KONSEPSI ETIKA SKRIPTURAL TENTANG BERTUHAN YANG BENAR Kusen endahuluan Studi tentang manusia memperoleh perhatian serius sejak masa Socrates1 Santos,
(Taylor, 1932; Gigon, 1973; Hasan, 1973; Berten, 1978, dan 1982).
Pendapat
tersebut
berdasarkan
pada
pembahasan-
pembahasan filsafat masa sebelum Socrates yang membahas soal alam raya (kosmologi) (Poedjawijatna, 1983; Hatta, 1983). Pembahasan manusia dari masa ke masa semakin mendapatkan bentuk, sehingga pada akhir abad 18 M lahirlah disiplin ilmu filsafat Manusia2. Kemudian di masa modern, filsafat
manusia
berkembang
menjadi
humanisme3
(Suseno,
1999).
Humanisme Barat sesungguhnya adalah gerakan penuhanan diri manusia sebagai refleksi penentangan/ penolakan mitologi Yunani Kuno (Syariati, a.n.). Dikatakan demikian karena berawal dari perspektif mitologi Yunani Kuno yang memandang manusia dalam cengkeraman Dewa, dan Dewa merupakan
kekuatan
anti
human
lantaran
selalu
membelenggu
kemerdekaan, kebebasan dan kedaulatan manusia. Hal demikian tercermin lewat dominasi kekuasaan Dewa atas alam raya ini (Silitonga, 1984). 1
Socrates hidup pada tahun 470 – 399 SM. Ia wafat setelah berkali-kali diminumi racun oleh pihak penguasa, meskipun sesungguhnya Socrates dapat melarikan diri dari penjara karena pertolongan seorang sipir, tetap saja Socrates menolak tawaran itu. 2
Uraian tentang filsafat manusia lihat Dr. Alex Lanur, Filsafat Manusia, (diktat penulis saat kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara program Extention-course filsafat, tahun 1997), C.A. Van Peursen, Tubuh, Jiwa dan Ruh (Sebuah Pengantar Filsafat Manusia), Louis Leahy, Manusia sebuah Misteri (Sintesa Filosofis tentang Makhluk Paradoksal), P.A. Van der Weij, Filosuf-Filosuf tentang Manusia, Prof. Ir. Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia), Kasmiran Wuryo Sunadji, Filsafat Manusia, Soerjanto Poespawardjojo dan K. Bertens, Sekitar Manusia (Bunga Rampai tentang filsafat Manusia). 3
Humanisme menjadi wacana hangat sekitar tahun 1800-an. Ludwig Feurbach (18041872 M) merupakah salah seorang yang berjasa atas pemikiran humanisme di jaman modern. Menurutnya, ia tidak sependapat dengan gurunya (Hegel). Bagi Feurbach (belakangan mempengaruhi cara berpikir Karl Mark), agama harus dikembalikan pada manusia supaya bisa menjadi dirinya sendiri, harus membebaskan diri dari agama. Faham reduktif terhadap agama ini
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 134-147
Kusen Konsepsi Etika Spiritual tentang Bertuhan yang Benar
Manusia terpaksa dan dipaksa tunduk pada alam, inilah yang dinamakan jaman Animisme dan Dinamisme4 (Herlingga, a.n.) Baru pada masa Socrates, pemahaman penghambaan diri telah berubah dari kosmosentris ke antroposentris5 (Copleston, 1946; Berten, 1988; Hadiwiyono, a.n.). Gerakan penuhanan diri manusia (antroposentris) selain membawa dampak lahirnya humanisme, ternyata melahirkan filsafat anti Tuhan (Atheis) (Muthahari, 1992; Noer, 1997). Padahal manusia sejak kelahirannya dalam kandungan ibu, sudah diambil kesaksiannya menghambakan diri pada Tuhan.6 Adapun maksud pengambilan kesaksian dilakukan saat bayi ialah agar kelak tidak mengatakan belum datang berita
mengenai Tuhan dan
seraya berujar semua kesalahannya akibat warisan orang tua, apakah pantas kalau demikian halnya hukuman diberlakukan?7 Seiring perjalanan hidup, ternyata perjanjian primordial yang dilakukan manusia ketika bayi mengalami erosi. Untuk mengetahui terjadinya erosi perjanjian manusia dengan Tuhannya, tampak pada gejala tingkah laku, sikap, pikiran yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Menurut Max Weber, tidak mungkin mengubah perilaku masyarakat dan tidak mungkin mengubah etikanya tanpa meninjau sistem theologi dalam masyarakat. Ini berarti gejala perilaku yang tidak benar akibat dari pemahaman manusia tentang Tuhan itu sendiri. Ajaran Tuhan disuguhkan secara eksplisit lewat apa yang disebut dengan Skriptural. Dengan demikian dapat dirumuskan, sesungguhnya ajaran-ajaran Skriptural yang salah membentuk konsep etika bertuhan atau umat beragamanya yang salah menangkap pesan kitab suci. kemudian menjadi pola pemikiran kebanyakan aliran Marxisme dan Komunisme maupun banyak aliran psikologi, seperti teori psikoanalisa (Freud). 4 Animisme adalah kepercayaan atas benda/alam mempunyai roh dan nyawa. Sementara itu dinamisme adalah keyakinan atas kehebatan atau kesaktian benda/alam. Karena pandangan demikian maka mereka menduga bahwa alam itulah sesungguhnya manusia. Bentuk penghambaan mereka pada sesembahannya yakni menyerahkan sesaji atau korban. 5
Antroposentris pada mulanya obyek kajian filsafat Yunani sebagai bentuk perkembangan pemikiran. Pada masa pra Sokrates, corak filsafat Yunani hanya mengenai metafisika. Baru pada masa Sokrates, corak filsafat Yunani sudah tidak ada lagi langit sentris, tapi sudah soal kehidupan manusia baik, benar, salah, jahat, keadilan, juga konsepsi kenegaraan dan seterusnya. 6
Lihat Qs. 7:172
135
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 134-147
Pembahasan Tuhan merupakan sumber kebenaran,8
meskipun kebenaran itu
sendiri bukan Tuhan, sehingga kebenaran bertuhan dan bertuhan kebenaran adalah sesuatu yang nyata beda. Sejarah membuktikan betapa banyak aliran keagamaan dan filsafat muncul akibat mempersoalkan keduanya (Muthahari, 1982; Ghazalba, 1991; Praja, 1993; Truebold, 1994). Makalah ini mencoba memotret konsepsi etika Skriptural tentang bagaimana cara bertuhan yang benar. Dalam teks skriptural Islam, informasi mengenai etika bertuhan yang benar dapat dijelaskan dengan berbagai fenomena kehidupan, diantaranya materialisme, heroisme, ciptaanisme, individualisme, persepsi tuhan, hakekat bertuhan.
Materialisme Wahyu Allah yakni Al-Quran merupakan ajaran yang bersifat eternal (berlaku sepanjang masa selama kehidupan dunia berlangsung), dan up to date dengan segala persoalan hidup (Muthahari, 1982).
Karenanya,
pernyataan pelarangan penyembahan patung bukanlah kisah masa lalu yang tidak berlaku masa sekarang apalagi masa mendatang. Dalam konteks kekinian misalnya, kisah nabi Ibrahim a.s melarang umatnya menyembah patung adalah sesuatu ketetapan hukum yang hingga kini dan masa mendatang masih sangat relevan. Jika pada masa lampau sesuatu yang mempunyai nilai tinggi ialah patung, maka pada masa kini sesuatu yang bernilai tinggi ialah uang atau harta. Oleh karena itu siapapun yang hidupnya semata-mata demi harta, sesungguhnya mereka telah menjadikan benda sebagai sesembahan, dan inilah yang saya maksud Materialisme. Betapa amat mudahnya menemukan sosok Muslim yang secara formal menyembah Tuhan (mengerjakan sholat), tapi jika diperhatikan seksama tampaklah mereka telah melakukan syirik dalam waktu yang bersamaan yakni 7 8
136
Lihar Qs. 7:172-173 Lihat Qs. 3:60
Kusen Konsepsi Etika Spiritual tentang Bertuhan yang Benar
menuhankan harta benda. Dengan demikian orientasi hidup semata-mata harta benda adalah bentuk etika bertuhan yang tidak benar.
Heroisme Dewasa ini fenomena umat menjalankan syariat Islam; sholat lima waktu ditambah berbagai shalat sunnah, puasa senin kamis tiada henti, pun demikian zikirnya senantiasa khusuk. Ironisnya mereka yang kita sebut Muslim taat ini, dalam waktu sekejap telah melupakan apa yang mereka baca “Inna Shalaaty Wanusuky Wamahyaaya Wamamaatiy Lillahi Rabbil Al’alamiym”, usai sholat mereka serahkan mati dan hidup demi sang Pemimpin. Mereka menyangka dengan berbuat begitu telah melakukan perbuatan yang benar karena demikianlah perintah Tuhan sebagaimana Qs.4:59. Dalam Quran kurang lebih 1.600 ayat mengenai kisah atau sejarah, artinya 25% isi Quran menyajikan cerita (Hanafi, 1987). Kisah-kisah dalam Quran dimaksudkan sebagai petunjuk manusia.9 Petunjuk adalah pedoman ke arah yang benar mengenai sesuatu (Suharto, 1996; Badudu, 1996). Misalnya Qs.5:116 memberikan gambaran penolakan
nabi Isa a.s atas
sesuatu yang tidak patut menjadi haknya yaitu pemujaan selain kepada Tuhan. Isa a.s hanyalah bagian kecil dari kisah Quran yang mengisyaratkan pelarangan pemujaan selain Tuhan. Efek pemujaan selain kepada Tuhan (pemujaan terhadap sang tokoh, misalnya) ialah diskriminasi kebenaran. Tokoh yang dipuja, di mata umatnya adalah orang hebat, sehingga hal-hal yang dapat mengurangi kehebatannya semaksimal mungkin ditentang. Dibuatkan dalil pembenaran tindakan sang Tokoh takkala suatu kali menurut pandangan di luar kelompoknya salah. Dengan demikian mereka telah terjebak pada pemutlakan pendapat.
Siapa saja yang memutlakkan pendapat manusia
9
Qs. 103:1 (demi masa). Masa adalah waktu, dan waktu ada peristiwa. Peristiwa adalah kisah kejadian pergantian siang malam dengan penuh peristiwa, dan hanya yang berakal mampu mengambil pelajaran (lihat Qs. 16:10-12, 39:21 dan 6:98 serta 12:111)
137
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 134-147
sebagai hal yang paling benar, maka sesungguhnya mereka telah bertuhan dengan etika yang tidak benar. Hanya Tuhan yang wajib dipuja, dan hanya Tuhan kemutlakan kebenaran itu. Jadi mereka yang memutlakkan pendapat sang pemimpinnya, sama maknanya dengan melakukan syirik yang nyata. Ketaatan kepada pemimpin sebagaimana isyarat Qs.4:59 tidak harus berlaku/ bersikap layaknya orang jahilliyah, dan inilah yang saya maksud Heroisme sebagai bentuk beretika bertuhan yang tidak benar (Abidin, 1971; Munawar,1984; Syariati, 1990; Syadjali, 1993; Taimiyah, 1994).
Ciptaanisme Kisah nabi Ibrahim mencari Tuhan yang diawali melihat bintang di tengah malam, dan disangkanya Tuhan. Bintang tenggelam Ibrahim pun kecewa. Lalu ia alihkan Tuhan pada bulan hingga matahari, dan keduanya pun tenggelam. Ibrahim dengan cerdas lalu menyimpulkan bahwa keduanya adalah ciptaan, dan tidak patut menyembahnya.10 Kisah Ibrahim dengan proses pencarian Tuhan merupakan oto-kritik atas manusia. Adapun oto-kritik yang saya maksud ialah; pertama, indikasi lemahnya Tuhan yang dibuat manusia, kedua, isyarat memperdayakan akal secara sungguh-sungguh dipastikan menemukan kebenaran sejati (Tufail, a.n.) Indikasi lemahnya Tuhan yang dibuat manusia terjadi saat manusia belum mampu memecahkan misteri alam. Manusia mereka-reka sendiri untuk memuaskan hati dan akal. Tatkala gunung meletus misalnya, karena tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, maka akal menyodorkan konsep mengenai apa yang disebut “penguasa gunung” sedang murka. Begitu pula tatkala laut berombak besar (badai), maka para nelayan berbondong-bondong memberikan sesaji ke laut agar penguasa laut mereda kemarahannya. Ciri dominan
manusia menuhankan ciptaannya ialah
pengkramatan atas sesuatu benda.11 10
Lihat Qs. 7:76-79 Nurcholish Madjid dalam kuliah filsafat Quran program Pascasarjana Falsafah dan Agama Semester I tahun 2000 di Universitas Paramadina. 11
138
Kusen Konsepsi Etika Spiritual tentang Bertuhan yang Benar
Manusia sebagai makhluk yang berakal,12 ciri khasnya ialah tidak pernah merasa puas. Keingintahuannya yang kuat mendorong manusia untuk kembali menanyakan sebuah konsep kebenaran penghambaan. Benarkah alam ini yang berkuasa dan menguasai manusia?. Dari mana kekuasaannya diperoleh?. Upaya yang terus menerus mengritisi alam, akhirnya membuahkan jawaban bahwa alam ini ternyata, dicipta oleh Sang Maha Pencipta.13 Dengan demikian Ibrahim a.s disamping sebagai nabi dan rosul, ia pun sesungguhnya seorang filsuf. Jadi penyembahan manusia atas alam (ciptaan) adalah penyelewengan etika kebenaran bertuhan. Dalam konteks ciptaan manusia, fakta menyodorkan betapa orang merasa tidak tenang jika sengaja jauh dari dirinya. Senjata telah menjadi sandaran hidupnya, pujaan dan kehebatannya. Kita menyebut dengan apa orang
yang
berperilaku
seperti
itu,
kalau
tidak
dengan
sebutan
penyelewengan penghambaan atas ciptaan manusia sendiri. Contoh lain TV di Amerika Serikat disebut sebagai The Second God (Tuhan kedua). Anakanak belajar tentang cara hidup, berpakaian, makan, bergaul dan seterusnya. TV bahkan akhir-akhir ini sudah menjadi The First God (Tuhan Pertama) pada masyarakat industri. Dengan demikian TV telah menjadi rujukan atau pedoman hidup, bahkan lebih dari itu, orang tidak bisa hidup kalau tidak ada TV. Ketergantungan hidup pada tuhan yang bernama “Tuhan TV”. Ciptaan manusia telah dituhankan, inilah yang saya maksud dengan Ciptaanisme (Subandy dan Malil, 1997).
12
Pada binatang, kemampuan berimajinasi tidak dapat berkembang lantaran irasional iddle, sementara manusia mengalami perkembangan yang pesat dan maju. Dalam istilah filsafat atau teori etika Islam disebut Hawayam al-Natieq, dan faktor inilah yang membedakan manusia dengan makluk lainnya. Al-Quran sendiri banyak menyinggung hal demikian. 13
Simak kembali Qs. 6:76-79, juga simak David Treblood dalam Philosophy of Religion serta Louis Leahy dalam buku Filsafat Ketuhanan.
139
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 134-147
Individualisme Sebuah hadits dari Ali bin Musa Al. Ridla,14 bersabdalah nabi Isa a.s “atas ijin Allah aku mampu menyembuhkan berbagai penyakit, bahkan orang mati atas ijin Allah dapat aku hidupkan kembali. Tapi aku tidak bisa menyembuhkan satu penyakit”. Maka beliau pun ditanya muridnya, gerangan penyakit macam apa sehingga tidak mampu disembuhkan. Lalu nabi Isa pun menjawab; “Penyakit dungu yaitu orang kagum kepada pendapatnya sendiri dan dirinya sendiri serta memandang semua keunggulan ada padanya dan tidak melihat cacat baginya; yang memastikan semua kebenaran berasal darinya. Itulah orang dungu yang tidak ada jalan untuk mengobatinya.” Dalam istilah Sufi, penyakit dungu terkenal dengan ungkapan Laa Yadri walaa yadri an-nahu laa yadri (orang bodoh tapi tidak menyadari dirinya bodoh). Orang semacam ini dilukiskan Allah sebagai sejelek-jeleknya binatang disisi-Nya.15 Mengapa Allah menilai orang dungu itu sebagai binatang yang paling rendah disisi-Nya?. Untuk menjelaskan hal demikian, Chuong Tse (murid Lau Tse) mengilustrasikan dialog sungai dengan laut; sungai saat itu mengira dirinyalah paling besar, hebat dan kuasa. Buktinya tatkala sungai lagi deras arusnya, tak ada yang berani mendekati. Dipastikan apa saja dan siapa saja berani mendekati, lebih-lebih berani masuk wilayahnya niscaya akan ditenggelamkan. Sepanjang perjalanannya yang penuh keangkuhan itu, tiba-tiba di depan sungai membentang air yang lebih besar dan terjadilah dialog kurang lebih sebagai berikut : +
Wahai air yang lebih besar, siapakah kau ?
-
Aku laut. Ada apa ?
+
Mulanya aku menyangka paling hebat, kuat dan besar. Begitu aku melihatmu tampak lebih besar, aku jadi malu. Wahai laut, mengapa engkau tidak sombong seperti aku ?
-
Bagaimana aku bisa sombong, aku yang besar seperti ini ternyata masih ada yang lebih besar lagi. (demi mendengar
14
Hadits dikutip dari surat kabar Kayhan Al-Araby dalam rubrik Tsaqafah, Teheran, 23 Desember 1989. 15 Lihat Qs. 8:22/2:6-7
140
Kusen Konsepsi Etika Spiritual tentang Bertuhan yang Benar
penuturan laut, sungai semakin malu dan arusnya tak lagi deras. Perhatikan pertemuan air laut dengan sungai, tampak tenang; muara). Kalau sungai saja tahu diri, maka kalau ada manusia tak tahu diri, nyata-nyata derajatnya lebih rendah. Pantas nabi Isa a.s tidak mampu mengobati orang semacam ini (bodoh tapi tidak tahu dirinya bodoh). Dalam praktek kehidupan, tidak sulit menemukan orang dungu. Sindiran Quran; apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang merasa dirinya suci?16 Perasaan suci lebih lanjut mengandung implikasi; paling benar dan paling baik, paling hebat. Padahal paling baik, benar dan hebat hanyalah milik Allah saja. Dengan demikian siapa saja yang merasa dirinya paling baik, benar, hebat, sesungguhnya mereka telah menuhankan dirinya. Tidakkah belajar dari kesalahan Firaun, padahal sungguh dalam sejarah terdapat pelajaran bagi kaum yang berakal.17 Individualisme dalam makalah ini sebagaimana keterangan di atas bisa diartikan bahwa siapa saja yang berlaku dungu sesungguhnya telah melakukan etika bertuhan yang tidak benar.
Persepsi Tuhan Dalam agama Hindu, Tuhan divisualisasikan sedemikian rupa sehingga tampak oleh mata jika dipandang. Sementara agama Budha lahir sebagai nilai pemberontakan sistem theologi yang dibangun Hindu. Salah satu bentuk pemberontakan sistem theologi Budha atas Hindu ialah mengenai persepsi Tuhan. Dalam pandangan Budha, Tuhan tidak dapat dilukiskan dengan sesuatu apapun. Bahkan untuk memberikan nama/ sebutan sebagai sesuatu yang disembah pun tidak. Sehingga sebagian ahli ilmu perbandingan agama, menyebut Budha sebagai bukan agama, tapi filsafat moral (Smith, a.n. dan Syu’aib, a.n.)
16 17
Lihat Qs. 4:49 Lihat Qs.12:111
141
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 134-147
Alasan yang dikemukakan pengikut Budha tidak menyebutkan nama sesembahannya ialah agar tidak mengurangi kebenaran dan kesucian Tuhan itu sendiri, sebab dikuatirkan pemberian label atau atribut lain sama artinya menutup bulan dengan telunjuk. Dengan kata lain Tuhan dalam pengertian
sifat, konsep, ide dan seterusnya bukanlah Tuhan yang
sebenarnya, karena Tuhan yang sebenarnya di luar konsep, gagasan atau atribut lainnya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang diciptakan manusia. Tuhan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata/ bahasa yang terbatas, karena Tuhan dzat yang tidak terbatas, sedang manusia dzat yang terbatas. Bagaimana mungkin hal yang terbatas mampu memahami yang tidak terbatas. Tuhan adalah misteri yang tidak dapat diketahui, dipikirkan dan dipahami manusia. Karena itu Tuhan tidak dapat dikatakan begini dan begitu (Noer, 1998). Allah berfirman dalam hadits qudsi “Ana ‘inda channy ‘abdibiy” (aku senantiasa mengikuti sangkaan hambaku). Atas dasar hadist qudsi tersebut wajar jika Al Junayd berkata “Lawn a;-na’ lawn ina’ihi” (warna air adalah warna bejana yang ditempatinya). Untuk menyelamatkan kita dari persepsi Tuhan yang tidak benar tampaknya perlu diperhatikan sabda Rasul saw yang artinya beribadahlah seolah-olah kita melihatnya dan sekiranya tidak bisa, yakinilah bahwa Tuhan pasti melihat.18 Menurut Nurcholish Madjid, persepsi bentuk Tuhan dalam Quran merupakan
akulturasi
agama
Hindu
dan
Budha.19
Artinya
Islam
memposisikan di tengah yaitu membolehkan visualisasi Tuhan namun melarangnya pula. Pembolehan visualisasi jika ada pada bahasa verbal, sebaliknya pelarangan visualisasi jika terjebak pada bahasa non verbal yang disangkanya Tuhan yang benar. Abu Jafar Ashadiq memperingatkan bahwa barang siapa memuja nama Allah tanpa mengacu pada substansinya, ia kafir. Barang siapa memuja Allah (nama dan substansinya), ia musyrik. Dan
18
An ta’buda ‘I-laha Ka-annaka taru fa in lam takun tarahu yaaraka (HR Muslim dari Umar bin Khattab) 19 Disampaikan Nurcholish Madjid dalam tatap muka perkuliahan Filsafat Quran semester I pada program Pascasarjana Falsafah dan Agama Universitas Paramadina.
142
Kusen Konsepsi Etika Spiritual tentang Bertuhan yang Benar
barang siapa memuja dzat Allah berangkat dari pengetahuan nama Allah itu sendiri, barulah bertauhid yang benar (Muhammad, a.n.). Quran surat AlIkhlas
(112:1-4)
merupakan
persepsi
pelarangan penggambaran Tuhan.
perpaduan
pembolehan
dan
20
Persepsi Tuhan dalam Quran juga merupakan akulturasi konsepsi theologi Yahudi dan Nasrani. Sebelum dimerdekakan oleh nabi Musa a.s, bangsa Israel dijadikan budak oleh rezim yang berkuasa selama ratusan tahun (Taufiqulhadi, a.n.). Ciri dominan pada budak secara kultural ialah sikap kerasnya. Artinya, budak tidak akan mengerjakan sesuatu perintah jika tidak disertai ancaman (intimidasi) dan janji yang kongkrit. Oleh karena itu, ketika nabi Musa a.s membebaskan bangsa Israel disertai ajaran agama tauhid, syareat pertama yang disampaikan ialah ten comandement.21 Hipotesis 90% ajaran agama Yahudi berisi hukum. Ini berarti jiwa keras orang-orang Israel sedemikian rupa, sehingga gara-gara Taurat orang berlaku kejam. Titik balik kekejaman dan kekerasan orang Israel ialah saat hadirnya ajaran Isa a.s tentang cinta kasih. Hipotesis saya, 90% ajaran Injil tentang kasih sayang. Pertanyaannya ialah bagaimana mungkin tercipta keadilan hidup, kalau Tuhan dipersepsikan hanya segi kekuatannya saja. Juga sebaliknya bagaimana mungkin terjadi keadilan hidup jika Tuhan dipersepsikan lemah lembut saja. Di sinilah letak akulturasi Tuhannya Yahudi dengan Nasrani yaitu
menjelma
dalam
ajaran
Islam.
Dalam
ajaran
Islam
Tuhan
menampakkan sifatnya dalam dua dimensi yang berlawanan (lihat asmaul husna dan ayat tentang perang). Dengan demikian etika persepsi Tuhan yang benar senantiasa membutuhkan kecerdasan menangkap pesan Tuhan.
20
Dalam Qs. 2: 143, Allah menjadikan Islam sebagai umat Wasathan. Thelogi Hukum Islam, secara historis juga merupakan perpaduan dari hukum theologis Yahudi dan Nasrani. Pada konteks Taurat bermuatan Hukum yang keras, sementara Injil bermuatan hukum kasih sayang lebih dominan. Islam dalam konteks ini membolehkan sikap keras dan lembut. Kapan bertindak keras, kapan bertindak lembut (lihat Qs. 3:159, 9:73, 2:190-192, 8:47). 21
Nurcholish Madjid dalam mata kuliah filsafat Quran Program Pasca Sarjana/S-2 Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Mulya semester I/2000.
143
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 134-147
Pantas saja kalau nabi Muhammad saw bersabda “Faqihyu Asyaddu ‘alasyaythaani min alfi ‘aabidin” (seorang faqih lebih sulit digoda syetan dari pada seribu orang ahli ibadah). Hakekat Bertuhan Johan Effendi dalam tulisannya konsep-konsep Theologi dalam Quran, mengawali pembahasannya mengutik kita Al Figh Al Akbar karya Abu Hanifah yang ternyata berisi aqidah/ ketauhidan (Rachman, 1995). Menurutnya, pijakan dasar bertuhan ialah sifat ataupun sikap syirik yang dicirikan dengan dua karakter; pertama, anggapan Allah punya saingan, dan kedua, anggapan Allah punya sekutu. Pada karakter pertama dan kedua disebut syirik secara jahar (terang), dan itu sudah saya terangkan seperti uraian tersebut di atas (materialisme, individualisme, heroisme, ciptaanisme, dan persepsi). Adapun syirik dengan pengertian syir (tersembunyi) jarang tersentuh, padahal akibat yang ditimbulkan sama atau lebih besar bahayanya daripada syirik secara jahar. Mengapa, karena syirik secara jahar mudah dihindari lantaran terang atau jelas. Sementara syirik syiir tidak disadarinya telah dilakukan oleh kalangan muslim sendiri (mayoritas). Oleh karena itu, hakekat bertuhan dalam tulisan ini memfokuskan bahasan syirik secara syiir, dengan tujuan dapat beretika dengan benar kepada Allah SWT seperti tercermin dalam tulisan dibawah ini. Al Quran diturunkan Allah, secara garis besar dibagi dalam periode, periode Makkiyah yang terbagi dalam tiga tahap (tahap I, 610-615 M, tahap II, 615-617 M, dan tahap III, 618-622 M). Periode Madaniyyah (622-632 M). Pada periode I (awal diturunkannya Quran), turun sebanyak 48 surat, 11 surat turun berurutan mengenai etika bertuhan yang benar dan isyarat mengenai syirik jenis syiir. Berikut keterangannya : Surat pertama turun (96:1-5) mengajarkan manusia untuk membaca. Membaca
dalam
pengertian
luas
ialah
aktifitas
yang
memerlukan
pengamatan, penyelidikan dan penalaran atas suatu peristiwa di jagad raya ini (IKIP, 1990). Surat kedua turun Al Mudatsir, informasi mengenai peringatan agar umat manusia segera bertobat. Surat ketiga turun ialah Al
144
Kusen Konsepsi Etika Spiritual tentang Bertuhan yang Benar
Lahab (111:1-5), informasi mengenai harta yang tidak ada gunanya jika harta itu tidak dibelanjakan di jalan Allah. Surat ke empat
turun Al Quraisy
(perintah berderma dan ibadah) surat kelima Al Kutsar pentingnya berkurban. Surat ke enam
turun Al Humazah, yang menginformasikan
kecaman Allah atas orang-orang yang menumpuk harta tapi tidak dibelanjakan ke jalan Allah, dan mereka diancam masuk ke neraka. Surat ke tujuh turun, informasi mengenai Allah yang tidak menganggap orang beragama sebagai hambanya padahal mereka beribadah kepada Allah (Qs.107:1-07). Hal demikian terjadi karena tidak peka terhadap fenomena sosial. Surat selanjutnya turun secara urut (Qs. At-Takaatsur, Al-Fiil, Al-Lail, dan Al Balad) menginformasikan pentingnya kepedulian sosial. Jadi misi Quran periode awal secara tersirat mengandung konsep; perintah saleh individual dan saleh sosial. Barang siapa saleh individual tapi tidak saleh sosial, sama artinya tidak beretika sesuai kehendak Tuhan yang telah digariskan dalam kitab suci (skriptural).
145
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 134-147
Daftar Pustaka Abadin, Zain. 1971. Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Sina. Jakarta: Bulan Bintang. Badudu, J.S. dan Zain, Sutan Muhammad. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Bartens, K. 1988. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius Copleston, F. 1946. A History of Philisophy. London Ghazalba, 1991. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang Gigon, O. 1947. Sokrates Sein Bild in Dichtung und Gechicte. Bern Hadiwiyono, Harun. a.n. Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius Hanafi. 1987. Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-Kisah Al-Quran. Jakarta: Al Husna Hasan, Fuad. 1973. Apologia Pidato Pembelaan Sokrates yang Diabadikan Plato. Jakarta: Bulan Bintang. Hatta, Mohammad, 1983. Alam Pikiran Yunani I dan II. Jakarta: Tinta Mas Herlingga, Mochamad Choesni. a.n. Asas Linggaisme Falsafah Nenek Moyang Kita. Surabaya: Antariksa IKIP. 1990. Seri Kuliah Bahasa Indonesia: Pengajaran dan Ujian Ketrampilan Menyimak. Bandung : IKIP Muhammad, Abu Jafar. a.n. Al Tauhid. Iran: Muasyah Al-Nasyr Al Islami Munawar, Khalil. 1984. Sepanjang Pimpinan Al-Quran. Jakarta: Ramadhani. Muthahari, Mutadha. 1992. Kritik Islam terhadap Paham Materialisme. Risalah Agama
Jakarta:
Muthahari, Mutadha, 1986. Manusia dan Agama. Bandung: Mizan Noer, Deliar. 1997. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan Noer, Kutsar Azhari. 1998. Tuhan yang Diciptakan dan Tugan yang Sebenarnya. Jurnal Pemikiran Paramadina Vol 1. No. 1. Jakarta: Paramadina Poedjawijatna. 1983. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Bina Aksara Praja, Juhaya S. 1993. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Yayasan Piara Rachman, Budhy Munawar. 1995. Kontekstualisasi Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina
146
Kusen Konsepsi Etika Spiritual tentang Bertuhan yang Benar
Santo, G.X. 1982. Socrates Philosophy in Plato’s Early Dialogues. London. Silitonga, Sukartini dan Djojohadikusumo. 1984. Mitologi Yunani. Jakarta: Djambatan Smit, Huston. a.n. Agama-Agama Besar di Dunia Subandy, Idi. 1997. Hegomoni Budaya. Jakarta: Bentang Suharto dan Iryanto, Tete. 1996. Kamus Bahasa Indonesia Modern Surabaya: Indah Suseno, Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionism. Jakarta: Gramedia Syadjali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press Syariati, Ali. a.n. On the Sociology of Islam Syariati, Ali, 1990. Ummah dan Imamah. Lampung: Yai Syarif, MM. a.n. Para Filosuf Muslim. Bandung: Mizan Syu’aib, Yoesoef, a.n. Sejarah Agama-Agama Taimiyah, Ibnu. 1994. Teori Pemerintahan Islam. Jakarta: Renika Cipta Taufiqulhadi, T., a.n. Satu Kota Tiga Tuhan. Jakarta: Paramadina Taylor, A.E. 1932. Sokrates. London Truebold, David. 1994. Philosophy of Religion/Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
147