1
KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUS PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
ABDUL HALIM MAHMUDI NIM: 104043101305
KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M 1
2
”KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUS PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI” SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
ABDUL HALIM MAHMUDI NIM: 104043101305 Pembimbing:
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA.,SH.,MM. NIP. 150 210 422
KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M 2
3
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ”KONSEP MASLAHAH MURSALAH
PADA KASUS
PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI” telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 03 Maret 2009 M yang bertepatan dengan 06 Rabiul Awwal 1430 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh (PMF).
Jakarta,
03 Maret 2009 M 06 Rabiul Awwal 1430 H
Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR.H.Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM. NIP. 150 210 442 Panitia Ujian 1. Ketua : Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA.,SH.,MM. .............................. ) NIP. 150 210 422 2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. ( .............................. ) NIP. 150 290 159
(
3. Pembimbing: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM. .............................. ) NIP. 150 210 442
(
3
4
4. Penguji I : H. Abd. Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA. .............................. ) NIP. 150 238 774
(
5. Penguji II : Asmawi, M.Ag. .............................. ) NIP. 150 282 394
(
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli, saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Maret 2009 M Jakarta, 03 06 Rabiul Awwal 1430 H
Abdul Halim Mahmudi
4
5
ﻢﹺﻴﺣﻤﻦﹺ ﺍﻟﺮﺣﻢ ﺍﷲِ ﺍﻟﺮﺑﹺﺴ KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt., atas segala rahmat, hidayah, dan inayah-Nya yang telah terlimpahkan, sehingga penulisan skripsi ini selesai, berjalan dengan baik, sesuai dengan waktunya. Salawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw., hamba Allah pilihan yang telah diutus untuk mengangkat derajat manusia dengan ilmu pengetahuan, amal dan takwa. Dari relung hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat terselesaikan dengan mudah, dan bukan semata-mata atas usaha dan perjuangan penulis sendiri, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menghaturkan ucapan terima kasih terutama sekali kepada Bapak/Ibu: 1. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus Dosen Pembimbing, yang telah memberikan perhatian penuh, bimbingan, serta motivasi yang besar kepada penulis selama penulisan skripsi ini. 2. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji., MA.,MH. dan Bapak Dr. Muhammad Taufiqi, M.Ag., masing-masing Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5
6
3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dengan penuh keikhlasan dan dedikasi yang tinggi telah mencurahkan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidupnya yang perlu dicontoh oleh penulis selama masa studi. 4. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, serta Perpustakaan Umum Iman Jama, yang telah memberikan fasilitas yang terbaik kepada penulis untuk mencari dan mengumpulkan data. 5. Ayahanda Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA.,MH. dan ibunda Hj. Siti Manis Falahiyah, yang sangat penulis hormati dan sayangi, yang telah memberikan curahan kasih, dukungan, dan motivasi dengan tulus ikhlas, sejak penulis di masa balita hingga penulis menjalani pendidikan di Perguruan Tinggi terutama dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah swt. selalu memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada keduanya. Amin. 6. Kakakku penulis tercinta, Syarifah Gustiawati Mukri, SHI.,MEI., dan H. Nur Rohim Yunus, SHI., LLM., M.Phil. serta adik-adik penulis Ahmad Sofwan Fauzi, dan Ahmad Farhan Habib yang selalu menemani, memotivasi dan membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. 7. Adinda Latifa Hanum, dengan tulus hati dan ikhlas membantu dan menemani penulis dalam suka dan duka. Terimakasih atas segalanya, semoga Allah membalas segala amal shaleh yang telah diberikan.
6
7
8. Para dewan guru Yayasan Pendidikan Islam An-Na’imuniyyah (YAPIA) Darunna’im, Lembaga Pendidikan Al-Qur’an (LPQ) Nurul Hikmah, Ikatan Guru Taman Al-Qur’an (IGTA) Kec. Parung, Persatuan Pemuda Parung ”Riyadhusy Syabaab”, Pengajian Pemuda ”PERPUNJAS” yang telah banyak membantu menyemangati penulis. 9. Keluarga Besar FCC@Net dan Farhan Copy Center (Ayud, Fa2t, Zie, Noeng2, Nani, Aldy, Dian S.) yang telah membantu penulis dalam penyediaan sarana dan prasarana, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 10. Rekan-rekan Tim Debat Bahasa Arab Tingkat ASEAN Tahun 2007 (Hisnu Shobar, Lesmi Cahyani, Devita, Fajriati El-Jabhati, Furqon, Niwwari) Semoga prestasi yang kita raih bermanfaat bagi kita semua. 11. Seluruh Ikhwani dan Akhwati fillah. Khususunya Edi Sumantri, Mukhtar Wijaya, Dani Arsyad, Arif Rahman, Hidayatullah, dsb. semoga kebersamaan kita akan tetap terjaga. 12. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh (PMF) A & B serta Perbandingan Hukum PH angkatan 2004 Fakultas Syariah dan Hukum, Khususnya: B’dul, Vie, Inang, Tipah, Jefi, Domen, Anas, Dzue, Rusli, Bdur, Ndar, Habibie, Roby, Edi, Dien, Ntonk, Muly, nDre, Jay, thofe, Fahrul, Adi, Jay, Ram, Eeng, H. Abul, Chay, Syarki, Oneng, Delly, Romli, Fhitrie, Dayat, Indra, Dian S, dan semua teman yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan kepada
7
8
penulis dalam masa studi dan dalam menyelesaikan skripsi ini. Jazakumullah kairan katsiran. Akhirnya atas segala jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil, kiranya penulis tidak sanggup membalasnya, hanya kepada Allah swt. jualah, penulis serahkan untuk membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir pahalanya. Sekali lagi penulis ucapkan jazakumullah kairan katsiran. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak, khususnya bagi para pembaca ataupun peneliti yang ingin mengkaji tulisan penulis ini. Amin. Jakarta
03 Maret 2009 M 06 Rabiul Awwal 1430 H
Penulis
8
9
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..............................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................
v
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................... 10 D. Metode Penelitian............................................................ 11 E. Review Kajian Terda hulu .............................................. 12 F. Sistematika Penulisan ..................................................... 13 BAB II
: PANDANGAN UMUM MASLAHAH MURSALAH A. Pengertian Maslahah Mursalah ...................................... 15 B. Kehujjahan Maslahah Mursalah ..................................... 20 C. Syarat-Syarat Keabsahan Maslahah Mursalah ............... 25
BAB III
: RIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI SERTA KONSEP MASLAHAH MURSALAHNYA A. Biografi Imam Malik bin Anas r.a. .................................. 28 B. Biografi Imam al-Thufi .................................................... 42 C. Sisi Persamaan dan Perbedaan Kedua Tokoh .................. 61
9
10
BAB IV
: APLIKASI MASLAHAH MURSALAH TERHADAP PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM AL-THUFI A. Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Pemilihan Kepala Negara ............................................................................. 65 B. Presiden Wanita Perspektif Fiqh Siyasah ....................... 67 C. Presiden Wanita Perspektif Imam Malik dan Imam Al-Thufi ............................................................... 77 D. Persamaan dan Perbedaan Kedua Pendapat.................... 83
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................... 91 B. Saran-saran ....................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 95
10
11
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama disyariatkannya suatu hukum oleh Allah swt. - tidak ada maksud lain - kecuali hanya untuk merealisir dan mewujud nyatakan kemaslahatan bagi manusia di dunia dan kebahagian di akhirat kelak.1 Setiap perintah atau larangan yang telah dituangkan oleh perumusnya (al-Syari`) melalui teks-teks hukum (alnusus al-tasyri`iyyah) dapat diketahui dan dipahami oleh para pelakunya (mukallaf) tentang dampak positifnya yang mengacu kepada kepentingan dan kebutuhan mereka itu sendiri.2 Kepentingan dan kebutuhan tersebut bertitik tolak kepada tiga kategori tujuan syari`at (maqasid al-syari`ah) berdasarkan urutan prioritasnya, yaitu: daruriyyat, hajjiyyat, dan tahsiniyyat.3 Dalam rangka mewujudkan eksistensi maqasid al-syari`ah pada diri setiap individu mukallaf, maka setiap tindakan mereka mesti berdasar kepada sumbersumber pokok (al-masadir al-asliyyah), yaitu: al-Qur`an dan al-Sunnah.4 Di samping itu, dinamika perubahan sosial dan strukturnya dari masa ke masa terus berkembang dengan munculnya berbagai kasus dan perstiwa hukum yang jawabannya tidak terdapat secara tegas dan khusus dalam sumber pokok tersebut. Hal ini memerlukan 1
Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwāfaqāt fī usūl al-Syari`ah, tahqīq: Abdullah Darraz, (Beirut: Dar al-Fikr,t.th.), vol. II, h. 6. 2 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I`lām al-Muwaqqi`īn, vol III, (Beirut: t.tp.,t.th.) h. 14. 3 Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwāfaqāt, h.8. 4 Muhammad Adib Salih, Masādir al-Tasyrī` al-Islāmī wa Manāhij al-Istimbāt, (Damsyiq: Maktabah at-Ta`awuniyah, 1967), h. 437.
11
12
metode lain untuk menjawab kasus hukum tersebut dengan menggunakan masadir alfar`iyyah antara lain melalui metode istihsan, istihsab, al-`urf, madzhab al-sahabi; dan maslahat al-mursalah.5 Di dalam kitab suci al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw., baik secara eksplisit maupun implisit, banyak sekali postulat yang menjelaskan bahwa tujuan Allah swt. menurunkan
hukum syari’at ke muka bumi adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup bagi umat manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan. Kemaslahatan yang dimaksud bukan saja kemaslahatan duniawi, tetapi juga kemaslahatan ukhrawi atau dalam istilah Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah: “Li Masālih al-‘Ibād fi al-‘Ajil wa al-Ajīl”, artinya untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.6 Dalam konteks hukum Islam hal itu berarti hukum-hukum yang disyariatkan Allah melalui al-Qur’an dan Hadist bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia. Pemberlakuan hukum-hukum tersebut betujuan untuk menciptakan harmonisasi interaksi sosial manusia dalam kehidupan dunia dan keselamatan akhirat Meskipun kemaslahatan manusia merupakan tujuan utama diturunkannya hukum ke muka bumi, namun tidak semua maslahat yang ada di tengah-tengah umat manusia sejalan dengan hukum syari’at dan tidak semua maslahat yang berkembang
5
Muhammad Adib Salih, Masādir al-Tasyrī`, h. 437.
6
Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwafaqat, h. 4.
12
13
di tengah-tengah masyarakat mempunyai dasar hukum yang akurat. Karena itu para ulama membagi maslahat kepada beberapa bentuk. Hujjatul Islam, Imam Ghazali membaginya kepada empat macam7: 1. Maslahat yang diakui nau’-nya oleh Syari’ karena ada kesamaan nau’ tersebut dengan ashl dan far’. 2. Maslahat yang diakui jins-nya oleh Syari’ karena ada kesamaan jins tersebut dengan ashl dan far’. 3. Maslahat yang bertentangan dengan syariat yang disebut dengan istilah maslahat bathilah atau maslahat mulghah. 4. Maslahat yang tidak disebut-sebut oleh syariat’, tidak ada nas yang mendukungnya dan tidak ada pula yang menentangnya. Maslahat semacam ini disebut maslahat gharibah. Dari keempat pembagian di atas, Imam Ghazali memasukkan al-maslahat al-mursalah, ke dalam pembagian yang kedua, yaitu maslahat yang diakui jins-nya oleh syara’ dan ini dapat diterima sebagai hujjah atau dalil hukum. Sedangkan almaslahat al-gharibah, dan al-maslahat al-bathilah atau al-maslahat al-mulghah ditolak secara mutlak.8 Dari pembagian di atas nampaklah bahwa ada maslahat yang tidak disinggung sama sekali oleh nash, baik al-Qur’an maupun Hadis. Dalam hubungan ini,
kemaslahatan
tersebut
tidak
ditetapkan
7
oleh
syari’at
hukum
untuk
Husein Hamid Hassan, Nazāriyat al-Maslahat fī al-Fiqh al-Islāmī, (Cairo: AlMutanabbī, 1981), h. 18-19. 8 Ibid., h. 19.
13
14
mewujudkannya dan tidak terdapat pula dalil yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mengabaikannya. Maslahat tersebut dikenal dalam istilah ilmu ushul al-fiqh dengan sebutan maslahat mursalah. Karena maslahat ini tidak disinggung sama sekali oleh dalil maka para ahli ushul pun berbeda pendapat mengenai keabsahan penggunaannya sebagai dalil ijtihad.9 Walaupun demikian di kalangan ahli Ushul terjadi beberapa perbedaan pandangan tentang substansi dari maslahat mursalah, bagaimana keabsahan maslahat mursalah sebagai salah satu sumber hukum dan bagaimana aplikasinya dalam legislasi hukum Islam. Di antara ahli Ushul tersebut berbeda tersebut adalah Imam Malik dan Imam Al-Thufi. Imam Malik sebagai founding father teori maslahat mursalah ini10, mengatakan bahwa maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ada pembatalannya dari nash dan juga tidak disebutkan secara jelas oleh nash11. Akan tetapi, pengambilan hukum berdasarkan maslahat mursalah, ini tidak boleh bertentangan dengan nash sebagai sumber pokok. Beda halnya dengan Imam alThufi, beliau menyatakan bahwa maslahat mursalah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri dapat dijadikan landasan hukum sekali pun bertentangan dengan nash.12
9
Yusuf al-Qaradhawi, Madkhal li Dirāsah al-Syarī’ah al-Islāmiah, (Cairo: Maktabah Wahbah, tth.), h. 20. 10 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 279 11 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 95. 12 Mustafa Zaid, al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islâmi wa Najamuddin at-Tufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954), h. 34.
14
15
Al-Thufi yang terkenal dengan konsep maslahatnya ini, bagi kalangan peneliti
Hukum Islam saat ini, bergerak sangat
progresif dan inovatif yaitu
mempergunakan maslahat mursalah sebagai landasan hukum meskipun harus mendahulukannya dari nash dan ijma jika terjadi pertentangan dengan nash dan ijma'. Jadi maslahat menduduki tempat terkuat dalam berhujjah13. Dari pemikiran dan konsep maslahat mursalah versi al-Thufi ini, akhirnya melahirkan banyak polemik dalam kancah epistimologis, yang pada akhirnya konsep maslahat mursalah al-Thufi ini dikategorikan oleh sebagian besar ulama sebagai konsep yang terlalu liberalis dan bertentangan dengan ulama pada zamannya. Pandangan al-Thufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang maslahat.14 Dia berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) AlQur’an, sunnah dan ijma' jika penerapan nas Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma' itu akan menyusahkan manusia.15 Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya pola maslahat tersebut hanyalah pada bidang muamalat dan adat istiadat.16 Maka dari paparan di atas jelas, bahwa maslahat mursalah adalah salah satu landasan pengambilan (istinbat) hukum Islam yang hampir tiap-tiap ulama madzhab memanfaatkannya. Namun ternyata, menurut sebagian ulama ushul, metodologi istinbat hukum ini dieksplorasi secara bebas oleh Imam Najamuddîn al-
13
M. Zainal Abidin, “Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi Dinamisasi Hukum Islam”, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum VII, no. 1 (Juni 2007) h: 25. 14Ibid., 26. 15Najmuddin at-Tufi, Syarh, h. 46. 16Ibid, h. 48.
15
16
Thufi yang pada akhirnya melahirkan suatu konsep yang kini banyak diikuti cendikiawan kontemporer. Betapa urgennya kedudukan maslahat sebagai tujuan, kalau tidak malah merupakan inti dari seluruh konstruksi legislasi Islam. Hal ini dapat dibuktikan dari buku-buku ushul al-fiqh yang ditulis baik sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, masa-masa pertengahan maupun pada masa akhir-akhir ini, dapat dipastikan buku-buku tersebut memuat pembahasan tentang maslahat sebagai tujuan tasyri' sekalipun porsi pembahasannya sangat bervariasi. Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang pandangan Imam alThufi dan Imam Malik tentang aplikasi maslahat mursalah yang mereka usung, dengan inti uraian, sekilas riwayat hidup Imam Najamuddîn al-Thufi dan Imam Malik bin Anas, pengertian dan pandangannya tentang konsep maslahat mursalah, serta yang paling pokok adalah bentuk dari penerapannya “ijtihad tathbiqi” dan analisi kedua pendapat tersebut. Sebab konsep maslahat mursalah yang dibawa kedua ahli ushul tersebut terkesan saling bertentangan satu sama lainnya. Salah satu aplikasi maslahat mursalah yang diangkat pada tulisan ini adalah status presiden wanita dalam Islam. Presiden wanita atau kepala negara dari kalangan wanita merupakan salah satu pembahasan yang masih kontroversial di tengah-tengah para ulama, baik ulama klasik maupun ulama kontemporer. Kitab-kitab
16
17
fiqih politik (fiqh al-siyasah) klasik dan kitab-kitab fiqh kontemporer masih banyak mempersoalkannya.17 Wahbah al-Zuhaili, seorang ahli fiqih modern dalam bukunya, Nidzam AlIslam, menyebutkan tujuh syarat untuk menjadi kepala pemerintahan. Ketujuh syarat adalah: seorang Imam harus memiliki jiwa kepemimpinan sempurna, muslim, merdeka, baligh, berakal, dan terakhir laki-laki.18 Menurut Al-Zuhaili, adanya syarat laki-laki (ﺓﹸﺭ )ﺍﻟﺬﱡﻛﻮsemata-mata karena beban menjadi Imam membutuhkan kemampuan yang besar yang tidak mungkin ditanggung seorang perempuan. Selain itu, perempuan tidak mampu menanggung tugas-tugas berat lainnya, seperti ikut serta dalam perang atau hal-hal lain yang beresiko tinggi. Di samping itu, ia mendasarkan pendapatnya ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah,
(ﺢ ﻗَ ٌمﻮ ْوَﻟا ْﱠﻮأ َﺮﻣْﻢ َُھ اْﺮِﻣََةأً )رواه اﻟﺒﺨﺎري ْ ِْﻦﻟﯾ ﻠُﻔ Artinya: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan semua persoalannya kepada perempuan.” (H.R. Bukhari)19 Presiden wanita sering dipahami secara subyektif dan hitam putih. Hal ini misalnya, tampak pada kasus Benazir Bhutto. Ketika Benazir Bhutto naik menjadi Perdana Menteri Pakistan, banyak ulama di sana yang mengecam kedudukannya. Oleh karena itu, ketika Nawaz Syarif berhasil menggulingkan kedudukan Benazir Bhutto pada Pemilu 1997 di Pakistan, hal ini dijadikan senjata ampuh bagi kelompok
17
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam (Bandung: Mizan, 2001) h. 201. 18 Wahbah Zuhaili, Nidzām Al-Islām, (Beirut: Dar Qutaibah, 1993), cet. III, h. 19. Lihat pula Al-Mawardi, Al-Ahkām al-Sulthāniyyah, ttp. H. 42. 19 HR. Bukhari
17
18
fundamentalis Islam untuk menyerang kemampuan perempuan dalam memegang tampuk kepemimpinan20. Di Indonesia pembahasan ini sempat mencuat kepermukaan menjelang pemilihan umum (pemilu) tahun 1999 lalu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi presiden21. Walaupun kalah pada Sidang Umum MPR dengan Abdurrahman Wahid alias Gusdur, Megawati Soekarno Putri akhirnya terpilih juga menjadi presiden RI periode 2001 – 2004.22 Kecaman demi kecaman dari para ulama pun datang silih berganti. Namun Lain halnya dengan tokoh-tokoh parpol, yang pada mulanya menolak mentah-mentah pencalonan Megawati, akhirnya ketika itu mereka mulai merevisi kebijakan-kebijakan politisnya.23 Pada saat itu banyak pro dan kontra di kalangan ulama dalam negeri. Para ulama yang menolak menyatakan bahwa dalam ajaran Islam wanita tidak bisa menjadi seorang kepala negara. Sebagian yang mendukungnya mendasarkan bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada negara Islam saja, adapun Indonesia bukanlah negara Islam atau khilafah akan tetapi negara yang berasaskan Pancasila.24
20
Wahbah Zuhaili, Nidzam Al-Islam, Ibid., h. 20. Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel ”Pemimpin Wanita Ditinjau dari Perspektif Islam, Psikolog, dan Aktivis”, diselenggarakan oleh UKM FKSM (Forum Kajian dan Studi Mahasiswa) Universitas Janabadra, makalah diakses pada tanggal 10 September 2008 dari http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam 22 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml 23 Ibid., http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam 24 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml 21
18
19
Imam Malik dalam kasus ini, secara eksplisit tidak memasukkannya ke dalam ranah maslahat mursalah. Sebab kasus ini sudah bertentangan dengan nash dan ijma sahabat. Apabila suatu kasus yang sudah ditetapkan dalam nash dan ijma ahl madinah, kemudian terjadi pergesekan antara maslahat dan nash maka yang didahulukan adalah nash. Sehingga dalam kasus ini, Imam Malik bisa dan lebih cenderung melarang presiden dari kaum wanita, jikalau dilihat metode ijtihad Imam Malik. Lain halnya Imam al-Thufi, beliau menganggap apabila maslahat atau hajat orang banyak ini bertentangan dengan nash atau ijma sahabat dan hal tersebut bukan termasuk masalah ibadah, maka maslahat tersebut dapat didahulukan dari pada nash dan ijma sekalipun. Sehingga dengan demikian konsep maslahat mursalahnya Imam Al-Thufi dapat melegitimasi presiden wanita secara syar’i. Oleh sebab itu, penulis merasa terpanggil untuk mengungkap sekilas konsep maslahat mursalah menurut Imam Najamuddîn al-Thufi dan Imam Malik dalam memahami kasus presiden wanita, dengan judul skripsi “KONSEP MASLAHAT MURSALAH PADA KASUS PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari judul skripsi, “Konsep Maslahat Mursalah Pada Kasus Presiden Wanita Menurut Imam Malik Dan Imam Najamuddin Al-Thufi” dapat dibatasi pada beberapa hal, yaitu:
19
20
1. Konsep maslahat mursalah menurut Imam Malik dan Imam Najamuddîn alThufi. 2. Aplikasi maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi pada salah satu ijtihad tathbiqi, yaitu pengangkatan presiden wanita. 3. Analisis pemikiran Imam Malik dan Imam al-Thufi dalam aplikasi maslahat mursalah dalam pemilihan dan pengangkatan presiden wanita. Setelah mempertimbangkan kemampuan penulis dan waktu yang terbatas, sangat sulit apabila mengesplorasi semua masalah diatas. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk memilih permasalahan mana yang menjadi fokus penulisan skripsi ini. Lebih jelasnya dirumuskan permasalahannya sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep maslahat mursalah dalam istinbat hukum Islam menurut Imam Al-Thufi dan Imam Malik ? 2. Bagaimana kedudukan maslahat mursalah menurut Imam Najamuddin al-Thufi dan Imam Malik ? 3. Bagaimana aplikasi maslahat mursalah menurut kedua Imam tersebut dalam pemilihan dan pengangkatan presiden wanita? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengkaji konsep pemikiran Imam Najamuddin al-Thufi dan Imam Malik tentang kedudukan maslahat mursalah sebagai metode istinbath hukum Islam. 2. Mengesplorasi faktor-faktor yang melatar belakangi konsep maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi. 20
21
3. Meneliti pengaruh konsep maslahat mursalah dalam penerapan hukum Islam (Ijtihad Al-Tathbiqi) Manfaat khusus dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperkaya khazanah keilmuan di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum. Selain itu, manfaatnya secara umum adalah sebagai kontribusi pemikiran dalam khazanah ilmu kajian Islam. D. Metode Penelitian Metode penulisan skripsi ini murni berdasarkan kajian penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu sebuah kajian yang mencari data-data yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian ini di dalam dokumen atau bahan pustaka, kegiatan ini dapat pula disebut sebagai studi dokumen atau literature study.25 Penulis berusaha mengumpulkan data sebanyak mungkin baik yang bersumber dari buku maupun internet untuk kemudian dijadikan sebagai objek pembahasan. Langkah selanjutnya adalah penulis berusaha untuk menganalisa masalahmasalah yang ada dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Diawali dengan menguraikan konsep maslahat maslahat mursalah sebagai metodologi istinbath hukum Islam secara umum, biografi Imam Malik dan Imam Najamuddîn al-Thufi, konsep maslahat mursalah menurut Imam Malik dan Imam Najamuddîn al-Thufi. Kemudian penulis berusaha menganalisa pengaruh yang muncul dari konsep
25
Rianto Adi, Metode Penelitian Hukum dan Sosial, (Jakarta:Granit, 2004), h. 61
21
22
maslahat mursalah keduanya dalam ijtihad tathbiqi di zaman modern. Diantaranya adalah pemilihan serta pengangkatan presiden wanita. Selain itu, perlu dikemukakan pula bahwa yang menjadi pedoman dalam penulisan skripsi ini adalah buku "Pedoman Penulisan Skripsi" yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cetakan tahun 2007. E. Review Kajian Terdahulu Dalam kajian ini penulis, mengangkat maslahat mursalah yang diusung oleh Imam Malik bin Anas dan yang kemudian dimodifikasi oleh Imam Al-Thufi. Di antara kedua maslahat ini saling kontradiktif dalam penerapannya pada ranah legislasi hukum. Sehingga penulis terpanggil untuk mencari letak persamaan dan perbedaan di antara kedua pandangan tentang maslahat tersebut. Serta aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti pemilihan dan pengangkatan presiden wanita yang nota bene, diharamkan oleh para ulama. Sebenarnya tulisan mengenai maslahat mursalah ini telah banyak dibahas oleh peneliti atau mahasiswa. Di antaranya adalah tesis dari Wahidul Kahhar (UIN Syarif Hidayatullah, 2003), dengan judul “Efektifitas Maslahat Mursalah dalam Penetapan Hukum Syara’”, dan tesis Iim Fahimah (UIN Syarif Hidayatullah, 2003) dengan judul “Konsep Maslahat Mursalah Imam Malik”. Kemudian terdapat tulisan yang dimuat di jurnal hukum “Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi Dinamisasi Hukum Islam” oleh M. Zaenal Abidin (Syariah: Journal Ilmu Hukum, IAIN Antasari, 2005).
22
23
Selain itu penulis juga mereview kajian tentang presiden wanita, yaitu tesis Afrizal Moetwa (UIN Syarif Hidayatullah, 2004) dengan judul “Presiden Perempuan dalam Perspektif Fiqh Siyasah; Studi Terhadap Megawati Soekarno Putri Menjadi Presiden Republik Indonesia.. Adapun karya ilmiah berupa skripsi, yang membahas maslahah mursalah atau presiden wanita, sampai saat ini penulis belum menemukannya di wilayah Universitas Islam Negeri. Dan dari beberapa judul karya ilmiah tersebut, belum ada yang menjelajahi tema yang penulis angkat dalam skripsi ini. Yaitu Aplikasi maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi dalam menyikapi pengangkatan presiden wanita. Penulis menyadari bahwa Imam al-Thufi dan Imam Malik belum ataupun tidak pernah membahas secara khusus tentang presiden wanita. Akan tetapi dari konsep maslahat yang dia wariskan ke generasi di bawahnya, pemikirannya kini menjadi acuan untuk menjawab dinamisasi hukum Islam. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai berikut: Bab I :
Pendahuluan Bab satu ini berisi tentang pokok pikiran penulis yang akan dirumuskan dan dicari pemecahannya. Selain itu, penulis juga berusaha untuk menjelaskan langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk memecahkan semua permasalahan tersebut serta faktor-faktor apa saja yang mendukung penulisan skripsi ini. Semua itu terdapat di dalam Latar Belakang Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat 23
24
Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Review Kajian Terdahulu serta Sistematika Penulisan. Bab II:
Pandangan Umum Konsep Maslahat Mursalah Pada bab ini, penulis memaparkan secara umum pengertian linguistik dan terminologi dari maslahat mursalah. Kehujjahan dan perbedaan pendapat dalam memahami maslahat mursalah. Serta syara-syarat keabsahannya.
Bab III :
Riwayat Hidup Imam Najamuddin Al-Thufi Dan Imam Malik Bab ini memberikan ikhtisar hal ihwal biografi sang tokoh yang diteliti, yang meliputi tentang: latar belakang sosial dan intelektual, pendidikan, pengalaman, kegiatan, karir dan karya-karyanya. Dan juga konsep maslahah mursalahnya. Selain itu dipaparkan pula sisi persamaan dan perbedaan kehidupan kedua tokoh tersebut.
Bab IV :
Aplikasi Maslahat Mursalah Terhadap Presiden Wanita Menurut Imam Malik Dan Imam Najamuddin Al-Thufi Penulis menyajikan hal ihwal presiden wanita; pandangan politik Islam dan pandangan umum tentang presiden wanita. Kemudian Menganalisa pendapat Imam Najamuddin al-Thufi, dan Imam Malik tentang presiden wanita ditinjau dari maslahah mursalah. Selain itu disajikan pula sisi persamaan dan perbedaan kedua pendapat tersebut.
Bab V :
Penutup Berisi tentang kesimpulan penulisan skripsi ini dan beberapa saran dari penulis. 24
25
BAB II PANDANGAN UMUM MASLAHAH MURSALAH G. Pengertian Maslahah Mursalah 1. Definisi Maslahah Mursalah secara etimologis Secara etimologis term “Maslahah Mursalah” terdiri atas dua suku kata: yaitu masalahah dan mursalah. Menurut Louis Ma`luf kata “Maslahah” berasal dari akar kata salaha, yasluhu – salahan – suluhan - salahiyyah; artinya: Sesuatu yang mendorong kepada kebaikan atau kelayakan; atau bisa juga diartikan: Sesuatu yang mendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi kelompoknya.26 Ahmad Warson Munawwir, mengartikan kata maslahah sebagai faedah, kepentingan, kemanfaatan, kemaslahatan27. Dari sudut pandang ilmu sharaf (morfologi), kata “Maslahah” satu wazan (pola) dan makna dengan kata manfa’ah. Kedua kata ini (maslahah dan manfa’ah) telah diindonesikan menjadi “maslahat” dan “manfaat.” 28 Dalam buku Kamus Besar Indonesia disebutkan bahwa maslahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, dan guna. Sedangkan kata “kemaslahatan” berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sementara kata “manfaat”, dalam buku tersebut, diartikan dengan: guna, faedah. Kata “manfaat” juga
26
Louis Ma`luf, Kamus Munjid, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 528. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984), h. 844. 28 Asmawi, MA, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 101 27
25
26
diartikan sebagai kebalikan atau lawan kata “mudharat” yang berarti rugi atau buruk.29 Kata maslahah adalah bentuk tunggal dari kata mashalih; selain itu dikenal pula istilah istishlah yang berarti mencari maslahat, memandang maslahat atau baik, mendapatkan maslahat atau kebaikan, dan kebalikannya adalah al-istisfad atau memandang buruk atau rusak, mendapatkan keburukan atau kerusakan30. Maslahah sama akarnya dengan kata shalih yang berarti “baik” menurut agama. Dalam AlQur’an banyak ditemukan kata shalih, kata shalih ini pada umumnya berarti kebaikan pada hakikatnya menguntungkan.31 Sedangkan kata “mursalah” merupakan bentuk isim maf`ul dari akar kata: arsala - yursilu - irsal; artinya: `adam at-taqyid (tidak terikat); atau berarti: almutlaqah (bebas atau lepas).32 2. Definisi maslahat mursalah secara terminologis Secara terminologis, para ulama usul fiqh telah memberikan beberapa definisi dengan versi yang berbeda, antara lain: a. DR. Muhammad Adib Salih:
29
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 634. 30 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, h. 532. 31 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, h. 100. 32 Ibid., h. 259
26
27
تﺎ ﻟاﺸ ﱠ ِرﺎ ِعوَ ﻣَﻘ َ ﺻﺎ ِ ِﺪ ِه وَ ﻟ َ ْﻢ َﯾﻘ ُ ْﻢ ِ َ ﺼﺮﱡ ﻓ َ َﻲ ﺗ ْ ﻲ ﺗ َﺪ ْﺧ ُ ُﻞ ِﻓ ْ ﻟا ْ ﻤَﺼْﻠ َ َﺤﺔ ُ ﻟا ْ ﻤُﺮْ َﺳﻠ َﺔ ُ ِھﻲَ اﻟ ﱠ ِﺘ 33 .ﺻ َﮭ أﺎَ ْو ﺑِﻟﺈِ ْﻐ َ ِﺂﺋ َﮭﺎ ِ ﺼ ْﻮ ُ ُ َد ِﻟﯿْ ٌﻞ ِﻣ َﻦ ﺸﻟ ﱠاﺮْ ِع َﻋﻠ َ ﻰﻋ ْا ِﺘ َﺒ ِرﺎ َھ ﺎَﺑﺨ “Maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang termasuk ruang lingkup tindakan/kebijaksanaan dan tujuan Syari`; sementara tidak ditemukan dalil syara` secara khusus baik yang mendukungnya maupun yang menolaknya”. a. Muhammad Said Ramadan al-Buti: “Maslahat mursalah itu adalah setiap manfaat yang termasuk di dalam ruang lingkup tindakan/kebijaksanaan Syari` tanpa ada dalil yang mendukungnya atau menolaknya”.34 b. Al-Syatibi (salah seorang pengikut Madzhab Maliki)berpendapat: “Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ditunjang oleh satu nash tertentu; akan tetapi, kemaslahatan tersebut sesuai dengan jenis tindakan syara`”. c. Al-Khawarizmi memberikan pengetian:
َ ع ِ َﺪﺑ ِﻓْﻊِ ْﻟاﻤَﺳﺎﻔ َﺪ ِ ﻦِﻋ ﺼ َﻣ ِدُﻮ ْﺸﱠارﻟِﺎ ْ ﻈَﻋﺔ ُ َﻠﻰَ ﻘ ﺼﺔ َﺤ ُاﻟْﻤ ْﺮﺳ ُﻠَﺔ ُ َھﻲِ ﻟْﻤ َا ُﺎﻓﺤ َ ْاﻟْﻤ ﻠ
.ْاﺨْ َﻟ ِﻠﻖ
35
“Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan (yang berusaha) untuk memelihara tujuan syara` dengan jalan menolak unsur kemafsadatan”. d. Abdul Wahab Khallaf memberikan pengertian:
وَ ﻟ َ ْﻢ ﯾ َﺪ ُلﱠ,ﺣﻜ ْ ﻤﺎ ً ِﻟﺘ َﺤْ ِﻘﯿْ ِﻘﮭ َﺎ ُ ﺸع ُِر ﺼ ْْﻠﺔَﺤ ُ ﻟَﻢْﯾ ْﺸﺮ َعَا ﺎﻟ ﱠ ﻲ َﻟا َﻤ ِ ُ ﺳﺮَﻠَھﺔ ْ ُﺤ َاﻟْﻤ ﺼَ ُﺔ ﻟْاﻤَْﻠ 36 .َد ِﻟﯿْ ٌﻞ ﺷ َﺮْ ِﻋ ﱞﻲ َﻋﻠ َ ﻰﻋ ْا ِﺘ َﺒ ِرﺎ َھ أﺎَ ْو إِ ﻟْﻐ َِﺎﺋ َﮭﺎ “Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syari’ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan ”. 33
Muhammad Adib Salih, Masadir at-Tasyri` al-Islami wa-Manahij al-Istimbath, Damsyid: Maktabah at-Ta`awujniyyah, 1967, h. 463. 34 Muhammad Said Ramadan al-Buti, Dhawabit al-Maslahat fi al-Syariat al-Islamiyyat, Damsyiq: 1967, h . 330. 35 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 36. 36
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Quwait: Dar al-Qalam, tth.), h. 84.
27
28
e. Muhammad Abu Zahrah
ْ ﺻﺎ ِﺪ ﺸﻟ ﱠا ِرﺎ ِعاﻹ ِْﺳْﻼ َ ِﻣﻲﱢ وَ ﻻ َ َﯾﺸ ْ َﮭﺪ ِ َ ﺼ ُﺤﺔ َاﻟُﺮْﻤْﺳَ ُﻠﺔَﻲ ِھ َﻟا ْ ﻤَﺼْﻠ َ َﺤﺔ ُ ﻟا ْ ﻤُﻼ َ ِﺋﻤَﺔ ُ ِﻟﻤَﻘ ْ َا ﻤَﻟ ْ ﻠ 37 .ﻟ َ َﮭ أﺎَﺻْ ٌﻞ ﺧَ ﺎصٌ ِﺑﺎﻻ ِ ْﻋ ْ ِﺘ َﺒ ِرﺎأ َ ْو اﻹ ِْﻟ ْﻐَ ِءﺎ “Maslahah mursalah menurut Abu Zahrah, “Maslahat-maslahat yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syariat Islam dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan maslahat tersebut”. Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat ditemukan beberapa unsur yang terdapat dalam maslahat mursalah, yaitu: pertama: kemaslahatan tersebut berada di dalam ruang lingkup tindakan/kebijaksanaan Al-Syari`; kedua: kemaslahatan tersebut berada di dalam ruang lingkup maqasid al-syari`ah; ketiga: kemaslahatan tersebut tidak ditunjang oleh dalil atau syahid; baik yang mendukungnya maupun yang menolaknya; keempat: kemaslahatan tersebut ditempuh dengan maksud untuk menghilangkan berbagai kemafsadatan. Pada perkembangan selanjutnya penggunaan term maslahat mursalah telah terjadi perbedaan di kalangan para ulama ushul fiqh, untuk term maslahat mursalah sendiri dikenalkan oleh golongan Malikiyah. Selain itu Sebagian ulama ada yang menyebutkannya dengan istilah: al-istislah oleh Imâm Ghazali, al-munasib al-mursal al-mula’im oleh golongan Mutakallimin al-Ushuliyyin, al-istidlal oleh Imâm
37
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 279. Lihat pula: Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 36.
28
29
Haramain dan Ibn Samani, al-istidlal al-mursal sebagian ulama ushul; sedang Imâm Al-Tûfi menyebutnya dengan nama “Maslahah Al-Tûfi”.38 Berdasarkan definisi secara etimologis dan terminologis di atas, maka telah diketahui bahwa maslahat mursalah atau istislah merupakan metode penetapan hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sehubungan dengan metode ini dalam ilmu ushul fiqh dikenal ada tiga macam maslahah, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah mulgah, dan maslahat mursalah.39 Maslahah pertama adalah maslahah yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Sedangkan maslahah kedua adalah maslahah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber tersebut Di antara kedua maslahah tersebut, ada yang disebut maslahah mursalah, yakni maslahah yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut, dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.40
H. Kehujjahan Maslahah Mursalah Menurut Yusuf Qaradhawi, jumhur ulama fiqih menganggap maslahat adalah dalil syari’i yang menjadi pondasi utama dalam legislasi hukum Islam,
38
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, tth.), h. 85. Lihat pula: Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz; Antara Konsep dan Implementasi (Surabaya: Khalista, 2007), h. 288. 39 Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press Indonesia, 1999), h. 72. 40 Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 84.
29
30
pemberian fatwa, dan juga dalam ruang lingkup peradilan41. Menurutnya para sahabat Rasulullah saw.-lah yang banyak memahami dan menggunakan maslahat sebagai patokan dan sandaran utama legislasi hukum Islam42. Selain itu, para ulama pun sepakat bahwa tidak ada peluang bagi qiyas, istihsan, istishlah dalam masalah ibadah, karena ibadat adalah dikategorikan hukum ta’abbudi43, sehingga akal tidak memiliki peluang untuk menentukan maslahat yang rinci terhadap setiap hukumnya. Sama halnya dengan hukum ibadat, ialah semua hukum had, hukum kafarat, batas prosentase warisan, iddah bulanan setelah meninggal suami atau karena thalaq dan semua hukum yang ditetapkan batas tertentu, karena Syari’ sendiri mengetahui maslahat apa yang terdapat pembatasan itu.44 Adapun kehujjahan maslahat mursalah terdapat tiga pendapat para ulama yang berbeda. 1. Mayoritas ulama berpendapat maslahah mursalah tidak bisa diambil sebagai hujjah secara mutlak. Ibnu Hajib mengatakan ini adalah pendapat terpilih. Imam Amudi berkata, pendapat ini benar, sesuai dengan kesepakatan para ulama fiqh.45
41
Yusuf Qaradhawi, Madkhal li Dirasah al-Syari’ah al-Islamiah (Kairo: Maktabah Wahbah, tth.) h. 158. 42 Ibid., h. 158. 43 Ta’abbudi diartikan sebagai hukum-hukum dalam ibadah kepada Allah; seperti shalat, puasa,dsb. yang mana rasio kita tidak mampu untuk memahami makna dibalik amaliah ritual tersebut, karean hanya Allah yang berhak mengetahuinya. Dengan demikian, qiyas serta maslahah mursalah dalam penentuan ibadah mahdah tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Beda halnya dengan maslahah mu’amalah; dimana masih bisa ada kemungkinan untuk diperdebatkan. Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh ..., h. 39. 44 Ibid., h. 158. 45 Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz. h. 288.
30
31
2. Imam Malik
berpendapat, maslahat mursalah bisa dijadikan hujjah secara
mutlak. Pendapat ini didukung oleh Imam Haramain. Yang dimaksud Imam Malik adalah maslahah yang manfaatnya lebih banyak dari pada bahayanya.46 Sumbernya dari nash (al-Qur’an dan al-Sunnah) atau dari petunjuk umum nash yang biasa dikatakan maqasid syari’ah (tujuan hukum Islam), seperti firman Allah:
(78 :22/) اﺞّﺤﻟ...َﻠَ ﯿْ ﻢْﻜ ُﻓ اِﻲﱢﯾﺪﻟﻦِﻦ ِﻣ َﺣْ ٍﺮج
َ ﻞﻋ َ ﻣَو َ ﻌ َﺎﺟ...
Artinya: “Allah tidak menjadikan padamu dalam masalah agama suatu kesulitan” (Q.S. Al-Hajj/22: 78) Nabi bersabda:
أن رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ:ﻋﻦ أﺑﻲ ﺳﻌﯿﺪ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﺳﻨﺎن اﻟﺤﺪري رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ,ر وَﺿﻻ َِﺮ َرَا )ﺣﺪﯾﺚ ﺣﺴﻦ َﺿ َﺮ َ ﻻ:ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ: ورواه ﻣﺎﻟﻚ ﻓﻲ اﻟﻤﻮطﺄ ﻣﺮﺳﻼ.واﻟﺪارﻗﻄﻨﻲ وﻏﯿﺮھﻤﺎ ﻣﺴﻨﺪا وﻟﮫ طﺮق, ﻓﺄﺳﻘﻂ أﺑﺎ ﺳﻌﯿﺪ, ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ,ﯾﺤﯿﻰ ﻋﻦ أﺑﯿﮫ 47 (ﯾﻘﻮى ﺑﻌﻀﮭﺎﺑﻌﻀﺎ
Artinya: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan”. Imam Malik menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil karena beberapa argumen sebagai berikut: Pertama, bahwa para sahabat banyak menggunakan maslahah mursalah di dalam mengambil kebijakan dan istinbath hukum48, misalnya: a. Pembukuan al-Qur’an menjadi mushaf oleh para sahabat, padahal Nabi tidak memerintahkan kepada mereka untuk membukukannya. Inilah tindakan para
46
Ibid., 288. HR. Ibnu Majah 48 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 280.-281 47
31
32
sahabat yang dikategorikan maslahah yang bertujuan untuk menjaga dan melestarikan al-Qur’an dari kepunahan. Disisi lain banyaknya para huffadz (penghafal al-Qur’an) yang gugur dalam berbagai peperangan; b. Khulafa al-Rasyidin yang menerapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang; c. Umar Ibn Khattab r.a. yang memerintahkan para pejabat agar memisakan harta kekayaan pribadinya dari kekayaan yang diperoleh karena jabatannya; d. Umar Ibn Khattab yang sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air guna memberi pelajaran kepada orang-orang yang mencampur susu dengan air; e. Dan para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota kelompok atau jama’ah yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang jika mereka melakukan pembunuhan itu secara bersama-sama.49
Kedua, Perwujudan kemaslahatan itu sesuai dengan tujuan syari’at. Mengambil maslahat berarti merealisasikan tujuan syari’at. Mengesampingkan maslahat berarti mengesampingkan tujuan syariat.50 Ketiga, Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama berada di dalam konteks maslahat syar’iyyah maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan, padahal Allah swt.
49
50
Ibid., h. 281. Ibid., h. 282.
32
33
tidak menghendaki adanya kesulitan itu.51 Sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Al-Baqarah 185:
(185 :2/ )اﻟﺒﻘﺮة...ْ ﺴ ﻻ َﺮِﯾ ُﯾﺪﻜُِ ُﺑ اﻢُ ﻌُ ْﻟ َﺮ َ ﷲ ُﺑ ُِﻜﻢاُﯿ ُْﻟﺴْوﺮ ُِ ﺮﯾُ ﯾﺪ
...
Artinya: ”... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (Q.S. Al-Baqarah/2: 185) dan dalam surat al-Hajj/22: 76.
(76 :22/ﻰﺮُِﺗَﻊْﺟُﻷ ْاُﻣرُﻮ )اﻟﺤﺞ َ ﺧﻠَﮭْﻔُو ْﻢ ﻟ َِإﷲ ﻌَ ْﯾَﻢﻠُﻣﺎَ ْﯿﺑ َﻦَ ﯾ َأ ْﻢﺪِﯾﮭْ وَﻣ َﺎ Artinya: “Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan.”(Q.S.AlHajj/22: 76). Meskipun Imam Malik merupakan tokoh dan pelopor maslahah mursalah namun di dalam penerapannya, pendiri madzhab Maliki ini menerapkan syarat-syarat adanya persesuaian antara maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at. Maslahah ini harus masuk akal dan memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional. Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang biasa terjadi. Dalam arti, jika maslahat itu tidak diambil manusia akan mengalami kesulitan.52 Para ulama yang tidak menerima maslahat mursalah sebagian dari syara’ juga mengemukakan alasan maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah kepada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan hawa nafsu yang cenderung mencari yang enak-enak saja, padahal prinsip Islam tidak demikian. Jika maslahat dapat diterima (mu’tabarah) ia termasuk ke dalam kategori qias dalam arti 51 52
Ibid., h. 282. Ibid., h. 427.
33
34
luas. Tetapi Jika tidak mu’tabarah, ia tidak termasuk qias dan tidak bisa dibenarkan suatu anggapan yang menyatakan bahwa pada suatu masalah terhadap maslahah mu’tabarah, sementara maslahat itu tidak termasuk di dalam nash atau qias. Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat kepada suatu penyimpangan dari suatu hukum syari’at dan tindakan kelaliman terhadap rakyat dengan dalil maslahat, sebagaimana dilakukan oleh raja-raja yang lalim. Jika maslahat dijadikan sebagai sumber unsur pokok yang berdiri sendiri, niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan negara, bahkan perbedaan pendapat perorangan di dalam suatu perkara.53 Beda halnya dengan Husein Hamid Hasan, ia menyamakan maslahah mursalah ini dengan qiyas Imam Syafi’i, ia menyatakan bahwa sesungguhnya maslahat mursalah masuk ke dalam pengertian qias menurut pandangan Imam alSyafi’i r.a.54 Alasan yang dikemukakan Husein Hamid Hasan adalah ia memasukkan maslahah mursalah atau maslahah mula’imah ke dalam qias. Sebab keduanya memiliki persamaan unsur-unsur. Menurutnya, syarat qias ada 3, (1) adanya peristiwa yang tidak ada nash hukumnya yang jelas; (2) adanya hukum yang dinashkan oleh syar’i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui pengertian ma’nawi; (3) peristiwa yang tidak ada nash hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang mansus secara implisit. Ketiga syarat qias ini, menurutnya, sejalan dengan maslahah 53
Ibid., h. 431-433. Hassan, Husein Hamid, Dr., Nazâriyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Cairo: AlMutanabbi, 1981. 54
34
35
mursalah atau maslahah mula’imah yaitu: (1) peristiwa yang ingin diketahui hukumnya melalui maslahah adalah peristiwa yang tidak ada nashnya yang jelas, seperti jaminan atau ganti rugi para pekerja apabila merusak barang yang dikerjakannya; (2) ada hukum-hukum syari’at yang dinashkan oleh syari’ atas suatu peristiwa yang maknanya dapat ditemukan oleh para mujtahid; (3) peristiwa yang tidak ada nash tersebut memiliki makna yang sama dengan makna yang terkandung di dalam peristiwa yang ada nashnya.55 I. Syarat-Syarat Keabsahan Maslahat Mursalah Dalam menggunakan maslahat mursalah sebagai hujjah syar’iyyah, para ulama bersikap sangat berhati-hati, sebab ditakutkan akan tergelincir kepada pembentukan syari’at baru, berdasarkan nafsu dan kepentingan terselubung. Berdasarkan hal itu, seperti yang ditulis oleh Abd Wahab Khallaf, dalam bukunya ushul al-fiqh, ulama menyusun syarat-syarat kebolehan memakai maslahat mursalah.56 Syarat-syaratnya ada tiga macam, yaitu:57 1. Maslahah harus benar-benar nyata dan bukan maslahah yang mengada-ngada. Selain itu maslahah yang dihasilkan, harus sesuai dengan rasio sehingga memudahkan seseorang menerimanya58. Dengan kata lain pengambilan maslahah tersebut bertujuan untuk mengambil manfaat (jalbu manfa’ah) dan mencegah 55
Ibid., h. 324-325. Abd al-Wahab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh, Quwait: Dar al-Qalam, tth., h. 86. 57 Ibid., h. 86. 58 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), v. 2., h. 56
77.
35
36
madharat
(daf’u
madharrah).
Jangan
sampai
maslahat
tersebut
hanya
memperhatikan jalbu manfa’ah saja tanpa diimbangi dengan aspek madharatnya. Misalnya menyerahkan hak thalaq kepada hakim yang seharusnya hak suami.59 2. Maslahat itu diciptakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan perseorangan. Dalam arti kata, maslahat yang dijadikan penyebab ketetapan hukum haruslah mengedepankan aspek sosial dan kepentingan orang banyak bukanlah kepentingan segelintir orang. Sebab hukum syari’ah itu diletakkan untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi60. Misalnya untuk kepentingan keluarga, pemimpin, saudara, dan lain-lain. 3. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash dan ijma’. Wahbah Zuhaili menambahkan juga, agar maslahah tersebut sesuai dengan maqashid syari’ah, dan tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang
qat’i.61 Maka
menyamakan ratakan bagian anak laki-laki dan perempuan dalam warisan, adalah bentuk maslahah yang bertentangan dengan syari’ah, dan tidaklah sah pengamalannya.
59
Ibid., h. 77. Lihat pula Abdul Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh, h. 86. Ibid., h. 78. 61 Ibid., h. 78. 60
36
37
BAB III RIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI SERTA KONSEP MASLAHAT MURSALAHNYA
A. Biografi Imam Malik, r.a. 1. Kelahiran Imam Malik Imam Malik bin Anas salah satu Imam madzhab fiqh yang empat yaitu madzhab Maliki, dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Dia lahir pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Mulk tepatnya tiga belas tahun sesudah kelahiran Imam Abu Hanifah. dan meninggal pada masa kekuasaan Harun Al-Rasyid (179 H)62. Dia berasal dari Kabilah Yamniah.63 Kedua orang tua beliau adalah keturunan Arab, bapaknya bernama Anas bin Malik bin Abi ‘Amir al-Usbukhi dari Kabilah Yamniah sedangkan ibunya bernama al-‘Aliyah binti Sariik al-Azdiyah dari keturunan alAzad.64 Imam Malik hidup pada periode setelah tabi’in dan dikenal sebagai ahli dalam bidang hadis dan fiqih. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah pergi keluar Madinah. Imam Malik sempat juga merasakan masa Dinasti Umayyah, tetapi lebih
62
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam (Bandung: Mizan, 2001) h. 103. 63 Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h. 98. Lihat pula Mahmud Saltuth, Al-Islam; Aqidah wa Syari’ah, (Beirut, Dar al-Qalam, 1966) h. 390. 64 Mahmud Saltut, Al-Islam, h . 390.
37
38
lama hidup di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu kekuasaan Islam telah mencapai Cina dan Eropa, khususnya Spanyol.65 2. Perjalanan Intelektual Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan, sehingga sejak itu pula beliau telah hafal al-Qur’an. Pada mulanya dia belajar fiqih kepada Rabi’ah ibn Abdurrahaman, seorang ulama yang sangat terkenal saat itu. Beliau juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat66. Selain itu, guru-guru Imam Malik adalah ‘Abdurrahman ibn Hurmûz, Nafi’ Maula ibn ‘Umar dan Ibn Syihab AlZuhri.67 Beliau dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, yang didahuluinya dengan meneliti hadist-hadist Rasulullah SAW., dan bermusyawarah dengan ulama lain. Diriwayatkan, bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang yang biasa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.68 Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar tiga puluh satu hadis dari Ibn Syihab tanpa menuliskannya. Ketika kepadanya diminta mengulangi seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya.69 Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadis dan fiqih. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu itu. Sebagai pengakuan atas kehebatan Sang Imam, Imam Syafi’i pernah 65
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan, h. 103. Suparman Usman, Hukum Islam, h. 98. 67 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan, h. 103. 68 Ibid., h. 104. 69 Ibid., h. 104. 66
38
39
melontarkan kata-kata, “Malik adalah guruku, darinya aku menimba ilmu, dia adalah hujjah antara aku dan Allah, dan tidak ada guru yang lebih banyak memberikan ilmu kepadaku dibandingkan dengan Malik. Di tengah para ulama, Malik adalah bintang yang cemerlang”.70 Dengan pemikirannya yang didasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi saw., ijma’ sahabat, amalan-amalan yang dilakukan penduduk Madinah, dan prinsip menjaga kemaslahatan, Imam Malik banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang berbagai masalah.71 Murid-muridnya tersebar di pelbagai wilayah Mesir, Afrika, dan Andalusia. Murid-murid yang di Mesir adalah Abu Abdillah ibn Rahman Al-Qasim (w. 191 H), yang belajar kepada Imam Malik selama 20 tahun dan juga belajar fiqh pada Al-Laits ibn Sa’ad. Kemudian, Abu Muhammad Ibn ‘Abdullah ibn Wahab ibn Muslim (120197 H), Asyhab ibn Abd Al-Aziz Al-Qasi (150-203 H), Abu Muhammad Abdullah ibn Abd Hakim (w. 214 H), Asybagh ibn Faraj, dan Muhammad ibn Ibrahim AlIskandari ibn Ziyad (w. 269).72 Imam Malik telah menulis kitab Al-Muwaththa’, yang merupakan kitab hadis dan fiqh. Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Madzhab Maliki,
70
Ibid. h. 104. Abdurrahman al-Syarqawi, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, terj. Al-Hamid al-Husaini, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000). h. 150 72 Ibid., h. 152. 71
39
40
tersebar luar, dan dianut di banyak bagian penjuru dunia, seperti di Maroko, al-Jazair, Mesir, Tunisia, Sudan, Kuwait, Qatar dan Bahrain.73 3. Sumber-Sumber Dalil Ijtihad Imam Malik Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Maliki adalah: a. Al-Qur’an; b. Sunnah; c. Ijma Ulama Madinah d. Fatwa Sahabat; e. Qiyas; f. Maslahah Mursalah74 4. Hujjah Imam Malik Dalam Penggunaan Maslahah Mursalah Dalam menyikapi maslahah mursalah sebagai metode pengambilan hukum (istinbath al-ahkam) para ulama berbeda-beda pandangan, sehingga terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu: Kelompok pertama, berpegang teguh kepada ketentuan nash. Golongan ini memahami nash hanya dari segi lahiriahnya semata (tekstual) dan tidak berani memperkirakan adanya maslahat di balik suatu nash. Mereka yang dikenal dengan julukan madzhab dzahiriyah ini juga tidak mau menerima dalil qiyas. Oleh karena itu,
73 74
Abdurrahman al-Syarqawi, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, h. 154. Suparman Usman, Hukum Islam, h. 98
40
41
mereka menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada maslahat kecuali yang telah jelas disebut oleh nash, dan tidak perlu mencari-cari sesuatu kemaslahatan di luar nash.75 Kelompok kedua, mencari kemaslahatan dari nash yang diketahui tujuan dan illatnya. Karenanya, mereka mengqiyaskan setiap kasus yang jelas mengandung suatu maslahat, dengan kasus lain yang jelas ada ketetapan nashnya dalam maslahat tersebut. Meskipun demikian, mereka tidak sekali-kali mengklaim sesuatu maslahat kecuali apabila didukung oleh bukti dari dalil khas. Dengan demikian tidak terjadi campur aduk antara sesuatu yang dianggap maslahat, karena dorongan hawa nafsu, dengan maslahat yang hakiki (yang sebenarnya). Dengan demikian, tidak ada maslahat yang dipandang mu’tabarah (dapat diterima), kecuali apabila dikuatkan oleh nash khas atau sumber hukum pokok yang khas. Pada umumnya yang dijadikan ukuran untuk menyatakan suatu maslahat ialah ‘illat qiyas.76 Kelompok ketiga, menetapkan setiap maslahah harus ditempatkan pada kerangka kemaslahatan yang ditetapkan oleh syariat Islam, yaitu dalam rangka terjaminnya keselamatan jiwa, keyakinan agama, keturunan, akal, dan harta benda. Dalam hal ini tidak didukung oleh sumber dalil yang khusus sehingga bisa disebut qiyas, tetapi dia dapat menjadi dalil yang mandiri, yang dinamakan maslahah mursalah.77 Sementara itu, Imam Malik menjadikan maslahat mursalah sebagai salah sumber dalil dengan alasan yang cukup rasional, yaitu: 75
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 279. Ibid., h. 279. 77 Ibid., h. 279. 76
41
42
Pertama, Realitas obyektif membuktikan penggunaan paradigma pemikiran maslahah mursalah terhadap persoalan yang terjadi, jauh sebelumnya, para sahabat Nabi telah banyak menggunakan maslahat mursalah di dalam mengambil kebijakan dan istinbath hukum, di antaranya sebagai berikut: a. Pembukuan al-Qur’an menjadi mushaf. Ketika itu sahabat Umar r.a. menggagas pembukuan al-Qur’an menjadi mushaf dan kemudian mendapat persetujuan dari Khalifah Abu Bakar r.a.. Persetujuan Abu Bakar r.a. tersebut merupakan ijtihad yang berdasarkan pendekatan maslahah mursalah, dengan pertimbangan akan hilangnya ayat al-Qur’an.78 Ijtihad ini sebelumnya tidak pernah dilakukan Rasulullah saw. namun ijtihad ini merupakan realisasi dari firman Allah:
(٩:15/ﻈ َنُﻮ )اﻟﺤﺠﺮ ِ وإ َِﻧ ﻟﱠﺎَﮫ ُﻟ ََﺤﺎﻓ Artinya:
ْ ﻦ ُﻧَﺰﱠﻟﺎ َْﻨﺬﻟ ﱢا َﺮﻛ َ ْإِﻧﺎﻧﱠﺤ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Q.S. al-Hijr/15: 9).
b. Umar Ibn Khattab pernah membagi atau memisahkan harta para pejabat atau penguasa dengan wilayah kekuasaannya. Karena ada dugaan tercampurnya harta pribadi dengan harta umum, dan juga dengan hartanya yang dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Menurutnya hal ini dilakukan untuk kebaikan bagi para penguasa dan mencegah penumpukan harta oleh penguasa. Tapi sebenarnya yang terbaik adalah harus ada pemaparan harta pribadi agar tidak terjadi kezaliman antara penguasa dan rakyat79.
78
Al-Syatibi, al-I’tisham, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th), h. 115. Lihat pula Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 281 79 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 281.
42
43
c. Khulafa al-Rasyidin memutuskan adanya (bolehnya) tadhmin al-shanai’ (menanggung ganti rugi) tentang dalil yang mendasarkan amanah, tetapi seandainya tidak ada jaminan mereka pasti meremehkan dan tidak memberikan hak sebagaimana mestinya, dimana harta orang banyak berada dalam kekuasaan mereka. Ali ibn Abi Thalib menerangkan bahwa asas tadmin adalah maslahah. Karena hanya itu yang terbaik, jadi setelah tadhmin al-shana’i ditetapkan Ali ibn Abi Thalib, maka bagi para pembuat barang memiliki kewajiban untuk mengganti jika terjadi kerusakan atau kekeliruan pada barang yang dipesan.80 d. Umar Ibn Khattab yang sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air guna memberi pelajaran dan pendidikan kepada para penipu berselubung penjual susu yang mencampur susu dengan air. Langkah ini merupakan pendekatan maslahah mursalah sebagai upaya preventif dari terjadinya penipuan.81 e. Para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota kelompok atau jama’ah yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang jika mereka melakukan pembunuhan itu secara bersama-sama. Karena menurut tinjauan maslahah saat itu menuntuk demikian. Alasannya, orang yang dibunuh itu ma’sum al-dam (darah yang terjaga).82 Selain itu, menurut penulis apabila sekelompok orang yang membunuh itu tidak dikenakan qishas maka dikhawatirkan bagi mereka yang ingin membunuh orang lain, agar terhindar dari qishas, maka mereka melakukannya secara berjama’ah. 80 81
Al-Syatibi, al-I’tisham., h. 119. Ibid., h. 120. 82 Ibid., h. 125. Lihat pula: Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 181.
43
44
Kedua, paradigma maslahah seharusnya memiliki relevansi dengan tujuan syara’, dengan asumsi, menggunakan maslahah sama dengan mengaplikasikan tujuan syari’i (maqashid syari’ah), sebaliknya membiarkannya berarti membuang maqashid syari’ah. Oleh karena itu, menurut Imam Malik mengambil maslahah sebagai sumber hukum hukumnya wajib. Oleh karena itu, adalah wajib menggunakan dalil maslahah atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul atau sumber-sumber pokok, bahkan terjadi sinkronisasi antara maslahah dan maqashid syari’ah.83 Ketiga, Kontroversi maslahah sebagai sumber hukum kondisional, akan berimplikasi pada kemandulan ushul al-syari’ah dan prinsip dasar hukum Islam yang sudah disepakati bersama (ijma’), sehingga mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan84, padahal Allah swt. tidak menghendaki adanya kesulitan itu sebagaimana dikemukakan Allah dalam surat Al-Baqarah 185:
(185 :2/ )اﻟﺒﻘﺮة...ْ ﺴ ﻻ َﺮِﯾ ُﯾﺪﻜُِ ُﺑ اﻢُ ﻌُ ْﻟ َﺮ َ ﷲ ُﺑ ُِﻜﻢاُﯿ ُْﻟﺴْوﺮ ُِ ﺮﯾُ ﯾﺪ
...
Artinya: ”...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (Q.S. al-Baqarah/2: 185). dan dalam surat al-Hajj: 76.
(76 :22/ﻰﺮُِﺗَﻊْﺟُﻷ ْاُﻣرُﻮ )اﻟﺤﺞ َ ﺧﻠَﮭْﻔُو ْﻢ ﻟ َِإﷲ ﯾ ْﻢﺪِﯾﮭْ وَﻣ َﺎ
َ ﻦأ ْ ﻌﻢْﻠَﻣَُ ﯿَﺎﺑ
◌ﯾ َ
Artinya: “Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan”. (Q.S. alHajj/22: 76).
83
84
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 182. Ibid., 182.
44
45
Menurut penulis, dengan adanya justifikasi dari ayat-ayat diatas setidaknya semakin mengukuhkan posisi maslahah sebagai salah satu sumber penggalian hukum, yang menuntut pengkajian lebih kritis atas penerapannya di bidang hukum. Hal itu disebabkan perkembangan persoalan kekinian di sektor sosial kemasyarakatan selalu variatif dan dinamis, sehingga dibutuhkan jawaban hukum yang sesuai pula dengan kasus hukumnya. 5. Kriteria Maslahah Mursalah Imam Malik Menurut Imam Malik, maslahah mursalah merupakan dasar istinbath yang berdiri sendiri. Menurutnya ada beberapa syarat untuk dapat dikategorikan sebagai maslahat mursalah sebagai berikut. Pertama, maslahah tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan (munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.85 Kedua, maslahah tersebut dijadikan dasar untuk memelihara sesuatu yang dharuri dan menghilangkan kesulitan (raf’ul haraj), dengan cara menghilangkan masyaqat dan madarrat.86 Ketiga, maslahah tersebut harus sesuai dengan maksud disyari’atkan hukum (maqasid al-syari’ah), dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.87 Dari syarat-syarat konsep maslahah murslahah Imam Malik di atas, penulis memahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode maslahah mursalah dan 85
Al-Syatibi, al-I’tisham, h. 129. Ibid., h. 133. 87 Ibid., h. 129. 86
45
46
maqasid syari’ah. Sehingga untuk menggunakan metode maslahah mursalah ini, seorang ahli hukum Islam harus memperhatikan nilai-nilai maqasid syari’ah. Selain menentukan syarat-syarat suatu maslahah mursalah dapat dijadikan sumber, Imam Malik juga memberikan prinsip-prinsip universal dalam berijtihad dengan maslahat mursalah. Husain Hamid Hasan, sebagaimana dikutip Wahbah alZuhaili88, menyebutkan sebagai berikut: a. Berlakunya dugaan kuat dalam hukum. Artinya menegakkan dugaan kuat pada sesuatu dapat dijadikan sebagai suatu kenyataan sebenarnya. Prinsip pertama inilah menurut Imam Malik sebagai landasan syari’ah atau maslahah universal. Misalnya larangan berkhalwat (berbaur) antar pria dan wanita yang bukan mahramnya. Larangan tersebut mengandung unsur kecurigaan yang kuat terhadap perbuatan zina. Sehingga dugaan kuat pada sesuatu itu menjadi hukum itu sendiri.89 b. Kewajiban mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi. Prinsip kedua ini juga merupakan landasan syari’. Misalnya Larangan Rasulullah terhadap jual beli talq rukban90. Larangan ini bertujuan memelihara kemaslahatan pedagang secara pribadi karena dikhawatirkan akan terjadi ketidak
88
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 85-86. Ibid., 85. 90 Talq Rukban adalah pedagang yang akan berjualan ke satu tempat (pasar) kemudian dihadang oleh pembeli. Transaksi jual beli ini dilarang oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya, yaitu hadis Ibn Abbas dengan lafadz “( ”ﻻ ﺗﻠﻘﻮ اﻟﺮﻛﺒﺎنHR. Al-Jama’ah) 89
46
47
tahuan harga yang berlaku diantara para pedagang, sekaligus menjaga kemaslahatan orang banyak di pasar.91 c. Kebolehan menolak kemudharatan yang terberat diantara dua kemudharatan Prinsip ketiga ini juga merupakan landasan syara’. Misalnya perintah berjihad; walaupun perintah ini beresiko kehilangan nyawa, akan tetapi perintah ini adalah untuk mencegah bahaya musuh yang menyerang untuk menjaga agama dan negara dari serangan. Sebab eksistensi agama dan negara adalah lebih besar mudharatnya dibandingkan nyawa seseorang.92 d. Kewajiban memelihara jiwa, yang termasuk prinsip-prinsip syara’ universal. Prinsip keempat juga merupakan landasan syara’ yang universal. Misalnya larangan tindakan pembunuhan, kewajiban sanksi qisash bagi pembunuh, penegakan hukum dan peradilan, dan lain-lain, 93 6. Contoh-contoh Maslahah Mursalah Imam Malik Ada beberapa fatwa Imam Malik yang memakai maslahah, atau bahkan digunakan untuk mentakshis al-Qur’an dengan maslahah mursalah, yaitu:
a. Wanita-wanita terhormat tidak diwajibkan menyusui Menurut Imam Malik, fatwa ini tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, yaitu:
91
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 86. Ibid., h. 86. 93 Ibid., h. 87. 92
47
48
... َﺿﺔﻋ ن ْ ﺘِ ُﯾ اﻢ ﱠﻟﺮ ﺎ َ ﱠ َ ﻦرأَ َدا أ َْﻦ َﻛِ ﻠﺎﻣ َِﯿﻦِ ْ ﻟِﻤ ْ ﺣَﻮ ﯿ َْﻟ تﯾُﺿُِﺮ ْﻌْﻦأ َﻻ َ ْوھ ُ َدﻦﱠ ا َﻟوْﻮ َﻟَاِﺪ
(233 :2/)اﻟﺒﻘﺮة
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan ....” Menurut pengakuan Imam Malik, pendapat tersebut tidak bertentangan dengan nash, karena ayat tersebut tidak menunjukkan wajib (tidak bermakna perintah), seperti kesepakatan para mufassir. Yang menjadi sandaran Malik adalah ‘urf pada zamannya dimana menyusui tidak diharuskan untuk wanita terhormat, dengan memberikan upah bagi orang yang akan menyusui anaknya.94 Dalam hal ini, terlihat bahwa Imam Malik sangat memperhatikan kedekatan hubungan antara maslahah mursalah dengan ‘urf sehingga mempengaruhinya dalam menetapkan suatu hukum. Hukum yang diputuskan sebaiknya mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu. b. Diterimanya kesaksian anak kecil dalam kasus pelukaan (al-jarah) Selain bedasarkan maslahah yang tidak menyalahi Ushul al-Syari’ah, seperti hifdz al-dima’ (menjaga terjadinya pertumpahan darah) ia juga berpegang pada ijma ahl al-madinah dimana ia memposisikan sebagaimana hadist mutawatir. Hal ini telah dilakukannya terhadap kasus diterimanya persaksian anak kecil untuk mencegah terjadinya bahaya yang lebih besar.95 c. Masa iddah bagi wanita monopouse
94 95
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 89. Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 90.
48
49
Menurutnya, iddah bagi wanita mononopose adalah satu tahun, atau tiga bulan setelah masa suci dari haidh yang diperkirakan sembilab bulan. Dalam hal ini dasar pemikirannya selain maslahah juga menggunakan ijma’ Ahl al-Madinah, dan madzhab sahabat Umar ibn Abdul Aziz. Menurutnya, hal ini tidak berarti mentakhsis ayat:
(228 :2/ﻦﮭﱠﺛﻼﺛ َ ﻗﺔَُﺮ ٍءُو )اﻟﺒﻘﺮة ِ ِﺴْﻔ ُ ﺼ ﱠ َِﺄﺑَ ﻧ ت َُ ﺘ َﯾ ﺑَ َﺮْﻦ ﻄﻠﱠﻘَﺎ ْ وﻟﻤَُا Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'” (Q.S. Al-Baqarah/2: 228) Pendapat Imam Malik ini, jelas lebih banyak melihat aspek kemaslahatan dan ijma’ penduduk Madinah daripada makna dzahir nash tersebut. d. Membunuh kaum atheis yang berpura-pura Membunuh penganut atheis yang bersembunyi-sembunyi (pura-pura) masuk Islam dan tidak diterima taubatnya. Fatwanya banyak mengedepankan aspek maslahah, namun maslahah yang tidak bertentangan dengan nash, seperti yang ditegaskan pada hadist:
ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ:ﻋﻦ أﺑﻲ ھﺮﯾﺮة رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل أﻣﺮت أن أﻗﺎﺗﻞ اﻟﻨﻔﺲ ﺣﺘﻰ ﯾﺸﮭﺪ أن ﻻ إﻟﮫ اﻻ ﷲ ﻓﺈذا ﻗﺎﻟﻮا ھﺎ ﻋﺼﻤﻮا 96 (ﻣﻨﻲ دﻣﺎءھﻢ وأﻣﻮاﻟﮭﻢ )رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwasanya Rasulullah saw. bersabda “Saya disuruh untuk membunuh manusia sampai mereka menyaksikan diri dengan mengucap ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah’. Apabila mereka telah mengucapkan sahadat tersebut maka telah terjaga darah mereka dan harta mereka”.
96
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh ..., h. 90.
49
50
Secara tekstual, pada hadist diatas dijelaskan bahwa orang yang telah menyatakan dirinya Islam maka semua hak-haknya dilindungi, dan tidak boleh dibunuh. Akan tetapi, menurut Imam Malik, apabila pernyataan keislamannya hanya pura-pura maka orang tersebut tetap boleh dibunuh.97 Secara pribadi, penulis sangat respek terhadap keberanian Imam Malik dalam memberikan fatwa yang belum pernah dilakukan oleh para mujtahid lainnya, walaupun tidak ada jaminan kebenaran hukum terhadap apa yang telah difatwakan dan diistinbathkan. Namun setidaknya, usaha terhadap penemuan-penemuan prinsipprinsip hukum baru harus tetap dilakukan, karena perubahan dalam struktur sosial kemasyarakatan akan terus berevolusi dan dengan pola yang selalu berbeda. Jawaban terhadap masalah tersebut adalah ketentuan yang sesuai dengan persoalan hukum, baik keputusan maupun prinsip hukumnya yang telah dimodifikasi.
B. Biografi Imam al-Tufi 1. Kelahiran al-Tufi Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar-Rabi' Sulaiman bin Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa'id at-Tufi as-Sarsari al-Bagdadi al-Hanbali, yang terkenal dengan nama at-Tufi. Kadang juga ia disebut dengan nama Ibn Abbas
97
Ibid., h. 90.
50
51
al-Hanbali Najamuddin. Sebenarnya Kata al-Tufi adalah nama sebuah desa di daerah sarsara dekat Baghdad, dan di desa itulah tokoh ini dilahirkan. 98 Mengenai tahun kelahirannya pada ulama berbeda pendapat ada yang mengatakan tahun 657 H (1259 M). Ada yang juga mengatakan tahun 675H99 dan meninggal pada tahun 716 H (1318 M).100 Berdasarkan keterangan ini, jelaslah bahwa tokoh ini lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke kota Baghdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan pada tahun 1258 M.101 Jatuhnya kota Baghdad oleh serangan tentara Mongol tersebut merupakan peristiwa yang paling menentukan dalam sejarah kaum muslimin, sebuah pertanda awal kehancuran kaum muslimin. Jatuhnya Baghdad di atas dilukiskan sebagai seluruh dunia Islam gelap tak berdaya. Tidak seorangpun yang dapat membayangkan bencana yang lebih dahsyat daripada malapetaka ini. Akibatnya adalah
integritas politik dunia Islam betul-betul
berantakan.102 2. Kondisi Sosial dan Ijtihad Pada Masa Imam al-Tufi Di samping informasi bahwa tokoh yang menjadi obyek pembahasan tulisan ini hidup dalam situasi integritas politik dunia Islam yang tercabik-cabik, juga 98Ibnu al-Imad, Syazarat al-Zahab fi Akhbari Man Zahab (Beirut : al-Maktab at-Tijari,t.t.), V: 39. Lihat pula Musthafa Zaid, Al-Maslahah fi al-Tasyri’ al-Islami wa Najmuddin alThufi (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954), h. 65. 99Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi at-Tasyri' al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1959), h. 68. 100Abd. al-Wahhab Khallaf, Masadir at-Tasyri' fima la Nassa fih, (Kuwait:Dar al-Qalam, 1972), h. 105. 101Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, terjemahan H.M. Muljadi Djojowartono,dkk. (Jakarta: Panitia Penerbit,1966), h.29. 102Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung : Pustaka, 1983), h. 37-38.
51
52
at-Tufi hidup alam masa kemunduran Islam, terutama kemunduran hukum Islam. Fase kemunduran hukum Islam
berlangsung lama yaitu dari pertengahan abad
keempat Hijrah sampai akhir abad ketiga belas Hijrah. Pada fase tersebut para ulama kurang berani berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali hukum-hukum Islam langsung dari sumber-sumbernya yang pokok, yaitu Qur'an dan Sunnah, atau mencari hukum suatu persoalan melalui salah satu dalil syara'. Mereka merasa cukup mengikuti pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh Imam-Imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Ahmad ibn Hambal. Berbagai faktor, baik politik, mental, sosial dan sebagainya telah mempengaruhi kegiatan mereka dalam lapangan hukum, sehingga tidak mempunyai fikiran independen, melainkan harus bertaklid.103 Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri Islam ketika itu menjadi beberapa negeri kecil, dan negeri-negeri tersebut selalu sibuk dengan peperangan, fitnah-memfitnah dan kehilangan ketenteraman masyarakat. Salah satu implikasinya ialah kurangnya perhatian umat ketika itu terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.104 Pada fase sebelumnya telah timbul mazhab-mazhab hukum Islam yang mempunyai metode dan cara berpikir sendiri di bawah seorang Imam mujtahid. Sebagai kelanjutannya ialah bahwa pengikut-pengikut mazhab-mazhab tersebut berusaha membela mazhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar mazhab maupun 103Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984), h. 206. 104 Ibid., h. 207.
52
53
pendapat-pendapatnya, dengan cara mengemukakan kebenaran pendirian mazhabnya dan menyalahkan pendirian mazhab lain atau dengan cara memuji-muji Imam pendiri mazhab yang dianutnya. Dengan usaha-usaha tersebut, seseorang tidak lagi mengarahkan perhatiannya kepada sumber hukum yang utama, yaitu Qur'an dan Hadis, dan baru memakai nas-nas kedua sumber ini untuk memperkuat pendapat Imamnya, meskipun kadang-kadang harus melalui pemahaman yang tidak semestinya. Dengan demikian, kepribadian seseorang menjadi lebur dalam golongannya dan kebebasan berpikir menjadi hapus. Orang-orang berilmu akhirnya menjadi orang-orang awam yang mencukupkan dengan taqlid. Sudah barang tentu fanatik terhadap suatu pikiran menyebabkan pikiran seseorang kaku dan baku.105 Pembukuan pendapat-pendapat mazhab menyebabkan orang mudah untuk mencarinya. Pada fase-fase sebelumnya para fuqaha harus berijtihad karena dihadapkan kepada hal-hal yang tidak ada hukumnya. Setelah ijtihad-ijtihad mereka dibukukan, bagi orang-orang yang datang kemudian hanya mencukupkan dengan pendapat yang telah ada. Pada masa-masa sebelumnya, hakim-hakim terdiri dari orang-orang yang bisa melakukan ijtihad. Akan tetapi pada masa selanjutnya hakim-hakim diangkat dari orang-orang yang bertaqlid, agar mereka memakai mazhab tertentu dan terputus hubungannya dengan mazhab yang tidak dipakai di peradilan. Apalagi hakim-hakim yang
bisa
berijtihad
seringkali
keputusannya
menjadi
sasaran
kritik
penganut-penganut mazhab tertentu. Dengan terikatnya seorang hakim pada mazhab 105
Ibid., h. 209.
53
54
fiqh yang disukai oleh penguasa negara menjadi sebab orang banyak merasa puas terhadap mazhab tersebut.106 Oleh karena kaum muslimin tidak mengadakan jaminan agar ijtihad jangan sampai digunakan oleh orang-orang yang tidak berhak, timbullah kekacauan dalam persoalan ijtihad dan mengeluarkan pendapat. Orang-orang yang tidak berhak berijtihad ikut melakukan ijtihad, dan orang-orang awam ikut-ikut memberikan fatwa, dan dengan demikian mereka telah mempermainkan nash-nash Syari'at dan kepentingan orang banyak. Akibatnya ialah banyak fatwa yang berbeda-beda dan bersimpang-siurnya keputusan-keputusan hakim, meskipun kadang-kadang masih di negeri yang satu dan dalam persoalan yang sama, sedang kesemuanya dianggap sebagai hukum-hukum syara'. Setelah melihat kekacauan dalam lapangan hukum tersebut, para ulama pada akhir abad keempat Hijrah menetapkan penutupan pintu ijtihad dan membatasi kekuasaan para hakim dan para pemberi fatwa dengan pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh ulama-ulama sebelumnya. Akhirnya pintu ijtihad resmi ditutup.107 Tanda-tanda kebekuan dan kemunduran
yang panjang tersebut terlihat
pada kenyataan-kenyataan berikut: Sebagai akibat para fuqaha tidak melakukan ijtihad, baik karena malas dan tidak adanya daya-kreasi baru, atau karena menerima tertutupnya pintu ijtihad sebagai suatu keputusan ijma', kegiatan para fuqaha hanya berkisar membahas pendapat-pendapat Imam-Imam mujtahid yang lalu, seperti 106Ibid., h. 207. 107Ibid., h. 208.
54
55
penyusunan
masalah-masalah
yang
sudah
ada,
memilah-milah
antara
pendapat-pendapat yang kuat dengan pendapat yang lemah, dan menyusun ikhtisar-ikhtisar kitab fiqh atau "matan-matan" yang kadang-kadang merupakan rumus-rumus yang sukar dimengerti, kemudian diberikan penjelasan yang terkenal dengan nama "syarah", dan penjelasan ini diberi penjelasan lagi, atau diberi catatan-catatan yang terkenal dengan nama "hasyiah" atau "ta'liqat".108 Maka semakin benar apa yang dikatakan oleh al-Jabiri bahwa pada masa itu pembacaan teks (turats) itu hanya model al-qira’ah al-mutakarrirah109 belum beranjak pada ”al-qira’ah almuntijah”. Corak lain dari cara penyusunan kitab dari masa kemunduran ialah penghimpunan fatwa-fatwa dalam satu mazhab. Akan tetapi kitab-kitab fatwa ini merupakan suatu perbendaharaan yang sukar dinilai dalam hukum Islam110. Akibatnya hukum Islam menjadi terisolasi dari persoalan kehidupan, karena persoalan kehidupan ini akan selalu muncul, sedang hukum-hukum Islam harus dicukupkan pada ijtihad-ijtihad dari masa sebelumnya, dan hukum Islam hanya bersifat teori semata dan tidak bisa merespons masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia. Dalam pada itu pusat ilmu-ilmu pada waktu itu terutama hukum Islam berpindah-pindah, dari kota-kota Bagdad, Bukhara dan Naisabur, ke kota-kota Mesir, Syam, India, Asia Kecil dan Afrika. 108
Ibid., h. 209. Model pembacaan yang hanya mengulang-ngulang dari tradisi yang terwariskan dari generasi ke generasi yang seolah menjadi kekuatan yang paten yang tidak bisa diganggu gugat. Lihat: M. Abid al-Jabiri, Post Tradisionalime Islam, terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: L-KiS, 2000), h. 35. 110 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, h. 210. 109
55
56
Maka menjadi jelaslah bahwa secara historis al-Tufi lahir dari latar belakang kemunduran Islam khususnya hukum Islam yang menuntut suatu pembaharuan. Sedangkan secara sosio-politik terjadinya fenomena disintegrasi serta fanatisme madzhab yang berlebihan, sehingga tidak jarang satu madzhab menghujat madzhab yang lain. Al-Tufi lahir dalam keadaan masyarakat yang krisis, tidak menentu setelah jatuhnya Baghdad pada pasukan mongol. Fenomena stagnasi hukum Islam inilah tampaknya yang banyak memberikan pengaruh pada pemikiran al-Tufi, yang untuk ukuran masanya bahkan sampai sekarang pun terlihat sangat liberal.111 Meskipun masa tersebut dinamakan masa kemunduran, pada masa ini masih terdapat fuqaha-fuqaha bebas yang menentang taqlid dan menyerukan kembali kepada Qur'an dan Hadis. Usaha-usaha mereka ini berhasil dan besar pengaruhnya terhadap masa-masa berikutnya. Di antara fuqaha-fuqaha bebas adalah Ibnu Taimiyah (wafat
728
H)
yang
mempunyai
karya-karya
baru.
Di
antaranya
ialah
"fatwa-fatwanya" yang merupakan segi penerapan praktis hukum-hukum Islam, karena fatwa-fatwanya tersebut merupakan jawaban-jawaban terhadap peristiwa yang terjadi pada masanya. Tokoh lain ialah Ibnul Qayyim (wafat 751 H) yang menulis buku-buku hukum Islam yang sangat bernilai, seperti ”I'lam al-Muwaqi'in”.112 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diduga
111
bahwa at-Tufi hidup
segenerasi
M. Zainal Abidin, Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi Dinamisasi Hukum Islam, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum, no. 1., v. 7, 7 Juni 2007. 112Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. h. 209, Lihat pula: Anwar Ahmad Qadri, Islamic Jurisprudence in The Modern World, (Pakistan: SH. Muhammad Ashraf Kashmir Bazar Lahore, t.t.), h. 67-77.
56
57
dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Menurut suatu keterangan memang bahwa at-Tufi adalah salah seorang murid Ibnu Taimiyah.113 Al-Thufi merupakan sosok yang terkenal sebagai seorang pecinta ilmu. Selain terkenal cerdas ia juga dikenal dengan kekuatan hafalannya. Kecintaan terhadap ilmu bisa dilihat dari ketekunannya untuk belajar pelbagai disiplin ilmu pengetahuan di pelbagai tempat dan dari para alim ulama yang masyhur di zamannya. Bidang-bidang kajian yang ia tekuni di antaranya ilmu tafsir, hadis, fiqih, mantiq, sastra, teologi dan lain sebagainnya. Sedangkan tempat-tempat yang pernah disinggahi dalam pembelajarannya Sarsari, Baghdad, Damaskus, Kairo, dan tempattempat lainnya yang pada waktu itu dikenal sebagai bertempatnya ulama-ulama masyhur.114 Karya-karya tulis al-Tufi dimaksud dapat diklasifikasikan kepada lima bidang, yaitu kelompok ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Kelompok ilmu usuluddin (teologi), kelompok fiqh, kelompok usul al-fiqh dan kelompok bahasa, sastra dan lain-lain. 3. Dalil Syara’ menurut Imam Al-Thufi Menurut at-Tufi bahwa, "Sesungguhnya dalil-dalil syari'at itu terdiri dari sembilan belas macam. Setelah diadakan penelitian, semua pendapat ulama' telah tercakup di dalam macam-macam tersebut. Sembilan belas dalil tersebut adalah :
113Mustafa Zaid, Al-Maslahah, h. 72-74. 114 M. Zainal Abidin, Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi Dinamisasi Hukum Islam, (Syariah; Jurnal Ilmu Hukum, no. 1., v. 7, 7 Juni 2007), h. 94.
57
58
(1).al-Kitab, (2). as-Sunnah, (3). Ijma' al-Ummah, (4). Ijma' ahl al-Madinnah, (5). al-Qiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih al-Mursalah, (8). al-Istishab, (9). al-Bara'ah al-Asliyyah, (10). al-'Awaid, (11).Istiqra',(12). Saddu az-Zara'i, (13). Istidlal, (14). al-Istihsan, (15).al Akhzu bi al-Akhaffi (mengambil yang lebih ringan),(16). al-'Ismah, (17). ijma' ahl al-kufah, (18). Ijma' ahl al-'Itrah (keluarga Nabi), (19). Ijma' al-Khulafa' al-Rasyidin”.115 Dari sembilan belas dalil tersebut, dalil terkuat adalah nash dan ijma'. Keduanya ini terkadang selaras dan terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika selaras dengan maslahat, tidak perlu dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yakni nash, ijma' dan maslahat, yang diambil dari pengertian sabda Rasulullah saw. la dara wa la dirara. Jika antara keduanya bertentangan, yang harus didahulukan adalah penggunaan maslahat daripada nas dan ijma'. Caranya mengadakan takhsis atau tabyin terhadap pengertian nas dan ijma', bukan membekukan berlakunya salah satu dari keduanya. Sama halnya dengan penjelasan Sunnah terhadap ayat Alquran, kemudian mengamalkan pengertian Sunnah.116 Pengertian sabda Rasul tersebut ialah menetapkan maslahat dan menafikan (meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Jika dilarang oleh syari'at,
115
Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi ( Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), h.13-18. 116 Ibid, h. 23-24.
58
59
maslahat haruslah dipertahankan karena keduanya merupakan dua hal yang bertentangan bagai air dan minyak.117 Ringkasnya, nas dan ijma' itu terkadang tidak mengandung segi mudarat dan mafsadat, atau memang mengandung mudarat. Jika tidak mengandung mudarat sama sekali, berarti keduanya sama dengan maslahat. Akan tetapi jika mengandung mudarat, terkadang mudarat itu bersifat menyeluruh atau sebagian. Jika mudarat yang ada itu bersifat keseluruhan,
hal itu termasuk pengecualian dari hadis
Rasulullah saw. la darara wa la dirara, seperti yang terdapat di dalam masalah hadd, uqubat dan jinayat. Jika pengertian dararah (mudarat) hanya sebagian, jika terdapat dalil yang menguatkan, hendaknya melakukan perbuatan sesuai dengan dalil yang menguatkan tersebut. Apabila terdapat dalil khusus yang men-takhsis, wajib di-takhsis dengan pengertian hadis Rasul la darara wa la dirarah, dengan pengertian mengadakan kompromi antara dalil-dalil tersebut.118 4. Konsep Maslahah Mursalah Imam al-Thufi Dalam pandangan at-Tufi bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari kata shalah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk menulis (al-qalamu yakunu ala’ haiatihi shalihatun li al-kitabah). Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Adapun batasnya,
117
Ibid, h. 23. Ibid, h.24.
118
59
60
sesuai kebiasaan (‘urf), yakni “al-sabab al-mu’addi ila al-shalah wa al-naf’u”),119 maksudnya bahwa sesuatu maslahah berarti ia dalam keadaan baik, lengkap, berfungsi, dan berguna sesuai dengan tujuan barang itu diadakan dan tidak menimbulkan kerusakan dan kebinasaan. Dengan mempergunakan pengertian ini, maslahah kemudian didefinisikan sebagai sarana yang berdimensi sebagai kausalitas yang menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat (al-sabab almu’addi ila maqshud al-syar’i ibadatan wa adatan)120. Kemudian, al-Tufi membagi maslahat menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari' (Allah swt.), yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat (muamalah).121 Pandangan at-Tufi tentang maslahat sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan adalah berasal dari pembahasan (syarah) Hadis nomor 32 hadis Arba'in Nawawi. Hadis dimaksud adalah berbunyi
ﺿَار ِ ﺿﻻ َﺮ َر َ َﻻو َﺮ Artinya: "tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain".
119
Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi (Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), h. 25 120 Ibid., h. 25. 121 Ibid., h.25
60
61
Bahasan at-Tufi mengenai Hadis tersebut dikutip secara utuh dan lengkap yang bersumber dari bahasan Syaikh Jamaluddin al-Qasimi seorang ulama Damaskus yang telah berupaya memisahkan bahasan at-Tufi di dalam hadis tersebut, kemudian menukilkannya sebagai risalah tersendiri. Ia juga berperan sebagai pensyarah di dalam risalah tersebut. Kemudian majalah al-Manar No. IX/10, Oktober 1906 memuat risalah at-Tufi berikut syarahnya secara lengkap.122 Prof. Dr. Mustafa Zaid, guru besar pada Universitas Dar al-Ulum memilih sebuah bahasan at-Tufi dan pendapatnya tentang maslahat sebagai judul risalahnya. Referensi yang dijadikan rujukan untuk penelitian Mustafa Zaid, di samping untuk memperkuat risalah at-Tufi, ia menggunakan dua manuskrip yang tersimpan di perpustakaan at-Taimuria milik Dar al-Kutub al-Misriyah, yang memuat syarah at-Tufi mengenai hadis Arba'in Nawawi, manuskrip pertama terdaftar pada nomor 328 kelompok hadis. dan kedua terdaftar pada nomor 446 kelompok hadis. Ia juga menggunakan risalah Syaikh Jamaluddin al-Qasimi, majalah al-Manar No. IX/10, 1906. Dalam kaitan ini ia mengadakan studi komparatif dan penelitian di antara sumber-sumber tersebut mengenai risalah at-Tufi sehingga karyanya tersebut membuahkan tulisan mengenai risalah at-Tufi yang disunting secara bagus.123 Pandangan at-Tufi - tentang maslahat - nampaknya bertitik tolak pula dari konsep maqasid at-tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk
122
Al-Thufi, Syarh al-Arbain an Nawawiyah dalam Abdul Wahhab Khallaf, masadir at-Tasyri' al-Islami Fima la Nassa fih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h. 105. 123 Ibid. dan lihat juga Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalat fi Ri'ayat al-Maslahat li alImam at-Tufi (Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), h.13-47.
61
62
mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,"Dimana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."124 Karena begitu pentingnya maqasid al-syariah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqasid al-syariah sebagai salah satu kriteria (di samping kriteria lainnya) bagi mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari konsep maqasid al-syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. untuk memahami hakikat dan peranan maqasid al-syari'ah, berikut akan diuraikan secara ringkas teori tersebut. Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama usul al-fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al-syari'ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.125 Kemudian al-Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al-syari'ah itu dalam hubungannya dengan illat, asl dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: asl yang masuk kategori daruriyat (primer), al-hajat al-ammah (sekunder), makramat
124
Muhammad Sa'id Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi as-Syariah al-Islamiyah, (Beirut: Mu'assasah ar-Risalah,1977), h.12. 125 Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-Juwaini, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Ansar,1400 H),I:295.
62
63
(tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya.126 Dengan demikian pada prinsipnya al-Juwaini membagi asl atau tujuan tasyri' itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat, hajiyat dan makramat (tahsiniyah). Pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya, al-Gazali. Al-Gazali menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan al-munasabat al-maslahiyat dalam qiyas127 yang dalam pembahasannya yang lain, ia menerangkan dalam tema istislah.128 Maslahat menurut al-Gazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.129 Kelima macam maslahat di atas bagi al-Gazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier.130 Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqasid al-syari'ah sudah mulai tampak bentuknya. Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqasid al-syari'ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan Syafi'iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.131 Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas,
126
Ibid, II: h. 923-930. Al-Gazali, Syifa al-Gazalil fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil (Bagdad: Matba’ah al-Irsyad, 1971), h. 159. 128 Al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul (Kairo: al-Amiriyah, 1412), h.250. 129 Ibid h.251. 130 Ibid.h. 252. 131 Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam (Kairo: al-Istiqamat, t.t), h. 32. 127
63
64
yaitu: daruriyat, hajjiyat, dan takmilat atau tatimmat.132 Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.133 Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa Izzuddin ibn Abd al-Salam telah berusaha mengembangkan konsep maslahat yang merupakan inti pembahasan dari maqasid al-syari'ah. Pembahasan tentang maqasid al-syari'ah secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al-Muwafaqat yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqasid al-syari'ah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut.134 Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.135 Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al-Gazali, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.136 Konsep maqasid al-syari'ah atau maslahat
yang dikembangkan oleh
al-Syatibi di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad-abad 132
Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam, h. 60 dan 62. Ibid., h. 64 134 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t,) h. 72 135 Ibid., h. 73 136 Ibid., h. 80. 133
64
65
sebelumnya. Konsep maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syari'ah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh nash. Sesuai dengan pernyataan al-Gazali, al-Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan syari'ah adalah untuk mewujudkan maslahat. Meskipun begitu, pemikiran maslahat al-Syatibi ini tidak seberani gagasan at-Tufi.137 Al- Thufi membangun pemikiran tentang maslahah tersebut berdasarkan atas empat prinsip138, yaitu: 1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan (istiqlal al-‘uqul bi idrak al-mashalih wa al-mafasid). Untuk menentukan suatu kemaslahatan atau kemafsadatan cukup dengan akal. Pendirian al-Tufi bahwa akal semata, tanpa harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi fondasi pertama dalam piramida pemikirannya. Akan tetapi, al-Tufi membatasi kemandirian akal itu dalam bidang mu’amalah dan adat istiadat saja, dan ia melepaskan ketergantungan atas petunjuk nash, maslahah atau mafsadah pada kedua bidang itu. Pandangan ini bertolak belakang dengan mayoritas ulama yang menyatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan kemafsadatan itu dapat dicapai dengan akal, kemaslahatan itu harus mendapatkan justifikasi dari nash atau ijma’, baik dari bentuk, sifat maupun jenisnya139.
137
Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia (Medan: Pustaka Widyasarana, 1995), h. 34-35. 138 Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran..., h. 55. Lihat pula: Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi at-Tasyri' al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1954), h. 127-132 dan Husein Hamid Hasan, Nazariah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar an-Nahdah al-Arabiyah, 1971), h. 529. 139 Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran, h. 55.
65
66
2. Sebagai kelanjutan dari pendapatnya yang pertama di atas, al-Thufi berpendapat bahwa maslahat merupakan dalil syar’i mandiri yang kehujjahannya tergantung pada akal semata (al-maslahah dalilah syar’iyyah ‘an al-nash). Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu, untuk kehujjahan maslahah tidak diperlukan dalil pendukung karena maslahah itu didasarkan kepada pendapat akal semata. Bagi al-Tufi, untuk menyatakan sesuatu itu maslahat atas dasar adat-istiadat dan eksperimen, tanpa membutuhkan petunjuk nash140. 3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu’amalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadah (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’, seperti shalat Dzuhur empat raka’at, Puasa Ramadhan selama satu bulan, dan thawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek maslahat karena masalah-masalah tersebut merupakan hak Allah semata. Bagi al-Tufi, maslahat ditetapkan sebagai dalil syara’ hanya dalam aspek mu’amalah (hubungan sosial) dan adat istiadat. Sedangkan dalam ibadah dan muqaddarat, maslahat tidak dapat dijadikan dalil. Pada kedua bidang tersebut nash dan ijma’-lah yang dijadikan referensi harus diikuti. Perbedaan ini terjadi karena dalam pandangan al-Tufi ibadah merupakan hak prerogratif Allah, karenanya, tidak mungkin mengetahui jumlah, cara, waktu dan tempatnya kecuali atas dasar penjelasan secara resmi langsung dari Allah swt. Sedangkan lapangan mu’amalah dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan kepada manusia. Oleh karena itu, 140
Ibid., h. 56
66
67
dalam masalah ibadah, Allah lebih mengetahui, dan karena itu kita harus mengikuti nash dan ijma’ dalam bidang ini. Mengenai masalah hubungan sosial, manusialah yang lebih mengetahui kemaslahatannya. Karenanya mereka harus berpegang pada maslahah ketika kemaslahatan itu bertentangan dengan nash dan ijma’.141 4. Maslahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat. Oleh karena itu, al-Thufi menyatakan apabila nash dan ijma’ bertentangan dengan maslahah, didahulukan maslahah dengan cara pengkhususan (takhsis) dan perincian (bayan) nash tersebut. Dalam pandangan al-Thufi secara mutlak maslahat itu merupakan dalil syara’ yang terkuat, itu bukan hanya merupakan dalil ketika tidak adanya nash atau ijma’, juga hendaklah lebih diutamakan dari nash dan ijma’ ketika terjadi pertentangan antara keduanya. Pengutamaan maslahah atas nash dan ijma’ tersebut dilakukan al-Thufi dengan cara bayan dan takhsis, bukan dengan cara mengabaikan atau meninggalkan nash sama sekali, sebagaimana mendahulukan sunnah atas Al-Qur’an dengan cara bayan. Hal demikian bersumber dari sabda Nabi saw.,”tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan”. Pengutamaan dan mendahulukan atas nash ini ditempuh baik nash itu qath’i dalam sanad dan matannya atau zhanni keduanya.142
141 142
Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran., h. 57 Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran, h. 58.
67
68
Ada beberapa alasan yang dikemukakan Imam al-Thufi dalam mendukung pendapatnya, yaitu:143 a. Firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah, 2: 179:
(179 :2/بﻟََﻠﻌُﻢﱠﻜْﺗَﺘ ﱠﻘ َنُﻮ )اﻟﺒﻘﺮة ﺒ َ ِﺎ
ِﻲ ْا ﻷ صِﯿﺣ ََﺎ ةٌﺎﯾَ أُوﻟ ﻟ َﺼ ِو ﻜَﻟُﻢْﻓِﻲاﻟْﻘﺎ
Artinya: ”dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah/2: 179) b. Firman Allah swt. dalam surah al-Ma’idah, 5: 38:
ﷲ ُﱠ ﺎرِوق ُﻟﺴا َﱠﺎ َﻗر ِﺔُﺎﻓَﻄَﻗ ْﻌُﻮا َأﯾ ﯾ ْ ِﺪ َﻤﮭَُﺎﺟﺰ َا ًﺑءِﻤ َﺎ ﻛ ﺒ َﺴ ﻧَﺎَﻜﻻﺎ َِﻣﻦَﷲﱠِ َو
(38 :5/ﻋ ﯾ َِﺰﺣﺰ ٌَﻜ ٌ ِﻢﯿ )اﻟﻤﺎﺋﺪة
وَﺴﱠﻟا
Artinya: ”laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Ma’idah/5: 38). c. Firman Allah swt. dalam surah al-Nur, 24:2
(2 :24/ﺟَ ٍﺪةَ )اﻟﻨﻮر ﺟ ﺪُاوﻞ ُﻛ ﱠوَﺪاِﺣ ٍِﻨﻣُْﻤﮭَﺎ ﺋﺎَﺔﻣ ِ َ ْﻠ ِ ْﻲ ﺎ َﻓﻠ ِ ﺰﱠﻟااﻧﺔ ِ َﯿ ُ ﻟاو َﻧاﺰ ﱠ Artinya: ”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus dali dera, ...”. Menurut al-Thufi, semua ayat ini mengandung pemeliharaan kemaslahatan manusia, yaitu jiwa, harta, dan kehormatan mereka. Oleh sebab itu, tidak satupun ayat yang tidak mengandung dan membawa kemaslahatan bagi manusia. d. Sabda Rasulullah saw.
َ َوﻻ ـَُﺗﻜ ُْﻨَﺢْﻤاﻟَﺮْ ُةأ َﻋَﻠ ﻰ ,ﺿﺮﻟ ٌِﺒ ٍ َدﺎ ﻻ َو َ ِﺒﯾ َﻊُﯿْﺣ َِﺎ ,ْﺾ ﻋﻢﻰَﺑَﻠ َﻊﯿْﺑَ ِ ٍﻌ ْ ﻀُﮭ َْﻻﯾ ﯿَِﺒﻊُ ْ ﺑَﻌ (ﻄ ْﻢﺘ ُأﺣ َ ْرﻣﺎ َ ْﻢﻜ ُ )رواه اﻟﺒﺨﺎري َ ْﻚﻗ َﻌ ِ ْإ ﻜ ﱠِﻧُﻢإ ِْنْﻓ َﻠﻌَﺘُ ْﻢﻟذ ,ﻋَﻤﺘ ﱠِﮭ أَﺎَوﺧ َ ْﺎ َﻟﺘِﮭَﺎ Artinya: ”Seseorang jangan membeli barang yang telah ditawar orang lain, dan jangan pula orang kota (para pedagang) membeli barang dagangannya 143
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), h. 126-127.
68
69
dengan mendatangi para petani desa, dan jangan dinikahi seorang perempuan (sekaligus) dengan bibi (saudara kandung ayah atau ibu yang perempuan); karena apabila kamu lakukan itu, maka kamu telah memutuskan hubungan tali silaturrahmi sesama kamu”. (HR. Bukhari) Larangan-larangan Rasulullah dalam hadist ini, menurut al-Thufi, dimaksudkan untuk kemaslahatan umat. Larangan membeli barang yang sudah ditawar orang lain adalah untuk memelihara kemaslahatan penawar barang pertama; larangan mendatangi para petani ke desa untuk membeli komoditi mereka adalah untuk memelihara kemaslahatan petani desa dari kemungkinan terjadinya penipuan harga, dan larangan menikahi wanita sekaligus dengan bibinya, juga untuk memelihara kemaslahatan isteri, dan keluarga. Oleh sebab itu menurut al-Thufi, pada dasarnya baik firman Allah maupun sabda Rasulullah saw. bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Dengan demikian, keberadaan maslahah sebagai landasan hukum tidak diragukan lagi dan bisa dijadikan dalil mandiri. 144 C. Sisi Persamaan dan Perbedaan Kedua Tokoh Imam Malik r.a. dan Imam al-Thufi memiliki kesamaan dan perbedaan karakteristik, baik dari segi riwayat kehidupan, perjuangan mencari ilmu, karya-karya ilmiah, dan lain sebagainya. 1. Sisi Persamaan a. Intelektualitas Secara intelektual, Imam Malik sejak kecil telah hafal al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah saw. sebab beliau memiliki kecerdasan dan ingatann
144
Ibid., h. 128.
69
70
sangat kuat. Ia juga adalah seorang yang aktif dalam mencari ilmu, sehingga beliau banyak belajar dari ulama-ulama terkemuka ketika itu. Beliau sering mengadakan pertemuan dengan para ahli hadits dan ulama.145 Akhirnya beliau dinobatkan sebagai ulama terkemuka dalam bidang ilmu Hadis dan fiqh. Sepanjang hidupnya, Imam Malik tidak pernah keluar dari kawasan Madinah. Imam Al-Thufi pun, adalah seorang yang cinta terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami dari petualangannya belajar dalam berbagai disiplin ilmu di berbagai tempat dan dari beberapa para alim ulama yang masyhur di zamannya. Menurut Musthafa Zaid, dalam kitabnya alMaslahah, al-Thufi dikenal sebagai seorang yang sangat cerdas dan memiliki ingatan yang sangat kuat dan ketekunannya yang tinggi. b. Pengakuan akan Maslahat Mursalah Kedua tokoh ini telah menjadikan maslahah mursalah sebagai salah satu metodologi dalam melakukan penetapan suatu hukum, baik muamalah maupun adat. 2. Sisi Perbedaan Kedua Tokoh a. Tempat, dan Tahun Kelahiran Imam Malik dilahirkan di suatu tempat bernama Zulmarwah di sebelah Utara al-Madinah al-Munawwarah yang dikenal dengan markaz ulama ahl al-hadits (kaum literalis). Sedangkan Imam al-Thufi dilahirkan di
145
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab terj. Drs. Sabil Huda, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1991), h. 74.
70
71
Sarsar, nama sebuah desa di Baghdad, yaitu kawasan ahl al-ra’yi (kaum rasionalis). Tahun kelahiran Imam Malik, bagi ahli sejarah, terdapat perbedaan pendapat. Ada setengah pendapat yang mengatakan pada tahun 90, 94, 95, 97 Hijriah146 dan wafat pada tahun 180 H dalam usia 90 tahun. Adapun Imam AlThufi dilahirkan pada tahun 657 H (1259 M) dan wafat pada tahun 716 (1318 M) dalam usia 59 tahun. Perbedaan tempat dan tahun kelahiran ini, berpengaruh terhadap pola pemikiran hukum kedua tokoh tersebut. b. Situasi Sosial Politik dan Ijtihad Imam Malik dalam riwayat kehidupannya, mengalami dua corak pemerintahan, Umayyah dan Abbasiyyah di mana terjadi perselisihan hebat di antara dua pemerintahan tersebut. Beliau hidup pada masa tabi’in dan dikenal sebagai Imam Darul Hijrah. Adapun Imam al-Thufi lahir setahun setelah serbuah pasukan Mongol ke kota Baghdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan Pada 1928 M. Ketika itu situasi integritas politik dunia Islam tercabik-cabik. Sehingga negeri Islam terpecah-pecah menjadi negara kecil. Selain itu Imam al-Thufi hidup dalam masa kemunduran Islam, terutama kemunduran semangat berijtihad. Pada saat itu ulama kurang berani
146
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab terj. Drs. Sabil Huda, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1991), h. 72.
71
72
berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali hukumhukum Islam langsung dari sumber pokoknya, yaitu al-Qur’an dan AlSunnah. Kegiatan para ulama ketika itu hanya bertaklid kepada pendapatpendapat Imam terdahulu. Stagnasi hukum Islam inilah tampaknya yang banyak memberikan pengaruh pemikiran Al-Thufi, yang untuk ukuran masanya bahkan sampai sekarang terlihat sangat liberal. c. Popularitas Bagi sebagian besar umat Islam, nama Najamuddin al-Thufi masih terasa asing di telinga. Sedangkan Imam Malik r.a., namanya lebih popular dan familiar di telinga mayoritas muslim. Mungkin hal tersebut dikarenakan pengaruh yang ditimbulkan dari pemikiran-pemikiran kedua tokoh ini. Namun, di kalangan tokoh muslim dan peminat hukum Islam, ketokohan ulama asal Baghdad, Irak, ini banyak diperhitungkan. Namanya disejajarkan dengan nama besar Ibnu Taimiyyah, sang guru Al-Thufi.147 d. Dalil Syara’ Dalam berijtihad Imam Malik, mengambil dari dalil yang representatif baginya, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma Ulama Madinah, Fatwa Sahabat, Qiyas, Maslahah Mursalah
147
Najamuddin Al-Thufi; Pencetus Dalil-Dalil Umum, (Islam Digest: Republika terbit: 18 Januari 2009.
72
73
Sedangkan Imam Al-Thufi mengatakan bahwa dalil-dalil syariat baginya adalah (1).al-Kitab, (2). as-Sunnah, (3). Ijma' al-Ummah, (4). Ijma' ahl al-Madinnah, (5). al-Qiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih al-Mursalah, (8). al-Istishab, (9). al-Bara'ah al-Asliyyah, (10). al-'Awaid, (11).Istiqra',(12). Saddu az-Zara'i, (13). Istidlal, (14). al-Istihsan, (15).al Akhzu bi al-Akhaffi (mengambil yang lebih ringan),(16). al-'Ismah, (17). ijma' ahl al-kufah, (18). Ijma' ahl al-'Itrah (keluarga Nabi), (19). Ijma' al-Khulafa' al-Rasyidin”.
73
74
BAB IV APLIKASI MASLAHAH MURSALAH TERHADAP PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI E. Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Pemilihan Kepala Negara Dalam pandangan politik hukum Islam tidak semua orang yang baik dapat menjadi seorang kepala negara. Karena jabatan ini adalah posisi yang memiliki tugas dan tanggungjawab yang sangat urgen. Sehingga Al-Mawardi dalam Al-Ahkam AlSulthaniyyah, sebagaimana dikutip Cholil Nafis, menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu negara adalah wajib, baik menurut akal maupun syara’.148 Menurut akal, tidak mungkin ada suatu negara tanpa pemerintahan yang dipimpin oleh kepala negara. Sebab kalau tidak ada masyarakat akan hidup tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya kedzaliman (tazhalim) dan tidak ada pihak yang menyelesaikan perselisihan dan persengketaan (tanazu’ dan takhasum). Sedangkan menurut syara’, kepala negara diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan tapi juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk melestarikan yang sah dalam suatu negara membutuhkan proses pemilihan dan suksesi.149
148
HM. Cholis Nafis, Fiqh Politik, ed., Fiqh Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas, (Jakarta: FKKU, 2003), h. 138. 149 Ibid., h. 138.
74
75
Ada banyak cara yang dapat dilakukan dalam proses penggantian kepemimpinan. Pada zaman primitif proses perebutan kekuasaan ditempuh dengan cara perang fisik dan adu kekuatan otot, sehingga untuk merebut kekuasaan harus jago perang dan pandai bertempur. Namun pada era modern memilih metode pemilihan umum sebagai alternatif yang paling rasional dan aman dalam perebutan kekuasaan. Dalam politik Islam, pemilihan kepala negara menggunakan beberapa metode yang harus diterapkan. Paling tidak Ada tiga tahap yang harus dilalui dalam pemilihan kepala negara atau khalifah.150 Pertama, tahap pencalonan kepala negara. Sehubungan dengan ini, kepala negara atau khalifah terdahulu atau salah satu dari ahlu al-ra’yi mencalonkan seorang Imam yang layak menduduki jabatan ini. Misalnya pencalonan Abu Bakar kepada Umar atau Abu Ubaidah di dalam peristiwa Saqifah. Kedua, tahap pemilihan dan penerimaan calon. Pada tahap ini, jika calon yang diajukan lebih dari satu, anggota majelis syura’ memilih seorang saja dari mereka. Atau menyetujui saja pencalonan tersebut jika calonnya hanya satu. Misalnya, kesepakatan kaum muslimin terhadap pencalonan Abu Bakar setelah keputusan Abu Bakar dibacakan dan pemilihan, Abdurrahman bin ’Auf kepada Usman bin Affan yang disusul dengan persetujuan seluruh kaum muslimin.
150
Sa’id Harra, Al-Islam; Sistem Bermasyarakat dan Bernegara, Jakarta: Al-Islahy Press,tth.,h. 137-145.., h. 170-172.
75
76
Ketiga, tahap pembaiatan. Marhalah ini sebenarnya merupakan realisasi dan pembuktian dari tahap pemilihan. Karena itu tahap ini menyatu dengan tahap pemilihan. Sementara syarat-syarat menjadi imam (pemimpin), menurut al-Mawardi, ada tujuh. Pertama, mampu bersikap adil. Kedua, mampu melakukan ijtihad dalam menyikapi peristiwa-peristiwa yang muncul. Ketiga, tidak cacat panca indra. Keempat, tidak cacat fisik yang menyebabkan tidak bisa bergerak dan tidak cepat berdiri. Kelima, mampu mengatur rakyat dan kebaikan-kebaikan. Keenam, memiliki jiwa pemberani. Dan ketujuh, memiliki jalur keturunan dari suku Quraisy. F. Presiden Wanita Dalam Perspektif Fiqh Siyasah Dalam Islam kepala negara adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum syara’. Islam menjadikan pemerintahan atau kekuasaan tersebut sebagai milik umat. Dalam teori manajemen
modern,
seorang
pemimpin
adalah
orang
yang
mampu
mengorganisasikan semua elemen yang terdapat dalam lingkup manajemen. Di sana ada manusia, aset, pasar, dan unsur-unsur pendukung lainnya. Seorang pemimpin negara yang berhasil adalah pemimpin yang mampu menggunakan elemen-elemen di atas secara efektif.151 ’Aisyah r.a. istri Rasulullah saw. adalah salah satu pemimpin wanita yang dikenal dalam Islam. Sebab dia pernah memimpin pasukan pada sebuah peperangan yang dikenal dengan perang Jamal. Ketika itu ’Aisyah memutuskan berangkat ke 151
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan, h. 201.
76
77
Basrah dari Madinah, memimpin pasukan tentara yang di dalamnya terdapat kaum laki-laki. Di antara laki-laki tersebut adalah generasi Sahahat Rasulullah, bahkan dua di antaranya termasuk dalam daftar sepuluh orang yang dijamin masuk surga, mereka adalah Thalhah dan Zubair152. Taatkala Amar bin Yasir berusaha menentang keberangkatan Aisyah, karena kekhawatiran muncul fitnah besar, tampak disini perbedaan persepsi antara kedua kelompok generasi awal Islam mengenai kepemimpinan wanita. Untuk menghalau kepergian Aisyah ke medan Perang, Ummu Salamah pun mengirim surat kepada Aisyah berisi nasehat agar ia tidak keluar dalam kekacauan situasi waktu itu. Jawaban Aisyah yang ia kirim lewat surat balasan adalah, ”Tak ada celanya aku tinggal di rumah, tetapi yang aku lakukan ini adalah untuk kebaikan manusia.”153 Abu Bakrah tampak berbeda pendapat secara tajam dengan kelompok ’Aisyah, kendati pun ia tidak berpihak kepada Khalifah Ali r.a. Ia berkata,
ﷲﻋْﻠﮫ ََﯿِﺳ َوﻢﻠَ ﱠن ﱠ َأ ُ ﻰ ﺻﱠ َ ﻟَﻤ َﺑﺎ َﻠ َﻎﻟﻨ ﱠاﻲﱡِﺒ ﻠ ﺢ ﻗَ ٌمﻮ ْوَﻟا ْﱠﻮ أ َﺮﻣْﻢ َُھ اْﺮِﻣََةأً )رواه ْ ِْﻦﻟﯾ ﻠُﻔ
,َ ﷲُﻜﺑ َِﻠﺔ ِ َﻤ ٍأـﱠﺎَﯾ ام َﺠَﻟ ْﻞِﻤ ِ َﻘﻧَﺪ ْﻌ َﻔﻲﻨ :ىﻗلَﺎ ْ َﺴﺮ ِ َﺮﻓﺳً َﺎﻣَﻠ َﻜ اُ ْﻮ ﺑْا َﺔﻨ َ ﻛ
َﻟ (اﻟﺒﺨﺎري
Artinya: ”Sungguh Allah telah memberikan pelajaran yang bermanfaat bagiku dari satu kalimat yang muncul pada perang Jamal, yaitu ketika sampai berita kepada Rasullah saw. bahwa orang persia mengangkat putri Kisra sebagai raja, maka Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak akan pernah berhasil suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita” (HR. Bukhari)154
152
Cahyadi Takariawan, Fiqih Politik Perempuan, (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 102. Ibid., 102. 154 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Maktabah al-Syamilah 153
77
78
Abu Bakrah tampaknya cenderung memahami larangan dalam Hadis ini secara kontekstual, yaitu segala bentuk kepemimpinan wanita atas laki-laki. Akan tetapi ijtihad ’Aisyah r.a. memimpin pasukan tersebut menunjukkan pemahaman yang berbeda dengan apa yang dipahami Abu Bakrah.155 Perbedaan pendapat antara Aisyah r.a. dan Abu Bakrah, menurut penulis, akhirnya menjadi warisan kontroversial dalam kancah pemikiran politik Islam, bahkan menjadi asal muasal terjadinya ikhtlaf diantara para ulama tentang status kepemimpinan perempuan sebagai kepala negara, sehingga paradigma ini oleh para ulama digolongkan kepada wilayah khilafiah. Ada pendapat yang melarang dan ada pula pendapat yang membolehkannya. a. Pendapat Yang Tidak Memungkinkan Wanita Menjadi Presiden Pendapat pertama ini diprakarsai oleh jumhur ulama dan Syi’ah Zaidiyyah156. Mereka melihat bahwa kepemimpinan suatu negara hanya terbatas untuk kaum lelaki tanpa wanita, karena lelaki dianggap mempunyai kelebihan dalam mengatur, kelebihan berpendapat, dan kelebihan kekuatan jiwa, dan tabiatnya. Adapun
wanita
kebanyakan
lemah
lembut.
Selama
lelaki
memiliki
hak
kepemimpinan terhadap wanita, wanita tidak dapat memiliki kekuasaan umum yang menjadikannya sebagai pemegang kekuasaan, dan juga tidak boleh berpartisipasi dengan kaum lelaki dalam memegang kekuasaan. Menurut pendapat kelompok ini, nash al-Qur’an al-Karim itu sangat jelas menerangkan bahwa kepemimpinan adalah 155 156
Ibid., h. 103. Huzaemah Tahido, Muhadharat fi al-fiqh al-Muqarin, (Jakarta: t.p., 1997), juz II, h.
69.
78
79
milik kaum lelaki tanpa wanita. Mereka melihatnya sebagai hujjah yang harus tetap ditegakkan.157 Pendapat-pendapat yang melarang perempuan tampil menjadi presiden atau jabatan publik, bertumpu pada landasan-landasan dan hujjah-hujjah sebagai berikut: i.
al-Qur’an al-Karim Al-Qur’an yang dijadikan dasar bagi supremasi pria atas wanita antara lain dalam surat: 1). Surat Al-Nisa’ ayat 34:
ﺾو ٍَﺑَِﺂﻤأﻧﻔ َ ﻘُﻮا ْ ﻀْﮭﻋُﻢ ْﻰَﻠَﻌ َﺑ ﻞ َﺑَ ُ َﻌ ﷲ ﻀﱠ َﻋ ََﻰﻟا َﺴﻨ ﱢﺂء ﺑ َِﺎِﻤ ﻓ اﺟ ﱢﻟﺮَﺎ لﻗَُﻮ ﱠُاﻣ َنﻮ ﻠ
(34/4/…)اﻟﻨﺴﺎء. ِ ﻦْﻣ ِأ َﻮﻣْ ﻟَِا ْﻢﮭ
Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...” Kalimat
ﻗَﻮ ﱠاﻣُﻮ َن
dalam ayat tersebut di atas menyatakan bahwa pria adalah
pemimpin bagi perempuan. Kata
ﻗَﻮ ﱠاﻣُﻮ َن
inilah yang memiliki interpretasi berbeda di
kalangan mufassirin,158 apakah boleh diterjemahkan dengan “Mitra Sejajar”, sehingga pria adalah mitra sejajar bagi kaum perempuan, kalau tidak boleh diartikan demikian, memang terkesan Islam memandang pria lebih tinggi dari wanita.
157
Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, terj. Bahruddin Fannani (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), h. 106. Lihat pula: Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 1978), h. 72. Perlu dicatat di sini bahwa al-Mawardi tidak menunjukkan kompetensi wanita untuk memegang kekuasaan kecuali kekuasaan yang khusus berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. 158 Lihat Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.), h. 45.
79
80
Mufassir Rasyid Ridha, dalam tafsir “Al-Manar” mengartikan kata ss
ﻗَﻮ ﱠاﻣُﻮ َن
sebagai pemimpin, tetapi cara yang ditempuh bukanlah pemaksaan tapi
bimbingan dan penjagaan. Selanjutnya ia mengemukakan kelebihan pria atas wanita, karena ada dua sebab, fitri dan kasbi.159 Sebab fitri (bawaan) sudah ada sejak penciptaan. Menurutnya, perempuan sejak penciptaannya diberi fitrah untuk mengandung (al-hamalah), melahirkan (al-wiladah), dan mendidik anak (tarbiyah alathfal). Sedangkan pria semenjak penciptaan sudah diberikan kelebihan kekuatan (alquwwah) dan kemampuan (al-qudrah), menurutnya akibat kesempurnaan pria itu tentu akan berdampak kelebihan kasbi yaitu pria telah mampu berinovasi dan berusaha di segala bidang.160 Dari pendapat mufassir di atas dapat disimpulkan bahwa
ﻗَﻮ ﻣُﱠا َنو
hanya
ada pada kaum pria maka berarti prialah penanggung jawab, pendidik, pengatur, penguasa, dan lain-lain yang semakna atas isteri atau wanita dalam rumah tangga. Dan isteri atau wanita pihak yang dikuasai, yang dipimpin pria mempunyai superioritas dan wanita inferioritas. Sebab laki-laki diciptakan Allah swt. sebagai pemimpin bagi urusan wanita, penjaga atas kehormatannya, dan pemenuh kebutuhan nafkah ruhiyah serta badaniah.161 2). Surat Al-Baqarah ayat 228:
(228 :2/ )اﻟﺒﻘﺮة... ٌﺟﻋ ِل َﻠﮭ َْﯿﻦﱠِرد ََﺔَﺟ َ ﻠﺮِﻟ ﺎﱢ
َ و...
Artinya: ”...akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya...” 159 160
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr,1973), v. 7, h. 69-70. Ibid., h. 71. 161 Huzaemah Tahido, Muhadharat fi al-fiqh al-Muqarin, h. 69.
80
81
Allah swt. menyatakan kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain yakni karena pria lebih utama dari wanita, dan pria lebih baik dari wanita. Karena itulah kenabian hanya dikhususkan bagi laki-laki, begitu juga kekuasaan yang tertinggi berdasarkan sabda Nabi. Demikian pula halnya dengan posisi hakim, kepala negara, dan lain-lain. ii.
Hadist Selain itu terdapat Hadis yang menguatkan larangan wanita menjadi presiden:
ْ ﻟ َﻘ َﺪ:ﻲﺑ ِﺑَﻜﺮَ ْةﻗلَﺎ ْ ْ َ ﻦﻋَأ ) ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎن ﺑﻦ اﻟﮭﯿﺜﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻮف ﻋﻦ اﻟﻠﺤﺴﻦ ﺳﺎ ً ﷲ َﻋﻠ َﯿْ ِﮫ وَ َﺳﻠ ﱠ ﻢَ أ َن ﱠ ﻓ َ َﺮ ُﺻﻠ ﱠ ﻰ َ ﻟ َ ﻤَ ﺎَﺑﻠ َﻎ َ ﻟﻨاﱠ ﺒِ ﱡﻲ, ِﷲ ﺑِﻜ َ ِﻠﻤَ ٍﺔ أ َﯾ ـﱠ مَﺎ ﻟا ْ َﺠ ﻤَ ﻞ ُ َﻧ َﻔ َ َﻌ ِﻨﻲ 162 (ﺢ ﻗَ ٌمﻮ ْوَﻟا ْﱠﻮأ َﺮﻣْﻢ َُھ اْﺮِﻣََةأً )رواه اﻟﺒﺨﺎري ْ ِْﻦ ﯾ ﻠُﻔ ﻟ:ىَ َلﺎ ﻣَﻠ َﻜ ُ ْﻮ اﺑْاﻨ َﺔ َ ِﻛﺴْ َﺮ ﻗ Artinya: ”Menceritakan kepada Usman bin Husaem dan Auf dari Hasan dari Abi Bakrah, beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah telah memberikan manfa’at kepada saya dengan suatu kalimat pada waktu perang jamal, (bahwa Nabi Muhammad saw. telah bersabda) ketika ada berita sampai kepada Nabi Muhammad saw. bahwa bangsa persia telah mengangkat anak perempuan rajanya untuk menjadi penguasa, maka Nabi Muhammad saw. bersabda”Sesuatu kaum tidak akan mendapatkan kemenangan kalau mereka menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”(HR. Al-Bukhari).
Lafaz Hadis diatas menunjukkan umum, lafadz ”qaumun” yang digarisbawahi mencakup setiap kaum, dan lafaz ”imro’ah” (wanita) itu mencakup
162
Shahih Bukhari, Kitab Maghazi, Bab Kitab al-Nabi saw. Ila Qisra wa Qasyhar, juz 7, Hadis 4425, h. 732.
81
82
setiap wanita. Maka setiap kaum atau kaum manapun yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita, maka mereka tidak beruntung. Hadis tersebut menunjukkan bahwa wanita tidak diperbolehkan memegang jabatan publik apapun termasuk di dalamnya jabatan presiden, karena akan berakibat pada ketidaksejahteraan dan ketidakberhasilan. Dipimpin wanita adalah mudarat, sedangkan mudarat itu harus dihindari. Di samping itu, hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna); dalalah Hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar dilihat dari sighatnya - Hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk kalimatnya).163 Latar belakang turunnya Hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (’aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni qaumun. Selain itu, tidak ada satupun riwayat 163
Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, h. 120.
82
83
yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish (Lafadz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya). Sedangkan latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi al-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab).164 iii.
Qiyas Dengan berpijak pada qiyas, pendukung pendapat ini mencatat adanya perbedaan antara pria dan wanita, yang dapat dijadikan patokan pengqiyasan. Contoh-contoh perbedaan tersebut adalah sebagai berikut: a. Perempuan tidak diperbolehkan mengimami khalayak umum dalam shalat lima waktu, shalat jum’at, dan shalat ‘ied. b. Perempuan tidak memiliki hak cerai menurut ketetapan syari’at, berbeda dengan pria. 164
Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dan Tayyib Tizini, Finding Islam: Dialog Tradisionalisme-Liberalisme Islam, terj. Ahmad Mulyadi dan Zuhairi Misrawi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 127.
83
84
c. Perempuan tidak diperbolehkan berpegian sendiri tanpa didampingi muhrim atau teman sesama jenis yang dapat dipercaya. d. Perempuan
tidak
diwajibkan
melaksanakan
shalat
Jum’at
berjama’ah,
sebagaimana tersebut di dalam Hadis. e. Perempuan tidak diperbolehkan menjadi qadhi; Al-Mawardi menerangkan bahwa jumhur berpendapat bahwa: qadhi tidak boleh perempuan, Imam Abu Hanifah membolehkan seorang perempuan menjadi qadhi, dalam masalah kesaksiannya diterima, tidak boleh perempuan menjadi qadhi bagi kesaksiannya yang tidak diterima.165 b. Pendapat Yang Membolehkan Wanita Menjadi Presiden Para ulama yang berpendapat bahwa wanita boleh menjadi presiden dibangun atas dasar-dasar hujjah sebagai berikut: i.
Al-Qur’an Pendapat ulama kontemporer yang membolehkan wanita menjadi presiden, melihat surat al-Nisa’ ayat 34 ditafsirkan bahwa kata
َ ﻟاﺮلﱢﺟﺎ َ ُ ﱠﻮﻗَاﻣ َنُﻮﻋَﻠ ﻰ ﺴ ِ َءﺂ ﻨﻟا ﱢ
ﻗَﻮ ﻣُﱠا َنو
dalam ayat
oooooooooooooooooooolllllobukan berarti pria secara umum, tetapi suami karena konsideran perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk isteri-isteri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata lelaki adalah kaum pria secara umum, tentu konsiderannya
165
Abu Hasan Ali Mawardi, Abu al-Hasan al-, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 1978.
84
85
tidak demikian. Terlebih lagi ayat tersebut secara jelas membicarakan para isteri dan kehidupan keluarga.166 Ayat 34 surat al-Nisa’ tersebut diatas tidak tepat dijadikan alasan untuk menolak wanita menjadi pemimpin di dalam masyarakat atau presiden. Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar167 bahwa tidak memutlakkan kepemimpinan pria terhadap wanita, karena ayat tersebut tidak menggunakan tetapi menggunakan kata Selain itu jalinan antara lelaki dan wanita di dalam masalah-masalah umum merupakan jalinan hubungan ’kekuasaan’. Penyebutan kelebihan derajat dan kepemimpinan di dalam Al-Qur’an tidak lain hanyalah dalam konteks pembicaraan tentang kehidupan suami istri yang seharusnya dikaitkan dengan satu persoalan ini saja.168 ii.
Al-Sunnah Hadis Abu Bakrah “lan yufliha qaumun wallau amruhum imra’atan” tersebut diatas, menurut kelompok ini tidak bisa dijadikan hukum mengharamkan perempuan menjadi presiden, sebab Hadist tersebut mempunyai asbabul wurudnya. Hibbah Rauf Izzat mengomentari bahwa sesungguhnya Hadis tersebut harus dipahami dan dirujukkan kepada sejarah tentang Persia dan Kisra, yaitu orang-
166
Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, h. 106. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif (Jakarta:Paramadina, 1999), h. 150-151. 168 Hibbah, Wanita dan Politik ..., h. 107. 167
85
Al-Qur’an,
86
orang Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja mereka169. Ibn Hajar al-Asqalani sebagaimana dikutip oleh Hibbah, di dalam syarah Shahih alBukhari, menyebutkan bahwa Hadis ini merupakan bagian terakhir dari kisah Kisra yang merobek-robek surat Nabi saw.. Kemudian Kisra menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya dan anaknya membunuhnya, kemudian anak itu membunuh saudarasaudaranya. Dan ketika anak ini meninggal dunia karena diracun, sampailah kekuasaan ke tangan anak wanitanya yang bernama Bavaran binti Syirawiyah bin Kisra. Maka hilang dan hancurlah kerajaan mereka, sebagaimana yang didoakan Nabi saw.170 Pada zaman Nabi Muhammad saw., Siti Aisyah (istri Nabi) saja pernah menjadi pemimpin perang. Sekitar abad ke-13 dan ke-17, ada sekitar lima belas penguasa perempuan yang menguasai tahta di berbagai wilayah muslim. Di antara para penguasa Mamluk yang berasal dari Turki, terdapat dua pemegang mahkota kerajaan, yaitu Sultanah Radhiyah dan Sulthanah Syajarat al-Durr juga terdapat enam ratu dari lingkungan penguasa dinasti Abbasiyyah. G. Presiden Wanita Perspektif Imam Malik dan Imam Al-Thufi a. Pandangan Imam Malik tentang presiden Wanita Telah dijelaskan di atas bahwa telah terjadi perbedaan pendapat antar para ulama, cendikiawan Islam tentang status presiden wanita perspektif Islam. Diantara pendapat tersebut ada yang dinilai ekstrim melecehkan norma dan rambu-rambu 169
Hibbah, Wanita dan Politik ..., h. 108. Ibid., 209. Lihat pula: Ahmad Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih alBukhari, (Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turast, t.th.) juz. 7., h. 735. 170
86
87
ilahiyyah, pihak lainnya eksterim dalam kekakuan mereka terhadap pemahaman nilainilai ajaran Islam171. Dalam kasus presiden wanita, Imam Malik r.a. yang dikenal sangat berhatihati sekali memutuskan suatu perkara, sediakalanya seperti ulama jumhur yang lainnya berpendapat bahwa bahwa tidak boleh wanita menjadi hakim atau top leader172, hal itu berdasarkan al-Nisa’ ayat 34:
ﺾو ٍَﺑَِﺂﻤأﻧﻔ َ ﻘُﻮا ْ ﻀْﮭﻋُﻢ ْﻰَﻠَﻌ َﺑ ﷲ َﺑَ ُ َﻌ ﻋ ََﻰﻟا َﺴﻨ ﱢﺂء ﺑ َِﺎِﻤ ﻓَﻀﱠﻞ اﺟ ﱢﻟﺮ َﺎ لﻗَُﻮ ﱠُاﻣ َنﻮ ﻠ
(34/4/…)اﻟﻨﺴﺎء. ِ ﻦْﻣ ِأ َﻮﻣْ ﻟَِا ْﻢﮭ
Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...” Dan Hadist Abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’i, dan Turmudzi, bahwa Rasulullah saw.
ﻟ َﺪ َْﻘ:ﻲﺑ ِﺑَﻜﺮَ ْةﻗلَﺎ ْ ْ َ ﻦﻋَأ ) ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎن ﺑﻦ اﻟﮭﯿﺜﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻮف ﻋﻦ اﻟﻠﺤﺴﻦ ﷲُﱠﻠ ﻠَﻋ َﯿِْﮫو َﻠﺳ َﱠﻢأ َ ﻓن ﱠﺳَﺮًﺎ َ ﺻِﻲ ﱡﻰ ﻟ ﺎَﻤﺑَﻠﻎَ ﱠاﻨﻟﺒ ,َ ﷲُﻜﺑ َِﻠﺔ ِ َﻤ ٍأـﱠﺎَﯾ ام َﺠَﻟ ْﻞِﻤ ِ َﻧﻌ َﻔﻲﻨ (ﺢﻗ َ ٌمﻮ ْ ﻟ َوﻮْﱠاﻣ َأْﺮ َﻢھُ ِاْ َﺮﻣ ْ َةأً )رواه اﻟﺒﺨﺎري ِ ﻦ ْ ﻔ ُﯾْﻠ ﻟ :ىﻗلَﺎ ْ َﺴﺮ ِ ﻣَﻠَﻜ اُ ْﻮ ﺑْا َﺔﻨ َ ﻛ Dari nash al-Qur’an surat al-Nisa ayat 34 tersebut, jumhur ulama beragrumentasi bahwa Allah swt. telah menjadikan laki-laki pemimpin bagi kaum wanita. Baik dalam urusan atau perkara wanita, pemberitan nafkah lahiriah dan bathiniah serta juga segala kerhormatannya. Dan sebaliknya seandainya wanita
171 172
Cahyadi Takariawan, Fiqih Politik Perempuan, (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 53. Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,
2001), h. 75.
87
88
menjadi kepala negara atau hakim maka yang akan terjadi adalah timbulnya banyak masalah.173 Selain itu pula larangan terhadap kepemimpinan wanita dalam negara dikuatkan dengan Hadis Rasulullah dari Abi Bakrah. Hadis ini berbentuk khabar (berita) kepada para sahabat dimana kepemimpinan wanita diatas lelaki akan berimplikasi kepada kerugian, kehancuran, dan ketidakbahagiaan. Menurut Huzaemah Tahido, inilah peringatan yang keras, tidak akan terjadi peringatan ini kecuali disebabkan suatu perkara yang sangat urgen174. Dalam pandangan maslahat mursalah Imam Malik, mengangkat presiden dari golongan wanita dikategorikan maslahat yang mulgah, yaitu maslahat yang telah dibatalkan oleh nash al-Qur’an yaitu dalam surat al-Nisaa’ ayat 34 dan Hadis Abu Bakrah yang berkualitas shahih. Selain itu terdapat ijma’ sahabat yang menyatakan bahwa wanita tidak diperbolehkan memegang tampuk kekuasaan sebagai al-imamah al-kubra.175 b. Pandangan Imam al-Thufi tentang Presiden Wanita Banyak sekali pendapat para ulama yang melarang wanita untuk menjadi pemimpin atau presiden suatu negara. Alasan yang diutarakan seperti yang telah dijelaskan diatas adalah terdapat dukungan nash yang kuat dalam larangan presiden wanita; baik nash al-Qur’an maupun Hadis. Diantaranya adalah:
173
Huzaemah Tahido, Muhadharat fi al-fiqh al-Muqarin, h. 69 Ibid., h. 69. 175 Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 243. 174
88
89
ﺾو ٍَﺑَِﺂﻤأﻧﻔ َ ﻘُﻮا ْ ﻀْﮭﻋُﻢ ْﻰَﻠَﻌ َﺑ ﷲ َﺑَ ُ َﻌ ﻋ ََﻰﻟا َﺴﻨ ﱢﺂء ﺑ َِﺎِﻤ ﻓَﻀﱠﻞ َن ﻠ
اﻟﺮﺟَ ﱢﺎ ﻗل َُﻮ ﱠاﻣُﻮ (34/4/…)اﻟﻨﺴﺎء. ِ ﻦْﻣ ِأ َﻮﻣْ ﻟَِا ْﻢﮭ
Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...” Dan Hadist Rasulullah saw.
(228 :2/ )اﻟﺒﻘﺮة... ٌﺟﻋ ِل َﻠﮭ َْﯿﻦﱠِرد ََﺔَﺟ َ و َﻠﺮِﻟ ﺎﱢ
...
Artinya: ”...akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya...” Dari ayat-ayat yang penulis garis bawahi, mayoritas ulama melarang wanita menjadi presiden, karena Allah swt. telah menentukan bahwa lelaki adalah pemimpin wanita dan pada ayat kedua pula dinyatakan bahwa lelaki mempunyai satu tingkatan derajat kelebihan daripada wanita. Selain itu terdapat Hadist shahih yang melarang wanita untuk menjadi pemimpin negara (Lan yufliha wallu Amrahum Imroatan).176 Mengenai Hadis Abu Bakrah di atas, dari segi metodologi kritik Hadis, ia adalah sahih. Pertanyaan yang harus dijawab ialah bagaimana Imam al-Thufi memahami ayat dan Hadis ini. Terdapat satu pendapat bahwa Hadis-Hadis dapat dikategorikan sebagai termasuk umurud dunya dan keuniversalannya tidak didukung oleh kenyataan harus ditafsirkan menurut semangatnya dan dalam konteks sosio-historisnya. Kalau tidak ia akan menjadi kering, memosil dan tidak bermakna. Untuk itu jika preseden-preseden
176
Imâm Bukhari menerima Hadis tersebut dari Usman bin Hasyim dari Auf dari Hasan al-Bisri dari Abu Bakrah, Matn al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, (Bandung: Syirkah al-Ma'arif, t.t.), III: 90-91.
89
90
historis terutama dari kebijaksanaan-kebijaksanaan177. Umar r.a. seperti mengenai masalah kharaj di mana ia mengubah praktek Rasulullah yang memberikan tanah-tanah kepada para prajurit yang mendapatkannya yang kemudian oleh Umar, r.a. praktek itu dirubah di mana tanah-tanah tidak ia berikan kepada prajurit.178 Umar r.a. tidak memahami Hadis-Hadis Rasulullah dalam arti harfiyahnya melainkan dalam semangatnya. Dengan kalimat yang lebih teknis, Hadis-Hadis itu harus dipahami menurut illatnya, sekalipun illat-illat itu harus dicari melalui ijtihad (artinya tidak dinaskan). Hadis-Hadis semacam ini cukup banyak terutama dalam masalah kemasyarakatan dan politik (mu'amalah), seperti Hadis al-Aimmah min Quraisy yang oleh Ibn Khaldun dipahami melalui teori sejarahnya yang terkenal itu, yaitu teori asabiyah. Secara singkat menurut Ibn Khaldun Nabi menyerahkan Imamah kepada kaum Quraisy karena pada waktu itu hanya merekalah yang memiliki asabiyah yang diperlukan bagi kelangsungan sebuah tata politik. Teori Ibn Khaldun ini dapat diperluas lagi dengan menyatakan : karena orang-orang Quraisylah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang masalah-masalah politik dan ekonomi waktu itu wajarlah Rasul menyerahkan Imamah kepada mereka.179
177
Nasikun, “Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan”, Makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember 1988, h.8 178Abu Yusuf, al-Kharaj, (Beirut: Dar al-Ma'arifah,1979), hlm. 26 dts. 179Syamsul Anwar, "Imâmah Wanita dalam Pandangan Ulama Fiqh Siasah", Makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember 1988, hlm.6.
90
91
Hadist Abu Bakrah di atas pun kiranya dapat ditafsirkan dengan cara yang sama. Secara historis pada zaman Rasulullah wanita tidak begitu beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita. Walapun beliau telah banyak berhasil, suatu struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan melembaga tidak dapat dirubah total seratus persen dalam waktu singkat, seperti lembaga perbudakan misalnya. Bahkan sampai beberapa abad kemudian posisi kaum wanita belum begitu menguntungkan. Mereka dikurung di rumah dengan sangat ketat. Apabila seorang lelaki hendak meninggalkannya, ia mengutus seorang wanita pemantau untuk melihat dan menyelidiki kelayakannya, sedangkan si lelaki itu tidak akan pernah dapat melihatnya sebelum akad nikah. Wanita-wanita itu hanya dapat dipandang oleh mata keluarga mereka.180 Dari segi pendidikan mereka juga kurang beruntung. Kaum lelaki malah lebih tertarik untuk mendidik dan mengajar budak karena faktor komersial, sebab budak yang terampil terutama pandai tulis baca akan mahal harganya. Hanya kalangan amat terbatas saja yang mendidik wanita.181 Pendek kata wanita tidak keluar dari tembok-tembok rumah suami atau orang tuanya. Artinya mereka tidak tahu menahu mengenai urusan masyarakat. Jadi dengan demikian wajarlah Rasulullah menyatakan bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kepada orang
180
Ibid., h. 7. Amin, Duha al-Islam, (Kairo:Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, t.t.), I:98.
181Ahmad
91
92
yang tidak banyak memahami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami kegagalan182. Akan tetapi sekarang situasi telah jauh berubah dan wanita telah banyak yang pandai dan terlibat secara inten dalam berbagai lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah tahu seluk beluk masalah. Karena menurut teori hukum Islam, hukum itu berlaku menurut ada-tidaknya illatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa tidak melanggar hukum Islam, wanita yang karena kecakapannya menjadi kepala pemerintahan, karena illat mengapa Rasulullah dulu melarang telah hilang.183 Dengan mempergunakan pandangan at-Thufi nampak Hadis yang tidak memperbolehkan wanita menjadi pemimpin negara tersebut bersifat kondisional, artinya larangan Nabi dalam Hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan sekitarnya, sehingga bila adat berubah, illat larangan hilang; syarat-syarat yang ditunjuk dalam nas terpenuhi dan situasi tertentu memungkinkan, larangan tersebut dapat berubah menjadi sesuatu yang dibolehkan.184 H. Persamaan dan perbedaan Kedua Pendapat 1. Persamaan Pendapat Antara Imam Malik dan Imam Al-Thufi Dari uraian pandangan kedua tokoh di atas, terdapat beberapa sisi persamaan yang perlu dicermati dan cukup menarik untuk dikaji, yakni sebagai berikut:
182
Syamsul Anwar, Imâmah, h.7 h.7 184Nasikun, Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan, Makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember 1988, h.8 183Ibid.,
92
93
a. Kedua tokoh fiqh ini, mengakui keberadaan maslahat atau kepentingan umum yang secara eksplisit maupun implisit dalam nash al-Qur’an dan al-Hadis. b. Pandangan maslahat bertitik tolak pula dari konsep maqasid at-tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. c. Pengambilan maslahah tersebut bertujuan untuk mengambil manfaat (jalbu manfa’ah) dan mencegah madharat (daf’u madharrah). d. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu’amalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadah (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’. 2. Perbedaan Pendapat Antara Kedua Tokoh i.
Batasan Penggunaan Dalil Maslahat Menurut Imam Malik, Pengambilan suatu maslahat orang banyak yang secara eksplisit tidak tercantum dalam nash Al-Qur’an maupun al-Sunnah menjadi hukum, harus sesuai dengan ruh tasyri’ yaitu sesuai nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Apabila terjadi pertentangan, maka wajib mendahulukan nash dibandingkan maslahat. Sedangkan menurut al-Thufi, bahwa apabila terjadi pertentangan antara nash al-Qur’an dan al-Sunnah, maka maslahat boleh didahulukan dibandingkan nash. Namun hal itu dapat dilakukan dengan cara bayan atau takhsis. Pandangan at-Tufi tentang maslahat sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan adalah berasal dari pembahasan (syarah) Hadis nomor 32 Hadis Arba'in Nawawi. 93
94
Hadis dimaksud adalah berbunyi "la darara wa la dirara" artinya "tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain". ii.
Eksistensi Maslahat Imam Malik menekankan bahwa pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan yaitu dengan menggunakan rasio, tidak boleh kontrakdiktif dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash dan ijma’. Beda halnya Imam Al-Thufi berpendapat bahwa Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan (istiqlal al-‘uqul bi idrak almashalih wa al-mafasid).
iii.
Hadis Abu Bakrah ” Lan yufliha wallu Amrahum Imroatan” Hadis di atas oleh tiga kalangan imam madzhab yaitu Imam Malik, Imam Syafi’ie dan Ahmad, menjadi dasar hukum yang tidak memungkinkan wanita menjadi hakim ataupun yang lebih tinggi lagi derajatnya yakni kepala negara. Adapun at-Thufi menilai bahwa Hadis tersebut bersifat kondisional, artinya larangan Nabi dalam Hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan sekitarnya, sehingga bila adat berubah, illat larangan hilang; syarat-syarat yang ditunjuk dalam nas terpenuhi dan situasi tertentu memungkinkan, larangan tersebut dapat berubah menjadi sesuatu yang dibolehkan.185
3. Pandangan Penulis
185Nasikun,
Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan, Makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember 1988, h.8
94
95
Pada hakikatnya umat manusia itu, ditinjau dari hakikat penciptaan, tidak ada perbedaan satu sama lain. Mereka semuanya sama, yakni sama-sama keturunan Nabi Adam a.s. Disamping itu, umat manusia seluruhnya, tanpa memandang latar belakang etnis, ras, bahasa, gender, dan lain-lain, termasuk agama dan keyakinannya, adalah khalifah-khalifah Allah swt. di muka bumi ini. Firman Allah swt.:
(٦٢:27/ )اﻟﻨﻤﻞ...ْض ﻷ َ ِر وَﯾﺠْ َﻌﻠُ َﻜُﻢﺧُ ْ ﻠَﻔَ ﺎء ا
...
Artinya: “....dan Dia (Allah) yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi...” Pada ayat lain Allah swt. Berfirman:
تﺎ ٍَ ﺟ َ ﺾﻌ ْر َد ٍ َﺑ
ْ قﻮ َ ْ ﻀﻜُﻢَ َﻓ ْ ضْ َرو َﻊ َﻓﻌ َﺑ ِﻷ ﻼﻒَرا ﺧ ِ َﺋ وَ ھُ ا َﻮ ﻟﺬﱠِي ﻌَﺟ َ ُﻜﻠ َ ْﻢ (١٦٥:6/ﻲَﺎﺗَﺎآ ْﻢﻛ ُ )اﻷﻧﻌﺎم ﯿﻟِ َﺒ ْﻠﻛ ُ َﻮُﻢ ْﻓِﻣ
Artinya: "Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” Kata ”kum”, yang termaktub pada ayat diatas, menurut jumhur mufassirin (mayoritas ahli tafsi) adalah manusia seluruhnya, baik lelaki maupun wanita186. Sedangkan yang dimaksud dengan ”menjadikan manusia sebagai khalifah” ialah menjadikan manusia berkuasa di bumi. Fungsi kekhalifahan manusia di bumi selain sebagai penghuni, ia juga sebagai pengelola, atau pengatur kehidupan di muka bumi. Hal-hal yang diatur itu, antara lain meliputi aspek sosial, politik, hubungan intenasional, ekonomi, dan lainlain.
186
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negar: Ajaran, Siyasah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990). H. 176.
95
96
Selain itu, 14 abad yang silam, al-Qur’an telah menghapuskan berbagai macam diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, al-Qur’an memberikan hak-hak kepada kaum perempuan sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada kaum lakilaki. Diantaranya dalam masalah kepemimpinan. Yang dijadikan bahan pertimbangan dalam hal ini hanyalah kemampuannya dan terpenuhinya kriteria untuk menjadi pemimpin. Huzaemah Tahido dalam bukunya Fiqih Perempuan Kontemporer, menyatakan bahwa kepemimpinan itu bukan monopoli kaum laki-laki, tetapi juga bisa diduduki dan dijabat oleh kaum perempuan bahkan bila perempuan itu mampu dan memenuhi kriteria maka ia boleh menjadi hakim dan top leader (Perdana Mentri atau Kepala Negara)187. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.:
ْ فُووَﯾ َﮭﻨ ْ َنﻮ ِﺾٍَﻌ َْﺄﯾﺮُْﻣُو ﺑن َ ِﺎ ﻤَﻟ ْﻌْﺮ ُ ﻀ ُﻢ َأ ْوْﻟﯿَ ِﺑءﺎ ْ ُت ْﻨﻣِ َُﻌ َﺑﮭ نُﻮو َ ﻤا ْﻟُﺆﺎ اوَﻟْ ْﺆﻤ ُﻣِﻨ ِ ﻚﺌ َ ﷲ ﱠَوﺳَر َُﻮ ﻟَﮫُأ َُوﻟ َﻄُِﻮن ُﯾو َﻌﯿ َ ﻼوةَ َﯾُﺆْﺗنﻮ َ ُﻟﺰاﱠﻛﺎة ﺼ ﱠ ﻦ ِ ْﻤﻟا ُﻨﻜَ ْﺮ ِ ﯾُو َﻘِﻤﯿن َﻮ ُاﻟ َﻋ (٧١:9/ﷲ َﻋ ﯾ َِﺰﺣﺰ ٌَﻜ ٌ ِﻢﯿ )اﻟﺘﻮﺑﺔ ﷲ ُ ُِإنﱠ ﱠ َﯿﺳَﺮ ﺣَﻤ ْﮭ ُُﻢ ﱠ
Artinya: ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Dalam ayat tersebut diatas, Allah swt. mempergunakan kata ”auliya” (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada pihak laki-laki saja, tetapi keduanya (laki-laki dan wanita) secara bersamaan. Berdasarkan ayat ini, perempuan juga bisa
187
Huzaemah Tahido Yanggo, Prof.Dr.Hj.,MA., Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001), cet. I., h. 73.
96
97
menjadi pemimpin, yang penting dia mampu dan memenuhi syarat menjadi pemimpin, yang penting dia mampu dan memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin. Sebab, menurut penulis, kekuasaan umum seperti jabatan kepala negara, menteri, gubernur, bupati dan lain-lain, mengharuskan adanya suatu kompetensi yang khusus, dan sesungguhnya kita tidak bisa menafikan bahwa wanita juga banyak yang memiliki kompetensi tersebut serta berhak untuk mengemban beban tanggungjawab fardu kifayah ini. Selain itu juga, penulis menilai bahwa makna kekhawatiran kerugian, kegoncangan dan dampak negatif lainnya dari Hadis Abu Bakrah yang mengatakan bahwa kepemimpinan wanita itu akan mengalami kegoncangan atau kerugian, pada saat ini mungkin sudah dapat teratasi dengan baik dalam sistem ketatanegaraan masa kini, sebab jabatan presiden atau kepala negara saat ini, tidaklah menjadi kekuasaan yang tertinggi. Akan tetapi saat ini sudah dikenal lembaga perwakilan rakyat yang dikenal di Indonesia sebagai DPR, yaitu lembaga yang bertugas untuk membentuk Undang-undang, mengontrol roda perjalanan pemerintahan. Disamping itu juga terdapat pembantu-pembantu presiden yaitu menteri-menteri yang telah diamanati untuk memegang salah satu kewajiban-kewajiban presiden. Sehingga saat ini wanita memungkinkan untuk menjadi sosok top leader atau kepala negara dikarenakan beban amanat yang diserahkan oleh masyarakat kepadanya, kini dikerjakan secara berjama’ah. Dari sinilah nampaknya teori maslahat mursalah Imam al-Thufi sesuai dengan asumsi penulis. Bahwa Imam al-Thufi dengan 97
98
dengan pendekatan teori maslahah mursalahnya membolehkan wanita menjadi seorang pemimpin suatu negara. Sebab al-Thufi menilai bahwa maslahah terbagi menjadi maslahah duniawi dan ukhrawi. Pada maslahah yang duniawi menurut alThufi, seorang mujthaid, dapat mendahulukannya walaupun bertentangan dengan nash dan ijma’ seperti pada kasus kepala negara wanita yang merupakan urusan duniawi. Sedangkan urusan ukhrawi atau ibadah, manusia tidak bisa ikut campur tangan dalam menentukan aturan, dan batasan-batasannya, seperti perintah shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, dsb. Disisi lain, penulis juga setuju dengan pendapat Imam Malik yang tergabung dalam jumhur ulama yang mengatakan bahwa wanita tidak boleh memegang kekuasaan sebagai imamah al-kubra. Hal itu dikarenakan imamah alkubra’ hanya terdapat pada pemerintahan khilafah; yaitu pemerintahan yang memegang kekuasaan atas negara dan agama. Dan kini pemerintahan dengan sistem khilafah tersebut tidak ada, hanya berupa negara-negara berbasis Islam atau mayoritas Islam, tanpa menggunakan nama khalifah lagi. Wallahu a’alam bisshawab.
98
99
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim Adi, Rianto, Metode Penelitian Hukum dan Sosial, Jakarta: Granit, 2004. Asmani, Jamal Ma’mur &, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz; Antara Konsep dan Implementasi, Surabaya: Khalista, 2007. Asmawi, MA, Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. Asqalani, Ahmad Ibn Hajar al-, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turast, t.th.) juz. 7. Buthi, Sa’id Ramadhan Al-, Dr. M., Dawâbit al-Maslahah, cetakan ke-6, Beirut: Muassasah Risalah, 1992. Buthi, Muhammad Said Ramadhan al- dan Tizini, Tayyib Finding Islam: Dialog Tradisionalisme-Liberalisme Islam, terj. Ahmad Mulyadi dan Zuhairi Misrawi, Jakarta: Erlangga, 2002. Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (al-Madinah al-Munawwarah: Majma’ Khadim al-Haramain al-Syarifain Malik Fadh li Thiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1971. Ghazali, Al-, Syifa al-Gazali fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, Baghdad: Matba’ah al-Irsyad, 1971. Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984. Harra, Sa’id, Al-Islam; Sistem Bermasyarakat dan Bernegara, Jakarta: Al-Islahy Press,tth Hassan, Husein Hamid, Dr., Nazâriyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Cairo: AlMutanabbi, 1981. Haroen, Nasrun, Drs.,H., MA., Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996. Ibn Ali al-Rabiah, Abd al-Aziz Ibn Abd Rahman, Dr., Adillah al-Tasyri’ alMukhtalaf fi al-Ihtijaj bi ha, Birut: Muassasah al-Risalah, 1979.
99
100
Ibn Abd al-Salam, Izzuddin, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Kairo: al-Istiqamat, t.t.. Ibn Rusyd, Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Kairo: Dar al-Hadis, 2004. Imad, Ibnu al-, Syazarat az-Zahab fi Akhbari Man Zahab, Beirut : al-Maktab at-Tijari,t.t. Izzat, Hibbah Rauf, Wanita dan Politik Pandangan Islam, terj. Bahruddin Fannani Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997. Jabiri, M. Abid al-, Post Tradisionalime Islam, terj. Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000. Jauziyyah, Ibn al-Qayyim Al-, I`lam al-Muwaqqi`in, juz III, Beirut: t.tp.,t.th. Juwaini, Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Ansar,1400 H. Katsir, Ibn, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, Bairut: Dar al-Fikr, tt. Khallaf, Abdul Wahhab, Masâdir at-Tasyri'i al-Islâmi fi ma la Nassa fihi, Quwait: Dar al-Qalam,1972. -------, Ilmu Ushul al-Fiqh, Quwait: Dar al-Qalam, tth. Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, terj. Anas Mahyuddin, Bandung : Pustaka, 1983. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997. Ma`luf, Louis, Kamus Munjid, Beirut: Dar al-Masyriq, 1977. Mawardi, Abu al-Hasan al-, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 1978. Mu’allim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press Indonesia, 1999. Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984.
100
101
Nafis, HM. Cholis, Lc., Fiqh Politik, ed., Fiqh Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas, (Jakarta: FKKU, 2003), h. 138. Qadri, Anwar Ahmad, Islamic Jurisprudence in The Modern World, Pakistan: SH. Muhammad Ashraf Kashmir Bazar Lahore, t.t. Qardhawi, Yusuf, Madkhal li Dirasah al-Syari’ah al-Islamiah, Cairo: Maktabah Wahbah, tth. Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, 1973. Salih, Muhammad Adib, Masadir al-Tasyri` al-Islami wa Manahij al-Istimbat, Damsyid: Maktabah at-Ta`awujniyyah, 1967. Sayih, Ahmad Abd al-Rahim al-, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993. Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam, terjemahan H.M. Muljadi Djojowartono,dkk. Jakarta: Panitia Penerbit,1966. Syatibi, Abu Ishak Al-, al-I’tisham, Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th ---------, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari`ah, tahqiq: Abdullah Darraz, Beirut: Dar alFikr,t.th. juz II. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Siyasah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990. H. 176. Syarqawi, Abdurrahman al-, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, terj. Al-Hamid al-Husaini, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000. Takariawan, Cahyadi, Fiqih Politik Perempuan, Solo: Era Intermedia, 2003 Umar,
Nasaruddin, Argumen Jakarta:Paramadina, 1999.
Kesetaraan
Jender
Perspektif
Al-Qur’an,
Usman, Suparman, Prof.Dr.H.,SH., Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 2005.
101
102
Zahrah, Muhammad Abu, Ibn Hanbal wa Asaruhu Arauhu wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t. ---------, Ushul Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th. Yanggo, Huzaemah Tahido, Prof.Dr.Hj.,MA., Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001, cet. I. Zaid, Mustafa, al-Maslahah fi at-Tasyri'i al-Islâmi wa Najamuddin at-Tufi, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954. MAKALAH Nasikun, Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan, Makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember 1988, h.8
SUMBER INTERNET http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml
102