Tangis bersemayam dalam hujan. Tak terdengar rintik relung jiwa yang tengah merundung. # ‘Oh Tuhan… kenapa hujan ini tak kunjung berhenti? Hujan seperti ini, mana mungkin aku bisa pergi? Tubuhku yang baru saja lepas dari jarum infus tak mungkin kupaksa kan bertarung bersama dingin yang menggigil ini. Entah sebenarnya aku marah pada siapa, pada waktu? Pada hujan? Atau pada diri sendiri?. Hanya saja perasaanku benar benat tak menentu. “Aku tahu dia telah datang dan menunggu ku di tempat biasa. Tapi aku masih ragu dengan ragaku” Gerutu Pemuda itu seraya memandangi tiap butir embun kaca yang sesekali menetes. Jam dinding menunjukkan pukul 3:45pm. Lelaki itu semakin resah. Pikirannya menghambur bersama hujan yang semakin menjadi.Tatapannya sedari tadi 7
tertuju pada sepeda motor yang terparkir di teras depan rumahnya. Matanya menerawang keinginan dalam kegelisahan. ‘Andai kali ini kubisa dapatkan kunci motorku, mungkinkah ku bisa temui dirimu? Aku tak yakin dan aku tak berani menjanjikannya. Telah kucoba berulang kali namun selalu saja tubuhku tertarik gravitasi dan terpaksa terbentur. Andai gravitasi mati dan hukum daya tariknya tak berlaku, mungkin ku bisa berdiri dan menghampiri tempat kita berdua.’
... *‘Hujan kali ini membuatku tak tenang. . . Segelas teh hangat yang kupesan telah karam dilambungku. Aku coba tenangkan diriku tenangkan hatiku meski saat ini perasaanku tak menentu. Dia memang baru saja sakit. Empat hari yang lalu, aku datang menjenguknya dirumah sakit. Ku kupaskan sepotong apel untuknya dan menyuapkan nya. Badannya terlihat begitu lemah tak berdaya, aku iba mengingat kondisi terakhir, wajar bila kali ini ia tak bisa datang secepat biasanya. Aku sedikit bisa memahami. Dia laki laki yang sangat kukenal namun terasa cukup asing dan aneh. Terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Mungkin saja saat ini masih sibuk dengan imanjinasinya yang diluar batas kemampuanku mengimbangi dirinya. Laki-laki yang cukup membingungkan,mencemaskan, namun juga menyenangkan. Aku hanya berharap semoga kali ini dia datang memenuhi permintaanku. Sebagai kekasih, jujur saja aku merindukannya. Sudah cukup lama kami tak bertemu didalam suasana yang hangat, sehangat cinta kami berdua. Lebih tepatnya 3 minggu yang lalu terakhir kali dia bawakan sepucuk bunga mawar merah kerumahku. Semoga dia tak ingkar janji.’ ... # ‘Aarrgghhhh.!! Sinyal di cuaca seperti ini sungguh membuatku geram!. Tiga pesan singkatku padanya tak terkirim. Kenapa?!!!... Mengapa? Semuanya seolah menghalangiku, Menghentikan 2
langkahku untu bertemu dengannya. Tak berhak kah diriku datang dan menghampirinya untuk sekedar 9
memeluk atau mengucapkan apa kabar? Tak baikkah jika aku meleburkan kerinduanku dngan dia yang mungkin kini tengah dibalut rasa gelisah atau bahkan marah karena tak kuberikan alasan mengapa aku belum juga datang. Berulang kali kucoba hubungi ponselnya namun hasilnya nihil. Mungkin sinyal ditempatnya tak berbeda jauh dengan kondisi ragaku saat ini. Sepi, sunyi nan bersahaja. . . Hanya hujan yang bernyanyi dengan sengau nada sumbang, bayangan yang menari dalam benak. Sementara waktu terus saja berlalu, Aku masih terkapar di ranjangku. Sambil sesekali kutekan pening kepalaku, kamarku kini seperti sebuah lampion yang teromabang ambing angin. Bergerak, berputar-putar, buyarkan pandangan. Mual dan pusing kian terasa, kian pekat, kian berat. Bukan maksud hatiku mengumpat Tuhan, namun kenapa Tuhan Engkau seakan tak izinkan aku bahagia bersama nya? Salah kah cintaku padanya? Lalu dimana salahnya?. Memang, aku tahu dan aku paham, kami berdua adalah pasangan yang terpaut usia cukup jauh. Namun, tidakkah Engkau biarkan aku mempertahankan hubunganku bersama wanita pilihan hatiku? Keadaan kami yang selalu kritis, kumohon Tuhan… Jangan leburkan hubungan kami yang baru saja kucoba jalani sepenuh hati.’ * ‘Hmmhh… Dadaku terasa sesak. Bagaikan 3
terhimpit dalam ruang hampa, melesat jauh ke angkasa tanpa seorang pun yang dengar dan rasakan apa yang tengah kurasa. Percuma saja bila kuhanya bisa menangis dalam hujan yang seolah mentertawakan tangisku. Lebih baik ku diam tanpa kata, daripada menangis tanpa teman untukku mengadukan isi hati. Aku hanyalah wanita biasa, yang ingin seperti mereka teman temanku pada umumnya. Dibelai, disayang, dimanja, dan dicinta. Hahaha lucu sekali kedengarannya. Hubunganku kini bersamanya justru sebaliknya, aku yang tujuh tahun lebih tua darinya harus lebih bisa memahami suasana, menekan ego dan mengerti dirinya. Mana pernah dimanja, malah aku yang mencoba mengerti apa keinginannya. Tapi bagiku itu bukan sebuah masalah yang perlu dibahas dalam kehidupan cintaku. Biarkanlah mengalir seperti air. Kali ini mungkin aku hanya tidak bisa tekan perasaanku mengingat mereka* memandangiku seolah diriku tak punya malu. 11
Usia pacaran kami yang menginjak sembilan bulan kini semakin membuka pikiranku tentang hukum kehidupan yang sebenarnya. Kudapatkan banyak ilmu didalamnya. Senang, girang, susah, resah, amarah, semua telah kupahami dan aku pun mulai terbiasa dengan cemoohan mereka terhadapku. Kuping ini sudah cukup kebal untuk menahan tawa mereka ditengah kegusaran perasaanku. Tapi. . . masa iya aku harus selalu mengalah? meski usiaku diatasnya, apakah itu berarti aku tak 4
boleh sekali saja memaksakan ego ku?. Sorot mata kedua orang tuanya selalu miris kurasa, perih batinku setiap mengingat tatapan dingin mereka saat memandangiku. Hanya adiknya yang selalu mencoba membuatku tergar, dan adiknya pula yang tak pernah mempermasalahkan kehadiranku kedalam kehidupan abangnya Aku tak mengerti bagaimana hukum cinta yang berlaku. Yang kurasakan, aku sayang pada laki laki itu, buktinya aku selalu bisa mengalah untuknya tanpa kutahu pasti alasannya kenapa. Tapi ya… sudahlah. Aku tak mau meratap pilu ditengah gerimis buta ini.’ Wanita itu masih menunggu ditempat biasa ia bertemu dengan kekasihnya. Awan semakin merapatkan barisan, bergulung gulung dibarengi kilat yang menjilat jilat menutup bencah cahaya yang hitam kala padam. Pikirannya kalut tak berpenentuan mengikuti lamunan. Mengenang seluruh sastra cinta keabadian tentang lelaki yang kini ia jadikan teman*. ... # ‘Aku memang laki laki bodoh yang tak memiliki cukup keberanian untuk memperjuangkan perasaan. Maafkan aku yang abaikan kebaikan. Diriku yang tak peka tentang sebuah kerinduan. Betapa hidupku kini bagaikan ‘Berjalan dalam asa hampa seolah tak kumiliki setitik kuasa’ pada diriku sendiri. Ini kan hidupku, lalu kenapa aku tak bisa tentukan mana yang harus kulakukan? Betapa bodohnya diriku. Apakah tubuh ini bisa kujadikan sebuah alasan untuk sebuah kiasan?. Bersamaku, 5
mungkinkah ia pernah merasa kuberikan sebuah kebahagian? Mungkinkah dia rasakan kedamaian yang berarti didalam hatinya? Apakah pernah kubuatnya merasakan ketentraman saat bersamaku? Aku tak tahu. Setahuku, ia selalu mencoba mengerti diriku, memahami ego ku dan meng iya_kan mau ku. Lalu apakah aku pernah melakukan hal sama seperti 13
yang dia lakukan padaku? Pertanyaan itu menghiasi kegundahanku. Oh Tuhan… betapa tak bergunanya diriku ini. Hanya menjadi beban baginya. Meski ia belum pernah atau mungkin takkan pernah mengeluh dihadapanku. Sejauh ini tak pernah kulihat keluh kesahnya tentang hubungan kami berdua. Pikirannya jauh lebih dewasa dari yang kukira. Dunia memang selalu membuatku terpana, disetiap sudutnya ternyata masih ada sudut yang lain lagi. Wanita sepertinya tak seharusnya bersanding dengan laki laki sebodoh diriku. Ia layak mendapatkan yang jauh lebih baik dariku. Maafkan aku ya..’ ia memandangi foto wanita tegar itu yang ia simpan didalam ponsel nya. * ‘Oke. . . sepertinya…’ nafas berat. ‘Oke… sepertinya aku masih punya 30 menit lagi. Kucoba menunggu kamu, biarlah waktu terus saja berdetik seiring detak jantungku yang semakin melemah. Kamu sudah menjadi sebagaimana dirimu, aku suka itu. Dari sekian banyak laki_laki yang pernah kutemui, setidaknya bersamamulah kehidupanku menjadi lebih berarti. Entah mengapa meskipun sering kurasakan 6
sakit hati atas cibiran serta hinaan orang orang di sekitar kita, namun bagiku itulah sebuah pembelajaran yang patut ku syukuri.
7