Artikel
POTRET KELUARGA, DARI MASA KE MASA Oleh Mardiya
Dahulu kala, ketika orang-orang masih hidup secara nomaden dan agama belum diturunkan ke bumi, masih belum ada keluarga dalam arti sebenarnya. Karena pada masa itu, orang belum berpikir untuk membangun keluarga dengan tata cara dan pola hidup seperti sekarang ini. Mereka belum mengerti arti pernikahan. Apalagi membangun keluarga kecil yang sejahtera dan bahagia. Yang mereka tahu adalah kawin dan hidup bersama secara berkelompok membentuk suatu persekutuan hidup yang saling tolong menolong dan saling membantu. Dalam satu kelompok bisa terdiri dari belasan atau puluhan pasangan yang hidup bersama, makan bersama dan berkumpul bersama membangun suku-suku. Mereka masih mengharamkan perkawinan antar suku, kecuali untuk maksud-maksud tertentu. Sehingga perkawinan sedarah sering terjadi. Akibatnya sulit pada waktu itu untuk menghindarkan penyakit keturunan dan membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Karena belum mengerti arti pernikahan yang sebenarnya, maka makna anak bagi mereka lebih dihargai sebagai penyedia tenaga, bukan sebagai penerus kebudayaan yang harus ditingkatkan kualitasnya. Salah satu penyebabnya adalah karena pekerjaan pokoknya adalah berburu. Maka kaum lelaki pergi menjelajah hutan mencari hewan buruan, sementara yang perempuan mencari kayu bakar dan menjaga rumah (atau lebih layak disebut perkemahan) mereka. Lebih dari itu, mereka tidak merasa risih atau terganggu jika ada diantara mereka ada yang saling bertukar pasangan. Mereka belum mengenal istilah selingkuh. Yang mereka tahu, bertukar pasangan dan kawin dengan orang-orang yang masih memilliki hubungan darah tidak dilarang. Apalagi hanya itu, pada daerah-daerah tertentu di pedalaman, menyuguhkan seorang wanita sebagai salah satu jamuan untuk tamu, bukanlah hal yang mengherankan. Budaya ini berlangsung terus secara turun temurun, hingga sampai pada masa agama diturunkan ke bumi. Karena ajaran agama telah mengharuskan mereka untuk membenahi diri. Apalagi pola kehidupan mereka telah mulai berubah dan menetap setelah teknologi bercocok tanam serta perawatan tanaman pangan mereka kuasai. 1
Orang-orangpun kemudian mulai mengenal arti pernikahan, batasan dan norma kesusilaan serta pendidikan budi pekerti. Budaya ini terus berkembang seiring dengan penciptaan peraturanperaturan baru dalam pemerintahan dan munculnya undang-undang perkawinan, meskipun masih sangat sederhana. Undang-undang ini oleh pihak yang berwenang terus disosialisasikan sehingga menyatu dengan kebudayan setempat. Jadilah keluarga terbentuk secara nyata dengan batasanbatasan yang tegas. Perkembangan selanjutnya, muncullah istilah keluarga luas (extended family) dalam kebudayaan mereka. Jadi mereka tidak lagi bergerombol dalam kelompok yang terdiri atas beberapa pasangan yang tidak memiliki hubungan darah, melainkan mengelompok ke dalam keluarga-keluarga besar dengan anggota keluarga rata-rata di atas 10 orang. Mereka hidup dalam satu rumah dan mereka terdiri dari suami isteri, anak-anak, orang tua dan mertua, kakek, nenek, cucuk, keponakan dan sebagainya. Keluarga-keluarga tersebut mulai berinteraksi dengan keluarga lainnya serta mulai membentuk masyarakat dengan berbagai ragam kebudayaannya. Sejak saat itu terjadilah saling pengaruh mempengaruhi antara keluarga dengan masyarakat, dimana kemudian terjadi saling keterkaitan dan keterikatan diantara keduanya. Sekarang ini, sejalan dengan perkembangan kebudayaan yang terus bergerak maju, keluarga yang sejak awal selalu mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat, juga turut berkembang dan merasakan pengaruh dinamika kehidupan itu. Perkembangan tersebut tampak tidak saja dalam bentuk perubahan tipe keluarga yang mengarah ke keluarga batih atau keluarga inti (nuclear family), tetapi juga berkait dengan kualitas keluarga serta kemandiriannya dalam mencukupi kebutuhan hidup. Termasuk dalam mengatasi persoalan-persoalan keluarga yang muncul. Hal ini akan tampak semakin jelas, apabila kita mengamati kehidupan keluarga masa lalu dan sekarang. Dahulu – sebelum keluarga tercemari oleh perkembangan teknologi dan industri – keluarga lebih kita lihat sebagai suatu kesatuan yang lebih utuh. Tiap anggota keluarga jelas dan pasti tugas serta tanggung jawabnya dalam keluarganya itu. Semua anggota keluarga turut mengambil bagian dalam seluruh kehidupan keluarga, baik dalam mencari nafkah maupun dalam mengurusi kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, seluruh anggota keluarga turut serta dalam produksi ekonomis dan merupakan suatu unit kerja. Soal pemenuhan kebutuhan, bolehlah dikatakan bahwa pada masa itu setiap keluarga dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, di samping adanya kerja sama dan gotong royong antar 2
anggota keluarga yang relatif lebih baik. Kebutuhan hidupnyapun relatif masih sederhana. Keadaan seperti itu terjadi seiring dengan keadaan masyarakat yang relatif stabil. Artinya, relatif tidak begitu banyak ada perubahan norma dan pola kehidupan. Kondisi masyarakat relatif mantap, sehingga setiap orang, keluarga, memiliki pola yang mantap pula dan setiap orang tahu apa yang harus dilakukan. Dalam pola kehidupan seperti itu, kehidupan keluarga relatif tidak banyak mengalami goncangan. Karenanya, pada masa ini keluarga berkarakteristik relatif utuh, bulat dan menyatu. Lebih dari itu, hubungan intra keluarga maupun antar keluarga yang terkait dengan hubungan darah pun lebih utuh dan akrab. Dalam rangka kehidupan kekerabatan, sissilah keluarga dipegang teguh. Sehingga jangan heran jika mereka saling menegur dengan sebutan yang menunjukkan silsilah keluarga. Pada hari-hari besar anggota-anggota keluarga itu berkumpul untuk bersilaturahmi yang biasanya dilakukan di rumah orang yang dituakan oleh seluruh kerabat. Untuk pasangan hidup juga dipilihkan dan didahulukan calon yang masih terikat oleh hubungan kekerabatan. Sejalan dengan perkembangan zaman, kondisi tersebut saat ini telah banyak berubah. Kehidupan keluarga tidak lagi seutuh dahulu. Fungsi-fungsi keluarga menurun dan memudar maknanya. Di antara anggota-anggota keluargapun tidak lagi jelas tugas dan perannya. Mereka masing-masing (yang sudah masuk angkatan kerja), mencari lingkungan pekerjaan sendiri selaras dengan keahlian ataupun kesenangan masing-masing. Dalam keluarga sekarang, ada kalanya seorang anak tidak mengetahui atau tidak mempunyai gambaran yang jelas mengenai jabatan atau ruang lingkup kerja ayah atau ibunya. Fungsi, tugas dan kebutuhan serta tanggung jawab masing-masing anggota tidak sejelas dahulu. Sekarang keluarga tidak mungkin lagi menutupi kebutuhan sehari-harinya secara mandiri. Oleh karena itu, sistem ”ekonomi rumah tangga tertutup” yang diterapkan pada masa lalu telah menjadi ketinggalan zaman, sehingga sekarang sudah beralih dengan penerapan “ekonomi rumah tangga terbuka”. Kehidupan dan kebutuhan hidup sehari-hari menjadi semakin kompleks. Semua pihak dalam keluarga itu makin banyak memerlukan hubungan dengan dunia luar. Akibatnya mereka makin banyak meninggalkan keluarga. Oleh karena itu, saat ini mereka lebih banyak mendapatkan pengaruh langsung dari luar, tanpa terlebih dahulu disaring dan ditafsirkan orangtua sesuai dengan visinya.
3
Toko-toko, restoran, rumah sakit, pabrik tekstil dan rumah makan, sekolah-sekolah, masjid, gereja, pura dan tempat-tempat rekreasi dan sebagainya memberikan pelayanan kepada kehidupan berkeluarga. Hal ini mengakibatkan anggota-anggota keluarga lebih longgar hubungannya dan tidak lagi begitu terikat dengan keluarganya. Keutuhan keluarga mengendur dan fungsi keluarga memudar. Dalam pada itu, paham demokrasi, emansipasi wanita serta kebebasan pribadi juga merembes dalam kehidupan dan mengubah pola kehidupan keluarga. Wanita menuntut pendidikan yang sama dengan pria dan dapat memangku berbagai jabatan di luar keluarga, di samping fungsinya sebagai isteri dan ibu dalam keluarga. Itu berarti, ia juga harus lebih banyak meninggalkan rumah. Sehingga guna melaksanakan tugasnya sebagai seorang isteri dan ibu, tidak sedikit yang mengambil jalan pintas yang dirasa lebih praktis. Misalnya, memanfaatkan jasa katering untuk urusan makanan, pembantu rumah tangga untuk urusan mencuci, menyetrika, menyapu dan sebagainya. Akibatnya, rumah tidak lagi dirasakan sebagai tempat kumpul keluarga, tempat dari mana mereka berangkat dan mereka kembali. Rumah kehilangan atau minimal berkurang fungsinya sebagai pangkalan “home base” yang aman di mana para anggota keluarga merasakan kehangatan suasana kekeluargaan, melainkan kadang lebih tampil dan dirasakaan sebagai semacam tempat singgah atau terminal. Bangunan rumah mewah pun yang telah ditata dengan apik – sekarang ini tidak jarang beralih fungsi sebagai sekedar tempat pajangan barang antik atau museum. Ungkapan “rumahku sorgaku”, tidak lagi bergema. Karena memang tidak lagi dirasakan urgensinya, mengingat orang lebih banyak di luar rumah. Pergeseran kehidupan masyarakat dan kehidupan keluarga itu makin meningkat dengan adanya globalisasi dalam kehidupan, khususnya dalam bidang teknologi, komunikasi, ekonomi dan politik. Batas-batas antar negara menjadi kabur dan apa ygterjadi di suatu negara dapat langsung diketahui oleh dunia. Pengaruh dan akibatnya pun dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Perubahan dan pergseran dalam masyarakat itu, menimbulkan ekses ke dalam keluarga. Yakni terjadi perubahan dalam hubungan antara orang tua dan anak, antara suami dan isteri, disamping berpengaruh pula terhadap pandangan mereka mengenai fungsi-fungsi keluarga. Dalam klimaknya, apabila ekses-ekses tersebut tidak dapat diatasi, dapat timbul disorientasi
4
keluarga dan atau disintegrasi keluarga. Sudah barang tentu hal tersebut juga berdampak pada pandangan dan kelangsungan hidup keluarga. Dalam suasana seperti sekarang ini, makin dirasakan perlunya meningkatkan dan mengintensifkan hubungan intra keluarga. Karena kita merasakan seperti ada sesuatu yang hilang, yang sifatnya sangat sensitif bagi kehidupan kita. Yaitu rasa kekeluargaan, suasana tenteram dan kasih sayang. Padahal semuanya itu merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, apabila hal ini tidak dapat terpenuhi, mustahil kita dapat menjadikan keluarga sebagai wahana pembentukan insan yang berkualitas serta dapat mendudukkan keluarga sebagai institusi pendukung pembangunan yang handal.
Drs. Mardiya, Kasubid Advokasi Konseling dan Pembinaan Kelembagaan KB dan Kesehatan Reproduksi BPMPDP dan KB Kabupaten Kulonprogo.
5