Konstitusi dan Konstitusionalisme
M. Laica Marzuki
PENDAHULUAN The Constitution of The United States of America yang ditandatangani 39 delegasi di kala tanggal 17 September 1787 di Philadelphia, Pennsylvania, tempat terselenggaranya Constitutional Convention, mendorong lahirnya constitutional states (negara – negara konstitusi) di beberapa kawasan dunia, termasuk negara – negara monarki, yang dikenal dengan penamaan: constitutional monarch. Dalam perkembangannya beberapa constitutional state menyadari bahwa konstitusi negara – negara dimaksud kurang memuat pengaturan hal pembatasan penguasa dan pengakuan hak – hak sipil rakyat banyak di dalamnya. Muncul gagasan agar dalam konstitusi diatur semacam constitutional government, yang pada hakikatnya mewujudkan hal pembatasan pemerintahan atau limited government, yang bertujuan to keep government in order. Hal dimaksud menggagas diadopsinya paham konstitusionalisme atau constitutionalism dalam perubahan konstitusi (constitution amandement) beberapa negara di abad XX dan XXI.
KONSTITUSI Konstitusi atau Grondwet, Grundgesetz, Undang-Undang Dasar menempati tata urutan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam negara. Constitutie is de hoogste wet ! Istilah Constitution berasal dari kata bahasa latin: constitutio bermakna a degree, dekrit, permakluman. Dalam konteks institusi
001-008 wacana.indd 1
11/23/10 7:29:55 PM
Wacana Hukum dan Kontitusi
negara, konstitusi bermakna permakluman tertinggi yang menetapkan a.l. pemegang kedaulatan tertinggi, struktur negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, kekuasaan legislatif, kekuasaan peradilan dan pelbagai lembaga negara serta hak – hak rakyat. Pada umumnya, konstitusi pertama-tama memaklumkan: siapa pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. Who keep the souvereignty anyway? Masalah kedaulatan menjadi demikian penting karena secara formal merupakan sentrum kekuasaan yang membagi-bagi sub-sub kekuasaan ke bawah. Kedaulatan memuat pengakuan akan suatu kekuasaan karena di balik kedaulatan melekat kekuasaan. Kedaulatan dan kekuasaan bagai dua sisi sekeping mata uang. Kewenangan (de bevoegdheden) secara formal melekatkan kekuasaan pada kedaulatan. Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari souvereignty, souvereinitas, keduanya berasal dari kata bahasa latin: superanus atau supernitas, bermakna de hoogste bevoegdheid, kewenangan yang sempurna dan tertinggi. Negara tanpa kedaulatan bermakna staat onbevoegdheid, negara nan tiada berdaulat, lebih rendah derajatnya dari the puppet state. Jean Bodin (1530 – 1596) dalam bukunya, Les six livres de la Republique (1576) halaman 122 – 128, memandang kedaulatan negara sebagai la puissance absolue yang tidak terputus-putus, kepunyaan republik, sedangkan orang-orang latin menyebutnya maiestatum, yakni kekuasaan terbesar guna memerintah (= la plus grande puissance de commander). Konstitusi dalam sejarah perkembangannya membawa pengakuan akan keberadaan pemerintahan rakyat (= demos + cratein) Pemunculan konstitusi di USA di kala tahun 1787 meredam maeistatum dari kedaulatan, dengan menyerahkan kedaulatan (souvereignty) di tangan rakyat. Revolutie Perancis turut menumbuh kembangkan kedaulatan rakyat dalam sistem la republique di abad XVII. Paham pemisahan kekuasaan di berbagai negara, yang dipadu dengan checks and balances, turut mereduksi puissance absolue negara-negara. Konstitusi merupakan naskah legitimasi paham kedaulatan rakyat. Naskah dimaksud merupakan kontrak sosial yang mengikat setiap warga dalam membangun paham kedaulatan rakyat. 2
001-008 wacana.indd 2
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, Agustus 2010
11/23/10 7:29:55 PM
Konstitusi dan Konstitusionalisme
Djokosoetono memintakan perhatian atas beberapa makna konstekstual pemahaman konstitusi sebagai berikut:
• Konstitusi dalam makna materil (constitutie in materiele zin), berpaut dengan gekwalificeerde naar de inhoud, yaitu dititikberatkan pada isi konstitusi yang memuat dasar (grondslagen) dari struktur (inrichting) dan fungsi (administratie) negara.
• Konstitusi dalam makna formal (constitutie in formele zin), berpaut dengan gekwalificeerde naar de maker, yaitu dititikberatkan pada cara dan prosedur tertentu dari pembuatannya. • Konstitusi dalam makna UUD (grondwet) selaku pembuktian (constitutie als bewijsbaar), agar menciptakan stabilitas (voor stabiliteit) perlu dinaskahkan dalam wujud UUD atau Grondwet.
Djokosoetono mengingatkan agar makna konstektual ketiga pemahaman konstitusi tidak dibaurkan, misalnya kadangkala konstitusi dalam makna formal tidak dibedakan dengan konstitusi dalam wujud naskah UUD atau Grondwet. (Harun Alrasid, Kuliah Hukum Tata Negara Prof. Mr Djokosoetono. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, halaman 47 – 49, 53 – 57). Tidak berarti, pemberlakuan konstitusi dengan sendirinya mengandung esensi pemerintahan rakyat. Sejak pembaharuan Grondwet voor het Koninkrijk der Nederlander di tahun 1922 (dan kelak di tahun 1938), negeri Hindia Belanda tidak lagi disebut kolonien en bezittingen dari het Koninkrijk der Nederlander. Pasal 1 Grondwet voor het Koninkrijk der Nederlander menetapkan bahwasanya Het Koninkrijk der Nederlander omvak het grondgebried van Nederland, Nederlansich Indie, Suriname en Curacao. Dikatakan, het Koninkrijk der Nederlander merupakan staat yang berdaulat, meliputi wilayah-wilayah (grongelieden): het Rijk in Europa, Nederlandsich Indie, Suriname dan Curacao yang bersifat mandiri (otonom). Dalam kenyataan, struktur kenegaraan Het Koninkrijk der Nederlander masih merupakan hubungan negeri pertuanan (oppergezag, opperbestuur) antara Kerajaan Belanda dengan Hindia Belanda, Suriname dan Curacao. Pelaksanaan pemerintahan di wilayah Hindia Belanda adalah atas dasar in naam der Konings, ditugaskan kepada Gouverneur General, berdasarkan wet op Staatsinrichting van Nederlands Indie atau Indische Staatsregeling Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, Agustus 2010
001-008 wacana.indd 3
3
11/23/10 7:29:55 PM
Wacana Hukum dan Kontitusi
(I.S.). Gouverneur General bertanggung jawab kepada Raja selaku oppergezag, dengan menyampaikan laporan-laporan berkala serta segala keterangan yang diperlukan kepada Minister van Kolonien, lazim disebut Menteri Jajahan KONSTITUSIONALISME MEMUAT ESENSI PEMBATASAN KEKUASAAN Walaupun paham konstitusionalisme diturunkan (derive) dari konstitusi, dan dalam perkembangannya bahkan mendorong keberadaan constitutional state namun esensi konstitusionalisme mengagas pembatasan kekuasaan dalam negara. Constitutionalism implements the rule of laws; it brings about predictability and security in the relations of individuals and the government by defining in the power and limit of that government (Konstitusionalisme mengatur pelaksanaan rule of law dalam hubungan individu dengan pemerintah. Konstitusionalisme menghadirkan situasi yang dapat memupuk rasa aman, karena adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah yang telah ditentukan terlebih dahulu), kata Richard Kay (Miriam Budiarjo, 2008:170). Constitutionalism atau Konstitusionalisme mengemban the limited state, agar penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak sewenang-wenang dan hal dimaksud dinyatakan serta diatur secara tegas dalam pasal-pasal konstitusi. Menurut Carl J Friedrich dalam buku beliau, ”Constitutional Government and Democracy”, konstitusionalisme mengandung gagasan bahwa pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwasanya kekuasaan yang diselenggarakan tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah (Miriam Budiarjo, 2008:171). Kekuasaan dibutuhkan oleh negara karena memberi kekuatan vital bagi penyelenggaraan pemerintahan namun harus diwaspadai tatkala kekuasaan itu terakumulasi di tangan penguasa tanpa dibatasi konstitusi. Lord Acton (1838:1902) dalam suratnya bertanggal 5 April 1887 kepada Bishop Mandell Creighton, mengemukakan, ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolute”. Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya, akan 4
001-008 wacana.indd 4
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, Agustus 2010
11/23/10 7:29:55 PM
Konstitusi dan Konstitusionalisme
tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan sudah pasti akan menyalahgunakannya. Menurut William G. Andrews (1968:13), under constitutionalism, two types of limitations impinge on government. Power is proscribed and procedures prescribed. Kekuasaan nan melarang dan prosedur yang ditetapkan lebih dahulu. Pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (redaksi baru) ditetapkan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”. Pasal konstitusi dimaksud memuat paham konstitusionalisme. Rakyat pemegang kedaulatan tertinggi terikat pada konsititusi. Kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD, tidak boleh dijalankan atas dasar the ruling of the mob. UUD 1945 (redaksi lama) yang disahkan dalam Rapat PPKI di kala tanggal 18 Agustus 1945 nyaris tidak mengindahkan paham konstitusionalisme, walaupun di dalamnya telah memberlakukan distribution of power di antara bidang-bidang kekuasaan negara. Penjelasan UUD 1945, di bawah judul Sistem Pemerintahan Negara, Angka II bahkan dengan jelas mencantumkan nomenklatur: Sistem Konstitusional. Dikatakan pada butir (2): ”Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Namun, beberapa pasal UUD (redaksi lama) tidak mendukung paham konstitusionalisme itu. Salah satu pasal konstitusi yang sifatnya tiranis, termaktub dalam Pasal 7 UUD 1945 (redaksi lama), berbunyi: ”Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Pasal konstitusi tersebut tidak menetapkan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara tegas dan rinci. Keduanya dipilih selama masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih lagi selama lima tahun berikutnya secara terus menerus. Di masa lalu, Soekarno dan Soeharto memerintah dalam waktu yang cukup lama, Soekarno sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 1967 (22 tahun) saat diangkatnya Soeharto menjadi Pejabat Presiden RI pada Sidang MPRS tahun 1967 dan baru berhenti tahun 1998 (31 tahun). Pemberlakuan paham konstitusionalisme dalam UUD, antara lain dipandang perlu mengadopsi: • Sistem Separation of Power atau Distribution of Power yang disertai checks and balances; Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, Agustus 2010
001-008 wacana.indd 5
5
11/23/10 7:29:55 PM
Wacana Hukum dan Kontitusi
• Sistem Kekuasaan Peradilan yang merdeka dan mandiri, utamanya lebih memberdayakan peradilan adminstrasi; • Pengakuan hak-hak sipil dan politik warga, utamanya yang berkaitan dengan pemilihan umum dan pemilukada; • Pembatasan masa jabatan-jabatan publik dalam negara; • Memberikan kewenangan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) bagi Mahkamah Konstitusi. POST SCRIPTUM Konstitusi bukan segala-galanya. Konstitusi tidak sekaligus mengandung paham konstitusionalisme. Konstitusi belum tentu konstitusionalisme. Constitutionalism should be limited government. Konstitusi Kerajaan Manchu (1910) memuat beberapa pasal konstitusi tentang kedaulatan kaisar sebagai berikut: 1. The Taching Dynasty shall rule over the Taching forever and ever, and be honored through all ages. 2. The Emperor’s person is sacred and inviolable. 3. The Emperor alone has power to make laws and to decide what matters shall be placed before parlianment for discussion. 4. The Emperor shall convoke, inaugurate, open and close, prorogue and suspect parlianment (Mingchen Joshua Bau, Modern Democracy in China, Commercial Press Ltd, Shanghai 1923, halaman 379). Konstitusi Kerajaan Manchu (1910) adalah konstitusi namun tidak mengandung paham konstitusionalisme.
6
001-008 wacana.indd 6
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, Agustus 2010
11/23/10 7:29:55 PM
Konstitusi dan Konstitusionalisme
Daftar Pustaka: Bodin, Jean. Les Six Livres de La Republique I, Bab VIII, Paris, 1576. Harun Alrasid, Kuliah Hukum Tata Negara Prof. Mr. Djokosoetono, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Laica Marzuki, HM, Paradigma Kedaulatan Rakyat Dalam Perubahan Undang – Undang Dasar 1945. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 7. No. 1. Maret 2010. Jakarta. Mingchen, Joshua Bau, Modern Democracy In China, Commercial Press Ltd, Shanghai 1923 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Penerbit PT. Gramedia Pustala Utama, Jakarta, 2008.
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, Agustus 2010
001-008 wacana.indd 7
7
11/23/10 7:29:55 PM