antara kedua pihak. Kesadaran kritis ini juga muncul karena interaksi audiens dengan keluarga, peer group, sekolah, dan media massa berjalan dalam iklim komunikasi yang kondusif, sehingga dari interaksi tersebut tercipta sebuah kondisi yang mendorong terjadinya pemberdayaan. Sedangkan dua audiens yang belum memiliki kesadaran kritis menunjukkan bahwa proses konstruksi identitas audien melalui simbol-simbol signifikan Tengkorak band dimaknai secara beragam karena perbedaan aspek sosiodemografik, aspek psikologis, dan aspek perilaku. Selain itu, proses konstruksi identitas audiens masih terus berjalan dalam masa sosialisasi sekunder. Proses konstruksi identitas dalam masa sosialisasi sekunder akan lebih sulit karena pada masa ini sudah terbentuk sebuah dunia sebelumnya di pikiran audiens. 2. Gerakan sosial baru muncul dalam kondisi sosial dimana terjadi peningkatan yang tajam dari arus impor ide-ide baru, barang-barang serta nilai-nilai dari masyarakat asing yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat lokal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesadaran kritis Tengkorak band yang diimplementasikan melalui nasionalisme dan harga diri tersebut muncul pada saat sistem politik di Indonesia mengalami perubahan dari sistem politik pemerintahan orde baru yang otoriter menjadi sistem politik pemerintahan reformasi yang lebih demokratis. Di mana pada situasi yang demokratis, berbagai informasi lebih mudah diakses sehingga membawa kepada perluasan cakrawala Tengkorak band. Dari perluasan cakrawala ini akhirnya muncul kesadaran untuk mengatasi adanya kontradiksi sosial, ekonomi, dan terutama budaya.
Saran 1. Tengkorak band sebagai significant other bagi pembentukan identitas sebanyak lebih dari 33.176 generasi muda di Indonesia sebaiknya tidak berhenti untuk terus mensosialisasikan nilai-nilai positif melalui simbolsimbol signifikan yang dihasilkan serta berbagai kegiatannya yang diselenggarakan.
Selain
itu,
perlu
mempertimbangkan
ide
kreatif
mengkombinasikan penyelenggaraan forum tanya-jawab mengenai simbolsimbol signifikan produksi Tengkorak band sebelum melakukan konser untuk lebih mempercepat proses sosialisasi nilai-nilai positif kepada audiensnya, mengingat simbol-simbol signifikan yang ada sulit untuk dipahami apabila audiens hanya melakukan proses pemaknaan melalui lagu dan lirik saja. 2. Tengkorak band perlu mempertimbangkan menulis lagu dengan tema pembangunan pertanian
Indonesia. Selain
untuk meningkatkan
rasa
nasionalisme, beberapa dekade terakhir fenomena menunjukkan bahwa generasi muda di Indonesia mulai kehilangan minat terhadap bidang pertanian. Tengkorak band berpotensi untuk menjadi perekat sosial dalam mengingatkan kembali akan pentingnya peranan sektor pertanian di Indonesia kepada audiensnya yang terdiri dari generasi muda melalui simbol-simbol signifikan karena musik ini berasal dari kaum pekerja yang bekerja di lahan pertanian, dan pertambangan serta lahan yang kurang beruntung lainnya.
Abrar, Ana Nadhya. 2005. Terampil Menulis Proposal Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Amkas, Finthia Sari. 2007. Metal is Not A Crime. Makalah disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Ahli Madya Ilmu Komunikasi pada Program Studi Penyiaran Program Diploma 3 Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Anugrah, Dadan; Kresnowiati, Winny. 2008. Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Jala Permata. Arsyad, A. 2000. Media Pengajaran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Aykroyd, Lucas. 2008. Global Metal. Diakses dari http://www.straight.com pada 20 November 2008. Berger, Peter. 1978. Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective. Harmonsworth, Middlesex: Penguin Books. Berger, Peter L.; Thomas, Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Terjemahan oleh: Hasan Basari. Jakarta: LP3S. Bertus; Ryo. 2007. Menggugat Indie: Bertahan atau Cuma Tren Sesaat?. Dalam Majalah Hai Edisi ke-31 No. 4, 22-28 Januari 2007, hlm. 42-47. Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Berkeley: University of California Press. Buechler, Steven M. 1999. Social Movements in Advanced Capitalism. Oxford University Press. Bungin, Burhan H. M. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi di Masyarakat. Jakarta: Kencana (Prenada Media Group). Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Edisi ke-1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Cespedes-Guevara, Julian. 2005. Musical Meaning and Communication in Popular Music (An Explanatory Qualitative Study). University of Shefield. Dissertation Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of MA in Psychology of Music.
Chinoy, Ely. 1961. Society: An Introduction to Sociology. New York: Random House. Chloridiany, Aulia. 2004. Industri Musik dalam Struktur Kapitalisme Global: Studi atas Perkembangan Perusahaan Rekaman Transnasional di Indonesia. Depok: Program Sarjana Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Hubungan Internasional. Christe, Ian. 2004. Sound of the Beast: the Complete Headbanging History of Heavy Metal. New York: HarperCollins Publishers Clausen, John A. 1968. Socialization and Society. Boston: Little Brown and Company. Darmaprawira, W. A., Sulasmi. 2002. Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaannya Edisi ke-2. Bandung: Penerbit ITB. Dedi. 2006. Fengshui Nama Band: Bombastis, Megah, dan Perkasa. Dalam Majalah Hai Edisi ke-30 No. 48, 27 November-3 Desember 2006, hlm. 66-67. Denisoff, R. S.; Peterson, R. A. 1972. Sounds of Social Change. Chicago: Rand McNally. DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia: Kuliah Dasar. Edisi Ke-5. Alih Bahasa oleh Agus Maulana. Jakarta: Professional Books. Dilla, Sumadi. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Dunaway, D. K. 1989. Music as Political Communication in the United States. Dalam James Lull ed. Popular Music and Communication: An Introduction. California: Sage Publications, Inc., 1989, hlm. 36-52. Effendy, Onong U. 2000. Kamus Komunikasi. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Emotion. Diakses dari http://www.emotionalcompetency.com pada 27 April 2008. Ensiklopedia Musik Jilid 1. 1992. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. Ensiklopedia Musik Jilid 2. 1992. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. Faisal, Sanapiah. 2005. Format-format Penelitian Sosial: Dasar-dasar dan Aplikasi.
Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas (Edisi Revisi). Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia. Diterjemahkan oleh: Tim Redaksi. Gerungan, W. A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Hamidi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi: Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. Hebdige, Dick. 1999. Subculture: the Meaning of Style. London and New York: Routledge. Hendratno, Jenniwal M. 2005. Penggunaan Media di Kalangan Remaja. Dalam Jurnal Thesis Volume IV/No.3 September-Desember. Depok: Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Henslin, James M. 2006. Essentials of Sociology: A Down to Earth Approach (6th Ed.). Boston: Allyn and Bacon. Holt, Fabian. 2007. Genre in Popular Music. Chicago: University of Chicago Press. Horton, Paul B.; Hunt, Chester L. 1991. Sosiologi Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga. __________________________1999. Sosiologi Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Huesca, Robert. 2001. Conceptual Contributions of New Social Movements to Development Communication Research. Dalam Communication Theory Vol. XI/No. 4 November 2001. Irwin P. A. 1982. Music Fundamentals: A Performance Approach. New York: CBS College Publish. Johnson, Harry M. 1961. Sociology: A Systematic Introduction. London: Routledge and Kegan Paul. Kahn-Harris, Keith. 2007. Extreme Metal: Music and Culture on the Edge. Oxford. Kendall, Diana. 2005. Sociology in Our Times. Thomson Wadsworth. Kunczik, Michael. 1985. Communication and Social Change: A Summary of Theories, Policies, and Experiences for Media Practitioners in the Third World. Bonn: the Media and Communication Department of Friedrich-Ebert-Stiftung.
Laswell, Harold. D. 1964. The Structure and Function of Communication in Society. Dalam Smith Bruce L., Laswell H. D., and, Casey R. D., Propaganda, Communication, and Public Opinion: A Comprehensive Reference Guide. Princeton: Princeton University Press. Lewis, G. H. 1989. Pattern of Meaning and Choice: Taste Cultures in Popular Music. Dalam James Lull ed. Popular Music and Communication: An Introduction. California: Sage Publications, Inc., hlm. 199-211. Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung: Citra Aditya Bakti. __________ 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Lindlof, Thomas R.; Taylor, Bryan C. 2002. Qualitative Communication Research Methods. Second Eds. London: Sage Publications Inc. Lull, James. 1989. Popular Music and Communication: An Introduction. California: Sage Publications, Inc. __________ 1989. Listeners’ Communicative Uses of Popular Music. Dalam James Lull ed. Popular Music and Communication: An Introduction. California: Sage Publications, Inc., 1989, hlm. 141-173. M. A., Budiono. 2005. Kamus Ilmiah Populer Internasional: Materi Politik-EkonomiHukum-Sosial-Budaya-Agama. Surabaya: Penerbit ”Alumni” Surabaya. McQuail, Denis. 1994. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Edisi Kedua). Jakarta: Erlangga. Miles, Matthew B.; Huberman, Michael A. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS). Moleong, L. J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. _____________1999. Politik Kulit. Dalam Nuansa-nuansa Komunikasi: Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Napalm Death. 1992. Unfit Earth. Dalam Harmony Corruption (CD). Nottingham, UK: Earache Records. Negus, Keith. 1999. Music Genres and Corporate Cultures. New York: Routledge. Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Novarina, Peny. 2005. Musik Rock dalam Budaya Tandingan Anak Muda (Studi Kasus Musik Rock pada Band Beraliran Punk Rock dan Alternatif Rock di Jakarta). Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sosiologi. Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta. Poerwadarminta, W. J. S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN Balai Pustaka. Purwanto. 1999. Memasuki Milenium Ketiga: Proses Globalisasi dan Perubahan Sosial di Indonesia. Dalam Ana Nadhya Abrar, etc. ed. Membangun Ilmu Komunikasi dan Sosiologi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Rahim, S. A. 2004. Participatory Development Communication as a Dialogical Process. Dalam White R. A. 2004. Participatory Communication Working for Change and Development. New Delhi: Sage Publication India Pvt. Ltd. Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Rosdakarya.
Psikologi Komunikasi. Bandung:
PT Remaja
Redana, Bre. 2007. Suara Zaman Ini di Glastonbury. Kompas, 8 Juli 2007. Ritzer, George; Goodman Douglas J. 2007. Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam. Diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta: Kencana (Prenada Media Group). Roberts, Ron E.; Kloss, Marsh Robert. 1979. Social Movements: Between the Balcony and the Barricade. Second Edition. St. Louis: The C. V. Mosby Company. Roe, Keith. 1989. The Scholl and Music in Adolescent Socialization. Dalam James Lull ed. Popular Music and Communication: An Introduction. California: Sage Publications, Inc., 1989, hlm. 212-229.
Roe, Keith. 1999. Music and Identity among European Youth: Music as Communication. Dalam Journal on Media Culture Volume 2 July 1999. Rudy, T. May. 2005. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Internasional. Bandung: PT Refika Aditama. Ruslan, R. 2003. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Saefullah, Ujang. 2007. Kapita Selekta Komunikasi: Pendekatan Budaya dan Agama. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Samovar, Larry A.; Porter, Richard E.; Jain, Nemi C. 1985. Understanding Intercultural Communication. Belmont, California: Santrock, John W. 2001. Adolenscence. Eight Edition. New York: MacGrow Hill International. Schaefer, Richard T. 2003. Sociology. New York: Mc Graw-Hill Companies. Sendjaja, Sasa Djuarsa. 1999. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. __________________1994. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Shadilly, Hassan. 1993. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Strauss, A. dan J. Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif (Terjemahan). Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Stroumboulopoulos, George. 2008. Interviewed with Scott McFadyen & Sam Dunn. Dalam CBC,s Hour. Wednesday, 21 May. Sunarto, Kamanto. 1985. Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia _________________1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suprapto, Tommy. 2006. Pengantar Teori Komunikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Tengkorak. 2001. Asap Tebal. Dalam Konsentrasi Massa (CD). Chiba, Japan: Bloodbath Records. Thorne, Tony. 2008. Kultus Underground: Pengantar untuk Memahami Budaya (Kaum Muda) Pascamodern. Penerjemah: Devo Rizki. Yogyakarta: The Continuum. Tobin, Dan. 2001. Napalm Death. Dalam Napalm Death: The DVD (DVD). New York, USA: Earache Records. Tsitsos, William. 1999. Rules of Rebellion: Slamdancing, Moshing, and the American Music Scene. Dalam Popular Music Volume 18 No.3 hlm. 397-414. Diakses dari: http:/links.jstor.org pada 7 Januari 2009. Tubbs, Stewart L.; Moss, Sylvia. 2005. Human Communication: Prinsip-prinsip Dasar. Penerjemah: Deddy Mulyana dan Gembirasari. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Vardiansyah, Dani. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi: Pendekatan Taksonomi Konseptual. Ciawi: Ghalia Indonesia. Vivian, John. 1999. The Media of Mass Communication 3rd eds. Needham Heights, Mass: Winona State University. Allyn & Bacon. A Simon & Schuster Company Vredenbergt, J. 1979. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia. Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Andi. Wallach, Jeremy. 2005. Underground Rock Music and Democratization in Indonesia. Dalam World Literature Today edisi September-December 2005. White, Robert A. 2004. Is ‘Empowerement’ the Answer?: Current Theory and Research on Development Communication. Dalam International Communication Gazzette. Diakses dari: http://gaz.sagepub.com pada 28 November 2007. Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo Anggota Ikapi. Wyatt, Nancy. 2003. Music in the U. S. Rights Movement. Dalam Electronic Journal of Communication Volume 13 Number 4. Communication Institute for Online Scholarship Diakses: dari: http://www.cios.org pada 8 Mei 2007 Yin, R.K. 1989. Case Study Research, Design and Methods. Sage Publications Inc., London.
Zakahi, Walter. 1988. Communication Education. West Virginia: Speech Communication Press
LAMPIRAN
Lampiran 1. Silsilah Musik Rock Folk Rock
New wave
Folk
Grunge Country
Brit invasion
Pop Rock
Rock-a-Billy
Hard rock
Psychedelic Rock
R&B
Heavy Metal
Punk
Prog. Rock
Soul
Blues
Southern Rock
Doo Wop
Glitter
glam
Jazz Hip Hop Funk
80’s
Disco
Rap
Lampiran 2.
PANDUAN WAWANCARA
I. Identitas Informan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan No.Telp/HP Alamat
:………………………………………… : ………………………………………… :…………………………………………. :…………………………………………. :………………………………………….. :…………………………………………. :………………………………………… …………………………………………
II. Faktor Eksternal 1. Dimana anda mendengar musik ini pertama kali? (lingkungan tempat tinggal, sekolah atau lokasi lainnya). 2. Siapa yang memperkenalkan jenis musik tersebut? 3. Bagaimana reaksi anda pada waktu itu? 4. Sejak kapan anda suka musik ini? 5. Apa yang membuat anda tertarik? (lirik, irama/beat, vokalis, performa, atau lainnya). 6. Berapa kali anda mendengarkan musik ini dalam sehari? 7. Di mana dan kapan saja anda mendengarkannya? 8. Dengan siapa saja anda biasanya mendengarkan? 9. Bagaimana anda memenuhi kebutuhan informasi dan perkembangan tentang musik ini? (lewat majalah, radio, televisi, koran, internet, teman atau lainnya). 10. Apakah informasi tersebut mudah anda dapatkan? Mengapa? 11. Dengan siapa saja anda berdiskusi tentang musik ini? 12. Menurut anda, tema apa yang paling menarik dari musik ini? (politik, ekonomi, religi, budaya atau lainnya). 13. Hal-hal apa saja yang anda pelajari dari musik ini? 14. Apakah anda merasa musik ini menambah pengetahuan anda? 15. Bagaimana hubungan anda dengan keluarga dan lingkungan kerja? 16. Apakah keluarga dan lingkungan kerja tahu bahwa anda adalah audiens musik ini? 17. Bagaimana tanggapan mereka? (mendukung atau menentang). 18. Sering berkomunikasi dengan mereka? 19. Hal-hal apa saja yang biasanya dibicarakan dengan mereka? 20. Hal-hal apa saja yang anda serap dari mereka? 21. Apakah anda merasa puas dengan hubungan tersebut?
III. 1. 2. 3. 4.
Faktor Internal Mengapa anda menyukai musik ini? Apa yang membuat anda mendengarkan musik ini? Bagaimana perasaan anda saat mendengarkan musik ini? Apa fungsi musik ini bagi anda?
IV. Simbol-simbol signifikan a. Artefak 1. Mengapa anda mengenakan baju itu? Bagaimana perasaan anda? Apa maknanya sebuah baju bagi anda? 2. Mengapa anda menempelkan stiker itu? Bagaimana perasaan anda? Apa maknanya sebuah stiker bagi anda? 3. Mengapa anda memajang poster itu? Bagaimana perasaan anda? Apa maknanya sebuah poster bagi anda? 4. Mengapa anda memakai emblem itu? Bagaimana perasaan anda? Apa maknanya sebuah emblem bagi anda? 5. Mengapa anda memasang pin itu? Bagaimana perasaan anda? Apa maknanya sebuah pin bagi anda? 6. Mengapa anda memakai topi itu? Bagaimana perasaan anda? Apa maknanya sebuah topi bagi anda? b. Gaya vokal/Parabahasa 7. Mengapa anda menyukai cara bernyanyi dengan jenis growl? 8. Apa makna growl bagi anda? 9. Mengapa anda menyukai cara bernyanyi dengan jenis vokal scream? 10. Apa makna scream bagi anda? c. Genre 11. Mengapa anda suka musik rock underground (grindcore)? 12. Menurut anda, apa makna rock underground (grindcore)? d. Ilustrasi 13. Mengapa anda menyukai ilustrasi cover album musik rock underground (grindcore)? 14. Apa makna ilustrasi pada cover album itu bagi anda? 15. Mengapa anda menyukai foto-foto pada cover album musik rock underground? 16. Apa maknanya foto-foto pada cover album itu bagi anda? e. Lirik 17. Mengapa anda menyukai lirik-lirik musik rock underground (grindcore)? 18. Apa maknanya lirik bagi anda? f. Nama (band) 19. Mengapa suatu band harus mempunyai nama? 20. Sebenarnya, apa makna nama band bagi anda? g. Stagediving/slamming 21. Mengapa anda melakukan stagediving dan slamming? 22. Apa makna stagediving dan slamming bagi anda? 23. Bagaimana perasaan anda ketika melakukannya?
h. Warna 24. Warna apa yang sering digunakan? 25. Mengapa anda memilihnya? 26. Bagaimana perasaan anda? 27. Apa makna warna tersebut bagi anda? V. Konsep Diri/identitas 1. Apakah arti musik bagi diri anda saat ini? 2. Selain jenis musik ini, ada jenis musik lain yang anda dengarkan? 3. Apakah musik ini sesuai dengan diri anda atau sebaliknya? 4. Apakah anda selalu mengkoleksi hasil karya (kaset, cd, poster, stiker, t-shirt) Tengkorak band? 5. Apa alasan anda mengkoleksi hasil karya tersebut? 6. Apakah ada pengorbanan untuk itu? 7. Sebagai audiens , apakah anda selalu menyaksikan pertunjukan Tengkorak band? 8. Bagaimana anda mencapai venue (menggunakan angkutan umum, pribadi atau ada yang lainnya)? 9. Apakah ada pengorbanan untuk itu? 10. Manakah yang menjadi prioritas anda, pekerjaan, pendidikan, atau musik? 11. Di mana dan kapan saja anda mendengarkan musik jenis ini? 12. Bagaimana tanggapan keluarga tentang diri anda sebagai audiens Tengkorak band? 13. Apakah anda setuju dengan pandangan keluarga? 14. Pernah berdebat mengenai masalah musik dengan audiens jenis musik berbeda genre? 15. Sampai kapan anda akan mendengarkan musik ini?