Agresivitas Pelajar: Potret Dari Pendidikan Non-Humanis Fitriani Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak Dalam pendidikan, perilaku agresi di kalangan pelajar dapat digambarkan dalam tindak kekerasan seperti perkelahian, tawuran, dan bullying. Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode survei. Sampel penelitian berasal dari dua sekolah, yaitu SMAN 70 Jakarta sebanyak 170 siswa dan SMAN 46 Jakarta sebanyak 177 siswa. Pada studi ini, agresivitas dibahas secara sosiologis. Konformitas dalam kelompok bermain dan budaya sekolah merupakan faktor sosiologis yang berhubungan dengan tingkat agresivitas pelajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konformitas dalam kelompok bermain yang negatif maka semakin tinggi tingkat agresivitas. Konformitas yang tinggi dalam kelompok bermain mengakibatkan agresivitas menjadi perilaku kolektif. Selanjutnya, budaya positif sekolah yang rendah berhubungan terhadap tingkat agresivitas pelajar. Lebih jauh, studi ini membahas agresivitas pada level makro, yaitu secara prosesual, kultural, dan struktural. Agresivitas di kalangan pelajar tidak hanya disebabkan dari emosi dan hasrat pribadi semata, tetapi agresivitas dilihat sebagai hasil dari proses sistem pendidikan yang menindas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agresivitas yang terjadi pada pelajar SMAN 70 Jakarta merupakan agresivitas membudaya dan agresivitas yang terjadi pada pelajar SMAN 46 Jakarta merupakan bentuk agresivitas prosesual. Aggressiveness Students : The Portrait of Non-Humanism Education Abstract In education, aggression behavior among students can be described from the type violence act such as brawling out of school and bullying. This study uses quantitative approach with using the survey methods. Samples are taken from two public senior high school, namely 70 public senior high school Jakarta as many as 170 students and 46 public senior high school as many as 177 students. In this study, aggression behavior is explain with sociology approach. Conformity within peer group and school culture is social factor that related with level of aggressivenees among students. The result of research show that the highest conformity of negative peer group, so the highest the level of aggressiveness. High conformity within peer group can be resulted aggression behavior into collective behavior. Furthermore, the low positive school culture related with the low level of aggressiveness among students. So far, this study disccuses aggressiveness on a macro level in three step is processual, cultural, and structural. Aggressiveness among students not only caused emotion or will of personal, but it is the result of process from oppressed education system. Therefore, the research result showed that aggressiveness that occurs in students of 70 public senior high school Jakarta is entrenched aggressiveness and aggressiveness that occurs in students of 46 public senior high schol Jakarta is a form of aggressiveness processual . Keywords: Sociology, Aggressiveness, Conformity, Peer Group, School Culture Pendahuluan Perkelahian antarpelajar merupakan bentuk ekspresi dari agresivitas dalam dunia pendidikan. Perilaku-perilaku agresif pelajar yang diekspresikan dengan tawuran dan bullying di sekolah menjadi persoalan klasik yang terus terjadi dan tak pernah terselesaikan. Di Indonesia, pada satu dekade terakhir terjadi peningkatan kasus perkelahian dan kekerasan antarpelajar dimana pada tahun 1992 terjadi 157 kasus dan tahun 2012 terjadi 201 kasus (Catatan Komnas, 2012). Fenomena ini seolah-olah memperlihatkan tidak ada solusi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut.
Potret agresivitas..., Fitriani, FISIP UI, 2014
Banyak penelitian dan studi sebelumnya yang mencari penyebab dan motif pelajar dalam berperilaku agresi. Penyebab perilaku agresi dikalangan pelajar sangat kompleks dan tidak dapat hanya dijelaskan dengan faktor tunggal. Adanya upaya balas dendam, keinginan mendominasi (Moeller, 2001), agar terlihat hebat (social gain), meneruskan tradisi kekerasan yang sudah ada, dan adanya tekanan kelompok (Herlambang, 2008) merupakan motif yang menyebabkan terjadinya perkelahian antarpelajar. Selain itu, dari faktor eksternal, pengaruh kelompok bermain dan lingkungan sekolah dianggap paling dominan berkontribusi terhadap berkembangnya perilaku agresi yang terjadi di kalangan pelajar (Saga, 2005). Pada dasarnya, setiap individu memiliki hasrat untuk dapat berperilaku agresi dimana pun dan kapan pun. Namun, hal yang menarik adalah ketika perilaku agresi tersebut terjadi dan berkembang dalam institusi pendidikan. Agresivitas yang terjadi di kalangan pelajar seakan berlawanan dengan hakikat pendidikan yang bertujuan memotivasi dan mendidik. Seperti yang dikemukakan oleh Ivan Illich dan Paulo Freire bahwa pendidikan juga mengandung unsur penindasan( O’Neil, 2001). Bahkan, Pierre Bourdie melihat pendidikan di sekolah sebagai tempat terjadinya kekerasan fisik dan psikis terhadap pemaksaan sistem simbolisme dan makna (budaya) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sah (Jenkins, 2004). Dengan kata lain, sekolah sebagai institusi pendidikan seolah memiliki dua sisi wajah yang berlawanan. Di satu sisi, sekolah merupakan lembaga yang berfungsi menstransferkan pengetahuan dan mendidik. Sebaliknya pula, sekolah dapat dijadikan sebagai tempat untuk menindas, memaksa, dan mendominasi. Hal demikian dapat saja terjadi melalui proses pelaksanaan sebuah sistem pendidikan. Banyak tokoh yang menyatakan tindakan agresi yang terjadi di kalangan pelajar karena proses sosialisasi yang kurang baik di sekolah (Olivier, 2003). Pendapat lain juga datang dari Jakcon & Mooij yang menyatakan kejenuhan terhadap aktivitas belajar menjadi pemicu agresivitas pelajar. Tingkat kedisplinan di sekolah juga dapat menciptakan perilaku agresi di kalangan pelajar. Lebih jauh, UNICEF (2001) melihat bahwa budaya sekolah dapat membuka ruang bagi terciptanya kekerasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekolah sebagai kekuatan struktural mengembangkan nilai agresivitas itu sendiri. Apalagi adanya pengaruh kelompok bermain dalam lingkungan sekolah semakin memicu individu untuk berperilaku agresi. Oleh karena itu, dari tahun ke tahun kasus perkelahian dan kekerasan antarpelajar terus-menerus terjadi, bahkan perilaku tersebut berulang-ulang terjadi pada sekolah yang sama. Misalkan saja, SMAN 70 Jakarta, SMAN 6 Jakarta, dan SMAN 46 Jakarta yang seringkali terlibat perkelahian antarpelajar. Lagipula, secara psikologis, pelajar sekolah menengah atas dianggap rentan berperilaku agresif karena pada masa itu anak berada pada masa remaja (13-18 tahun). Meskipun demikian, secara sosiologis, pelajar sekolah menengah atas memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan SD ataupun SMP sehingga dengan kekuasaan yang lebih tinggi seringkali berkeinginan untuk menindas, memaksa, ataupun mendominasi, khususnya siswa kelas XII. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan pemahaman budaya yang terjadi di masyarakat luas dimana ketika berada pada posisi atas selalu ada hasrat untuk menindas ataupun mendominasi. Pernyataan ini semakin mempertegas bahwa kasus perkelahian pelajar lebih banyak terjadi pada jenjang SMA (KPAI, dalam catatan Komnas, 2012). Bahkan, berdasarkan data dari KPAI bahwa sebanyak 77 SMAN di Jakarta yang terdapat siswanya melakukan kekerasan dan perkelahian. Oleh karena itu, secara umum, studi ini bertujuan melihat faktor sosial, yaitu pengaruh konformitas kelompok bermain dan budaya sekolah terhadap tingkat agresivitas pelajar di sekolah lebih khusus, studi ini secara sosiologis bertujuan mengkaji fenomena agresivitas pada level makro. Pada level makro, hal yang perlu dibahas bahwasannya bagaimana agresivitas dapat terjadi secara prosesual di kalangan pelajar dan berkembang sehingga terus terjadi selayaknya sebuah tradisi (membudaya) dalam struktur pendidikan, yaitu sekolah. Dengan kata lain agresivitas yang terjadi di kalangan pelajar bukan hanya sekedar hasrat pribadi atau kelompok, tetapi juga merupakan proses dari penyelenggaran sistem pendidikan. Oleh karena itu, studi ini mendeskripsikan bentuk agresivitas yang terjadi di kalangan pelajar dapat berupa agresivitas yang terjadi di dalam sekolah (bullying) maupun di luar sekolah (tawuran). Adapun pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan kuantitatif. Teknik dalam pengumpulan data yang digunakan adalah teknik survey dan wawancara mendalam. Studi ini dilakukan pada dua sekolah yang merupakan sekolah menengahk atas yang memiliki sejarah keterlibatan dalam perkelahian atau kekerasan antarpelajar. Sampel penelitian pun diambil dari SMAN 70 Jakarta sebanyak 170 siswa dan SMAN 46 Jakarta sebanyak 177 siswa. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik stratified proporsional berdasarkan jenis kelamin dan dan jurusan pendidikan agar dapat mewakili keseluruhan populasi.
Potret agresivitas..., Fitriani, FISIP UI, 2014
Kajian Literatur Penelitian mengenai agresi telah banyak ditelaah dari berbagai pendekatan dengan melihat faktorfaktor penyebabnya. Pada umumnya, kajian mengenai perilaku agresi lebih banyak dibahas secara psikologis. Salah satu keterbatasan pada penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada metodologis. Penelitian-penelitian agresi yang telah ada kebanyakan dilakukan dengan studi eksperimen. Keterbatasan metode tersebut sedikit memberikan informasi mengenai kecenderungan individu untuk berperilaku agresi dalam konteks sosial sebenarnya karena perilaku agresi yang dimunculkan oleh individu ditandai dengan manipulasi terhadap hubungan sosialnya (Bjorkqvist & Niemela, 1992). Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan perilaku agresi banyak dibahas dari sudut pandang yang berbeda. Penelitian tersebut mulai banyak dikaji di kalangan pelajar karena di beberapa negara di dunia terjadi peningkatan aksi kekerasan di sekolah. Beberapa kajian literatur mengindikasikan faktor-faktor penyebab agresi pada pelajar di sekolah berkaitan dengan interaksi dengan teman, hubungan antarkelompok bermain, tingkat disiplin sekolah yang berlebihan, dan suasana sekolah (Saga, 2005). Ada beberapa pendekatan yang membahas mengenai perilaku agresi di kalangan pelajar. Pendekatan Psikologi Sosial, Goldstein, Young & Boyd (2008) lebih jauh melihat bahwa fenomena agresi pada pelajar di sekolah tidak semata-mata karena peran kelompok bermain. Mereka berpendapat bahwa lingkungan sekolah justru yang berkontribusi terhadap peningkatan agresivitas di sekolah. Tingkat disiplin yang kurang di sekolah membuka kesempatan kepada siswa untuk berperilaku agresi. Selain itu, Goldstein, Young & Boyd (2008) menyatakan bahwa pelajar yang menjadi korban agresi cenderung memiliki pengalaman sosial yang relatif negatif di sekolah baik interaksinya dengan teman maupun pengalaman belajar yang buruk disekolah. Pendekatan Sosiologis, studi mengenai perilaku agresi memang masih sedikit dibahas secara sosiologis. Pada umumnya, para sosiolog fokus pada faktor sosial, demografi, dan kultural dalam menjelaskan perilaku agresi (Felson & Tedeschi 1993). Studi yang dilakukan Imtiaz (2010), secara permukaan menunjukkan bahwa proses pendidikan di sekolah berkontribusi terhadap perilaku agresi di kalangan pelajar. Pengalaman belajar yang buruk di institusi pendidikan merupakan faktor sosial yang signifikan dalam menyebabkan terjadinya perilaku agresi di kalangan pelajar. Dalam kajiannya, Imtiaz (2010) menerangkan sikap kekecewaan terhadap institusi pendidikan menyebabkan individu berperilaku agresif. Seperti yang dikemukan oleh Bowen and Bowen (1999), serta National Youth Violence Prevention Resource Centre (2001) bahwa ketidakberhasilan akademik di sekolah dan rendahnya prestasi akademik berhubungan dengan tindakan agresi pelajar. Pendapat yang berbeda dari Olivier (2003) bahwa tindakan agresi yang dilakukan oleh pelajar di sekolah disebabkan proses sosialisasi yang kurang baik di sekolah. Guru yang memberikan hukuman kepada siswa dengan menggunakan kekerasan memungkinkan siswa akan berperilaku sama kepada orang lain. Berbeda pula dengan pendapatnya Jakcon & Mooij (1968) dikutip dari Venter (2006) yang menerangkan bahwa pelajar bertindak agresi karena merasa jenuh dengan aktivitas di sekolah sehingga mencari hal lain yang dapat dilakukan. Kemudian, pengalaman akademik maupun nonakademik yang tidak menyenangkan di sekolah membuat pelajar cenderung bertindak agresi. Oleh karena itu, lebih jauh studi Galgotra (2013) membahas jenis institusi pendidikan sebagai faktor sosial yang menyebabkan agresivitas pelajar. Hasil studinya menerangkan bahwa pelajar yang bersekolah di sekolah pemerintah cenderung lebih agresif dibandingkan pelajar yang bersekolah di swasta. Dalam hal ini ada perbedaan pengalaman dan interaksi yang berbeda yang di alami oleh pelajar. Secara umum, kajian psikologis sosial dan sosiologis mengenai perilaku agresi sudah cukup baik menjelaskan peran institusi pendidikan dalam menyebabkan fenomena agresi di kalangan pelajar. Selain itu, peran kelompok bermain di sekolah juga turut berkontribusi terhadap agresi individu. Meskipun demikian, kedua pendekatan tersebut hanya membahas perilaku agresi pada level mikro yang berfokus pada motif individu dalam bertindak agresi. Dengan begitu, studi ini lebih menfokuskan pembahasan agresivitas secara makro. Kerangka Konseptual Pada studi ini, penulis menggunakan teori anomie yang dikemukakan oleh Robert K.Merton untuk menjelaskan fenomena agresivitas yang terjadi di kalangan pelajar. Fenomena agresivitas pelajar dapat dikatakan sebagai bentuk perilaku penyimpangan. Oleh karena itu, dalam pandangan Merton penyimpangan sebagai sebuah konsekuensi dari disorganisasi struktural. Dalam pengklasifikasi penyimpangan anomie, Merton menjelaskan hubungan antara tujuan dan struktural dengan cara-cara yang
Potret agresivitas..., Fitriani, FISIP UI, 2014
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut (Perdue, 1986). Dua kunci utama dalam konsep ini berkenaan dengan goals (tujuan yang hendak dicapai) dan means (cara untuk mencapai tujuan tersebut). Dalam sosiologi, ketika tujuan yang secara universal diberlakukan pada masyarakat, tetapi cara untuk mencapai tujuan tersebut dibatasi untuk anggota masyarakat, maka penyimpangan akan terjadi dalam skala yang luas. Kemudian, agresivitas yang terjadi di kalangan pelajar merupakan persoalan yang berkenaan pada proses pelaksanaan pendidikan. Dikemukakan oleh Freire bahwa tidak ada proses pendidikan yang netral. Pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana yang digunakan untuk mempermudah integrasi generasi muda ke dalam logika dari sistem yang sedang berlaku dan menghasilkan kesesuaian terhadapnya. Begitu pula yang dikemukan oleh Pierre Bourdie yang melihat proses pendidikan, khususnya sekolah sebagai tempat terjadinya kekerasan simbolis-pemaksaan sistem simbolisme dan makna (budaya) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sah (Jenkins, 2004). Penjelasan diatas menunjukkan bahwa proses pendidikan mengandung unsur dominasi, seperti yang dikemukakan oleh Freire adanya kaum penindas dan kaum tertindas (Danuwinata, 2008). Salah satu unsur dasar dalam hubungan antara kaum penindas dengan kaum tertindas adalah adanya pemolaan. Pemolaan merupakan pemaksaan pilihan seseorang yang dipola agar cocok dengan kesadaran orang yang memilih pola itu. Dengan begitu, perilaku kaum tertindas adalah suatu perilaku terpola dimana menuruti apa yang telah digariskan oleh kaum penindas. Artinya, kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan pikiran mereka akan berperilaku yang sama pula dengan kaum penindas ketika mereka berada pada status dan situasi yang sama. Sama halnya diibaratkan apabila seseorang mengalami pengalaman atau korban dari perilaku agresi maka cenderung akan melakukan tindakan agresi kepada orang lain (Bandura, 1973). Lebih jauh, Freire mengemukakan bahwa terjadi pertentangan diri terhadap kaum tertindas dalam tindakan yang diambilnya. Kaum tertindas memilih antara melawan kaum penindas atau tidak melawan; antara solidaritas atau keterasingan; antara mentaati pola-pola atau mempunyai pilihan-pilihan; antara menjadi penonton atau menjadi pelaku; antara bertindak atau cukup dengan berkhayal bertindak melalui kaum penindas; dan antara bersuara atau berdiam diri. Secara implisit, penjelasan yang dikemukakan oleh Freire mengandung unsur bahwa individu dapat memreproduksi tindakan, situasi, atau nilai yang sudah ada atau sebaliknya memutus rantai reproduksi yang mapan. Sama halnya ketika seseorang mengalami perilaku agresi atau tindakan kekerasan dimana seorang akan terus menjadi korban atau berpindah status menjadi pelaku sebagai bentuk perlawanan. Agresivitas Pelajar Merupakan Perilaku Kolektif Secara sosiologis, agresivitas yang terjadi di kalangan pelajar bukan sekedar perilaku individual, melainkan berkembang menjadi perilaku kolektif dalam konteks sosial. Secara personal, perilaku agresi hanya dilakukan sebagai alat kesenangan untuk bercanda kepada sesama teman. Namun, akan berbeda motif apabila tindakan agresi tersebut dilakukan oleh senior seperti siswa kelas XII yang ditujukan kepada juniornya. Adanya perbedaan status dalam situasi tersebut terkadang kala sekolah dijadikan sebagai arena bagi siswa kelas XII untuk menindas juniornya. Hampir di setiap sekolah, banyak kegiatan-kegiatan sekolah yang menempatkan senior sebagai pemimpin dan junior sebagai pengikut. Berdasarkan data survei menunjukkan bahwa hampir sebagian siswa Kelas XII berperilaku agresi verbal terhadap juniornya di SMAN 70 Jakarta (39.5%) dan SMAN 46 Jakarta (47.6%), serta hampir seperempat siswa kelas XII bertindak agresi fisik terhadap juniornya di SMAN 70 Jakarta (25.4%) dan SMAN 46 Jakarta (16.5%). Oleh karena itu, ditelaah lebih jauh aksi-aksi agresi yang terjadi di sekolah bukan sekedar tindakan individual, melainkan secara tidak langsung dilembagakan dalam sekolah. Seperti yang dikemukakan oleh Herbet (1994), Rigby & Slee (1995), serta Morita (1996) bahwa tindakan kekerasan di kalangan pelajar terjadi secara merata di sekolah (Yoneyama & Naito, 2003). Secara struktural, sekolah secara tidak langsung mengembangkan serta melanggengkan perilaku agresi tersebut terjadi. Akibatnya, dari generasi ke generasi selanjutnya tindakan tersebut terus dilakukan dan sehingga menjadi suatu kebiasaan untuk dilakukan di dalam sekolah. Di dalam sekolah, perilaku agresi yang dilakukan siswa dapat dianggap sebuah hal yang wajar dan menjadi sebuah kebiasaan. Budaya sekolah dengan tingkat kedisplinan yang rendah, norma sekolah yang lemah seolah-olah menmbuka ruang terciptanya agresivitas yang bersifat kontinuitas. Akibatnya, ada kecenderungan siswa untuk berperilaku agresi pula di luar lingkungan sekolah. Bahkan, agresivitas di luar lingkungan sekolah lebih mudah dilakukan karena tidak terikat dengan jam belajar siswa dan norma sekolah.
Potret agresivitas..., Fitriani, FISIP UI, 2014
Dengan situasi demikian, agresi yang terjadi di luar sekolah bersifat kolektif. Namun, ditelaah lebih jauh bahwa agresi eksternal yang terjadi merupakan hasil proses dari kebiasaan-kebiasaan bentuk agresi yang terjadi di dalam sekolah. Situasi seperti inilah yang terjadi di SMAN 70 Jakarta dimana bentuk agresi itu sendiri sudah melembaga dalam sekolah dan telah mengkultur. Apalagi didukung dengan tingginya konformitas anak dalam kelompok bermain membuat agresivitas pelajar di luar lingkungan sekolah bersifat kolektif dan menjadi kekerasan fisik terbuka. Agresivitas Pelajar: Hasil Dari Sistem Pendidikan Yang Menindas Sistem pendidikan yang mengutamakan pada proses akademik yang menghasilkan individuindividu yang cerdas dan dapat diserap di dunia kerja seolah-olah mengaburkan hakikat dari pendidikan itu sendiri, yaitu mendidik. Salah satu penyebab tindakan agresi di kalangan pelajar adalah sebagai cara siswa untuk mengatasi kejenuhan dari proses belajar secara akademik. Kekeliruan pada sistem pendidikan saat ini, yaitu sekolah hanya menuntut siswa yang cerdas secara iptek, bahkan sistem pendidikan yang demikian telah membudaya. Hal ini senada dengan pendapat Pierre Bourdie yang melihat bahwa proses pendidikan di sekolah terjadi pemaksaaan sistem simbolisme dan makna (budaya) khususnya kepada siswa (Jenkins, 2004). Bahkan lebih jauh, Freire melihat dalam proses pendidikan mengandung unsur penindasan dan dominasi. Seluruh proses kegiatan belajar dan mengajar diatur dalam suatu struktur dimana tugas siswa belajar dan tugas guru mengajar sesuai dengan ketentuan sistem pendidikan yang dibuat oleh pemerintah. Apabila ditelaah lebih jauh, terlihat bahwa dalam sistem pendidikan terjadi relasi yang tidak seimbang. Pemerintah mendominasi dan menindas para pendidik untuk melaksanakan proses pendidikan yang ditentukan oleh pemerintah. Disisi lain, dalam sekolah para pendidik menindas dan menuntut siswa untuk melakukan proses belajar seperti yang ditentukan oleh pemerintah. Akibatnya, menurut Freire hubungan yang tertindas dan menindas menimbulkan adanya pemolaan (Danuwinata, 2008) dimana kelompok tertindas khususnya siswa akan memiliki pola perilaku yang sama dengan kaum penindas (guru atau pemerintah). Secara sosiologis, agresivitas yang terjadi dalam lingkup sekolah bukan sekedar kenakalan remaja semata. Namun, agresivitas pelajar merupakan hasil dari proses sistem pendidikan yang menindas. Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian bahwa motif terjadinya agresivitas pelajar dalam bentuk tawuran di jalanan atau di luar lingkungan sekolah hanya untuk mencari prestise. Prestise yang ingin didapatkan oleh siswa tidak dapat diberikan oleh sekolah. Secara kultural, khususnya pelajar dituntut untuk dapat berprestasi dan memiliki prestise dalam pendidikan. Secara prosesual, prestise yang diinginkan dapat dilakukan melalui cara yang positif sesuai dengan harapan masyarakat. Namun, secara struktural, sekolah belum dapat memberikan prestise-prestise yang diharapkan oleh siswa. Ada bentuk kegagalan dari sekolah dalam memberikan reward kepada siswa dimana reward dalam bentuk nonakademik jarang dan/atau tidak diberikan kepada siswa lain. Akibatnya, agresivitas yang terjadi dikalangan pelajar merupakan cara untuk mendapatkan reward dari sekolah dan masyarakat bahwa para peserta didik tidak hanya hebat dalam akademik tetapi secara kekuatan fisik juga lebih tangguh. Oleh karena itu, secara sosiologis fenomena agresivitas pelajar ini merupakan situasi anomie yang dikemukakan oleh Robert K. Merton (Perdue, 1986). Kondisi anomie dalam mayarakat menggambarkan dimana tujuan yang secara universal diberlakukan pada masyarakat, tetapi cara untuk mencapai tujuan tersebut dibatasi, maka penyimpangan yang akan terjadi. Agresivitas merupakan hasil dari proses pendidikan yang menindas mengakibat agresivitas tersebut berkembang secara kolektif baik didalam maupun diluar sekolah. Hal ini karena dipengaruhi oleh konformitas dalam kelompok dimana semkain tinggi konformitas individu dalam kelompok maka ada kecenderungan tingkat agresi lebih tinggi dan dilakukan secara kolektif. Bagi individu, kelompok merupakan dukungan dalam bertindak. Bahkan, lebih jauh agresivitas pelajar dalam bentuk tawuran, pengeroyokan dan sebagainya berubah dan berkembang menjadi kekerasan fisik terbuka. Secara struktur, khususnya sekolah memiliki aturan yang lemah dan kedisplinan yang rendah sehingga agresivitas sulit dikontrol. Di masyarakat, kontrol sosial juga lemah dimana masih rendahnya kontrol keluarga sehingga agresivitas sulit dilakukan preventif. Pada pemerintah, aturan hukum lemah sehingga agresivitas pelajar sulit diselesaikan. Dengan demikian, secara sosiologis, fenomena agresivitas pelajar dapat dikategorisasikan menjadi tiga tipe, yaitu: 1. Agresivitas menstruktur. Agresivitas pelajar terjadi karena kontrol sosial yang lemah dari sekolah dimana aturan kedisplinan masih lemah. Akibatnya, agresivitas pelajar terus berkembang disekolah. Meskipun demikian, cara preventif dapat dilakukan.
Potret agresivitas..., Fitriani, FISIP UI, 2014
2. Agresivitas membudaya. Agresivitas pelajar terjadi karena kurangnya ketegasan hukum dari pemerintah dan sekolah dalam mengatasi perilaku agresi siswa. Akibat lemahnya ketegasan hukum mengenai perilaku agresi pada siswa, maka agresivitas pelajar terus-menerus terjadi, berulang-ulang sehingga membentuk suatu kebiasaan. Agresivitas ini sulit dilakukan preventif tetapi lebih bersifat solutif. 3. Agresivitas prosesual. Agresivitas pelajar terjadi karena hasil dari negosiasi antara peserta didik dalam proses pendidikan. Agresivitas dijadikan alat untuk menggekang dan melawan struktur dan sistem pendidikan. Agresivitas ini masih dapat dilakukan dengan cara preventif. Berdasarkan data penelitian, maka fenomena agresivitas pelajar di SMAN 70 Jakarta dan SMAN 46 Jakarta memiliki tipe agresivitas yang berbeda. Agresivitas pada pelajar SMAN 70 Jakarta merupakan agresivitas membudaya. Hal ini dikarenakan secara struktural, agresivitas yang terjadi di SMAN 70 Jakarta secara tidak langsung dilegitimasi oleh sekolah sehingga dari tahun ke tahun sulit diselesaikan. Bahkan, dari pemerintah belum ada tindakan hukum yang tegas dalam menangani masalah ini. Selain itu, tingginya konformitas siswa dalam kelompok bermain di SMAN 70 Jakarta menyebabkan perilaku agresi tersebut berkembang menjadi perilaku kolektif dan terjadi berulang-ulang. Akibatnya, agresivitas pelajar di SMAN 70 Jakarta bersifat membudaya meskipun agresi tersebut hanya merupakan alat untuk mencari kesenangan. Pada awalnya agresivitas pelajar di SMAN 70 Jakarta ini sifat prosesual. Namun, dikarenakan rendahnya norma sekolah dan lemahnya ketegasan hukum dimana agresivitas terus dibiarkan dan berkembang maka agresivitas yang terjadi pada pelajar SMAN 70 Jakarta bersifat agresivitas kultural. Dapat dikatakan bahwa agresivitas pada pelajar SMAN 70 Jakarta merupakan fenomena dari cultured process. Konsep cultured process merupakan konsep dari Paulus Wirutomo yang mana agresivitas pelajar SMAN 70 Jakarta merupakan hasil dari interaksi yang terjadi secara berulang-ulang dan terinternalisasi secara kolektif yang kemudian menjadi suatu tradisi. Hasil yang berbeda pada SMAN 46 Jakarta dimana agresi yang terjadi adalah agresivitas prosesual. Oleh karena itu, agresivitas prosesual ditandai dengan intensitas pola agresi yang terkadang kala cenderung meningkat dan menurun. Berdasarkan sejarah, agresivitas pelajar SMAN 46 Jakarta cenderung menurun (Catatan Komnas, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa agresivitas prosesual masih dapat dicegah dan siswanya masih dapat diarahkan dan dikontrol apabila secara struktural memiliki aturan yang tegas. Meskipun demikian, pada dasarnya ggresivitas pelajar yang terjadi pada baik pada SMAN 70 Jakarta dan SMAN 46 Jakarta akan meningkat apabila sifatnya dilakukan secara kolektif. Kesimpulan Secara sosiologis, fenomena agresivitas pelajar tidak hanya sekedar masalah pada level mikro, tetapi juga masalah pada level makro. Pada level mikro agresivitas dapat dilihat secara prosesual. Secara prosesual, agresivitas pelajar hanya sebatas bentuk kenakalan remaja saja dimana terjadi karena dari proses-proses interaksi dengan kelompok bermain. Namun, pada level makro agresivitas dapat dilihat secara struktural dan kultural. Secara struktural, agresivitas dilembagakan di sekolah dimana aturan-aturan sekolah belum tegas dan masih fleksibel dalam menangani agresivitas pelajar. Bahkan, agresivitas yang terjadi diluar sekolah berkembang menjadi kekerasan fisik terbuka karena lemahnya penegakan hukum, dan kontrol masyarakat seperti keluarga. Secara kultural, fenomena agresivitas ini dapat dilihat dari level mikro dan makro. Agresivitas yang semulanya berawal dari perilaku individu dan perilaku subkelompoksubkelompok, tetapi tidak dikontrol dengan penegasan sanksi atau dibiarkan secara struktural akibatnya, agresivitas bersifat membudaya. Kemudian, analisa makro melihat bahwa agresivitas yang terjadi di kalangan pelajar merupakan hasil dari kekeliruan sistem pendidikan yang ada. Sistem pendidikan yang mendoktrin yang dijalankan secara formal membuat para peserta didik tertindas. Sistem pendidikan yang menuntut peserta didik unggul dalam proses belajar menimbulkan kejenuhan kepada siswa. Akibatnya, agresivitas merupakan cara untuk mencari kesenangan dan melampiaskan kejenuhan dari proses belajar. Berdasarkan pemikiran Freire, sistem pendidikan yang seperti ini menjadikan peserta didik hanya sebagai mekanis dan tidak dijadikan sebagai human being (tidak humanis). Daftar Pustaka Buku Danuwinata, F. 2008. Paulo Freire: Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Potret agresivitas..., Fitriani, FISIP UI, 2014
Felson, R.B. & Tedeschi, J.J. 1993. Aggression and Violence: Social Interactionist Perspectives. Washington, D.C.: American Psychological Association. Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdie, (Nurhadi, Penerjemah), Yogyakarta: Kreasi Wacana. Perdue, William D. 1986. Sociological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. California: Mayfield Publishing Company. Bandura, Albert. 1973. Aggression : A social Learning Analysis. New Jersey : Prentice Hall. Bjorkqvist, K., & Niemela, P. 1992. New trends in the study of female aggression. In K. Bjorkqvist & P. Niemela (Eds.), Of mice and women: Aspects of female aggression (pp. 3-25). San Diego, CA: Academic Press. Galgotra, Mohan. 2013. “A Study of Aggression Among Adolescents of Jammu District in Relation to Sex, Socio Economic Status and Types of Institutions”. Indian Streams Research Journal Vol.3, Issue 1 Februari, 2013 (http://www.isrj.net/UploadedData/1988.pdf) Goldstein, Sara E., Amy Young and Carol Boyd. 2008. "Relational Aggression at School: Associations with School Safety and Social Climate." Journal of Youth and Adolescence 37(6):641-654 (http://search.proquest.com/docview/204522615?accountid=17242). Imtiaz, Ruqaya. 2010. “Sociological Study of The Factors Affecting the Aggressive Behavior Among Youth”. Pakistan Journal of Social Sciences Vol.30, No.1 (September 2010):99-108 http://www.bzu.edu.pk/PJSS/Vol30No12010/Final_PJSS-30-1-09.pdf. La Greca, Annette M and Harrison, Hannah Moore. 2005. “Adolescent Peer Relations, Friendships, and Romantic Relationships: Do They Predict Social Anxiety and Depression?”. Journal of Clinical Child and Adolescent Psychology 2005, Vol. 34, No. 1, 49–6. JSTOR Database Santor, Darcy A., Deanna Messervey and Vivek Kusumakar. 2000. "Measuring Peer Pressure, Popularity, and Conformity in Adolescent Boys and Girls: Predicting School Performance, Sexual Attitudes, and Substance Abuse." Journal of Youth and Adolescence 29(2):163-182 (http://search.proquest.com/docview/204645542?accountid=17242). Scott, Stephen. 1998. "Aggressive Behaviour in Childhood." British Medical Journal 316(7126):202(http://search.proquest.com/docview/203999200?accountid=17242). Talwar, Prashant. 1998. “The Family and Peer Group Influences in Aggression”. Indian Journal of Psychiatry, 40(4), 346-349. JSTOR database. Venter, M., Poggenpoel,M., and Myburgh, CPH. 2005 The Phenomenon of Aggressive Behavior of Learners in the School Situation”. Education Winter 2005;125; 126, 2: Proquest Research Library pg.312. Proquest Database. Werner, Nicole E and Crick, Nicki R. 1999. “Relational Aggression and Social-Psycological Adjustment in a College Sample”. Journal of Abnormal Psychology Vol. 108, No. 4, 615-623. JSTOR Database. Williford, Anne P., Daniel Brisson, Kimberly A. Bender, Jeffrey M. Jenson and Shandra Forrest-Bank. 2011. "Patterns of Aggressive Behavior and Peer Victimization from Childhood to Early Adolescence: A Latent Class Analysis." Journal of Youth and Adolescence 40(6):644-55 (http://search.proquest.com/docview/867421695?accountid=17242). Yoneyama, Shoko & Naito Asao. (2003). “Problem With The Paradigm: The School As A Factor In Understanding Bullying (with special reference to Japan)”, British Journal of Sociology of Education. JSTOR database. Tesis/Skripsi Herlambang, Andy. (2008). Gambaran motivasi pelaku bullying pada pelajar SMP, SMA dan PT di tiga kota besar di Indonesia. Skripsi Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Dokumen Catatan Komnas Perlindungan Anak. (2012). Kliping Berita Anak: Edisi Khusus Kasus SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta, Part 1. Catatan Komnas Perlindungan Anak. (2012). Kliping Berita Anak: Edisi Khusus Kasus SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta, Part 2.
Potret agresivitas..., Fitriani, FISIP UI, 2014