KONSEP INFERIORITY COMPLEX ADLER DAN IMPLIKASINYA PADA JIWA KEAGAMAAN ANAK (TINJAUAN KONSELING KELUARGA ISLAM)
Skripsi
Program Sarjana (S-1) Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)
Oleh NINIK RUYANTI 1101209
FAKULTAS DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008
i
NOTA PEMBIMBING
Lamp Hal
: 5 (Lima) eksemplar : Persetujuan Naskah Skripsi
Kepada; Yth. Bapak Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang Di- Semarang Assalamu’alaikum Wr.Wb Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya, maka kami menyatakan Skripsi Saudara : Nama NIM Fak/ Jur Judul Skripsi
: NINIK RUYANTI : 1101209 : Dakwah/ BPI : KONSEP INFERIORITY COMPLEX ADLER DAN IMPLIKASINYA PADA JIWA KEAGAMAAN ANAK (TINJAUAN KONSELING KELUARGA ISLAM)
Dengan ini telah saya setujui dan mohon agar segera diujikan. Demikian, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang, 09 Januari 2008 Pembimbing, Bidang Metodologi Dan Tata Tulis
Bidang Substansi Materi
Drs. Ali Murtadho, M.Pd NIP. 150 274 618
Baidi Bukhori, S.Ag, M.Si NIP. 150 277 617
Tanggal,
Tanggal,
ii
SKRIPSI KONSEP INFERIORITY COMPLEX ADLER DAN IMLIKASINYA PADA JIWA KEAGAMAAN ANAK (Tinjauan Konseling Keluarga Islam)
Disusun Oleh: Ninik Ruyanti 1101209
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 30 Januari 2008 Dan dinyatakan telah lulus memenuhi syarat
Susunan Dewan Penguji
Ketua Dewan Penguji/
Anggota Penguji
Dekan/ Pembantu Dekan
Penguji I
Hj. Yuyun Affandi, Lc, M.Ai
Dra. Maryatul Qibtyah, M.Pd
NIP.150 254 345
NIP. 150 273 103
Sekretaris Dewan Penguji/
Penguji II
Pembimbing
Baidi Bukhori, S.Ag, M.Si
Drs.H. Sholihan, M.Ag
iii
NIP 150 277 617
NIP. 150 271 978
Motto
⌧
# ” Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan
merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni syurga; mereka kekal di dalamnya” (QS. Hud: 23)#
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah kerja saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga pendidikan lainya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun belum/ tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka.
Semarang. 30 Januari 2008
(Ninik Ruyanti) NIM : 1101209
v
PERSEMBAHAN Dengan penuh keikhlasan, Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Bapakku Sukardi, Disetiap tetesan keringatmu, Sangat berarti dalam hidupku Ibuku Tukinem, Dibawah telapak kakimu, Terdapat kebahagiaan hidupku Kakak serta adikku (Ranto, harti dan Agus), Disetiap langkah-langkahmu, terdapat masa depanku Pengurus Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Kota Semarang (Ibu. Marzuki, Ibu. Fadholi, Ibu. Rozie, Ibu. Hari Mastutik, Bp. Muh. Jazuli) serta adik-adikku (Isma, Sari, Fatimah, Latif, Lia, Siwi, Fani, Khoir dan Adik-adikku semuanya) yang tulus ikhlas mendoakan dan memberikan semangat serta menghibur, semoga Allah selalu melimpahkan Rahmah, Barokah serta Kasih sayang-Nya. Anti’ (Ya Robb, jadikan Anti’ tetap istiqomah hingga akhir, wanita muslimah dan Engkau karunia kepadanya teman yang sejati dan tersholih). Untuk teman-teman yang selalu menemani dalam suka dan duka.
vi
ABSTRAKSI
Kajian pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan dan menggambarkan pola asuh orang tua terhadap perilaku kejiwaan anak. Dua demensi dalam penelitian ini adalah Inferiority Complex (Adler) dan jiwa keagamaan anak. Inferiority Complex bisa terjadi karena tiga hal, menurut Adler yaitu kekurangan dalam organ fisik, anak yang dimanja, dan anak yang mendapat penolakan. Sedangkan jiwa keagamaan meliputi perilaku keagamaan yaitu keyakinan, pengalaman, pengetahuaan, dan konsekuensi agama. Hipotesa yang diajukan dalam penelitian adalah sikap rendah diri (Inferiority Complex) dan aplikasinya pada jiwa keagamaan anak. Sementara itu dalam kerangka deskripsinya terdapat peran penting konseling keluarga Islam dalam upaya peningkatan jiwa keagamaan. Penelitian ini mengunakan metode riset perpustakaan (library research) dengan tehnik analisis deskriptif kualitatif. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode content analysis dan interpretasi data. Hasil penelitian menunujukkan bahwa sikap rendah diri (Inferiority Complex) bila terjadi pada anak dan tidak ditanggani dengan baik dapat mempengaruhi jiwa keagamaannya, bahkan psikisnya. Oleh karena itu sebagai konselor dan orang tua harus berusaha jangan sampai sifat rendah diri (Inferioriy Complex) tumbuh dan berkembang pada anak. Karena hal ini berakibat fatal, dalam perkembangan jiwa serta jiwa keagamaan anak.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Segala puji hanaya kepunyaan Allah, Robb semesta alam, yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Alkhamdulilllahi Rabbil ‘Alamin, penulis ucapkan karena atas ridho serta karunia Allah, skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kehadirat Rasulullah SAW, Keluarga, Sahabat, serta oaring-oarang yang senantiasa istiqomah dijalan-Nya. Dengan kerendahan hati, penulis sampaikan bahwa penyusunan skripsi dengan judul “ KONSEP INFERIORITY COMPLEX ADLER DAN IMPLIKASINYA PADA JIWA KEAGAMAAN ANAK (TINJAUAN KONSELING KELUARGA ISLAM)” tidak akan mungkin terselesaikan tanpa adanya dukungan dan bantuan dari semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perjalanan yang indah dalam penyelesaian skripsi ini, akan lebih berarti dengan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, membimbing serta memotivasi dalam proses ini. Dan sebagai rasa terima kasih, penulis ucapkan kepada : 1. Prof.Dr.H. Abdul Jamil,M.A selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Drs.H.M. Zain Yusuf, M.M. selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. 3. Drs. Ali Murtadho, M.Pd. dan Baidi Bukhori, S.Ag, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia dan sabar membimbing serta mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.
viii
4. Drs. Komarudin, M.Ag. selaku wali studi, dan Bapak Ibu dosen serta Staf Akademik dan Administrasi Fakultas Dakwah yang telah membimbing dan membekali ilmu pengetahuan dan ketrampilan serta membantu kelancaran selama kuliah. 5. Bapak, Ibu, Kakak dan adikku tercinta yang tak pernah putus-putus mendoakan ananda (penulis), sehingga terasa lapang dada dalam menyelesaikan studi. 6. Teman-teman seperjuangan (Fitri, Opic, Farid, Anna, Isti, Dars, Ita, Ima, M’ Sri, M’ Fadil, M’ Mulia, Pak Zanuar, Akhi Efendi, Syaiful, Zul, Iyan dllnya), yang telah memberikan semangat serta membuat penulis merasakan betapa indahnya ukhuwah yang terjalin karena-Nya. 7. Sahabat-sahabatku (Ria, Fani, Nurul, Sikha, Ayu, Alimah, Ningrum, Atik, Nasikha serta teman-teman BPI 2001) dan semua pihak terima kasih atas doa dan motivasinya. Kepada
semuanya, penulis mengucapkan terimakasih disertai doa semoga segala
kebaikannya diterima sebagai amal sholih dan mendapatkan balasan berlipat dari-Nya. Serta proses yang selama ini penulis alami semoga bermanfaat sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari penyempurnaan baik segi substansi, bahasa, analisa maupun yang lainnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran serta kritik yang konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini. Semarang,
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ……………………………………………… ii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………………iii HALAMAN MOTTO ……... …………………………………………………………iv HALAMAN PERNYATAAN ……...………………………………………………..v HALAMAN PERSEMBAHAN ...………………………………………………… .vi ABTRAKSI ……………………... …………………………………………………..vii HALAMAN KATA PENGANTAR ….………………………………………...…viii HALAMAN DAFTAR ISI …………………………………………………………..x Bab I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang …………………………..…………………………………...1 1.2 Perumusan Masalah ………………………………………………………...13 1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian …………………………………14 1.4 Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………15 1.5 Kerangka Teori …………………………………………………………......16 1.6 Metode Penelitian …………………………………………………………..19 1.6.1. Jenis dan Pendekatan ……………………………………………..19 1.6.2. Metode Analisis Data …………………………………………….20 1.7 Sistematika Penulisan ……………………………………………………….21
x
Bab II. Gangguan Jiwa, Jiwa keagamaan anak Dan Konseling Keluarga Islam ……….24 2.1.
Pengertian jiwa keagamaan anak ……………………………………….24 2.1.1. Pengertian anak ………………………………………….............24 2.1.2. Fase-fase perkembangan Anak ……………..…………………...28 2.1.3. Jiwa Perkembangan Anak ……………………………………….31
2.2.
a.
Perkembangan jiwa keagamaan pada anak …...………...31
b.
Fase-fase dalam perkembangan jiwa keagamaan anak.…32
Konseling Keluarga Islam ……………………………………………....34 2.2.1. Pengertian konseling keluarga Islam …………………………...34 2.2.2. Asas-asas konseling keluarga Islam …………………………….36 2.2.3. Fungsi dan tujuan konseling keluarga Islam ….……………….. 40
Bab. III. Adler, Biografi Dan Konsep Tentang Inferiority Complex …………………..43 3.1
3.2
Sejarah singkat Adler ....……………………………………………………43 3.1.1
Biografi ……...………………………………………………….43
3.1.2
Karier Adler …………………………………………………….44
Konsep Psikologi Individual Adler tentang Inferiority Complex ……..…...45 3.2.1
Diognosa dan Terapi Adler ………………………..…………….51
Bab.IV. Analisis Konsep Inferiority Complex Adler dan Implikasinya pada Jiwa Keagamaan anak di tinjauan dari Konseling Keluarga Islam ………………...53 4.1
Inferiority complex dalam pandangan Islam dan penanganannya ……..…..53 xi
4.2
Implikasinya konsep inferioriy complex Adler dalam jiwa keagamaan anak ………...….……...……………………………………………………62
4.3
Analisisis konseling keluarga Islam terhadap konsep inferiority complex Adler dan implikasinya pada jiwa keagamaan anak ……..…...…………....64
Bab V. Penutup …………………………………………………………………………77 5.1
Kesimpulan ... …..…………...……....………………………………………77
5.2
Saran-saran …………...……………..………………………………………78
5.3
Kata Penutup …………………...……………..……………………………..79
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………...80
xii
BAB. I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Rasa malu sering kali menimbulkan hal yang tidak mengenakkan pada diri seseorang lebih-lebih mentalitas rendah diri, yang memunculkan derita yang lebih mendalam. Mengatasi masalah rendah diri akan terasa jauh lebih sulit bila masalah tersebut sudah tumbuh dan berkembang sejak masa kanak-kanak. Dalam kebanyakan kasus, hal tersebut terjadi disebabkan oleh kedua orang tua, yang tanpa mereka sadari, lalu mempengarui kejiwaan anak ketika ia tumbuh dewasa (Khalfan, 2004: 37-38). Islam mengakui bahwa anak adalah sebagai salah satu sumber harapan dan hiasan hidup yang menjadi penerus cita-cita orang tua dan pendahulunya. Setiap manusia oleh Allah SWT telah dibekali dengan fitrahnya, begitu pula seorang anak. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ar-Ruum: 30, yang artinya “ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu…”(Depag,1996:325). Di samping itu, Islam juga menegaskan bahwasanya anak adalah amanat Allah SWT, yang harus dipertanggung jawabkan atas perkembangan kepribadiannya (Hallen, 2002:15). Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu pengarahan dan bimbingan pada masa tersebut sangat membekas dalam peri kehidupan pada masa mendatang, begitu juga perlakuan-
1
perlakuan orang tua ataupun orang-orang dewasa baik itu perlakuan yang baik maupun perlakuan yang kurang baik. Seorang anak bisa saja dibentuk menjadi generasi yang baik, berakhlaqul karimah, dan mudah berinteraksi dengan lingkungan. Anak pada akhirnya mampu melaksanakan perannya dengan baik dan dapat mengembangkan potensi yang ia miliki. Seorang anak bisa pula menjadi generasi pembangkang yang tidak peduli dengan sekitarnya, bila seorang anak tidak mendapat kasih sayang yang ia inginkan. Seorang anak yang mempunyai gejala rendah diri ditambah lagi tidak diperhatikan oleh orang tuanya, tetapi orang tua malah membiarkan sikap itu berkembang dalam diri anak, maka perkembangan jiwa anak akan mengalami ketidak stabilan. Islam juga menegaskan bahwa cinta dan kasih sayang sebagai prinsip dasar seluruh hubungan kemanusiaan. Kasih sayang adalah suatu aturan komprehensif bagi hubungan-hubungan kemanusian. Islam memandangnya sebagai tali penghubung segenap manusia di bumi, apakah mereka berhubungan secara pribadi karena ikatan-ikatan keluarga atau karena perjumpaan dalam masyarakat kecil atau besar bahkan dalam masyarakat manusia secara universal (Zahrah, 1994 : 47). Seorang anak akan mempunyai jiwa yang tangguh, sehat jika mampu mengamalkan ajaran Islam baik dalam akidah, ibadah, perilaku maupun pergaulan.
Perilaku
tidak
akan
terwujud
tanpa
adanya
tauladan
dari
lingkungannya. Ketauladanan itu dapat berupa taat kepada Allah SWT dan RasulNya yang diwujudkan dalam perilaku islami dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu menyangkut persoalan pembiasaan dalam bertingkah laku sebagai dasar
2
pembentukan generasi muslim yang berpegang teguh pada agama Allah SWT. Untuk mewujudkan kesemuanya itu, maka penting bagi orang tua untuk memanfaatkan masa kanak-kanak sebaik mungkin. Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa-masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0-12 tahun. Seorang anak yang pada masa itu tidak mendapat didikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung kepada sikap negatif terhadap agama (Daradjat, 1976: 74). Namun nampaknya tidak semua orang tua dan juga orang dewasa mampu memahami akan persoalan tersebut. Kondisi semacam ini ditinjau dari perspektif bimbingan konseling Islam jelas bertentangan dengan idealitas ciri individu yang menjadi tujuan utamanya dalam memberikan bantuan psikologis, yaitu terbentuknya sosok individu yang hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah SWT (Faqih, 2001: 4). Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga, umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang aktif. Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarga dan sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan kepada anak. Lindigerr dalam Kartono (1992:25), mengatakan bahwa “Seorang anak yang diperlakukan dengan kasih sayang oleh orang tuanya dan mencintai orang tuanya akan menghasilkan suatu hubungan yang penuh kasih sayang dalam lingkungannya,
3
anak akan memupuk sikap ini selama hidupnya”. Oleh karena itu menjadi semacam tuntunan bagi para konselor Islam untuk mampu memberikan solusi konkrit terhadap persoalan tersebut Psikologi Individual atau Individual Psychology adalah salah satu pendekatan konseling. Teori ini dikembangkan oleh Alfred Adler, sebagai suatu sistem yang komparatif dalam memahami individu kaitannya dengan lingkungan sosial. Konsep pokok atau konstruk utama psikologi individual adalah bahwa perilaku manusia dipandang sebagai suatu kompensasi terhadap perasaan inferioritas (harga diri kurang). Perasaan lemah dan tak berdaya timbul dan berkembang karena pengalaman hidup anak bersama orang dewasa atau pandangan kekurangan dalam organ tubuh. Manusia dikuasai oleh perasaan banyak kekurangan dan tidak sempurna. Oleh karena itu mereka mereaksi terhadap perasaan tidak senang itu dengan mencari kesempurnaan, kebebasan, dan keunggulan. Adler mengunakan istilah inferiority complex untuk mengambarkan keadaan perasaan harga diri kurang yang senantiasa mendorong individu untuk kompensasi mencapai keunggulan perilaku yang merupakan suatu upaya untuk mencapai keseimbangan (Surya, 2003: 51). Adler memperoleh inspirasi tentang psikology individual serta inferiority complex dari pengalaman hidupnya serta cerita sosok seseorang yang sukses, tapi dimasa kecilnya dia sering sakit-sakitan. Orang itu adalah Theodore Roosevelt. Theodore sejak bayi tidak terlalu sehat pada awalnya. Dia mengidap penyakit asma, yang mudah terserang flu, sering batuk dan sesak nafas serta sering sakit-sakitan. Tubuhnya kecil, kurus, dan
4
suaranya lemah tetap begitu sampai dewasa. Karena kondisinya yang seperti ini, dia terpaksa sering berbaring di ranjang daripada bermain di luar rumah. Tidak jarang dia mengalami koma karena kehabisan oksigen. Setelah dia tidak diperbolehkan terlalu bermain di luar rumah, dia beralih ke buku, yang kemudian menjadi kekuatan dalam hidupnya. Theodore sakit-sakitan, namun punya keinginan untuk hidup. Dari semangat tersebut, maka dia menjadi sehat. Di masamasa selajutnya, dia menjadi anggota dewan New York yang sukses, koboi North Dacota, kepala polisi New York, Asisten Sekretaris AL, Letkol “Rough Riders”, Gubernur New York, dan penulis terkenal. Semua itu dicapainya sebelum berusia 40 tahun. Ketika Presiden William Mckinley meninggal pada tahun 1901, Dia menjadi presiden termuda dalam sejarah Amerika. Dari kisah tersebut maka, Adler mempunyai pertanyaan-pertanyaan, bagaimana bisa orang yang sakitsakitan berubah menjadi sosok yang sehat, segar bugar dan sukses? Kenapa sebagaian anak, sehat atau tidak, bisa berhasil sementara sebagaian lainnya gagal? Apakah keinginan dan semangatlah yang membuat Theodore Roosevelt istimewa, atau ada hal lain yang tersembunyi di dalam diri kita masing-masing? Pertanyaan–pertanyaan seperti inilah yang mengugah perhatian seorang fisikawan Wina bernama Alfred Adler dan kemudian mendorong dia mengembangkan teorinya yang di sebut Psikologi Individual (Boeree,2006:145-147). Kisah Theodore hampir sama dengan dengan Adler, Adler juga sering sakit-sakitan sehingga dia baru bisa berjalan pada usia 4 tahun, ketika berusia 5 tahun dia nyaris tewas akibat pneumonia. Pada usia inilah dia memutuskan untuk jadi seorang fisikawan. Ketika sekolah, Alfred adalah seorang anak dengan
5
kemampuan rata-rata dan menyenangi permainan di luar ruangan ketimbang berkurung di ruang kelas. Dia sering keluar rumah, dikenal luas oleh temantemannya dan aktif. Dia memulai kariernya sebagai seorang optamologis (opthamologost), tapi kemudian beralih pada praktik umum biasa dan membuka praktik di daerah kelas bawah di Wina, sebuah tempat percampuran antara taman bermain dan sirkus. Klien-klinnya termasuk anggota kelompok sirkus. Kekuatan dan kelemahan para pemain sirkus inilah yang membuatnya bisa mencetuskan konsepnya tentang infeioritas organ dan kompensasinya. Kemudian dia pada tahun 1907 beralih pada psikiatri (Boeree,2006: 148) Adler mengemukakan bahwa bentuk inferioritas yang lebih umum, yakni inferiority anak-anak. Karena secara alamiah anak-anak adalah makhluk kecil lemah tidak memiliki kemampuan sosial dan intelektual dibandingkan dengan orang-orang dewasa yang ada di sekitar mereka. Adler juga mengatakan bahwa kalau kita perhatikan permainan anak-anak dan fantasi-fantasi mereka, akan terlihat kesamaan yang mereka miliki, yaitu keinginan untuk cepat tumbuh dan besar. Pendek kata untuk jadi orang dewasa. Kompensasi seperti ini sangat mirip dengan perasaan bahwa orang lain selalu lebih baik dari pada mereka. Kejadian anak bukanlah kehendak dari seseorang atau semua manusia, apalagi diri anak itu sendiri. Bahkan tak seorangpun pernah mengetahui atau menginginkan akan kejadiannya. Akan tetapi anak itu ada tidak lain adalah karena kehendak Allah semata, yang menciptakan semua manusia serta segala sesuatu yang ada. Adapun pandangan terhadap anak sering ditentukan oleh cara seseorang dalam mengajar dan mengasuh mereka (Mansur, 2005:1). Anak, sebuah kata yang
6
mengingatkan seseorang pada sosok yang lucu, mungil dan menggemaskan dalam segala tingkah lakunya, sebuah kata yang kehadirannya didambakan oleh sebuah keluarga yang mengerti hakekat dibentuknya keluarga tersebut baik dia keluarga muslim maupun non muslim. Anak dalam keluarga merupakan investasi bagi orang tuanya. Pandangan anak sebagai investasi telah ada sejak abad pertengahan. Banyak orang tua mempunyai pandangan, setelah mereka tua atau meninggal dunia, maka anak adalah penggantinya (Mansur,2005: 8). Anak juga sebagai perhiasan hidup di dunia, sebagaimana firman Allah dalam Q.S.Ali Imron :14, yang artinya “ Dijadikan indah pada pandanganmu kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu wanita, anak-anak.” Jadi memang sudah fitrah, kalau orang tua itu cinta pada anaknya. Jangankan orang tua, orang lain yang tidak kenalpun akan senang bila melihat seorang anak yang manis (‘Allam, tth: 75). Anak selain sebagai investasi bagi orang tuanya, anak juga merupakan generasi penerus baik di dalam keluarga, sekolah, agama, bangsa dan negara. Dengan hadirnya anak, maka orangtua merasa ada pihak yang akan meneruskan garis keturunanya. Garis keturunnya tidak akan terputus dan kelangsungan hidup manusia pada umumnya akan lebih terjamin. Sebagai orang tua muslim, tentu menyadari betul akan pentingnya garis keturunan. Dengan berlangsungnya garis keturunan, berarti lebih bisa diharapkan kemuslimannya akan berlangsung terus. Anak keturunannya lebih bisa diharapkan menjadi generasi penerus perjuangan dalam menegakkan kalimat al-haqq. Di samping itu, setiap orang tua tentu menyadari betul bahwa anak adalah pelestari pahala. Jika anak tumbuh dewasa
7
menjadi generasi yang saleh, maka anak dapat mengalirkan pahala walaupun orang tua telah meninggal dunia. Dalam GBHN tahun 1999-2004 telah dijelaskan pula bahwa anak merupakan generasi penerus bangsa dan sumber insan bagi pembangunan nasional, maka harus diperhatikan dan dibina sedini mungkin agar menjadi insan yang berkualitas dan berguna bagi bangsa.
Sebagai orang tua, haruslah
mempunyai tujuan dan berikhtiar agar anak di masa depan mempunyai kualitas yang lebih tinggi daripada orang tua, minimal sejajar atau sama dengan orang tuanya. Dengan demikian orang tua akan mempersiapkan anak sejak dini agar menjadi manusia unggul (Mansur, 2005: 10). Anak dalam agama adalah amanah dari Allah. Pada dasarnya seorang anak bukanlah milik orang tuanya. Ia adalah milik Allah yang dititipkan kepada orang tuanya, sebagaimana kalau seseorang diberi amanah barang orang lain untuk dirawat, maka barang tersebut harus dirawat sebaik-baiknya sampai pemiliknya mengambilnya. Begitu juga dengan anak, anak diamanahkan kepada orang tua dalam keadaan fitrah, bertauhid, maka harus dirawat dengan cara yang baik yaitu dengan memberinya pendidikan Islam, agar bila suatu saat diambil pemiliknya, ia kembali dalam keadaan fitrahnya pula yaitu ber-Islam. Karena anak adalah amanah yang harus ditanggungjawabkan pada pemiliknya, maka orang tua harus bisa mendidiknya dengan baik, dan membina mental serta jiwanya dengan baik pula. Jangan sampai anak mengalami perasaan rendah diri. Seorang individu dengan perasaan rendah dirinya yang kuat akan tampak patuh, tenang dapat dikendalikan. Sifat inferior dapat dinyatakan dalam ribuan
8
cara. Pada dasarnya setiap orang menderita keinferioran, tetapi berbeda-beda bentuknya. Dari perbedaan tersebut, mereka berusaha untuk menutupi kelemahankelemahannya dengan berbagai cara. Mereka ada yang berhasil ada pula yang gagal dalam mengatasi kelemahan-kelemahan yang mereka alami. Karena kelemahan tersebut, ada orang yang tidak mampu mengembangkan sisi baik apapun dalam keadaan seperti ini. Akan memprihatinkan lagi kalau hal ini dialami oleh seorang anak. Rasa rendah diri merupakan kondisi yang menghantui sebagian anak, karena cacat fisik, penyakit, faktor-faktor pendidikan atau faktor ekonomi. Gejala ini merupakan gejala psikis yang paling membahayakan yang membelenggu anak-anak, menyelewengkannya, dan yang akan menyebabkannya hina, menderita, dan jahat (Ulwan, 1996: 125). Secara normatif anak yang mengalami gejala rendah diri akan mempengaruhi keadaan psikologisnya atau kejiwaannya di antaranya akhlaq, tatakrama maupun budi pekertinya. Munculnya perasaan rendah diri pada serbagian anak, antara lain karena adanya cercaan atau hinaan, bahkan merupakan faktor terbesar yang memperkuat rasa rendah diri pada anak kecil. Betapa sering kita dengar seorang ibu atau bapak mengejek anaknya yang berbuat menyimpang untuk pertama kalinya dari tata krama dan akhlak yang mulia. Misalnya ia pernah berdusta sekali, lantas selamanya dijuluki si anak pendusta. Jika sekali ia menampar adiknya, lantas ia juluki si galak. Jika ia merampas buah apel yang dipegang adiknya perempuan sekali saja, lalu disebut si perampas. Jika ia mengambil sekali saja pena dari kantung ayahnya, lalu ia selalu dipanggil si pencuri. Dengan cara-cara inilah kita sering kali mengejek anak di
9
depan saudara-saudaranya, di depan keluarga, hanya karena kesalahan satu kali. Tidak diragukan lagi hal itu akan menjadikan anak merasa dirinya dihina, direndahkan, tidak dihargai, dan dikucilkan, hal ini pula yang akan melahirkan pada jiwanya cacat mental sehingga ia bersifat sinis, dengki, dan penuh prasangka negatif terhadap orang lain sehingga cenderung mengucilkan diri dari pergaulan, dan pada akhirnya akan melalaikan tanggung jawab (Ulwan, 1996: 126). Dari sini dapat diambil hikmah bahwa bilamana anak memiliki sikap yang seperti itu berarti menurut pandangan agama anak tersebut memiliki akhlaq yang kurang baik. Anak yang mempunyai perasaan rendah diri akan mempunyai ekspresi yang berbeda-beda dalam menyikapi suatu kejadian. Contoh, ada tiga orang anak yang diajak ke kebun binatang untuk pertama kalinya. Ketika mereka berdiri di hadapan kandang singa, salah satu dari mereka bersembunyi dibelakang rok ibunya dan berkata, “ Aku ingin pulang”. Anak yang kedua berdiri di tempatnya, dia terlihat mengigil dan sangat pucat, dan berkata,” Aku sama sekali tidak takut.” anak yang ketiga membelalakkan mata pada singa dengan ganas dan bertanya pada ibunya, “ Haruskah aku meludahinya? “ Ketiga anak-anak itu benar-benar merasa inferior, tetapi masing-masing menyatakan perasaannya dengan cara tersendiri, sesuai dengan gaya hidupnya”(Adler,2004: 60). Contoh yang lain ketika anak pulang ke rumah dalam keadaan mengerutu, lalu disentuh tangannya sebagai tanda kepedulian dan kasih sayang, maksudnya agar ia berkenan berbicara. Ternyata hal tersebut malah memperburuk situasi.
10
Alasan yang tepat untuk menjelaskan hal ini mungkin pas, mungkin tidak adalah adanya inferiority complex pada diri si anak. Ternyata sejumlah langkah kehati-hatian harus diambil oleh para orang tua agar tidak memperbesar masalah psikologis perasaan rendah diri yang ada pada diri anak. Hal yang paling penting, hendaknya para orang tua atau anggota keluarga tidak menunjukkan perilaku menyinggung yang menyakitkan (atau marah) terhadap perilaku keliru si anak, misalnya mengenai penampilan fisiknya. Tindakan tersebut merupakan perilaku yang kejam bila kemarahan tersebut dilakukan oleh ayah terhadap anak perempuannya, dan akan jauh lebih buruk bila kemarahan tersebut dilakukan pada saat saudara-saudara atau teman-temannya juga berada di tempat tersebut dan melihatnya dimarahi. Seorang anak yang menderita ketersinggungan dari kedua orang tuanya, disaat ia berjumpa dengan rekan-rekannya di sekolah, ia akan berperilaku suka membanding-bandingkan barang-barang miliknya dengan barang-barang milik rekannya yang lain, seperti pensil warna, buku-buku dengan sampul yang mengkilap, dan bahkan mainan yang dibawa secara diam-diam dari rumah (Khalfan, 2004: 51). Pada era sekarang, memang tidak dapat dipungkiri. Karena kesibukan dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Tidak sedikit orang tua yang kurang dalam memperhatikan perkembangan jiwa apalagi jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan anak kadang dikesampingkan, walaupun memang secara formal mereka telah sekolah di pendidikan formal. Dalam lingkungan masyarakat dapat diperhatikan, bagaimana para orang tua mendidik anak dalam keseharian, bahkan di dalam lingkungan yang paling kecil saja yaitu keluarga. Ada karena sayangnya
11
pada anak dan juga karena secara ekonomi kecukupan, maka anak diperlakukan dengan manja dari dini. Sehingga karena dimanjanya anak tidak bisa mandiri, bahkan anak takut bila mau melakukan sesuatu baik itu di rumah, di sekolah maupun saat bermain dengan teman-temannya. Sehingga anak mengalami gejala rasa rendah diri, merasa dirinya kurang. Begitu juga hinaan dan cercaan. Hinaan dan cercaan merupakan faktor terburuk yang menyebabkan penyimpangan jiwa anak, bahkan merupakan faktor terbesar yang memperkuat rasa rendah diri (Ulwan,1996:125). Fenomena menghina dan mencerca khususnya pada anak, sekarang ini sering terdengar, baik di sekolah, di lingkungan masyarakat bahkan di dalam keluarga. Contoh, ketika anak belajar dan si anak mengalami kesulitan karena dia kurang menguasai pelajaran yang baru ia terima di sekolah, lalu bapak /ibu mencoba untuk menerangkan kembali, tapi ia tidak paham-paham yang akhirnya membuat bapak/ ibu emosi dan kesal. Kemudian bapak/ ibu menghinanya dengan perkataan “dasar bodoh”. Dengan hinaan dan cercaan tersebut
bapak/ ibu
sebenarnya telah membuatnya merasa rendah, apalagi kalau kata-kata itu sering diucapkan. Sebagai orang tua seharusnya bisa berusaha memahami perasaan anak, apalagi era sekarang. Harus lebih hati-hati dalam menyikapi sikap anak. Mempunyai anak yang saleh merupakan bagian dari cita-cita setiap orang tua. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka orang tua haruslah mendidik anakanaknya dengan baik. Terutama ditanamkan nilai-nilai Islam, sebab Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin dan merupakan diin kaffah yang memuat pula ajaran-ajaran tentang cara mengasuh anak, bagaimana mendidik
12
anak yang baik agar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, baik fisik maupun jiwanya, jasad dan juga rukhiyahnya. Dari fenomena inilah sebagai orang tua, konselor dan juga da’i mempunyai urgensi untuk membantu, membimbing dan mengatasi gejala perasaan rendah diri sedini mungkin, terutama saat kanak-kanak. Dari latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang ”Konsep Inferiority Complex Adler dan Implikasinya pada jiwa keagamaan anak” dengan Tinjauan Konseling Keluarga Islami.
1.2. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka skripsi ini mengangat dua pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep Inferiority Complex pada anak menurut Adler? 2. Bagaimana implikasi konsep Inferiority Complex (Adler)
pada jiwa
keagamaan anak ditinjau dari konseling keluarga Islam?
1.3. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk menjelaskan konsep Inferiority Complex Adler. 2. Untuk menjelaskan implikasi konsep inferiority complex Adler pada jiwa keagamaan anak ditinjau dari konseling keluarga Islam.
13
1.4. MANFAAT PENELITIAN 1. Secara teoritis penelitian berjudul “Konsep Inferiority Complex (Adler) dan implikasinya pada Jiwa Keagamaan Anak (Tinjauan Konseling Keluarga Islam)” merupakan usaha perkembangan sekaligus menambah dan memperkaya konsep konseling keluarga Islam sebagai salah satu pelayanan konseling keluarga Islam, sehingga hasilnya memungkinkan untuk dapat direalisasikan. 2. Secara praktis penelitian ini, menawarkan sebuah metode kepada para konselor pada umumnya, dan kepada orang tua pada khususnya dalam membimbing dan mengarahkan anak. Konsep tersebut sekaligus dapat dijadikan sebagai solusi preventif dan solusi kuratif dalam menanggani tumbuh kembang anak yang agar sesuai dengan tuntunan Islam.
1.5. TINJAUAN PUSTAKA Beberapa penelitian yang mempunyai relevansi dengan judul ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian Zamralita dan Ninawati, yang berjudul “Perasaan Inferioritas Pada Remaja Cacat Fisik Dan Kompensasinya” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perasaan inferioritas yang dimiliki oleh remaja penyandang cacat fisik, cenderung mengalami perasaan inferioritas dan memiliki karakteristik tertentu, seperti suka menyendiri, merasa tidak berarti, merasa tidak berguna dan seringkali merasa stres atau putus asa apalagi tidak dapat melakukan hal yang diinginkannya. Penelitian ini
14
berdasarkan teori the inferiority feeling menurut Alfred Adler (1964). Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih enam bulan. Dengan mengunakan metode kualitatif. Hasil penelitian terhadap 4 remaja penyandang tuna daksa yang berusia antara 12-23 tahun, menunjukkan bahwa penyandang cacat fisik memiliki perasaan inferioritas dan melakukan kompensasi sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing remaja yang melakukan kompensasi (www.psikologi. untar.Com [18-09-2007]) 2. Buku karya Moh. A.Khalfan (2001, Pustaka Firdaus) yang berjudul “Anakku Bahagia Anakku Sukses” (Panduan Islami Bagi Orang Tua Dalam Membesarkan Anak) yang membahas tentang peran orang tua dalam membesarkan anak bahwa membesarkan anak tidaklah cukup dengan sekedar memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya saja, tapi para orang tua juga harus memperhatikan pertumbuhan mental anak. Sehingga diharapkan anak nantinya akan mampu mengarungi kehidupan ini sendiri karena orang tua tidak akan selalu menyertainya. Dari penelitian tersebut maka perbedaannya dengan yang berjudul “Konsep Inferiority Complex (Adler) dan Implikasinya pada jiwa keagamaan anak” (Tinjauan Konseling Keluarga Islam), ini akan mengaji tentang salah satu dampak rasa rendah diri (Inferiority Complex) dengan tinjauan konseling keluarga Islam pada jiwa keagamanan pada anak.
15
1.6. KERANGKA TEORI Inferiority Complex (rasa rendah diri) merupakan perasaan harga diri rendah yang terdapat pada seseorang. Perasaan ini menyebabkan ia selalu menjauhkan diri dari orang lain, perasaan ini disebabkan oleh pendidikan yang salah pada masa kanak-kanaknya (Qohar, dkk: 109). Rasa rendah diri merupakan kondisi psikis yang menghantui sebagian anak karena cacat fisik, penyakit, faktor-faktor pendidikan, atau karena faktor ekonomi. Gejala-gejala ini merupakan gejala psikis yang paling membahayakan yang membelenggu anak-anak, menyewengkannya, dan yang akan menyebabkannya hina, menderita, dan jahat (Ulwan,1996: 125). Perasaan inferior muncul karena suatu masalah di mana tidak beradaptasi dengan baik, dan mengekspresikan pendiriannya di mana dia tidak mampu untuk mengatasi masalah itu. Selama perasaan rendah diri selalu menghasilkan ketegangan, akan selalu ada gerakkan pengimbang yang menunjukkan perasaan superior, tetapi hal itu tak akan lagi diarahkan untuk memecahkan perasaan rendah diri. Gerakan menuju keunggulan kemudian akan mengarah pada sisi kehidupan yang tidak berguna. Masalah yang nyata akan ditangguhkan atau dikeluarkan. Individu akan mencoba membatasi tindakannya dan akan menjadi lebih sibuk dalam menghindari kekalahan dibanding mendesak maju untuk sukses. Ia akan memberi gambaran keragu-raguan, keadaan yang berhenti sama sekali, atau bahkan kemunduran (Adler, 2004:62).
16
jiwa keagamaan anak adalah suatu proses perbuatan keagamaan pada jiwa atau mental anak. Agama masuk ke dalam pribadi anak bersamaan dengan pertumbuhan pribadinya, yaitu sejak lahir, bahkan lebih dari itu yaitu sejak dalam kandungan. Si anak mulai mengenal Allah melalui orang tua dan lingkungan keluarganya. Hubungan anak dengan orang tuanya mempunyai pengaruh dalam perkembangan agama anak (Darajat, 1970: 75). Pada usia 4 sampai 5 tahun merupakan bagian yang paling kritis dalam perkembangan hidup manusia, tidak hanya perkembangan fisik, tetapi juga bentuk-bentuk perkembangan pribadi serta aktualisasi kemampuan belajar di mulai. Perkembangan pribadi serta berbagai kemungkinan atau kesempatan belajar yang tersedia akan menunjang perkembangan intelektual yang di bawa lahir atau yang diwarisi anak. Ada dua pilihan yang dapat ditempuh yaitu mempersiapkan pertumbuhan dengan baik ataukah membiarkan pertumbuhan terjadinya secara alamiah. Terjadinya perkembangan dengan baik atau hilangnya potensi pada anak akan sangat bergantung pada usaha yang dilakukan pada usia pembentukan potensi anak (Semiawan, dkk, 1995: 39). Konseling pada dasarnya adalah suatu aktivitas pemberian nasehat dengan atau berupa anjuran-anjuran dan saran-saran dalam bentuk pembicaraan yang komunikatif antara konselor dan klien/konseli, yang mana konseling datang dari pihak klien yang disebabkan karena ketidaktahuan atau kurangnya pengetahuan sehingga ia memohon
17
pertolongan kepada konselor agar dapat memberikan bimbingan dengan metode-metode psikologis dalam upaya mengembangkan kualitas kepribadian yang tangguh, mengembangkan kualitas kesehatan mental, mengembangkan perilaku-perilaku yang lebih efektif pada diri individu dan lingkungan, serta menanggulangi problema hidup dan kehidupan secara mandiri (Bakran, 2002:180). Teori-teori yang digunakan dalam konseling Islam adalah AlHikmah, Al-Mau’izhoh Al-Hasanah dan Mujadalah yang baik. Yang dimaksud dengan teori konseling dalam Islam adalah landasan berbijak yang benar tentang bagaimana proses konseling itu dapat berlangsung baik dan menghasilkan perubahan-perubahan positif pada klien mengenai cara dan paradigma berfikir, cara mengunakan potensi nurani, cara berperasaan, cara berkeyakinan dan cara bertingkah laku bersadarkan AlQur’an dan As-Sunnah (Bakran, 2002: 190). Dari kerangka teori tersebut yaitu teori Adler mengenai inferiority complex (rasa rendah diri), yang dapat menyebabkan seseorang merasa dirinya rendah di hadapan orang lain, sehingga mereka mencari kompensasi untuk mendapatkan pengakuan atau harga diri. Dan perasaan ini akan membawa dampak yang fatal jika terjadi pada anak-anak, karena anak masih dalam masa perkembangan baik fisik maupun jiwa. Oleh karena itu, orang tua, konselor, da’i serta lingkungan mempunyai tugas yang tidak ringan, dalam pengembangan jiwa keagamaan untuk anak, karena sikap dan jiwa si anak untuk keagamanya
18
itu tergantung pada pengalamannya pada waktu masih kanak-kanak. Maka sekarang saatnya untuk bisa memberikan yang terbaik bagi anak-anak, menjaga perasaannya sehingga jiwa keagamaan mereka dapat berkembang dengan baik.
1.6. METODE PENELITIAN 1.6.1. Jenis dan pendekatan penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yakni penelitian yang menghasilkan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati ( Moleong, 2001: 3 ). Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Psikologis. Dengan pendekatan ini dapat diketahui keadaan psikologi anak, dengan segala perasaannya yang ada dalam dirinya sehingga diharapkan anak dapat hidup sebagaimana mestinya. Metode penelitian merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam penelitian. Hal ini disebabkan berhasil/ tidaknya suatu penelitian itu ditentukan oleh metode yang di gunakan. 1. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data akan dilakukan dengan jalan penelitian library research yaitu suatu riset kepustakaan dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis (Hadi, 1997: 9).
19
Sedangkan yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dimana data diperlukan (Arikunto, 2002: 107). Untuk memperjelas sumber data, maka perlu dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah data yang langsung dikumpulkan dari sumber pertamanya (Suryabrata, 1995: 85). Sumber data ini diambil dari pendapat Alfred Adler tentang Inferiority Complex ( Rasa rendah diri) dalam
bukunya
yang
sudah
diterjemahkan
oleh
Mely
Septiani dalam bahasa Indonesia yang berjudul “What Life Should Mean To You, Jadikan Hidup Lebih Bermakna” b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber pendukung untuk memperjelas sumber data primer berupa data kepustakaan yang berkorelasi kerap dengan pembahasan obyek penelitian (Moleong, 1998: 114). Sumber data ini dapat berupa buku, majalah, dan artikel yang dapat di akses dari internet, ataupun karya ilmiah lain yang sesuai dengan tema yang diangkat.
1.6.2. Metode Analisis Data Metode analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis hasil catatan observasi untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikan sebagai temuan dari orang lain,
20
sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari makna (Muhajir, 1998: 104). Dalam menganalisa data yang sudah terkumpul, digunakan beberapa metode guna menyelesaikan pembahasan penelitian ini, di antaranya: a. Interpretasi Data Metode interprestasi data adalah menyelami isi buku dengan setepat mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna uraian yang disajikan (Bakker dan Zubair, 1992: 27) b. Content Analysis Sesuai dengan sumber data yang digunakan dan jenis data yang diperoleh, maka analisis terhadap data yang telah terkumpul akan dilakukan dengan menggunakan content analysis, yaitu analisis tentang isi pesan atau komunikasi (Muhajir, 1992: 76). Dalam mengambil kesimpulan, penulis mengunakan metode deduktif, yaitu suatu analisis data yang terangkat dari pengetahuan yang bersifat umum dan dari pengetahuan umum ini hendak dinilai suatu kejadian yang khusus (Hadi, 1997: 36).
1.7. Sistematika Penulisan Sebagai suatu bentuk karya ilmiah dalam penulisan skripsi, maka sudah barang tentu memerlukan sistematika yang akan dijadikan landasan untuk membahas masalah penulisan dari awal sampai akhir, serta untuk
21
menghindari kesulitan bagi penulis dalam menyajikan pembahasan masalah sekaligus agar tidak terjadi kesimpangsiuran mengenai tata urutan pokok materi bahasan, maka dibuatlah sistematika penulisannya sebagai berikut: Bab Pertama merupakan pendahuluan. Dalam bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan yang akan dicapai dalam penelitian, signifikasi penelitian dan tinjauan pustaka serta metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Dalam bab kedua akan dibahas, pertama mengenai pengertian anak, fase anak, jiwa keagamaan pada anak, yang meliputi pengertian perkembangan jiwa keagamaan pada anak, fase-fase yang ada dalam perkembangan jiwa keagamaan pada anak, serta faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan pada anak. Mengenai tinjauan konseling keluarga Islam akan dibahas pengertian konseling keluarga Islam, dasar-dasar konseling dalam Islam, tujuan dan fungsi konseling keluarga Islam. Bab ketiga berisi tentang biografi dan sejarah hidup Adler, pemikiran Adler dan konsep Adler mengenai inferiority complex (rasa rendah diri), sebab-sebab terjadinya inferiority complex pada anak, serta proses konselingnya menurut Adler. Bab keempat akan membahas tentang analisis, yaitu inferiority complex dalam pandangan Islam dan penanganannya, implikasi konsep inferiority complex Adler dalam jiwa keagamaan anak serta analisis
22
konseling keluarga Islam terhadap konsep inferiority complex Adler dan implikasinya pada jiwa keagamaan anak. Bab kelima merupakan bab terakhir dalam skripsi ini, sekaligus sebagai penutup dari serangkaian bab yang ada, yang terdiri dari: kesimpulan,
saran-saran
serta
kata
penutup.
Setelah
terselesainya
pembahasan serta penulisan skripsi ini dari Bab I hingga Bab V, penulis melengkapinya dengan daftar kepustakaan, lampiran-lampiran serta biodata penulis.
23
BAB II JIWA KEAGAMAAN ANAK DAN KONSELING KELUARGA ISLAM
2.1. Pengertian jiwa keagamaan anak 2.1.1. Pergertian anak Anak
adalah keturunan kedua (Dep.Dik.Nas,2002: 41).Anak adalah
sebuah kata yang mengingatkan kita pada sosok yang lucu, mungil dan menggemaskan dalam segala tingkah lakunya. Sebuah kata yang kehadirannya didambakan oleh sebuah keluarga yang mengerti hakekat dibentuknya keluarga tersebut baik itu keluarga muslim maupun non muslim. Kejadian anak bukanlah kehendak dari seseorang atau semua manusia, apalagi diri anak itu sendiri. Bahkan tak seorangpun pernah mengetahui atau menginginkan akan kejadiannya. Akan tetapi anak itu ada tidak lain adalah karena kehendak Allah semata, yang menciptakan semua manusia serta segala sesuatu yang ada. Adapun pandangan terhadap anak sering ditentukan oleh cara seseorang dalam mengajar dan mengasuh mereka (Mansur,2005: 1). Anak dalam keluarga merupakan investasi bagi orang tuanya. Pandangan anak sebagai investasi telah ada sejak abad pertengahan. Banyak orang tua mempunyai pandangan, setelah mereka tua atau meninggal dunia, maka anak adalah penggantinya (Mansur:2005: 8). Anak juga sebagai perhiasan hidup di dunia, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imron: 14,
24
☺ ☺
☺ Artinya :”Di jadikan indah pada pandanganmu kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu wanita dan anak-anak”. Jadi memang sudah fitrah, kalau orang tua itu cinta pada anaknya”. Jangankan orang tua, orang lain yang tidak kenalpun akan senang bila melihat seorang anak yang manis (‘Allam,tth: 75). Anak selain sebagai investasi bagi orang tuanya, anak juga merupakan generasi penerus baik di dalam keluarga, sekolah, agama, bangsa dan Negara. Dengan hadirnya anak, maka orang tua merasa ada pihak yang akan meneruskan garis keturunannya. Garis keturunannya tidak akan terputus dan kelangsungan hidup manusia pada umumnya akan lebih terjamin. Sebagai orang tua muslim, tentu menyadari betul akan pentingnya garis keturunan. Dengan berlangsungnya garis keturunan, berarti lebih bisa diharapkan kemuslimannya akan berlangsung terus. Anak keturunannya lebih bisa diharapkan menjadi generasi penerus perjuangan dalam menegakkan kalimat al-haqq. Disamping itu, setiap orang tua tentu menyadari betul bahwa anak adalah pelestari pahala. Jika anak tumbuh dewasa menjadi generasi yang saleh, maka anak dapat mengalirkan pahala walaupun orang tua telah meninggal dunia.
25
Dalam GBHN tahun 1996- 2004 telah dijelaskan pula bahwa anak merupakan generasi penerus bangsa dan sumber insan bagi pembangunan nasional, maka harus diperhatikan dan dibina sedini mungkin agar menjadi insan yang berkualitas dan berguna bagi bangsa. Sebagai orang tua, haruslah mempunyai tujuan dan berikhtiar agar anak di masa depan mempunyai kualitas yang lebuh tinggi daripada orang tuanya, minimal sejajar atau sama dengan orang tuanya. Dengan demikian orang tua akan mempersiapkan anak sejak dini agar menjadi manusia unggul (Mansur,2005: 10). Didalam Islam, kehadiran seorang anak tidak hanya cukup disambut dengan penuh kegembiraan, tapi juga menuntut orang tuanya untuk memberikan pemeliharaan dan pendidikan yang benar. Hal ini disebabkan kehadiran anak dalam Islam tidak hanya sebagai pelengkap bagi sebuah keluarga, namun memiliki fungsi yang lebih dari itu yaitu sebagai penerima risalah, sebagaimana doa Nabi Zakaria as dalam Qs. Maryam Ayat 5-6:
☺
Artinya:” Dan
Sesungguhnya
Aku
khawatir
terhadap
mawaliku
sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera.Yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai"(Qs. Maryam:5-6). 26
Tugas dan tanggung jawab orang tua terhadap anak besar sekali tidak hanya terhadap pemeliharaan jasadnya, lebih dari itu terhadap segala unsur dalam diri anak, baik jasad, akal, maupun Qalbu. Sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang diridhai Allah (‘Allam, tth: 74) Semua pembicaraan Al- Qur’an tentang anak, adalah pembicaran yang berisi cinta, kasih, sayang, dan kelembutan. Anak adalah kehabagiaan, buah hati dan nikmat yang agung. “Anak adalah buah hati” (HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya). Buah hati adalah puncak harapan, angan-angan, cinta, kasih, ketergantungan hidup, kebajikan, keindahan dan kegembiraan. Rasulullah Saw, mengambarkan anak begitu indah dan menyentuh. Beliau bersabda,”Setiap keluarga yang lahir seorang anak, ia adalah kemuliaan yang belum pernah ada di tengah-tengah mereka” (HR.Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath) (Mahfuzh,2007: 100). Anak dalam agama adalah amanah dari Allah. Pada dasarnya seorang anak bukanlah milik orang tuanya. Ia adalah milik Allah yang dititipkan kepada orang tuanya, sebagaimana kalau kita diberi amanah barang orang lain untuk dirawat, maka barang tersebut harus dirawat sebaik-baiknya sampai pemiliknya mengambilnya. Begitu juga dengan anak, anak diamanahkan kepada orang tua dalam keadaan fitrah, bertauhid, maka harus dirawat dengan cara yang baik yaitu dengan memberinya pendidikan Islam, agar bila suatu saat diambil pemiliknya, ia kembali dalam keadaan fitrah pula yaitu ber-Islam. Karena anak adalah amanah yang harus ditanggungjawabkan pada pemiliknya, maka sebagai orang tua harus
27
bisa mendidiknya dengan baik, dan membinanya mental serta jiwanya dengan baik pula. Jangan sampai anak mengalami perasaan rendah diri. Dimasa seorang anak masih bayi, ia adalah sosok yang menyenangkan, penghibur dan penawar rasa lelah bagi orang tuanya. Namun seiring dengan pertumbuhannya dan perkembangannya dan faktor tersebut bisa berubah, bahkan tidak sedikit anak yang berubah menjadi musuh bagi orang tuanya. Maka dari itu pendidikan agama serta kasih sayang haruslah ditanamkan dalan diri anak, agar anak tumbuh dan berkembang dengan baik, baik fisik maupun jiwanya. Kedudukan anak bagi manusia, diantaranya adalah anak sebagai perhiasan hidup di dunia, anak sebagai cobaan, anak adalah amanah dari Allah, Anak sebagai musuh, anak juga sebagai penyejuk hati. Tentu saja untuk menjadikan seorang anak menjadi anak sholeh bukan pekerjaan mudah, bukan pekerjaan sambilan. Hal itu harus diupayakan semaksimal mungkin. Sebagai manusia tugas kita memang berusaha, sementara untuk menentukan hasilnya bukan kuasa manusia. Itu adalah hak Allah. Untuk keberhasilan usaha kita harus pula diiringi dengan do’a (‘Allam,tth:75-82) Anak merupakan sosok individu unik yang memiliki eksistensi dan memiliki jiwa tersendiri, serta memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai kekhasan iramanya masing-masing. Anak adalah individu yang utuh, bukan sekedar mininatur dari orang dewasa tetapi anak memiliki dunia tersendiri yang harus dilihat dengan kacamata anak-anak, karena dalam dirinya terdapat keterbatasan yang tidak dapat dibandingkan dengan orang dewasa. Masa
28
anak dimulai dari usia baru lahir sampai umur + 5 tahun, yang disebut masa anak (Sujanto,1980: 56).
2.2.2. Fase-fase perkembangan anak Fase -fase perkembangan kepribadian anak. Berkaitan dengan pembagian fase perkembangan kepribadian anak, banyak penulis yang berbeda pendapat dan tentunya disertai dengan berbagai argumenrasinya, menurut kepentingan sendiri dalam meletakkan titik berat sesuai dengan teorinya sendiri. Menurut Aristoteles ada tiga masa perkembangan, yaitu: pertama; periode anak kecil (kleuter), usia sampai 7 tahun, kedua; periode anak sekolah, usia 7 sampai 14 tahun, ketiga: periode pubertas (remaja), usia 14 sampai 21 tahun. Peralihan antara masa pertama dengan masa kedua ditandai dengan pergantian gigi. Peralihan antara masa kedua dengan masa ketiga ditandai dengan tumbuhnya bulu-bulu menjelang masa remaja. Pembagian masa perkembangan menurut pola Aristoteles itu masih dijadikan bahan pemikiran sampai sekarang dengan alasanalasan yang berlainan. Pembagian masa-masa perkembangan Menurut Comenius adalah sebagai berikut, pertama; masa sekolah ibu, sampai usia 6 tahun, kedua; masa sekolah bahasa ibu, usia 6 sampai 12 tahun, ketiga; masa seolah bahasa latin, usia 12 sampai 18 tahun, keempat; masa sekolah tinggi, usia 18 sampai 24 tahun. Pembagian masa perkembangan menurut Ch. Buhler adalah, masa pertama, usia sampai 1 tahun, pada masa ini anak berlatih mengenal dunia lingkungan dengan berbagai macam gerakan. Masa kedua; usia 2 sampai 4 tahun, keadaan dunia luar makin dikuasai dan dikenalnya melalui bermain, kemajuan bahasa, dan
29
pertumbuhan kemauannya. Masa ketiga, usia 5 sampai 8 tahun; keinginan bermain berkembang menjadi semangat kerja. Masa keempat; usia 9 sampai 13 tahun, keinginan maju dan memahami kenyataan mencapai puncaknya. Pertumbuhan jasmani sangat subur pada usia 10 sampai 12 tahun. Kejiwaan tampak tenang, seakan-akan ia bersiap-siap untuk menghadapi perubahan yang akan datang. Masa kelima; usia 14 sampai 19 tahun, pada awal masa pubertas anak kelihatan lebih subjektif. Kemampuan dan kesadaran dirinya terus meningkat. Hal ini mempengaruhi sifat-sifat dan tingkah lakunya (Zulkifli,1992: 18-20). Masa perkembangan anak meliputi lima periode sebagai berikut, pertama; periode pra-nakal (sejak konsepsi sampai kelahiran). Kedua; periode infasi (sejak lahir sampai 10-14 hari). Ketiga; masa bayi (sejak usia 2 minggu sampai 2 tahun) pada awalnya bayi benar-benar tidak berdaya. Sedikit demi sedikit ia belajar untuk mengendalikan otot-otot sehingga dengan demikian ia dapat bergerak sendiri. Perubahan ini disertai dengan meningkatnya penolakan untuk diperlakukan seperti bayi dan keinginan yang makin meningkat untuk tidak bergantung pada orang lain. Keempat; masa anak-anak (sejak usia 2 tahun sampai masa remaja) periode ini dibagi menjadi dua bagian; pertama masa anak-anak awal (sejak usia 2 sampai 6 tahun) periode ini merupakan masa prasekolah atau masa kehidupan berkelompok. Anak pada masa ini berusaha untuk mengusai lingkungannya dan mulai belajar untuk mengadakan penyesuaian sosial. Kedua; masa kanak-kanak akhir (sejak usia 6 sampai 13 tahun untuk anak perempuan dan 14 tahun untuk anak laki-laki). Dalam periode ini terjadi kematangan seksual dan
30
anak mulai memasuki masa remaja. Perkembangan utama dalam masa ini adalah sosialisasi; anak berada pada usia sekolah dasar atau kehidupan berkelompok. Kelima; masa pubertas (sejak usia 11 sampai 16 tahun) masa ini merupakan masamasa yang tumpang tindih, dua tahun tumpang tindih dengan masa anak-anak dan dua tahun tumpang tindih dengan awal masa remaja. Masa puber ini berkisar usia 11-15 tahun pada anak perempuan dan 12-16 tahun pada anak laki-laki (Sumantri, 2006: 2-3).
2.2.2. Jiwa keagamaan anak a. Perkembangan jiwa keagamaan pada anak Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa-masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0-12 tahun. Seorang anak yang pada masa anak tidak mendapat didikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung kepada sikap negatif terhadap agama. Seyogyanya agama masuk ke dalam pribadi anak bersamaan dengan pertumbuhan pribadinya, yaitu sejak lahir, bahkan lebih dari itu (Daradjat,1970: 74). Dalam pengamatan ahli jiwa terhadap orang-orang yang mengalami kesukaran kejiwaan, tampak bahwa keadaan dan sikap orang tua ketika anak dalam kandungan telah mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan jiwa anak di kemudian hari. Anak mulai mengenal Tuhan melalui orang tua dan lingkungan
31
keluarganya. Kata-kata, sikap, tindakan dan perbuatan orang tua, sangat mempengaruhi perkembangan agama pada anak (Daradjat,1970: 74) Sebelum anak dapat bicara, dia telah dapat melihat dan mendengar katakata, yang barangkali belum mempunyai arti apa-apa baginya. Namun pertumbuhan agama telah mulai ketika itu. Kata Allah akan mempunyai arti sendiri bagi anak, sesuai dengan pengamatannya terhadap orang tuanya ketika mengucapkannya. Kata Allah yang tadinya tidak mempunyai arti apa-apa bagi anak, mulai mempunyai makna sesuai dengan apa yang ditanggapinya dari orang tuanya. Hubungan anak dengan orang tuanya, mempunyai pengaruh dalam perkembangan agama anak. Anak yang merasakan adanya hubungan hangat dengan orang tuanya, merasa bahwa ia disayangi dan dilindungi serta mendapat perlakuan yang baik, biasanya akan mudah menerima dan mengikuti kebiasaan orang tuanya dan selanjutnya akan cenderung kepada agama. Akan tetapi, hubungan yang kurang serasi, penuh ketakutan dan kecemasan akan menyebabkan sukarnya perkembangan agama pada anak (Daradjad,1970 :75).
b. fase-fase dalam perkembangan jiwa keagamaan anak Perkembangan agama anak dapat melalui beberapa fase (tingkatan), yaitu: pertama; tingkat dogeng (The fairy tale state). Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Anak dalam tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Kedua; tingkat kenyataan (The realistic stage). Tingkat ini dilulai sejak anak masuk SD hingga sampai ke usia adolescence. Pada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-
32
konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Ketiga; tingkat individu (The individual stage). Anak pada tingkat individual memiliki kepekan emosi yang paling sejalan dengan perkembangan usia mereka. Ada beberapa alasan mengenalkan nilai-nilai agama kepada anak usia dini, yaitu anak mulai punya minat, semua perilaku anak membentuk suatu pola perilaku, mengasah potensi positif diri, sebagai individu, makhluk sosial dan hamba Allah. Agar minat anak tumbuh subur, harus dilatih dengan cara yang menyenangkan agar anak tidak merasa terpaksa dalam melakukan kegiatan (Mansur, 2005: 48-50) Semua manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik maupun psikis. Walaupun lemah ia telah memiliki kemampuan bawaan keadaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih pada usia dini. Ada beberapa teori timbulnya jiwa keagamaan anak, pertama; rasa ketergantungan (sense of depende). Manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat kebutuhan, yakni keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman
yang
diterimanya
dari
lingkungan
kemudian
terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak. Kedua; instink keagamaan. Bayi yang baru dilahirkan memiliki beberapa instink di antaranya instink keagamaan.
33
Dengan demikian pendidikan agama perlu diperkenalkan kepada anak jauh sebelum usia 7 tahun. Nilai keagamaan bisa berarti perbuatan yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan atau hubungan antar sesama manusia (Mansur, 2005: 45-47).
2.2. Konseling Keluarga Islam 1. Pergertian Konseling Keluarga Islam Konseling adalah upaya bantuan terhadap individu sehingga individu menemukan jalannya sendiri, atau individu menemukan jawaban terhadap pertanyaan yang dihadapinya, atau dapat berbuat sesuatu atas upaya dalam konseling (Mappiare, 1992: 12). Konseling berasal dari bahasa Inggris yaitu “counseling” sedang kata “counseling” dari kata “to counsel” yang artinya memberikan nasehat/memberi anjuran kepada orang lain secara face to face (berhadapan muka satu sama lain) dan juga bisa diartikan advice yang artinya nasehat atau petuah. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat para ahli tentang pengertian konseling secara umum dan islami antara lain: 1) Menurut Hasan Langgulung “Konseling adalah proses yang bertujuan menolong seseorang yang mengidap kegoncangan emosi, sosial yang belum sampai pada tingkat
34
kegoncangan psikologis/kegoncangan akal, agar ia dapat menghindari diri dari padanya” (Langgulung, 1986:452). 2) Menurut Prayitno dan Erman Amti “Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada suatu masalah yang dihadapi oleh klien” (Prayitno dan Amti,1999:99) Dari pendapat-pendapat tersebut maka dapat dimengerti bahwa konseling adalah suatu proses pemberian bantuan kepada seseorang yang mengalami masalah, agar individu atau seseorang yang mengalami masalah tersebut dapat mengatasi masalah yang dihadapinya. Sementara itu, konseling keluarga secara umum adalah usaha membantu individu anggota keluarga yang mengalami masalah dengan mempertimbangkan kehidupan keluarga, dan mengusahakan agar terjadi perubahan perilaku positif pada diri individu yang akan memberikan dampak
positif
pula
terhadap
anggota
keluarga
lainnya
(Pujosuwarno,1994: 90) Dengan demikian, menurut Thohari Musnamar, Konseling Keluarga Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar dalam menjalankan kehidupan rumah tangga senantiasa menyadari eksistensinya sebagai makhluk Allah dan selaras dengan
35
ketentuan dan petunjuk-Nya, sehingga dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (Thohari Musnamar,1992: 70) Dan menurut Aunur Faqih, Konseling keluarga Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali eksistasinya
sebagai
makhluk
Allah
yang
seharusnya
dalam
menjalankan pernikahan dan hidup berumah tangga selaras dengan ketentuan dan petunjukNya, sehingga dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat (Faqih, 2001:83) Dari pengertian konseling keluarga Islam diatas, maka dapat dipahami bahwa konseling keluarga Islam merupakan proses pemberian bantuan yang dapat dilakukan oleh seorang da’i ataupun konselor terhadap individu yang mempunyai masalah keluarga, agar individu menyadari kembali eksistasinya sebagai makhluk Allah SWT, yang mampu menjalakan kehidupan dalam berkeluarga, sehingga mencapai kebahagian dunia dan akherat. 2. Asas-asas Konseling Keluarga Islam Asas-asas konseling keluarga Islam adalah landasan yang dijadikan pegangan atau pedoman dalam melaksanakan konseling keluarga Islam. Seperti halnya asas konseling Islam yang umum, asas konseling keluarga Islam juga bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Pada prinsipnya, semua asas konseling Islam yang umum berlaku untuk konseling bidang ini, akan tetapi untuk lebih mengkhususkan, asas-asas konseling kekuarga Islam dapat dirumuskan sebagai berikut : (Faqih,2001:85). a. Asas kebahagian dunia dan akhirat
36
Konseling keluarga Islam, seperti halnya konseling keluarga Islam umum, ditujukan pada upaya membantu individu mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat. Dalam hal ini kebahagian di dunia harus dijadikan sebagai sarana mencapai kebahagian akhirat, seperti difirmankan Allah dalam Qur’an surat Al-Baqorah ayat 201,
⌧ Artinya:”Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka.”(Q.S. Al-Baqarah: 201) b.Asas sakinah, mawadah dan rahmah Pernikahan dan pembentuan serta pembinaan keluarga Islam dimaksudkan untuk mencapai keadaan keluarga atau rumah tangga yang “sakinah, mawaddah wa rahmah,” keluarga yang tentram, penuh kasih sayang. Dengan demikian konseling keluarga Islam berusaha membantu individu untuk menciptakan kehidupan pernikahan dan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah tersebut. Sebagaimana firman Allah,
☯ ☺
37
Artinya:”Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenis sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang.”(Q.S. Ar- Rum:21). c. Asas komunikasi dan musyawarah Ketentuan keluarga yang didasari rasa kasih dan sayang akan tercipta manakala dalam keluarga itu senantiasa ada komunikasi dan musyawarah. Dengan memperbanyak komunikasi segala isi hati dan pikiran akan bisa dipahami oleh semua pihak, tidak ada hal-hal yang menganjal dan tersembunyi. Konseling keluarga Islam, di samping dilakukan dengan komunikasi
dan
musyawarah
yang
dilandasi
rasa
saling
hormat
menghormati dan disinari rasa kasih sayang, sehingga komunikasi itu akan dilakukan dengan lemah lembut. Sebagaimana firman Allah,
☺ ⌧
☺
⌧ ⌧ ⌧ ☺ Artinya:”Maka disebabkan rahmat Allahlah kamu berlaku lemahlembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
38
bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.” (Q.S. Ali Imran:159) d.Asas sabar dan tawakkal Agar supaya kebahagian tetap bisa dinikmati, dalam kondisi apapun, maka orang harus senantiasa bersabar dan bertawakal (berserah diri) kepada Allah, dengan kata lain konseling keluarga Islam membantu individu pertama-tama untuk bersikap sabar dan tawakkal dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan rumah tangga, sebab dengan bersabar dan bertawakkal akan diperoleh kejernihan dan pikiran, tidak tergesa-gesa terburu nafsu mengambil keputusan, dan dengan demikian akan terambil keputusan akhir yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah,
☺
Artinya:”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran
dan
nasehat
kesabaran”(Q.S. Al- Assr:1-3). e. Asas manfaat (Maslahat)
39
menasehati
supaya
menetapi
Mengajarkan kepada manusia agar memberikan bimbingan dan nasehat, sehingga wajar keduanya merupakan landasan dasar naqliyah. Sementara landasan atau asas konseling keluarga Islam merupakan landasan yang bersifat aqliyah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 57
☺
⌦
⌧ ☺
Artinya:”Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S.Yunus:57) 2.3.3. Fungsi dan Tujuan Konseling Keluarga Islam Tujuan konseling keluarga secara umum, antara lain: Membantu anggota keluarga belajar dan memahami bahwa dinamika kekeluargaan merupakan hasil pengaruh hubungan antar anggota keluarga. Membantu keluarga agar dapat menerima kenyataan bahwa salah satu anggota keluarga memiliki permasalahan, mereka dapat memberi pengaruh tidak baik terhadap persepsi, harapan dan interaksi anggota keluarga yang lain. Memperjuangkan dengan gigih dalam proses konseling, sehingga anggota keluarga dapat tumbuh dan berkembang guna mencapai keseimbangan dan keselarasan. Mengembangkan
40
rasa penghargaan dari seluruh anggota keluarga pada anggota keluarga yang lain (Pujosuwarno,1994:94) Sedangkan secara khusus tujuan dari konseling keluarga adalah: mendorong anggota keluarga agar memiliki toleransi kepada anggota keluarga yang lain, dan agar anggota keluarga mampu memberikan motivasi, dorongan semangat pada anggota keluarga yang lain, serta agar orangtua dapat memiliki persepsi yang realistis dan sesuai dengan persepsi anggota keluarga yang lain (Pujosuwarno,1999:94) a. Fungsi Konseling Keluarga Islam Fungsi konseling keluarga ditinjau dari sifatnya hanya merupakan bantuan, karena individu yang mngalami masalah itulah yang mewujudkan dirinya sebagai makhluk yang seutuhnya, maksudnya hanya individu itulah yang dapat menyelesaikan masalahnya, sedangkan konseling Islam hanyalah membantu. Dari hal tersebut maka Thohari Musnamar memberikan rumusan tentang fungsi konseling Islam yang dikelompokkan dalam empat bagian: 1) Fungsi preventif, yakni membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. 2) Fungsi kuratif dan korektif, yakni membantu individu memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau alami. 3) Fungsi preservative, yakni membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) telah menjadi baik (terpecahkan ) itu kembali menjadi tidak baik (menimbulkan masalah kembali) 4) Fungsi development atau pengembangan, yakni membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik, sehingga tidak memungkinkannya menjadi sebab munculnya masalah baginya (Musnamar,1999:34)
b. Tujuan Konseling Keluarga Islam
41
Tujuan umum konseling keluarga Islam secara implicit, sudah ada dalam batasan/pengertian konseling Islam, yakni mewujudkan individu menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat Tujuan konseling keluarga Islam yang dikemukakan oleh M.Hamdani Bakran adz-Dzaky adalah sebagai berikut: 1) Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan dan kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai (muthmainah), bersikap lapang dada (rodhiyah), dan mendapatkan pencerahan taufik hidayah Tuhannya (mardiyah) 2) Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan tingkah laku dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya. 3) Untuk menghasil kecerdasan pada rasa (emosi) individu sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong menolong dan rasa kasih sayang. 4) Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi segala perintah-Nya serta ketabahan menerima ujian-Nya (Bakran,2001 :167-168) Dengan demikian tujuan konseling keluarga Islam dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum seperti yang tersirat dalam definisi konseling, dan tujuan secara khusus merupakan penjabaran dari tujuan umum yang berkaitan dengan permasalahan yang berhubungan langsung dengan masalah yang dihadapi individu. Untuk mencapai tujuan konseling Islam, maka dibutuhkan sebuah langkah operasional untuk mengarahkan anggota keluarga supaya mempunyai kepribadian yang baik dan kokoh, sehingga terwujud keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
42
BAB III ADLER , BIOGRAFI DAN KONSEPNYA TENTANG INFERIORITY COMPLEX
3.1. Sejarah Singkat Adler 3.1.1. Biogafi Alfred Adler lahir di pinggiran Wina pada tanggal 7 Februari 1870 sebagai anak ketiga dari seorang pengusaha Yahudi. Sewaktu kecil, Alfred sering sakitsakitan sehingga dia baru bisa berjalan pada usia 4 tahun. Ketika berusia 5 tahun dia nyaris tewas akibat pneumonia. Pada usia inilah dia memutuskan untuk jadi seorang fisikawan. Ketika sekolah, Alfred adalah seorang anak dengan
43
kemampuan rata-rata dan menyenangi permainan di luar ruangan ketimbang berkurung di ruang kelas. Dia sering keluar rumah, dikenal luas oleh temantemannya dan aktif. Salah satu penyebab dia terkenal di antara teman-temannya adalah karena dia ingin menyaingi kakaknya, Sigmund. Adler menerima ijazah dokter dari universitas of Vienna pada tahun 1895. Selama kuliah, Adler bergabung dengan mahasiswa –mahasiswa sosialis, dan di sinilah dia berkenalan dengan gadis yang menjadi istrinya, Raissa Timofeyewna Epstein. Raissa adalah seorang gadis pintar dan aktivis sosial yang datang dari Rusia untuk belajar di Wina. Mereka menikah pada tahun 1897 dan dikaruniai 4 orang anak, 2 di antaranya kemudian menjadi psikiatris.
3.1.2. Karier Adler Adler memulai kariernya sebagai seorang optamologis (Opthamologis), tapi kemudian beralih pada praktik umum biasa dan membuka praktik di daerah kelas bawah di Wina, dekat Prader, sebuah tempat percampuran antara taman bermain dan sirkus. Klien-kliennya termasuk anggota kelompok sirkus. Kekuatan dan kelemahan para pemain sirkus inilah yang membuatnya bisa mencetuskan konsepnya tentang inferioritas organ dan kompensasi Adler kemudian beralih pada psikiatri, dan pada tahun 1907 dia bergabung dengan kelompok diskusi Freud. Setelah menulis beberapa makalah tentang inferiority organic, yang sedikit sejalan dengan pendapat Freud, maka untuk pertama kalinya dia menulis makalah tentang
44
insting perusak yang tidak
disepakati Freud dan kemudian makalah tentang perasaan inferiority anak-anak yang memakai konsep-konsep
seksual Freud secara metaforis, bukan secara
harfiah sebagaimana yang dimaksud Freud. Walaupun Freud mengangkat Adler sebagai presiden Viennese Analytic Society dan ko-editor dari terbitan berkala organisasi, Adler tetap mengkritik pandangan Freud. Perdebatan antara pendukung Adler dan pendukung Freud pun diadakan, tapi acara ini berakhir dengan keluarnya Adler dan 9 orang anggota lain dari organisasi tersebut dan mendirikan The Society for Free Psychoanalysis pada tahun 1911. Tahun berikutnya. Organisasi ini berubah menjadi The Society for Individual Psychology. Selama Perang Dunia I berkecamuk, Adler bertugas sebagai fisikawan dalam Angkatan Bersenjata Austria, yang tugas awalnya berada di garis depan yang berbatasan dengan Rusia dan kemudian di rumah sakit anak-anak. Adler telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri seperti apa akibat buruk peperangan.
Dan
inilah
yang
membawa
pemikirannya
kearah
konsep
kepentingan sosial. Adler berpendapat bahwa kalau kemanusiaan masih ingin dipertahankan, manusia harus mengubah cara hidupnya Setelah perang usai, Adler terlibat dalam berbagai proyek, termasuk klinik-klinik yang didirikankan di sekolah-sekolah negeri dan melatih para guru. Tahun 1926, Adler pergi ke AS untuk mengajar dan menerima jabatan sebagai professor tamu di Long Island College of Medicine. Tahun 1934. Adler dan keluarganya meninggalkan Wina untuk selama-lamanya. Pada tanggal 28 Mei
45
1937, sewaktu menyampaikan beberapa kuliah di Abeerden University, Adler meninggal akibat serangan jantung (Boeree,2001:147-149).
3.2. Konsep Inferiority Complex Adler Konsep inferiority complex merupakan pokok atau konstruk utama dari teori Psikologi Individual Adler, yang menjelas tentang perilaku manusia dipandang sebagai suatu kompensasi terhadap perasaan inferioritas (harga diri kurang). Perasaan lemah dan tak berdaya timbul dan berkembang karena pengalaman hidup anak bersama orang dewasa atau pandangan kekurangan dalam organ tubuh. Manusia dikuasai oleh perasaan banyak kekurangan dalam organ tubuh. Manusia dikuasai oleh karena itu mereka mereaksi terhadap perasaan tidak senang itu dengan mencari kesempurnaan, kebebasan dan keunggulan. Adler mengunakan istilah inferiority complex untuk mengambarkan keadaan perasaan harga diri kurang yang senantiasa mendorong individu untuk kompensasi mencapai keunggulan perilaku yang merupakan suatu upaya untuk kompensasi mencapai keunggulan perilaku yang merupakan suatu upaya untuk mencapai keseimbangan (Surya,2003: 51). Adler mengembangkan Psikologi Individual terinspirasi dari kisah tokoh yang bersejarah di Amerika serta dari pengalaman hidupnya. Tokoh tersebut adalah Theodore Roosevelt, dia lahir dan dianggap sebagai anak istimewa karena tidak terlalu membutuhkan pertolongan orang lain untuk masuk ke dunia yang baru. Tapi “Teedie”nama kesayangannya, tidak terlalu sehat pada awalnya. Dia mengidap penyakit asma, yang mudah terserang flu, sering batuk dan sesak nafas serta sering sakit-sakitan. Tubuh kecil
46
dan kurus serta suaranya yang lemah tetap sampai dewasa. Karena kondisinya yang seperti itu, terpaksa dia sering berbaring diranjang daripada bermain di luar rumah. Tidak jarang dia mengalami koma karena kehabisan oksigen (Boeree, 2004: 145) Setelah tidak diperbolehkan sering bermain di luar rumah, dia beralih ke buku, yang kemudian menjadi kekuatan hidupnya. Dia sakit-sakitan, namun dia punya keinginan untuk hidup. Dari semangat dan menyadari akan kelemahannya tersebut, maka dia mengajukan keinginannya pada ayahnya untuk serius berolahraga. Tidak lama setelah itu dia masuk Harvard, di sana dia bukan hanya berubah menjadi Teedie yang lebih sehat, tapi juga Teedie sebagai pemenang berbagai perlombahan atletik, masa-masa selanjutnya ia menjadi anggota dewan New York yang sukses, koboi North Dacota, kepala polisi New York, Asisten Sekretaris AL, Letkol “Rough Riders”, Gubernur New York, dan penulis terkenal. Semua dicapainya sebelum berusia 40 tahun. Ketika President William McKinley meninggal pada tahun 1901, Theodore menjadi presiden termuda dalam sejarah Amerika. Bagaimana bisa orang yang sakit-sakitan berubah menjadi sosok yang sehat, segar bugar dan sukses? Kenapa sebagian anak, sehat atau tidak, bisa berhasil sementara sebagaian lainnya gagal? Apakah keinginan dan semangatlah yang membuat Roosevelt istimewa, atau ada hal lain yang tersembunyi di dalam diri kita masing-masing? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang mengugah perhatian seorang fisikawan Wina yaitu Alfred Adler dan kemudian mendorong
47
dia mengembangkan teorinya yang disebut Psikologi Individual (Boeree, 2004: 147). Seorang individu dengan perasaan rendah diri yang kuat akan tampak patuh, tenang, dapat dikendalikan, jenis orang tidak membuat marah. Sifat inferior dapat dinyatakan dalam ribuan cara. Untuk mengambarkan hal tersebut ada suatu anekdot, tentang tiga orang anak yang diajak ke kebun binatang untuk pertama kalinya. Ketika mereka berdiri di hadapan kandang singa, salah satu dari mereka bersembunyi di belakang rok ibunya dan berkata, “aku ingin pulang”. Anak yang kedua berdiri ditempatnya, dia terlihat menggigil dan sangat pucat, dan berkata, “Aku sama sekali tidak takut.” Sedangkan yang ketiga membelalakkan mata pada singa dengan ganas dan bertanya pada ibunya, “Haruskah aku meludahinya?” Ketiga anak-anak tersebut benar-benar merasa inferior, tetapi sesuai dengan gaya hidupnya (Adler, 2004: 59-60) Sifat inferior secara umum ada beberapa tingkatan yang ada pada diri kita, sejak kita menemukan diri kita di dalam posisi yang mana kita harapkan untuk meningkat. Jika kita menjaga keberanian kita akan mulai membersihkan diri dari perasaan ini secara langsung, memuaskan dan realistis dengan meningkatkan situasi. Tidak ada manusia yang dapat membawa perasaan inferior untuk waktu yang lama. Perasaan inferior muncul karena suatu masalah dimana tidak beradaptasi dengan baik, dan mengekspresikan pendirian-pendiriannya dimana dia tidak mampu untuk mengatasi masalah tersebut (Adler, 2004: 60) Anak yang penakut akan menjadi anak yang cengeng. Air mata dan keluhan adalah kekuatan air yang dapat menjadi senjata yang ekstrim untuk
48
mengganggu kerjasama dan mengurangi yang lain kedalam kondisi perbudakan. Orang seperti tersebut, seperti mereka yang menderita penyakit perasaan malu, kebingungan dan merasa rasa bersalah, kita akan menemukan perasaan inferior di permukaannya (Adler, 2004: 63). Setiap kita selalu ditarik kearah pemenuhan, penyempurnaan dan aktualisasi diri. Namun sebagian orang yang sakit jiwa pada akhirnya gagal memenuhi keinginan, mereka mengalami ketidak sempurnaan dan tidak mampu mengaktualisasikan dirinya. Itu semua terjadi karena tidak memiliki kesadaran sosial, atau dalam bahasa yang positif, karena terlalu mementingkan diri sendiri. Adler mengatakan itu semua terjadi karena terlalu dikuasai oleh inferioritas sendiri (Boeree,2006: 158) Adler juga mengemukakan bentuk inferioritas yang lebih umum, yakni inferioritas anak-anak. Secara alamiah, anak-anak adalah makhluk kecil, lemah, tidak memiliki kemampuan sosial dan intelektual, jika dibandingkan dengan orang-orang dewasa yang ada di sekitar mereka. Adler mengatakan bahwa kalau diperhatikan permainan anak-anak dan fantasi-fantasi mereka, akan terlihat kesamaan yang mereka miliki, yaitu keinginan untuk cepat tumbuh besar, pendek kata untuk jadi orang dewasa. Kompensasi seperti ini sangat mirip dengan dorongan mencapai kesempurnaan. Sebagian besar anak-anak selalu hidup dengan perasaan bahwa orang lain selalu lebih baik dari mereka (Boeree, 2004: 160). Menurut Adler, ada tiga macam situasi masa kanak-kanak yang sangat berpengaruh dalam membentuk gaya hidup untuk masa selanjutnya. Situasi
49
pertama adalah inferioritas organ, termasuk penyakit-penyakit yang diidapnya semasa anak-anak. Inilah yang Adler sebut dengan kepala batu. Jika seseorang tidak pernah punya perhatian kepada orang lain, mereka akan tetap suntuk dengan dirinya sendiri. Orang-orang seperti ini bisanya akan menghabiskan sisa hidupnya dengan perasaan inferioritas yang begitu kuat, sementara hanya sebagian kecil yang akan mengatasinya dengan cara mengambil sikap kompleks superioritas. Hanya dengan bantuan dan dorongan dari orang yang benar-benar mencintai, sehingga sebagian dari mereka bisa menutupi kekurangan ini (Boeree, 2004: 165). Adler telah menaruh perhatian terhadap fungsi-fungsi jasmani yang kurang sempurna, hal ini dirumuskan dalam Organ Minderwertigheit und ihre psychische Kompensationen (1912). Mula-mula dia menyelidi tentang kenapakah apabila orang sakit itu menderita di daerah-daerah tertentu pada tubuhnya, misalnya orang menderita sakit jantung, ada yang sakit paru-paru dan ada yang sakit pungung dan sebagainya. Jawab Adler adalah pada daerah-daerah tersebut terdapat kekurangan kesempurnaan atau minderwertigheit (inferiority), baik karena dasar maupun karena kelainan dalam perkembangan. Selanjutnya dia menemukan bahwa orang yang mempunyai organ yang kurang baik itu berusaha mengkompensasikannya dengan jalan memperkuat organ tersebut dengan latihanlatihan yang intensif (Agus Sujanto,1999:74) Situasi kedua adalah kemanjaan. Banyak anak-anak yang diajari bahwa mereka tidak bisa berbuat apa-apa kalau tidak ada orang lain. Keadaan ini kelihatannya tidak bermasalah, sampai Anda menyadari bahwa anak yang terlalu dimanja memiliki dua kelemahan; pertama, mereka tidak akan belajar berbuat
50
untuk dirinya sendiri dan akhirnya akan merasa inferior; kedua, mereka tidak akan belajar berhubungan dengan orang lain kalau bukan dalam konteks perintah dan aba-aba. Masyarakat hanya punya satu cara menghadapi orang-orang yang manja yaitu jengkel. Situasi ketiga adalah ketersingkiran. Seorang anak yang merasa dipinggirkan atau kehadirannya tidak diinginkan sama mempelajari apa yang dipelajari oleh anak manja, tapi dengan cara berbeda. Mereka akan belajar bersikap inferior karena setiap hari selalu diperlakukan seolah-olah mereka punya arti apa-apa. Mereka akan belajar mementingkan diri sendiri karena mereka dididik untuk tidak percaya pada siapa pun (Boeree,2004: 166).
3.2.1. Diagnosis dan Terapi Adler Untuk membantu menemukan di mana dasar fiksi-fiksi gaya hidup, Adler menawarkan berbagai hal untuk dilihat. Dalam sesi-sesi pertama wawancaranya, Adler akan menanyakan tentang kenangan-kenangan masa kecil. Di sini dia berusaha keras menemukan bagaimana kenangan itu sebenarnya, yang ingin dia ketahui hanyalah tanda-tanda yang menjurus pada prototype gaya hidup saat ini. Kalau kenangan masa kecil tersebut bisa dikatakan aman-aman saja dan memperoleh perhatian yang berlebihan dari orang tua, maka hal itu mengindikasikan bahwa masa kecilnya adalah anak yang manja, kalau adanya persaingan keras dengan kakak-kakaknya, berarti ada tekanan untuk bersaing dan
51
memiliki kepribadian yang cenderung memerintah, kalau kenangannya lebih banyak berisi peristiwa-peristiwa merasa tertolak dan terpinggirkan, berarti kepribadiannya bersifat inferior (Boeree,2004: 169) Dalam memberikan terapi Adler lebih suka bicara langsung berhadaphadapan dengan pasiennya. Selain itu, dia juga sangat menghindari sikap otoriter. Dia menyarankan agar seorang terapis jangan pernah membiarkan pasiennya mengiring dia menjadi sosok yang otoriter, karena hal ini akan menyebabkan pasien sosok yang otoriter, karena hal ini akan menyebabkan memainkan lagi peranan yang telah dia mainkan selama ini. Pasien perlahan-perlahan harus dibawa kearah pemahaman akan gaya hidup mereka yang sebenarnya dan akarnya di dalam fiksi-fiksi gaya hidup. Pasien harus di bawa ke dalam suasana hati dan perasaan yang memungkinkan dia mendengarkan Anda, dan berkeinginan untuk memahami apa yang sedang terjadi. Hanya dengan beginilah dia bisa dipengaruhi untuk menjalani kehidupan sesuai dengan apa yang dia pahami. Yang paling bertanggung jawab untuk menyembuhkan seorang pasien adalah si pasien itu sendiri, bukannya si terapis. Terakhir, seorang terapis yang baik harus memberikan dorongan pada pasiennya. Artinya, harus memberikan kesadaran padanya tentang kesadaran sosial dan memberikan kekuatan padanya untuk menjalani kehidupan sosial. Dengan mengembangkan hubungan yang betul-betul manusiawi dengan seorang pasien, seorang terapis akan memberikan bentuk paling dasar kesadaran sosial bagi pasiennya yang kemudian akan diteruskannya kepada orang lain (Boeree, 2004: 172)
52
BAB IV ANALISIS KONSEP INFERIORITY COMPLEX ADLER DAN IMPLIKASINYA PADA JIWA KEAGAMAAN ANAK
Setelah dipaparkan konsep pemikiran Adler tentang Inferioroty Complex yang meliputi sebab-sebab dan diagnosis serta terapinya, maka konsep Adler tersebut akan dianalisis dan diaplikasikan dalam konseling keluarga Islam dengan tujuan dapat menjadi salah satu langkah operasional konseling keluarga Islam dalam mengarahkan keluarga Islam menjadi sakinah, mawaddah wa rahmah serta anak dapat tumbuh kembang secara baik, baik fisik maupun psikisnya , sehingga
53
anak memiliki akhlaq, budi pekerti yang baik pula. Akhirnya menjadi anak yang berguna bagi masyarakat agama, bangsa dan Negara.
4.1. Inferiority Complex dalam pandangan Islam dan penanganannya Memiliki anak yang sehat jasmani serta mental, berbakti kepada orang tua, berakhlaqul karimah, bertaqwa kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dan berkepribadian yang kokoh adalah dambaan setiap orang tua. Harapan tersebut akan terwujud apabila ada pengetahuan yang sesuai dengan hal tersebut serta perhatian para orang tua dalam membimbing buah hatinya. Di antara yang harus diketahui oleh orang tua dalam rangka membimbing dan mengarahkan anak supaya memilki jiwa yang sehat dan berakhlaqul karimah, ialah (1) mempunyai pemahaman terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dan (2) mengetahui cara memgembangkan jiwa keagamaannya. Adler menjadikan Inferiority Complex
sebagai kontruk utama dalam
konsep psikologinya, karena Adler mempercayai bahwa prinsip fundamental motivasi dengan kompensasinya terhadap perasaan rendah diri dapat menjelaskan hampir seluruh perilaku manusia (Surya, 2001: 51). Adler juga mengemukakan bentuk inferioritas yang lebih umum, yakni inferioritas anak-anak. Secara alamiah, anak-anak adalah makhluk kecil, lemah, tidak memiliki kemampuan sosial dan intelektual jika dibandingkan dengan orang-orang dewasa yang ada di sekitarnya mereka. Adler mengatakan bahwa kalau kita perhatikan permainan anak-anak dan fantasi-fantasi mereka, akan terlihat kesamaan yang mereka miliki yaitu keinginan untuk cepat tumbuh untuk besar, pendek kata untuk jadi orang
54
deawasa. Kompensasi seperti ini sangat mirip dengan dorongan mencapai kesempurnaan. Sebagaian besar anak-anak selalu hidup dengan perasaan bahwa orang lain selalu lebih baik dari mereka (Boeree, 2006: 160). Menurut Adler ada tiga sumber penyebab terjadinya rasa rendah diri (inferiority complex) yaitu, karena: kekurangan dalam organ fisik, anak yang dimanja serta anak yang mendapat penolakan (Surya,2001: 51). Sedangkan menurut Abdullah Nasih Ulwan, munculnya perasaan rendah diri pada sebagian anak antara lain karena; dicerca dan dihina, dimanja secara berlebihan, tindakan diskriminasi orang tua dalam memberikan kasih sayang terhadap anak-anaknya, cacat fisik, keyatiman dan kemiskinan (Ulwan,1996: 125). Contoh, Seorang anak laki-laki akan merasa tersanjung bila sekelompok anak lain yang lebih tua yang saat itu tengah merokok menawarkannya rokok. Bagi si anak kecil tadi, sekelompok anak yang tua tersebut merupakan kelompok ‘elite’, karena tidak banyak anak yang pada usia tersebut yang sudah merokok. Merokok baru pertama kali dilakukan oleh si anak kecil dalam hidupnya. Anak kecil tersebut berusaha menyembunyikan derita batuk yang diiringi dengan rasa mual akibat rokok tadi. Dia merasa kesenangan. Namun, sekelompok anak yang lebih tua usianya, yang memamerkan kebiasaan orang dewasa (dengan merokok) akan tetap memandang anak kecil itu lebih rendah (inferior) dari mereka. Pandangan ini kemudian menyebabkan anak kecil tadi mengisap rokok lebih banyak lagi, sehingga akhirnya ia tumbuh menjadi seorang perokok (Khalfan,2004: 39).
55
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa konsep Adler mengenai inferiority complex dapat terjadi pada setiap individu. Tapi sikap/ rasa inferior ini akan lebih berbahaya lagi kalau terjadi pada anak. Sebab anak belum mampu untuk mengatasinya, karena anak belum memiliki kemampuan sosial dan intelektual sebanding dengan orang dewasa. Sedangkan anak pada dasarnya mereka ingin bersikap dan bertindak seperti halnya orang dewasa. Sebagaimna contoh tersebut diatas, bahwa anak itu menginginkan pengakuan bahwa apa yang dilakukan oleh orang dewasa itu, dia juga bisa melakukannya. Dan pada akhirnya jika mereka tidak diakui maka mereka lebih berusaha lagi untuk dapat diakui. Seperti halnya yang dikatakan oleh Abdullah Nasih Ulwan, bahwa rasa rendah diri (inferiority complex) merupakan kondisi psikis yang menghantui sebagaian anak, gejala ini merupakan gejala psikis yang paling membahayakan yang
membelenggu
anak-anak,
menyelewengkannya
dan
yang
akan
menyebabkannya hina, menderita, dan jahat. Munculnya perasaan rendah diri pada sebagian anak antara lain adalah karena dicerca, dihina, dimanja secara berlebihan, tindakan diskriminatif orang tua dalam memberikan kasih sayang terhadap anak-anaknya, cacat fisik, keyatiman dan kemiskinan (Ulwan,1996: 125). Adapun cercaan dan penghinaan merupakan faktor terburuk yang menyebabkan penyimpangan jiwa anak, bahkan merupakan faktor terbesar yang memperkuat rasa rendah diri pada anak kecil. Misal, anak pernah berdusta sekali dijuluki sebagai pendusta, anak merampas buah apel yang dipegang adiknya lalu disebut si perampas, anak mengambil pena dari kantung ayahnya lalu dipanggil si
56
pencuri. Dengan cara-cara inilah sering kali orang dewasa mengejek anak di depan saudara-saudaranya bahkan di depan teman-temannya. Tidak diragukan lagi hal tersebut akan menjadikan anak merasa dirinya dihina, direndahkan, tidak dihargai, dan dikucilkan. Hal ini yang akan menjadikan jiwanya cacat mental, sehingga ia bersikap sinis, dengki dan penuh prasangka negatif terhadap orang lain sehingga cenderung mengucilkan diri dari pergaulan dan pada akhirnya akan melalaikan tanggung jawab. Dan Islam mengajarkan untuk menangani anak yang salah dengan cara yang benar yaitu dengan memperingatkan kesalahannya dengan lembut dan bijaksana, memberikan alasan-alasan argument bahwa apa-apa yang terjadi pada dirinya itu tidak disenangi oleh orang yang berakal, sadar, berhati nurani dan berpikir matang. Jika anak mengerti dan puas dengan penjelasan-penjelasan tersebut, berarti telah sampai perbaikan yang dikehendaki, yaitu memecahkan penyimpangan (Ulwan, 1996:126-128) Pemanjaan yang berlebihan, juga dapat menyebabkan penyinpangan jiwa dan moral anak. Karena pemanjaan yang berlebihan kemungkinan besar akan menumbuhkan perasaan malu, rasa rendah diri, tidak jantan, tidak berani dan tidak percaya diri. Semua ini akan menjurus pada dekadensi moral dan keterbelakangan. Dalam keadaan seperti ini, anak tidak mungkin dapat diharapkan menjadi insan kamil (manusia sempurna). Penawar yang dicanangkan Islam untuk meringankan dan memperkecil gejala-gejala pemanjaan, tiada lain adalah keyakinan akan qadha dan qadar hendaknya terhunjam pada jiwa kedua orang tua sehingga mereka yakin bahwa apa yang terjadi pada mereka dan anak-
57
anaknya berupa sehat atau sakit, kekayaan atau kemiskinan semua itu merupakan kehendak Allah, qadha dan qadar- Nya. Kemudian bertahap dalam mendidik anak. Jika nasihat dan peringatan tidak mempan bagi anak, maka tidak boleh bersikap kasar. Kalaupun keadaan memaksa untuk bertindak kasar, maka hendaknya jangan sampai memukul. Dan mendidik anak sejak dini, hidup sederhana, penuh percaya diri, mengemban tanggung jawab dan berani karena benar. Sehingga anak dapat merasakan keberadaannya dan akan tegas dalam melaksanakan tugas tanggung jawabnya. Selanjutnya mengikuti jejak Rasulullah, sejak kecil hingga beranjang dewasa sampai Allah mengutusnya menjadi seorang Nabi. Karena Allah telah mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik dan Allah memelihara sebaik-baiknya (Ulwan, 1996:131-136) Tindakan diskriminatif terhadap anak-anak, juga termasuk faktor dalam menyimpangkan jiwa anak, baik berupa diskriminasi dalam pemberian, perlakuan maupun kecintaan. Gejala ini mempunyai akibat yang terburuk dalam penyimpangan tingkah laku dan jiwa anak karena hal tersebut dapat melahirkan rasa dengki, benci, takut malu, dan rasa rendah diri, mewariskan sikap sering bermusuhan dan berbuat kemaksiatan di samping akan menyebabkan ketakutan di waktu malam, sakit sarafnya dan rendah diri. Untuk mengatasi hal tersebut maka, petunjuk Nabi yang mulia, yang dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan keadilan, perlakuan dan kasih sayang yang sama di antara anak-anak tanpa membedakan kedudukan mereka (Ulwan, 1996:139). Cacat fisik terkadang termasuk dalam penyimpangan jiwa anak karena biasanya kondisi seperti ini melahirkan perasaan rendah diri dan berpandangan
58
pesimis terhadap kehidupan ini. Langkah pertama dalam mengatasi hal ini ialah: hendaknya mereka memperhatikan dan memandang anak-anak cacat tersebut dengan penuh cinta kasih. Kedua, hendaknya menasehati dan memberi peringatan kepada orang-orang yang berada di sekitarnya, baik kerabat maupun orang luar. Dengan harapan agar mereka tidak menghina dan merendahkan diri mereka atau mengejek dan bersikap sinis dan menjauhi apa saja yang berpengaruh negatif terhadap jiwa mereka, atau menambah kesedihan dan luka perasaan mereka. Langkah ketiga, hendaknya menyiapkan bagi anak-anak yang cacat itu temanteman sepermainan yang baik akhlaqnya dan menyenangkan kebiasaanya, sehingga anak-anak dapat berkumpul dan bermain bersama serta saling berbicara di antara mereka dengan penuh kasih sayang, dengan tujuan agar anak yang cacat merasakan bahwa mereka dicintai, diperhatikan dan disayangi (Ulwan,1996:146). Keyatiman dan kekafiran termasuk faktor yang memprihatinkan dalam penyimpangan jiwa anak. Islam sangat menaruh perhatian terhadap anak yatim dari segi pendidikan, perlakuannya dan jaminan hidupnya, sehingga ia akan tumbuh
menjadi
melaksanakan
anggota
masyarakat
kewajiban-kewajibannya
yang dengan
berguna,
mampu
sebaik-baiknya.
bangkit Diantara
perhatian Al-Qur’an terhadap anak yatim ialah perintah untuk tidak menghardik mereka dan menjaga keadaan dan kemuliaannya. Sebagaimana Firman Allah Qs. Ad- Dhuha:9
⌧ Yang artinya:” Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”.
59
Kekafiran, masalah ini akan semakin bertambah buruk jika anak menyaksikan sebagian kerabat dan anak-anak tetangganya atau temannya keadaannya lebih baik darinya, hidup mewah, megah dan dengan rizki melimpah, sementara ia sendiri dalam keadaan duka nestapa, hampir-hampir tidak bisa mendapat sesuap nasi dan tidak mendapat sehelai pakaian yang dapat menutupi tubuhnya. Untuk mengatasi hal ini maka dalam Islam mensyarikatkan adanya baitul mal untuk menampung zakat yang diurus, lalu disalurkan kepada mereka yang berhak. Sehingga dapat menetralisir perbedaan dan kesenjangan sosial. Pada dasarnya, setiap individu memiliki rasa rendah diri, tapi kalau hal tersebut terjadi pada orang dewasa, ia akan mudah untuk mengatasinya karena orang dewasa sudah dapat mengunakan nalar dan juga telah mempunyai kemampuan intelektual untuk mengatasinya. Beda dengan anak-anak, seorang anak belum mampu mengunakan intelektualnya dengan baik dan belum memiliki kepekaan sosial. Sehingga mereka akan mencari kompensasi untuk menutupi rasa inferiornya. Rasa rendah diri dapat mempengaruhi jiwa seorang anak jika hal ini tidak ditanggapi dengan hati-hati. Begitu halnya terhadap jiwa keagamaannya. Tapi hal tersebut dapat dihindari jika orang tua dan orang-orang yang dewasa disekilingnya dapat memberikan situasi yang baik. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa rasa rendah diri dan penyebabnya karena rasa kepekaan dari orang tua dan yang lebih dewasa kurang, misalnya anak yang selalu mendapatkan cercaan jika melakukan kesalahan, anak terlalu dimanja, anak cacat sehingga kurang diterima dengan keadaanya tersebut.
60
Pada era sekarang, memang tidak dapat dipungkiri. Karena kesibukan dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Tidak sedikit orang tua, yang peduli akan perkembangan jiwa anak-anaknya, apalagi jiwa keagamaannya. Jiwa keagamaan anak kadang dikesampingkan, walaupun memang secara formal mereka telah sekolah di pendidikan formal. Dalam lingkungan masyarakat dapat diperhatikan, bagaimana para orang tua mendidik anak dalam keseharian, bahkan di dalam lingkungan yang paling kecil saja yaitu keluarga. Ada karena sayangnya pada anak dan juga karena secara ekonomi kecukupan, maka anak diperlakukan dengan manja dari dini. Sehingga karena dimanjanya anak tidak bisa mandiri, bahkan anak takut bila mau melakukan sesuatu baik di rumah, di sekolah maupun saat bermain dengan teman-temanya. Sehingga anak mengalami gejala rasa rendah diri, merasa dirinya kurang. Karena anak merasa selalu terlindungi dan tercukupi. Pada akhirnya, bilamana anak memperoleh perlakuan yang berlebihan, maka ketika sudah dewasa, si anak tidak sanggup menghadapi hidup berikut dengan segala problematikanya. Si anak akan merasa kesulitan membentuk hubungan pertemanan yang berhasil bersama orang lain. Ia merasa takut dan bimbang ketika harus berkumpul dengan orang-orang yang belum pernah dikenalnya. Ia suka melakukan kesalahan-kesalahan ietapi tetap acuh. Tidak ada keinginannya
untuk
memperbaiki
kesalahan-kesalahan
tersebut
(Jamaluddin,2007: 53). Contoh yang lain, yang sering kita jumpai dalam fenomena sekarang adalah, ketika anak pulang ke rumah dalam keadaan mengerutu, lalu di sentuh
61
tangnya sebagai tanda kepedulian dan kasih sayang, maksudnya agar ia berkenan bercerita. Ternyata hal tersebut malah memperburuk situasi. Alasan yang mungkin tepat untuk menjelaskan hal ini adalah kemungkinan adanya inferiority complex pada diri si anak. Ternyata sejumlah kehati-hatian harus diambil oleh para orang tua agar tidak memperbesar masalah psikologi perasaan rendah diri yang ada pada diri anak. Hal yang paling penting, hendaknya para orang tua atau anggota keluarga tidak menunjukkan perilaku menyinggung yang menyakitkan (atau marah) terhadap perilaku keliru si anak, misalnya mengenai penampilan fisiknya. Tindakan tersebut merupakan perilaku yang kejam bila kemarahan tersebut dilakukan oleh ayah terhadap anak perempuannya, dan akan jauh lebih buruk bila kemarahan tersebut dilakukan pada saat saudara-saudara atau teman-temannya juga berada di tempat tersebut dan melihatnya dimarahi. Seorang anak yang menderita ketersinggungan dari kedua orang tuanya, disaat ia berjumpa dengan rekan-rekannya di sekolah, ia akan berperilaku suka membanding-bandingkan barang-barang miliknya dengan barang-barang miliki rekannya yang lain, seperti; pensil warna, buku-buku dengan sampul yang mengkilap, dan bahkan mainan yang dibawa secara diam-diam dari rumah (Khalfan,2004: 51).
4.2. Implikasi konsep Inferiority Complex Adler dalam jiwa keagamaan anak. Menurut Fauzul Na’im, Inferiority Complex dalam bahasa melayu adalah rasa rendah diri yang amat sangat. Dalam agama Islam sebagaimana yang
62
tercantum pada Qs. At. Tiin:4-8. Qs. Al-Bayinah:7 dan Qs. Al- Israa: 70 “Bahwa Allah menciptakan manusia khususnya orang beriman, adalah dalam sebaikbaiknya makhluk dari semua makhluk yang diciptakan Allah”. Dengan dasar ayat-ayat tersebut pada hakikatnya dimata Allah, orang yang beriman adalah orang yang dimuliakan oleh Allah dan dinilai-Nya sebagai makhluk yang terbaik. Ini merupakan modal yang cukup bagi orang yang beriman untuk tetap percaya diri dalam menghadapi permasalah tanpa harus merasa rendah diri dan takut karena Allah sebagai Sang Pencipta semua makhluk di bumi ini mendudukannya pada tempat yang mulia. Sejelek apapun adanya kelemahan yang ada pada diri seseorang, manusia haruslah berkeyakinan bahwa masih banyak hal yang jauh lebih baik diberikan Allah bahkan mungkin melebihi makhluk lainnya, apabila manusia mau menggali potensi tersebut dan yang terpenting adalah janganlah seseorang hanyut terlalu dalam dengan kelemahan-kelemahan yang dimiliki. Selama manusia berpegang teguh pada keimanan, tidak ada alasan untuk merasa rendah diri bahkan jiwa rendah diri ini akan melemahkan perjuangan manusia yang justru dilarang oleh Allah karena sesungguhnya orang beriman dimuliakan oleh Allah. Orang beriman, tidak pantas merasa rendah diri dihadapan manusia padahal Allah menciptanya. Jika itu terjadi sama dengan mengecilkan kecintaan Allah, mengecilkan kebesaran Allah bahkan tidak takut dan tidak malu pada Allah tapi justru lebih takut dan malu pada sesama manusia. Ini adalah pemahaman yang salah karena lebih mempertimbangkan pendapat manusia daripada pandangan dan penilaian Allah. Dengan dasar itulah maka orang beriman
63
seharusnya bersikap selalu merasa besar hati dalam menghadapi segala permasalahan, tidak takut dan penuh rasa percaya diri dalam berkarya. Bertindak dan memperjuangkan agama Allah bahkan semuanya harus dilandasi dengan riang gembira karena apapun hasilnya, dimata Allah tetap mulia, tahan uji dan tidak mudah putus asa karena yakin bahwa sebagai orang beriman akan selalu mendapatkan rahmat dan pertolongan Allah, selalu berpikiran positif (husnudhon) dan menghindari diri dari prasangka negatif (su’udhon), selalu bersyukur terhadap nikmat Allah dan memanfaatkan nikmat tersebut apa danya tanpa harus mengeluh terhadap apa yang tidak diterimanya karena semuanya adalah qodho dan qodar Allah yang harus diterima dan ridho sebagai ujian. Selalu berusaha memperbaiki diri sendiri dalam segala urusan dan selalu berbuat untuk kebaikan semuanya. Sikap-sikap tadi jika benar-benar diterapkan, merupakan cerminan untuk orang yang mempunyai rasa percaya diri yang kuat. Nabi Muhammad, mencontohkan betapa beliau sendirian, akan tetapi karena semangat yang terus dipompa oleh Allah melalui Malaikat Jibril telah membesarkan hati beliau untuk pantang menyerah dan tidak merasa rendah diri menghadapi para pembesar-pembesar Quraisy yang saat itu masih dalam kekafiran. Rasa percaya diri harus dilatih dan ditumbuhkan, sehingga manusia bangga akan dirinya sendiri (tidak sombong), dengan Rahmat dan nikmat Allah yang telah diberikan pada manusia.
4.3. Analisis Konseling Keluarga Islam terhadap konsep Inferiority Complex Adler dan Implikasinya pada jiwa keagamaan anak.
64
Anak dalam pandangan istilah merupakan amanah (kepercayaan) yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepada orang tua (Najlah). Anak harus dididik, diberikan kasih sayang secara baik. Anak diajarkan mengenal agama dan menjalankan kehidupan dengan baik Secara umum orang tua adalah pelindung bagi anak. Sebaliknya anak adalah permata untuk melanjutkan keturunan keluarganya. Realita sekarang yang terjadi, sebagian orang tua yang tidak mampu bersikap penuh kasih sayang dan lemah lembut. Sebenarnya ilustrasi berbagai macam perilaku bisa belajar dari psikologi binatang. Jika melihat dari perumpamaan perilaku binatang kepada anak-anak mereka akan sangat beragam pula. Contoh, seekor ikan dalam merawat anak-anaknya. Ada sebagian ikan yang mengasuhnya secara baik, misalnya anakanak ditemani mencari makan, kalau ada bahaya mengancam, maka diamankan dalam mulut ikan sementara dan dilepas kembali saat aman. Namun ada sebagaian jenis ikan lain juga memakan anaknya sendiri. Ilustrasi inipun sebenarnya mengisyaratkan perilaku manusia juga tidak ubahnya seperti binatang. Manusia beragam cara mereka memperlakukan anak-anaknya. Kalau ada anak yang mendapat perlakuan kasar dari orang tua, misalnya pemukulan, hukuman yang berlebihan atau cacian, maka sudah merupakan kekerasan kepada anak. Misalnya, anak dibesarkan dalam cercaan, maka akan tumbuh menjadi anak yang minder. Anak yang dibesarkan dengan pukulan, maka anak akan belajar melakukan kekerasan. Anak yang diperlakukan dengan tulus dan kasihsayang, maka akan mengembanglan rasa cinta kepada sesama. Maka sesungguhnya para orang tua punya pengaruh besar dalam membentuk karakter anak.
65
Menurut Najlah, Bagaimana kalau kehadiran anak ditolak oleh orang tuanya? Anak-anak yang dibesarkan dengan cara caci maki, dan perasaan negatif akan mengembangkan sikap negative pada dirinya sendiri, anak hidup dengan terus menerus mengembangkan rasa percaya diri rendah. Anak belajar mencaci maki dirinya sendiri, membunuh kreatifitasnya serta keinginan untuk bunuh diri. Anak menganggap hidupnya tidak berguna lagi dan merasa gagal. Perilaku yang dimunculkan beragam. Mulai dari menyakiti diri sendiri dengan kecanduan pada obat-obatan, suntikan, minuman keras, dan pergaulan bebas. Pada dasarnya, dapat diketahui bahwa fenomena sekarang tidak sedikit orang tua, yang mengindahkan amanah tersebut. Anak yang merupakan karunia Allah yang harusnya dididik diberi kasih sayang tetapi mereka hukum, mereka caci, cerca, hina dan mereka kengkang, parahnya lagi ditolak keberadaannya. Anak merupakan anugerah dalam keluarga. Dalam pandangan Bimbingan dan Konseling Keluarga Islam, keluarga harmonis tercapai manakala dalam keluarga dikembangkan serta dibina, sikap saling menghormati, dalam arti satu sama lain memberikan penghargaan (respon) sesuai dengan status dan kedudukannya masing-masing.” Yang kecil, yang muda, menghormati yang tua, yang tua menyayangi yang muda. Ayah dihormati sebagaimana mestinya, ibu disanjung sebagaimana mestinya, kakak dihormati sebagaimana mestinya, kakak dan adik disayangi, dilindungi, disantuni sebagaimana mestinya. Dengan kata lain di keluarga diciptakan sikap dan perilaku “saling asah, saling asih, saling asuh”, itulah keharmonisan hubungan dalam keluarga dan antar keluarga akan tercapai, dan pada akhirnya akan memunculkan kehidupan rumah tangga dan masyarakat
66
yang penuh dengan “mawaddah wa rahmah” sehingga menjadi sejahtera dan bahagia (Faqih,2001: 79-80). Secara psikologis keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak, akan dapat mencapai hubungan yang baik dan harmonis bila mereka berada pada jalurnya.Yakni pada jalur ayah-ibu, ayah-anak, ibu-anak. Hubungan baik ini berarti adanya keserasian dalam hubungan timbale balik antara semua pihak, bukan bertepuk sebelah tangan. Hubungan ini penting sekali karena tidak jarang orang tua memberikan kasih sayang kepada anak, yang tidak dirasakan oleh anak. Sebaliknya karena anak tidak merasakannya, merekapun tidak membalasnya dan tidak belajar menyatakan cinta kasih kepada orang tuanya (Gunarso,1999: 39-40). Pentingnya Konseling Islam dalam keluarga adalah karena fenomena serta problematika masyarakat sekarang, bukan saja menyangkut masalah ekonomi, sosial atau materi saja, tetapi juga menyangkut masalah-masalah jiwa atau psikis. Kondisi ini telah mengakibatkan semakin gersahnya rukhiyah manusia dari agama. Dari sinilah arti pentingnya konseling keluarga Islam serta dakwah dalam keluarga. Dengan dakwah perilaku Rukhiyah atau rohani setiap insan dapat berubah dari rasa dahaga akan agama berganti kesejukan rukhiyah yang sehat, hal ini bisa dirasakan dari siraman dakwah. Dakwah ditinjau dari segi etimologi atau asal kata (bahasa), berasal dari bahasa arab, yang berarti pangilan, ajakan atau seruan. Dalam Istilah menurut Drs. Hamzah Yaqub dalam bukunya “Publisistik Islam” memberikan pngertian dakwah dalam Islam ialah “ mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Dalam Al-qur’an
67
surat An-Nahl ayat 125 disebutkan bahwa dakwah adalah “mengajak umat manusia dengan cara yang bijaksana, nasehat yang baik serta berdebat dengan cara yang baik pula”. Dari keaneka ragam definisi dakwah tersebut meskipun terdapat perbedaan atau kesamaan, namun bila dikaji dan disimpulkan akan mencerminkan hal-hal seperti berikut: 1. Dakwah adalah suatu usaha atau proses yang diselenggarakan dengan sadar dan terencana. 2. Usaha yang dilakukan adalah mengajak ummat manusia kejalan Allah, memperbaiki situasi yang lebih baik (dakwah bersifat pembinaan dan pengembangan). 3. Usaha tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, yakni hidup bahagia sejahtera di dunia atau di akhirat (Syukir,1983: 17-21). Sedangkan menurut Sanwar (1984:3), Dakwah adalah suatu usaha dalam rangka proses Islamisasi manusia agar taat dan tetap mentaati ajaran Islam guna memperoleh kebahagian di dunia dan di akhirat kelak. Dakwah merupakan komunikasi antara manusia dengan pesan-pesan al-Islam yang berwujud ajakan, seruan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Selain itu dakwah mengandung upaya pembangunan manusia seutuhnya lahir dan batin, sehingga manusia akan memperoleh kebahagian dunia dan akhirat. Dakwah juga komunikasi antar manusia, sehingga juru dakwah perlu dilandasi dengan pengetahuan tentang komunikasi agar dalam pelaksanaan dakwahnya berdaya guna dan berhasil guna. Selain itu para Dai juga mendalami materi ajakan serta cara-cara penyajiannya. Isi atau materi dakwah bertitik
68
pangkal kepada “al-khoirul huda” serta “amar ma’ruf nahi munkar”. Amar ma’ruf yaitu yang meliputi anjuran dan ajakan untuk berbuat yang ma’ruf. Alma’ruf adalah semua perbuatan baik yang mendorong dan meningkatkan iman seseorang dan memperkuat ketaqwaannya. Sebaliknya nahi munkar adalah pencegahan perbuatan yang munkar. Dalam kerangka pencegahan kemungkaran ini juga diikuti dengan upaya merubah situasi yang munkar. Al- munkar adalah segala macam perbuatan yang mengakibatkan berkurang atau menipisnya iman seseorang dan menggoyahkan ketaqwaannya. Amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak dapat dipisahkan, kalau dipisahkan kurang bermanfaat (Sanwar,1984:3-4). Dalam dakwah pastilah harus ada mad’unya atau obyeknya. Dan tidak hanya orang dewasa ataupun orang tua saja yang menjadi sasaran atau obyek dakwah itu sendiri dan bukan pula harus banyak orang atau kelompok. Sebab aktivitas dakwah bukan saja di tujukan kepada obyek yang bersifat kelompok (orang banyak) namun kadang-kadang dapat juga bersifat individual. Keunikan individu artinya setiap individu memiliki karakteristis, sifat, kebutuhan dan sebagainya yang berbeda-beda (Syukir,1983:96-97). Dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan atau proses, dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan umum dakwah (mayor obyektif) adalah mengajak ummat manusia kepada jalan yang benar yang di ridlai Allah swt, agar dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat. Selain tujuan umum, dakwah juga mempunyai tujuan khusus yang merupakan perumusan tujuan sebagai perincian daripada tujuan umum dakwah. Tujuan ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan seluruh aktivitas dakwah dapat jelas diketahui ke mana
69
arahnya, ataupun jenis kegiatan apa yang hendak dikerjakan, kepada siapa berdakwah dengan cara yang bagaimana dan sebagainya secara terperinci. Sehingga tidak terjadi overlapping antara juru dakwah yang satu dengan lainnya yang hanya disebabkan karena masih umumnya tujuan yang hendak dicapai.Oleh karena itu ada beberapa tujuan khusus dakwah (minor obyektif) sebagai terjemahan dari mayor obyektif yaitu: 1. Mengajak ummat manusia yang sudah memeluk agama lslam untuk selalu meningkatkan taqwanya kepada Allah swt. Artinya mereka diharapkan agar senantiasa mengerjakan segala perintah Allah dan selalu mencegah atau meninggalkan perkara yang dilarang-Nya. Sebagaimana firman Allah Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2;
⌧ Artinya :”Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya berat siksaannya (bagi orang yang tolong menolong dalam kejahatan)”. 2. Membina mental agama (Islam) bagi kaum yang masih mualaf. 3. Mengajak ummat manusia yang belum beriman agar beriman kepada Allah (memeluk Agama Islam). 4. Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya.
70
Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits telah disebut bahwa manusia sejak lahir telah membawa fitrahnya yakni beragama Islam (agama tauhid). Disebutkan dalam Qs. Ar-Rumm:30,
☺
Artinya:” Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs. Ar Rumm:30). Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Rasulullah saw, bersabda, yang artinya “Setiap anak yang di lahirkan itu telah membawa fithrah beragam (perasaan percaya kepada Allah) maka kedua orang tualah yang menjadikan ia (anak tersebut) beragama yahudi, nasrani atau majusi” (HR. Imam Baihaqi). Kemudian tujuan yang masih umum itu dijabarkan lagi menjadi beberapa tujuan khusus atau lebih khusus lagi, yaitu: 1. menanamkan rasa keagamaan kepada anak. 2. memperkenalkan ajaran-ajaran Islam. 3. melatih untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam 4. membiasakan berakhlak mulia. 5. Mengajarkan Al-Qur’an. 71
6. Dan sebagainya (Syukir,1983: 54-60). Dengan penjelasan tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwasannya dakwah mempunyai tujuan agar manusia berpegang teguh pada ajaran agama Islam secara keseluruhan (kaffah), sehingga terwujud kebahagian, kesejahteran, ketentraman hidup yang seutuhnya. Sudah barang tentu, dakwah ini harus mencakup seluruh aspek kehidupan manusia didunia dan akhirat (fidunya wal akhirat). Terwujudnya suatu keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah juga merupakan bagian dari nilai-nilai Islam yang harus disampaikan atau didakwahkan. Sebab dengan kondisi keluarga yang baik, maka anak-anak akan mampu tumbuh dan berkembang dengan baik pula. Baik perkembangan jiwa keagamaannya, mental maupun fisiknya. Oleh karena Islam sebagaimana agama yang rahmatan lil ‘alamin yang ajarannya mencakup semua kehidupan, untuk mencapai kebahagian dan memperoleh ridla-Nya. Maka dari itu
Islam juga
memuat ajaran-ajaran tentang mendidik dan mengasuh anak. Karena anak adalah amanah Allah dan juga sebagai generasi penerus agama, bangsa dan juga penerus orang tua, keluarga, maka diperlukan perhatian serta kasih sayang. Sehingga anak mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki. Sebagai orang tua, untuk menjaga perasaan dan mental anak agar mereka mampu mengembangkan segala potensinya, maka haruslah anak di dukung serta dimotivasi. Bilamana anak mengalami kesulitan janganlah anak dicaci, dicerca, dihina direndahkan, karena sikap ini dapat menimbulkan perasaan atau mentalitas rendah diri (inferiority complex). Apabila anak mengalami mental rendah diri (inferiority complex), maka
72
anak akan merasa dirinya kurang, yang akhirnya anak akan mencari kompensasi. Oleh karena itu Islam memperhatikan pola asuh dan pendidikan anak. Islam menyuruh ummatnya untuk menegakkan sholat, sebab di dalam sholat ada suatu gerakan yang itu dapat dijadikan sebagai penenang berbagai persoalan, gerakan tersebut adalah sujud. Dalam sujud, bagian wajah yang merupakan bagian tubuh yang paling terlihat ditundukkan hingga ke tingkat yang paling bawah, sejajar dengan kaki yang mudah bersentuhan dengan kotoran karena fungsinya untuk berjalan dan dalam sujud terlantunkan pengakuan yang tulus yakni: “Semua kemuliaan hanyalah milik Allah semata, Tuhan Yang Maha mulia,” sementara semua manusia selaku hambaNya, hanyalah makhluk yang rendah dan tidak berarti apa-apa, kecuali mereka yang dianugerahi kemuliaanNya. Tidaklah mengherankan bila dalam sujud tidak ingin mengangkat kepala dari posisi sujud dan ingin melakoni perilaku sujud tersebut berkali-kali (Khalfan, 2004: 43). Bila anak pulang ke rumah dalam keadaan gusar ataupun kecewa berat dan berkeluh kesah atas suatu kejadian yang baru terjadi dan yang telah mengusik egonya, maka perlu segera memintanya untuk melakukan sujud dan hendaknya menuturkan kepada anak di saat ia masih dalam keadaan sujud hikmah kebenaran bahwa sesungguhnya diri si anak adalah lebih baik dari rekan-rekannya yang lain karena si anak telah mengetahui hikmah kebenaran tersebut. Satu hal yang penting bagi anak adalah mengetahui bagaimana Allah memandang dan menilai dirinya. Mungkin, dengan ini orang tua dapat menghapus benih-benih inferiority complex yang ada dalam diri anak. Seorang anak umumnya memahami arti
73
penting gerakan sujud dalam pengertian yang minimal. Namun demikian, pengaruh pentingnya gerakan sujud tersebut akan berlanjut hingga masa dewasanya. Pertama, anak akan teringgat dengan pengalaman pertamanya melakukan gerakan sujud di masa kanak-kanaknya, yang selalu ia kaitkan dengan perasaan atau persepsi yang sebenarnya keliru, yakni pandangan merasa tidak berarti di masyarakat. Suatu persepsi sebenarnya membutuhkan pemicu untuk bisa tumbuh secara kuat, dan adakah yang lebih jitu untuk itu daripada melakukan gerakan sujud? Hal yang kedua, akan tertanam dalam benaknya bahwa inferiority complex hanya muncul pada orang yang lemah pikiran dan imannya. Namun demikian, keefektifan gerakan sujud selama masa kanak-kanak tergantung pada pengalaman anak tersebut; apakah ia juga menyaksikan kedua orang tuanya melakukan sujud tatkala melaksanakan sholat? Kemudian yang tidak dapat diabaikan adalah pentingnya berdoa secara rutin kepada Allah SWT, mengharap petunjuk dalam membesarkan buah hati hingga anak bisa tumbuh menjadi anak yang saleh dengan kualitas pikir yang mantap dan keimanan yang kuat (Khalfan,2004: 60-61). Pada dasarnya semua orang tua pastilah mempunyai keinginan bahwa permata hatinya yakni anaknya mempunyai mental yang baik, kepribadian yang saleh dan dapat hidup bahagia serta dapat mencapai cita-citanya. Oleh karena itu sebagai orang tua seharusnya dapat memperhatikan dan mengasuh anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Jangan sampai anak terperangkap dalam psikologi inferiority complex , yang dapat menjadikan anak merasa rendah dan merasa dirinya kurang dalam kehidupannya. Hal ini dapat dijadikan alternatif bahan
74
dalam konseling keluarga Islam dan bahan berdakwah bagi para konselor, da’i dan juga orang yang dekat dengan anak. Karena anak merupakan penerus masa depan sehingga ini menjadi tanggung jawab bersama tidak cuma orang tua tetapi juga orang-orang yang berada di sekelilingnya. Konsep
inferiority complex yang di kemukan oleh Adler merupakan
sebuah fenomena yang terjadi pada setiap orang tetapi perasaan tersebut dapat dimininalisir. Perasaan inferiority complex akan menjadi fatal jika terjadi pada anak, apalagi anak kurang memperoleh kasih sayang serta dukungan mental dari orang yang berada di sekelilingnya untuk mencegah perasaaan inferior tersebut. Anak yang mempunyai perasaan inferiority complex akan merasa minder, anak yang dicerca, dihina maka ia akan memiliki sikap sinis, dengki, dan prasangka negatife, anak yang dimanja, akan mempunyai sikap tidak jantan, tidak berani dan tidak percaya diri, bahkan akan menjurus ke dekadensi moral dan keterbelakanan. Anak yang mengalami cacat fisik atau kekurangan dalam fisik, dan kurang diterima dalam lingkungannya, maka ia akan mempunyai sikap pesimis dalam hidupnya. Cercaan, hinaan, perlakuan yang berlebihan atau manja, penolakan adalah bagian dari gejala-gejala yang dapat menimbulkan perasaaan Inferiority complex atau rendah diri. Perasaan ini akan mempengaruhi jiwa keagamaan anak. Karena anak
tidak memperoleh perlakuan yang baik, tidak merasakan kasih
sayang. Akibat yang paling buruk adalah mereka akan merasa bahwa Allah tidak adil, sehingga mereka akan sulit untuk diarahkan agar menjadi anak yang baik, anak yang sholeh yang diharapkan menjadi insan kamil. Tapi hal ini bisa
75
diminimalisir, dengan cara orang-orang yang berada disekelilingnya memberikan kasih sayang serta menanamkan nilai-nilai agama dengan baik. Anak yang memperoleh kasih sayang, dalam keluarga serta lingkungan dimana ia berada sangatlah minim akan mempunyai perasaan Inferiority complex atau rasa rendah diri, walaupun ia memiliki kekurangan dalam fisiknya atau cacat. Anak yang tidak memiliki perasaan Inferiority complex atau rasa rendah diri, maka ia akan tumbuh dengan baik, baik itu psikis maupun fisiknya. Sehingga anak akan menjadi taat, bertangung jawab, pemberani, optimis serta tidak mudah putus asa dalam menghadapi masa depannya. Ia akan tumbuh menjadi anak yang sholeh, karena sejak dini ia telah ditanamkan nilai-nilai keagamaan. Diantaranya adalah rasa kasih sayang, rasa nerima atau qonaah atas qadho dan qadhar Allah, sehingga secara langsung dalam dirinya tertanam rasa sifat rahman dan rahim Allah. Dari penjelasan tersebut maka dapat ditarik benang merah, bahwa anakanak yang dibesarkan dengan cara caci maki dan perasaan negatife, maka ia akan mengembangkan sikap negatife pada dirinya. Anak belajar mencaci maki dirinya sendiri, bahkan membunuh kreativitasnnya. Anak yang dibesarkan dalam cercaan, maka akan tumbuh menjadi anak yang minder. Anak yang dibesarkan dengan pukulan, maka anak akan belajar melakukan kekerasan. Anak yang diperlakukan dengan tulus dan kasih sayang, maka akan mengembangkan rasa cinta pada sesama. Maka sesungguhnya orang tua mempunyai pengaruh besar dalam membentuk karakter anaknya.
76
Dakwah sebagai proses Islamisasi menuju insan yang kamil, dengan mengajak seluruh insan-NYA untuk menjalankan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Rasulullah, maka perasaan inferiority atau perasaan rendah diri ini harus
memperoleh perhatian, jangan sampai ummat Islam mempunyai
perasaan tersebut, terutama anak-anak sebagai generasi penerus Islam. Hal ini harus menjadi perhatian bersama baik orang tua, da’i, konselor dan juga guru, serta lingkungan baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. Sehingga terwujud Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
77
Secara normal, sangat sulit bagi kedua orang tua atau pihak lainnya untuk mendeteksi kondisi psikologi tertentu yang ada pada diri seseorang, atau untuk menyimpulkan bahwa suatu perilaku tertentu merupakan akibat dari mentalitas rendah diri (inferiority complex). Hal yang lebih buruk adalah adanya kenyataan orang yang suka mengerutu, karena ia merasakan dirinya “kecil” atau tidak penting di dalam masyarakat, dan bahwa ia percaya bahwa kondisi yang dialaminya tersebut adalah wajar-wajar saja, karena ia pikir juga dialami oleh individu-individu lain, yang dianggapnya juga sebagai korban di dalam masyarakat. Inferiority complex dapat menganggu jiwa setiap individu termasuk jiwa anak, maka sebagai orang dewasa, haruslah menjaga jangan sampai anak mengalami hal tersebut. Dengan cara menjadikan keluarga sebagai pembentukan akhlaq yang baik. Adapun Aplikasi pemikiran Adler tentang inferiority complex terhadap jiwa keagamaan anak tinjauan konseling keluarga Islam pada dasarnya adalah untuk membentuk jiwa keagamaan anak agar anak mempunyai budi pekerti dan berakhlaqul karimah, yang nantinya dapat menjadi generasi yang baik. Dan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, dengan memiliki anak-anak yang sholeh. Sehingga dapat menjadi usaha preventif, kuratif, preservative serta developmental dalam proses konseling keluarga Islam.
5.2. Saran- Saran
78
Dengan selesainya penulisan skripsi ini maka penulis memberikan saran kepada para pembaca sebagai berikut: 1.
Bagi Keluarga Islam, semoga penelitian ini dapat dijadikan hasanah pengetahuan dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah dengan senantiasa berpegang pada aturan-aturan agama dan norma yang berlaku khususnya dalam membentuk keluarga Islami. Sementara itu, bagi konselor khususnya dalam upaya mengetahui konseling keluarga Islam perlu diberikan wacana yang lebih luas mengenai cara membimbing klien atau keluarga sebagai fungsi preventif
2.
Bagi mahasiswa Fakultas Dakwah khususnya jurusannya BPI hendaklah lebih banyak mendapatkan pengetahuan yang bersifat praktis dalam mata kuliah yang memadai untuk mengetahui konseling keluarga Islami dengan prinsip pemberdayaan dan peningkatan profesionalisme sehingga nantinya akan didapatkan pengalaman yang memadai bagi mahasiswa untuk terjun ke masyarakat.
C.
Kata Penutup Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
79
Skripsi ini adalah hasil maksimal yang penulis dapat sajikan.Untuk lebih menyempurnakan skripsi ini, penulis sangat mengharapkan saran dan masukan yang konstruktif dari semua pihak. Sehingga lebih dirasakan manfaatnya. Akhirnya penulis mohon maaf atas segala khilaf dan semoga Allah meridloi penulisan skripsi ini, sehingga membawa manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
80
DAFTAR PUSTAKA Adler, Alfred (Alih Bahasa, Mely Septiana). 2004. What Life Should Mean To You (Jadikan Hidup Lebih Hidup), Yogyakarta Alenia. ‘Allam, Ummu .tth. Menata Asmara, Menghadirkan Surga, Solo. Bina Insani Press. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur penelitian, Jakarta: Rineka Cipta. Availible : http://www.bppsdmk.depkes.go.id/?show=detailnews&kode=97&tbl= infobadan.html. [Oktober,2007] Availible : “Tuesday, August” 15, 2006.lelucon II. Inferiority Complex:http: //9999-hikari.bloqspot.com/2006/08/lelucon-ii-Inferioritry– Complex.html.[Oktober,2007] Bakran, Hamdani. 2002. Konseling Dan Psikoterapi Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Bastaman Hanna Djumhana. 2001. Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Boeree, C.George. 2004. Personality Theorie “Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikologi Dunia”, Yogyakarta: Prismasophie. Bungin, Burhan,ed.2001. Metode Penelitian Kwalitaif: Aktualisasi Metodologi Kearah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Corey, Gerald. 1999. Teori dan Praktek Konseling dan Psikologi, Bandung: PT. Refika Aditama. Daradjat, Zakiah. 1984. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang. Dep.Dik.Nas.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Depag. RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemah. Bandung. PT. Syammil Cipta Media. Fagih, Aunur Rahim.2001. Bimbingan dan Konseling Dalam Islam, Yoqyakarta Pusat Penerbitan Universitas Islam Indonesia (UII Press).
81
Fauzul Na’im Ishak. Inferiority Complex Aku Pun Dulu Macam Itu. http://raudhatunnaim.com/2005/04/27/inferiority-complex-akupun-dulu-macam-tu.html.[Oktober,2007] Gunarso, Singgih D. 1999. Psikologi untuk Keluarga, Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia. Hallen. 2002. Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta: Ciputra Press. Kartono, Kartini. 1992. Peranan Keluarga Memandu Anak, Jakarta: PT. Rajawali. --------------------.1986. Patologi Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan, Jakarta: PT. Rajawali. Khalfan, Mohammad.A. 2004. Anakku Bahagia Anakku Sukses, Jakarta: Pustaka Zahra. Mahfuzh Jamaluddin.2007. Psikologi Anak dan Remaja Muslim, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Mansur. 2005. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muhajir, Noeng.1998. Metodologi Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik dan Realism Metaphisik Telaah Studi Teks Dan Penelitian Agama, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika. Musnawar, Thohari.1992. Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam, Yogyakarta: UUI Pres. Muhajir, Noeng.1992. Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Rake Sarasin. Moleong. Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Najlah
Naqiyah.
”Mengapa
ada
orang
tua
menelantarkan
anaknya?”:
http://syago.blogspot.com/2005/09/Permata-retakhtml.[Oktober,2007] Pujo Suwarno, Sayekti.1994. Bimbingan dan Konseling Keluarga, Yogyakarta: Menara Mas Offset. Prayitno dan Eman Amti.1999. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta.
82
Sanwar, Aminudin. 1999. Manajemen Dakwah. Semarang: Bagian Penerbit LABDA Fakultas Dakwah IAIN Walisongo. Semiawan, Conny, DKK. 1995. Pengenalan Dan Pengembangan Bakat Sejak Dini, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sumantri Sutjihati.2006. Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: PT. Refika Aditama. Surya, Moh. 2003. Teori-Teori Konseling, Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Suryabrata, Sumadi. 1995. Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafida Persada. Syukir, Asmuni. 1983. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya Al-Ikhlas. Hadi, Sutrisno. 2000. Metode Research, Yogyakarta: Andi. Ulwan, Abdullah Nashih 1996. Mengembangkan Kepribadian Anak, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Walgito, Bimo.2000. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: ANDI Wiramiharja Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal , Bandung: PT. Refika Aditama. Qohar, Mas’ud Khasan Abdul, dkk, Kamus Istilah Pengetahuan Pupoler: Bintang Pelajar. Zahrah, Muh. Abu. 1994. Membanguan Masyakakat Islami. Jakarta: Pustaka Firdaus. Zamralita dan Ninawati. 2005. Perasaan Inferioritas pada Remaja Cacat Fisik Dan Kompensasinya.http://www.Psikologi.untar.com/admin/tampil.php [September,2005]. Zulkifli L.1992. Psikologi Perkembangan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
83