KONSEP TAFKIR DALAM AL-QUR’AN
Khaeriyah1 Abstract: Although most of the moslems expert said that now is resurrection
of religion era, special moslem. Islam is not yet move from behidden and obstinacy (resistence to change) yet. Nowdays, Book said that Islam is the best moslem. Later book promised to the moslem that Islam hands the power (authourity), rule, politic, arrange, plan and take care of world.Then the main ideas in this writing are; How is the al-Atfkir consepts in the book?. So to more focus to discuss this article, it will be taken many matters, are; First, How is the al-tafkir‘s consept and obyect in the book? The second, how are the consept of al-tafkir’s epistimology, onthology, and actiology in the book?. The consept of al-tafkir is a thinking process towards the obyect of god’s ayats, whether which is to be quliyat’s characteristic or kauniyat. Later some one can achieve the real true which born godliness awareness and humanity. The end, al-tafkir process can be understood through science of al-tafkir’s ontology and epistimologi aksiologi in the book.
Key words; al-Atafkir, Book, Moslem Thought Pendahuluan Dewasa ini, umat Islam belum juga beranjak dari keterpurukan dan kejumudannya, meskipun sebagian pakar berpendapat bahwa era kekinian adalah era kebangkitan agama, khususnya umat Islam. Fenomena ini menggambarkan bahwa umat Islam tidak memenuhi harapan al-Quran. Menurut informasi al-Quran, umat Islam merupakan umat yang terbaik (khairu ummat). 2 Di tempat lain, al-Quran menjanjikan kepada umat Islam sebagai pemegang kekuasaan politik, pengatur, pengelola, dan pemelihara dunia; sebagai umat yang agamanya kokoh dan membumi; sebagai umat yang hidup dalam kedamaian dan ketenteraman. 3 Tegasnya harapan atau cita-cita ideal umat Islam yang dikemukakan al-Quran tidak tampak dalam kenyataan.
Lahir di Bone, Tahun 1975. Kini, sebagai Staf pengajar bidang agama “Islam” pada Fakultas Literature dan Kebudayaan UNHAS Makassar. E-mail:
[email protected]. 1
2
QS. ali Imran [3]: 110.
3
QS. al-Nur [24]: 55.
1
Dalam suatu buku yang berjudul “Limaza Taakhhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairahu” ditegaskan bahwa sebab utama kemunduran umat Islam adalah karena mereka telah meninggalkan al-Quran. Menurut Muhammad al-Gazali bahwa belakangan ini dapat disaksikan betapa banyak umat Islam yang menanggapi ayat-ayat al-Quran dengan kebisuan dan kebutaan. Di sisi lain, banyak bangsa di dunia ini yang memang menghendaki umat Islam bersikap demikian terhadap al-Quran. Fenomena di Inggris, banyak dijumpai stasiun-stasiun radio internasional menyajikan sebagian programnya dengan diawali pembacaan ayat-ayat al-Quran. Mereka seolah-olah paham benar bahwa umat Islam sekarang ini hanya sekedar mendengarkan al-Quran tanpa memperhatikan kandungannya. al-Gazali menegaskan bahwa yang demikian ini sesungguhnya adalah kezaliman terhadap al-Quran.4 Sementara pemikiran Barat sendiri yang berakar pada paradigma materialisme mekanistik yang dikenal dengan paradigma Cartesian-Newtonian, telah menciptakan berbagai problem dan krisis global yang serius, kompleks dan multidimensional. Seperti krisis kemanusiaan (dehumanisasi), krisis ekologis, maraknya kekerasan dan kriminalitas, krisis moral dan kesenjangan sosial yang semakin melebar, berbagai macam penyakit fisik dan phisikis yang menakutkan dunia global misalnya depresi, psikopat, skizofrenia dan bunuh diri yang semua ini disebut oleh Fritjop Capra 5 sebagai “penyakit-penyakit peradaban.” Menurut Capra, krisis-krisis global dan multidimensional tersebut dapat dilacak pada cara pandang dunia manusia modern. Pandangan dunia (world-view) mereka dibangun dari pandangan dunia yang materialistik-mekanistik yang
berakar pada
paradigma
Certesian-Newtonian.
Mengenai fenomena krisis global dan multidimensional ini, Arnold Toynbee menyatakan telah terjadi ketimpangan yang sangat besar antara sains dan teknologi yang berkembang demikian pesatnya, sementara di sisi lain kearifan moral dan
Muhammad al-Gazali, Berdialog dengan al-Quran. Diterjemahkan oleh Masykur Hakim dengan judul Kaifa Nata’amal ma’ al-Quran (Cet. I; Bandung: Mizan, 1991), h. 17-19. 4
Frintjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, Diterjemahkan oleh M. Thoyib dengan judul The Trainning Point: Science, Society and The Rising Culture (Cet. I; Yogyakarta: Benteng Budaya: 1997), h. 8. 5
2
kemanusiaan sama sekali tidak berkembang dan bahkan dapat dikatakan mundur ke belakang.6 Eric Fromm lebih jauh mengemukakan pandangan-pandangan pemikir abad ke 19 yang menggambarkan bahaya-bahaya dehumanisasi pada masyarakat modern. Disraeli dan Marx, keduanya melihat manusia menjadi tak berdaya, menjadi budak mesin dan hawa nafsu mereka semakin menggila. Selanjutnya Disraeli berkata; pemecahannya adalah dengan membatasi kekuasaan para borjuis baru dan menurut Marx, masyarakat industri maju dapat diarahkan menjadi masyarakat manusiawi dengan cara menempatkan manusia –bukan benda-benda material- sebagai tujuan bagi tindakan sosial. 7 Berdasarkan fakta dari uraian tersebut, maka masalah pokok dibahas dalam makalah ini adalah apa dan bagaimana konsepsi al-tafkir dalam alQuran? Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dikemukakan tiga permasalahan turunan, yaitu; Pertama, bagaimana konsepsi dan obyek al-tafkir dalam al-Quran?; kemudian kedua, pada analisis bagaimana epistemologi al-tafkir dalam alQuran?. Konsepsi dan Objek al-Tafkir dalam al-Qur’an Pembahasan term al-Tafkir dan term-term lainnya yang menunjuk kepada konsep berpikir dalam al-Qur’an dapat dilihat pada term al-tafkir sendiri dan term alTa‘aqqul, Nazar, Tadabbur, Alima, Fahima, Tafaqquh dan Ra’a. Term al-Tafkir adalah term yang sewazan dengan “taf’il.” Term ini mengandung makna mubalaqah (penyangatan). Asal dari kata tersebut adalah kata kerja fakkara-yufakkiru-tafkir. Namun term tafkir sendiri tidak ditemukan penggunaannya dalam al-Quran. Yang ditemukan hanyalah kata kerja fakkara sebagai bentuk verb dari term tafkir. Bentuk kata tersebut berakar dari huruf fkr. Term yang berakar dari tiga huruf tersebut dalam
6 Hal dinyatakan oleh Toybee dalam dialognya dengan Daisaku Ikeda yang kemudian dibukukan dengan judul Choose Life: A Dialogue (London: Oxford Universite Press, 1876), h. 307. 6 Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyyah, Mu’jam Maqayīs al-Lughat (Bairut: Dār alFikr, 1994), I, h. 21.
Erich From, Revolusi Harapan. Diterjemahkan oleh Kamdani dengan judul The Revolution of Hope (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 29-30. 7
3
segala bentuk derivasinya ditemukan dalam al-Quran sebanyak 18 kali dan semuanya ditemukan dalam bentuk verb.8 Secara etimologis term ini menunjuk makna bolak baliknya hati terhadap sesuatu.9 Dari ketiga huruf tersebut terbentuk beberapa kata dan menunjuk berbagai makna. Kata yang dimaksud adalah kata fakara bermakna mengerahkan akal tentang sesuatu dan menyusun sebagian yang ia ketahui, yang dengannya ia sampai kepada sesuatu yang belum diketahuinya. Kata fakkara yang terbentuk dari kata fakara merupakan bentuk kata yang mengandung makna penyangatan (mubalaqah), berarti memaksimalkan dalam menggunakan akal. Kata fakkara sendiri bermakna menggunakan akal dalam suatu yang muskilah, untuk sampai kepada penyelesaian masalah. Dari ketiga huruf tersebut terbentuk juga kata iftakara yang berarti mengingat atau mendayagunakan akal dalam suatu masalah. Kata lain yang terbentuk dari akar kata tersebut adalah kata tafakkara-yatafakkaru-tafakkuran yang secara leksikologis semakna dengan iftakara. Kata tafkīr sendiri bermakna menggunakan akal tentang suatu masalah untuk sampai pada penyelesaian masalah. Kata al-fikr sendiri berarti bermakna menggunakan akal tentang suatu yang sudah dimaklumi untuk sampai mengetahui sesuatu yang belum diketahui.10 Menurut al-Ashfahaniy term yang berakar dari tiga huruf di atas, antara lain adalah al-fikrah yang menunjuk arti kekuatan atau daya yang menjadi jalan kepada pengetahuan untuk dimaklumi. Sedang kata al-tafakkur artinya menggunakan kekuatan untuk merintis suatu pengetahuan menurut pandangan akal. Hal ini hanya berlaku pada manusia dan tidak pada hewan. Selain itu, juga tidak dapat diberlakukan kecuali kepada sesuatu yang dapat tergambar dalam hati. Oleh karena itu ditemukan riwayat yang mengatakan:“Berpikirlah kalian tentang makhluk Allah dan janganlah berpikir tentang (Zat) Allah.” 11 Larangan berpikir tentang Zat Allah karena Zat-Nya tidak dapat tergambar dalam hati manusia, yang dapat tergambar dalam hati manusia hanya ciptaan Allah. 8
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Mu’jam li Alfaz al-Quran, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), h. 525.
Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyyah, Mu’jam Maqayīs al-Lughat (Bairut: Dār alFikr, 1994), h. 793. 9
10
Ibrahim Anis, Mu’jam al-Wasīth (t.tp: tp., t.th.), h. 698.
11
Al-Raqhib al-Ashfahaniy, Mufradāt li Alfaz al-Quran, (Damsik: Dār al-Qalam, 1992), h. 643.
4
Dengan demikian Allah Suci dari segala bentuk penggambaran dan penyerupaan, seperti ditegaskan dalam firman-Nya “laisa kamitslihi syaiun.” Kandungan ayat tersebut mengandung makna tasybih dan tanzih. Maksud yang pertama adalah kandungan ayat tersebut menegasikan penyerupaan Allah. Sedang makna tanzih adalah mensucikan Allah, baik dari segala yang serupa dengan-Nya maupun penyerupaan yang diserupakan dengan-Nya. Dari sisi ini dapat ditegaskan bahwa term tafakkur relevan dengan sesuatu yang bersifat empiris. Dengan kata lain, yang menjadi obyek tafakkur adalah yang dapat diindrai oleh penglihatan, didengar oleh pendengaran dan dirasakan dan dipikirkan oleh hati. Berdasarkan uraian kebahasaan di atas dapat dipahami bahwa kata yang berakar dari huruf fkr menunjuk makna daya pikir yang menjadi sarana memahami suatu masalah dan memberikan penyelesaian masalah dan atau daya yang menjadi sarana yang mengantar kepada ilmu. Tegasnya semua derivasi dari akar kata tersebut menunjuk kepada makna penggunaan daya akal terhadap suatu masalah yang empiris (fisik) dan metafisik. Selain itu dapat pula dipahami adanya proses reproduksi ilmu artinya penggunaan daya akal dalam memikirkan sesuatu yang telah diketahui untuk memperoleh pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui. Dalam konteks ini Imam al-Gazali, seperti dikutip oleh Muin Salim, menjelaskan bahwa tafakkur adalah menghadirkan dua pengetahuan yang telah dimiliki kemudian saling diperhadapkan untuk memperoleh pengetahuan yang selanjutnya (ketiga). Muin Salim ketika mengomentari pandangan al-Gazali tersebut, ia berkata; bahwa berdasarkan contoh yang diajukan al-Gazali, maka yang dimaksud dengan tafakkur adalah berfikir deduktif seperti yang dikenal dalam filsafat ilmu dan atau metodologi berpikir.12 Sedang term yang berakar dari huruf-huruf tersebut dalam bentuk kata kerja yang menunjuk makna sekarang dan akan datang ditemukan dalam beraneka ragam bentuk derivasi yaitu, bentuk tatafakkaru ditemukan 1 kali dalam Q.S. Saba’ (34): 46; bentuk tatafakkarun ditemukan 3 kali dalam Q.S. al-Baqarah (2): 219 dan 266 dan Q.S. al-An’am (6): 50; bentuk yatafakkaru ditemukan 2 kali dalam Q.S. al-‘A’raf (7): 184 dan Q.S. al-Rum (30): 8 dan dalam bentuk yatafakkarun ditemukan sebanyak 11 kali, di antaranya dalam Q.S. Yunus (10): 24. Dari penggunaan kata kerja yang 12
h. 37.
Abd. Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Quran, (Ujung Pandang, LSKI, 1991),
5
menunjuk kepada makna sekarang dan akan datang memperkuat konotasi makna bahwa tafkir atau tafakkur adalah aktivitas berpikir yang berlajut terus menerus. Berdasarkan pengamatan terhadap ayat-ayat tersebut dalam al-Quran, maka dapat dikatakan bahwa ayat-ayat tersebut dipergunakan dalam konteks yang berhubungan dengan al-Quran dan informasi-informasi yang dikandungnya yang meliputi masalah hukum, kisah umat terdahulu (aspek kesejarahan) dan perumpamaan-perumpamaan yang dikemukakan al-Quran dan tentang Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah al-Quran. Selain itu juga berhubungan dengan ayat-ayat yang bersifat kauniyyat yang meliputi fenemona alam raya dan atau gejalagejala alamiahnya, fenemona manusia dan kemanusiaannya baik yang bersifat individu maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa obyek tafkir atau tafakkur dalam al-Quran meliputi ayat-ayat qauliyat yaitu al-Quran dan segala bentuk informasi yang dikandungnya; ayat-ayat yang bersifat kauniyat yaitu alam raya dan segala gejalanya serta hukum-hukumnya. Penggunaan beberapa bentuk derivasi yang berakar dari fkr dalam al-Quran seringkali ditemukan masih rangkaian ayat-ayat yang menggunakan term-term yang berakar pada huruf-huruf tersebut di atas. Misalnya, dapat dilihat pada Q.S. Rum (30): 21. Dalam ayat ini ditemukan term yatafakkarun. Pada ayat sesudahnya yang masih rangkaian ayat 21 ditemukan term yasma’un (ayat 23 dalam surah yang sama), ya’qilun (ayat 24), li al-‘alamin yang seakar kata dengan term ya’lamun (ayat 22). Apalagi jika dicermati dari segi obyek dari term yang berakar dari fkr, seringkali memiliki kemiripan dengan term-term yang berakar dari huruf-huruf di atas. Seperti obyek dari term ya’qilun, yatadabbarun, yasma’un, yanzurun, sama dengan obyek term yang berakar pada huruf fkr. Hal in ditemukan dalam Q.S. al-Nahl (16): 12. Pada ayat ini ditemukan term ya’qilun yang obyeknya sama dengan term yatafakkarun dalam QS. alJatsiyah (45): 13. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa beberapa term yang berakar dari huruf ‘aql, dbr, fhm, ‘alm, fqh, nzr, sm’a, ‘amn dan wqn sinonim dengan term fkr, atau setidaknya memiliki keterkaitan konsepsional, seperti akan dikemukakan kemudian. Dengan begitu, sangat relevan menganalisisnya lebih jauh beberapa bentuk derivasi yang berakar dari huruf-huruf tersebut, baik dari segi analisis kebahasaan maupun dari segi penggunaannya dalam al-Quran.
6
Term Tadabbur Term tadabbur bentuk masdar dari kata tadabbar-yatadabbaru-tadabburan. Term ini berakar pada huruf dbr, yang secara etimologis mengandung makna pokok akhir sesuatu atau lawan dari depan atau belakang sesuatu.13 Secara leksikologis kata yang berakar dari huruf dbr menunjuk berbagai makna antara lain; lepas dan bercerai dari belakang, lepasnya anak panah tidak mengenai sasaran, pergi dan berpaling, menua atau rusak, mengikuti dan menggantikan seseorang yang telah meninggal. 14 Kata tadabbur sendiri berarti memikirkan akibatnya. Menurut al-Ashfahaniy: Kata tadabbur mengandung makna berpikir tentang hal-hal yang belakangan.15 Menarik dikemukakan uraian Muin Salim mengenai kata ayat yang menjadi obyek dari kata tadabbur pada empat ayat tersebut. Menurutnya penggunaan kata ayat yang menunjuk dua konotasi makna yaitu; pertama, ayat al-Quran sebagai ayat qauliyat seperti ditemukan dalam Q.S. al-Qalam (68): 15 dan konotasi kedua bermakna ayat kauniyat (ayat yang tergambar seperti alam raya dan segala isinya), seperti ditemukan dalam Q.S. al-Najm (53): 18. Muin Salim menjelaskan bahwa ayatayat tersebut berfungsi sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah dan bukti eksistensi-Nya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kata ayat yang menjadi obyek kata tadabbur adalah ayat al-Quran yang berwujud dalam bahasa Arab. Dari sisi pengertian ayat sebagai tanda, lanjut Muin salim, maka ayat-ayat al-Quran menunjuk dua aspek yaitu aspek kebahasaan dan aspek makna. Aspek pertama adalah aspek lahir dan aspek kedua adalah aspek kedalaman. Aspek lahir menjadi simbol dari aspek kedalaman yang merupakan pengertian-pengertian abstrak sebagai pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, tegas Muin Salim yang dimaksud dengan tadabbur adalah mengetahui makna-makna yang terkandung dibalik simbol kebahasaan.16 Uraian yang dikemukakan oleh Muin salim di atas, menunjukkan bahwa konsep yang terkandung dalam term tadabbur adalah konsep metodologi dalam rangka memperoleh pengetahuan. Menurut penulis metodologi yang dimaksud 13
Ibn Faris, op. cit., h. 374
14
Ibrahim Anis, op. cit., h. 269.
15
Al-Ashfahaniy, op. cit., 306-307
16
Abd. Muin Salim, op. cit., h. 8-11.
7
adalah metodologi berpikir. Menilik obyek tadabbur adalah ayat-ayat al-Quran maka metodologi berpikir tersebut mencakup berpikir dengan cara deduktif dan induktif yang dikaitkan dengan analisis kausalitas, analisis komparatif, analisis sintetis dan argumentatif. Dengan demikian, konsep yang terkandung dalam term tadabbur sinonim dengan term tafakkur yang juga menunjuk konsep berpikir deduktif dan induktif dengan berbagai analisis yang terkait. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa obyek term tafakkur terdahulu lebih umum dan lebih luas sedangkan obyek dari term tadabbur hanya mengkhususkan pada ayat-ayat Allah yang bersifat qauliyat yaitu al-Quran. Term Tafaqquh Term yang berakar pada huruf fqh tersebut ditemukan dalam al-Quran dalam berbagai bentuk derivasinya sebanyak 20 kali.17 Dari pengamatan terhadap ayat-ayat tersebut ditemukan bahwa jauhar atau substansi yang melakukakan aktifitas tafaqquh adalah al-qalb. Adapun obyeknya adalah ayat-ayat Allah yang bersifat qauliyat yakni alQuran beserta kandungan ajarannya, pernyataan atau perkataan, hadis atau berita, tasbih. Hal lain yang patut dikemukakan adalah term tafaqqahu diperpautkan dengan kelompok orang yang munafik dan orang yang kafir, di mana mereka dinyatakan sebagai kelompok yang tidak mentafaqquhi dan atau memahami dengan mendalam ayat-ayat Allah (al-Quran). Dari sisi ini dapat ditegaskan bahwa term tafaqqahu sinonim dengan termterm lainnya yang telah dibahas di atas. Hanya saja, obyek pemikiran term ini lebih sempit dibanding dengan term-term lainnya yang lebih luas. Dikatakan demikian karena obyek term ini tidak mencakup alam raya dan gejala-gejalanya secara luas. Namun perlu juga ditegaskan bahwa term tafaqqahu lebih luas dari term tadabbur, karena term terakhir ini lebih dikhususkan pada ayat-ayat al-Quran dan tidak mencakup pernyataan-pernyataan lainnya seperti hadis atau seruan Rasul Allah dan perkataan lainnya, sementara term tafaqqahu mencakup obyek-obyek yang disebut terakhir. Namun keduanya (tafaqqahu dan tadabbaru) memiliki kesamaan yaitu pada aspek kedalaman atau pemikiran yang dalam, sehingga dapat mengantar kepada ilmu 17
Fuad Abd al-Baqi., op. cit., h. 666-667.
8
yang lebih abstrak dengan perantaran ilmu yang konkrit, sebagaimana dalam tadabbur terdapat konsep mencari makna dibalik yang tampak. Term Fahima Term ini berakar pada huruf fhm yang secara etimologis mengandung makna pokok mengetahui sesuatu.18 Dari sudut leksikogis menunjuk makna membentuk ide dengan sebaik-baiknya.19 Menurut al-Ashfahani makna kata ini adalah cara manusia memahami dengan mentahqiq makna yang terbaik.20 Kata ini ditemukan hanya satu kali dalam al-Quran yaitu Q.S. al-Anbiya’ (21): 79. Dari kandungan ayat dapat dipahami bahwa obyek kata ini adalah fenomena sosial berupa kasus sosial yang perhadapkan kepada Sulaiman. Kasus sosial tersebut disebutkan dalam ayat sebelumnya dalam surah yang sama. Berdasarkan makna kebahasaannya dan penggunaannya dalam al-Quran sekalipun hanya pada satu ayat, dapat disimpulkan bahwa kata ini menunjuk makna proses penalaran dalam upaya menemukan makna atau ide yang terbaik setelah melewati proses tahqiq. Term Ta’aqqul Secara etimologis term ini berakar pada huruf ‘aql yang mengandung makna pokok kemampuan mengendalikan sesuatu, baik keburukan, perkataan dan perbuatan.21 Dalam kitab Lisan li al-Lisan dijelaskan bahwa ‘aql adalah bentuk masdar dari kata ‘aqala yang bermakna kecerdasan (al-hijr dan al-nuha) lawan dari kebodohan. Sedang yang dimaksud dengan al-‘aqil adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dari hawa nafsunya. Al-ma’qul artinya adalah yang dipikirkan oleh hati. Karenanya, ‘aql diartikan dengan hati. Akal dinamakan ‘aql karena mengikat atau mencegah pemiliknya jatuh dalam kerusakan atau kehancuran. Aql adalah yang
18
Ibn Faris, op. cit., h. 800.
19
Ibrahim Anis, op. cit., h. 704.
20
Al-Ashfahaniy, op. cit., h. 646.
21
Ibn Faris, op. cit., h. 672-673.
9
membedakan manusia dengan hewan. Kata ‘aql juga diartikan dengan makna memahami.22 Dalam kitab Lisan al-Arab kata ‘aqala menunjuk makna mengikat atau memenjarakan atau menawan.23 Itulah sebabnya seorang yang menggunakan akalnya disebut akil karena ia mampu mengendalikan dan menawan hawa nafsunya. Menurut al-Ashfahaniy akal adalah kekuatan untuk memperoleh ilmu. Ilmu ini difungsikan manusia dengan kekuatan akalnya.24 Al-Gazali membagi beberapa arti dan fungsi akal, yaitu pertama, akal adalah sifat yang membedakan manusia dengan hewan lainnya, dengan akalnya manusia mampu memperoleh ilmu yang beraneka ragam; kedua, hakekat akal adalah ilmu pengetahuan yang diturunkan dari alam wujud; ketiga, dengan akalnya manusia mampu memperoleh ilmu dari pengalaman; keempat, akal dapat mengekang hawa nafsu. Pada tempat lain, al-Gazali menegaskan bahwa akal merupakan kekuatan jiwa untuk memperoleh segala ilmu, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat.25 Berdasarkan analisis semantik di atas, dapat dikatakan bahwa akal menunjuk adanya gerakan yang aktif dalam upaya menahan diri sehingga tidak mengikuti hawa nafsu yang dapat mengakibatkan kerusakan dan kesulitan. Kemampuan hati berakal setelah hati itu berfungsi (fu’ad) atau beraktivitas dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang baik, benar dan yang bermanfaat baginya dengan yang batil, jelek atau buruk dan yang tidak bermanfaat baginya. Dengan kata lain manusia ketika menggunakan fungsi hatinya (fu’ad) dalam upaya memperoleh pengetahuan, maka semestinya ia akan mampu menahan dan mengekang hawa nafsunya, sehingga hawa nafsunya tidak menguasai dirinya dan tidak jatuh pada kesalahan dan kebatilan. Dengan begitu ia akan terbebas dari segala kerusakan dan kebinasaan. Pengekangan hawa nafsu tersebut merupakan fungsi qalb yang berta’aqqul (berakal) yang sangat penting.
22
Abbad Ahmad Ali Muhannan, Lisan li al-Lisan (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h.
23
Ibnu Mansyur, op. cit. XIII, h. 480.
24
Al-Ashfahaniy, op. cit., h. 616.
205.
25 Hujjatul
Islam Imam al-Gazali, Ihya Ulum al-Din, (Mesir: Maktabat wa Mathba’at alMasyhuda al-Husainiy, t. th.), I, h. 17, 84-85.
10
Dalam al-Quran derivasi term yang berakar dari huruf ‘aql ditemukan sebanyak 49 kali dalam 30 surah. 26 Dari sekian ayat tersebut tidak satupun bentuk derivasi akal yang berbentuk kata benda, semuanya dalam bentuk kata kerja. Dari fenomena morfologis seperti ini, maka dapat ditegaskan bahwa ‘aql suatu proses gerakan aktivitas dari suatu jauhar atau subtansi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tafakkur dan ta’aqqul sama-sama suatu proses. Tafakkur adalah proses penalaran untuk menghasilkan ilmu atau ra’yu. Sedangkan ta’aqqul adalah kemampuan melakukan gerakan mengendalikan hawa nafsu dan pengaktualisasian ajaran-ajaran agama. Kemampuan ta’aqqul ini diperoleh setelah gerakan tafakkur yang menhasilkan ra’yu atau ilmu. Berdasarkan penggunaan bentuk derivasi ‘aql dalam al-Quran, dapat ditarik kesimpulan awal bahwa aql adalah aktivitas pengekanan hawa nafsu sebagai langka awal pembentukan kesadaran keberagamaan setelah melakukan aktivitas beripikir dan memahami obyek-obyek, baik yang empiris, seperti memikirkan alam raya dan gejalagejalanya, manusia dan kemanusiannya serta fenomena-fenomena sosial, kitab-kitab yang telah diturunkan Allah, tentang dunia maupun yang bersifat metafisik (transenden), seperti akhirat, kematian setelah kehidupan dan kehidupan setelah kematian. Konsep Al-Tafkir Dalam Alquran 1. Ontologi al-Tafkir Dari ayat di atas klausa yang relevan dengan pembahasan adalah klausa “”ويتفكرون في خلق السموت واالرض ربنا ما خلقت هذا باطال سبحنك فقنا عذاب النار. Dalam klausa ditemukan bahwa term yatafakkarun menunjuk obyek tidak langsung yaitu penciptaan langit dan bumi. Menurut Wahbat al-Zuhailiy klausa ini menunjuk makna memahami dan menelaah rahasia-rahasia, manfaat dan hikmah diciptakannya langit dan bumi. Labih lanjut ia mengatakan bahwa pada penciptaan langit dan bumi, baik dari sisi ketinggiaannya, hamparan dan penjagaannnya, kemashlahatannya bagi kehidupan, serta apa yang ada di dalamnya berupa binatang-binatang, lautan, gunung dan sungaisungai, tanaman, tumbuhan dan pepohonan, perpuataran waktu dan keteraturannya, 26
Fuad Abd al-Baqi, op. cit., 594-595.
11
semuanya menjadi tanda-tanda bagi eksistensi Allah sebagai pencipta. Mereka yang dapat memahami semua itu adalah mereka yang memiliki akal sempurna dan matang serta mampu menangkap esensi sesuatu.27 Pada tempat lain al-Syiraziy berkata bahwa hasil dari proses tafakkur terhadap penciptaan langit dan bumi adalah konklusi bahwa penciptaan tersebut tidaklah sia-sia.28 Salah satu bentuk kekuasaan dan kebesaran Allah adalah pengaturan-Nya yang amat teratur dan rapi terhadap langit dan bumi, baik ketetapan-ketetapan hukum-Nya mengenai prosesi penciptaan langit dan bumi serta ketetapan-Nya mengenai pergantian siang dan malam. Kekuasaan dan kebesaran Allah tersebut hanya dapat dipahami secara mendalam oleh mereka yang digelari sebagai kelompok ulul al-bab. Pemahaman ulul al-bab ini lahir setelah mereka memikirkan tentang proses penciptaan langit dan bumi serta fenomena pergantian siang dan malam berserta ketetapan hukum yang berlaku padanya. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami suatu prinsip penalaran Quranik yaitu; bahwa segala sesuatu yang menjadi obyek tafakkur yang bersifat material tidak dapat dilepaskan dari sesuatu yang bersifat transendent. Dalam konteks ini, dapat ditegaskan bahwa obyek-obyek tafakkur tersebut adalah sesuatu yang berasal dari Allah sebagai Penciptanya dan Pemberi aturan yang berlaku atasnya. Dengan demikian, ada integralisasi antara sesuatu yang material dengan yang transenden. Inilah salah satu bentuk perbedaan yang mendasar antara paradigma berpikir Barat dengan paradigma berpikir Quranik, di mana paradigma Barat hanya mengakui obyek material-obyektif sebagai obyek ilmu dan tidak memiliki keterkaitan dengan wilayah transenden. Dari sisi ini, dapat dikatakan bahwa paradigma berpikir Quranik lebih bersifat holistik dibanding dengan paradigma Barat yang terbatas pada yang bersifat material semata. Oleh karena obyek paradigma berpikir Quranik bersifat integral dan holistik, maka tidak heran jika ditemukan dalam al-Quran, bahwa setiap obyek tafakkur disebut sebagai ayat-ayat-Nya yaitu sebagai tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan 27 Lebih jauh tafsiran ayat ini lihat Wahbah al-Zauhailiy, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidat wa alSyariat wa al-Manhaj, (Bairut: Dar al-Fikr, 1991), IV, h. 206-210.
Nashir al-Din Abu Khair Abd Allah bin UMar al-Syiraziy al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil: Tafsir al-Baidawi, (Bairut: Dar al-Fikr), h. 100. 28
12
Allah. Dari sisi ini maka dapat ditegaskan bahwa pengetahuan material akan mengantar seorang ilmuan kepada kesadaran akan kebesaran dan keagungan Allah sebagai pencipta dan pengatur obyek-obyek berpikir tersebut. Konsepsi yang demikian, sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-Thalaq, (65): 12: هللا الذي خلق سبع سموات ومن االرض مثلهن يتنزل االمر بينهن ليعلمو ان هللا علي كل شيئ قدير Kandungan ayat ini menegaskan bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan tujuh tingkat. Demikianlah perintah Allah berlaku bagi keduanya agar mereka mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dari sisi ini dapat ditegaskan bahwa ada hubungan yang erat dan tidak terpisahkan antara obyek material dengan keasadaran akan kebesaran dan kekuasaan Allah sebagai Pencipta langit dan bumi. 2. Epistimologi al-tafkir dalam al-Quran Kita kembali kepada klausa ويتفكرون في خلق السموت واالرض. Penggunaan kata yatafakkarun dalam klausa ini menunjukkan bahwa adanya muatan epistimologis dalam klausa tersebut. Yaitu bagaimana proses berpikir yang dapat dipahami dari ayat 191 dalam surah Ali Imran di atas, khususnya pada klausa ini? Muin salim ketika menguraikan term tafakkur dalam al-Quran, ia berkesimpulan bahwa dalam term tersebut menunjuk dua metodologi berpikir yang satu sama lain saling melengkapi, yaitu berpikir induktif dan deduktif. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa berpikir induktif adalah proses berpikir yang bertolak dari dalildalil yang bersifat khusus untuk memperoleh pengetahuan yang umum. Sedang berpikir deduktif adalah bertolak dari dalil yang bersifat umum untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat khusus. Menurut Muin Salim, kedua metode berpikir ini tidaklah berbeda secara esensial tetapi perbedaannya lebih bersifat fungsional. Oleh karena itu keduanya adalah satu kesatuan. Muin Salim29 ketika memberikan contoh cara berpikir induktif dan deduktif, ia mencontohkan Q.S. al-Rum, (30): 8 dan Q.S. Ali Imran, (3): 191.
29
Muin Salim, op. cit., h. 36-39.
13
أولم يتفكروا في أنفسهم ما خلق هللا السموات و االرض وما بينهما اال بالحق وأجل مسمي و ان كثيرا من .الناس بلقاء ربهم لكافرون الذين يذكرون هللا قياما وقعودا وعلي جنوبهم ويتفكرون في خلق السموت واالرض ربنا ما خلقت هذا باطال سبحنك فقنا عذاب النار Dalam konteks ayat 8 surah 30 di atas, Muin Salim mengutip penafsiran yang dikemukakan oleh al-Qasimiy yang mengemukakan dua bentuk penafsiran yaitu:
pertama, ayat ini memerintahkan agar manusia memikirkan keadaan dirinya, dari tiada, dilahirkan, dibesarkan dan akhirnya kembali tiada. Dengan memikirkan keadaan ini akhirnya manusia memperoleh pengetahuan yang bersifat umum, yaitu bahwa Allah menciptakan dengan ketentuan yang benar dan masa tertentu. Kedua. Ayat ini memerintahkan agar manusia berpikir dari pengetahuan yang umum, bahwa kejadian alam ini semuanya disertai dengan tujuan dan masa tertentu. Dari sini manusia akan sadar bahwa ia pun diciptakan dengan tujuan dan ajal tertentu, karena ia sendiri juga adalah bagian dari alam ini. Kita kembali kepada uraian Muin Salim di atas. Tampaknya apa yang telah dikemukakan oleh Muin Salim lebih ditekankan pada obyek tafakkur yang berupa ayat-ayat kauniyat. Menurut penulis, pendapat dan kesimpulan Muin salim tersebut, akan lebih jelas dan kuat, jika ayat-ayat tafakkur dalam al-Quran, khususnya ayat-ayat yang terkait dengan kauniyat- dikaitkan satu sama lain, dengan demikian akan membentuk metode berpikir yang komprehensif. Caranya adalah dengan menjadikan ayat 191 di atas sebagai rujukan pokok, di mana ayat ini mengemukakan obyek yang bersifat kulliyat dan kemudian dikorelasikan dengan ayat-ayat tafakkur lainnya yang mengemukakan obyek-obyek tafakkur yang bersifat particular. Hal ini dilakukan, karena ayat-ayat yang menggunakan term tafakkur lainnya semuanya dikaitkan dengan obyek-obyek particular. Hanya penggunaan term tafakkur dalam ayat 191 surah ke 3 ini yang dihubungkan dengan obyek-obyek kulliyat. Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa ayat 191 surah ke 3 menginformasikan bahwa memikirkan penciptaan langit dan bumi akan menhasilkan kesimpulan bahwa semua yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia atau tidak tanpa tujuan. Kalau kandungan ayat 191 diperpautkan dengan ayat-ayat lainnya yang
14
menggunakan term tafakkur, di mana obyek-obyek tafakkurnya adalah obyek-obyek yang bersifat partikulas, seperti kandungan Q.S. al-Rad, (13): 3: وهو الذي مد االرض وجعل فيها رواسي وانهار ومن كل الثورات جعل فيها زوجين اثنين يغشي الليل النهار إن في ذلك اليت لقوم يتفكرون Dan Q.S. al-Nahl, 16: 11: هو الذي انزل من السماء ماء لكم منه شراب ومنه شجر فيه تسيمون ينبت لكم به الزرع والزيتون والنخيل واألعناب ومن كل الثمرات إن في ذلك آلية لقوم يتفكرون Kandungan ayat pertama mengemukakan bahwa obyek lain dari tafakkur yang merupakan ayat-ayat Allah adalah isi dari alam raya yaitu bumi yang terbentang, gunung-gunung dan sungai-sungai yang ada padanya, pergantian siang dan malam serta buah-buahan yang berpasang-pasangan; ada yang manis dan ada yang pahit; ada yang jantang dan ada yang betina; ada yang besar dan ada yang kecil. Sedangkan kandungan ayat kedua mengemukakan obyek tafakkur lainnya yaitu air yang diturunkan Allah dari langit yang sebagiannya berfungsi sebagai minuman, yang sebagian
lainnya
menumbuhkan
tumbuhan
sebagai
makanan
ternak
dan
menumbuhkan tanaman-tanaman seperti zaitu, kurma, anggur dan jenis buah-buahan lainnya. Dalam konteks kesalahan penalaran inilah menarik dikemukakan kasus yang melatar belakangi turunnya Q.S. al-Mudattsir, (74): 21: انه فكر وقدر فقتل كيف قدر ثم قتل كيف قدرثم نظر ثم عبس وبسر ثم ادبر واستكبر فقال ان هذا اال سحر يؤثر ان هذا اال قول البشر Dari informasi asbab nuzul ayat, dapat dipahami bahwa ayat ini relevan dengan kasus Walid ibn Mughirah, di mana ketika ditanya tentang pandangannya mengenai al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Walid kemudian berpikir dan memberi pandangan, lalu ia mencermati pandangan-pandangan tersebut untuk menetapkan pandangan mana yang cocok diterapkan kepada al-Quran dan akhirnya Walid menyimpulkan bahwa al-Quran adalah sihir yang dipelajari dari orang terdahulu. Al-Qurthuby meriwayatkan dialog al-Walid dengan kaum Quraisy yang
15
dipimpin oleh Abu Jahal ketika mereka menghadap al-Walid menanyakan sikapnya terhadap al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Al-Walid berkata: فهل رأيتموه, قال تزعمون أنه شاعر. وهللا, قالوا ال, أنتم تزعمون أن محمدا مجنون فهل رأيتموه يخنق... ر: قال. وهللا, ال: قالوا,ر فتزعمون أنه كدّاب فهل جربتم عليه كذابا قطه: قال. وهللا, ال: قالوا,نطق بشعر قطه , ال: قالوا, فهل رأيتموه كذالك, ولقد رأينا للكهنة أسجاعا وتخالبا,فتزعمون أنه كاهن فهل رأيتموه تكهن قط , ففكر في نفسه, فما هو: وكان النبي ص م يسمى الصادق االمين من كثيرة صدقة فقالت قريش للوليد.وهللا . ما هو االساحرز أما رأيتموه يفرق بين الرجال وأهله وولده ومواليه: فقال, ثم عبس,ثم نظر Dari kutipan tersebut di atas dapat diketahui bahwa percakapan itu bermula dari satu masalah, bagaimana pandangan al-Walid terhadap al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Al-Walid bertanya kepada kelompok Quraish. Apakah Muhammad adalah orang gila, atau penyair, atau pendusta, atau tukang tenung. Setiap pertanyaan al-Walid dijawab oleh kelompok Quraish dengan jawaban negasi, bahkan kelompok Quraish tersebut bersumpah dengan nama Allah bahwa Muhammad adalah orang paling jujur dan paling dapat dipercaya. Selanjutnya kelompok Quraish itu bertanya kepada Walid; bagaimana pendapatmu tentang dia? Walid berpikir kemudian mencermati kembali apa yang dipikirkannya kemudian ia bermuka masam sambil berkata bahwa Muhammad itu adalah tukang sihir. Oleh karena, Muhammad memecah belah antara seseorang dengan keluarganya dan memisahkan anak dengan orang tuanya. Dari dialog antara Walid dengan kelompok Quraish dapat dipahami bahwa kesimpulan yang diambil walid tentang Nabi Muhammad menyalahi premis-premis yang dibangunan sebelumnya. Dengan demikian Walid melakukan kesalahan dalam menalar atau berpikir.30 Mengapa hal itu dapat terjadi. Untuk menjawab pertanyaan ini, al-Quran setidaknya mengemukakan tiga faktor penyebab kesalahan dalam berpikir yaitu; 1) dianggapnya dugaan sebagai kepastian (Q.S. al-An’am, 6: 116); 2) bertaklid secara membabi buta (Q.S. al-Baqarah, 2: 170) dan 3) mengikuti ego-ego, keinginan-keinginan sombong dan motivasi-motivasi pribadi, (Q.S. al-Najm, 53: 23). Jika ketiga faktor ini dihubungkan dengan kesalahan al-Walid, maka menurut penulis, kesalahan kesimpulan al-Walid karena faktor pertama dan ketiga. 30
Bandingkan dengan Muin, Salim, op. cit., h. 40-43.
16
Aspek lain yang penting untuk dikemukakan dari ayat 190-191 surah Ali Imran di atas khususnya klausa “ ويتفكرون في خلق السموت واالرض ربنا ما خلقت هذا باطال ”سبحنك فقنا عذاب النارadalah perpautannya dengan kandungan ayat 189 dalam surah yang sama yaitu هلل ملك السموات و االرض وهللا علي كل شيئ قد ير. Dari perpautan kedua klausa ini, dapat dipahami suatu konsepsi mengenai prinsip epistimologi Quranik yaitu prinsip pandangan dunia tauhid sebagai prinsip utama integrasi ilmu. Di mana klausa kedua ini menawarkan konsepsi bahwa Allahlah pemilik kerajaan langit dan bumi dan Dia Maha Kuasa mengatur kerajaan-Nya, maka dalam klausa pertama berisi informasi tentang obyek-obyek yang mesti ditafakkuri yaitu berupa penciptaan langit dan bumi. Dalam konteks ini al-Quran mengajak kita melakukan gerakan penalaran dan perenungan terhadap obyek penciptaan alam raya untuk memperoleh hikmah berupa kesadaran ilahiah. Cara berpikir sintetik analitik, pada dasarnya menempatkan al-Quran yang menjadi obyek tafakkur sebagai data atau dukomen yang berasal dari Allah. Dan memang al-Quran merupakan salah satu obyek tafakkur, seperti ditemukan dalam Q.S. al-Mudattsir, (74): 21 di atas. Al-Quran sebagai obyek tafakkur merupakan kitab pedoman hidup yang diturunkan Allah kepada manusia. Al-Quran berisi konsep tentang Allah, malaikat, hari kemudian, surga dan neraka, kerasulan dan kenabian; konsep tentang keimanan dan kekufuran; konsep ubudiyah dan mualamah, konsep tentang manusia dan kemanusiaan, konsep tentang alam raya dan gejala-gejalanya serta hukum-hukumnya, konsep tentang etika kehidupan individu dan sosial kemasyarakatan, konsep tentang sejarah dan sebagainya. Di sisi lain al-Quran berisi berbagai jenis perumpaan-perumaan dan kisah-kisah umat terdahulu. Tegasnya alQuran membawa ajaran pandangan dunia untuk menerjemahkan relaitas kehidupan. Dengan demikian eksistensi al-Quran dan fungsi esensialnya adalah untuk dijadikan sebagai pandangan dunia dalam memahami realitas kehidupan. Berdasarkan cara pandang ini, dapat ditegaskan bahwa al-Quran sebagai wahyu memiliki peranan epistimologis yang sangat penting dalam Islam. Wahyu al-Quran adalah salat satu sumber ilmu pengetahuan yang membentuk konstruksi realitas. Dengan kata lain wahyu adalah salah satu sumber referensi dalam menafsirkan realitas obyektif. Pengakuan atas wahyu al-Quran sebagai sumber pengetahuan, maka dengan
17
sendirinya menempatkan wahyu sebagai bangunan yang transendental dalam memahami realitas kehidupan dunia. Dengan begitu al-Quran memiliki paradigma keilmuan baik dari sudut ontologis, epistimologis dan aksiologis yang otonom dan sempurna. Inilah yang membedakan antara paradigma keilmuan Barat dengan paradigma keilmuan Islam. Di mana Barat hanya mengakui sumber ilmu pengetahuan hanyalah akal dan sesuatu yang empiris-obyektif dan menafikan sesuatu yang bersifat transendental. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep al-tafkir adalah proses penalaran terhadap obyek-obyek berupa ayat-ayat Allah baik yang bersifat quliyat yang berupa al-Quran dan segala isinya maupun ayat-ayat kauniyat berupa alam raya dan segala gejala-gejalanya termasuk manusia dan kemanusiaannya. Proses penalaran ini diawali dengan proses pengindraan dan pengamatan terhadap obyek-obyek yang telah disebutkan, hasil pengamatan tersebut dianalisis, dikritis, dicermati dalam rangka merumuskan ilmu pengetahuan yang dapat diperpegangi. Ilmu yang merupakan hasil proses tafakkur (yang merupakan tujuan antara) diharapkan membuahkan kemampuan untuk berta’aqqul yaitu kemampuan mengekang
hawa
nafsu
sebagai
suatu
kesadaran
awal
dalam
rangka
mengaktualisasikan dan membumikan ajaran-ajaran agama. Kemudian seseorang dapat mencapai apa yang dinamakan sebagai kebenaran sejati yang melahirkan kesadaran keilahiaan dan kemanusiaan yang sejati. Manusia yang demikian inilah yang diistilahkan oleh al-Quran disebut sebagai kelompok ulul al-bab. Jjelasnya, proses altafkir dapat dipahami secara ontology dan epistimologi aksiologi al-tafkir dalam alQuran. Wallahu A’lam.
18
DAFTAR PUSTAKA Anis, Ibrahim. Mu’jam al-Wasīth. t.tp: tp., t.th. Al-Ashfahaniy, Al-Raqhib. Mufradāt li Alfaz al-Quran. Damsik: Dār al-Qalam, 1992. Al-Baidhawi, Nashir al-Din Abu Khair Abd Allah bin Umar al-Syiraziy. Anwar alTanzil wa Asrar al-Ta’wil: Tafsir al-Baidawi. Bairut: Dar al-Fikr. Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. Mu’jam li Alfaz al-Quran. Bairut: Dar al-Fikr, 1993. Capra, Frintjof. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Diterjemahkan oleh M. Thoyib. Dengan judul The Trainning Point: Science, Society and The Rising Culture. Cet. I; Yogyakarta: Benteng Budaya: 1997. Al-Damaqqaniy, Muhammad. Qamus al-Quran. Libanon: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1980. Fromm, Erich. Revolusi Harapan. Diterjemahkan oleh Kamdani. Dengan judul The revolution of Hope. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Al-Gazali, Hujjatul Islam Imam. Ihya Ulum al-Din. Mesir: Maktabat wa Mathba’at alMasyhuda al-Husainiy, t. th. Al-Gazali, Muhammad. Berdialog dengan al-Quran. Diterjemahkan oleh Masykur Hakim. Dengan judul Kaifa Nata’amal ma’ al-Quran. Cet. I; Bandung: Mizan, 1991. Ibn Mansyur, Jamaluddin Muhammad bin Muhammad bin Mukarram al-Anshariy. Lisan al-Arab. Mesir: Dar al-Mishriyah, t.th. Ibn Zakariyyah, Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris. Mu’jam Maqayīs al-Lughat. Bairut: Dār al-Fikr, 1994. I. Ikeda, Daisaku. Choose Life: A Dialogue. London: Oxford Universite Press, 1876. Muhannan, Abbad Ahmad Ali. Lisan li al-Lisan. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993. Muthahhari, Murthada. Pengantar menuju Logik. Diterjemahkan oleh Ibrahim Husen dari judul aslinya “Asynaiba ulume Islami, duruse Mantiq. Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1994. ______. Memahami al-Quran. Diterjemahkan oleh Staf Yayasan Bina Tauhid dari judul aslinya ‘Understanding The Quran”.Jakarta: TBT, 1986.
19
Salim, Abd. Muin. Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Quran. Ujung Pandang, LSKI, 1991. Al-Zuhailiy, Wahbah. al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidat wa al-Syariat wa al-Manhaj. Bairut: Dar al-Fikr, 1991. IV.
20