Rijal Mumazziq Zionis, Konsep Kenegaraan dalam IslamPerdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas
KONSEP KENEGARAAN DALAM ISLAM Perdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas Oleh : Rijal Mumazziq Zionis 1 Abstrak Wacana tentang relasi agama dan negara, seolah tiada habisnya. Perbincangan tersebut, senantiasa aktual dan faktual seiring dengan berlakunya konsepsi ajaran agama Islam yang multi interpretasi. Oleh karena itu, meskipun sudah banyak uraian yang diberikan tentang konsepsi relasi agama dan negara, upaya untuk mencari format yang memungkinkan akan selalu layak untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Sebab, meskipun Islam menekankan keselarasan kehidupan di dunia dan akhirat, namun landasan teks keagamaan untuk membentuk sebuah negara masih bisa diperdebatkan. Sehingga munculnya beberapa kelompok umat Islam dalam menafsirkan ajaran agamanya berkaitan dengan sistem politik dan pemerintahan merupakan sesuatu yang bisa dimengerti. Keyword: Negara, Islam, Integralistik, Sekularistik, Simbiotik A. Pendahuluan Banyaknya upaya yang telah dilakukan para ulama dalam rangka pencarian format relasi agama dan negara, pada dasarnya mengandung dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu dengan menjawab pertanyaan, “Bagaimana bentuk negara dalam Islam?”. Pendekatan ini bertolak pada suatu asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara (menekankan aspek praktis dan substansial), yakni mencoba menjawab pertanyaan, “Bagaimana isi negara menurut Islam?”. Istilah relasi, diartikan sebagai “hubungan”; 2 “perhubungan”, dan “pertalian”. Sedangkan “Agama” mengandung pengertian bahwa ia adalah suatu perarturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.3 Sedangkan negara, secara terminologi diartikan dengan organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai 1
2
3
Adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyah (STAIFAS) Kencong Jember Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, h. 830 Berasal dari bahasa Sansekerta “a” berarti tidak, dan ”gama” berarti kacau. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 10 111
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya sebuah masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat. 4 Definisi di atas, tampaknya dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam penelitan ini guna melacak istilah negara dalam khazanah Islam. Sebab, dalam kajian Islam (Islamic studies), istilah negara bisa bermakna dawlah,5 khilafah,6 imamah,7 hukumah,8 dan kesultanan.9 Dari berbagai istilah di atas, penyebutan negara dalam Islam memiliki beragam corak. Secara historis, istilah-istilah di atas pernah dipraktekkan oleh umat Islam di berbagai kawasan. Relasi di sini berarti sebuah hubungan, yang kemudian melahirkan beberapa pendapat yang berbeda menyikapi pola relasi antara agama (Islam) dengan negara. Apakah negara harus tunduk di bawah dogma agama? apakah agama harus terkooptasi oleh negara? Apakah negara dan agama harus berhadapan secara frontal, tanpa harus saling mencampuri? Apakah agama dan negara di posisikan dalam ruang yang berbeda, namun saling menguntungkan? Atau agama dan negara harus dipersatukan? Inilah yang kemudian banyak melahirkan polemik sepanjang sejarah. Dalam kajian historis, pembicaraan hubungan antara agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam suasana yang stigmatis. Ini disebabkan, pertama, hubungan agama dan 4
Ahmad A. Hafizar Hanafi, Tata Negara, h. 19 Berasal dari bahasa Arab, yakni dawlat, akar katanya berasal dari dalla-yadulludawlat yang berarti “bergilir”, “beredar”, dan “berputar”. Dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan. Lihat Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid I, h. 262. 6 Berasal dari kata khalf, yang berarti “wakil”, “pengganti”, atau “penguasa”. Istilah ini awalnya dipakai Abu Bakar saat menyebut dirinya sebagai khalifah (pengganti) Nabi Muhammad. Lihat Said Agil Husin al-Munawwar, “Fiqh Siyasah dalam Konteks Perubahan Menuju Masyarakat Madani”, h. 21. 7 Pada dasarnya, teori imamah lebih berkembang di kelompok Shi’ah. Dalam lingkungan Shi’ah, imamah menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayat) dan kesucian imam (‘ismah). Lihat Mustafa Hilmi, Nizam al-Khilafah Baina Ahl alSunnah wa al-Syiah, h. 149-155. 8 Jika khilafah dan imamah berkorelasi dengan format politik atau kekuasaan, maka hukumah. berhubungan dengan sistem pemerintahan. Lihat John L. Esposito (ed.) The Oxford…, vol 4. jilid II, artikel “hukumah.” oleh. Keith Lewinstein, h. 139. 9 Istilah ini diartikan wewenang. Muncul berkali-kali dalam al-Quran dengan arti “kekuasaan”, kadang-kadang “bukti”-dan yang lebih khusus lagi—“kekuasaan yang efektif”, lazimnya diberi kata sifat mubin, “wewenang yang jelas”. Di Nusantara, penguasa muslim diberi laqab Sultan. Lihat Kamarzuzzaman, Relasi Islam…, h. 33 5
112
Rijal Mumazziq Zionis, Konsep Kenegaraan dalam IslamPerdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas
negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan sepanjang sejarah umat manusia. Kedua, sepanjang sejarah, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan ekspansi militer-politik Islam klasik yang sebagian besar atas kerugian Kristen (hampir seluruh Timur Tengah adalah dahulunya kawasan Kristen) dengan kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel (ibukota Eropa dan dunia Kristen saat itu), kemudian Perang Salib yang kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenangkan oleh Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir Dunia Islam dalam posisi "kalah", maka pembicaraan tentang Islam berkenaan dengan pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan menghadapi Barat sebagai "musuh".10 B. Karakteristik Pemikiran Kenegaraan dalam Islam Dalam lingkup khazanah keilmuan Islam, konsep negara selalu mendapatkan tempat yang istimewa. Hal ini terlihat sejak awal perkembangan ilmu politik, dimana negara telah menjadi salah satu kajian yang dipandang cukup penting dan sentral.11 Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun, membagi proses pembentukan kekuasaan politik (siyâsah) atau pemerintahan menjadi tiga jenis. Pertama, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas naluri politik manusia untuk bermasyarakat dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas pertimbangan akal semata dengan tanpa berusaha mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi pemikiran para filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah agama yang telah digariskan oleh shari’ah. Politik ini didasarkan atas keyakinan bahwa Tuhan sebagai pembuat shari‟ah adalah yang paling tahu maslahat yang diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun menyebut jenis yang pertama dengan sebutan al-mulk al-thabi’iy12 yang kedua dengan sebutan al-siyâsah al10 11
12
Nurcholish Madjid, Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni, www.artikelislam.com Heinz Eulau, “Ilmu Politik”, dalam Bert F. Hoselitz, (Ed.), Panduan Dasar IlmuIlmu Sosial, h. 7-8 Ibn Khaldun, Muqaddimah, teksnya berbunyi al-mulk manshibun hab’iyyun li alinsân li annâ qad bayyannâ anna al-basyar la yumkinu hayâtuhum wa wujûduhum 113
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan al-siyasah al-diniyah atau syar’iyyah. Pada perkembangan berikutnya, kajian-kajian tentang negara dan kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah yang menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya pemerintahan, mekipun kajian klasik dan kontemporer punya pendapat yang beragam mengenai bentuk pemerintahan itu. Kewajiban ini didasarkan pada : a) Ijma shahabat, b) Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat tidak adanya pemerintahan, c) Melaksanakan tugas-tugas keagamaan, d) Mewujudkan keadilan yang sempurna.13 Kajian-kajian mengenai pemerintahan, dan negara lebih mengutama lagi tatkala kekhalifahan Uthmaniyah runtuh, dan konsep negara bangsa (nation state) mengemuka pada awal abad XX. Dinamika menyebabkan para pemikir muslim mencari sintesa terbaik untuk merumuskan kembali konsep kenegaraan Islam, relasi antara agama dan negara, serta posisi agama dalam negara. Mengenai relasi agama dan negara, Islam sejak awal tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana konsep dan bentuk negara yang dikehendaki. 14 Dalam konsep Islam, dengan mengacu pada al-Quran dan al-Hadith, tidak ditemukan rumusan tentang negara secara eksplisit, hanya di dalam kedua sumber hukum Islam itu terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah: 1. Keadilan (QS. 5:8) Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. 2. Musyawarah (QS. 42:38) Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka. 3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110) Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
13 14
illa bi ijtimâ’ihim wa ta’âwunihim…wa ihtâjû min ajli dzâlika ila al-wâzi’ wa huwa al-hâkim ‘alaihim. h.. 187. Dalam teks lain dikatakan: al-Mulk althabi’iy huwa hamlu al-kâffah ‘ala muqtadla al-ghardli wa al syahwah wa al-siyâsi wa huwa hamlu al-kâffah ‘ala muqtadla al-nazhri al-aqliyyi fi jalbi al-mashâlih aldunyâwiyyah wa daf’u al-madlâr h..191. Hasby Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, h. 50-57 Abd. Salam Arif, Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jurnal Hermenia, h. 279
114
Rijal Mumazziq Zionis, Konsep Kenegaraan dalam IslamPerdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah. 4. Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10) Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. 5. Keamanan (QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa. 6. Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97). Di sinilah muncul berbagai penafsiran terhadap doktrin agama yang berkaitan dengan relasinya dengan negara. Agama ini hanya meletakkan beberapa prinsip dasar yang bersifat umum tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, dan memungkinkan dibangunnya suatu pemerintahan untuk kesejahteraan rakyat.15 Secara historis, cikal bakal negara Islam, meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan tidak tersebut secara yuridis formal, dapat dirunut sejak pasca lahirnya perjanjian Hudaybiyah II (Piagam Madinah). Meskipun pendirian negara, termasuk agama negara, tidak diartikulasikan secara tegas oleh nabi, persyaratan sebagai negara telah terpenuhi: wilayah, pemerintahan, rakyat, kedaulatan, dan konstitusi.16 Yang penting untuk digarisbawahi adalah, bahwa tidak adanya penyebutan Negara Madinah pada saat itu sehingga banyak kalangan yang menyebut perjanjian itu sebagai bentuk kerjasama antar berbagai elemen masyarakat di sebuah wilayah.17 Inilah yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan dan bahan kajian untuk mencari formulasi apa yang disebut sebagai negara Islam. Hampir tidak ada kesepakatan yang bulat di kalangan pakar politik Muslim modern tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam konsep negara Islam. Kenyataan ini sangat mudah terlihat dengan begitu beragamnya sistem negara dan
15 16
17
Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, h. 58 Yusuf Musa—dengan mengutip Uthman Khalil—berkesimpulan bahwa Piagam Madinah mencerminkan pendirian negara; di dalamnya terdapat bangsa yang mendiami wilayah tertentu, institusi abstrak yang diterima oleh. bangsa dan direalisasikan oleh pemegang kekuasaan, sistem yang ditaati dan mengatur jenjang-jenjang kekuasaan serta kebebasan politik yang menjadi identitas bangsa sehingga tidak mengekor pada negara lain. Lihat Yusuf Musa, Islam dan Tata Negara, h. 25 Wahib Wahab, Menggagas Reformulasi Relasi Negara dan Rakyat: Perspektif Teologi Politik Islam-Hermeneutik, dalam Jurnal Paramedia, h. 27 115
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
pemerintahan di dunia ini yang menganggap dirinya sebagai negara Islam. Perdebatan panjang itu boleh jadi hanya berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan, negara manakah yang dapat disebut sebagai Negara Islam? Apakah Saudi Arabia, Iran, Pakistan, atau Sudan, yang merupakan representasi negara Islam? Atau, dalam pertanyaan yang berbeda, bisakah negara yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai universalitas Islam itu disebut sebagai Negara Islam? Namun begitu, secara teoritik, sudah ada berbagai upaya untuk mencoba merumuskan sebuah konsep formal mengenai apa yang dimaksud Negara Islam. Paling tidak telah ada kesepakatan minimal bahwa suatu negara disebut sebagai negara Islam jika menerapkan hukum Islam. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam merupakan prasyarat formal dan utama bagi adanya suatu negara Islam.18 Rasyid Ridha, seorang ulama terkemuka Islam, yang dianggap paling bertanggung jawab dalam merumuskan konsep negara Islam modern, menyatakan bahwa premis pokok dari konsep negara Islam adalah bahwa shari‟ah merupakan sumber hukum paling tinggi. Dalam pandangannya, shari‟ah harus membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan implementasinya, dan adalah mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa adanya Negara Islam. Karena itu, dapat dikatakan bahwa penerapan hukum Islam merupakan satu-satunya kriteria utama yang sangat menentukan untuk membedakan antara suatu Negara Islam dengan negara non-Islam.19 Sedangkan Fazlurrahman, kendati tidak menyatakan secara gamblang pendapatnya mengenai konsep Islam mengenai negara, memberkan definisi negara Islam secara fleksibel, tak begitu ketat dengan syarat-syarat tertentu. Rahman menilai negara Islam adalah suatu negara yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Tentang bagaimana implementasi penyelenggaraan negara itu, Rahman tidak memformat secara kaku, tetapi elemen yang paling penting yang harus dimiliki adalah Shura sebagai dasarnya. Dengan adanya lembaga Shura itu sudah tentu dibutuhkan ijtihad dari
18
19
Wan Zahidi bin Wan Teh., Ciri-ciri Sebuah. Negara Islam, Jurnal YADIM, h. 134155. Lihat lebih jelas dan luas pandangan Rasyid Ridha tentang negara Islam ini dalam Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam…h. 168-174. Bandingkan dengan Nurcholis Madjid, Islam Punya Konsep kenegaraan?, Tempo, 29 Desember 1984, h. 17; dan Agus Edi Santoso (Peny.), Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholis Madjid-Mohammad Roem, dan Abdurrahman Wahid, Islam: Punyakah. Konsep Kenegaraan?, Tempo, 26 Maret 1983.
116
Rijal Mumazziq Zionis, Konsep Kenegaraan dalam IslamPerdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas
semua pihak yang berkompeten. Dengan demikian, kata Rahman, akan sangat mungkin antara satu Negara Islam dengan Negara Islam yang lain, implementasi shari‟ah Islam akan berbeda, oleh karena tergantung hasil ijtihad para mujtahid di negara yang bersangkutan.20 Dari pemahaman bahwa mustahil menerapkan hukum Islam tanpa adanya negara Islam ini secara otomatis timbul juga perdebatan mengenai hubungan antara agama (dalam hal ini Islam) dan negara oleh para sarjana Muslim. Perbedaan pemahaman tentang hubungan ini sesuai dengan setting sosiologis, historis, antropologis, dan intelektual para sarjana tersebut. Hal itu juga dicampur dengan pelbagai corak penafsiran terhadap teks al-Qur‟an dan al-Hadith yang dijadikan rujukan utama. Perdebatan ini akhirnya bermuara pada dua kutub pemikiran yang sangat radikal. Pertama, menandaskan bahwa negara harus dikendalikan oleh institusi agama. Setidaktidaknya, agama mempunyai andil dalam menentukan suatu kebijakan politik. Aliran pemikiran ini memandang agama sebagai suatu yang sempurna (perfect) dan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Tak terkecuali dalam dunia Islam, di mana Islam dipandang sebagai agama yang sempurna, mengatur segala aspek, termasuk tata ruang kehidupan negara (politik). Pada garis pemikiran kedua, secara radikal, pemikir muslim asal Mesir, Thaha Husein menegaskan bahwa negara tidaklah harus dikendalikan oleh institusi-institusi agama. Menurut Husein, sistem pemerintahan dan pembentukan negara bukanlah atas dasar prinsip keagamaan, tetapi lebih merupakan asas manfaat alamiah dan kepentingan-kepentingan praktis, yang bertautan langsung dengan ruang waktu kehidupan masa kini.21 Lebih lanjut, konstruk berpikir seperti itu melahirkan trikotomi yang hingga kini menguasai perdebatan tentang bagaimana relasi agama dan negara. Pertama, pola liberal yang menekankan pemisahan antara agama dan negara, yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah kenegaraan. Islam hanyalah mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan. Kedua, pola tradisionalis, yang mengungkapkan bahwa Islam mencakup semua aturan kehidupan termasuk urusan kenegaraan. Argumen yang diberikan oleh kelompok ini adalah bahwa tugas Nabi telah selesai dan telah memberikan garis panduan yang jelas seperti ketika Nabi berada di Madinah. Ketiga, pola reformis atau sintesis, yang mengutarakan bahwa dalam Islam tidak ada aturan yang pasti tentang masalah 20 21
Amiruddin M Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman, h. 80-84 Hery Sucipto, Dilema Relasi Agama dan Negara, Media Indonesia, 19 Juli 2002 117
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
kenegaraan, namun ada prinsip asas yang harus ditegakkan.22 Pola-pola pemikiran di atas, paling tidak lahir dari dua maksud. Pertama, mencoba menelusuri dan menentukan sejauh mana Islam menggariskan kosep secara jelas tentang negara, politik, dan sistem pemerintahan. Pendekatan yang menekankan aspek teoritis formalis ini bertolak pada asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, penelusuran itu dilakukan untuk mengidentifkasi sebuah idealitas dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara. Maksud kedua ini agaknya lebih menekankan pada aspek praktis substansial, yakni mencoba menjawab pertanyaan “bagaimana isi negara menurut Islam?” Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam tidak membawa konsep negara tertentu, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral. Bentuk negara yang ada pada suatu masyarakat muslim dapat diterima sejauh tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar Islam.23 C. Pencarian Bentuk Ideal Relasi Agama dan Negara Hingga kini, para pemikir muslim dengan berbagai perspektif dan latar belakang kajian, menyuguhkan konsep formulatif mengenai hubungan antara Islam, negara, dan rakyat. Kecenderungan pluralitas konsep ini dikarenakan masih adanya berbagai postulat yang tak dipikirkan (unthought) dan tak dapat dipikirkan (unthinkable) yang bermuara pada diktum: Islam identik dengan agama, agama dengan Islam, dan Islam dengan dunia.24 Berbagai postulat tersebut, di antaranya: pertama, ada kesinambungan antara masa lalu dan masa sekarang di dunia muslim dan juga Islam itu sendiri; kedua, Islam identik dengan negara; ketiga, akibat dari poin kedua, pengidentikan Islam sebagai agama yang berbeda dengan agama-agama besar dunia lainnya; keempat, mentalitas orang beriman, yang terdidik secara teoritik dan praktik dengan pengidentikan ini. Mentalitas itu mengelak dari perubahan historis. Ia bebas dari historisitas namun dianut dengan sangat teguh sehingga terus melekat pada sejarah masyarakat muslim; kelima, agama bagi umat Islam merupakan landasan penting dan pusat identitas dan kesetiaan; dan keenam, Islam merupakan kekuatan pemersatu dan pem-
22
23
24
Ahmad Fuad Fanani, Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Kompas, 10 Desember 2001 Abd. Moqsith Ghazali dan Suwendi, Relasi Agama dan Negara Dalam Perspektif Ali Abdurraziq dan Abdurrahman Wahid, Majalah Aula, No 6 th. XXI 1999, h. 83 Mohammad Arkoun, “Kritik Reformasi Islam”, dalam Kari Vogt (ed.), Dekonstruksi Syariah; Kritik Konsep dan Penjelasan Lain, h. 14
118
Rijal Mumazziq Zionis, Konsep Kenegaraan dalam IslamPerdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas
beri dorongan moral (moral force).25 Kiranya tepat apabila faktor-faktor di atas direlevansikan dengan apa yang disebut oleh Bassam Tibi dengan fenomena “repolitisasi Islam”, yang mengandung makna bahwa Islam dijadikan sebagi ideologi politik.26. Menurut Bassam Tibi, gejala repolitisasi Islam ini paling tidak disebabkan oleh dua hal; pertama, umat Islam sedang mengalami krisis identitas; kedua, adanya krisis sosial—dan ekonomi serta gejala pemiskinan yang melanda umat Islam--sehingga keadaan ini menjadi lahan subur tumbuhnya ideologi-ideologi keagamaan yang menawarkan janjijanji pembebasan. Apa yang disebut sebagai “repolitisasi Islam” ini, dalam kehidupan bernegara, melahirkan sebuah antitesis yang disebut sebagai “depolitisasi Islam”. Jika paradigma pertama menginginkan agama tampil mengemuka di setiap lini kehidupan, termasuk formalisasi hukum-hukum agama dalam kehidupan bernegara, maka depolitisasasi berupaya memarginalkan peran agama dalam wilayah negara (sekuler). Selain itu, ada pula yang mengambil jalan tengah di antara dua konstruksi berpikir ini. Yaitu dengan menjadikan agama dan negara tidak dalam wilayah integral, juga tak mengambil jalan sekuler. Agama dan negara, dalam pandangan ini, memiliki peran saling memberi dan mengisi, tanpa harus bersatu secara langsung, ataupun berhadapan secara frontal. Paparan di bawah ini akan memberi sedikit pemahaman terhadap trikotomi di atas. Tiga paradigma ini merupakan pemetaan yang cukup populer dalam wacana kenegaraan Islam, meski dengan berbagai istilah yang beragam.27 1) Perspektif Integralistik Integralistik di sini bukan dipahami seperti yang telah dikonsepsikan George Wilhelm Friedrich Hegel yang berpendapat bahwa negara itu bukan alat melainkan tujuan, karena itu bukan negara yang harus mengabdi pada rakyat melainkan sebaliknya.28 25
26 27
28
Mohammad Arkoun, “Kritik Reformasi Islam”, dalam Kari Vogt (ed.), Dekonstruksi Syariah; Kritik Konsep dan Penjelasan Lain, h. 14 Bassam Tibi, Krisis Modern dalam Peradaban Islam, h. 163 Munawir Sjadzali dan Masykuri Abdillah membagi kategorisasi pemikiran itu menjadi tiga; Konservatif, Modernis dan Sekuler. Adapun M Din Syamsudin membaginya dalam ke dalam tiga paradigma, masing-masing adalah. integralistik, simbiotik, dan sekularistik. Baca Munawir Sjadzali, Islam.., h. 1-3; begitu pula Masykuri Abdillah., Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Demokrasi (1966-1993), h. 57; bandingkan dengan Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia, h. 6-15. Bandingkan dengan Din Syamsudin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, Jurnal Ulumul Quran, h. 4-7. www.nu.or.id, M. Fairuz Ad-Dailami 119
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan negara dan agama yang menganggap bahwa negara dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Paradigma ini melahirkan konsep tentang agamanegara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Negara diletakkan sebagai lembaga politik sekaligus lembaga agama.29 Dari sinilah kemudian paradigma integralistik dikenal juga dengan paham Islam: din wa dawlah, dengan hukum agama sebagai sumber landasan mengatur negara. Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensif, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik, oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali pada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan Nabi Muhammad SAW dan oleh empat al-Khulafa> al-Rasyidu>n. Tokoh utama dari aliran ini adalah antara lain Sayyid Quthb, Muhammad Rashid Rid}a, Hasan al-Bannâ, Hasan alTurabi>, dan Abu al-A'la> al-Mawdudî.30 2) Perspektif Sekuleristik Istilah sekulerisme bermakna “yang bukan agama”. Kata ini berasal dari bahasa latin saeculum yang pada mulanya berarti „masa‟ atau generasi dalam arti waktu temporal. Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa saeculum sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya adalah mundus. Tetapi saeculum memiliki arti kata waktu, sedangkan mundus sebagai kata ruang. Sedangkan lawan kata dari saeculum ialah eternum yang berarti abadi, kemudian digunakan untuk menunjukkan alam yang kekal abadi, yaitu alam
29
30
Husein Muhammad, “Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik”, dalam Ahmad Suaedy (ed.), h. 89 Lihat Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna….h. 57. Bandingkan dengan Munawir Sjadzali, Islam..h. 1
120
Rijal Mumazziq Zionis, Konsep Kenegaraan dalam IslamPerdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas
sesudah dunia.31 Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara negara dan agama secara diametral. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan dalam dimensi individual. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan negara tidak intervensif dalam urusan agama. Kelompok ini menekankan argumentasi bahwa tidak ada ayat yang secara tegas mewajibkan pembentukan pemerintahan dan negara, sekaligus menekankan bahwa pembentukan pemerintahan tidaklah masuk dalam tugas yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad.32 Beliau hanya Rasul yang membawa risalah agama saja, tidak termasuk perintah membentuk negara.33
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
31 32
33
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Ke-Indonesiaan, h. 216 Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm Bahts fi al-Khilafah wa Hukumah fi al-Islam, h. 64-65 Abd. Salam Arif, Relasi Agama…h. 281 121
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
Adapun menyikapi ayat ini, Raziq berpendapat bahwa ayat ini tak ada kaitannya dengan pemerintahan apapun. Bagi Raziq, leksem ūlī al-amr pada ayat di atas hanya mengacu pada para pembesar sahabat yang memahami seluk-beluk persoalan umat, atau yang menjadi pemimpin mereka. Ia menampik bahwa konsep tentang kepala negara mempunyai pijakan dalam Alquran. Pendapat Raziq itu tidak sepenuhnya bisa dikatakan benar. Memang benar Alquran tidak menyiapkan suatu konsep yang utuh, tetapi landasan dan nilai etika dari konsep-konsep itu terdapat dalam Alquran.34 Tokoh kelompok ini, diantaranya 'Ali 'Abd al-Râziq, Thaha> Husein, Muhammad Sa`id Al-Ashmawi (Mesir), Ziya Gokalp, Mustafa Kemal Attaturk (Turki), Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Khuda Bakhsh, Khalifah Abdul Halim (India), Ghulam Ahmad Parvez (Pakistan),35 serta Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid (Indonesia). 3) Perspektif Simbiotik Aliran ketiga ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak bahwa Islam adalah suatu agama dalam pengertian Barat, yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.36 Menurut konsep ini, hubungan negara dan agama dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas. Begitu juga sebaliknya, agama juga membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Teori simbiosis membiarkan tuntutan-tuntutan realitas sosial politik yang berkembang, lalu agama memberikan justifikasinya. Agama tak harus menjadi dasar negara. Negara hanya menjadi wilayah yang mandiri. Intervensi agama adalah dalam wilayah ketika negara dianggap telah menyimpang dari norma-norma agama. Husein Muhammad menyebut paradigma simbiotik ini, di satu pihak 34
35
36
Moch Syarif Hidayatullah, Konsep Kepala Negara dalam Islam, dalam www. Hasanain.com. Tim Kajian Ilmiah Abituren 2007, Simbiosis Negara dan Agama: Reaktualisasi Syari’at dalam Tatanan Kenegaraan, h. 28-35 Munawir Sadzali, Islam…, h.. 1-2
122
Rijal Mumazziq Zionis, Konsep Kenegaraan dalam IslamPerdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas
bersifat teologis, tetapi pada sisi lain bersifat pragmatik.37 Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara negara dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (shari’ah). Singkatnya, shari‟ah memiliki peran sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik.38 Melihat realitas keberadaan negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, kita bisa melihat beragamnya eksperimentasi mereka dalam menempatkan agama dalam negara. Bila dilihat dari sejauh mana suatu konstitusi memberikan perlindungan terhadap agama dan shari‟ah Islam, konstitusi negara-negara muslim dapat dibagi menjadi enam katagori dengan cara melihat kombinasinya dalam menempatkan agama dan shari‟ah Islam : a) Negara yang menjadikan shari‟ah (al-Qur‟an & alHadith) sebagai konstitusi, contohnya Saudi Arabia. b) Negara yang konstitusinya maupun aturan dasar lainnya (seperti dekrit presiden atau ketentuan dasar yang dimuat di luar pasal-pasal konstitusi) mengamanatkan agar semua aktivitas penyelenggaraan negara diarahkan dan dibimbing oleh shari‟ah seperti Iran, Libya, Pakistan. c) Negara yang konstitusinya menyatakan bahwa Islam adalah agama negara dan menjadikan shari‟ah Islam sebagai sumber utama pembuatan hukum / Undangundang, misalnya Mesir. d) Negara yang konstitusinya menyatakan Islam sebagai agama negara tetapi tidak menyebutkan shari‟ah sebagai sumber utama pembuatan hukum artinya shari‟ah hanya dipandang sebagai salah satu sumber dari beberapa sumber pembuatan hukum yang lain, contohnya Irak dan Malaysia.
37
38
Husein Muhammad, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, dalam Ahmad Suaedy (ed.), h. 94 M. Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, dalam Abu Zahra (ed.), Politik demi Tuhan, Nasionalisme Religius di Indonesia, h. 45 123
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
e) Negara yang tidak menjadikan Islam sebagai agama negara dan tidak menjadikan shariah Islam sebagai sumber utama pembuatan hukum namun mengakui shari‟ah sebagai sumber utama pembuatan hukum yang hidup di masyarakat, contohnya Indonesia39. f) Negara yang menyatakan diri sebagai negara sekuler dan berusaha agar shari‟ah Islam tidak mempengaruhi sistem hukumnya, contohnya Turki.40 Dalam konteks keindonesiaan, Masdar Farid Mas‟udi menyatakan pendapatnya tentang bagaimana seharusnya relasi agama dan negara di Indonesia : “Melihat lebih dalam dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan beberapa tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agamanegara yang berbeda. Pertama, ajaran yang bersifat privat, semisal soal keyakinan (akidah) kepada Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Dalam hal ini negara bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak punya kemampuan apa pun untuk menjangkaunya. Kedua, ajaran keagamaan yang bersifat komunal-keumatan seperti soal-soal peribadatan (doa, salat, puasa, haji dan yang terkait dengannya). Masuk dalam kategori ini adalah hukum agama tentang keluarga (al-ahwal al-syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak berhak memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. Bahkan intervensi negara dalam urusan penyeragaman hari raya atau soal keabsahan suatu pernikahan, adalah salah kaprah yang perlu segera diakhiri. Ketiga, ajaran keagaman (Islam) yang bersifat publik, misalnya ajaran ajaran Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan siyasah (etika mengelola kekuasaan dan kekayaan negara). Pada tingkat ajaran kategori inilah terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansi hukum agama terhadap hukum negara. Dalam konteks hukum negara kebangsaan, hukum agama, termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun, baru merupakan bahan mentah (row material) seperti hukum adat (adat manapun) atau hukum hukum yang dicomot dari bangsa lain.” 41 39
40 41
Ahmad Sukardja, saat membandingkan antara Piagam Madinah dan UUD 1945 menyatakan bahwa kedua konstitusi ini menganut paham urusan agama merupakan bagian dari urusan negara, dan hukum agama merupakan sumber bagi hukum negara. Bedanya dalam Piagam Madinah menunjuk pada shari’ah agama tertentu yakni shari’ah Islam, sedang dalam UUD 1945 tidak eksplisit menunjuk shari’ah Islam. Lihat.Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, h.176-177. Nurrohman, Konsep Imamat Menurut Imam al-Haramain, Disertasi, h. 234-235 Masdar F. Mas'udi, Teologi Kontemporer: Meredefinisi Hubungan Agama dan
124
Rijal Mumazziq Zionis, Konsep Kenegaraan dalam IslamPerdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas
D. Penutup Harus diakui, sintesa antara negara dan agama, di dunia Islam, menunjukkan jalan yang rumit, namun unik. Selama ini, terdapat tiga aliran untuk menunjukkan bagaimana pola relasi yang terjadi antara agama dan negara di dalam Islam. Pertama, aliran konservatif, yang tetap mempertahankan integrasi antara agama dan negara. Aliran ini berpendapat bahwa Islam telah lengkap secara paripurna dalam mengatur sistem kemasyarakatan, termasuk di dalamnya masalah politik. Dalam paradigma integralistik, agama dan negara menyatu. Karenanya kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Ilahi" (divine soveregnity), karena kedaulatan berasal dan berada di "tangan Tuhan". Kedua, aliran modernis, aliran ini berpendapat bahwa Islam hanya mengatur masalah kemasyarakatan secara garis besarnya saja, sedangkan teknis pelaksanaannya bisa saja mengadopsi sistem lain. Dengan kata lain, corak pemikiran yang juga disebut simbiotik ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. Ketiga, aliran sekuler, yang berusaha memisahkan agama dan negara. Menurut aliran ini, Islam sebagaimana agamaagama lainnya, tidak mengatur masalah keduniaan, sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat Barat. Paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Dari aspek sejarah, hubungan agama, terutama Islam di Indonesia, dengan negara pada sebagian merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain. Hubungan yang kurang harmonis ini, terutama, tetapi tidak seluruhnya merupakan akibat dari perbedaan pandangan founding fathers, mengenai bentuk negara Indonesia yang dicita-citakan. Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas adalah apakah negara ini bercorak “Islam” atau “nasionalis”. Hingga kini, polemik masih terjadi untuk sekedar, misalnya, menyebut Republik Indonesia sebagai negara dengan klasifikasi seperti apa; bukan integralistik, juga bukan sekuler. Yang paling tepat mungkin menyebutnya sebagai negara simbiotik; negara dan agama saling menopang dan mengisi, tanpa saling berhadapan secara konfrontatif. Lebih tepat kiranya, jika relasi antara agama dengan negara di Indonesia Negara, mimeo 125
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
menganut model middle way (jalan tengah), di mana negara mengakui eksistensi agama dalam konstitusinya dan pada saat yang sama politik agama tidak menguasai negara. Wallahu a’lam bisshawab.
126
Rijal Mumazziq Zionis, Konsep Kenegaraan dalam IslamPerdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas
DAFTAR PUSTAKA Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999 Arief, Abd. Salam, “Relasi Agama dan Negara Dalam Perpektif Islam”, Jurnal Hermeneia, Vol II, No II Juli-Desember 2003 Ash-Shiddieqy, Hasby, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1971 Askari, Hasan dan Jon Avery, Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim Humanis, Surabaya, Risalah Gusti, 1995 Azhar, Muhammad, “Relasi Agama dan Negara Dalam Perspektif Mohammed Arkoun”, Jurnal Hermeneia, Vol 6, No 1, JanuariJuni 2007 Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 1996 Dailami, M Fairuz, Konsep Tata Negara Dalam Islam, www.nu.or.id Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998 ________, Teologi Baru Politik Islam, Yogyakarta, Galang Press, 2001 Engineer, Asghar Ali, Devolusi Negara Islam, (terj) Imam Muttaqin, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000 Esposito, John L. (ed.) The Oxford Encyclopedia Of The Modern Islamic World, Vol 4. Jilid II, New York, Oxford University Press, 1995 Fanani, Ahmad Fuad, “Reposisi Hubungan Agama dan Negara”, Harian Kompas, Senin, 10 Desember 2001 Ghazali, Abd. Moqsith dan Suwendi, “Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Ali Abdurraziq dan Abdurrahman Wahid”, Majalah Aula, no 6 th XXI 1999 Hanafi, Ahmad A. Hafizar, Tata Negara, Jakarta, Yudhistira, 1995 Hasbi, Amiruddin M, Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman, Yogyakarta, UII Press, 2000 Hidayatullah, Moch Syarif, Konsep Kepala Negara dalam Islam, dalam www. Hasanain.com Hilmi, Mustafa, Nizam al-Khilafah Baina Ahl al-Sunnah wa al-Syiah, Iskandariah, Dar ad-Da‟wah, 1988 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perpektif Modernis & Fundamentalis, Khaldun, Ibn, Muqaddimah, Beirut, Dar al-Fikr, t.t, Madjid, Nurcholis, “Pembahasan Atas makalah KH. Achmad Siddiq, “Hubungan Agama dan Pancasila” dalam Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila”, Jakarta: Departemen Agama RI, 1984
127
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
________, Islam Kemodernan dan Ke-Indonesiaan, Bandung, Mizan, 1987 ________, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984 ________, Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni, www.artikelislam.com Mas'udi, Masdar Farid, Teologi Kontemporer: Meredefinisi Hubungan Agama dan Negara, Makalah pada Dialog Menata Kembali Hubungan Agama-Negara, Komnas HAM-ICRP, 6 Mei 2004 Munawwar, Said Agil Husin, “Fiqh Siyasah dalam Konteks Perubahan Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Ilmu Sosial Keagamaan, Vol I. No.1, 1999 Musa, Yusuf, Islam dan Tata Negara, Surabaya, al-Ikhlas Press, 1994 Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press, Jilid I, Vol I, 1974 Nurrohman, Konsep Imamat Menurut Imam Al-Haramain, Disertasi, S-3 Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004 Raziq, Ali Abd, al-Islam wa Ushul al-Hukm Bahts fi al-Khilafah wa Hukumah fi al-Islam, Kairo, Mathbaah al-Musyarakah, 1925 Schuman, Olaf, ”Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Madani dan Negara Islam”, Jakarta, Pramadina, Vol I, No 2, 1999 Santoso, Agus Edi (peny), Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholis Madjid-Mohammad Roem, Jakarta, Penerbit Djambatan, 1997 Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta, UI Press, 1993 Syamsudin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta, Logos, 2000 ________, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah pemikiran Politik Islam”, Jurnal Ulumul Quran, No. 2, vol IV, th 1992 Suaedy, Ahmad (ed.), Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, Yogyakarta, LkiS dan P3M, 2000 Sucipto, Hery, “Dilema Relasi Agama dan Negara, Media Indonesia”, Jum'at, 19 Juli 2002 Tibi, Bassam, Krisis Modern dalam Peradaban Islam, Terj. Yudian W. Asmin (et all), Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994 Tim Kajian Ilmiah Abituren 2007, Simbiosis Negara dan Agama: Reaktualisasi Syariat dalam Tatanan Kenegaraan, Kediri, Lirboyo, 2007 Tim Penyusun, Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, Balai Pustaka, 1994 Vogt, Karl (ed.), Dekonstruksi Syariah; Kritik Konsep dan Penjelasan Lain, Yogyakarta, LkiS, 1996 Wahab, Wahib, “Menggagas Reformulasi Relasi Negara dan Rakyat; Perspektif Teologi Politik Islam-Hermeneutik”, Jurnal Paramedia, Vol 1, No 1, April 2000
128
Rijal Mumazziq Zionis, Konsep Kenegaraan dalam IslamPerdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas
Wan Teh, Wan Zahidi bin, “Ciri-ciri Sebuah Negara Islam”, Jurnal YADIM, April 2001 Wahid, Abdurrahman “Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 26 Maret 1983 Wahyudi, M. Zaid, Relasi Antara Agama dengan Negara di Indonesia, Kompas, Selasa, 26 Juni 2007 Zahra, Abu (ed.), Politik demi Tuhan, Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999
129