1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam pelaksanaan organisasi pemerintahan dalam suatu negara hendaknya mendasarkan pada supremasi konstitusi, karena konstitusi merupakan ground norm suatu negara. Undang Undang Dasar (UUD) adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badanbadan negara tersebut.jadi pada pokoknya dasar dari setiap sistim pemerintahan diatur dalam suatu UUD 1 Sebagaimana diketahui, kedudukan konstitusi (UUD) dalam suatu negara adalah seabgai acuan dasar dalam penyelenggaraan negara. Aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang untuk menjamin tertib hukum dan perundang-undangan dalam negara, sehingga setiap penyelenggara negara harus mentaati kaidah-kaidah tersebut. Disamping itu, juga dimaskudkan jangan sampai timbul kesewenang-wenangan oleh penguasa ataupun tindakan anarki oleh rakyat. Untuk menjamin agar suatu peraturan perundang-undangan yang berada dibawah tidak bertentangan dengan peraturan peraturan yang lebih tinggi derajatnya maka perlu dibentuk suatu lembaga khusus yang mempunyai kompetensi untuk menjaga konstitusi sebagai norma dasar suatu negara agar 1
hlm.96.
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001,
2
tidak disimpangi dan lembaga yang dimaksud haruslah independen (termasuk juga hakimnya). Di indonesia hak untuk menguji peraturan perundangundangan diserahkan kepada kekuasaan yudikatif sehingga akan independen, karena konsep dasar kekuasaan yudikatif adalah terbebas dari kekuasaan lain. Jika dalam suatu sistem hukum ditentukan siapa dan metode apa yang bisa dipakai untuk menafsir/menginterpretasi suatu norma undang-undang, penyimpangan terhadap norma undang-undang itu tidak akan terjadi.. Akan tetapi, sekiranya dalam sistem hukum tidak ada aturan yang yang mengatur tentang metode interpretasi atas suatu norma undang-undang akan dibentuk lembaga yang berwenang melakukan interpretasi. Dalam sistem hukum civil law dan common law, yang belum memiliki Mahkamah Konstitusi, pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung diberi wewenang untuk melakukan interpretasi/penafsiran melalui perkara di pengadilan.2 Untuk menjamin bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan akan selaras dengan konstitusi harus ditentukan mekanisme untuk mengawasinya melalui hak menguji (toetsingrecht). Hak menguji dapat dibedakan sebagai hak menguji formal (formale toetsingrecht) yaitu wewenang untuk menilai apakah proses terjadinya suatu produk legislatif (Undang-undang) sesuai atau tidak dengan cara yang ditetapkan. Sedangkan hak untuk menilai apakah sebuah produk legislatif dari segi isinya
2
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.390-391
3
bertentangan atau tidak dengan peraturan hukum yang lebih tinggi disebut dengan hak menguji materiil (materiil toetsingrecht). 3 Pengujian peraturan perundang-undangan atau sering disebut sebagai hak menguji atau judicial review, tidak dapat dipisahkan dari kemandirian kekuasaan kehakiman (independen judiciary), karena judicial review pada dasarnya merupakan salah satu pelaksanaan dari fungsi independent judiciary. Hak menguji pada hakekatnya inherent dengan kekuasaan kehakiman. Hak menguji merupakan sifat pembawaan dari tugas hakim dalam menjalankan fungsi mengadili. 4 Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkhis tersebut mengandung konsekusensi bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini selaras dengan asas hukum “lex superior deregat inferiori” (hukum yang lebih tinggi mengalahkan
hukum
yang
tingkatannya
dibawahnya).
Hal
tersebut
dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dalam sistem peraturan perundang-undangan. 5 Salah satu bentuk aplikasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat pada pelaksanaan judicial review atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.yang dimohonkan oleh Tedjo Bawono
3
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 1993, hlm 64-65 4 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari.Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,UII Press, Cetakan Pertama, Yogyakarta,2005, hlm. 108 5 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 2005, hlm. 57.
4
yang telah memberikan kuasa kepada Soeharmono Rahardi, S.H. dan Mario Wijnand Tanasale, S.H untuk mengajukan permohonan judicial review ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Permohonan judicial review tersebut di atas diajukan karena menurut pemohon ketentuan Pasal 50 UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan: Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan” Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu” Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah"
Keberadaan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara hanyalah memberi peluang kepada Pejabat Tata Usaha Negara (Aparatur Negara) yaitu Walikota Surabaya yang tidak mematuhi dan melaksanakan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 14 September 1999 Nomor 07/Pdt.G/1999/PN.Sby juncto Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur tanggal 6 Juni 2000 Nomor 112/PDT/2000/PT.Sby juncto Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Januari 2003 Nomor 3939 K/PDT/2001 juncto Putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Januari 2007 Nomor 161 PK/PDT/ 2004 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, atas amar putusan kewajiban membayar ganti rugi, karena berlindung pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
5
Sedangkan amar putusan pengosongan telah terlaksana pada tanggal 17 Januari 2008, berdasarkan Berita Acara Pengosongan dan Penyerahan Perkara Nomor 16/EKS/2003/PN.SBY juncto Nomor 07/Pdt.G1999/ PN.SBY.
B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang menjadi dasar dijukannya permohonan judicial review UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara?
2. Apakah yang menjadi pertimbangan majelis hakim konstitusi dalam memberikan putusan atas judicial review atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dasar diajukannya permohonan judicial review UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara?
2. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim konstitusi dalam memberikan putusan atas judicial review atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara?
D. Tinjauan Pustaka 1. Judicial Review Dalam bahasa Inggris, konsep pengujian peraturan perundangundangan biasa dikaitkan dengan istilah judicial review atau dalam bahasa
6
Belanda dengan istilah toetsingrecht yang berarti hak menguji atau hak uji. Pengertian pengujian dapat dilihat dari berbagai segi: 6 a. Pengujian dari segi subjeknya, yang terdiri dari: 1). Pengujian oleh lembaga eksekutif yang dapat disebut executive review. 2). Pengujian oleh lembaga legislatif yang disebut legislative review. 3). Pengujian oleh lembaga yudikatif yang disebut judicial review. b. Pengujian dari segi objeknya yang terdiri dari: 1). Pengujian terhadap norma konkrit berupa keputusan-keputusan yang bersifat administratif yang dalam bahasa Belanda disebut dengan beschikking. 2). Pengujian terhadap norma konkrit berupa putusan pengadilan, yaitu: a). Reviev atas vonis pengadilan tingkat pertama oleh pengadilan tingkat banding; b). Review atas vonis pengadilan tingkat banding oleh pengadilan kasasi; c). Review atas vonis kasasi oleh Mahkamah Agung sendiri, yakni melalui mekanisme Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa. Sejarah mengenai hak uji terhadap peraturan perundang-undangan tidak saja dilandasi oleh doktrin ultra vires, yang digunakan dalam sistem 6
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Cetakan Kedua, Jakarta, 2008, hlm.590
7
hukum di Inggris, tetapi juga dilandasi oleh tradisi Amerika Serikat. Melalui kasus Madison vs Marbury kurang lebih 200 tahun yang lalu, Hakim Marshall telah menjatuhkan putusan yang menjadi tonggak bagi lahirnya
ajaran
supremasi
konstitusi
dalam
pengujian
peraturan
perundang-undangan. 7 Kehadiran hak menguji ini dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi suatu negara, yang kedudukanya diletakkan dalam posisi yang tertinggi (supreme). Penjamin (guarantees
of
constitution)
agar
materi
dari
konstitusi
dapat
diimplementasikan secara konsisten tanpa ada penyimpangan sama sekali terhadap nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi tersebut. 8 Di setiap negara, konsep judicial review berbeda cakupannya antara negara satu dengan negara yang lain. Karena itu, pengertian istilahistilah itu juga tidak boleh di identikkan antara satu negara dengan negara yang lain. Misalnya Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Australia meskipun sama-sama menggunakan bahasa Inggris, tetapi sistem pengujian konstitusionalnya berbeda satu sama lain. Meskipun sama-sama menggunakan istilah judicial review, tidak boleh dipahami seolah-olah memunyai pengertian yang sama persis satu sama lain. 9
7
Bambang Sutiyoso dan Srihastuti Puspitasari, Op.Cit, hlm. 108 Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm.207 9 Jimly Ashhidiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm.7-8 8
8
Secara teoritis maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak uji, yaitu hak uji formil (formele toetsingsrecht) dan hak uji materiil (materiele toetsingsrecht). 1. Hak Uji Formal (Formele Toetsingsrecht) Hak uji formal adalah wewenang untuk menilai apakah proses terjadinya suatu produk legislatif (Undang-Undang) sesuai atau tidak dengan cara atau prosedur yang ditetapkan. Dengan demikian dalam hak uji formil, yang dinilai adalah dari segi tata cara atau prosedur pembuatan suatu peraturan perundang-undangan oleh penguasa, apakah sudah sesuai ataukah tidak dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya semua bentuk peraturan perundang-undangan telah diatur tata cara pembuatannya. Apabila tata cara pembuatan tidak dipenuhi, dianggap tidak sah dan tidak mengikat kepada rakyat. 10 2. Hak Uji Materiil (Materiele Toetsingsrecht) Hak uji materiil yaitu wewenang untuk menilai apakah sebuah produk legislatif dari segi isinya (substansinya) bertentangan atau tidak dengan peraturan hukum yang lebih tinggi. Jadi hak uji materiil ini berkaitan dengan isi atau substansi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Apabila suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan Undang-
10
Bambang Sutiyoso dan Srihastuti Puspitasari, Op.Cit. hlm. 111.
9
Undang Dasar 1945, maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya pengikat.11 Di dalam doktrin trias politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan. Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan suatu negara dalam segala derivasinya. 12 Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri sebagai salah satu esensi kegiatan bernegara. Menurut Mukti Arto sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, keberadaan lembaga peradilan itu sangat penting karena tiga alasan: 13 b. Pengadilan merupakan pengawal konstitusi; c. Pengadilan bebas merupakan unsur negara demokrasi; dan
11 12
Ibid., hlm. 112. A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta , 2004,
hlm 46 13
Jimly Asshiddiqie, Pokok..Op.Cit, hlm.521
10
d. Pengadilan merupakan akar negara hukum. Sebelum amandemen UUD 1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia hanya dijalankan/dilaksanakan oleh 1 (satu) lembaga saja, yaitu Mahkamah Agung, namun setelah amandemen ketiga, kekuasaan kehakiman di Indonesia dijalankan oleh 2 lembaga sekaligus, yaitu Mahkamah
Agung
dan
Mahkamah
Konstitusi.
Ketentuan
konstitusionalnya dapat dilihat pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
Pembentukan
Mahkamah
Konstitusi
dilatarbelakangi
oleh
perkembangan kekuasaan kekuasaan parlemen yang kian lama kian dirasakan tidak terkendali. Dalam periode tersebut, organ yang mewakili kepentingan rakyat banyak ini diperkirakan tidak dapat mengakomodasi kompleksitas persoalan dan kepentingan masyarakat secara luas. Sehinga pada dasawarsa itu tuntutan rakyat sering tidak tertampung dan sebaliknya parlemen semata-mata hanya memuat keniginan-keinginan raja.14 Mahkamah Konstitusi pertama kali di populerkan oleh Hans Kelsen yang untuk pertamakalinya berhasil mengadopsikanya kedalam rumusan Konstitusi Austria pada tahun 1919-1920. Setelah itu, ide
14
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Pradnya Paramita, Cetakan Pertama, Jakarta, 2006, hlm.1
11
Mahkamah ini di Italia dalam Konstitusi tahun 1947, baru kemudian di Jerman dan diikuti oleh negara-negara lain. 15 Menurut Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, keberadaan Mahkamah Konstitusi banyak dipakai terutama di negara yang sedang mengalami perubahan dari system pemerintahan negara yang otoritarian menjadi negara yang sistem pemerintahannya demokratis, dan ditempatkan sebagai elemen penting dalam system pemerintahan negara konstitusional modern. Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan konstitusi berdiri atas dasar asumsi adanya supremasi konstitusi yang menjadi hukum tertinggi yang mendasi atau melandasi kegiatan negara serta sebagai parameter untuk mencegah negara bertindak secara tidak konstitusional. Dengan demikian gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan upaya yang ditujukan untuk penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang benar sesuai hukum dasar dan konstitusi. 16 Instruksi dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, maka pada tanggal 13 Agustus tahun 2003 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Mahkamah Konstitusi). Penjelasan Undang-Undang ini menyatakan, keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang berfungsi menangani perkara tertentu dibidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar 15
Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005 , hlm.22. 16 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Rineka Cipta, Cetakan Pertama, Jakarta, 2006, hlm.3-4
12
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagaiman ditegaskan dalam Pasal 2 UU Mahkamah Konstitusi, merupakan salah satu lembaga Negara yang
melakukan
kekuasaan
kehakiman
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini
berarti
Mahkamah
Konstitusi
terikat
pada
prinsip
umum
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainya dalam menegakkan hukum dan keadilan. 17 Secara kelembagaan, keanggotaan Mahkamah Konstitusi Indonesia terdiri dari 9 (sembilan) hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang masing-masing diajukan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.
17
Ni’matul Huda, Op.Cit, hlm.139.
13
Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24 C UUD 1945 ayat 1 yang menyebutkan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Sedangkan ayat 2 menyebutkan : “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.
2. Hierarkhi Peraturan Perundang-undangan Secara teotitik, tata urutan peraturan perundang-undangan dapat dikaitkan dengan ajaran Hans Kelsen mengenai stufenbau des recht atau the hierarchy of law yang berintikan bahwa kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi. Untuk lebih memahami teori stufenbeau des recht harus dihubungkan dengan ajaran Kelsen yang lain yaitu reine rechtslehre atau the pure theory of law (teori murni tentang hukum) dan bahwa hukum itu tidak lain “command of sovereign” - kehendak yang kuasa. 18
18
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 2004, hlm.201-202
14
Ajaran
tentang
tata
urutan
peraturan
perundang-undangan
mengandung beberapa prinsip, yaitu 19 : a. Peraturan yang lebih tinggi kedudukanya tidak dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada dibawahnya. b. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi. c. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatanya. d. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut atau diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat. e. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, maka peraturan yang terbaru harus diberlakukan, waluapun tidak di dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut. Selain itu, peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih umum.
19
Ibid, hlm.133
15
Ada
beberapa
asas-asas
perundang-undangan
yang
perlu
diperhatikan dalam penyususnan peraturan perundang-undangan, yaitu20 : a. Lex specialis derogate lex generalis, yaitu peraturan perundangundangan
yang
bersifat
khusus
mengesampingkan
peraturan
perundang-undangan yang bersifat khusus. Maksud asas ini bahwa terhada peristiwa khusus wajib diperlakukan Undang-undang yang memperlakukan peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan Undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut. b. Lex posteriori derogate lex priori, yaitu peraturan perundangundangan
yang
berlaku
belakangan
membatalkan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku dahulu. Maksud asas ini adalah, bahwa Undang-undang yang lebih dahulu berlaku jika ada Undangundang yang baru (yang berlaku belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna dan tujuanya berlainan atau berlawanan dengan Undang-undang lama tersebut. c. Lex superiori derogal lex inferior, yaitu peraturan perundangundangan yang tinggi didahulukan derajatnya daripada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Maksudnya Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi memiliki kedudukan yang lebih tinggi pula. Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang 20
Hassan Suryono, Kenegaraan Perundang-Undangan : Perspektif Sosiologis Normatif dalam Teori dan Praktek, UNS Press, Cetakan Pertama, Surakarta, 2005, hlm.130
16
dijelaskan dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945, UUD 1945 adalah bentuk peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber semua peraturan perundang-undangan lainya. d. Lex dura secta mente scipta, yaitu peraturan perundang-undangan itu keras, tetapi sudah ditentukan demikian e. Lex niminem cogit ad impossibilia, yaitu Undang-undang tidak memaksa seorangpun untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin atau tidak masuk akal untuk dilakukan. Di Indonesia, tata urutan peraturan perundang-undangan diatur dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004, dengan urutan sebagai berikut: a. UUD 1945 b. Undang Undang/Perppu c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan
Daerah,
yang
meliputi,
Kabupaten/Kota, Peraturan Desa
Perda
Provinsi,
Perda
17
E. Metode Penelitian 1. Obyek penelitian Analisis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VI/2008 atas judicial review Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 2. Sumber data a. Data skunder Data yang digunakan untuk membahas skripsi ini, yang meliputi : 1) Bahan hukum primer, antara lain terdiri dari : a) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara d) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VI/2008. 2) Bahan hukum skunder, antara lain terdiri dari : a) Buku yang terkait dan/atau relevan dengan tema skripsi; b) Pendapat para ahli; c) Karya tulis; d) Literatur-literatur lainya. 3. Teknik pengumpulan data
18
Data dikumpulkan dengan cara studi pustaka, studi ini dimaksudkan untuk mengumpulkan atau memahami data-data skunder dengan berpijak pada berbagai literatur dan dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian. 4. Metode pendekatan Dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu metode pendekatan dimana proses penyelidikanya meninjau dan membahas obyek dengan menitikberatkan pada aspek-aspek yuridis, kemudian disesuaikan dengan analisis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VI/2008 atas judicial review Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 5. Analisis data Data yang diperoleh dengan metode diskriptif kualitatif, yaitu dinyatakan oleh sumber, baik secara lisan maupun tulisan yang dipelajari sebagai sesuatu yang utuh, yaitu dengan menggabungkan antara permasalahan dan data yang diperoleh untuk tercapainya kesimpulan tertentu sehingga diperoleh hasil yang signifikan dan ilmiah.