KONSEPSI KEBERADAAN LEMBAGA YANG BERWENANG DALAM PENYELAMATAN ASET NEGARA HASIL TINDAKPIDANA KORUPSI' 0\eh: Hari Purwadi 2
Pengemhalian aset negara yang telah dikorupsi (srofen assers recoven, StAR) telah Jitcmpatkan sebagai tujuan penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya. keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya diukur berdasarkan keberhasilan memidana pelaku tindak pidana korupsi. namun juga ditentukan oleh tingkat kebcrhasilan mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi. Secara internasional. konsep StAR ini telah memperoleh penekanan setidak-tidaknya melalui United Nations Convention Against Corruption, 2003 (UNCAC). StAR. tersebut menjadi sa\ah saru prinsip (asas) penting dari 4 (cmpat) prinsip UNC AC. Tiga prinsip penting lain, yaitu: pencegahan (prevention), kriminalisasi (crimina\ization), dan kerja sama internasional (international cooperation). Konsep StAR ini dapat diketahui dari Chapter V (BabY) mengenai "'Asset Recovery" (Pengembalian Aset). khususnya Article 51 of the UNCAC.
The return of assets pursuant to this chapter is a fundamental principle of this ConvenTion, and Swte Parties shall afford one another the widest measure of cooperation and assistance in this regard. Asas atau prinsip pencegahan (prevemion), tidak berhubungan langsung untuk pengembalian aset, namun merupakan kondisi yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengembalian. Prinsip ini diatur dalam Bah II (Chapter II, Preventive Measures), mulai Article 5 sampai Article 14 UNCAC. Di samping mewajibkan Negara Peserta membangun dan melaksanakan kebijakan dan praktik pencegahan anti korupsi, UNCAC juga menyatakan pentingnya mengadakan badan-badan pencegahan Anti korupsi. mengadopsi sistem rekruitmen pegawai negeri dan pejabat publik. pembentukan standar perilaku 1 D1sampaikan dalam Lol...ukarya t~ntang P"nyel.lmJtan A><"l N~g~"l H:hli Tinda~ 1'1dana Badan l'cml:unaan Hul...um Nasional. eli Solo. tJnggal ll!-19 Agustu; 1009. ' llosen, Kctua Badan Mcclta>l dan Banl11an Huktlm. fa!-..uiW> Hul...um llmv"r>lta> Scbcl,l' Mar~t Solo Korup~l.
189
fungsi p!lblik (codes or stnndards of conduct). membangun sistem pengadaan barang yang transparan dan objektif, meningkatkan transparansi adininistrasi publik, mencegah kesernpatan lembaga peradilan melakukan korupsi. keterlibatan swasta dalam korupsi, meningkatkan partisipasi masyarakat, serta tindakantindakan mencegah pencucian uang. Asas atau prinsip kriminalisasi (criminaliz.ation) dinyatakan sebagai kewajiban Negara Peserta menyangkut berbagai jenis tindakan-tindakan. Kriminalisasi ini dalam kaitan dengan pengembalian aset negara memberi makna terhadap penentuan tindakan-tindakan yang dianggap sebagai "pencurian aset" (stolen assets). Konsekuensinya, dalam batas-batas tindak pidana atau kejahatan itu, dapat dilakukan upaya hukum pengembalian aset, balk melalui gugatan perdata maupun pcrampasan (confiscation). Dalam kaitan dengan prinsip pengembalian aset melalui kerja sama internasional (international cooperation), UNCAC memungkinkan dilakukannya tindakan-tindakan perampasan atas kekayaan tanpa pemidanaan (without a criminal conviction), dalam hal pelaku tidak dapat dituntut dengan alasan meninggal dunia, lari (kabur) atau tidak hadir atau dalam kasus-kasus lain yang sama. Prinsip tersebut diatur dalam Article 54 (1) (c) of the UNCAC. Prinsip ini menunjukkan bahwa gugatan perdata dilakukan ketika mekanisme peradilan pidana gaga! melakukan penuntutan karena kondisi-kondisi terdakwa meninggal dunia, lari (kabur), atau innbsentia. Dengan ungkapan lain bahwaArticle 54 (1) (c) of the UNCAC merekomendasi Negara Peserta menggunakan/mengatur non-criminal systems of confiscation.
Article 54 (1) (c) of the UNCAC: Each State Parry, in order to provide mutual legal assistance pursuant to article 55 of this Convention with respect to property acquired through or involved in the commission of an offence esrablished in accordance with this convention, shall, in accordnnce with its domestic law: consider taking such measures as may be necessarv to aflmv confiscation of such property without a criminal conviction in cases in wich the offender cannot be prosecllted by reason of death. .fligh or absence or in other appropriate cases.
Prinsip sebagaimana diatur dalam Article 54 (1) (c) of the UNCAC kemudian bersinergi dengan konsep "In Rem forfeiture" atau ':forfeiture actions to be brour:ht ngainst the stolen property it self', seperti diterapkan
190
di Afrika Selatan dan Amerika Serikat.' In remforjl:'iture lebih condong pada civil forfeiture, yaitu perampasan atau pengambilalihan aset melalui gugatan in rem atau gugatan terbadap aset. Konsep civil forfeiture didasarkan pada "taint doctrine"- suatu tindak pidan dianggap "taint" (menodai) suatu a set yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut. Walaupun mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk merampas atau mengambil alih aset basil kejahatan, civil forfeiture berbeda dengan criminal forfeiture yang menggunakan tuntutan in personam (tuntutan terhadap orang) untuk merampas dan mengambil alih suatu aset. 4 Konsep ini belum diatur dalam tata hukum Nasional, tenutama dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi.
Konsepsi Pengembalian Aset Yang Telah Dikorupsi Sebelum membahas konsepsi lembaga yang berwenang melakukan penyelamatan aset, perlu diuraikan terlebih dahulu konsep upaya bukum yang lazim dipergunakan di beberapa negara. Secara terminologis, lazim dipergunakan istilah "asset forfeiture", yaitu "a term used to describe the confiscation of assets, by the state, which are either (a) the proceeds of crime or (b) the instrumentalisties of crime. "5 Dan pengertian tersebut, aset meliputi basil kejahatan dan alat-alat yang dipergunakan untuk memfasilitasi kejahatan (to facilitate crime). Di Amerika ditentukan secara limitatif, aset yang dapat dijadikan subjek ''forfeiture", yang disebut dengan pengertian "property", yaitu: (a)( I)
The following property is subject to forfeiture to the United
States: (A) Any property, real or personal, involved in a transaction or attempted transaction in violation of section 1956, 1957 or 1960 of this title, or anyproperty traceable to such property. (B) Any property, real or personal, within the jurisdiction of the United States, constituting, derived from, or traceable to, mzv proceeds obtaineddirectly or indirectly from an offense af{ainst a
' U4 Allli·corruplhm Re.wura C~ii/r~. hllp.l/www.u4.no/thcmc;/unC'~(;/~:.set·rccovery.ctm 24 Pebruari 2008. • Anio Wandatama dan Detanw Sukarja, ··[mplcmcntast lnstrumcn Chi/ Forfinwre di Indonesia untuk Mendukung Sro/en Al.l<'l Rn·own (StAR) /ni/111/JL'<', Seminar PengkaJmn Hukum Nasional 2007, Hotel MdleniUm, Jakarta. 28 Nopemhcr 2007 ' wjkjpedja hnp'flcn wikjpedJa_or~/wjkj/A:.set forfcaur~ 5 Agu:.tus 200<)
191
foreign nation, or an.vproperf.v used to facilitate such an offense, if . the offense.. (i)
involves traffickinR in nurlear. chemical, biologiml, or radiological weapons technolog_v or material, or the manufacture, importation, sale, or distribution of a controlled substance (as that term is defined for purposes of the Controlled Substances Act), or any other conduct described in section 1956(c)(7)(B);
(ii) would be punishable within the jurisdiction of the foreign
notion by death or imprisonment for a tenn exceedinR I year; and (iii) would be punishable under the laws of the United States by imprisonment for a tenn exceeding 1 year. !f the act or activity constituting the offense hod occurred within the jurisdiction of the United States. (C) An.v proper!)', real or personal, which constitutes or is derived from proceeds tr(lceab!e to a violation of section 215, 471, 472, 473, 474, 476,477, 478, 479, 480, 481, 485, 486,487, 488, 501, 502, 510, 542, 545, 656,657, 842, 844, 1005, 1006, 1007, 1014, 1028, 1029, 1030, 1032, or 1344 of this title or any offense constituting "specified unlawful activity" (as defined in section 1956(c)(7) of this title), or a conspiracy to cominit such offense. (D) Any propert_v, real or personal, which represents or is traceable to the gross receipts obtained, directly or indireqly, from a violation
of(i) section 666(a)(J) (relating to Federal program fraud); (ii) section 1001 (relating to fraud and false statements); (iii) section 1031 (relating to major fraud against the United States); (iv) section !032 (relating to concealment of assets from conservator or receiver of insured financial institution); (v) section !341 (relating to mailfraud); or (vi) section 1343 (relating to ·wire fraud),if such violation relates to the sale of assets acquired or held by the Resolution Trust Corporation, the Federal Deposit Insurance Corporation, as conservator or receiver for a financial institution, or any other conservator for a financial
192
institution appointed by the Office of the Comptroller of the Currency or the Office of Thrift Supervision or the National Credit Union Adininistration, as conservator or liquidating agent for a financial institution. (E) With respect to an offense listed in subsection (a)( 1 )(D) cominitted for the purpose of executinr: or attempting, to execute any scheme or art!fice to defraud, or for obtaining money or property by meam of false or fraudulent statements, pretenses, representations or pminises, the gross receipts of such an offense shall include all property, real or personal, tangible or intangible, which thereby is obtained, directly or indirectly. (F) Any property, real or personal, which represents or is traceable to the gross proceeds obtained, directly or indirectly, from a violation of(i) section 511 (altering or removing motor vehicle identification numbers); (ii) section 553 (impo;tinR or exportinR stolen motor vehicles); (iii) section 2119 (armed robbery of automobiles); (iv) section 2312 (transporting stolen motor vehicles in interstate commerce); or (v) section 2313 (possessing or selling a stolen motor vehicle that has moved in interstate commerce). (G) All assets, foreign or domestic(i) of any individual, entity, or organization engaged in planning or perpetrating any [FNJ] Federal crime of terrorism (as defined in section 2332b(g)(5)) against the United States, citizens or residents of the United States, or their property, and all assets, foreign or domestic, affording any person a source of influence over any such entity organization; (ii) acquired or maintained by any person with the intent and for the purpose of supporting, planning, r:onductinx. or concealing any Federal crime of terrorism (as defined in section 2332b(g)(5) [FN2] against the United States, citizens or residents of the United States, or their propert_1•; (iii) derived from, involved in, or used or intended to be used
193
to commit m1_1· Federal crime of terrorism (as defined in section 2332h(R)(5)) against the United States, citizens or n>sidents of the United States, or their property; or (iv) c:l any individual, enti(v, or organization engaged in planlllllR or perpelrating any act of international terrorism (as defined in section 233 I )against any illlernational organiz.ation (as defined in section 209 of the State Department Basic Authorities Act of 1956 (22 U.S.C. 4309(b)) or a,r::ainst any foreign Government. Where the property sought for forfeiture is locaJed beyond the territorial boundaries of the United States, an act in furtherance of such planning or perpetration must have occurred within the jurisdiction of the United States. (H) Any property, real or personal, involved in a violation or attempted violation, or which constitutes or is derived from proceeds traceable to a violation, of section 2339C of this title.
Ada pun, hasil kejahatan (proceeds of crime) didefinisikan sebagai berikut: For purposes of paragraph ( 1}, the term "proceeds" is defined as follows:
(A) In cases involving il!egal goods, illegal services, unlawful activities, and telemarketing and health care fraud schemes, the term "proceeds" means property of any kind obtained directly or indirectly, as the result of the cominission of the offense giving rise to forfeiture, and any property traceable thereto, and is not liinited to the net gain or profit realized from the offense. (B) In cases involving lawful goods or lawful services that are sold or provided in an illegal manner, the term "proceeds" means the amount of money acquired through the illegal transactions resulting in the forfeiture, less the direct costs incurred in providing the goods or services. The claimant ~hall have the burden of proof with respect to the issue of direct costs. The direct costs shall not include any part of the overhead expenses of the entity providing the goods or services, or any part of the income taxes paid by the entity. (C) In Ntses inmlving fraud in the process of obtaining a loan or extension of credit, the court shafl allow the claimant a
194
deduction from the fm:feiture to the extent that The loan was repaid, or the debt was satisfied, without an_'r' financial loss to the victim. Di beberapa negara memiliki bcntuk upaya hukum yang berbeda. Amerika Serikat sebagai misal, kasus-kasus pengembalian asct (forfeiture cases) dibedakan dalam dua tipe, yaitu criminal (pidana) dan civil (perdata). Meskipun demikian. sebagian besar kasus penebusan aset tersebut ditempuh melalui upaya hukum perdata. Terdapat dua lemhaga yang bertanggung jawab dalam hal ini. yaitu (l) the United States Marshals Sen•ice bertanggung jawab mengelola dan tnenentukan (mendisposisi) kekayaan yang telah disita dan digugat olch Department of Justice agencies, (2) the United States Treasury Deportment - bertanggung jawab mengelola dan menentukan kekayaan yang disita oleh Treasury agencies. Di Inggris, berdasarkan Proceeds of Crime Act, 2002, ada beberapa tipe upaya hukum pengembalian aset yang dikorupsi, yaitu: Pertarna, "confiscation proceedings", yang mengikuti ketentuan hukum pidana. Kedua, "rash forfeiture proceedings", yang ditempuh melalui "Magistrate Court" dengan hak untuk banding pacta "the Crown Court", yang diajukan oleh the "police or customs". Ketiga, "civil recovery proceedings", yang dilakukan olch "Assets Recovery Agency" (ARA) - berdasarkan the "Serious Crime Act, 2007", fungsi ARA diganti o\eh "Serious Organh:.ed Crime Agency" dan ''the National Policing Improvement Agency". Tipe kedua (cash forfeiture proceedings) dan ketiga (civil recovery proceedings) tidak mensyaratkan pemidanaan terlebih dahulu.lni menunjukkan bahwa upaya pengembalian kerugian negara tidak sclalu berbicara dalam pengertian-pengertian hukum pidana. Dalam UU PTPK (Undang-Undang Nornor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah o\ch Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pcrubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TinJak Pidana Korupsi) sesungguhnya juga diatur beberapa upaya hukum dalam rangka pengembalian kcrugian keuangan atau perekonomian ncgara. Upaya hukum terse but baik merupakan proses hukum pidana maupun perdata.
195
Pertama, secara pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (l) UU PTPK mengenai ''perampasan barang", "pemhayaran uang pengganti'', dan '"pcncabutan hak atau keumungan". Secara konsepsional, "'perampasan barang" ini dapat disepadankan dengan "confiscation proceedings". Pada sisi lain, "pcmbayaran uang pengganti" dan "pencabutan hak atau keuntungan'' sebenarnya dapat disepadankan dengan "cash forfeiture proceedings", namun bedanya pembayaran uang pengganti ditempuh melalui pro.<.es peradilan pidana terlebih dahulu, meskipun kemudian dapat muncul proses pelclangan yang ditempuh diatur dalam hukum perdata. Dalam Pasal 18 ayat (l) huruf a diatur bahwa " .............. sebagai pidana rambahan adalah perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut." Ketentuan ini sekaligus menjelaskan bahwa mcskipun istilah aset (yang dipergunakan dalam UNCAC maupun kecenderungan internasional) tidak dikenal dalam UU PTPK. namun pengertiannya tclah tercakup, yaitu di samping hasil tindak pidana korupsi yang berasal (merugikan) keuangan atau perekonomian negara,juga hal-hal yang dipergunakan untuk memfasilitasi tindak pidana korupsi (to facilitate crime), termasuk perusahaan milik terpidana. Sebagai upaya untuk menghan:nonisasi dcngan kecenderungan intemasional, UU PTPK perlu menyesuaikan penggunaan konsep-konsep hukum tersebut. meskipun secara substansial sudah diatur. Mengenai "pembayaran uang pengganti" diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan (3) UU PTPK. Pasal 18 ayat (l) huruf b mengatur bahwa ".... ....... sebagai pidana tambahan adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya scbanyak-banyaknya sama dcngan harta benda yang diperolch dari tindak pidana korupsi." Pasal 18 ayat (2), "Jika terpidana tidak membayar uang pengganti scbagaimana dimaksud dalam ayat ( l) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang unluk menutupi uang pengganti tersebut.
196
Pasal 18 ayat (3), "Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda mencukupi untuk inembayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuandalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan." Ketentuan tersebut hanya mengatur 4 (empat) hal: 1. 2. 3.
4.
pembayaran uang pengganti merupakan pidana tambahan; besarnya uang pengganti, yaitu sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; apabila terpidana tidak membayar paling lama I (satu) bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini harta bendanya dapat dis ita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti; apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk rnembayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara maksimal sebagaimana pidana pokok yang diatur dalam UU PTPK, dan sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Sehubungan dengan ikhwal pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan, maka pandangan E. Utrecht mengenai perbedaan pidana tambahan tersebut dengan pidana pokok, perlu diketengahkan, yaitu: I.
sesuai dengan kata "tambahan" di belakang kata "pidana" itu. pidana tambahan hanya dapat ditetapkan di samping pidana pokok. Apabi\a hakim tidak dapat menetapkan satu pidana pokok, maka dengan sendirinya ia tidak dapat menetapkan pula satu pidana tambahan;
2.
pidana tambahan itu bersifat fakultatif. Artinya, pidana tambahan tidak wajib dijatuhkan hakim. Hakim bebas menjatuhkan pidana tambahan atau tidak menjatuhkan pidana tambahan. Terhadap asas ini ada perkecualian. Dalam beberapa hal, undang-undang menentukan perampasan barang secara imperatif. Sehingga, hakim harus menetapkan perampasan barang itu; pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu mulai berlaku tanpa terlebih dahulu diadakan perbuatan eksekusi (zondereenn daad van executie). 6
3.
• E litrechl. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas. Surabaya. 2000. 11.326·328.
197
Berdasarkan pandangan Utrecht tersebut, maka penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti juga bersifat fakultatif kendati penuntut umum mengajukannya dalam tuntutannya. Oleh karena itu. kendati terdapat kerugian kcuangan atau perekonomian negara. tidak selalu terpidana dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (l) huruf b UU PTPK atau dengan ikhwal kedua seperri diuraikan di atas. Maksudnya, pasal 18 ayat (l) huruf b UU PTPK hanya memungkinkan tcrpidana dijatuhi pidana tambahan apabila memperoleh basil dari tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan arau perekonomian negara. Perolehan itu bermakna hasil korupsi telah menjadi bagian dari harta benda atau kekayaan terpidana sebagian atau seluruhnya. Secara teknis, penuntut umum tidak perlu menuntut dengan pidana pcmbayaran uang pengganti apabila tidak terbukti terpidana memperoleh basil korupsi dan menjadi bagian dari harta benda atau kekayaannya. Dari sudut pandang terpidana. ia tidak memiliki kewajiban hukum untuk membayar uang pengganti apabila tidak terbukti bahwa ia memperoleh hasil korupsi yang menjadi bagian dari harta benda atau kekayaannya. Hal ini sekaligus menjelaskan ikhwal kedua, yaitu mengenai besamya uang pengganti. Ketentuan mengenai "pembayaran uang pengganti" tersebut masih menyisakan persoalan sehubungan dengan pengembalian aset negara. Secara konsepsional, di samping UU PTPK tidak menempatkan pembayaran uang pengganti sebagai pidana pokok, juga kondisi sebagaimana ditentukan pada Pasal 18 ayat (2) mengandung upaya yang bersifat fakultatif bagi jaksa. Akibatnya, ketentuan Pasal 18 ayat (3), dalam praktik sering menjadi jalan ke luar. Secara hukum tidak salah, namun tidak mencapai tujuan pengembalian kerugian negara. Oleh karena itu, seyogianya Pasal 18 ayat (2) diubah sehingga upaya penyitaan bersifat wajib bagi jaksa. Kedua, secara perdata- melalui gugatan perdata. UU PTPK mengatur 4 (empat) hal mengenai gugatan perdata; masing-masing diatur dalam Pasal 32 ayat (1), Pasal 33. Pasal 34, dan Pasal 38 C, yaitu: I. Gugatan perdata untuk pengembalian kerugian keuangan negara yang nyata. seperti diatur dalam Pasa\ 32 ayat (I) UlJ PTPK; 2. Gugatan perdata dalam hal tersangka meninggal dunia pada saatdilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 33 UU PTPK; 3. Gugatan perdata dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 34 UU PTPK;
!98
4.
Gugatan perdata terhadap harta benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang bel urn dikenakan perampasan untuk negara, seperti diarur dalam Pasal 38 C UU PTPK.
Ketentuan tersebut di atas, menunjukan bahwa jalur gugatan perdata dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara korupsi setelah proses persidangan pidana berakhir, baik karena sebab-sebab yang menyebabkan gugurnya penuntutan dan pemidanaan maupun tidak dilakukannya perampasan. Adanya pengaturan tentang upaya hukum berupa gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi menandai bahwa proses peradilan pidana saja tidak cukup memadai untuk pengembalian aset negara yang dikorupsi, setidak-tidaknya dalam keadaan-keadaan tertentu. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa gugatan perdata di dalam UU PTPK dapat diajukan dalam dua kondisi. Pertama, ketika putusan telah memiliki kekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 C UU PTPK. Kedua, sebelum ada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu perkara rnasih dalam proses penyidikan atau pemeriksaan sidang pengadilan. Untuk hal yang kedua, disyaratkan tersangka atau terdakwa meninggal dunia dalam proses penyidikan atau pemeriksaan sidang pengadilan, juga ketika perkara dihentikan dalam penyidikan karen a tidak cukup bukti. Hal ini diatur dalam Pasal 32 ayat ( l), Pasal 33 dan Pasal 34 UU PTPK Berdasarkan hal tersebut, gugatan perdata dalam rangka pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi memiliki beberapa dasar peraturan, di samping UU PTPK juga peraturan perundang-undangan perdata. Hal ini disebabkan UU PTPK tidak mengatur secara tersendiri mengenai ikhwal teknis prosed ural gugatan perdata. Proses pengembalian kerugian keuangan negara yang di satu sisi menjadi bagian dari pemeriksaan perkara pidananya (dalam hal pidana tambahan) dan di sisi lain terpisah: dari pemeriksaan perkara pidananya tentu potensial memunculkan Problem tersendiri . Problem tersebut di samping terkait dengan perso"alan prosed ural juga persoala·n ·su_bstansial gugatan, yang pada akhirnya berujung pada soal berhasil tidaknya up.ly;~ hukum tersebut. Ketidakberhasilan gugatan bukan saja menyangkut persoalan kegagalan upaya pengembalian kerugian negara, namun juga te1jadinya inefisiensi proses peradilan perkara korupsi.
Institut yang Berwenang Melakukan Upava Hukum Pengembalian Aset Berdasarkan UU PTPK jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupf>i (selanjutnya disebut
199
UU KPK). upaya hukum untuk mengembalikan {tcrmasuk perampasan) aset negara yang dikorupsi, juga perampasan aset yang dipergunakan untuk memfasilitasi tindak pidana korupsi dilakukan oleh jaksa (sebagai penuntut umum maupun pengacara negara) di satu pihak serta kemungkinan dapat dilakukan oleh instansi yang dirugikan di pihak lain. Jaksa memiliki peran baik dalam proses peradilan pidana maupun upaya gugatan perdata, sedangkan instansi yang berwenang berperan hanya dalam ikhwal gugatan perdata.
Peran jaksa dan instansi yang dirugikan dalam pengembatian atau perampasan aset dalam tindak pidana korupsi berdasarkan UU PTPK Proses Peradilan Pidana I
Denda (Pasal2. 3, 5. 6, 7. 8. 9,10. II, 12, 12B, 13 UU PTPK)
2. Pi dana Tambahan (Pa~all8 UU PTPK):
Jaksa Sebagai Penuntut Umum atau Pengacara Negara
Perampasan barang atau harga dari barang yang menggantikan bamng-barang terse but; b. Pembayaran pcngganti: uang Penutupan pcrusahaan; d. Pencabutan a tau pcnghapusan kcuntun~an tertentu yang Lelah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Gugatan Perdata I
Penyidik berpendapat bahwa TPK tidakcukupbukti. namun ada kerugian keuangannegara (Pasal 32 UU PTPK). UU PTPK tidak mengatur gugatan perdata ditujukan;
'
'
2. Tersangka meninggal dunia pada tahap penyidikan, dan terdapat kerugian keuangan ncgara. Gugatan dilakukan tcrhadap ahlt wari; tcrsangka (Pasal 33 UU PTPK): 3. Terdakwa meninggal dunia pada tahap pemeriksaan sidang pcngadilan. tcrdapat kcrugian keuangan negara. Gugatan diajukan tcrhadap ahh waris (Pasal 34 UU PTPK); 4 Sctclah putusan in krach, terdapat harta ha~il korupsi yang hclum dilakukan perampasan untuk negara Gugatan ditUJUkan pada terp1dana dan atau ahli waris (Pa~al 38 C UU PTPKl-
''"
lnstansi yang Dirugikan
200
Persoalan yang sering muncul dalam praktik, terutama berkaitan dengan kerugian keuangan daerah, yaitu tidak secara serta merta kebcrhasilan jaksa penuntut umum ataupun sebagai pengacara ncgara dalam menarik aset yang telah dikorupsi diikuti dengan pengembalian kepada daerah yang dirugikan. Selama ini keberhasilan pengembalian kerugian daerah melalui proses pembayaran uang pengganti, hasilnya diserahkan oleh penyidik kejaksaan negeri kepada Kejaksaan Agung, kemudian diserahkan kepada Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, keberhasilan itu tetap menyisakan persoalan bagi kepentingan daerah secara langsung. Seyogianya, dalam kasus-kasus seperti diatur dalam Pasal 32, 33, 34, dan 38 C UU PTPK. pengutamaan gugatan perdata dilakukan oleh instansi yang dirugikan. terutama daerah yang dirugikan. Juga, keberhasilan tuntutan pidana tambahan sebagaimana diamr oleh Pasal 18 UU PTPK dapat langsung diakses oleh instansi yang dirugikan atau daerah padajaksa penuntut umum. Sehingga, keberhasilannya dapat langsung dimanfaatkan oleh instansi atau daerah. Kondisi tersebut tidak dapat secm·a serta merta dipahami sebagai perlunya institut pengelola aset hasil "assetfoifeiture ". Sepanjang pengelolaan aset dapat diintegrasikan dengan peran institut-institut penegakan hukum, khususnya kejaksaan, institut tersebut tidak niscaya adanya. Dibandingkan dengan negara lain, peran JaksaAgung, Departemen Keuangan, dan lembagalembaga negara terkait dengan lingkungan dilakukannya tindak pi dana yang memungkinkan "asset forfeiture" mengambil bagian. Peran penting Jaksa Agung di antaranya seperti di Amerika, yaitu: (b)( 1) Except as prOJ!ided in section 985, any property subject to forfeiture to the United States under subsection (a) may be seized by the Attorney Genera! and, in the case of property involved in a violation investigated by the Secretary of the Treasury or the United States Postal sen,ice, the property may also be seized b.v the Secretary of the Treasury or the Postal Service,respectivef.v. (2) Seizures pursuant to this section shalf be made pursuant to a warrant obtained in the same manner as provided fOr a ~·earch warrant under the Federal Ri of Criininal Pml·edU except that a seizure may be made without a warrant if(A) a complaint for forfeiture has been filed in the United States district court and the court issued an arrest warrant in rem pursuant to the Supplemental Rules for Certain Admiralty and Maritime Claims;
201
(13) there i" prohahle cause to helicve that the property is subject to forfeiture and(i) the sei;z,ure is made pursuant ro a lawful arrest or search; or (il)
another exception to the Fourth Amendmelll warrant requiremelll lt·ould apply. or
(C) the property was lawfull.v seized by a State or local law enforcement agency and transferred to a Federal agency. (3) Notwithstanding the provisions of rule 41(a) of the Federal Rules of Criininal Procedure, a seiwre warrant may he issued pursuant to this subsection b.v a judicial r~fficer in any district in which a jiJrfeiwre action against the property nwy be filed under section 1355(b) of title 28, and may be executed in any district in which the pmpert_v is found, or transinitted to the central authority of any foreign state for service in accordance with any treaty or other international agreement. Any motion for the return of property seized under this section shall be filed in the district court in which the seizure warrant was issued or in the district court for the district in which the property was seized. t4)(A) If any person is arrested or charged in a foreign country in nmnection with an offense that would give rise to the forfeiture of property in the United States under this section or under the Controlled Substances Act, the Attorney General ma_y apply to any Federal judge or magistrate judge in the district in which the property is located for un ex porte order restraining the property subject tel forfeiture for not more than 30 days, except that the time may be extended for good cause shown at a hearing conducted in the manner provided in rule 43(e) of the Federal Rules of Civil Procedure. (B) The application for the restrain in f.: order shall set forth the nature and circumstances of the foreign charges and the basis for belief that the person arrested or charged has property in the United States that would be subject to forfeiture, and shall contain a statement that the restraining order is needed to presave the availability of property for suclit'ime as is necessary to receive evidence from the foreign countrv or elsewhere in. support of probable cause for the seizure of the property under this subsection. (c) Property taken or detained under this section shall not be
:202
replel'iahle, but shall be deemed to be in the custod_y of the Attomcv General, the Secretary of the Treasury, or the Postal Seivice, as the case may be, subject only to the orders and decrees of the court or the (dficiaf having jurisdiction thereof Whenever property is seized under this subsection, the Atromey General, the Secretary of the Treasury, or the Postal Service, as the case ma.v bet, mav( 1) p ce the property under seal; (2) remove the property to a place designated by him; or (3) require that the General Services Adininistration take mstody of the property and remove it, if practicable, to an appropriate location for disposition in accordance with law. (d) For purposes of this section, the provi.l-ions of the customs lmvs relating to the seizure, summary and judicial forfeiture, condemnation of property for violation of the customs laws, the disposition of such property or the proceeds from the sale of such property under this section, the reinission or initigation of such forfeitures, and the comproinise of claims (19 U.S. C. 1602 et seq.), insofar as they are applicable and not inconsistent witl1 the provisions of this section, shall apply to seizures and forfeitures incurred, or alleged to have been incurred, under this section, except that such duties as are imposed upon the customs officer or any other person with respect to the seizure and forfeiture of property under the customs laws shall be performed with respect to seizures and forfeitures of property under this section by such officers, agents, or other persons as may be authorized or designated for that purpose by the Attorne.v General, the Secretary of the Treasury, or the Postal Service, as the case may be. The Attorney General shall have sole responsibility for disposing of petitions for reinission or initigation with respect to property involved in a judicialforfeiture proceeding. (e) Notwithstanding any other provision of the la·w, except section 3 of the Anti Drug Abuse Act of 1986, the Attorney General, the Secretary of the Treasury, or the Postal Service, as the case may be, is authorized to retain property forfeited pursuant to this section, or to transfer such property on such ren11s and l"fmditions as he may deterinine( 1) to any other Federal agency;
(2) to any State or local law enforcement llgency which participated directly in any of the acts u-·hich led to the seimre or forfeiture of the propertv;
203
(3) in the case of properf.v referred to in subsection (a)(l)(C), to any Federal financial institution reRulatory aRency(A) to reimbun·e the agenc.v for payments to claimants or creditors of the institution: and (B) to reimburse the insurance fimd of the agency for losses suffered by the fund as a result of the receivership or liquidation; (4) in the case of property referred to in subsection (a)(l)(C), upon the order of the appropriate Federal financial institution regulatory agency, to the financial institution as restitution, with the value of the property so transferred to he set off against an:r• amount later recovered by the financial instiwtion as compensatory· damages in any State or f"ederal proceeding; (5) in the case of property referred ro in subsection (a)(IJ(C), to any Federal financial institution regulatory agency, to the extent of the agency's contribution of resources to, or expenses involved in, the seizure and forfeiture, and the investigation leading directly to the seizure and foifeiture, of such propert.v: (6) as restoration to any victim of the offense giving rise to the forfeiture, including, in the case of a money laundering offense, any offense constituting the underlying specified uiriawlui activity; or (7) In [ the case of property referred to in subsection (a)(l)(D), to the Resolution Trust Corporation, the Federa_l Deposit Insurance Corporation,or any other Federal finan institution regulatory agency (as defined in section 8(e)(7)(D) of the Federal Deposit Insurance Act). The Attorney General, the Secretary of the Treasury, or the Postal Service, as the case mav be, shall ensure the equitable transfer pursuant to paragraph ( of any forfeited property to the appropriate State or local law e1~{orcement agenc.v so as to reflect generally, the contribution of any such agency participating directly in any of the acts which led to the seizure or forfeiture of wch property. A decision by the Attorney General, the Secretary of the Treasury, or the Postal Service pursuant to paragraph (2) shall not be subject to review. The United States shall nor be liable in any action arising out of the use of any property the custody of which ~vas transferred pursuant to this section to any non~ Federal agency. The Attorney General, the Secretary of the Treasury, or the Postal Service may order the discontinuance of any foifeirure
204
proceedings under this .1ection in faFor of the institution of forfeiture proceedings bv State or focal authOrities under w1 appropri(lte Star,· or load statute. After the ft/inR of a complaint for forfeiture under this section, the Aflome.v General ma.v seek disinissal of the complaint in favor of forfeiture proceedings under State or local law. Whenever forfeiture proceedinxs are discontinued by the United States in favor of State or local proceedings, the United States may tran;;fer custody and possession of the seized property to the appropriate State or local official immediately upon the initiation of the proper actions by such officials. Whenever forfeiture proceedings are discontinued by the United States in JO.vor of State or local proceedings, notice shall be senr to all known illlerested parties advising them of the discolltinuance r disinissaL The United States shall not be liable in any action arising out of the seizure, detention, and transfer of seized property to State or local officials. The United States shall not be liable in any action arising out of a transfer under paragraph (3), (4), or (5) of this subsection. (f) All right, title, and intere~·t in property described in subsection (a) of this section shall vest in the United States upon cominission of the act giving rise to forfeiture under this section. Lebih dari itu, kebijakan pengelolaan aset tidak terbatas pacta hasil tindak pidana korupsi, namun perlu diintegrasikan dengan aset-aset terkait dengan tindak pidana lain, seperti pencucian uang (money laundering), kejahatan perbankan, peredaran obat-obatan terlarang. Seperti diungkapkan oleh Barda NawawiAriefbahwa kebijakan penanggulangan kejahatan perlu diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan pembangunan. Tidak ban yak artinya apabila kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan viktimogen. 7 Ikhwal paling urgen justru pengaturan mengenai. "asset forfeiture" yang meliputi berbagai hasil tindak pidana, baik korupsi maupun tindak pidana lain, tergolong tindak pidana bcrat (serious crimes) maupun yang biasa (ordinary crimes).
' Ra1da Na.,.,.~wi Arief. Bunga Rampai Kehtja~an Hukum PuJana Bandung 1
l"itra AdiL)a Baldi
20)