KONSEP NEGARA KHILAFAH HIZBUT TAHRIR INDONESIA BAB I Pendahuluan I.1 Latar belakang Fenomena berkembangnya fundamentalisme Islam dalam hal perjuangan menerapkan Islam secara Kaffah (dalam segala Aspek kehidupan) nampaknya akan terus menguat. Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja, hal ini sudah menjadi hal yang lazim di berbagai negara di dunia Islam. Bila kita amati berkembangnya keinginan untuk menegakkan Islam secara Kaffah bukanlah dikarenakan oleh peningkatan pemahaman terhadap nilai-nilai agama, melainkan lebih karena bentuk kekecewaan terhadap sistem yang sudah ada dimana dianggap gagal memberikan kesejahteraan, keadilan. Maka dari itu pada dasarnya fundamentalisme Islam tidak perlu disikapi dengan
apriori ataupun
phobi, sebab sebenarnya mereka berusaha menawarkan sebuah solusi yang menurut mereka dapat menjawab kegagalan sistem yang ada sekarang. 1 Indonesia sebagai populasi muslim terbesar di dunia dapat juga dikatakan sebagai salah satu simbol kekuatan Islam yang ada saat ini. Walaupun dalam konstitusi negara Indonesia tidak disebutkan bahwa Indonesia adalah negara muslim, namun pada kenyataannya Islam cukup mengambil peranan penting dalam kehidupan sosial politik di di negara ini. Sejak sebelum lahirnya Indonesia (masih nusantara) Islam telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat nusantara terutama sejak masa berkuasanya kerajaan kerajaan Islam. Bahkan seiring dengan perkembangannya pada masa kolonilal Islam tetap memiliki eksistensi tersendiri
1 Afdlal dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia.(Jakarta: LIPI Press, 2005) hal 292.
9 Universitas Sumatera Utara
dalam hal perjuangan melawan penjajah. Berbagai
bentuk perjuangan yang
dilakukan oleh laskar-laskar Islam dalam melawan penjajahan menunjukkan Islam telah memiliki eksistensi yang cukup kuat jauh sebelum muncul ide tentang Indonesia. Perjuangan umat Islam di nusantara nampaknya tidak hanya sampai melawan penjajahan dan memperoleh kemerdekaan, tapi berlanjut kepada perjuangan menegakkan Islam sebagai aturan hidup bernegara. Hal ini dapat kita lihat dari awal mula pembentukan konstitusi di awal kemerdekaan Indonesia dimana pada Piagam Jakarta termaktub gagasan tentang pelaksanaan syariat Islam bagi para pemeluknya. Kelompok-kelompok Islam fundamental pada saat itu memperjuangkan syariat tidak hanya sebagai suatu bentuk eksistensi namun juga sebagai jalan hidup yang memang diyakini sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Tentunya hal ini akan kembali menimbulkan pertentangan dengan golongan lainnya (nasionalis dan agama lainnya). Bila kita melihat dari sudut pandang sejarah memang kita akan jumpai bahwa umat Islam di Indonesia sejak dulu telah memperlihatkan sebuah bentuk eksistensi yang kemudian mengarah pada penerapan hukum Islam bahkan bentuk negara Islam sebagai sebuah kewajiban menjalankan perintah agama. Dengan kata lain dikatakan bahwa isu negara pembentukan negara Islam ataupun penegakan Syariat Islam bukanlah hal yang baru dalam rangkaian perjalanan panjang bangsa ini. Begitu pula dengan hambatan yang dihadapinya, selalu saj mendapat pertentangan dari kelompok lainnya. Walaupun akhirnya tetap saja bentuk negara Indonesia hingga sekarang masih tetap bentuk negara Republik Indonesia dan bukanlah negara Islam ataupun negara Agama.
10 Universitas Sumatera Utara
Dalam perjalanan bangsa ini (dalam konteks Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan) walaupun prinsip – prinsip keIslaman tidak berhasil menjadi konstitusi negara ini, namun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam prakteknya Islam tetap berpengaruh besar di negara ini, hal ini tentunya dikarenakan Indonesia adalah negara mayoritas muslim dan banyak pemikir-pemikir Islam yang turut andil dalam percaturan politik nasional, walaupun tidak berada dalam sebuah sistem politik Islam namun tetap saja simbol-simbol keIslam dinilai penting sebagai suatu bentuk Eksisitensi dalam kancah politik Indonesia. Islam sebagai sebuah peradaban memang pernah berjaya dimasa silam dan semasa berjayanya pemerintahan Islam memang belum pernah di temukan adanya bentuk negara seperti yang ada sekarang (bentuk negara nasional). Kekuasaan Islam pernah berjaya secara Global dalam bentuk yang unik dan berciri sendiri. Maka dalam perkembangannya sekarang tidak heran bila kita jumpai kelompok kelompok Islam fundamentalis anti-demokrasi dan menganggap tidak perlu meniru sistem yang berasal dari Barat karena meyakini bahwa dalam Islam telah ada bentuk pemerintahan sendiri. Dinamika politik Islam yang ada saat ini baik di dunia maupun di Indonesia pada dasarnya bertumpu pada permasalahan Ideologi Islam dan Demokrasi, dimana perbedaan pandangan mengenai letak kedaulatan sebuah negara, antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan (dalam Konteks Islam). Hinga saat ini Isu negara dan syariat Islam masih menjadi salah satu isyu yang cukup banyak menuai kontroversi. Dari sekian banyak oramas dan partai Islam yang ada hanya dua yang di cukup menjadi sorotan terkait dala isu ini, yakni: Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
11 Universitas Sumatera Utara
Keduanya diliaht oleh kebanyakan orang sebagai organisasi yang cukup keras dalam penerapan nilai-nilai Islam dan tidak mengenal kompromi dengan demokrasi. Penelitian ini berfokus untuk melihat bagaimanakah sesungguhnya konsep negara yang di tawarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, yang selama ini mereka anggap lebih baik dari konsepsi negara demokrasi. Hizbut Tahrir adalah sebuah organisasi politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas kehidupan. Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, bukan organisasi kerohanian/spiritual (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan). Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya.
2
Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah Swt. dapat diberlakukan kembali. Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke
2 http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/
12 Universitas Sumatera Utara
seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum muslimin kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam dan masyarakat Islam. Di mana seluruh kegiatan kehidupannya diatur sesuai dengan hukum-hukum syara. Pandangan hidup yang akan menjadi pedoman adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islamiyah, yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat dan dibai’at oleh kaum muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Hizbut Tahrir bertujuan membangkitkan kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang cemerlang. Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat ke masa kejayaan dan keemasannya seperti dulu, di mana umat akan mengambil alih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini. dan Negara Khilafah akan kembali menjadi negara nomor satu di dunia. sebagaimana yang terjadi pada masa silam. yakni memimpin dunia sesuai dengan hukum-hukum Islam. Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Gerakan yang menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina. 3
3 Ibid.
13 Universitas Sumatera Utara
Hizbut Tahrir adalah Organisasi Islam yang membawa dinamika baru bagi percaturan politik nasional. Selain itu Hizbut Tahrir adalah satu-satunya organisasi Islam yang concern dalam hal penegakan Khilafah. 4 Mengapa Harus Hizbut Tahrir Indonesia? Tetunya pertanyaan ini kan muncul dalam benak siapapun yang membaca tulisan ini. Dan Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah karena penulis tertarik dan ingin mengetahui seperti apakah
sebenarnya
konsep
negara
khilafah
menurut
Hizbut
Tahrir
Indonesia?Apakah yang menjadi karakteristiknya yang membuatnya berbeda dengan ornganisasi lainnya? Ketertarikan ini mungkin juga akan memberikan nilai dan pengetahuan baru kepada kita semua tentang organisasi ini. Sebelum kita jauh memabahas tenang Hizbut Tahrir Indonesia, kiranya perlu kita pahami dasar pemikiran Hizbut Tahrir dengan benar-benar mengakar. Kebangkitan manusia secara personal maupun sebagai sebuah peradaban tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta dan manusia serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Agar manusia bangkit perlu ada perubahan yang sangat mendasar terhadap pemikiran manusia dewasa ini. Dalam menyelesaikan berbagai macam problematika kehidupan manusia dapat menggunakan pemikirannya yang cemerlang tentang alam semesta, manusia dan hidup. Pemecahan inilah yang menghasilkan akidah, dan menjadi landasan berfikir yang melahirkan setiap cabang tentang perilaku manusia didunia ini serta peraturan-peraturannya. Islam telah menjelaskan permasalahan pokok ini, yakni sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan meneangkan jiwa. Memeluk islam tergantung pada
4 Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hal 384.
14 Universitas Sumatera Utara
pengakuan dan pemahaman terhadap problematika ini yang berlandaskan akal. Oleh sebab itulah islam dibangun atas dasar akidah. Yang menjelaskan bahwa dibalik alam semesta, manusia dan hidup terdapat Sang Khalik sebagai pencipta ketiganya.
5
Sebagai pendatang baru dalam percaturan politik Indonesia Hizbut Tahrir bisa dikatan cukup memiliki kararter yang kuat. Ini bisa dilihat dari banyaknya sorotan publik terhadap kelompok yang di awal kedatangannya dipandang eksentrik. Apalagi dengan isu dan konsep khlifah serta metode dakwah yang dibawanya. Hizbut Tahrir harus berhadapan dengan demokrasi yang telah menjelma dalam sebuah sistem negara. Secara tidak langsung hizbut Tahrir harus berhadapan dengan negara karena pada dasarnya konsep yang dibawanya mensyaratkan untuk menolak apapun bentuk pemerintahan selain pemerintahan islam (khilafah). Perdebatan juga terjadi ketika harus membicarakan konsepsi kedaulatan negara, diamna Hizbut Tahrir tidak pernah mengakui kedaulatan rakyat melainkan kedaulatan Tuhan , sementara negara demokrasi sekarang bertumpu pada kedaulatan rakyat. Baik dalam kancah nasional maupun Internasional perdebatan panjang antara konsep Islam dan demokrasi tidak jarang menghasilkan sebuah konflik. Bahkan perbedaan cara pandang terhadap Islam dan demokrasi juga terjadi di kalangan intern umat Islam. Ada pihak yang menerima demokrasi dengan segala bentuk penyesuaian dengan nilai-nilai Islam dan ada pihak yang dengan tegas menolaknya. Hal menarik lainnya yang juga perlu di amati adalah “sebagai sebuah kelompok anti-demokrasi” Hizbut Tahrir justru dapat tumbuh dan
5
Taqiyuddin An- Nabani, Peraturan Hidup Dalam Islam(Jakarta: HTI Press, 2001), hal. 9
15 Universitas Sumatera Utara
berkembang di negara demokrasi.” Di Indonesia misalnya Hizbut Tahrir dapat tumbuh walaupun dalam gerakannya mereka dengan tegas mengatakan menolak dan menganggap bahwa sistem negara yang ada sekarang adalah sistem kafir. Mudah-mudahan kita dapat memahami berbagai permasalan ini bila kita telah mengerti konsep seperti apa khilafah itu. Dan dimana letak benturan-benturan yang terjadi sebenarnya antara Hizbut Tahrir (sebagai gerakan fundamentalis) dengan demokrasi terkait dengan urusan penyelenggaraan negara ataupun politik.
I.2. Perumusan masalah Perumusan masalah merupakan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicarikan jawabannya. Perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan di teliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah. Berdasarkan tema dan judul tulisan ini “Konsep Negara Khilafah Hizbut Tahrir Indonesia” maka penulis mencoba merumuskan beberapa permasalahan yakni: 1. Tentunya yang paling utama adalah: “ Bagaimana Konsep Negara khilafah menurut Hizbut Tahrir Indonesia dan bagaimana ia memandang Negara sekarang ini? 2. Apa
yang
menjadi
karakteristik
dari
sistem
khilafah
yang
membedakannya dengan sistem lainnya?
16 Universitas Sumatera Utara
I.3. Pembatasan Masalah Agar pembahasan masalah dalam tulisan ini tidak melebar, kirannya penulis sangat perlu membatasi lingkup kajiannya, yakni dengan menetapkan garis permasalahan utamanya 6 yaitu “konsep negara khilafah yang mencakup dasar pemikiran, prinsip kedaulatan dan struktur pemerintahan.”
I. 4 Tujuan penelitian Yang menjadi tujuan utama penulis dalam melakukan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah konsep negara khilafah yang di kemukakan Hizbut Tahrir. 2. Untuk mencari khasanah baru yang mungkin selama ini belum pernah digunakan dalam memahami perihal tentang Konsep negara Khilafah.
I.5 Manfaat Penelitian Sebagai sebuah karya ilmiah tentu diharapkan nantinya tulisan ini akan memberi beberapa manfaat diantaranya adalah : 1. Diharapkan skripsi dapat digunakan sebagai rujukan bagi siapa saja yang membutuhkannya dalam hal studi dan sebagainya yang berkenaan dengan tema dalam skripsi ini. 2. Dan tentu saja diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi pembaca untuk lebih memahami Hizbut Tahrir Indonesia yang mungkin saja akan membawa kita kepada inspirasi, dan pandangan baru.
6 Bahdin Nurtanjung dan H Ardial, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah(Medan :kencana, 2008), hal. 5
17 Universitas Sumatera Utara
I.6 Kerangka Teori Dalam skripsi ini tentunya diperlukan dasar teori atau landasan teori agar kita dapat dengan mudah memahaminya, dalam hal ini tentunya penulis mencoba mengutip teori-teori dasar tentang tentang politik Islam. Tentunya teori ini akan menjadi garis penegas pandangan kita dalam memahami permasalahn pokok dalam skripsi ini yakni permasalahan seputar konsep negara khilafah. I.6.1 Politik Islam Zaman Rasul Kapankah pertama kali lahirnya pemerintahan Islam? Sebuah pertanyaan yang baik untuk memulai pembahasan ini. Sebagai mana tercatat dalam sejarah bahwa pemerintahan Islam pertamakali di selenggarakan ketika Rasul melakukan hijrah(pindah) dari mekah ke Yastrib (Madinah, setelah hijrah). Setelah Rasul hijrah ke kota Madinah, di sana terbentuk pertama kalinya sebuah komunitas Islam yang bebas merdeka dibawah pimpinan Rasul. Kota Madinah pada saat itu merupakan kota yang plural, karena tidak hanya ada komunitas Islam, terdapat juga komunitas Yahudi, dan suku-suku arab lainnya selain Islam. Kurang dari dua tahun setelah hijrahnya Rasul, beliau membuat sebuah kesepakatan damai yang berisikan tentang aturan hidup bersama antar golongan, kelompok atau suku yang hidup berdampingan di sana. Kesepakatan itu di sebut juga dengan Piagam Madinah. Menurut telaahan berbagai partai politik mengatakan bahwa Piagam Madinah adalah undang-undang pertama negara Islam yang didirikan Rasul. Dan satu lagi catatan penting yang perlu digaris bawahi adalah bahwa sebagai konstitusi pertama negara Islam Piagam Madinah tidak mencantumkan agama negara 7. Kehidupan bermasyarakat, sosial dan politik saat itu berjalan dengan baik
7 H. Munawir Sjadzali, M.A, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran edisi 5 (Jakarta: UI Press, 1993) hal 10
18 Universitas Sumatera Utara
berbagai persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah dan berdasarkan ketentuan hukum Islam. Jadi dengan kata lain bukan hanya konsep demokrasi yang memiliki gagasan musyawarah, dalam Islam ternyata juga memiliki nilainilai persamaan, keadilan dan lain sebagainya. Pada kesempatan ini penulis juga tidak memasukkan tentang bagaimana sistem pemerintahan Khulafa Rasyidin, penulis hanya menggamabarkan secara umum bagaimana pola kepemimpinannya. Seperti halnya zaman Rasul model pemerintahan dimasa Khulafa Rasyidin menunjukkan gaya pemerintahan yang adil menjunjung nilai-nilai musyawarah yang ada dalam Islam. Hanya saja mekanisme penyelenggaraan negara yang mungkin agak berbeda. Mulai dari pengangkatan khalifah dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan oleh pada dasarkan apa yang ditetapkan dan dilakukan Rasul bukanlah sebuah bentuk baku. Banyak hal yang bersifat kontekstual maka dari itu dalam Islam dikenal istilah Ijtihad dan musyawarah. Pada masa khulafa Rasyidin ini, pemerintahan Islam mulai menampakkan bentuk/ pola administratifnya. Baik hal-hal yang berkaitan dengan hukum, politik sosial ekonomi. Mulai dibentuknya berbagai macam lembaga seperti kepolisisan, pajak, militier dan pekerjaan umum semakin memeperjelas eksistensi sebuah sistem negara yang mulai teratur. Walaupun pada dasarnya pemerintahan pada masa awal berdirinya Islam sebagai sebuah negara yang memiliki wilayah ini belum
menunjukkan
sebuah
sistem
yang
kompleks
namun
seiring
perkembangannya sampai sekarang makin banyak juga pemikir yang memiliki gagasan baru tentang Islam dan politik.
19 Universitas Sumatera Utara
I.6.2 Memahami Politik Islam Ada beberapa Kategorisasi atau tipologisasi: pemikiran politik Islam yang organik tradisional, yang sekuler dan moderat. A. Tipologi Pemikiran Politik Islam Organik Tradisional. Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-‘ala al-Maududi. A.1. Rasyid Ridha Rasyid Ridha, sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena AlQur’an, hadis dan ijma’ pun menghendakinya.
20 Universitas Sumatera Utara
Tentu saja ahl al-hall wa al-‘aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-‘aqd anggotanya bukan saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang. Selain itu, berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, di mana Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi utopis dan romantis, bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya. Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan
oleh
Sayyid
Quthb
dan
al-Maududi.
Keduanya
telah
mengembangkan yang dalam istilah Profesor Majid Khadduri, devine nomocracy (negara hukum Ilahi) atau menurut Istilah Profeser Tahir Azhari Nomokrasi Islam.
21 Universitas Sumatera Utara
A.2. Sayyid Qutub Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat., karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi. 8 Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi. Dua kata yang disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk menegakkan pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada manusia dibatasi oleh undang-undang Nya yakni syari’at. Manusia diberik kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang melanggar atura Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara jelas dalam syari’at diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin yang memiliki persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi kesempatan untuk menafisrkan undang-undang
8
H. Munawir Sjadzali, M.A, Ibid hal 157
22 Universitas Sumatera Utara
Tuhan jika diperlukan. Undang-undang yang sudah jelas terdapat dalam nash tidak boleh seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang belum jelas pengertiannya tidak boleh kontradiktif dengan ketentuan umum undang-undang Tuhan.
A.3. A l-Maududi Pemikiran
pembaruan
politik
al-Maududi
tentang
teori
politik
pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini. Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan. Risalah menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan melakukan interpretasi terhadap undangundang itu melalui perkataan dan perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari’ah. Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia
23 Universitas Sumatera Utara
adalah wakil Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif. Untuk memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batasbatas yang telah ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri. B. Tipologi Pemikiran Politik Islam Sekuler B.1. Ali Abd al-Raziq Kebalikan dari tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama
24 Universitas Sumatera Utara
murni bukan negara. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd alRaziq dan Luthfi al-Sayyid. Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi sejak awal. Tiga belas setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang
hakim Syar’iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku
kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm. Tesis utama dari buku ini adalah: •
Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.
•
Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.
•
Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.
•
Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.
25 Universitas Sumatera Utara
Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian. 1. Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu
keharusan dalam agama
Islam,
dan akhirnya
dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu. 2. Dalam bagian kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara. 3. Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa’u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.
26 Universitas Sumatera Utara
Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam. Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada mufassir besar al-Qur’an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik. Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama. Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan.
27 Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam alQur’an,
menurutnya
Tuhan
menyatakan
perlunya
pembentukan
suatu
pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada dasarnya bersifat sekuler.
B.2. Luthfi al-Sayyid Orang lain yang memiliki persamaan pendapat dengan Ali Abd al-Raziq adalah Ahmad Luthfi al-Sayyid. Menurutnya agama dan negara adalah dua hal yang
berbeda. Dalam membangun
negara, kaumMuslimin tidak
harus
mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan. Program Ahmad Luthfi al-Sayyid adalah memadukan antara prinsipprinsip Islam dan filsafat Yunani, gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah prinsip yang dapat mempertegas garisgaris pokok pemikiran yang ia tampilkan dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka
28 Universitas Sumatera Utara
hubungan manusia dan Tuhannya, menentukan kriteria-kriteria perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas gagasan nasionalisme Mesir. Perlu juga disebutkan bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh hukum syari’at, melainkan oleh hubunganhubungan alamiah yang lahir dari kehidupan bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti ditegaskan oleh Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme.
C. Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.
29 Universitas Sumatera Utara
C.1. Muhamad Husein Haikal Menurut Haikal 9, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsipprinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak. Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.
C.2. Muhammad Abduh Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun Raziq, tampaknya masuk kategori ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentukpemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian
9
H. Munawir Sjadzali, M.A, Ibid hal :179
30 Universitas Sumatera Utara
pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari konsep teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas. Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap akidah dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak memiliki kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak berlandaskan agama. Jelasnya menurut Abduh10, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1) Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan; (2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.
10
Ibid hal 120
31 Universitas Sumatera Utara
Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama. Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan. Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan aparatnya. Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan
32 Universitas Sumatera Utara
berhak menurunkan kepala negara dari takhta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku dan kebijaksanaannya bertolak belakang dengan ajaran agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja tidak memiliki kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk lembaga fatwa dan jabatan syaikhul Islam atau mufti. Mereka dapat saja memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak dapat dipaksakan. Dalam hal ketaatan, rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, rakyat harus meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam proses penggantian itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai. Dengan kekuasaan politik, Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak memberi peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Abduh, harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara setempat. Dari pendapat-pendapat Abduh di atas, Suyuthi Pulungan menyimpulkan bahwa tampaknya Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi memiliki tugas keagamaan untuk memelihara nilai-nilai dan prinsipprinsip Islam yang umum. Persepsinya tentang negara dan pemerintahan, lanjut
33 Universitas Sumatera Utara
Sayuti, mencerminkan bahwa ia tidak meng-hendaki pemerintahan eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat menerima negara kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih penting, ia tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam. Karena baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus melaksanakan prinsip-prinsip Islam.
C.3. Fazlurrahman Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit. Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya
34 Universitas Sumatera Utara
pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka. Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga berpendapat sama. Pertamatama ia menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat mistis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik yang telah melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada terminologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim. Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan negara Islam, ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam
35 Universitas Sumatera Utara
Islam adalah syûra, ijtihâd, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi dan sosialnya secara harmonis.
I.6.3 Negara dalam Pandangan Barat (Pengertian, Tujuan dan Bentuk kedaulatan) Pada dasarnya letak perbedaan yang paling mendasar terhadap konsep antara paham Sekuler dan Islam adalah terletak pada kedaulatan sebuah negara. Dalam teori sekuler manusia (rakyat) yang menadi pusat kedaulatan sedangkan dalam Islam Kedaulatan tertinggi tetap berada ditangan Tuhan. Berikut ini adalah beberapa pandangan para ahli tentang apa itu negara yang bila kita lihat tidak satupun yang mengkaitkan permasalah seputar negara dengan prinsip-prinsip keTuhanan dan tentu memiliki bentuk yang cendrung mengarah kepada bentuk negara bangsa nation. Negara merupakan merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Ia adalah aghency (alat) dari masyarakat yangmempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat. 11 Roger H Soltau : “ Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat”
( agency or authoritymanaging or controlling these
(common)
affairs on behalf of and in the name of the community. 12
11 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal 45 12 Miriam Bidiardjo Ibid, . hal 39
36 Universitas Sumatera Utara
Harold J Laski : “Negara adalah suatu masayrakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan Negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat. 13 G. Pringgodigdo, SH: Negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu, yaitu harus memiliki pemerintah yang berdaulat, wilayah tertentu, dan rakyat yang hidup teratur sehingga merupakan suatu nation (bangsa). 14 Prof. Miriam Budiardjo: Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah. 15 Sedangkan menurut Plato tujuan negara diartikan secara lebih sederhana namun sangat mendasar, yakni tujuan negara adalah mengarahkan kehidupan manusia agar manusia mencapai kebahagiaan.
Mungkin bila kita
melihat pandangan Plato ini kita akan merasa pandangan ini sangat simpel, tapi tentu saja kita akan mengalami perdebatan di seputar apakah kebahagiaan yang di
13 http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/08/definisi-negara-oleh-para-ahli.html 14 Ibid 15 Ibid
37 Universitas Sumatera Utara
maksud Plato disni? Apakah kebahagiaan tiap orang adalah sama? Mungkin kita akan berusaha memetakan apa kebagaiaan itu secara universal. 16 Sedangkan menurut Dr. C.S.T Kansil . S.H dan Crhistine Kansil S.T, S.H, M.H dapat kita lihat hakikat tujuan negara antara lain:
a. Dalam teori kenegaraan, kelompok pertama dari teori-teori mengenai tujuan negara adalah menganggap tujuan negara adalah memperoleh, mencapai, mempertahankan kekuasaan orang atau kelompok yang berkuasa. Jadi tujuan negara adalah kekuasaan. b.
Yang kedua adalah kelompok teori-teori yang mengutamakan kemakmuran
“negara” (etatisme). Teori ini berpangkal pada, bahwa yang penting ialah negara. Dan negara itulah yang menjadi tujuannya sendiri, dan bukan untuk mencapai kemakmuran rakyat ( type polizeistaat ) c.
Yang ketiga adalah kelompok teori-teori yang mengutamakan orang -
seseorang (individu) kebebasan untuk mencapai kemakmuran ini dijamin dengan UU (Hak Asasi)
jadi ada kebebasan sepenuhnya ( liberte – liberal) untuk
mencapai kemakmuran tanpa memerhatikan yang tidak mampu (type Formele staat) d.
Yang keempat ialah sekelompok yang mengutamakan kemakmuran rakyat
dicapai secara adil sebagai tujuan bernegara tipe negara hukum material – social service state) 17
16 Henry Jschmanot, Filsafat Politik; Kajian Historis dari zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003) hal63 17 Drs. C. S. T. Kansil, S.H dan Christine S. T Kansil, Ilmu Negara Untuk Perguruan Tinggi.(Jakarta: Sinar Grafika) hal. 18
38 Universitas Sumatera Utara
Dalam kajian berikutnya kita akan menemukan perspektif yang khas dari pemikiran Islam dalam memandang negara dan politik. Tentunya penulis merasa perlu sedikit memaparkan tentang pandangan barat dengan maksud untuk mengingatkan kembali dan melihat jelas garis perbedaan dan persamaan yang ada diantaranya. Walaupun ini bukanlah sebuah studi kompararif akan tetapi hal pemahaman kita terhadap politik barat juga diperlukan dalam rangka memberi pemahaman kita yang lebih luas terhadap permasalahan ini.
I.7 Metode Penelitian I.7.1.
Jenis Penelitian Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah
metode kualitatif. Dalam bentuk penelitian ini peneliti berinteraksi langsung dengan objek penelitiannya dan berinteraksi secara dekat dengan objek penelitiannya. Penelitian ini berlangsung secara alamiah, wajar dan apa adannya, peneliti hanya berusaha menggambarkan keadaan sesuai dengan apa yang diamati. 18 Penelitian kualitatif adalah sebuah konsep penelitian dimana lebih menekankan pada aspek pemikiran sebuah organisasi. Maka nantinya akan dituangkan secara deskriptif dan naratif tentunya bertujuan untuk menceritakan dan menggambarkan bagaimana sesungguhnya sebuah pemikiran itu.
I.7.2. Lokasi penelitian Adapun Lokasi penelitian yang ditentukan penulis adalah tentunya lokasi manapun yang memungkinkan untuk didapatkannya data yang diinginkan, selain
18 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan kualitatif dan Kuantitatif Edisi kedua (Jakarta: Erlangga, 2009) hal. 23
39 Universitas Sumatera Utara
itu pertimbangan lainnya adalah lokasi yang dapat dijangkau dengan waktu, biaya dan tenaga yang seefisien mungkin. Maka dari itu peneliti berusaha masuk kedalam jaringan yang ada terkait dengan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia. Untuk saat ini penulis sudah menetapkan akan mengutamakan penelitian diwiliayah Medan dan sekitarnya. Tentunya hal ini sesuai dengan pertimbangan diatas.
I.7.3 Teknik pengumpulan data Data peneltian kualitatif ini dapat berupa narasi cerita, penuturan informan, dokumen-dokumen pribadi seperti foto, rekaman pembicaraan, audio visual dan sebagainya catatan pribadi dan banyak hal lainnya.
I.7.3.1 Observasi Untuk memperoleh data yang diperlukan tentunya penulis akan masuk kedalam jaringan yang ada yang berkaitan dengan Hizbut Tahrir Indonesia. dan mengikuti berbagai aktivitas yang ada didalamnya hal ini bertujuan tidak sematamata hanya untuk mencari data atau informasi tetapi juga untuk memahami secara emosional organisasi terseut. Mengikuti berbagai pengajian, diskusi ataupun sekedar obrolan yang terkait dengan studi ini.
I.7.3.2 Studi Kepustakaan Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam penulisan karya ini. Tentunya penulis akan berusaha sebisa mungkin untu memanfaat berbagai macam sumber data yang dapat mendukung. Termasuk data-data yang bersifat
40 Universitas Sumatera Utara
kepustakaan, dan adapun dat-data yang bersifat kepustakaan ini adalah juga termasuk sumber data utama, bukan hanya sebagai data pelengkap.
I.7.4. Teknik Analisis Data Data yang akan disajikan oleh penulis adalah data kulitatif yang bersifat deskriptif maka penulis mencoba mengalisis data yang ada dalam bentuk naratif dimana semua argumentasi didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang telah ada dalam kerangka teori. Penulis akan mencoba melihat pokok bahasan dan menganalisanya berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang ada. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif yakni menggambarkan secara mendalam tentang situasi atau proses yang diteliti. Penelitian jenis ini tidak bertujuan untuk menguji hipotesis. Meski demikian bukan berarti penelitian ini tidak memiliki asumsi awal yang menjadi permasalahan penelitian. Oleh karena itu, penelitian kualitatif akan mencoba memahami fenomena atau gejala yang dilihatnya sebagai mana adanya. Selain itu juga proses analisis dilakukan secara simultan artinya dalam sebuah penelitian kualitatif pengumpulan data dan analisis data dapat dilakukan secara bersamaan dengan cara saat pengumpulan data dilakukan, saat itu pula dilakukan analisis data dan reduksi data sehingga peneliti dapat melacak data berikutnya yang diharapkan. 19
19 Ibid. hal 28
41 Universitas Sumatera Utara
I.8 Sistematika Penulisan Bab I: Pendahuluan Pada bagian ini penulis menuangkan semua hal yang terkait dengan latar belakang dan alasan diangkatnya tema dan judul ini sebagai sebuah karya ilmiah (Skripsi). Selain itu Penulis juga memberikan gambaran umum tentang bagaimanakah tulisan ini akan di buat. Begitu dengan konsep dasar pemikiran tentang negara, demokrasi dan ideologi yang bertujuan untuk menjadi landasan dalam kajian pada bab berikutnya. Secara mekanisme semua tersusun dalam sub kajian berikut :
Latar Belakang Masalah , Perumusan Masalah, Pembatasan
Masalah, Manfaat dan Tujuan Penelitian, Landasan Teori, dan Metode Penelitian.
Bab II: Profil Hizbut Tahrir Indonesia Pada Bab ini, penulis akan memaparkan tentang Profil Hizbut Tahrir Indonesia, baik secara historis, maupun semua Informasi aktual tentang Hizbut Tahrir Indonesia. Bab III: Konsepsi dan Struktur Negara Khilafah Pada Bab ini penulis menyajikan bagaimana struktur dan konsep negara khilafah menurut Hizbut Tahrir, yang didapat dari sumber baku yang dimiliki oleh Hizbut Tahrir secara terperinci. Bab IV : ANALISIS, KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini penulis akan mamparkan pemahan tentang konsep negara khilafah berikut dengan analisis seputar prinsip dan nilai-nilai negara khilafah serta karakteristiknya.
42 Universitas Sumatera Utara