KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI: ANALISIS EKOLOGP POLlTlK
ELISABET REPELITA KUSWIJAYAh'TI
SEKOLAN PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INPORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis "KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM Dl TAMAN NASIONAL GUNUNG MERASI: ANALISIS EKOLOGI POLITIK" adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal danlatau d i i t i p dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2007
Elisabet Repelita Kuswijayanti
ABSTRAK ELISABET REPELITA KUSWIJAYANTI. Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Gunung Merapi: Analisis Ekologi Politik. Di bawah biibingan ARYA HAD1 DHARh4AWAN dan H A W 1 KARTODIHARDJO. Gunung Merapi terletak di Pulau Jawa bagian tengah, secara admistratif berada di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Propinsi Jawa Tengah. Semenjak tanggal 4 Mei 2004 melaiG SK Menhut 13412004, kawasan ini telah ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Pro-kontra terhadap penetapan TNGM muncul sebelum keluarnya SK penetapan, bahkan pro-kontra tersebut masih terus berlangsung sampai sekarang. Penelitian ini dilakukan di tiga kawasan yaitu. 1) Ds. Ngargomulyo, Dukun, Magelang, Jawa Tengah, 2) Kawasan Tambang Pasir Jumngjero, Ds. Ngargosoka, S m b u n g , Magelang, Jawa Tengah; 3) Kawasan Wisata Kaliurang, Ds. Hargobinangun, Pakem, Sleman, DIY pada bulan Juli 2005 dilanjutkan dengan pada bulan h i Juli 2006. Penelitian ini bertujuan untuk 1) memetakan mekanisme akses dan hak dan 2) menganalisis konfli antara Organisasi Non-pemerintah di bidang iingkungan (Omop-L) clan Pemerintah. Hasil analisis dengan menggunakan perspektif ekologi politik menunjukkan bahwa penetapan TNGM hanya menguntungkan mereka yang tinggal di kawasan tambang pasir dan kawasan wisata dam, tetapi memberikan ketidakpastian pada mereka yang tinggal di kawasan pemukiman penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani-petemak. Penelitian ini juga mengidentifikasi bahwa konflik yang terjadi antara Pemerintah dan Ornop-L adalah konflik wacana. Strategi untuk pengelolaan TNGM di masa depan diwankan sebagai berikut: 1) Pemerintah hendaknya memahami bagaimana mekauisme akses sumberdaya dam yang selama ini bekeja di kawasan Merapi; dan 2) Pemerintah hendaknya bekerjasama dengan organismi akar nunput untuk menerapkan kebijakan di tingkat lapangan dan bekejasama dengan Omop-L untuk mengembangkan wacana konsewasi di Indonesia. Kata kunci: taman nasional, akses, konilik, ekologi politik, wacana konsewasi
ABSTRACT
1
ELISABET REPELlTA KUSWIJAYANTI. The Natural ~eAourceConservation in Gunuag Merapi National Park: A Political Ecology ~nalbsis.Supervised By ARYA HAD1 DHARMAWAN and HARIADI KARTODIHA&DJO. Gunung Merapi is located in the center of ~svaiIsland under the administration of Yogyakarta Special Province and Central Jkva Province. Since May 4", 2004, Gunung Merapi has been declared as Gunyg Merapi National Park under the decree of Minister of Forestry Number 13412004. Polemic over the declaration has been emerged before the decree issued and skll continuing after. This research has been conducted in 1) Ngargomulyo village! Dukun, Magelang, Ccntral Java Province, 2) Jurangjero sand mining area in Ngdgosoka, Srumbung, Magelang, Central Java Province and 3) Kaliurang tourism 1 destination area in Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta Special province on July 2005 and June-July 2006. This research aimed to 1) mapping natural &sources rights and access mechanism and 2) adysing conflict between ~kvironmental NonGovernment Organizations (ENGOs) and Government. usidg political ecology analysis, the research S ~ ~ O Wthat S the declaration of Gunung M!erapi National Park only benefiting people living in tourism destination and sadd mining area, but giving uncertainty for village's farmers. The research also (identified that the conflict between government and ENGOs is the conflift of conservation discourses. The strategy for the future development of Gunyg Merapi National Park is suggested as follows: 1) government should understand the natural ~ and 2) resource access mechanism which has been worked in ~ u n ? nMerapi government should work together with the grassroot organidtions to implement policies in the field level and with the ENGOs to develod natural resources conservation discourses. Key words: national park, access, conflict, political ecology, conservation discourse
OHak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dun memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,fotokopi, milwofilm dun sebagainya
KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DI TAMAN NASEQNAL GUNUNG MERAPI: ANALISIS EKOLOGI POLITIK
ELISABET REPELITA KUSWIJAYANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAN PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
. KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DI TAMAN
Nama Mahasiswa
: Elisabet Repelita Kuswijayanti
NRP
: PO52040321
NASIONAL GUNUNG EKOLOGI POLITIK
MERAPI:
ANALISIS
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardio M.S Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Lingkungan
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M. Tanggal Ujian: 8 Januari 2007
Tanggal Lulus:
16 F {B 2007
Keagungan Tuhan Yang Maha Esa sangatlah besar dan nyata dalam kehidupan yang diciptakanNya dengan sangat sempurna Oleh karena ity puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, karunia dan pertolongan-Nya, penelitian dengan judul KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI: ANALISIS EKOLOGI POLITIK, dapat terselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsewasi sumberdaya dam di Taman Nasional Gunung Merapi dari perspektif ekologi politik: yakni dengan melakukan pemetaan mekanisme akses dan hak terhadap sumberdaya alam di kawasan Merapi sebelum dan sesudah menjadi Taman Nasional Gunung Merapi dan melakukan analisis konflik pro-kontra terhadap penetapan status Taman Nasional Gunung Merapi Penulis menyadari penelitian ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1) Dr. Ir. Sujono H. Sutjahjo, MS., selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan serta seluruh staf atas kemudahan yang diberikan dalam penyelesaian studi di IPB. 2) Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr., selaku Ketua Komisi Pembimbmg yang telah memberikan arahan penelitian dan pembahasan berbagai aspek pada proses penulisan tesis. 3) Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS., selaku Anggota Komisi Pembirnbing yang telah memberikan masukan dan koreksi yang mendalam terhadap hasil penelitian dan proses penulisan tesis. Dr. Ir. Soejo Adiwibowo, MS, selaku Penguji Luar yang telah memberikan 4) masukan demi penyempurnaan tesis. Dr. Ir. Djojo Winoto M. Sc. yang telah banyak membantu penulis selama 5) mengikuti pendidikan di h t i t u t Pertanian Bogor, pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Badan Kesatuan Bangsa dan Perlimdungan Masyamkat Provinsi Jawa Barat, 6) Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Jawa Tengah dan Badan Perencanaan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin untuk melakukan kegiatan penelitian. Balai Konsewasi Sumber Daya Alam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 7) yang memberikan kesempatan pada peneliti untuk mengakses informasi mengenai k o d i k pro-kontra Taman Nasional Gunung Merapi seoptimal mungkin. 8) Kesatuan Pemangku Hutan Perhutani Wilayah Kedu Utara yang berkedudukan di Magelang beserta segenap jajaran staf. Terima kasih atas penerimaannya selama peneliti melakukan penelitian. 9) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Y~gyakarta. 10) Dinas Pertambangan dan Energi Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang 11) Balai Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Pemerintah Daerah gabupaten Magelang yang membetikan data penunjang penelitian.
12) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman 13) Balai Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Pernerintah Daerah Kabupaten Slernan yang rnemberikan data penunjang penelitian. Romo V. Kirdjito, Pr., para suster, staf Paroki Gereja Surnber, Kec. Dukun. 14) Terima kasih atas dukungan moril dan fasilitas akornodasi. 15) Kawan-kawan dari Organisasi Non-Pernerintah dan Organisasi Kemasyarakatan: Walhi Pusat, Walhi DIY, Lessan, Yawama, Kappala Indonesia, Pasag Merapi, GMCA, Perdikan, dan GORO. Terima kasih atas informasi clan pendampingan di lapangan. Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto, selaku Penghageng Kawedanan 16) Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Kraton Yogyakarta. Terirna kasih atas penerimaan dan informasi yang diberikan. 17) Masyarakat desa Ngargomulyo, desa Ngargosoka, dan desa Hargobinangun. Terirna kasih atas kesediaan rnenerima penulis dengan tulus. 18) Osi, Tini, Chana, dan sernua ternan-teman PSL angkatan 2004. Penulis mempersernbahkan tesis ini untuk keluarga tercinta: Romy dan Bintang yang memberikan perhatian dan kasih selama penulis menempuh pendidikan di IPB. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis rnengharapkan berbagai masukan d a l m 3paya penyempurnaan tesis ini. Sekian dan terirna kasih. Bogor, Februari 2007 Elisabet Repelita Kuswijayanti
Penulis dilahirkan di Yogyakarta, pada tanggal 6 Februari 1969 dari ayah bernama Yohanes Babtista Soenarjono (alm.) dan ibu bernama Theresia Soekartinah. Penulis merupakan putri keempat dari empat bersaudara. Tahun 1993, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Hubungan Intemasional, Universitas Gadjah Mada yang berlokasi di Yogyakarta Tahun 1994-1998, penulis bekerja sebagai Redaktur di Majalah Eksekutifmajalah yang mengupas dunia bisnis dan manajemen, berlokasi di Jakarta. Pada tahun 1995-1997 penulis mendapatkan pelatihan Leadership for Environment and Development dari Lead International yang bekerjasama dengan Rockefeller Foundation. Pelatihan diadakan di Jakarta dan di Costa Rica (Amerika Tengah), Okinawa (Jepang), dan Zimbabwe (Afrika Selatan). Tahun 1998-2000, penulis bekerja sebagai Redaktur di Majalah Indikator, majalah yang mengupas dunia ekonomi politik, berlokasi di Jakarta. Di samping itu pada tahun 1997-1998 penulis bekerja sebagai staf paruh waktu pada Yayasan Syarifa yang bergerak di bidang Komunikasi Lingkungan Hidup, berlokasi di Jakarta. Tahun 2000-2002, penulis bekerja sebagai Staf pada Marketing and Communication Group, Kantor Pusat LippoBank, berlokasi di Lippo Karawaci, Tangerang. Penulis menikah dengan Ronny Agustinus pada bulan September 2001, dan kini memiliki satu orang putera bernama Maro Bintang Timurlangit (4 th.) Pada bulan Agustus 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa program Pasca Sarjana (S2) pada program Studi Ilmu Pengetahuan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR IS1 Haiaman
DAFTAR IS1 ................................................................................................ DAFTAR TABEL ......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................... I. PENDAHULUAN 1.l. Latar Belakang ........ .................................................................. . .. 1.2. Kemgka Pem~kuan.......................................................... ......... 1.3. Perumusan Masalah ........................................................... ......... .. 1.4. Tujuan Penelitian .............................................................. .......... 1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................
11.
111.
IV.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi dalam Perspektif Biofisik dan Ekonomi .................. 2.2. Globalisasi Wacana Pengelolaan Sumberdaya Alam clan Keanekaragaman l~ayati............................................................. 2.3. Konservasi dalam Perspektif Pergerakan Sosial di Negara Dunia 111..................................................................................... 2.4. Ekologi Politik Kawasan Konservasi ......................................... 2.5. Teori Akses .................. .......................................................... 2.6. Teori Konflik Sumberdaya Alam ...............................................
18 23 32 34
METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 3.2. Rancangan Penelitian ............................................................... 3.2.1. Metode Pengumpulan Data .............................................. 3.2.2. Metode Analisis Data .................. ........................... . . .
39 40 40 41
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sejarah Pemanfaatan, Pengelolaan, dan Konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Merapi ......................................................... 4.1.1. Sejarah Pola Pemanfaatan Kawasan Merapi oleh Masyarakat Lokal ............................................ 4.1.2. Sejarah Pemikiran Perubahan Pola Pengelolaan dan Pemanfaatan Gunung Merapi Sampai Dengan Munculnya SK Penetapan TNGM ................... ..... 4.1.3. Sejarah Konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Merapi............................................................................ 4.2. Identifikasi Aktor, Peran, dan Kepentingannya ........................ 4.2.1. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Daerah Istimewa Yogyakarta ............................... ..................... ................. 4.2.2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta ........................ ............................................. 4.2.3. Perusahaan Kehutanan Indonesia (Perhutani) Unit I Jawa Tengah ..................................................................
11 15
4.2.4. Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman .......................... 4.2.5. Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang ...................... 4.2.6. Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGM .................. 4.2.7. Organisasi Non-Pemerintah untuk Lingkungan ............. 4.2.8. Organisasi Akar Rurnput ................................................ 4.2.9. Organisasi Kemasyarakatan ........................................... 4.3. Dinamika Politik Organisasi Gerakan Lingkungan dan Kernasyarakatan ........................................................................ 4.3.1. Organisasi Non-Pemerintah untuk Lingkungan ............. 4.3.2. Organisasi k a r Rurnput ................................................ 4.3.3. Organisasi Kernasyarakatan ........................................... 4.3.4. Pola Interaksi Organisasional Penyelamatan Lingkungan TNGM ........................................................ 4.4. Analisis Akses dan Hak Sumberdaya Alam di TNGM .......... 4.4.1. Akses Sumberdaya Alam di Tiga Kawasan Studi ......... 4.4.2. Dominasi Akses Sumberdaya Alam di Tiga Kawasan Studi ............................................................... 4.4.3. Keadilan Akses di Tiga Desa ......................................... 4.4.4. Ikhtisar ............................................................................ 4.5. Analisis Konflik Sumberdaya Alam di TNGM 4.5.1. Dimensi Konflik Pro-kontra TNGM di Tiga Kawasan Studi ................................................................................ 4.5.2. Penahapan Konflik Pro-kontra TNGM ........................... 4.5.3. Pemetaan Konflik Pro-Kontra TNGM ............................ 4.5.4. Ikhtisar ............................................................................
V
.
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ................................................................................. 5.2. Saran ...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR TABEL
Pengelolaan kawasan di Merapi sebelum TNGM...................... Perbandingan luas tanah Sultan Ground/Pakualam Ground di lima Kabupaten di DIY............................................................... Wacana konservasi sumberdaya alam........................................ Kepentingan dan ideologi politik aktor di Dunia IIL .................. Daftar responden......................................................................... Unsur-unsw dalam pembiayaan retribusi penambangan pasir di Kabupaten Magelang .................................................................. Besarnya pajak yang hams ditanggung pengusaha pertambangan pasir ..................................................................... Besarnya pendapatan Pemda Kab. Magelang dari penarikan pajak pertambangan BGG- C........................... Karakteristik ekologi politik tiga kawasan studi Profil orgilnisasi akar nunput dan organisasi Kemasyarakatan di TNGM .................................................................................. Aktor dan wacana konsewasi..................................................... Kerugian atau biaya langsung yang dibayar pemerintah di kawasan pertambangan Merapi di Kabupaten Magelang .......... Fendapatan Pemda Kabupaten Sleman dari pengelolaan gerbang pintu masuk kawasan Kaliurang................................... Pendapatan Pemda Kabupaten Sleman dari pengelolaan fasilitas wisata di kawasan Kaliurang melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan........................................................................... Pendapatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY dari pengelolaan retribusi di TWA Plawangan Turgo........................ Pendapatan PD Anindya dari pengelolaan fasilitas wisata di Kaliurang dan Tlogo Putri........................................................... Pendapatan PD Anindya dari pengelolaan parkir dan penarikan ongkos trayek angkutan umum Kaliurang Yogyakarta.............. Pendapatan PD Anindya dari penjualan air minum di Kaliurang..................................................................................... Perbandingan Pendapatan Aktor di Kawasan Wisata Kzliurang di Tahun 2004 ............................................................................. Peta k o d i k di tiga kawasan studi.............................................. Urutan Kejadian Pro-Kontra TNGM .......................................... Tahapan sosialisasi TNGM ........................................................ Luas area masing-masing zonasi TNGM.. .........................
24 25
Relasi kekuasaan antar aktor di TNGM .................................... Relasi kekuasaan antar aktor Ds. Ngargomulyo, Kec. Dukun dan Ds. Ngargosoka, Kec. Srumbung, Kab. Magelang, Prop. Jateng ...................................................................
26
Relasi kekuasaan antar aktor di kawasan wisata Kdiurang, Ds. Hagobinangun, Kec. Pakem, Kab. Sleman, Provinsi DIY ....... Agenda politik aktor ..................................................
27
DAPTAR GAMBAR
1
Kerangka Pemikiran ...................................................................
2
Lokasi Penel~t~an ........................................................................
39
3
Penahapan Konflik Pro-kontra TNGM ......................................
95
4
Pemetaan Konflik Pro-kontra TNGM ........................................
..
...
Xlll
8
110
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan Gunung Merapi merupakan salah satu ekosistem pegunungan di Pulau Jawa bagian tengah yang mempunyai nilai tinggi bagi kehidupan manusia di sekitar kawasan ini baik dari kajian ekologis, ekonomis, sosial dan budaya. Dari kajian ekologis, komponen biologis ekosistem hutan Gunung Merapi mempunyai keanekaragaman yang tinggi. Di samping itu, gunung ini telah menciptakan ekosistem yang spesifik yaitu hutan tropika pegunungan dan pola suksesi vegetasi yang berkembang secara dinamis. Dari kajian ekonomis, sumberdaya dam Gunung Merapi telah lama dimanfaatkan masyarakat baik berupa material maupun jasa lingkungan. Material yang dimanfaatkan masyarakat antara lain pasir dan batu, hijauan pakan ternak, kayu bakar. Jasa lingkungan yang dinikmati masyarakat sekitarnya adalah keindahan alam yang dikelola sebagai bisnis pariwisata, tata air yang menyediakan air bersih dan air pertanian sepanjang tahun melalui sejumlah mata air yang berada di kawasan ini. Dari kajian sosial budaya, masyarakat di lereng-lereng kawasan hutan Gunung Merapi telah berinteraksi dalam jangka waklu ratusan tahun, interaksi-interaksi tersebut memunculkan beragam budaya hasil dari olah rasa antara manusia dan alam sekitarnya. Interaksi ini telah menciptakan sistem sosial dan budaya yang khas. Masyarakat di sekitar Gunung Merapi temtama bagian selatan (Yogyakarta dan sekitarnya) berpandangan, Gunung Merapi dan dinamikanya sangat terkait dengan misterilkeajaiban dan supranatural. Semua dinamika Gunung Merapi selalu membawa berkah, termasuk guguran lava-nya. Tanda-tanda alam tersebut telah menyikapi kehidupan masyarakat terhadap aktivitas Gunung Merapi, sehingga menciptakan berbagai bentuk interaksi manusia dan alam lingkungannya yang hannonis sebagai pandangan hidup dan budaya yang luhur bagi masyarakat di sekitarnya (BKSDA dan Fakultas Kehutanan UGM 2003). Semenjak tanggal 4 Mei 2004, kawasan Gunung Merapi dialih hngsikan menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) melalui SK Menhut No. 13412004. Pertimbangannya adalah usulan Pemda DIY untuk menaikkan status beberapa kawasan k o n s e ~ a s iyang ada di Merapi yang berupa Cagar Aim,
Taman Wisata Alam, dan Hutan Lindung. Status taman nasional dianggap Pernda DIY dan Jateng mampu mengakomodir kebutuhan akan dana pengelolaan kawasan konservasi yang terbatas dan manajemen kawasan konservasi di bawah satu payung.(Pemda DIY dan Jateng 2002). Sebelumnya, kawasan Gunung Merapi yang terletak di dua Provinsi yaitu DIY dan Jateng ini dikelola oleh beberapa instansi yang berbeda yaitu: BKSDA DIY, Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY, Perum Ecrkrltani Wilayah I Surakarta Prop. Jateng, dan Perum Perhutani Wilayah Kedu Utara Prop. Jateng (lihat tabel 1.)
Tabel 1. Pengelolaan kawasan di Merapi sebelum TNGM No Fungsi Kawasan lnstitusi Luas (Ha) 1 Cagar Alam Plawangan Turgo, BKSDADIY 164,75 Sleman, DIY 2 Taman Wisata Alam Pla~vangan Dinas Kehutanan & 1 1 7,50 Turgo, Sleman, DIY Perkebunan DIY 3 Hutan Lindung, Sleman, DIY Dinas Kehutanan & 1.146,13 Perkebunan DIY Wilayah kerja KPH 4 Hutan Lindung, Klaten, Jateng Surakarta Peru~nPerhutani Unit I Jateng 2645,51 5 Hutan Lindung, Boyolali, Jateng Wilayah kerja KPI-I Perum Perhutani Unit I Jateng 6 Hutan Lindung, Magelang, kteng Wilayah kerja KPH Kedu 2480,5 Utara Perum Perhutani Unit 1 Jateng Sumber: Dishutbun DIY, BKSDA DJY & Perum Perhutani Unit 1 Jateng 2006 . Diolah. SK Menhut No. 13412004 menuai kritik karena diterbitkan di saat kesepakatan untuk penetapan status kawasan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat belum tercapai. Sebelum SK tersebut diterbitkan, pemerintah merevisi SK Menhut No. 7012001 tertanggal 15 Maret 2001 menjadi SK Menhut No. 4812004 tertanggal 23 Januari 2004 yang menyatakan bahwa Menteri Kehutanan dapat menetapkan perubahan fungsi kawasan hutan tanpa melalui persyaratan adanya persetujuan DPRD KabupatedKota dan DPRD Provinsi untuk yang lintas KabupatedKota. Melalui upaya ini, langkah-langkah dalam rangka pengembangan TNGM yang telah dilakukanl ditempuh, baik oleh Provinsi DIY maupun Provinsi Jawa Tengah dinilai telah memenuhi syarat untuk merubah fungsi kawasan hutan dengan terbitnya Keputusan Menteri Kehutafian
No. SK.481Menhut-IU2004 tersebut di atas (Dinas Kebutanan dan Perkebunan 2004). Sementara itu, kekecewaan masyarakat serta Omop-L (Organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang Lingkungan) bergulir dan membesar karena merasa tidak mendapat tanggapan dari pemerintah sebagaimana yang diharapkan. WLH yang mempakan konsorsium dari 33 Omop-L di DIY mendesak pemerintah untuk mencabut kembali sehelum kesepakatan mengenai bentuk konservasi kawasan Merapi :~icapai.Kritik terbadap SK tersebut ada!ah minimnya partisipasi masyarakat dalam peQetapan TNGM serta manajemen taman nasional di Indonesia yang dirasakan belurn berjalan dengan baik sehingga dikhawatirkan TNGM juga akan mengalami ha1 sempa. Omop-L juga mencurigai adanya agenda tersembunyi dari pemerintah berkenaan dengan pemhahan status kawasan ini (Nugroho 2004, Hartono 2005). Sebagaimana diketahui, dengan status taman nasional, kepentingan yang akan ada di sana bukan saja dari tingkat lokal, ataupun nasional melainkan juga pada tingkat global. Menurut sejarah pengelolaan kawasan Gunung Merapi, pengelolaan kawasan Merapi dimulai pertama kali semenjak tahun 1912. Pengelolaan ini merupakan kebijakan resmi yang pertama dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengatur kawasan Merapi dan masyarakatnya. Kebijakan pengelolaan kawasan ini lebih pada pertimbangan lereng Merapi sebagai daerah rawan bencana (akibat letusan Gunung Merapi). Pada tahun 1931, Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan kawasan Merapi dengan status hutan lindung seluas
* 8.752,83 Ha yang meliputi * 1.791,03 Ha di Provinsi DIY dan seluas i 6.961,8 Ha di Provinsi Jateng dengan pertinbangar untuk pelestarian ekosistem di Merapi. Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda ini sebagian masih diadaptasi oleh Pemerintah Indonesia semenjak kemerdekaan, bahkan hingga kini. Beberapa pennasalahan menonjol dari sejarah pengelolaan kawasan Merapi adalah relokasi masyarakat ke daerah transrnigrasi (1961-1975), masalah ganti mgi lahan yang dialihfungsikan menjadi kawasan lindung (1972-kini) dan pesatnya pembangunan kawasan utara DIY (1,2% lahan pertanian produktif di Sleman setiap tahunnya menciut akibat pembangunan perkantoran, perumahan, industri, perguruan tinggi). Pennasalahan yang terakhir ini menjadi salah satu pertimbangan dari Pemda DIY
untuk kemudian mengajukan usulan perubahan status kawasan menjadi taman nasional (Sulistyo 2002). Runutan pengelolaan terhadap kawasan Merapi memperlihatkan adanya dinamika akses masyarakat terhadap sumberdaya dam, ini nanlpak pada perubahan status fungsi lahan dari yang semula milik pribadi (privale property) menjadi hutan lindung (public properly). Ini berarti ada penghilangan alas hakhak yang semnla dinikmati oleh masyarakat seperti hak menentukan bentuk manajemen pengelolaan sumberdaya dam, hak menetapkan siapa yang dapat ikut serta memanfaatkan sumberdaya alam, dan hak memperjual belikan atau mengubah fungsi peruntukan sumberdaya dam (Kartodihardjo 2006). Ketiga hak tersebut kini diatur oleh lembaga publik yaitu negara yang dalam pelaksanaannya dijalankan oleh Pemerintah Daerah dan Departemen Kehutanan. Satu-satunya hak yang dimiliki oleh masyarakat adalah memasuki dan memanfaatkan sumberdaya dam yang dalam ha1 ini adalah mencari rumput dan renceklranting kecil. Meski begitu, didapati adanya penduduk desa yang melakukan bndidaya palawija dan singkong di kawasan lindung dan melakukan aktivitas tambang pasir secara ilegal (BKSDA dan Pusat Studi Agroekologi 2004). Terbitnya SK Menhut 13412002 tidak hanya merubah fimgsi hutan lindung namun sekaligus mempersempit akses masyarakat terhadap sumberdaya alam. Ini diperlihatkan dari adanya Zona Tanaman Rumput Bawah Tegakan seluas total 486,5 hektar'. Sementara pelaku bisnis seperti penambang pasir relatif tidak mengalami banyak persoalan karena TNGM memberikan tempat berupa Zona Pemanfaatan Pasir seluas 146,87 hektar. Pelaku bisnis yang bergerak di bidang pariwisata memperoleh akses terbanyak yang tersebar di 5 zona yaitu Zona Wisata Alam (WA) Turgo-Plawangan (141,69 ha), WA New Selo (27,03 ha), WA Deles (27,43 ha), WA Musuk (18,7 ha), WA Tambang Pasir Srumbung (14,39 ha). Dalam upaya konsemasi keanekaragaman hayati di kawasan Merapi ini, terdapat dimensi politis ekologis (agraria) yang khas yaitu keberadaan Keraton I
Zona ini merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang berada antara taman nasional dan tanah milik masyarakat selebar sekitar 100 meter di bawah tegakan hutan. Secara fisik mempakan bagian zona pemanfaatan yang berupa areal batas kawasan, dengan batas-batas sejaub-jauhnya 100 meter dari luar kawasan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Zona ini dihngsikan sebagai batas hidup sekaligus dimungkinkan adanya kegiatan masyarakat menunjang kebutuhan bempa kayu bakar, bambu, madu, dan lain-lain (BKSDA dan Puszt Studi Agroekologi UGM 2004)
Yogyakarla dan Pura Paku Alaman yang memiliki hak atas sen'ua tanah di wilayah Yogyakarta yang disebut sebagai Sultan Ground (SG) dan Paku Alaman Ground (PAG)~.Hingga sekarang luas tanah SG dan PAG belum diketahui secara pasti. Menurut prakiraan BPN dari hasil pendataan semenjak tahun 2002, luas SG dan PAG hanya tinggal 1,1% (3.562 hektar) dari total luas wilayah DIY (318.580 hektar). Luas Tanah SG dan PAG bisa dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.
Perbandinean luas tanah Sultan Groundmakualam Ground di lima ~ a b u p a t e n d DIY i Kabupaten Luas Kab.1 Sultan Ground/ Kota (Ha) Paku Alam Ground ([Ha) Kota Yogyakarta 3.250 43 Sleman Kulon Progo Bantul Gunung Kidul 148.536 60 1 Sumber: SKH Kompas Ydgyakarta, 2 8 Januari 2005
Berdasar data tersebut nampak bahwa peran Sultan Hamengku Buwono X yang kini juga menjabat sebagai Gubemur Provinsi DIY bisa jadi sangat menentukan upaya konservasi di TNGM yang sebagian wilayahnya masuk Kabupaten Sleman. Perubahan tata kepernerintahan dari Pemerintah Kolonial Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia turut berpengaruh terhadap status kepemilikan dan fungsi lahan SG di kawasan Merapi. Sama seperti adanya perubahan hak atas lahan privat (SG) menjadi milik publik (hutan lindung) seperti yang dialami masyarakat kawasan Merapi, hak akses Sultan sebagai pemilik lahan terhadap sumberdaya di Merapi juga rnengecil. Posisi Sultan sebagai GubemurIKepala
Menmut Perjanjian Giyanti 1755, selllruh wilayah DIY sebenamya adalah tanah swapraja (milik Keraton Yogyakarta). Namun, karena pergolakan sejarah, perubahan tata negara, dan lain hal, tanah swapraja tadi berubah kepemilikannya. Peraturan yang menunjuk Keraton sebagai pengelola belum ada. Secara yuridis status tanah diatur dalam Rijkblad 1918 dan UU No.3 tahun i950 tentang Pembentukan DIY. Status tanah tidak bisa dialihkan menjadi hak milik perorangan maupun tanah negara. Rijkblad 1918 pasal 1 menyebutkan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak milik oleh pihak lain adalah tanah Keraton Yogyakarta. Berdasar aturan tersebut, menurut BPN, pada:dasarnya tidak ada tanah negara di DIY kecuali wedhi kengse: (lahan pada sempadan sungai yang terbentuk secara alami akibat pengendapan pasir yang terbawa aliran sungai). Sedangkan pada W!, No.3 tahun 1950Bab II. pasal4 (1) disebutkan bahwa urusan asaria merupakan urusan rumah tangga DIY sebagai daerah istimewa. Tanah SG dan PAG bisa dimacfaatkan masyarakat melalui pemberian sertifikat hak pakai oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Daerah Provinsi DIY bisa jadi mengaburkan status sumberdaya dam di kawasan Merapi apakah sebagai properti privat atau properti publik. Keberadaan TNGM mengubah hak akses Sultan sebagai GubernurIKepala Daerah I'rovinsi DIY terhadap sumberdaya alam di kawasan Merapi, karena pengelolaannya kini bqrada di tangan Pemerintah Pusat. Meski begitu, untuk menghorrnati keberadaan Keraton, TNGM menyisihkan lahan seluas 15,82 hektar sebagai Zona Budaya ~abllhzn~. Sebagai representasi kehadiran Kraton, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah menunjuk seorang Abdi Dalem Keraton yang bertindak sebagai Juru Kunci Merapi di sana4. Perkembangan terakhir dari pro-kontra upaya konservasi di kawasan Merapi dari pihak pemerintah adalah melakukan sosialisasi dan pemantapan rencana pengelolaan TNGM. Sementara dari pihak Omop-L dan masyarakat di kawasan Merapi yang tidak setuju, upaya yang dilakukan adalah penguatan jaringan setelah upaya penolakan rnelalui jalur hukum yang pertama gaga1 (PTUN tanggal 24 Januari 2005). Mereka terus mendesak agar SK Menhut No.13412004 dicabut, tidak tertutup kemungkinan mereka akan melalui jalw hukum kembali. Kondisi konflik yang berlarut ini akan berpotensi menghambat dan mengganggu konservasi sumberdaya alam di kawasan Merapi.
1.2. Kerangka Pemikiran Kawasan Gunung Merapi adalah kawasan yang dimiliki oleh para pihak yaitu Negara, Kraton Yogyakarta, masyarakat, Omop-LIOAR (Organisasi Akar Rumput) dan bisnis. Paia pihak tersebut secara garis besar memiliki kesamaan kepentingan yaitu pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di kawasan Gunung Merapi. Upaya konservasi disepakati sebagai cara untuk menjaga pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya dam secara berkelanjutan. Namun, bagaimana mekanisme konservasi yang sesuai di kawasan Gunung 3
Zona Budaya Labuhan adalah zona khusus yang merupakan bagian dari Zona Pemanfaatan. Zona khusus ini merupakan kawasan untuk melaksanakan upacara labuhan di bulan Suro (Muharram) sebagai bentuk ekspresi proses simbolik filosofik Laut Selatan dan Gunung Merapi (BKSDA dan Pusal Studi Agroekologi 2004). 4 ~ b d Dalem i Keraton ini adalah seseorang yang dituakan di kawasan Merapi. Masyarakal menyebutnya Mbah Marijan. Pada tahun 1995 Mbah Marijan mendapal anugerah gelar Wlusus Mas Ngabehi Suraksol~argodari Sri Sultan I-lanengku Buwono IX yang rnemberikan amanat agar Mbah Marijan menjaga 'tata krama' yang ada di Merapi (Kompas-Yogya, 5 Agustus 2004) .
Merapi menjadi suatu perdebatan tersendiri dan r~emunculkandua perspektif dalam memandang konsep konservasi. Kedua perspektif tersebut adalah pertanlo, biofisik dan ekonomi yang meinandang konservasi untuk pelestarian sumberdaya alam sekaligus untuk memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya alam. Kedua, perspektif pergerakan sosial yang memandang keberadaan sumberdaya alam tak dapat dipisahkan dengan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut Mereka menjadi satu kesatuan ekologi yang saling mempengaruhi, sehingga upaya konservasi terhadap sumberdaya alarn di kawasan tersebut seharusnya mempertimbangkan keberadaan masyarakat berikut tradisi mereka. Perspektif ini menganggap manajemen pengelola& konservasi yang dilakukan pemerintah seperti halnya mekanisme taman nasiozal banyak didominasi pengaruh global dan merugikan masyarakat di kawasan konservasi. Mekanisme konsemasi yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah pusat adalah taman nasional yang diyakini mampu mengakomodir semua kepentingan para pibak. Adanya perbedaan perspektif melahirkan konflik kepentingan yang berpotensi mengganggu upaya konservasi. Bagaimana peta konflik kepentingan, siapa saja aktor yang berperan di dalamnya, bagaimana kekuatan dan apa potensinya perlu dianalisa dengan menggunakan piranti analisa kekuatan slakeholder sebagai masukan bagi langkah pemerintah dalam menyikapi konflik
dan mengevaluasi kebijakan. Pemahaman terhadap peta konflik mampu mengarahkan pada penyusunan suatu altematif pengelolaan kawasan taman nasional yang berkelanjutan (Lihat Gambar 1)
I
1
Negara
Kenton
1
1
Omop-LIOAR
Masyarakat
Bisnis
!
Pemanfaatan SDA
a Konservasi
Perspektif Pergerakan Sosial
Teori Konflik
Pro-Kontra
* Rekomendasi
Kebijakan Pengelolaan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Perspektif Teori Akses
1.3. Perurnusan Masalah
Konflik pertentangan antara Omop-L dan masyarakat di kawasan Merapi yang menolak TNGM dengan pemerintah sebenarnya mempakan masalah pengelolaan common pool resources. Pemerintah menyikapi pennasalahan dengan pendekatan sentralistik melalui penetapan bentuk taman nasional sebagai upaya konservasi. Sementara Ornop-L dan masyarakat di kawasan Merapi yang menolak
TNGM menginginkan pendekatan komunitas (community based management) dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terhadap pengelolaan common pool resources. Untuk menganalisa konflik ini digunakan pendekatan teori kontlik dari Malik et al. (2003) agar diperoleh gambaran tentang dinamika konflik. Pendekatan ini mengasumsikan konflik sumberdaya alam sama seperti karakteristik konflik secara m u m . Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu: (1) hubungan antar manusia, (2) kepentingan, (3) kerbedaan] data, (4) perbedm nilai, dan (5) struktural. Pengelolaan kawasan Merapi juga adalah masalah pengelolaan akses masyarakat terhadap sumberdaya dam. Oleh karena itu, dalam menganalisa fenomena di kawasan Merapi ini digunakan pula pendekatan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) yang mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari segala hal (ability to derive benefirs from things). Gagasan ini merujuk pada adanya ikatan kekuasaan (bundle of powers) dan bukannya pada ikatan hak (bundle of rights). Rumusan ini adalah tentang bagaimana aktor bisa memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya melalui suatu hubungan sosial yang luas dan bukannya pada hubungan properti semata. Pendekatan ini digunakan untuk memahami mengapa ada seseorang atau beberapa orang ataupun lembaga yang bisa memperoleh keuntungan dari memanfaatkan sumberdaya, tidak peduli apakah memiliki hak atas sumberdaya tersebut atau tidak. Berdasarkan pen&usan pennasalahan yang dikemukakan dan pendekatan yang digunakan, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:
-
Siapa saja aktor yang ierlibat?
-
Apa latar belakang para aktor tersebut dan apa kepentingannya?
-
Bagaimana cara para aktor menggalang formasi kekuasaan tersebut?
-
Bagaimana hubungan antar para aktor yang berkepentingan tersebut?
-
Seperti apa rnekanisme yang digunakan para aktor untuk mencapai tujuan, mengendalikan akses, dan mempertahankan alur keuntungan dan sekaligus mendistribusikannya?
-
Siapa yang paling mendapatkan keuntungan, dan siapa yang dirugikan?
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
1. Memetakan kep~ntingandan relasi kekuasaan para aktor dalam konsemasi sumberdaya alam di Taman Nasional Gunung Merapi.
2. Menganalisis konflik kepentingan dan relasi kekuasaan para aktor dalam konservasi sumberdaya alam di Taman Nasional Gunung Merapi.
3. Mengidentifikasi dan memetakan mekanisme perolehan, pemeliharaan, dan pengendalian akses sumberdaya dam di Taman Nasional Gunung Merapi.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi dengan mempertimbangkan kekuatadpotensi konflik ekologi yang ada. Hasil studi ini juga diharapkan mampu memperkaya khasanah studi ekologi politik di Indonesia.
11. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Konservasi datam Perspektif Biofisik dan Ekonomi Konsep-konsep konsewasi kini mengalami perluasan definisi. Menurul MacKinnon dalam Alikodra (2005), konsep konsewasi yang modem adalah suatu pemeliharaan sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana Konsep ini berdasar!:an
2dclanj.a duz kebutuhm; pertama, kebutuhan
untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat.
Kedua, kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis. Paradigma ini menggeser paradigma lama yang selama ini memahami konservasi sebagai pelestarian demi pelestarian itu sendiri dalam zrtian tertutup bagi upaya pemanfaatan dan anti pembangunan. Paradigma ymg baru memberikan saran bahwa jika suatu kawasan konsewasi dilindungi, dirancang, dan dikelola secara tepat, akan dapat memberi keuntungan yang lestari bagi masyarakat. Dengan demikian pelestarian itu sendiri akan penting artinya dalam pembangunan sosial dan ekonomi di pedesaan dan turut mengembangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan, serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Penetapan dan pengelolaan kawasan dilindungi merupakan suatu cara penting untuk dapat menjamin agar sumberdaya alam dapat dilestarikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat manusia sekarang dan di masa mendatang. Hal ini perlu dilakukan mengingat pertumbuhan dan kegiatan manusia yang semakin merusak sumberdaya alam dan lingkungannya (Alikodra 2005). Menurut Ehrlich dan Wilson dalam Alikodra (2005), manusia seharusnya mengkhawatirkan fenomena berkmangnya keanekaragaman hayati karena tiga alasan: Pertama, manusia sebagai homo sapiens yang merupakan spesies dominan di bumi ini, sehingga sudah seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi semuanya yang telah tumt menemani tinggal di alam semesta. Kedua, manusia menerima keuntungan ekonomi secara langsung dalam bentuk makanan, obat-obatan, dan produk industri, dan berpotensi untuk menerima lebih lagi.
Kzfiga, adanya jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh ekosistem seca& alami,
seperti penleliharaan kornposisi gas-gas di atn~osfer, proses fotosintesa yang membuat bumi mengalami kecukupan oksigen. Effendi (2001) rnenganlati terdapatnya miskonsepsi dalam pemahaman terhadap kawasan
konsemasi. Ia
mengatakan bahwa miskonsepsi
itu
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kawasan konservasi merupakan sumberdaya dam yang "hilang" dalam mendukung kepentingan pembangunan ekonomi. Kesalahpahaman itu diperkuat ketika pmI~rintahmenunjuk suatu areal sebagai kawasan konservasi dan kemudian membatasi kegiatan manusia dalam kawasan tersebut, sehingga masyarakat berpendapat bahwa kawasan konsemasi tersebut hanya sedikit saja memberi manfaat uang yang mengalir pada masyarakat lokal atau negara. Penilaian ekonomi sumberdaya (resources valuation) dapat digunakan sebagai peralatan kebijakan untuk membantu para perencana pemerintahan untuk memperkuat pengelolaan kawasan konservasi dengan mempertimbangkan nilai ekonomi dari berbagai altematif pilihan penggunaan lahan, termasuk kawasan konsemasi. Konsemasi sumberdaya dam di kawasan Merapi pada mulanya bettujuan untuk perlindungan masyarakat di sekitamya dengan alasan bencana alam namun, alasan perlindungan ini kemudian diperluas menjadi perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di kawasan itu sendiri. Sebagai daerah resapan air bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya, kawasan Merapi adalah conzmon property yang akan mudah disalah gunakan pemanfaatannya oleh individu atau kelompok pengguna yang bertindak atas kepentingannya sendiri. Menurut model padang rumpdt milik Hardin, pemecahan permasalahan common property untuk mencegah tragedy of common adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan sentralisasi atau privatisasi sumberdaya dam tersebut (Hardin 1968). Selain kedua pendekatan tersebut, Ostrom (1990) dalam Van Vugt (2002) mengemukakan pendekatan ketiga berupa rancangan kerjasama kelembagaan yang kuat yang diorgariisir
dan diatur oleh pengguna sumberdaya itu sendiri. Ostrom
mengupayakan agar kelompok-kelompok utama yang berada dalam situasi yang saling bergantung satu sama lain ini mampu mengorganisir dan mengatw dirinya sendiri untuk memperoleh keuntungan yang terus menerus sementara menghadapi
kendala adanya kelompok pendompleng Cfree rider), tak mematuhi F2raturan (shirk), atau oportunis. Semenjak tanggal 4 Mei 2004. kawasan Merapi teiah berubah menjadi Taman Nasional Gunung Merapi melalui SK MenHut No.134/2004. Keputusan ini mencerminkan sistem sentralisasi pengelolaan sumberdaya yang dianut pemerintah. Kebijakan ini mengundang kontroversi dari masyarakat dan lembaga legislatif daerah. Pemerintah menyikapi kontroversi tersebut dengan merevisi SK MenHut No.7012001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Pembahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan dengan SK MenHut No. 04812004 tanggal 23 Januari 2004. Revisi SK ini mengisyaratkan tidak diperlukannya lagi izin DPRD dalam proses pembahan status kawasan Merapi oleh Pemerintah Pusat. Uniknya, SK MenHut No. 13412004 sendiri masih mencanturnkan SK MenHut No.7012001 sebagai salah satu SK yang menjadi salah satu dasar keputusan. Mengapa pemerintah terkesan memaksakan din dalam menetapkan keputusan pembahan status kawasan Merapi? Pengelolaan sumberdaya dengan sistem sentralisasi mempakan salah satu cara untuk mengatasi dilema sumberdaya. Tujuannya adalah mengatur akses individu terhadap sumberdaya. Strategi yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kontrol dari pusat dan meningkatkan kontrol individu. Meskipun demikian, sistem sentralisasi tidak selalu dianut individu pengguna karena mereka tidak sertamerta memberikan kebebasan yang selama ini dimilikinya dalam mengakses sumberdaya kepada pemerintah. Ini disebabkan dua hal, pertama; individu tidak percaya sistem yang diberlakukan marnpu menghentikan mereka yang bisa menggunakan sumberdaya secara berlebihan. Kedua, individu mengkhawatirkan adanya praktik kompsi dan eksploatasi oleh pemerintah itu sendiri. Pada suatu masyarakat yang sebenarnya memiliki altematif pilihan untuk menciptakan suatu sistem pengaturan akses sumberdaya, sistem sentralisasi menjadi sistem yang sangat tidak populer (Van Vugt 2002). Menurut Ostrom dalam Vugt (2002), sistem sentraiisasi tidak cukup efisien dalam mengatasi permasalahan sumberdaya. Penyebabnya, pertama, diperlukan suatu sistem pengawasan yang ketat untuk bisa mengontrol pasokan sumberdaya yang ada. Kedua, pemerintah kemungkinan tidak cukup memahami pengetahuadkearifan
iokai un~uknlemoniror konaisi sumkraaya aan n~erencanaicanaturan yang optimal dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya (Van Vugt 2002). Kenyataannya memang, hampir semua pengelolaan taman nasional di Indonesia mengalami permasalahan baik sod pendanaan maupun dalam menghadapi ilegal logging maupun perambahan waayah. Menurut lbyanto (2005), beberapa kendala dalam pengelolaan kawasan konsewasi di Indonesia adalah:
1. Kurangnya sumberdaya manusia yang profesional di bidang konservasi sumberdaya alam; 2.
Kondisi lapangan yang berat sehingga terjadi kesulitan membangun infrastruktur untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan kawasan suaka dam dan pelestarian alam;
3. Pendanaan dalam bidang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam masih minim, sehingga perlu adanya dukungan dana untuk mendukung program tersebut. 4. Peran serta masyarakat di dalam bidang konsewasi sumberdaya alam hayati masih rendah. Menurut Sumardja (2004), kebanyakan kawasan konsewasi di Indonesia lnemang sangat minim sumberdaya, beberapa di antaranya bahkan tidak menenma bujet reguler sama sekali, dan hanya bergantung pada pendanaan dari lembaga donor suplementer, yang memberikan dana untuk proyek yang terbatas durasinya. Pemerintah Indonesia selama ini berupaya mencari alternatif pencarian dana melalui program mekanisme peningkatan pendapatan konsewasi yang disebut
Integrated Consetvation and Development Project (ICDP) yang didukung oleh
Bank Dunia. Jika memang, kondisi pengelolaan tarnan nasional di tanah air tidak terlalu baik, bukankah keputusan menetapkan Taman Nasional Gunung Merapi justru menambah panjang daftar permasalahan yang akan dihadapi pcmerintah dalam ha1 pengelolaan kawasan konservasi? Apakah dana pengelolaan kawasan konservasi akan dapat berkelanjutan jika ketergantungan terhadap lembaga donor begitu besar? Bagaimana melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan taman :
nasional?
2.2. Globalisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keanekaragarnan IIayati
Sebagai negara anggota CBDIConvention on Biological Diversig~, kebijakan penetapan Taman Nasional merupakan salah satu kewajiban Indonesia. Konvensi keanekaragaman hayati ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara danlatau kepala pemcrintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil. Penandatanganan ini terlaksana selama penyelenggaraan United Nations Conference and Developnzent (UNCED) tanggal 3-14 Juni 1992. Indonesia merupakan negara ke delapan yang menandatangani Konvcnsi di Rio de Janeiro, Brazil, 5 Juni 1992 (Penjelasan UU RI No.511994, IB). Selanjutnya pemerintah Indonesia mengamandemen Konvensi tersebut dan menerbitkan UU No. 511995 Tentang Pengesahan United Nations Convention on
Biological Diversity. Dilihat dari perspektif Globalocentric, kebijakan pemerintah ini mengartikan bahwa wacana keanekaragaman hayati yang selama ini diakui Indonesia mempakan pemahaman sebagaimana telah disebarluaskan oleh institusi-institusi global. Oleh karenanya pengelolaan terhadap keanekaragaman hayati pun dilakukan dengan menganut mekanisme yang disepakati bersama. Menurut Escobar (1998), perspcklif Globalocentric merupakan perspektif yang
memahami
keanekaragaman hayati
scturut wacana-wacana
yang
disebarluaskan oleh institusi-institusi dominan, terutama Bank Dunia dan Ornop-
L utara (seperti World Conservation Union, World Resources Institute, dan World Wildlife Fund), dan dukungan dari negara-negara G7. Pemahaman ini mendasarkan pada adanya suatu "ancaman terhadap keanekaragaman hayati" yang lebih menekankan pada hilangnya habitat, introduksi spesics di habitat alien, dan fragmentasi terkait dengan pengurangan habitat, ketimbang pada hal-ha1 yang menjadi penyebab; pemahaman ini menawarkan resep-resep untuk konservasi dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan pada tingkatan lokal, nasional, dan intemasional; juga menyarankan mekanisme yang tepat untuk pengelolaan keanekaragaman hayati, termasuk riset ilmiah, konservasi in-situ dan eks-situ, perencanaan keanekaragaman hayati nasional, dan penetapan mekanismc yang sesuai untuk kompensasi dan pemanfaatan sumberdaya keanekaragaman hayati secara ekonomis, melalui pemberian hak-hak kekayaan intelektual. Wacana
7engelolaa.n ini didiseminasikan melalui serangkaian kegiatan seputar CBD, termasuk kegiatan lanjutan yang diberinama Confirences of the Parties (COP). CBD merupakan organisasi peletak arstitektur dasar bagi kerangka kerja keanekaragaman hayati. Menurut Duarte (2001), di era globalisasi terdapat dua perspektif dalam memandang pengelolaan sumberdaya dam, pertama adalah perspektif Globalisasi Ekosentrisme (1960an-1970an) yang melinat bumi sebagai ekosistem raksasa (biosphere). Kedua, perspektif Globalisasi Instrumen (1980an-sekarang), dengan cara mempromosikan gagasan-gagasan seperti pengelolaan, pengawasan, dan perencanaan sumberdaya dam untuk menjamin kelangsungan pasokan bahan mentah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan produksi bagi dunia industri. Salah satu instrumen global yang penting di abad 20 adalah United Nations Conference
on Hunzan Environment (UNCHE). Melalui UNCHE, perhatian terhadap bumi hukan lagi berdasar pada etika ekosentrisme belaka, tetapi berdasarkan pada pertimbangan positif anilai moneter sumberdaya planet, dan bagaimana sumberdaya tersebut dimanfaatkan secara efektif demi pertumbuhan ekonomi. Dominasi globalisasi kelembagaan ini memarjinalkan globalisasi ekosentrisme sehingga filosofi ekosentrisme seolah menjadi filosofi underground. Daiam perkembangannya, sebagian para penganut ekosentrisme akhimya mengakui perspektif bumi sebagai suatu sistem sumberdaya. Elemen-elemen ekosentrisme kemudian terkooptasi dalam bentuk-hentuk kelembagaan mengenai wacana liigkungan yang disebarluaskan sebagai agen "lingkungan dan pembangunan" seperti antara lain United Nations Environment Programnze (UNEP), World
Commission for the Environment and Development (WCED) dan World Conservation Union (IUCN). Wacana keanekaragaman hayati yang disebarluaskan oleh institusi-institusi global diaplikasikan oleh pemerintah di negara-negara yang menerima dan mempertemukannya dengan wacana keanekaragaman hayati lokal yang selama ini dianut dan telah menjadi keseharian masyarakat setempat. Pertanyaannya, sejauh mana wacana global tadi mampu mengadaptasi kebutuhan masyarakat sekaligus menggeser wacana yang selama ini mereka akui? Bagaimana proses adopsi
masyarakat lokal terhadap wacana global tersebut? Bagaimana peran pemerintah selama proses adopsi tersebut berlangsung? Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan pentingnya konservasi kawasan Merapi karena kawasan ini merupakan kawasan penyangga kehidupan bagi kawasan sekitamya yang dalan batasan administrasi pemerintahan adalah wilayah Kabupaten Sleman, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Klaten. Namun, pengelolaan kawasan Merapi menghadapi kendala berupa dana dan kurangnya koordinasi dari institusi terkait (Pemda DIY dan Jareng 2002). Kawasan Merapi baik dari segi biofisik, geohidrologi, maupun sosial budaya selama ini berfungsi untuk memenubi kebutuhan masyarakat di sekitarnya ataupun paw wisatawan. Setumt hirarki kebutuhan manusia yang digambarkan oleh ~ b i a h a mMaslow dalam Roberts (2004) manusia pada dasarnya memiliki lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), k e a m a m (securify), kasih sayang (love and belonging), penghargaan (esteem), aktualisasi diri (selfactualisation). Terpenuhinya kebutuhan dasar akan mendorong manusia untuk mencari kebutuhan yang lebih tinggi seturut tingkat hirarki. Menurut Roberts (2004), ketika manusia sudah mampu memenuhi kebutuhannya hingga ke tingkat tertinggi, ia cenderung akan memanfaatkar~jasajasa lingkungan secara berlebihan. Kebutuhan manusia pada tingkat tinggi secara fundamental bersifat emosional, bukan material: kebutuhan akan kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri memang tidak memerlukan konsumsi kapital lingkungan yang berlebihan, namun kebutuhan-kebutuhan tersebut nyatanya hanya mampu terpenuhi melalui akumulasi materi terlebih dahulu. Meski demikian, Max-Neef menyatakan bahwa kebutuhan akan penghargaan diri tidak semata diperoleh melalui akumulasi materi melainkan dari kegiatan atau atributatribut yang diperolehnya seperti kegiatan kedermawanan atau partisipasi dalam komunitas. Setumt teori pemenuhan kebutuhan manusia ini, kebutuhan apa sajakah yang sedang diperjuangkan oleh para aktor yang berada di kawasan Merapi? Kombinasi teori Maslow dan Max-Neef bisa digunakan untuk memahami pemenuhan kebutuhan masyarakat di sekitar Merapi. Pekerjaan mencari rurnput bagi masyarakat di lereng Merapi bukanlah pekerjaan untuk mencari uang (dari hasil mencari rumput atau memberi ~nakantemak sapilkambing), melainkan juga
sudah menjadi 'aganla' mereka (v.K.', tokoh penggerak masyarakat Desa Dukun,
8 Agustus 2005, Kolnunikasi Pribadi). Mencari rumput yang oleh sebagian orang dianggap sebagai kebutuhan untuk pertahanan diri, ternyata juga menjadi kebutuhan untuk aktualisasi diri. Pertanyaannya kemudian, apakah kebijakan penetapan status Taman Nasional mampu lnengakomodii semua kebutuhan para aktor di sana?
2.3. Konsewasi dalam Perspektif Pergerakan Sosial di Negara Dunia I11
Konservasi keanekaragaman hayati, menurut Escobar (1998), tidak saja perlu dipahami dalam artian biofisik dan ekonomi, melainkan juga dari perspektif pergerakan sosiai, suatu pergerakan yang secara eksplisit mengkonstruksi strategi politik demi pertahanan teritori, budaya, dan identitas yang terkait dengan tempattempat dan teritori tertentu. Pergerakan ini menggunakan politik budaya dengan
pertimbangan-pertimbdgan ekologis. W a m a ini membuka suatu ruang bagi bentuk-bentuk pembangunan yang berbasis budaya yang maiipu mengkounter
kecenderungan-kecenderungan etnosentris dan ekstraktivis. Perjuangan mereka adalah pertahanan terhadap keseluruhan proyek kehidupan, bukan sekadar "sumberdaya" atau keanekaragaman hayati. Fenomena haru ini menumt Escobar terbagi dalam dua domain yaitu ekologi politik dan pemahaman terhadap pergerakan sosial dalam wilayah yang kaya keanekaragaman hayati. Cara ini merevisi paradigma lama yang selama ini digunakan dimana pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan secara ekologi dan budaya. Revisi terhadap paradigma ini menghendaki adanya upaya untuk mengkonstruksi suatu pandangan terhadap praktik-praktik pembangunan dan kemasyarakatan melalui suatu strategi penyadaran diri dan politik yang lebih bersifat kedaerahan
(a self-conscious and Iocalizedpolitical strategy). i
Perspektif pergerakan sosial yang ditunjukkan Escobar membantu memahami fenomena lingkungan yang dipolitisir dengan konsep kekuasaan antar aktor yang berbeda. Adanya kekuasaan yang tidak sama ini juga melahiikan kelompok marjinal yang mengalami kerugian terbesar dari adanya pembahan lingkungan (Bryant dan Bailey 2000). Ekologi politik memahami konsep
* Narna sumber acuan sengaja disingkat dengan alasan etika. Selanjutnya dalan~keseluruhan isi tesis ini, nama responden yang disebut juga disingkat dengan alasan yang sama.
ketidaksetaraan kekuasaan ini sehubungan dengan kemampuan aktor untuk menguasai interaksi dengan lingkungan dan interaksi dengan aktor lain dalam lingkungan, atau bisa dikatakan sebagai kendali yang dimiliki oleh satu kelompok atas lingkungan melebihi aktor lainnya. Dalam terminologi ini, para ilmuwan ekologi politik melihat bahwa Dunia 111 memiliki fenomena yang berbeda dibandingkan dengan di Dunia I. Pertama, pernasalahan lingkungan yang dihadapi oleh D.mia IJI bukan merupakan refleksi dari kegagalan kebijakan pasar, tetapi merupakan manifestasi dari kekuatan politik dan ekonomi yang lebih luas yang terkait dengan penyebarluasan kapitalisme, terutarna sejak abad 19 (penebangan hutan, pertambangan, industrialisasi, urbanisasi, dl].). Kedua, terdapat campur tangan negara dalam aktivitas perekonomian yang mendorong ke
arah kehancuran lingkungan. Pada beberapa kasus, campur tangan ini sejalan dengan ekspansi kapitalis, tetapi pada beberapa keiembagaan pemerintah, pernasalahan ini mencerminkan adanya kepentingan penguasa dalam perebutan kekuasaan, keamanan nasional ataupun pengkayaan diri sendiri. Kompleksnya pernasalahan lingkungan di Dunia I11 membutuhkan tidak sekadar kebijakan yang bersifat teknis, melainkan juga perubahan mendasar dillam proses politik ekonomi di tingkat lokal, regional dan global (Bryant dan Bailey 2000). Bagaimana cara para aktor di Dunia I11 nlenguasai lingkungan? Pertama. satu aktor berusaha menguasai sumberdaya alam dengan tujuan untuk melakukan monopoli dan mendapatkan keuntungan dengan melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Cara ini biasanya dilakukan oleh negara penjajah terhadap negara jajahannya yang pada umumnya memiliki sumberdaya alam yang kaya. Pemerintah negara jajahan biasanya mengeluarkan suatu kebijakan tertentu untuk membatasi akses ke sumberdaya alam. Pelajaran yang diambil oleh negara terjajah setelah lepas dari penjajahnya adalah bahwa negara mampu menggunakan kekuasaannya dalam rangka menentukan siapa yang berhak mengeksploitasi sumberdaya dam, kondisi sumberdaya dam yang seperti apa yang bisa dieksploitasi dan untuk keperluan apa eksploitasi sumberdaya alam tersebut. Kedua, satu aktor dapat menguasai lingkungan sejauh kemampuannya untuk mempengaruhi atau menentukan lokasi polutan hasil proses industri yang dikeluarkannya ke lingkungan. Kekuasaan di sini adalah sbal usaha untuk
mengelak, atau setidaknya meminimalkan biaya-biaya yang terkaii dengan proses industri. Dalam skala global, kondisi ini diilustrasikan deng& dibangunnya industri-industri potensi, polutan (misalnya industri kimia) milik negara maju di negara Dunia Ke 111. Persepsi yang kelirn mengenai sektor industri sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan memperbesar kemungkinan meluasnya fenomena ini. Kasus meledaknya pabrik Union Carbide milik Arnerika di Bhopal, India pada tahun 1984.adalah akibat a6mya peluang negara maju menguasai lingkungan terhadap negara Dunia ke 111.
Ketiga, satu aktor dapat menguasai lingkungannya melalui pemilahan prioritas proyek-proyek dan pennasalahan lingkungan. Dalam suatu negara, terdapat aktor di luar dan di dalam yang mampu mempengaruhi prioritas pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh agen-agen pemerintah terhadap alokasi dana dan sumberdaya manusia pada proyek-proyek dan permasalahan lingkungan tertentu, melebihi proyek dan permasalahan lainnya. lntinya adalah tentang kekuasaan untuk mengalokasikan dana pemerintahan sedernikian rupa sehingga lebih sebagai' suatu jenis interaksi antara manusia dan lingkungan ketimbang upaya perbaikan pennasalahan lingkungan atau dukungan terhadap proyek lingkungan.
Keenzpat, saiu aktor dapat menguasai lingkungannya dalam perilaku tidak langsung yang dilakukannya dengan cara mengajukan suatu wacana. Kekuasaan tidak saja berkaitan dengan praktik-praktik material, tetapi juga upaya mengelola gagasan. Gagasan-gagasan tersebut tidak pernah bisa disalahkan tetapi menantang tatanan sosial dan ekonomi yang sudah eksis. Para aktor yang terdapat di kawasan konservasi Merapi sebelum menjadi tarnan nasional adalah Negara/Pemerintah yang terdii dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakart& Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, Keraton yang direpresentasikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, Masyarakat (yang tinggal di sekitar kawasan dan mengambil manfaat dari kawasan konservasi), Ornop-LIOAR, dan para pelaku Bisnis (pariwisata, perhnbangan pasir, air kemasan, dll). Perubahan status kawasan Merapi menjadi taman nasional membawa perubahan struktur administrasi pengelola kawasan. Tidak tertutup pula kemungkinan masuknya para aktor baru dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya dam di kawasan Merapi. Pertanyay yang diajukan adalah aktor mana yang paling mendapatkan keuntungan dan siapa yang pzling dirugikan? Aktor mana yang paling berpengamh dalam proses pembahan tersebut dan bagaimana cara aktor tersebut memperjuangkan kepentingannya? Adakah aktor baru, apa kepentingannya, dan sejauh mana aktor tersebut mampu mempengaruhi lingkungan? Menurut Wittmer dan Bimer (2005), organisasi-organisasi yang berperan dalam konsewasi sumberdaya alam seperti Omop-L, sektor swasta, maupun pemerintah m e m i l i wacana yang berbeda terhadap konsewasi itu sendiri. Inilah yang menjadi penyebab munculnya konflik kepentingan. Wacana-wacana tersebut adalah konsewasionisme, eko-populis, dan developmentalisme. Wittmer dan Bimer menganalisa kasus berkaitan dengan konsewasi sumberdaya dam di Thailand dan di Tarnaq Nasional Lore Lindu, Indonesia dengan menggunakan konsep sistem kepercayaan, story-lines (alur wacana), d m koalisi wacana. Wasil kajian Wittmer dan Bimer menunjukkan bahwa penganut konservasionisme dan developmentalisme mampu membentuk koalisi yang ditentang oleh proponen wacana eko-populis (Lihat Tabel 3). Sejauh mana jar& kedekatan antara Omop-L dan pemerintah? Young (2000) membuat kajian terhadap jar& kedekatan antara Omop dengan pemerintah berdasarkan aspek politik ekonomi dan menemukan terdapat tiga jenis sifat Omop yaitu: a. Supplenzentay
'
LSM dipandang sebagai pengisi kebutuhan barang publik yang tidak manlpu dilakukan oleh pemerintah. Dukungan keuangan untuk pengadaan barang publik berasal dari lembaga donor. Aktivitas LSM ini mengurangi tanggung jawab pemerintah terhadap pengadaan kebutuhan barang publik.
b. Cornplernentary Omop
dipandang
sebagai
mitra
pemerintah
yang
membantu
mendistribusikan barang publik dengan dana dari pemerintah. Pada perspektif ini, pengeluaran Omop dan pemerintah memiliki hubungan langsung satu sama lain. c. Adversaries
Ornop mendesak pemerintah untuk melakukan perubahan dalam kebijakan publik dan memelihara akuntabilitas publik. Sebaliknya, pemerintah bemsaha mempengaruhi perilaku Omop dengan mengatur layanan publik. Pandangan adversarial tidak meletakkan posisi hubungan secara khusus dengan
pemeri~tah dalarn
beraktivitas.
Misalnya,
Omop
manlpu
mengadvokasi praktik operasi pemerintah menjadi lebih kecil dan efisien atau mereka bisa mengadvokasi program-program dan peraman baru yang bisa meningkatkan kegiatan pemerintah. Tabel 3.
Wacana Konsewasi Sumberdaya Alam Konservasionisme Eko-populis Proponen tipikal - Omop-L konservasi - Ornop-L advokasi (organisasi dan - ilmuwan hiologi, - ilmuwan disiplin ilmu ekologi antropologi budaya Argumen
PrioritasIMisi
Posisi proponen (Perwujudan diri) Posisi terliadap lawan (Perwujudan diri terhadap yang lain)
Developmentalisme
- Organisasi
pemhangunan (negara, Ornop, lemhaga donor). - Perlu melakukan - Komunitas - Peningkatan penyisihan lahan lokalltradisional jumlah untuk preservasi adalah penjaga sejati penduduk dan lingkungan. Mereka kemiskinan dengan tujuan menghindari telah terhukti mampu merupakan penurunan spesies melakukan preservasi penyebab utama dan niempertahankan sumberdaya hutan deforestasi dan lehih baik dari penurunan kehati; keseimbangan ekologi termasuk pemerintah. Pengurangan fungsi hidrologi kemiskinan adalah hutan. ha1 yang penting untuk menyelaniatkan lingkungan. - Konservasi alam, -.Membiarkan - Penghapusan perlinpungan spesies penduduk lokal kemiskinan. langka mempertahankan gaya hidup tradisional mereka. - Pembela kaum - Pembela alam dan - Pembela hak miskin. komunitas lokall spesies langka tradisional. i
- Negara dan sektor
- Penganut eko-
swasta dianggap mengabaikan komunitas lokalPenganut aliran konse~asidianggap tidak mengindahkan liak-hak manusia.
populis dianggap memperalat penduduk lokal. - Penganut konservasi dianggap tidak mengindabkan kebutuhan akan penghapusan kemiskinan.
Nubungan dengan ilmu pengetahuan
Konservasionisme
Eko-populis
Developmentalisme
- Menghasilkan
- Aliran
- Bersandar pada disiplin ilmu teknis (pertanian, mesin, dsb) dan kajian sosial-ekonomi
ilrnu-
ilmu pengetahuan alarn (konservasi,
biologi, ekologi, hidrologi, dsb) sebagai basis argulnentasi
kritik postmodem terhadap ilmu pengetahuan - Bersalidar pada kajian kualitatif ilmu sosial. - Penghargaan yang tinggi terhadap IieGjfan lokal:
Sumber: Wittmer dan Birner, 2003
2.4. Ekologi Politik Kawasan Konsewasi Ekologi politik merupakan ilmu yang menggabungkan ekonomi politik dan ekologi sebagaimana dikemukaka oleh Blaikie dan Brookfield (1987), Greenherg dan Park (1994), Peet dan Watts (1996), dan Hempel (1996) dalam Robbins (2004). Menurdt Watts (2000) dalam Robbins (2004), ekologi politik digunakan untuk memahami hubungan yang kompleks antara d a m dan masyarakat melalui analisis yang cermat terhadap ekses dan kendali atas sumberdaya dan implikasinya bagi kesehatan lingkungan dan matapencaharian yang berkelanjutan. Pemahaman terhadap fenomena ini mampu menjelaskan konflik Iingkungan terutama yang terkait
dengan terminologi perjuangan masyarakat atas
"pengetahuan, kekuasaan dan praktik-praktik" dan "politik, keadilan dan tata pemerintahan" Menurut Forsyth (2003), analisis menggunakan ekologi politik perlu mengeksplorasi sejauh mana keterkaitan antara kapitalisme dan kerusakan lingkungan. Forsyth menyebutnya sebagai ekologi politik "kritis" yang berupaya agar ekologi politik memberikan perhatian kembali pada analisis terhadap kapitalisme sebagai sumber kerusakan lingkungan, kajian ini mengarah pada pemahamanan politis dalam memberikan penjelasan lingkungan di luar kritik terhadap kapitalisme. Menurut Robbins (2004), salah satu argumen ekologi politik mengenai konservasi dan kontrol adalah bahwa kontrol terhadap sumberdaya dan lansekap mencakup produser lokal atau kelompok produser (yang dibagi berdasarkan kelas, jender,
atau
etnis)
melalui
penerapan
upaya
untuk
mempertahankan
"keberla~~jutan", "kornunitas" atau "alam". Dalam prosesnya, kepentingan global
dan kepentingan pemermtah untuk mengawetkan "lingkungan" justxu mematikan sistem matapencaharian lokal, produksi, dan organisasi sosial politik. Berbagai penelitian tentang ha1 ini memperlihatkan di tempat-tempat dimana praktikpraktik produksi lokal dulunya pemah berjalan produktif dan relatif baik, malah menjadi tidak berkelanjutan akibat pemerintah atau aktor lain bempaya untuk mengontrol sumberdaya. Salah satu hasil penelitian yang memberikan penjelasan sekaligus kritik tajam tentang sejarah konservasi hutan di Pulau Jawa, Indonesia adalah karya Peluso (2002) berjudul Rich Forest, Poor People: Resource Control
and Resistance in Java. Hasil penelitian Peluso menunjukkan bahwa konservasi tidak hanya sekadar perlindungan dan penanaman pohon melainkan juga tentang perjuangan dan pertahanan kekuatan politik. Menurut Bryant dan Bailey (2000), konservasi lingkungan jarang dilihat sebagai upaya konservasi itu sendii melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi aan politiic. lndikasi ini terlihat dari pertambahan jumlah taman nasional di seluruh dunia terutama di Dunia I11 sejalan dengan meningkatnya industri ekowisata. Para pemimpin negara Dunia 111 mengklaim pencapaiannya dalam memperluas kawasan taman nasional sebagai bagian dari promosi ekowisata. Menumt data World Tourism Organization (2000) dalam Sekartjakrarini (2003), perhmbuhan jumlah wisatawan mancanegara dari tahun 1950-2000 mengalami kenaikan yang s i g n i f h dari 25 juta orang menjadi 637 juta orang. Komposisi wisatawan mancanegara menurut motivasi kunjungan menunjukkan 62,1% adalah herlibur. Saham penerimaan pariwisata mewakili sektiar 25%-39% terhadap total penerimaan dunia di bidang jasa atau mengalami pertumbuhan ratarata 9,7% per tahun antara tahun 1985-2000. Menurut Sekartjakrarini (2003), sekarang ini tengah berlangsung pergeseran nilai dalanl preferensi wisata. Wisatawan menuntut Gtuk mendapatkan "an authentic destination experience
that gives opportunity to learn". Pariwisata yang menawarkan produk-produk yang bersifat generik sudah mulai kurang diinati. Ekowisata menjadi jawaban bagi para wisatawan yang ingin menikmati kekhasan lingkungan tempat yang dikunjungi sekaligus memperoleh wawasan tentang lingkungan tersebut. Menurut
IUCN min& wisatawan masa kini adalah mengunjungi Situs Warisan Dunia
(World Herita,?e Sites), taman nasional dan kawasan lindung lainnya (Paul et al. 2002) Tren ini akan terus berlangsung dan para pengelola kawasan taman nasional di seluruh penjuru dunia seharusnya mempersiapkan kedatangan para wisatawan ini. Schroeder (1995) dalam Bryant dan Bailey (2000), menyebut upaya ini sebagai bentuk kapitalisme hijau di Dunia 111 berupa komersialisasi hutan dan ekowisata. Upaya ini sebenamya merupakan respon para pzmimpin negara Dunia 111 terhadap paradigrna pembangunan berkelanjutan dengan memperkenalkan
bentuk-bentuk akumulasi kapital yang "ramah lingkungan" yang mengarahkan sejumlah negara pada 'Ijatur komoditas untuk stabilisasi lingkungan". Alasan lain yang dikelnukakan ketika negara DUN^ 111 melakukan upaya konservasi adalah untuk pertahanan dan kontrol sosial. Gagasan konservasi dengan demikian menjadi alat bagi negara untuk menerapkan kewenangannya terhadap rakyat dan lingkungan. Negara merasa perlu memperkuat posisinya untuk menegaskan hubungannya dengan aktor lain. Salah satu upaya untuk mewujudkan gagasan konservasi tersebut adalah melalui penciptaan taman nasional (Bryant dan Bailey 2000). Di India, misalnya, upaya pemerintah untuk melindungi harimau, gajah, dan beberapa jenis binatang lain yang dianggap berharga adalah dengan.cara merelokasi penduduk yang dianggap "memiliki cara hidup yang bisa membahayakan kehidupan binatang-binatang tersebut" (Kothari et al., 1995 dala~nBryant dan Bailey 2000). Studi Kasus tentang Perjuangan Petani Dongi-Dongi di Taman Nasional Lore Lindu merupakan kebijakan konservasi penerintah ,yang sarat muatan politis dan melibatkan aktor pada tingkatan lokal, nasional, dan global (Lihat Boks 1). Pennasalahan Taman Nasional Lore Lindu muncul ketika pemerintah lebih memfokuskan pada konservasi keanekaragaman hayati dan merelokasi para penduduk sekaligus menutup akses ke sumberdaya (Adiwibowo 2005). Upaya perlawanan terhadap kebijakan konservasi di Negara Dunia 111 ditunjukkan oleh Escobar dalam papernya: "Whose Knowledge, Whose Nature?: Biodiversity, Conservation, and the Political Ecologi of Social Movement (1998). Escobar melakukan analisis terhadap pergerakan organisasi Proceso de Communidades Negras (PCN [Process of Black Communitites]) di Kolombia,
Amerika Latin (Lihal Boks 2). Pergerakan PCN berhasil mengartikulasikan suatu bentuk perlawanan baru komunitas warga kulit hitam di kawasan hutan huja~l Pasifik di Kolombia terhadap pembangunan, kapitalisme, dan modeinitas yang mengancam keanekaragaman hayati. Artikulasi ini merupakan salah satu alternatif kerangka berpikir ekologi politik untuk mendiskusikan wacana keanekaragaman hayati. Escobar mengajak kita untuk memikirkan kenlbali wacana konservasi dan keanekaragaman bayati dari perspektif pergerakan sosial. Meskipun konsep keanekaragaman hayati memiliki nlakna biofisik, wacana ini mendorong munculnya suatu jaringan beragam aktor yang konlpleks mulai dari organisasi internasional dan Ornop-L hingga komunitas lokal dan pergerakan sosial. Jaringan yang
kompleks
ini
menghasilkan
ernpat
pandangan
baru
mengenai
keanekaragaman hayati yakni pengelolaan sumberdaya secara global, kedaulatan, biodemokrasi, dan otonomi budaya yang dimunculkan oieh pergerakan sosial. Menurut Bryant dan Bailey (2000), ekologi politik Negara Dunia 111 addah tentang perjuangan antar aktor untuk mengendalikan lingkungan, dengan demikian sangatlah penting untuk mengapresiasi pengaruh yang lebih luas dan kepentingan para aktor itu sendiri untuk memahanii bagaimana para aktor sating berinteraksj. Pendekatan aktor untuk mernahami hubungan lingkungan dan manusia di Negara Dunia 111 perlu dilakukan karena (1) dengan menganalisis peran dan kepentingan dari para aktor terpilih dalam pembahan lingkungan di Negara Dunia 111, kita mampu menempatkan temuan empiris dari penelitian pada level lokal dalam perspektif teoritis dan komparatif, (2) dengan mengintegrasikan pandangan teoritis dan komparatif pada peran dan kepentingan aktor yang berbeda, kita bemsaha untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang motivasi, kepentingan, dan tindakan dari para aktor, (3) dengan menekankan pada peran dan interaksi aktor dalam konflik lingkungan di Dunia 111, kita mengulang kembali pentingnya politik dalam ekologi politik. Terdapat dua hal penting dalam setiap pemahaman mengenai politik: (1) suatu apresiasi bahwa politik adalah tentang interaksi antar aktor akan persoalan sumberdaya lingkungan (atau lainnya); (2) suatu pengakuan bahwa aktor yang lemah sekalipun merniliki kekuatan untuk bertindak demi kepentingannya.
Menurut Long (2001) dalant Adiwibowo (2005), terdapat beberapa pijakan yang hams dipahami jika menggunakan pendekatan aktor, yaitu bahwa: 1. Kehidupan sosial itu heterogen. Meskipun kelihatannya homogen,
kehidupan sosial terdiri dari berbagai bentuk sosial dan tradisi budaya. 2. Sangatlah penting untuk mempelajari bagaimana perbedaan-perbedaan itu diproduksi, direproduksi, dikonsolidasi, dan ditransformasi, dan untuk mengidentifikasi bagaimana proses sosial terlibat, tidak hanya pada keluaran-keluaran yang sifatnya struktural. 3. Tindakan sosial tidak pernah bempa tujuan yang egosentris individual. Tindakan sosial terdapat dalam jaringan
yang menghubungkan
(melibatkan komponen manusia dan non-manusia), dipertajam oleh praktik-praktik organisasi yang rutin dan mendalam, serta terikat oleh hubungan kekuasaan, nilai-nilai, dan konvensi sosial.
4. Tindakan dan interpertasi sosial tergantung pada konteksnya. Penanda batas aksi sosial hanya berlaku pada wilayah, arena dan lapangan tertentu dan karenanya tidak sehamsnya dianalisis begitu saja. 5. Interpretasi, nilai, dan pemahaman yang secara terkonstruksi secara budaya tetapi diterapkan secara berbeda dan diinterpretasikan dalam kaitannya dengan kemungkinan perilaku yang telah ada sebelumnya atau lingkungan yang berubah, terkadang memunculkan "standar-standar budaya baru".
6. Perspektif aktbr bertujuan untuk memperjelas tatanan seperangkat hubungan yang sudah baku, proyek-proyek aktor dan praktik-praktik sosial mengkombinasikan beragam simbol dan ruang sosial. "Lokal" tidak terbentuk dari "global" atau "global" bukanlah pembesaran dari "lokal". Namun, lebih pada tatanan interaksi "skala mikro" dan arena yang terlokalisir terkait dengan fenomena "skala makro" yang lebih luas dan demikian juga sebaliknya yang tejadi.
Studi kasus berikutnya memperlihatkan bagaimana pengelolaan kawasan konsemasi herhasil menyatukan kepentingan banyak pihak di Annapurna Conservation Area Project (ACAP), Nepal melalui kebijakan "Adaptive Management" di tahun 1986 (Lihaf Boks 3). Kunci keberhasilan kebijakan ini
memusatkan perhatian pada masyarakat yang tinggal di kawasan konsewasi melalui peningkatan partisipasi. Sebelumnya pemerinkh Nepal melalui UU Taman Nasional dan Konsewasi Hidupan Liar tahun 1973 mendefinisikan taman nasional sebagai "suatu kawasan yang disisihkan demi pengelolaan dam dan konsewasi flora, fauna, dan landsekap". Kebijakan ini tidak berpihak pada masyarakat yang tinggal di kawasan konsewasi sehingga acap bemjung konflik. Pertumbuhan penduduk dan keterbatasan !~hanyang ada memicu masyarakat sekitar kawasan untuk melakukan perambahan di kawasan taman nasional (Gurung 1995). ACAP menjadi satu pengalaman bahwa taman nasional tidak selamanya bisa dijadikan pilihan untuk pengelolaan suatu kawasan konsewasi. Ketiga studi kasus memperlihatkan adanya interaksi antara dam dan manusia. Menurut Conelly dan Smith (2003), manusia memiliki tugas terhadap alam karena dua alasan: (1) manusia memiliki kekuasaan untuk berinteraksi dengan dam dan (2) manusia mampu membuat keputusan untuk memperbaiki alam yang telah diruLaknya sendiri. Pada pembuatan keputusan mengenai kawasan konsewasi, pemerintah nampaknya menganut ideologi utilitarianisme dimana tujuan utama yang ingin diraih adalah memaksimalkan kesejahteraan dalam
masyarakat
melalui
perhitungan
tindakan-tindakan
yang
akan
menghasilkan keuntungnn atau yang menurut Jeremy Bentham disebut sebagai "the peatest happiness of the greatest number". Pertanyaan yang bisa
dikemukakan kemudian adalah siapa yang termasuk dalam "the greatest number". Jika Peter Singer (1975) dalam Conelly dan Smith (2003) kemudian mempertanyakan hak binatang dalam pembagian "kebahagiaan" tersebut, maka dalam konteks ekologi politik kawasan konsewasi dapat pula diajukan pertanyaan siapa saja para aktor yang berhak mendapatkan "kebahagiaan" dalam pengelolaan kawasan konsewasi? Para aktor yang perlu diidentifikasi dalam konteks ekologi i seper6 terlihat dalam tabel berikut: politik kawasan k o n s e w ~adalah Kepentingan dan Ideologi Politik AMor di Dunia III Tabel 4. Ideologi Politik Kepentingan No Aktor Aut:~oritarianisme Paradoks: membuat kebijakan 1 Negara tentang penyelamatan lingkungan namun juga turut mendukung sistem kapitalis yang menyebabkan degradasi lingkungan.
No 2
Aktor Lembaga tnultilateral
Kepentingan Menyampaikan kepentingan Dunia I kepada Dunia Ill tentang isu-isu pembangunan dan lingkungan. 3 Bisnis Liberalisme Akumulasi kapital rnelalui eksplorasi sumberdaya alam 4 Omop-L Marxisme dan sosialisme (I) Intervensi kebijakan pemerintah dan lembaga multilateral untuk mendukung proyek pembangunan dan lingkungan yang dilakukan aktor akar rumput; (2) penyebarluasan isu lingkungan. 5 Akar rumput Marxisme dan sosialisme Keberlangsungan mata pencaharian (akses SDA). Sumber: Bryant dan Bailey (2000) dan Conelly dan Smith (1999).
Boks 1.
Ideologi Politik Authoritarianisme
Studi Kasus Perjuangan Petani Dongi-dongi, di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah
Kasus Dongi-dongi mempakan upaya perjuangan para petani dari desa Kamarora A, Kamarora B, Kadidia, dan Rahmat untuk mendapatkan akses sumberdaya kembali. Para petani ini menuntut agar diperbolehkan melakukan pembukaan lahan di kawasan Dongi-dongi yang telah beralih fungsi sebagai zona inti Taman Nasional Lore Lindu, sementara lahan yang diberikan pemerintah kepada para petani dari program relokasi ini sudah tidak bisa digarap lagi. Permasalahan dimulai ketika proses zonasi dilakukan. Proses zonasi ini memiliki keiemahan: 1) Draft zonasi seharusnya dilakukan TNC dan Central Sulawesi Ii~tegrated Area Development and Conservation Project (CSIADCP). Kenyataannya akibat persoalan tehis, desain zonasi hanya dikejakan oleh TNC. 2) Draft zonasi dibuat hanya berdasarkan data yang memuat infomasi mengenai kekayaan keanekaragaman hayati namun kekurangan informasi sosial, ekonomi, dan budaya. 3) Pembuatan draft zonasi dilakukan dalam waktu yang relatif singkat terkait dengan kontrak antara TNC dan NRM IIAJSAID. Munculnya kasus Dongi-dongi pada 19 Jnni 2001 mendorong TNC untuk segera menuntaskan pembuatan draft zonasi untuk mendapatkan posisi yang kuat saat merespon para petani.4) Draft zonasi menuai kritik karena minim partisipasi masyarakat. Kawasan Dongiidongi sebelumnya ditempati oleh PT Kebun Sari yang memegang hak konsesi hutan pada tahun 1976 sementara para petani menanam kopi, coklat, jagung, singkong, padi, dan mencari rotan di hutan. Penetapan zonasi mengakibatkan relokasi dan terputusnya akses masyarakat ke hutan. Pemerintah juga tak menepati janji dalam memberi ganti rugi iuasan lahan yang seharusnya 2 hektar kenyataannya menjadi hanya 0,8 hektar. Kekecewaan para petani benvujud pada tindakan perambahan wilayah dan okupasi lahan di kawasan Dongi-dongi oleh para petani. Masyarakat yang tertangkap karena mengambil rotan dimasukkan ke penjara sementara rotan yang telah dikumpulkan dengan susah payah dimusnahkan oleh aparat. Upaya pemerintah merelokasi masyarakat ke daerah yang baru tak membuahkan hasil karena masyarakat kembali lagi ke daerah asal dengan alasan tak ada hansportasi di daerah yang baru. Masyarakat pun kembali melakukan upaya agar memperoleh akses ke kawasan Dongi-dongi. Sumber: Adiwibowo, 2004
Analisis: Kasus ini merupakan manifestasi dari gagalnya globalisasi wacana konservasi keanekaragarnan hayati yang ditunjukkan dengan peran institusi lokal (Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation ProjectICSIADCP) yang tidak optimal dan ketidakpahaman terhadap dimensi sosial ekonomi budaya lokal.
Boks 2.
Studi Kasus Pergerakan Sosial di Kolombia, Amerika Latin
Pergerakan sosial masyarakat kulit hitam Kolombia yang dipimpin oleh Proceso de Comurridades Negras, PCN (Process of Black Comntunitites, yang merupakan jaringan dari lebih dari 140 organisasi lokal) untuk perjuangan hak atas teritori dan budaya di Kolombia sejak akhir 1980-an telah membuahkan hasil b e ~ p a pengesahan UU yang diberinama Ley 70 pada tahun 1993. UU ini mengakui masyarakat kulit hitam Kolombia sebagai kelompok etnis yang memiliki hak atas identitas dan pendidikan yang sesuai dengan budaya mereka, serta meminta pemerintah untuk mengembangkan kebijakan sosial ekonomi sejalan dengan budaya kulit hitam. Pergerakan PCN merupakan respon terhadap pennasalahan di Kolombia yaitu: Pertanla, arus migrasi yang tinggi dari kaum tani, proletar, dan pengusaha ke Pasifik yang menimbulkan dampak sosial dan ekologi akibat persinggungan budaya. Kedua, pemerintah terus bemsaha menerapkan rencana pembangunan konvensional dengan menciptakan infrastruktur bagi bisnis skala besar. Ketiga, kebijakan pemerintah untuk perlindungan sumberdaya alam berkisar dari soal perluasan wilayah taman nasional atau program-program sumberdaya kehutanan dengan sedikit atau bahkan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Keenlpat, kartel-kartel obat bius juga masuk ke wilayah ini dalam rupa perusahaan pertambangan besar, agroindustri, dan proyek-proyek pariwisata. Pennasalahan ini makin diperbumk dengan adanya kolusi antara pejabat pemerintahan dengan para pengusaha untuk menekan organisasi pergerakan. Dalam perjuangannya, para aktivis PCN memperkenalkan suatu inovasi konseptual yang penting dalam wacana keanekaragaman hayati. Pertarnu, definisi keanekaragaman hayati sebagai suatu 'teritori plus budaya'. Suatu pandangan terhadap keseluruhan kawasan hutan hujan Pasifik sebagai suatu teritori kewilayahan dari kelompok-kelompok etnis yang merupakan suatu unit budaya dan ekoiogi yang terkonstruksi melalui praktik ekonomi dan budaya komunitas sehari-hari. Kedua, teritori kewilayahan sebagai 'koridor kehidupan', suatu moda artikulasi antar bentukbentuk budaya kemasyarakatan dalam pemanfaatan dan lingkungan alam secara fisik misalnya koridor kehidupan yang terhubung ke ekosistem mangrove, ke sebagiau sungai, ke dalam hulan, dsb. Pada konteks ini, para aktivis PCN telah mengembangkan suatu kerangka pikir ekologi politik yang menggabungkan konsepkonsep teritori, keanekaragaman hayati, koridor kehidupan, ekonomi daerah dan wilayah pemerintahan, serta altematif pembangunan. Sumber: Escobar, 1998
Analisis: Keberhasilan pergeiakan PCN dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti rnasih terjaganya tradiii budaya masyarakat pedalaman dan adanya penguatan jaringan ysng dibuktikan dengan dukungan dari 140 organisasi lokal lainnya.
Kemandirian pergerakan PCN membuktikan kemampuan pertahanan lokal dalam menghadapi arus globalisasi wacana konservasi.
Boks 3.
S t u d i Kasus A n n a p u r n a Conservation Area Project, Nepal
Annapurna Conservation Area (ACA) terletak sekitar 200 km di sebelah barat Kathmandu, ibukota ~ e ~ aKawasan l . ini melingkari gunung Annapurna Himal dan berfungsi sebagai daerah resapan air serta mengalirkan tiga sungai utama untuk memenuhi kebutuhan kawasan seluas 4633 km persegi. Secara administratif, ACA terdiri dari dua zonasi, lima distrik, dan 80 desa. Jumlah penduduknya sekitar 40ribu jiwa dan terdiri dari beragam etnis dan suku yang menganut agama yang berbeda, terutama Hindu, Budha, Bon Po, Shamanis, dan Animis. Etnis domillan adalah Gurung, Magar, Thakali, dan Manangi. ACA Project adalah proyek percontohan yang diimplementasikan sejak Desember 1986 melalui Nepal's King Mahendra Trust for Nature Conservation (KMTNC), sebuah lembaga otonom, non pemerintah, dan non profit. Proyek ini menjadi upaya nyata dari perlunya memberikan perhatian terhadap pennasalahan pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan. Perlindcngan terhadap habitat kritis dan pemeliharaan jangka panjang terhadap keanekaragaman hayati tidak dapat dicapai tanpa peningkatan kondisi eko~omipenduduk yang tinggal di daerah pegunungan. Oleh karenanya penduduk lokal nerupakan subyek utama dalam setiap upaya konservasi, ACAP berupaya untuk memelihara keseimbangan antara konservasi alam, pembangunan wisata, dan kebutuhan manusia. Tujuan ACAP dilandasi oleh kebutuhan akan pendekatan ekosistem untuk memelihara integritas jangka panjang sistem alam sekaligus mengakomodasi kebutuhan manusia yang terus meningkaf tennasuk kebutuhan wisata. ACAP memiliki tiga prinsip dasar untuk melakukan kegiatan konservasinya, yaitu pertama keberlanjutan, prioritas utama ACAP adalah menjaga stabilitas keuangan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari untuk kebutuhan masyarakat lokal. Pemasukan dari sektor wisata dan pembangunan proyek-proyek komunitas seperti pusat kesehatan masyarakat yang dikelola oleh masyarakat lokal menjadi ha1 utama setelah bantuan dana dari agen intemasional berakhir. Kedua, partisipasi masyarakat, ACAP dibangun dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui upaya konservasi sehingga masyarakat memiliki rasa kepemilikan dan menjaga lingkungan dengan sukarela. Ketiga adanya katalis yang berasal dari Pemerintahan Kerajaan Nepal serta organisasi-organisasi baik di tingkat nasional maupun agen internasional untuk melakukan upaya konservasi. Sumber: Gurung 1995 Analisis: ACAP merupqkan contoh sukses pengelolaan sumberdaya alam dengan pendekatan komunitas. Meski Pemerintah mengadopsi wacana konservasi dari institusi global namun juga membangun rasa kepemilikan dan meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mengelola sumberdaya tersebut. Kesepakatan untuk
pelestarian
tercapai
secara
sukarela
melalui
ketergantungan komunitas terhadap sumberdaya alarn.
pemahaman
akan
2.5. Teori Akses
Akses didefmisikan oleh Peluso dan Ribot (2003) sebagai kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu (ability to derive benefirs @om things)
-
termasuk di antaranya dari obyek material, orang lain, lembaga, dan simbol. Konsep akses di sini menggunakan terminologi "kemampuan" dan bukannya "hak" seperti dalam teori properti, dengan demikian - menurut Peluso dan Ribot, pernasalahan akses bisa dilihat dalam taknan hubungan sosial yang lebih luas (bundle of powers) yang membuat seseorang mampu memperoleh keuntungan dari sumber daya tanpa mengindahkan ada tidaknya hubungan properti (bundle of rights). Konsep akses seperti ini memfasilitasi analisis dasar mengenai siapa yang memanfaatkan (dm tidak memanfaatkan) sesuatu, dengan caru seperti apa, dan h p a n (dalam situasi seperti apa). Analisis akses dengan demikian adalah suatu proses
untuk
mengidentifikasi dan
memetakan
mekanisme
perolehan,
pemeliharaan, dan peng&dalian akses. Proses analisis akses meliputi: 1) identifikasi dan pemetaan alur keuntungan dari kepentingan masing-masing aktor; 2) identifikasi mekanisme masing-masing aktor yang meliputi perolehan, pengendalian, dan pemeliharaan alur dan distribusi keuntungan; dan 3) analisis hubungan kekuasaan yang mendasari mekanisme akses yang melibatkan instansi-instansi dimana keuntungan diperoleh. Analisis akses digunakan untuk menganalisa konfiik terhadap sumberdaya tertentu untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana konflik bisa menjadi sarana antar aktor yang berbeda-beda untuk memperoleh atau kehilangan keuntungan dari sumberdaya baik yang tangible maupun intangible. Analisis akses juga bisa digunakan untuk menganalisis kebijakan Iingkungan tertentu yang membuat para aktor mampu atau tidak mampu memperoleh, memelihara, atau mengendalikan akses sumberdaya atau dinamika-mikro dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari sumberdaya serta bagaimana caranya. Kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya ditengahi dengan adanya pembatas-pembatas yang telah ditetapkan dalam konteks politik ekonomi dan kerangka budaya saat pencarian akses berlangsung. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai "mekanisme akses struktural dan saling terhubung" (structural and relational mechanisnzs of access). Peluso dan Ribot
menemukan terdapat beberapa mekanisme akses lain selain mekanisme akses sumberdaya berbasis hak yaitu:
1. Akses teknologi. Kebanyakan sumberdaya hanya bisa diekstraksi dengan menggunakan teknologi; mereka yang memiliki akses terhadap teknologi yang lebih tinggi akan memperoleh keuntungan yang lebih banyak dibandingkan yang tidak memiliki.
2. Akses kapital/modal. Akses ini sering juga disebut sebagai akses terhadap kekayaan dalaln bentuk keuangan dan peralatan (temasuk juga teknologi) yang bisa digunakan dalam proses ekstraksi, produksi, konversi, mobilisasi buruh, dan proses lain yang sejalan dengan pengambilan keuntungan dari sesuatu atau orang lain. m s e s kapitaWmodal bisa digunakan untuk mengendalikan atau memeliiara'akses sumberdaya. 3. Akses pasar. Akses pasar didefinisikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk
memperoleh,
mengendalikan ataupun
memelihara
gerbang
hubungan pertukaran. Pasar mampu mempertajam akses pada keuntungan dari sesuatu pada skala yang berbeda secara tidak langsung dan tidak kentara. Semakin luas dan besar kekuatan pasar untuk memasok, mengajukan permintaan, dan mempengaruhi harga juga membentuk distribusi keuntungan dari sesuatu.
4. Akses buruh dan peluang buruh. Kelangkaan buruh dan surplus mampu mempengaruhi porsi hubungan ddam pencarian keuntungan sumberdaya yang Visa dinikmati oleh siapa saja yang mampu mengendalikan buruh, mereka yang mampu mengendalikan akses peluang buruh dan mereka yang berhasrat untuk mempertahankan akses terhadap peluang-peluang tersebut.
5. Akses pengetahuan. Wacana dan kemampuan untuk mempertajam teminologi sangat mempengaruhi keseluruhan kerangka keja akses terhadap sumberdaya. Misalnya, diskusi mengenai "kesamaan global (global commons)" oleh
LSM intemasional dan aktor lain menciplakan kategori-kategori universal dan mewajarkan campurtangan mereka di berbagai penjuru dunia alas nama perlindungan lingkungan.
6. Akses kewenangan. Individu atau lembaga yang memiliki akses privilese dengan kewenangan untuk membuat dan melaksanakan hukum akan sangat berpengaruh terhadap siapa yang memperoleh keuntungan dari sumberdaya. Akses kewenangan merupakan hal yang penting dalam jaring kekuasaan yang membuat seseorang mampu mengambil keuntungan dari sesuatu.
7. Akses identitas sosial. Akses sering ditengahi dengan identitas sosial atau keanggotaan dalam komunitas atau kelompok, termasuk di antaranya pengelompokan menurut umur, gender, suku, agama, status, profesi, tempat kelahimn, pendidikan, ataupun atribut-atribut lain yang menunjukkan identitas sosial. Mekanisme akses berbasis identitas sosial juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pasar dan mekanisme akses buruh sebagaimana akses berbasis hak. Mereka yang memiliki identitas yang membuat mereka memiliki akses pasar mungkin berbeda dengan mereka yang memiliki akses hutan. Pasar, misalnya, dikendalikan oleh satu kelompok suku tertentu sementara kelompok suku lainnya memiliki hak kepemilikan atas hutan, perikanan, dan tanah. 8. Akses hubungan sosial.
Akses melalui negosiasi hubungan sosial seperti pertemanan, saling percaya, timbal lbalik, patron, ketergantungan, dan obligasi merupakan poin-poin kritikal dalam jejaring akses. Pergeseran dalam kontek ekonomi dan politik bisa membuat beberapa jenis akses menjadi usang. Para aktor akan berusaha mengembangkan hubungan sosial baru untuk memperoleh, mempertahankaq, ataupun mengendalikan akses sumberdaya.
2.6. Teori Konflik Sumberdaya Alam Menurut Fisher et al. (2000), terdapai beberapa teori yang menerangkan pemicu konfljk yaitu: (1) teori kebutuhan manusia yang berasumsi ballwa konflik disebabkan ole11 kebutuhan dasar manusia -fisik, mental, dan sosial- yang tidak
terpenuhi atau dihalangi. Kebutuhan yang paling sering menjadi pemicu konflik adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi; (2) teori tranformasi konflik yang berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
.
Untuk memahami dinamika konflik, Fisher menyarankan menggunakan alat bantu berupa pemetaan konflik untuk menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik. Pemetaan konflik adalah sebuah teknik visual yang menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik. Tujuannya untuk: (1) memperoleh pemahaman terhadap situasi dengan lebih baik;
(2) melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas; (3) menjelaskan dimana letak kekuasaan; (4) memeriksa keseimbangan masing-masing kegiatan atau reaksi; (5) melihat para sekutu atau sekutu yang potensial berada dimana; (6) mengidentifikasi mulainya intewensi atau tindakm; (7) mengevaluasi apa yang telah dilakukan. Menurut Malik et al. (2003), sama seperti karakteristik konflik secara umum, konflik-konflik atas sumberdaya alam juga dipengamhi oleh berbagai faktor. Pada konflik-koklik sumberdaya dam, faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain terdiri dari:
1. Masalah hubungan antar manusia. Biasanya konflik ini dipicu oleh enlosiemosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi dan tingkah laku negatif yang berulang. Komponen-komponen itu sering memunculkan konflik-konflik yang tidak realistis dan tidak perlu. Konflik jenis ini dapat tejadi dimana dan kapan saja. Bahkan tidak dalam kondisi objektif untuuk munculnya suatu konflik, misalnya jenis ini cenderung memicu pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu konflik destruktif yang tidak perlu.
2. Masalah kepentingan. Konflik kepentingan merupakan konflik yang terjadi karena adanya persaingan kepentingan yang dirasakan atau pun yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik ini terjadi karena suatu pihak lebih yakin bahwa untuk memenuhi kebutuhannya pihak lain harus berkorban Umumnya, konflik jenis ini dipicu oleh (1) masalah-
masalah mendasar seperti uang, sumberdaya fisik dan waktu, (2) masalah tata cara, seperti sikap dalam menanggapi suatu masalah, (3) masalah psikologis, seperti persepsi, kepercayaan, kel~ormatandan keadilan.
3. Masalah Eperbedaan] data. Konflik data merupakan konflik yang terjadi karena adanya kesalahan data atau informasi yang dibutuhkan. Selain itu konflik jenis ini juga sering dipicu oleh (1) perbedaan cara pengumpulan informasi, (2) ketidaksepakatan tentang data yang relevan, (3) perbedaan cara menerjemahkan informasi yang diperoleh, (4) perbedanaan cara penyajian data. Melihat pemicunya, seharusnya konflik jenis ini tidak terjadi jika ada komunikasi yang baik di antara para pihak yang berkonflik itu.
4. Masalah perbedaan nilai. Konflik nilai merupakan konflik yang disebabkan oleh ketidaksesuaian sistem-sistem kepercayaan - yang harus
dizsakan atau apa pun yang benar-benar ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya. Sebab, nilai menjelaskan yang baik dan yang buruk, benar atau salah, maupun adil atau
tak adil. Pada dasarnya, perbedaan nilai tidak hams memicu konflik. Manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis walaupun nilai-nilai yang dianut berbeda. Karena itu, konflik itu baru muncul jika seseorang atau suatu kelompok memaksakan suatu sistem nilai kepada seseorang atau kelompok lain. Selain itu, konflik ini juga akan muncul jika seseorang atau suatu kelompok mengklaim dan mengekslusifkan suatu sistem nilai sekaligus tidak bersikap toleran terhadap nilai lain.
5. Masalah struktural. Konflik struktural merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Posisi para pihak dalam konflik jenis ini dipicu oleh pihak penguasa. Sebab, pihak penguasa memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, sehingga pihak ini lebih berpeluang akses sumberdaya dan juga mengontrolnya sekaligus menekan akses dan kontrol pihak lain. Selain wewenang formal, faktor geografis, sejarah dan waktu juga seringkali digunakan sebagai alasan oleh penguasa untuk memberi keputusankeputusan yang ine~guntungkanpihaknya sendiri.
Faktor struktural merupakan salah satu akar utama dari konflik atas sumberdaya atam di Indonesia. Faktor struktwal disini adalah pola hubungan tak seimbang yang mendudukkan negara (aparat birokrasi pemerintahan, DPR, militer) berperan sebagai pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal menetapkan kebijakan umum dan mengambil keputusan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam. Fakta menunjukkan bahwa penguasaan atas sumber-sumber daya alam memungkinkan akses dan kontrol terpusat pada para aparatur negara. Praktis, pemusatan kehcasaan itu lebih menguntungkan sebagian kecil golongan masyarakat yang dekat dengan penguasa-penguasa negara.
Indikator perlama terhadap premis itu adalah lahimya berbagai undangundang, dan keputusan pemerintah yang lebih menguntungkan pihak investor serta aparat negara dan militer. Sementara ketiganya mempakan kelompok serangkai yang menguasai, memiliki akses, kontrol dan juga infonnasi dalam menghaki sumberday .aalam, seperti hutan, tanah perkebunan, laut, dan pertambangan. Indikator kedua adalah bahwa upaya penyelesaian setiap konflik sumberdaya alam baik melalui lembaga peradilan maupun non-peradilan sering tidak menguntungkan masyarakat, karena peran negara yang sangat menentukan dalam penyelesaian sengketa-sengketa struktural itu. Indikator ketiga adalah pada penerima manfaat dari hasil pengelolaan sumberdaya dam. Dalam indikator ini, aparat pemerintah, investor, dan militer mempakan para pihak yang menerima manfaat maksimal dari pengelolaan sumberdaya dam, sedangkan masyarakat hany asedikit mempeeoleh manfaat. Dengan lcata lain, masyarakat adalah penerima manfaat paling minimal dan masih terbebani oleh limbah pengelolaan sumber-sumber daya alam yang berada di wilayah suatu komunitas masyarakat.
Indikator keempat adalah adanya struktur sosial yang condong sudah jadi mapan dalam masyaiakat. Hal ini mengacu pada kenyataan hubungan tak seimbang berdimensi historis yalig mengakar dan karenanyz tak mudah diubah antara mereka yang ditindas dan yang menindas, antara para bumh dan majikan; lebih parah lagi keadaan hubungan struktural ketidakadilan yang melembaga di artara masyarakat adat, di satu pihak, dan di pihak lain, para pengusaha, pemerintahdan para pendukun~ya.
'
Konflik pro-kontra yang terjadi di kawasan Merapi dipicu ole11 adanya keputusan pemerintah untuk mengubah fungsi kawasan menjadi TNGM oleh karenanya, peneliti mengkategorikan konflik tersebut sebagai konflik struktural. Pendalaman permasalahan tidak menutup kemungkinan akan munculnya berbagai faktor pemicu konflik pro-kontra TNGM. Dalam kaitan dengan konflik struktural, terdapat dua dimensi yang perlu dipekatikan. Perlnnza, perlu terus dilaknkan pembaruan kebijakan publik sehubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam (policy reform) di antaranya dalam bentuk revisi terhadap perundang-undangan. Kedua, menyadari adanya struktur ketidakadilan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang condong sudah mapan dan sulit diubah itu, proses menguatkan secara politik masyarakat yang tertindas dan dirugikan oleh masalah struktural itu haruslah terus dijalankan. Dalam hal ini orientasi revisi kebijakan pada penanganan dimensi pertama bersambungan dengan penguatan masyarakat pada dimensi kedua. Berbagai perubahan kebijakan pada dimensi pertama itu perlulah dilandasi prinsip penyerahan kembali hak pengelolaan sumberdaya dam kepada masyarakat setempat sesuai dengan hak yang telah diatur oleh hukum adat. Kearifan lokal, peraturan yang telah berlaku pada tingkat lokal, sistem monitoring sumberdaya alam lokal hendaknya diakomodir, dikuatkan dan diberlakukan kembali; dan bersamaan dengan itu, :pads dimensi kedua penanganan masalah struktural ini kapasitas masyarakat ditingkatkan dan potensi-potensinya semakin dikuatkan sementara berbagai peluang positif direbut, demi tegaknya keadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang telah terlanjur rusak selama kurun waktu 30
tahun berselang.
111. METODE PENELETIAN 3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di 3 (tiga) kawasan yaitu kawasan pemukiman Desa Ngargosoka, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah; kawasan penambangan pasir Sungai Putih, Dusun Jurangjero, Desa Ngargomulyo, Kecamztan Dukun, Kabupzten Magelang, Provinsi Jawa Tengah; dan kawasan wisata Dusun Kaliurang, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; pada bulan Juli 2005 dan bulan Juni-September 2006 (Lihat Garnbar 2). Alasan pengambilan lokasi karena ketiga kawasan tersebut mampu merepresentasikan fenomena tiga karakter interaksi masyarakat sekitar TNGM dengan alan yaitu pariwisata, pertambangan pasir, dan petani-petemak-pencari rencek (kayubakar). Sehubungan dengan adanya bencana letusan gunung Merapi, pengamatan di TNGM hanya di!aku!an di wilayahwilayah yang terbatas. Penelitian di luar wilayah TNGM dilakukan di kota Sleman, Magelang, Yogyakarta, dan Jakarta untuk menemui responden yang terkait dengan kasus TNGM (Biiokrat, Akademisi, aktivis Omop-L dan aktivis Organisasi Akar Rumput).
Gambar 2. Lokasi Penelitian Sumber: BKSDA DJY 2005
3.2. Rancangao Penelitian Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana fakta dikonstruksi berdasarkan subyek tineliti. Penekanan pada penggambarm, pemahaman dan menjelaskan fenomena yang kompleks pada hubungan, pola-pola dan konfigurasi antar faktor dengan menggunakan perspektif ekologi politik. Secara keseluruhan validasi penelitian ini menggunakan metode triangulasi yaitu penelusuran data/informasi dari tiga sisi yaitupertama, dari h a i l perolehan data primer hasil observasi lapangan atau dari obyek penelitian secara langsung; hzdua, dari data sekunder yang diperoleh dari studi literatur untuk memperkays dimensi data; dan hztiga dari analisis data yang dilakukan secara subyekiif ole11 peneliti berdasarkan metode analisis data yang telah dipilih. Dengan memadukan sedikitnya tiga metode misalnya pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen, maka satu dan lain meFode akan saling menutup kelemahan sehingga tangkapan atas rea!itas sosial menjadi lebii valid (Sitoms 1998).
3.2.1. Metode Pengumpulan Data Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi serta catatan harian. Metode Ijencarian responden menggunakan metode snowball, yaitu perolehan
responden
berikutnya
berdasarkan
informasi
dari
responden
sebelumnya. Daftar responden bisa dilihat sebagai berikut:
Tabel 5. Daftar Responden No Asal Responden 1 Instansi Pemerintah Dirjen PHKA (Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan dan Konservasi Alam ) PIKA (Pusat Informasi Konservasi Alam) Humas Departemen Kehutanan BKSDA DIY (Balai Konservasi Sumber Daya Alam DIY) Dinas Kehutanan dan Perkebunan D N Dinas Pariwisata DIY Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sleman BPKKD (Badan Pengelolaan Kekayaan dan Keuangan Daerah) Kab. Sleman DPRD Kabupaten Sleman BPKH (Balai Pemahtapan Kawasan Hutan) Wilayah XI Jawa-Madura Perum Perhutani Wilayah 1Kedu Utara Dinas Pertambangan dan Energi, Kabupaten Magelang
Jumlal~
No 2
Asal Responden Perguruan Tinggi Pusat ~groekologiUGM Fakultns Kehutanan UGM Fakultas Teknik UGM Pusat Studi Lingkungan UGM
3
Swasta Perusahaan Daerah Argajasa, Kaliurang, Yogyakarta
4
Kraton Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo
5
6
Ornop-WOrganisasi Akar RumputIOrganisasi Kemasyarakatan Walhi Kappala Indonesia . Wanamandira " GMCA Goro Lessan Masyarakat Hargobinangun Ngargomulyo Ngargosoka
Julnlah
1
2 I 1 2 1 1
.
Jumlah
55
3.2.2. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis teori akses (Peluso dan Ribot 2003) dan analisis teori konflik (Fisher et al. 2000). Keseluruhan analisis menggunakan perspektif ekologi politik. Menurut Bryant dan Bailey (2000), ekologi politik digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap sumber-sumbe: politik, situasi, dan perobahan lingkungan yang beragam. Dalam terminologi ini, penyelidikan secara langsung dibalik dan ditempatkan pada konsekuensi yang terjadi pada lingkungan fisik sebagai hasil dari keputusan politik. Ekologi politik juga digunakan untuk memahami bagaimana interaksi manusia dan lingkunga terkait dengan degradasi lingkungan, politik ditempatkan sebagai subyek utama penelitian ekologi politik, dengan menganalisa hubunganhubungan kekuasaan yang tidak seimbang dalarn penetapan kebijakan terhadap suatu lingkungan yang telah terpolitisir. Analisis ekologi politik adalah analisis ekonomi politik atas pengelolaan sumberdaya alam.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sejarah Pemanfaatan, Pengelolaan, dan Konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Merapi 4.1.1. Sejarah Pola Pemanfaatan Kawasan Merapi oleh Masyarakat Lokal Sejarah pola pemanfaatan kawasan Merapi bisa diketahui dari hasil studi yang dikejakan oleh Pranowo pada tahun 1985. Studi yang dilakukan di Desa Kawasty nama fiktif daerah penelitian yang terletak di salah satu desa pedukuhan di lereng Gunung Merapi, ditengarai merupakan studi di kawasan Merapi yang pertama kali membahas kehidupan masyarakat kawasan Merapi dari perspektif antropologi. Hasil studi ini memperlihatkan bahwa sebelum tahun 1912, penduduk kawasan Merapi tel*.
melakukan kegiatan pertanian di lereng Gunung
Merapi. Kegiatan ini terhenti karena pada tahun 1912 pemerintah Belanda mengukuhkan daerah perladangan yang ada di hutan menjadi hutan lindung. Hal
ini tidak berarti bahwa sebelum pengumuman resmi itu dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, penduduk secara tidak sah mendiami bagian atas lereng itu. Ini malahan berarti b m a penduduk desa itu jaman dulu sudah mempunyai hak milik atas bagian atas lereng tersebut, dan bahwa ini diambil secara paksa oleh pemerintah penjajah. Menurut Pranowo (1985), yang disebut sebagai ladang bagi masyarakat lereng Merapi di zam9 dahulu adalah wono atau alas yang artinya sistem pertanian yang dilakukan di dalam hutan. Sistem pertanian dilakukan dengan pola berpindah-pindah. Teknik perladangan dilakukan dengan cara penebangan dan pembakaran vegetasi berkzyu, kemudian diikuti dengan penanaman selama satu sampai tiga tahun. Apabila ladang yang dibuka itu kurang menghasilkan umurnnya akan mereka tinggalkan, dan peladang akan membuka ladang baru di daerah yang lain. Untuk memberi tanda pada tanah yang sudah digarap, peladang memberi tanda hak milik tanah berupa tanaman pohon keras misalnya pohon nangka ataupun bambu. Pola perpindahan ladang disebut masa bero (rotasi perladangan) yaitu jangka waktu sejak saat sebidang tanah ladang ditinggalkan sampai diusahakan kembali sebagai ladang yang baru. Sistem bero dilakukan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Masa bero yang paling baik berlangsung selama paling sedikit empat tahun.
Gagasan pengukuhan kawasan hutan di lereng Merapi menjadi hutan lindung oleh pe~nerintahBelanda ini dimaksudkan untuk mengatasi pola banjir maupun erosi yang sering membawa bencana bagi daerah perkotaan (seperti Yogyakarta, Solo dan Magelang). Sistem perladangan di lereng Merapi dianggap sebagai penyebab banjir dan erosi tanah di daerah bawah. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Belanda dalam rangka meniadakan sistem perladangan di lereng Merapi ini ada dua yaitu: pertarna, melarang penduduk di sekitar lereng Merapi membuka ladang di dalam kawasan hutan. Kedua, memindahkan penduduk yang mas& bermukim di dalam hutan ke daerah lereng bawah. Akibat dari kebijaksanaan ini pola pertanian masyarakat lereng Merapi mengalami pembahan dari sistem perladangan menjadi pola pertanian menetap dengan sistem tegalan. Sistem pertanian yang baru ini membutuhkan pup& kandang sebagai ganti ,mass bero. Perubahan sistem bercocok tanam ini juga berarti pembahan dalam pola pemeliharaan temak. Jika sebelumnya pemeliharaan temak dimaksudkan sebagai simbol status sosial dan tabungan, kini fungsinya bergeser untuk memperoleh pupuk untuk menyuburkan tanah pertanian. Sejak kehidupan dipindahkan ke bawah, sistem pemeliharaan temak dengan digembalakan ke dalani hulan beralih ke dalam sistem pemeliharaan di dalam kandang. Petemak juga diharuskan menyisihkan waktu untuk mencari rumput untuk pakan temak. Adanya bencana letusan Gunung Merapi pada tahun 1930, 1954, 1961, 1969, dan 1976 menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan baru bempa program transmigrasi ke Sumatera bagi sebagian masyarakat lereng Merapi. Pemerintah juga menjadikan kawasan pemukiman yang ditinggalkan menjadi kawasan hutan lindung. Dengan demikian kawasan hutan lindung makin lama mengalami perluasan hingga meminggirkan masyarakat lereng Merapi itu sendiri. Sementara itu, program transmigrasi kenyataannya tidak terlalu berhasil karena banyak penduduk yang kembali lagi ke daerahnya semula. Alasan kembalinya penduduk ke lereng Merapi adalah karena tidak betah di daerah transmigrasi dan karena ingin mengurus masalah ganti mgi tanah dengan pemerintah yang belum selesai. Bagi mereka 'yang meninggalkan kawasan pemukiman pemerintah Belanda memberikan ganti mgi sebesar nilai harga tanaman palawija yang mereka
tanam. Sedangkan luas tanah yang dimiliki peladang tidak mendapatkan ganti rugi. Kebijakan ini membenkan dampak yang tidak menyenangkan bagi peladang karena tanah pertanian di pemukiman barn urnumnya kurang subur dibanding sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan penduduk mengalami kesulitan ekonomi akibat menu-ya
produksi pertanian.
Dari sejarah pofa pemanfaatan kawasan Merapi tersebut bisa dipahami bahwa masyarakat lereng Merapi mei..gelami pengurangan akses terhadap sumberdaya hutan. Dari semula memiliki akses penuh kemudian mulai terpinggirkan. Masyarakat lokal juga disebut sebagai penyebab hilangnya keseimbangan ekologis (banjir dan longsor) yang mengakibatkan bencana bagi masyarakat kota. Kebijakan terhadap masyarakat kawasan Merapi pada waktu itu menunjukkan keberpihakan pada masyarakat kota dibandingkan masyarakar sekitar Merapi.
4.1.2.
Sejarah Pemiliiran Perubahan Pola Pengelolaan dan Pemanfaatan Gunung Merapi Sampai Dengan Munculnya SK Penetapan TNGM
Di abad 19, pengelolaan hutan dan berbagai bentuk pengendalian terhadap hutan di Jawa mencapai puncaknya. Inilah saat awal ketika Belanda membuat pemetaan dan membuat garis batas yang membedakan fungsi lahan untuk hutan dan pertanian. Belanda juga menempatkan satuan polisi hutan untuk membatasi akses masyarakat terhadap hasil hutan baik yang berupa kayu maupun non-kayu. Melalui proses uji coba, peraturan untuk pengelolaan hutan produksi mulai dicantumkan dalam undang-undang kolonial, dengan tujuan hidrologis. Ideologi tentang perhutanan yang "ilmiah" mulai diperkenalkan oleh penguasa kolonial dan para rimbawan mereka, sementara institusi lokal yang terkait dengan persoalan akses dan properti hutan perlahan-lahan mulai dihilangkan dari wacana yang sah. Gagasan dari periode ini, berikut pengaruh kebijakan ini terhadap kehidupan masyarakat 'yang tinggal di sekitar hutan tetap menjadi ha1 yang penting hingga saat ini, perundangan terakhir mengenai kehutanan yang dinyatakan efektif oleh pemerintah Belanda dibuat pada akhir tahun 1920an dan menjadi dasar pengelolaan kehutanan kontemporer di Indonesia. Dari periode ini pula kemudian diperoleb terminologi bagi mereka yang melanggar hak akses di
hutan dan hasil hutan seperti: "pencurian hutan", "pelanggaran batas hutan", "perambahan hutan", dan "perumputan liar". Meski begitu, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tetap saja melakukannya dalam keseharian mereka (Peluso 1992). Kebijakan pemerintah Belanda di Merapi sendiri seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya ditengarai dimulai pada tahun 1912. Pada tanggal 4 Mei 1931 pemerintah kolonial Bc!wda mengeluarkan Gouvernements Besluits (GB) No. 4197B mengenai penetapan status hutan lindung di kawasan Merapi seluas + 6.472,l hektar yang terletak di Provinsi DIY dan Provinsi Daerah Tingkat I (waktu itu) Jawa Tengah. Di kawasan seluas 228,5 hektar yang terlelak di Provinsi DIY, Belanda jnenekankan tidak hanya fungsi hidrologi melainkan juga bontani dan estetika (BKSDA DIY dan PSA UGM 2004). Dalam perspektif sejarah kegunungapian, kebijakan pemerinuh kolonial Belanda pada tahun 1931 terbit dalam upaya mensikapi letusan Gunung Merapi pada tahun 1930 yang menelan korban hingga 1.369 jiwa. Letusan pertama menurut catatan Direktorat Vulknologi letusan Gunung Merapi tejadi pada tahun 1006. Tahun ini dipercaya sebagai letusan terdahsyat yang menyebabkan perpindahan pusat Kerajaan Mataram Hindu dari Jawa Tengah ke Jawa Timur akihat hancurnya bangunan pemukiman dan candi. Meski ada argumen lain dari perspektif yang berbeda yang menyatakan bahwa letusan pertama tejadi pada tahun 1016, satu ha1 yang dipercaya adalah bahwa letusan tersebut telah mengubur banyak candi yang baru diketemukan beratus tahun kemudian seperti Candi Asu, Candi Pendem, Candi Kangkoso, Candi Borobudur sendiri di daerah Magelang, Jawa Tengah juga Candi Sambisari di daerah Sleman, DIY (Wiharyanto 2006). Setelah
Indonesia
merdeka,
pengelolaan
kawasan
Merapi
tetap
mengadaptasi kebijakan pemerintah kolonial Belanda yaitu pengelolaan sebagai kawasan lindung untu& menjaga fungsi hidrologis serta pengelolaan kawasan secara b u s sebagai daerah rawan bencana. Belanda juga mewariskan dinas pemantauan kegunungapian yang masih difungsikan hingga kini. Kilasan sejarah ini sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan Peluso (1992) pada paragraf sebel~imnyayaitu ketika pemerintah kolonial mengembangkan pengelolaan hutan
di pulau Jawa dengan tujuan fungsi produksi sekaligus fiingsi hidrologis. Sementara pada pengelolaan hutan di kawasan Merapi semenjak awal memang tidak
ditekankan
pada
fungsi
produksi
melainkan
fungsi
hidrologis
berlatarbelakang dinamika Merapi sebagai gunung api yang masih aktif. Pengelolaan hutan dengan fungsi produksi diterapkan di daerah selatan Yogyakarta yaitu di Gunung Kidul untuk memperoleh kayu gelondong, kayu bakar, batu bara untuk bahan bakar kereta api, pabrik, dan industri lainnya untuk mensuplai kebutuhan perang. Menilik sejarah .pols pengelolaan dan pemanfaatan kawasan Merapi tersebut, nampak bahwa pada mulanya pengelolaan kawasan Merapi ditujukan
untuk fungsi pelestarian alam. Narnun kepentingan masyarakat setempat tidak mendapatkan perhatian. Fungsi tersebut semenjak awal memang ditujukan untuk kepentingan masyarakat yang tinggal di bawah atau masyarakat kota. Ketika fungsi tersebut "ditingGatkan statusnya" menjadi Taman Nasional, kepentingan yang masuk tidak lagi hanya untuk masyarakat kota melainkan juga demi negara. Pengelolaan kawasan Merapi kian lama semakin tidak membumi, melainkan untuk kepentingan yang terlalu tinggi. Kritik dari Omop-L dan beberapa kalangan akademisi dan intelektual untuk mencabut keputusan penetapan Taman Nasional atau setidaknya menunda hingga masyarakat setempat siap menerima konsep Taman Nasional tidak diterima oleh pemerintah.
4.1.3. Sejarah Konflik Surnberdaya AIarn di Kawasan Merapi. Konflik sumberdaya alam di kawasan Merapi dimulai ketika pemerintah kolonial Belanda mulai mengatur kawasan Merapi pada tahun 1912. Sejak saat itu masyarakat untuk pertarna kalinya merasakan adanya kebijakan yang tidak berpihak pada mereka; yaitu ketika mereka dianggap sebagai penyebab ketidakseimbangan ekosistem karena kegiatan pertanian di lereng Merapi dituduh sebagai penyehab banjir dan erosi yang menyengsarakan masyarakat kota. Rasa sakit hati ini makin menjadi ketika kemudian mereka tak hanya diharuskan menghentikan aktivitas pertaniannya, namun juga dipindahkan ke daerah yang lebih bawah hingga memutuskan akses mereka pada hutan. Kebijakan ini jugz tidak mengindahkan adarlya ritual-iitual yang selama i~?irelab dikejakan oleh
masyarakat setempat s e h a turun ternnurun. Menurut Pranowo (1985) masyarakat memiliki jalinan spiritual dengan roh Merapi yang diyakini mampu mengelakkan mereka dari bahaya bencana alanl. Sesudah masa kemerdekaan, alih-alih membuat kebijakan pengelolaan kawasan Merapi yang ; b m , Pemerintah Republik Indonesia mengadopsi dan meneruskan kebijakan yang telah diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda yaitu pengawetan dan perlindungan dam demi kepentingan masyarakat kota, yaitu: perlindungan dari banjir, erosi, ketersediaan cadangan air, dan tempat untuk melakukan wisata dam. Di masa reformasi, kebijakan pemerintah terhadap kawasan Merapi masih juga sama. Kawasan Merapi membuka akses bagi masyarakat luar namun sekaligus meminggirkan masyarakat lokal. Menurut data statistik, jumlah hotel dan penginapan di Kawasan Wisata Kaliurang, yang terletak di
DIY terus
meningkat selama 5 tahun terakhir dari 182 di tahun 1999 rnenjadi 256 di tahun 2004 (Kecamatan Pakem dalam Angka Tahun 2005). Menurut Christian Awuy, tokoh masyarakat pariwisata Kaliurang, jumlah hotel dan penginapan di Kaliurang sebenarnya sudah mencapai titik jenuh. Di kawasan wisata ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Sle~mnmelalui Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan t m t ambil bagian mengelola fasilitas pariwisata dan m e ~ k m a tretribusi i untuk peningkatan pendapatan daerah. Pernerintah DIY juga mendapatkan pemasukan melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang mengelola Taman Wisata Alam Plawangan Turgo. Menurut hasil studi Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah dan Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional UGM (2000), di lokasi pertambangan pasir dan batu di Sungai Putih (Kecamatan Srumbung) dan Sungai Senowo (Kecamatan Dukun), sebagian besar tenaga kerja penambangan (83,3%) berasal dari luar desa sekitar lokasi penambangan atau penambang pendatang. Jumlah penambang lokal atau penduduk asli hanya sebanyak 16,7%. Penambang pendatang berasal dari desa-desa lain yang termasuk dalam kecamatan Srumbung maupun Dukun, namun yang lebib banyak berasal dari daerah luar daerah kecamatan, bahkan adaiyang berasal dari luar Kabupaten Magelang, yakni dari Temanggung. Di antara dua lokasi penambangan ini, jumlah penambang
pendatang di Srumbung (76,7%) lebih besar daripada di Dukun (63,3%). Fenomena ini mendorong munculnya organisasi penambang manual yang notabene adalah masyarakat setempat yang diberinama Paguyuban Gotong Royong (Goro). Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang, kawasan pertambangan pasir adalah salah satu sumber pemasukan pendapatan daerah. Kebijakan pemerintah untuk melakukan eksploitasi pasir di kawasan Merapi menjadi buah simalakama manakala aktivitas penambangan menjadi berlebihan dan memsak hutan lindung.
Dari kilasan sejarah konflik tersebut nampak bahwa kawasan Merapi menjadi ajang percaturan berbagai kepentingan semenjak kawasan itu mulai dikelola oleh Pemerintah Belanda. Dimulai dari dipinggirkannya kepentingan masyarakat lokal tergantikan oleh kepentingan masyarakat kota kemudian menjadi kepentingan negam Penetapan status TNGM di kawasan Merapi memicu kanflik baru karena penetapan ini akan membah mekanisme akses dan hak sumberdaya d a m di kawasan Merapi. Selain itu, konflik baru yang muncul memperdebatkan konsep pengelolaan kawasan Merapi. K o d i k ini dipicu oleh reaksi para intelektual dan Omop-L dalam mengkritisi gagasan TNGM yang dimuncukan oleh pemerintah. Hasil dan pembatpsan mengenai kondisi sesudah penetapan TNGM diulas dalam sub bab berikutnya, dimana para aktor, mekanisme akses sumberdaya alarn, serta konflik sumberdaya alam di kawasan TNGM dianalisis dengan menggunakan perspektif ekologi politik.
4.2. Identifhsi ~ k t o r Peran, ; dan Kepentingannya Analisis ekologi politik di TNGM dilakukan dengan mengamati bagaimana masing-masing aktor berjuang untuk mengendalikan lingkungan. Analisis ini diiakukan untuk mengapresiasi pengaruh yang lebih luas dan kepentingan para aktor itu sendir;. serta iuntuk memaharni bagaimana aktor saling berinteraksi. Pengamatan dimulai dengan mengidentifikasi aktor, peran, dan kepentingannya kemudian mengamati bagaimana dinamika politik dan mengidentifikasi pola interaksi organisasional mereka. Hasil identifikasi aktor di TNGM adalah sebagai berikut:
4.2.1.
Balai Konsewasi Sumber Daya Alam Daerah Istimewa Yogyakarta Balai Konsewasi Sumber Daya Alam Daerah lstimewa Yogyakarta
(BKSDA DIY) semula adalah Unit Konsewasi Sumber Daya Alam Yogyakarta berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.6187Kpts-IU2002 tanggal 10 Juni 2002. BKSDA DIY adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan d m Konsewasi Alam Departemen Kehutanan. Tugas pokoknya melaksanakan pengelolaan kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata darn d m taman buru serta konsewasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan. Fungsi BKSDA DIY adalah: (1) Penyusunan rencana, program dan evaluasi, pengelolaan kawasan suaka margasatwa, cagar dam, taman wisata alam d m taman buru, konsewasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan; (2) Pengelolaan kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam dan taman buru, konsewasi Wbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan; (3) Perlindungan, pengamanan dan karantina sumber daya dam hayati di dalam dan di luar kawasan; (4) Pengamanm, perlindungan dan penanggulangan kebakaran hutan; (5) Promosi dan informasi konsewasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam dan taman buru; (6) ~elaks&aanbina wisata alam dan cinta alam serta penyuluhan 1:onsewasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; (7) Kerjasama
pengembangan konsewasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; (8) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. BKSDA DIY m e m i l i dua seksi konsewasi yaitu: (1) Seksi Konsewasi Wilayah I yang membawahi Kabupaten Sleman, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta; dan (2) Seksi Konsewasi Wilayah I1 yang membawahi Kabupaten Bantu1 dan Kabupaten Gunungkidul. Di kawasan Merapi, BKSDA memiliki satu unit polisi hutan. Sebelum TNGM ditetapkan, BKSDA DIY bertanggung jawab mengelola Cagar Alam Plawangan Turgo seluas 164,75 hektar. Untuk pengamanan dan koordinasi di lapangan, BKSDA DIY memiliki satu unit khusus yaitu Resort Polisi Hutan (RPH) Kaliurang BKSDA DIY. Semenjak TNGM ditetapkan, melalui SK Dijen PHKA No. 140lIVlSet-312004,.BKSDA DIY ditunjuk sebagai institusi pengelola TNGM senientara sebelum Balai TNGM terbentuk.
4.2.2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta (Dishutbun DIY) bertanggung jawab kepada Gubemur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Di kawasan konservasi Merapi, institusi ini bertugas mengelola Hutan Lindung Sleman seluas 1.146,13 hektar dan Taman Wisata Alam Plawangan Turgo seluas 117,50 hektar yang memiliki 7 obyek wisata yaitu: (1) Air terjun Tlogo Muncar; (2) B m i perkemahan; (3) Hutiin Wisata Tlogo Nirmolo; (4) Hutan Wisata Tlogo Plawangan; (5) Watu Ploso; (6) Pronojiwo (habitat kera liar); (7) Gua Jepang sebanyak 22 buah. Tanggung jawab Dishutbun DIY selain rehabilitasi lahan, konservasi, dan keamaimn, juga penarikan retribusi para wisatawan. Besarnya retribusi adalah Rp 500,- per orang dengan rincian Rp 100,- untuk Asuransi Jasa Raharja dan Rp 400,- sebagai bea masuk. Operasional di lapangan dijalankan oleh satu unit Kesatuan Resort Pemangku Hutan (KRPH) Kaliurvlg yang dikepalai oleh seorang mantri hptan dengan 26 st&.
Setiap tahunnya Dishutbun DIY
menganggarkan Rp 191,6,- juta untuk gaji karyawan di hutan lindung Sleman. Untuk rehabilitasi hutan dianggarkan sesuai Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Lindung (GNRHL) sebesar Rp 2 juta per hektar. KRPH Kaliurang bekerjasama dengan RPH Kaliurang BKSDA dalam menjalankan tugas fungsional di lapangan. 4.2.3. Perusahaan Kehutanan Indonesia (Perhutani) Unit I Jawa Tengah
Sesuai dengan lokasi penelitian yang dilakukan di Kecamatan Dusun dan Kecataman Srurnbung yang berbatasan dengan hutan lindung yang terletak di lereng Gunung Merapi. bagian arah Barat maka unit Perhutani yang termasuk dalam pengamatan adalah unit Resort Pemangku Hutan (RPH) Nggumuk. Secara administratif wilayah hutan lindung RPH Nggumuk termasuk dalam wilayah kerja Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kedu Utam Perhutani Unit I Jawa Tengah. Hutan yang dielola seluas 2480,4 hektar terdiri dari 4 petak clan dibedakan menjadi: a. Hutan lindung terbatas (HLT) b. Hutan tanaman, Kelas Umur I, 11,111, IV, dan Masak Tebang c. Hutan tidak prqduktif (TPR) yang berupa sernak belukar
d. Lapangan dengan tujuan istimewa (LDTI), sebagai areal atau tanggul d m pengaman lahar Gunung Merapi seluas sekitar 1,5 hektar e. Petak yang ditanami jenis kayu lain bempa tanaman dadap campur waru dengan sekitar luas 5,5 hektar. Pada kawasan hutan di lereng ini diusahakan tanaman jenis Pinus sebagai tanaman murni dengan:kerapatan sekitar 1350 pohon per hektar, tetapi dengan kelas umur yang berbeda (BKSDA DIY dan PSA UGM 2004). Semenjak tahun 2002, Perhutani Unit I Jawa Tengah melaksanakan program Pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM). PHBM diwujudkan dengan pembentukan desa model PHBM diiana satuan terkecil PHBM adalah desa dengan petak-pet& hutan pangkuannya. Adapun wujud kegiatan PHBM meliputi kegiatan pengelolaan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan terdiri dari:
1. Dalam kawasan hutan, terdiri dari bagi hasil kayu dan non kayu, turnpangsari, din pemanfaatan lahan di bawah tegakan. 2. Luar kawasan hutan, antara lain pengembangan hutan rakyat, pengembangan petemakan, perikanan, aneka usaha kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan. Sampai dengan awal tahun 2004 telah terbentuk 833 desa PHBM dari 2.174 desa hutan yang ada di Jawa Tengah. Program ini memberikan dampak positif bempa (1) Menurunnya tingkat kriminalitas di desa PHBM yang ditunjukkan dengan penurunan tingkat kehilangan pohon sebesar 69%; (2) realisasi bagi hasil yang cukup besar, perhitung* sampai dengan Maret 2004 mencatat angka Rp 413,45 juta dengan rincian Rp 296,85 juta untuk kayu dan Rp 116,59 juta untuk non kayu (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 2004). Di RPH Nggumuk, PHBM diwujudkan dengan pemanfaatan lahan di bawah tegakan dengan tanaman salak sebagai tanaman utama seluas
10 hektar.
Program ini dianggap tkak terlalu berhasil karena hanya dimanfaatkan oleh satu orang saja. Sebagian besar penduduk di Srumbung dan Dukun lebih tertarik untuk menjadi buruh pe~ambangpasir yang hanya bermodalkan peralatan sederhana dan murah dibandingkan jika harus mengelola lahan meskipun bibit salak disediakan oleh Perhuitani.
Selain sebagai hutan lindung, RPH Nggvtnuk juga memiliki fungsi sebagai hutan produksi yang memproduksi hasil hutan non kayu yaitu getah pinus. Getali pinus ini nantinya akan diproses menjadi terpentin untuk selanjutnya diekspor ke ke berbagai negara seperti India, Bangladesh, Pakistan, Taiwan, Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara di Eropa. Untuk menderes pinus, Perhutani mempekerjakan 8 orang penduduk dengan upah Rp 11.000 per kg. Pada tahun 2005, hasil getah pinus RPH Nggumuk sebanyak 24.424 ton. Di tahun 2006, produksi menurun drastis menjadi hanya 8,9 ton. Kegiatan penderesan terhenti hanya sampai bulan Mei semenjak status Merapi berubah menjadi awas Merapi.
4.2.4. Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman Di kawasan Merapi, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sleman memanfaatkan air dari mata air Umbul Wadon melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sleman dan mengelola Kawasan Wisata Kaliurang melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Diparbud) dan Balai Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD). BPKKD adalah institusi yang baru eksis pada tahun 2001 untuk melaksanakan fungsi inventarisasi dan pengelolaan aset-aset Pemda. Fungsi ini sebelumnya dijalankan oleh Sekretaris Daerah. Di kawasan pariwisata Kaliurang, Diparbud mengelola beberapa fasilitas wisata, tempat parkir, dan izin kegiatan.
4.2.5. Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang Dua sektor perekonomian Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Magelang yang terkait dengan keberadaan Merapi adalah (1) sektor pertanian dan (2) sektor pertambangan dan penggalian Bahan Galian Golongan (BGG) C yang terletak di kecamatan Srumbung dan Dukun. Beberapa jenis sayuan unggulan adalah kubis, kacang panjang, buncis, tomat. Sementara jenis buah unggulan adalah salak. Sektor pertanian memberikan memberikan konhibusi pendapatan sebesar 28% bagi Pemda Kabupaten Magelang sementara sektor pertambangan dan penggalian hanya 2% (Kabupaten Magelang Dalam Angka Tahm 2004). Meskipun nilainya kecil, sektor pertambangan dan penggalian cukup signifikan artinya. Potsnsi pasir dan batu produk Gunung Merapi merupakan bahan galiax
andalan dari Kabupaten Magelang yang telah terbukti bernilai di pasaran, baik di dalam Kabupaten Magelang maupun Provinsi Jawa Tengah dan DIY (Kantor Pertamben Magelang 2006). Sektor pertambangan pasir memberikan pendapatan bagi Pernda Magelang melalui pertama, penarikan Retribusi Surat Ijin Pertarnbangan Daerah (SIPD) dengan tarif sebesar Rp 150.000,- bagi para penambang. Masa berlaku SIPD adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan berlaku 1 (satu) tahun. Besar kecilnya biaya retribusi tergantung pada jenis SIPD yang dimohon seperti terlihat pada tabel 6 berikut ini :
Tabel 6.
Unsur-~nsurdalam pembiayaan retribusi penambangan pasir di Kabupaten Magelang Aspek penambangan Skala Angka Indeks 1. Luas areal Perorangan seluas maksimal 1 ha berbeda lokasi dapat diberikan 5 SIPD Badan hukum seluas maksimal 10 ha dalam 1 lokasi diberikan 1 SIPD, maksirnal 10 ha beda !okasi dapat diberikan 5 SIPD. 2. Peralatan yang digunakan Besar (back hoe/excavator, dump buk, buldozer) Sedang Kecil (badisional) 3. Waktu yang digunakan Siang (6-18 WIB) Malam (19-6 WIB) Sang-malarn(24 jam) 4,5 Contohperlzitungan: Penambang tradisional (indeks 1) dengan luas areal 1 ha (indeks I) dengan waku menambang siang (indeks 2,5), jumlah peralatan 1 (indeks 1) Biaya yang hams dibayar: lx1x2,5x1x150.000 = 375.000 Sumber: Perda Kabupaten Magelang No. 2312001 Penarikan biaya Reklamasi ditetapkan sebesar Rp 1.500.000,- per hektar Penarikan retribusi dan biaya reklamasi ini dikelola oleh Dinas Pertambangan dan Energi (Perda Kabupaten Magelang No.23/2001). Kedua, pendapatan yang diperoleh meldui penarikan Pajak yang dikelola oleh BPKKD dengan perhitungan seperti pada tabel berikut:
Tabel 7.
Besarnya pajak yang barus ditanggung pengusaha pertambangan pasxr NO Jenis Angkutan Jumlah Perhitungan Pajak Besarnya Paiak Muatan 1 Tronton Jumbo 16 M' 16 M'x Rp 12.000,-x 20% Rp 38.400,2 Tronton Dum 14 M' 14 M' x Rp 12.000,-x 20% Rp 33.600,3 Engkel 10 M3 10 M3x Rp 12.000,-x 20% Rp 24.000,4 Cekether 6 M' 6 M3x Rp 12.000,-x 20% Rp 14.400,5 Colt Diesel 5 M~ 5 M3x Rp 12.000,-x 20% Rp 12.000,Sumber: SK Bupati Magelang No. 973/145/27/11/2005 Besamya pendapatan Pemda Kab. Magelang selama 2001-2005 adalah sebagai berikut: Tabel 8.
Besarnya pendapatan pemda kab. Magelang dari penarikan pajak pertambangan BGG-C Tahun Pendapatan (Rupiah) 2001 2.218.387.020
2.608.38 1.350 2005 Catatan: Pendapatan ini merupakan gabungan dari penarikan pajak di lima loket yang ada di 3 kawasan yaitu Srumbung (Jumoyo, Salam, Kerakitan, Gulon, Prebutan), Dukun (Patosan), dan Growol (untuk penamhangan di hilir sungai). Sumber: BPKKD Kabupafen Magelang (2006)
4.2.6. Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGM Pengamatan terhadap masyarakat di kawasan penyangga TNGM dilakukan di tiga desa yang mewakili tiga karakter utama interaksi masyarakat dengan alam di kawasan Merapi. Pertama, adalah masyarakat petani petemak di desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Desa Ngargomulyo berpenduduk 2.417 jiwa terdiri dari 1.201 laki-laki dan 1.216 wanita. Luas wilayahnya 9,47 km persegi dengan kepadatan penduduk 255,23 jiwa per km persegi. Banyaknya rumah tangga 706 dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 3,8 jiwa. Desa Ngargomulyo memiliki 11 dusun. Mata pencaharian penduduk rata-rata adalah bertani. Jumlah petani dewasa 608 jiwa, petani wanita 706 jiwa, dan petani muda 251 jiwa. Jenis komoditas sayur dan buah yang dihasilkan adalah padi, jagung, cabe, tomat, buncis, kubis, ketela pohon, ketela rambat, salak, pisang (Kecamatan Dukun Dalam Angka Tahun 2004). Selama bertahun-tabu secara turun tenlurun masyarakat di Desa
Ngargomulyc berperan membentuk karakter alam di lereng Merapi, mengolah lahan untuk pertanian dan mengelola aliran air dari sumber mata air untuk keperluan pertanian dan kebutuhan sehari-hari. Kedekatan dengan dam membantu mereka mengenal tanda-tanda fenomena Gunung Merapi yang secara periodik meletus mengeluarkan lava panas. Kedua, masyarakat di Kawasan Wisata Kaliurang Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY. Desa Hargobinangun berpenduduk 7.216 jiwa terdiri dari 3.567 laki-laki dan 3.549 wanita. Luas wilayahnya 14,30 km persegi dengan kepadatan penduduk 505,61 per km persegi. Banyaknya rumah tangga 2.239 dengan rata-rata jumlah anggota keluarga tiga jiwa. Desa Hargobinangun memiliki 12 dusun dengan jumiah penduduk per dusun sekitar 601 orang. Di desa ini jumlah hotel dan penginapan terus meningkat selama iima tahun terakhir dari 182 di tahun 1999 menjadi 256 di tahun 2004. Jumlah tenaga kerja yaqg bekerja di hotel dan penginapan sebanyak 411 orang dengan rincian 21 1 tenaga kerja dibayar dan 204 tidak dibayar karena pernilik atau anggota keluarga (Kecamatan Pakem Dalam Angka Tahun 2004). Menurut Asosiasi Perhotelan Kaliurang, pertumbuhan hotel di kawasan wisata Kaliurang adalah delapan hotel per tahun. Tingkat hunian hotel rata-rata 40%. Ketiga, masyarakat penambang pasir batu di Desa Ngargosoka, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Desa Ngargosoka berpenduduk 2.031 jiwa terdiri dari 999 laki-laki dan 1.032 wanita. Luas wilayahnya 4,12 km persegi dengan kepadatan penduduk 493 jiwa per km persegi. Banyaknya rumah tangga 537 dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 4 jiwa. Mata pencaharian penduduk rata-rata bertani; sebanyak 736 orang adalah petani yang bekerja di lahan sendiri dan 131 menjadi buruh tani (Kecamatan Srumbung Dalam Angka Tahun 2004). Data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang tidak
mencantumkan mata
pencaharian
buruh
penambang
pasir
atau
penylenggrong atau bumh c o k r sebagai salah satu mata pencaharian. Menurut Kepala Desa Ngargosoka, jumlah penduduk Ngargosoka yang menjadi buruh penambang pasir Jpenylenggrong sekitar 80% baik laki-laki maupun wanita. Sebagian menjadikan pekejaan menylenggrong sebagai usaha sampingan, namun ada pula yang tidak memiliki ketrampilan dan lahan sehingga menggantungkan
matapencahariannya sebagai buruh penambang pasir. Menurut data Kantor Pertambangan dan Energi Kabupaten Magelang (2005) di tercatat 35 perusahaanlindividu yang mempunyai Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) untuk melakukan kegiatan penambangan di dua kecamatan tersebut. Semenjak SK Bupati Magelang No.1212004 tentang Pedoman dan Tata Cara Penataan dan Penertiban Penambangan Bahan Galian Golongan (BGG) C di Kabupaten Magelang dikeluarkan pada bulan Agustus 2004 jumlah perusahaan penambang pasir yang masih beroperasi di Kecamatan Srumbung dan Dukun kini tinggal tujuh perusahaan yaitu tiga perusahaan di sungai Senowo, satu perusahaan di sungai Lamat, dan tiga perusahaan di tanah miliklpekarangan. Dari ketiga karakteristik interaksi manusia dan alam di lereng Merapi bisa ditemukan dua identitas alam6yaitu identitas alam organik yang dikonstruksi oleh masyarakat petani peternak dan identitas alam kapitalis yang dikonstruksi oleh pengusaha pariwisata dan pengusahz penambangan pasir (Lihat Tabel 9). Secara turun temurun masyaiakat petani petemak di Desa Ngargomulyo telah membentuk karakter lereng Merapi dengan mengolah lahan dan membuat aliran air dari sumber mata air untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan kebutuhan sehari-hari. Interaksi keseharian penduduk Ngargomulyo dengan dam yang paling akrab diperlihatkan dewan kegiatan ngarit (merumput). "Badan rasanya pegal
jika tidak ngarit barang sehari", kata salah seorang penduduk Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo. Saat situasi Merapi dalam kondisi awas pada bulan Juni 2006, ia bersama penduduk lainnya dievakuasi ke barak pengungsian. Ia juga mengaku tidak betah dan memilih pulazg kembali ke rumah dan ngarit. "Di
barak rasanya saya seperti binatang, tidak bekerja dun hanya diberi rnakan". Ngarit membuat penduduk Dusun Gemer ini memiliki arti sebagai manusia. Inilah ritual yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Meski berbeda kegiatan, para pengusaha di kawasan tarnbang pasir di sungai Putih, Dusun Jurangjero, !
Desa Ngargosoka dan kawasan wisata Dusun Kaliurang, Desa Hargobinangun Dari penelitian di hutan hujan tropis di pesisir Pasifik Colombia, Arturo Escobar (1999) menemukan tiga identitas alam yang disebut pula sebagai rezim pengetahuan, yaitu (1) alam kapitalis yang dijalankan oleh aktor kapitalis dengan konsep utama produksi dan modemitas, (2) alam organis yang oleh aktor manusia dan alam oleh karenanya konsep utama rezim ini . -diialankan . adalah b.xdaya dan pengetahuan lokal karena alam dan rnanusia diasumsikan tidak dapat dipisahkan, dan (3) alam tekdologis yang dijalarkan oleh konfigurasi biokuitural dalam konstelasi aktor, teknologi, dan praktik
adalah aktor kapitalis yang mengubah alam menjadi barang komoditas. Tabel 9 berikut ini menyajikan perbedaan karakteristik ekologi politik di tiga kawasan studi: Tabel 9.
Karakteristik ekologi politik tiga kawasan studi
Faktor Pembeda
Administratif
Pemukiman Penambangan Pasir S. Kawasan Wisata Kaliurang, Penduduk, Putih, Jurangjero, Ds.Ngargomulyo Ds.Ngargosoka Ds.Hargobinangun Kec. Dukun, Kec. Srumbung, Kec. Pakem, Kab. Magelang Kab. Magelang Kab. Sleman
Geogafis
872 m dpl
1070 m dpl
900 m dpl
Matapencaharian dominan
Petani-peternak
Buruh penambang pasir
Penjual jasa wisata
Pasir batu
Jasa lingkungan
Goro
Yawama
Perhutani Pemda Magelang
Dishutbun D N BKSDA DIY Pemda Sleman PD Anindya
SDA yang diakses dari Rumput, rencek, hutan lindung air, lahan Ornop dominant GMCA, PM, IU Organisasi pemerintab Perhutani Yaw dominan Swasta i
Pengusaha pasir beriiin
4.2.7. Organisasi Non-Pemerintah untuk Lingkungan Organisasi Non-Pemerintah untuk Lingkungan (Omop-L) yang menjadi pengamatan dalam penditian ini adalah Walhi DIY yang mengajukan mengajukan tuntutan pada pemerintah untuk membatalkan penetapan status TNGM. Anggota Walhi-DIY yang juga menjadi referensi dalam penelitian ini adalah Yawama dan Kappala Indonesia yang memiliki wilayah k e j a di kawasan konsewasi Merapi. Masing-masing secara mendetail adalah sebagai berikut: !
a.
Wahana ~ i n g k u n ~ Hidup an Daerah Istimewa Yogyakarta Wahana Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta (Waihi DIY)
adalah Forum Daerah Walhi yang diresmikan pada tanggal 19 Desember 1986. Organisasi ini mempakan f o n ~ mlingkungan hidup yang beranggotalcan Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Pecinta Alan serta Organisasi Masyarakat. Walhi DIY dibentuk atas dasar kesepakatan 20 lembaga kemasyarakatan yang mempumyai kesamaan visi dalam mempejuangkan pelestarian lingkungan hidup.
Sebagai suatu koalisi, organisasi ini bertujuan untuk mensinergikan upaya-upaya advokasi lingkungan hidup dengan tneningkatkan pengawasan masyarakat sipil terhadap penyelenggaraan kekuasaan pemerintah daerah maupun negara. Walhi DIY menjadikan organisasinya sebagai alat untuk mempejuangkan pemenuhan keadilan, pemerataan, pengawasan rakyat atas kebijakan pengelolaan sumber daya dam,
pengadilan yang bersih
dan
independen serta penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bersih untuk mendorong pengelolaan linglugan hidup secara berkelanjutan. Sasaran advokasi Walhi DIY adalah para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, pemilik modal serta kelompok-kelompok lain yang berpotensi merusak lingkungan hidup. Isu-isu yang diolah Walhi DIY meliputi: tata ruang, polusi dan pencemaran, sumber daya air, agraria, pengelolaan hutan, pengeiolaan bencana, hutan, dan perkotaan.
b.
Yayasan Wana+ndira Yayasan Wanamandira (Yawama) berkedudukan di Dusun Kaliurang Barat,
Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY yang berdiri secara resmi pada tahun 1989. Aktivitasnya di bidang advokasi lingkungan hidup dan konservasi. Yawapa dikenal vokal dalam mengkritisi program-program pemerintah di kawasan' Merapi dan sekitarnya. Untuk menunjang aktivitasnya Yawama bergabung dengan Walhi DIY. Pendanaan kegiatan Yawama 90% dilakukan sccara mandiri dari menjual wisata luar ruangloutbond dan treking, sedangkan 10% berasal dari jaringan Ornop-L.
c.
Ysyasan Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan Indonesia Yayasan Komunitas Pecinta Atam Pemerhati Lingkungan (Kappala)
Indonesia adalah sebuah organisasi non-profit dan organisasi non-pemerintah yang didirikan pada 12 Desember 1994. Visinya: berupaya untuk membangun sebuah komunitas yang mampu melakukan manajemen sumber daya, bencana dan lingkungan, dengan jalan yang demokratis serta harmonis bersama alam, berkelanjutan untuk kemakmuran bersama. Yayasan ini mempunyai misk (1) meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pemberdayaan diri yang demokratis selaras alam dan berkelanjutan; (2) untuk meningkatkan kapasitas masyarakat sehingga dapat menjags kesinambungan berdasarkan atas manajemen bencana;
(3) untuk mendorong upaya-upaya kegiatan ramah lingkungan yang tidak memancing resiko dan ancaman baru. Kappala Indonesia berbasis di Jogjakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan tiap-tiap kesekretariatan di tiap Provinsi. Secara umum, mengimplementasi program-program dengan didasarkan pada sebuah komunitas yang bemawasan manajemen bencana, didalam komunitas hingga di perdesaan. Program-program tersebut dilaksanakan di kawasan-kawasan yang rawan resiko bencana, seperti erupsi vu!lanik, tanah longsor dan banjir. Kebanyakan
dari
pelatihanlpendidikan,
program
tersebut
menyangkut
dilangsungkan pula
dalam
permasalahan
bentuk pangan,
informasikoordinasi, sehingga mampu memancing kesadaran publik. Kegiatan tersebut, dalam konteks manajemen bencana, dengan tujuan pasti untuk memhanmounkesiapan, mitigasi dan pencegahan, serta terpenting adalah kesadaran publik akan resiko kawasannya.
4.2.8. Organisasi Akar Rumput Organisasi akar rumput yang menjadi referensi dalam penelitian ini adalah Paguyuban Sabuk Gunung Merapi dan Gerakan Masyarakat Cinta Air. Masingmasing secara mendetail adalah sebagai berikut: a.
Paguyuban Sabuk Gunung Merapi Paguyuban Sabuk Gunung Merapi (Pasag Merapi) dibentuk pada tahun
2002. Pembentukannya mendapat fasilitas dan dukungan dari Kappala Indonesia. Embrio Pasag Merapi berawal setelah letusan Gunung Merapi tahun 1994, dengan dilandasi semangat s e n ~ i b berada di lereng Merapi. Isu kegiatan adalah : (I) Sak begja begiane wong kang lali, isih luwih begja wong kang eling lan waspadu (Seuntung-untungnya orang yang lupa, masih lebih untung orang yang ingat dan bersikap waspada), (2) Sadumuk bathuk, sanyari bumi (Mempertahankan tanah yang dimiliki), (3) Rukun agawe santosa, crah agawe bubruh (Rukun mendatangkan kesentosaan, berselisih mendatangkan kekacauan). Dengan semboyan Nyawiji Mrih Lestari Rinengkuh Merapi (Bersatu padu Merangkul Merapi). Perkumpulan ini menyebut dirinya sebagai forum komunitas desa tertinggi di lereng Merapi. Anggotanya terdiri dari para pemimpin dan pemuda desa yang tersebar di &a Provinsi DIY dan Jasva Tengah, empat Kabupaten
(Sleman, Klaten, Boyolali, dan Magelang), sembilan kecamatan (Turi, Pakem, Cangkringan, Kemalang, Musuk, Cepogo, Selo. Dukun, Srumbung), 22 desa dan 60 dusun. Jumiah pasti anggotanya tidak bisa diketahui karena keanggotaannya bersifat cair. Pasag Merapi memiliki sub bagian kegiatan yakni: 1) Tim Siaga Sabuk Gunung Merapi dengan lebih dari 300 anggota; 2) Radio Komunitas Merapi di empat lokasi kecamatan (Dusun, Srumbung [Kabupaten Magelang], Pakem [Kabupaten Sleman], Kemalang [Kabupaten Klaten]), 3) Paguyubar, Petani Merapi yang bergerak di bidang pertanian ekologis, 4) Tim Studi AMDAL Kijang (Kaki Telanjang) Komunitas Merapi. Program kejanya meli~uti:program kebencanaan bembuatan bunker, pelatihan penanganan bencana untuk anak-anak dan wanita, pelatihan untuk pelatih, pelatihan SAR), program pertanian (pembuatan pupuk organik dan karnpanya pemakaian pupuk organik), dan program lingkungan (analisis dampak pertambangan dan tata mang kawasan Merapi).
b.
Gerakan Masyarakat Cinta Air
Gerakan Masyarakat Cinta Air (GMCA) merupakan organisasi akar rumput yang berangkat dari keprihatinan bersama tentang eksploiiasi dan kemsakan lingkungan di lereng barat Merapi. GMCA dibentuk pada akhir tahun 2004 dan merupakan kristalisasi dari proses pergulatan wacana yang bergulir sejak tahun
1999. GMCA dibidani beberapa aktivis Omop-L Perdikan yang berkedudukan di Semarang dan sering melakukan aktivitas di Kecamatan Dukun. Faktor pendorong lahirnya GMCA adalah: (1) Keprihatinan atas kekerasan dan kebuntuan birokrasi sebagai jawaban yang selalu ditemui atas inisiatif masyarakat lokal untuk melawan
perilaku
eksploitatif
penambang
pasir
yang
membahayakan
kelangsungan hidup masyarakat setempat; (2) Bertumbuhnya kesadaran masyarakat setempat atas berbagai persoalan lingkungan; (5) Mengemukanya persoalan penurunan kuantitas dan kualitas air di Kecarnatan Dukun yang berimbas pada timbulnya potensi konflik sosial dalam masyarakat. GMCA menyebarkan wacana lingkungan melalui: (1) Pertemuan berkala GMCA. Pertemun ini dilakukan di 3 wilayah, yaitu wilayah utara Sungai Senawa (Desa Krinjing, Mangunsoka, Kajangkasa, Sengi, Paten, dan Sewukan), wilayah selatan Sungai Sena!va (Desa Ngargomulya, Kaiibening, Windusari, Ketunggeng) dan
wilayah tengah (Desa Sumber, Diwak, Tutup Ngisor, Wates, Ngadipura, Keningar). Pertemuan ini dilakukan sebulan atau dua bulan sekali, tergantung kehutuhan. (2) Bergabung dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di luar GMCA. Tiap aktivislpengurus GMCA dengan didorong untuk berperan aktif di lingkungan
sosiaVaktivitasnya
masing-masing
dan
tumt
memberikan
pertimbangan menyangkut lingkungan hidup dalam kegiatan di sekitarnya. (3) Kelompok Pendampingan Anak GMCA. Saat ini telah terhentuk tiga kelompok pendampingan anak di tiga wilayah kerja GMCA. Kelompok ini bertujuan untuk mengembangkan sensitivitas, pengetahuan dan kreasi anak terhadap air. Kelompok
ini
berkegiatan
dua
minggu
sekali
dan
secara
berkala
menyelenggarakan peiatihan cinta air untuk anak. (4) Paket pendidikan cinta air. Paket ini diperuntukkan bagi pelajar dan mahasiswa diintegrasikan dalam kegiatan
liburan/retret/pelatihan yang diselenggarakan oleh sekolahl universitas/kelompok kegiatan mahasiswa hi wilayah Kecamatan Dukun. Keswadayaan dan kemandirian merupakan nilai dasar yang dipegang oleh GMCA dalam penggalangan dana untuk kegiatannya. Masyarakat menggalang sumber daya mereka sendiri, baik finansial ataupun non finansial untuk menyelenggarakan kegiatan GMCA. Namh, ada juga program dan kegiatan yang pendanaannya bekerja sama dengan pihak lain. Misalnya, dana dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk program "Konservasi Air". Mengenai persoalan TNGM, GMCA menyatakan sepakat dengan ide dasar pentingnya konservasi dam, namun menolak semua proses penerapan kebijakan yang mengabaikan rakyat. Menurut GMCA, penetapan status legal formal TNGM selayaknya menghargai dan h m s didahului dengan proses menumbuhkan kesadaran pentingnya konservasi alam di kalangan masyamkat sebagai pra syarat penting keberlanjutan sebuah kebijakan publik. Hal ini bisa cjiiakukan oleh Pemerintah dengan mendorong inisiatif kelompok/inidividu dalam masyarakat yang sejalan dengan gagasan konservasi alarn.
4.2.9. Organisasi Kemasyarakatan Di sekitar kawisan pertambangan, muncul organisasi kemasyarakatan yang mempakan perkumpulan dari para penambang manuai. yang adalah
penduduk lokal; keberadaan mereka sebagai perlawanan terhadap penambang legal (memiliki SIPD) yang kebanyakan berasal dari luar daerah. Dalam tesis ini, peneliti mengambil referensi Goro (Paguyuban Gotong Royong) sebagai salah satu referensi terkait dengan lokasi penelitian lapangan yaitu di Kecamatan Srumbung. Dibandingk8n dengan keberadaan organisasi penambang manual di kecamatan Dukun7 yaitu Debu Merapi, Goro adalah organisasi penambang manual yang rapi dan terorganisir. a.
Paguyuban Gotong Royong Paguyuban Gotong Royong (Goro) berdiri secara resmi tahun 1995.
Organisasi ini mempunyai misi memberikan perlindungan bagi buruh penambang
pasirlcokeripenylenggrong yang bertugas menaikkan pasir ke mobil pengangkut pasir di Kecamatan S m b u n g dan Kecamatan Salam. Sebeium ada Goro, para buruh ini dihargai sangat murah yaitu Rp 5000,- per orang untuk jasa menaikkan pasir ke truk, sesudah ada Goro nilai tawar buruh meningkat menjadi Rp 15.000,per orang. Satu t ~ membutuhkan k sekitar tiga-lima orang. Goro menarik Rp 2000,- per orang melalui pengusaha pasir untuk mengisi kas organisasi. Sehingga uang yang diterima menjadi Rp 13.000,- per orang. Uang kas itu dipergunakan untuk as~xansikecelaka@ para buruh di lokasi tambang, membantu kelahimn, dan pemberian paket lebaran pada hari raya berupa beras lima kg, sirup, gula pasir satu kg, dan minyak goreng. Setiap bulannya, Goro memberikan beras untuk 562 keiuarga anggota yang tidak mampu masing-masing sebanyak lima kg. Anggota Goro sekitar 3500 orang, keanggotaannya dibuktikan dengan kepernilikan kartu anggota. Goro terbagi menjadi 52 unit anak cabang yang masing-masing merniliki kepengurusan sendiri-sendiri. Fungsi anak cabang ini untuk mengelola dan mengatur bumh untuk memasukkan pasir di truk-truk tertentu, menumt istilal~ mereka "langganan mobil". Keberadaan Goro disegani baik masyarakat maupun para pengusaha
karena acap menggunakan kekuatan fisik untuk
mempertahankan aktivitasnya. Menurut Goro, kerusakan di lokasi tambang pasir bukan tanggung jawabnya karena sudah ada institusi-institusi yang mengurusnya.
7
Kabupaten Magelang mempunyai tiga lokasi pettambafigan yaitu di Kecamatan Dukun, Kecamatan Srumbung, dan Kecamatan Salam.
4.3.
Dinamika Politik Kemasyarakatan
Organisasi
Gerakan
Lingkungan
dan
4.3.1. Organisasi Non-Pemeriniah untuk Lingkungan
Walhi berdiri tahun 1980 dan memposisikan diri sebagai mitra kerja pemerintah. Aktivitas pergerakan lingkungan yang dijalankan Walhi berubah ketika organisasi ini bergabung dengan Friend of the Earth International (FOE) dan menamakan diri sebagai FOE bdonesia pada tabun 1989. Di situsnya
www. foe.org, tertulis bahwa FOE adalah Omop-L internasional yang didirikan pada tahun 1971 oleh empat Omop-L dari Perancis, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat. FOE menyebut organisasinya sebagai sebuah federasi organisasi lingkungan hidup global. Anggotanya terdiri dari 68 kelompok Omop-L dari berbagai negara yang memayungi lebih dari 5000 kelompok aktivis lokal. Jim!& anggota dan pendukung FOE lebih dari satu juta orang. Staf yang bekerja pada kelompok anggota FOEberjurnlab sekitar 1200 orang. Adiwibowo (2003) mengemukakan bahwa di tahun 1989, untuk pertama kalinya Walhi berhadapan dengan pemerintah. Walhi mengajukan gugatan mendesak agar pemerintah mencabut izin operasional PT Inti Indorayon Utama di Forsea, Sumatera Utara yang telah menyebabkan kemsakan hutan di sekitar Danau Toba. Meskipun gugatan ini kalah, namun kasus ini mengubah citra Walhi menjadi organisasi lingkungan hidup untuk permasalahan advokasi lingkungan hidup. Pada tahun 1992, setelah Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup, Walhi menetapkan pergerakan organisasi lingkungan bidupnya juga bersifat politis. Semenjak itu pergerakani lingkungan hidup Walhi memfokuskan pada d e m o h i yang dipercaya mampu menjadi gerbang pembuka bagi terselesaikannya persoalan-persoalan lingkungan hidup. Walhi memperluas advokasi nya tak hanya pada isu-isu kebijakan atau pada resolusi permasalahan Iingkungan hidup dengan kasus-kasus khusus tapi:juga memasukkan advokasi dasar di tingkat akar rumput !
sebagai bagian dari upaya memperkuat kemarnpuan kontrol sosial. Manifesto Walhi seperti bisa ditemui di situs Walhi: www.walhi.or.id menegaskan bahwa akar persoalan lingkungan hidup adalah neoliberal. Ide dasar paham neoliberal menyatakan bahwa sistem pasar sehmsnya terlibat penuh dalam keputusan-keputhsan penting di bidang politik dan sosial. Neoliberal
membiarkan negara memberikan keleluasaan kepada pernsahaan privat dan membatasi gerakan serikat buruh serta melupakan rakyat jelata. Neoliberal berpihak pada privatisasi dan globalisasi ekonomi. Dengan dernikian, persoalan lingkungan bukan lagi persoalan rendahnya kesadaran publik dan kelemahan kebijakan
negara
melainkan
pada
keberadaan
perusahaan-perusahaan
transnasional yang memanfaatkan tangan pemerintah dan dengan sengaja rnenciptakan persoalan lingkungan hidup. Perusahaan transnasional itu juga terbukti gaga1 mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup yang diakibatkannya, seperti masalah pemanasan global dan modifikasi snmber-sumber genetik alami. Walhi DIY adalah salah satu forum daerah Walhi. Dalam aktivitasnya Walhi DIY melakukan advokdsi di empat kawasan yaitu: (1) Kawasan Gunung Merapi yang secara administratif terletak di empat Kabupaten dua Provinsi yaitu Kabupaten Sleman di Provinsi DIY dan Kabupaten Boyolali, Klaten, dan Magelang di Provinsi Jawa Tengah. Di kawasan ini Walhi DIY rnelakukan advokasi penolakan ter&dap SK Menhut No. 13412004 tentang Penetapan TNGM karena menganggap proses penetapan tersebut tidak transparan dan tidak melibatkan peran masyarakat dan pemerintah daerah setempat; (2) Kawasan Menoreh yang secara administratif, terletak di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Pumorejo,; Jawa Tengah, dan Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan Menoreh adalah daerah yang membentuk ekosistem khas, dan menjadi sumber kehidupan makhluk hidup, di a n m y a adalah manusia. Kawasan ini merupakan kawasan karst yang rentan bencana dan sebagai penyangga bepda cagar budaya. Salah satunya Candi Borobudur. Advokasi yang dilakukk WALHI DIY adalah penolakan pertarnbangan manner oleh PT. Margola di Selorejo Ngargoretno Salaman, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah dengan alasan menyebabkan penggusuran pemukiman penduduk ke wilayah rawan longsor, monopoli, dan privatisasi sumber daya air, perubahan pola hidup tlari pertanian menjadi buruh, pengangguran, hilangnya lokasi pariwisata yang dijadikan lokasi pertambangan, (3) Kawasan perkotaan
DIY. Advokasi yang aktif dilakukan adalah mendorong agar dokumen AMDAL dan tata ruang dijadikan sebagai dokumen perlindungan kawasan-kawasan kota, mendorong, dan menekan pemerintah serta stakeholder untuk melakukan
perubahan terhadap regulasi dan kebijakan yang terkait dengan penyadaran pemahaman pengelolaan sampah dari budaya dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir diganti dengan 4R (replace, reduce, reuse,
recyclii7g) yang terbukti mampu menangani pennasalahan sampah secara mandiri, serta penanganan limbah dan menata sistem transportasi; (4) Kawasan pantai selatan merupakan daerah karst dan gumuk pasir yang tersebar di 3 Kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo. Advokasi di kawasan ini aktif dilakukan berkaitan dengan telah dilaksanakannya rencana pembangunan Jalur Lintas Selatan, yang tentunya akan memberikan dampak ekologi yang sangat serius, seperti terkekangnya hak-hak rakyat atas tanah dan rumah mereka yang selama ini dijadikan tempat bernaung menjadi lokasi pembangunan jalur lintas selatan. Belum lagi, darnpak dari banyaknya kepentingan investor yang akan mesuk untuk menguasai met-aset sumber kehidupan jika jalur lintas selatan telah selesai dibangun, misalnya, pemukiman mewah, pendirian bangunan-bangunan perusahaan besar maupun kecil, yang tentunya akan mengakibatkan semakin termarjinalkan posisi masyarakat sekitar atas akses sumber-sumbkr kehidupan yang ada dan rusaknya ekologi yang ada, di antaranya daerah karst dan gumuk pasir yang merupakan penyangga sumbersumber kehidupan masyarakat. Sejalan dengan pemikiran-pemikiran tersebut, Yawama dan Kappala Indonesia bergabung idengan Walhi. Sejak tahun 1992, Yawama yang berkedudukan di Kaliurang ini aktif mengajukan kritik terhadap berbagai pennasalahan lingkungan hidup di sana dari mulai masalah pengaturan air dari mata air Umbul Wadon oleh PDAM Kabupaten Sleman hingga pariwisata. Yawama semula adalah,sekelompokanak muda mempunyai kesamaan minat pada alam. Ketika didirikan tahun 1986, namanya zdalah Komunitas Pecinta Lingkungan Hidup Wanamandira. Selma 2 tahun pertama perkumpulan ini tidak berjalan aktif. Salah seorang pendirinya, MDH berinisiatif untuk merombak organisasi menjadi sebuah yayasan. MDH sendiri bertindak sebagai Koordinator Eksekutif Yawama. Taliun 1989 Yayasan Wanamandira atau yang biasa disebut Yawama atau Wama ini resmi berdiri dengan mengusung misi baru yaitu advokasi
masalah Iingkungan hidup dan konsewasi. Di bawah kepengurusan MDH, Yawama berhasil memperkuat jaringan tak hanya di tingkat lokal sebagai anggota Walhi DIY namun juga ke tingkat nasional dan intemasional seperti Komunitas Jaringan Hutan untuk Masyarakat (Cornmunily of Foresl for People). Yawanla dikenal cukup vokal mengkritisi masalah lingkungan hidup di kawasan Kaliurang. Kritik yang dilontarkan Yawama tak mendapat tempat di hati masyarakat Kaliurang sendiri. Tak jarang terjadi perbenturan pendapat antara Yawama dan masyarakat. Sod pembuatan jalan tembus di daerah Kaliurang Timur pada tahun 2003 misalnya. Bagi warga, jalan tembus ini diperlukan untuk niempennudah akses ketika mereka hendak membawa pulang rumput dan rencek dari hutan. Bagi Yawama, jalan tembus ini dianggap merusak tatanan ruang. Prates yang dilontarkan Yawama tak ditanggapi warga. Kebanyakan watga yang ditemui peneliti mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap apa yang dilakukan Yawama. Salah seorang pendiri Y~wama,menceritakan betapa dirinya sering mendapat teror dan nyaris dibunuh warga karena keaktifannya di organisasi tersebut. Ia kemudian mernilih mengundurkan din dan hidup nlemasyarakat dan aktif di Karang Taruna Desa Hargobinangun. Dalam kasus pro kontra TNGM, isu yang dilontarkan Yawama dan ajakan untuk menolak TNGM juga tidak mendapat tanggapan dari masyarakat Kaliurang. Yawama seperti pemain yang kesepian di daerahnya sendiri. Meski begitu, Yawama cukup pandai menarik perhatian publik dengan caranya sendiri yaitu melalui media massa. Nama MDH bukanlah nama yang asing bagi media lokal di Yogyakarta. Tak hanya sehagai ~ J ~ k aMDH n, juga sering melontarkan ide-idenya melalui tulisannya di berbagai media. Anggota Walhi DIY yang turut dalam aksi penolakan terhadap TNGM adalah Kappala Indonesia yang biasa disebut dengan Kappala. Sama seperti Yawama, Kappala pada mulanya hanyalah perkumpulan pecinta alam biasa yang dimotori oleh ETP, semenjak tahun 1992 para anak muda ini sering mengadakan kegiatan di Gunung Merapi. Letusan Gunung Merapi pada tahun 1994 memberikan penyadarah bahwa selama ini pemerintah melakukan kekeliruan dalam mengatasi bahaya bencana letusan di kawasan Merapi. Salah satu hal yang terlupakan dalam masalah penanganan bencana oleh pemerintah adalah pengakuan bahwa nasyarakat lokal lnemiliki kearifan tersendiri untuk mensikapi
bencana. ETP memutuskan untuk mendirikan Kappala Indonesia yang memfokuskan pada penanganan bencana alam melalui kerjasama dengan masyarakat lokal. Kappala memiliki lima st~ategikerja dalam beraktivitas: (1) Identifikasi dan dokurnentasi tanda-tanda tradisional yang biasa dilihat masyarakat untuk melihat adanya bencana. Salah satu di antaranya dengan menggunakan kentongan untuk saling mengingatkan jika ada bahaya; (2) Membantu meningkatkan kepercayaan din masyarakat Faca bencana meldui penggalian kembali solidaritas dan kebersamaan berlandaskan nilai-nilai tradisional yang ada; (3) Membantu komunitas mengembangkan strategi bekerjasama, yang terkena musibah ringan membantu yang berat; (4) Identifikasi jenis bencana yang ak& dihadapi, banjir ataukah letusan Gunung Merapi dan cara penanggulannya. Meninggikan rumah untuk daerah rawan banjir, dan membangun jalan untuk evakuasi di daerah rawan letusan Gunung Merapi; (5) Pelatihan persiapan menghadapi hencana seperti pemberian pengobatan pada saat darurat, strategi untuk berkomurdkasi dan evakuasi. Pada letusan tahun 1994 dan 2004 Kappala membantu pemerintah mengevakuasi para pengungsi. Kappala juga melobi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan sesuai isu nyata yang berkembang di daerah. Kini pemerintah daerah setempat mengembangkan dua macam pelatihan untuk penanganan bencana di kawasan Merapi. Pertama, pelatihan tingkat manajerial yang diberikan pada para pemimpin dan tokoh desa dan kedua, untuk satuan gugus tugas yang diikuti dengan pelatihan sepuluh hari untuk 40 orang penduduk desa. Kappala Sekerjasama dengan pemerintah dalam penyelenggaraan pelatihan ini sebagai konsultan pehanganan bencana. Menilik cara kerjanya, sebenamya Kappala berbeda dengan tipe organisasi Walhi yaitu profesional protest organisation. Aktivitas organisasinya cenderung ke tipe public interest lobby (sesuai tipologi organisasi yang dikembangkan oleh Diani dan Donaii 2002 dalam Adiwibowo 2005). Kedekatan Kappala dengan pemerintah juga yang menjadikan Dishutbun DIY memilih Passag Merapi organisasi yang difasilitasi oleh Kappala- sebagai media untuk membantu sosialisasi TNGM (Pasag Merapi 2002a).
Selain dengan Walhi, Kappala juga menjalin aliansi dengan jaringan organisasi lingkungan hidup yang disebut Jaringan Organisasi Non-Pemerintah (Jarnop), jaringan organisasi yang beranggotakan para petani di Indonesia. Seperti telah disebutkan sebelumnya, aktivitas Kappala kini tak hanya permasalahan bencana namun juga masalah ketahanan pangan lokal. Sejak tahun 1997, Kappala bekerjasama dengan Oxfa~n Great Britain (Oxfam GB), organisasi non profit berskala intemasional yang teldi bekerja di I~donesiasejak tahun 1972. Prograrnprogram Oxfarn GB memfokuskan pada isu-isu matapencaharian, gender, keadilan perdagangan, pendidikan, karya kemanusiaan, dan advokasi. Pada tingkat nasional, Kappala juga bekerjasama dengan UNHCR (United Nation High Commision on Refugee -salah satu badan di Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Masalah Pengungsi) dan Oxfam GB memberikan workshop manajemen bencana di berbagai daerah rawan bencana lainnya di Indonesia.
4.3.2. Organisasi Akar Rumput Organisasi akar rumput bukanlah fenomena baru. Organisasi ini telah menjadi alat utama bagi massa akar m p u t untuk berjuang melawan ketidakadilan dan kontrol terhadap surnberdaya sejak tahun 19%-an (Friedmann 1992 dalam Bryant dan Bailey 2000). Berdasar tujuannya, organisasi akar rumput bisa dibedakan menjadi dua jenis. Pertarnu, organisasi akar rumput yang bertujuan untuk membangun kemandirian (selfhelp organisations). Mereka tidak terlibat dalam aktivitas politik dan berusaha untuk menghindari konfiontasi dengan aktor yang lebih kuat dengan melakukan kegialm-kegiatan di daerah dengan penekanan pada isu-isu non-politis. Pendorong organisasi akar rumput tipe ini adalah kebutuhan untuk mendapatkan respon kolektif terhadap permasalahan lingkungan yang mengancam kepentingan mata pencaharian aktor. Tujuannya mengembangkan strategi pengelolaan berkelanjutan yang secara langsung berkaitan dengan persoalan seperti mengumpulkan kayu bakar, pembagian air ataupun pengelolaan sampah. Narnun begitu, organisasi akar rumput tipe ini tetaplah sangat politis karena perlawanan pragmatis mereka terhadap kondisi politik dan ekonomi yqng status quo sekaligus kritik halus bagi mereka yang mendukung kondisi status quo. Organisasi akar m p u t ini acapkali dibvlgun
sebagai respon langsung terhadap ketidakman~puanatau kurangnya kornitmen negara untuk menghapuskan pennasalahan lingkungan yang terkait dengan pembangunan di Negara Dunia Ketiga. Organisasi akar rurnput tipe kedua aktif melancarkan protes demi pertahanan terhadap akses mata pencaharian @rotest organisations). Perbedaan dengan tipe perlama terletak pada adanya faktor-faktor
baik internal maupun eksternal yang melingkupi komunitas tersebut. Fak?or-faktor tersebut misalnya, tradisi komunitas untuk rnelakukan aksi bersama untuk menyikapi persoalan lingkungan ataupun sosial; juga adanya sbuktur demografi dan organisasi yang rapi yang memudahkan untuk melakukan mobilisasi dan melakukan aktivitas dengan segera. Kekuatan organisasi akar rumput baik tipe pertarna maupun yang kedua terletak pada kemampuan untuk memperoleh konsensus lokal (meskipun barangkali pada praktiknya akan sulit dilakukan) melalui musyawarah yipg demakratis yang kemudian menjadi dasar legalitas organisasi. Organisasi akar rumput dengan demikian mengembangkan kekuatan dan kemarnpuan sebagian dari tujuan yang bersifat moral rnelalui perlindungan terhadap matapencaharian akar nunput yang kelihatannya menjadi prinsip demokratis yang melekat pada organisasi (Bryant dan Bailey 2000). Dalam kaitan dengan TNGM, peneliti mernasukkan GMCA dan Pasag Merapi, dalam kelompok Organisasi akar rumput tipe kedua yang memiliki karakter selfhelp organisation. Keduanya menghadapi permasalahan yang serupa yaitu mempertahankan akses terhadap rnata pencaharian akibat dari perubahan lingkungan. Meskipun bukan tipe protest organisation, Pasag Merapi mampu menyuarakan aspirasinya menyikapi rencana penetapan TNGM dengan menjalin aliansi dengan organisasi kemasyarakatan lainnya yang ada di lereng Merapi Merbabu dengan nama Aliansi Masyarakat Peduli Merapi Merbabu (AMPMM). Aktivitas AMPMM akan diuraikan kernudian dalam sub bab dinamika konflik. Selain karena tradisi kebersamaan, sikap Pasag Merapi ini didukung pula oleh Omop-L Kappala Indonesia yang selama ini rnenjadi pendamping. Kappala Indonesia sendiri bergabung dengan Walhi menentang penetapan TNGM (Lihat Tabel 10). GMCA dan Pasag Merapi memiliki kesamaan karakter yaitu petani yang tinggal di lereng Merapi. Tak heran jika mereka yang terlibat dalam organisasi
GMCA juga ikut terlibat di Pasag Merapi. Keduanya juga memiliki kesamaan sejarah yaitu dibentuk dan mendapat pendampingan dari Ornop-L. Kelahiran GMCA tak lepas dari campur tangan Ornop-L Perdikan yang memfokuskan program kerja pada isu pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan peran mereka dalam bemegm. Perdikan aktif di Dukun sejak tahun 1997. Di Semarang, Perdikan aktif memberikan advokasi bagi para Pedagang Kaki Lima yang terkena gusuran pemerintah karena diangggap mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Perdikan menjalin aliansi dengan Urban Poor Consortium. Pasag Merapi difasilitasi oleh Kappala Indonesia. Baik Kappala Indonesia maupun Perdikan tidak ingin misi yang dijalankannya terhenti ketika sudah selesai masa program keja. Untuk meneruskan misi mereka, maka hams ada organisasi yang berlokasi di wilayah keja yang dijalankan sendiri oleh para penduduk lokal. Proses penyadaran hams bisa dilakukan antar mereka sendiri, sementara Ornop-L memberikac pendampingan. Dengan latar belakang inilah organisasi akar rumput dibentuk. GMCA dan Pasag Merapi memperoleh dukungan dana melalui Omop-L aliansi mereka yaitu Perdikan dan Kappala Indonesia. Selma ini Perdikan sudah seringkali menjalin kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah demikian pula dengan Kappala Indonesia yang menjalin kejasama dengan Provinsi Jawa Tengah dan DIY. GMCA menyatakan diri sebagai mitra kritis pemerintah dan tidak menutup kemungkinan bekerjasama. Pada tahun 2006 ini misalnya, GMCA menjalin kejasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mengejakan program konsewasi air. Saat merespon bahaya letusan Merapi, GMCA menjalin kejasama dengan banyak pihak menyalurkan bantuan pada para pengungsi.
4.3.3. Organisasi Kemasyarakatan
Goro memiliki kedekatan dengan Pemerintah Daemh Kabupaten Magelang. Dalam stnktur organisasinya, Goro mencanhmkan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Magelang sebagai pelindung. Kondisi pemerintahan ketika itu mendukung organisasi Goro untuk berkembang. Ini didukung pula dengan kedekatan pribadi antara aktivis Goro dengan para pejabat pemerintahan lokal setempat. Aliansi dengan pemerintah ini ternyata rapuh karena ketika tejadi
pergantian ke:ala
pemerintahan, kebijakan yang dibuat tidak lagi memihak Goro.
Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang pada masa jabatan Bupati Singgih Sanyoto memfokuskan pada isu aktual usaha pertambangan pasir di Kabupaten Magelang yang dipilih yaitu kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di kawasan Merapi (Pertamben Kabupaten Magelang 2006). Implementasi kebijakan ini adalah penataan kawasan pertarnbangan di Kabupaten Magelang. Beberapa SIC yang memiliki dampak pada akti~iitasGoro add&: 1. SK No. 188.4/54/KEP/27/2004 tentang Lokasi Hasil Penataan Wilayah Pertambangan Bahan Galian Golongan C di Kali Putih tertanggal 28 Pebmari 2004 yang menghasilkan 15 nama perusahaan yang diperbolehkan .melakukan aktivitas menambang. Banyaknya jumlah perusahaan yang diperbolehkan melakukan aktivitas di kawasan pertambangan sangat berpengaruh terhadap pendapatan para bwvh penambang pasir dan Goro. Semakin banyak pe~St3haaIIsernakin banyak pula peluang bagi para buruh penambang pasirlpenylenggrong untuk menaikkan pasir ke truk. Semakin banyak truk yang melintas, semakin banyak pula pendapatan Goro. 2. SK Bupati Magelang No. 19 Tahun 2004' tentang Pedoman dan Tata Cara Penataan pan Penertiban Penambangan Bahan Galian Golongan C di Kabupaten ~ a ~ e l tertanggal a n ~ 24 Agustus 2004. Kebijakan yang didasari kajian telah habisnya deposit pasir di kawasan pertambangan ini diikuti dengan bencana letusan Gunung Merapi. Pada 8 Maret 2005, beberapa lokasi pertambangan yang ditutup meiiputi lokasi: Kali Putih, Kali Bebeng, Eali Batang, Kali Blongkeng, Eks Desa Ngori, dan lokasi lain yang tidak mempunyai izin atau telah habis masa berlakunya dan yang mempunyai SIPD tetapi menambang di luar SIPD (Pengurnuman Sekretariat
Daerah
Pemda
Kabupaten
Magelang
No.
001/165/31/11U~005). Semenjak itu, kehidupan buruh penambang
'~esudahpenelitian ini selesai dilakukan, SK No. I90004 ini direvisi melalui SK No. 188.40lKEP13 10007 tertanggal6 Januari 2007. SK yang baru ini mengizinkn kembali aktivitas penambangan di kawasan Merapi namun hanya di sebagian alur S. Bebeng; pada jam tertentu yaitu 06.00-18.00 WIB, dan luasan lahan maksimal satu hektar. Revisi ini dilakukan terkait dengan aliran lahar dari Gunung Merapi yang mengarah ke S. Bebeng (SKH Kompas 12 Januari 2007). Keputusan ini memberi peluang bagi Goro untuk beraktivitas kembali.
pasir/penylenggrong yang menggantungkan hidup pada pertambangan menjadi terpuruk. Bagi yang masih memiliki pendapatan lain masib beruntung; ada sebagian yang beralih profesi menjadi pedagang asongan atau berjualan bakso atau mi ayam di Muntilan atau Magelang, yang lain menjadi buruh -tani. Goro sendiri tak bisa berbuat banyak, pendapatan organisasi terhenti. Beberapa anggota mulai jenuh dan membentuk organisasi baru bernm.8 Punokawan yang mernili kemiripan aktivitas. Beberapa anggota menggabungkan diri dengan Punokawan. Saat penelitian ini dibuat Punokawan sedang daiam masa rekrutmen anggota.
3. SK Bupati Magelang No.20 Tahun 2004 tentang Route dan Tonase Angkutan Barang CwahIBahan Galian Golongan C di Kawasan Merapi Kabupaten Magelang tertanggal 24 Agustus 2004. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menata kembali jalan-jalan menuju maupun yang kembali dari daerah/lokasi penambangan Bahan Galian Golongan C dengan alasan jalan yang selama ini dipergunakan mengalami kerusakan berat. Perubaban route ini mempengaruhi pendapatan Goro karena sebelumnya mereka telah membangun gardu-gardu di sepanjang route yang lama. Goro sernpat melakukan protes ke Pemda Magelang narnun tidak mendapat tanggapan. 4. Surat perintab penghentian pungutan liar di kawasan Merapi yang dikeluarkan Sekretaris Daerab pada tanggal 25 Januari 2006. Perintab ini berdasarkan pada swat Komisi Ombudsman Nasional No: 006/KON
Pwk-Lapor.O02/06N2006-mhtertanggal 11 Januari 2006. Pertimbangan lainnya, dalam rangka pelaksanaan penertiban penataan penambangan di kawasan Merapi dan penertiban kegiatan pemungutan liar di wilayah Kabupaten Magelang. Para pihak yang mengabaikan surat tersebut, akan dikenakan sanksi hukuman sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan ancaman pidana kurungan atau denda.
Tabel 10. Nama GMCA
Pasag Merapi
Goro
Profit organisasi akar rumput dan organisasi kemasyarakatan di kawasan Merapi Lokasi Karakterislik Pennasalallan Solusi yang Aliansi ansota yang dihadapi ditawarkan 1 Kecamatan Petani yang Menurunnya Perluasan Ornop-L wacana Perdikan tinggal di lereng debit air akibat Jateng: Merapi dekat dampak konservasi air Kec. Dukun, pertambangan pertambangan dari anak-anak Kab. pasir pasir; Rendahnya bingga Magelang, respon dewasa, masyarakat partisipasi terhadap warga dalam persoalan kegiatan linghxngan; kemasyarakaPenggunaan tan, pertanian pupuk kimia pada organik pemnian 9 Kecamatan Masyarakat Bencana letusan Pelatihan Ornop-L lereng Merapi Gunung Merapi, mggaP Kappala Jateng: bencana, radio Ind. terutama yang Penggunaan Kec. tinggal di daerah pupuk kimia pada komunitas, Kemalang, rawan bencana, pertanian, pertanian Kab. Klaten; sebagian besar Pertambangan organik, kajian Kec. Musuk, adalah pctani. pasir tata ruang pertambangan Cepogo, Selo, Kab. Boyolali; Kec. Dukun, Srumbung, Kab. Magelang,
DIY: Kec. Turi, Pakem, Cangkringan, Kab. Sleman. 2 Kecamatan Jateng: Kec. Srumbung dan Kec. Salam, Kab. Magelang
4.3.4.
Penylenggrong (buruh penambang pasir)
Kecemburuan sosial terhadap penambang pasir pendatang (berizin)
Menaikkan nilai tawar anggota, perlindungan kerja di kawasan tambang
Pemda Kab.Ma gelang
Pola Interaksi Organisasional Penyelamatan Lingkungan di Kawasan Merapi Di kawasan Merapi, ditemui adanya interaksi antar organisasi yang bergerak
di bidang lingkungan. Menurut Wittmer dan Birner (2005), mereka yang memiliki wacana developmentalisme bisa
bekerjasama dengan penganut wacana
kocservasionisme dan organisasi penganut wacana ekopopulis cenderung bekerja
sendiri. Kenyataannya, meskipun GMCA dan Pasag Merapi penganut ekopopulis namun mereka memiliki pengalaman bekerjasama dengan pemerintah dan tidak lnenunjukkan protes secara terbuka dengan pemerintah seperti halnya yang dilakukan Walhi DIY. Ini menunjukkan bahwa penganut ekopopulis memiliki potensi untuk bekerjasama dengan penganut developmentalisme dalam bentuk organisasi akar rumput dengan tipe self help organisation. Baik Pasag Merapi maupun GMCA mengakui keterbatasan kemampuan dan logistik yang mereka miliki. Oleh karenanya mereka perlu menjalin kerjasama dengan siapa saja, bahkan juga dengan pemerintah seperti ditegaskan oleh P., Ketua Pelaksana Harian Perdikan dan salah satu pendiri GMCA yang menyatakan: "GMCA
terbuka uniuk menjalin'kerja sama dengan siapa pun yang sejalan dengan visi
GMCA untuk kelestarian lingkungan hidup" (P., 20 Agustus 2005, Komunikasi Pribadi). Tabel 11 berikut ini memperlihatkan bahwa organisasi-organisasi yang ada di kawasan TNGM memiliki potensi untuk bekerjasama berdasarkan argumentasi mereka terhadap TNGM dan wacana k o n s e ~ a syang i diiiliki. Tabel 11. Aktor dan wacana konservasi WacanaKousewasi* Argumen terhadap TNGM No Aktor TNGM adalah upaya Developmentalisme 1 Pemerintah: penyelamatan hutan di Dishutbun DIY kawasan Merapi demi BKSDA DIY ' lestarinya fungsi hidrologi, Perhutani biologi, dan estetika. Pemda Sleman Kebijakan konsewasi Pemda Magelang menggunakan paradigma baru dengan melihat pada nilai Organisasi ekonomi TNGM untuk Kemasyarakatan: membiayai pengelolaan Goro TNGM dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan penyangga. 2
Ornop-L: Walhi DIY Yawama Kappala Indonesia
TNGM mewakili bentuk otoritas pemerintah yang kuat yang dipengarohi pandangan konsewasi global. Pengelolaan kawasan konservasi Merapi sebaiknya diserahkan kepada masyarakat.
Eko-populis
No
Aktor Organisasi Akar Rumput: GMCA Pasag Merapi
Argumen terhadap TNGM WacanaKonservasi* TNGM membatasi akses Eko-populis masyarakat terhadap suinberdaya 11utzn. Selama ini masyarakat telah menjaga kelestarian hutan dengan cara mereka sendiri. Pariwisata sebagai sektor unggulan TNGM dinilai tidak menghargai eksistensi masyarakat sebagai pei3lljpetemak. Penetapan status legal formal TNGM selayaknya menghargai dan harus didahului dengan proses menumbuhkan kesadaran pentingnya konservasi alam di kalangan masyarakat sebagai pra syarat penting sustainibilitas. *Tipologi wacana konservasi sebagaimana dikembangkan oleh WiUmer dan Birner 3
(2005)
4.4.
Analisis Akses dan Hak Sumberdaya Alam di TNGM
4.4.1. Akses Sumberdaya Alam di Tiga Kawasan Studi Bagaimana akses masyarakat di lereng Merapi terhadap sumberdaya dam di masa kini bisa diketahui dari hasil analisis akses dan hak di tiga kawasan studi yaitu kawasan pemukiman Desa Ngargomulyo, kawasan pertambangan pasir Sungai Putih, Dusun Jurangjero, Desa Ngargosoka, dan kawasan wisata Dusun Kaliurang, Desa Hargobinangun. Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah hanya berjarak sekitar 3 km dari hutan lindung yang dikelola Perhutani RPH Nggumuk. Dari hasil wawancara dengan responden, sumberdaya alam yang diakses penduduk dari hutan lindung adalah rencek (ranting kering) untuk kayu bakar, rumput untuk pakan ternak, bambu untuk bahan membuat
kepang (anyaman bambu berupa lembaran berukuran sekitar 3x3 meter biasanya untuk menjemur padi hasil panen) dan kerajinan tangan lainnya dari besek (wadah dari anyaman bambu) hingga furnitur (meja, kursi, rak, dsb), air dari sumber mata air yang ada di hutan, batu-batu w.tuk bangunan rumah, getah pinus untuk dijual kepada Perhutani, dan lahan untuk bertani.
Selama bertahun-tahun, penduduk mengakses berbagai sumberdaya alam dari hutan &dung. Bagi penduduk Desa Ngargomulyo, akses ke hutan sudah menjadi satu keharusan. Bahkan menjadi suatu ritual tersendiri temiama untuk kegiatan mencari rumput pakan t e n d . Ungkapan seperti: "Badan rasanya pegal jika tidak ngaril (men&
rumput) di hutan" atau "Saya tidak betah tinggal di
barak pengungsian (ketika Merapi sedang dalam status awas - peneliti), seperti binatang saja, tidak melakukan apa-apa dan hanya diberi makan. Lebih baik saya pulang dan ngarit"' menunjukkan bahwa mencari rumput di hutan bukan sekadar untuk memberi makan temak. Ada yang lebih dari itu, mereka merasakan ngarit sudah menjadi bagian dari keseharian aktivitas bahkan menjadi salah satu kebutuhan biologis ("badan
menjadi pegal"). Ngarit juga menunjukkan
keberadaan mereka sebagai manusia seolah ungkapan tersebut menjadi "Saya
ngarit maka saya adam.:VK, seorang tokoh aktivis lingkungan yang juga adalah pastor paroki di Kecamatan Dukun menyebut ngarit sebagai agama mereka. Sebagai bagian dari kegiatan keseharian, ngarit memiliki nilai ekonorni bagi penduduk Ngargomulyo. Profil PS (Lihat Boks 4) memperlihatkan bahwa mencari rumput sudah menjadi bagian dari kehidupannya karena marnpu memenuhi kebutuhan ekonomi d& keberadaan dirinya sebagai penduduk yang tinggal di lereng Merapi. Bagi penduduk Ngargomulyo, memberi pakan temak sapi berarti juga menabung. Mereka menyebut sapi sebagai "BRI" (menyitir Bank Rakyat Indonesia) mereka. Selain untuk memenuhi kebutuhan pribadi, betemak sapi di Ngargomulyo juga
memiliki
dimensi sosial karena merupakan wujud
kebersamaan, saling tolong menolong antara yang mampu dan yang kurang mampu melalui sistem nggadon atau bagi hasil. Boks 4. Profil Petemak Sapi P.S. (32 tahun) lahir di Lampung. Ia adalah generasi ke dua dari masyarakat Ngargomulyo yang ditransmigrasikan ke Lampung di tahun 1960-an. Pendidikannya hanya sampai tamat SMP. Ia kemba!i ke lereng Merapi, menikah, dan memiliki satu anak perempuan berumur 4 tahun. Ia kini menjalani aktivitas kehidupan seperti yang dialami orang tuanya dulu, menjadi petani dan petemak dengan keseharian mencangkul, mencari rcncek, dan itgarit. Lahan warisan P.S. seluas % hektar yang ditanami sayur mayur dan % hektar di perbatasan hutan lindung yang ditanami sengon, nangka, dan rumput. Untuk kebutuhan pakan 4 ekor sapinya, dalam sehari P.S. memerlukan 2 ikat rumput (1 ikat rumput beratnya sekitar 50 kg). Ngarit bagi P.S. ibarat menabung. Jika harga 1 ikat rumput Rp 5000,- maka dalam sehari ia menabung Rp 10.000,-. Harga sapi yang layak
jual sekitar Rp 4-5 juta, jika kualitas sapi dinilai bagus, harganya bisa mencapai Rp 9 juta. Sapi-sapi itu sebenarnya buk& milik P.S. pribadi melainkan milik orang lain. Kelak jika sapi itu laku dijual, hasil nya dibagi dua. Cam seperti ini disebut tzggudon atau bagi hasil. P.S. beruntung karena 2 sapinya bisa diperah dan pemiliknya memperbolehkan P.S. mengambil susu perahannya. Dalam sehari sapi-sapi itu menghasilkan 12 liter susu (hasil perahan pagi dan sore) dengan harga satu liter Rp 2000,O Di Ngargomulyo ditemukan adanya pembukaan lahan di hutan lindung untuk budidaya tanaman cabe. Siapa yang memulai pertama kali talc jelas benar. Namun, ketika bubak (membuka lahan ban?) di hutan kemudian mendatangkan hasil yang lebih menguntungkan dibanding dengan h a i l yang selama ini diperoleh dari kebun sendiri maka yang lain kemudian mengilruti. Kisah Smn (45 th) pada Boks 5 memberikan pemahaman bahwa negara sebenarnya mengakui keberadaan mereka dan turut mengambil keuntungan secara tidak langsung. Dalam perspektif rezim proper@ right, mereka inilah para perambah hutan mereka yang mengakses sumberdaya alam secara ilegal - dan berdasar ketentuan perundangan dapat dikenai sangsi karena dianggap telah melakukan tindakan kriminal. Namun, apakah kriminalitas itu? Kriminalitas adalah persoalan perspektif seseorang yang mendasarkan hubungan antar aktor hukum atau bentukbentuk lain peraturan atau sangsi sesuai praktik-praktik hukum konvensional (Peluso 1992; Thompson 1975; Hay 1975 dalam Peluso dan Ribot 2003). Pemahaman terhadap tindakan perambahan hutan lindung seperti yang dilakukan Smn dan penduduk Ngargomulyo lainnya dari perspektif "yang lain" akan memberikan suatu pendapat ban?. Smn terdesak kebutuhan ekonomi yaitu biaya pendidiian yang tinggi. Ia sadar pentingnya memberikan bekal pendidikan pada anak-anaknya. "Zamamiya sudah berbeda. Jika dulu tidak sekolah tidak apa-apa, kalau sekarang sekolah itu jadi keharusan" ujar Smn yang tidak pemah mengenyam pendidiian sekolah. Mandor
Perhutani
RPH
Nggumuk
mengaku
sangat
memahami
pernasalahan ini kareIja ia adalah warga tetangga desa. Sebagai mandor ia bemigas menjaga agar peraturan ditaati, namun untuk menjaga hubungan bertetangga - karena yang melanggar adalah tetangganya sendiri atau bahkan bisa jadi saudaranya, apa yang bisa dilakukannya adalah menjaga hubungan dengan para perambah hutan atau pelanggar peraturan. Bersikap permisif adalah pilihan yang diambil Perhutani. Kebijakan dilematis ini diambil dengan pertimbangan:
Perhutani belum memiliki kapasitas untuk merehabilitasi lahan bekas kebakaran, akan lebih baik dijadikan kebun daripada dijadikan lahan pertambangan karena kerusakannya akan lebih parah. (Asisten Perhutani Bagian Magelang, 4 Juli 2006, Komunikasi Pribadi). Pemyataan ini menjelaskan bahwa antara Perhutani dan perambah sebenamya sama-sama memperoleh keuntungan dari pembukaan lahan di hutan lindung. Fakta ini menegaskan bahwa pemerintah sendiri sebenarnya turut berperan dalam mekanisme akses lahan di hutan lindung di Ngargomulyo. Fenomena yang terjadi pada masyarakat yang tinggal berdekatan dengan hutan lindung RPH Nggumuk seperti pada masyarakat petani petemak di Desa Ngargomulyo sebenamya bukanlah hal baru. Menurut Brockelman er al. (2003) fenomena ini terjadi di hampir semua tempat terkait dengan kawasan lindung atau taman nasional dimana masyarakat menlanfaatkan hubungan sosial dan kesamaan identitas dengan petugas untuk mengakses smberdaya dam. Sementam itu, kondisi dilernatis acap 'membuat para petugas itu sendiri mengalami '"teka~an sosial" untuk menghindari konflik. Strategi yang dipilih para petugas itu biasanya adalah tidak mempedulikan adanya pelanggaran dan berdamai dengan para pelanggar yang adalah tetangganya sendiri atau bahkan ada yang saudaranya. Pernasalahan ini menjadi salah satu k o d i k potensial dalam pengelolaan TNGM. Boks 5. Profil Perambah Hutan Lindung Smn (45 tahun), penduduk Dusun Tanen, desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupateu Magelang yang menjadi perambah hutan lindung sejak tahun 2004. Di dusunnya, menjadi perambah hutan lindung adalah ha1 yang lumrah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Kondisi hutan lindung ketika itu terlanlar akibat kebakaran, pohonpohon pinus pun tumbang sementara Perhutani belum melakukan upaya rehabilitasi. Bersama dengan suaminya, Smn mulai bubak (membuka lahan). Keja kerasnya membuahkan hasil berupa kebun cabe seluas 5 ksok (1 kesok = sekitar 800 meter persegi). Dibandingkan dengan kebun milik Smn di dekat rumahnya, kebun di hutan lindung lebih menjanjikan karena tanahnya lebih subur. Perhitungannya berdasarkan jumlah benih cabe yang ditanam. Jika di hutan lindung bisa 10 bungkus benih cabe, di kebun hanya 2 bungkus dengan hasil panen tidak sampai sekuintal. Meski begitu, setidaknya Rp 10 juta rupiah hams ada di tangan untuk berkebun di hutan lindung. Dana ini diperlukan untuk biaya beli bibit, plastik penutup tanah, buruh cangkul dan buruh panen. Dari hasil berkebun di hutan, Smn membiayai pendidikan ketiga anaknya. Anaknya yang pertama berhasil lulus SMA dan kini bekerja di sebuah pabrik di Jakarta. Yang kedua lulus STM, sudah 6 buian ini menyusul kakaknya ke Jakarta untuk mencari pekerjaan namun tak juga berhasil. Smn berharap ia pulang saja ke desa untuk bertani namun anaknya menolak. Kini Smn tinggal membiayai si bungsu yang masih sekolah di SMP. Berita dari mandor Perhutani bahwa hutan lindung akan dijadikan TNGM membuatnya kawatir tidak bisa lagi nasuk hutan. Sebelumnya sang mandor rnetnbiarkan
saja ia mengolah kebun di hutan asalkan tidak menebang pohon pinus dan menanam pohon akasia di sekitar kebun. Sejak berita tentang TNGM, Smn tak lagi menebar benih cabe. Ia kini mengisi waktu luang dengan menganyam kepang (lembaran dari anyaman bambu). Bambu ia peroleh dari pinggiran jurang atau sungai di hutan lindung. Satu kepang anyaman bambu dengan lebar 5x5 meter bisa diselesaikan Smn dalam waktu satu minggu. Jika tidak dijual ke tetangga sekitar ada saja orang dari daerah lain datang untuk membeli kepang. Satu kepang biasanya sekitar Rp 20 ribu - Rp25 ribu. Dalam sebulan rata-rata ia bisa rnemperoleh sekitar Rp IOOribu dari menganyam dan menjual kepang. Ia memang tak bisa berharap banyak dari pendapatan ini, namun ia berharap masih diperbolehkan masuk ke hutan lagi. "Kalau ditutup, kami makan darimana?", tanya Smn. Dalam dokumen Rencana Pengelolaan TNGM Periode 2005-2024 yang disusun BKS.DA DIY dan Pusat Studi Agroekologi (2005), para perambah hutan lindung di Ngargomulyo disebut sebagai Kelompok Masyarakat Petani Hutan (KMPH). Rencana un@k menangani para perambah terkait dengan keberadaan TNGM adalah sebagai 'berikut: (1) Menyusun petunjuk teknis. Petunjuk teknis yang dimaksud adalah aturan-aturan yang h a m dilaksanakan oleh para perambah dalam melalcllkan kegiatan usaha tani dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pemrugaatan sumberdaya kawasan TNGM. (2) Memberikan penyuluhan dan persuasi. ~ e n ~ u l u hkepada h perambah ditujukan dalam tiga bidang utama yaitu peraturan-peraturan baku dari pemerintah tentang kegiatan-kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan dalam kawasan TNGM termasuk pemasyarakatzin petunjuk teknis tersebut di atas, teknik-teknik usaha tani yang baik dan benar (termasak memasukkan pentingnya konservasi) dan peningkatan pengetahuan (Ian ketrampilan masyarakat dalam usaha yang tidak berdasarkan pada lahan (altematif sumber pendapatan). (3) Menciptakan kegiatan altematif yang tidak membutuhkan lahan. Tujuan u t m a dari kegiatan-kegiatan yang tidak terlalu menggtintungkq pada lahan ini adalah memberikan altematif pendapatan petani di luar usaha tani. (4) Program resettlement (pemukiman kembali). Program ini disarankan untuk penanganan perambah setelah diberi kesempatan selama jangka waktu tertentu (5-10 tahun) untuk memanfaatkan lahan yang dirambahnya. Jangka waktu tersebut harus jelas dalam Petunjuk Teknis yang disusun TNGM dengah melibatkan masyarakat atau diperkuat dengan Surat Perjanjian antara TNGM dengan para perambah. (5) Penegakan hukurn. Prioritas utama penegakan hukum akan dilakukan terhadap para pelaku perambahan yang tidak mau meninggnlkan kegiatan dalam kawasan setelah upaya-upaya persuasi
dilaksanakan cukup lama. Rencana memang sudah tersusun rapi, namun bagaimana sosialisasi clan detil pelaksanaan perlu diejawantahkan lebih lanjut. Juga perlu dipertimbangkan kompensasi kepada penduduk sementara selagi mereka beralih matapencaharian. Kawasan pertambangan pasir Sungai Putih terletak di Dusun Jurangjero; Desa Ngargosoka, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Menurut pembagian zonasi wilayah TNGM, kawasan pertambangan pasir Sungai Putih ini termasuk dalam zona pemanfaatan p3sir. Jaraknya dari jalan raya Yogyakarta - Magelang kurang lebih delapan kilometer. Waktu tempuh dengan truk sekitar 90 menit. Antara lokasi penambangan satu dengan yang lain dibatasi dengan dump. Pelaksanaan penambangan dilakukan melalui kejasama ant&a pemilik SIPD dengan pemilik alat-alat berat. Bahan galian yang ditemui di kawasan ini adalah pasir kerikilan, kerakal-berangkal, bongkah dan lava yang bersifat andesit. Sungai Putih adalah salah satu daerah sebaran bahan galian di kawasan Gunung Merapi selain sungai Pabelan, Apu, Trising, Senowo, Larnat, Batang, Blongkeng, Bebeng, Krasak dan Woro (Dinas Pertambangan Jateng dan Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional UGM 2000). Kegiatan usaha pertambangan pasir di kawasan ini termasuk dalam Bahan Galian Golongan (BGG) C yaitu terdii dari andesit, trass, manner, kaolin, oker, tanah liat, pasir darat, pasir batu, tanah diatome, diorit, tanah urug, pasir kwarsa, dan granit (Perda Kabupaten Magelang No.2312001). Boks 6. Aktivitas Goro Goro menguasai tiga mekanisme akses sumberdaya alam secara sekaligus; yaitu: (1) Identitas sosial. Goro,adalah perkumpulan dari para penambang manual dan buruh penambang pasirlpenylenggrong. Semua penylenggrong yang hertugas menaikkan pasir ke truk di kecarnatan Srumbung dan Salam yang berjumlah sekitar 300 orang adalah anggota Goro yang ditunjukkan dengan kartu identitas anggota. Setiap kali bekerja, para anggota wajib membawa kartu identitas tersebut. (2) Buruh dan peluang buruh. Siapapun yang ingin menamhang pasir di kawasan peltambangan Srumbung dan Salam pastilah berhubungan dengan Goro. Mekanisme kerjanya sebagai berikut: setiap truk pasir yang melintas akan berhenti di salah satu gardu Goro. Gardu Goro ada di tiap 5 meter sepanjang jalan menuju lokasi tambang. Masing-masing gardu menyediakan beberapa buruh penylenggrong yang kemudian menjadi langganan. Mereka mengistilahkan "langganan truk". Harga buruh disepakati di gardu ini. Biasanya sekitar Rp15.000,- per orang. Satu truk biasanya membutuhkan tenaga 4-5 orang tergantung besar kecilnya truk. Untuk layanan penyediaan tenaga ini, pengemudi truk membayar Rp 2000,- kepada Goro. (3)Hubungan sosial. Tak bisa dipungkiri bahwa Goro berhasil meningkatkan kesejallteraan masyarakat buruh penylenggrong. Keberhasilan ini meningkatkan rasa ketergantungan anggota. teihadap organisasi. Pengums Goro sendiri menyadari pentingnya anggota bagi keiangsungan organisasi mereka. Untuk memelihara hubungan
anggota, setiap tahun sekali Goro meinberikan fasilitas asuransi kecelakaan kerja di lokasi tamhanag, membantu kelahiran, dan memberikan paket leharan berupa beras 5 kg, sirup, gula pasir I kg, dan minyak goreng. Setiap bulannya Goro memberikan subsidi beras masing-masing sebanyak 5 kg untuk 562 keluarga anggota Goro yang dikategorikan tidak mamou. Boks 6 memperlihatkan bagaimana aktor Goro menguasai akses sumberdaya dam di kawasan pertarnbangan pasir Sungai Putih, Dusun Jurandsrc, Desa Ngargosoka. Goro memperkuat dirinya melalui legitimasi yuridis berupa akte sebagai organisasi berbentuk Yayasan yang diperkuat dengan pencantuman Bupati K ~ a l Daerah a Kabupaten Magelang selaku pelindung. Goro juga memiliki legitimasi sosial berupa pemberian perlindungan bagi pekeja tambang. Hasil penelitian yang dilakukan Dinas Pentarnben Jawa Tengah dan UGM pada tahun 2000 memperlihatkan selama 24 jam jalur ke arah kawasan pertambangan sungai eutih (Prebutan-Salamsari-sungaiPutih dan Gulon-SokaSalamsari-sungai Putihftelah dilewati colt diesel sebanyak 79-171 buah per hari, ceketer sebanyak 25-97 buah per hari, fuso dan sejenisnya sebanyak 151-223 buah per hari, tronton banci sebanyak 22-53 buah per hari, dan tronton jumbo 93-163 buah per hari. Sedangkan jalur ke arah kawasan pertarnbangan di sungai Bebeng (Salam-sungai Bebeng)' dilewati jenis truk colt diesel berkisar antara 340-475 buah perhari. Pemasukan perhari Goro dari penarikan ongkos langganan buruh bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Kawasan wisata Kaliurang ibarat kue yang menggiurkan. Banyak aktor berperan di sana dm, mengambil keuntungan. Mereka adalah (1) Pemda Kabupaten Sleman yang mengelola gerbang pintu masuk kawasan wisata melalui BPKKD dan sebagian fasilitas wisata melalui Diparbud; (2) PD Anindya yang mengelola sebagian fasilitas wisata serta tempat p a r k , dan pembagian air untuk kawasan Kaliumng (3) {DishutbunDIY yang mengelola retribusi Taman Wisata Alam Plawangan ~ u r ~ (4) o ; Swasta pemilik penginapan dan jasa boga. Dari data jumlah wisatawan yang berkunjung, terlihat jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan bahwa lokasi wisata Kaliurang memang adalah tempat yang menarik untuk berwisata. Pendapatan para aktor dari akses tersebut diperlihatkan dalarn sub'bab berikut.
4.4.2. Dominasi Akses Surnberdaya Alam di Tiga Kawasan Studi Sebelum menjadi TNGM, kawasan Merapi adalah kawasan konservasi dengan h g s i hutan lindung. Sebagai stale properly, akses sumberdaya alam di kawasan ini didominasi oleh pemerintah. Seturut tatanan rezim properti, ketiga hak akses sumberdaya alam seperti hak pengelolaan, pemanfaatan, dan peruntukan sumberdaya dam dikuasai oleh pernerintah yang dalam h d ini adalah Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dan BKSDA. Sementara masyarakat hanya memiliki hak untuk memasuki dan rnemanfaatkan sumberdaya dam. Namun, state property hanya secara de yure bersifat public property. Secara de
facto, stale property menjadi open access (Adiwibowo 2006). Ini terbukti dengan adanya masyarakat yang mampu melakukan budidaya di hutan lindung ataupun melakukan aktivitas penknbangan pasir. Pengamatan terhadap penguasaan akses sumberdaya alam di tiga kawasan studi dengan pendekatan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) menghasilkaa gambaran sebagai berikut: di kawasan dengan karakter mata pencaharian utama petani-peternak (rezim organik alam) yang berlokasi di dekat hutan lindung ymg dikelola Perhutani, masyarakat merniliki mekanisme hubungan sosid dan identitas sosial untuk mengakses sumberdaya alam di hutan lindung berupa rumput, rencek, bambu, dan lahan. Mereka rnernanfaatkan kedekatan sosial dengan mandor Perhutani. Di kawasan dengan karakter matapencaharian pariwisata alam (rezim kapitalis), pemerintah mendominasi akses sumberdaya d a m melalui kepemilikan kewenangan. Para pengusaha jasa pariwisata memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya melalui kepemilikan kapital. Pemerintah mengatur pembagian keuntungan atas akses sumberdaya alam melalui kebijakan yang dikelu&kan. Di kawasan dengan karakter pertambangan (rezim kapitalis), Goro mendominasi akses sumberdaya alam secara tidak langsung melalui kepemilikan akses mekanisme buruh dan peluang buruh, hubungan sosial, dan identitas sosial.
4.4.3. Keadiian Akses di Tiga Desa Konsep keadilan lingkungan (environmental justice) memperlihatkan dampak-dampak yang tidak seimbang yang terjadi akibat gangguan pada
lingkungan komunitas yang rentan seperti komunitas kulit henvama, orang-orang yang secara sosial ekonomi terpinggirkan, dan masyarakat di negara berkembang. Menurut Bell (1998), keadilan sosial menganalisis pola-pola ketidakmerataan distribusi barang-barang lingkungan. Pola-pola ini biasanya erat kaitannya dengan ketidakmerataan pendistribusian kesejahteman. Menurut USEPA, keadilan lingkungan didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan pelibatan semua orang tanpa memandang ras, wama, asal bangsa ataupuan pendapatan demi pembangunan, penerapan dan penegakan hukum dan kebijakan lingkungan. Perlakuan yang adil berarti bahwa tidak akan ada kelompok - termasuk ras, suku atau kelompok sosial ekonomi - yang harus menanggung perolehan yang berbedabeda akibat konsekuensi negatif lingkungan yang dihasilkan oleh industri dan kegiatan perdagangan atau dari program-program yang diputuskan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Magelang memberikan ijin eksploatasi pertambangtln pasir batu di sungai Putih yang terletak di Dusun Jurangjero, Desa Ngargomulyo memberikan dampak sosial dan ekonomi pada masyarakat lokal. Beberapa permasalahan yang muncul: (1) Kecemburuan sosial terhadap penambang pendatang. Menurut hasil studi Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah dan Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional (P4N) UGM (2000), di lokasi pertambangan pasir dan batu di Sungai Putih (Kecamatan Srumbung) dan Sungai Senawa (Kecamatan Dukun), sebagian besar tenaga keja pertambangan (83,3%) berasal dari luar desa sekitar lpkasi pertambangan atau penambmg pendatang. Jumlah penambang lokal at& penduduk asli hanya sebanyak 16,7%. Penambang pendatang berasal dari desa-desa lain yang termasuk dalam kecamatan Srumbung maupun Dukun, namun yang lebih banyak berasal dari luar daerah, bahkan ada yang berasal dari luar Kabupaten Magelang, yakni dari Temanggung. Di antara dua lokasi pertambang& ini, jumlah penambang pendatang o'i Srumbung (76,7%) lebih besar daripada di Dukun (63,3%). Fenomena ini memicu berdirinya Goro di tahun 1995. Kemunculan Goro menyeiesaikan persoalan yang satu tapi sekaligus memunculkan persoalan baru yaitu aksi premanisme Goro yang kurang mendapatkan sinlpati masyarakat.
(2) Rusaknyajalur transp~rtasidan infrastruktur seperti jembatan, jalan, dan kerusakan sabo dam. Pada bulan Nopember 1998 - Oktober 2000 kerugian akibat aktivitas penambangan pasir disajikan dalam tabel 12 berikut: Tabel 12.
Kerugian atau biaya langsnng yang dibayar pemerintah di kawasan pertambangan Merapi di ~ a b u ~ a t Magelang eu Macam Beban Nilai (Rp) Kerusakan jembatan 66.750.000 Kerusakan jalan Pemeliharaan sabo dam Penyusutan sabo dam Kemgian lingkungan lain 10% 4.755.194.444 Jumlah 47.55 1.944.444 ~
-
Sumber: Studi Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah dan P4N UGM, 2000
Perhitungan Net Present Value terhadap pendapatan dan kerugian aktivitas pertambangan pasir di kawasan Merapi memperlihatkan bahwa pada tahun 2006, estimasi pendapatan Pemda kab. Magelang dari retribusi pertambangan pasir sebesar Rp.12.158.803.340,50. Sementara estimasi kerugian akibat aktivitas pertambangan pasir Rp.101.327.541.805,OO (kemsakan jalan, jembatan, sabo dam, kemgian lingkungan lain). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan pasir sebknarnya lebih banyak mendatangkan kemgian ketimbang keuntungan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang. (3) Penurunan debit air. Meskipun belum ada kajian ilmiah mengenai berapa penurunan debit air, para petani sudah merasakan sulitnya ngelep sawah (mengairi sawah selama beberapa jam) terlebih di musirn kemarau. Ketika penelitian lapang dilakukan bulan Juli 2006, petani di Desa Ngargosoka terpaksa
ngelep sawah dengan cara meminjam saluran irigasi dari Desa Ngargomulyo. Untuk jangka waktu tertentu, saluran irigasi di Desa Ngargomulyo dibelokkan ke Desa Ngargosoka. Menurut Kepala Desa Ngargosoka, cara ini tidak pemah dilakukan sebelum kegiatan pertambangan aktif. Meski begitu, sulit baginya untuk meminta agar pertambangan itu dihentikan karena sekitar 40% penduduknya menambah penghasilan sebagai buruh penylenggrong. Kesulitan air ini juga membuat petani tidak berani menanam padi dua kali dalam setahun seperti yang dulu biasa dilakukan.
Di kawasan wisata Kaliurang di Desa Hargobinangun, beberapa bentuk ketidakadilan akses terhadap jasa lingkungan nampak pada pendapatan antar aktor. Pendapatan Pemda Sleman, Dishutbun DIY, dan PD Anindya selama lima tahun terakhir bisa dilihat secara bertumtan dalam tabel-tabel berikut (Lihat Tabel 13-Tabel 18): Tabel 13. Tahun
Pendapatan Pemda Kab. Sleman Dari Pengelolaan Gerbang Pintu Masuk Kawasan Kaliurang Target (Rupiah) Realisasi (Rupiah) Lembaga Pengelola
2000 2001 2002 2003 2004
-na644.838.000 660.600.000 602.000.000 602.000.000
-na585.623.237,5 630.42 1.603,O 499.838.200,O 522.903.100,O
2005
600.000.000
484.007.650,O
-naDisparbud Disparbud Disparbud Disparbud hingga sekitar pertengahan tahun kemudian dialihkan ke BPKKD BPKKD
Catatan:
Besar retribusi per orang (dewasa) Rp 500,- (Jasa Raharja Rp loo,-); anak Rp 250,- ;mohil Rp 500,-; bis Rp 1000,-; motor Rp 200,- (Berdasarkan Perda 1996) Sumber: BPKKD Pemda Kab. Sleman, 2006 Tabel 14. Tahun
2003 2004 2005
Pendapatan Pemda Kab. Sleman Dari Pengelolaan Fasilitas Wisata di Kawasan Kaliurang Melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Becak Air, Pangeung Sewa Kios Perii inan -- Seni, Toilet di Tlogo Putri Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi ( R U G ) (Rupiah) (RUG) (Rupiah) (~u$ah) (Rupiah)
-na2.000.000 4.000.000
3.186.000 2.001i.000 4.045.000
-na15.000.000 20.000.000
12.679.600 20.480.700 21.170.700
-na135.000.000 100.000.000
-na132.l88.000 100.582.500
Catalan:
Data tahun 2000-2002 tidak dicanhmkan karena ketidaktersediaan data di kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pemda Kab. Sieman Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pemda Kab. Sleman, 2006 Tabel 15.
~endapatan!Dinas Kehutanan dan Perkebnnan DIY dari pengelolaan retribusi di TWA Plawangan - Turgo. -
Tahun
Pengunjung Domestik
Jumlah
Pendapatan (Rupiah)
139.330
69.665.000
Asing
2005 131.152 8.178 Sumber: Resort Pengeloiaan Hutan (RTH)Kaliurang, 2006
Tabel 16.
Pendapatan PD Anindya dari Pengelolaan Fasilitas Wiwtta di Kaliurang dau Tlogo Putri
Tahun
Taman Rekreasi @ 5000 (Rupiah) 716.755.000
2000
Kolam Renang Anak Kaliumng @500 (Rupiah) -na-
Kolam Renang Tlogo Puhi a3500 - (Rupiah) -na-
Cataton:
Belum termasuk pendapatan dari persewaan kios, mainan anak, dan toilet karena ketidaklengkapan data Sumber: PD Anindya KaIiurang,2006
Tabel 17. Tahun
2005
Pendapatan PD Anindya dari Pengelolaan Parkir dan Penarikan Ongkos ~ r a ~ Angkutan $k ~ m u ~ha l i u r a n d - ~ ~ a k a r t a Parkir Taman Rekreasi Parkii Tlozo Putri Onekos Trwek (Juta Rupiah) (J& ~ u ~ i r ; h ) (Juta ~upiah) Motor Mobil Bus Motor Mobil Bus Colt Bus @l500 a3000 @6000 @1500 @JOOO a6000 @,I000 @jOOO
5.331,O
12.117
0,720
89.827,5
109.422
16.482
3.716
4.386
Sumber: PD Anindya Kaliurang, 2006
Pendapatan PD Anindya dari Penjualan Air Minum di Kaliurang Meter Kubik Terjual Pendapatan @ 1000/meter kubii (Rupiah) 2000 294.160 294.160.000 304.3 17.000 2001 304.317 2002 322.675 322.675.000 2003 345.148 345.148.000 379.264.000 2004 379.264 378.025.000 2005 378.025 Catatan: Pendapatan tersebut dipotong rehibusi ke Dias Pertambangan Pemda Kab. Sleman sebesar+Rp25,- per meter k u b i Sumber: PD Aniidya, Kaliurang 2006 Tabel 18. Tahun
Perbandingan pendapatan keempat aktor yaitu BKSDA DIY, Dinas Kehutanan clan Perkebunan DIY, Pemda Kabupaten Sleman, dan PD Anindya yang melakukan aktivitas di bidang jasa pariwisata di kawasan wisata Kaliurang
tersebut dipengaruhi juga oleh aktivitas Gunung Merapi. Berikut ini adalah gambaran perbandingan pendapatan antar ketiga aktor pada tahun 2004 dimana kondisi Gunung Merapi relatif normal: Tabel 19. Perbandingan Pendapatan AMor di Kawasan W i t a Kaliurane- di Tahun 2004 Aktor Tanggungjawab Pendapatan (Rp) Pengelolaan CA Plawanean Turzo BKSDA DIY v Dishutbun DIY ~engelolaanhutan lindung dan 48.764.800 penarikan retribusi TWA Plawangan Turgo Pemda Kabupaten Pengelolaan gerbang pintu masuk 677.571.700 Sleman melalui BPKKD dan sebagian fasilitas wisata melalui Diparbud PD Anindya Pengelolaan sebagian fasilitas wisata*, 1.096.669.500 Pengelolaan parkir, Pengelolaan air minum
-
*Belumtermasuk pendapatan dari persewaan kios, mainan anak, dan toilet karena ketidaklengkapan data Sumber: Dishutbun DIY, BPKKD Kab. Sleman, Diparbud Kab. Sleman, PD Anindya, diolah (2006)
Tabel 19 memperlihatkan bahwa pendapatan terbanyak diperoleh PD Anindya yaitu sebesar Rp 1.096.669.500,OO. Sementara pendapatan paling s e d i i t adalah Dishutbun yaitu Rp 48.764.800,OO. Ketimpangan pendapatan ini menimbulkan kecemburuan mengingat peran Dishutbun DIY yang besar dalam pengelolaan hutan lindung. TNGM dianggap mampu mengakomodir kebutuhan akan dana pengelolaan kawasan konservasi yang terbatas (Pemda DIY dan Jateng 2002). Perubaban status kawasan dari hutan lindung menjadi TNGM disambut dengan antusias oleh Dishutbun DIY. Ungkapan ini tergambar pada profil Mantri Kawasan Resort Pemangku Hutan Kaliurang sebagsirnana disajikan pada boks 7 berikut ini: Boks 7. Profil Shr, Mantri KRPH Kaliurang Shr (45 th) berbadan tegap dan b e r b i m tegas. Ia hapal benar setiap petak hutan lindung di kawasan Merapi yang berada di bawah tanggung jawabnya."Perubahan stam Rawasan komervasi menjadi INGM ini menggembirakan karena rnengurangi beban saya sebagai pengelola hutan lindung. W n g saya merasa kmja saya tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Saya term melakukan upayci pemeliharaan hutan lindung dun rehabilitasi namun pihak lain yang memetik hasilnya. Saya bahkan harus membeli air yang diambil dari sumberrnata air Umbul Wadon yang ada di petak 19': ungkap Shr. Ia juga mengeluhkan biaya retribusi ke kawasan wisata yang terlalu murah yaitu Rp 500,- per orang berdasarkan ketstapan pemerintah daerah. Angka ini memang jauh di bawah tarif rata-rata pengunjung taman nasional sesuai Peraturan Pemerintah No.5911998 sebesar Rp15.000,.. per orang untuk wisatawan mancanegara dan Rp 1.650,-
7
-
untuk wisatawan domestik. Di tengah kesibukan pasca letusan Merapi, hari itu saya diajaknya patroli ke kawasan hutan lindung dengan menggunakan mobil pick up. Shr mernperlihatkan kerusakan-kemsakan pohon yang disebabkan oleh para wisatawan. Ada beberapa batang pohon yang dipaku untuk keperluan pemasangan fasilitas outbond. Ada juga pohon yang sengaja dimatikan dengan cara digeret batangnya. Tujuannya agar mmput di bawah tegakan bisa tumbuh lebih subur. Selanjutnya Shr mengajak saya meiihat daerah perbatasan yang nampak rapi ditanami jajaran pohon bambu. Batas alam ini untuk memisahkan antara kawasan hutan lindung dan pemukiman penduduk. Selang beberapa meter nampak beberapa rongga pada pagar bambu yang sengaja dibuat warga untuk masuk ke hutan. Kami sempat memergoki seorang ibu baru keluar dari hutan dengan gelondong kayu yang digergkji rapi di pul?ggungnya. Shr menegur ssmbil menjelaskan bahwa apa yang dilakukan itu melanggar peratumn. Ia juga mengundang ibu itu untuk hadir di pertemuan berkala yang membahas tentang berbagai persoalan desa temasuk konservasi hutan. Di tengah perjalanan pulang Shr bergumam soal kemsakan hutan lindung "Seandainyapohon-pohon itu bisa bicara, pasti mereka mettongis".
4.4.4. Ikhtisar Mekanisme akses sumberdaya darn yang dominan di Desa Ngargomulyo adalah hubungan sosial dan identitas sosial. Masyarakat memanfaatkan hubungan kekerabatan dengan petugas untuk memperoleh sumberdaya alam seperti lahan di hutan lindung yang semestinya adalah tindakan ilegal menurut undang-undang. Meskipun kegiatan ini ilegal namun sikap Perhutani adalah permisif karena mereka memperoleh keuntungan juga dari aktivitas ini yaitu rehabilitasi lahan bekas kebakaran serta perlindungan hutan lindung dari kegiatan yang dirasa lebih merusak yaitu pertarnbangan pasir. Fenomena yang terjadi pada masyarakat yang tinggal berdekatan dengan hutan lindung RPH Nggumuk seperti pada masyarakat petani peternak di Desa Ngargomulyo sebenamya bukanlah ha1 baru. Menurut Brockelman et al. (2003) fenomena ini terjadi di hampir semua tempat terkait dengan kawasan lindung atau taman nasional dimana masyarakat memanfaatkan hubungan sosial dan kesamaan identitas dengan petugas untuk mengakses sumberdaya dam. Sementara itu, kondisi dilematis acap membuat para petugas itu sendii mengalami "tekanan sosial" untuk menghindari konflik. Strategi yang dipilih para petugas itu biasanya adalah tidak mempedulikan adanya pelanggaran dan berdamai dengan para pelanggm yang adalah tetangganya sendiri atau bahkan ada yang s a u d m y a Sikap permisif ini bisa jadi menimbulkan konflik saat pergantian manajemen
pengelola hutan terjadi. Pernasalahan ini menjadi salah satu konflik potensial dalam pengelolaan TNGM. Di kawasan pertambangan pasir di Sungai Putih, Dusun Jurangjero, Desa Ngargosoka, Goro yang menguasai tiga mekanisme akses sekaligus yaitu buruh, hubungan sosial, dan identitas sosial nyatanya bisa juga dibubarkan. Kedekatan yang dibangun Goro dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang sebenamya rapuh. Goro melupakan faktor pergantian rezim yang sewaktu-waktu akan mempengaruhi keluaran kebijakan. Rezim pemerintah daerah Kabupaten Magelang yang baru mempergunakan akses kewenangan untuk menata kawasan pertambangan pasir, Menurut Peluso dan Ribot (2003), pergeseran dalarn konteks ekonomi dan politik bisa membuat bebempa jenis akses menjadi usang. Para aktor akan berusaha mengembangkan hubungan sosial baru untuk memperoleh, mempertahankm, ataupun mengendalikan akses sumberdaya. Setelah Goro bubar, muncul Punokawan yang memiliki aktivitas sama. Punokawan mempakan representasi pertahanan para buruh penylenggrong untuk memperoleh kembali akses sumberdayanya di kawasan pertambangan pasir. Di kawasan wisata Kaliurang di Dusun Kaliurang Timur dan Barat, Desa Hargobinangun penggunaan mekanisme kewenangan yang cukup kuat dimilii Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dan Provinsi DIY mempengaruhi perolehan keuntungan sumberdaya. Dishutbun DIY mendukung gagasan penetapan status TNGM di k a m konservasi hutan lindung karena dana pengelolaan tidak seimbang dengan pendapatan yang diperoleh dari retribusi Taman Wisata Alarn.
4.5.
Analisis Konflik Sumberdaya Alam di TNGM
4.5.1. Dimensi Konflik Pro-kontra TNGM di Tiga Kawasan Studi Dimensi konflik sumberdaya alam yang terjadi di tiga kawasan studi berkaitan dengan penetapan status TNGM di kawasan konservasi Merapi disajikan pada tabel 20 berikut :
Tabel 20. Peta konflik di tiga kawasan studi, 2006 Dimensi Kawasan Kawasan Konflik Pemukiman Penambangan Pasir Ngargomulyo S. Putih, Jurangjero
Kawasan Wisata Kaliurang
Isu utama
Akses ke hutan
Akses ke lokasi pettambangan pasir
Akses ke bisnis pariwisata
Kebijakan Pemerintah te*adap kawasan
Menjadikan kawasan pemukiman Ngargomu!yo sebagai kawasan penyangga TNGM.
Menjadikan kawasan penambangan pasir S. Putih sebagai zona pemanfaatan pasir TNGM.
Menjadikan kawasan wisata Kaliurang sebagai kawasan penyangga TNGM.
Respon Tidak setuju. TNGM masyarakat dianggap membatasi terhadap TNGM akses ke hutan untuk merumput, mencari rencek, menderes getah pinus dan bertani.
TNGM dikuatirkan membatasi akses ke lokasi pertambangan. Kekuatiran ini mereda setelah masyarakat mengetahui bahwa kawasan pertambangan pasir S. Putih dimasukkan dalam zonasi pemanfaatan TNGM.
Setuju. TNGM dianggap akan meningkatkan kunjungan wisatawan ke kawasen wisata Kaliurang.
Respon OrnopWOAR dan Organisasi Kemasyarakatan terhadap TNGM
Pasag Merapi dan GMCA: tidak setuiu dengan proses TNGM yang kurang melibatkan masyarakat lokal.
Goro: mendukung Yawama: TNGM TNGM karena tidak dianggap bagian menutup sama sekali dari rencana lokasi pettambangan. pemerintah melakukan kapitalisasi sumberdaya alam.
Kepentingan Ymg dipejuangkan
Masyarakat: akses ke hutan Pemerintah: penyisihan lahan untuk preservasi
Goro: akses penambang manual untuk menambang pasir
Yawama: menolak TNGM yang dianggap sebagai bentuk kapitalisasi sumberdaya alam
Kedalaman konflik
Warga saling menghasut dan membetikan infomasi palsu tentang TNGM
Tidak tejadi gejolak yang berarti. Tidak ada pemicu yang meletupkan konflik.
Masyarakat pelaku wisata setuju dengan TNGM. Sebagian besar menolak ajakan Yawama untuk menolak TNGM.
Dimensi Konflik
Kawasan Pemukiman Ngargomulyo
Luasnya konflik
Pasag Merapi menjalin aliansi (Aliansi Masyarakat Peduli MerapiMerbabu) dengan GrnopL dw. organisasi akar rumput lain di lereng Merapi-Merbabu mengajukan protes menolak TNGM.
Puncak Konflik
Konflik pro kontra TNGM memuncak pada putusan PTUN di Jakarta yang memenangkan pemerintah selaku tergugat. Usaha mkonsiliasi dari pemerintah dilakukan melalui upaya sosialisasi yang terus dilakukan hingga kini. Gejolak konflik sebenamya masih tetap bisa dirasakan di daerah terutama di DesaNgargomulyo.
Solusi Konflik
Pemerintah memberikan sosialiasi kepada perambah hutan namnn tidak memberikan altematif penyelesaian masalah kemiskman eks perambah hutan. Juga tidak memberikan altematif pemecahan masalah pakan temak.
Setelah bertahun-tahun
Kawasan Penambangan Pasir Sungai Putih, Jurangiero Goro turut membantu pemerintah memberikan sosialisasi pada m a s y m k ~tentang t TNGM.
Kawasan Wisata Kaliurang
Yawama mengangkat isu ini bekejasama dengan WALHI mengajukan gugatan kepada Menteri Kehutanan mendesak agar SK penetapan TNGM dicabut.
Pemerintah daerah Kabu~atenMazelanz mengeluarkan serangkaian kebiiakan ~ena&nkawask pertambangan, namun tidak memberikan altematif penyelesaian untuk mengatasi masalah kemiskinan eks buruh pasir.
- -
Kekalahan Walhi dalam putusan PTUN berarti iuga kekalahan Yawama dalam konflik menentang TNGM.
masyarakat merasakan kemudahan mengakses
sumberdaya hutan, kini masyarakat dihadapkan pada kebijakan pemerintah yang sarat dengan ketentuan akan batasan zonasi kawasan. Seperti telah diuraikan
dalam analisis akses sebelumnya, masyarakat di Desa Ngargomulyo m e m i l i i mekanisme akses hubungan sosial clan identitas sosial yang memungkinkan mereka mengakses sumberdaya hutan lindung seperti rumput, rencek, getah pinus, bahkan lahan di hutan liidung untuk bertani cabe. Kebijakan pemerintah yang merubah kawasan hutan lindung menjadi TNGM memicu gejolak masyarakat karena membatasi akses masyarakat ke hutan lindung. Pada ketentuan zonasi
TNGM, ditetapkan bahwa zona pemanfaatan dimana masyarakat diperbolehkan
bertanam m p u t di hutan hanyalah sebatas 100 meter ke dalam hutan. Meskipun untuk mencari rumput masih diperbolehkan masuk ke hutan lebih luas lagi, namun tetap saja ada zonasi-zonasi tertentu yang steril dari manusia seperti zona khusus dan zona inti. Ketentuan pelanggaran terhadap zonasi ini diatur dengan undang-undang. Bagi mereka mencari rumput adalah pekerjaan keseharian yang tidak bisa disepelekan. Bagi masyarakat yang dikelompokkan dalarn masyarakat petani hutan kini tidak dimungkinkan lagi untuk melakukan aktivitasnya. Masyarakat dalam kelompok pencari m p u t clan rencek serta petani hutan inilah yang bereaksi negatif terhadap keputusan penetapan TNGM. Lambatnya infonnasi dan kurang detilnya sosialisasi mengenai TNGM membuat gejolak makin kuat. Semua responden yang ditemui di Desa Ngargomulyo menyatakan bahwa infomasi mengenai TNGM pertama kali diperoleh dari aktivis Omop-L Perdiian. Peralihan status menjadi TNGM di Desa Hargobinangun tidak terlalu menimbulkan gejolak antar masyarakat pelaku wisata. Bagi mereka TNGM diharapkan menarik banyak wisatawan untuk berkunjung. Hasil penelitian yang dilakukan Sutoyo (2003) mengenai persepsi masyarakat di Dusun Kaliurang Timur, Desa Hargobinangun menunjukkan adanya persepsi positif dan negatif terhadap TNGM. Persepsi positif dari masyarakat ditunjukkan dengan pemyataan bahwa: (1) Pendapatan daerah akan meningkat; (2) Lebih memudahkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan; (3) Mendorong berkembangnya obyek dan sarana pendidikan, penelitian dan embinaan cinta alam bagi generasi m u h , (4) Mendorong munculnya obyek wisata baru; (5) Memperluas lapangan kerja; (6)
Sarana transportasi dan komunikasi akan semakin bak, (7) Kawasan Gunung Merapi adalah milik bersama yang harus dilindungi bersama-sama; (8) Kawasan Gunung Merapi memiliki peranan penting sebagai penyangga kehidupan masyarakat di sekitamya; (9) Masyarakat sekitar Gunung Merapi Berkewajiban menjaga kelestarian kawasan Gunung Merapi; (10) Gunung Merapi hanya bisa dijaga kelestariannya dengan menjadikannya sebagai Taman Nasional; (11) Ketidakikutan masyarakat dalam melestarikan kawasan Gunung Merapi a k a memberikan dampak negatif di masa mendatang. Adapun persepsi negatif dari masyarakat antara lain: (1) Masih ada kekhawatiran akan tejadinya penggusuran
dalam pengembangan taman nasional; dan (2) Pemerintah harus menjamin agar masyarakat lokal yang telah lama tinggal di kawasan Gunung Merapi dan sekitarnya tidak merasa terpinggirkan. Banyak persepsi positif dibandingkan dengan persepsi negatif ini pula yang menyebabkan isu penolakan TNGM yang digulirkan Yawama, h o p - L yang berlokasi di sana dianggap tidak seksi. Tokoh pengembang pariwisata kawasan wisata Kaliurang adalah C.A. Ia memulai bisnis pariwisata di Kaliurang dengan membuka sebuah hotel bemama Vogels pada tahun 1983 setelah memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai pelaut. Pengalamannya meliiat pariwisata dam di berbagai negara menarik minatnya untuk melakukan hal yang sama di Kaliurang. Ia merintis wisata treking dan wisata lahar di Gunung Merapi. Ia juga mengajak penduduk lokal untuk turut berpartisipasi dengm meminta kesediaan mereka untuk menjadi tempat singgah
clan menjual makanan tradisional bagi turis rnancanegara di sepanjang mte treking. Christian dan masyarakat pelaku bisnis pariwisata bsik di Kaliurang menyadari bahwa matapencaharian mereka tergantung pada alam. Bencana letusan Gunung Merapi tanggal 19 Juli 2006, menurunkan pendapatan mereka secara drastis. Bagi Dishutbun DIY, TNGM menjadi harapan akan berkurangnya beban tanggung jawab yang mesti diemban yaitu melakukan konservasi sekaligus menarik retribusi. Bagi Pemda Kabupaten Sleman, selama ini kawasan pariwisata Kaliurang telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap APBD. Pengelolaan TNGM bisa jadi mengubah besaran kontribusi APBD Pemerintah Kabupaten Sleman. Di Desa Ngargosoka, isu pro kontra muncul dari kelompok masyarakat penambang pasir yang' mengkuatirkan terputusnya akses mereka ke kawasan pertambangan pasir. Namun isu ini cepat diredam karena mereka berhasil diyakinkan bahwa kawasan pertambangan pasir tetap ada dan menjadi bagian dari salah satu zonasi. Menurut Z.A, salah seorang pendiri Goro, Goro membantu pemerintah dalam sosialisasi pentingnya TNGM untuk konservasi kawasan Merapi. Reaksi dari masyarakat penambang pasir ini berbeda dengan reaksi masyadkat petani di Desa Ngargomulyo. Isu TNGM pertama kali tidak diperoleh dari pemerintah melainkan dari P salah seomng aktivis 0mop-L Perdikan. "Saya tahunya dari media massa, tujuar; saya memberitahu masyaraht Ngcrgomzrlyo
hanyalah mengkonjTrmasi apakah mereka sudah tahu mengenai gagman TNGM aiau belum. Nyaianya belum ada saiupun yang pernah mendengarnya" (P, 20 Agustus 2006, Komunikasi Pribadi). Pelajaran untuk merespon kebijakan pemerintah yang telah dibangun selama beraktivitas dengan GMCA dan Pasag Merapi membangkitkan sikap kritis para petani terhadap gagasan TNGM. Sikap ini kadang d i i i t i oleh emosi yang berlebihan sebagai ungkapan ketidakpuasan etas sosidiasi dari pemerintah yang dirasa kurang. Ada responden yang membayangkan taman nasional nantinya seperti taman yang ditanami dengan bunga-bunga. Ada pula responden yang menyangka bahwa zonasi bemrti jalan lurus menuju ke puncak gunung. Ketidaktahuan penduduk ini dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk mengajak masyarakat melakukan tindakan menentang kebijakan pemerintah yang lainnya. Ketika status Merapi dinyatakan Awas pada bulan Juni-Juli 2006, salah satu sebab keengganan penduduk untuk mengungsi adalah karena adanya isu bahwa perintah mengungsi itu adalah salah satu taktik pemerintah untuk merelokasi penduduk dari desa karena akan dijadikan taman nasional. Pengalaman direlokasi pemah dialami oleh penduduk di Ngargomulyo. Akibat letusan Gunung Merapi pada tahun 1961, Pangdam VII Diponegoro mengeluarkan ~jerintah.yang menyatakan bahwa 11 desa yang terdiri dari 40 pedukuhan dinyatakan sebagai daerah terlarang. Sebanyak 4.5 17 penduduk ditransmigmsikan ke Way Jepara, Lampung Selatan. Tahun 1967, daerah seluas
1.963.278 hektar tersebut dihutankan oleh Perum Perhutani (Kisworo, 2003). Pada masa itu, transmigrasi memang merupakan pola baru yang digagas Suharto sebagai program pemerataan penduduk, memindahkan penduduk dari daerah padat ke daerah baru yang masih kosong. Program ini tidak berhasil karena di tempat yang baru masyarakat tidak bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Banyak transmigran yang kembali pulang ke Merapi (Singarimbun 1980 ddam Pranowo 1985). Salah' satu responden yang ditemui peneliti adalah anak transmigran yang lahir di Lampung. Responden inimengaku lebih betah tinggal di Merapi yang subur dan sejuk d i b a n d i i a n di daerah transmigran. Menurut Kepala Desa Ngargomulyo, Desa Ngargomulyo dulunya berada lebih atas lebih dekat dengan Gunung Merapi. Ia menjelaskan, salah alasan perambahan penduduk
adalah mereka dulu memang pernah tinggal dan memiliki lahan di kalvasan yang sekarang dijadikan hutan lindung.
4.5.2. Penahapan konflik pro-kontra TNGM Reaksi pro-kontra atas terjadinya perubahan mekanisme akses dan hak sumberdaya alam semqnjak penetapan TNGM memicu konflik terbuka antara OrnopL. dm Organisasi akar rumput melawan Pemerintah. Penahapan konflik pro kontra TNGM disajikan pada Gambar 3 berikut ini:
Krisis
pq Pascakonflik
K
Gambar 3. Penahapan konflik pro-kontra TNGM Kejerangan: Prakonflik
Konfrontasi
Krisis
Akibat
: Mempakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih hingga timbul konflik. Dalam kasus ini, muncul ketidaksesuaizn pendapat mengenai bentuk konsewasi untuk kawasan Merapi. : Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksis demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya Dalam kasus prokontra TNGM, ajang konfrontasi terjadi dengan memanfaatkan media cetak (koran daerah) dan media seminar/diskusi. Aksi demonstmi terjadi di kota Yogyakarta di kompleks kantor Gubernur DIY dan sepanjang jalan ~alioboro. : Merupakan puncak konflik ketika ketegangan d d a t a u kekerasan tejadi paling hebat. Tidak ada tindak kekerasan atau vandalisme yang tejadi, Walhi menempuh jalur hukum dengan menggugat Menteri Kehutanan mendesak agar SK penstapan TNGM dicabut.Walhi kalah dalam PTUN. : Kekalahan Walhi membuat para Ornop-L harus membuat agenda baru. Walhi cs membangun kekuatan jaringan untuk tens mengkritisi kebijakan pengelolaan kawasan Merapi. Sementara pihak Pemerintab meneruskan agenda kelanjutan penetapan TNGM.
Pascakonflik
: Gempa' bumi dan letusan Gunung Merapi sempat menghentikan aksi kedua belah pihak. Pengelolaan TNGM mengalami status quo untuk beberapa saat. Balai TNGM terbentuk pada bulan Oktober 2006 lalu di kota Sleman, DIY.
Analisis terhadap pemahaman kejadian antar aktor sebagaimana tersaji pada Tabel 21 memperlihatkan bahwa pihak pemerintah sebenamya tidak terlalu terganggu dengan reaksi kontm terhadap TNGM. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah tidak satupun yang menunjukkan kehendak untuk menyurutkan niat penetapan TNGM. Tabel. 21 Urutan Kejadiau Pro-Kontra TNGM Kejadian menurut pandangan Tahun Kejadian menurut pandangan pemerintah Omop-L Pengelolaan kawasan Merapi 2001 Mengakui perlunys konservasi mengalami masalah dana dan kawian Merapi tapi tidak setuju kelembagaan. Usulan periyelesaian TNGM karena menganggap pemerintah tidak/belum mampu adalah merubah status kawasan menjadi TNGM. menangani pertnasalahan taman nasional.
1. Pemda Prop Jateng dan Pemda Prop. D N membuat kajian pengemhangan kawasan Merapi dan mengakui taman nasional sebagai fungsi konsewasi yang tepat. 2. Melakukan sosialisasi TNGM
2002
1. Mempertanyakan keefektifan TNGM sebagai solusi atas pennasalahan di kawasan konsewasi Merapi. 2.Melakukan sosialisasi menentang gagasan TNGM bersama DPRD di 4 Kabupaten: Boyolali, Klaten, Sleman, Magelang.
Mulai melakukan langkah-langkah menuju TNGM. Membuat kajian kelayakan kawasan ekosistem Gunung Merapi untuk TNGM bekerjasama dengan Fak Kehutanan.
2003
Studi potensi untuk mengkaji bentuk konservasi yang tepat untuk kawasan Merapi.
Merevisi SK Menhut 7012001 menjadi SK 4812004 tentang tidak perlunya persetujuan DPRD untuk pembahan fungsi kawasan lintas Provinsi. Mengeluarkan SK Menhut 13412004 tentang perubahan fungsi kawasan konsewasi Merapi menjadi TNGM seluas i 6410 ha. Mengakui SK 48 terlambat disampaikan.
2004
SK Menhut 134 mengabaikan partisipasi masyarakat. Walhi, DPRD Sleman, Fak Kehutanan UGM menolak penetapan TNGM. Mengadakan aksi demonstmi bersama aliansi 26 Omop-L di kawasan Merapi. Walhi Mengajukan gugatan agar SK Menhut 134 dicabut
Kejadian menurut pandangan pemerintah 1. Memenangkan gugatan Walhi 2. Memhuat MOU untuk pengelolaan TNGM antar 5 Pemda: Yogyakarta, Sleman, Magelang Boyolali, KIaten 3. Melakukan uemetaan zonasi dikerjakan oleh PAU UGM 4. Melakukan penetapan tapal batas TNGM dikerjakan oleh BAPLAN Kantor Balai TNGM herdiri di SIeman bulan Oktoher.
Tahun 2005
2006
Kejadian menurut pandangan Ornop-L 1. Kalah sidang PTUN 2. Mengajukan somasi 2x, tapi gagal
Pemetaan partisipasif untuk mengkaji respon masyarakat terhadap TNGM
Rzncana pembahan status kawasan konservasi Merapi menjadi TNGM diawali adanya inisiatif Gubemur DIY pada saat kunjungan kerja Menteri Kehutanan ke Yogyakarta membicarakan masalah pembangunan kehutanan di Provinsi DN, khususnya rencana pelestarian kawasan hutan Gunung Merapi pada tanggal 11 Juni 2001 (Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY 2004). Dalam pertemuan tersebut Menteri Kehutanan menawarkan usulan peningkatan status kawasan konsewasi Gunung Merapi menjadi Taman Nasional. Usulan ini diterima dan dipelajari oleh Gubernur DIY yang kemudian melakukan langkahlangkah pembentukan TNGM. Pada tahun 2001 Provinsi DIY memiliki kawasan hutan negara seluas 17.064,364 hektar atau 5,36% dari total luas wilayah Provinsi DIY. Kawasan tersebut terbagi berdasakan fungsinya menjadi Hutan Lindung seluas 3.791,3 hektar, Hutan Produksi seluas 12.888,l hektar, dan Hutan Konservasi seluas 465,02 hektar. Kawasan konse~asitersebut meliputi: a) CA Plawangan Turgo diperuntukkan bagi perlindungan hidrologi, klimatologi, biologi, botani, flora dan fauna; b) TWA Plawangan Turgo diperuntukkan untuk melindungi keindahan dam yang dapat dianfaatkan sebagai obyek wisata dam; c) CA Gunung Batu Gampingan diperuntukkan untuk melindungi sisa endapan batu gamping atau perfindungan geologi; dan d) TWA Teluk Baron yang diperuntukkan bagi perlindungan terhadap turnbuhan pantai selatan serta pemandangan dam (Sulistyaningsih 2002). Ketika itu Pemda DIY memang sedang menghadapi
tantangan untuk merumuskan strategi kebijaksaaan sumberdaya alam di wilayah mereka. Permasalahan tersebut adaiah: 1. Telah terjadi perubahan fungsi yang besar pada lahan pertanian karena proses perkembangan kota sebagai konsekuensi laju perkembangan penduduk dan kegiatan ekonomi yang cukup pesat yang mendorong kebutuhan pemukiman baru dan infrastmktm lainnya. 2. Sem*
pesainya perkembangan pemukiman di wilayah Yogyakarta
bagian tengah utara yang merupakan kawasan resapan air hingga perlu mendapatkan perhatian yang serius. 3. Menurunnya dasar sungai akibat penambangan pasir yang berasal dari kegiatan vulkanis Gunung Merapi menyebabkan terganggunya bangunan sipil di atas sungai. 4. Gangguan terhadap kawasan hutan di Yogyakarta seperti pencurian kayu, bencana alam dan kebakaran. 5. Penurunan jenis flora dan fauna akibat pengambilan dan perburuan secara liar (Sujatmo 2001). Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY menyebutkan pengelolaan kawasan Merapi tercantum dalam butir satu mengenai Kebijaksanaan Pengelolaan Kawasan Lidung yang meliputi perlindungan terhadap kawasan hutan 'ndung, perlindungan terhadap kawasan resapan air yang terdapat di lereng Gunung Merapi, perlindungan terhadap kawasan terhadap kawasan sempadan pantai, perlindungan terhadap kawasan sekitar telaga, laguna dan waduk, perlindungan terhadap kawasan sekitar mata air, perfindungan terhadap kawasan suaka alam
dan cagar budaya, dan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana. Tanggal 14 Juli 2001 secara resmi Gubernur DIY mengirimkan surat kepada Menteri Kehutanan No. 522.5.2182 berisi rekomendasi mengusulkan pembentukan TNGM di Provinsi DIY. Surat ini terbit atas usulan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi DIY melalui surat No. 174Kwl-I/2001 tanggal 14 Juni 2001. Luasan TNGM yang diusulkan adalah 1.791,03 hektar. Surat ini mendapat jawaban dari Dirjen PHKA melalui swat Direktur PHKA Nomor 904/DJ-NKIU2001 tanggal 14 Agustus 2001, disarankan agar Pemda
Provinsi Jawa Tengah juga melakukan kajian di kawasan Merapi terkait dengan rencana TNGM. Tanggal 23 Mei 2002, Gubernur Jawa Tengah menyusul mengirimkan swat kepada Menteri Kehutanan No.52216484 perihal rekomendasi usulan TNGM. Sebelurnnya kedua Provinsi tersebut melakukan kajian bersama untuk perubahan fimgsi hutan di kawasan Merapi pada Maret 2002 dan menghasilkan dokumen Rancc~grmPengembangan TNGM. Dalam dokumen ini luasan yang diusulkan ditarnbah dengan kawasan hutan lindung di Jawa Tengah seluas 6.961,8 hektar, sehingga luasan calon TNGM menjadi 8.752,83 hektar. IN be&
ada perubahan
rencana awal d i i a sebelumnya TNGM hanya meliputi luasan di kawasan DIY
kini meluas hingga ke Jawa Tengah. Dokumen Rancangan Pengembangan TNGM menyebutkan dua permasalahan spesifik yaig mendorong kedua pemerintahan
daerah untuk mengubah status fimgsi kawasan, yaitu: kelembagam tidak jelas &in tidak terpadu dan keterbatasan dana (Liat pula Tabel 1). Dalam perjalauannya, kedua Pemda Provinsi DIY dan Jawa Tengah akhirnya mensepakati untuk memisahkan kawasan menjadi dua: Taman Nasional Gunung Merapi dan Taman Nasional Gunung Merbabu. Ada banyak informasi mengenai penyebab pemisahan ini mes!ci tidak ada penjelasan resmi yang bisa diperoleh, di antaranya adalah keinginan Psmda Jawa Tengah untuk juga merniliki Taman Nasional serta usulan luasan calon TNGM (8.752,83 hektar) yang terlalu
besar sehingga perlu dikurangi. Menurut salah seorang responden dari akademisi, gagasan Pemda Jawa Tengah ini sebenarnya tidak sesuai dengan kriteria kawasan TamanNasional seperti yang tercantum dalam PP No.6811998 karena tidak semua kriteria terpenuhi seperti tidak adanya kekhasan ekosistem di kawasan Gunung Merbabu. Selma periode 2001-2003, proses sosialisasi calon TNGM ini digulirkan ke masyarakat. Tabel 22 berikut ini memperlihatkan tahapan sosialisasi yang dilakukan sebelum penetapan TNGM:
Tabel 22. Tabapan sosialisasi TNGM No TgVbulanItahun Aktivitas 1 26 Nopemberi 2001 Pertemuan tentang persiapan penetapan TNGM
Lokasi Yogyakarta
2
10 Desember 2001
Yogyakarta
3
10 F e b d 2002
Sosialisasi wacana TNGM Diskusi
4
2Maret2002
Diskusi
5
20 Maret2002
Diskusi
PSLH UGM Yogyakarta
6
Agst-Sept 2002
Sosialisasi awal
7
23-25 Agustus 2002
Studi Orientasi
Kecamatan Turi, canghgan, Pakem, Kabupaten Sleman TN Gunung Gede Pangrango Jawa Bamt
8
Agustus 2002 sld. September 2003
Seminar/Saresehan/ Diskusi
Yogyakarta
9
22 November 2003
Diskusi
Kabupaten Sleman
10
11 Desember 2003
Diskusi
11
4 November 2003
Diskusi
Kabupaten Magelang Kabupaten Boyolali, Kabupaten Kiaten Provinsi DIY
Kecamatan Smbung, Kabupaten Magelang IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta
Peserta BKSDA DIY dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat BKSDA DIY dan Ornop-L BKSDA DIY dan Pemda Magelang BKSDA DIY, Pemda, akademisi, hop-L
Diskusi 5 November 2003 12 Diskusi 13 17 November 2003 Sumber: BKSDA D N dan Dishutbun 2001-2006. Diolah
BKSDA DIY, Pemda, akademisi, omop-L Dishotbun dan Masyamkat
67 orang terdii dari unsur DPRD Provinsi DIY, DPRD Kabupaten Sleman, Eksekutif Pemda Provinsi DIY, Tokoh Masyarakat tingkat Kecamatan, Desa dan Dusun skitar Gunung Merap Fakultas Kehutanan UGM, F'usat Studi Lingkungan UGM, Pecinta Alam IAIN, UPN dan omop-L Dishutbun dengan Pemda (Eksekutif dan Legislatit) Idem Idem Idem Idem
Pada bulan Januari 2002 saja, frekuensi penerbitan polemik mengenai TNGM muncul sebanyak empat kali; tiga di antaranya berlangsung selama tiga hari berturut-turut (14-16 Januari 2002). Dari arena diskusi dan adu argumentasi melalui media massa, tercapai kesepakatan bahwa kawasan Merapi perlu dikonservasi. Namun, bagaimana bentuk kawasan konservasi menjadi satu pernasalahan karena masing-masing pihak memiliki wacana konservasi. Pemerintah menganggap bentuk taman nasional adalah bentuk paling ideal dengan alasan merupakan kombinasi antara elemen ekologi maupun ekonomi yang terdapat pada fungsi kawasan konservasi seperti t e m t u m dalam perattuan
Kami daripemerintah pastilah berpegangpada UU, di dalam UU No.5/90 kan ada PP No 68......maka bentuk yang ideal yang ada adalah bentuk Taman Nasional. Zni yang teman-teman LSM terutama WALHZ tidak terima dengan ha1 ini, tapi di UU,ya ini yang ada, mau tidak mau kan kita h a m memilih salah satu kan. Nah, mereh ini tidak mau memilih semua, kan aneh gitu. Dia maunya bentuk lain, tapi sampai sekarang pun tidak jelas bentuknya, dan itu keluar dari UU, apa kita bisa? Sebetulnya itulah masalah pokok yang terjadi di sini. (KS, Kepala BKSDA DIY 2001-2005, 25 Juni 2005, Komunikasi Pribadi). Pertanyaan K-S. ini terjawab saat peneliti menemui Sf., eks Direktur Eksekutif Walhi DIY di Jakarta. Menurut Sf., Walhi memang tidak menginginkan adanya Taman Nasional di Indonesia karena Tarnan Nasional dirasa tidak memihak pada rakyat yang tinggal di sekitarnya
"Yang kami inginkan adalah agar pemerintah mengkoreksi manajemen sistem konservasi di Indonesia dun meniadakan Taman Nasional. Tapi kami tidak bisa begitu saja memintanya, yang kami lakukan kemudian adalah melakukan hal-ha1 seperti ini". (Sf., eks Direktur Eksekutif Walhi DIY, 8 Juli 2005, Komunikasi Pribadi) Sikap ini agak berbeda dengan apa yang dilakukan Ornop-L Kappala Indonesia. Bekerjasama dengan Pasag Merapi dan Dream (Disaster Research and
Management Center - badan otonomi non struktural di lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Pertambangan Nasional "Veteran" Yogyakafra), Kappala Indonesia melakukan kajian pemetaan partisipatif di kawasan Merapi. Hasil kajian ini menghasikan rekomendasi dua pokok pengelolaan yaitu 1) Pengelolaan berdasarkan pertimbangan fungsi utama sebagai kawasan rawan bencana sesuai
dengan tingkat kerawanan letusan gunungapi (zona bencana, zona penyangga non budidaya, zona penyangga budidaya, dan zona penyangga budaya) dan 2) Fengelolaan berdasarkan pertimbangan h g s i konservasi keanekaragaman hayati, ketahanan air dan tanah, serta fungsi budidaya; sebagai sub dominasi zonasi kawasan-kawasan berikut: hutan lindung, cagar alam, hutan wisata dam, perlindungan setempat, hutan rakyat, hutan negara, pertanian, pariwisata, pertambangan, dan pemukiman (Paripurno et al. 2002). Selain itu, Kappala Indonesia bekerjasama dengan OAR Pasag Merapi mengadakan studi banding mengajak 8 anggota masyarakat mewakili desa-desa sekitar lereng Merapi (3 dari Sleman dan 5 dari Magelang) ke Taman Nasional Alas Purwo clan Tarnan Nasional Meru Betiri Jawa Timur pada 7-8 Juni 2002 (Pasag Merapi 2002b). Wanarilandi mengusulkan agar pengelolaan kawasan Merapi diserahkan kepada masyarakat dengan sistem konsesi:
"Akan lebih baik jika diserahkan h-epada masyarakat dalam mengelola kawasan Misalnya dengan diberi konsesi di blok A h-emudian diserahi tanggungiawab untuk menanaminya jadi nantinya kalau rusak kan jelas siapa yang ditunjuk Sehingga masyarakat diberi porsi yang jelas". (MDH, Koordinator Eksekutif Wanamand'i 27 Juli 2005, Komunikasi Pribadi) Proses sosialisasi yang dilakukan D m Kehutanan dan Perkebunan DIY mendapat kritikan dari masyarakat karena dirasa tidak menjawab rasa keingintahuan masyarakat akan Taman Nasional. Sosialisasi yang dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2002 di kawasan Kaliurang untuk masyarakat Pasag Merapi menyisakan kekecewaan. Masyarakat merasa direndahkan karena oknum pejabat dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY meninggalkan acara setelah selesai memberikan presentasi tanpa memberikan kesempatan untuk tanya jawab dengan alasan harus m e n g h t i acara lain (Pasag Merapi 2002a). Sebagai persyaratan penetapan sebuah kawasan konsewasi, pemerintah membuat studi potensi kawasan Merapi yang dikerjakan oleh Fakultas Kehutanan UGM. Dalam studi potensi yang kemudian diberi judul Laporan Akhir Rencana Pengelolaan Calon TNGM ini menyebutkan tujuan studi adalah untuk melakukan kajian kelayakan kawasan ekosistem Gunung Merapi menjadi Taman Nasional. Pada bab rekomendasi diusulkan 1) bahwa kawasan hutan Gunung Merapi diperlukan usaha yang nyata untuk perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan
seluruh kawasan; 2) usaha tersebut diperlukan perwujudan yang demokratis, tanggungjawab dan juga tanggung gugat secara bersama. Baik draf maupun hasil jadi sama sekali tidak menyebut soal Taman Nasional sebagai usulan bentuk konservasi bagi kawasan Merapi. Jnilah yang kemudian menjadi sumber persoalan berikutnya, karena selain menganggap studi belum selesai meskipun draf sudah jadi, studi ini juga tidak menyebut Taman Nasional sebagai bentuk konservasi unii& kawasan G~inungMerapi. Pada kesempatan lain peneliti menemukan draf studi potensi yang disebut "telah d
i ke Jakarta" itu. Membandingkan draf dan hasil laporan akhir
terlihat ada beberapa perbedaan mencolok, di antaranya adalah pada tujuan dan hasil rekomendasi. Pada draf studi potensi tercantum tujuan kegiatan tersebut dilakukan untuk mengkaji kelayakan perubahan pola pengelolaan kawasan hutan Gunung Merapi ditinjau dari aspek status kawasan, fisik, biotik, sosial ekonomi budaya, hukum dan irnplementasi kebijakan dengan melibatkan masyarakat selaku stakeholder dan menghasilkan rekomendasi untuk pengelolaan ke depan berdasar kajian kelayakan tersebut. Rekomendasi yang diusulkan kemudian adalah agar pemerintah mernbuat suatu pola pengelolaan kawasan konsewasi berbasis masyarakat yang dapat dilaksanakan melalui kegiatan diantaranya: 1) Membangun moral awareness rnasywakat pengguna untuk ikut bertanggung jawab terhadap keberlanjutan fungsi ekosistem kawasan Gunung Merapi dan sekitarnya; 2) Sosialisasi informasi nilai-nilai pelestarian ekosistem agar semua pihak tertarik untuk berpartisipasi mengkonservasinya serta menyatakan argumen yang kuat dalam meng-counter tindakan yang mengancam kelestarian ekosistem;
3) Membangun dan mengembangkan proses transgenemi terhadap kultur dan tradisi pengelolaan lahan yang sekarang bejalan. Turunnya SK 13412004 tertanggal 4 Mei 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merapi seluas
*
6410 Hektar yang terletak di Kabupaten
Magelang, Boyolali dan Klaten, Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istirnewa Yogyakarta menjadi Taman Nasional Gunung Merapi mengagetkan banyak pihak, dari mulai pemerintah daerah (Sleman, Magelang,
Boyolali, Klaten), akademisi, Ornop-L, dan masyarakat sendii. Walhi DIY mengaku baru mengetahui keberadaan SK pada tanggal 21 Mei 2004. Langkah-langkah yang ditempuh Walhi DIY dalam rangka menyikapi SK tersebut adalah: mengadakan legislatifhearing (dengar pendapat) dengan DPRD Sleman (2 Juni 2004), DPRD Magelang (9 Juni 2004), dan DPRD Boyolali (24 Juni 2004). Hasil dengar pendapat: hanya DPRD Sleman yang menolak sementara DPRD Magelang belum mengambil sikap. DPRD Boyolali tidak menberikan jawaban. Walhi DIY juga mengadakan debat publik di Fakultas Kehutanan UGM pada tanggal 8 Juni 2004, hasil diskusi menyepakati untuk menolak TNGM. Wujud penolakan TNGM itu adalah aksi solidaritas ke Kantor Gubernur DIY tanggal 9 Juni 2004 yang diikuti oleh Kelompok Pecinta Alam dari DIY dan Jawa Tengah. Pada tanggal 10 Juni 2004 Aliansi M a s y d t Peduli Merapi (AMPM) yang terdiri dari 26 organisasi k e m a s y d t a n termasuk di antaranya Pasag Merapi, Wanamandira, Kappala Indonesia, dan Walhi menyebarkan selebaran di sepanjang Jalan Pasar Kembang, Jalan Malioboro, dan Depan Kantor Pos Besar Yogyakarta. Selebaran yang bersikap provokatif ini menudiig pemerintah menggunakan TNGM sebagai kedok untuk melakukan eksploitasi surnberdaya dam di kawasan Merapi dengan bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha wing. Saat itu beredar kabar keterlibatan The Nature Conservancy (TNC)dalam proses pembahan kawasan konservasi Merapi. TNC adalah organisasi non pemerintah global yang memiliki jaringan di berbagai negara TNC memiliki beberapa pengalaman kerja dalam proses pembuatan zonasi di beberapa taman nasional di antaranya di Taman Nasional Lore Lidu. Namun, isu ini dibantah K.S., Kepala BKSDA DIY periode 2001-2005:
"Itu karena saya sering bepergian dengan staf TNC yang kebetulan sedang ada pertemuan di Y o g a . llfereka ingin bertemu dengan Sultan Hamengku Buwono X tapi tidak mempunyai contact person. Kebetulan saya dekat dengan Sultan, maka saya pertemukan mereka" (K.S., 29 Juni 2005, Komunikasi Pribadi). Tanggal 29 Juni 2004 AMPM membuat surat terbuka untuk Presiden RI mendesak pencabutan SK TNGM. Surat ini dibacakan dalam acara Temu Rakyat yang diikuti oleh warga masyarakat lereng Merapi pada tanggal 30 Juni 2004 di
Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Magelang. Walhi DIY kemudian mengajukan surat gugatan kepada Menteri Kehutanan RI melalui Peradilan Tata Usaha Negara menilai bahwa SK 13412004 cacat hukum. Media massa sendiri baru memuat berita mengenai penetapan TNGM pada tanggal 25 Mei 2004. Harian lokal Kedaulatan Rakyat memuat berita dengan judul yang provokatif: "Pemkab belum terima salinan: Turun, SK Taman Nasional Gunung Merapi"; isinya memberitakan bahwa pemerintah Kabupaten Sleman dan belum mengetahui adanya SK TNGM, bahkan BKSDA DIY pun baru mendapat kiriman faksmili SK. Pada tanggal yang ma, harian Kompas Yogyakarta juga memuat berita merespon turunnya SK TNGM dengan judul: "Mengejutkan, Kawasan Gunung Merapi Menjadi Taman Nasional". Berita ini memuat reaksi dari Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto dan ungkapan kekecewaan
dari kalangan Omop-L serta PSLH-UGM. Keesokan harinya, tanggal 26 Mei 2004, Walhi DIY mengeluarkan siaran pers menyikapi ttuunnya SK TNGM. Walhi DIY menganggap SK Menhut menyalahi prinsip transparansi dan prinsip partisipasi karena menutup akses informasi dan d i m tidak melibatkan masyarakat. SK TNGM juga dianggap melanggar proses seperti yang tercantum dalam SK Menhut No 70!2001. Alasanalasan inilah yang dijadikan pegangan Walhi DIY untuk mengeluarkan pemyataan menolak dan mendesak Menteri Kehutanan untuk menarik kembali atau membatalkan SK TNGM.Walhi DIY juga mengancarn akan melakukan gugatan perdata dan pidana.
....bukan STATUS lah yang diperlukan untuk meiyelamatkan Gunung Merapi tetrapi kebersamaan dalanz membuat tata perlindungan secara partisipatif dun menyeleuruh melibatkan seluruh stakeholder yang ada. Semua itu bisa dilakukan dengan MEKABUT: SK No.l34/ML?NHUTILTahun 2004. Dan memberikan kemerdekaan secara utuh kepada masyarakat kawasan lereng Merapi dun sekitarnya untuk ikut dalam menentukan nasib dun masa depannya. (Lembar informasi advokasi "Toegoe" edisi 004103-MerapVVII12004-Walhi Jogja) Sejatinya, pada tanggal 24 Januari 2004 pemerintah telah merevisi SK Menteri Kehutanan No.70Kpts-IY2001 tertanggal 15 Maret 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status clan Fungsi Kawasan Hutan dengan SK Menteri Kehutanm No.48hIenhut-1112004 tentang Perubahan Keputusan
Menteri Kehutanan No.70IKpts-IV2001. SK yang baru ini mengisyaratkan Menteri Kehutanan dapat menetapkan perubahan fungsi kawasan hutan tanpa melalui persetujuan DPRD KabupatedKota dan DPRD Provinsi untuk lintas KabupatenKota. SK ini disebut sebagai fasilitas dari Pemerintah Pusat untuk menyederhanakan prosedur perubahan fungsi kawasan hutan negara (J.M, Akademisi, 18 Juli 2006, Komunikasi Pribadi). Namun, entah mengapa, pada SK Menteri Kehutanan No. 134/2004 tetap tercantum SK Menteri Kehutanan No. 70Kpts-Dl2001 sebagai salah satu dasar kebijakan. Berbeda dengan reaksi Walhi DIY, beberapa responden dari pemerintah dan akademisi yang ditemui peneliti menyebut hal ini sebagai human error dan menganggapnya tidak terialu penting. Isi pokok SK Menteri Kehutanan No. 134flMENHUT-IV2004adalah sebagai berikut:
*
a Peniaahan fungsi kawasan hutan seluas 6410 Hektar. b. Batas kawasan TNGM dan luasnya seperti tertera pada peta Kawasan Hutan Negara, sedangkan batas dan luas tetapnyaldefinitifnya ditentukan kemudian setelah diadakan penataan batas di lapangan. c. Kepala Badan Planologi Kehutanan mengatur pelaksanaan penataan batas di lapangan. d. Direktur Jenderal PHKA mengatur pengelolaan TNGM dan kolaborasi manajemen dengan melibatkan Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah. BKSDA DIY menyerahkan proyek pembuatan rencana pengelolaan TNGM kepada Pusat Studi Agroekologi UGM. Tugas ini berhasil diselesaikan pada bulan Desember 2004 dan menghasilkan dokumen Rencana Pengelolaan TNGM periode 2005 - 2024. Salah satu hasil penting dalam dokumen ini adalah dibuatnya penetapan mnasi dan peta zonasi kawasan (Tabel 23). Manajemen zonasi TNGM adalah sebagai berikut: 1. Zona Khusus: Zona ini merupakan bagian tarnan nasional yang terbentuk secata alami karena sifat Gunung Merapi yang masih aktif. Batas mna ini dimungkinkan bisa berubah-ubah sejalan dengan tlngkat keaktifan gunung
2. aria Inti 1: &na ini merupakan bagian taman nasiond yang me~pakan kawasna m p u t alami yang merupakan transisi antara pasir ke hutan (ecotone).
3. Zona Inti 2: Zona ini mempakan bagian dari kawasna taman nasional yang mempakan kawasan ekosistem Merapi yang utuh dan mutlak diliidungi dan tidak diperkenankan adanya pembahan apapun oleh aktivitas manusia. Kriteria fisiknya antar lain adalah: memiliki jenis turnbuhan lebih dari 100 spesies per hektar, memiliki jenis turnbuhan endemik, memiliki ekosistem
khas, mempakan habitat dan atau daerah jelajah satwa dilindungi, dan memiliki jenis turnbuhan langkaldilindungi. Aspek utama zona inti ini adalah perlidungdpengawetan keanekaragaman jenis flora, fauna beserta ekosistemnya. 4. Zona Rimba: Zona ini merupakan bagian dari kawasztn taman nasional
yang merupakan hutan sekunder dan hutan tanaman lainnya. Kawasan zona ini merupakan buffer taman nasional, termasuk zona pemanfaatan tradisional yang dimanfaatkan rumputnya. Di dalam zona ini mash diperkenankan adanya aktivitas manusia secara terbatas, seperti: penelitian, pendidikan, rekrea.i dan pariwisata dam secara terbatas. Kriteria antara lain adalah memiliki kerapatan jenis kurang dari 100 spesies per hektar, memiliki tegakan dengan kerapatan lebih dari 100 pohon per hektar, merupakan habitat dan atau daerha jelajah satwa liar, memungkinkan untuk dikembangkan bagi kepentingan untuk rekreasi terbatas. Dalam kondisi tertentu lapangan dengan kelerengan lebih besar dari 45" sangat peka terhadap erosi dapat dipertimbangkan sebagai zona rirnba. Fasilitas yang diperkenankan di dalam zona ini hanya bempa jalan setapak untuk keperluan penelitian dan pariwisata dam.
5. Zona Pemanfaatan Wisata Alam: Zona ini merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang diperuntukkan bagi pusat kegiatan rekreasi, kunjungan wisata, dan kegiatan-kegiatan pemanfaatan lain. Kriteria fisiknya antara lain adalah: memiliki obyek wisata yang m e n d dan memungkinkan untuk dikembangkan sebagai pusat kegiatan pariwisata dam. Oleh sebab itu di dalam zona pemanfaatan diperkenankan adanya
pembangunan fasilitas konstruksi, namun tetap harus memperhatikan konsep serasi dan seimbang dengan dam sekitarnya.
6. Zona Pemanfaatan Pasir: Zona ini merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang berada di sepanjang sungai dan bantaran sungai yang keberadaan pasimya diperkenankan ditambang secara terbatas atas pertimbangan volumetrik pengambilannya, yaitu disesuaikan dengan produksi p s i r yang terjadi secara alamiah.
7. Zona Tanaman Rumput Bawah Tegakan: Zona ini merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang berada antara taman nasional dan tanah milik masyarakat selebar sekitar 100 meter di bawah tegakan hutan. Zona
ini secara fisik merupakan bagian dari zona pemanfaatan yang berupa areal batas kawasan, dengan batas-batas panjang inengikuti batas kawasan diseuaikan dengan kondisi lapangan. Zona ini dihgsikan sebagai batas hidup sekaligus diiungkinkan adanya kegiatan masyarakat menunjang kebutuhan berupa kayu bakar, bambu, madu, dan lain-lain. 8. Zona Budaya Labuhan Merapi: Zona ini merupakan kawasan untuk
melaksanakan labuhan di bulan Suro (Muharram) sebagai bentuk ekspresi porossimbolik filosofik laut selatan dan Gunung Merapi.
9. Zona Rehabilitasi: Zona ini mempakan kawasan yang mengalami degradasi yang pada umumnya berupa lahan terbuka. Zona ini perlu diupayakan adanya usaha-usaha rehabilitasi kawasan sehingga fimgsi kembali seperti semula. Tabel 23. Luas Area untuk Masing-masing Zonasi No. Zonasi 1 ZonaKhusus 2 Zonahti 1 3 Zona Inti 2 4 ZonaRimba 5 Zona Pemanfaatan Wisata Alam Turgo-Plawangan 6 Zona Pemanfaatan Wisata Alam New Selo 7 Zona Pemanfaatan Wisata Alam Deles 8 Zona Pemanfaatan Wisata Alam Musuk 9 Zona Pemanfaatan Wisata Alam Tambang Pasir S~mbung
Luas (Hektar) 868,85 65 1,68 209,19 3.512,05 141,69 27,03 27,43 18,17 14.39
Zona Fernanfaatan lainnya: Tanaman rumput bawah tegkan Zona Pemanfaatan lainnya: Budaya labuhan 13 Zona Rehabilitasi Jumlah Sumber: BKSDA DIY dan PSA-UGM, 2004 11 12
486,05 15,82
290,78 6410,OO
Keluarnya peta zonasi memunculkan isu baru yaitu kekuatiran akan adanya relokasi penduduk. Pada peta zonasi (Gambar 2) memang nama-nama desa dimasukkan dalam kawasan taman nasional. Dalam PTUN terungkap bahwa pencantuman desa itu semata-mata kesalahpahaman teknis. Seharusnya memang pencantuman nama desa itu agak digeser ke bawah gambar pea sehingga tidak menimbulkan kesalahpafiaman. Meski begitu, BKSDA DIY tidak mengelak adanya enklave di beberapa lokasi hutan lindung. Penetapan tata batas menjadi prioritas pertama daiam pengelolaan TNGM seperti tercantum dalam Dokumen Rencana Pengelolaan TNGM Periode 2005-2024. Proses penetapan TNGM sekilas memperlihatkan adanya proses bottom up dan bukannya up down sebagaimana masa Orde Baru. Meski begitu, kenyataannya TNGM sudah menuai kritik dan memicu polemik semenjak awal didengungkan. Kontroversi pro-kontra ini mencapai puncaknya ketika Walhi DIY mengajukan gugatan melalui PTUN mendesak agar pemerintah mencabut kembali SK Menteri Kehutanan No. 134lMENHUT-IV2004. Dalam persidangan Walhi DIY tidak mampu membuktikan bahwa organisasinya mewakili masyarakat desa penyangga TNGM hingga gugatan Walhi DIY dinyatakan batal demi hukum. Sidang PTUN dimenangkan oleh pihak tergugat yaitu pemenntah pada 24 J a n 6 2005. Kesepakatan bersama untuk mengelola kawasan antara lima Pemerintah Daerah (Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemda Jawa Tengah, Pemkab Sleman, Pemkab Boyolali, Pemkab Klaten, dan Pemkab Magelang), Pemerintah Pusat (PJXA), dan Pemm Perhutani dalam pengelolaan TNGM dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama tertanggal 24 September 2005. Pengelolaan TNGM sempat mengalami masa status quo sesudah tejadinya fenomena alam bempa gempa bumi dan letusan Gunung Merapi. Pada bulan Oktober 2006, Balai TNGM
d:ldlnkan . . mengambil lokasi di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4.5.3. Pemetaan Konflik Pro-Kontra TNGM Pernetaan konflik pro-kontra terhadap TNGM aktor disajikan dalam Gambar 4 berikut ini:
Swasta
-&yr Pasag Merapi
Gambar 4. Pernetaan Konflik Pro Kontra TNGM Keterangan Gambar: fiiansi
/
Hubungan
Konflik
Peta konflik antar aktor tersebut bisa dibaca sebagai berikut: satu garis penghubung menandakan antar aktor memiliki hubungan dekat, dua garis sejajar memperlihatkan hubungan aliansi antar keduanya, sedangkan garis belok-belok memperliihatkan adanya konflik antar kedua aktor. Dalam konflik ini terlihat bahwa pemerintah memperoleh dukungan dari akadernisi sebagai pemberi justifikasi ilmiah terhadap keluaran kebijakan. Namun, ada juga akademisi yang bersikap mengkritisi dan cenderung kontra pada kebijakan TNGM. Mereka ini menjalin kerjasama dengan Omop-L dengm m-embuat berbagai seminar dan diskusi. Peta konflik ini memperlihatkan juga bahwa meskipun antara Walhi dan Pemerintah berkonfliic, namun kerjasma antara anggota Walhi dan pemerintah
tetap bisa terjalin. Demikian pula halnya dengan organisasi akar rumput (Pasag Merapi) yang merupakan aliansi Ornop-L (Kappala Indonesia) mampu tejalin kerjasama dengan pemerintah. Pada peta konflik terlihat bahwa aktor potensial yang paling mampu menjalin hubungan dengan semua pihak adalah Kappala Indonesia Tabel 24 Ahcar
Reiasi kekuasaan antar !?&ordi TNGM
--
MGL
SLMN Prhm
-
-
MGL SLMN V Prhtn V Hutbun X DIY BKSDADIY Swasta V WaUliX DIY
-
Hutbun BKSDA Walhi KI DIY DIY DIY
-
-
-
-
-
X
-
V
X
V
V X
-
-
V V
-
-
X
X
-
PM
-
-
v
v
v
W
Wanla
-
X
-
X
X
V
-
X
-
-
-
-
-
-
V
VV = aliansi
-
-
v
Keterangan: V = kerjasama
-
-
v
-
---
-
KI
Goro VV GMCA V
Wama Goro GMCA
V
V
V
-
-
X = tidak bekejasamaibertentangan
MGL= Pernda Magelmg, SLMN=Pemda Sleman, Prhm=Perhutani, Hutbun=Dinas Kehutanan dan Perkebunan, BKSDA=Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Walhi=Wahana Lingkungan Hidup, KI=Kappala Indonesia, PM=Pasag Merapi, Wama=Yayasan Wanamandim Goro=Paguyuban Gotong Royong, GMCA=Gel;lkan Masyarakat Cinta Xi.
Tabel 24 menyajikan relasi kekuasaan antar aktor yang tejadi di kawasan TNGM. Masih sarna seperti hasil dari pemetaan konflik pro-kontra TNGM sebagaimana tersaji pada Gambar 4, jika dicermati relasi kekuasaan antar aktor tersebut, paling bagus dilakukan oleh Kappala Indonesiadan Pasag Merapi. Ini menunjukkan bahwa keduanya memiliki potensi untuk menjembatani tejadinya dialog antar &or yang terlibat pro-kontra. Relasi kekuasaan secara mendetail pada tiga kawasan studi diperlihatkan pada tabel 25 dan tabel 26 berikut ini:
diaplikasi oleh pemerintah Indonesia pada dekade 1980-an, sebelumnya pada dekade 1880-an dan 1970, kebijakan pelestarian alam menggunakan narasi pengawetan dam. Pada kedua dekade tersebut, basis kekuasaan untuk mengimplimentasikan kebijakan berpijak pada negam sebagai aktor dominan. Pada dekade 1992 hingga sekarang narasi yang dipergunakan adalah konsewasi keanekaragaman hayati. Basis kekuasaan tidak lagi hanya pada negara melainkan juga pada kekuasaan yang berbasis pada akumulasi diskursus yang digalang oleh para akior global. Pemerintah selalu berargumen bahwa pelestarian kawasan Merapi sekaligus juga adalah pemanfaatan dam demi kesejahteraan masyarakai. Faktanya, kesejahteraan masyarakat yang mana yang akan meningkat sesudah kawasan diubah menjadi TNGM? Narasi konsenrasi yang dipergunakan pemerintah nampaknya masih cenderung pada narasi pengawetan dam sebagaimana fenomena yang melatarbelakangi munculnya gagasan Penda DIY ketika itu yaitu
untuk meleshrikan kawasan Merapi. Sementara aktor Omop-L memaknai konservasi sebagai terbukanya akses sumberdaya dam bagi rnasyarakat. Faktanya, alam cenderung rusak jika akses dibiarkan saja tanpa adanya pengelolaan. Sebagaimana terlihat ketika peneliti mengunjungi kawasan pertambangan di kawasan S. Putih, Jurangjero, nampak aktivitas pertambangan sudah mulai mengikis tebig-tebing hutan lindung. Aktivitas pertambangan manual dan kebakaran juga terjadi di dalam kawasan hutan lindung di Ngargomulyo secara sporadis. Di kawasan hutan lindung Kdiurang, para wisatawan juga terlihat tidak bisa membedakan antara kawasan wisata dan kawasan hutan lindung sehingga m e ~ s a kpohon-pohon pinus. Sementara itu kdangan pengusaha baik yang bergerak di bidang pertambangan pasir maupun
jasa lingkungan belum memperlihatkan kontribusi kembdi mereka untuk dam. Agenda politik masing-masing &or tersebut terhadap alam tersaji dalam tabel 27 berikut ini :
Tabel 27. Agenda politik aktor Agenda politik Ornop-L Agenda poiitik pemerintah 1) Politik "open access"
2) Mengkritisi UU No.511990 tentang Konservasi SDA 3) Mendesak pencabutan SK Menhut 134/2004 tentang perubahan fungsi konservasi kawasan Merapi menjadi TNGM.
1) Politik 'yences and
Agenda ekonomi kapitalis lokal Akumulasi kapital
fine""
2) Mengawal UU No. 5/1990 dan SK Menhut/2004.
Kritik: Faktanya alam
Kritik: Stateproperly secara Kritik: Para kapitalis rusak jika open access. defacto menjadi open mencari keuntungan Omop-L tidak mampu access karena faktor sepihak, redistribusi mengatasi kemsakan personil dan dana. keuntungan ke alam lingkungan (edukasi kurang. belum berhasil) *pendekatan konvensional warisan penjajah untuk konservasi alam dan melestarikan keanekaragaman hayati melalui penciptaan kawasan lindung dan meminimalkan intervensi manusia (Wittmer dan Bimer 2005) Mengamati Tabel 27 tersebut di atas, nampak bahwa narasi konservasi yang dipergunakan baik oleh Omop-L maupun pemerintah belumlah sepenuhnya memenuhi tiga hal penting dalam konservasi yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan alam. Oleh karena itu kiranya narasi konservasi yang dipergunakan baik oleh Omop-L maupun pemerintah perlu d i a j i kembali untuk menemukan bagaimana implementasi konservasi yang sesuai untuk kawasan Merapi. 4.5.4. Ikhtisar
Konflik pro-kontra TNGM bisa dikategorikan sebagai konflik struktural karena dipicu oleh turunnya kebijakan dari pemerintah untuk mengubah status kawasan konservasi di Merapi menjadi taman nasional. Di sini tejadi ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya di Merapi. Menurut Malik er
al. (2003), konflik struktural merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Posisi para pihak dalam konflik jenis ini dipicu oleh pihak penguasa. Sebab, pihak penguasa merniliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan mum, sehingga pihak ini lebih berpeluang akses sumberdaya dan juga mengontrolnya sekaligus menekan akses
dan kontrol pihak !aim Selain wewenang formal, faktor geografis, sejarah d m
waktu juga seringkali digunakan sebagai alasan oleh penguasa untuk memberi keputusan-keputusan yang menguntungkan pihaknya sendiri. Sikap masyarakat menentang TNGM muncul karena kekuatiran akan hilangnya akses mereka terhadap sumberdaya alam di hutan. Selama ini mereka telah memiliki mekanisme tersendiri untuk mempertahankm akses sumberdaya dam di luar mekanisme hak kepemilikan sumberdaya dam. Ini terjadi pada masyarakat di Desa Ngargomulyo. Sikap kritis di Desa Ngargosoka terbangun karena keberadaan organisasi akar nunput di sana yaitu Pasag Merapi dan GMCA. Kondisi ini berbeda dengan yang ada di Desa Ngargomulyo d i a n a tidak ada satupun Ornop-L di sana Pasag Merapi mengakui baru tahun ini m e m i i i kontak di Ngargomulyo, selama ini mereka belum melakukan aktivitas di sana dengan alasan daerah Ngargomulyo termasuk daerah aman dari bencana sehingga kurang diprioritaskan. Goro yang menjalim aliansi dengan pemerintah daerah mampu meredam gejolak masyarakat. Ini karena selama hi para buruh penylenggrong sangat bergantung pada Goro dan men&
rasa percaya yang
tinggi. Di Desa Hargobinangun, Yawama, Omop-L yang mengguliukan isu mecentang TNGM tidak mendapat respon dari masyarakat pelaku pariwisata Ini berkaitan dengan eksistensi Yawama selama ini yang tidak terlalu dekat dengan masyarakat. Sementara itu wacana TNGM sebagai suatu kawasan konservasi yang bemilai ekonomi karena potensi wisata alamnya dipercaya masyarakat mampu meningkatkan pariwisata di Kaliurang. Respon masyarakat terhadap wacana ini lebih banyak positif dibandigkan negatifnya. Isu kekuatiran putusnya akses sumberdaya di desa-desa di lereng Merapi disambut Omop-L dan akademisi. Konflik pro kontra wacana TNGM meluas di kota Yogyakarta menjadi konflik wacana konservasi d i a n a para aktor yang memiliki akses pengetahuan bersaing untuk mempengamhi publik. Dengan demikian, dalam perluasan konflik pro kontra TNGM ini muncul aktor yang b a n yaitu akademisi. Akademisi t m t berperan dalam mempengaruhi perilaku aktor lain dan interaksi mereka. Menurut Foucault (1978) dalam Peluso dan Ribot (2003),
kemampuan
untuk
mempertajam
terminologi wacana
mempengaruhi keseluruhan kerangka pikir untuk mengakses sumberdaya.
mampu
Pro kontra TNGM juga disebabkan k a n a sosialisasi yang dianggap kurang
memuaskan masyarakat dan mis komunikasi antar instansi pemerintah sendiri. Situasi dimana infomasi terdistorsi adaiah situasi yang rawan konflik terlebih karena diliputi dengan kecurigaan dan ketidakpemayaan. Dalarn kondisi seperti
ini aktor yang kuat adaiah mereka yang memilii informasi sekaligus memiliki kemampuan untuk mengelola informasi secara intelektual.
v. KESIMPULAN DAN S A R A N 5.1. Kesimpulan
1.
Para aktor yang berperan dalam konsewasi sumberdaya dam di TNGM adalah BKSDA DIY, Dishutbun DIY, Perhutani, pelaku pariwisata, petani petemak, penambang pasir clan OmopL (Walhi, Kappala, dan Yawama) serta organisasi akar m p u t (GMCA, Goro, Pasag Merapi). Masilg-riiasing memiliki kepentingan terhadap konservasi sumberdaya dam di TNGM.
BKSDA DIY berkepentingan untuk kelestarian plasma nutfah; Dishutbun DIY berkepentingan untuk kelestarian hutan lindung dan pengelolaan kawasan wisata; Perhutani berkepentingan untuk kelestarian hutan lindung dan pengelolaan pinus untuk produksi getah pinus; pelaku pariwisata, petani, peternak, dan penambang pasu berkepentingan untuk mempertahahn akses sumberdaya dam demi matapencaharian. OrnopL (Walhi, Kappala, dan Yawama) berkepentingan untuk menyebarkan wacana konservasi nya yang berbasis kerakyatan clan menentang wacana konservasi global. Organisasi kemasyarakatan (Goro) dan organisasi akar rumput (GMCA dan Pasag Merapi) berkepentingan membangun kebersamaan clan mengembangkan kapasitas anggota untuk mempertahankan akses matapencahariannya.
2.
Mekanisme akses sumberdaya alam yang dominan di Desa Ngargomulyo berdasarkan pada hubungan sosial dan identitas sosial. Masyarakat memanfaatkan hubungan kekerabatan dengan petugas untuk memperoleh sumberdaya alam seperti lahan di hutan lindung yang semestinya adalah tindakan ilegal menurut undang-undang. Meskipun kegiatan ini ilegal namun sikap Perhutani adalah permisif karena mereka memperoleh keuntungan juga dari aktivitas ini yaitu rehabilitasi lahan bekas kebakaran serta perliidungan hutan lindung dari kegiatan yang d i i a lebih me&
yaitu pertambangan
pasir. Sikap permisif ini bisa jadi menimbulkan konflik saat pergantian manajemen pengelola hutan terjadi. Permasalahan ini menjadi salah satu konflik potemid dalam pengelolaan TNGM. Di kawasan pertambangan pasir di Sungai Putih, Dusun Jurangjero, Desa Ngargosoka, Goro yang menguasai tiga mekanisme akses sekaligus yaik buruh, hubungan sosial, dan identitas
sosial nyatanya bisa juga dihentikan. Goro juga membangun aliansi dengan pemerintah daerah Kabupaten Magelang. Namun, aliansi yang dibangun Goro ini sebenarnya rapuh. Goro melupakan faktor pergantian rezim yang sewaktu-waktu akan mempengaruhi keluaran kebijakan. Rezim pemerintah daerah Kabupaten Magelang yang baru mempergunakan akses kewenangan untuk menata kawasan pertambangan pasir. Menurut Peluso dan Ribot (2003), pergeseran dalam konteks ekonomi dan politik bisa membuat
beberapa jenis
akses menjadi usang. Pam aktor akan berusaha
mengembangkan hubungan sosial baru untuk memperoleh, mempeaahankan, ataupun mengendalikan akses sumberdaya. Di kawasan wisata Kaliurang di Dusun Kaliurang Timur dan Baraf Desa Hargobinangun penggunaan mekanisme kewenangan yang cukup kuat dimiliki Pemerintah Daemh Kabupaten Sleman dan Provinsi DIY mempengaruhi perolehan keuntungan sumberdaya. Dishutbun DIY mendukung gagasan penetapaa status TNGM di kawasan konservasi hutan lindung karena dana pengelolaan tidak seimbang dengan pendapatan yang diperoleh dari retribusi Taman Wisata Alam.
3.
Penetapan TNGM menguntungkan mereka yang tinggal di kawasan rezim kapital alam @am pemilik modal pengusaha pariwisata dan pengusaha pertambangan pasir) dan memberikan ketidakpastian bagi masa depan para petani-peternak yang tinggal di kawasan rezim alam organik (petanipetemak) .
4.
K o d i k pro-kontra TNGM sebagai konflik struktural yang dipicu oleh tunmnya kebijakan dari pemeritah untuk mengubah status kawasan konservasi di Merapi menjadi taman nasional menambah kompleksitas pennasalahan yang sebelumnya teiah ada di kawasan Merapi. Ketirnpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya di kawasan Merapi sebelumnya telah ada seperti yang terjadi di kawasan pertambangan pasir Sungai Putih, Dusun. Jurangjero dimana para pengumla penambang pasir berijin ternyata kebanyakan berasal dari luar daerah. Sikap masyarakat menentang TNGM muncul karena kekuatiran akan makin hilangnya akses mereka terhadap sumberdaya alam di hutan. Selama ini mereka telah memiliki mekanisme tersendiri untuk mempertahankan akses sumberdaya alam di luar mekanisme
hak kepemilikan sumberdaya alam. Ini tejadi pada masyarakat di Desa Ngargomulyo. Pro kontra TNGM juga disebabkan karena sosialisasi yang dianggap kurang memuaskan masyarakat dan mis komunikasi antar instansi pemerintah sendiri. Situasi dimana informasi terdistorsi adalah situasi yang rawan
konflik
terlebih
kana
diliputi
dengan
kecurigaan dan
ketidakpercayaan. Dalam kondisi seperti ini aktor yang kuat adalah mereka yang memiliki informasi sekaligus memiliki kemampuan untuk mengelola informasi secara intelektual.
5.2. Saran 1.
Para aktor yang berperan dalam upaya konservasi di kawasan TNGM sebagaimana disebut dalam poin 5.1.1. sebaiknya memahami terlebih dahulu apa makna konservasi yang sebenamya mereka inginkan. Kecenderungan yang ada dari para aktor terssbut adalah masih memahami konservasi sebagai preservasi (pengawetan alam). SementaTa makna konservasi yang sebenarnya yaitu perliidungan, pengawetan, dan pemanfaatan dam masih berupa lip
service belaka. Ini nampak dari keluaran kebijakan pemerintah yang berlandaskan pada politik fences andjne terhadap sumberdaya alam. Pihak Omop-L pun belum sepenuhnya memahami makna konservasi sehingga cenderung berpikiran negatif terhadap wacana konse~asiitu sendiri.
2.
Pemerintah perlu mengkaji kembali konsep Taman Nasional di Indonesia karena permasalahan pro-kontm terhadap Taman Nasional seperti yang terjadi di kawasan Merapi nampaknya akan terus berulang. Kejasarna antar aktor yang berbeda wacana konservasi sebaiknya terus dilakukan untuk mengembangkan wacana konservasi yang sesuai dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat. Hasil dialog bisa digunakan untuk merevisi namsi konservasi yang selama ini digunakan dalam tata peraturan mengenai konse~asi di Indonesia. Sehingga setiap aktor bisa berpihak pada pemahaman makna konservasi yang sama.
3.
Pengelolaan TNGM sebaiknya memperhatikan mekanisme akses yang d i l i k i oleh masing-masing aktor untuk memahami mengapa tejadi kegiatan yang tidak sesuai dengan peraturan yang sudah diterapkan. Di Desa
Ngargomulyo mmajemen kofaborasi TNGM sebaiknya memperhatikan penyebab perambahan hutan dan mencarikan solusinya, hukannya menyalahkan pelaku perambahan. Penawaran altematif mata pencaharian baru sebaiknya juga diimbangi dengan pemherian kompensasi selama jangka waktu tertentu untuk menanggung hidup para perambah. 4.
Manajemen TNGM hendaknya menjalin kejasama dengan organisasi a k a rumput seperti GMCA dan Pasag Merapi untuk bersama-sama meningkatkan kapasitas masyarakat dalam hal konservasi alam sesuai dengan kearifan lokal
untuk masyarakat Merapi.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, S. 2004. Struggle Over Access, Control and Use for Dongi-dongi Area of The Lore Lindu National Park, Central Sulawesi: A Political Ecology Perspective. Mimbar Sosek: Journal of Agricultural and Resource Socio-Economics. Vol. 17 No.3. Adiwibowo, S. 2005. Dongi-dongi - Culmination of a Multi-dimensional Ecological Crisis: A Political Ecology Perspective [Disertasi]. Universitas Kassel. Jerman. Adiwibowo, S. 2006. Ekologi Politik Pengelolaan TamanNasional. Materi presentasi dalam rangka diskusi dengan Departemen Kehutanan. Disampaikan di Hotel Safari Garden 24 Juli 2006. Tidak dipublikasikan. Alikodra, H. 2005. Materi kuliah Analisis dan Implementasi Keanekaragaman Hayati. Tidak dipublikasikan. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang. 2005. Kecamatan Srumbung Dalam Angka Tahun 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang. 2005. Pendapatan Regional Kabupzten Magelang Tahun 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang. 2005. Kecamatan Dukun Dalam Angka T&un 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Slernan. 2005. Kecamatan Pakem Dalam Angka Tahun 2004. [BKSDA]. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta dan Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. 2003. Rencana Pengelolaan Calon Taman Nasional Gunung Merapi. [BKSDA dan PSA UGM]. Balai Konsewasi Sumber Daya Alam Yogyakarta dan Pusat Studi Agroekologi UGM. 2004. Rencana Pengelohan Taman Nasional Gunung Merapi Periode 2005-2024. Brockelman, W.Y., M. Griffiths, M. Rao, R. Ruf, and N. Salafsky. 2002. Enforcement Mechanisms. In J. Terborgh, C. Van Schaik, L. Davenport, M. Rao [Editor]. Making Parks Work. Strategies for Presewing Tropical Nature. Island Press. Washington. Covelo. London. pp. 265-319 Bryant, R. L. and S. Bailey. 2000. Third World Political Ecology. Routledge. New York. Conelly, J dan G. Smith. 2003. Politics and the Environment. From theory to practice. Second edition. Routledge. London. New York. Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY. 2004. Kronologis Taman Nasional Merapi. http://www. Pemda-DIY.org [14 Febmari 20051 Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah dan Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Naiional Universitas Gadjah Mada. 2000. Laporan Akhir Penataan dan Pengatwan Usaha Penambangan Di Kawasan Gunung Merapi Tahun Anggaran 2000. Duarte, F. P. 2001. Save the Earth or Manage the Earth? The Politics of Environmental Globality in High Modernity. Current Sociology. Vol. 49 (l).pp. 91-1 11.
Effendi, E. (2001). Peranan Penilaian Ekonoxi Sumber Daya dalam Memperkuat Pengelolaan Kawasan Konservasi di Era Otonomi Daerah. Dalam Memperkuat Pendekatan Partisipatif Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Di Era Transisi dan Otonomi Daerah. R. Meml. dan E.Effendi [Editor]. Natural Resources Management Program. 2002. pp.17-26 Escobar, A. 1998. Whose Knowledge, Whose Nature. Biodiversity, Conservation, and the Political Ecology of Social Movements. Journal of Political Ecology. Vol 5.53-82 Escobar, A. 1999. After Nature. Steps to an Antiessentialist Political Ecology. Current Anthropology 40 (I). pp. 1-27. Fisher. S, J. Ludin, S. Williams, D.K. Abdi, R. Smith, dan S.Williams. 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak. The British Council, Indonesia. Jakarta. Forsyth, T. 2003. Critical Political Ecology. Routledge. New York. Gaol, S.L. 1999. Penerapan Undang-Undang No.25 Tahun 1999 Dikaitkan dengan Pendanaan dalam Pengembangan dan Pengelolaan Taman Nasional. Pertemuan Regional Pengelolaan Taman Nasional Kawasan Timur Indonesia. Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional. Manado. 24-27 Aguslus 1999. pp. C4-21 Gurung, C. P. 1995. People and Their Participation: New Approaches to Resolving Conflicts and Promoting Cooperation. In JA. McNeely [Editor]. Expandiig Partnership in Conservation. IUCN. Island Press. California. Washington DC. Covelo. pp 223 - 233. Hamarung, R.1999. Peranan Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Kawasan Taman Nasional (Tijauan Dari Aspek UU Nomor 22 Tahun 1999). Di dalam Pertemuan Regional Pengelolaan Tamm Nasional Kawasan Timur Indonesia. Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional. Manado. 24-27 Agustus 1999. C3-15 Hardii, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Science, Vol. 162. 1243-1248. http: //www.sciencemag.org [14 Februari 20051 Hartono, M. D. 2005. Perlunya Membangun Konservasi yang Terbuka. Bercermin dari Kasus TamanNasional Gunung Merapi. Lokakarya Program Kehutanan Nasional. Regio Jawa Bali. Yogyakarta, 2-3 Februari 2005 Kantor Pertambangan dan Energi Kabupateri Magelang. 2006. Potensi Sumber Daya Alam (Bahan Galian dan Air Tanah Kabupaten Magelang). http://www. Pemda Magelang. org [14 Februari 20051 Kartodihardjo, H. 2006. Kegagalan Meliat Fakta: Dalam Telaah Kelembagaan dan Kebijakan Kehutanan. Materi Kuliah Kelembagaan dan Kebijakan Kehutanan. Kartodihardjo, H. dan H. Jamtani.(Editor). 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Equinox. Jakarta. Singapore. Kisworo. 2003. Menguak Potensi Ekowisata Merapi. Warta Konservasi. Vol. 411. pp. 15-17. Malik, I., B. Wijardjo, N.Fauzi, dan A. Royo.2003. Menyeimbangkan Kekuatan. Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam. PellokilaY.K., Prasetyohadi, dan Trisasongko D. [Editor]. Yayasm Kemala. Jakarta.
Menill, R. dan E. Effendy:2001. Meningkatkan Pendanaan Taman Nasional: Memperkuat Sistem Pengelolaan Taman Nasional Dalam Era Transisi dan Otonomi Daerah. Dalam Memperkuat Pendekatan Partisipatif Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Di Era Transisi dan Otonomi Daerah. R. Merril. dan E. Effendi [Editor]. Natural Resources Management Program. 2002. pp. 39-56 Nugroho, Y. 2004. Negara, Masyarakat Lokal, dan TamanNasional Gunung Merapi. Yogyakarta. 26 Juli 2004 Paul F.J.E., S.T.F. Mc Cool, C.D. Haynes. 2002. Sustainable Tourism in Protected Areas. Guidelines for Planning and Management. Prepared for tlle United Nations Environment Programmes, World Tourism Organisation and Intemational Union for the Conservation of Nature. A. Phillips [Series Editor]. World Cornmision on Protected Areas. Best Practice Protected Area Guidelines Series No.8. Intemational Union for the Conservation of Nature. The World Conservation Union. Pasag Merapi. 2002a. Laporan Kegiatan. Pertemuan Pasag Merapi Dengan Dishutbun DIY. Kaliurang, 10 Agustus 2002. Yogyakarta. Pasag Merapi. 2002b. Laporan Studi Baqding 7-8 Juni 2002. Yogyakarta. Paripurno, E.T., S. Widiyanto, dan Suharno. 2002. Kajian Partisipatif Rencana Pengelolaan Kawasan Merapi. http://www.kappala.com [14 Februari 20051 Peluso, L. N. 1992. Rich Forest, Poor People. Resource Control and Resistance in Java. Berkeley. University of California Press. Los Angeles. London. [Pemda DIY dan Jateng]. Pemerintah Daerah Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah. 2002. Rancangan Pengembangan Taman Nasional Gunung Merapi. Yogyakarta. Maret 2002. [Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah]. 2004. Kebijakan dan Upaya Perhutani dalam Konservasi Sumber Daya Hutan. Pranowo, H.A.1985. Manusia dan Hutan. Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta Ribot, J.C. and N. Peluso. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2). pp. 153-181 Riyanto, B. 2004. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sebuah Tinjauan Hukum Terhadap Debt for Nature Swaps. Sen Hukum Kehutanan & KSDA. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Bogor. Roberts, J. 2004. Environmental Policy. Routledge. London.New York. Robbins, P. 2004. Political Ecology. A Critical Introduction. Blackwell Publishing. USA. UK. Australia. Sekartjakrarini, S. 2003. Diktat kuliah Ekowisata. PSL-IPB. Tidak dipublikasikan. Sitorus, M.T.F. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Kelompok Dokurnentasi Ilmu-ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sujatmo. 2001. Strategi Kebijakan Konservasi Sumherdaya Alam Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Warta Konservasi. Edisi 2. pp.6 dan 11. Sulistyaningsih, W. 2002. Pengelolaan Konsewasi di Indonesia Khususnya di DIY. Warta Konservasi. Vol. 311. pp. 6-7
Sulistyo, K. 2002. Ada Apa Dengan Rencana Taman Nasionai Gunung Merapi. Warta Konservasi. Vo1.3/1. pp. 4-5. Sumarja, E.A. 2003. Public Sector Support Andmanagement Of Protected Areas In Indonesia. 5''' World Parks Conggress. Durban South Africa. November 8Ih-17'h. 2003 Sutoyo, S. 2003. Persepsi Masyarakat Dukuh Kaliurang Timur, Desa Hargobinangun Terhadap Hutan Merapi dan Prospek Pengembangannya [Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Yogyakarta. 'Ian Vugt, M. 2002. Central, Individual, or Collective Control? Social Dilemma Strategies for Natural Resource Management. American Behavioral Scientist (2002). Vol. 45, pp. 783-800. [WALHI]. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 2004. Taman Nasional Bukan Solusi. Lembar Informasi Advokasi Toegoe. Edisi 003101-Merapi/IIII2004. [WALHI]. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 2004. SK No. 134NenhutII/Tahun 2004. Awal Menuju Kehancuran Merapi. Lembar Informasi Advokasi Toegoe. Edisi 003101-MerapflIJl2004. Wiharyanto, A.K. 7 Jan 2006. Gunung Merapi dan Mataram. Kompas: 4 Wimner, H and R. Birner. 2005. Between Conservationism Eco-populism and Developmentalism - Discourses in Biodiversity Policy in Thailand and Indonesia. CAPRI Working Paper No.37. International Food Policy Research 1nstitute.WashingtonDC. Young, D.R. 2000. Alternative Models of Government-Nonprofit Sector Relations: Theoretical and International Perspectives. Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly. Vol. 29, no. 1. pp.149-172
DAFTAR SINGKATAN Singkatan ACAP AMPMM BGG C BPKH BPKKD BKSDA DIY CBD COP Diparbud DPRD Dream UPN GIvICA GORO ICDP IUCN Kappala Indonesia KMPH KPH KRPH LSM OAR ornop-L PAU PCN PDAM Pemda PHKA PHBM PIKA Pasag Merapi PTUN P4N UGM SIPD SK MENHUT TWA UNCED m-CHE
Kepanjangan Annapuma Conservation Area Project Aliansi Masyarakat Peduli Merapi Merbabu Bahan Galian Golongan C Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah Badan Pengelola Kekayaan clan Keuangan Daerah Baiai Konseivasi Sumber Daya Alam Daeriih Istimewa Provinsi Yogyakarta Convention on Biological Diversity Conferences of Parties Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah D i k t e r Research and Management Center Universitas Pembangunan Nasional Gerakan Masyarakat Chta Aiu Gotong Royong Integrated Conservation and Development Project International Union for the Conservation of Nature atau World Conservation Union Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan Indonesia Kelompok Masyarakat Petani Hutan Kesatuan Pemangh Hutan Kesatuan Resort Pemangku Hutan Lembaga Swadaya Masyarakat ~rganisasiAkar Rumput Organisasi Non Pemerintah yang bergerak di bidang Lingkungan Hidup Pusat Studi Agroekologi Proceso de Communidades Negras atau Process of Black Communities Perusahaan Daerah Air Minum ~emerintahDaerah Pengelolaan Hutan dan Konsewasi Akun Pengelolaan sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Pusat Informasi Konsemasi Alarn Paguyuban Sabuk Gunung Merapi Peradilan Tata Usaha Negara Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional Universitas Gadjah Mada Surat Ijin Penambangan Daerah Swat Keputusan Menteri Kehutanan Taman Wisata Alam United Nations Conference and Development United Nations Conferences on Human Environment
Singkatan UNEP UNHCR USEPA UU RI WA Walhi WCED WM
Kepanjangan United Nations Environment Programme United Nation High Commision on Refugee United States Environmental Protection Agency Undang-undang Republik Indonesia Wisata Alam Wahana Lingkungan Hidup World Commision for Environment and Development Wanamandira