KEIKUTSERTAAN ISTRI DALAM PEMBERIAN NAFKAH RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu (S.1) Dalam Fakultas Syari’ah dan Hukum Progam Studi al-Ahwal al-Syahsyiyyah
Oleh : NASEKHUDDIN NIM. 129039
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU) FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM JEPARA 2014
i
NOTA PEMBIMBING
Lamp :
4 Eksemplar
Hal
Naskah Skripsi
:
Jepara, 2014
a.n. Sdri. Nasekhuddin
Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UNISNU Jepara
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudari: Nama
: Nasekhuddin
NIM
: 129039
Fakultas
: Syari’ah dan Ilmu Hukum
Judul
:KEIKUTSERTAAN ISTRI DALAM PEMBERIAN NAFKAH RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM ISLAM.
Dengan ini dinyatakan skripsi ini telah dimunaqosyahkan oleh dewan penguji fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum. Demikian harap menjadikan maklum. Wassalamu’alaikum Wr. Wb Pembimbing
Dr. Sa’dullah Assa’idi, M.A ii
DEKLARASI Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dengan ini penulis menyatakan, dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau pernah diterbitkan. Demikian Skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan. Wassaiamu’alaikum Wr. Wb.
Deklarator
Nasekhuddin NIM. 129039
iii
ABSTRAK Nasekhuddin (NIM. 129039).Keikutsertaan Istri dalam Pemberian Nafkah Rumah Tangga Menurut Hukum Islam. Jepara: Fakultas Syari’ah & Hukum Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah UNISNU Jepara, 2014. Penelitian ini bertujuan untuk: (1). Mengetahui konsep nafkah dalam hukum Islam.(2) Mengetahui hak dan kewajiban suami dan istri dalam keluarga menurut Hukum Islam. (3). Mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap istri yang membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga Penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka (library research) dengan pendekatan kualitatif. Objek penelitian adalah Tanggung jawab Nafkah keluarga dan Keikutsertaan Istri dalam pemberian nafkah rumah tangga. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode analisis-deskriptif. Instrument utama penelitian ini adalah peneliti sendiri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangganya adalah sebuah keistimewaan, tetapi sekaligus tanggung jawab yang tidak kecil. Hal yang tidak kecil ini termasuk mencari nafkah untuk keluarga. Namun, dewasa ini banyak istri yang ikutserta menafkahi rumah tangganya dan hal ini merupakan kerjasama antar suami istri yang ternyata tetap diperbolehkan dengan berbagai syarat yang mengikatnya. Walaupun kewajiban mencari nafkah untuk anak dan istri dibebankan kepada suami, tetapi istri hendaknya dapat membantu memenuhi kebutuhan tersebut, bahkan bila perlu ikut bekerja mancari nafkah. Catatatn penting yang perlu dihayati oleh pasangan suami istri, yaitu betapa besar penghasilan istri jika melebihi penghasilan suami, tidak berarti jika istri berhak mendekte suami sesuai kehendaknya, dan keadaan tersebut tidak boleh membuat suami rendah diri. Dan dalam keadaan yang sama suami tidak berhak memaksa istri untuk membelanjakan penghasilannya untuk kebutuhan rumah tangga. Pasalnya, sejak zaman Rasulullah terdapat banyak lini pekerjaan yang dipegang oleh perempuan. Syarat fundamental terpenting adalah Ridla dari suami. Dan istri tetap bisa memiliki akses ekonomi untuk dirinya. Harta yang dimiliki adalah hartanya dan tidak bisa dimiliki orang lain. Istri yang ikut menafkahi keluarganya secara ikhlas bisa mendapatkan pahala ganda dari bersadaqah dan bekerja. Istri yang bekerja juga diperkenankan melalaikan tugas dasarnya sebagai pemegang kontrol pekerjaan rumah tangganya. Dan bagi suami, istri yang memiliki pekerjaan meski bisa mencukupi nafkah dirinya sendiri namun, suami tetap berkewajiban memenuhi nafkah istrinya. Kecuali memang tersendat perekonomiannya. Dan sebaliknya istri yang menafkahi suaminya maka nafkah tersebut bisa dihitung sebagai hutang suami terhadap istri dan wajib diganti saat suami sudah memiliki uang, kecuali jika istri sudah benar-benar ridla dengan harta tersebut. Karena sesungguhnya dalam rumah tanggapun diajari untuk saling tolong menolong. Kata Kunci: Istri, Nafkah, Rumah Tangga, Hukum Islam.
iv
MOTTO Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya. Demikian pula seorang istri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya. Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian. (HR Bukhori dan Muslim)
v
PERSEMBAHAN
vi
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﲪﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ Senandung puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT sang pemberi setetes ilmu kepada hamba-Nya, sehingga setitik sinar pengetahuan tersebut
pada
kesempatan kali ini penulis telah menyelesaikan tugas penulisan skripsi. Sholawat beserta salam, semoga tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnnya yang telah membawa dan mengembangkan islam hingga seperti sekarang ini. Penulis pun menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini berkat adanya usaha dan bantuan baik berupa moral spiritual dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada: 1.
Bapak DR. KH. MA. Sahal Mahfudh (almr).
2.
Bapak Prof. Dr. KH. Muhtarom HM. Selaku Rektor UNISNU Jepara.
3.
Bapak Drs. H. Ahmad Barowi, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UNISNU Jepara.
4.
Dr. Sa’dullah Assa’idi, M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan memberikan masukanmasukan yang sangat berharga sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5.
Keluarga besar UNISNU Jepara
6.
Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara, dengan ilmu akademik yang mereka curahkan, sedikit banyaknya telah mempengaruhi karakter intelektual penulis.
7.
Istri serta segenap keluarga yang telah memberikan kasih sayangnya sepanjang masa.
8.
Teman-Teman Fakultas Syari’ah 2009, Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penelitian skripsi ini. vii
9.
Seluruh sahabat-sahabat dan teman-teman UNISNU seperjuangan. Aku selalu merindukan kebersamaan kita.
Akhirnya penulis hanya bisa berdo'a semoga Allah SWT senantiasa menerima amal shaleh dan membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca. Amin YaRabbAl 'Alamin.
Jepara, 2014 Penulis,
Nasekhuddin
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ....................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iii HALAMAN DEKLARASI ..................................................................................... iv ABSTRAK ................................................................................................................ v HALAMAN MOTTO ............................................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................. vii KATA PENGANTAR ............................................................................................ viii DAFTAR ISI ...............................................................................................................x BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................................1 B. Rumusan Masalah ...........................................................................................7 C. Tujuan Penelitian .............................................................................................8 D. Telaah Pustaka .................................................................................................8 E. Penegasan Istilah.............................................................................................10 F. Metodologi Penelitian ....................................................................................11 G. Sistematika Penulisan Skripsi ........................................................................13 BAB II : LANDASAN TEORI ............................................................................... .15 A. Hak dan Kewajiban Suami Istri...………………...........................................15 1. Hak dan Kewajiban Suami menurut Hukum Islam..................................15 2. Hak dan Kewajiban Istri menurut Hukum Islam......................................23 3. Hak dan Kewajiban Bersama Menurut Hukum Islam………….........….29 B. Konsep Nafkah…………………....................................................................31 1. Pengertian Nafkah………………………………….................................31 ix
2. Sebab-sebab diwajibkannya Nafkah…….................................................32 3. Bentuk-bentuk Nafkah…………………………………………………..35 4. Kadar Nafkah Yang Harus Diberikan Oleh Suami……………………...37 5. Waktu Wajib Nafkah……………………………………………………39 BAB III : OBJEK KAJIAN.......................................................................................55 A. Tanggung jawab Nafkah Keluarga…………………………….….................42 1. Legitimasi Hukum Nafkah Keluarga……..…...........................................42 B. Istri yang Bekerja…………………………………………………..………. 50 1. Pandangan Hukum Islam tentang Istri yang bekerja……..........................50 BAB IV: ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN................................................58 A. Analisa tentang Tanggung Jawab Nafkah Keluarga Menurut Hukum Islam………………………….……………………………………………58 B. Analisa tentang Istri Yang bekerja untuk membantu memenuhi Nafkah Rumah Tangga menurut hukum Islam.......................................................... 62 BAB V: PENUTUP .................................................................................................67 A.Kesimpulan.........................................................................................................67 B. Saran .................................................................................................................69 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menikah merupakan amalan yang disyari’atkan di dalam Islam, karena pernikahan merupakan sarana untuk mendapatkan ketenangan, memperbanyak jumlah umat dan pintu berbagai jenis kebaikan, serta untuk menjaga diri dari berbuat zina. Tujuan perkawinan secara tegas telah dicanangkan dalam regulasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, misalnya, menyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.1
Setiap orang yang menikah mempunyai maksud untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Hal ini
membentuk keluarga yang tentram, aman, damai, penuh kasih sayang dan rahmat dari Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah:
ًُﺴ ُﻜ ْﻢ أَزْوَاﺟًﺎ ﻟِﺘَ ْﺴ ُﻜﻨُﻮا إِﻟَْﻴـﻬَﺎ َو َﺟ َﻌ َﻞ ﺑَـ ْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻣ ََﻮ ﱠدة ِ و ِﻣ ْﻦ َآﻳَﺎﺗِِﻪ أَ ْن َﺧﻠَ َﻖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ أَﻧْـﻔ َﺎت ﻟِﻘَﻮٍْم ﻳَـﺘَـ َﻔ ﱠﻜﺮُو َن ٍ ِﻚ ﻵََﻳ َ َوَر ْﺣ َﻤﺔً إِ ﱠن ﻓِﻲ ذَﻟ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Q.S. ar-Rum [30]: 21).2 1
UU RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004), Cet. I, hlm. 8. 2 Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahnya Special For women, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), hlm. 206.
1
Ketentraman yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah sekedar dari ketentraman syahwat, tetapi ketentraman yang datang dari jiwa seseorang. Ketenangan rohani merupakan puncak dari kenikmatan. Hubungan suami istri lebih kepada untuk mencari ketentraman jiwa. Seperti halnya Rasullullah ketika mendapatkan wahyu pertama kali, Khadijahlah sebagai seorang istri yang dapat menentramkan hati Rasulullah saw.3 Pernikahan merupakan ibadah yang penting. Bahkan pernikahan merupakan bagian dari kesempurnaan dalam beragama. Prosesi ini adalah hal yang sakral. Setiap orang yang melakukan pernikahan harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan, yang menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban bagi keduanya. Kewajiban bagi seorang suami, maupun istri berbeda–beda sesuai dengan kemampuannya. Akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah antara lain: timbul hak–hak antara suami istri, suami menjadi kepala rumah tangga dan istri menjadi ibu rumah tangga. Timbul pula kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik anak–anak dan istrinya, serta mengusahakan tempat tinggal bersama.4 Membina sebuah rumah tangga bukan hanya untuk saling menguasai dan memiliki antara satu pihak dengan pihak yang lain. Di dalamnya terdapat banyak tugas dan kewajiban yang besar bagi kedua belah pihak termasuk tanggung jawab ekonomi. Nafkah merupakan satu hak yang wajib dipenuhi oleh seorang suami terhadap istrinya, nafkah ini bermacam-macam, bisa berupa 3
A. Mujab Mahalli, Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,tt)., hlm.14.. 4 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hlm. 248.
2
makanan, tempat tinggal, pelajaran (perhatian), pengobatan, dan juga pakaian. Sebagaimana dalam sabda Rosul:
ﺻﻠﱠﻲ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠﻢ ﻗﺎَ َل َﺳﺄَﻟَﻪُ َر ُﺟﻞٌ ﻣﺎَ َﺣ ﱡﻖ َ َﻋ ْﻦ َﺣ ِﻜْﻴ ِﻢ ﺑْ ِﻦ َﻋﺎ ِوﻳَﺔ َﻋ ْﻦ اَﺑِْﻴ ِﻪ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠِﱯ ب ُ ﻀ ِﺮ ْ َﻴﺖ َو ﻻَﺗ َ ﺖ َوﺗَ ُﺴ ْﻮَﻫﺎ اِذَا ا ْﻛﺘَ َﺴ َ ﺗَﻄْ َﻌ ُﻤ َﻬﺎ اِذَا ﻃَ َﻌ ْﻤ: اﻟْ َﻤ ْﺮأَةُ َﻋﻠَﻲ اﻟَﺰْو ِج ؟ ﻗﺎَ َل {ﺖ } َرَوا ﻩُ اَﲪَْﺪ َواَﺑُﻮ َدا ُود َواﺑْ ُﻦ َﻣﺎ َﺟﻪ ِ ْاﻟْ َﻮ ْﺟﻪَ َوَﻻ ﺗـُ ْﻬ َﺠَﺮ اِﱠﻻ ِﰲ اﻟْﺒَـﻴ Dari Hakim putra Muawiyah dari ayahnya ra., ia berkata: Aku bertanya: ya, Rasulullah, apa kewajiban seorang diantara kami terhadap isteri?” beliau menjawab: kamu beri makan bila kamu makan, kamu beri, pakaian bila kamu berpakaian, janganlah kamu memukul dan janganlah kamu mencela dan janganlah kamu tinggalkan kecuali di dalam rumah (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud Imam Nasa’i, dan Imam ibnu majjah.5
Hadits di atas menjelaskan bahwa kewajiban seorang suami adalah memberi makan dan pakaian (nafkah) kepada istri, serta bersikap baik kepadanya. Untuk dapat memberi nafkah seorang harus mampu secara ekonomi. Oleh karena itu Rasullullah saw
juga memerintahkan hanya pemuda yang mampu yang
disuruh untuk menikah. Sebagaimana dalam hadits berikut :
ْج ِ ﺼ ُﻦ ﻟِ ْﻠﻔَﺮ َ ﺼ ِﺮ َوأَ ْﺣ َ َﺾ ﻟِ ْﻠﺒ ع اﻟْﺒَﺎءَةَ ﻓَـ ْﻠﻴَﺘَـﺰﱠَو ْج ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ أَﻏَ ﱡ َ َﺎب َﻣ ْﻦ ا ْﺳﺘَﻄَﺎ ِ ﺸﺒ ﺸ َﺮ اﻟ ﱠ َ ﻳَﺎ َﻣ ْﻌ ٌَوَﻣ ْﻦ ﻟَ ْﻢ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـ َﻌﻠَْﻴ ِﻪ ﺑِﺎﻟﺼﱠﻮِْم ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ﻟَﻪُ ِوﺟَﺎء Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat menjadi tameng baginya (melemahkan syahwat). (H.R. Muttafaq 'alaih)6
5
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, (Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, t.t), hlm.
220. 6
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op. Cit, hlm. 208.
3
Penjelasan hadist tersebut adalah bahwa pemuda yang mampu dan mempunyai keinginan untuk menikah sebaiknya menikah, karena pernikahan dapat menjaga diri dari kemaksiatan. Bagi pemuda yang belum menikah sebaiknya berpuasa, karena puasa dapat melatih menahan diri dari segala hawa nafsu. Dari hadits di atas juga dapat diambil kesimpulan bahwa laki–laki setelah menikah akan menanggung kewajiban memberi nafkah kepada keluarga. Sehingga Rasulullah memberi perintah menikah hanya kepada pemuda yang telah mampu. Kewajiban memberi nafkah bagi Istri oleh suami juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 80 poin ke-4 yang berbunyi bahwa, Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c. biaya pendidikan bagi anak.7 Dalam pasal selanjunya di jelaskan: Kewajiban suami terhadap Istri seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya8. Berdasarkan pasal di atas kewajiban suami yang berkenaan dengan kebutuhan hidup tidak hanya memberi nafkah saja. kewajiban suami juga menyediakan tempat tinggal, biaya rumah tangga seperti kebutuhan listrik, air dan lainnya, sampai biaya perawatan bagi istri dan anak jika mengalami sakit. Nafkah wajib ini semata karena adanya akad yang sah, penyerahan diri istri kepada suami,
7
Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Kesindo Utama, 2010), hlm. 220. Ibid, hlm. 221
8
4
memungkinkannya suami menikmati dirinya, tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki suami, dan keduanya bisa saling menikmati.9 Seorang laki–laki begitu banyak tanggung jawabnya, karena seorang laki–laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut:
ْﺾ وَﲟَِﺎ أَﻧْـ َﻔ ُﻘﻮا ِﻣ ْﻦ أَْﻣﻮَاﳍِِ ْﻢ ٍ ﻀ ُﻬ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﺑـَﻌ َ ﻀ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَ ْﻌ َﺎل ﻗَـﻮﱠاﻣُﻮ َن َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱢﺴَﺎ ِء ﲟَِﺎ ﻓَ ﱠ ُ اﻟﱢﺮﺟ ُﻆ اﻟﻠﱠﻪ َ ْﺐ ﲟَِﺎ َﺣ ِﻔ ِ َﺎت ﻟِْﻠﻐَﻴ ٌ َﺎت ﺣَﺎﻓِﻈ ٌ َِﺎت ﻗَﺎﻧِﺘ ُ ﻓَﺎﻟﺼﱠﺎﳊ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). (Q.S. an-Nisa’ [4]:34). 10 Ayat di atas menerangkan bahwa suami adalah pemimpin bagi wanita, karena seseorang laki – laki mempunyai kelebihan dari pada wanita. Hal ini karena, seorang laki–laki mempunyai kewajiban memberikan nafkah dari harta yang mereka miliki kepada keluarganya.11 Berdasarkan paparan tersebut seharusnya suami yang berkewajiban menanggung beban ekonomi keluarga. Namun dewasa ini hampir di setiap profesi terdapat wanita di dalamnya yang bekerja. Dari pemulung, pendidik, petani, bahkan presiden juga di jabat oleh seorang perempuan. Berdasarkan hasil sensus
9 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, Terjmh. Mohammad Thalib, (Bandung: Al Ma’arif, 1981), hlm. 80. 10 Departemen Agama RI, Op.cit. hlm. 84. 11 Salim A. Fillah. Agar Bidadari Cemburu Padamu. (Yogyakarta: PRO-U MEDIA, 2006) hlm. 20.
5
penduduk tahun 2010 penduduk Indonesia yang bekerja adalah 104,9 juta jiwa terdiri dari 66,8 juta orang laki – laki dan 38,1 juta orang perempuan. 12 Di dalam keluarga wanita adalah ibu rumah tangga. Wanita berkewajiban memimpin rumah tangga ketika suami tidak ada. Sebagaimana sabda Rasulullah :
ﺖ َزْو ِﺟ َﻬﺎ َوَﻣ ْﺴ ُﺆْوﻟَﺔُ َﻋ ْﻦ َر ِﻋﻴَﺘِ َﻬﺎ ِ َواﻟْ َﻤ ْﺮأَةُ َرا ِﻋﻴَﺔُ ﻓِﻲ ﺑَـ ْﻴ....... “.....Dan seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya....” (H.R. Muttafaq ‘alaih)13
Hadits ini menjelaskan bahwa seorang istri adalah pemimpin rumah suaminya dan bertanggung jawab atas rumah yang ditempatinya.14 Allah juga memerintahkan wanita untuk tetap tinggal di dalam rumah dan tidak berhias ketika keluar rumah. Sebagaimana Allah berfirman dalam alQur’an berikut:
اﻷوﱃ……اﻻﻳﺔ َ َوﻗـ َْﺮ َن ِﰲ ﺑـُﻴُﻮﺗِ ُﻜ ﱠﻦ وَﻻ ﺗَـﺒَـﱠﺮ ْﺟ َﻦ ﺗَـﺒَـﱡﺮ َج اﳉَْﺎ ِﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah......” (Q.S. al-Ahzab [33]: 33).15
Ayat di atas menyaran seseorang untuk tetap tinggal di rumah, melarang untuk berhias ketika keluar rumah, serta tidak bertingkah laku seperti orang jahiliyah.
12 Sensus Penduduk 2010.www.suaramerdeka.com/v1/index.php/(diakses tanggal 19 Oktober 2013) 13 Imam Al Hafidz Al Fiqhiyah Abi Zakariya Muhyidin Yahya An Nawawi, Riyadhussalihin, (Surabaya: Darul Ulum, t.t,) hlm 152-153. 14 Ibid., hlm.151. 15 Departemen Agama RI dkk, Op.Cit. hlm. 423
6
Menengok paparan tersebut diterangkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (mencari nafkah) adalah tanggung jawab seorang suami, sebagai kepala keluarga. Sedangkan seorang istri bertanggung jawab dalam mengurus rumah tangganya. Namun pada zaman sekarang banyak sekali wanita yang bekerja, dan ikut menanggung kebutuhan berkeluarga. Berdasarkan hal inilah penulis tertarik untuk mengkaji masalah ini dalam skripsi yang berjudul “Keikutsertaan Istri dalam Pemberian Nafkah Rumah Tangga Menurut Hukum Islam” B. Rumusan Masalah Rumusan masalah untuk membatasi masalah agar lebih terpusat pada pokok permasalahan yang perlu mendapat penyelesaian dan pembahasan yaitu: 1. Bagaimana konsep nafkah dalam hukum Islam? 2. Bagaimana hak dan kewajiban suami dan istri dalam keluarga menurut Hukum Islam? 3. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap istri yang membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan adalah standar akhir yang ingin dicapai dalam sebuah kegiatan. Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui konsep nafkah dalam hukum Islam. 2. Untuk mengetahui pandangan hak dan kewajiban suami dan istri menurut hukum islam.
7
3. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap partisipasi istri dalam membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Sedangkan manfaat penulisan skripsi diantaranya adalah: 1. Karya skripsi ini diharapkan mampu memberikan wacana bagi Mahasiswa, khususnya bagi Mahasiswa Fakultas Syari’ah. 2. Sebagai wacana bagi laki – laki maupun perempuan yang telah berumah tangga. 3. Bagi penulis ini merupakan sarana untuk menambah wawasan ilmu dan menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat ketika perkuliahan, serta untuk dapat memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Syari’ah. D. Telaah Pustaka Agar tercipta sebuah penelitian yang baik penyusun mencari beberapa literatur yang
relevan dengan isi skripsi ini, sepanjang penulusuran yang
penyusun lakukan baik sebelum maupun selama penyusun skripsi ini, memang cukup banyak menemukan buku-buku dan penelitian yang membahas masalah tentang hak dan kewajiban suami, serta peranan istri dalam rumah tangga: M. Abdul halim Hamid (Bahagiakan Hati Suami), membahas tentang peranan seorang istri, serta bagaimana seorang istri berperilaku. Tinjauan hukum islam terhadap peran Istri sebagai pencari nafkah utama Dalam keluarga (studi kasus kehidupan keluarga tkw di desa kecandran Kecamatan sidomukti salatiga), Skripsi karya Turfiati Khaqiqoh ini membahas hak dan kewajiban suami istri serta konsep nafkah, namun juga diimbangi dengan studi kasusnya, (Perbedaan 8
Tanggungjawab antara Wanita Karir dan Ibu Rumah Tangga Menurut Hukum Islam) skripsi ini membahas tentang perbedaan wanita karir dengan ibu rumah tangga, hasil dari pembahasan skripsi ini adalah pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan tentang tanggungjawab antara wanita karir dan ibu rumah tangga dalam keluarga. Tanggung jawab seorang istri baik yang berkarir maupun sebagai ibu rumah tangga adalah menjaga dan mendidik anak – anaknya dan menjaga rumah tangga suaminya. Seorang ibu yang berkarir bisa melimpahkan pekerjaan rumah kepada pembantu rumah tangga dan pendidikan anak pada lembaga pendidikan. Wanita yang berkarir hanya berusaha mengontrol sebaik – baiknya kedua tanggung jawab tersebut. Sedangkan ibu rumah tangga biasanya melakukan tanggung jawab tersebut secara mandiri. Perbedaan skripsi ini dengan dua skripsi diatas adalah akan lebih dikerucutkan pada sejauh mana keikutsertaan istri diperbolehkan membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan kewajiban nafkah yang tetap wajib diberikan seorang suami terhadap istrinya, meski istri sudah bekerja. Menkotakkan kewajiban pembiayaan yang sebenarnya menjadi kuajiban suami meski pada lapangan tetap dijumpai seorang istri bekerja. Membuka paradigma masyarakar bahwa istri yang bekerja tetap berhak atas nafkah dari suami secara wajarnya istri yang tidak bekerja. Pembahasan ini akan didukung dengan dalil AlQuran juga Hadist yang bersangkutan.
9
E. Penegasan Istilah Untuk memudahkan pembahasan dan menjaga agar tidak terjadi kesalah pahaman tentang judul penelitian ini, maka perlu adanya penegasan istilah yang berkaitan dengan judul yang sedang di teliti. 1. Keikutsertaan : Andil dalam suatu kegiatan 2. Istri : Wanita (Perempuan) yang telah menikah atau 3. Pemberian
bersuami.16
: berasal dari kata dasar beri yang berarti menyerahkan
sesuatu.17 4. Nafkah: Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infaqan ( اﻧﻔﺎﻗﺎ- ﯾﻨﻔﻖ-)اﻧﻔﻖ. Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan sebagai “hak menafkahkan dan atau membelanjakan”.18 5. Rumah Tangga : Sering juga disebut dengan keluarga yang berasal dari bahasa sansekerta, yakni kula yang berarti famili dan warga yang berarti anggota. Jadi, keluarga adalah anggota famili yang dalam hal ini adalah terdiri dari ibu (istri), bapak (suami), dan anak.19 6. Hukum Islam :
peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan
kehidupan berdasarkan Alqur’an dan Hadits.20
16
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), cet. VI, hlm. 189.
17 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2006), cet. III, hlm. 154. 18 Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1989), hlm. 463. 19 Ratna Batara Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga,( Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), Cet. I, hlm. 2. 20 Soeharso, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap.(Semarang: Grand media pustaka, 2007), hlm. 563.
10
F. Metode Penelitian Mengenai pembahasan dalam penelitian ini, penyusun menggunakan metode sebagai berikut. 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena data – data yang ada bersifat normatif dokumenter yang berupa kitab – kitab fiqih dan peraturan perundang – undangan.21 Disebut juga Pendekatan Normatif Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, produkproduk hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.22 Disamping itu peneliti juga akan mengangkat fenomena partisipasi istri dalam membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. 2. Metode Pengumpulan Data Metode ini bersifat Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu penelitian dengan objek utamanya adalah buku-buku dan data - data diperoleh dari studi pustaka, baik dari buku, catatan, maupun hasil penelitian terdahulu, jenis penelitian ini digunakan untuk mengkaji dan menelusuri pustaka – pustaka yang berkaitan erat dengan persoalan yang dikaji oleh penyusun. 23 3. Sumber Data a. Sumber Data Primer
21 Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi..(Bandung:Remaja Rosdakarya, 2008) hlm. 9. 22 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, cet. IV, (PT. Rajawali Pers, Jakarta, 1995), hlm. 13-14. 23 M. Iqbal Hasan, Pokok – Pokok Metodeologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta: Ghlm.ia.Indonesia,2002), hlm.11.
11
1. Al-Qur’an Al- Karim dan Al – Hadits 2. Kompilasi Hukum Islam 3. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata 4. Pendapat Ulama b. Sumber Data Sekunder Yaitu sumber yang mendukung dan melengkapi sumber data primer : seperti buku tentang Fiqih, tafsis Al-Qur’an, dan penelitan sebelumnya yang relevan. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Penulis
menggunakan
studi
kepustakaan
(library
research)yaitu
pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun buku – buku sebagai sumber utama, dengan membaca, mempelajari,dan meneliti buku – buku yang berkaitan langsung dengan penulisan skripsi ini. b. Setelah terkumpul, maka dilakukan penelaahan secara kritis dan sistematis dalam hubungannya dengan permasalahan yang diteliti, sehingga diperoleh data atau informasi yang selanjutnya diklasifikasikan dan dideskripsikan, sehingga diperoleh kesimpulan yang akurat. 5. Teknik Analisis Data a. Analisis Deduktif Pembahasan yang dimulai dengan mengemukakan teori – teori, dalil – dalil dan kaidah– kaidah yang bersifat umum kemudian diikuti kesimpulan bersifat Khusus. 24
24
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Jakarta : Bumi Aksara, 1998), hlm. 76
12
b. Analisis Induktif Pembahasan yang diperoleh dengan mengemukakan kenyataan – kenyataan yang bersifat khusus, kemudian diakhiri dengan kesimpulan – kesimpulan yang bersifat umum.25 G. Sistematika Penulisan Penulisan Skripsi Ini terdiri dari lima bab, dan masing-masing bab memuat sub bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai Berikut: 1. Bagian Muka Pada bagian ini memuat Halaman Judul, Halaman Nota pembimbing, Halaman Pengesahan, Halaman motto, Halaman kata pengantar, Persembahan dan Daftar Isi. 2. Bagian Isi Bagian ini Terdiri dari 5 (lima) Bab yang terdiri: BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Kajian Pustaka E. Penegasan Istilah F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan. BAB II: LANDASAN TEORI 25
Ibid, hlm 14
13
A. Hak dan Kewajiban Suami Istri 1. Hak dan kewajiban Suami menurut Hukum Islam 2. Hak dan kewajiban Istri menurut Hukum Islam 3. Hak dan Kewajiban Bersama menurut Hukum Islam B. Konsep Nafkah 1. Pengertian Nafkah 2. Sebab-sebab diwajibkannya Nafkah, 3. Bentuk-bentuk Nafkah, 4. Kadar nafkah yang harus diberikan oleh suami 5. Waktu wajib nafkah. BAB III: OBJEK KAJIAN A. Tanggung jawab Nafkah Keluarga 1. Legitimasi Hukum Nafkah Keluarga B. Istri yang Bekerja 1. Pandangan Hukum Islam tentang Istri yang bekerja BAB IV: ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisa tentang Tanggung Jawab Nafkah Keluarga Menurut Hukum Islam B. Analisa tentang Istri Yang bekerja untuk membantu memenuhi Nafkah Rumah Tangga BAB V: PENUTUP Berisi Kesimpulan, Saran-saran dan Kata Penutup 2. Bagian Belakang
14
Bagian ini berisi Daftar Pustaka, Daftar Riwayat Hidup dan LampiranLampiran.
15
BAB II LANDASAN TEORI
C. Hak dan Kewajiban Suami Istri 4. Hak dan Kewajiban Suami menurut Hukum Islam Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi, perkawinan akan mengkibatkan adanya hubungan hak dan kewajiban antara pihak yang terkait, yang dalam hal ini adalah suami dan istri. Hak dan kewajiban harus dilandasi oleh beberapa prinsip antara lain kesamaan, keseimbangan, dan keadilan antara keduanya. Al-Quran menyebutkan prinsip ini dalam surat al-Baqarah [2]: 228:26 “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya, menurut cara yang ma’ruf”. (Q.S. Al-baqarah [2]: 228) Keseimbangan ini tak luput juga menjadi bagian dari undang-undang perkawinan pasal 31 ayat 1 juga persis dalam KHI pasal 79 ayat 2 yaitu: Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.27 Firman Allah juga undang-undang diatas merupakan pengumuman alQuran dan Negara terhadap hak-hak wanita. Mendahulukan menyebut hak mereka atas kewajiban mereka, sebagaimana bunyi ayat diatas, dinilai sebagai penegasan tentang hak tersebut, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya hak
26
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm.108. UU RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, hlm. 21 dan Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit, hlm. 220. 27
16
itu diperhatikan. Apalagi sebelum datangnya Islam, wanita hampir dapat dikatakan tidak mempunyai hak sama sekali.28 Secara garis besar hak dan kewajiban dalam perkawinan meliputi dua hal. Yaitu hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam bidang ekonomi, dan dalam bidang non-ekonomi.29 Adapun Hak-hak seorang suami yang didapatkan dari seorang istri diantaramya: a. Dipatuhi oleh istri. Hak suami atas istrinya adalah dipatuhi selama tidak mengarah pada perilaku maksiat. Sebagaimana sabda Nabi,
ﺼﻴَ ِﺔ اﳋَْﺎﻟ ِِﻖ ِ ُﻮق ِﰲ َﻣ ْﻌ ٍ ﻻَﻃﺎَ َﻋﺔَ ﻟِ َﻤ ْﺨﻠ Tidak ada kepatuhan terhadap makhluk yang maksiat kepada pencipta. (HR. Al-Bukhari)30 Rasulullah menganjurkan kaum wanita agar patuh kepada suami mereka, karena hal tersebut dapat membawa maslahat dan kebaikan. Rasulullah menjadikan Ridla suami sebagai penyebab masuk surga.31 Hak suami ini merupakan kewajiban istri, dan hak suami untuk dipatuhi yang masuk dalam kebaktian istri padanya juga dijelaskan dalam Komplikasi Hukum Islam pasal 83 yang berbunyi:
28 M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran Kalung Permata Buat Anak-anakku, (Jakarta: Lentera Hatu, 2007), hlm. 111. 29 Ibid 30 Muhammad bin ali Syafi’i al-Syinwani, Ibnu Abi Jamroh lil Bulkhori, (k.t,Darul Kitab Islami, t.t,), hlm. 167 31 Abdul Aziz, M. Azam dkk, Fiqih munakahat, (Khitbah, Nikah dan Talak), (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 224.
17
Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.32 Kepatuhan ini juga meliputi ketidak durhakaan seorang istri terhadap suaminya. Karena sesungguhnya kedurhakaan ini juga kekufurannya (tidak bersyukur) kepada kebaikan suami yang menjadikan mayoritas perempuan (istri) masuk keneraka. Sesungguhnya Islam telah memberikan berbagai macam hak kepada seorang suami atas istrinya berupa kepatuhan seorang istri pada suaminya, bekerja keras untuk melaksanakan segala perintah suaminya selama tidak perintah untuk maksiat. Dan hendaknya seorang istri menjaga kehormatan suaminya untuk atas jiwanya sendiri dan harta benda suaminya. Seorang istri juga tidak melakukan perbuatan dosa yang bisa membuat hati suaminya tidak enak.33 b. Dipelihara Kehormatan dan Hartanya Diantara hak suami atas istrinya adalah, tidak memasukkan seseorang kedalam rumahnya melainkan dengan izinnya, kesenangannya mengikuti kesenangan suami, jika suami membenci seseorang karena kebenaran atau karena perintah syara’ maka sang istri wajib tidak menginjakkan diri ketempat tidurnya.34 Rasulullah memuji seorang istri yang menjaga kehormatan dan harta suami dikala suaminya tidak dirumah, serta menjanjikan kebaikan yang 32
Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit, hlm. 220. Muhammad Abdul Hamid, Karena kemulyaanmu, Bidadaripun Iri Padamu, (Yogyakarta: DIVA Press, 2004), hlm. 303. 34 Ibid, hlm. 225. 33
18
banyak bagi istri, menjadikannya perhiasan dunia yang paling baik dan sebagai sebab kebahagiaan dan ketenangan.35 Al-Quran juga menegaskan dalam an-Nisa [4]: 34 yang artinya: ……..Maka wanita shalihah, ialah yang taat pada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah tetap memelihara (mereka). …… (Q.S. an-Nisa’ [4]: 34) Jika seorang perempuan (istri) mempu menjaga kehormatandan harta suaminya ketika sauami tidak dirumah, maka hal itu termasuk melakukan jihat dijalan Allah.36 c. Berhias Untuk Suami Hak yang lain adalah berdandan karena suami dengan berbagai perhiasan yang menarik. Seperti perhiasan yang terlihat semakin indah akan membuat suami senang dan merasa cukup, tidak perlu melakukan hal yang haram.37 Mempercantik diri dan memakai wangi-wangian merupakan bagian yang dapat membuat suami berlapang dada dan membahagiakan pandangan. Ketika istrinya dengan dandanan yang memukau, memakai baju yang serasi sehingga kelihatan lebih cantik, memakai minyak wangi, suami akan merasa kebahagiaan dan ketenangan ketika menatap. Untuk mewujudkan kebahagiaan dalam kehidupan suami istri, Islam mengajarkan seorang istri muslimah agar mempercantik diri untuk
35
M. Abdul Halim Hamid. Bahagiakan Hati Suami, (Solo:Al-Hambra, 2010) hlm. 99. Muhammad Abdul Hamid,Op. Cit, hlm. 306 37 Abdul Aziz, M. Azam dkk, Op.cit, hlm. 225 36
19
suaminya. Hal itu merupakan bagian dari sifat istri shalihah yang sebaikbaiknya perhiasan.38 Menengok kitab klasik, hak-hak seorang suami yang didapatkan dari seorang istri berupa empat hal yaitu dipatuhi, mendapat perlakuan baik dari istri, menjaga kehormatannya untuk suaminya, dan diberikan ketenangan.39 Selanjutnya kewajiban suami dapat diuraikan sebagai berikut: a. Membimbing, Melindungi dan Memberikan Pendidikan agama pada Istri Hal ini telah dijelaskan pada Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 13 yang berbunyi: 1. Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang pentingpenting diputuskan oleh sumai istri bersama. 2. Suami wajib melidungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya 3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.40 Hal serupa juga di bahas dalam Undang-undang No. 7 tahun 1974 tentang pernikahan dalam pasal 34 ayat 1 yang berbunyi: Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.41 Dengan
sebuah
pernikahan
akan
menyempurnakan
separuh
pengalaman agama bagi istri juga suami. Hidup dalam pernikahan suami berkewajiban membimbing istrinya untuk mengamalkan agamanya. 42 38
M. Abdul Halim Hamid. Op.cit, hlm. 17. Sayyid Abdur Rohman bin Muhammad , Bughyatu Al-Mustarsyidin, (Surabaya: Hidayah, t.t), hlm. 215. 40 Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit, hlm. 220. 41 UU RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, hlm. 21. 39
20
Berhubungan dengan memberikan pendidikan agama pada istri, pengajaran dalam hal agama ini meliputi hukum-hukum bersuci seperti mandi dari haid, janabah, wudlu dan tayammum. Mengajarkan juga segala hal yang berhubungan dengan haid. Yang perlu diperhatikan dalam mengajar wanita yang haid adalah menerangkan shalat-shalat yang harus di qadlo.43 Suami juga wajib mengajarkan ibadah wajib dan sunnat yang terdiri dari zakat, puasa, dan haji. Jika suami dapat mengajarkan istrinya, maka istrinya tidak boleh keluar rumah untuk bertanya kepada ulama.44 Bersinggungan dengan perlindungan suami terhadap istri. Dalam Undang – Undang Perkawinan yang tercantum pada pasal 34 ayat 1 yang berbunyi: “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”45 b. Mencukupi kebutuhan Istri. Mencukupi ini bisa dikatakan sebagai pemberian nafkah yang disinggung dalam KHI Pasal 80 ayat 4 yang kemudian di sambung dalam ayat 5 sampai 7 sebagai syarat yang mengikuti kewajiban tersebut. Bunyi pasal tersebut adalah: 4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
42 M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Suami sejak Malam Pertama, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), cet III, hlm. 116. 43 Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami- Istri, Tela’ah Kitab ‘Uqud AlLujjayn , (Yogyakarta: LKiS, 2003), cet. III, hlm. 30. 44 Ibid, hlm. 31. 45 UU RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ,Op. Cit, hlm. 21.
21
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; c. biaya pendididkan bagi anak. 5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. 6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. 7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.46 Kewajiban tersebut juga dipaparkan dalam sebuah hadist,
َﺻﻠﱠﻲ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠﻢ ﻗﺎَ َل َﺳﺄَﻟَﻪُ َر ُﺟ ٌﻞ ﻣﺎ َ َﻋ ْﻦ َﺣ ِﻜْﻴ ِﻢ ﺑْ ِﻦ َﻋﺎ ِوﻳَﺔ َﻋ ْﻦ اَﺑِْﻴ ِﻪ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠِﱯ ﻴﺖ َو َ ﺖ َوﺗَ ُﺴ ْﻮَﻫﺎ اِذَا ا ْﻛﺘَ َﺴ َ ﺗَﻄْ َﻌ ُﻤ َﻬﺎ اِذَا ﻃَ َﻌ ْﻤ: َﺣ ﱡﻖ اﻟْ َﻤ ْﺮأَةُ َﻋﻠَﻲ اﻟَﺰْو ِج ؟ ﻗﺎَ َل {ﺖ } َروا ﻩ اَﲪَْﺪ َواَﺑُﻮ َدا ُود َواﺑْ ُﻦ َﻣﺎ َﺟﻪ ِ ب اﻟْ َﻮ ْﺟﻪَ َوَﻻ ﺗـُ ْﻬ َﺠَﺮ اِﱠﻻ ِﰲ اﻟْﺒَـْﻴ ُ ﻀ ِﺮ ْ َﻻَﺗ Dari Hakim putra Muawiyah dari ayahnya ra., ia berkata : Aku bertanya : ya, Rasulullah, apa kewajiban seorang diantara kami terhadap isteri?” beliau menjawab : kamu beri makan bila kamu makan, kamu beri , pakaian bila kamu berpakaian, janganlah kamu memukul dan janganlah kamu mencela dan janganlah kamu tinggalkan kecuali di dalam rumah (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud Imam Nasa’i, dan Imam ibnu majjah.47 Disimpulkan bahwa kewajiban suami terhadap istrinya adalah, memberikan sandang pangan, tidak memukul wajah jika terjadi Nusyuz (ketidak patuhan), tidak mengolok-olok dengan mengucap hal-hal yang dibencinya, dan tidak menjauhkan atau menghindari istri kecuali di rumah.48 Yang termasuk juga kewajiban dalam menyukupi kebutuhan istri adalah kewajiban suami untuk menyediakan tempat kediaman, KHI mengaturnya tersendiri dalam pasal 81 sebagai berikut:
46
Kompilasi Hukum Islam, Op.cit, hlm. 221. Ibn Hajar Al-Asqalani , Op.Cit, hlm. 220. 48 Forum Kajian Kitab Kuning, Op.Cit, hlm. 16. 47
22
1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anakanaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah. 2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat. 3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anakanaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram, tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. 4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.49 Al-Quran sebelumnya ternyata telah membahas tentang pemberian tempat tinggal ini pada istri dalam surat at-Thalaq [65]: 6
ﻀﻴﱢـ ُﻘﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َوإِ ْن ُﻛ ﱠﻦ َ ُْﺚ َﺳ َﻜْﻨﺘُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ُو ْﺟ ِﺪ ُﻛ ْﻢ وََﻻ ﺗُﻀَﺎرﱡوُﻫ ﱠﻦ ﻟِﺘ ُ أَ ْﺳ ِﻜﻨُﻮُﻫ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ َﺣﻴ ﺿ ْﻌ َﻦ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺂَﺗُﻮُﻫ ﱠﻦ أُﺟُﻮَرُﻫ ﱠﻦ َ ﻀ ْﻌ َﻦ ﲪَْﻠَ ُﻬ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أ َْر َ ََﱴ ﻳ َْﻞ ﻓَﺄَﻧْ ِﻔ ُﻘﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ ﺣ ﱠ ٍت ﲪ ِ ُوﻻ َأ ْﰎ ﻓَ َﺴﺘـ ُْﺮ ِﺿ ُﻊ ﻟَﻪُ أُ ْﺧﺮَى ُُْوف َوإِ ْن ﺗَـﻌَﺎﺳَﺮ ٍ َوأْﲤَُِﺮوا ﺑـَْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ ﲟَِْﻌﺮ Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka karena ingin utuk menyempitkan mereka. Jika mereka hamil berikan mereka belanja sampai lahir kandungan mereka. Jika mereka menyusukan untukmu (anakmu) berilah upah (imbalannya). Bermusyawarahlah kamu dengan sebaikbaiknya.Tetapi jika kamu kepayahan hendaklah (carilah) perempuan lain yang akan menyusukannnya (Q.S. At-Thalaq [65]:6) c. Memuaskan Istri Kewajiban suami selanjutnya adalah memuaskan istri dengan hubungan seksual. Pendapat
Ibnu Qudamah yang dikutib dalam Fiqh
Munakahat berbunyi; “Berhubungan Seks Wajib Bagi Suami jika tidak ada udzur”. Alasannya, nikah disyari’atkan untuk kemaslahatan suami istri dan
49
Kompilasi Hukum Islam, Op.cit, hlm. 221.
23
menolak bencana dari mereka. Suami melakukan hubungan untuk menolak gejolak syahwat istri, sebagaimana juga untuk menolak gejolak syahwat suami. Alasan tersebut menjadi suatu keharusan dan nikah adalah solusi mereka bersama.50 Senada dengan pendapat madzhab maliki yang juga mengutarakan bahwa suami wajib menggauli istri selama tidak ada halangan. Berbeda dengan madzhab Syafi’i yang berpendapt bahwa kewajiban suami menyetubuhi istrinya hanya sekali selama mereka masih menjadi suami istri. Lain dengan madzhab Hambali yang menyatakan bahwa suami wajib menggauli istrinya paling tidak sekali dalam empat bulan, apabila tidak ada undzur. 51 5. Hak dan Kewajiban Istri menurut Hukum Islam Hak-hak istri ada hak yang berupa kebendaan dan bukan kebendaan. Hak kebendaan meliputi: a. Mahar Mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri, baik berupa uang maupun barang. Membayar mahar hukumnya wajib, namun tidak termasuk rukun nikah. Karena itu, bila mahar tidak disebutkan dalam pelaksanaan akad nikah, maka pernikahannya tetap sah. 52 Mahar ini telah dibahas dalam al-Quran suran an-Nisa’ [4]: 4 yang artinya:
50
Abdul Aziz, M. Azam dkk, Op.Cit, hlm. 219. Husein Muhammad, Op.cit, hlm.112-113 52 A. Mujab Mahalli, Op. Cit, hlm.139. 51
24
Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita yang kalian nikahi sebagaimana pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkannya kepada kalian sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S an-Nisa [4]: 4) Atas dasar itu, menjadi jelas bahwa Islam sangat memperhatikan persoalan maskawin, sekiranya maskawin tersebut diwajibkan atas calon suami untuk calon istrinya sehingga menjadikan mereka halal satu sama lain.53 Mahar menurut al-Quran bukan sebagai harga dari perempuan. Oleh karena itu tidak ada ukuran atau jumlah yang pasti. Ia bisa besar dan bisa pula kecil. Dalam beberapa hadist justru dikatakan bahwa sebaiknya jumlah maskawin tidak terlalu besar.54 Nabi Saw mengatakan:
(ﺻ ﱠﺤﺤَﻪ اﳊَﺎﻛﻢ َ و،ُد َ َاق أﻳْ َﺴ ُﺮﻩُ )أ ْﺧَﺮ َﺟﻪُ اَﺑُﻮداو ِ ﺼﺪ َﺧْﻴـﺮُاﻟْ ﱠ Sebaik-baiknya maskawin itu adalah yang termudah (gampang), (Hadist di keluarkan oleh imam da’ud dan dibenarkan imam hakim)55 Maskawin ini merupakan kewajiban yang harus diberikan suami kepada istrinya dan murni milik istri, dan tidak ada campur tangan orang lain dalam kepemilikannya. Maskawin juga bisa digunakan untuk memenuhi tuntutan hidup dimasa depan.56 b. Nafkah Secara harfiah, nafkah adalah pengeluaran atau suatu yang dikeluarkan oleh seorang untuk orang-orang yang menjadi tanggung
53
Muhammad Abdul Hamid, Op.Cit, hlm. 259. Husein Muhammad, Op.Cit, hlm.109. 55 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op. Cit, hlm. 225 56 Muhammad Abdul Hamid, Op.Cit, hlm. 263. 54
25
jawabnya. Pengeluaran ini harus diberikan untuk keperluan-keperluan yang baik.57 Kewajiban nafkah menurut al-Quran dibebankan kepada suami:
اﻷﻳﺔ.........… َو َﻋﻠَﻲ اﻟْﻤ َْﻮﻟُﻮِد ﻟَﻪُ رِْزﻗُـ ُﻬ ﱠﻦ َوﻛِ ْﺴ َﻮﺗـُ ُﻬﻦﱠ.. …….Dan Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaiaan kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf…… (Q.S. al-Baqarah [2]: 233)
Nafkah ini adalah hak berupa kebendaaan yang meliputi makanan, lauk-pauk, alat-alat (sarana) untuk membersihkan anggota tubuh, perabot rumah, tempat tinggal, dan pembantu (jika diperlukan). Semua ini sebenarnya mencerminkan hal-hal yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Segala keperluan dasar ini merupakan kewajiban suami yang wajib diberikan kepada istri sebagai haknya menurut cara-cara yang sesuai dengan tradisinya.58 Hak- hak istri yang didapat dari suaminya yang tidak berupa kebendaan meliputi: a. Mendapat pergaulan secara baik dan patut.59 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa' [4]:19, …pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q.S. anNisa’[2]: 19) Pergaulan yang baik dan patut meliputi menghormatinya, bergaul dengan
baik,
memperlakukannya
dengan
wajar,
mendahulukan
kepentingannya yang memang patut didahulukan untuk melunakkan 57
Husein Muhammad, Op.Cit, hlm.110. Ibid, hlm. 111. 59 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan undangundang perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet I, hlm.160. 58
26
hatinya, lebih-lebih bersikap menahan diri dari sikap yang kurang menyenangkan dari padanya atau bersabar untuk menghadapinya. 60 Diantara cara menghormati perempuan yaitu bersikap lemah-lembut dan besikap sabar. Cara lain menghormati istri yaitu dengan mengangkat martabatnya setaraf dengan dirinya, tidak menyakiti hatinya sekalipun dengan kata-kata olokan. Yang terpenting perempuan itu tidaklah sempurna dan hendaklah laki-laki itu menerima dia dengan segala kenyataannya.61 b. Didatangi secara Mu’asyaroh bi al- Ma’ruf. Sebagaimana kewajiban suami yang dibahas diatas mendatangi ini berarti menggauli istri. Kebutuhan seksual seorang istri merupakan haknya dalam menjalani hidup berumah tangga. Relasi seksual ini harus dengan asa Mu’asyarah bi al-ma’ruf yaitu diantara kedunya harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti, tidak saling memperlihatkan kebencian, dan masing-masing tidak saling mengabaikan hak atau kewajibannya.62 Selanjutnya, relasi seksual antara keduanya harus dilakukan secara wajar. Artinya suami menyetubuhi istrinya melalui jalan depan (kemaluan) istri, bukan dengan cara anal.63 c. Pembatasan Kelahiran Dalam Islam disebutkan menyukai banyak anak karena hal ini sebagai tanda dari adanya kekuatan daya pertahanan terhadap umat-umat dan bangsa
60
Sayyid Sabiq, Op. Cit hlm. 80. Ibid, hlm. 102-103. 62 Husein Muhammad, Op.Cit, hlm.112. 63 Ibid, hlm. 113. 61
27
lain. Sebagaimana dikatakan bahwa kebesaran adalah terletak pada keturunan yang banyak, karena itu Islam mensyari'atkan pekawinan.64 Islam tak menghalangi pembatasan kelahiran baik dengan Azl ataupun pengobatan seperti kontrasepsi. Pembatasan kelahiran ini diperbolehkan bagi laki-laki yang sudah banyak anaknya, yang tak sanggup lagi memikul beban pendidikan anaknya dengan sebaik-baiknya. Begitu pula kalau istri dalam keadaan lemah dan suami miskin. Dalam keadaan tersebut dianjurkan melakukan keluarga berencana.65 Hak-hak seorang istri ini juga disinggung oleh Sayyid ‘Abdur Rohman bin Muhammad dalam Kitabnya yang berjudul Bughyatu AlMustarsyidin, beliau menyinggung hak seorang istri yang didapatkan dari suaminya terdiri dari empat hal yakni, diperlakukan dengan baik (Mu’asyarah Bi Al-Ma’ruf), mendapatkan pembiayaan (Nafkah), mahar, dan mendapat giliran yang sama ketika suami memiliki istri lebih dari satu.66 Setelah membahas hak sebagi istri kini kewajiban sebagai istri bisa meliputi: a. Berbakti kepada suami dan mengatur Rumah Tangga dengan Baik Hal ini diatur dalam KHI pasal 83 yang berbunyi: 1. Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam. 2. Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik - baiknya. 64
Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm.121. Ibid, hlm. 122. 66 Sayyid Abdur Rohman bin Muhammad , Op. Cit, 215 65
28
Dalam Undang-undang perkawinan juga di jelaskan dalam pasal 34 ayat 2: Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.67 Rasul pun menyentuh masalah ini dalam hadist riwayat Mutafaqun ‘alaih:
.......ْﺟﻬَﺎ َوَﻣﺴْﺆُْوﻟَﺔُ َﻋ ْﻦ َر ِﻋﻴَﺘِﻬَﺎ ِ ْﺖ زَو ِ …وَاﻟْﻤ َْﺮأَةُ رَا ِﻋﻴَﺔُ ﻓِﻲ ﺑَـﻴ “.....Dan seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya....” (H.R. Muttafaq ‘alaih)68
Pasal tambahan tentang kewajiban istri diatas adalah Pasal 79 ayat 1 yang berbunyi : Suami adalah kepala rumah tangga keluarga dan istri ibu rumah tangga.69 Berdasarkan hadist dan bunyi pasal KHI diatas istri adalah peñata rumah yang dihuninya beserta isi dan perabotnya. Sehubungan dengan itu maka seorang istri hendaklah pandai-pandai menata rumah, juga membersihkan rumah supaya suasana rumah menjadi selalu nyaman untuk suami dan kelurga.70 Dan selanjutnya Berbagai kewajiban seorang istri juga telah disinggung dalam hak seorang Suami terhadap Istrinya. Karena hak istri kemudian menjadi Kewajibannya pula.
67
UU RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ,Op. Cit, hlm. 21. Imam Al Hafidz Al Fiqhiyah Abi Zakariya Muhyidin Yahya An Nawawi, Op. Cit, hlm 152-153. 69 Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit, hlm. 220. 70 M. Nipan Abdul Halim,Op. Cit, hlm. 101. 68
29
3. Hak dan Kewajiban Bersama Menurut Hukum Islam Hak bersama atau hak bersikat antara suami istri atau salah satunya, diantaranya sebagai berikut: a. Kehalalan bersenang-senang (Bersetubuh) Masing-masing
suami
istri
berhak
bersenang-senang
dengan
pasangannya karena memenuhi dorongan fitrah dan mencari keturunan. Hak ini berserikat antara suami istri, karena suami halal terhadap istrinya sebagai mana istri halal terhadap suaminya, tidak tergambarkan secara akal jika bersenang-senang tersebut hanya terjadi dari salah satu dari mereka bukan yang lain. Haram salah satu dari mereka yang mengharamkan pasangannya melakukan hak ini.71 Ulama madzhab Hanafi berpendapat, istri boleh menuntut suami untuk melakukan persetubuhan, karena kehalalan suami bagi istri merupakan hak istri, begitu pula sebaliknya. Jika istri menuntut maka suami wajib memenuhinya. Ulama madzhab maliki berpendapat bahwa melakukan persetubuhan adalah kewajiban suami terhadap istri jika tidak ada uzur.72 b. Haram melakukan perkawinan Sebab akad yang sah mengakibatkan haramnya perkawinan antara istri yang haram dinikahi oleh ayah suaminya, datuknya, anaknya dan cucu –
71
Abdul Aziz, M. Azam dkk, Op.Cit, hlm. 231. Forum Kajian Kitab Kuning, Op.Cit, hlm. 65
72
30
cucunya, begitu pula ibu isterinya, anak perempuannya, dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.73 c. Saling Mewarisi Sebab akad yang sah juga mengakibatkan terjadi hak saling mewarisi antara sumi dan istri. Jika suami meninggal istri dapat mewarisi dan jika istri meninggal suamipun dapat mewarisi sebagaimana yang dijelaskan ilmu faraid.74 d. Sahnya Menasabkan Anak Kepada Suami Dengan akad yang sah maka melekat juga hak masing-masing antara suami dan istri untuk melahirkan keturunan., membesarkan anak-anak, dan menisbatkan keturunan mereka. Dan dalam pernikahan yang sah maka nasab anak mengikuti kepada suami.75 Kewajiban bersama antara suami dan istri dalam berbagai sumber islam bisa disimak sebagai berikut: Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 77 dan pasal 78 yang berbunyi; 1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat 2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain; 3. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; 4. suami istri wajib memelihara kehormatannya;
73
Abdul Aziz, M. Azam dkk, Op.Cit, hlm. 240. Ibid. 75 Ibid. hlm. 241. 74
31
5. jika suami atau istri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama76 Pasal 78 berbunyi sebagai berikut; 1. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. 2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.
Kewajiban bersama antara suami dan istri juga diatur dalam Undang – Undang Perkawinan dalam pasal 33 yang berbunyi;
Suami istri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.77 Berdasarkan penjelasan undang-undang dan KHI di atas dapat di simpulkan Kewajiban berserikat antara suami istri adalah saling menyayangi, saling menghormati, saling memberi, setia, dan mengasuh dan merawat anak dengan sebaik – baiknya. D. Konsep Nafkah 1. Pengertian Nafkah Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infaqan ( اﻧﻔﺎﻗﺎ- ﯾﻨﻔﻖ-)اﻧﻔﻖ. Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan sebagai “hak menafkahkan dan atau membelanjakan”. 78 Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah berarti belanja untuk hidup atau bekal hidup sehari hari.79
76
Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit, hlm. 219. UU RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ,Op. Cit, hlm. 21 78 Muhammad Yunus, Op. Cit, hlm. 463. 79 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011) hlm. 947. 77
32
Secara istilah nafkah adalah pengeluaran atau sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang untuk orang – orang yang menjadi tanggujawabnya. 80 Dalam bahasa lain nafkah berarti mengeluarkan biaya.81 Selain itu nafkah juga berupa suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang – orang atau pihak yang berhak menerimanya.82 Dalam terminologi fiqih, fuqaha` memberikan definisi nafkah sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan, termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabot kerumah tanggaan. Ada pula yang secara khusus membatasi pengertian nafkah hanya pada tiga aspek pokok saja, pangan (math’am), sandang (malbas), dan papan (maskan) , bahkan lebih sempit dari itu adalah pada math’am saja.83 Dari
beberapa
pengertian
nafkah
tersebut
dengan
beberapa
karakteristiknya, maka nafkah dapat dirumuskan dalam pengertian kewajiban seseorang yang timbul sebagai akibat perbuatannya yang mengandung tanggungan/beban tanggung jawab, berupa pembayaran sejumlah biaya guna memenuhi kebutuhan baik pokok ataupun sekunder terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya itu. 2. Sebab-sebab diwajibkannya Nafkah Kewajiban nafkah tersebut dipengaruhi oleh tiga sebab:
80
Husein Muhammad, Op. Cit, hlm. 110. A. Mujab Mahalli, Op. Cit, hlm.139 82 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,1999), hlm. 341. 83 Erfani, “Implikasi Nafkah Dalam Konstruksi Hukum Keluarga”, Jurnal, Desember, 2011, 81
hlm. 3.
33
a. Zaujiyyah Yaitu karena ikatan pernikahan yang sah, diwajibkan atas sumi memberi belanja kepada istrinya yang ta’at (tidak Nusyuz), baik berupa makanan , pakaian, tempat tinggal maupun perkakas rumah tangga dan kebutuhan lainnya sesuai dengan masing-masing lingkungan dan kekuatan suami.84 Allah berfirman pada Surat al-Baqarah [2]: 228 yang artinya: …dan mereka (istri) memiliki hak (nafkah) yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut…. (Q.S. al-Baqarah [2]: 228) Ayat diatas menjelaskan tentang nafkah seorang istri itu sesuai dengan keta’atannya. Seorang istri yang yang tidak ta’at tidak berhak atas nafkahnya dari seorang suami.85 b. Qarabah Yaitu sebab hubungan kekerabatan, Dalam hal ini fuqaha` berbeda pendapat. Kalangan Malikiyah menilai qarabah yang wajib nafkah hanya pada hubungan orangtua dan anak (walid wal walad). Kalangan Syafi‟iyah, menilai qarabah dalam hubungan orangtua dan anak, dan hubungan cucu dan kakek (ushul dan furu`). Hanafiyah, menilai qarabah dalam konteks mahramiyah, tidak terbatas ushul dan furu`, sehingga meliputi kerabat kesamping (hawasyiy), dan dzawil arham. Hanabilah, memahami qarabah dalam konteks hubungan waris fardh dan ‘ashabah,
84
Sulaiman Basjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1976), hlm. 399. Ibid, hlm. 400.
85
34
meliputi ushul, furu’, hawasyi, dan dzawil arham yang berada pada jalur nasab.86 Syarat wajibnya belanja atas bapak atau ibu kepada anaknya apabila si anak masih kecil dan miskin, atau besar dan miskin namun tidak kuat berusaha. Kewajiban ini juga berlaku untuk anak ketika kedua orang tuanya tidak lagi kuat berusaha dan tidak mempunyai harta.87 Merujuk pendapat pemberian nafkah anak kepada orang tua menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i bahwa ketidak mampuan bekerja tidak merupakan syarat kewajiban memberi nafkah kepada para ayah dan para kakek. Para anak tetap wajib memberikan nafkah kepada mereka. Sedangkan orang-orang selain ayah dan kakek yang sanggup bekerja, tidak ada kewajiban member nafkah kepada mereka.88 Luasnya cakupan qarabah sebagai objek nafkah harus dipahami dalam konteks yang relatif, yaitu menghendaki syarat kesanggupan (Isaar) pihak yang berkewajiban nafkah. Sehingga ketidak terpenuhan syarat itu akan menyebabkan tidak adanya tanggung jawab nafkah (tetapi ketiadaan tanggung jawab itu tidak mempengaruhi haknya semisal hak waris), dan tidak menimbulkan konsekuensi hukum lainnya.89 c.
Milk Yaitu sebab kepemilikan atas sesuatu, dalam hal ini pemilik budak. Dalam konteks kekinian, sebab milk ini dapat dipahami dalam konteks 86
Erfani, Op. Cit, hlm. 6. Sulaiman Basjid, Op.Cit, hlm. 399. 88 Muhammad Jawal Mughniyah, al- Fiqh ‘ala al- Madzahib al- Khamsah, Terjmah. Masykur A.B, dkk, (Jakarta: Pt Lentera Basritama, 1996), cet. II, hlm.433. 89 Erfani, Op. Cit, hlm. 6. 87
35
yang
luas,
yaitu
hubungan
kepemilikan
(kegiatan
berorientasi
tanggungan/ihtibas) seseorang terhadap sesuatu yang hidup, termasuk jasa pembantu, memelihara hewan, tumbuhan dan lain-lain.90 Yang paling penting untuk dipahami adalah semua sebab-sebab nafkah yang tiga itu memiliki kesamaan yang sangat mendasar yaitu posisi laki-laki sebagai lakon utama penanggung kewajiban nafkah. Legistimasi hukum yang mengikat hal ini adalah al- Baqarah [2]: 233 yang artinya: …Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara Ma’ruf… (Q.S. al- Baqarah [2]: 233). Selanjutnya kewajiban laki-laki (suami) dalam memberikan nafkah yang terbaik untuk keluarganya, sejauh yang dimiliki dan diusahakannya. Al-quran menyatakan dalam ath-Thalaq [65]: 7
ﱢﻒ اﻟﻠﱠﻪُ ﻧـَ ْﻔ ًﺴﺎ ُ ِﻖ ﳑِﱠﺎ آَﺗَﺎﻩُ اﻟﻠﱠﻪُ َﻻ ﻳُ َﻜﻠ ْ ِﻖ ذُو َﺳ َﻌ ٍﺔ ِﻣ ْﻦ َﺳ َﻌﺘِ ِﻪ َوَﻣ ْﻦ ﻗُ ِﺪ َر َﻋﻠَْﻴ ِﻪ رِْزﻗُﻪُ ﻓَـ ْﻠﻴُـْﻨﻔ ْ ﻟِﻴُـْﻨﻔ إﱠِﻻ ﻣَﺎ آَﺗَﺎﻫَﺎ َﺳﻴَ ْﺠ َﻌ ُﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ﻋُ ْﺴ ٍﺮ ﻳُﺴًْﺮ Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan (kekurangan) rezkinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan”(Q.S. Ath-Thalaq [65]: 7) 3. Bentuk-bentuk Nafkah Bentuk-bentuk nafkah ini telah dijelaskan dalam kewajiban seorang suami beserta dengan bebagai dasarnya baik berupa ayat al-Quran maupun Undang-undang.
90
Ibid.
36
Para ulama fiqih menyimpulkan bahwa nafkah yang wajib diberikan suami kepada isterinya, meliputi; makanan, miniman, lauk – pauk, pakaian, tempat tinggal, pembantu (jika diperlukan), alat – alat pembersih tubuh dan perabot rumah tangga.91 Sementara nafkah untuk alat-alat kecantikan bukan merupakan kewajiban suami. Kecuali sebatas untuk menghilangkan bau badan istri. Hal ini selaras dengan pendapat imam Nawawi dari Madzhab Syafi’i yang menyatakan bahwa suami tidak berkewajiban memberikan nafkah untuk biaya alat kecantikan mata, kuteks, minyak wangi, dan alt-alat kecantikan lainnya yang semuanya dimaksudkan untuk menambah gairah seksual.92 Berlanjut pada nafkah kesehatan. suami tidak berkewajiban untuk memberikan nafkah kesehatan, baik untuk membeli obat – obatan maupun biaya ke dokter. Namun hal ini di tentang oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili, Pemikir fiqih kontemporer. Pada masa sekarang kebutuhan akan kesehatan menjadi pokok sama seperti makanan, tidak seperti kebutuhan akan kesehatan pada masa dahulu, sehingga nafkah kesehatan menjadi wajib.93 Para ulama Mazhab berpendapat bahwa biaya persalinan dan pengobatan yang ringan, seperti malaria dan sakit mata termasuk ke dalam nafkah. Akan tetapi pengobatan sejenis operasi yang membutuhkan biaya besar harus dipisahkan atau dilihat dari keadaan materi suami maupun istri.94
91
Husein Muhammad. Op. Cit, hlm. 123 Ibid, hlm. 123-124. 93 Ibid. hlm. 124-125. 94 Muhammad Jawad Mughniyah. Op. Cit,hlm. 424-425. 92
37
4. Kadar Nafkah Yang Harus Diberikan Oleh Suami Menurut imam Syafi’i ukuran nafkah bagi orang miskin dan orang yang berada dalam kesulitan adalah satu mud. Bagi orang yang berada dalam kemudahan adalah dua mud. Jika diantara keduanya adalah satu setengah mud. Sedangkan menurut Abu Hanifah bagi orang yang dalam kemudahan memberikan tujuh sampai delapan dirham tiap bulannya, sedangkan orang yang dalam kesulitan memberikan empat sampai lima dirham setiap bulannya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada ukuran tertentu dalam memberikan nafkah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan waktu, tempat, keadaan dan kebutuhan dari setiap individu.95 Sebagaimana dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A
ُﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ْﺖ ﻋُْﺘﺒَﺔَ ا ْﻣَﺮأَةُ أَِﰊ ُﺳ ْﻔﻴَﺎ َن َﻋﻠَﻰ َرﺳ ُ َﺖ ِﻫْﻨ ٌﺪ ﺑِﻨ ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖ َد َﺧﻠ ِﻴﲏ ِﻣ ْﻦ اﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘ ِﺔ ﻣَﺎ ِ َﺤﻴ ٌﺢ َﻻ ﻳـُ ْﻌﻄ ِ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ إِ ﱠن أَﺑَﺎ ُﺳ ْﻔﻴَﺎ َن َر ُﺟ ٌﻞ ﺷ َ َﺖ ﻳَﺎ َرﺳ ْ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـﻘَﺎﻟ َﺎح ٍ ِﻚ ِﻣ ْﻦ ُﺟﻨ َ ْت ِﻣ ْﻦ ﻣَﺎﻟِِﻪ ﺑِﻐ َْﲑ ِﻋ ْﻠ ِﻤ ِﻪ ﻓَـ َﻬ ْﻞ َﻋﻠَ ﱠﻲ ِﰲ ذَﻟ ُ َﲏ إﱠِﻻ ﻣَﺎ أَ َﺧﺬ ِﻴﲏ َوﻳَ ْﻜﻔِﻲ ﺑ ِﱠ ِ ﻳَ ْﻜﻔ ِﻴﻚ َوﻳَ ْﻜﻔِﻲ ِ ُوف ﻣَﺎ ﻳَ ْﻜﻔ ِ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ُﺧﺬِي ِﻣ ْﻦ ﻣَﺎﻟِِﻪ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌﺮ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺎل َرﺳ َ ﻓَـﻘ ﺑَﻨِﻴﻚ “Dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untukmu dan anak-anakmu.” (HR.Muslim)96
95 96
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Op. Cit. hlm. 453 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op. Cit, hlm. 249
38
Hadits tersebut jelas menyatakan bahwa tidak ada ukuran nafkah tertentu dengan menekankan kata “secukupnya”, secukupnya menunjukkan nafkah yang relatif bagi setiap orang. Jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan ukuran tertentu Rasulullah saw akan memerintahkan Hindun untuk mengambil ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik dan secukupnya. Seorang suami dalam menafkahkan hartanya selain tidak boleh terlalu bakhil, suami juga tidak boleh terlalu boros dalam menafkahkan hartanya. Dalam menafkahkan harta harus berpegang teguh kepada tuntunan Allah. 97 Sebagaimana dalam firman Allah sebagai berikut;
ِﻚ ﻗَـﻮَاﻣًﺎ َ َﲔ ذَﻟ َ ْ وَاﻟﱠﺬِﻳ َﻦ إِذَا أَﻧْـ َﻔ ُﻘﻮا َﱂْ ﻳُ ْﺴ ِﺮﻓُﻮا َوَﱂْ ﻳـَ ْﻘﺘُـ ُﺮوا َوﻛَﺎ َن ﺑـ “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. (QS Al-Furqaan;67) Pendapat golongan Syafi’i dan sebagian besar golongan Hanafi bahwa ketika menetapkan jumlah nafkah harus memperhatikan kemampuan suami. Pendapat inilah yang sekarang diikuti oleh pengadilan Mesir, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 16 .U.U. No. 25 tahun 1929, yang berbunyi; “Penetapan nafkah bagi isteri oleh suaminya disesuaikan dengan keadaan kaya dan miskinnya suami tanpa melihat bagaimana keadaan isteri.”98
97
A. Mujab Mahalli, Op. Cit, hlm.265. Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 92.
98
39
Menengok pendapat para Fuqoha dalam kitab Bidayatul Mujatahid, mengenai jumlah/ kadar nafkah, imam Maliki dan Syafi’i sepakat ukuran atau banyaknya nafkah yang harus dikeluarkan adalah disesuaikan dengan kemampuan suami. Sedangkan imam Hanafi berpendapat jumlah nafkah yang wajib dipenuhi oleh suami terhadap istri disesuaikan dengan tempat kondisi dan masa.99 5. Waktu Wajib Nafkah Menurut Ibnu Hazm suami suami berkewajiban menafkahi isterinya sejak terjadinya akad nikah, baik suami yang mengajaknya hidup serumah atau tidak, baik isteri masih dalam buaian atau berbuat nusyuz, kaya atau kafir, mempunyai orang tua atau sudah yatim, gadis atau janda, semua itu disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami. 100 Namun para ulama mazhab berpendapat bahwa isteri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah.101
ﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﻨﱠ ِﻚ أَْﻣﺮًا َ ِث ﺑـَ ْﻌ َﺪ ذَﻟ ُ ﻳـَﺘَـ َﻌ ﱠﺪ ُﺣﺪُوَد اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَـ َﻘ ْﺪ ﻇَﻠَ َﻢ ﻧـَ ْﻔ َﺴﻪُ ﻻ ﺗَ ْﺪرِي ﻟَ َﻌ ﱠﻞ اﻟﻠﱠﻪَ ُْﳛﺪ Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitung2lah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui 99
Imam Qodzi Abu Walid Muhammad bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid, Juz 3, Dar Al-Fikr, t.t., hlm. 42. 100 Sayyid Sabiq,Op.Cit. hlm. 85. 101 Muhammad Jawad Mughniyah. Op. Cit. hlm. 402.
40
barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (QS. Ath-thalak [65]:1)
Pada masa iddah wanita dicerai memiliki hak tempat tinggal yang menjadi kewajiban suaminya, selama dia menunggu iddah suaminya. Seorang laki – laki tidak berhak mengusir dan mengeluarkannya kecuali dia melakukan perbuatan keji yang nyata seperti zina dan nusyuz. Sebagian besar ulama juga berpendapat bahwa isteri berhak atas tempat tinggal dan nafkah selama menunggu masa iddah.102 Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa waktu wajib nafkah dimulai sejak akad pernikahan terjadi, namun apabila isteri melakukan nusyuz maka suami tidak berkewajiban memberi nafkah. Nafkah dapat terputus ketika adanya sematian maupun perceraian, namun dalam suatu perceraian selama masa iddah isteri tetap berhak mendapatkan nafkah. Menurut Imam Malik mencukupi nafkah keluarga merupakan kewajiban ketiga dari seorang suami setelah membayar mahar dan berlaku adil kepada istri (berlaku bagi orang yang berpoligami). Kalau terjadi perpisahan antara suami dan istri, baik karena cerai atau meninggal dunia maka harta asli istri tetap menjadi milik istri dan harta asli milik suami tetap menjadi milik suami, menurut madzhab Maliki waktu berlakunya pemberian nafkah wajib apabila suami sudah mengumpuli istrinya. Jadi nafkah itu tidak wajib bagi suami sebelum ia berkumpul dengan istri.103 Selaras dengan ini Hambali berpendapat bahwa suami wajib membayar atau memenuhi nafkah terhadap istrinya jika 102
Majdi Fathi As-Sayyid,Op. Cit, hlm. 134. Imam Qodzi Abu Walid Muhammad bin Ahmad, Op. Cit, hlm. 41
103
41
pertama istri tersebut sudah dewasa dan sudah dikumpuli oleh suami, kedua, istri (wanita) menyerahkan diri sepenuhnya kepada suaminya.
42
BAB III OBJEK KAJIAN A. Tanggung jawab Nafkah Keluarga 1. Legitimasi Hukum Nafkah Keluarga Dalam kajian hukum Islam, akad nikah yang sah menimbulkan hak dan kewajiban antar suami-istri. Di antaranya, pihak istri berhak mendapatkan nafkah dari suami yang menikahinya. Sebaliknya, di atas pundak suami terletak kewajiban untuk menafkahi istrinya. 104 Seperti disinggung diatas bahwa pemberian nafkah ini dengan syarat adanya akad yang sah, penyerahan diri istri kepada suami, memungkinkannya suami menikmati dirinya, tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki suami, dan keduanya bisa saling menikmati.105 Menengok legitimasi yang dipakai sebagai dasar bahwa laki-laki (suami) memiliki kewajiban menafkahi istrinya. Imam Syafi‟i dalam Al Umm_nya merumpunkan beberapa ayat al-Quran yang menjadi dasar legitimasi hukum nafkah secara umum, khususnya dalam kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai akibat terjadinya hubungan perkawinan. Ayat-ayat tersebut antara lain telah di singgung di pembahsan sebelumnya. Namun ada baiknya di kupas lebih lanjut dalam bab ini. Ayat tersebut diantara: al-Baqarah [2]: 233 yang artinya:
104
Hafid Usman Qurnaen dan Khariroh Ali, Pandangan Islam Tentang Pencari Nafkah Keluarga, (Jakarta: Rahma, 2011), hlm. 10-11. 105 Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm. 80.
43
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara maruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Baqarah [2]: 233) Ayat tersebut menegaskan bahwa ayah diwajibkan menanggung segala kebutuhan makan dan pakaian ibu yang menyusi anaknya sekalipun telah diceraikan oleh ayah anaknya. Jika terhadap mantan istri yang masih menyusui anaknya seorang laki-laki diwajibkan menafkahinya, apalagi terhadap perempuan yang masih menjadi istrinya, sudah tentu lebih patut untuk dinafkahi.106 Hukum membayar nafkah untuk istri ini baik dalam bentuk belanja, pakaian maupun tempat tinggal adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat keadaan istri. Ulama Syi’ah menetapkan bahwa meskipun istri orang kaya dan tidak memerlukan bantuan biasa dari suami, namun suami tetap wajib membayar nafkah.107 Dalam sebuah hadist yang juga telah disinggung di bab sebelumnya, hadist tersebut merupakan hadist riwayat Bukhori yang berbunyi:
106
Muhammad Thalib, Ketentuan Nafkah Istri dan Anak, , (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2000), Cet. I, hlm. 21. 107 Amir Syarifudin, Op. Cit, hlm 166.
44
Dari ibnu umar ra,dari Nabi SAW ,beliau bersabda:” Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya. Demikian pula seorang istri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya. Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian. (HR Bukhori dan Muslim)108 Beredasarkan hadist diatas menjelaskan bahwa dalam rumah tangga ada peran-peran yang dilekatkan pada anggotanya, seperti seseorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga, sedang seorang istri berperan sebagai ibu rumah tangga. Peran-peran tersebut muncul biasanya karena ada pembagian tugas antara mereka di dalam rumah tangga. Seorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga. Oleh karena itu, ia mendapat bagian tugas yang lebih berat, yakni mencari nafkah untuk seluruh anggota keluarganya. Disamping itu, ia sebagai kepala rumah tangga juga diberi tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi rumah tangganya, sehingga rumah tangga tersebut dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena kedua hal tersebut, yakni sebagai suami dan sebagai kepala rumah tangga, maka ia memiliki kekuasaan lebih dibandingkan anggota lainnya, terutama dalam pengambilan keputusan untuk urusan keluarganya. Sementara pada sisi yang lain, istri biasanya bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga sehari-hari. Pembagian peran dan fungsi suami istri tersebut tidak lain bersumber pada penafsiran atas ajaran agama dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat. Yakni sebuah nilai yang menempatkan laki-laki sebagai
108
Imam Al Hafidz Al Fiqhiyah Abi Zakariya Muhyidin Yahya An Nawawi, Op. Cit, hlm
152-153.
45
jenis kelamin yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan rekannya dari jenis kelamin lain, yakni perempuan.109 Hukum asal kewajiban laki-laki atas nafkah, berawal dari konteks nikah yang menempatkan perempuan sebagai objek (muqtadha al ‘aqd atau tuntutan yang terdapat dalam akad). Oleh karena itu, akad nikah seolah menjadi ruang yang perempuan tertanggung (ihtibas) kehidupannya di dalam ruang itu. Maka suami menjadi aktor paling penting tentang kepemilikan terhadap ruang gerak isterinya, sehingga kewajiban untuk memberi nafkah itu dengan demikian berada di pundak suami secara utuh.110 Secara eksplisit, kemutlakan kewajiban nafkah dibebankan kepada lakilaki (kaum suami) dipahami dari petunjuk dalam surah al-Nisa[4] ayat 34, yang menginformasikan keistimewaan laki-laki dibanding perempuan disebabkan salah satunya karena faktor nafkah. Ayat tersebut adalah:
ِﻦ أَْﻣﻮَاﳍِِ ْﻢ ْ ْﺾ وَﲟَِﺎ أَﻧْـ َﻔ ُﻘﻮا ﻣ ٍ ﻀ ُﻬ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﺑـَﻌ َ ﻀ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَ ْﻌ َﺎل ﻗَـﻮﱠاﻣُﻮ َن َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱢﺴَﺎ ِء ﲟَِﺎ ﻓَ ﱠ ُ اﻟﱢﺮﺟ ُﻆ اﻟﻠﱠﻪ َ ْﺐ ﲟَِﺎ َﺣ ِﻔ ِ َﺎت ﻟِْﻠﻐَﻴ ٌ َﺎت ﺣَﺎﻓِﻈ ٌ َِﺎت ﻗَﺎﻧِﺘ ُ ﻓَﺎﻟﺼﱠﺎﳊ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). (Q.S. an-Nisa’ [4]:34). Pendapat At-thabari yang dikutib dalam buku Perempuan dalam Pasungan menafsirkan Al-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’ sebagai dasar
109
Ratna Batara Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, Solidaritas Perempuan, 1999), hlm. 2-3. 110 Erfani,Op. Cit, hlm. 7.
46
bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan, hal ini didasarkan atas refleksi pendidikannya serta kewajiban untuk memenuhi seluruh kewajiban yang ditentukan oleh Allah. Hal itu pula yang menjadikan sebab keutamaan laki-laki atas perempuan. Seperti tercemin dalam kalimat wabima anfaqu min amwalihim yang di tafsirkan sebagai kewajiban untuk memebayar mahar, nafkah, dan kifarat.111 Lanjut ath-Thabari dalam buku yang sama menjelaskan tentang keutamaan laki-laki ditinjau dari sudut kekuatan akal serta kekuatan fisiknya, sehingga kenabian pun menjadi hak bagi kaum laki-laki. Dengan kekuatan akal dan fisiknya inilah, maka dinyatakan dengan tegas bahwa kepemimpinan dalam bentuk khalifah dan al- imam ash-Sughra, seperti imam salat, kewajiban jihat, adzan, i’tikaf, saksi, perwalian dalam nikah, talak, rujuk, dan batasan jumlah istri, semua disandarkan pada laki-laki.112 Pendapat lain mengemukakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan, ditentukan oleh adanya keutamaan, sebagaiman firman Allah Wabima fadhdhala Allahu ba’dhuhum ala ba’dh. Potongan ayat ini menyatakan bahwa keutamaan laki-laki atas perempuan itu didasarkan pada beberapa aspek. Sebagian didasarkan pada sifat-sifat yang hakiki dan sebagian yang didasarkan pada sifat-sifat yang hakiki dan sebagian yang lain berdasarkan hukum syara’. Adapun sifat hakiki keutamaan laki-laki atas perempuan terletak pada dua bagian yaitu ilmu dan kekuatan. Tidak diragukan 111
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan bias laki-laki dalam penafsiran, (Yogyakarta: LKis, 2003), hlm. 177. 112 Ibid.
47
lagi bahwa akal dan ilmu laki-laki lebih banyak, demikian pula halnya kemampuan mereka lebih sempurna. Dari kedua sebab inilah dihasilkan keutamaan laki-laki atas perempuan dalam akalnya, motivasi, kekuatan, kemampuan menulis, menunggang kuda, memanah, dan sebagian dari laki-laki itu ada yang menjadi nabi dan ulama.113 Derajat kepemimpinan ini juga disinggung dalam Tafsir al-Manar bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan merupakan salah satu derajat keutamaan yang dimiliki laki-laki dibanding perempuan. Derajat laki-laki tersebut sesuai dengan fitrah yang diperoleh dengan pemberian nafkah dan mahar kepada perempuan. Dengan pemberian nafkah dan mahar itu, perempuan rela menerima kepemimpinan laki-laki atas dirinya. Namun demikian, secara fitrah juga seorang perempuan tidak boleh tidak menerima kepemimpinan laki-laki atas dirinya tanpa suatu imbalan (mahar).114 Dalam Al Quran Surah an-Nisa` ayat 34 tersebut, Allah swt menandaskan bahwa kapasitas kaum laki-laki adalah sebagai Qawwam atas kaum perempuan, dengan didasari oleh dua faktor: 1) Tafdhil, penganugerahan keistimewaan/ nilai lebih oleh Allah swt lewat jalur prerogatifnya dalam hal fisik, mentalitas, maupun kemampuan mengendalikan emosionalitas dan stabilitas akal sehat,
113
Ibnu ‘Ali At-thamimi al-bakari ar-razi as-syafi’i, Tafsir al-Kabir Mafatihul ghaib, (Darul kutub ‘ulumiyah: Beirut, 2009), hlm.81. 114 Imam Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, (Darul kutub ‘ulumiyah: Beirut, 2005), hlm. 55.
48
2) Infaq/ nafaqah, yaitu bahwa kaum laki-laki diperintahkan/ dibebankan menafkahi dengan harta mereka terhadap kaum perempuan.115 Dari berbagai penjelasan tafsir diatas, berkaitan dengan istilah Qawwam yang menunjukkan superioritas laki-laki yang mutlak. Kelebihan yang menjadikan fokus superior tesebut terdapat pada kelebihan akal (ilmu) dan kemampuan. Dan bahwa untuk bekerja keras laki-laki lebih sempurna. Secara keabsahan Qawwam, diartikan sebagai pencari nafkah. Selanjutnya dalam al Umm legitimasi nafkah juga terdapat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 228 yang artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru (suci). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jikamereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan lebih daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. Al-Baqarah: 228) Pendukung ayat tersebut adalah sebuah hadist riwayat Muslim yang artinya: Takutlah kalian kepada Allah dalam urusan perempuan, karena sesungguhnya kamu mengambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan halal bagimu mencampuri mereka dengan kalimat Allah, dan diwajibkan atas kamu (suami) memberi nafkah dan pakaian kepada mereka (istriistri) dengan cara yang sebaik-baiknya (pantas).(HR. Muslim)116
115
Erfani, Op. Cit, hlm. 8. M. Nasiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm.
116
393.
49
Ayat dan hadis di atas merupakan penjelasan ketentuan besar kadar nafkah yang harus diberikan kepada seorang istri oleh suami yang ternyata tidak memiliki ketentuan pasti. akan tetapi hanya mengungkapkan kata ma’ruf (pantas). Dengan demikian maka memberi nafkah itu adalah menurut keadaan suatu tempat dan disesuaikan dengan kemampuan serta kedudukan suami dalam masyarakat.117 Ayat berikutnya yang menjadi dasar nafkah secara umum terdapat pada Q.S. an-Nisa [4]: 19 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa [4] : 19) Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa alasan mengapa pihak suami diwajibkan menafkahi istrinya adalah karena adanya hubungan timbal-balik antara suami-istri (al-‘alaqat azzawjiyah). Atau dengan kata lain bahwa yang menjadi sebabnya adalah posisi suami sebagai suami, dan istri sebagai istri, termasuk kewajiban istri untuk menyerahkan dirinyakepada suami secara sukarela. Hubungan suami-istri yang telah diikat dengan tali perkawinan sah disamping mempunyai konsekuensi dimana istri wajib bersedia menyerahkan diri kepada suaminya untuk diperlakukan sebagai istri, juga mempunyai konsekuensi dimana pihak suami
117
Hafid Usman Qurnaen dan Khariroh Ali, Op.Cit., hlm. 18.
50
berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya. Perbedaannya dengan pemahaman aliran Hanafiyah di atas adalah, pada aliran Hanafiyah tersebut tekanan kewajiban nafkah adalah pada hak suami untuk membatasi kewenangan istri, sedangkan pada aliran mayoritas ulama ini tekanan adanya kewajiban nafkah adalah pada adanya kerjasama antara suami dan istri yang diikat dengan tali perkawinan. Maka apabila istri berkewajiban memberikan rasa gembira kepada suami, mengurus rumah tangga, mengandung anak Sembilan bulan, dan mengasuhnya maka suami berkewajiban untuk mencari nafkah. Dalam hal ini, yang penting adalah adanya pembagian tugas antara suami dan istri. Selama hubungan kerjasama suami-istri itu masih ada, maka selama itu pula kewajiban nafkah terpikul di pundak seorang suami.118 B. Istri yang Bekerja 1. Pandangan Hukum Islam tentang Istri yang bekerja Wanita (istri) adalah pemimpin dalam urusan rumah tangga, sedangkan suami adalah pemimpin dalam urusan keluarga. Hal ini sesuai hadist riwayat Muttafaqun ‘Alaih yang telah disinggung sebelumnya. Dalam praktiknya, kepemimpinan dan tugas-tugas keluarga itu lebih banyak dilakukan oleh pihak wanita. Dengan kelemah-lembutannya, seorang wanita sebagai ibu rumah tangga dan berperan sebagai faktor penyeimbang kaum pria dalam kehidupan keluarga, wanita dapat mengerjakan apa yang tidak dapat dikerjakan oleh pria,
118
Ibid, hlm. 31-32.
51
seperti urusan rumah tangga, memasak, mengasuh, dan mendidik anak-anak, menyiapkan keperluan suami juga anaknya, serta pekerjaan lainnya.119 Namun kenyataannya, tidak sedikit para wanita yang ikut bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Tugas pokok wanita (istri) adalah sebagai penanggung jawab utama dalam masalah-masalah intern rumah tangga. Masalahnya sekarang, dapatkah wanita berperan atau terlibat dalam pekerjaan di sektor-sektor publik, di luar rumah meliputi kegiatan sosial, ekonomi, politik, keagamaan dan bidang-bidang lainnya. Di negara-negara yang masyarakatnya mayoritas muslim sudah banyak wanita yang bekerja diluar rumah. Meski al-Quran melarang mereka untuk keluar rumah. Dalam surat alAhzab [33]: 33 “Dan hendaklah kamu menetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah”(QS. alAhzab [33]: 33) Berdasarkan nash diatas jelaslah bahwa perempuan diperintahkan untuk menetap didalam rumah merupakan ketentuan syara’, sedangkan bila mereka keluar rumah adalah sebagian Rukhsoh (keringanan) yang tidak akan terjadi kecuali dalam keadaan terpaksa (Dlalurot) atau karena adanya suatu keperluan yang mendesak (hajjat).120 Pemahamam kata “menetap” dalam ayat tersebut ditujukan kepada para Istri Rasulullah. Yang terkadang diartikan sebagi larangan untuk keluar rumah. Padahal pemahaman semacam itu kurang tepat, karena dalam kamus bahasa dijelaskan bahwa kata tersebut pada mulanya bermakna “berat”, sehingga ayat 119
Hasbi Indra, Potret Wanita Shalihah, (Jakarta: penamadani, 2004), hlm. 7. Syaikh Bakar bin Abdullah abu -Zaid, Menjaga citra Wanita Islam (Jakarta: Darur Haq, 2003), hlm. 99. 120
52
tersebut diartikan sebagai perintah untuk menjadikan titik berat perhatian istri terhadap rumah tangga.121 Keperluan mendesak tersebut bisa jadi karna urusan ekonomi yang menjadikan para istri ikut bekerja. Hal ini menjadikan masalah dalam ulama fiqh ketika seorang istri harus bekerja diluar rumah dan meninggalkan keluarganya. Para ahli fiqh sepakat bahwa apabila itu terjadi, dia (istri) harus mendapatkan izin suaminya.122 Menurut Abdur Rahman, meskipun istri boleh bekerja untuk menambah penghasilan, namun ada ketentuannya, pertama, suami berhak untuk membatasi dan mengakhiri istri yang bekerja bila perlu. Kedua, suami berhak melarang pekerjaan yang dirasakannya akan menjerumuskan istrinya pada kejahatan, kesesatan dan pemghinaan. Ketiga, istri berhak secara pribadi untuk berhenti kapan saja, dan suami tidak bisa memaksa istri untuk bekerja. Dan keempat setiap pendapatan yang diperoleh istri adalah milik keluarga bukan milik pribadi istri.123 Wanita yang karena alasan dan kondisi tertentu harus bekerja diluar rumah, haruslah memenuhi syarat-syarat lain diantaranya:124 Pertama,
pekerjaan
yang
dilakukan
benar-benar
menbutuhkan
penanganan kaum wanita, sehingga tidak bercampur aduk dengan kaum lakilaki. Misalnya menjadi guru di taman kanak-kanak, sekolah khusus putri,
121
M. Quraish shihab, Op.Cit, hlm. 178. Husein Muhammad, Op.Cit, hlm. 127 123 Abdurrohman I Do’I, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Terjmh. Zainudin dan Rusydi sulaiman, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 371. 124 Muhammad Thalib, Solusi Islam terhadap Dilema Wanita Karir, (Yogyakarta: Wihdah Press, 1999), hlm. 108-109. 122
53
perawat untuk pasien perempuan dan jenis pekerjaan lain menangani kaum perempuan dan anak-anak. Kedua, suami yang bertanggung jawab atas nafkah istri tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka sekeluarga, sehingga terpaksa istri bekerja diluar guna membantu mencukupi nafkah keluarga. Sekalipun demikian, pekerjaan yang dilakukan tidak boleh membuat yang bersangkutan bercampuar bebas dengan beda gender. Ketiga, jam kerja yang diperoleh wanita untuk pekerjaan diluar rumah tidak menelantarkan kewajiban pokonya mengurus keluarga sebab mengurus rumah tangga dan anak-anak, adalah kewajiban (fardlu a’in) bagi perempuan yang telah berkeluarga, sekalipun dia memiliki pembantu. Sedangkan bekerja mencari nafkah demi memebantu mencukupi kebutuhan keluarga, tidak wajib bagi wanita. Keempat, ada persetujuan suami, sebab Islam menetapkan perempuan tidak bertanggung jawab menafkahi dirinya sendiri, tetapi yang menanggung adalah suami atau ayah atau saudara laki-lakinya. Hal ini berarti setiap perempuan dalam
bekerja diluar rumah bukanlah merupakan tuntutan
kebutuhan hidup secara prinsip, tetapi hanya bersifat sekunder. Istri yang bekerja diluar rumah tetap berhak mendapatkan nafkah dari suaminya yang dinilai mampu memberikan kecukupan, selama pekerjaannya
54
itu istri mendapatkan izin dan persetujuan suami, karena nafkah merupakan kewajiban suami dalam rumah tangga.125 Persoalan berikutnya adalah bagaimana apabila ternyata yang mampu memeberi nafkah adalah istrinya, karena dia kaya, sedangkan suaminya miskin. Para ahli fiqh dalam hal ini berpendapat bahwa istri boleh menafkahi suaminya, dengan catatan bahwa biaya yang telah dikeluarkan tetap dianggap sebagai utang suami. Dia wajib membayarnya pabila sudah mampu. Apabila istri rela memeberikannya, tanpa dianggap hutang, maka hal itu lebih baik, dan dia akan mendapatkan pahala ganda. Pahala karena hubungan persahabatan dan pahala karena dia telah bersedekah. Akan tetapi, pendapat ini tidak disetujui Ibnu Hazm adh-Dhahiri. Beliau mengatakan bahwa istri kaya wajib menafkahi suaminya yang miskin tanpa dianggap sebagai hutang meski dikemudian hari suaminya menjadi kaya.126 Al-Quran menyebutkan dalam sebuah ayatnya bahwa terdapat kisah ketika seorang perempuan ikut memeberi minum ternak, ayat tersebut adalah: Kedua wanita itu menjawab; “ Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami),sebelum pengembala-pemngembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya’. (Q.S. al-Qasas [8]:23) Ayat di atas adalah bagi menguatkan lagi pandangan mereka yang berpendapat bahawa wanita atau isteri bekerja dan melibatkan diri dalam kerjaya di luar rumah diharuskan. Ini kerana, ayat di atas menjelaskan dua orang pemudi yang disebut dalam ayat di atas adalah untuk menyumbang dan membantu atau menolong ayah dan keluarganya yang tidak berupaya 125
Saifuddin Mujtaba, Istri Menafkahi Keluarga: Dilema, Perempuan atara Mencari, Menerima, dan Memberi, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2001), hlm. 178. 126 Husein Muhammad, Op.Cit, hlm. 130
55
disebabkan tua dan sebagainya. Fenomena ini menggambarkan wanita atau isteri diharuskan keluar bekerja sekiranya memerlukan keperluan yang mendesak. Pada masa Nabi saw. Para ibu (perempuan) aktif dalam berbagai bidang pekerjaan, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah Bin Huyay, istri nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya. Dalam bidang perdagangan. Istri nabi Khadjah binti Khuwalid ra., tercatat sebagai orang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Ammar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi saw meminta petunjuk dalam bidang jual beli. Istri nabi Zainab binti Jahesy ra., juga aktif bekerja sebagai penyamak kulit binatang, dan hasil usahanya beliau sedekahkan. Raithah, istri dari Abdullah bin Mas’ud juga sangat aktif bekerja.karena suaminya ketika itu tidak bisa mencukupi kehidupan keluarganya.Asy-Syaffa, seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh khalifah Umar ra. Sebagi petugas yang menangani pasar kota madinah.127 Kini proses modernisasi yang terus berlanjut, disertai dengan kecenderunagan materialism yang sukar dibendung, telah melahirkan pula kebutuhan dan keinginan-keinginan baru yang mendesak keluarga dan sering kali tidak dapat terpenuhi kecuali dengan kerja keras dan keja sama suami istri. Ini semua melahirkan peran ganda wanita.128
127
M. Quraish shihab, Op.Cit, hlm. 177 Ibid.
128
56
Pernikahan bukan merupakan pintu yang menutup hak perempuan untuk memiliki harta dan kekayaan sendiri. Dalam pandangan Islam, perempuan diakui punya hak milik pribadi, baik yang didapatnya dari usahanya sendiri, pemberian orang lain, atau bahkan pemberian suami. Suami tidak berhak mengutak-atik hak pribadi istri itu, kecuali atas seizin istri. Bahkan ketika istri dalam status diceraipun, suami sama sekali tidak berhak meminta kembali apa yang sudah diberikan kepada istrinya. 129 Allah SWT berfirman: ….. Dan tidak halal bagimu mengambil kembali sesuatu dari yang kamu berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Q.S. Al-Baqarah[2]: 229) Meskipun hak milik pribadi perempuan dijamin, bukan berarti bahwa Islam membuat garis pemisah yang tajam antara hak milik suami dan istri. Dalam kerangka Mu’asyarah bi al-ma’ruf dan Ta’awun ‘ala al-birri wa attaqwa (tolong menolong keabikan dan ketaqwaan) istri memiliki kekayaan dan kemampuan ekonomi yang lebih dianjurkan untuk membantu suaminya, seperti apa yang dilakukan Siti Khadijah kepada nabi Muhammad Saw, dan Zainab kepada Suaminya, Ibnu Mas’ud.130
129
Adbul Moqsit Ghozali, Badriyah Fayumi dkk , Tubuh, seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, (Yogyakarta: Rahima, 2002), hlm. 131. 130 Ibid, hlm.132.
57
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
C. Analisa tentang Tanggung Jawab Nafkah Keluarga Menurut Hukum Islam Pada dasarnya konsep hubungan suami istri yang ideal menurut Islam adalah konsep kemitrasejajaran atau hubungan yang setara antara keduanya namun konsep kesetaraan atau kemitrasejajaran dalam hubungan suami istri tidak begitu saja mudah diterapkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Buktinya sering dijumpai banyak berbagai hambatan untuk mewujudkan nilai yang ideal tadi. Hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan-keterbatasan satu sama lain yang dimiliki oleh manusia, kemampuan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain juga berbeda, oleh karena itu, wajar bila pada suatu waktu kaum laki-laki yang diunggulkan, karena memang dia berhak menyandang posisi sebagai pemimpin. Laki-laki yang mempunyai kelebihan kekayaan dan kemampuan berburu, sehingga memungkinkan bagi kaum laki- laki untuk mencari nafkah. Sementara kaum perempuan dalam kondisi yang sebaliknya.131 Sebuah keluarga yang berkewajiban dalam mencari rezeki adalah Suami. Suami adalah seorang kepala rumah tangga, pemimpin bagi istri dan anaknya, maka dari itu, dalam Ajaran Islam sangat menjunjung tinggi tanggung jawab seorang Suami untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Tanggung jawab, hubungannya dengan hak dan kewajiban. Seorang pemimpin bertanggung jawab atas harta yang dimilikinya, dan mewajibkan untuk menafkahkan hartanya
131
Ratna Batara Munti, Op. Cit, hlm. 56-58.
58
tersebut. Walaupun harta yang dimiliki seorang istri itu melimpah, tapi tetap saja seorang suami berkewajiban mencarikan nafkah. Akan tetapi, jika seorang suami sudah bekerja keras, membanting tulang mencari nafkah, dan suami tetap belum bisa memperoleh nafkah untuk keluarganya, maka insyaAllah suami terlepas dari dosa,
karena
Allah
tidak
akan
membebani
hambanya
di
luar
batas
kemampuannya. Hal ini disebabkan karena Allah melebihkan laki-laki dengan tanggung jawab kepemimpinan beserta kekhususan-kekhususan dan ketrampilan yang dibutuhkan, serta menugasi laki-laki untuk memberi nafkah kepada seluruh anggota keluarganya. Berdasarkan pemberian kekuasaan ini, maka laki-laki juga diberi hak istimewa untuk menjaga keluarganya dari keretakan, dan mencari solusi ketika sedang dalam masalah.132 Menengok legitimasi yang dipakai dalam peran suami sebagai pencari nafkah, yakni kata “Qawwam” dalam an-Nisa’ [4]: 34, jelas bahwa laki-laki dituntut untuk menafkahi perempuan dengan kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh laki-laki, yang pasti lebih besar porsinya dari pada porsi ekonomi yang dimiliki perempuan dikarenakan berbagai kelebihan akal dan tenaganya. Kembali dengan istilah Qawwam yang menunjukkan superioritas laki-laki yang mutlak. Kelebihan yang menjadikan fokus superior tesebut terdapat pada kelebihan akal (ilmu) dan kemampuan. Dan bahwa untuk bekerja keras lakilaki lebih sempurna. Secara keabsahan Qawwam, diartikan sebagai pencari nafkah. 132
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhihalil Qur’an, Terjmh. As’ad Yasin, Abdul Aziz, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 354
59
Atas pertimbangan kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki inilah kemudian hukum islam secara formil memebebankan urusan pemenuhan nafkah keluarga kepada suami. Namun ketentuan ini bukan sebagai indikasi mutlak bahwa istri tidak mempu menafkahi dirinya sendiri, tetapi bahwa istri juga memiliki peran yang juga penting dalam rumah tangganya. Karena ditangan istri segala urusan domestik rumah tangga diserahkan. Jika kemudian dalam perjalanan rumah tangga suami tidak mampu mencukupi nafkah sebagaimana yang telah diwajibkan kepadanya, maka jika merujuk pada pembahasan sebelumnya maka istripun tidak wajib mencari nafkah. Namun karena menjaga keutuhan rumah tangga adalah kewajiban bersama maka tidak ada salahnya ketika seorang istri ikut memenuhi nafkah keluarga. Karena sesungguhnya nafkah secara filosofis adalah tanggung jawab suami istri jika secara formil suami tidak mampu mencukupi. Tinggal bagaimana keluarga menyikap semua itu secara bijaksana, karena seringkali dalam kebudayaan Indonesia sebagai suami merasa rendah diri dibantu istrinya dalam menafkahi keluarganya klarena masyarakat akan menganggapnya tidak mampu menjadi suami yang baik, atau takut istrinya akan melalaikan kewajiban utamanya sebagai ibu dari anak-anaknya dan sebagai pendamping suami. Pada dasarnya, seorang istri dibebaskan dari kewajiban bekerja dan berusaha untuk menutupi kebutuhan hidupnya, apalagi untuk keluarganya. Seluruh kebutuhan istri dan rumah tangga yang menjadi kebutuhan pokok adalah
60
kewajiban suami. Sehingga apabila suami ternyata tidak memberikannya, istri berhak menuntutnya atau mengambilnya meskipun tanpa izin suami.133 Menurut Madzhab Hanafi, jika seseorang suami tidak mau memberikan nafkah kepada istrinya, padahal dia berkemampuan dan mempunyai uang, maka Negara berhak menjual hartanya secara paksa dan menyerahkan hasil penjualan itu kepada istrinya. Kalau tidak hartanya, Negara berhak menahannya atas permintaan istri. Suami dalam keadaan ini dapat dikategorikan sebagai seorang suami yang zalim. Dia boleh dihukum sampai mau menyerahkan nafkahnya.134 Kewajiban suami untuk menafkahi notabenya pasti diimbangi dengan haknya untuk mendapatkan penghormatan dari istrinya. Kewajiban nafkah ini ibarat tali yang mengikat seorang istri untuk taat pada suaminya. Dan suami layak mendapatkan perlakuan baik, dilayani dengan baik serta ditemani dengan baik pula. Hikmah keutamaan suami yang memberikan nafkah kepada keluarga berdasarkan hadist adalah mendapatkan bahala sedekah dan Mendapatkan Pahala atas apa yang dinafkahkan kepada istri dan anak-anaknya. Hal ini merupakan kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Karena menyangkut jiwa seseorang. Kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangganya adalah sebuah keistimewaan, tetapi sekaligus tanggung jawab yang tidak kecil. 135 Tanggung jawab ini dibenbankan kepada seorang suami untuk melindungi dan mencukup semua kebutuha istri. Ketika seorang suami melarang istrinya untuk bekerja, maka sudah barang pasti suami harus mencukupi berbagai kebutuhannya. Dan 133
Husein Muhammad, Op.Cit, hlm. 125. Ibid. 135 M. Quraish shihab, Op.Cit, hlm. 150. 134
61
sebaliknya untuk istri yang dilarang bekerja harus sadar karma sesungguhnya kewajiban mencari nafkah adalah kewajiban suami, dan dirinya hanya ditugasi untuk menata rumah tangga sekaligus taat kepada suaminya. D. Analisa tentang Istri Yang bekerja untuk membantu memenuhi Nafkah Rumah Tangga menurut hukum Islam Menitik kembali hak dan kewajiban yang dibahas sebelumnya, mengingat hubungan suami istri bukan lah hubungan bisnis, maka dari sini dapat dikatakan bahwa walau bekerja mencari nafkah adalah tugas utama suami, tetapi bukan berarti istri tidak diharapkan bekerja juga, khususnya jika penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Disisi lain, walau istri bertanggung jawab menyangkut rumah tangga, kebersihan, penyiapan makanan, dan mengasuh anak, tetapi itu bukan berarti suami membiarkan sendiri tanpa membantunya dalam pekerjan-pekerjaan yang berkaitran dengan rumah tangga.136 Dalam kondisi-kondisi tertentu, istri justru diwajibkan bekerja. Misalnya karena kewajiban menanggung biaya hidupnya sendiri beserta keluarganya,
karena
tidak
ada
lagi
orang
yang
membiayainya
atau
menafkahinya.137 Dalam surat at-Taubah ayat 105 dijelaskan bahwa Allah memerintahkan semua manusia untuk mencari rizki dimuka bumi tampa ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Jadi perempuan pun berhak untuk mencari nafkah tanpa harus mengubah kodratnya sebagai perempuan atau seorang istri tidak melewati tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga. 136 137
M. Quraish shihab, Op.Cit, hlm. 113 Husein Muhammad, Op.Cit, hlm. 129.
62
Islam memberikan hak bekerja bagi kaum wanita sebagaimana hak bekerja bagi kaum pria. Jadi, tidak satupun pekerjaan yang di halalkan agama atau di haramkan atas wanita dan hanya diperbolehkan bagi kaum pria saja, Islam tidak membedakan dalam perbuatan syari’ah (tasyri’) antara pria dan wanita. Hanya saja berkaitan dengan hak bekerja ini, wanita yang bersuami misalnya, ia tidak boleh bekerja tanpa persetujuan suami. Sebab, aturan keluarga dan hak-hak perkawinan menghendaki wanita agar memelihara kehidupan rumah tangga dan mementingkan kewajiban suami istri.138 Sekiranya pendapatan suami sudah mencukupi untuk membiayai perbelanjaan keluarga dan suami tidak membenarkan istri keluar bekerja, maka haram kepada istri mengingkari larangan tersebut dan istri berhak mendapat nafkah dari suaminya. Ini karena di antara hak suami yang sewajarnya menjadi tanggungjawab istri ialah mentaati suami dan penyerahan sempurna untuk suami di waktu siang atau malam. Justru keikutsertaan isteri dalam bidang ekonomi dan pekerjaan di luar rumah akan menyita waktu yang sepatutnya diperuntukkan bersama suaminya. Begitu juga keadaannya, sekira seorang istri dibenarkan keluar untuk bekerja sedangkan suaminya tidak mengizinkan namun istri tidak mengikuti perintah suami. Hal ini bisa dianggap durhaka (nusyuz) yang menghalang istri mendapat nafkah dari suami. Dalam situasi lain, sekiranya isteri diperbolehkan suami unbekerja dan masa kerjanya dalam waktu yang agak lama, menurut sebahagian ulama suami masih berhak meminta agar istri berhenti dari
138
Saifuddin Mujtaba,Op. Cit, hlm. 25.
63
pekerjaannya. Namun sebagian lain berpendapat, suami tidak berhak menghalangi istrinya dan istri tetap berhak mendapat nafkah dari suami walaupun waktu kebersaamaan mereka berkurang.139 Terhadap isteri yang bekerja, maka fuqaha` merinci statusnya dalam ketentuan-ketentuan tersendiri. Kalangan Malikiyah memandang, bahwa suami harus melarangnya, dan apabila ia menolak, maka gugurlah hak nafkah bagi isteri tersebut. Hal senada juga dipegang oleh kalangan Syafi ‟ iyah, dengan alasan bahwa hak nafkah itu berlaku dengan menjadikan tamkin sebagai standarnya, bukan pada akad. Oleh sebab itu, maka segala hal yang dilakukan isteri yang mengurangi makna tamkim itu, akan menyebabkan gugur hak nafkah baginya. Namun kalangan Hanabilah, menyampaikan hal yang bertolak belakang dengan pandangan dua kalangan sebelumnya. Menurut kalangan Hanabilah, jika diperjanjikan dalam akad nikah bahwa isteri tetap bekerja, suami harus memenuhi perjanjian tersebut dan tidak boleh melarangnya, serta ia tetap berhak atas nafkah dari suaminya.140 Kendati demikian, pertimbangan dalam fikih terkait hak nafkah isteri yang bekerja, terkait sangat erat dengan izin dan keridhaan suami. Artinya jika suami memberi izin untuknya bekerja atau memperjanjikan isteri tetap bekerja saat akad nikah, maka hal itu tidaklah menggugurkan kewajiban suami memberi nafkah kepadanya. Sehingga dengan demikian, peran isteri mencari nafkah, tidak lantas mengurangi kadar qiwamah/qawwam suaminya, dan konsekuensi hukumnya berlaku sebagaimana mestinya. Oleh karena itu dipandang penting 139
Erfani, Op. Cit, hlm. 13. Ibid, hlm. 11-12
140
64
mempertimbangkan perjanjian nikah meskipun tak tertulis, namun jika diiyakan/diakui oleh kedua belah pihak, maka perjanjian itu dapat dipandang berkekuatan hukum, sebagaimana izin suami untuk isteri bekerja yang patut pula dipertimbangkan. Harus pula dicatat dalam bagian ini, bahwa kendati peran menafkahi yang dilakukan oleh kaum perempuan itu telah mendapat restu secara hukum (izin suami atau alasan syara’ lainnya yang membenarkan) namun peran itu hanya bersifat nisbi, atau hanya memenuhi unsur de facto, sementara dalam koridor status hukum/fikihnya atau unsur de jure, kaum perempuan tidak dapat dinyatakan penafkah/munfiqah, hanya sekadar menjalankan peran saja. Hal ini karena perempuan tidak dibebankan tanggung jawab dan kewajiban secara hukum untuk memberi nafkah. Atau bahwa perempuan tidak dikenai khitab nafkah sehingga perempuan tidak bisa disebut mukallaf dalam hukum nafkah, meskipun dalam kenyataanya banyak perempuan yang sanggup bekerja dan menjalankan peran menafkahi. Artinya ketika nyatanya perempuan tidak melaksanakan peran menafkahi, maka ia tidak dapat dihukumi berdosa dan tidak dapat dituntut.141 Dengan demikian tidak ada halangan bagi seorang muslimah untuk bekerja, menjadi pengusaha, membelanjakan hartanya, melakukan transaksi jual beli dan lain-lain, asal saja dapat menempatkan diri dalam berkarir serta dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang istri terhadap suami, sebagai seorang ibu terhadap anaknya dan memenej ekonomi dalam rumah tangga. Asalkan ketika akan bekerja diluar rumah sudah ada komitmen antara suami dan istri. Dengan
141
Ibid, hlm. 12
65
adanya komitmen yang sudah disepakati oleh suami dan istri maka keduanya akan saling memahami. Sehingga menjadi keluarga yang harmonis dan selalu dilimpahi keberkahan, nikmat dari Allah SWT dan mensyukurinya. Yang terahir, walaupun kewajiban mencari nafkah untuk anak dan istri dibebankan kepada suami, tetapi istri hendaknya dapat membantu memenuhi kebutuhan tersebut, bahkan bila perlu ikut bekerja mancari nafkah. Catatatn penting yang perlu dihayati oleh pasangan suami istri, yaitu betapa besar penghasilan istri jika melebihi penghasilan suami, tidak berarti jika istri berhak mendekte suami sesuai kehendaknya, dan keadaan tersebut tidak boleh membuat suami rendah diri. Dan dalam keadaan yang sama suami tidak berhak memaksa istri untuk membelanjakan penghasilannya untuk kebutuhan rumah tangga.142
142
M. Quraish shihab, Op.Cit, hlm. 194.
66
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Nafkah adalah kewajban seorang laki-laki (suami) sebagi Qawwam bagi istrinya. Nafkah sendiri berarti kewajiban seseorang yang timbul sebagai akibat perbuatannya yang mengandung tanggungan/beban tanggung jawab, berupa pembayaran sejumlah biaya guna memenuhi kebutuhan baik pokok ataupun sekunder terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungan tersebut. Nafkah secara sederhan berupa makanan, minuman, pakaian dan papan. Kadarnya bisa mengikuti kemampuan sipemberi nafkah. Waktu menafkahi dimulai saat selesai akad nikah dan suami sudah bisa menikmati sang istri. Sebab-sebab menafkahi bisa karena hubungan perkawinan, kekerabatan dan terahir sebab kepemilikan. 2. Hak dan kewajiban suami dalam hukum islam telah dibahas dalam dalam Kompilasi Hukum Islam juga undang-undang pernikahan. Hak suami yang kemudian menjadi kewajiban istri meliputi, Dita’ati juga dipelihara kehormatannya,
sedangkan kewajiban saumi meliputi membimbing,
melindungi dan memberikan pendidikan agama pada istri, mencukupi kebutuhan istri berupaka makanan, pakaian, dan tepat kediaman yang dibahas dalam KHI pasal 80 ayat 4 samapi 7, juga dalam KHI pasal 81 pasal 1 smpai 4, kewajiban lainnya adalah memuaskan istri dalam ranah biologis.
67
Sedangkan Hak kewajiban istri dalam hukum islam meliputi, haknya istri yang berupa kebendaan adalah mahar yang diberikan dalam pernikahan, selanjutnya nafkah yang bisa dimanfaatkan setelah terjadinya akad nikah dengan syarat istri dapat dinikmati oleh suami.
Sedangkan hak non-kebendaan berupa
mendapatkan pergaulan yang baik dan patut, didatangi secara Ma’ruf, hal ini bersangkutan dengan relasi seksual suami istri. Selanjutnya pembatasan kelahiran tidak luput menjadi hak seorang istri dalm rumah tangga. Selanjutnya kewajiban istri bisa berkiblat kepada hal yang menjadi hak suami. Hak kewajiban ini juga terdapat hak dan kewajiban bersama antara suami istri, diantaranya
kehalalan
untuk
bersenang-senang,
haramnya
melakukan
perkawinan,hak bisa saling mewarisi, dan hak sahnya menasabkan anak kepada suami. Kewajiban bersama anatara suami istri telah diatur dalam KHI pasal 77 dan pasal 78 serta pasal 33 dalam Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang pernikahan. 3. Pandangan hukum Islam tentang istri yang ikut memenuhi nafkah keluarga tetap diperbolehkan dengan berbagai syarat yang mengikatnya. Pasalnya, sejak zaman Rasulullah terdapat banyak lini pekerjaan yang dipegang oleh perempuan. Syarat fundamental terpenting adalah Ridla dari suami. Dan istri tetap bisa memiliki akses ekonomi untuk dirinya. Harta yang dimiliki adalah hartanya dan tidak bisa dimiliki orang lain. Istri yang ikut menafkahi keluarganya secara ikhlas bisa mendapatkan pahala ganda dari bersadaqah dan bekerja. Istri yang bekerja juga tidak diperkenankan melalaikan tugas dasarnya sebagai pemegang kontrol pekerjaan rumah tangganya. Dan bagi suami, istri 68
yang memiliki pekerjaan meski bisa mencukupi nafkah dirinya sendiri namun, suami tetap berkewajiban memenuhi nafkah istrinya. Kecuali memang tersendat perekonomiannya. Dan sebaliknya istri yang menafkahi suaminya maka nafkah tersebut bisa dihitung sebagai hutang suami terhadap istri dan wajib diganti saat suami sudah memiliki uang, kcuali jika istri sudah benarbenar ridla dengan harta tersebut. Karena sesungguhnya dalam rumah tanggapun diajari untuk saling tolong menolong. B. Saran-Saran 1. Relasi suami istri harus dilakukan dengan kekompakan, keihlasan, dan kesadaran atas hak dan kewajiban masing-masing. Sehingga tidak perlu terjadi berbagai kesalah pahaman yang menimbulkan konflik yang selanjutnya menciptakan ketidak harmonisan keluarga. Kesadaran akan hak dan tanggung jawab inilah yang sangat penting suapaya benar-benar menciptakan tujuan pernikahan yaitu sakinah, mawadah juga rahmah. 2. Alasan Ekonomi dalam keluarga yang seringkali dijadikan alasan perceraian dewasa ini notabenya bisa disiati dengan kerjasama antara suami istri. Istri bisa membantu suami bekerja asalkan tidak melalaikan kewajiban rumah tangganya.
Dalam ikatran perkawinan bisa saja salah seorang pasangan
memiliki kelemahan / kekurangan, dan pasangan yang lain menutupinya dengan kelebihan yang dimiliki. Termasuk secara material. 3. Untuk suami istri perlu sadar bahwa Kehidupan rumah tangga adalah kerja sama suami istri, dalam memikul tanggung jawab pembinaan rumah tangga, 69
tanggung jawab yang didasarkan oleh penghormatan, cinta kasih, kesediaan untuk menerima dan memberti (take and given).
70
Daftar Pustaka
Abu -Zaid, Syaikh Bakar bin Abdullah , Menjaga citra Wanita Islam Jakarta: Darur Haq, 2003. Al Asqalani , Ibn Hajar , Bulughul Maram, Surbaya: Toko Kitab al-Hidayah, t.t Al-Albani, M. 2005.
Nasiruddin Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta: Gema Insani,
Ali, Hafid Usman Qurnaen dan Khariroh, Pandangan Islam Tentang Pencari Nafkah Keluarga, Jakarta: Rahma, 2011. As-Syafi’i, Ibnu ‘Ali At-thamimi al-bakari ar-razi, Tafsir al-Kabir Mafatihul ghaib, Darul kutub ‘ulumiyah: Beirut, 2009. Aziz, Abdul, M. Azam dkk, Fiqih munakahat, (Khitbah, Nikah dan Talak), Jakarta: Amzah, 2009. Basjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1976. . Departemen Agama RI, Al-Quran Dan terjemah Special For Woman, Jakarta: Gema Insani Press, 2007 Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011 Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,1999. Erfani, “Implikasi Nafkah Dalam Konstruksi Hukum Keluarga”, Jurnal, Desember, 2011. Fillah, Salim A. Agar Bidadari Cemburu Padamu. Yogyakarta: Pro-u media, 2006. Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami- Istri, Tela’ah Kitab ‘Uqud Al-Lujjayn , Yogyakarta: LKiS, cet. III, 2003. Ghozali, Adbul Moqsit, Badriyah Fayumi dkk , Tubuh, seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, Yogyakarta: Rahima, 2002 Hadi, Sutrisno, Metodologi Research. Jakarta : Bumi Aksara, 1998.
71
Halim, M. Nipan Abdul, Membahagiakan Suami sejak Malam Pertama, Yogyakarta: Mitra Pustaka, cet III, 2000 Hamid, M. Abdul Halim. Bahagiakan Hati Suami, Solo: Al-Hambra, 2010. Hamid, Muhammad Abdul, Karena kemulyaanmu, Bidadaripun Iri Padamu, Yogyakarta: DIVA Press, 2004. Hasan, M. Iqbal, Pokok – Pokok Metodeologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghlm.ia.Indonesia, 2002. Indra, Hasbi, Potret Wanita Shalihah, Jakarta: penamadani, 2004. Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan bias laki-laki dalam penafsiran, Yogyakarta: LKis, 2003. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: Kesindo Utama, 2010. Mahalli, A. Mujab. Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya.Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2008 Meleong Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Mughniyah, Muhammad Jawal , al- Fiqh ‘ala al- Madzahib al- Khamsah, Terjmah. Masykur A.B, dkk, Jakarta: Pt Lentera Basritama, cet. II, 1996. Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2001. Muhammad, Imam Qodzi Abu Walid bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid, Juz 3, Dar Al-Fikr, t.t. Mujtaba, Saifuddin, Istri Menafkahi Keluarga: Dilema, Perempuan atara Mencari, Menerima, dan Memberi, Surabaya: Pustaka Progresif, 2001. Munti, Ratna Batara, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, Solidaritas Perempuan, 1999. Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. III, 2006. Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhihalil Qur’an, Terjmh. As’ad Yasin, Abdul Aziz, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2001. Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 2004. 72
Ridla, Imam Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Darul kutub ‘ulumiyah: Beirut, 2005. Rohman, Sayyid Abdur bin Muhammad , Bughyatu Al-Mustarsyidin, Surabaya: Hidayah, t.t. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah 7, Terjmh. Mohammad Thalib, Bandung: Al Ma’arif, 1981. Sensus Penduduk 2010. www.suaramerdeka.com/v1/index.php/ (diakses tanggal 19 Oktober 2013) Shihab, M. Quraish Pengantin Al-Quran Kalung Permata Buat Anak-anakku, Jakarta: Lentera Hatu, 2007. Soeharso. Kamus bahasa Indonesia Lengkap. Semarang: Grand media pustaka, 2007. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Rajawali Pers, 1995. Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, cet. VI, 2009. Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan undang-undang perkawinan, Jakarta: Kencana, Cet I, 2006. Thalib, Muhammad, Ketentuan Nafkah Istri dan Anak, Bandung: Irsyad Baitus Salam, Cet. I, 2000. ---, Solusi Islam terhadap Dilema Wanita Karir, Yogyakarta: Wihdah Press, 1999. Yunus, Muhammad. Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1989. ‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. UU RI No. 1 tahun 1974, tentang Perkawinan, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, Cet. I, 2004.
73
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NAMA
: NASEKHUDDIN
NIM
: 129039
TTL
: Jepara, 04 Oktober 1985
ALAMAT
: Ds. Randu Sari, Rt. 03, Rw. 01 Kec.Tahunan Kab. Jepara
RIWAYAT PENDIDIKAN : 1.
MI
2.
MTs
3.
MA
4.
Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UNISNU Jepara Semester X
Demikian riwayat hidup penulis yang dibuat dengan sebenar-benarnya. Jepara, 2014
Nasekhuddin
74