Mengeja Rupa Kota, Pg. 5-21, ISBN: 987-602-73270-4-7, Indonesian Institute of Arts Surakarta (ISI Surakarta), Indonesia (2 December 2015)
KONSEP PAGER MANGKOK : MENUJU TATA KOTA YANG EKOLOGIS DAN HUMANIS DI JAWA Bimo Hernowo Architectural History and Urbanism The Research Institute of History and Art History Dept. History and Art History, Faculty of Humanities Utrecht University, Drift 6, 3512 BS Utrecht, the Netherlands Email:
[email protected]
Abstrak Dalam sejarah budaya kota di Jawa, pada kasus hubungan antara penduduk sebuah desa dalam suatu kota, kita mengenal istilah 'pager mangkok (bowl fence)'. Istilah ini merupakan pemikiran filosofis Jawa yang dikembangkan untuk menciptakan suatu keharmonisan pada lingkungan daerah pemukiman di kota-kota dan pedesaan. Tujuan dari konsep ini adalah untuk memperlihatkan adanya jaminan sosial dan tingkat kepercayaan pada batas rumah mereka dengan menerapkan aturan atau tata nilai filosofis sebagai landasan bersama (common ground). Secara fisik pagar yang ada tersebut biasanya terbuat dari tanaman, dengan dilengkapi jalan kecil yang menghubungkan kebun seseorang dengan tetangganya, guna memastikan akses yang terbuka untuk berkomunikasi satu sama lain. Konsep hubungan sosial ini dikenal lebih terbuka, akrab dan memiliki nilai ekologis yang tinggi. Konsep ini sesungguhnya tidak terlalu berbeda dengan target konsep Garden City oleh Ebenezer Howard pada tahun 1902. Pertanyaan tentang orientasi dari kota-kota Jawa kontemporer akan berusaha dijawab melalui diskusi konsep kota modern di Jawa saat ini. Adanya studi ini, diharapkan bahwa kita bisa memahami dan kembali menemukan inti permasalah sebuah kota secara aktual. Hasil dari penelitian ini adalah suatu rekomendasi tentang bagaimana mencapai konsep kota yang ideal. Kata Kunci: pager mangkok, common ground. invisible fence, tata nilai, tata kota, kualitas hidup, ekologis
Abstract Tittle: Pager Mangkok Concept: Return to the Ecological and Humanist City Planning in Java In the cultural history of cities on Java in the case of the relationship among inhabitants of a village in a city, we know a term 'pager mangkok (bowl fence)'. This term is a Javanese philosophical thought that was created to maintain a harmony in the neighbourhood of residential areas in the cities and countryside. The purpose of this concept is to show a social security and the level of trust in their house boundary by applying a philosophical rule or value as a common ground. The existing physical fence itself is usually made of plants with additional small paths which connect one's garden to another to ensure open access of communication between each other. This concept of social relationship among neighbourhoods was known to be more open, familiar and having had a high ecological value. It was not excessively different from the result of what we knew about the concept of Garden City by Ebenezer Howard in 1902. The questions about the orientations of the Javanese cities today would be answered by discussing the concepts of present modern Javanese cities. We expect to be able to understand and re-discover the problems of our city today. The results of this paper will be some recommendations on how to achieve a concept of an ideal city. Keywords: pager mangkok, common ground, invisible fence, values, urban planning, quality of life, ecological
PENDAHULUAN Kota-kota Modern di Jawa saat ini sebagian besar bisa kita nilai hampir masuk dalam kategori kota yang tidak ideal lagi. Banyak dari kota-kota tersebut semakin dirasa akan kelunturan dan bahkan kehilangan nilai
humanitasnya. Dalam pantauan dekade tahun 90an menuju kota dekade berikutnya, banyak kota-kota tersebut seperti melompat dan berorientasi kepada tatanan kota-kota metropolis. Salah satu tandanya adalah, ketika jalan-jalan mulai diperbesar dan kecepatan kendaraan meninggi, suara kendaraan yang
Mengeja Rupa Kota, Pg. 5-21, ISBN: 987-602-73270-4-7, Indonesian Institute of Arts Surakarta (ISI Surakarta), Indonesia (2 December 2015) bising serta efek pencemaran semakin memperburuk kondisi kota, kemacetan dimanamana. Konsep tata hijau tropis yang alami tampak tidak diperhitungkan lagi. Sering terjadi intervesi yang mengakibatkan hilangnya lahan terbuka, sehingga kenyamanan kota sebagai wadah habitus manusia yang waras, yang sehat jiwa dan raga menjadi terganggu. Inti diskusi dalam paper ini adalah untuk menjawab pertanyaan tentang model konsep orentasi kota seperti apakah yang sesuai untuk kota kita? Apakah strategi tata kota yang kita ambil selama ini akan menuju kota yang ideal atau justru menuju ke kota yang gagal? Apakah konsep pager mangkok bisa kita terapkan?
pemukiman, area kerja dan serta basis transportasinya. Tetapi tempat pemukiman tersebut disisi lain meskipun di luar kota, dirasa masih memiliki kekuatan hubungan sosial antara warganya. Kota-kota di Jawa nampaknya agak terlambat dan justru mengikuti patern perkembangan serta masalah kota-kota modern di Eropa ketika zaman industri. Perencanaan planning yang buruk, memperparah kondisi kota. Padahal pada zaman kolonial sudah pada mulai menginjak periode modern sayangnya sekarang justru tidak beranjak naik kelas menjadi kota yang berkualitas hidup tinggi dan justru yang terjadi adalah suatu kecenderungan kualitas ekologis kota yang menurun.
Kegagalan Kota Modern Garden City 1902 Belajar dari kegagalan kota-kota di Eropa, kota-kota di Eropa pada awal abad ke-20 belum muncul banyak masalah. Antara tahun 1900 dan 1940 perubahan banyak terjadi Eropa, lebih dari sepuluh ribu kilometer persegi tanah pertanian mejadi daerah pemukiman, area industri, jalan raya, rel kereta api dan stasiun. Pada periode yang sama, jumlah orang yang tinggal di kota meningkat dari 50% menjadi 70% dari total populasi. Kondisi kerja yang baik dan lingkungan yang lebih nyaman sehingga banyak terjadi perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota (Rottier, 2004: 257). Tanah di pusat-pusat kota mulai banyak yang diperjualbelikan untuk perkantoran dan fasilitas lainnya. Hal ini berakibat pada kepadatan yang membuat kawasan ditengah kota menjadi lokasi yang tidak nyaman untuk bertempat tinggal. Proses industrialisasi mengakibatkan peningkatan jumlah perkantoran dan pertokoan dengan bangunan yang masif dan kompak di pusat pusat kota. Disatu sisi mampu meningkatkan daya beli di sisi lain meningkatkan perekonomian kota. Pembangunan infrastuktur transportasi, yang sangat intens dimana jalan-jalan pusat kota terhubung dengan stasiun dan transport lainnya. Hal ini menjadi alat tranportasi yang mudah yang beroperasi menuju pertokoan, hotel dan restauran. Meskipun semua berkontribusi pada daya tarik terhadap pusat kota, akan tetapi harus diakui bahwa kala itu juga mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Kegiatan pembangunan hunian terpaksa harus ke luar ring kota, dengan berbagai kelemahannya, serta kurang diperhatikannya hubungan antara daerah
Di Eropa pada tahun 1902, muncul konsep Garden City oleh Ebenezer Howard (1850-1928) (Gbr.1,2,3), yang merupakan merupakan konter reaksi terhadap pembangunan kota pada zaman industri yang cenderung mengalami degradasi kualitas lingkungan. Dalam konsep Garden City ini perencanaan pembangunan cenderung berusaha mendekatkan antara kawasan kota dengan kawasan pedesaan-pinggiran dimana diharapkan kualitas hidup secara positif di pengaruhi oleh vegetasi tata hijau disekitar.
Gambar 1. Golders Green, 1900, Sumber: Reicher (2006)
Mengeja Rupa Kota, Pg. 5-21, ISBN: 987-602-73270-4-7, Indonesian Institute of Arts Surakarta (ISI Surakarta), Indonesia (2 December 2015)
Gambar 4. Functional City, Sumber: Reicher (2006)
Gambar 2. Konsep Garden City oleh Ebenezer Howard 1902, Sumber: Rottier (2004: 249)
Di Jawa, konsep-konsep ini nampaknya justru baru di diterapkan dengan banyak di bangunnya rumah susun dan rumah deret di berbagai kota.
Tantangan Kota Setelah 1945-sekarang
Gambar 3. The Three Magnet, Sumber: Reicher (2006)
Pada konsep penjabaran Ganden City yaitu konsep The Three Magnets, diketahui bahwa pengabungan potensi kota dan desa menghasilkan sisi positif sebagai berikut; alam yang indah, kesempatan kontak sosial, kemudahan akses ruang terbuka, harga sewa murah dan gaji tinggi, aktivitas murah dan banyak yang bisa dilakukan, transport harga murah dan tidak berkeringat, tempat untuk usaha, arus modal, udara dan air bersih, sanitasi bagus, rumah dan kebun yang terang, tidak ada polusi, tidak ada area kumuh, kebebasan, kesempatan bekerjasama.
Kota Fungsional 1920 Konsep Kota Fungsional, yang juga di dalamnya terdapat konsep Garden City, adalah model konsep untuk mencari jalan keluar dari masalah populasi dan kota yang terpusat pada zaman industrialisasi dimana akses terhadap cahaya, udara dan matahari kondisi yang sama bagi semua penghuni kota.
Pada masa pada masa setelah perang dunia kedua hingga sekarang, kota-kota di Eropa cenderung memperkuat posisinya sebagai kota bisnis dan pariwisata. Pada lokasi tengah kota cenderung terjadi menambah untuk fungsi bisnis dan meningkatkan kapasitas hunian, sehingga bangunan-bangunan menjadi lebih tinggi dan lebih banyak lagi yang dibangun. Efek sosial yang terjadi adalah, bahwa kontak sosial antar warga menjadi berkurang, banyak kasus antar tentangga sama sekali tidak mengenal satu sama lain dan angka kriminalitas dalam kota menjadi tinggi di kawasan-kawasan tertentu, sehingga memunculkan kamera-kamera pengawas diseluruh bagian kota. “Big brother watching you”, hal ini cukup mengganggu privasi dan kualitas hidup masyarakatnya, sebagai masyarakat yang dilindungi hak-haknya dalam system demokrasi. Kasus ini hampir terjadi dibanyak kota di Eropa. Hingga akhirnya muncul gerakan kembali ke komunitas. Salah satunya akhir abad 20 an muncul gerakan neigbourhood management misalnya yg terjadi di Berlin (Hernowo,2006) dan dilanjutkan abad 21an terdapat project De Visser, Rotterdam (Hernowo, 2008) dan sebagainya, intinya mereka mencari nilai-nilai berkomunitas kembali. Kasus kota-kota besar di tanah air tidaklah jauh berbeda, kepadatan penduduk di kota besar di Indonesia menjadi salah satu penyebab problem ruang kota. Jika kita melihat kasus-kasus konflik antar tetangga maupun komunitas, bisa dikatakan sebagian besar disebabkan oleh adanya barrier sosial antar penghuninya. Kasus-kasus ini akhirnya banyak yang harus mengarah pada jalur hukum karena
Mengeja Rupa Kota, Pg. 5-21, ISBN: 987-602-73270-4-7, Indonesian Institute of Arts Surakarta (ISI Surakarta), Indonesia (2 December 2015) tidak ada titik temu dan saling pemahaman antara pihak-pihak yang berkonflik. Sehingga langkah kembali menghidupkan kembali komunitas dan memecah barrier sosial menjadi sebuah tantangan yang amat penting.
Mengatasi Barrier Sosial Dengan Filosofi Pager Mangkok "Pager mangkok luwih bakoh tinimbang pager tembok". Hubungan silaturrahim dengan tetangga meskipun hanya dengan saling berkirim makanan itu lebih kuat dari sekadar bangunan fisik. Ungkapan ini mempunyai makna mendalam yang mengajarkan agar kita belajar untuk saling memberi kepada sesama (Nashir, 2012). Konsep pagar mangkok adalah konsep filosofi dimana antar tetangga dalam suatu kawasan memiliki kesepakatan atau yang kita kenal sebagai common ground sehingga terjadi saling pengertian antar tetangga satu sama lain. Dimana semangat berbagi ini menjadi seperti jaminan sosial (social security) bagi masingmasing anggota komunitas masyarakat di kampung, pedesaan ataupun kota.
Gambar 5. Rumah yang Mengunakan pagar vegetasi, Sumber: Kiyanti(2013)
Pager Mangkok Secara Fisik Pada zaman dahulu di Jawa, diketahui bahwa pembatas fisik pagar antar rumah di suatu perkampungan atau kawasan hunian di kota-kota di Jawa, banyak dibatasi dengan tanaman mangkok (Polyscias scutellaria). Mangkokan atau daun mangkokan ini, adalah tumbuhan hias pekarangan dan tanaman obat yang relatif populer di Nusantara. Nama tumbuhan tersebut mengacu pada bentuk daunnya yang melengkung menyerupai mangkok atau cawan. Hal yang menarik adalah bahwa pada pembatas antar pagar vegetasi tersebut, biasanya di beri akses jalan untuk melintas, sehingga antar tetangga bisa saling mengunjungi tanpa harus melalui pintu utama.
METODE Dalam paper ini penulis membahas tentang konsep pager mangkok, suatu istilah yang muncul dalam kehidupan bertetangga di kawasan desa dan kota di Jawa masa lalu. Dengan menerapkan studi komparasi antara kasus yang terjadi secara umum di kota-kota di Eropa. Dan membahas tentang arah orientasi pembangunan kota saat ini dan mendiskusikan mengapa kota-kota di Jawa mengikuti patern orientasi kota-kota modern pada zaman industri yang telah lewat. Dan mencoba menemukan akibat dari patern tersebut. Kemudian kita mengambil sari-sari filosofi lokal (red- pager mangkok) yang ada dalam kehidupan komunitas dan kota di Jawa, untuk membuat konsep yang mungkin dapat diterapkan dalam mewujudkan tata kota kita yang (red: kembali) ekologis dan humanis.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kedekatan Tujuan Filosofi Pager Mangkok pada kota di Jawa dengan Konsep Garden City
Gambar 6. Pagar Vegetasi, Sumber: Harjanti( 2012)
Dalam paper ini penulis tertarik mengangkat konsep tradisional dan ekologis yang mungkin mampu mengembalikan kualitas kota kita dan bisa menjadi basis tata kota serta pemukiman kota-kota di jawa yang ideal dan humanis. Konsep yang dimaksud adalah konsep filosofi Pager Mangkok. Dalam
perbandingan dengan konsep The Three
Mengeja Rupa Kota, Pg. 5-21, ISBN: 987-602-73270-4-7, Indonesian Institute of Arts Surakarta (ISI Surakarta), Indonesia (2 December 2015)
Magnet, tampak kondisi ideal yang tercipta hasil dari konsep pager mangkok tidaklah jauh berbeda, dengan penekanan pada; Alam yang indah, kesempatan kontak sosial, kondisi rumah yang hijau dengan pagar vegetasi, serta udara dan air bersih, sanitasi bagus, rumah dan kebun yang terang, tidak ada polusi, tidak ada area kumuh, kebebasan, kesempatan bekerjasama. Pager Mangkok Sebagai Konsep Masa Kini Filosofi ini juga dapat diterapkan dalam kehidupan kita di masyarakat. Rumah kita akan aman bukan karena memiliki tembok tinggi tetapi lebih karena bagaimana kita memberi kontribusi pada masyarakat sekitar ( Zainal, 2014) Pager Mangkok bisa juga kita terapkan dalam konsep partisipatif penataan kota masa kini. Problem yang ada adalah; pergeseran pola tata nilai sosial-harmoni dalam masyarakat sekarang yang sudahlah luntur dan banyak terdapat konflik batas kepemilikan tanah dalam masyarakat. Suasana gotong-royong (Guinness, 1986:132), sudah mulai luntur. Pergeseran pola pikir dalam masyarakat itu menjadikan mereka menjadi lebih pragmatis. Salah satunya adalah keberadaan tembok masif yang berorientasi pada perlindungan hak-hak privat, yang berbasis legal formal dengan law enforcement (penguatan sistem hukum) pertanahan, untuk mempertahankan batas area tanah mereka. Disisi lain hal ini juga memudahkan penyelesaian kasus konflik tanah dan pembatas.
Tantangan Sosial Kota di Jawa Berdasarkan pengamatan kecenderungan kota di Jawa memiliki tiga orientasi; Kota Tradisional, Kota Glamour dan Kota Eco (Gambar 8). Dari ketiga tersebut bisa bergeser atau bertukar orientasinya satu sama lain. Pertama, Kota Tradisional, kota ini lebih cenderung mengangkat konsep tradisi baik dalam wujud fisik dan tata kelolanya bedasarkan sensitifitas budaya yang masih hidup. Sensitifitas budaya disini termasuk paugeran dan filolosfi tata kota yang alami dalam kebudayaaan di Jawa, yang masih menjadi basis banyak kota-kota di Jawa. Kedua, Kota Glamour, kota ini cenderung beorientasi pada kemajuan ekonomi serta kemegahan kota, berjiwa metropol dengan gedung-gedung yang tinggi serta berbasis teknologi dengan segala pernak-pernik supermodernnya. Ketiga, Kota Eco, kota ini beorientasi kembali kepada alam, ruang terbuka serta kualitas hidup penghuninya dalam wadah habitus yang sehat. Tentunya dengan tidak juga meninggalkan teknologi yang dapat membantu mewujukan kualitas hidup yang lebih baik. Dalam pengamatan kota di seluruh dunia terutama di Eropa justru konsep Kota Glamour mulai ditinggalkan. Mereka justru mencoba bertahan menjadi kota tradisional yang ekologis. Lalu pertanyaannya kenapa kita tidak mencoba belajar dari situasi ini, mengapa justru kita mengikuti tren kota-kota di barat yang belum ter-update dan memilih menjadi metropol? Bukankah mencoba membuat lompatan kembali dengan kecerdasan lokal kita yang justru ada akan lebih visioner untuk menuju kota tradisi yang ekologis dan humanis.
Gambar 8. Siklus Sederhana Orientasi Kota , Sumber: Hernowo (2015) Gambar 7. Kondisi Pembandingan konsep The Three magnet dan Pager mangkok, Sumber: Hernowo (2015)
Mengeja Rupa Kota, Pg. 5-21, ISBN: 987-602-73270-4-7, Indonesian Institute of Arts Surakarta (ISI Surakarta), Indonesia (2 December 2015) Akhirnya kata-kata “Uwong ilang rembuge, kuta ilang nyawane“ - Manusia hilang komunikasinya, kota menjadi tak bernyawa bisa terjadi. Kampung yang dirasa kumuh tidak perlu di gusur, tetapi bisa diatasi dengan penataan kembali mengunakan rembug komunitas dengan semangat Pager Mangkok.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Gambar 9. Memotong Siklus Kota , Sumber: Hernowo (2015)
Memotong Jalur Kembali Ekologis
Menuju kota
Melihat masalah perkotaan kota-kota di Jawa yang cenderung mencontoh konsep supermodern, kota-kota seperti Jakarta, Singapore, Hongkong , Tokyo dan lain-lainnya, maka tak heran kota-kota di Jawa akan segera mengalami masalah Ekologi. Gedung-gedung yang tinggi tinggi menutupi cahaya bangunan dibawahnya. Kurangnya pencahayaan menimbulkan masalah kesehatan. Terobosan yang akan lebih baik bila kita berusaha kembali kepada formasi kota Tradisional dan Ekologis dengan modifikasi seperlunya dengan pendekatan dan penataan yang ramah lingkungan (gbr.9). Dalam hal ini infrastruktur menuju kota yang ekologis perlu dipikirkan meskipun dalam skala yang kecil. Fasilitas ekonomi dibangun di luar ring kota dan hanya fasilitas ekonomi yg dirasa penting saja tetap di pertahankan dalam ring dalam kota.
Mencari Bentuk Humanitas ditengah Kota Super-Modern di Jawa Ditengah kota yang ada saat ini muncul kekawatiran bahwa Budaya kampung yang erat dengan adanya kontak sosial akan menghilang. Sehingga hal ini dapat mengurangi kualitas jaringan sosial yang befungsi sebagai jaminan sosial bagi negeri yang cenderung tanpa asuransi seperti Indonesia. Rendahnya interaksi antar penduduk ditengah kota dan tingginya angka kriminalitas, adalah akibat dari kesenjangan sosial serta tertutupnya zona interaksi komunitas. Tanpa disadari sering terjadi bahwa kota supermodern sering menyediakan zona nyaman privat individu tetapi justru telah banyak melupakan zona nyaman komunal.
Kembali ke komunitas-Apa yang bisa diterapkan sekarang ini dengan garis besar Pager Mangkok adalah konsep komunitas yang harmoni dan komunitas yang “mlaku dewe“ (self-sufficient), yang mampu memenuhi kebutuhannya dirinya sendiri dan berfungsi, selalu bisa “ngusadha“ (resilience) yang mampu menyembuhkan diri sehingga keseimbangan kota selalu dapat kembali kedalam kondisi semula yang ideal dan stabil tidak terjadi dis-harmony. Berorientasi pada perbaikan EkologiBila konsep Pager Mangkok dilaksanakan secara luas dalam skala sebuah kota, maka, secara fisik juga memiliki kekuatan yang sangat beorientasi pada perbaikan Ekologi. Dengan kembali membuka pagar-pagar masif diganti dengan pagar ekologis berupa tanaman pada kawasan-kawasan yang memungkinkan. Bagaimana konsep Pager Mangkok dijalankanKonsep tata kota ini lebih beroreiantasi kerja silang komunitas, dimana; berarti bahwa dalam konsep ini, perencanaan kawasan kampung dan kota, masyarakat memfasilitasi forum komunitas antar kampung dan kawasan untuk saling mensubsidi. Dimana komunitas kampung yang satu bisa memberi dukungan ide, finansial dan tenaga untuk perbaikan kampung yang lain, Sehingga tercipta jaringan antar kampung. Proses perencanaannya dengan asistensi ahli, dinas tata kota maupun volunteer dari komunitas. Tujuannya untuk menciptakan penataan kawasan kota yang interaktif antara bagian dari kota yaitu kampung, desa dan kecamatan. Komunitas Virtual Pager Mangkok Saat ini dibutuhkan sistem dan proses pembentukan tata kota, yang cenderung nonstruktural dan dengan mudah bisa dieksekusi oleh komunitas secara mandiri dan langsung. Pembentukan komunitas Virtual mungkin menjadi salah satu rekomendasi untuk menyelesaikan masalah kota kita. Dengan adanya komunitas virtual barangkali akan memudahkan proses pembentukan tata kota
Mengeja Rupa Kota, Pg. 5-21, ISBN: 987-602-73270-4-7, Indonesian Institute of Arts Surakarta (ISI Surakarta), Indonesia (2 December 2015) yang ideal. Akan banyak diskusi memunculkan konsep-konsep yang menarik yang mungkin dapat menyelesaikan permasalah-permasalah kota masa kini.
DAFTAR PUSTAKA Guinness, P.(1986), Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung, A publication of the Asian studies Association of Australia, Oxford University Press, Singapore. Harjanti, P.(2012), Pagar, http://baltyra.com/2012/05/14/pagar-2/commentpage-1/ ( 12.11.2015, 02:25). Hernowo, B. (2006), Learn from German Planning, System Planning and Policy: case study on Community Participation, SPRING Research Papers, Technical University Dortmund, Germany. Hernowo, B. (2008), Social Project Network De Visser Project, Rotterdam- Istanbul, Edition: 20th, IARCH Architecture Magazine, Indonesia. Hernowo, B. (2008), Rumah Rakyatku, Suaramerdeka Citizennews, Indonesia. Kiyanti(2013), Kiyanti2008´s web blog, My Tranquil LittleCornerhttps://kiyanti2008.files.wordpress.co m/2013/06/contoh-rumah.jpg( 11.11.2015,21 :00). Nashir (2012), Kota Solo, https://www.facebook.com/kotasolo/posts/10150 526744884786 ( 11.11.2015, 22:00). Rottier, H.(2004), Het Verleden van Steden, 4000 jaar bouwen en verbouwen in Europe, Davidfonds, Leuven. Reicher, C. (2006), What can we learn from the history? Spring, Fall Semester 2005/06, städtebauleitplanung, TU Dortmund, Dortmund. Zainal, A.(2014), Pager Mangkok, Kedaulatan Rakyat,http://krjogja.com/liputankhusus/manajemen-bisnis/3057/pagermangkok.kr ( 11.11.2015, 19:00).
Glossary: Pager Mangkok (Indonesian.), Bowl Fence (English.)- A Javanese philosophical value in order to support each other by sharing foods, man powers and other competency or things to maintain harmony in the neighbourhood.