Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
013
HAKIM KONSTITUSI: ANTARA PENEGAKAN SUPREMASI KONSTITUSI DAN ANARKISME KONSTITUSI Oleh: Adnan Jamal Dosen Fakultas Hukum Universitas Haluoleo
Abstract: The judges of the costitution are the guardians of the constitution and the interpreters of the constitution as well. To implement their constitutional authority, they are always vis a vis between the contitution supreme enforcement and the constitution anarchism position. Method of the constitution interpretation is the key to attribute whether they are in enforcing the constitution supreme position or in anarchism of the constitution position. Many Judegments of the Constitutional Court are controversial or debatable. Basically, all relates to their interpretation to the legal norms including the constitution text. Keywords: Constitution, Constitutional Court Abstrak: Hakim konstitusi, selain sebagai penjaga konstitusi juga berwenang dalam menafsir konstitusi. Untuk melaksanakan kewenangan konstitusional mereka, mereka selalu dihadapkan pada posisi penegakan supremasi konstitusi sebagai hukum tertinggi dan anarkisme konstitusi. Metode penafsiran konstitusi adalah kunci apakah mereka menegakkan supremasi konstitusi atau justeru menjadi anarkisme konstitusi. Tidak sedikit putusan Mahkamah Konstitusi yang justeru melahirkan kontroversial atau diperdebatkan. Hal tersebut tidak terlepas dari penafsiran yang digunakan terhadap norma-norma hukum, termasuk teks konstitusi. Kata Kunci: Konstitusi, Mahkamah Konstitusi kepada sembilan hakim konstitusi yang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ditunjukkan melalui putusannya dalam 3 (MKRI) sebagai salah satu pelaku atau lingkup implementasi empat kewenangan pemegang kekuasaan kehakiman1 menjadi dan satu kewajiban sekaligus kewenangan 4 organ negara yang secara konstitusional lainnya. Sejak pembentukannya, MKRI diniscayakan untuk menegakkan hukum dan keadilan —seperti halnya organ yudikatif telah menghasilkan sejumlah putusan lainnya.2 Keniscayaan konstitusional terhadap perkara yang berkaitan dengan kecuali dalam hal tersebut —mutatis mutandis— dibebankan kewenangannya Presiden dan/atau Wakil 1 Lihat Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan pemakzulan PENDAHULUAN
Pasal 18 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2 Lihat Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 AMANNA GAPPA
3 Lihat Pasal 24C ayat (1 dan 2) 4 Lihat Pasal 24C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
129
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
Presiden.5 Terdapat sejumlah putusan MKRI yang kontroversial. Sebut —misalnya— Putusan No. 008/PUU-II/2004.6 Terlepas dari pihak yang berperkara dan amar putusan terhadap perkara a quo,7 menurut penulis bahwa —secara intrinsik— hakim konstitusi —sesungguhnya— adalah penafsir atau interpretator konstitusi. Hakim konstitusi dalam menjalankan kewenangannya —terutama dalam hal judicial review— selalu berkutat dalam domain penafsiran teks norma hukum. Walaupun tidak ada ketentuan konstitusional, hakim konstitusi —secara logis— adalah penafsir konstitusi dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya. Dalam konteks inilah, hakim konstitusi berpotensi mengidap kerakusan nafsu yudisial —meminjam istilah Lois Blom Cooper QS.8 Selain itu, hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara —misalnya judicial review— senantiasa berhadapan secara vis a vis dengan sejumlah antinomi —antara lain— teks dan
konteks, mayoritas dan minoritas, dan antara ide atau pretensi subjektif dan obyektif. Sejumlah antinomi tersebut diperhadapkan dalam suatu alam sorgawi kemerdekaan mereka. Tidak ada demarkasi dan petunjuk normatif secara eksplisit tentang bagaimana hakim konstitusi menafsir konstitusi. Sekali lagi, hakim konstitusi berpotensi besar melakukan —semacam anarkisme konstitusi. Jelasnya, konstitusi dan norma hukum lainnya berada dalam wilayah bentangan teks dan konteks —mutatis mutandis— wilayah tafsiran atau interpretasi. Terkait dengan hal ini, Lord Bacon menyatakan: Non est interpretatio, quae recedit a litera (interpretasi yang menyimpang dari teks yang tersurat bukanlah interpretasi, tetapi ramalan) dan cum redictur a litera, judex transit in legislatorum (ketika hakim menyimpang dari yang tersurat, dia sebetulnya telah menjadi legislator).9 Maka dari itu, menarik untuk menelaah bagaiamana hakim konstitusi mengimplementasikan kewenangan 5 Pasal 24C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 konstitusionalnya dalam konteks posisinya 6 Putusan tersebut adalah putusan terhadap perkara judicial review yang diajukan oleh antara menegakkan supremasi konstitusi KH.Abdurrahman Wahid (Pemohon I) dan Alwi dan anarkisme konstitusi sebagai penafsir Abdurrahman Shihab (Pemohon II) pada 19 April 2004. Pokok perkara adalah pengujian konstitu- konstitusi. sionalitas terhadap Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 yang berisi syarat-syarat calon Presiden dan/atau Wakil Presiden. PEMBAHASAN DAN ANALISIS 7 Analisis terhadap putusan tersebut dapat dilihat — misalnya— Adnan Jamal, Konigurasi Politik dan Teori Interpretasi Teks Norma Hukum Hukum Institusionalisasi Judicial review di Indonesia (Pustaka Releksi:Makassar, 2009). Disitu, Interpretasi teks peraturan perundangAdnan Jamal berpendapat bahwa penggunaan instrumen Hak Asasi Internasional tidak tepat untuk undangan —seperti teori-teori yang telah dijadikan sebagai landasan berpikir atau bisa dise- di bentangkan di atas— inherent juga but alat interpretasi untuk menguji konstitusionalitas UU atau bagiannya terhadap UUD NRI Tahun dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. 1945. Hal ini didasarkan kepada pemikiran —seti- Misalnya, dalam hal judicial review —satu dak-tidaknya— bahwa cara atau teknik interpretasi tersebut bertentangan dengan prinsip supremasi 9 Jhon W. Montgomery, Legal Hermeneutics and konstitusi sebagai the supreme law of the Land. Interpretation of Scripture diterjemahkan oleh 8 Lihat Michael Supperstone QC dan James Inul Zainul Hamdi dan Anom SP. Dengan judul Goudie DC, Judicial Review (Butterworths and Arus Balik gerakan Hukum Kritis dan Anarkisme Co.:London,1992), hlm. 22. Penafsiran, Wacana,Nomor VI, 2000, hlm. 60. AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
sisi— dapat juga disebut soal kemampuan pembacaan teks suatu norma hukum yang lebih tinggi untuk mendapatkan pengertian, makna, atau maksud intrinsik yang sesungguhnya diinginkan oleh teks norma tersebut hubungannya dengan norma yang lebih rendah yang pembentukannya diatur oleh norma yang lebih tinggi tersebut. Hasil pembacaan itu menjadi dasar apakah norma hukum yang lebih tinggi bertentangan atau tidak bertentangan dengan norma hukum yang lebih rendah yang pembentukannya diatur oleh norma hukum yang lebih tinggi tesebut. Secara umum, teks dapat diartikan sebagai segala bentuk materi yang tertulis (any form of written material).10 Pandangan konvensional menyatatakan bahwa teks speak to us,11 atau ia adalah a bearer of stable meaning.12 Selain itu, ada pula yang mengonsepsikan teks sebagai any discourse ixed by writing.13 Dari pendapat ini dapat diduksikan bahwa teks adalah segala bentuk tulisan atau wacana yang mengandung makna atau maksud dan tujuan tertentu. Sebuah aliran ilsafat dari ilmuilmu humaniora yang menjadikan fokus kajiannnya seputar interpretasi teks adalah teori hermeneutika.14 Ia adalah suatu teori atau 10 A,S, Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Oxford University Press: New York, 1995), hlm. 1234. 11 Robert Hollinger, Postmodernism and Social Science: A Tematic Aprproach ((Sage Publication: London,1994), hlm. 98. 12 Madan sarup, An Introductory Guide to PostStructuralism and Postmodernism (Harvester Wheatsheaf: New York, 1988), hlm. 43 13 Pendapat tersebut adalah pendapat Paul Ricoeur. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa we explain the text in terms of its internal relations, its structure. Lihat, Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Science: Essays on Language, Action, and Interpretation (Cambridge University Press:Cambridge,1984), hlm.142-152. 14 Pada mulanya, hermeneutika adalah suatu subAMANNA GAPPA
130
ilsafat interpretasi makna.15A fortiori, dapat dikatakan bahwa hermeneutika bekerja pada dua dimensi domain teks, yakni berusaha memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks, dan sebagianya dan berusaha menemukan instruksi-instruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis.16 Teori hermeneutika klasik memandang bahwa hermeneutika sebagai satu metode interpretasi teks yang efektif menemukan makna teks berdasarkan asumsi bahwa teks skriptural dapat diketahui secara obyektif, yang memiliki makna yang jelas, dan makna tersebut dapat ditemukan manakala teks itu dibiarkan dibiarkan menginterpretasi dirinya sendiri tanpa intervensi prasangka personal (personal prejudice) interpretator.17 Dalam konteks hermeneutika klasik tersebut, memomosisikan teks dan interpretator saling terkait dalam satu disiplin teologi yang memfukuskan kajiannya pada otentikasi dan interpretasi teks kitab suci. Teologi selalu dikaitkan dengan hermeneutika karena dogma adalah interpretai kita suci. Kemudian, pada abad ke-19, hemeneutika telah dikonstruksikan menjadi sebuah metode, ilsafat dan kritik interpretasi teks pada umumnya. Lebih detail lihat —misalnya— Roy J. Howard, Three Faces of Hermeneutics:An Introduction to Current Theories of Understanding. Diterjemahkan oleh Kusmana dan M.S.Nasrullah dengan judul Pengantar atas Teori-Teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika;Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis (Yayasan Nuansa Cendekia:Bandung,2000), hlm. 23,dst. 15 Josepf Bleicher, Hermeneutika Kontemporer:Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik (Fajar Pustaka Baru: Yogyakarta, 2003), hlm. vii. 16 Ibid., hlm. 5. 17 Pandangan tersebut dikemukakan oleh Milton S.Terry,” Biblical Hermeneutics”, yang dikutip oleh Jhon W.Montgomery. Lihat John W. Montgomeri, op.cit.,hlm.55. Prinsip subtansial asumsi ini bahwa ada satu maksud, bersifat literal, pengertian yang tepat bagi satu pesan dalam kitab suci(sensus literalis unus est) dan kitab suci adalah interpretator terbaik bagi dirinya sendiri (Sriptura Scripturam interpretat atau Scripturam sui ipsius interpres).
131
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
cara yang murni obyektif dan tidak lagi memepermasalahkan pemahaman tanpa prapemahaman (presuppostionless under standing) atas teks. Interpretator senantiasa memperlakukan teks berdasarkan pemahamannya sendiri. Jadi, interpretasi tidak lain adalah produk dari keja teks terhadap interpretator dan kerja interpretator terhadap teks. Spektrum tersebut tidak hanya berlaku ketika interpretator vis a vis teks, tetapi juga pada penulis sendiri atau editor teks.18
Wittgestein-Popper menginterpretasi teks.21 Teks —menurut metode ini— harus dibiarkan secara total menginterpretasi dirinya sendiri. Manakala terjadi interpretasi yang beragam atau saling bertentangan, masing-masing harus mengembalikan kepada teks untuk menemukan interpretasi dirinya. Dalam konteks ini, teks adalah fakta tunggal dan fakta adalah satu-satunya yang memberi nilai usaha untuk memahaminya —seperti teori ilmiah pada umumnya.22
Kredo eksponen hermeneutika hukum Pada perkembangannya kemudian, baik bahwa obyektivitas teks tereletak pada teori hemeneutika klasik dan hermeneutika ‘maksud asli’ (original intent) —seperti yang kontemporer ada teoritisi yang mengkritisi dinyatakan hakim ketua Jhon Marsal bahwa secara analitis kedua genre tersebut. Sebut — teks harus dipahami dari pengartian aslinya, bukan dipelintir atau distigmatisasi sesuai misalnya— Jhon W.Montgomeri.19 Metode interpretasi teks yang agenda interpretator.23 Karakteristik hermeneutika hukum direkomendasikan oleh Jhon W. Montgomeri 20 relevan dengan model adalah hermeneutika hukum. Karakteristik kelihatnnya metode ini —manakala dianalisis secara interpretasi konstruktif yang dipertahankan teoritis— dicangkok dari pendekatan Ronald Dworkin24 yang intinya bahwa interpretasi terhadap hukum dan bidang18 Ibid.,h.56. Bandikan Pendapat Roy J. Howard yang mengedentiikasi tiga aspek fundamental herme- bidang lain —secara esensial— berkaitan neutika kontemporer: 1). Tidak ada pengetahuan dengan tujuan. Tujuan di sini bukanlah tanpa prapemahaman;20. Tidak ada posisi awal yang seragam dalam mengawali permenungan se- tujuan penulis, tetapi tujuan interpretator. hingga tidak ada keseragama ketika mengakhirinNamun demikian, Interpretator tidak boleh ya;3). Hermeneutika mengakui maksud itu hadir, operatif, dan efektif…dan dalam satu cara yang dialektis. Lihat, Roy J. Howard,op. cit.,hlm.191-192. 19 Jhon W. Montgomeri menolak kedua genre hermeneutika tersebut diinspirasi oleh kajian Adrian dan James dalam bentuk biograi, Darwin (1991). Selain itu —menurutnya— kedua genre hermeneutika tersebut dogmatis,ilosois,historis, kajian sastra yangcomplicated, dan tidak praktis. Lihat Jhon W. Montgomeri,op. cit.,hlm.57. 20 Jhon W.Montgomeri merekomendasikan hermeneutika hukum kelihatannya didasarkam pada dua argumentasi, yaitu selain alasan pragmatis kepada praktisi hukum, juga karena hukum secara fundamental berpengaruh kuat terhadap kehiduoan sosial. Dalam konteks hukum, interpretasi sangat dibutuhkan, misalnya interpretasi terhadap konstitusi, undang-undang, kontrak-kontrak, dan sebgainya. Hermeneutika hukum tidak hanya mempresentasikan teori akadaemik, tetapi juga sebagai instrumen stabilitas sosial. Lihat Ibid. AMANNA GAPPA
21 Wittgenstein-Popper memberi contoh analogi sepatu dan kaki untuk memahami maksud teks. Interpretasi ibarat sepatu dan teks ibarat kaki. Seseorang berusaha untuk menemukan interpretasi yang tepat atau sesuai dengan teks dengan cara membiarkan teks itu menginterpretasi dirinya sendiri. Pada altar itu, ‘maksud’ dan ‘pemahaman’ ditentukan oleh teks itu sendiri. Selain itu —menuerut model Wittgenstein-Popper— interpretator membawa prasangkanya (a priori-a priori, prapemahaman-prapemahaman, dan bias) terhadap teks, tetapi teks juga yang memutuskan atau menilai teks itu. Makna teks tidak ditentukan oleh determinasi ekstrinsik.Ibid.,hlm..63. 22 Ibid. 23 Ibid.,hlm. 62. 24 Ronald Dworkin adalah pengganti H.L.A Hart untuk jabatan ketua studi jurisprudence (Filsafat Hukum).
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
132
melakukan apa saja yang diinginkannya. Tujuan harus diletakkan pada suatu obyek dan teks atau obyek interpretasi adalah pagar yang membatasi apa saja yang diinginkan oleh interpretator.25 Untuk mengoperasikan metode hermeneutika hukum secara konkrit, Jhon W.Montgomeri menyari enam prinsip interpretasi undang-undang dari The Oxford Concise Dictionary Law. Yaitu: 1. Suatu perbuatan harus dikonstruksikan secara keseluruhan agar inkonsistensi internal dapat dihindari. 2. Kata-kata yang secara nalar hanya memiliki satu makna, harus diberi makna itu apapun akibatnya. Ini disebut literal rule 3. Kata-kata biasa harus diartikan secara biasa, kecuali arti itu menimbulkan absurditas. Ini disebut golden rule. 4. Setiap suatu perbuatan bertujuan untuk melenyapkan kecacatan dalam undangundang, maka suatu ambiguitas harus dipecahkan dengan cara sedemikian rupa mengetahui tujuan perbuatan tesebut. Ini disebut the mischeif rule. 5. Ujusdem generis rule (dari macam yang sama). Ketika satu daftar item tertentu merupakan kelas yang sama dan diikuti kata-kata umum, maka kata-kata umum tersebut dianggap membatasi item-item lain dari kelas yang sama. 6. Aturan expressio unius est exclucio alterius (inklusi bagi satu hal berati eksklusi bagi hal lain.Manakala satu daftar item tertentu tidak diikuti oleh kata-kata umum, maka ia harus diambil secara keseluruhan.26
Manakala dianalisis lebih intens nampak bahwa metode hermeneutika hukum —yang dapat disebut aliran interpretasi skripturalissubtansialis— mempunyai relevansi dengan metode interpretasi yang dikemukakan oleh L.B. Curzon membagi tiga prinsip interpretasi norma hukum, yaitu: the literal rule, the golden rule, dan the mischeif rule.27 1. The literal rule mengandung arti bahwa esensi peraturan perundang-undangan terletak pada maksud atau tujuan pembuatnya atau legislator (intention of the legislature) dan maksud atau tujuan tersebut yang terbentang dengan kata-kata harus ditemukan menurut pengertian secara skriptural dan biasa dari kata-kata peraturan perundangundangan tesebut. Untuk menerapkan prinsip interpretasi ini, ada lima hal yang harus diperhatikan: a. Jika kata-kata ringkas yang digunakan itu jelas dan tidak ambigu, maka ia harus dimaknai dengan pengetian yang biasa. a. Kata-katanya benar-benar menyatakan maksud dan tujuan pembuatnya (legislator) dengan baik. b. Dasar mengetahui maksud atau tujuan legislator hanya didasarkan pada kata-katanya yang ia gunakan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. c. Manakala bahasa dalam norma hukum tersebut jelas atau tidak ambigu, maka ia tidak dapat diinterpretasi lain lagi selain yang ditunjuk. d. Pengartian kata-kata dalam suatu 25 Ronal Dworkin, Law’s Empire (Harvard Univernorma hukum harus didasarkan pada sity Press: Cambridge, 1986), hlm.52. pengertiannya ketika norma hukum 26 Ibid.,h.59. Lihat pula Elizabeth A. Martin (ed.), The Oxford Concise Dictionary of Law (Oxford University Press: Oxford, 1987), hlm.189. AMANNA GAPPA
27 L.B. Curzon, Jurisprudence (M&E Hanbook, 1979), hlm.256 dst.
133
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
itu dibentuk atau diundangkan. 2. The golden rule mengandung arti bahwa 3. kata-kata dalam suatu norma harus diinterpretasi berdasarkan pengertiannya secara gramatikal, asli, dan biasa sepanjang memungkinkan. Namun, interpretasi ini dilakukan hanya jika item-item tersebut tidak menimbulkan absurditas. Untuk menerapkan metode ini, ada empat prinsip yang harus diperhatikan, yaitu: a. Pengertian kata secara literal tersebut tidak mengandung absurditas atau tidak bertentangan dengan maksud atau tujuan legislator sesengguhnya. b. b.Yang diprioritaskan konstruksi terhadap suatu norma hukum adalah melekatkan pengertian biasa kata-kata yang digunakannya dan konstruksi gramatikal, kecuali kalau hal itu menimbulkan keberagaman maksud atau tujuan legislator dalam norma tersebut atau mengarah pada absurditas. Dalam kasus seperti ini bahasanya boleh diubah atau dimodiikasi untuk menghindari ketidakpastian, tapi tidak untuk selanjutnya. c. Prinsip umum dianggap terpenuhi dengan baik hanya jika ketika katakata itu tidak dapat lagi dikonstruksi secara mutlak sehingga akan memperlihatkan kesesuaian maksud atau tujuan bagian itu dan terhindar dari hal-hal yang tidak logis secara keseluruhan dan kata-kata yang digunakan pada waktu diundangkan harus diberlakukan. d. Hakim harus menentukan suatu pilihan pengertian terhadap kata-kata bertentangan atau absurd dengan AMANNA GAPPA
maksud atau tujuan legislator. The mischief rule mengandung arti bahwa ketika suatu norma hukum yang telah diundangkan ada kecacatan khusus di dalamnya, hakim harus menginterpretasi norma hukum tersebut untuk memperbaiki kecacatan tersebut. Ada tujuh hal yang harus diperhatikan untuk menerpakan prinsip interpretasi ini, yaitu: a. Prinsip ini harus diketahui bahwa ia harus sesuai dengan aturan sistem hukum dimana norma hukum itu diatur dan perbaikan yang dilakukan harus dengan alasan yang benar. a. Yang dicari dalam suatu norma hukum adalah kmaksud atau tujuan pembuatnya, tetapi jika ini tidak cukup, maka yang dicari adalah pengertian kata yang digunakan oleh pembuatnya. A fortiori yang dicari adalah maksud kata-kata yang digunakan pembuatnya. b. Konstruksi dilakukan terhadap katakata suatu norma hanya ketika hal itu sesuai dengan arah atau tujuannya. c. Dalam kasus omissus dimana hakim menemui situasi yang tidak direnungkan legislator, maka atribusi terhadap maksud atua tujuan legislator hanya jika hakim berkeyakinan bahwa atribusi tesebut manampakkan kesesuaian atau ekuvalensi maksud atau tujuan antara legislator dan pengadilan. d. Prinsip ini dilakukan tetap dalam kerangka mencari maksud atau tujuan pembuat norma hukum yang diinterpretasi tersebut, bukan melakukan analisis yang destruktif.
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
134
e. Penafsiran yang samar-samar dianggap sebagai suatu bentuk perampasan fungsi legislatif. f. Prinsip ini dilakukan sebagai upaya memperbaiki kecacatan yang terdapat dalam suatu norma hukum yang dapat mengacu pada bagian pembukaan norma tersebut, heading-nya, dan fakta-fakta yang menujukkan keadaan sebelum norma hukum itu diberlakukan.
for arriving at a determinate goal of truth, meaning, reference, or understanding.30 A fortiori, ia adalah the process of discovering the express or implied will of the legislature, its principal techniques are exegetical.31
satu metode intepretasi teks norma hukum, juga terdapat model atau jenis interpretasi lain yang lazim dikenal. Model-model itu, misalnya interpretasi subsumtif, gramitakal, historis, sosiologis atau teleologis, komparatif, futuristis, retriktif, ekstensif, dan sebagainya.29 Dalam konteks ini, interpretasi dapat dimaknai sebagai a method or vehicle
Kaitannya dengan judicial review, Hans Kelsen menyatakan manakala terjadi konlik anta norma dari tingkatan yang berbeda, maka tentu organ negara yang berkompeten memutuskannya dengan suatu putusan yang res judicata. Ia menyebut organ tesebut
Hal yang tidak dipungkri —memang— bahwa soal interpretasi teks adalah hal pemisahan kutub obyektivitas dan suyektivitas interpretator dalam membaca atau menginterpretasi suatu teks. Jelasnya, dalam melakukan kegiatan tesebut —pihak Apa yang telah dibentangkan di atas yang berkompeten— menghindari aspek mengenai satu jenis model interpretasi subyektivitas sejauh-jauhnya dan mendekati obyektivitas sedekat-dekatnaya teks —hermeneutika hukum— yang aspek banyak berfokus pada penggunaan analisis dalam rangka mencari dan menemukan kebahasaan terhadap sutu teks norma original intent pembuat norma tesebut. hukum untuk menemukan maksud atau Bagaimanapun dan dengan cara apa pun, tujuan orisinal teks tersebut dapat dijadikan tidak ada interpretasi yang obyektif secara referensi interpretasi teks norma hukum genuine sekalipun hasil interpretasi sesuai bagi yang berkepentingan —terutama bagi dengan orisinal intent-nya. Namun demikian, pilihan jenis interpretasi hakim. Malah, pada sistem hukum Jerman melegitimasi model interpretasi ini sebagai teks tetap sangat signiikan dan urgent pilihan interpretasi teks norma hukum yang terutama untuk mengatasi soal pembahasan teks norma hukum yang kerapkali ditemukan pertama.28 32 Selain model hermenutika hukum sebagai bermasalah pengertiannya.
28 Lihat Anke Freckmann and Thoman Wegerich, The German Legal System (Sweet&Maxwell:London,1999), hlm. 40. Selain jenis interpretasi itu, di Jerman diakui pula interpretasi sistematis, historis, dan pencarian ratio legis. 29 Pengartian mmasing-masing jenis interpretasi tersebut, lihat —misalnya— Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum:Suatu Kajian Filosois dan Sosiologis (Gunung Agung:Jakarta,2002),hlm.163 dst. AMANNA GAPPA
30 Robert Hollinger,op.cit,hlm.98. 31 Mary Ann Glandom, at.al.,Comparative Legal Tradition: Text,Material, and Cases on the Civil Law and Common Law Tradition with Special Reference to French,Germany, English and European Law (West Publishing Co.:USA, 1994),hlm.212. 32 Pengertian teks yang bermasalah —biasanya— dalam wujud digunakannya kata-kata atau konsep yang kabur dan ambigu. Lihat Ann Seidman, at.al., Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis:Sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang (ELIPS:Jakarta,2001),hlm.384.
135
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
adalah lembaga peradilan. Dalam konteks itu, hakim —ia mengutip pendapat Gray— sebagai interperetator sekaligus sebagai law-giver dan the court put life into the dead words of the statute.33 Metode Interpretasi Teks Norma Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi Semua hakim —tak terkecuali hakim konstitusi— dalam mengadili suatu perkara —mutatis mutandis— berkutat pada domain interpretasi teks norma hukum. Menurut Lawrence Baum bahwa hakim dalam menjalankan fungsi yudisialnya —pada prinsipnya— adalah to apply and to interpret legal norms to the concrete case.34 Dalam konteks ini, metode interpretasi hakim terhadap teks-teks norma hukum menjadi kunci utama apakah hakim dalam putusannya masih berada pada track menegakkan hukum dan keadilan atau sebaliknya. Khususnya, hakim konstitusi dalam menjalankan kewenangannya —terutama dalam hal judicial review— senantiasa berada pada domain antara penegakan supremasi konstitusi dan anarkisme konstitusi.35 Pada domain itu, metode 33 Hans Kelsen Hans Kelsen, General Theory of Law and State (Harvard University Press:CambridgeMassachusetts, 1949) 34 Lawrence Baum, Supreme Court (Congressional Quarterly Inc.:USA), 1990), hlm. 3. 35 Terma anarkisme konstitusi dapat dimaknai sebagai suatu tindakan logis dan sistematis seseorang (pejabat atau non-pejabat) atau kelompok tertentu dengan cara melakukan pembacaan terhadap teks konstitusi yang berimplikasi pada pengaburan dan perancuan makna atau nilai-nilai intrisik konstitusi itu sendiri. Teks konstitusi diperlakukan dengan cara memelintir maknanya sesuai dengan agenda subjketivitasnya dan dapat membentuk suatu ideologi terterntu dalam suatu tatanan politik dan hukum dalam suasana berkenegaraan. Termasuk pula dalam konteks ini —misalnya— tindakan pemerintah mengeluarkan Perppu No.4 Tahun 2008 Tentang PJSK yang didalamnya memuat ”pemberian imunitas hukum terhadap pejabat tertentu” (Pasal AMANNA GAPPA
interpretasi hakim konstitusi terhadap teks dan konteks konstitusi menjadi kuncinya. Setiap bentangan teks konstitusi dapat diinterpretasi oleh hakim konstitusi sesuai dengan metode dengan agendanya masingmasing. Walaupun hakim konstitusi adalah seorang negarawan dan berintegritas yang tinggi,36 tetapi sangat berpotensi jatuh pada kanal anarkisme konstitusi. Kerapakalinya terdapat dissenting opinion pada perkara judicial review dan penggunaan instrumen hak asasi internasional untuk menafsir konstitusi37 adalah salah satu indikasi bahwa hakim konstitusi memperlakukan teks konstitusi dengan cara menafsirkannya dengan metodenya masing-masing. Di situ — sekali lagi— hakim konstitusi berada dalam posisi antara penegakan supremasi konstitusi dan anarkisme konstitusi. Begitupula, variable latar belakang identitas politik — misalnya bagi mereka yang sebelumnya adalah politisi— identitas budaya, ideologi dan agama mereka dapat saja berpengaruh terhadap metode interpretasi norma hukum dalam memeriksa perkara. Mereka harus melakukan passing over terhadap semua identitas yang melekat pada mereka itu dengan konsisten memomosisikan diri sebagai negarawan sejati dalam membaca dan menafsirkan teks konstitusi. Penulis berpendapat bahwa —secara intrinsik— tidak ada interpretasi yang secara genuine lepas dari unsur-unsur subjektivitas dari hakim —apapun metode interpretasi yang digunakan. Namun demikian, tindakan untuk 29). 36 Lihat syarat-syarat menjadi hakim konstitusi pada Pasal 24C ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. 37 Penggunaan instrumen hak asasi manusia internasional digunakan sebagai dalil interpretasi dapat ditemukan —misalnya— terhadap putusan MK No.008/PUU-II/2004.
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
mengkanibalisasi unsur-unsur subjektivitas dalam menginterpretasi teks norma hukum tetap urgensif dengan maksud tetap memposisikan teks norma hukum dengan membiarkan berbicara tentang dirinya —to speak itself sampai didapati original intentnya. Teks norma hukum bukan dipelintir atau distigmatisasi sesuai agenda interpretator. Teks norma hukum —apakah ayat atau pasal atau bagian lain suatu norma hukum— yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi oleh hakim tetap dibiarkan menginterpretasi dirinya tanpa intervensi prasangka personal interpretator. Karena tidak ada metode tafsir yang baku, maka penafsiran atau pembacaan suatu teks norma hukum dapat pula dilakukan dengan metode yang lain —misalnya— hakim berusaha menemukan ratio legis atau illat suatu teks norma hukum. Metode terakhir ini, menurut penulis, mesti dilakukan oleh hakim ketika berkutat dengan suatu teks norma hukum dalam setiap memeriksa perkara. Dengan metode tersebut —khususnya terhadap pembacaan totalitas konstitusi— hakim konstitusi dapat terhindar dari wilayah skripturalisme dan parsialisme dengan membaca atau mempertimbangkan pula —bahkan mengedepankan— sisi konstitusi dalam arti materil (living law) atau substansialisme. Keniscayaan ini mesti ditunjukkan —misalnya— terhadap perkara judicial review yang inherent dengan hak asasi manusia dalam UUD NRI Tahun 1945. Pada prinsipnya, setiap teks norma hukum mempunyai dua kutub—kutub ideal moral dan kutub ideal formal. Kutub yang pertama mereleksikan makna intrinsiknya dan bersifat tersirat (substansial). Sedangkan, kutub yang kedua mereleksikan makna AMANNA GAPPA
136
formal dan bersifat tersurat (skripturalis). Menjangkau yang tersirat adalah sebuah keniscayaan. Di situ bersemayamnya roh hukum dan keadilan. Putusan MKRI No.006/ PUU-III/2005 dan Putusan MKRI No.010/ PUU-III/2005 adalah —menurut penulis— salah satu contoh bagaimana hakim MKRI mengabaikan kutub ideal formal teks norma hukum demi mewujudkan kutub ideal moral teks norma hukum tersebut. Begitupula, wacana pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) di Mahkamah Konstitusi dapat dimaknai sebagai upaya keluar dari kerangkeng skripturalisme konstitusi menuju alam substansialisme konstitusi. Terlepas dari telaah di atas, para hakim konstitusi sebagai the guardians of the constitution tetap membutuhkan pengawalan dari semua komponen bangsa agar tetap pada tract khittahnya tersebut —menegakkan supremasi konstitusi dan —sekali lagi— tetap terhindar dari anarkisme konstitusi dengan tetap berposisi sebagai penafsir negarawan bukan peramal konstitusi belaka. PENUTUP Hakim konstitusi mengimplementasikan kewenangan konstitusionalnya dalam konteks posisinya antara menegakkan supremasi konstitusi dan anarkisme konstitusi sebagai penafsir konstitusi dapat teridentiikasi dari metode interpretasi yang mereka gunakan terhadap setiap teks norma hukum yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara yang dihadapinya. Hakim konstitusi sangat berpotensi terjebak dalam kanal anarkisme konstitusi manakala tidak menggunakan metode interpretasi yang tepat
137
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
terhadap teks konstitusi dan norma hukum Special Reference to French,Germany, lainnya. Ragamnya metode interpretasi yang English and European Law,USA: West tersedia —walaupun tidak ada yang baku— Publishing Co. semuanya dapat menjadi pilihan untuk Hollinger, Robert, 1994. Postmodernism and menemukan original intent setiap teks norma Social Science: A Tematic Aprproach, hukum yang memungkinkan hakim terhindar London: Sage Publication. dari —semacam— intervensi prasangka Hornby, A,S, 1995. Oxford Advanced personal terhadap teks norma hukum tersebut Learner’s Dictionary of Current dengan menjangkau pembacaan totalitas English, New York: Oxford University terhadap kutub ideal moral (substansialitas) Press setiap teks norma hukum —terutama teks Howard, Roy J., 2000.Three Faces of konstitusi sebagai the supreme law of the Hermeneutics:An Introduction to Land. Current Theories of Understanding. Diterjemahkan oleh Kusmana dan M.S.Nasrullah dengan judul Pengantar DAFTAR PUSTAKA atas Teori-Teori Pemahaman Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Kontemporer: Hermeneutika; Wacana Hukum:Suatu Kajian Filosois dan Analitik, Psikososial, dan Ontologis. Sosiologi, Jakarta: Gunung Agung. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, Adnan Jamal, 2009. Konigurasi Politik Bandung. dan Hukum Institusionalisasi Judicial Josepf Bleicher, 2003. Hermeneutika Review di Indonesia, Makassar: Pustaka Kontemporer:Hermeneutika Sebagai Releksi. Metode, Filsafat, dan Kritik, Yogyakarta: Baum, Lawrence, 1990. Supreme Court, Fajar Pustaka Baru. USA:Congressional Quarterly Inc. Kelsen, Hans, 1949. General Theory of Law Curzon, L.B., 1979. Jurisprudence, M&E and State, Cambridge-Massachusetts: Hanbook. Harvard University Press. Dworkin, Ronal,1986. Law’s Empire, Madan, Sarup, 1988. An Introductory Cambridge:Harvard University Press. Guide to Post-Structuralism and Elizabeth A. Martin (ed.)1987. The Oxford Postmodernism, New York Harvester Concise Dictionary of Law, Oxford: Wheatsheaf Oxford University Press. Montgomery, Jhon W. 2000. Legal Freckmann, Anke and Thoman Hermeneutics and Interpretation of Wegerich,1999. The German Legal Scripture diterjemahkan oleh Inul System, London:Sweet&Maxwell. Zainul Hamdi dan Anom SP. Dengan judul Arus Balik gerakan Hukum Glandom, Mary Ann, at.al.,1994. Kritis dan Anarkisme Penafsiran, Comparative Legal Tradition: Wacana,Nomor VI. Text,Material, and Cases on the Civil Law and Common Law Tradition with AMANNA GAPPA
Ricoeur, Paul, 1984. Hermeneutics and the
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
Human Science: Essays on Language, Action, and Interpretation, Cambridge: Cambridge University Press. Seidman, Ann, at.al., 2001. Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis:Sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, Jakarta: ELIPS Supperstone QC, Michael dan James Goudie DC, 1992. Judicial Review, London: Butterworths and Co.
AMANNA GAPPA
138
139
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011
AMANNA GAPPA