KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA SAKINAH Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : Ahmad Mulyono NIM. 104044101386
KONSENTRASI
PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H / 2009 M
KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA SAKINAH
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : Ahmad Mulyono NIM. 104044101386
Di Bawah Bimbingan :
DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA NIP. 150 289 199
Kamarusdiana, S.Ag., MH NIP. 150 285 972
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi
berjudul
KONSEP
KAFAAH
DALAM
HUKUM
ISLAM
DAN
URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA SAKINAH telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Januari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah (Peradilan Agama).
Jakarta, 09 Januari 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 150 169 102
(………...……………)
2. Sekretaris
: Kamarusdiana, S.Ag., MH NIP. 150 285 972
(……...………………)
3. Pembimbing I : DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA NIP. 150 289 199
(…………………..…)
4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag., MH NIP. 150 285 972
(…..…………….……)
5. Penguji I
: Prof.DR.H.M.Amin Suma,SH,MA,MM (…..………….……....) NIP. 150 210 422
6. Penguji II
: Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 150 169 102
(……..…………….....)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 09 Januari 2009
Ahmad Mulyono
MOTTO
“Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS.al-Insyirah, 94: 5-8)
Salam hormat buat pagi hari Lihatlah siang hari mulai merekah Itulah kehidupan, kehidupan yang sesungguhnya Dalam waktu yang singkat engkau akan menjumpai Berbagai macam hakekat keberadaanmu Yaitu nikmat pertumbuhan, karya yang mulia dan kesuksesan yang cemerlang Karena hari kemarin tiada lain hanyalah mimpi Hari esok tiada lain hanyalah fantasi Tapi hari yang kau jalani dengan seutuhnya akan mengubah Hari kemarin menjadi mimpi yang indah Dan tiap hari esok akan menjadi penuh dengan harapan Maka lihatlah dengan baik hari ini (Kalidasha)
Skripsi ini saya persembahkan untuk : Kedua Orang Tua tercinta (Ayahanda Sunarto dan Ibunda Mujiati), Kakek (alm) dan Nenek, Ibunda Siti Fatimah sekeluarga serta Kakak (almh) dan adikku tersayang.
KATA PENGANTAR
Ahamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasululllah SAW. beserta keluarga dan sahabatnya, yang telah menunjukkan jalan kebenaran kepada kita baik di dunia maupun di akhirat. Skripsi ini dengan
judul “Konsep Kafaah dalam Hukum Islam dan
Urgensinya terhadap Keutuhan Rumah Tangga Sakinah” diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seolah terasa ringan berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis berkenan mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak tertentu, tanpa mengurangi rasa hormat penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu dalam pengantar yang singkat ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada: 1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, beserta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah, dan Kamarusdiana, S.Ag, MH, Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah, serta seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA dan Kamarusdiana, S.Ag, MH, yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk
membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Iman Jama’ yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan. 5. Ayahanda Sunarto dan Ibunda Mujiati yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil, perhatian, kasih sayang dan doa yang tak pernah hentihentinya diberikan kepada Ananda. ‘Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan semoga Allah mengasihi keduanya sebagaimana mereka mengasihiku sewaktu masih kecil’. 6. Atase Agama, Atase Promosi Pendidikan, khususnya kepada Atase Pendidikan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, Bapak Rosli bin Sakimin sekeluarga yang telah membantu menyediakan fasilitas dalam penulisan skripsi ini. 7. Keluarga Besar Ikatan Alumni Madrasah Raudlatul Ulum (IKAMARU), Komando Resimen Mahasiswa “WIRA DHARMA”, dan Perguruan Kungfu Shaolin “Lan She Lung”, di mana penulis mendapatkan tambahan bekal ilmu dan pengalaman yang sangat berharga dalam menghadapi tantangan masa depan.
8. Teman-teman senasib dan seperjuangan: Amien, Omen, Said, Nurul, Ragil, Nu’ma, Hanifah, Amiq (almh), dkk. Teman-teman PTIQ: Mahasin, Ruba’I, Ashari, dkk. Teman-teman Malaysia: Norman, Izrul, Fahmi, Jamilah dan tidak lupa Ummu Hajar. Serta teman-teman kelas PA baik reguler maupun ekstensi. Semoga pertemuan dan persahabatan ini dirahmati oleh Allah serta tetap terjalin indah selamanya. 9. The last but not least, untuk semua pihak yang telah berjasa dalam proses penyusunan skripsi ini. Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang berlipat-ganda dari Allah SWT dan termasuk sebagai amal yang saleh. Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam ikut serta membantu kemajuan pendidikan, khususnya masalah pembinaan keluarga sakinah dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita sekalian. Amin ya Robb al-‘Alamin.
Jakarta, 12 Muharram 1430 H 09 Januari 2009 M
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................
i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................
5
D. Kajian Pustaka ..........................................................................
6
E. Metode Penelitian ..................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan................................................................ 12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH TANGGA SAKINAH A. Konsep Pernikahan dalam Islam................................................ 13 1. Pengertian Pernikahan ........................................................ 13 2. Hukum dan Prinsip Pernikahan ........................................... 17 3. Tujuan dan Hikmah Pernikahan........................................... 19 B. Ajaran Islam untuk Mencari dan Memilih Pasangan Hidup ...... 21 1. Kriteria Calon Suami........................................................... 21 2. Kriteria Calon Isteri............................................................. 28 C. Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah .................... 45
BAB III
KAFAAH DALAM ISLAM A. Pengertian Kafaah dan Dasar Hukumnya .................................. 55 B. Pendapat Ulama tentang Kafaah................................................ 57 C. Kafaah dalam Pernikahan.......................................................... 68
BAB IV
URGENSI KAFAAH TERHADAP KEUTUHAN KELUARGA A. Permasalahan dalam Pernikahan ............................................... 76 1. Halangan Pernikahan........................................................... 76 2. Krisis Rumah Tangga.......................................................... 82 B. Upaya untuk Menjaga Keutuhan Keluarga ............................... 85 C. Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga ............................ 94
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................103 B. Saran .......................................................................................105
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia. Dari makhluk yang diciptakan berpasangpasangan inilah, Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang pernikahan.1 Pernikahan adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi dapat juga dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami-istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara suami dengan istrinya, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah
1
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet.ke-1, (Bogor: Kencana, 2003), h. 12.
pihak, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan tolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan.2 Secara umum, pernikahan dianggap sebagai aktifitas penyatuan dua jiwa ke dalam sebuah ikatan yang sakral, menciptakan rumah tangga sakinah dan menurunkan generasi demi generasi. Oleh sebab itu, syariat Islam menetapkan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan ini. Begitu teliti Islam mengatur sendi-sendi kehidupan manusia sehingga menyentuh bagian dasar yang dianggap non-prinsipil tetapi sebenarnya adalah prinsipil, seperti menikah dengan pasangan yang sekufu-sepadan, baik dari segi sosial, harkat dan martabat, keturunan, pengetahuan, wawasan, suku, ras, agama, dan lain sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara naluriah setiap manusia ingin mendapatkan pasangan hidup yang sepadan, bahkan yang lebih baik dari dirinya. Sewajarnya mereka membutuhkan adanya keserasian dalam pernikahan. Kesepadanan dalam pernikahan berarti kecocokan yang diperlukan untuk membentuk keluarga sakinah. Sebaliknya, ketidaksepadanan dalam pernikahan dapat mengakibatkan ketimpangan yang menimbulkan kesenjangan sosial dalam rumah tangga. Memperhatikan terlebih dahulu kafaah adalah salah satu faktor penting yang sebaiknya dipertimbangkan oleh calon suami/istri maupun orang tua wali sebelum memasuki gerbang pernikahan. Karena mengetahui cocok atau tidaknya calon pasangan hidup sebelum pernikahan itu jauh lebih baik daripada 2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet.ke-29, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), h. 374.
mengetahuinya setelah berumah tangga. Selain itu, menerapkan kafaah bisa mengurangi tingkat kesenjangan antara suami-isteri serta mencegah seringnya pertengkaran dan keributan dalam rumah tangga. Namun,
sebagian
para
calon
pasangan
pengantin
tidak
terlalu
memusingkan masalah kafaah ini. Mereka berpikir bahwa keutuhan rumah tangga bisa terwujud hanya dilandasi oleh cinta. Kemurnian cinta bisa mengalahkan segala-galanya, ‘Love is Blind’, cinta itu buta. Kekuatannya begitu dahsyat sehingga sanggup menerjang segala hambatan yang menghadang. Jika cinta sudah bicara, apa yang tidak bisa dilakukan? Adat-istiadat akan didobrak, kafaah akan dilabrak, bahkan tidak jarang ajaran agama dan hukum negara pun akan dilanggar. Tidak peduli apakah itu halal atau haram, tidak peduli itu dosa dan berujung dengan ganjaran menginap di penjara. Semua itu tidak berarti apa-apa bagi insan yang sedang kerasukan cinta dan dilanda mabuk asmara. Namun ketika cinta memasuki bahtera rumah tangga dan mengarungi samudera kehidupan, ketika prahara mengguncang dan mengancam keutuhan bahtera itu, mereka baru sadar bahwa cinta itu tidak menjamin segalanya menjadi lebih baik. Kafaah dalam pernikahan merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami-isteri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafaah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/isteri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Karena pernikahan yang tidak seimbang serta banyaknya perbedaan antara suami-istri akan menimbulkan problema berkelanjutan yang
mengancam keutuhan rumah tangga dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Itulah beberapa permasalahan yang melatarbelakangi penulis untuk mengadakan
pembahasan
dan
penelitian
masalah
tersebut
dengan
menuangkannya dalam sebuah karya ilmiah (skripsi) berjudul: “Konsep Kafaah dalam Hukum Islam dan Urgensinya terhadap Keutuhan Rumah Tangga Sakinah.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan pada masalah yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, maka pembatasan pokok masalah yang hendak dibahas melalui skripsi ini adalah bagaimana pandangan Islam, baik yang berupa pendapat ulama dalam kitab-kitab fiqh maupun dalam hukum positif Indonesia tentang konsep keluarga sakinah mawaddah warahmah dan kafaah dalam pernikahan. Juga membahas tentang permasalahan yang muncul dalam bahtera rumah tangga dan upaya untuk menjaga keutuhan keluarga serta urgensi kafaah dalam membina rumah tangga yang sakinah. 2. Perumusan Masalah Pada umumnya, setiap orang menginginkan kehidupan keluarga yang bahagia, sakinah mawaddah warahmah. Rumah tangga sakinah memang tidak hanya didasari oleh satu sebab saja tapi ada banyak hal yang bisa
menciptakan surga dalam rumah tangga, ‘Baiti Jannati’. Demikian juga, banyak hal yang bisa menyebabkan kebahagiaan, sebanyak itu pula yang bisa menjadikan kehancurannya. Perceraian merupakan salah satu akibat dari berbagai hal yang menyebabkan kegoncangan dalam rumah tangga dan mengancam keutuhan keluarga, diantaranya adalah ketidakcocokan antara suami-isteri sehingga sering bertengkar. Dalam Islam, ketidakcocokan ini sama artinya dengan tidak sekufu. Agar lebih mudah dipahami, maka masalah ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana rumusan konsep tentang pembinaan keluarga sakinah mawaddah warahmah dalam hukum Islam? 2. Bagaimana konsep kafaah dalam Islam yang dapat menciptakan kebahagiaan dalam rumah tangga umat Islam dan masyarakat pada umumnya? 3. Bagaimana urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga dalam menghadapi berbagai permasalahan rumah tangga?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Untuk memperjelas sasaran yang akan dicapai melalui penelitian sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Memperoleh gambaran, pengetahuan dan pemahaman tentang konsep pembinaan keluarga sakinah mawaddah warahmah dalam hukum Islam;
2. Dapat mengetahui konsep kafaah dalam Islam untuk menciptakan kebahagian rumah tangga dalam mengarungi bahtera kehidupan; 3. Dapat mengetahui urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga dalam menghadapi berbagai permasalahan rumah tangga. Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Bagi dunia keilmuan, menjadi bahan kajian atau referensi ilmiah kritis dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan mengisi perubahan kehidupan bangsa dan negara; 2. Bagi masyarakat, menjadi bahan pertimbangan dalam memilih calon pasangan hidup dalam membina rumah tangga sakinah; 3. Dapat mendorong kemajuan pola pikir umat Islam Indonesia dari stagnasi pemahaman hukum.
D. Kajian Pustaka Pertama, dalam tulisan Nurhayati tentang Konsep Keluarga Sakinah KH. Abdullah Gymnastiar (‘Aa Gym)3, dijelaskan bahwa ada tiga pola pembinaan keluarga sakinah ‘Aa Gym yaitu pembinaan ekonomi, pembinaan pendidikan dan pembinaan keluarga dalam bermasyarakat. Perekonomian keluarga ‘Aa Gym didirikan atas dasar sikap pertengahan, yaitu tidak berlebihan dan tidak pula terlalu hemat sehingga terkesan kikir, serta
3
Nurhayati, “Konsep Keluarga Sakinah KH. Abdullah Gymnastiar; Study Tokoh Pimpinan Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 37-40.
diupayakan adanya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan duniawi dan kebutuhan ukhrawi. Selain itu, dalam keluarganya diterapkan sifat sabar dan qana’ah (menerima apa adanya) atas rizki yang diperoleh dari hasil ikhtiar, dan dalam mengelola keuangan keluarga memakai prinsip mengutamakan kebutuhan primer, kemudian kebutuhan sekunder dan setelah itu baru pemenuhan kebutuhan pelengkap (tersier). Pola pembinaan selanjutnya adalah melatih sikap zuhud (menjadikan dunia sebagai sarana, bukan tujuan utama), dan wara’ (hati-hati dalam menjalani hidup). Kemudian juga melatih jiwa wiraswasta agar mampu menggunakan pikiran dan potensi secara tepat, kreatif, efektif, dan efisien. Pembinaan terhadap keluarga, terutama istri sangat diperlukan untuk menjadi sosok yang diteladani oleh anak-anak, karena istri (ibu) adalah seorang pendidik pertama dan utama bagi anak-anak dalam keluarga. Pada ibu-lah beban digantungkan, sebagaimana digambarkan bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Adapun pola pembinaan yang dilakukan ‘Aa Gym terhadap istri dan anak-anaknya di antaranya yaitu: menyamakan visi dan misi, memberi teladan dan pendidikan, membuat dan menetapkan peraturan yang adil serta istiqamah. Sedangkan pembinaan keluarga dalam masyarakat, bahwa semua keluarga muslim terikat dalam satu kesatuan kokoh yang mempunyai keserasian dalam hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam melaksanakan amanat Allah SWT yang diwujudkan dalam perilaku bermasyarakat berdasarkan prinsip tauhid,
ukhuwah, musawwah, musyawarah, ta’awun, tahafulul ijtima’, fastabiqul khairat, tasamuh, amal shalih, dan istiqamah.4 Dalam tulisannya ini, Nurhayati menitikberatkan pembahasannya tentang keluarga sakinah secara umum dan konsep ‘Aa Gym dalam membina keluarganya menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah. Kedua, Umar, dalam tulisannya tentang Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam5, menyatakan bahwa kafaah berlaku untuk Ahlul Bait Nabi SAW dan keturunannya, Alawiyyin, baik itu laki-laki (syarif) maupun perempuan (syarifah). Hal ini disebabkan agar hubungan tali kekerabatan dengan Nabi SAW tidak terputus. Kafaah adalah bagian dari syariat pernikahan, Rasulullah SAW sendiri yang mengatur prosesi pernikahan anak-cucunya. Penerapan kafaah semestiya dipahami dan dihayati oleh semua pihak, khususnya pihak yang bersangkutan, yaitu syarifah itu sendiri. Adapun walinya, keluarga, kerabat atau teman-temannya harus mendukung penerapan kafaah. Sementara, orang-orang selain Alawiyyin hendaknya ikut melestarikan populasi keturunan Rasulullah SAW dengan cara menjaga substansi kafaah. Karena terwujudnya silsilah mulia mereka bukan berdasarkan permintaan, melainkan anugerah Ilahi. Maka, bagi Alawiyyin seyogyanya mensyukuri nikmat itu.6
4
Ibid., h. 53. Umar, “Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 49-51. 6 Ibid., h. 60. 5
Demikianlah, dalam tulisannya ini, penulis menggambarkan tentang Ahlul Bait dan keutamaannya dibandingkan dengan umat Islam yang lain serta kafaahnya dalam pernikahan. Ketiga,
Abdullah
Zahir,
dalam
tulisannya
tentang
Menyingkap
Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Hukum Islam7, menyatakan bahwa dalam hal perkawinan, kaum Alawiyyin yang ada di Indonesia memiliki beberapa tahap dalam menyelenggarakan perkawinannya, di antaranya yaitu: 1. Meminta dengan mengadakan pertemuan antara kedua belah pihak orang tua. Istilah untuk tahap ini adalah “baca fatihah.” 2. Tunangan. Setelah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melanjutkan hubungan yang lebih serius. Istilahnya “tukar cincin.” 3. Lamaran. Sebelum menikah, pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak perempuan. Hukum lamaran tidak wajib dan berbeda-beda menurut adat masing-masing. 4. Akad Nikah. Para ulama Alawiyyin mewajibkan pernikahan sekufu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah SAW yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Hadis tetap berada dalam diri mereka. Penulis memperoleh hasil tentang perkawinan senasab di kalangan Alawiyyin sebanyak 84% yang menjalani konsep kafaah nasab tersebut dengan 7
Abdullah Zahir, “Menyingkap Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Islam; Studi Yayasan Rabithah Alawiyyah”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 73-87.
baik, sedangkan sebanyak 16% tidak menjalankan konsep kafaah nasab dalam pernikahannya disertai dengan alasan masing-masing.8 Pelaksanaan kafaah yang dilakukan oleh golongan Alawiyyin didasari oleh perbuatan Rasulullah SAW yang dicontohkannya dalam menikahkan putrinya, Fatimah dengan Ali. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyyin menjaga anak putrinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.9 Berbeda dengan tulisan kedua tentang Ahlul Bait dan Kafaahnya yang dijelaskan secara umum, Penulis kali ini menitikberatkan pada perkawinan Ahlul Bait (Alawiyyin) di Indonesia dan kafaahnya serta dilampirkan juga prosentase yang
menikah
dengan
menerapkan
kafaah
nasab
dan
yang
tidak
melaksanakannya.
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari kajian pustaka yang telah Penulis dapatkan dari beberapa literatur kepustakaan, kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang obyektif, logis, konsisten
8 9
Ibid., h. 77. Ibid., h. 87.
dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam skripsi ini.
2. Jenis Penelitian Dalam skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Kajian pustaka meliputi pengidentifikasian, penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. 3. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekuder, yaitu : b. Data Primer Data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Adapun dokumen yang dimaksud adalah : Al-Qur’an, Hadis, Kitab-kitab Fiqh klasik, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974, dan Kompilasi Hukum Islam. c. Data Sekunder Meliputi : Majalah, Bulletin, Koran, Internet dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang sedang dikaji.
Kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkannya dengan masalah yang diteliti.
F. Sistematika Penulisan Adapun laporan hasil penelitian ini dituangkan ini dalam bentuk karya tulis skripsi dengan sistematika penulisan sebagaimana berikut : Bab pertama, Pendahuluan. Pembahasan ini mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua, Tinjauan Umum Rumah Tangga Sakinah. Pembahasan ini mencakup konsep pernikahan dalam Islam, ajaran Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup, dan konsep keluarga sakinah mawaddah warahmah. Bab ketiga, Kafaah dalam Islam. Pembahasan ini mencakup pengertian kafaah, pendapat ulama tentang kafaah, dan hukum kafaah dalam pernikahan. Bab keempat, Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga. Pembahasan ini mencakup permasalahan dalam pernikahan, upaya untuk menjaga keutuhan keluarga, dan urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga. Bab kelima, Penutup. Pembahasan ini mencakup kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH TANGGA SAKINAH
A. Konsep Pernikahan dalam Islam 4. Pengertian Pernikahan Dalam bahasa Indonesia, pernikahan berasal dari kata “nikah”, yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).10 Sedangkan menurut istilah, nikah berarti suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.11 Akad ini menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Itu merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan memiliki keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam. Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus). Pernikahan disebut juga perkawinan, berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.12
10
Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy al-Shan’aniy, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, jil.III, (Bandung: Dahlan, tth.), h. 109. 11 M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 249. 12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.II, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h.456.
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah:
َِع#ْ$ِ#ْ"َ ْاءَةِ وَ*ِ& ا$ِْ' ِ&ُ% َعِ ا#ْ$ِ#ْ"اَّوَاجُ َ ًْ هَُ ٌَْ وَََُ ارِعُ َُِِْ ِ ْ!َ ا .ِ&ُ% ِ' َِ ْاءَة$ْا Artinya: “Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.”13 Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani mendefinisikan:
ُ 'ِِ اَْطْء1&ِ2َِ ی4َْ%َْ او4َْ' ٌَْ ََُحُ َ ًْ ه.,-َا Artinya: “Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang menghalalkan hubungan seksual antara suami-istri.”14 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian perkawinan dan tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut: Pasal 2: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3: Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 15 Adapun yang dimaksud dengan perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU No.1/1974) pasal 1 bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
13
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz-7, cet.III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 29. 14 Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, juz-5, (Kairo: Maktabah alIman, t.th.), h. 110. 15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2005), h. 114.
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal 2 KHI menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menggunakan istilah yang bersifat umum, maka KHI menggunakan istilah khusus yang tercantum dalam al-Qur’an. Misalnya, mitsaqan galidzan, ibadah, sakinah, mawaddah, dan rahmah. 16 Kedua pengertian perkawinan tersebut dari sudut kebahasaan dan istilah, dapatlah dipahami bahwa nikah merupakan suatu ikatan perjanjian yang sakral dan kekal antara seorang laki-laki (calon suami) dengan seorang perempuan (calon istri) untuk bersama-sama sepakat saling mengikat di antara keduanya, hidup bersama dalam membentuk lembaga keluarga (rumah tangga) agar memperoleh kedamaian hati, ketenteraman jiwa dan cinta kasih. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21 sebagai berikut:
!" ()*, ./ #☯&' !9,: 5678 01&234 16
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 7-8.
A3B <34 @ =☺ ? ,;<2*< HI*4/ EF G CD MNOP JK⌧ Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum, 30:21) Dasar disyariatkannya nikah ialah firman Allah SWT dalam surat anNisa ayat 3 :
ST0U 0 (*"00R ... @Y;8Z V0W X0 S 3_R ( ] ^? [7\ (*c7 ab \.&S ... e;c*R Artinya: “…, maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja,...” (QS. An-Nisa’, 4:3) Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
َ ََْ َ ی:َ= َ"َُ َ َِْ و7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 :َََل6 ُْ-َ ُ7َ ا8َِِ َ;ُْْدٍ ر4ْ'ِ ا4َ ْ=َ ْ4ََُ ِ َْ ْجِ و4َGْ*ََ ِ وَاGَ@ْ ِ 1FَEََِﻥُ اC ََْوج#َْ َC َُ=ُ اْ@َءَة.ْ-ِ ََعBَ#ْ"ِ ا4َ ِا@َب 17
( K#) .ٌَء%َِِﻥُ َُ وC ِْمGِ' َِْ ََC ْHِBَ#ْ;َی
Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian mampu (mempunyai biaya), maka hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya nikah dapat menundukkan mata dan dapat menjaga kemaluan (kehormatan). Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka hendaklah berpuasa, karena puasa merupakan perisai baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
17
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz-3, (Beirut: alMaktabah al-Ashriyyah, 1997), h. 1632.
5. Hukum dan Prinsip Pernikahan Hukum pernikahan menurut para ulama bermacam-macam, yaitu berdasarkan situasi dan kondisi. Akan tetapi, Islam sangat menganjurkan umatnya yang sudah mampu untuk menikah karena banyak hikmah yang terkandung di dalamnya. Hukum pernikahan berdasarkan situasi dan kondisi ini terbagi menjadi lima, yaitu:18 a. Sunah,19 artinya nikah itu sunah bagi orang yang telah mampu dan berkehendak untuk menikah. b. Wajib,20 artinya nikah itu wajib dilaksanakan bagi mereka yang telah mampu menikah dan jika tidak menikah ia akan terjatuh ke dalam perzinaan. c. Mubah,21 artinya nikah itu mubah bagi orang yang tidak terdesak oleh halhal yang mengharuskan atau mengharamkan nikah. d. Makruh,22 artinya nikah itu makruh bagi orang yang tidak mampu untuk nikah, yakni tidak mampu baik biaya maupun mental.
18
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jil.II, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1983), h. 12-14. Pernikahan yang hukumnya sunnat berarti pernikahan itu lebih baik dilakukan daripada ditinggalkan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. 20 Pernikahan yang hukumnya wajib berarti pernikahan itu harus dilakukan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan berdosa. 21 Pernikahan yang hukumnya mubah (boleh) berarti pernikahan itu boleh dilaksanakan dan boleh tidak dilaksanakan, jika dilaksanakan tidak ada sanksi apa-apa, yakni tidak mendapat pahala dan tidak berdosa. 22 Pernikahan yang hukumnya makruh berarti pernikahan itu lebih baik ditinggalkan daripada dilakukan, apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan tidak berdosa. 19
e. Haram,23 artinya nikah itu haram hukumnya bagi orang yang berkeinginan nikah dengan niat menyakiti atau berbuat aniaya. Prinsip-prinsip hukum pernikahan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengandung 7 asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut: a. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami dan istri perlu saling
membantu
dan
melengkapi
agar
masing-masing
dapat
mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b. Asas keabsahan pernikahan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan pernikahan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. c. Asas monogami24 terbuka. d. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa dan raganya dapat melangsungkan pernikahan, agar mewujudkan tujuan pernikahan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.
23
Pernikahan yang hukumnya haram berarti pernikahan itu dilarang keras dilakukan, jika dilakukan berdosa dan jika tidak dilakukan mendapat pahala. 24 Perkawinan diartikan seorang perempuan hanya memiliki seorang suami dan seorang lakilaki hanya memiliki seorang istri. (KUH Perdata ps. 27)
e. Asas mempersulit terjadinya perceraian. f. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri. g. Asas pencatatan pernikahan. Pencatatan pernikahan mempermudah mengetahui orang-orang yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan.25 6. Tujuan dan Hikmah Pernikahan Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga untuk mencapai tujuan syariat yaitu kemaslahatan dalam kehidupan. Adapun secara rinci, tujuan-tujuan dari pelaksanaan pernikahan dalam rangka membentuk lembaga keluarga (rumah tangga), yakni sebagai berikut: a. Menurut al-Quran 1) Dalam surat al-A’raf ayat 189, menyatakan bahwa tujuan pernikahan itu adalah untuk bersenang-senang. 2) Dalam surat ar-Rum ayat 21, menyatakan bahwa tujuan pernikahan adalah: litaskunu ilaiha (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang).26
25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarijan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU no. 1/1974 sampai KHI, ed.I, cet.III, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 54.
b. Menurut Hadis 1) Untuk menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan 2) Sebagai kebanggaan Nabi SAW di hari kiamat.27 c. Menurut Akal 1) Meningkatkan jumlah manusia 2) Mewujudkan keteraturan nasab 3) Menertibkan masalah kewarisan.28 Sedangkan hikmah yang terkandung dalam pernikahan itu antara lain: a. Pernikahan sesuai dengan fitrah manusia untuk berkembang biak dan melampiaskan syahwat. b. Upaya Menghindarkan diri dari perbuatan maksiat (zina). c. Untuk mendapatkan keturunan yang baik dan jelas nasabnya.. d. Memperkokoh tali persaudaraan dalam masyarakat, terutama antar keluarga. e. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tenteram dengan adanya cinta dan kasih saying antara sesama.29
26
A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo; Topik-topik Pemikiran Aktual Diskusi, Pengajian, Ceramah, Khutbah, dan Kuliah Shubuh di Tanah Gayo Tahun 2006, ed.I, (t.t.: Qalbun Salim, 2007), h. 86. 27 Ibid., h. 88. 28 Ibid., h. 89. 29 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 12.
B. Ajaran Islam untuk Mencari dan Memilih Pasangan Hidup Agama Islam memberikan kebebasan, baik kepada laki-laki maupun perempuan untuk mencari pasangan hidupnya menurut selera dan perasaan cintanya masing-masing. Meskipun demikian, bukan berarti Islam memberikan kebebasan secara mutlak dalam hal mencari dan memilih pasangan hidup tanpa mengindahkan kaidah-kaidah hukum agama, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Islam dengan jelas dan tegas mengharamkan cara mencari dan memilih pasangan hidup melalui hubungan bebas (free love), melakukan hubungan seks di luar pernikahan (free sex), karena dalam hukum Islam disebut zina. Sebagaimana dijelaskan secara tegas dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 32:
( A;fghi0 (* J&4 5b V0n ,= mR #⌧l j k"34 MgNP Z⌧o39n Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’, 17:32)
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam sangat mengharamkan hubungan bebas di luar pernikahan secara resmi antara laki-laki dengan perempuan atau sebaliknya, karena perbuatan itu termasuk zina yang kotor dan keji. Islam sangat menghargai kehormatan dan kemuliaan manusia. 1. Kriteria Calon Suami
Kriteria calon suami harus diketahui oleh pihak perempuan yang bersangkutan yang hendak menjalankan rumah tangga dan juga harus diketahui oleh orang tua perempuan sebagai penanggungjawabnya.30 Hal ini karena pihak perempuan sangat bergantung kepada suaminya dalam membentuk dan membina rumah tangganya. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
A qr*s*# p#ghJ0 uV0 56atR 0☺3 V0W X0 vw7 @A \15t7 (*!4⌧" V0☺3 @ 31*& Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya... “ (QS. An-Nisa’, 4:34) Sesuai dengan fungsinya sebagai suami yang mengendalikan biduk rumah tangga secara fitrah, fisiologis dan psikologis, maka suami berhak untuk memimpin, membimbing dan menjaga keluarganya secara lahir dan batin. Adapun kriteria-kriteria yang harus dimiliki seorang laki-laki sebagai calon suami adalah sebagai berikut: a. Laki-laki yang seagama Dalam hal memilih calon suami, pihak perempuan dan keluarganya wajib untuk memilih laki-laki yang seagama.31 Dalam ajaran Islam, seorang perempuan muslimah diharamkan menikah dengan seorang 30
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz. Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil, cet.I, (Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2006), h. 537. 31 Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, Aujar al-Masalik ila Muwatha’ Malik, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), h.391.
laki-laki non-muslim. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat alQur’an berikut ini:
َُ"ِنْ َُُِْهُ َُِْتٍ ََ َُِْهُ إِ َ ا ْ ُ رِ َ ه.. .. . ُ$َ ََ*ِ)ن+ ْ#ُْ وَ َ ه#ُ$َ %&ِ' Artinya: “…jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. ..” (QS. Al-Mumtahanah, 60:10)
(*, 5b @Y{| F⌧l3yz☺&0 =;X = @ } * C=⌧l3yz yJS (*,7 5b 9 @Y{| Bl3yz☺&0 YcC7 @ (*, C
3yz yJS 9 * Av34 *c Ck uV0 ( ?0<,0 =<X&0 Av34 ()*c ; J&☺&0 B3 C ( "&D3_3 <0<X JKl⌧o 1k7 MNNOP Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayatayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah / 2:221) b. Laki-laki yang kuat agamanya Kaum perempuan yang beragama Islam hendaklah memilih dan menentukan
calon
suami
yang
kuat
agamanya
(keimanan
dan
ketakwaannya) melebihi dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan suami itu sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab membawa istri ke jalan benar atau salah, baik di dunia maupun di akhirat kelak. 32 Kuat beragama di sini adalah kuat dalam pengakuan dan kuat dalam menjalankan agama Islam, bukan hanya kuat dalam pengakuan tetapi lemah dalam menjalankannya. Seorang suami wajib menjaga keluarganya dari api neraka, artinya kebahagiaan dan keselamatan keluarganya di dunia dan di akhirat adalah tanggung
jawab
seorang
suami
sebagai
kepala
rumah
tangga.
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
B#KV0 ()*7# o3
0=qck (*, W !" ... X?0 "
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim, 66:6) Rasulullah SAW menjelaskan dalam sebuah hadis:
ٍُ=ْ رَاع.1 ُ آ:َ= َ"َُ َ َِْ و7 ?َ> ا18ِ@-َلَ ا6 َ$ُMْ-َ ُ7َ َ رَِ>َ ا$ُ ِ4ْ'ِ ا7ْ َ@ِْ ا4َ ٌُوْلOْ;َ َُُ&ُ رَاعٍ َ َ> اَهْ ِِ وَه% ُوْلٌ وَاOْ;َ َُُوُْْنَ وَاَِْْ ُ رَاعٍ وَهOْ;َ ْ=ُ.1 ُوَآ ْ=ُ.1 ُ.َC ِTِ,َ" ٌِ وَاَْ@ُْ رَاعٍ َ َ> َلQَُْوOْ;َ َ8َِ وَهMِ%ِْ زَوRَْ' >َ َ ٌQََِ ْءَةُ رَا$ْوَا 33
( K#) .ٌُوْلOْ;َ ْ=ُ.1 ُرَاعٍ وَآ
Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kamu semua adalah pemimpin dan kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Para penguasa adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Orang laki-laki adalah pemimpin di rumahnya (keluarganya), dia juga akan ditanya tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin 32
Haya Binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah. Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin, cet.I, (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 101. 33 al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 1668
di dalam rumah suaminya, dia pun akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pembantu adalah pemimpin harta tuannya, dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Maka kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan ditanya tentang kepemimpinanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun cara untuk memilih calon suami yang taat dalam menjalankan semua ajaran Islam, dapat kita lihat dalam kehidupan sehariharinya. Dalam hal ini adalah ketaatan terhadap perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan orang tuanya, saudara-saudaranya dan dengan masyarakat lingkungan sekitarnya. Biasanya, orang yang ahli ibadah itu disenangi, dihormati dan dikagumi atau menjadi panutan masyarakat. c. Laki-laki yang berpengetahuan luas Perempuan yang beragama Islam, hendaklah memperhatikan dan memprioritaskan calon suami beragama Islam yang memiliki pengetahuan (intelektual) yang lebih luas atau lebih tinggi dibandingkan dirinya sendiri. Yang dimaksud pengetahuan di sini adalah memiliki ilmu, wawasan dan konsep secara menyeluruh, bukan saja mengenai pengetahuan agama, tetapi juga tentang masalah umum, termasuk seputar masalah rumah tangga. Seorang suami memikul tanggung jawab yang sangat berat dalam membentuk, membina, dan menjaga rumah tangganya. Suami dituntut bukan saja untuk memberi nafkah lahir dan batin, sandang, pangan dan papan, tetapi ia juga berkewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya.
Di sinilah letak peranan suami dalam mendidik istri untuk menjadi pendidik yang baik dan handal, suami harus memiliki pengetahuan (intelektual) yang lebih tinggi dan luas. Di samping itu, seorang suami merupakan tempat berlabuh, bersandar dan mengadu seorang istri dalam menghadapi masalahnya. d. Laki-laki yang mampu membiayai hidup Dalam kehidupan berumah tangga, pasti banyak sekali kebutuhan yang harus dipenuhi. Suatu kebahagiaan yang tidak ternilai harganya jika kebutuhan dalam suatu rumah tangga telah terpenuhi walaupun baru kebutuhan pokok (primer-nya) saja, suasana kehidupan rumah tangga akan terasa tenang, tenteram, dan nyaman. Sebaliknya, jika suatu rumah tangga belum dapat memenuhi kebutuhan pokok, maka sulit diharapkan akan tercipta suasana kehidupan rumah tangga yang tenang, tenteram dan penuh kebahagiaan. Itulah sebabnya, Islam melarang kaum laki-laki yang belum mampu membiayai kebutuhan rumah tangga memaksakan diri untuk menikah, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
5b B#KV0 7 2& @Y{| ##" c1 uV0 y,& 3tR
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya...“ (QS. An-Nur, 24:33) Dengan demikian, bagi seorang suami, memenuhi kebutuhan rumah tangga itu merupakan suatu kewajiban, karena istri dan anak termasuk dirinya sendiri memerlukan kebutuhan pokok, seperti makan, minum, sandang, dan lain-lain yang menyangkut kehidupan sehari-hari umat manusia. Orang yang hidup serba kekurangan atau belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, terkadang kurang khusyu’ dalam melaksanakan ibadah. Dengan demikian, jelaslah bahwa seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga memikul tanggung jawab yang berat, yakni harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dalam berumah tangga. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis:
1Kَ* َ :َ= َ"َُ َ َِْ و7 ?َ> ا8ِ@-ُ ً "َءَلَ ا%َ اَن ر: ِِْ'َْ ا4َ َQَِ َُوِی4ْ' ٍ=ِْ.َ* ْ4َ َْ ِبXََ;َ> وََ ی#ْْ;ُْهَ اِذَا اآ.ََِ=َ وَاَنْ یW َ اِذَاMُ$ِْBُ اِن ی:ََل6 َ ْءَةِ َ َ> اوْجِ؟$ْا 34
(% 4' اT )روا.ِRَْ@ِْ> اC ُِ ْنَ اYْMَْ وََ یZ,@ََُْ وََ ی%َْا
Artinya: “Dari Hakim Ibnu Muawiyah dari bapaknya bahwa: Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah! Apakah hak seorang suami terhadap istrinya?’ Beliau bersabda: ‘Hendaklah memberinya makan seperti yang ia makan dan memberinya pakaian seperti ia berpakaian.” (HR. Ibnu Majah)
34
al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, , h. 593.
Hal yang tak kalah penting yang perlu diperhatikan oleh seorang perempuan muslimah dan orang tua atau walinya adalah hendaknya mengetahui sifat dan sikap calon suami tersebut. Adapun sifat dan sikap seorang laki-laki yang baik untuk menjadi suami yang baik sesuai dengan pandangan Islam, yakni sebagai berikut: 1) Bertanggung jawab 2) Rajin bekerja 3) Berwibawa 4) Penyabar 5) Memiliki sikap humor 6) Adil dan Bijaksana 7) Jujur dan dapat dipercaya 8) Tidak cemburu berlebihan 9) Dapat membimbing dan mendidik istri 10) Tidak pemarah 11) Tidak kikir namun tidak boros dalam memberikan uang belanja 12) Tidak ringan tangan.35 Apabila telah menemukan kriteria seorang laki-laki yang mempunyai sifat dan sikap yang demikian, insyaAllah harapan dan tujuan dalam berumah tangga yang didambakan sesuai selera hati akan tercapai, yakni rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. 2. Kriteria Calon Istri 35
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 27.
Dalam hal memilih calon istri, bagi kaum laki-laki harus memiliki kriteria tertentu. Membina suatu rumah tangga bukanlah sekadar untuk pelampiasan nafsu syahwat belaka, bukan untuk sekadar permainan belaka (kawin-cerai) dan juga bukan untuk sementara waktu (seumur jagung), tetapi berumah tangga adalah suatu kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah yang sakral yang telah diatur tata caranya sedemikian rupa baik oleh agama dan maupun oleh negara. Untuk itu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan perlu memperhatikan kriteria-kriteria calon istri sehingga pemilihan calon istri tersebut merupakan hasil penyeleksian pemikiran yang matang, bukan sekadar asal-asalan. Hal itu ditujukan untuk memperoleh kebahagian dalam berumah tangga. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh kaum laki-laki dalam memilih calon istri, yaitu: a. Motivasi pernikahan Pada hakikatnya, dalam hal memilih calon istri itu terdorong oleh empat faktor, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW:
َُ ْءَة$ُْ اZَ.ْ-ُ ﺕ:ََل6 َ= َ"َُ َ َِْ و7 ?َ > ا8ِ@-ُْ اَن ا-َ ُ7َ ا8َِْ اَ'ِ> هُ َیْ َةَ ر4َ .َْ یََاكRَ'ِ َِ ﺕ4ْی,َ\َْ ْ 'ِ]َاتِ اC َMِ-َْ وَِِیMَِ$َYََِ وMِ@َ;َ2ََِ وMَِ$ِ :ٍHَ'َِْر 36
( K#)
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Perempuan dinikahi karena empat faktor, yaitu karena hartanya, 36
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., h. 1639.
kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau memilih yang beragama, karena akan membawamu pada kebahagiaan.” (HR. Bukhari dan Muslim) 1) Faktor harta kekayaan Rasulullah SAW berpesan kepada kaum laki-laki dalam hal memilih calon istri agar bukan karena dorongan faktor kekayaan sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis:
ُا%ِ َ َِْ وَ"َ =َ َ ﺕََو7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 : ََل6 ْ ٍو$َ ِ4ْ' ِ7ْ َ@ِْ ا4َ >َ;ََC 4ِMِ ََِْا4ُُْه% وََ ﺕََو4َMَ اَنْ یُ ْدِی4ُMُ-ْ;ُ* >َ;ََC 4ِMِ-ْ;ُ2ِ َ;َء,-ا 37
(% 4' اT )روا...ِ4ْی, َ َ> ا4ُُْه%ْ ﺕََو4ِ.ََ و4ُMَِ`ْBُ اَنْ ﺕ4ُMُاََْا
Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Amr berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah menikahi seorang wanita semata-mata karena kecantikannya, jangan-jangan kecantikannya itu justru menyesatkan. Jangan pula karena hartanya itu karena dapat membuatnya menjadi sombong dan sewenang-wenang. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya...” (HR. Ibnu Majah) Oleh karena itu, untuk memperoleh harta kekayaan bukanlah dengan cara menikahi perempuan kaya, tetapi harus berusaha dengan sendiri. Karena perkawinan bukanlah jalan untuk memperoleh harta kekayaan, melainkan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan membentuk rumah tangga bahagia sejahtera. 2) Faktor kedudukan Rasulullah SAW pun berpesan dalam sebuah hadis,
37
al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, h. 584.
ْ4َ َ= َ"َُ َ َِْ و7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 :ََل6 ُْ-َ ُ7َ ا8َِِ َِ!ٍ ر4ْ'ٍ اaَْ اَﻥ4َ 38
($* اT )روا...bُِ اِ ذ7ُ اTْهَ َ=ْ یَِد,ِِ ًﺕََوجَ اْ َاَة
Artinya: “Dari anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa menikahi seorang perempuan karena kebangsawanannya (kedudukan), niscaya Allah tidak akan menambah kecuali kehinaannya.” (HR. Ahmad) Dengan demikian, untuk memperoleh status sosial atau kedudukan yang terhormat, baik dalam lingkungan kerja atau lingkungan masyarakat, adalah dengan berusaha sendiri, bukan dengan cara menumpang orang lain, termasuk istri sendiri. 3) Faktor kecantikan Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah menikahi seorang wanita
semata-mata
karena
kecantikannya,
jangan-jangan
kecantikannya itu justru menyesatkan. ...” (HR. Ibnu Majah) Namun, bila kecantikan istri itu ditunjang oleh kecantikan rohaninya
yakni
agamanya,
kecantikannya
itu
bukan
saja
menimbulkan rasa cinta bagi suami, tetapi juga akan membawa ketenteraman dan ketenangan batin suami. Karena suami percaya pada istrinya yang memiliki agama yang kuat, sehingga tidak mencurigai istrinya berselingkuh. Hal semacam ini telah dijanjikan Allah SWT dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
4 i#KV0 *7 5678 E;c vs&k" 38
Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.VI, (t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th.), h. 395.
018' 0=[ ( 0=y34 S 2 Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. ..” (QS. Al-A’raf, 7:189) 4) Faktor agama Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan karena faktor agama maka ia akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya,
ْ4َ َ= َ"َُ َ َِْ و7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 :ََل6 ُْ-َ ُ7َ ا8َِِ َِ!ٍ ر4ْ'ٍ اaَْ اَﻥ4َ .>ِ6َ@ْْ ِ اBِ> اC َ7ِ اK#َْ َC ِِ-ْْ ِ دِیBَ >َ َ َََُْ اََﻥC ًQَ2َِ? ًِ اْ َاَة7َُ ا6َرَز 39
($* اT)روا
Artinya: “Dari Anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa dikaruniai istri yang shalihah oleh Allah, berarti ia telah menyelamatkan separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam separuhnya lagi.” (HR. ِAhmad) Untuk itu, hendaknya mengutamakan faktor agama dalam menikahi seorang perempuan, yakni taat (konsisten) dalam melakukan ajaran-ajaran agama, taat kepada suaminya, menyenangkan hati suami, dan dapat menjaga dirinya dan harta suami manakala suami bepergian. b. Status atau keberadaan perempuan untuk dinikahi
39
Ibid., h. 389.
Yang dimaksud dengan status atau kedudukan perempuan di sini adalah boleh tidaknya seorang perempuan dinikahi berdasarkan hukum agama Islam, Undang-undang dan Adat/Tradisi setempat. Dalam ajaran Islam dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia, tidak semua orang boleh dinikahi. Ada orang-orang yang haram dinikahi untuk selamanya (mahram muabbad), yaitu orang yang memiliki
hubungan
darah
(nasab),
hubungan
kerabat
semenda
(mushaharah), atau hubungan sepersusuan (radha’ah). Ada pula yang haram dinikahi untuk sementara waktu (mahram muaqqat).40 Allah SWT berfirman:
⌧ " 0 (*, 5b q ! V0 c# 0 ab34 V0W X0 ,= mR 05 j k"34 @ n e⌧o39n V0n 0.&4 !9&o F ghJ MNNP 70;X 1< }☺ !97*S 0;X S FSZ0 0;X N.0 BY|K0 !9.1< !97*S ;X7WO? =7WOsJ0 q V0W 3 !F1< A3B Y|K0 !99k ? V0W 3= !?*! }313 \.RS2 Y|K0 \.RS2 (*"* K 3_R 40
Ketentuan ini dimuat dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 8-9, yang dirinci lagi oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 39-44 dan pasal 54.
!9&o 0;X8 5⌧R 313 !9V0;X 6k !93C BoK0 q (*7☺ c# 0 ab34 PB SZ0 #⌧l KV0 ar34 n _ MNgP 0☺2 s? X?*!⌧ S !F;XW☺&0 F 0 ab34 V0W X0 ( !9X☺ Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.…” (QS. An-Nisa’, 4:22-24) Dalam hukum adat pun terdapat larangan menikahi orang-orang tertentu. Dalam adat masyarakat Minang, misalnya, berlaku eksogami suku yaitu orang yang sesuku di dalam satu desa tidak boleh nikah. Begitu
juga dalam adat masyarakat Batak, berlaku larangan pernikahan semarga.41 c. Sifat dan sikap calon istri Ada beberapa sifat pada diri seorang perempuan yang dapat dijadikan modal atau syarat untuk terciptanya suatu keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut: 1) Shalihah (taat) dalam beragama Perempuan shalihah adalah perempuan yang benar-benar baik akidahnya, baik akhlaknya dan baik pula ibadahnya; niscaya akan menjadi istri yang benar-benar berbakti kepada suami, pandai menjaga kehormatan diri dan pandai pula menjaga kehormatan saat suami tiada di sampingnya.42 Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya:
]F ,# !F300R &o R/ F! … @ uV0 ⌧ 0☺3 Artinya: “…Maka perempuan-perempuan yang shalihah, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)…” (QS. An-Nisa’, 4:34) Istri yang shalihah itu merupakan perhiasan yang paling indah di dunia serta memiliki nilai yang tinggi dan agung. Shalihahnya 41
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 101. 42 M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, cet.II, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 43.
seorang perempuan bukanlah sebatas pengakuannya saja, tetapi tercermin dari segala perilaku kehidupan sehari-hari, baik sebelum berumah tangga maupun sesudah hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda:
ٌَع#َ َْﻥ1 َا: ََل6 َ=َ"َُ َ َِْ و7ِ ?َ> ا7ْ ٍو اَن رَ"ُْلَ ا$َ ِ4ْ' ِ7ْ َ@ِْ ا4َ 43
(= ; T )روا.ُQَ2ِGَ ْاَةُ ا$َْ اMَِ#َ ُ َْcَو
Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Amr, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Dunia adalah hiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim) Dengan demikian, maka perempuan shalihah itu kelak akan menjadi istri terbaik di hadapan suaminya. Ia menyenangkan setiap kali dipandang oleh sang suami, taat apabila diperintah, rela dengan apa yang diterima dan senantiasa menjaga kehormatan keluarganya. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
َMَْ َ َRْ$َ;َ6 ْ!َ وَاِذَا#ََWََ اMََ "َ ﺕْ!َ وَاِذَا اََ ْﺕMََِْ ْتَ اdَْ اِذَا ﻥ4َ ِ;َء,-َْ ُ اc (;ئ- اT )روا.َ!َََِ وMِ;َِْ> ﻥC َ!ْ#َdَِ* َMْ-َ َRْ@ِE اَ'َ ﺕْ!َ وَاِذَا Artinya: “Sebaik-baik istri ialah dia yang jika kau pandangi, ia menyenangkanmu; jika kau perintah, ia menaatimu; jika kau beri bagian, ia senang menerimanya dan jika kau tinggalkan, ia senantiasa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu.” (HR. An-Nasa’i) Kemanfaatan hidup seorang mukmin yang paling tinggi ialah bertakwa kepada Allah SWT. Karena dengan bertakwa kepada-Nya,
43
Abu al-Husain Muhammad Ibn al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim, juz-5, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Araby, t.th.), h. 1090.
niscaya ia akan meraih kebahagiaan hidup yang sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Namun ada kemanfaatan lain yang juga akan melengkapi kebahagiaan dunia dan akhirat, yakni kemanfaatan beristrikan
perempuan
shalihah.
Sebagaimana
dijelaskan
oleh
Rasulullah SAW dalam sabdanya:
َ َ= َ"َُ َ َِْ و7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 :ََل6 ُْ-َ ُ7َ ا8ََِ رQََُْ اَ'ِ> ا4َ ...ٍQَ2َِ? ٍQَ%ْْ زَو4ِ َُ َْ ًاc &َ%َِ َ و7َْى ا#ُ 'ََْ ا4ِْOُ$ََْدَ ا#ْ"ا 44
($* اT)روا
Artinya: “Dari Abu Umamah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tiada kemanfaatan yang lebih baik bagi insan beriman setelah bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, selain istri yang shalihah...” (HR. Ahmad) Itulah kemanfaatan beristrikan perempuan shalihah. Dia senantiasa
menjadi
pendukung
dan
motivator
bagi
segenap
keluarganya menuju kebahagiaan dunia hingga akhirat. Ia akan mengingatkan dengan penuh kasih kepada suami dan anak-anaknya saat mereka melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan. Ia akan senantiasa memberikan dorongan yang dapat membangkitkan semangat bagi suami dan anak-anak agar menghambakan diri secara total kepada Allah SWT. Ia akan selalu memberikan semangat kepada suami agar tekun bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan demi terpenuhinya totalitas penghambaan diri kepada
44
Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 389.
Allah SWT. Sehingga kebahagiaan dunia-akhirat pun akan lebih dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan. 45 2) Berasal dari keturunan (nasab) yang baik Istri ibarat ladang tempat bercocok tanam bagi suami. Maka ladang yang subur tentunya akan menumbuhkan tanaman yang subur pula, ladang yang gersang akan menggersangkan tanamannya juga, dan seterusnya. Allah SWT mengibaratkan hal ini dalam firman-Nya:
… K YJ l V0W 3 Artinya: “Istri-istrimu adalah ladang bagimu…” (QS. Al-Baqarah, 2:223) Jika para ahli genetika mengatakan bahwa gen-gen akan memberikan pembawaan tersendiri kepada keturunan generasi berikutnya secara langsung atau berselang, maka jauh sebelumnya Rasulullah SAW telah menegaskan hal ini dalam sabdanya:
َ= َ"َُ َ َِْ و7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 :ََل6 ُْ-َ ُ7َ ا8َِِ َِ!ٍ ر4ْ'ٍ اaَْ اَﻥ4َ 46
($* اT )روا...ٌَِن اِْ ْقَ دِ"َسC ِZِGْ ِ اYِ2ِْ> اC ُْا%ﺕََو
Artinya: “Dari Anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kawinlah dengan golongan yang shalih sebab pengaruh keturunan itu sangat kuat.” (HR. Ahmad) Sehubungan dengan itu, maka calon istri yang ideal tentulah perempuan yang bernasab baik-baik, perempuan yang diturunkan dari alur keluarga yang baik-baik. Dan para remaja muslim seharusnya 45 46
M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 46. Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394.
memilih perempuan yang bernasab baik-baik tatkala hendak menentukan pilihannya. Sehingga diharapkan kelak akan melahirkan anak-anak yang baik pula. 47 Baiknya seorang istri dalam suatu rumah tangga itu merupakan hasil bimbingan dan didikan kedua orang tuanya. Peran kedua orang tua dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya sangatlah penting dalam lingkungan keluarga. Keluarga adalah sarana dan wahana yang pertama dan pokok dalam membimbing dan mendidik anak untuk membentuk suatu kepribadian, mengenal nilai-nilai dan norma-norma serta hukum-hukum yang berlaku di masyarakat kelak. Kaum laki-laki yang menginginkan calon istri yang shalihah, carilah dari keluarga yang baik. Biasanya dari keturunan yang baik (agamis), terlahir anak-anaknya yang baik pula. Sebaliknya, suatu keluarga yang jauh dari agama, terlahir pula anak-anaknya yang jauh dari agama. 3) Bukan kerabat yang dekat Kerabat dekat itu adalah kerabat yang memiliki garis keturunan (kerabat atau saudara) antara calon istri dengan calon suami. Bila terjadi pernikahan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang masih ada hubungan kekerabatan atau tali persaudaraan berdasarkan garis keturunan antara keduanya, maka pernikahan itu 47
M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 54.
dapat mengakibatkan lemahnya nafsu syahwat, baik terhadap suami dan atau istri. Apabila tetap dilangsungkan pernikahan, maka dikhawatirkan akan lahir anak-anak yang lemah. 48 Anak yang lemah di sini ada dua kemungkinan, yakni: pertama, lemah dalam hal fisik (jasmani), yaitu anak yang lahir cacat tubuhnya. Kedua, lemah dalam hal rohani (jiwa), yaitu si anak akan lahir dengan kecerdasan yang kurang bahkan tergolong idiot. Sehubungan dengan itu, maka sebaiknya para remaja muslim menghindari pilihan dari perempuan yang masih keluarga dekatnya, sekalipun ia tidak termasuk perempuan yang haram dinikah. Dengan demikian, insyaAllah keluarga yang bakal dibentuk akan lebih mendatangkan kebahagiaan. Anak-anak yang lahir akan lebih sehat baik fisik maupun mentalnya dan jumlah saudaranya pun akan lebih besar. 4) Perawan (gadis) Setiap laki-laki muslim hendaklah memilih calon istri yang masih gadis (perawan). Hal ini selain erat hubungannya dengan kesuburan
perempuan
memungkinkan
48
akan
yang
bersangkutan
melahirkan
banyak
sehingga
anak,
juga
lebih banyak
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malyabary, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrat al-‘Ain, (Surabaya: Maktabah Muhammad Ibnu Nabhan wa Auladah, t.th.), h. 99.
keistimewaan yang bakal diperoleh oleh suami. Keistimewaankeistimewaan ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
ْ=ُ.َْ َ َ= َ"َُ َ َِْ و7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 :ََل6 ُْ-َ ُ7َ ا8ََِ'ِ ٍ ر% ْ4َ .ِ ِْ;َِْ' >َْ وَاَرb@ُc 1&َ6َُ اَرْ*ًَ وَاKَ#َْْاهً وَاَﻥCَ اَْ]َبُ ا4ُMَِﻥC َِر.ْ'َِْ' 49
($* اT)روا
Artinya: “Dari Jabir r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Hendaklah kalian menikahi wanita yang masih gadis, karena ia lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya, lebih kecil kemungkinan berkhianatnya dan lebih bisa menerima pemberian yang sedikit.” (HR. Ahmad) Dengan demikian, pernikahan antara laki-laki bujangan dengan perempuan yang berstatus gadis merupakan pernikahan yang ideal. Karena kedua belah pihak sama-sama memasuki gerbang kehidupan yang baru dan keduanya pun sama-sama belum memiliki pengalaman. Rasulullah SAW pernah memberikan anjuran untuk menikahi perempuan yang masih gadis, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits:
@ً؟,َi ْْ ًا اَم.ِ' َRْ%َ'ِ ٍ ﺕََو% َ ی:َُ ََل6 َ= َ"َُ َ َِْ و7 ?َ> ا8ِ@-َ'ِ ٍ اَن ا% ْ4َ 50
( K#) .َ!ُ@ََُِ وَﺕMُ@َِ ُْ ًا اَﺕ.ِ' َRْ% هَ ﺕََو:َََلC ً@,َi :ََل6
Artinya: “Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda kepadanya, ‘Hai Jabir, dengan siapakah engkau menikah, perawankah atau janda?’ Jawab Jabir, ‘Saya menikah dengan janda.’ Beliau bersabda, ‘Alangkah baiknya jika engkau menikah dengan perawan (gadis). Engkau dapat menjadi hiburannya dan dia pun menjadi hiburan bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) 49 50
Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394. al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 1639
Dalam pandangan Islam, keperawanan seorang perempuan adalah masalah sakral. Keperawanan merupakan barometer baik dan buruknya perempuan tersebut, baik dari segi agama, akhlak, kepribadian, dan sebagainya. Bahkan pernikahan antara laki-laki muslim dan perempuan yang telah hilang keperawanannya akibat hubungan zina itu haram hukumnya. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
ab34 ⌧, 5b A3f
rahim seorang perempuan merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk suatu rumah tangga. Islam
mengajarkan
kepada
para
jejaka
agar
memilih
perempuan-perempuan yang subur. Sehingga kelak akan berbahagia hidup bersama istri dan anak-anak yang bakal dilahirkannya. Bahkan lebih baik lagi apabila memilih perempuan dari keturunan yang banyak anak, agar kelak dari rahimnya akan lahir banyak anak pula. Hal ini secara tegas diperintahkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
َ= َ"َُ َ َِْ و7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 :ََل6 ُْ-َ ُ7َ ا8َِِ یَ;َرٍ ر4ْ'ْ ََْ&ٍ ا4َ 51
($* اT )روا.ِQََُِْ=ُ اَُْ=َ یَْمَ ا.ِ' ٌ ِiَ.ُ 8,َِﻥC َُا اَْدُوْدَ اَُْْد%ﺕََو
Artinya: “Dari Ma’qal Ibnu Yasar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Nikahilah calon istri yang subur (banyak anak) lagi penyayang, karena kelak pada hari kiamat aku akan membanggakan jumlah kalian yang besar di hadapan umatumat yang lain.” (HR. Ahmad) Untuk mengetahui subur atau tidaknya calon istri, bisa dilakukan dengan mengamati alur keturunannya dari atas. Jika ternyata mereka itu rata-rata beranak banyak atau berjumlah cukup dan tidak ada jalur yang mandul, niscaya lebih bisa diharapkan bahwa perempuan calon istri tersebut pun memiliki gen (benih keturunan) yang sama-sama subur.52
51 52
Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394 M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 49.
Dengan mempunyai istri yang memiliki kesuburan atau tidak mandul, pasangan suami-istri tinggal menunggu waktu saja akan kedatangan anak buah hati penguat suatu rumah tangga. 6) Sekufu (sepadan) Yang dimaksud dengan kafaah di sini adalah kesamaan, kesepadanan antara calon suami dan calon istri atau antara keluarga dari calon istri dengan keluarga dari calon suami.53 Untuk keterangan lebih lanjut tentang kafaah ini, akan dibahas tersendiri. 7) Keringanan mas kawin (mahar) Rasulullah SAW menegaskan bahwa nilai maskawin yang baik adalah yang ringan. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis,
ُ َْc َ= َ"َُ َ َِْ و7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 :ََل6 ُْ-َ ُ7ِ َ@سٍ رَِ>َ ا4ْ'ِ ا4َ 54
($* اT )روا.ً6 ?ََا4ُ;َءِ اَیْ;َ ُه,-ا
Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sebaik-baik wanita adalah yang paling ringan mas kawinnya (mahar).” (HR. Ahmad) Dari hadis tersebut, jelaslah bahwa maskawin (mahar) di dalam suatu pernikahan tidak harus bernilai tinggi sehingga memberatkan pihak pelamar (calon suami). Karena mahar bukanlah merupakan tanda kemuliaan seseorang dan bukan pula jalan untuk
53 54
Al-Malyabury, Fathul Mu’in, h. 106. Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 494.
menaikkan derajat seseorang, tetapi untuk menyatakan kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Mahar bukan merupakan rukun pernikahan, bukan pula sebagai perjanjian jual-beli atau untuk memperoleh seorang perempuan. Adapun sikap yang ideal pada diri seorang perempuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah itu adalah sebagai berikut: 1) Taat kepada Allah SWT 2) Taat kepada suami dalam hal tidak mendurhakai Allah 3) Pandai mengatur rumah tangga 4) Menerima pemberian suami, baik sedikit maupun banyak 5) Menjaga rahasia suami 6) Menyenangkan suami 7) Selalu meminta izin suami 8) Menjaga kehormatan diri 9) Menjaga harta suami 10) Lemah lembut dalam berbicara 11) Tidak berbicara dengan orang lain (bukan muhrimnya) 12) Tidak boros terhadap nafkah suami 13) Tidak cemburu yang tidak beralasan 14) Tidak berburuk sangka terhadap suami 15) Tidak bersentuhan bukan dengan suami
16) Tidak berwajah muram terhadap suami 17) Tidak mengubah ciptaan Allah.55
C. Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah Berangkat dari kesadaran yang utuh bahwa rumah tangga Islami baru akan terbentuk dari pribadi-pribadi yang Islami, maka sesungguhnya elemen dasar pembentuk keluarga sakinah harus diwujudkan terlebih dahulu. Adanya proses perbaikan, pembinaan dan peningkatan kapasitas dan berbagai potensi kaum muslimin merupakan langkah awal dan paling mendasar dari keseluruhan kerja panjang ini.56 Rumah tangga Islami senantiasa dilingkupi suasana sakinah, mawaddah dan rahmah (perasaan tenang, cinta, dan kasih sayang) setiap harinya. Seluruh anggota keluarga merasakan suasana surga di dalamnya. Baiti jannati! Hal itu terjadi karena Islam telah mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan individu maupun kelompok, hubungan antar kelompok masyarakat, bahkan antar negara. Demikian pula, dalam keluarga terdapat peraturan-peraturan baik yang rinci maupun global, yang mengatur individu maupun keseluruhannya sebagai satu kesatuan.57
55
M. Fauzil Adhim, Saatnya untuk Menikah, cet.III, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 45 Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami; Tatanan dan Peranannya dalam Masyarakat, cet.I, (Solo: Intermedia, 1997), h. 20. 57 Ibid., h. 21. 56
Adapun yang menjadi konsekuensi bagi tegaknya rumah tangga Islam, di antaranya yaitu: 1. Didirikan atas landasan ibadah Rumah tangga Islami harus didirikan dalam rangka beribadah kepada Allah semata. Artinya, sejak proses memilih jodoh, landasannya haruslah benar. Memilih pasangan hidup haruslah karena kebaikan agamanya, bukan sekedar karena kecantikan, harta, maupun karena keturunannya. Proses pernikahannya pun -sejak akad nikah hingga walimah- tetap dalam rangka ibadah, dan jauh dari kemaksiatan. Sampai akhirnya, mereka menempuh bahtera kehidupan dalam suasana ta’abudiyah (peribadahan) yang jauh dari dominasi hawa nafsu.
}1&¢0 !F&4S 0 PcC7o ab34 £s"F£0 M3P Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat, 51:56) Ketundukan sejak langkah-langkah awal mendirikan rumah tangga setidaknya menjadi pemicu untuk tetap tunduk dalam langkah-langkah selanjutnya. Kelak, jika terjadi permasalahan dalam rumah tangga, mereka akan mudah menyelesaikannya, karena semua telah tunduk kepada peraturan Allah dan Rasul-Nya.58 2. Terjadi internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah
58
Ibid., h. 22.
Internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah (menyeluruh) harus terjadi dalam diri setiap anggota keluarga, sehingga mereka senantiasa komit terhadap adab-adab Islam. Di sinilah peran keluarga sebagai benteng terkuat dan filter terbaik di era glabalisasi yang mau tak mau harus dihadapi kaum muslimin.
q#KV0 01 k A3B (*7S20 (*, … ,=KRV05 \R 0 Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan,..” (QS. Al-Baqarah, 2:208) Untuk itu, rumah tangga Islami dituntut untuk menyediakan saranasarana tarbiyah Islamiyah yang memadai, agar proses belajar, menyerap nilai dan ilmu, sampai akhirnya aplikasi dalam kehidupan sehari-hari bisa diwujudkan. Nilai-nilai internalisasi Islam ini harus berjalan secara terusmenerus, bertahap, dan berkesinambungan.59 3. Terdapat qudwah yang nyata Diperlukan qudwah (keteladanan) yang nyata dari sekumpulan adab Islam yang hendak diterapkan. Dalam hal ini, orang tua memiliki posisi dan peran yang sangat penting. Sebelum memerintahkan kebaikan atau melarang kemungkaran kepada anggota keluarga yang lain, pertama kali orang tua harus memberikan keteladanan.
59
Ibid., h. 23.
¤V0 cX 0.&4 y5 qr*77& 5b 0 (**!4 MgP Artinya : “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apaapa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff, 61:3) Keteladanan semacam ini sangat diperlukan, sebab proses interaksi anak-anak dengan orang tuanya dalam keluarga sangat dekat. Anak-anak akan langsung mengetahui kondisi ideal yang diharapkan. Di sisi lain, pada saat anak-anak masih belum dewasa, proses penyerapan nilai lebih tertekankan pada apa yang mereka lihat dan dengar dalam kehidupan sehari-hari. 60 4. Penempatan posisi masing-masing anggota keluarga Islam telah memberikan hak dan kewajiban bagi masing-masing anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Apabila hal itu ditepati, akan mengantarkan mereka pada kebaikan dunia dan akhirat.
uV0 56atR 0 (*<X☺ 5b @ vw7 @A 5t7 3 0}☺ t2 " p#ghJ/ ( (*9W ;¥¦0 0{O§ t2 " V0W X (*7 ¤n @ BRW &l0 KV0 <34 3tR KV0 0☺23 T8⌧¤ P§63 qr#5 MgNP Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian
60
Ibid., h. 23.
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’, 4:32) Masih banyak keluarga muslim yang belum bisa berbuat sesuai dengan tuntutan Islam. Sumber bencana banyak yang berawal dari ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Fungsi-fungsi tidak bisa berjalan dengan normal, karena adanya katub-katub curahan perasaan yang tersumbat, dan akhirnya meledak dalam bentuk penyimpangan-penyimpangan.61 5. Terbiasa tolong-menolong dalam menegakkan Islam Berkhidmat dalam kebaikan tidaklah mudah, sangat banyak gangguan dan godaannya. Jika semua anggota keluarga telah bisa menempatkan diri secara tepat, maka ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan ini akan lebih mungkin terjadi.
A (*"07 5b ( i*&4© 0 3hy&0 \&\F£0 A (*"07 @ Pc7&0 KV0 <34 ( KV0 (*!4<0 MNP T047&0 c c⌧K Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah, 5:2)
61
Ibid., h. 24.
6. Rumah harus kondusif bagi terlaksananya peraturan Islam Rumah tangga Islami adalah rumah yang secara fisik kondusif bagi terlaksananya hukum Islam. Adab-adab Islam dalam kehidupan rumah tangga akan sulit diaplikasikan jika struktur bangunan rumah yang dimiliki tidak mendukung. Adanya sekat antara ruang tidur, ruang tamu, dan dapur bahkan adanya ruang khusus bagi anak perempuan yang terpisah dengan anak lakilaki, dapat menghindarkan dari berbagai penyakit rohani dan penyakit sosial yang merupakan ancaman yang serius.62 7. Tercukupinya kebutuhan materi secara wajar Demi mewujudkan kebaikan dalam rumah tangga Islami itu, tidak lepas dari faktor biaya. Memang, materi bukanlah segala-galanya, bukan pula merupakan tujuan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Akan tetapi, tanpa materi, banyak hal yang tidak bisa didapatkan.
qª V0☺oR 0 ( ; JS.0 ?«0V0 uV0 q C C2 " q☯X 5b ( 0o"?c0 Artinya: “Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (QS. Al-Qashash, 28:77) Tindak lanjut dari landasan keenam di atas, dengan amat jelas menggambarkan betapa keluarga muslim dituntut memiliki materi yang cukup. Rumah yang luas dan kondusif pun juga dibutuhkan bagi upaya
62
Ibid., h. 25.
terbentuknya suasana Islami. Bahkan untuk sarana berlangsungnya proses Tarbiyah Islamiyah dalam keluarga pun membutuhkan sejumlah materi. Membuat perpustakaan kecil di rumah atau menghadirkan sarana-sarana bermain Islami yang mencerdaskan anak juga memerlukan biaya. Belum lagi untuk pendidikan yang bermutu. Semua tak bisa dilepaskan dari faktor materi.63 8. Menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Islam Menyingkirkan dan menjauhkan berbagai hal di dalam rumah tangga yang tidak sesuai dengan semangat ke-Islam-an harus dilakukan. Pada kasuskasus tertentu yang dapat ditolerir, benda-benda, hiasan, dan peralatan harus dibuang atau dibatasi pemanfaatannya. Berbagai macam benda keramat yang dipercaya bisa memberikan kemanfaatan dan menolak kemudharatan, akan menjauhkan mereka dari keridhaan Allah dan bertentangan dengan semangat Islam. Oleh karena itu, hal itu perlu dihindari dan dibuang jauh-jauh. Berbagai peralatan elektronik seperti radio, televisi, computer dengan jaringan internet memiliki manfaat bagi pemiliknya, namun di sisi lain ada bahaya yang siap mengancam. Maka keluarga harus memiliki pembatasan yang jelas dan tegas dalam pemanfaatannya.64
B#KV0 0=qck W !" ()*7# (*, … X?0 " o3 63 64
Ibid., h. 25. Ibid., h. 26.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim, 66:6)
dan
9. Berperan aktif dalam pembinaan masyarakat Diperlukan sebuah upaya ishlahul mujtama’ (pembinaan masyarakat) di sekitarnya menuju pemahaman yang benar tentang nilai-nilai Islam yang shahih, untuk kemudian berusaha bersama-sama membina diri dan keluarga sesuai dengan arahan Islam.
C3? P6o39n @Av34 20 =☺ &¢003 =,W = &¢0 =!*☺&0 £? Y|K003 \1&c8 ( @ W Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (Qs. An-Nahl, 16:125) Dalam era globalisasi informasi saat ini, kita tidak bisa hidup sendirian terpisah dari masyarakat. Betatapun taatnya keluarga kita terhadap normanorma ilahiyah, apabila lingkungan tidak mendukung, pelarutan-pelarutan nilai akan mudah terjadi, lebih-lebih pada anak-anak.65 10. Terbentengi dari pengaruh lingkungan yang buruk Dalam kondisi keluarga Islami yang tidak mampu memberikan nilai kebaikan bagi masyarakat sekitar yang terlampau parah kerusakannya, maka harus dilakukan upaya-upaya serius untuk membentengi anggota keluarga.
65
Ibid., h. 26.
Harus ada penyelamatan internal, agar tidak terlarut dan hanyut dalam suasana jahili masyarakat di sekitarnya.66
WJ V0☺⌧l 4 n00R 5b C7 ST0 0☺3 j k"34 @ (* 5b MOONP yJ qr*7☺7 B#KV0 Av34 ()*,⌧lJ ^?0<X0 ☺ R (*☺ ¤V0 P2 !9 0 qryWM,7 5b \7\ V02 MOOgP Artinya: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang Telah Taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, Kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud, 11:112-113) Demikianlah beberapa konsekuensi dasar dari sebuah rumah tangga yang Islami. Apabila sepuluh hal tersebut terdapat dalam suatu rumah tangga, tentu dari sana akan senantiasa memancar cahaya Islam ke lingkungan sekitarnya. Setiap insan yang hidup pasti menginginkan dan mendambakan suatu kehidupan yang bahagia, tentram, sejahtera, penuh dengan keamanan dan ketenangan atau bisa dikatakan kehidupan yang sakinah, karena memang sifat dasar
66
manusia
Ibid., h. 27.
adalah
senantiasa
condong
kepada
hal-hal
yang
bisa
menenteramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga berbagai cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut.67 Sebuah kehidupan yang sakinah, yang dibangun atas rasa cinta dan kasih sayang, tentu sangat berarti dan bernilai dalam sebuah rumah tangga. Betapa tidak, bagi seorang pria atau seorang wanita yang akan membangun sebuah rumah tangga melalui tali pernikahan, pasti berharap dan bercita-cita bisa membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, ataupun bagi yang telah menjalani kehidupan berumah tangga senantiasa berupaya untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut. Hakikat kehidupan yang sakinah adalah suatu kehidupan yang dilandasi mawaddah warahmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah SWT. Yakni sebuah kehidupan yang diridhai Allah SWT dengan cara melakukan setiap apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan RasulNya. Hakikat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada realisasi penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang bertujuan mencari ridha Allah SWT. Karena memang hakikat ketenangan jiwa (sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datang dari sisi Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Fath:
p i" T*77# 67
i#KV0 *7 A3B =;Xo 0 B,☺&0
Ummu Ishaq Zulfa Husein al-Atsariyyah, “Mahabbah Mawaddah dan Rahmah yang diimpikan”, artikel diakses pada 22 Oktober 2007 dari http://hikmatun.wordpress.com/2007/10/22/mahabbah-mawaddah-dan-rahmah.html
]< 0X,☺ 34 (22®SJ 2*,8 V P[☺ 34 @ M¯?.0 *☺ 0 0☺o 0e☺o3 uV0 #⌧l MP Artinya: “Dia-lah yang Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orangorang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang Telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi[1394] dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (QS. Al-Fath, )
BAB III KAFAAH DALAM ISLAM
A. Pengertian Kafaah Kafaah atau sekufu, menurut bahasa artinya “setaraf, seimbang, atau keserasian, serupa, sederajat, atau sebanding.”68 Kata kafaah diambil dari surat alIkhlas ayat 4:
Cc *!! jKV MP Artinya: “Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas, 112:4) Yang dimaksud kafaah atau sekufu dalam pernikahan, menurut hukum Islam yaitu “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.”69 Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. 70 Jadi tekanan dalam kafaah adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, menurut pendapat sebagian ulama, kalau kafaah diartikan persamaan dalam hal harta, atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia di sisi Allah SWT adalah sama.
68
M. Abdul Mujieb (et.al), Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 147. Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama/Toha Putra Group, 1993), h. 76. 70 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7. Penerjemah M. Thalib, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), h. 36. 69
Hanya ketakwaannya-lah yang membedakannya. 71 Persamaan kedudukan suami dan istri akan membawa ke arah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafaah.72 Mengenai kafaah, Allah SWT tidak menjelaskan secara gamblang hukumnya. Namun, Dia menyinggung permasalahan ini dalam surat al-Ahzab ayat 35:
q☺3 ☺&0 <34 F☺3 ☺&0 q,☺&0 F;X☺&0 B ,4&0 ... F .,4&0 Artinya: “Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,…” (QS. Al-Ahzab, 33:35) Ayat di atas menyebut laki-laki dan perempuan dalam sifat-sifat yang sama. Tanda athaf (huruf wau) di sini menunjukkan satu jenis yang berbeda yang seolah-olah berarti keseluruhan.73 Sebenarnya ayat ini bermaksud menekankan peranan perempuan. Tetapi jika perempuan yang disebut, maka bisa jadi ada kesan bahwa mereka tidak sama dengan laki-laki dalam hal keberagamaan. Untuk menekankan persamaan itu, Allah menyebut juga laki-laki dalam rangkaian ayat 71
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, cet.I, jil.I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 50. 72 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam. Penerjemah Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 15. 73 Abul Qasim Mahmud Ibnu Umar al-Zamakhsyary al-Khawarizmy, al-Kasyaf an Haqaiq alTanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, (Kairo: Musthafa al-Baby al-Halby wa Auladah, 1972), h. 261.
di atas dan mempersamakannya dengan perempuan dalam segala amal kebajikan.74 Pertimbangan kafaah dalam pernikahan disandarkan pada riwayat dari Aisyah r.a., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
ْ=ُ.ِْBُ-ِ َ ُوْاkَُ َ َِْ وَ"َ =َ ﺕ7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 :ْRََ6 َMْ-َ ُ7َ رَِ>َ اQَِjَ ْ4َ 75
($* اT )روا.ْ=ِMَُِْْا ا2ِ.ُْا اَْآَْءَ وَاَﻥ2ِ.ْوَاَﻥ
Artinya: “Dari ‘Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Pilihpilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya isteri), dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu”. (HR. Ahmad) Perihal kafaah (sebanding atau sepadan) ini ditujukan untuk menjaga keselamatan dan kerukunan dalam pernikahan, bukan untuk ke-sah-annya. Artinya sah atau tidaknya pernikahan tidak bergantung pada kafaah ini. Pernikahan tetap sah menurut hukum walaupun tidak sekufu antara suami-istri. Hanya saja, hak bagi wali dan perempuan yang bersangkutan untuk mencari jodoh yang sepadan. Dengan arti lain, keduanya boleh membatalkan akad nikah pernikahan itu karena tidak setuju dan boleh menggugurkan haknya. 76
B. Pendapat Ulama tentang Kafaah Islam adalah agama fitrah yang condong kepada kebenaran, Islam tidak membuat aturan tentang kafaah tetapi manusialah yang menetapkannya. Karena itulah terdapat perbedaan pendapat tentang hukum kafaah dan pelaksanaannya. 74
M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian dalam al-Qur’an, vol.11, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 270. 75 Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.VI, (t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th.), h. 394. 76 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S., Fiqh Mazhab Syafi’I, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 261.
Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafaah, ulama berbeda pendapat yang secara lengkap diuraikan oleh al-Jaziriy sebagai berikut:
Menurut ulama mazhab Hanafiyah yang menjadi dasar kafaah adalah: 1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan. 2. Islam, yaitu dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam. 3. Hirfah, yaitu status sosial dan profesi dalam kehidupan. 4. Huriyah atau kemerdekaan diri. 5. Diyanah atau tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam. 6. Kekayaan.77 Menurut ulama Malikiyah kriteria kafaah hanyalah dua hal, yaitu: 1. Diyanah atau kualitas keberagamaan. 2. Tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik.78 Menurut ulama Syafi’iyyah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah: 1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan. 2. Din atau kualitas keberagamaan. 3. Huriyah atau kemerdekaan diri; dan 4. Hirfah atau status sosial dan profesi dalam kehidupan. 79 Menurut ulama Hanabilah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah:
77
Abdur Rahman Ibn Muhammad ‘Audh al-Jaziriy, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-‘Arba’ah, Jil.I, Juz 1-5, (Kairo: Dar Ibn al-Haitsimiy, t.th.), h. 842. 78 Ibid., h. 844. 79 Ibid., h. 845.
1. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam; 2. Shana’ah, yaitu usaha atau profesi; 3. Kekayaan; 4. Huriyah atau kemerdekaan diri; dan 5. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.80 Adapun mengenai hukum kafaah dalam pernikahan, maka para ulama berbeda pendapat, diantaranya: Ibnu Hazm berpendapat81 bahwa kafaah tidak harus dipertimbangkan dalam pernikahan. Beliau mengatakan, “Setiap muslim -sepanjang bukan seorang pezina- berhak untuk menikahi perempuan muslimah yang manapun juga sepanjang perempuan itu bukan seorang pezina-“. Beliau melanjutkan, “Setiap pemeluk Islam merupakan saudara satu sama lain. Seorang laki-laki yang nasabnya tidak terpandang tidaklah dilarang menikahi puteri seorang khalifah dari Bani Hasyim. Dan seorang muslim yang fasiq -sepanjang bukan pezina- adalah sekufu dengan perempuan muslimah yang juga fasiq -sepanjang perempuan itu bukan pezina-“. Argumentasinya berdasarkan firman Allah SWT;
ST0U 0 (*"00R ... ... V0W X0 S
Artinya: “…maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi…” (QS. An-Nisaa, 4:3)
80 81
Ibid., h. 846. As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jil.II, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, t.th.), h. 143.
Rasulullah SAW pernah mengawinkan Zainab -Ummul Mukminin- dengan Zaid bin Haritsah, bekas pelayan Rasul. Beliau juga pernah mengawinkan al-Miqdad dengan Dhibaah binti Zubair bin Abdul Muthalib.82 Ulama yang lain mengatakan bahwa kafaah harus dipertimbangkan, tetapi hanya dalam hal keistiqamahan tadayyun dan akhlaq. Jadi bukanlah kafaah itu dalam hal nasab, kekayaan, dan sebagainya. Sehingga boleh-boleh saja seorang laki-laki shalih yang nasabnya tidak terpandang menikahi perempuan yang nasabnya terpandang, atau seorang laki-laki miskin tetapi shalih dan bertaqwa menikahi seorang perempuan yang kaya. Dalam hal ini, wali tidak boleh menolak pernikahan tersebut kalau memang perempuan itu sudah rela dengan pernikahan tersebut. Adapun seorang laki-laki yang tidak istiqamah dalam beragama, maka dia tidaklah sekufu dengan seorang perempuan yang shalihah. 83 Allah SWT berfirman,
0k"34 ^<0<,0 0=qck J⌧lD ;X&4S ;XR78 @Y" 56V0 C# 0*7K <34 @ ()*7R?07 ¤V0 cX J¦ … @ 4& Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. ..” (QS. Al-Hujurat, 49:13)
82 83
Alhamdani, Risalah Nikah, h. 17. Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 144.
Rasulullah SAW bersabda,
َُ-ْْ ﺕَ َْْنَ دِی4َ ْ=ُُ َ ِْ وَ"َ=َ اِذَا اَﺕَآ7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 : ََل6 >,َُﻥ$َْْ اَ'ِ> *َﺕِ=ٍ ا4َ ِِْC َ وَاِنْ آَن:ِ7َُْا یَ رَ"ُْلَ ا6 ٌ ِْ@ََ;َدٌ آCَِ> اَْرْضِ وC ًQَ-ْ#ِC ْ4ُ.َُ اِ ﺕََْ ُْا ﺕTُْ2ِ.َْﻥC َُُ ُcَو 84
( ]ى# اT )روا.ت ٍ َ َثَ َ اi ُTُْ2ِ.َُﻥC َُُ ُcََُ و-ْْ ﺕَ َْْنَ دِی4َ ْ=َُءَآ% اِذَا: ََل6 ؟
Artinya: “Dari Abu Hatim al-Muznny berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apabila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan budi pekertinya maka kawinkanlah dia, kalau tidak nanti akan menimbulkan fitnah dan kerusakan di dunia. Mereka menyela, ‘Ya Rasulullah, apakah meskipun…(cacat)? Rasulullah SAW menjawab, ‘Apabila datang kepadamu orang yang engkau ridhai agama dan budi pekertinya, maka nikahkanlah dia. Beliau mengucapkan demikian sampai tiga kali.” (HR. at-Tirmizi) Rasulullah SAW pernah melamar Zainab binti Jahsy untuk beliau nikahkan dengan Zaid ibn Haritsah. Tetapi, Zainab dan juga saudara laki-lakinya, Abdullah, menolak lamaran itu, karena merasa nasabnya jauh lebih tinggi sementara Zaid adalah seorang budak. Maka turunlah firman Allah SWT :
5b ☺ #⌧l 0 uV0 YWY# D34 T=, J& j7V*n? ;ySJ &¢0 1 * KV0 P7 gJ& Z⌧WO <6WO c4R jV*n? MgP 0X,:3C Artinya: “Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu perkara, memiliki pilihan dalam urusan mereka itu. Barangsiapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka dia telah sesat sesesat-sesatnya”. (QS. Al-Ahzab, 33:36) Sehingga, Abdullah menyerahkan semuanya kepada Nabi. Maka Nabi pun menikahkan Zainab dengan Zaid. 84
Abu Isa Muhammad Ibn Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmizi, juz-2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 345
Imam Ali –karramallahu wajhah- pernah ditanya tentang hukum kafaah dalam pernikahan85, maka beliau pun berkata, .ُْا-ََُْا وَا$َ ْ"َِ=ْ اِذَا اM1ِ$ِ َِ=ْ وَهM1ُِْ َی6 ْ=ُM1ِ$َYََُ=ْ وM1ِ'َ َ ٍFَْ' ُُ=ْ اَآَْءMُXَْ' ُس-َا Artinya: “Manusia itu sebagian kufu bagi lainnya, Arab-nya, ‘Ajam-nya, Quraisy-nya, dan Hasyimi-nya, apabila mereka telah masuk Islam dan beriman.” Di antara golongan ini ialah para ulama Malikiyah. Menurut Malikiyah, unsur yang sebaiknya sekufu antara suami dan istri adalah al-din atau al-hal saja. Yang dimaksud dengan al-din adalah ketaatan menjalankan ajaran agama. Artinya, sekalipun kedua suami-istri sama-sama beragama Islam, tetapi jika salah satu di antara mereka orang yang taat menjalankan ajaran agama dan yang satunya lagi orang yang fasiq, maka mereka tidak sekufu. Orang yang shalih hanya sekufu dengan orang yang shalih pula, dan orang yang fasiq hanya sekufu dengan orang yang fasiq pula. Sedangkan yang dimaksud dengan al-hal oleh Malikiyah adalah tidak mempunyai cacat yang menyebabkan masing-masing suami-istri memiliki hak khiyar dalam pernikahan, seperti: gila, lepra, dan penyakit kelamin. Orang yang sehat tidak sekufu dengan orang yang cacat kelamin, orang yang gila maupun orang yang lepra.86 Imam Al-Syaukani berkata, “Yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan mempertimbangkan kafaah adalah dalam hal din, sehingga seorang muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, demikian pula seorang perempuan yang menjaga diri tidak boleh menikah dengan seorang pendosa. Al-
85 86
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 144. Ibid., h. 145.
Qur’an dan Hadis sama sekali tidak memaksudkan kafaah dengan makna selain itu. Seorang muslimah dilarang menikah dengan laki-laki pezina dan pendosa, meskipun laki-laki itu nasabnya terpandang, kaya raya, dan sebagainya. Seorang bekas budak boleh saja menikahi seorang perempuan yang bernasab terpandang dan kaya raya, jika laki-laki itu muslim dan bertaqwa. Seorang laki-laki yang bukan Quraisy boleh saja menikahi perempuan Quraisy. Seorang laki-laki yang bukan Hasyimi boleh saja menikahi perempuan Hasyimi. Seorang laki-laki yang miskin juga boleh menikahi perempuan yang kaya raya”. 87 Sedangkan sebagian besar fuqaha juga berpendapat sama dengan para ulama Malikiyah dan lain-lainnya sehingga seorang laki-laki fasiq tidaklah sekufu dengan perempuan yang menjaga diri. Hanya saja, mereka tidak mencukupkan kafaah sampai di situ saja, tetapi meluaskan arti dan cakupannya pada hal-hal yang lain, antara lain : Pertama, nasab atau keturunan. Maksudnya, orang Arab sekufu dengan orang Arab yang lainnya. Orang Quraisy sekufu dengan orang Quraisy yang lainnya. Orang Ajam tidak sekufu dengan orang Arab. Orang Arab umum tidak sekufu dengan orang Arab Quraisy. 88 Rasulullah SAW bersabda,
87
Abu Abdillah Muhammad Ibn Abu Bakar Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Zaad al-Ma’ad fi Hadi Khair al-Ibad, juz-4, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1970), h. 28. 88 Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 146.
ُُ َ َِْ وَ"َ =َ اَ َبُ اَآَْء7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 :ََل6 َ$ُMْ-َ ُ7َ َ رَِ>َ ا$ُ ِ4ْ'ِ ا4َ .ٌمYُ* ِْ!ٌ اَوjَ* ُِ&ٍ ا%َ ِ ٌ&ُ%ٍَ وَرFَْ' ُُ=ْ اَآَْءMُXَْ' >ََِا$ٍْ وَاQَ ِْ@َِ ٌQَ ِْ@َ6 ٍFَْ@ِ ْ=ُMُXَْ' 89
($* اT)روا
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Orang arab satu dengan lainnya sekufu, kabilah satu kufu dengan lainnya, Mawali (campuran Arab dengan Ajam) sekufu dengan sesama Mawali, laki-laki yang satu sekufu dengan lainnya, kecuali tukang bekam.” (HR. Ahmad) Atsar yang diriwayatkan oleh Daruquthni, dari Umar ibn Al-Khaththab r.a., beliau berkata,
.َِ اَْآَْء4ِ ِ ﺕََوجَ ذَوَاتَ اَْ*ْ;َبِ ا4ََ-ََْ Artinya: “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu”. Para
ulama
Syafi’iyah
dan
juga
Hanafiyah
mengakui
sahnya
mempertimbangkan nasab dalam masalah kafaah dalam pengertian sebagaimana tersebut diatas. Hanya saja di antara mereka terdapat perbedaan pendapat tentang apakah setiap Quraisy sekufu dengan Hasyimi dan Muthallibi. Adapun ulama Syafi’iyah, mereka berpendapat bahwa tidak setiap laki-laki Quraisy sekufu dengan perempuan Hasyimi dan Muthallibi.90 Tetapi keutamaan ilmu mengalahkan keutamaan nasab dan segenap keutamaan yang selainnya. Sehingga, seorang alim adalah sekufu dengan perempuan yang manapun juga, apapun nasab perempuan itu, meskipun laki-laki alim itu nasabnya tidak terpandang. Dan juga seorang alim sekufu dengan perempuan manapun, meskipun perempuan itu kaya sementara laki-lakinya
89 90
Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 399. Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 146.
miskin, karena kemuliaan ilmu lebih tinggi daripada kemuliaan kekayaan. Sesungguhnya Nabi SAW telah menikahkan kedua puterinya dengan Utsman ibn Affan. Beliau SAW juga telah menikahkan Abu al-Ash ibn al-Rabi’ dengan Zainab, puteri beliau. Padahal Utsman dan Abu al-Ash adalah keturunan Abdul Syams. Beliau SAW juga telah menikahkan Umar dengan puterinya, Ummu Kaltsum, padahal Umar adalah seorang Adawi. 91 Firman Allah SWT,
B#KV0 uV0 ]RJ , (*, (*7 B#KV0 ... @ EF8?2 S\R7&0 Artinya: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang dikaruniai ilmu beberapa derajat”. (QS Al-Mujadalah, 58:11) Demikian pula Allah SWT berfirman, B#KV0 iP* ;° 6 67# ...
5b
B#KV0
*±T7
... *☺7 Artinya: “Katakan : Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dan orangorang yang tidak berilmu?” (QS. Az-Zumar, 39:9) Demikianlah pendapat para ulama Syafi’iyah tentang nasab bagi orangorang Arab. Adapun bagi orang-orang Ajam, di antara mereka ada yang berkata, “Kafaah di antara mereka tidaklah diukur dengan nasab”. Tetapi diriwayatkan dari Imam Syafi’i dan kebanyakan sahabat-sahabatnya bahwa orang-orang Ajam juga bertingkat-tingkat nasabnya (dan hal itu dipertimbangkan dalam masalah kafaah), dikiaskan dengan hal yang serupa di kalangan orang-orang Arab. 92 91 92
Ibid., h. 147. Ibid., h. 147.
Kedua, kemerdekaan. Maksudnya, laki-laki budak tidak sekufu dengan perempuan merdeka. Laki-laki yang pernah menjadi budak tidak sekufu dengan perempuan yang sama sekali tidak pernah menjadi budak. Demikian seterusnya.93 Ketiga, beragama Islam. Ini hanya berlaku untuk selain orang Arab. Yakni, apakah seseorang memiliki bapak, kakek, dan seterusnya yang beragama Islam atau tidak. Adapun orang Arab maka tidak perlu memperhatikan masalah ini, karena mereka sudah cukup dengan hanya mempertimbangkan masalah nasab. Yang demikian ini karena mereka hanya berbangga-bangga dengan nasab, bukan dengan kenyataan bahwa nenek moyangnya muslim atau bukan. Keempat, profesi atau pekerjaan. Seorang perempuan dari suatu keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak sekufu dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir sama tingkatnya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. 94 Kelima, kekayaan. Seorang laki-laki yang fakir tidak sekufu dengan perempuan yang kaya. Argumentasi yang dipakai ialah hadits riwayat Samrah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
َُ َم.َْلُ وَا$ُْ اnَ;َ2َِْ َ َِْ وَ"َ =َ ا7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 : ََل6 ٍُْب-ُ* ِ4ْ' َْ َة$َ" ْ4َ 95
(% 4' اT )روا.َْى#ا
Artinya: “Dari Samrah Ibnu Jundub berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kedudukan seseorang itu menurut hartanya dan kemuliaan itu tergantung ketaqwaannya.” (HR. Ibn Majah) 93
Ibid., h. 148. Ibid., h. 149. 95 Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, juz-1, (Beirut: Dar alFikr, 1995), h. 1410. 94
Tetapi sebagian ulama menentang dipertimbangkannya kekayaan dalam masalah kafaah, dengan alasan bahwa kekayaan itu semu dan sementara, serta bukan sesuatu yang dijadikan standar muru’ah.96 Adapun sahabat-sahabat Abu Hanifah, mereka mempertimbangkan kekayaan tetapi hanya sebatas kemampuan memberikan mahar yang diminta dan nafkah yang cukup dan pantas. Jika seorang laki-laki tidak bisa memberikan salah satu dari dua hal itu atau bahkan kedua-duanya, maka ia tidak sekufu dengan perempuan yang ingin dinikahinya.97 Adapun Abu Yusuf mengartikan kafaah dalam hal kekayaan hanya sebatas kemampuan memberikan nafkah yang cukup dan pantas, tidak termasuk mahar. Sebuah riwayat dari Imam Ahmad menyetujui dipertimbangkannya kekayaan dalam masalah kafaah, karena seorang perempuan dari keluarga kaya akan menderita hidup bersama laki-laki yang miskin, dan karena manusia menganggap kemiskinan
sebagai kekurangan (artinya orang
yang
kaya dimuliakan
sebagaimana dimuliakannya orang yang nasabnya terpandang)98. Keenam, tidak cacat. Terbebasnya seorang laki-laki dari kekurangan atau cacat fisik tidaklah termasuk dalam pengertian kafaah, karena para ulama sudah sepakat akan sahnya pernikahan laki-laki yang memiliki kekurangan atau cacat fisik. Hanya saja kekurangan atau cacat fisik pada laki-laki menyebabkan adanya
96
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 149. Ibid., h. 150. 98 Ibid., h. 150. 97
hak pilih bagi perempuan (untuk menerima pernikahan atau menolaknya), tidak bagi wali, karena perempuan sajalah yang akan menanggung masalah ini. Tetapi wali memiliki hak untuk menolak pernikahan dengan laki-laki yang lumpuh, berpenyakit lepra, atau gila. Demikianlah pendapat-pendapat sekitar kafaah dari para ulama mazhab dalam Islam. Ringkasnya ada tiga pendapat; pendapat yang ekstrim, longgar dan moderat. Pendapat pertama, dikemukakan oleh Ibnu Hazm. Beliau mengatakan bahwa kafaah itu tidak ada. Pendapat yang kedua, dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan pengikutnya, Hanafiyah dan Hanabilah. Mereka mengatakan bahwa kafaah itu tidak hanya soal agama tetapi juga menyangkut hal-hal lain seperti yang dijelaskan dimuka. Di antara mereka bahkan ada yang berlebih-lebihan sampai ada yang menuntut fasakh meskipun perempuan ridha. Pendapat ketiga adalah pendapat yang moderat, lebih adil dan sesuai dengan Islam sebagai agama fitrah, yaitu bahwa kafaah itu hanya pada soal agama dan akhlak bukan pada soal lainnya.99
C. Kafaah dalam Pernikahan Kafaah dalam pernikahan hanya dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun seorang perempuan tidaklah dipersyaratkan harus sekufu dengan suaminya. Rasulullah SAW bersabda, 99
Alhamdani, Risalah Nikah, h. 109.
ُTَْ-ِ َْ آَن4َ َ= َ"َ َِْ و َ ُ7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 : ََل6 ُْ-َ ُ7َ ا8َِْ اَ'ِ> ُْ"َ> ر4َ .ِْ َان%ََ َُ اC َM% َ َِ وَﺕَْوMََ#َُْ= اi َMََِْ ا4َ;ْ*ََ اَوْ اMَ$ِْ ََْ ﺕ4َ;ْ*ََ وَاMَ$َ ََC ٌQََرِی% 100
(= ;رى وk@ اT)روا
Artinya: “Dari Abu Musa r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang memiliki jariyah, kemudian mengajarinya dengan pengajaran yang baik, dan bersikap baik kepadanya, kemudian memerdekakannya lalu menikahinya, maka dia mendapatkan dua pahala”. (HR Al-Bukhari dan Muslim) Rasulullah SAW merupakan sosok yang tidak ada seorang pun yang setara dengannya, tetapi beliau menikahi perempuan bukan Arab, diantaranya Shafiyah binti Huyay yang awalnya beragama Yahudi tetapi kemudian masuk Islam. Pada umumnya, seorang perempuan yang tinggi derajatnya akan dijadikan bahan pembicaraan jika dinikahi oleh laki-laki yang derajatnya lebih rendah. Tetapi tidak sebaliknya. Jika ada seorang laki-laki yang tinggi derajatnya kemudian menikahi perempuan yang lebih rendah derajatnya, maka tidak akan ada yang membicarakannya.101 Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kafaah merupakan hak bagi perempuan dan para wali. Seorang wali tidak boleh menikahkan seorang perempuan dengan laki-laki yang tidak sekufu, kecuali dengan kerelaan perempuan itu sendiri dan juga para wali yang lainnya.102 Jika seorang perempuan dinikahkan dengan lakilaki yang tidak sekufu, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama
100
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, juz6, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), h. 899 101 Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 151. 102 Abu Abdullah Muhammad Ibnu Idris as-Syafi’I, al-Umm, juz-5, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h.16.
mengatakan bahwa pernikahan itu bathil (tidak sah). Pendapat kedua mengatakan bahwa pernikahan itu tetap sah tetapi perempuan itu kemudian boleh memilih antara melanjutkan pernikahan atau menuntut cerai. Yang paling tepat ialah pendapat yang mengatakan bahwa kafaah tidak termasuk syarat sahnya akad nikah. Sebab, kafaah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga walinya, sehingga keduanya bisa saja menggugurkannya (tidak mengambilnya). Kafaah dinilai pada waktu terjadinya akad nikah. Jika pada saat akad nikah, seorang laki-laki sudah sekufu tetapi sesudah itu kehilangan sifat-sifat kafaah nya maka akad nikah tetap sah sebagaimana awalnya, istri ataupun walinya tidak boleh menuntut cerai suaminya dengan alasan tidak sekufu. Karena sesungguhnya masa itu berputar, dan manusia itu tidak bisa dijamin selalu dalam keadaan yang sama. Dalam hal ini hendaknya sang isteri menerima kenyataan, bersabar, dan bertaqwa, karena yang demikian itu termasuk keutamaan. 103 Masalah kafaah dalam hukum positif Indonesia tidak dibahas secara eksplisit. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyinggung masalah kafaah ini, sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebut kafaah hanya dalam masalah agama saja. Sebagaimana pasal 61 KHI: “Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.”
103
Ibid., h. 152.
Meskipun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak membahas masalah kafaah secara tegas, namun secara umum ada 2 hal yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu: perbedaan agama dan usia pernikahan. 1. Perbedaan Agama Perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Demikian juga di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama –Islam dengan selain Islam- ke dalam bab larangan perkawinan. Pasal 40 point (c) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan tertentu: c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam Juga pasal 44: Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Di dalam kitab-kitab fiqh umumnya, perkawinan antar pemeluk agama ini masih dimungkinkan, yaitu antara seorang laki-laki muslim dengan wanita kitabiyah, yang menurut beberapa pendapat adalah mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani. Apabila diperhatikan ketentuan hukum dalam pasal 40 (c) dan 44 Kompilasi Hukum Islam, bahwa realitasnya perkawinan antar pemeluk agama
yang berbeda, lebih banyak menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa hal prinsipil yang berbeda. Memang ada, pasangan perkawinan yang berbeda agama dapat rukun dan dapat mempertahankan ikatan perkawinannya. Yang sedikit terakhir ini tentu saja dalam pembinaan hukum belum cukup dijadikan acuan, kecuali hanya merupakan eksepsi atau pengecualian. 104 Para ulama di Indonesia, termasuk di dalamnya Majelis Ulama Indonesia, tidak memperbolehkan perkawinan antar pemeluk agama. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 21 menyatakan:
5b (*, @Y{| F⌧l3yz☺&0 =;X = @ } * C=⌧l3yz yJS (*,7 5b 9 @Y{| Bl3yz☺&0 YcC7 @ (*, C
3yz yJS 9 * Av34 *c Ck ()*c uV0 ( ?0<,0 =<X&0 Av34 "&D3_3 ; J&☺&0 B3 C ( 1k7 <0<X MNNOP JKl⌧o Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke 104
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.VI, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 345.
surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayatayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah, 2:221) Dalam melihat pasal 40 (c) dan 44 Kompilasi Hukum Islam yang perlu diperhatikan adalah bunyi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Jadi kalau Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan hasil ijtihad atau inovasi hukum dalam menafsirkan ketentuan al-Qur’an, yang bersifat kolektif, ia merupakan hukum yang harus dipedomi bagi umat Islam Indonesia. Walhasil, perkawinan antar pemeluk agama tidak diperbolehkan secara hukum, karena termasuk suatu bentuk halangan perkawinan. 105 2. Usia Pernikahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.” Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan Undang-Undang Perkawinan, bahwa calon suami-istri harus telah matang jiwa-raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
105
Ibid., h. 348.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang masih di bawah umur. Masalah penentuan umur dalam Undang-Undang Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqh masa lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi syar’inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 9:
W²o& * q#KV0 \31RS (*l J (*7R# 0e7O ,=© h?7D KV0 (*!4© oRR 31&2 c cn ,b*# (**!4o& MtP Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. Al-Nisa’, 4:9) Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda –di bawah ketentuan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan-
akan
menghasilkan
keturunan
yang
dikhawatirkan
kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan pengamatan berbagai pihak, rendahnya usia kawin, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan perkawinan, yaitu terwujudnya ketenteraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan ini tentu akan sulit
terwujud, apabila masing-masing mempelai belum matang jiwa dan raganya. Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh di dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam menghadapi likuliku dan badai rumah tangga. Secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada metode maslahah mursalah. Namun demikian karena sifatnya yang ijtihady, yang kebenarannya yang relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya, apabila karena sesuatu dan lain hal perkawinan dari mereka yang usianya di bawah 21 tahun –atau sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita- Undang-undang tetap memberi jalan keluar.106 Pasal 7 ayat (2) menegaskan: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.” Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Berhubungan dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita.107 (Penjelasan Umum Undang-Undang Perkawinan nomor 4 huruf d) Pertimbangan problem kependudukan, seperti diungkapkan dalam penjelasan Undang-undang Perkawinan, turut mempengaruhi perumusan 106
Andi Syamsu Alam, Usia Ideal untuk Kawin; Sebuah Ikhtiar mewujudkan Keluarga Sakinah, cet.II, (Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2006), h. 66 107 Ibid., h. 74.
batas umur calon mempelai tersebut. Ini dimaksudkan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat sejalan dengan tujuan hukum Islam itu sendiri. Pada prinsipnya, perkawinan di bawah umur itu juga tidak dibenarkan oleh ajaran agama Islam karena sangat dikhawatirkan akan menyia-nyiakan tanggung jawab yang cukup besar yaitu masalah rumah tangga, di mana seorang suami atau istri akan ditanya kelak di hari akhir.108 Sedangkan hubungan usia pernikahan ini dengan masalah kafaah adalah bahwa kafaah disyaratkan bagi laki-laki, artinya seorang laki-laki harus sama umurnya atau lebih daripada calon istrinya. Sedangkan dalam hukum positif diatur batasan minimal usia pernikahan, yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, sehingga bisa bisa dikiaskan sebagai unsur kafaah.
108
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga yang Sakinah, cet.I, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 15.
BAB IV URGENSI KAFAAH TERHADAP KEUTUHAN KELUARGA
A. Permasalahan dalam Pernikahan 1. Halangan Pernikahan Tidak sedikit dari para pemuda dan pemudi yang telah siap berumah tangga tertunda pernikahannya disebabkan adanya halangan dan rintangan. Rintangan-rintangan
itulah
yang
mengakibatkan
timbulnya
masalah
banyaknya laki-laki membujang dan menjadikan perempuan sebagai perawan tua. Di antara halangan dan rintangan itu adalah: a. Mahar yang terlalu tinggi Hendaklah dipahami bahwa perkawinan itu adalah sunnah Allah dan Rasul-Nya bukan arena dan medan perniagaan, yang menuntut syarat dan harga yang terlalu tinggi. Bukan pula mengikuti adat-istiadat yang berlaku yang menetapkan berbagai bentuk aturan yang tidak diajarkan oleh syariat Islam. Allah SWT berfirman:
@?☺ .0 (*" B30 \, @ !9V0 34 l20 9 V J47R (*"* 34 3tR uV0 31X& MgNP t\23 ]]n uV0
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur, 24:32) Rasulullah SAW bersabda:
ْ=َُءَآ% ُْ َ َِْ وَ"َ =َ اِن7ِ ?َ> ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 : ََل6 ُْ-َ ُ7َ ا8َِْ اَ'ِ> هُ َیْ َةَ ر4َ .ٌFَْ;َدٌ َ ِیC َِ> اَْرْضِ وC ٌQَ-ْ#ِC ْ4ُ.َُ اِ ﺕََْ ُْا ﺕTُْ%ََوC َُُ ُcََُ و-ْْ ﺕَ َْْنَ دِی4َ 109
( ]ى# اT)روا
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., bersabda Rasulullah SAW : Apabila datang kepadamu orang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang), maka terimalah pinangannya. Jika tidak, maka akan berlakulah fitnah dan kerusakan di muka bumi.” (HR. Tirmizi)
ُ َْc َ= َ"َُ َ َِْ و7ِ ?َ > ا7َلَ رَ"ُْلُ ا6 :ََل6 ُْ-َ ُ7ِ َ@سٍ رَِ>َ ا4ْ'ِ ا4َ 110
($* اT )روا.ً6 ?ََا4ُ;َءِ اَیْ;َ ُه,-ا
Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sebaik-baik wanita adalah yang paling ringan mas kawinnya (mahar).” (HR. Ahmad) Berdasarkan keterangan di atas, maka seorang muslim hendaknya mengikuti sunnah Allah dan Rasul-Nya dalam memudahkan dan meringankan mahar pernikahan serta memilih orang yang beriman serta shalih dan berakhlak mulia sebagai pasangan hidup.111
109
Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah, Sunan al-Tirmizi, juz-2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 345. 110 Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, (t.t.: al-Maktabah al-Islamiyah, t.th.), h. 494. 111 Abu Muhammad Jibril Abdurrahman, Karakteristik Lelaki Shalih, cet.I, (Yogyakarta: Wihdah Press, 1999), h. 371.
b. Biaya pernikahan terlalu berat Penghalang pernikahan yang selanjutnya ialah beban pernikahan itu sendiri yang terlalu besar dan tinggi, berupa biaya-biaya pembelanjaan majelis akad nikah, kenduri pernikahan, hadiah-hadiah pertunangan, perlengkapan pengantin, dan lain-lain. Inilah di antara keberatan yang harus ditanggung pihak laki-laki, sehingga tidak ada calon yang mampu melaksanakannya melainkan mereka yang memiliki kemampuan saja. Tidak sedikit dari kalangan pemuda dan pemudi yang berhasrat menyelamatkan
diri
dari
tergelincir
ke
lembah
kerusakan
dan
kemaksiatan, yaitu dengan melaksanakan pernikahan yang sah, sesuai dengan syariat Allah SWT. Tetapi melihat biaya yang sangat tinggi menjadikan dinding dan tembok penghalang keinginan mereka untuk melakukan perbuatan yang mulia, yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka hendaklah disadari bahwa Islam tidak mensyariatkan pembelanjaan pada waktu melakukan akad dan majelis pernikahan kecuali memberi mahar (mas kawin) bagi wanita yang dinikahi dan mengadakan walimah yang sederhana untuk menyambut tamu dan sahabat, tetangga dan keluarga. Adanya hadiah dan pembelanjaan lain, yang memberatkan
itu bukanlah kewajiban, itu terpulang kepada pihak laki-laki, menurut kemampuannya.112 c. Halangan studi dan pendidikan Sebagian besar para pemuda dan pemudi telah menjadikan ini sebagai alasan untuk tidak melaksanakan pernikahan dahulu. Alasannya antara lain adalah: 1) Masalah ekonomi dan keuangan Persoalan rezeki, umur dan jodoh adalah termasuk perkara yang ghaib. Meskipun demikian, usaha dan ikhtiar mencari rizki adalah merupakan suatu kewajiban bagi setiap individu, dan takdir itu tidak meniadakan usaha dan ikhtiar. Sementara itu adalah termasuk ibadah, apabila sesorang pemuda dan pemudi telah berhasrat melakukan pernikahan atas dasar iman dan ingin menyelamatkan diri dari tercebur ke dalam jurang kemaksiatan dan atas dasar takwa, maka segala persoalan akan dapat teratasi. 113 Firman Allah SWT:
67&1 KV0 P© MNP #☯ J& ⌧³ jKV 5b [&o 'J … @ .& Artinya: “…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya...” 112 113
Ibid., h. 371. Ibid., h. 379.
(QS. At-Thalak, 65:2-3) 2) Masalah status sosial (titel) Tidak sedikit pemuda-pemudi yang jiwanya telah terbius oleh penyakit gila titel, kedudukan, dan kehormatan, demikian juga sebagian orang tua. Mereka menganggap titel adalah segala-galanya yang dapat memudahkan segala urusan seperti mencari pekerjaan, mengangkat derajat, dan dihormati orang. Sesungguhnya nilai seseorang itu bukan terletak pada status dan titelnya. Bukan pula pada pangkat dan pekerjaannya. Juga bukan pada kekayaan, kehebatan, dan kepopulerannya. Karena prestasi keduniaan itu akan sirna dan lenyap suatu saat nanti. 114 3) Masalah pernikahan yang akan mengganggu pendidikan Alasan ini telah menjadi fenomena yang umum di tengah masyarakat pada saat ini, bahwa pernikahan itu akan mengganggu studi karena pendidikan tidak akan sukses bagi mereka yang terpaksa memikirkan persoalan rumah tangga sekaligus sewaktu belajar. Namun alasan ini tidak berdasar sekali melainkan pada mereka yang tidak meyakini akan kemampuan di dalam menyeimbangkan dua tugas ini dalam satu waktu yang sama. Bahkan pernikahan merupakan faktor yang
114
Ibid., h. 379.
terpenting yang melahirkan suasana yang sesuai bagi seorang pelajar. Dan juga dapat menyelamatkan dari pemikiran yang sia-sia. 115 d. Bujukan hawa nafsu yang bebas Para pemuda sekarang ini banyak yang tidak berkeinginan untuk melaksanakan pernikahan, seakan-akan ia tidak pernah memerlukannya karena dipengaruhi oleh corak kehidupan yang penuh kebebasan. Bagaimana mungkin para pemuda ini ingin menikah sedangkan mereka akan mendapatkan dengan mudah sekali tempat untuk menghilangkan kehausan seks mereka. Bagaimana mungkin para pemuda ini memikirkan pernikahan sedangkan jalan untuk melakukan perbuatan yang keji terbentang luas di hadapan mereka. e. Lemahnya semangat keagamaan Terbuka
lebarnya
tempat-tempat
kemaksiatan,
meluasnya
pergaulan antara pemuda-pemuda dan gadis-gadis, dan merajalelanya perzinaan yang mana telah memberi peluang bagi kebanyakan pemuda mendapatkan keinginan nafsunya dan menyalurkan nafsu seksnya. Keadaan
ini
menyebabkan
mereka
memandang
tidak
perlunya
melaksanakan pernikahan itu. Tetapi mereka tidak akan terjerumus ke dalam kekejian itu dan tidak menukarkan kesucian dengan kehinaan melainkan karena pemuda itu telah jauh dari agamanya. Inilah yang
115
Departemen Agama RI, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta: Dirjen Bimmas dan Haji, 2001), h. 142.
merupakan faktor terpenting yang mendorong sebagian besar dari mereka memilih cara hidup yang penuh noda dan dosa, terbenam di dalam kekejian dan kehinaan.116 Sebaliknya, bagi para pemuda yang mempunyai perasaan dan semangat beragama (keimanan yang mendalam), maka tentulah mereka tidak akan mendekati perbuatan-perbuatan maksiat itu. Dan mereka akan senantiasa muraqabah yang berhubungan dengan Allah SWT, dan karena itulah mereka terdinding dari perbuatan-perbuatan yang merusak dan menghancurkan. Inilah faktor yang menyekat para pemuda untuk memiliki perempuan yang halal di dalam hidup mereka, sebagai penenang jiwanya, menjadi ibu bagi anak-anaknya, dan yang akan menyelamatkan akhlaknya. Tetapi bagi para pemuda yang beriman, maka faktor yang paling berpengaruh dan penghalang baginya untuk melaksanakan pernikahan adalah karena tingginya mahar, dan biaya pernikahan, disamping kurang siapnya jiwa mereka yang tidak meyakini akan kemampuan membimbing sebuah keluarga di dalam rumah tangga.
2. Krisis Rumah Tangga
116
Abu Muhammad, Karakteristik Lelaki Shalih, h. 386.
Banyak rumah tangga yang dibangun kaum muslimin tidak mampu mempertahankan keharmonisannya. Rumah tangga tak ubahnya seperti neraka, tempat yang paling tidak menyenangkan bagi penghuninya. Di antara krisis yang terjadi dalam rumah tangga adalah ketegangan hubungan atau konflik suami-istri, konflik orang tua dengan anak, atau konflik dengan mertua, dan bahkan konflik sesama anak. Ketegangan suamiistri merupakan krisis yang sangat mendasar dan harus segera mendapat penyelesaian, dan mengupayakan pencegahan sebelum terjadinya konflik. Adakalanya, suami terlalu sibuk dengan berbagai urusannya di luar rumah dan tidak mau memberikan empati (perhatian) terhadap kesibukan istri. Ia hanya ingin memberikan hak-hak istri berupa pemenuhan materi dan kebutuhan seksual. Ia lupa bahwa yang diperlukan istri lebih dari itu. Bukan hanya sekedar terpenuhinya materi dan tersalurkannya kebutuhan biologis, namun lebih dari itu, istri memerlukan perhatian, kasih sayang, dan kemesraan hubungan. Adakalanya istri terlalu banyak menuntut. Berbagai pemenuhan material dimintanya pada suami, sampai di luar batas kemampuan suami untuk menanggungnya. Istri menjadi uring-uringan dan bersikap tidak hormat lagi kepada suami. Tak sedikit yang kemudian memiliki sikap “permusuhan” secara diam-diam atau terang-terangan.117
117
Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami; Tatanan dan Peranannya dalam Masyarakat, cet.I, (Solo: Intermedia, 1997), h. 184.
Permasalahan lain yang bisa terjadi dalam sebuah keluarga adalah konflik antara suami-istri di satu pihak dengan mertua di pihak yang lain. Kejadian ini lazim terjadi pada keluarga yang tinggal di rumah mertua. Hal ini memberi peluang munculnya ketidakcocokan dalam berbagai bidang kehidupan, dari masalah kecil hingga masalah prinsip. 118 Sebuah kapal memang tidak bisa dipimpin oleh dua orang nahkoda. Sebuah rumah tangga seharusnya dikepalai oleh seorang suami. Dalam kondisi seperti di atas, tentulah mau tidak mau terdapat lebih dari satu kepala keluarga. Hal ini mengakibatkan tidak jelasnya mekanisme kerja rumah tangga. Ayah mertua merasa mempunyai hak mengatur seluruh anggota rumah tangga, demikian pun sang menantu merasa mempunyai kebebasan dan otoritas. Konflik yang sering terjadi adalah masalah ekonomi keluarga, pendidikan anak-anak, pemanfaatan fasilitas, dan bahkan masalah urusan dapur. Jika tidak segera diselesaikan dengan bijak, ketegangan akan bisa memuncak menjadi perasaan saling membenci dan memusuhi. Untuk itu, pilihan tinggal di rumah mertua harus dipertimbangkan dengan masak dan memperhatikan banyak aspek.119 Modal saling pengertian pada awalnya memang bisa menjauhkan konflik. Akan tetapi, ini tidak akan bisa diandalkan untuk jangka panjang. Suami-istri pada sebuah rumah tangga Islami perlu “mengenalkan diri” secara
118 119
Ibid., h. 185. Ibid., h. 187.
arif pada mertua, meliputi standar hidup, tolok ukur keberhasilan, pola hidup dan sebagainya. Selain itu, kesepakatan dalam hal-hal yang prinsip perlu dilakukan sejak awal. Perlu juga adanya pembatasan wilayah kewenangan yang jelas dan tegas antara dua keluarga tersebut.120 Apabila benih-benih konflik mulai kelihatan, rumah tangga Islami harus segera mengambil jalan keluar dan langkah antisipatif. Permasalahan tidak akan selesai dengan dibiarkan bergulir. Lebih baik mengantisipasi dari awal daripada membiarkan permasalahannya menjadi besar baru diupayakan penyelesaian. Pengambil inisiatif untuk menyelesaikan permasalahan bisa datang dari pihak mana pun, baik dari keluarga mertua maupun dari anak dan menantu. Lebih cepat permasalahan diselesaikan, akan lebih baik hasilnya. 121 Oleh karena itu, semua permasalahan yang ada dalam rumah tangga harus ditanggapi dengan bijaksana sambil terus berusaha mencari jalan keluar yang terbaik untuk menyelesaikannya.
B. Upaya untuk Menjaga Keutuhan Keluarga Hampir tidak didapati sebuah keluarga yang terbebas dari segala macam permasalahan dan perselisihan. Namun, setiap keluarga berbeda-beda persoalan dan permasalahan yang dihadapi. Islam sangat menganjurkan suami-istri untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang mendera mereka berdua dan
120
Ibid., h. 190. Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga. Penerjemah M. Abdul Ghoffar, cet.V, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 177. 121
memecahkan segala aral melintang yang menghadang bahtera mereka, dan Islam juga membimbing masing-masing dari suami-istri agar menempuh solusi terbaik, sebagaimana juga menganjurkan agar sesegera mungkin menempuh solusi terbaik bila muncul benih-benih perpecahan dan perbedaan persepsi. 122 Berbagai ketegangan dalam kehidupan suami-istri, bisa jadi memang termasuk bagian dari bumbu kehidupan keluarga. Akan tetapi, bila bumbu itu berlebihan maka masakan pun tak enak dan bisa jadi malah mengancam keutuhan keluarga. Oleh karena itu, sekalipun pada beberapa kondisi tertentu ketegangan masih bisa dinilai sebagai sesuatu yang wajar, tetap harus diwaspadai. Pengabaian atas sikap memperhatikan masalah-masalah ketegangan suami-istri semacam itu pada hakekatnya hanyalah menunda klimaks dari konflik yang terus terbangun. Klimaks dari konflik yang berkepanjangan seringkali tidak mengenakkan. Ia akan membawa rasa sakit dan trauma pada seluruh pihak: suami, istri serta anak-anak. Untuk mencegah munculnya konflik yang berkepanjangan dan mengatasi berbagai ketegangan dalam kehidupan suami-istri, beberapa hal berikut layak diperhatikan: 1. Mengembalikan seluruh masalah pada aturan Allah dan Rasul-Nya Di sinilah letak pentingnya memulai kehidupan keluarga dengan niat ibadah, berangkat karena perintah serta tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Jika ada masalah, maka kembalinya kepada pihak yang memberi perintah dan tuntunan. Berbeda dengan mereka yang tidak meniatkan pernikahan sebagai 122
Abdul Azhim, al-Wajiz, h. 607.
ibadah, tetapi sekedar pemuasan nafsu atau sekedar tuntutan kewajaran hidup belaka. Mereka ini sulit kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, karena berangkatnya tidak dari keduanya. Allah SWT telah berfirman:
B#KV0 0=qck KV0 (*7oU ()*X p*nsJ0 (*7oU ( \, ´µ.0 Av Y⌧¤ A3B |¶ i, 3_R ¤V0 Av34 2JR |¶Xl 34 p*nsJ0 ¤V003 *,7 ... gJS.0 I*o&0 Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah (Al-qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman pada Allah dan hari kemudian...” (QS. An-Nisa’, 4:59) Hendaknya keluarga muslim menyadari bahwa permasalahan tidak bisa selesai hanya dengan pertengkaran dan kekerasan. Cara-cara semacam itu hanya akan memperuncing dan memanaskan situasi saja. Hanya dengan cara mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, segala permasalahan bisa diselesaikan secara proporsional.123 2. Mendahulukan menunaikan kewajiban daripada menuntut hak Salah satu penyebab ketegangan adalah apabila suami dan istri berlomba menuntut hak masing-masing dengan melalaikan kewajibannya.
123
Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami, h. 185.
Padahal, saling menuntut hak itu sesungguhnya perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Sikap
menuntut
hak
semacam
itu
kadang
justru
semakin
memperuncing permasalahan suami-istri. Apalagi ketika diberi bumbu-bumbu egoistis (sikap ingin menang sendiri) dan tak mau bersikap empati pada pihak lain, maka yang terjadi hanyalah menambah sakit hati dan rasa dendam. Islam telah menetapkan batas-batas hak serta kewajiban dengan adil dan bijaksana. Jika semua pihak menetapi kewajiban-kewajibannya, tentu akan tertunaikan pula hak dengan sendirinya. Apabila suami telah menunaikan kewajiban terhadap istri dengan sebaik-baiknya, maka hak istri telah tertunaikan. Demikian juga apabila istri telah menunaikan kewajiban terhadap suami, maka hak suami pun telah tertunaikan. Suasana harmonis akan lebih mudah dibangun dalam kondisi seperti ini. 124 3. Memperhatikan masalah-masalah yang dianggap kecil Salah satu bagian kemesraan dalam keluarga, ia dibangun di atas verbalitas (kata-kata). Istri memerlukan ungkapan verbal atas kasih sayang dan perhatian suami terhadapnya. Hal semacam ini sering terbaikan oleh para suami. Suami merasa menunaikan kewajiban dengan baik apabila telah memberikan kecukupan materi. Ungkapan kecil, seperti “terima kasih”, “jazakallah”, atau “thank you” memang sebuah verbalitas dari keinginan menyampaikan penghargaan. 124
Ibid., h. 186.
Tetapi, walaupun verbal kalimat itu penting diucapkan oleh suami maupun istri. Demikian juga ucapan “maaf”, “afwan”, atau “sorry” dan sejenisnya, telah dianggap remeh oleh suami-istri. Sebaiknya, suami maupun istri meringankan lisan untuk mengungkapkan penghargaan terhadap penunaian kewajiban masing-masing pihak. Hal ini, insyaAllah akan menambah kadar keinginan untuk berbuat baik lagi.125 Hal kecil lainnya adalah saling memberi hadiah secara berkala, pada moment-moment tertentu, atau membawakan istri oleh-oleh saat suami datang dari bepergian jauh. Peristiwa semacam itu sangat menyenangkan istri yang merasa mendapat perhatian istimewa dari suami.126 4. Berduaan, mengasingkan diri dari rutinitas Rutinitas pekerjaan sering membuat jenuh. Istri yang banyak berada di rumah merasa jenuh oleh dunia sempit yang mengurungnya, dari satu ruang ke ruang yang lain. Demikian juga suami, ia jenuh oleh rutinitas bekerja mencari kehidupan, sehingga kurang memperhatikan urusan rumah tangga. Sesekali, suami-istri perlu pergi dari rumah berdua saja, meninggalkan anak-anak bersama pembantu rumah tangga atau anggota keluarga yang lain di rumah. Suami-istri bisa saling melakukan evaluasi berduaan terhadap perjalanan rumah tangga selama ini, tanpa diganggu keributan anak-anak. Perlu suasana-suasana baru yang sejuk dan nyaman, terbebas dari suasana
125 126
Ibid., h. 187. Depag RI, Pedoman Konselor, h. 246.
rutinitas yang membosankan. Semua perasaan bisa diungkapkan. Dengan cara itu diharapkan pula akan terbentuk ingatan masa lalu waktu pengantin baru. Indahnya malam pertama, masa-masa perkenalan di hari-hari pertama pernikahan yang mengesankan, ataupun bersama mengingat peristiwaperistiwa masa lalu yang membangkitkan kecintaan dan kesenangan. 127 Dalam suasana seperti itu, suami-istri akan lebih dingin dalam menyelesaikan masalah, sehingga jika ada konflik tak akan berkepanjangan. 5. Jangan senantiasa berpikir hitam-putih Setiap masalah bisa didudukkan secara proporsional. Ada pihak yang salah dan ada pula pihak yang benar. Akan tetapi, untuk menyelesaikan perselisihan suami-istri, tidak mesti dilihat dalam konteks benar-salah semacam itu. Saling mendahului minta maaf merupakan langkah yang terbaik untuk meredakan ketegangan, daripada memulai dengan berpikir siapa yang bersalah. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan akibat tudingan kesalahan tersebut maka akan memperparah sakit hati yang bersangkutan. Memang, dalam masalah tertentu yang berkaitan dengan hukum perlu kejelasan yang benar dan yang salah, untuk mendapatkan penyelesaikan secara tegas. Namun, dalam berbagai masalah keseharian (dalam hidup rumah tangga), tidak terlalu penting mencari siapa benar dan siapa salah. Saling
127
Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami, h. 188.
mendahului meminta maaf jauh lebih utama, untuk menjaga keharmonisan hubungan suami-istri.128 6. Berbohong, jika memang diperlukan untuk ishlah Pada dasarnya, berbohong adalah perbuatan dosa dan terlarang. Sikap dasar setiap muslim adalah jujur, terpercaya, dan tidak berdusta. Akan tetapi, Islam memberikan “peluang” untuk menyimpang dari aturan dasar itu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
ِ>C pَِ]ِبُ إ. ا1&ِ2ََیp :َ= َ"َُ َ َِْ و7ِ ?َ > ا7َلَ رَ"ُْ لُ ا6 :ْRََ6 َِْ یَِیRْ-ِ' ََء$ْ"َ أ4 ْ َ .ِس-َ ا4َْ' َZِ ْGُِ َُ]ِب. وَا,َِ ْب2ْ>ِ اC َُ]ِب. وَا,َMَِ ْ ُِ َُُ&ُ اْ َ أَﺕ% ثُ ا,َ2ُ ی:ٍَثrَi ( ]ى# اT)روا
129
Artinya : “Dari Asma’ binti Yazid berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak halal berdusta kecuali dalam tiga perkara yaitu seorang bercerita kepada istrinya untuk menyenangkannya, berdusta dalam peperangan dan berdusta untuk mendamaikan antara orang yang bertikai.” (HR. at-Tirmizi) Sekalipun berbohong antara suami dan istri diperbolehkan, tentu saja itu adalah sikap pengecualian. Nilai kejujuran dan saling percaya harus tetap dipegang teguh. Bohong hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu, untuk melakukan ishlah (perbaikan) dan membuat suasana harmonis dalam rumah tangga, tetapi tidak untuk saling menipu, mendustai, dan mengkhianati.130 7. Mendatangkan pihak ketiga yang dipercaya keduanya
128
Ibid., h. 189. Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah al-Termizi, Sunan al-Termizi, Penerjemah Moh. Zuhri, Jil.III, (Semarang : CV Asy Syifa’, 1992), h. 464. 130 Ibid., h. 189. 129
Apabila ketegangan tak terselesaikan dengan cara-cara persuasif, bahkan semakin meningkat, maka bisa ditempuh cara menghadirkan seseorang yang dipercaya. Bahkan jika perlu, suami-istri datang kepada seseorang yang dipercaya keduanya. Bisa jadi seorang ustadz yang dikenal kearifannya, atau seorang shalih yang lebih tua dari mereka berdua, yang dipercaya bisa menyimpan rahasia. Suami istri mengadukan masalah dan perasaan hatinya masingmasing, untuk didengarkan dan diselesaikan oleh pihak ketiga tersebut. Dengan izin Allah, pihak ketiga akan memberikan saran, pandangan, atau alternatif pemecahan masalah. Sekalipun pihak ketiga ini tidak mampu menyelesiakan masalah dengan tuntas, tetapi aspek pengaduan amat diperlukan untuk menumpahkan perasaan hati.131 Demikianlah, beberapa upaya preventif dan sekaligus solusi ringan dari konflik suami-istri. Namun, dalam kasus nusyuz, di mana pihak istri tidak berfungsi sebagai istri, tidak patuh atau melawan kebenaran, suami berhak bertindak dalam tiga tahapan, sebagaimana penjelasan Allah SWT:
*7R0 7*¸!7R A3B
Y|K0 7'*!m7 }7J!0 ]805t☺&0 3_R ( }7*3y0 (*C 5⌧R !9,7U KV0 <34 e⌧o39n }y MgP ,yJ395 0b23 qr#⌧l 131
Ibid., h. 191.
Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisa’, 4:34) Ketika istri sudah mulai membandel dan tidak taat, maka suami harus menempuh kiat-kiat penyelesaian yang telah ditawarkan oleh Islam132, yaitu: a. Menasehati istri dengan cara yang baik b. Berpisah ranjang dengannya c. Memukulnya dengan tangan atau benda ringan sebagai pelajaran baginya d. Jika semua ini tidak memberi hasil, maka solusi terakhir adalah melakukan tahkim, yaitu mengangkat juru damai. Sebagaimana firman Allah SWT :
º04K \.&S 34 (*7Z700R 0¥P[: 3 0☺ V013 0☺ 0☯34 Vc gJ 34 V0☺[&2 uV0 P/R* 0e☺23 #⌧l KV0 <34 Mg3P ,yJ3CS Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’, 4: 35)
132
Muhammad Ali al-Shabuni, Kawinlah selagi Muda; Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri. Penerjemah: Muhammad Nurdin, cet.I, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 153-154.
Ayat di atas telah mengingatkan suami agar menasehatinya dengan baik-baik. Kalau istrinya tidak bisa dinasehati, suami disuruh berpisah ranjang dengan istrinya- maksudnya, tidak berhubungan intim. Kalau cara kedua ini tidak membawa hasil, maka suami boleh memukul istrinya dengan pukulan ringan supaya istri sadar akan kekhilafannya lalu mengusir godaan dan rayuan setan yang sedang mempermainkannya. Apabila cara ketiga ini juga tidak berhasil, maka hakim harus meminta dari masing-masing pihak untuk mengirimkan juru damai atau penengah yang adil untuk menyelesaikan konflik dan mencari solusi terbaik bagi pasangan suami-istri itu.133
C. Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga Dalam memilih jodoh, memang tidak mungkin mencari orang yang seratus persen sama. Akan tetapi, menjatuhkan pilihan kepada orang yang lebih banyak kesamaannya dalam berbagai hal akan jauh lebih baik hasilnya dibanding menjatuhkan pilihan kepada orang yang terlalu banyak perbedaannya. Semakin
133
Ibid., h. 156.
banyak kesamaan antara suami dan istri, tentu semakin menjamin keharmonisan pergaulan mereka dalam membina keluarga dan rumah tangga yang bahagia. 134 Menurut ilmu psikologi bahwa salah satu alasan bahwa kemiripan dapat menimbulkan rasa suka adalah bahwa orang yang menghargai pendapat dan pilihannya sendiri dan senang bergaul dengan mereka yang cocok dengan pilihannya, mungkin dapat menaikkan harga dirinya. Baik norma sosial maupun peristiwa situasional dapat menyebabkan kita bergaul dengan orang-orang seperti kita. Norma kultural mengatur apa yang dianggap ’dapat diterima’ (acceptable) dalam hal kecocokan ras dan usia. Peristiwa situasional juga memainkan peranan yang penting. Banyak pasangan bertemu di perguruan tinggi atau sekolah sehingga menguatkan keyakinan bahwa mereka akan sama dalam hal tingkatan pendidikan, inteligensi, aspirasi profesi dan mungkin juga dalam hal usia dan status sosio-ekonomi. 135 Kesesuaian sosial dan ekonomi sangat dianjurkan. Namun apabila kedua calon berbeda dalam kedudukan sosial dan ekonomi tetapi mampu menerima dan mendamaikan perbedaan mereka maka tidak ada masalah. 136 Beberapa peranan, seperti pekerjaan, merupakan pilihan kita sendiri. Tetapi peranan semacam itu juga dipola berdasarkan ketentuan budaya. Sebagian besar budaya mengharapkan perilaku yang berbeda antara pria dan wanita. 134
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: FSH UIN Jakarta, 2006), h. 101. 135 Rita L. Atkinson, dkk., Pengantar Psikologi. Penerjemah Nurdjannah Taufiq, ed.VIII, juz2, (Jakarta: Erlangga, t.th.), h.385. 136 Abdur Rahim Umran, Islam dan KB. Penerjemah Muhammad Hasyim, cet.I, (Jakarta: Lentera, 1997), h.27.
Peranan seksual bisa berbeda dari budaya yang satu ke budaya yang lain, tetapi dalam setiap budaya dianggap hal yang ’wajar’ bila anak laki-laki dan anak perempuan memiliki kepribadian yang berlainan.137 Pada umumnya, laki-laki ingin agar lebih dominan dari pasangannya. Kita lihat umumnya laki-laki menginginkan istri yang lebih kecil postur tubuhnya, yang lebih muda umurnya, yang pendidikan, kedudukan atau prestasinya tidak melebihinya. Sedangkan sebagian perempuan ingin merasa "terlindung", hingga mencari sesuatu yang "lebih" pada pasangannya. Lebih umurnya, lebih beraninya, lebih pengetahuannya, dapat pula lebih tinggi badannya, dan seterusnya. Misalnya, masalah yang dihadapi seorang perempuan yang berusia 40 tahun yang mempunyai kedudukan dan pendidikan cukup tinggi (S2) kesulitan mencari pasangan yang sesuai. Kedudukan dan pendidikan yang cukup tinggi itu memperkecil populasi laki-laki ideal pilihannya.138 Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi selama dalam satu masyarakat ada sesuatu yang dihargai maka dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu. Sistem lapisan masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan istilah social stratification yang merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Misalnya, sistem kasta pada masyarakat India, dan perbedaan rasial pada masyarakat Amerika. Ada pula yang menggunakan sistem kelas berdasarkan 137
Ibid., h.152 Leila Ch Budiman, Konsultasi Psikologi, artikel diakses pada Senin, 17 November 2008 dari http://kompascybermedia.com/kesehatan 138
atas ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan ilmu pengetahuan.139 Sehubungan dengan kriteria tersebut, kelas memberikan fasilitas-fasilitas tertentu (life-chances) bagi anggotanya. Misalnya, keselamatan atas hidup dan harta benda, kebebasan, standar hidup yang tinggi dan sebagainya, yang dalam arti-arti tertentu tidak dimiliki oleh warga kelas-kelas lainnya. Selain daripada itu, kelas juga mempengaruhi gaya hidup (life-style) dan tingkah laku masing-masing warganya. Meskipun demikian, pada umumnya setiap kelompok sosial mengalami perubahan sebagai akibat proses formasi ataupun reformasi dari pola-pola dalam masyarakat. Perubahan itu dapat melalui lembaga pendidikan, organisasi politik, ekonomi, keahlian dan agama. Oleh karena itu, keserasian atau harmonisasi merupakan keadaan yang menjadi idaman masyarakat.140 Dalam bahasa fiqh munakahat, keserasian atau persamaan ini diistilahkan dengan “kafaah” atau “sekufu”. Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan ukuran sekufu antara suami dan istri. Menurut Malikiyah, unsur yang sebaiknya sekufu antara suami dan istri adalah al-din atau al-hal saja. Haafiyah berpendapat bahwa suami dan istri sebaiknya sekufu dalam halhal berikut: al-din (ketaatan menjalankan agama), al-Islam, kemerdekaan, keturunan, kekayaan, dan pekerjaan. 139
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ed.IV, cet.XXV, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), h. 263. 140 Ibid., h. 367.
Menurut Syafi’iyah, selain al-din dan al-hal seperti pendapat Malikiyahsuami dan istri juga sebaiknya sekufu dalam hal kemerdekaan, keturunan, dan pekerjaan. Hanabilah berpendapat bahwa suami dan istri sebaiknya sekufu dalam lima hal berikut, yaitu: al-din, kemerdekaan, keturunan, kekayaan, dan pekerjaan.141 Tentu saja ukuran di atas bukanlah harga mati. Semuanya masih bisa ditawar tergantung selera dan kerelaan masing-masing calon suami-istri. Namun demikian, dalam memilih jodoh, kesungguhan masing-masing suami-istri dalam menjalankan ajaran agama haruslah dijadikan patokan utama, karena hanya itulah yang akan langgeng. Berbagai unsur yang dapat mendorong seseorang untuk berumah tangga, ada yang tertarik karena kecantikan, kebangsawanan, kekayaan dan sebagainya. Hal itu adalah suatu yang wajar, namun perlu diingat bahwa salah satu unsur yang sangat positif untuk mewujudkan kedamaian dan kebahagiaan adalah faktor agama. Karena agamalah yang mampu membimbing jiwa, sehingga ia menjadi kuat dan tabah menghadapi segala persoalan dan percobaan dalam kehidupan ini.142 Kekayaan seketika dapat lenyap. Kecantikan dan kegagahan seketika dapat pudar. Keturunan juga tidak menjamin baik-buruknya seseorang. Justru
141
Untuk lebih lengkap tentang perbedaan pendapat fuqaha mengenai ukuran kafaah, baca Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 6747-6755. 142 Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga yang Sakinah, cet.I, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 7
agamalah yang berperanan penting dalam membentuk sikap seseorang. Semakin taat seseorang beragama, semakin beradab pulalah akhlak dan perikunya. Suami atau istri yang sungguh-sungguh taat menjalankan agama pasti akan berusaha secara maksimal menunaikan semua kewajibannya dalam berkeluarga, dan tentu mereka akan terpelihara dari perilaku kasar dan aniaya. Dengan demikian, keluarga sakinah mawaddah warahmah hanya dapat diwujudkan oleh pasangan suami-istri yang menjalankan ajaran agamanya dengan baik. Orang yang semata-mata tertarik karena soal-soal material saja, biasanya kesetiaan dan kebahagiaan yang diperolehnya tidak tahan lama, antara lain karena dalam kehidupan ini ada pasang naik dan pasang surut, ada masa jaya dan ada pula masa bangkrut, semuanya itu berbentuk material belaka. Apabila materialnya hilang, maka kasih sayang yang berdasarkan materi tadi pun akan sirna pula, begitu juga karena kecantikan belaka suatu saat ia pun akan berubah menjadi tidak cantik lagi. Kebahagiaan rumah tangga seseorang itu akan bertahan kendatipun berbagai cobaan dan gangguan datang menimpa, jika dijiwai dengan faktor agama. Suatu rumah tangga dapat berantakan karena salah satu pihak suka membangga-banggakan kekayaannya, dan satu merasa tertekan dan kehilangan harga diri. Kekayaan semata belum merupakan jaminan mutlak untuk terciptanya
rumah tangga yang baik, sejahtera dan bahagia kecuali jika dijiwai dengan ajaran agama maka semuanya akan menjadi lebih baik. 143 Masalah keturunan tidak terlepas dari karunia Allah karenanya harus disyukuri setiap saat dan tidak boleh menjadi kebanggaan dalam pergaulan seharihari. Seorang bangsawan jika tidak beragama, ada kemungkinan menimbulkan hal-hal yang tidak disenangi orang lain, terutama jika sering membanggakan keturunannya. Apalagi jika suami atau istri tidak sederajat maka dapat terjadi saling menghina antara satu dengan yang lainnya. Orang yang beragama tidaklah mau membanggakan keturunannya tetapi akan menghormati sesamanya, ia menyadari bahwa orang yang sombong itu tidaklah baik dan bertentangan dengan ajaran agama serta dibenci oleh sesama manusia, khususnya dalam pergaulan suami-istri. Masalah keturunan, dan kebangsawanan tidak boleh ditonjolkan dalam kehidupan sehari-hari karena merusak pergaulan. Islam melarang adanya perbedaan dan klasifikasi manusia berdasarkan hal-hal yang bersifat materi, seperti kebangsawanan, keturunan, harta kekayaan, dan sebagainya. Karena semuanya adalah karunia Allah yang harus disyukuri setiap saat. Ajaran Islam melarang adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, begitu juga antara bangsawan dan lain-lain. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 13.
0k"34 J⌧lD 143
Ibid., h. 12
^<0<,0
0=qck ;X&4S
;XR78 @Y" 56V0 C# 0*7K <34 @ ()*7R?07 ¤V0 cX J¦ |]3 KV0 <34 @ 4& MOgP yJ3CS Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat, 49:13) Masalah moral agama adalah suatu alat pengendali dalam segala hal. Dengan mempelajari dan memahami ajaran-ajaran agama, seseorang akan mengenal hukum agama, seperti: perintah dan larangan serta hal-hal lain menyangkut aturan rumah tangga yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami-istri dan sebagainya. Ada sebagian rumah tangga yang kehidupan ekonominya sangat sederhana namun mereka cukup merasakan kebahagiaan dalam hidup berumah tangga di mana suami-istri hidup rukun dan damai, saling mencintai, saling menghargai satu sama lainnya, saling percaya, masing-masing pihak mengenal dan memahami ajaran-ajaran agama. Pengaruh ajaran agama dalam kehidupan akan membentuk kepribadian yang mulia baik pada sisi Allah maupun dalam pandangan manusia.144 Untuk masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD ’45, kehidupan agama sangat diperlukan dan harus dimulai penanaman dan
144
Ibid., h. 13.
pengamalannya dari rumah tangga masing-masing. Secara yuridis (hukum) bahwa agama itu mutlak diperlukan dan dikembangkan dalam kehidupan baik secara pribadi maupun di tengah-tengah masyarakat.145 Secara bertahap agama itu telah menjadi dasar bagi setiap perkawinan seperti disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1 bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Masalah umur dan pendidikan juga ikut mempengaruhi kehidupan rumah tangga seseorang, karenanya pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak membenarkan adanya pernikahan yang berlangsung di bawah umur, karena dianggap belum dewasa dan belum mampu memikul beban/resiko dari perkawinan kelak, apalagi untuk menghadapi masalahmasalah yang cukup berat.146 Membangun sebuah keharmonisan dalam rumah tangga bukanlah hal yang mudah, karena pernikahan merupakan penyatuan dua pribadi yang berasal dari latar belakang yang berbeda, baik itu kultur sosial, budaya, ekonomi serta lingkungan keluarga. Ada kultur keluarga Jawa, Betawi, Sunda, Padang, dan lainlainnya. Karenanya, seringkali terdengar meskipun pernikahan sudah dijalani selama bertahun-tahun, masih saja terkendala dengan hambatan dalam
145
M. Atho’ Muzdhar (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan Keberanjakan Undang-undang Modern dari Kitab-Kitab Fiqh, cet.I, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 23. 146 Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, h. 15.
membangun keharmonisan rumah tangga. Memang, banyak penyebab yang menjadi pemicu pertengkaran dengan pasangan (suami-istri), mulai dari masalah keuangan, kebiasaan hidup, serta masalah komunikasi suami-istri yang sering menemui jalan buntu. Kebuntuan komunikasi dari suami-istri memang sering menjadi penyebab sulitnya pasangan untuk dapat saling mengenali dan memahami satu sama lainnya. Meskipun setiap individu memiliki perbedaan, namun sebenarnya tetap bisa diselaraskan dengan baik sepanjang ada kemauan untuk melakukan keterbukaan antara suami-istri. 147
147
Cecep Yusuf Permana, Bangun Keharmonisan Rumah Tangga Karena Landasan Hati, artikel diakses pada Senin, 22 Oktober 2007 dari www.almanhaj.or.id/22/10/2007
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Setiap insan yang hidup pasti menginginkan dan mendambakan suatu kehidupan yang bahagia, sejahtera, tenteram, penuh dengan keamanan dan ketenangan atau bisa dikatakan kehidupan yang sakinah, karena memang sifat dasar manusia adalah senantiasa condong kepada hal-hal yang bisa menenteramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga berbagai cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut. Sesungguhnya hakikat kehidupan yang sakinah adalah suatu kehidupan yang dilandasi mawaddah warahmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah SWT. Yakni sebuah kehidupan yang diridhai Allah SWT dengan cara melakukan setiap apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Hakikat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada realisasi penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang bertujuan mencari ridha Allah SWT. Karena memang hakikat ketenangan jiwa (sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datang dari Allah SWT. 2. Setiap muslim dan muslimah harus berusaha membina rumah tangga yang Islami. Ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon
pasangan yang ideal, agar terbentuk rumah tangga yang Islami. Di antara kriteria itu adalah harus kafaah. Sewajarnya, setiap orang membutuhkan adanya keserasian dalam pernikahan. Kesepadanan dalam pernikahan berarti kecocokan yang diperlukan untuk membentuk keluarga sakinah. Pada umumnya, laki-laki ingin agar lebih dominan dari pasangannya. Sedangkan sebagian perempuan ingin merasa "terlindung", hingga mencari sesuatu yang "lebih" pada pasangannya. Oleh karena itu, kafaah dalam pernikahan hanya dipersyaratkan
atas
laki-laki.
Adapun
seorang
perempuan
tidaklah
dipersyaratkan harus sekufu dengan suaminya. 3. Rumah tangga sakinah memang tidak hanya didasari oleh satu sebab saja tapi ada banyak hal yang bisa menciptakan surga dalam rumah tangga, ‘Baiti Jannati’. Demikian juga, banyak hal yang bisa menyebabkan kebahagiaan, sebanyak itu pula yang bisa menjadikan kehancurannya, diantaranya adalah ketidakcocokan antara suami-isteri sehingga sering bertengkar. Dalam Islam, ketidakcocokan ini sama artinya dengan tidak sekufu. Menjatuhkan pilihan kepada orang yang lebih banyak kesamaannya dalam berbagai hal akan jauh lebih baik hasilnya dibanding menjatuhkan pilihan kepada orang yang terlalu banyak perbedaannya. Semakin banyak kesamaan antara suami dan istri, tentu semakin menjamin keharmonisan pergaulan mereka dalam membina keluarga dan rumah tangga yang bahagia. Namun demikian, dalam memilih jodoh, kesungguhan masing-masing suami-istri dalam menjalankan ajaran agama haruslah dijadikan patokan utama, karena hanya itulah yang akan langgeng.
B. Saran 1. Dalam rumah tangga yang Islami, suami-istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, hak dan kewajibannya serta melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing dengan penuh tanggung jawab. Bermusyawarah dalam memutuskan apapun dalam keluarga, karena suamiisteri adalah satu-kesatuan yang utuh. Jadikan pasangan kita sebagai partner sekaligus sahabat yang hubungannya berlandaskan rasa cinta dan kasih sayang. 2. Memperhatikan kafaah adalah salah satu aspek penting sebelum memasuki gerbang pernikahan. Karena mengetahui cocok atau tidaknya calon pasangan hidup sebelum pernikahan itu jauh lebih baik daripada mengetahuinya setelah berumah tangga. 3. Dalam memilih jodoh, dianjurkan untuk memilih laki-laki/perempuan yang sehat jasmani dan rohaninya di samping hal-hal yang lainnya, seperti masalah keturunannya, ekonominya, dan yang paling penting sekali adalah masalah agamanya. 4. Masalah kafaah ini hendaknya disosialisakan melalui pelajaran agama di sekolah-sekolah, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah juga di perguruan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA ____________________. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2005 Abdurrahman, Abu Muhammad Jibril. Karakteristik Lelaki Shalih, cet.ke-1 Yogyakarta: Wihdah Press, 1999. Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.ke-2. Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2005. Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat, cet.ke-1, jil.I dan II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999. Adhim, M. Fauzil. Saatnya untuk Menikah, cet.III. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.6. t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th. Alam, Andi Syamsu. Usia Ideal untuk Kawin; Sebuah Ikhtiar mewujudkan Keluarga Sakinah, cet.II. Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2006. Alhamdani, H.S.A. Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam, alih bahasa oleh Agus Salim. Jakarta: Pustaka Amani, 1989. Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Atkinson, Rita L., dkk. Pengantar Psikologi, ed.ke-8, juz II, Penerjemah Nurdjannah Taufiq. Jakarta: Erlangga, t.th. Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga yang Sakinah, cet.ke-1. Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993. Barik, Haya Binti Mubarak. Ensiklopedi Wanita Muslimah, Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin, cet.1. Jakarta: Darul Falah, 1998. Budiman, Leila Ch. Konsultasi Psikologi. Artikel diakses pada hari Senin, 17 November 2008 dari http://kompascybermedia.com/kesehatan. Bukhari, Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail. al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, juz-6. Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987. ____________________. Shahih al-Bukhari, juz-3. Beirut: al-Maktabah al‘Ashriyyah, 1997.
Departemen Agama RI. Pedoman Konselor Keluarga Sakinah. Jakarta: Dirjen Bimmas dan Haji, 2001. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.ke3, ed.ke-2. Jakarta: Balai Pustaka, 1994. Djalil, A. Basiq. Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo; Topik-topik Pemikiran Aktual Diskusi, Pengajian, Ceramah, Khutbah, dan Kuliah Shubuh di Tanah Gayo Tahun 2006, ed.I. t.t.: Qalbun Salim, 2007. Ghazaly, Abdur Rahman. Fiqh Munakahat. Bogor: Kencana, 2003 Halim, M. Nipan Abdul. Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, cet.ke-2. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000. Ibn Saurah, Abu Isa Muhammad Ibn Isa. Sunan at-Tirmizi, juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Jauziyah, Abu Abdillah Muhammad Ibn Abu Bakar Ibnu al-Qayyim. Zaad al-Ma’ad fi Hadi Khair al-Ibad, juz-4. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1970. Jaziriy, Abdur Rahman Ibn Muhammad ‘Audh. al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-‘Arba’ah, Jil.I, Juz 1-5. Kairo: Dar Ibn al-Haitsimiy, t.th. Kandahlawi, Muhammad Zakariyya. Aujar al-Masalik ila Muwatha’ Malik. Beirut: Dar al-Fikr, 1974. Khalafi, Abdul Azhim bin Badawi. al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil, cet.1. Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2006. Khawarizmiy, Abul Qasim Mahmud Ibnu Umar al-Zamakhsyary. al-Kasyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Kairo: Musthafa alBaby al-Halby wa Auladah, 1972. Malyabary, Zainuddin Ibnu Abdul Aziz. Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrat al-‘Ain. Surabaya: Maktabah Muhammad Ibnu Nabhan wa Auladah, t.th. Mas’ud, Ibnu dan Abidin, Zainal S. Fiqh Mazhab Syafi’I. Bandung: Pustaka Setia, 2000. Mujieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Muzdhar, M. Atho’ (ed.). Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan Keberanjakan Undang-undang Modern dari Kitab-Kitab Fiqh, cet.I. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Naisabury, Abu al-Husain Muhammad Ibn al-Hajjaj al-Qusyairy. Shahih Muslim, juz5. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Araby, tth. Nur, Djamaan. Fiqh Munakahat. Semarang: Dina Utama/Toha Putra Group, 1993. Nurhayati. “Konsep Keluarga Sakinah KH. Abdullah Gymnastiar; Study Tokoh Pimpinan Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. Nuruddin, Amiur dan Tarijan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU no. 1/1974 sampai KHI, ed.1, cet.ke-3. Jakarta: Kencana, 2006. Permana, Cecep Yusuf, Bangun Keharmonisan Rumah Tangga Karena Landasan Hati. Artikel diakses pada hari Senin, 19 Maret 2007 dari www.almanhaj.or.id Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet.ke-6. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003. Sabiq, As-Sayyid. Fiqh as-Sunnah, Jil.II. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1983. ____________________. Fiqh Sunnah 7, alih bahasa oleh Drs. M. Thalib. Bandung: PT. al-Ma’arif, 1981. Shabuni, Muhammad Ali. Kawinlah selagi Muda; Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri, cet.ke-1, Pent. Muhammad Nurdin. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000. Shan’aniy, Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy. Subul as-Salam Syarh Bulugh alMaram min Adillah al-Ahkam, jil.III. Bandung: Dahlan, tth. Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.ke-2. Jakarta: eLSAS, 2008. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, ed.ke-4, cet.ke-25. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998. Sutarmadi, A. dan Mesraini. Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga. Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006.
Syafi’I, Abu Abdullah Muhammad Ibnu Idris. al-Umm, juz.5. Beirut: Dar al-Fikr, 1983. Syaukani, Muhammad Ali Ibn Muhammad. Nail al-Authar, juz-5. Kairo: Maktabah al-Iman, tth. Syihab, M. Quraisy. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian dalam alQur’an, vol.11. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Takariawan, Cahyadi. Pernak-pernik Rumah Tangga Islami; Tatanan dan Peranannya dalam Masyarakat, cet.1. Solo: Intermedia, 1997. Umar. “Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. Umran, Abdur Rahim. Islam dan KB, cet.ke-1, Pent. Muhammad Hasyim. Jakarta: Lentera, 1997. Zahir, Abdullah. “Menyingkap Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Islam; Studi Yayasan Rabithah Alawiyyah”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz-VII, cet.ke-3. Beirut: Dar alFikr, 1989.