Dari Kartografis, Lewat Koreografis, Menuju Karto-koreografis: Mencari Pendekatan Tata Kota yang Humanis G. R. Lono Lastoro Simatupang 1. Pengantar Dewasa ini telah tumbuh pemahaman bersama di kalangan akademisi bahwa persoalan tata kota tidak dapat diselesaikan secara tuntas lewat kajian teknis perencanaan kota atau kawasan, ataupun arsitektural maupun teknik sipil belaka. Semakin disadari bahwa kota merupakan kesatuan tak terpisahkan antara materi fisik dan manusia penghuninya, oleh karenanya semakin sering dilakukan kajian perkotaan yang mengkombinasikan pendekatan ilmu-ilmu sosial-humaniora dan ilmu-ilmu eksakta. Selaras dengan kecenderungan meningkatnya pendekatan multidisipliner dalam kajian perkotaan, tulisan ini akan mengulas peluang penerapan konsep dan metode antropologis tertentu sebagai dalam rangka membangun perspektif yang lebih komprehensif terhadap masalah perkotaan. Secara lebih khusus, tulisan ini berupa penjajagan pemanfaatan sebagian pemikiran Michel de Certeau1 perihal praktik bagi studi tata kota. Sejak tiga dekade yang lalu wacana akademis ilmu-ilmu sosial-humaniora diramaikan oleh munculnya konsep dan teori tentang praktik.2 Memperoleh gaungnya di berbagai disiplin ilmu (dari linguistik, sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu komunikasi, hingga kajian tari, dan etnomusikologi - sekedar contoh), pemikiranpemikiran mengenai praktik pada umumnya meyakini arti penting dari praktik bagi dan dalam kehidupan individual maupun kolektif manusia. Seperti apakah cara pandang tentang praktik itu? Dalam perspektif praktik, misalnya, kekuasaan bukanlah kewenangan politik, penguasaan sumberdaya ekonomis, atau hirarki spiritual; kekuasaan mewujud dalam dan melalui praktik penggunaan potensi-potensi tersebut dalam relasi sosial. Sejalan dengan contoh tadi, sebagian etnomusikolog memandang obyek kajian terpenting mereka bukanlah keragaman alat musik atau struktur musikal di dunia ini, melainkan keragaman bagaimana mereka bermusik. Penempatan fokus studi pada praktik diikuti dengan pemberian perhatian pada pelaku tindakan, 1
Naskah ini terutama merujuk pada “Part III Spatial Practices” dari buku Michel de Certeau (1988) The Practice of Everyday Life, terjemahan Steven Rendall, Berkeley: University of California Press, halaman 91 – 130. 2 Selain de Certeau (1988), antara lain, lihat Bourdieu (1977), Ortner (2006).
1
kapasitasnya melakukan tindakan, serta konteks-konteks yang memudahkan atau menghambat terlaksananya tindakan (ruang, waktu, sosial, politik, dsb.). 2. Place : Space :: Concept of City : Spatial Practices Titik tolak pemikiran de Certeau mengenai praktik serupa dengan pembedaan gejala bahasa ke dalam prinsip-prinsip yang mengatur bahasa tulis (langue) dan ujaran secara lisan (parole). Sementara langue bercirikan stabilitas, parole ditandai oleh sifatnya yang cair. Serupa dengan pembedaan tersebut, de Certeau membedakan place (tempat) dari space (ruang). Dalam pandangannya, “a place (lieu) is the order (of whatever kind) in accord with which elements are distributed in relationships of coexistence. … The law of the “proper” rules in the place: the elements taken into consideration are beside one another, each situated in its own “proper” and distinct location, a location it defines.” Sementara itu, berlawanan dari place, “a space exists when one take into consideration vectors of direction, velocities, and time variables. … Space occurs as the effect produced by the operations that orient it, situate it, temporalize it … space is like the word when it is spoken, that is, when it is caught in the ambiguity of an actualization … In contradistinction to the place, it has thus none of the univocity or stability of a “proper” (hal.117). Dengan demikian, dalam pandangan de Certeau, “space is a practiced place” – ruang merupakan dimensi praktikal dari tempat. Artinya, pembedaan place dari space tidak mengacu pada dua substansi yang berlainan, melainkan pada perbedaan perspektif atau cara pandang atas substansi yang sama. Ia mencontohkan, “… the street geometrically defined by urban planning is transformed into a space by walkers” (hal. 117). Sebuah bidang permukaan bumi dapat dipandang sebagai tempat penataan materi secara geometris sebagaimana layaknya dilakukan perencana tata kota, namun bagi para pengguna bidang tersebut merupakan ruang yang dapat digunakan secara leluasa untuk mengaktualisasikan diri. Di bagian lain, de Certeau menerapkan logika pembedaan antara place dan space untuk membedakan concept of the city dari urban practice (hal. 93-94). Dalam pandangannya, konsep kota merupakan pe-rapi-an, penyamaan, praktik-praktik penggunaan ruang kota yang liar dan beranekaragam sehingga memungkinan kita memikirkan dan mengkonstruksi tempat berdasarkan sejumlah properti yang stabil, yang dapat dipisah-pisahkan dan terhubungkan. Dalam pembedaan ini kita jumpai sekali lagi model dasar pandangan de Certeau tentang stabilitas tempat (place) dan 2
kecairan ruang (space). Namun, yang menarik untuk diperhatikan, bagi de Certeau hubungan antara konsep kota dan praktik penggunaan ruang kota bersifat simbiotik. Dalam pandangannya, “to plan a city is both to think the very plurality of the real and to make that way of thinking the plural effective; it is to know how to articulate it and be able to do it” (hal. 94). Dengan kata lain, ia menganjurkan metode penataan kota yang mengkombinasikan antara perspektif tempat (place) dan perspektif ruang (space), perspektif konseptual yang statis dan perspektif praktikal yang dinamis. 3. Kartografis, Koreografis, Karto-koreografis Di bagian ketiga ini, pemahaman de Certeau tentang peta (map) dan rute (route) akan dimodifikasi dan sedikit dikembangkan ke dalam pendekatan tatakota yang saya sebut kartografis, koreografis, dan gabungan keduanya: karto-koreografis. Istilah koreografis digunakan dalam tulisan ini karena kiasan tersebut saya pandang lebih berdaya guna untuk menggambarkan rincian praktik – yang dianalogikan dengan gerak. Kartografi merupakan studi serta praktik penggambaran peta [geografis]. Peta dibuat untuk mengkomunikasikan secara efektif berbagai informasi keruangan. Kita mengenal berbagai jenis peta. Peta topografi dibuat untuk mengkomunikasikan tinggirendah permukaan tanah, peta jalan memberi informasi grafis tentang jalan, peta pariwisata memberi petunjuk tempat dan jenis wisata maupun jalan menuju masingmasing tujuan wisata, dan sebagainya. Kehadiran berbagai macam peta menunjukkan bahwa sebenarnya peta tidak pernah dapat menggambarkan seluruh realita sekaligus. Peta tidak serupa dengan foto. Peta senantiasa berciri selektif (selalu ada yang tidak digambarkan) dan menerapkan generalisasi (tidak mampu menampakkan total perbedaan realita). Artinya, peta selalu digambarkan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, seperti dikatakan oleh Thongchai Winichakul “… a map was a model for, rather than a model of, what it purported to represent…. It had become a real instrument to concretize projections on the earth’s surface” (dalam Anderson, 1991: 173-174). Perencanaan yang memandang kota secara teknis, yang menimpakan konsepkonsep abstrak dan universal di atas keragaman praktik penggunaan ruang kota semacam itu saya sebut sebagai pendekatan kartografis. Dipindahkan ke atas kertas, realita keanekaragaman praktik penggunaan ruang diabaikan, atau – lebih baik – disederhanakan, sehingga keinginan pihak perencana dapat terkomunikasikan dan 3
tergambarkan secara rapi dalam wujud grafis yang beku dan patuh. Aktualisasi diri manusia pengguna ruang kota terabaikan dalam pendekatan kartografis. Kata koreografi secara harafiah berarti penulisan (deskripsi) gerak. Meskipun koreografi biasanya dipakai secara terbatas dalam khasanah tari untuk menyebut seni pengaturan gerak tubuh manusia dalam ruang dan waktu ataupun untuk menunjuk pada komposisi tari, namun sebenarnya istilah ini juga digunakan untuk merujuk pada penulisan atau wujud pergerakan manusia secara luas. Wendy James, seorang antropolog, membuat analogi antara tari dan aktivitas manusia dan menggunakan ‘koreografi’ untuk menyebut seluruh gerak dan pola geral manusia dalam ruang dan waktu. “The analogy of the dance, and of the layered ‘choreography’ underlying lived activity, can be creatively extended to a whole range of social phenomena. […] We do this with traffic circulation, flowing into the city in the morning and out at night, more or less keeping left (or right, according to nation), dodging in and out of lights and junctions, guessing (nearly always accurately) at the intention of other drivers to achieve an overall smooth progress …” (James, 2005: 91). Mengikuti pandangan James, koreografi merupakan praktik atau aktivitas meruang. Aktualisasi diri mewujud dalam dan melalui berbagai kualitas praktik: kecepatan, pencurahan enerji, ketepatan waktu (timing), keberlanjutan atau keterpenggalan tindakan, keterarahan, atau kombinasi dari sebagian maupun seluruh elemen kualitas tadi (Goodridge, 1999). Menggunakan perspektif koreografis dalam penataan kota, dengan demikian mempertimbangkan, misalnya, keanekaragaman siasat penduduk kampung menanggapi sempitnya ruang publik di wilayah hunian, termasuk ritme dan timing penggunaan ruang yang sempit oleh berbagai kategori penduduk. Contoh penerapan perspektif koreografis semacam ini dapat dijumpai pada analisis Eko Prawoto (2009) dan Gregorius Sri Wuryanto (2009), ataupun penataan pemukiman penduduk di bantaran
sungai
Code
oleh
almarhum
Romo
Mangunwijaya
Pr.
yang
mempertimbangkan praktik keruangan para penghuninya. Tidak dipungkiri bahwa pengakomodasian praktik keruangan pengguna kota tidak selalu dapat dibenarkan baik atas pertimbangan etika, legal, maupun kepraktisan. Selalu saja dapat dijumpai pengguna ruang kota yang karena satu dan lain hal ‘menyebal’ atau berimprovisasi atas tatanan yang dibangun. Praktik pengggunaan ruang kota pun berubah-ubah seiring dengan perubahan ekonomi penduduk kota (misalnya, munculnya kebutuhan tempat ruang parkir bagi penduduk yang tinggal di 4
lorong-lorong sempit perkampungan); juga selalu dijumpai penduduk sementara yang ikatan sosial dan moral mereka terhadap komunitas tetangga kurang erat (sehingga penduduk kampung setempat merasa perlu memasang polisi tidur untuk mengontrol kecepatan sepeda motor mereka), dan lain sebagainya. Aspek dinamis masyarakat kota semacam itu memang nyata; namun bukan berarti harus diabaikan dan lantas menerapkan pendekatan kartografis. Penggabungan kedua pendekatan perlu dicari, seperti halnya interpetasi emic dan etic pun perlu dilakukan dalam penelitian dan penulisan etnografi dalam antropologi.
5
Daftar Pustaka Anderson, Benedict. 1995. Imagined Communities. London & New York: Verso Banton, Michael. 1973. ‘Urbanization and Role Analysis’ in Urban Anthropology. Cross Cultural Studies of Urbanization. Aidan Southall (ed.), New York, London, Toronto: Oxford University Press Barz, Gregory F. and Cooley, Timothy J. (eds.). 1997. Shadows in the Field. New Perspectives for Fieldwork in Ethnomusicology. New York: Oxford University Press Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a theory of practice. Trans. R. Nice. Stanford: Stanford University Press de Certeau, Michel. 1988. The Practice of Everyday Life. translation: Steven Rendall. Berkeley: University of California Press Goodridge, Janet. 1999. Rhythm and Timing of Movement in Performance. Drama, Dance and Ceremony. London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers James, Wendy. 2005. The Ceremonial Animal. A New Portrait of Anthropology. New York: Oxford University Press Prawoto, Eko Agus. 2009. ‘Learning from the Kampong,’ in Proceedings Workshops, Field School and International Conference. Experiencing the Dynamics of Kampong Life. Yogyakarta: Duta Wacana University Press Ortner, Sherry B.. 2006. Atnthropology and Social Theory. Culture, Power, and the Acting Subject. Durham and London: Duke University Press Southal, Aidan. 1973. ‘The Density of Role-Relationships as a Universal Index of Urbanization,’ in Urban Anthropology. Cross Cultural Studies of Urbanization. Aidan Southall (ed.), New York, London, Toronto: Oxford University Press Wuryanto, Gregorius Sri. 2009. ‘Negotiating Urban Space,’ in Proceedings Workshops, Field School and International Conference. Experiencing the Dynamics of Kampong Life. Yogyakarta: Duta Wacana University Press
6