KONSEP ETIKA POLITIK DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI’ATI
Oleh: SUGIYONO NIM: 103033227801
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
KONSEP ETIKA POLITIK DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI’ATI
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
SUGIYONO NIM. 103033227801
Di bawah Bimbingan
Dr. Shobahussurur NIP. 196411301998031001
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “KONSEP ETIKA POLITIK DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI’ATI” telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 26 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program Strata I (SI) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 14 Juni 2009 Sidang Munaqosah
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Dra. Ida Rosyidah, MA 196306161990032002
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA 196902101994032004
Penguji I
Penguji II
Dr. Nawiruddin, MA 19722001121003
Agus Nugraha, M.Si 196808012000031001
Pembimbing
Dr. Shobahussurur, MA 196411301998031001
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, pemilik segala kesempurnaan, sumber segala kekuatan dan daya upaya. Shalawat teriring salam semoga selalu terlimpah-curahkan kepada figur panutan dan teladan utama para pencari kebenaran, Rasulullah Muhammad saw. Untaian tutur maaf dan terima kasih teriring sujud simpuh bakti penulis sampaikan kepada Ayahanda, Thobari, dan Ibunda, Mujaeni, tercinta, yang dalam kesahajaannya tetap gigih bertekad, berjuang dan berkorban untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik bagi permata-permata hatinya. Terima kasih atas kesabaran, doa restu dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menuntut ilmu. Rasa haru bercampur bangga penulis kepada Kakak, Sumawati dan Suami Khusnan yang ada di Lamongan, Susiati dan suami Mas Tris di Surabaya, dan Keponakan tersayang, Erwin, rika, dan Adel hiasan hati dan elan vital penulis dalam rantau. Rasa terima kasih juga tak terlupakan kepada seluruh keluarga di Tangerang terkhusus Kusmiyatin dan Suaminya Mas Joko di Tangerang, penggugah semangat dalam proses studi penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada : 1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat beserta Pembantu Dekan dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
i
Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik, mengarahkan dan mendampingi penulis dalam proses pengembaraan intelektual. 2. Bapak Dr. Shobahussurur, MA. yang telah sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir perkuliahan ini. Terima kasih atas arahan, dorongan dan kerelaan meluangkan waktunya untuk mendengarkan permasalahan yang dihadapi penulis. 3. Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils. dan Ibu Dra Wiwik Siti Sajaroh, M.A., Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam yang telah membina selama masa kuliah dan membantu menyelesaikan persoalan administrasi. 4. Seluruh Pengajar dan staf Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan tuntunan dan ilmunya kepada penulis, terkhusus untuk Bapak M. Zaki Mubarok, M.Si, Dr. Nawiruddin, MA, Agus Nugraha, M. Si, Dr. Bahtiar Efendi, MA, Dr. Din Syamsuddin, MA, Dr. Saiful Muzani, MA, Eva Nugraha, M.Ag. 5. Kepada Keluarga Besarku yang berada di Jakarta dan Tangerang, Cak Amin sekeluarga, cak Mat sekeluarga, dan famili-famili yang tidak bisa disebutkan, terima kasih atas dukungan selama kuliah di Jakarta. 6. Special thank’s for my frieands, Markhamatul Aeni, Kaka Hanifa, Selviana, sebagai pendorong semangat dan motivasi, yang telah dengan sabar menunggu dan mendengarkan keluh-kesah penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Sahabatsahabatku, Ismail Marzuki, Mahfud, Jeko, Bembeng, Junaidi, , yang telah berjasa
ii
7. Kakak-kakakku, Nur Kholis, Faizin, Mas Arif, Cak Habib, Irfan, Jajak, Cak Muhib dan Istri, Cak Ali Ghozi dan istri, Cak Heri dan istri, Cak Uday Mashudi dan istri, dan Mbak Among dan suaminya, atas dorongan semangat dan nasehatnasehatnya. 8. Aktifis WASIAT (Wadah silaturrahim Alumni Tarbiyatut Tholabah) yang mensupport dan membimbing dalam menjalani hidup di perantauan di Jakarta, Cak ut, Ka Mila, Mas Amiq, Cak Huda, Cak Anam, Mas Doel Karim, Mas Kholid, mbak Umus, Mbak Latifa, Mbak Bayinah, Dail, Masykur, dan tementemen yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Tanpa mereka, niscaya penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan. 9. Sedulur Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Komisariat UIN Jakarta, Mas Kisno, Mas Robi Habibi, Mas Muhlisin, Mbak Sukma, Mas Supria, Nuryanto, Saipul, Juki, dan yang lain. Hormat kami persembahkan untuk ketua Cabang PSHT Cabang Jakarta Selatan, Pak Dr. Surahman, SH,MH,MM dan rayon se Jakarta Selatan. 10. Kepada teman-teman di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Badan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta (BEMU), Aliansi BEM PTAI se-Indonesia Raya, FORKAS Futsal Club, PARAMUDA Foundation, ELSAS, Forum Mahasiswa Ushuluddin se-Indonesia (FORMADINA), Lingkar Studi dan Aksi Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Komunitas Bambu Apus (KOMBA), Ikatan
iii
Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Forum Mahasiswa Lamongan (FORMALA), Akbar Tanjung Institut (ATI), LP3ES, Piramida Circle, Lembaga Surve Indonesia (LSI),
Laboratorium Politik Islam (LPI), Institut Lembang Sembilan (IL9),
Pemuda Pembaharuan PDP, Pemuda Partai Demokrat, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 11. Terakhir, buat seluruh masyarakat PPI khususnya angkatan 2003, semoga Allah selalu memberikan Rahmat-Nya kepada kita semua. Selanjutnya, kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih seraya berdoa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah dengan balasan yang lebih baik di dunia maupun di akherat nanti. Akhir kata, semoga skripsi ini menambah cakrawala berfikir bagi pembacanya. Segala saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan agar dapat menyusun sebuah karya tulis ilmiah yang lebih baik lagi di masa-masa mendatang.
Jakarta, 26 Juli 2009
Penulis
iv
v
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...............................................................................................
i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................. 4 C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 5 D. Kajian Pustaka ....................................................................................... 6 E. Metode Penelitian .................................................................................. 6 F. Sistimatika Penulisan ............................................................................ 8 BAB II : BIOGRAFI ALI SYARI’ATI ................................................................... 9 A. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan .................................................. 9 B. Karir dan Aktifitas Politik Ali Syari’ati ............................................... 12 C. Karya–karya Ali Syari’ati ..................................................................... 16 BAB III : STUDI TENTANG ETIKA POLITIK ................................................... 19 A. Pengertian Dasar ................................................................................... 19 1. Pengertian Etika .............................................................................. 19 2. Pengertian Politik ........................................................................... 21 B. Gambaran Umum tentang Etika Politik ............................................... 23 C. Sejarah Etika Politik ............................................................................. 27 D. Etika Politik dalam Teologi Islam ........................................................ 33 1. Politik Islam Sunni ......................................................................... 34 2
Politik Islam Syi’ah ........................................................................ 39
v
BAB IV : KAJIAN KRITIS TENTANG KONSEP ETIKA POLITIK ALI SYARI’ATI ...................................................................................... 46 A. Masyarakat Ideal Pandangan Ali Syari’ati .......................................... 49 B. Konsep Kepemimpinan Politik ........................................................... 52 C. Islam sebagai Dasar Etika Politik Syari’ati ......................................... 56 BAB V : PENUTUPAN ........................................................................................... 65 A. Kesimpulan .......................................................................................... 65 B. Saran-saran .......................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 69
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Etika merupakan problematika dan tantangan manusia sepanjang sejarah. Pada dasarnya peradaban manusia telah melahirkan nilai-nilai etika yang mulia, tetapi kemuliaan nilai-nilai tersebut masih memiliki kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Al-Quran telah menggambarkan bahwa bangsa-bangsa terdahulu seperti kaum Ad, Tsamud, Saba’, dan kaum nabi Luth, menunjukkan bahwa eksistensi kaum tersebut ditentukan oleh etika bangsanya. Agama Islam hadir di tengah bangsa Arab yang sedang merosot etikanya. Islam datang dengan membawa misi utama perbaikan etika bangsa Arab yang telah jauh menyimpang dari peradaban manusia. 1 Maka misi utama nabi Muhammad diutus sebagai Rasul Islam terakhir yang diturunkan Allah untuk menuntun dan membimbing gejola ambisi manusia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Innama buitstu li utammima makarima al akhlaq, yang artinya: tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan Akhlak. 2 Pembahasan etika sudah dimulai jauh hari, bahkan sebelum adanya negara yang mengatur tata kehidupan manusia dalam masyarakat. Dalam era Yunani, pembahasan filsafat etika dimulai pada abad kelima sebelum masehi, muncul tokohtokoh filsafat yang membahas etika seperti; Phytagoras, Sokrates, Plato, dan
1
Abdul Qodir Jailani, Negara Ideal: Menurut Konsepsi Islam , (Surabaya: Bina Ilmu, 1995)
h.149 2
Ihsan Ali, “Perjalanan Nab”i, Diakses tanggal 24 Februari 2008, 20:10 http: //www. suara-islam.com.
1
Aristoteles. 3 Namun dalam kajiannya para filosof belum mendefinisikan etika secara spesifik seperti yang ada dalam sekarang. Secara umum, etika adalah masalah yang fleksibel dan tidak dapat dipisahkan dari perilaku manusia. Ia adalah sebagai bahan acuan dan norma yang mengatur perilaku, namun dalam menentukan penilaian terhadap perilaku orang lain sangat dipengaruhi oleh kekuatan intuisi sehingga hasil dari penilaian tersebut akan sangat beragam. Karena tidak adanya barometer yang mampu mendeteksi nilai positif dan negatif setiap perilaku, untuk itu perlunya adanya barometer atau alat yang tepat dalam mengukur hasil penilaian terhadap setiap perilaku. Etika bukan hanya suatu keharusan dalam perilaku politik, namun dalam segala bentuk aktivitas manusia tidak terlepas dari nilai-nilai etika sehingga inti dari permasalahannya terletak pada cara pandang yang berbeda dalam memaknai etika. Dilain pihak kadang nilai etika tersebut diukur dengan intuisi dan dilain pihak pula etika tersebut sering diukur dengan agama. 4 Sebagaimana pemikir Yunani, Socrates mengatakan bahwa untuk mencapai kebijakan (virtue) manusia harus memiliki pengetahuan dan tolak ukur mengenai apa yang baik dan buruk. Untuk itu manusia perlu memahami etika serta menggunakan akal atau rasionya secara maksimal. 5 Plato dan Aristoteles juga menganut prinsip mementingkan kebijakan (vertue) dalam mengatur negara yang ideal. Kebajikan menurut mereka adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan atas nama agama haruslah dimaksudkan untuk mencapai kebajikan itu. 6
3
Thomas Aquinas juga berujar bahwa tugas penguasa
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat, cet. Ke-11, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) h. 51-
52 4
Vikar, Islam dan Politik, artikel di akses tanggal 26 Januari 2008 dari http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/15/0805.ht 5 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia, 2001) h. 35 6 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 37
2
negara yang utama adalah mengusahakan kesejahtraan dan kebajikan hidup bersama. Untuk itu penguasa negara dituntut untuk memenuhi kebutuhan materil, diantaranya sandang dan pangan. 7 Bagi para pemikir politik Islam, politik terkait erat dengan etika. Bedanya, jika pemikir Yunani membicarakan keterkaitan itu dalam wilayah filsafat moral, pemikir politik Islam mendiskusikannya dalam naungan teologi. Ini indikasi, bahwa bagi Islam persoalan politik tidak terpisah dengan persoalan agama. 8 Pemikiran politik telah menjadi persoalan yang paling banyak digeluti oleh kaum intelektual Muslim selama dua abad terakhir ini. Hal ini dapat dijelaskan, terutama oleh perjuangan yang tengah berlangsung di kalangan rakyat muslim di berbagai negara untuk memperoleh kemerdekaan politik dan kebebasan dari ketergantungan kepada kekuatan-kekuatan Barat. Salah satu tokoh intelektual dan aktivis politik yang berorientasi pada kebijakan atau etika adalah Ali Syari’ati. Tahun 1970-an, ia telah membawa perubahan-perubahan besar dalam dunia Muslim. Dari Sudan sampai Sumatra, agama timbul kembali sebagai faktor penting dalam politik muslim. 9 Ali Syari’ati sebagai pemikir terkemuka di Iran sangatlah luas gagasannya. Ia tidak memandang agama sebagai spesialisasi ilmiah atau satu kebudayaan, tapi ia menjadikannya sebagai sebuah ideologi dan mazhab pemikiran sebagai satu sistem keyakinan. Ini berarti memahami agama sebagai suatu gerakan kemanusiaan, historis, dan intelektual. 10 Etika sebagai basis pemikiran dan gerakan menjadikan
7
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 100 Nurcholish Madjid, Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni, dalam Budy Munawar-Rachman (editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h.588. 9 Ali Syari’ati, pengantar Membangun Masa Depan Islam, ( Bandung: Mizan, 1988 ) h. 11 10 Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1992) h. 18 8
3
manusia sebagai rusyanfikrn, yaitu kaum intelektual dalam arti yang sebenarnya. Kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat, menangkap aspirasi mereka, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi, dan alternatif pemecahan masalah
11
. Salah satu
pernyataan Syari’ati adalah ”Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan”. Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati adalah ” agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah dunia”. 12 Berdasarkan latar belakang di atas, kemudian menarik perhatian penulis untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam satu pembahasan dengan judul: Konsep Etika Politik Dalam Perspektif Ali Syari’ati
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Menguraikan tentang Pemikiran Ali Syari’ati merupakan hal yang sangat luas sekali pembahasannya, karena beliau dengan segala fenomena telah banyak sekali kiprah dan sumbangsihnya dalam segala aspek kehidupan di seluruh dunia, terutama di negara Islam. Untuk itu, dalam hal ini penulis akan memfokuskan penulisan skripsi ini pada konsep-konsep etika atau moralitas politik dan Kajian Biografi Ali Syari’ati Pertama, studi etika politik yang di dalamnya menyoroti tentang; pengertian dasar, gambaran umum, sejarah etika politik, dan etika politik dalam teologi Islam, yang meliputi politik Islam Sunni dan Syiah; konsep etika politik Ali Syari’ati yang 11
12
Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual, (Bandung: Mizan, 1985) h. 14 Ekky Malaky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, ( Mizan: Juli 2004 )
h. 119
4
meliputi konsep masyarakat ideal, konsep kepemimpinan politik, yang meliputi hak, kewajiban, dan tanggung jawab penguasa; dan konsep Islam sebagai dasar etika politik, berkenaan dengan landasan ideologi Islam sebagai ruh perjuangan dan tolak ukur etika. Ini diharapkan mampu menjadi pisau analisis dalam memahami konsep pemikiran Ali Syari’ati tentang etika politik. Kedua, kajian biografi digunakan sebagai penelusuran mengenahi, siapa Ali Syari’ati dan peran politik Ali Syari’ati di negara Iran. Berdasarkan pada pembatasan masalah diatas, maka penulis melakukan perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan yaitu: bagaimana konsep etika politik dalam perspektif Ali Syari’ati?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menjelaskan pengertian etika politik 2. Untuk menjelaskan konsep politik Ali Syari’ati 3. Sebagai upaya untuk memahami konsep etika politik perspektif Ali Syari’ati.
D. Kajian Pustaka Dalam skripsi ini penulis ingin mengetahui bagaimana konsep pemikiran etika politik Ali Syari’ati. Dari hasil pengetahuan penulis ada beberapa tulisan terkait dengan Ali Syari’ati, Sebut saja misalnya Ibrahim Jamil Tanjung, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi: konsep Ummah dan Imamah dalam Perspektif politik Ali Syari’ati 1933-1977 (skripsi). Dalam tulisan ini dibahas pemikiran Syari’ati
5
tentang konsep dasar mazhab pembebasan, konsep Ummah dan Imamah, serta pembahasan perjuangan Ali Syari’ati. Firman, Haji: Perjalanan Manusia Menuju Tuhan (Sebuah Telaah Terhadap Karya Pemikiran Ali Syari’ati) (skripsi), tulisan ini menyoroti pemikiran Ali Syari’ati tentang konsep manusia dan haji dari sudut pandang filsafat dan sosiologi. Sementara itu, tulisan yang membahas tentang etika politik Ali Syariati belum ada. Oleh karena itu, penulis akan memfokuskan dalam skripsi ini mengenahi pemikiran etika politik Ali Syari’ati yang di kaji dan dianalisa dari berbagai sumber, baik dari buku, majalah, jurnal, artikel, ataupun data-data kepustakaan lainnya
E. Metode Penelitian Dalam pembahasan skripsi ini penulis menggunakan teknik analisis data (deskriptif-analisis), yaitu data yang saya dapatkan tentang etika politik Ali Syariati akan saya uraikan secara umum dengan cara menguraikan sesuai dengan data yang ada di lapangan. Jenis penelitian deskriptif analisis ini dimaksud untuk menggambarkan obyek atau fakta sosial yang diamati dengan duduk permasalahan dan hubungan sosial yang terdapat di dalamnya. Dengan teknik ini diharapkan mampu memahami apa yang menjadi pokok permasalahan. Secara kategoris, teknik pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan penelitian pustaka (library research), yaitu dengan memanfaatkan sumber informasi yang terdapat di Perpustakaan dan informasi yang tersedia, baik yang terdokumentasikan dalam bentuk buku, majalah, jurnal, artikel, ataupun data-data kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan konsep etika politik dalam pandangan Ali Syariati. Selain itu sumber data dalam teknik penulisan skripsi ini
6
dengan menggunakan sumber data primer dan sekunder. Data primer adalah obyek kajian utama yang berupa karya-karya Ali Syariati seperti, Ummah dan Immama: Suatu Tinjauan Sosiologis, Membangun Masa Depan Islam, Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Paradigma Kaum Tertindas; Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Tugas Cendikiawan Muslim, dan Pemimpin Mustadh’afin. Sedangkan data sekunder merupakan tulisan-tulisan yang mendukung mengenai pembahasan tentang revolusi dalam pandangan Ali Syariati, seperti karya Deden M. Ridwan, Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendikiawan Indonesia, Ali Rahmena, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner , Antony Black, Pemikiran Politik Islam atau karya-karya lain yang berhubungan dengan pembahasan. Untuk teknik penyusunan atau penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ” tahun 2005/2006.
F. Sistimatika Penulisan Untuk mempermudah membahas dan penulisan yang lebih sistematis, maka penulis menyusun kedalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub bab, yaitu: Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, kemudian pembatasan dan perumusan masalah, dilanjutkan dengan tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.
7
Bab kedua, biografi politik Ali Syari’ati yang meliputi latar belakang sosial dan pendidikan, karir dan aktifitas politik, dan karya –karyanya. Bab ketiga, merupakan pembahasan tentang etika politik, yang meliputi pengertian etika dan politik, gambaran umum etika politik, sejarah etika politik, etika politik dalam teologi Islam; politik Islam sunni dan politik Islam Syiah. Bab keempat, pembahasan tentang etika politik dalam perspektif Ali Syari’ati, yaitu masyarakat ideal pandangan Ali Syariati, konsep kepemimpinan politik , dan Islam sebagai dasar etika politik Ali Syari’ati Bab kelima, adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran, yang berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan skripsi
8
BAB II BIOGRAFI ALI SYARI’ATI
A. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan Ali Syari’ati, anak pertama dari Muhammad Taqi dan Zahra 13 , dilahirkan pada tanggal 24 November 1933 di sebuah desa kecil di Kahak, sekitar 70 kilometer dari Sabzevar, propinsi Khorasan Iran. Dia merupakan anak pertama dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani, dengan tiga orang saudara perempuannya, Tehereh, Tayebeh, Batul (Afsaneh). Ali hidup dalam lindungan keluarga penyayang dari masyarakat urban kelas menengah bawah. Ibunya bernama Zahra, yang merupakan sosok perempuan relegius yang memiliki dedikasi dan pekerja keras. Ia mengatur rumah tangga dan membesarkan anak-anak dengan memberi contoh tingkah laku yang baik. Stamina dan kesabarannya dalam menghadapi kondisi ekonomi keluarga yang serba kurang menjadikan ia sosok ibu yang dikagumi Ali. Sedangkan Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad. Ia bekerja di lebih dari satu institusi pendidikan di kota Masyhad untuk kehidupan keluarga. Dari sebuah keluarga sederhana itulah Ali tumbuh dan besar dengan dibekali pengertian bahwa moralitas dan etika adalah nilai-nilai yang mengangkat status dan kehormatan sosialnya, bukan uang. Ia tidak malu karena kondisi mereka yang cukup miskin, justru keluarga Syariati bangga akan hal itu. Dalam hal pendapatan keluarga yang minim, Zahra adalah orang yang bersedia melakukan semua bentuk 13
Ali Syariati, Islam Agama ”Protes”, terj. Satria Pinandito, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1993), h. 7
9
pengorbanan pribadi. Dia menerima kehidupan yang menyedihkan dengan makan yang paling sederhana, sementara menyiapkan makanan yang cukup bagi anggota keluarganya. Tanpa memperdulikan kualitas dan model pakaiannya, dia memastikan bahwa semua anggota keluarganya yang lain akan kelihatan bisa terhormat. Dari sinilah Ali mewarisi karakter dan sifat ibunya, sensitivitas mistik, kerja keras, tegas, toleran, dan halus. Sedangkan dari ayahnya telah memberi kepercayaan diri melalui ilmu pengetahuan dan status sosial serta spirit politik dan etika.
14
Taqi Syari’ati
adalah merupakan model dan pengaruh formative bagi sang anak dalam pandangan keagamaan dan sosial-politik: Bapakku itu membentuk dimensi-dimensi yang pertama bagi semangatku. Dialah
yang mengajarkanku seni berfikir dan seni
makhluk manusiawi... Saya berangsur besar dan matang dalam perpustakaannya yang baginya merupakan keseluruhan hidupnya dan keluarga. 15 Ali memasuki sekolah dasar Ibnu Yamin sebulan setelah sekutu menginvansi Iran tahun 1941. Walaupun Ali hanya seorang anak laki-laki kecil, ia menyaksikan keberadaan dan gerakan tentara-tentara Uni Soviet di Masyhad. Ini merupakan kondisi yang memprihatinkan karena makanan sulit didapat. Di sekolah dasar Ali pendiam dan pemalu, ia lebih suka memisahkan dirinya dari aktivitas kawan-kawannya. Bahkan ketika kumpul dalam keluarganya ia juga sering
melamun, berbicara dan hidup dalam pikirannya sendiri dengan tidak
memperdulikan dunia di sekitarnya. Di sekolah Syari’ati tidak tertarik pada pelajaran dan tidak termotivasi untuk belajar keras, bahkan ia sering bolos. Sering kali pergi ke sekolah tetapi bersembunyi di suatu tempat dalam gedung sekolah untuk menghindari masuk kelas. Guru-gurunya banyak mengeluh kepada ayahnya 14
Ali Rahnema, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien Wahid dkk., ( Jakarta: Erlangga, 2000 ) h. 53 15 Ali Syariati, On the Sociology of Islam, (Bandung: Mizan Pers, 1979) h. 17
10
mengenai kemalasan Syari’ati. Prestasi dia biasa-biasa saja tetapi cukup untuk membuat dia naik kelas, padahal Ayahnya yang juga guru dalam sekolah itu mengharapkan ia menjadi murid yang teladan namun Syari’ati muda tidak memenuhi harapan itu. Meskipun Syari’ati malas di sekolah, namun dia senang membaca. Sejak dia kelas lima dan enam sekolah dasar Syari’ati sering terjaga dan membaca dengan ayahnya sampai larut malam. Ia menenggelamkan dirinya di perpustakaan ayahnya yang mengoleksi buku 2000 jilid. 16 Dalam praktik, kelihatanya Syari’ati mengganti belajar di kelas dengan belajar dan membaca buku di rumah yang membuatnya tertarik dan senang. Ini menjadikan Syari’ati pintar dan lebih terdidik dibanding teman-temannya meskipun ia tidak harus ranking satu. Dalam masa studi selanjutnya sifat pendiam dan kesendirian Syari’ati masamasa kecil berubah menjadi sosok yang ceria dan nakal. Ia suka mengorganisir anak-anak tetangganya untuk bermain. Ia menghabiskan waktu untuk bermain layang-layang, melatih merpati, dan berputar-putar di jalan. Di kelas ia sering membuat lelucon bahkan ketika ada gurunya. Sampai ia terpengaruh dengan teman kecil terdekatnya, Falsafi yang membuat Syari’ati meninggalkan perilaku bebasnya dan tertarik dengan studinya. Setelah menyelesaikan sekolah dasar di Ibnu Yamin, pada bulan September 1947 Syari’ati memasuki sekolah Menengah Firdaus. Di lingkungan sekolah ada perpustakaan, laboratorium ilmu pengetahuan, fasilitas olah raga dan teater. Di sekolah menengah, Syari’ati terkenal di antara teman-temannya sebagai murid pemalas, tetapi bisa bersosialisasi dan sangat menyenangkan untuk dijadikan teman.
16
Ali Rahnema, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, h. 58
11
Di lain sisi dia dikenal sebagai anak kalem, bijaksana, dan cerdas. Tahun 1956, Ali Mazinani melanjutkan studi di Fakultas Sastra universitas Masyhad. 17 Tahun 1960 ia mendapat beasiswa dari pemerintah Iran dan melanjutkan pendidikan di Universitas Sorbonne, Perancis. Kembali ke Iran Syariati menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi di Teheran. 18
B. Karir dan Aktifitas Politik Ali Syariati Ali
Syari’ati
(1933-1977)
merupakan
tokoh
reformis
Iran
yang
mempersatukan banyak arus reformasi pada masanya: oposisi terhadap rezim Shah, penolakan Westernisasi, revivalisme keagamaan, dan pembaharuan sosial. Semenjak dalam pendidikan lanjutan atas, dia aktif dalam gerakan remaja yang diasuh bapaknya, bernama Pusat Penyebaran Ajaran Islam (Center for the Spread of Islamic Teachings), bertujuan menanamkan semangat Islam dalam kalangan angkatan Muda Iran, menamakan kesadaran akan relevansi Islam dengan kehidupan bangsa Iran dewasa ini. 19 Kemudian pada periode 1950-1951, Ali Mazinani seperti ayahnya, bergabung dengan Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan (Movement of God Worshipping Socialists) yang berikhtiar melakukan sinthesa antara Syi’ah dengan sosialisme Barat. 20 Bapak dan anak itu pun aktif dalam gerakan nasionalis yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Mushadiq. Ketika gerakan itu pecah menjadi Liga Kemedekaan Rakyat Iran, ia juga ikut bergabung. Setelah Mushadiq gagal melancarkan kudeta tahun 1953, ia ikut dalam Gerakan Perlawanan Nasionalis 17
Ali Rahnema, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, h. 60 Antoni Black, Pemikiran Politik Islam, terj. Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 585 19 Ali Syariati, On the Sociology of Islam, (Bandung: Mizan Pers, 1979) h. 25 20 Antoni Black, Pemikiran Politik Islam, 585 18
12
(National Resistance Movement). Karena gerakan itulah ia bersama ayahnya dipenjara di rumah tahanan Qazil Qala’ah, Teheran selama 8 bulan sebagai akibat gerakan oposisinya melawan Rezim Syah Reza Pahlevi. 21 Setelah menyelesaikan studi pada Teacher Training College (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) kemudian Ali mengajar pada sekolah dasar. Pada masa inilah dia menemukan pahlawan kedua atau model bagi kehidupan Islam, yaitu Abu Dzar al-Giffari (wafat 32 H/653 M). Ia merupakan seorang sahabat nabi Muhammad yang pada masa belakangan menuduh kemewahan dan korupsi dalam kehidupan istana para pembesar khafilah dan sebagai pahlawan yang memperjuangkan perbaikan kehidupan kaum melarat. Dalam pandangan Syariati dan dalam pandangan aktivis-aktivis sosialis muslim, Abu Dzar adalah perlambang perjuangan keadilan sosial sepanjang Islam atau sosialisme Islam. Selain itu beliau juga merupakan
perlambang
oposisi
Islam
terhadap
korupsi
dan
kosentrasi
kemakmuran. 22 Tahun 1956, ketika Ali Syariati menempuh pendidikan dengan mengambil studi Islam dan sosiologi di Universitas Sorbonne, Perancis inilah ia menjalin hubungan secara pribadi dengan intelektual terkemuka seperti Louis Massiggnon (Islamolog Prancis beragama Katolik), Jean-Paul sartre, “Che” Guevara, dan Jacques Berque. Ia juga bertemu dengan Henri Bergson dan Albert Camus. 23 Selama di Prancis ia memberikan sumbangan bagi perkembangan dalam bidang intelektual dan politik.
Disana juga ia aktif dalam Gerakan Pembebasan Iran (Liberation
Movement of Iran) yang dibangun oleh Mehdi Bazargan dan Ayatullah Taliqani dan
21
Ekky Malaky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Bandung: PT. Mizan Publika, 2004) h. 19 22 John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990) h, 255 23 Ekky Malaky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, h. 19
13
menerbitkan secara berkala Free Iran ( Iran Merdeka). 24 Dalam studi di Perancis itu, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan sekaligus memperbudak pemikiran pelajar Iran. Dia melihat adanya proses pembaratan total yang membentuk eropanoid. Dari sini muncul pemikirannya dan memetakan inteletual Islam yang meniru dan ‘intelektual Islam sejati’. Intelektual sejati mengikuti tradisi Nabi. Perenungannya ini kelak membuatnya berpikir tentang Rausyanfikr (intelektual yang tercerahkan) tercermin dari aktifitasnya di Hussainiah Irshad dan kumpulan tulisan What is To Be Done Pada tahun 1965, ketika Ali Mazinani pulang ke Iran, pihak pemerintahan Shah menganggapnya suatu ancaman. Ia ditangkap di Bazarqan (perbatasan IranTurki) dan dipenjara 1,5 bulan karena aktifitasnya di Paris menantang pemerintahan. Ali pun dibebasan tapi kemudian ia tidak boleh lagi mengajar di Teheran University. 25 Periode 1967-1973 adalah periode paling aktif dalam hidup Ali Mazinani. Ia pergi ke Teheran dan mengajar di Masyhad, Hussainiyah Irshad serta beberapa universitas dan lembaga pendidikan Islam lainnya. Dalam wanktu singkat, ia menjadi populer di kalangan mahasiswa dan meluas ke masyarakat umum. Di Teheran, Ali Syariati diangkat sebagai pemimpin Pusat Bimbingan Keagamaan Husainiah (Husayniyah Irshad Religious Center), sebuah lembaga pendidikan untuk kenangan kepada Husain bin Ali (wafat 61 H/681 M) yang mati syahid di Karbala. Lembaga pusat itu merupakan simbul perjuangan yang hakiki dari Husain dalam menentang penindasan dan ketidak-adilan Khilafah Umayyah. Bagi syariati, lembaga itu melambangkan situasi rakyat Iran dewasa itu. 24 25
John L. Esposito, Islam dan Politik, h, 256 Ekky Malaky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, h. 19
14
Dalam perkuliaan di Teheran, Ali Syariati merupakan sosok yang dikagumi oleh mahasiswa, kalangan intelektual, dan kalangan kiri sehingga menyebabkan pihak otoritas menuduhnya “ Marxist Muslim”. Selain itu aktifitasnya yang selalu dianggap mempropagandakan perlawanan membuat khawatir Syah Pahlevi. Karena itulah pada September 1973, SAVAK menangkap ayah Ali Syariati dan memenjarakannya selama 18 bulan Karena desakan masyarakat Iran dan juga protes dari dunia internasional, pada 20 Maret 1975 Ali Mazinani terpaksa dibebaskan. Ia kemudian diawasi dengan ketat dan diharuskan tinggal di desanya, Marzinan. Ia dilarang menerbitkan buku, dan dilarang berhubungan dengan murid-muridnya, namun secara diam-diam ia tetap memberikan kuliah perlawanan. Menyadari dibatasi, Muhammad Ali Mazinani mengganti nama resminya menjadi Ali Syari’ati dan meninggalkan Iran pada 16 Mei 1977 menuju London. Pergantian nama ini dimaksudkan agar ia tidak terdeteksi pihak bandara dan polisi Iran (SAVAK). Lama tidak terlihat, pada 8 Juni 1977 SAVAK mengeluarkan edaran bahwa Ali Mazinani telah meninggalkan Iran secara illegal dengan mengganti nama menjadi Ali Syari’ati. 26 Tanggal 18 Juni, Pouroan, istri Syaria’ti, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London, tetapi tidak dijinkan oleh pihak berwenang. Tetapi Soosan dan Sara, dua anak lainnya dibolehkan. Begitu tiba di Heathrow, Syari’ati menjemput
26
Ekky Malaky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, h. 25
15
mereka dan membawa mereka ke sebuah rumah sewaan di daerah Southampton, Inggris. Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977 Syari’ati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya ia dibunuh oleh Polisi rahasia Iran. Sang istri menolak biaya pemakaman dari pemerintah karena tidak ingin terlibat dalam eksploitasi nama suaminya demi kepentingan propaganda Syah Pahlevi. Syari’ati lalu dimakamkan pada 27 Juni 1977 di Damaskus, Suriah, bersebelahan dengan makam Zainab, cucu nabi dan saudara perempuan Imam ketiga, Husein bin Ali. 27 Innalillahi wainnailaihi rojiun. Kematiannya menjadi mitos “Islam Militan”. Pada hari ke-40, kematiannya diperingati di sekolah menengah atas Ameliat, Beirut, dan mirip dengan pertemuan puncak berbagai organisasi pembebasan dari berbagai Negara seperti Lebanon, Pakistan, Iran, Amerika, Kanada, Zimbawe, dan sebagainya. Roh perjuangannya terus mengalir dalam tiap nadi rakyat Iran, masyarakat Arab dan Internasional, menyusup dalam kesewenang-wenangan kekuasaan hingga memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran Februari 1979. Fotonya mendominasi di jalan-jalan Teheran, berdampingan dengan Ayatullah Khomeini. 28
B. Karya-karya Ali Syariati Ali Syari’ati merupakan seorang pemikir Islam yang inovatif, menganut pendirian yang kontras dan tajam dengan interpretasi keagamaan tradisional dari pihak ulama dan begitu pun dengan pandangan sekuler ala Barat dan kebanyakan 27 28
Antoni Black, Pemikiran Politik Islam, 572 Ekky Malaky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, h. 26
16
mahaguru Universitas. Ia dipengaruhi oleh kaum modernist Islam seperti Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Iqbal. Ia juga menegaskan watak Islam yang dinamik, progresif, dan ilmiah untuk mengatasi kemunduran negara-negara Islam dan untuk membangkitkan vitalitas masyarakat Islam. Ali Syari’ati menggabungkan pemikiran Islam dengan bahasa ilmiyah Barat dalam ikhtiar mengungkap ideologi Syiah bagi pembaharuan sosio-politik. Kumpulan kuliah Dr. Ali Syariati dan berbagai karya lainnya mencerminkan Iran-Islam pada masanya: “sebab-sebab kemunduran Agama” (Reasons for the Decline of Religion), “Mesin dan Tawanan Paham Serbamesin” ( the Machine and the Captivity of Machinism), dan “Manusia tanpa Pribadi: dua Konsep Asing” (Man Without Self: Two Concepts of Alienation), “Revolusi Nilai-nilai” (A Revolution of Values), “Tauhid: Filsafat Sejarah” (Tauhid: a Philosophy of History). 29 Penulis tidak akan menulis satu-persatu karya Dr. Ali Syariati, namun hanya karya-karya beliau yang terkenal dan releven dengan kajian skripsi penulis. Diantara karya Ali Syariati adalah: Rahname-ye horasan, teheran: Entesharat, 1363. Collected Work (C.W) 35 jilid yang dihimpun dan dikoreksi oleh Daftar –e Tadvin va Tamzim-e Majmu-eh-e Asar-e Mo’alem-e Shahid Doktor Ali Syariati. Namun banyak karya Ali Syariati yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia antara lain: Ummah dan Immamah: Suatu Tinjauan Sosiologis (Bandung: Pustaka Hidaya, 1995), Membangun Masa Depan Islam (Bandung: Mizan, 1989), Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam (Bandung: Mizan, 1985), Ali Syariati, On the Sociology of Islam (Bandung: Mizan Pers, 1979), Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi (Bandung:
29
Mizan,
1992),
Pemimpin
Mustadh’afin
Ali Syariati, On the Sociology of Islam, h. 17
17
(Bandung:
Muthahhari
Paperbacks, 2002), Agama versus “Agama”, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya (Bandung: Mizan, 1990 ), Paradigma Kaum Tertindas; Sebuah Kajian Sosiologi Islam, dan Tugas Cendikiawan Muslim.
18
BAB III STUDI TENTANG ETIKA POLITIK Dewasa ini pemahaman etika dan politik ibarat air dengan minyak. Keduanya sulit untuk dipertemukan dalam posisi yang sama. Etika atau moral dianggap sebagai nilai yang keserba-baikan, keserba-sucian dan keserba-murnian. Sementara, politik mewakili hal-hal yang kotor, licik, intrik, manipulasi dan sejenisnya. Untuk melihat sejauh mana titik singgung dan titik pisah diantara keduanya, dalam bab ini, penulis memaparkan tentang studi etika politik secara umum. Terlebih dahulu akan dipaparkan pengertian dasar tentang etika dan politik untuk membentuk mainstream sebagai pondasi memahami etika politik lebih luas.
A. Pengertian Dasar 1. Pengertian Etika Kata etika berasal dari kata ethos, bahasa Yunani yang mempunyai arti dalam bentuk tunggal; tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kebiasaan adat, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak “ta etha” yang artinya adalah adat kebiasaan. 30 Etika adalah ilmu tentang adat kebiasaan untuk mengatur tingkah laku manusia. Baik atau buruk perbuatan manusia dapat dilihat dari persesuaian dengan adat istiadat yang umum berlaku di lingkungan dan kesatuan sosial tertentu. 31 Pendapat lain mengatakan etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Etika adalah ilmu bukan
30
K. Bretens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 4. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1990), h. 592 31
19
sebuah ajaran. Apabila etika menjadi penelitian sistematis dan metodis, maka etika disini sama artinya filsafat moral. 32 Emile Durkhem mendefinisikan pengertian moral meliputi tiga unsure; Pertama, unsur moral adalah semangat disiplin. Kedua, keterikatan pada kelompok sosial; moral berarti aktivitas yang impersional (tidak mengenai orang tertentu). Ketiga, otonomi penentuan nasib; otonomi menyangkut keputusan pribadi dengan mengetahui
sepenuhnya
konsekuensi-
konsekuensi
dari
tindakan
yang
dilakukanya. 33 Kata lain dari etika adalah akhlak, dari bahasa arab. Dalam bahasa Indonesia akhlak berarti tata susila atau budi pekerti yang merupakan kata majemuk dari kata budi dan pekerti. 34 Dalam bahasa arab kata ini berasal dari khalaqa yang berarti menciptakan, seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluk (yang di ciptakan), dan khalq (pencipta). Dan akhlak dalam bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, dan tabiat. Akhlak memang bukan saja tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antara sesama manusia, tetapi juga mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan bahkan dengan alam semesta.35 Ada pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan ikhtiar dan sengaja, ia mengetahui waktu melakukan apa yang diperbuat. 36 Inilah yang dapat diberi hukum “baik dan buruk”, dengan arti lain akhlak adalah kebiasaan dan kehendak. Selain itu akhlak mengandung arti sifat yang tertanam dalam jiwa, tanpa membutuhkan atau
32
Ahmad Charis Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 16 Emile Durkhem, Pendidikan Moral, (Jakarta: Erlangga, 1990), Cet. Ke-1, h.xi 34 Rahmat Jatnika, Sistem Etika islam; Akhlak Mulia, (Surabaya: Pustaka Islam, 1985), h. 25 35 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2001), Cet. Ke-4, h. 1 36 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet. Ke-8, h.5 33
20
memerlukan pemikiran dan pertimbangan untuk kemudian memilih melakukan dan meninggalkan. 37 Intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas adalah sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan. Perbedaan mendasar antara ketiganya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlak standarnya adalah alQur’an dan Sunnah, bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran, dan moral standarnya adalah adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.38 Dengan demikian, dikatakan bahwa moral dan akhlak menerangkan tentang kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan, sedangkan kata etika menerangkan konsep kenyataan yang ada di lapangan dalam dimensi ideal. Etika mengandung tingkah manusia secara umum (universal), sedangkan moral dan akhlak secara local. Etika bersifat teori (hukum), akhlak dan moral adalah praktek (sikap), atau moral dan akhlak membicarakan bagaimana adanya, sedangkan etika membicarakan bagaimana seharusnya. Sekalipun dalam pengertian antara ketiganya dapat dibedakan, namun dalam pembicaraan sehari-hari bahkan dalam literature keIslaman, penggunaannya sering tumpang tindih (overlaping). 39
2. Pengertian Politik Politik berasal dari bahasa Yunani kuno, satu pendapat mengatakan bahwa politik berasal dari kata “politikos”, artinya kepunyaan Negara. Politik merupakan
37
Yunahar, Ilyas, Kuliah Etika, h. 3 Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), Cet, ke-2, h. 9 39 Ilyas, Kuliah Akhlak, h. 3
38
21
kegiatan yang dilakukan dalam suatu system politik yang disebut Negara, karena pada dasarnya membicarakan politik adalam membicarakan Negara. 40 Selanjutnya dikatakan lagi bahwa politik berasal dari kata “polis” yang berarti “Negara kota”. Dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan kewenangan dan kekuasaan bagi pelakunya. Oleh karenanya pelaku politik haruslah cerdik dan bijaksana dalam menentukan dan melaksanakan tujuan-tujuannya. 41 Menurut Meriam Budiarjo, sedikitnya ada lima pendekatan yang digunakan untuk mendefinisikan istilah tersebut. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah; pendekatan kenegaraan (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy, belied), dan pembagian kekuasaan (distribution) atau alokasi (allocation). 42 Menurut Hugo F. Reading politik diistilahkan sebagai suatu aloksi nilai-nilai otoritatif yang menjadi bagian dari tindakan-tindakan atas nama pemerintah dan Negara. 43 Nilai yang dimaksud dapat bersifat abstrak, seperti kejujuran, kebebasan pendapat, kebebasan mimbar dan sebagainya. Dan yang bersifat konkret (material), seperti rumah, kekayaan, dan sebagainya. 44 Sama halnya dengan pendapat di atas, Ramlan Subakti mengatakan bahwa sekurang-kurangnya ada lima pandangan mengenai politik. Pertama, pandangan klasik yang mengatakan politik adalah usaha yang ditempuh warga Negara untuk membicarakan dan mewujudkan 40 41
kebaikan bersama. Kedua, politik secara
Inu Kencana Syafi’I, Ilmu Politik,(Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. Ke-1, h. 19 Kencana Syafi’I, Ilmu Politik, h. 19
42
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998 ), Cet. Ke-19, h. 8 43 Hugo F. Reading, Kamus Ilmu-ilmu Sosial, terj. Sahat Simamora (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), Cet. Ke-1, h. 305 44 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 9-13
22
kelembagaan,
artinya
politik
adalah
segala
hal
yang
berkaitan
dengan
penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai kekuasaan diartikan
sebagai
mempertahankan
segala kekuasaan
kegiatan dalam
yang
diarahkan
masyarakat.
untuk
Keempat,
mencari politik
dan
sebagai
fungsionalisme, yaitu politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik, yaitu kegiatan mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum untuk mendapat atau mempertahankan nilai-nilai. 45 Di Dunia Timur, dipergunakan istilah siyasah sebagai pengganti istila politik. pemakaian kata Siyasah jauh lebih tua dari perkataan politik, namun kepopuleran dan keluasan pemakaiannya tidak mengimbangi perkataan sesudah itu. Siyasah berasal dari bahasa arab yang merupakan masdar dari kata sasa yasusu berarti kepemimpinan. Dalam pengertian bahwa siyasah adalah ilmu pemerintah, yaitu kewajiban menangani sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan. Dia harus dipegang oleh orang yang mengerti betul tentang dasar-dasar pengetahuan dan peraturan-peraturan dalam Negara. 46
B. Gambaran Umum tentang Etika Politik Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagi cabang falsafah ia membahas sistemsistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Sebagai cabang ilmu ia membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu. Etika sebagai ilmu dibagi menjadi dua, yaitu etika umum dan etika 45
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), Cet. Ke-4, h.2 Yusuf Qardhawi, Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka Kausar, 1999), Cet. Ke-1, h. 35 46
23
khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Dalam falsafah Barat dan Timur, seperti dalam Islam, aliranaliran pemikiran beraneka ragam. Tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta sistem nilai apa yang terkandung di dalamnya. 47 Etika khusus dibagi menjadi dua, yaitu etika individual dan etika sosial. Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan tanggungjawabnya terhadap Tuhannya. Etika sosial di lain hal membahas kewajiban serta norma-norma sosial yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama manusia, masyarakat, bangsa, dan negara. 48 Etika sosial meliputi cabang-cabang etika yang lebih khusus lagi seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, dan etika politik. Etika politik sebagai cabang dari etika sosial dengan demikian membahas kewajiban dan norma-norma dalam kehidupan politik, yaitu bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan (yang menganut sistem politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi. Sebagai cabang – cabang etika lain, etika politik meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia, yaitu bahwa manusia pada hakikatnya merupakan individu dan anggota sosial, sekaligus merupakan pribadi merdeka, juga sebagai makhluk Tuhan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang 47
48
Loren Bagus, Kamus Filsafat, Cetakan ketiga (Jakarta; Gramedia, 2002) hal 217. K. Bertens, Etika (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2004) hal 5.
24
beradab dan berbudaya, yang tidak bisa hidup di luar adab dan budaya tertentu. Dalam etika politik, manusia dipandang sebagai subyek yang berdeka dalam dirinya sendiri dengan kepercayaan dan pandangan hidup yang dianutnya. Ukuran paling utama dalam etika politik ialah harkat dan martabat manusia. 49 Dengan demikian pengertian ‘politik’ yang diletakkan kepada etika politik mengandung pengertian yang luas, bukan pengertian yang sempit seperti dibahas dalam ilmu politik. Kata-kata politik, dari kata politics dalam bahasan Yunani, mempunyai arti khusus dalam ilmu politik. Ia dikenakan biasanya kepada anekaragam kegiatan dalam masyarakat berkenaan dengan system politik tertentu yang dianut oleh negara di mana suatu masyarakat atau bangsa itu hidup. Maka kegiatan politik selalu dihubungkan dengan kehidupan kenegaraan, pemerintahan, penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara tentang berbagai hal menyangkut kepentingan publik, serta kegiatan-kegiatan lain dari berbagai lembaga sosial, partai politik dan organisasi keagamaan yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan dan negara. Di sini politik terutama dikaitkan dengan kegiatan yang menyangkut kepentingan publik dan tujuan-tujuan yang berhubungan dengan kehidupan publik. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam ilmu politik, cakupan pengertian politik itu dibatasi pada konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution) – misalnya distribusi kekuasaan – dan alokasi (allocation). 50
49 50
Ramlan Surbakti, Memahamai Ilmu Politik (Jakarta; Gramedia, 1992) hal 1 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977), h. 8-9
25
Dalam kehidupan sehari-hari tidak semua manusia dapat melakukan tindakan berdasarkan pertimbangan moral dan akal pikiran. Banyak orang melakukan tindakan demi dorongan egonya semata-mata yang sering tidak masuk akal dan tidak bermoral. Untuk alasan itulah hukum diperlukan. Hukum di sini ikut berfungsi memberi pengertian lebih mendasar tentang tindakan yang baik dan buruk. Hukum berfungsi pula mengingatkan manusia akibat-akibat dari pelanggaran yang dilakukannya. Hukum terdiri dari norma-norma bagi tindakan yang dapat dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan. Tetapi hukum hanya bersifat normative, dan tidak dengan sendirinya menjamin masyarakat mentaatinya. Oleh karena itu yang secara efektif menentukan perilaku dan tindakan masyarakat ialah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lembaga itu adalah negara. Hukum tanpa kekuasaan negara adalah sesuatu yang tidak bermakna, sebab hukum hanya bisa dilaksanakan dalam konteks kekuasaan negara atau lembaga hukum yang diberi wewenang oleh negara. Sebaliknya negara tidak bias berbuat apa-apa tanpa landasan hukum yang jelas dan disepakati bersama. Negara seperti halnya hukum memerlukan legitimasi dan itu ada di tangan rakyat. Etika politik membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan obyek formal etika, yaitu tinjauan kehidupan politik berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika. Obyek materialnya meliputi legitimasi negara, hukum, kekuasaan dan penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut. 51 Dalam
konteks
Indonesia
etika
politik
dalam
pelaksanaan
dan
penyelenggaraan negara adalah Pancasila, yang menuntut agar kekuasaan dalam
51
Franz Magnis Suseno, Etika Politik , (Jakarta: Gramedia, 2003) h. xiii
26
negara dijalankan sesuai dengan: (1); Asas legalitas atau legitimasi hukum, yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku dalam negara RI yang berdasarkan Pancasila; (2) Disahkan dan dijalankan secara demokratis; (3) Dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengan moral. Muhammad Hatta mengatakan bahwa negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus menjadi “negara kekuasaan”. Pancasila sebagai etika politik didasarkan atas sila-sila yang terkandung di dalamnya, yang nilai-nilainya sebagai pedoman hidup bernegara di Indonesia.
C. Sejarah Etika Politik Alasan paling mendasar penelitian ini adalah upaya menghubungkan kembali keterputusan tindakan politik dengan nilai moral yang kabur dan nyaris hilang. Sebagaimana dapat dipahami, setelah manusia mengalami kebangkitan peradaban, rasionalitas menjadi ujung tombak penentu segala-galanya. Moral yang terlalu metafisik lambat laun tidak menarik lagi dalam perdebatan para ilmuan. Dimana tindakan sosial diukur dengan metodelogi sains yang positifistik. Pada kenyataannya kebangkitan rasionalitas manusia telah mengalami kebuntuan, etika yang ditanamkan pada abad pertengahan tidak mampu memberikan jawaban kegelisahan manusia modern. Keberadaan agama dalam suatu negara seakan-akan menjadi penghias sejarah belaka. Masalah etika dan politik selalu dibenturkan dengan agama dan negara. Padahal sesungguhnya, etika dan politik bila dilihat dari sudut pandang filsafat moral merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Pada perkembangan sejarah etika politik kekinian, tampaknya semangat moral muncul kembali. Banyak ilmuan, politisi dan pengamat yang berpaling kepada ilmu-
27
ilmu sosial untuk mencari jawaban kerumitan standar tindakan yang etis dan bermoral. Dengan demikian, etika menjadi sejumlah keyakinan yang ada pada masyarakat, juga sejumlah kecenderungan pribadi. Hal ini mendorong tidak saja mempelajari etika moral yang sudah ada, melainkan juga mencari landasan baru bagi etika itu sendiri. Banyak orang berpaling kepada tradisi dan agama untuk mencari bimbingan dalam memecahkan masalah etika. Dua bidang ilmu ini memiliki keterbatasan, sehingga nilai-nilai agama dan tradisi seringkali tumpang tindih. Tradisi bisa menjadi bagian dari nilai moral yang ada pada agama, begitu juga sebaliknya, agama bagian dari tradisi yang sumber nilainya masih diberlakukan. 52 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tindakan yang etis tidak cukup disandarkan pada nilai agama dan tradisi. Suatu tindakan itu dianggap benar ataupun salah, bukan karena dianjurkan dalam agama dan tradisi. Akan tetapi baik buruk bisa saja dipelajari dari pesan moral yang disampaikan, tetapi moralitas tidak terbatas pada tradisi ataupun agama. Selain itu, belakangan ini juga semakin banyak filosof menaruh minat pada etika terapan, yaitu etika yang menangani masalah moral, bukan menangani teori moral yang abstrak semata. Melihat berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari kaca mata etika. Hal ini merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk membumikan nilai-nilai moral ke dalam masalah-masalah yang aktual, juga keberanian diri untuk mengambil sikap dan tindakan yang menyangkut kebajikan umum. Perkembangan ini merupakan titik balik pengakuan terhadap adanya realitas dari berbagai masalah
52
Virginia, Held, Etika Moral;Pembenaran Tindakan Sosial, Penerjemah Drs.Y Ardy Handoko, Cetakan kedua (Jakarta; Erlangga, 1991) hal 9.
28
etika yang aktual. 53 Tugas etika selanjutnya adalah mengevaluasi berbagai keyakinan serta nilai yang dimiliki oleh agama dan tradisi pemikiran. Untuk mewujudkan itu, teori-teori etika harus brangkat dari kebutuhan manusia, yang berisi konteks historis dari sejumlah pengalaman yang sudah terstruktur sekian lama. Begitu pula dengan penelitian ini, dimaksudkan dapat menjadi penilaian etis dalam pemikiran politik. Sejarah pemikiran etika politik jauh hari sudah ada, bahkan sebelum adanya Negara yang mengatur tata kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Para filosof politik klasik berusaha menjawab tentang struktur-struktur organisasi mana yang paling baik. Dalam hal ini, Plato dan Aristotekes sama-sama mempertanyakan Negara yang baik. Bagi Plato, Negara yang baik adalah Negara yang merealisasikan keadilan, yang ditata secara selaras dan seimbang, dengan pimpinan yang berorientasi pada idea metafisik kebaikan. Dia yakin bahwa, etika politik seperti itu paling sesuai dengan kebutuhan seluruh masyarakat dan dengan demikian paling menunjang kebaikan masyarakat. Berbeda dengan Aristoteles, pendekatan etis yang dilakukannya adalah kebahagiaan. 54 Dengan adanya Negara, manusia dapat hidup bahagia, maka tingkah laku manusia harus memiliki keutamaan-keutamaan etis. Agar manusia dapat mengeksiskan diri dalam bernegara, harus megembangkan bakat-bakat etis yang tertanam dalam kodratnya, hingga dapat menjadi manusia yang paling sempurnah. Aristoteles menolak orientasi pada idea-idea metafisik. Dengan begitu, Negara yang paling baik adalah Negara yang organisasinya sesuai dengan fungsinya, serta dipimpin oleh orang yang berpengalaman dan memiliki keutamaa-keutamaan yang 53 54
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, hal 12. Frans Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika (Yogyakarta; Kanisius, 1998) hal 36.
29
diperlukan. Harapan kedua filsuf ini jelas, yakni Negara yang paling baik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Motivasi harapan tersebut merupakan suatu penilaian etis yang kebijaksana. 55 Dalam fase filsafat politik (etika politik) Yunani belum mengenal tuntutan legitimasi kekuasaan. Penguasa hanya dihimbau untuk berlaku bijaksana. Hal ini masih sekedar himbauan moral terhadap penguasa. Faham bahwa kekuasaan harus dipertanggungjawabkan secara etis masih asing dibicarakan. Bangunan etika politik waktu itu belum merefleksikan nilai transendental dan sama sekali belum memahami maksud dari kesejahteraan. Dalam filsafat moral ini, yang dianggap paling mulia dalam manusia bukanlah dia sendiri, melainkan logos, dan partisipasi untuk hal itu. Bertolak dari itu kemudian berkembang terhadap pemikiran yang mengajukan tuntutan legitimasi etis. Dalam fase ini legitimasi etis menjadi sorotan dalam perbincangan etika politik. Seorang neo-platonisme, Augustinus mengajukan bahwa legitimasi etis terdapat dalam negara, yang dibedakan menjadi dua; yaitu Negara Allah dan Negara duniawi. 56 Pertama adalah negara Allah yang akan mencapai kesempurnaan pada akhir zaman, sedangkan kedua, adalah Negara yang akan hancur pada akhir zaman nanati. Negara sebenarnya merupakan sesuatu yang buruk, namun diperlukan karena manusia dalam keadaan berdosa di dalamnya. Karena kelemahan kesadaran moral manusia itulah diperlukan kekuasaan duniawi yang menata kehidupan manusia. Jadi, Negara bukan tujuan, melainkan semata-mata sarana penertiban manusia. Peran dan fungsi Negara hanya terbatas pada penertiban manusia yang berdosa. Negara tidak berhak untuk memerintahkan sesuatu hal yang 55 56
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, hal 190. Frans Magnis Suseno, Etika Politik, hal 194.
30
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah, dan dapat dibenarkan sejauh dalam batas-batas kebenaran dan keadilan. Dengan demikian, tuntutan legitimasi etis dalam hal ini menjadi mutlak keberadaannya. Pada prinsipnya, pendekatan etis yang dilakukan Augustinus adalah usaha untuk menggambarkan hirarki nilai-nilai yang dikehendaki Allah. 57 Semakin manusia hidup sesuai dengan hirarki itu, semakin ia akan menikmati kebahagiaan. Namun demikian, etika politik ini belum menemukan bentuknya. Augustinus belum menawarkan kerangka untuk mengusahakan suatu perbaikan Negara itu sendiri. Dia melihat, Negara sebagai sesuatu yang jelek, sedangkan manusia terpaksa harus menerimanya. Negara dipandang sebagai akibat dosa manusia, dan bukan sebagai realitas duniawi yang sebenarnya positif. Augustinus belum menerangkan kerangka etika politik secara teoritis. Dalam perkembangan berikutnya, tuntutan legitimasi politik digali kembali oleh Thomas Aquinas, yang sejajar dengan Plato, Aristoteles dan Augustinus. Perhatiannya pada bidang kenegaraan dan politik, khususnya hubungan Negara dengan hukum kodrat. Dalam anggapannya, hukum kodrat adalah hukum dasar moral yang mencerminkan hukum kebijaksanaan Ilahi. Pendekatan etis ini merupakan moralitas manusia sebagai ketaatan terhadap hukum kodrat. 58 Dengan kata lain, hukum kodrat adalah partisipasi dalam hukum abadi, yang bukan lain kebijaksanaan Allah, sebagai asal-usul dan penentu kodrat ciptaan. Hukum positif yang dibuat manusia hanyalah sah jikalau tidak bertentangan dengan hukum kodrat. Begitu pula tindakan Negara hanya legitimit asalkan sesuai dengan norma-norma moral. 57 58
Frans Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, hal 76. Frans Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, hal 87.
31
Dapat diringkas bahwa, Negara yang tidak berdasarkan hukum kodrat, akan bertentangan dengan moral. Hukum ini tidak membatasi wewenang Negara, melainkan mejadi dasarnya. Inti filsafat Negara Thomas Aquinas adalah bahwa eksistensi Negara bersumber dari kodrat manusia. 59 Dia menolak anggapan Augustinus, bahwa Negara hanya perlu karena kedosaan manusia. Ia kembali pada etika politik Yunani klasik, bahwa Negara berdasarkan suatu kebutuhan kodrat manusia. Thomas Aquinas mengikat tujuan Negara pada tujuan manusia, dengan menjadi kebutuhan manusia sangat penting dalam Negara. Bagi Thomas Aquinas, Negara merupakan realitas yang positif dan rasional. Positif sesuai dengan kodrat manusia, yang mengakui dan bersedia menaatinya. Negara tidak ditaati karena orang takut terhadap ancamannya, melainkan karena fungsi dan wewenangnya dimengerti. Thomas Aquinas meletakkan dasar untuk bersifat kritis terhadap Negara. Dalam fase selanjutnya etika politik berkembang menjadi kajian yang lebih sistematis. Pada abad ke-17 muncul tokoh-tokoh filsafat yang mengembangkan pokok-pokok etika politik. Kita bisa melihat konsep Jonh Locke tentang “pemisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan negara”, “kebebasan berfikir dan bernegara”, “pembagian kekuasaan”, dan konsep tentang “hak asasi manusia”. Selain itu ada tokoh lain, Montesquie dengan gagasan “pembagian kekuasaan”, Rousseau dengan pemikiran “kedaulatan rakyat”, dan Khan dengan ide tentang “negara hukum demokrasi/republican”. 60 Dalam dunia Islam, realitas politik dan adanya semangat teologi tersebut mendorong para filosof dan para ahli politik Islam untuk membuat aturan-aturan 59
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, hal 198. Franz Magnis Suseno, artikel ini di tulis dari makalah kuliah umum ”Sekitar etika Politik”, (Yogyakarta: UGM, 27 Agustus 2007 ) 60
32
pemilihan seorang pemimpin pemerintahan demi terwujudnya negara ideal. Dalam beberapa karya tulis misalnya, Al-Farabi dalam karyanya, Al-Madiinah AlFaadhilah, Ibnu Maskawih dalam bukunya Tahziib Al-Akhlak, dan Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkaam Al-Shultaaniyah. Ini artinya, para pemikir Islam menyadari betapa Islam memperhatikan dalam menciptakan dan mengembangkan negara ideal dan ajaran tentang etika politik.
C. Etika Politik dalam Teologi Islam
Persoalan Etika politik merupakan sesuatu yang sangat penting dalam agama Islam. Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik diniatkan dengan lillahi taala. Dalam berpolitik tidak boleh melanggar perintah-perintah dalam beribadah, karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsif ibadah akan merusak ”kesucian” politik. Kedua, etika politik dipandang sangat perlu karena politik itu berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering menyangkut hubungan antar manusia, misalnya saling menghormati, menghargai hak orang lain, saling menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Itulah perinsip hubungan antar manusia yang harus berlaku di dalam dunia politik. 61 Hubungan yang erat antara etika politik di dalam agama Islam dikarenakan asas dalam teori politik Islam tidak ada pemisahan antara agama (al-din) dengan negara (al-daulah). Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk 61
Azyumardi Azra, Etika Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 25 Januari 2009, dalam http://www.repubika.co.id
33
segala aspek kehidupan, termasuk politik. Oleh karena itu dalam paradigma para teoritis politik Muslim, baik kaum Sunni maupun Syi’ah adalah perlu untuk merumuskan kerangka yang tepat agar hubungan Islam dan negara betul-betul organik. Perubahan pemikiran dalam aspek politik Islam itu sendiri tidak bisa terhindarkan. Hal ini meniscayakan politik Islam secara konseptual senantiasa berdialektika dengan zaman yang dihadapi. Dalam berbagai pandangan tentang hubungan Islam dengan politik telah memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pikit dan perilaku generasi muslim, baik secara individual maupun kelompok. Akibatnya, lahirnya berbagai macam aliran dalam pengamalan ajaran Islam. Dari yang paling lembut, moderat, sampai yang paling ekstrem. Masing-masing aliran mempunyai alasan tersendiri. Namun, semuanya bermuara kepada sumber utama Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Dari sini lahirlah berbagai konsep yang mempunyai karakteristiknya masing-masing dengan model dan pola yang unik, baik dilihat dari segi penampilan maupun sistem nilai (etika) yang dianutnya. 62 Di bawah ini penulis memaparkan konsep politik dua kelopok besar dalam teologi Islam, yaitu kelompok sunni dan syi’ah. Ini dimaksud sebagai kajian dalam memahami secara historis etika politik dalam teologi Islam
1. Politik Islam Sunni Meskipun memiliki beberapa variasi yang akan kita singgung di bawah, pada intinya pemikiran politik Sunni sepakat bahwa pemerintahan adalah sesuatu yang 62
Hasan Basri al-Mardawy, Etika Politik dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakerta: Jurnal Madina, edisi 30 Juni-06 Juli 2008), h. 4
34
niscaya demi memungkinkan manusia bekerja sama untuk meraih tujuan hidup yang sejati. Yakni suatu kehidupan yang baik berdasar syariah yang pada gilirannya akan menghasilkan bagi mereka tempat yang baik di kehidupan akhirat. 63 Perdebatan biasanya hanya berkisar pada apakah keniscayaan menegakkan pemerintahan merupakan kewajiban keagamaan ataukah sesuatu kebutuhan yang bersifat rasional. Kelompok Sunni yang diwakili oleh Al-Mawardi, Al-Gozali, Ibn Taimiyah, dan sebagaianya berpendapat bahwa hal ini bukan merupakan kewajiban keagamaan, melainkan suatu kebutuhan yang bersifat duniawi. Hal ini penting mengingat ini akan menentukan cara pandangnya atas sifat sacral atau profane kepemimpinan dan cara-cara pengelolaan suatu Negara atau pemerintahan secara etis. Untuk dapat bekerja sama demi meraih tujuan sejati itu, manusia perlu mengorganisir diri dalam sebuah Negara yang di dalamnya para penduduknya bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut. Kerjasam manusia dalam bentuk Negara ini
bersifat niscaya karena dua hal: Pertama, sebagai makhluk social
manusia perlu bekerja sama untuk saling mendukung dalam menjalani kehidupan yang baik berdasarkan syariah. Jika tidak ada saling dukungan ini, lingkungan yang kondusif bagi hal itu tak akan tercipta. Maka masyarakat pun sedikit banyak akan terhalang dalam menjalankan syariah. Kedua, banyak di antara aturan-anturan syariah, seperti zakat, jihad, dan sebagainya, pelaksanaannya memang melibatkan kegiatan yang bersifat kolektif. 64
63
Kholid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam menurut Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Rineka Cipta,1994), h. 9 64 Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002) cet. Ke 1, h. 98
35
Dengan sendirinya asosiasi ini membutuhkan pemimpin yang bisa menjadikan upaya-upaya “menjalani kehidupan yang lebih baik berdasarkan syariah” berlangsung sebaik mungkin. Pada gilirannya, karena syariah adalah sesuatu yang sentral, seseorang pemimpin haruslah sebelum yang lain memiliki syarat yang sesuai dengan itu: pemahaman syariah yang baik dan akhlak yang baik. Baru, setelah itu dibutuhkan syarat kafa’ah yang terkait dengan kapabilitas manajerial dan administrative, sebagai syarat umum kepemimpinan lainnya. Inilah dasar imamah atau kepemimpinan relegius yang akan dijelaskan di bawa ini, yang menjadi isu sentral dalam konsep politik dan kenegaraan di kalangan sunni. 65 Ketika
kita
mempelajari
teori-teori
politik
dan
kenegaraan
yang
dikembangkan oleh para pemikir politik Sunni sepanjangh sejarah. Keberadaan imam, khalifah, dan sultan merupakan isu sentral di dalamnya. Pemikiran para ahli hukum Sunni, termasuk Abu Yusuf, al-Baqillani, al-Bagdadi, al-Juwaini, al_Gozali, Fakhr al-Din al-Razi, seluruh otoritas dan kekuasaan dipusatkan pada person imam sebagai pemimpin kaum beriman, dan tidak ada otoritas atau kekuatan dianggap sah kecuali dilaksanaan sebagi hasil delegasi darinya, baik langsung maupun tidak Bahkan, dengan bangkitnya Dinasti ‘Abbasiyah’, imamah makin dilihat sebagai suatu pancaran dan delegasi dari otoritas Ilahi. Sampai pada suatu tingkat sedemikian, sehingga ditolaknya pandangan al-Baqillani dan al-Bagdadi, dua orang teoretisi politik terpenting di kalangan Sunnisme klasik-mengenahi ummah sebagai sumber klaim kekuasaan imam, dan pendapat al-Juwaini yang menunjuk ahl hal wa al’aqd sebagai sumber klaim sedemikian. Penguasa pun kemudian disebut-antara
65
Abu Zahra Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), h.
20
36
lain oleh ibn Taimiyah sebagai Bayangan Tuhan di bumi dan bahwa kedaulatannya merupakan refleksi kemahakuasaan Tuhan, nyaris suatu teokrasi. 66 Akan tetapi, semua ini adalah konsep ideal yang mereka rumuskan secara a priori
terhadap situasi dan kondisi politik pada masa itu. Antara lain, karena
tantangan-tantangan praktis belum memberikan tekanan yang terlalu besar pada rumusan-rumusan politik mereka. Ketika kemudian kekhalifahan Abbasiyah melemah dan mendapatkan tantangan dari kekhalifahan-kekhalifahan baru yang melepaskan diri darinya, para ahli hukum Sunni dihadapkan pada suatu situasi yang mengharuskan mereka mengambil sikap. Dari sinilah modifikasi-modifikasi terhadap teori ummah universal dimulai. Suatu delimatis yang lebih serius muncul ketika Kekhalifahan Abbasiyyah belakangan sama sekali kehilangan kekuasaan efektifnya. Dalam mengatasi hal ini, al-Mawardi justru menegaskan keniscayaan kepemimpinan imam dan dengan demikian memulihkan legitimasi kekhalifahan Abasiyah. Di sisi lain kekuasaan penguasa actual, dalam hal ini Dinasti Saljuk Turki dan Buwaihiyyah, harus pula dilegitimasi. 67 Peran ini kemudian diambil alih oleh Ghozali. Ia memulai dengan menyatakan bahwa kekuasaan temporar dan spiritual bisa dipisahkan dan tidak harus berada pada suatu pusat kekuasaan tunggal. Ketika tidak ada imam yang mampu atau tidak memungkinkan mengemban kedua fungsi kekuasaan ini, suatu kerjasama yang di dalamnya salah satu bertindak sebagai pemimpin spiritual sementara yang lain sebagai pemimpin temporal de facto (sultan) merupakan yang sama sahnya. 66 67
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h. 99 Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h. 100
37
Konsep tersebut diwujudkan pada masa pemerintahan Saljuk, yang mana pada saat itu diwajibkan oleh al-Ghozali ketaatan terhadap pemerintahan yang dikuasai kekuatan militer sebagai pemimpin dalam pemerintahan. 68 Ketika akhirnya kekhalifahan benar-benar runtuh dan tidak ada lagi, para ulama Sunni mengambil langkah yang lebih radikal. Mereka pun memodifikasi teori politik dengan memungkinkan transfer kepemimpinan umat dari khalifah kepada sultan sebagai penguasa temporal. Selama sultan mengakui universalitas syariah, maka pemerintahan sultan adalah sah. Lebih jauh lagi, mereka melanjutkan langkah al-Mawardi dan al-Ghozali dalam melonggarkan syariat-syariat (ideal) seorang imam pemimpin umat. Umat, menurut perkembangan teori terbaru politik ini bahkan tidak boleh memberontak kepada sultan meskipun ia memiliki akhlak yang buruk. 69 H.A.R. Gibb menyatakan bahwa banyak kesalahan pemahaman tehadap pemikiran Sunni, ia menjelaskan; di dalam masyarakat Sunni tidak ada satu teori politik universal. Dasar pemikiran politik Sunni memustahilkan setiap teori sebagai definitive atau final. Yang pasti di dalam adalah prinsip bahwa khilafah dalam suatu pemerintahan yang menjaga aturan-aturan syariah dan menjamin penerapannya dalam praktik. 70 Dalam pandangan etika politik Sunni, al-Qur’an dan Hadist tidak menetukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan politik (negara) lebih merupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. 68
Muhammad Azhar, Filsafat Politik Islam: Perbandingan Antara Islam dan Bara,( Jakarta: Rajagrafindo, 1996) h.18 69 Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h. 101 70 Hamilton A.R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, (Boston: Beacon Press, 1968) h. 148
38
Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun juga berbeda. Sepanjang negara berpegang kepada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'ân maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Yang penting adalah substansinya, artinya nilai-nilai alQur'ân seperti, musyawarah (syûrâ), keadilan ('adâlah), persamaan (musâwah), hakhak asasi manusia (huqûq al-adamî), perdamaian (shalâh), keamanan (aman) dan lain-lain bisa direalisasikan dalam konteks bernegara. Sehingga pada akhirnya baldatun toyyibatun wa robbun ghafur bukan hanya sekedar ide dan cita-cita, tetapi sebuah realita yang bisa dirasakan.
II. Politik Islam Syiah Dalam sejarah perkembangannya, politik syiah sesungguhnya lebih banyak dipengaruhi oleh quietisme (kecenderungan untuk diam dan bersifat apolitis) ketimbang aktivisme di bidang politik. hal ini berlangsung sejak masa pasca Ali ibn Abi Tholib, yang juga imam pertama dalam Syiah. Pada masa pasca Ali itulah Syiah sebagai sebuah madzab terbentuk. Awal sejarah Syiah dimulai dengan apa yang bisa dilihat sebagai suatu kekalahan politik. Kaum Syiah yang ketika itu dipimpin oleh Hasan ibn Ali abi Thalib (imam kedua dalam rangkaian Imam Syiah), memberikan konsesi kepada Muawiyyah (pendiri dinasti Umayyah). Imam Hasan berhasil dipaksa oleh Muawiyyah untuk menyerahkan kekuasaan politik Islam pasca Khulafa Rasyidin dari bani Hasyim kepada bani Umayyah. Selanjutnya, kekalahan imam Husain, penerus kepemimpinan keluarga Hasyimiyyah setelah Hasan ibn Ali abi
39
Thalib, baik secara politis maupun militer dalam peristiwa karbala. Dalam peristiwa itu, Husain bersama hampir seluruh keluarga dan pengikutnya dibantai. 71 Sejak itu, yakni mulai pada masa Ali Zain al-Abidin (38 H/658 M-94 H/712 M), putra Husain yang selamat dari pembantaian Karbala, quietisme dimulai. Imam Ali ibn Husain dikenal dengan gelar Zain al-Abidin (yang ibadahnya paling baik) dan al-Sajjad (si banyak sujud). Dalam sejarah , ia memang dikenal sebagai ahli ibadah. Satu-satunya “protes politis” kalau bisa disebut demikian-adalah upaya yang dilakukannya untuk menyusun sebuah kumpulan doa yang amat artikulatif, dikenal sebagai al-shahifah al sajjadiyyah (antologi al-Sajjad) Masa-masa Imam Muhammad al-Baqir (57 H/676 M-114 H/732 M) dan Imam Ja’far al-Shadiq (80 H/699 M-148 H/765 M) setelah itu, dikenal sebagai masa perkembangan keilmuan di kalangan Syi’ah (yakni Syi’ah Itsna Asyariyyah atau Syi’ah dua belas Imam atau Syi’ah Imamiyah) yang berpuncak pada kodifikasi fiqih Syi’ah aliran lain. Kodifikasi fiqih ini memang kemudian dikenal sebagai fiqih madzab Ja’far berasal dari nama imam Ja’far sebagai founding father-nya. Memang, dalam sejarah Islam dikatakan bahwa imam Ja’far al-Shadiq berhasil secara relative leluasa, menghimpun sekitar 4.000 murid yang belajar dengannya (termasuk Imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang belakangan menjadi dua di antara empat imam terbesar dalam sejarah pemikiran fiqih Sunni, selain Imam Syafi’I dan Imam Ahmad ibn Hanbal). Betapapun hal ini bias dilakukan oleh Imam Ja’far berkat kenyataan bahwa kekhalifahan pada masa itu memberikan keleluasaan kepadanya untuk melaksanakan kegiatan keilmuan. 72
71 72
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h. 102 Munawir sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI-Press, 2993), h. 212
40
Hal ini berbeda, misalnya dengan peran Zaid ibn Ali Zain al-Abidin ibn Husain ibn Ali Ibn Abi Thalib (saudara Imam al-Baqir) yang secara terbuka melancarkan konfrontasi terhadap kekhalifahan Umayyah pada masa itu, dan menghimpun kekuatan militer serta melancarkan pemberontakan. Demikianlah, madzab Zaidiyyah, salah satu dari tiga madzab besar dalam Syi’ah selain Ismailiyyah dan Itsa Asyariyyah yang terbentuk pada masa ini, dikenal antara lain oleh doktrinnya yang mengharuskan seorang imam melancarkan konfrontasi terbuka terhadap kekuasaan yang tidak sah. Bagai sebagian orang, hal ini ditafsirkan sebagai kritik
kepada
sikap
Imam
al-Baqir
yang
cenderung
memilih
tindakan
nonkonfrontatif untuk mengatasi persoalan zaman. Demikian pula halnya dengan Imam Ali Ridha (imam kedelapan). Dalam sejarah, ia ditunjuk oleh Khalifah al-Makmun (198 M/813 H-218 M/833H) sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kekhalifahan Dinasti Abbasiyyah. Betapapun hal ini dimungkinkan sekali lagi lebih karena prakarsa al-Makmun untuk mengembalikan institusi kekhalifahan kepada keluarga Hasyimiyyah. Banyak ahli sejarah mengatakan bahwa upaya al-Makmun itu merupakan bagian dari maneuver politiknya untuk mengambil hati dan memperoleh legitimasi dari lebih banyak kaum Muslim yang menganggap bahwa kekhalifahan itu merupakan hak bani Hasyim. Pada kenyataanya, banyak ahli sejarah Syi’ah sepakat bahwa Imam Ali Ridha sendiri wafat karena diracuni oleh kaki tangan al-Makmun. 73 Demikianlah sejarah para imam di Syi’ah ini terus berlanjut hingga masa imam mahdi yang dipercayai menghilang dan suatu saat nanti kembali lagi ke dunia
73
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h.103
41
ini untuk memimpin gerakan kaum mustadh’afin (kaum tertindas) merebut kembali kepemimpinan umat manusia Sampai pada titik ini kita dapat menyimpulkan bahwa, pertama, sejarah Syi’ah Itsa Asyariyyah pra-modern diwarnai oleh kekalahan politik, oleh quietisme dan bukan aktivisme. Kesimpulan kedua
terkait erat dengan
konsep ruj’ah
(kembali) Imam Mahdi seperti tersebut di atas. Dalam pemahaman ini terkandung suatu mafhum mukhalafah bahwa sampai kembalinya imam Mahdi orang Syi’ah hanya bisa menunggu. Konsep ini antara lain secara doctrinal menjadi kaum Syiah quietis. Selain itu sepanjang sejarah politik Islam pasca Khulafa Rasyidin telah didominasi oleh kaum Sunni, sehingga kaum Syi’ah hanya menjadi kelompok pinggiran dan cenderung tertindas. Selain itu adanya konsep Mahdiisme membuat kaum Syi’ah lebih memisahkan diri dari percaturan politik dan hidup dalam komunitas yang tertutup dengan konsekuensi menjadi independent dari politik pusat kekuasaan. Sikap itu didukung oleh konsep taqiyyah, yakni menyamarkan keyakinan kesyi’ahanya dengan tujuan menyelamatkan mereka dari kepunahan dan berkembang secara alami. Kalaupun dalam sejarah terbukti ada dinasti Syi’ah yang besar, diantaranya dinasti Buwaihiyyah (932-1062 M) dan dinasti Shafawiyyah (1501-1722 M) kenyataannya dinasti-dinasti ini dibentuk bukan sebagai bagian dari upaya komunitas Syi’ah untuk merahi kekuasaan, melainkan paling tidak pada awalnya malah tidak berkaitan dengan Syi’ah sebagai madzab. Yang terjadi adalah munculnya orang-orang dari suku tertentu, yang kebetulan penganut Syi’ah yang mempunyai aspirasi kekuasaan dan berhasil membangun sebuah dinasti. Baru belakangan mereka melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan ke-Syi’ah-an
42
mereka. Bahkan dinasti Shafawiyyah didirikan oleh para pengikut tarekat yang awalnya bukan bagian komunitas Syi’ah. 74 Seiring waktu dalam ajaran Syiah terdapat perubahan yang dimulai dengan tercetusnya revolusi Islam di Iran. Doktrin quietisme yang selama ini mengkristal didobrak oleh pemikir politik Syi’ah. Mereka meyakinkan bahwa umat Syi’ah harus pro aktif dalam mempersiapkan panggung bagi kemunculan kembali Imam Mahdi. Para revolusioner berargumen bahwa imam Mahdi tidak akan muncul kembali secara anakronistik di panggung sejarah, hal itu terjadi jika masyarakat sudah siap untuk dipimpinnya dalam merebut kekuasaan di dunia. Revolusi doctrinal inilah yang mentransformasikan quietisme Syi’ah menjadi aktivisme revolusioner. Meskipun demikian, terdapat varian-varian pendapat mengenahi sikap politik Syi’ah di masa ghaibah Imam di dalam tubuh Syi’ah sendiri. Di sepanjang sejarah dapat ditemukan situasi-situasi yang di dalamnya kaum Syi’ah hampir selalu berada dalam posisi tertindas sehingga bersikap akomodatif terhadap kekuasaan de facto. 75 Hamid Henayat mengatakan, dalam kepustakaan sejarah dini Syi’ah, khususnya dalam karya-karya Syaikh Thusi (w. 461 H-1068 M) dan Ibn Idris (w. 598 H-1202M), kaum muslim Syi’ah dianjurkan dan diinstruksikan untuk berbai’ah kepada sejenis penguasa yang disebut “penguasa yang saleh dan adil” (alsulthan al-haqq al-adil). Yang disebut terakhir ini tentu saja berbeda dengan Imam. 76 Dalam etika politik Syi’ah, seperti yang dikemukakan oleh al-Maududi bahwa kedaulatan dalam semua aspek berada di tangan Tuhan. Ini didasarkan atas teks al-Qur’an yang artinya; ” Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak 74
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h.106 Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h.108 76 Hamid Henayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, (Bandung: Pustaka, 1988) h. 37 75
43
Allah, Maha suci Allah, Tuhan semesta alam ” (al-A’raf, 7: 54). Sementara yang mengoperasionalisasikan kedaulatan Tuhan di bumi adalah para Nabi. Setelah berakhir kenabian, maka yang mendapat limpahan disposisi adalah ulil ’amrih (pemerintah). Dalam konteks syi’ah, ulil ’amrih direpresentasikan oleh imam yang berjumlah 12 (syi’ah itsna ’asyariyah). Para imam dianggap penerus para nabi yang bertugas menjelaskan syariat. Dengan demikian seorang imam bukan hanya penguasa temporal, melainkan juga spiritual. Dalam dua aliran dalam teologi Islam di atas, jika ditelusuri lebih dalam sebenarnya terdapat perbedaan penting antara politik Islam Syi’ah dan Sunni dalam hal sikap akomodatif kedua kelompok ini terhadap penguasa de facto yang dianggap tidak sah. Bagi Sunni yang diwakili oleh para teoritis politik seperti al-Mawardi, alGhozali, dan ibn Taimiyah cenderung kompromi dengan gagasan-gagasan politik islam dengan kenyataan actual dan kemudian mengembangkan teori-teori politik yang sesuai dengan kondisi. Kaum Sunni tidak menentukan secara formal bentuk pemerintahan dan negara, melainkan secara substansial harus mengandung nilainilai Qur’an dan hadist seperti, musyawarah, persamaan, hak-hak asasi manusia, perdamaian, keamanan, dan lain-lain yang bisa direalisasikan dalam konteks bernegara. Sedangkan Syia’ah umumnya mengambil sikap akomodatif sebagai bagian program ad hoc yang tidak perna benar-benar berpengaruh terhadap kesatuan teori politik Syi’ah. Bagi Syi’ah hal ini juga merupakan bagian dari sikap taqiyyah, menutup-nutupi keyakinan untuk menyamarkan atau memodifikasikannya secara taktis dan temporer.
44
Ahmad Subhi, seorang ulama Sunni menunjukkan perbedaan antara sunni dan syi’ah dalam hal kepemimpinan. Sepanjang sejarah Syi’ah memiliki figur atau tokoh dengan kepribadian besar dan ini bukan hanya diakui penganutnya, tapi juga diakui kebesarannya dan ketokohannya oleh kaum Sunni. Sementara itu, kaum syi’ah bisa belajar mengenahi prinsip-prinsip musyawarah atau demokrasi dari kaum sunni. 77
77
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h.109
45
BAB IV KONSEP ETIKA POLITIK PERSPEKTIF ALI SYARI’ATI
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa, etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban. Selanjutnya, etika juga sebagai kumpulan asas nilai yang berkenaan dengan perbuatan, tindakan dan sikap. 78 Seperti apa yang dikatakan oleh Socrates, etika merupakan penilaian yang baik tidak berdasarkan sebab-akibat, akan tetapi prinsip batin atau kesenangan jiwa merupakan salah satu komponennya. 79 Demikian juga Aristoteles mengatakan, bahwa etika merupakan satu nilai yang memiliki tujuan kebahagian dalam hidup. Sebagaimana etika, politik dapat dimaknai sebagai konsep yang berkenaan dengan soal pemerintahan. Makna politik disini mengandung nilai estetik dan nilai etis yang memerlukan seperangkat unsur, seperti halnya menjalankan pemerintahan, mengatur pola aktivitas keseharian masyarakat. 80 Maka dari itu, politik seyogyanya dapat mengukur perilaku buruk dan baik manusia, serta mengatur perilaku hidup tersebut kearah yang lebih baik lagi. 81 Dalam arti yang lebih filosofis, bahwa politik memiliki peran dan fungsi ganda, dituntut untuk berbuat baik kesesama manusia, pada saat yang sama juga kebijakan negara harus mempertimbangkan kebaikan masyarakat yang lebih luasa. Dengan demikian, politik bukanlah bertujuan untuk kekuasaan belaka, melainkan juga untuk dapat mewujudkan kesejahteraan secara umum. Bila diamati
78
K. Bertens, Etika (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2004) hal 5. Loren Bagus, Kamus Filsafat, Cetakan ketiga (Jakarta; Gramedia, 2002) hal 217. 80 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dus (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004) hal 186. 81 Ramlan Surbakti, Memahamai Ilmu Politik (Jakarta; Gramedia, 1992) hal 1 79
46
lebih lanjut, politik dan etika, merupakan sebuah relasi yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya diibaratkan dua sisi yang saling membutuhkan. Ketika yang satu terapung maka satu sisi lainnya akan tenggelam. Franz Magnis Suseno mengartikan etika politik dengan sejumlah nilai luhur yang seharusnya diterapkan dalam politik. Etika politik juga merupakan kewajiban hati nurani yang tidak difokuskan pada apa yang baik atau benar secara abstrak, tetapi pada apa yang baik dan benar dalam situasi yang konkrit. Etika politik bukan hanya masalah moral individual belaka, melainkan masalah moral sosial tidak bisa dilepaskan dari tindakan kolektif. Sederhananya, etika politik bertujuan untuk mengulas prinsip moral kenegaraan bukan etika kelakuan politisi. Melakukan pengajian pandanganpandangan dasar yang berkembang selama lebih dari dua ribu tahun, terutama dalam tiga ratus tahun terakhir, tentang bagaimana harkat manusia
dan keberadaban
kehidupan masyarakat dapat dijamin berhadapan dengan kekuasaan negara. 82 Etika politik menjawab dua pertanyaan, pertama, bagaimana seharusnya menata masyarakat yang ideal dan bagaimana etika kepemimpinan yang bisa menjaga lembaga-lembaga negara seperti hukum dapat berjalan dengan adil dan bijaksana. Selain itu membahas tentang bagaimana bentuk negara yang seharusnya demokratis. Kedua, apa yang seharusnya menjadi dasar dan tujuan segala kebijakan politik. Dalam pandangan Ali Syari’ati menjelaskan, bahwa politik adalah pemerintah/system pemerintah yang mempunyai tanggung jawab memelihara agar masyarakat bisa aman dan menyediakan sarana-sarana kesejahteraan bagi warganya
82
Franz Magnis Suseno, Etika Politik , (Jakarta: Gramedia, 2003) h. xiii
47
sebagai suatu tugas administrasi Negara. Istilah politique muncul di tengah suasana pemerintahan di Yunani, karena seluruh kota pada masa itu membentuk diri sebagai Negara-negara kota (cite etat). Kota Athena misalnya, merupakan Negara tersendiri dengan bentuk pemerintahan tersendiri pula. Maka menjadi identiklah istilah negeri dengan Negara, kepala negeri dengan kepala Negara. Politik adalah administrasi kota dan ia mencakup sejumlah tanggung jawab yang terletak dalam wilayah pemerintahan atau Negara. Dalam pengertian ini, pemerintah yang bertugas dalam bidang administrasi kota, dalam bentuknya yang paling ideal merupakan tanggung jawab kenegaraan dalam suatu kota. Lembaga Negara yang ada di kota tersebut sama sekali tidak memikul tanggung jawab apa pun dalam soal-soal memperbaiki pandangan hidup masyarakat, cara berfikir kaum muda, pengembangan pendidikan anak yang harus diterapkan oleh orang tua, modernisasi pemikiran keagamaan, atau melakukan perbaikan moral masyarakat. Tugas-tugas seperti ini berada di luar tanggung jawab kenegaraan dan kepala negaranya. Sebab, sebuah Negara kota hanya bertanggung jawab terhadap administrasi kota dalam bentuk yang sedemikian, sehingga warga kota tersebut bisa memperoleh kebebasan dan kesejahtraan serta memelihara sistemsistem umum yang ada. 83 Dengan demikian bahwa Syariati memandang peran negara bukan hanya dalam bidang administrasi, namun juga peran-peran etis untuk membangun masyarakat dan negara yang bermoral. Disinilah pengejawantahan etika politik harus diterapkan dalam sebuah negara, meskipun Ali Syariati tidak mendefinisikan secara jelas tentang etika politik, namun dalam konsep politik Syariati menunjukkan 83
Dr. Ali Syari’ati, Umah dan Imamah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995 ), Cet. Ke-2, h.
55-56
48
landasan etika politik dalam mendefinisikan politik. Ini bisa dilihat dari konsep negara Syariati yang mempunyai arti birokrasi atau administrasi dan tanggung jawab kenegaraan untuk mendidik atau memperbaiki pandangan hidup masyarakat. Atas dasar itu penulis mengulas tentang konsep masyarakat ideal dalam pemikiran Syariati sebagai dasar pandangannya terhadap tata kenegaraan dan konsep etika politik sesuai dengan zamannya.
A. Masyarakat Ideal Pandangan Ali Syariati Dalam pandangan Syariati
masyarakat islam yang ideal disebut umat.
Mengantikan konsep semacamnya yang dalam berbagai bahasa dan budaya menunjukkan pengelompokan manusia, seperti society, nation, rece, people, tribe, clan, qaum, qabilah, sya’b, dan lain sebagainya. Menurut Syariati kata ummat mengandung makna yang progresif serta mengandung pandangan sosial yang dinamis, komited, dan ideologis. 84 Istilah ummah secara terperinci mengandung tiga konsep, yaitu kebersamaan dalam arah dan tujuan, gerakan, dan tujuan tersebut, dan seharusnya adanya pemimpin dan petunjuk kolektif.
85
Ummat menurut Syari’ati adalah suatu
masyarakat dimana sejumlah perseorangan yang mempunyai keyakinan dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan maksud untuk bergerak maju kearah tujuan bersama 86 . Dari kajian filologi di atas, Syari’ati memandang bahwa sesungguhnya tidak mungkin ada ummat tanpa imamah. Sebagaimana istilah ummat, imamah menampakkan diri dalam bentuk sikap, dimana seorang dipilih
84
Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam, h. 119 Ali Syari’ati, Ummah dan Imammah; suatu tinjauan sosiologis, terj. Afif Muhammad, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), h. 53 86 Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam, h. 119 85
49
sebagai kekuatan penstabil dan pendinamisan massa, yang pertama berarti menguasai massa sehingga berada dalam stabilitas dan ketenangan, dan kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit, dan bahaya. Yang terakhir berkenaan dengan asas kemajuan dan perubahan ideologis, sosial, dan keyakinan, serta menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal. 87 Ali Syari’ati memandang ummat dan imam dalam kondisi yang dinamis, yang selalu bergerak ke arah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang bahwa tanggung jawab paling utama dan penting dari imamah adalah perwujudan dari penegakan asas pemerintahan pada kaida kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, lalu melakukan akselerasi, dan menggiring ummat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagai individu terhadap ketenangan dan kenyamanan 88 Dalam pandangan Syari’ati kerangka dasar ummat adalah ekonomi, karena menurutnya ”barang siapa yang tidak menghayati kehidupan duniawi maka dia pun tidak akan mengalami kehidupan batiniah”.89 Sistem sosialnya didasarkan atas kesamaan dan keadilan serta hak milik yang ditempatkan di tangan rakyat, atas kebangkitan kembali ”sistem habil”, yakni masyarakat yang ditandai oleh persaudaraan. Bentuk pemerintahan umat adalah kepemimpinan yang komited dan revolusioner, bertanggung jawab atas gerakan dan pertumbuhan masyarakat atas dasar pandangan hidup dan ideologisnya, bertanggung jawab untuk melealisasikan fitra suci manusia dengan rencana kejadiannya.
87
Ali Syari’ati, Ummah dan Imammah; suatu tinjauan sosiologis, terj. Afif Muhammad, h.
88
Ali Syari’ati, Ummah dan Imammah; suatu tinjauan sosiologis, h. 64 Ali Syariati, on the sociology of islam, h. 119
63 89
50
Sementara itu manusia ideal yang dimaksud Syariati adalah manusia theomorphis yang dalam pribadinya ruh Allah telah memenangkan belahan dirinya yang berkaitan dengan iblis, dengan lempung dan lumpur. 90 Dalam pandangannya manusia ideal harus mengenal Tuhan dengan sebaik-baiknya, memperjuangkan nasib dan kepentingan masyarakat, memiliki pola pikir yang tajam dan luas, meninggalkan nafsu dan egoisme, sadar akan fitrah dirinya, memiliki rasa cinta kepada sesama, dan menentang segala bentuk kezaliman. Menurut Syariati manusia ideal memiliki tiga aspek, yaitu pertama, kebenaran. Manusia ideal senantiasa menjunjung tinggi kebenaran dan senantiasa membela kebenaran. Landasan kebenarannya adalah pengetahuan. Setiap perbuatan yang tidak dilandasi denga pengetahuan akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, manusia ideal selalu melandasi setiap pola tindakannya dengan pengetahuan. Kedua, kebajikan. Dalam pandangan Syariati, manusia ideal harus memiliki kebajikan, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun cara berfikirnya. Tolak ukur kebajikannya adalah akhlak. Oleh karena itu, manusia ideal harus memiliki akhlak yang muilia, yang melandasi setiap perkataan dan perbuatannya. Ketiga, keindahan. Manusia ideal adalah manusia yang menyukai keindahan. Tutur kata dan perbuatannya indah, sehingga masyarakat selalu merasa tentram, bila mendengar perkataannya dan melihat tingkah lakunya. Menurut Syariati, manusia ideal merupakan gambaran dari khalifah Allah, yaitu manusia yang menjalankan amanat Allah untuk menjadi wakil-Nya, terutama manusia. Khalifah Allah, dalam pandangan Ali Syariati memiliki tiga keunggulan, yaitu pertama, ia memiliki kesadaran yang tinggi tentang jati dirinya, tujuan
90
Ali Syariati, on the sociology of islam, h. 121
51
penciptaannya, dan tugas serta tanggung jawabnya di muka bumi. Kedua, ia memiliki kemerdekaan dalam bertindak. Setiap pola tindaknya bukan didasarkan atas paksaan. Ketiga, ia memiliki kreativitas yang tinggi.
B. Konsep Kepemimpinan Politik Setelah di atas penulis membahas tentang masyarakat ideal yang mempunyai tujuan bersama, tentunya aturan yang dibentuk dalam masyarakat tidak mungkin terwujud dengan tanpa adanya seorang pemimpin dalam mengkonsolider kepentingan masyarakat. Untuk itu di sini saya mencoba memaparkan pemikiran Ali Syariati yang berkenaan dengan etika politik kepemimpinan. Sesuai dengan konsep masyarakat yang ideal, bahwasanya keharusan adanya pimpinan sebagai petunjuk kolektif. Bagi Syariati pemimpin merupakan sosok yang menampakkan diri dalam bentuk sikap sepurna, dimana seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabil dan pendinamisan massa. Penstabil berarti menguasai massa sehingga berada dalam stabilitas dan ketenangan, dan kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit, dan bahaya. Pendinamisan massa berkenaan dengan asas kemajuan dan perubahan ideologis, sosial, dan keyakinan, serta mengiringi massa dan pemikiran mereka menuju bentuk yang ideal. 91 Syariati memandang bahwa pemimpin dalam bentuk yang dinamis, selalu bergerak ke arah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang bahwa tanggung jawab paling utama dan penting adalah perwujudan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan, dan transformasi dalam bentuk yang paling cepat. Seorang pemimpin selalu melakukan akselerasi, dan menggiring 91
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989) h. 53
52
umat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagai individu terhadap ketenangan dan kenyamanan. 92 Dalam tulisan yang lain Syariati mengatakan, ” pemimpin dalam pemikiran Syiah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan”. 93 Tugas seorang pemimpin tidak hanya terbatas memimpin manusia dalam satu aspek politik, kemasyarakatan, dan perekonomian, juga tidak terbatas pada masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai panglima, amir, atau khalifah, tetapi tugasnya adalah menyampaikan kepada masyarakat dalam semua aspek kemanusiaan yang bermacam-macam. Seorang pemimpin tidak hanya terbatas hanya pada masa hidupnya, tetapi juga selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya. 94 Walau sedemikian tinggi makna karakteristik seorang pemimpin bagi Syariati namun ia mengingatkan bahwa pemimpin bukanlah supra-manusia tetapi hanya manusia biasa yang memiliki banyak kelebihan di atas manusia lain dan manusia super. 95 Kalaupun demikian agung dan tinggi hakikat seorang pemimpin, kemudian bagaimana cara pemilihan pemimpin? Dalam menjawab Ali Syariati memulai dengan pertanyaan, ”bagaimana imam dipilih melalui pengangkatan atau pemilihan, ataukah berdasar penunjukan dari Nabi Saw. atau imam sebelumnya?” kemudian ia menjawab secara teoritis, ” bahwa imam adalah suatu hak yang bersifat esensial
92
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 63 Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 65 94 Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1992), h. 65 95 Ali Syariati, on the sociology of islam h. 114 93
53
yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah dari imam itu sendiri, dan bukan dari faktor eksternal, semisal pengangkatan atau pemilihan”. ”Dia adalah seorang imam, tak perduli apakah ia muncul dari penjara al-Mutawakkil maupun dari mimbar Rasul, baik didukung oleh seluruh umat atau hanya diketahui keagungannya oleh tujuan atau delapan kelompok orang saja”. Bagi Syariati imam tidak diperoleh melalui pemilihan, melainkan melalui pembuktian kemampuan seseorang. Artinya, masyarakat yang merupakan sumber kedaulatan dalam sistem demokrasi tidak terikat dengan imam melalui ikatan pemerintahan, tetapi berdasarkan ikatan orang banyak dengan kenyataan yang ada. Mereka bukan menunjuknya sebagai imam, tetapi mengakui kelayakannya sebagi imam. 96 Dalam teori politik Islam kita mengenal istilah Imamah dan Khilafah, dalam hal ini Ali Syariati mempunyai pengertian istilah tersebut. Baginya Imamah 97 (yang diakui) adalah pribadi tertentu sebagaimana halnya dengan nubuwah dan mempunyai tanggung jawab terbatas. sedangkan Khilafah (yang dipilih) merupakan tanggung jawab yang tidak terbatas dalam sejarah baik dalam masa maupun orangnya. Dengan mengabaikan perbedaan di atas, Ali Syariati memaparkan bahwa imamah dan khilafah sebenarnya merupakan tanggung jawab yang satu, untuk mencapai satu tujuan dengan keterbatasan, seperti setelah dikemukakan di atas dimana seorang penguasa tidak selamanya seorang imam. 98 Dalam pandangan Syariati hubungan khilafah dengan Imamah yang ada pada suatu masa merupakan bentuk hubungan seorang pemimpin spiritual, politik, dan
96
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 141-145 Ada dua makna imamah: imamah dalam arti jabatan dan imamah dalam arti sifat / atribut. Pemisahan imamah dan khilafah (dalam arti jabatan) akan bermuara pada pemisahan negara dengan agama. Pemisahan khilafah dan imamah (sifat / atribut) tidak bermuara ke sana. Dan yang terakhir ini yang disetujui Syari'ati. 98 Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 156-158 97
54
sosial dengan penguasa, sebagaimana Nabi Muhammad yang memimpin perang tetapi juga menjadi imam sholat. Sejarah Islam kemudian mencatat terjadinya pergeseran yang memisahkan antara khilafah dan imamah dalam bentuk aplikatif. selain itu terjadi pereduksian peranan imamah dak khilafah dalam sejarah Islam, lalu masing-masing ditempatkan dalam medan yang sempit. Adapun yang dimaksud Syariati dengan pemisahan khilafah dan Imamah (atribut/sifat) di atas adalah pada tataran realitas. Ada imam yang diakui oleh sekelompok orang, lalu kelompok lain memilih orang lain menjadi khilafah. Bagi Syariati imamah bukanlah jabatan tetapi atribut (sifat). Bentuk seperti ini di mata Syariati adalah wajar, sedangkan pemisahan antara kedua tugas tersebut dapat memberi jaminan bagi tetap terpeliharanya keagungan dan kehormatan Imam. Ini sesuai dengan posisi Muhammad sebagai seorang Rasul dan menunjuk orang lain pada jabatan pemerintahan bagi bangsa Arab atau muslim Emperoro Islam. Dalam bangsa Barat kita mengenal kepemimpina Yesus dalam hal spiritual dan dilain pihak terdapat Kaisar yang memimpin politik. 99 Bagi Syariati, dalam ajaran Islam tidak mengenal pemisahan antara urusan negara atau politik dengan agama. Jika terjadi pada suatu masa adanya imam dan adanya khilafah maka hubungan yang terjadi adalah saling melengkapi dengan tanggung jawab masing-masing. Imam meskipun diam di rumah tidak berarti keimam-annya hilang, karena imam adalah atribut (sifat) dengan tanpa melewati pemilihan. dengan demikian tanggung jawab seorang imam (meskipun tidak terpilih sebagai khilafah) tetaplah ada.
99
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 161
55
Bagi Syariati inilah yang membedakan dengan konsep Barat yaitu pemisahan antara negara dan agama. Bagi Islam seorang imam adalah pemimpin spiritual sedangkan khilafah pemimpin politik. Jika kemudian imam terpilih sebagai pemimpin politik, maka bukanlah hal yang baru sepertihalnya Imam Ali dan Imam Hasan. Inilah yang tidak mungkin terjadi dalam konsep sekuler karena pemimpin spiritual bukanlah sebuah sifat tetapi sebuah atribut jabatan tersendiri.
C. Islam Sebagai dasar Etika Politik Islam Ali Syariati Ali Syariati dikenal sebagai intelektual Iran yang cemerlang. Ia bukan saja bergelut pada tataran wacana, tapi juga terlibat pada tataran politik praktis, yaitu dengan turun menggerakkan revolusi Iran tahun 1979. Gerakan intelektual dan praktis Ali Syariati ini diarahkan demi terwujudnya Islam Sejati, yaitu Islam yang dihadirkan sebagai ideologi revolusioner, yang mampu membangkitkan idealitasidealitas yang di transformasikan ke dalam sistem etika politik dan relasi sosial. 100 Untuk mengejawantahkan wacana etika politik Islam, Ali Syariati menggunakan empat pendekatan; yaitu sejarah Islam, studi dunia kontemporer dan kebutuhannya, teks-teks Islam, dan kepekaan terhadap elemen mistis dari agama. Sejarah Islam yang dimaksud adalah sejarah yang dipahami melalui teks Islam, bukan teks sejarah yang sesuai dengan ruang dan waktu. Misalnya dengan melihat cara Nabi Muhammad mempertahankan kebiasaan Arab pra-Islam yaitu, ziarah keagamaan tradisional di Makkah (Ka’bah). Nabi mengubah kandungan dan isinya, jiwa, arahnya, serta aplikasi praktisnya dengan cara yang etis. Mendatangi Ka’bah
100
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun. Terj. Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 2000), h. 140
56
bukan dengan maksud mendatangi bangunan tua, melainkan mendatangi “rumah Allah” untuk beribadah. Dalam studi dunia kontemporer, Syariati tidak menolak mentah-mentah, melainkan menelaah secara mendalam sehingga menemukan bagian-bagian yang harus ditolak dan bagian yang bisa ditiru. Bagi Syariati bagian yang harus ditolak dari kemodernan adalah konsumerisme dan pencerabutan akan keautentikan Islam, sedangkan yang bisa diambil contoh dari moderinisme adalah spirit untuk berkarya dan berproduksi. Dalam hal ini Syariati mencontohkan ketika berhadapan dengan marxisme. Marxisme merupakan paham yang diproduksi oleh Karl marx, yang menginginkan terciptanya masyarakat yang sosialis, dimana antara kelompok borjuis dan proletar setara. Perhatian Syariati terhadap marxisme adalah karena kepekaannya pada realitas sosial, sejarah sebagai sumber kebenaran, analisisnya tentang kapitalis dan imprealisme, dan seruan kepada revolusi. Sedangkan yang ditolak olehnya adalah masalah kemanusiaan yang merupakan bentuk modus produksi material 101 Lebih lanjut Ali Syariati menekankan pentingnya menghidupkan ajaran Islam dan kembali kepada sumber yang asli. Realitas yang dihadapi pada era ini sangat kompleks dan terdapat percampuran antar ajaran Islam dengan ajaran di luar Islam. Untuk itu perlu adanya tanggung jawab bagi umat islam untuk membersikan unsur-unsur luar yang melekat pada pola pikir keyakinan keagamaan yang diciptakan oleh kediktatoran, perbedaan kelas, dan interes politik dan kembali kepada akar islam yang asli. 102
101
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, h. 139 102 Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 22
57
Sedangkan yang berkaitan dengan hal mistik dalam Islam, menurutnya harus dipahami dan tidak diabaikan. Walaupun bersifat irasional, namun pengalaman mistik dapat dijadikan sebagai pertanda bahwa seorang hamba melakukan pendekatan spiritual terhadap diri Allah. Hal ini tercermin dalam pengalaman mistik Ali Syariati ketika kelas lima sekolah dasar. Ketika itu ia mendengar suara bel berbunyi yang membuat dirinya terduduk di tanah, badannya gemetar, dan kepala berputar-putar. Sejenak kemudian Syariati menemukan misi mengenahi vigur magis berwarna hijau yang turun dari langit, seperti petir menembus melalui matanya dan berjalan menuju hatinya, kemudian kehilangan jejaknya. Syariati memahami arti itu pada usia sudah dewasa ketika mempelajari ajaran tokoh sufi Al-Jilli, ia memahami bahwa figur mistik warna hijau adalah metafor untuk sinar pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada orang yang dipilih-Nya dan pendistribusian penyatuan seorang hamba dengan Tuhan. 103 Dalam hal politik praktis, Ali Syariati menganut jalan tengah. Pada masa itu dunia terbela menjadi dua blok besar yaitu, blok Barat dan blok Timur. Blok barat adalah Amerika Serikat dan Eropa Barat yang kapitalis dan liberalistik, sedangkan blok timur adalah Uni Soviet dan Eropa Timur yang komunistik dan sosialistik. Dua blok ini selalu berhadapan, baik dalam masalah ekonomi, politik, budaya, dan militer, sehingga tatanan dunia tergantung kepada dua blok ini. Pada kondisi yang demikian Ali Syari’ati menawarkan posisi negara-negara Islam menjadi kelompok independen. Ini bertujuan untuk menjadi bumper dan mengurangi ketegangan antara dua blok transisional dan melawan intervensi yang tidak adil dari kedua blok dalam urusan yang berkaitan dengan negara Islam. 104 103 104
Ali Rahmena, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, h. 233 Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, h. 140
58
Pemikiran Syari’ati ini terbukti ketika salah satu blok ini runtuh, negaranegara Islam tidak terlalu terimbas dampak negatif. Bahkan ada negara Islam yang terus melangkah maju dengan berpegangan keautentikan sebagi negara islam dengan tetap modernis, seperti negara Qatar. Jalan tengah yang diambil Syariati ini juga nampak ketika ia mengapresiasi revolusi Iran yang berhasil menjatuhkan diktator rezim Syah. Keberhasilan itu bagi Syari’ati tidak terlalu disambut dengan eforia. Kehadiran rezim baru pengganti rezim Syah, yaitu rezim yang berada di bawah kendali ulama dikhawatirkan ditunggangi kepentingan pihak luar yang manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang menjadikan tradisi sebagai penjara. Ali Syariati memandang bahwa rezim Syah tidak membangkitkan agama tapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemadekan islam. Sikap jalan tengah yang ditempuh Ali Syari’ati ini berdasarkan dari pemahamannya tentang etika politik. Baginya politik mempunyai pengerian pendidikan, pembaruan, dan penyempurnaan. Selain itu bertugas dalam bidang administrasi kota dalam bentuk yang ideal dan bertanggung jawab. Dengan demikian Syari’ati mengartikan pemeritahan menjadi dua pandangan hidup dan tanggungjawab, yakni menjalankan kewajiban memimpin dan mendidik manusia mencapai bentuk yang lebih baik, yang didasarkan pada mazhab tertentu, sehingga dengan demikian ia menjadi guru dan sekaligus pemimpin politik, atau menjadi administrator, supervisor, dan birokrat bagi masyarakat politis. 105 Dalam konteks situasi saat Syari’ati hidup, pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu, Islam yang dipahami banyak orang di masa itu adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual
105
Ali Syariati, Ummah dan Imamah, h. 56
59
dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali
cara yang paling efektif untuk
menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau pentunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afin). Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang
berbuat sewenang-wenang dan
mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya. Wacana Islam mainstreem itulah yang digunakan oleh sebagian besar ulama untuk mendukung kekuasaan rezim Syah. Ketika rezim Syah menindas rakyat, para ulama rezimis tidak mampu berbuat banyak untuk kepentingan rakyat. Justru ulama dipaksa untuk memberikan justifikasi keagamaan atas kebijakan-kebijakan Syah. Bagi Syari’ati hal demikian menganalogkan bahwa Islam yang demikian itu sebagai Islam gaya penguasa (Islamnya Usman bin Affan ). Sementara Islam otentik, sebagaimana yang dinyatakan Syariati adalah Islam Abu Zar, 106 sahabat Nabi sang pencetus pemikiran sosialistik Islam. 107 Islam dalam pandangan Syariati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan sang 106
Abu Zar menyaksikan peristiwa yang memalukan ini dan karena tidak bisa lagi menerima hal itu itu, maka dia tidak lagi bisa diam, ia pun melawan, suatu perlawanan yang sangat bagus dan jantan; suatu perlawanan yang menyebabkan timbulnya perlawanan di semua wilayah Islam melawan kekuasaan Usman; suatu perlawanan dari gelombang gairah Islam yang tetap dirasakan sampai zaman sekarang di dalam sejarah umat manusia. Abu Zar sedang berusaha untuk membangun kesatuan ekonomi dan politik Islam dan rejim Usman sedang menghidupkan kembali aristocracy. Abu Zar percaya Islam sebagai tempat perlindungan orang yang membutuhkan pertolongan, si tertindas dan orang-orang yang terhina dan ‘Usman menjadikan Islam sebagai alat kapitalisme yang berarti pula benteng untuk memelihara para lintah darat, orang-orang kaya dan kaum ningrat. Lihat dalam, Ali Syariati, And Once Again abu-Dhar, diakses tanggal 22 Pebruari 2008, dari http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/ works/once_again_abu_dhar7.php, 107 Azyumardi Azra, “Akar-Akar Ideologis Revolusi Iran: Filsafat Pergerakan Ali Syari’ati”, dalam Azyumardi Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.77
60
Khaliq, tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan. Seperti yang ditulis dalam salah satu karyanya: adalah perlu menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan Islam. Dengan kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalifah. Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islam penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam pembebasan, kemajuan, dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujahid; bukan Islam kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggung jawab pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi, keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis kepada ulama. 108 Dalam tulisan selanjutnya Ia katakan : tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksud: Islam Abu Zar atau Islam Marwa (bin Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Satunya adalah Islam ke-khalifah-an, istana, dan penguasa. Sedangkan lainnya adalah Islam rakyat, mereka dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus mempunyai kepedulian kepada kaum miskin dan tertindas. Khalifah yang korup juga berkata demikian, Islam yang benar lebih dari sekadar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan. 109 Gagasan Syariati tentang Islam revolusioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak
108
Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami “Kemelut” Tokoh Pemberontak”, dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999), hlm. 61 109 Azyumardi Azra, “Akar-Akar Ideologis…”, h. 77-78
61
diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan dan berpaling dari kenyataan ril umat yang selalu ditindas oleh kekuasaan. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner yang diusung Syariati juga merupakan bentuk pengembalian hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat. 110 Seperti yang dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran sekaligus cerminan dari kenyataan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya ia mengungkapkan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagamaan, seperti para elit kegamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan. 111 Teologi pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin kegamaan yang benar-benar masuk akal. Teologi pembebasan telah memberikan sumbangsi yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagamaan yang mapan.
110
Robert D. Lee, “Ali Shari’ati”, dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 140 111 Michael Lowy, Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 27
62
Beberapa diantara doktrin ini adalah: 1) Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-sebab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) suatu pembacaan baru terhadap teks agama, 5) perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama, 6) kecaman terhadap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis. 112 Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan eksploitasi. Ajaran Nabi mengatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umat untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat bagi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm (penindas). 113 Dalam konteks Iran, bagi Syari’ati ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi konservatif dan menjadi agama negara. Sedangkan dalam pihak lain ulama mempunyai hubungan organik dengan kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta, karena ulama Syiah memperoleh pemasukan dari Khams (sedekah) dari sahm Imam (bagian dari zakat) 114
112
Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, metode, praksis, dan isinya, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 23-25 113 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. III, hlm. 7 114 Ali Rahnema, “Ali Syari’ati: Guru, Penceramah, Pemberontak”, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 234.
63
Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilai sebagai akhud, Ia kemudian menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal secara sederhana adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk melakukan gerakan protes. Ia mencontohkan ulama seperti al-Afgani sebagai idola. 115 Nampaknya pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam secara konsisten berada dalam aras Islam progresif dan revolusioner. Corak Islam yang demikian itu dihasilkan dari pemahaman bahwa dalam ajaran Islam, Tuhan telah menugaskan kepada manusia sebagai khalifah di bumi 116 . Khalifah haruslah dalam posisi proaktif memperjuangkan prinsip-prinsip keadilan, bukan pasra dengan nasib secara take for granted. Bagi Syari’ati Islam merupakan agama yang dinamis dibanding agama lain. Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata ”politik” berasal dari bahasa Yunani ”polis” (kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi pada kata Islamnya adalah ”siyasah”, yang secara harfiah berarti ” menjinakkan seekor kuda liar”, suatu proses yang mengandung makna perjuangan yang kuat untuk mencapai kesempurnaan yang sempurna. Ini artinya ideologi Islam sebagai dasar dalam etika politik Ali Syari’ati mampu menggerakkan masyarakat ke arah yang lebih baik, dan akhirnya menjadikan sebuah bangsa baldatun tayyibatun wal ghofururrohi.
115
Azyumardi Azra, Akar-Akar Ideologis…, h. 82 Khalîfah dalam hal ini adalah pemangku tugas pembaharu dan selalu memimpin dunia dengan keadilan dan kearifannya. Jika ditemukan dalam penggalan sejarah manusia-manusia serakah yang aksinya menindas dan memperkosa hak-hak manusia lain, maka menjadi tugas khalîfah untuk menyingkirkan jenis manusia itu dari muka bumi. 116
64
BAB V PENUTUPAN
A. Kesimpulan Setelah mendeskripsikan serta menganalisa konsep etika politik Ali Syari’ati, maka penulis mencoba menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Ali Syari’ati berpendapat politik merupakan sistem pemerintah yang mempunyai tanggung jawab memelihara agar masyarakat bisa aman dan menyediakan sarana-sarana kesejahtraan bagi warganya. Dengan demikian beliau memandang bahwa peran negara bukan hanya dalam bidang administrasi, namun juga peranperan etis untuk membangun masyarakat dan negara yang bermoral. Meskipun Ali Syariati tidak mendefinisikan secara jelas tentang etika politik, namun dalam konsep
politik
Syariati
menunjukkan
landasan
etika
politik
dalam
mendefinisikan politik. Ini bisa dilihat dari konsep negara Syariati yang mempunyai arti birokrasi atau administrasi dan tanggung jawab kenegaraan untuk mendidik atau memperbaiki pandangan hidup masyarakat. 2. Dalam pemikirannya, Ali Syari’ati mengejawantahkan Islam sebagai kerangka dasar bagi kehidupan sosial dan politik Iran. Ia menginginkan agar Islam dijadikan dasar etika politik yang mampu membebaskan rakyat dari berbagai ketidakadilan
dan
kezaliman.
Misi
sejati
Islam
menurutnya,
adalah
membebaskan ”golongan tertindas” (mustadh’afin, sebuah istilah al-Quran, watt 1988: 134), yang sekarang ini mengacu pada rakyat miskin yang tereksploitasi di Iran dan dunia ketiga. Dia ”melihat ada sebuah ideologi dalam humanisme Islam
65
yang dapat menyelamatkan Iran dan seluruh bangsa yang tertindas”. Tetapi Islam, dalam bentuk saat ini, harus direformasi jika ingin mencapai tujuannya. 3. Masalah kepemimpinan menurut Ali Syari’ati adalah manusia yang mempunyai bakat dan karakter memimpin untuk membawa masyarakat (umah) ke arah yang lebih maju.
Ia memandang bahwa tanggung jawab paling utama seorang pemimpin adalah perwujudan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan, dan transformasi dalam bentuk yang paling cepat. Seorang pemimpin selalu melakukan akselerasi, dan menggiring umat menuju kesempurnaan. Dalam hal pemilihan pemimpin, bagi Syariati imam (pemimpin) tidak diperoleh melalui pemilihan, melainkan melalui pembuktian kemampuan seseorang. Artinya, masyarakat yang merupakan sumber kedaulatan dalam sistem demokrasi tidak terikat dengan imam melalui ikatan pemerintahan, tetapi berdasarkan ikatan orang banyak dengan kenyataan yang ada. Mereka bukan menunjuknya sebagai imam, tetapi mengakui kelayakannya sebagi imam. 4. Selain berbicara tentang kepemimpinan Ali Syariati juga mempunyai konsep tentang masyarakat ideal, yaitu manusia yang mengenal Tuhan dengan sebaikbaiknya, memperjuangkan nasib dan kepentingan masyarakat, memiliki pola pikir yang tajam dan luas, meninggalkan nafsu dan egoisme, sadar akan fitrah dirinya, memiliki rasa cinta kepada sesama, dan menentang segala bentuk kezaliman. 5. Pemikiran Ali Syari’ati tentang etika politik mempunyai relevansi yang sangat kuat dengan kondisi moral saat ini. Penyalagunaan wewenang dan kekuasaan kerap kali terjadi, untuk itu konsep etika politik Ali Syari’ati menjadi salah satu tawaran untuk penyelesaikan problematika politik kekinian. Ali Syariati
66
menawarkan konsep etika politik yang di jelaskan oleh penulis di atas merupakan landasan yang memuat nilai kebajikan
B. Saran Sebagai sebuah hasil studi yang lahir dengan berbagai keterbatasan, dengan rendah hati penulis menyadari bahwa karya ini jahu dari kesempurnaan. Karena itu melalui kesempatan ini penulis bermaksud menyumbang saran dengan harapan bisa ikut memberikan sumbangsi dalam studi etika politik. Pertama, dalam abad 20 ini, umat Islam tetap dan terus dituntut untuk mendirikan sebuah negara ideal. Merosotnya etika politik sebuah negara sering kali disebabkan hancurnya moralitas politisi. Dalam hemat penulis kondisi tersebut disebabkan terputusnya hubungan agama dengan politik yang diakibatkan oleh paham Barat atau sekulerisme yang menyatakan, belief is one thing, and politics is another (kepercayaan atau keimanan adalah satu hal, sedangkan politik adalah hal lain). Jadi, meskipun politisi kita tahu tentang prinsip-prinsip akhlak politik, namun mereka tidak mampu mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari Kedua, demokrasi merupakan salah satu mekanisme untuk memilih seorang pemimpin. Beberapa negara Islam telah menjalankan proses demokrasi, dan belum berhasil, tetapi mekanisme demokrasi tetap diandalkan sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin. Ini dikarenakan di dalam mekanisme demokrasi terdapat sistem check and balance, memperkuat civil society, mewujudkan good governance, taushiyah, dan yang lain. Untuk itu umat Islam harus selalu berproses dan membutuhkan kesabaran, ketangguhan, dan lainnya untuk bisa maju ke depan.
67
Ketiga, dalam konteks Indonesia etika politik mendapat porsi yang cukup dalam dasar negara. Meskipun tidak berlandaskan negara Islam namun Indonesia mempunyai falsafah yang memuat dasar keislaman yang tertuang dalam pancasila. Sebagai falsafah dan pandangan hidup pancasila mengikat dan mengatur sistem kenegaraan, kemasyarakatan, cita-cita hukum, serta cia-cita moral yang luhur meliputi suasana kejiwaan bangsa. Namun demikian, dalam praktiknya masih jahu dari harapan. Untuk itu perlu adanya pendalaman dan sinergitas bersama antara pimpinan negara dengan masyarakat menuju cita-cita bersama menjadi negara adil dan makmur. Keempat, sudah bukan rahasia umum bahwa negara kita merupakan salah satu negara yang tertinggi dalam hal KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Hal ini tumbuh dan berkembang dengan luas. Sungguh ironis, bahwa negara yang mayoritas muslim dan hampir 90% pemerintahannya berada di tangan cendikiawan Muslim mendapat lebel demikian. Menurut penulis, salah satu hal ini diakibatkan oleh krisis etika atau moral yang menjangkit para pelaku politik. Konsep etika politik Ali Syari’ati yang penulis tuangkan dalam skripsi ini sekiranya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bernegara yang lebih baik. Terlepas dari semua itu, penulisan skripsi ini tentu memiliki kekurangan. Karena itu, saya mengharap saran dan sumbangan pemikiran demi kerbaikan skripsi ini. Wallahu a’lam
68
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ihsan, Perjalanan Nabi, Diakses tanggal 24 Februari 2008, 20:10 http: //www. suara-islam.com. Azra, Azyumardi, Etika Politik dalam Islam, Diakses tanggal 26 Februari 2008, 08:10 http: //www.repubika.co.id Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Islam: Perbandingan Antara Islam dan Bara, (Jakarta: Rajagrafindo, 1996) al-Mardawy, Hasan Basri, Etika Politik dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakerta: Jurnal Madina, edisi 30 Juni-06 Juli 2008) Asmaran, AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994) Bretens, K., Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994) Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998 ) Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Cetakan ketiga (Jakarta; Gramedia, 2002) Black, Antoni, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006) Gibb, Hamilton A.R., Studies on the Civilization of Islam, (Boston: Beacon Press, 1968) Durkhem, Emile, Pendidikan Moral, (Jakarta: Erlangga, 1990) D. Lee, Robert, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun. Terj. Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 2000) Esposito, John L.(ed), Islam dan Politik, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990) Hadiwijoyo, Harun, Sari Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) Held, Virginia, Etika Moral;Pembenaran Tindakan Sosial, Penerjemah Drs.Y Ardy Handoko, (Jakarta; Erlangga, 1991) Henayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, (Bandung: Pustaka, 1988) Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2001)
69
Jindan, Ibrahim, Khalid, Teori Pemerintahan Islam, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1994) Jatnika, Rahmat, Sistem Etika islam; Akhlak Mulia, (Surabaya: Pustaka Islam, 1985) Jailani, Abdul Qodir, Negara Ideal: Menurut Konsepsi Islam , (Surabaya: Bina Ilmu, 1995) Mumtaz, Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1993) Madjid, Nurkholis, Agama dan Negara dalam Islam: telaah atas Fiqih Siyasy Sunni (Jakarta: Paramadina, 1994) Malaky, Ekky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Mizan: Juli 2004 ) Muhammad, Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996) Nitiprawiro, Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, metode, praksis, dan isinya, (Yogyakarta: LkiS, 2000) Qardhawi, Yusuf, Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka Kausar, 1999) Rachman dan Munawar, Budhy, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994) Rahnema, Ali, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, ( Jakarta: Erlangga, 2000 ) Reading, F. Hugo, Kamus Ilmu-ilmu Sosial, terj. Sahat Simamora (Jakarta: Rajawali Pers, 1986) Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia, 2001) Santoso, Listiyono, Teologi Politik Gus Dus (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004) Subakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999) Syafi’I, Kencana, Inu, Ilmu Politik,(Jakarta: Rineka Cipta, 1997) Suseno,Franz Magnis, Etika Politik , (Jakarta: Gramedia, 2003) --------------------------, 13 Model Pendekatan Etika (Yogyakarta; Kanisius, 1998) --------------------------, artikel ini di tulis dari makalah kuliah umum ”Sekitar etika Politik”, (Yogyakarta: UGM, 27 Agustus 2007 )
70
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI-Press, 2993) Shabhan, Sejarah Islam Penafsiran Baru (Jakarta: Rajawali Press, 1993) Syari’ati, Ali, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1992) ----------------, On the Sociology of Islam, (Bandung: Mizan Pers, 1979) ----------------, Ideologi Kaum Intelektual, (Bandung: Mizan, 1985) ----------------, Ummah dan Immamah, (Bandung: Pustaka Hidaya, 1995) ----------------, Islam Agama ”Protes”, terj. Satria Pinandito, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1993) ----------------, Pemimpin Mustadh’afin, (Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2002) ----------------, Agama versus “Agama”, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000) ----------------, Membangun Masa Depan Islam, (Bandung: Mizan, 1989) Vikar, Islam dan Politik, artikel di akses tanggal 26 Januari 2008 dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/15/0805.ht Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002) Zubair, Charis, Ahmad, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
71
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ihsan, Perjalanan Nabi, Diakses tanggal 24 Februari 2008, 20:10 http: //www. suaraislam.com. Azra, Azyumardi, Etika Politik dalam Islam, Diakses tanggal 26 Februari 2008, 08:10 http: //www.repubika.co.id Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Islam: Perbandingan Antara Islam dan Bara, (Jakarta: Rajagrafindo, 1996) al-Mardawy, Hasan Basri, Etika Politik dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakerta: Jurnal Madina, edisi 30 Juni-06 Juli 2008) Asmaran, AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994) Bretens, K., Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994) Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998 ) Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Cetakan ketiga (Jakarta; Gramedia, 2002) Black, Antoni, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006) Gibb, Hamilton A.R., Studies on the Civilization of Islam, (Boston: Beacon Press, 1968) Durkhem, Emile, Pendidikan Moral, (Jakarta: Erlangga, 1990) D. Lee, Robert, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun. Terj. Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 2000) Esposito, John L.(ed), Islam dan Politik, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990) Hadiwijoyo, Harun, Sari Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) Held, Virginia, Etika Moral;Pembenaran Tindakan Sosial, Penerjemah Drs.Y Ardy Handoko, (Jakarta; Erlangga, 1991) Henayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, (Bandung: Pustaka, 1988) Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2001)
Jindan, Ibrahim, Khalid, Teori Pemerintahan Islam, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1994) Jatnika, Rahmat, Sistem Etika islam; Akhlak Mulia, (Surabaya: Pustaka Islam, 1985) Jailani, Abdul Qodir, Negara Ideal: Menurut Konsepsi Islam , (Surabaya: Bina Ilmu, 1995) Mumtaz, Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1993) Madjid, Nurkholis, Agama dan Negara dalam Islam: telaah atas Fiqih Siyasy Sunni (Jakarta: Paramadina, 1994) Malaky, Ekky, Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Mizan: Juli 2004 ) Muhammad, Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996) Qardhawi, Yusuf, Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka Kausar, 1999) Rachman dan Munawar, Budhy, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994) Rahnema, Ali, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, ( Jakarta: Erlangga, 2000 ) Reading, F. Hugo, Kamus Ilmu-ilmu Sosial, terj. Sahat Simamora (Jakarta: Rajawali Pers, 1986) Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia, 2001) Santoso, Listiyono, Teologi Politik Gus Dus (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004) Subakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999) Syafi’I, Kencana, Inu, Ilmu Politik,(Jakarta: Rineka Cipta, 1997) Suseno,Franz Magnis, Etika Politik , (Jakarta: Gramedia, 2003) --------------------------, 13 Model Pendekatan Etika (Yogyakarta; Kanisius, 1998) --------------------------, artikel ini di tulis dari makalah kuliah umum ”Sekitar etika Politik”, (Yogyakarta: UGM, 27 Agustus 2007 ) Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI-Press, 2993) Shabhan, Sejarah Islam Penafsiran Baru (Jakarta: Rajawali Press, 1993) Syari’ati, Ali, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1992) ----------------, On the Sociology of Islam, (Bandung: Mizan Pers, 1979)
----------------, Ideologi Kaum Intelektual, (Bandung: Mizan, 1985) ----------------, Ummah dan Immamah, (Bandung: Pustaka Hidaya, 1995) ----------------, Islam Agama ”Protes”, terj. Satria Pinandito, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1993) ----------------, Pemimpin Mustadh’afin, (Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2002) ----------------, Agama versus “Agama”, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000) ----------------, Membangun Masa Depan Islam, (Bandung: Mizan, 1989) Vikar, Islam dan Politik, artikel di akses tanggal 26 Januari 2008 dari http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/15/0805.ht
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002) Zubair, Charis, Ahmad, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)