IMPLIKASI KONSEP HUMANISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM (TELAAH FILOSOFIS ATAS PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam
Oleh : QUTHFI MUARIF NIM. 063111127
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Quthfi Muarif NIM : 063111127 Jurusan / Program Studi : Pendidikan Agama Islam menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian / karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang,
Juni 2011
Saya yang menyatakan,
Quthfi Muarif NIM. 063111127
ii
KEMENTERIAN AGAMA R.I. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS TARBIYAH Jl. Prof. Dr. Hamka (Kampus II) Ngaliyan Semarang Telp. 024-7601295 Fax 7615387 PENGESAHAN Naskah skripsi dengan: Judul
: IMPLIKASI KONSEP HUMANISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Telaah Filosofis Atas Pemikiran Ali Syari’ati) Nama : Quthfi Muarif NIM : 063111127 Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam telah diujikan dalam sidang munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam.
Semarang, 1 Juli 2011 DEWAN PENGUJI Ketua,
Sekretaris,
Mursid, M.Ag. NIP: 19670305 200112 1 001
Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. NIP: 19780930 200312 1 001
Penguji I,
Penguji II,
Abdul Kholiq, M.Ag. NIP: 19710915 199703 1 003
Amin Farih, M.Ag. NIP: 19710614 200003 1 002
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Syamsul Ma’arif, M.Ag. NIP: 19741030 200212 1 002
Dr. Musthofa, M.Ag. NIP: 19710403 199603 1 002
iii
NOTA PEMBIMBING
Semarang,
Juni 2011
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan: Judul
: IMPLIKASI KONSEP HUMANISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Telaah Filosofis Atas Pemikiran Ali Syari’ati) Nama : Quthfi Muarif NIM : 063111127 Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam sidang munaqasah. Wassalamu’alaikum wr.wb.
Pembimbing I
Syamsul Ma’arif, M.Ag. NIP. 19710403 199603 1 002
iv
NOTA PEMBIMBING
Semarang,
Juni 2011
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan: Judul
: IMPLIKASI KONSEP HUMANISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Telaah Filosofis Atas Pemikiran Ali Syari’ati) Nama : Quthfi Muarif NIM : 063111127 Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam sidang munaqasah. Wassalamu’alaikum wr.wb.
Pembimbing II
Dr. Musthofa, M.Ag. NIP. 19681212 199403 1 003
v
ABSTRAK Judul Penulis NIM
: Implikasi Konsep Humanisme dalam Pendidikan Islam (Telaah Filosofis Atas Pemikiran Ali Syari’ati) : Quthfi Muarif : 063111127
Skripsi ini mengkaji pemikiran Ali Syariati tentang humanisme dan implikasinya dalam pendidikan islam. Pembahasan ini dilatarbelakangi oleh maraknya tradisi keagamaan yang sekedar berkutat pada ritual, namun tidak bisa menunjukkan sikap kepedulian terhadap realitas sosial yang timpang. Padahal berbagai kesenjangan banyak terjadi di tengah masyarakat muslim, seperti neokolonialisme sebagai efek panjang globalisasi kapitalisme. Pada saat keadaan semacam ini, dalam pendidikan Islam perlu dilakukan reorientasi agar dapat membentuk watak muslim yang sadar realitas dan berkomitmen dalam penegakan nilai-nilai kemanusiaan atau humanisasi. Rumusan masalah yang dimunculkan dalam penelitian yaitu pertama, apakah pemikiran Ali Syari’ati tentang humanisme. Kedua, bagaimanakah implikasi konsep humanisme menurut Ali Syariati dalam pendidikan Islam. Permasalahan tersebut dibahas menggunakan jenis penelitian kualitatif literer, atau penelitian kepustakaan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis dalam konteks kajian teoritis yang diurai secara mendalam dengan prinsip-prinsip berpikir filosofis. Sumber-sumber data utama diambil dari bukubuku karya Ali Syariati dan beberapa buku yang mengkaji pemikiran Ali Syariati sebagai penunjang. Penelitian ini menunjukkan bahwa pembaruan Islam secara umum, dan dalam aspek pendidikan pada khususnya sangat urgen. Dari gagasan-gagasan Ali Syariati, kita akan menemukan inspirasi besar mengenai gerakan revolusioner menentang penindasan karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Maka revolusi kultural dan struktural dalam kehidupan keagamaan perlu dilakukan untuk mempertajam rasa empati umat muslim terhadap ketidakadilan yang terjadi, dan diharapkan mampu memberi kontribusi berarti dalam upaya pembebasan. Visi perubahan ini dilakukan melalui pendidikan, yang secara substantif dilaksanakan sebagai proses ideologisasi dengan memihak pada masyarakat kelas bawah. Ideologisasi melalui pendidikan Islam juga harus senantiasa berlandaskan pada kesadaran ketuhanan sebagai realitas tertinggi tujuan hidup manusia agar tercipta pribadi yang dengan kematangan dan keselarasan antara intelektualitas dan spiritualitas. Ide-ide pendidikan islam dengan prinsip revolusioner dan religius adalah karakter utama pembaruan pendidikan Islam yang digagas oleh Ali Syariati.
vi
KATA PENGANTAR Puji dan syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih, tercurahkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, hidayah, dan taufik serta inayah-Nya Dan tidak lupa pula penulis panjatkan shalawat serta salam kepada sang revolusioner Muhammad Rasulullah SAW, yang dengan keteladanan, keberanian dan kesabarannya membawa risalah Islamiyah yang sampai sekarang telah mengangkat derajat manusia dan bisa kita rasakan buahnya. Skripsi berjudul “Implikasi Konsep Humanisme dalam Pendidikan Islam (Telaah Filosofis Atas Pemikiran Ali Syari’ati)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana (S.1) pada Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat bantuan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini dengan kerendahan hati dan rasa hormat yang dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Suja’i, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, yang telah memberikan ijin penelitian dalam rangka penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Syamsul Ma’arif, M.Ag selaku dosen pembimbing I dan Bapak Dr. Musthofa, M.Ag selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Drs. H. Djoko Widagdo, M.Pd., sebagai wali studi penulis yang turut memberi masukan dan arahan selama belajar di kampus hijau. 4. Dosen, pegawai, dan seluruh civitas akademika di lingkungan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. 5. Ayahanda Kasmali dan Ibunda Tona’ah tercinta yang rela ikhlas mendo’akan dan merestui penulis selama menuntut ilmu sehingga memudahkan dalam menjalaninya, serta telah memberikan materi yang tiada henti tanpa mengharap balasan. 6. Kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang ikut membantu proses pembuatan skripsi ini. Penulis berdo’a semoga semua amal dan jasa baik dari semua pihak dapat pahala yang berlipat ganda. Penulis menyadari bahwa karya ini jauh dari kesempurnaan yang ideal, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dan kesempurnaan dalam berkarya dikemudian hari. Akhirnya, hanya kepada Allah penulis berdo’a, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan kita semuanya dan mendapat ridho dari-Nya. Amin. Amin Ya Rabbal ‘Alamiin. Semarang, 09 Juni 2011 Penulis Quthfi Muarif NIM.063111127
vii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................ ii PENGESAHAN .................................................................................................. iii NOTA PEMBIMBING ...................................................................................... iv ABSTRAKSI ....................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii BAB I :
PENDAHULUAN ................................................................................1 A. Latar Belakang .................................................................................1 B. Rumusan Masalah ............................................................................5 C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .......................................6 D. Kajian Pustaka..................................................................................6 E. Metode Penelitian.............................................................................8 F. Sistematika Pembahasan ................................................................12
BAB II : RIWAYAT HIDUP ALI SYARI’ATI ............................................14 A. Latar Belakang Kehidupan dan Kondisi Sosial .............................14 B. Riwayat Pendidikan dan Karir .......................................................20 C. Pengaruh Pemikiran .......................................................................25 BAB III : PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI TENTANG HUMANISME .........36 A. Pengakuan Atas Dualitas Manusia.................................................38 B. Religiusitas Sebagai Dasar Hidup Manusia ...................................43 C. Rausyan Fikr: Model Manusia Ideal..............................................52 BAB IV : IMPLIKASI KONSEP HUMANISME MENURUT ALI SYARI’ATI DALAM PENDIDIKAN ISLAM ................................58 A. Humanisme sebagai Dasar Paradigmatik Pendidikan....................61 B. Pembentukan Kesadaran Religius..................................................64 C. Ideologisasi Pembebasan ...............................................................70 D. Implikasi Praktis ............................................................................75 BAB V : PENUTUP ..........................................................................................81 A. Simpulan ........................................................................................81 B. Saran...............................................................................................82 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Era renaisans adalah pintu gerbang dimulainya babak baru kebudayaan umat manusia. Reformasi struktural dan kultural terjadi secara masif. Tepatnya era ini mencapai puncaknya pada abad 14 hingga 16 M.1 Pada masa ini masyarakat menemukan momen untuk melepaskan diri dari hegemoni gereja yang dianggap mematikan kreativitas nalar manusia. Perubahan ini menciptakan atmosfer baru yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai landasan dalam setiap hal. Era renaisans ditandai dengan bangkitnya gerakan humanisme dalam studi literatur dan kesusastraan di Italia yang mencoba menghidupkan kembali warisan tradisi Yunani kuno abad ke 6 SM (era Sokrates, Plato, dan Aristoteles). Humanisme abad renaisans adalah sebuah gerakan literatur berwawasan pendidikan dengan semangat pembebasan manusia sebagai makhluk otonom yang berpusat pada dirinya sendiri. Humanisme menjadi sebuah paradigma pendidikan di berbagai institusi. Namun gerakan progresif ini tidak dilakukan dengan cara radikal. Hingga menjelang abad ke 15 M, para tokoh humanis tidak mengklaim bahwa mereka sedang melakukan penggantian sistem pendidikan abad pertengahan dengan sistem yang baru. Mereka menyadari keterbatasan ruang gerak yang mereka miliki dalam sistem pendidikan masa itu.2 Spirit humanisme memang sejalan dengan hakikat pendidikan. Sudah seharusnya pendidikan menjadikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai landasan ideologis yang mendasari setiap prosesnya agar senantiasa selaras dengan hakikat keberadaan manusia itu sendiri. Paradigma pendidikan dibangun atas dasar pengembangan potensi manusia menuju pembentukan 1
Zainal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.26. 2
Zainal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, 19-21.
1
pribadi manusia yang utuh. Konsepsi manusia memiliki arti penting dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam sendiri diartikan sebagai sebuah upaya untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma Islam.3 Pengertian di atas menyiratkan akan adanya posisi sentral manusia dalam pendidikan. Dari sinilah kemudian filsafat manusia menjadi titik awal merumuskan konsep pendidikan Islam. Namun pada era modern, gagasan humanisme renaisans telah membawa dampak pada sekularisme kehidupan masyarakat. Sekularisme sebenarnya telah muncul sejak abad pertengahan. Namun tendensi ini baru muncul secara eksplisit pada abad renaisans memosisikan dirinya sebagai perkembangan aliran humanisme.4 Semakin menemukan tempatnya pada saat ilmu pengetahuan mengalami perkembangan pesat, manusia kian menyadari kedahsyatan budayanya sendiri dan merasa tak lagi teramat tergantung pada konsep tentang transendensi ketuhanan. Sekularisme merupakan suatu gerakan yang dalam mengelola kehidupan ini tidak mau mengaitkannya dengan urusan religius, adikodrati dan keakhiratan, melainkan mengarahkan diri pada konteks duniawi saja. Gagasan kemanusiaan justru semakin menjauhkannya dari spiritualitas nilai-nilai transendental ketuhanan. Perkembangan pada tahap ini sering kita sebut humanisme sekuler.5 Agama semakin tidak mendapatkan tempat dan pendidikan pun diarahkan ke dalam orientasi materialis. Lambat laun sekularisasi menyerabut umat muslim dari akar budaya religius yang telah ditradisikan sejak masa Nabi. Ajaran-ajaran agama semakin jauh dari kehidupan kemasyarakatan. Kehidupan beragama tereduksi menjadi sekedar kesemarakan ritual dan jauh dari realitas kehidupan yang riil. Peribadatan vertikal semakin ramai, seperti meningkatnya jumlah jemaat haji atau ramainya masjid-masjid di Bulan Ramadhan. Namun semua itu tidak bisa 3
Zainal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, hlm. 28-29.
4
Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya Bagi Pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 35-36 5
Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya Bagi Pendidikan,
hlm. 85.
2
memberi kontribusi pada pembentukan kesalehan sosial. Implikasi dai pola keberagamaan seperti ini adalah realitas sosial yang bernuansa ritual, namun miskin dengan nilai-nilai spiritual yang berpihak pada kemanusiaan.6 Pola keagamaan ini justru tumpul saat berhadapan dengan persoalan-persoalan riil dalam masyarakat seperti korupsi, kekerasan, penindasan terhadap kelompok minoritas, kerukunan antar umat beragama, dan persoalan-persoalan lain yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat madani. Nilai-nilai semacam ini tentu tidak sesuai dengan spirit keIslaman yang hendak membentuk manusia menjadi khalifatullah (pengganti Allah menjadi pemimpin di bumi) dan abdullah (hamba Allah yang senantiasa mengabdi). Untuk menjaga nilai-nilai keagamaan tetap hidup dalam pendidikan humanis, maka perlu diformulasikan kembali epistemologi humanisme yang tetap berpijak pada wahyu dan tidak menafikan aspek spiritualitas manusia. Hasil formulasi ini sering kita kenal dengan istilah humanisme religius. Gagasan ini banyak muncul dari kalangan cendekiawan muslim. Para intelektual muslim memiliki gagasan orisinal humanisme terkait eksistensi manusia yang memiliki fitrah penciptaannya. Artinya, konsep humanisme dan implikasinya dalam pendidikan Islam tidak serta-merta mengadopsi pemikiran para filsuf Barat era renaisans maupun modern. Pemaknaan hakikat manusia oleh intelektual muslim tetap mengacu pada konsep fitrah yang didasarkan pada pemahaman atas ajaran wahyu. Humanisme di Barat mempertentangkan antara manusia dan dewadewa karena dewa-dewa dianggap memiliki kekuatan yang memusuhi manusia, artinya keberadaan dewa-dewa dan sesembahan lainnya dianggap membelenggu manusia dengan aturan-aturannya. Namun di kalangan intelektual muslim, manusia adalah makhluk orisinal yang justru sejak masa kelahirannya memiliki potensi keimanan kepada realitas ketuhanan. Hubungan manusia dengan Tuhan dalam filsafat Islam, adalah hubungan timbal balik di 6
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Non-Dikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 144.
3
mana mengetahui diri (ma’rifatun nafs) identik dengan mengetahui Tuhan (ma’rifatullah).7 Hal ini diungkapkan oleh Ali Syari’ati, intelektual muslim berkebangsaan Iran yang pemikirannya memiliki banyak pengaruh dalam diskursus humanisme di kalangan intelektual muslim. Dalam diskursus humanisme, Ali Syari’ati adalah salah seorang tokoh muslim progresif yang melalui beberapa karyanya memberi perhatian khusus pada humanisme. Ali Syari’ati berpandangan bahwa tradisi filsafat Barat dan agama, memiliki bangunan epistemologinya masing-masing.8 Setidaknya ada empat kelompok yang memiliki gagasan tersendiri mengenai humanisme, yaitu Liberalisme Barat, Marxisme, Eksistensialisme dan Agama.9 Dalam konteks pendidikan Islam, humanisme religius menjadi sebuah alternatif baru yang menjadi pijakan pendidikan, di mana nilai-nilai kemanusiaan dipandang secara komprehensif, bukan semata pada aspek materinya, melainkan mencakup spiritualitasnya pula. Tak hanya berkutat pada gagasan teoritis, Ali Syari’ati menekankan pentingnya kontribusi intelektual muslim dalam upaya membangun masyarakat. Islam yang ideal menurutnya adalah Islam yang bisa mengawal perubahan dalam rangka menegakkan hakhak kaum tertindas. Gerakan perubahan ini dilakukan semata-mata demi menegakkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai luhur dalam kehidupan dan ajaran Islam sebagai bekal utama. Nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa lepas dari aspek spiritualitas mengingat kodrat manusia sebagai makhluk spiritual. Untuk itu gerakan pembaruan Islam Ali Syari’ati paling tidak memiliki dua karakter utama, yaitu ideologi pembebasan sebagai penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan Islam sebagai dasar filosofisnya. Dalam beberapa bukunya, Syari’ati banyak mengkritik pandangan liberalis Barat yang menempatkan manusia sebagai makhluk mekanis dan kaum Marxis yang mencoba untuk melepaskan diri justru terjebak dalam dunia 7
Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 100. 8
Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, hlm. 37.
9
Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, hlm. 39.
4
mekanis gaya baru yang tidak kalah membelenggu. Ali Syari’ati juga menganggap eksistensialisme Sartre memiliki banyak kerancuan. Menurutnya humanisme adalah sekumpulan nilai ilahiah dalam diri manusia yang merupakan petunjuk agama dalam kebudayaan dan moral manusia.10 Pemikiran humanisme Ali Syari’ati memiliki kontribusi yang cukup brilian terhadap paradigma pendidikan Islam. Hal itu tercurahkan pada aktivitas pendidikan yang ditekuninya, di samping juga tersirat dari buku-buku karyanya. Gagasan-gagasan segarnya akan bisa menjadi alternatif dalam upaya pembaruan Islam menuju Islam yang humanis dan sadar realitas untuk bisa memecahkan
berbagai
persoalan
kemasyarakatan
melalui
pendidikan.
Pendidikan Islam menjadi bingkai besar seluruh gerakan intelektual revolusioner dikumandangkan Ali Syari’ati. Ini tidak lepas dari karirnya sebagai guru, pemikir, sekaligus aktivis pergerakan. Meskipun belajar di Barat, tidak serta-merta Ali Syari’ati mengadopsi
pemikiran
Barat.
Kritiknya
terhadap
pandangan
sekuler
melahirkan gagasan tersendiri yang mendasarkan humanisme pada nilai-nilai ketuhanan. Produktivitas menulisnya pun menjadi nilai tambah tersendiri. Untuk itulah peneliti mengambil judul “Implikasi Konsep Humanisme Dalam Pendidikan Islam (Telaah Filosofis Atas Pemikiran Ali Syari’ati)”.
B. Rumusan Masalah Dengan meneliti latar belakang pemikiran di atas, ada beberapa pokok pikiran yang dapat dipakai sebagai permasalahan dalam penelitian ini, yaitu : 1.
Apa pemikiran Ali Syari’ati tentang humanisme?
2.
Bagaimana implikasi pemikiran humanisme Ali Syari’ati terhadap pembentukan paradigma pendidikan Islam?
10
Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, hlm. 119.
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi tujuan sebagai berikut : 1. Untuk memahami lebih dalam konsep humanisme dan pendidikan Islam. 2. Untuk memahami pemikiran Ali Syari’ati tentang humanisme. 3. Untuk mengetahui implikasi pemikiran humanisme Ali Syari’ati terhadap paradigma pendidikan Islam humanis. Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk meneguhkan gagasan pendidikan humanis yang dibangun melalui ideologi humanisme yang dikembangkan oleh para tokoh intelektual muslim yang mengedepankan aspek religiusitas dalam gagasan-gagasannya. Dalam penelitian ini tokoh yang akan dikaji adalah Ali Syari’ati. Gagasan humanisme Ali Syari’ati diharapkan dapat memberi kontribusi dalam mengembangkan konsep pendidikan Islam berwawasan kemanusiaan. Dengan begitu pendidikan Islam akan dapat membentuk umat muslim yang mampu mengemban misi Islam sebagai agama ramatan lil alami.
D. Kajian Pustaka Dalam berbagai literatur, humanisme merupakan kajian yang cukup banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Selain itu figur Ali Syari’ati sendiri cukup menyita banyak perhatian, terutama dilihat dari sosoknya yang berani. Beberapa karya yang ditulis mengenai dua hal di atas di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Buku berjudul Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat adalah terjemahan dari buku yang ditulis Ali Syari’ati berjudul Al-Isnsan, Al-Islam wa Madaris Al-Gharb yang diterjemahkan oleh Afif Muhammad. Dalam buku ini Ali Syari’ati memberi perhatian lebih bagi nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan-gagasan Ali Syari’ati tentang humanisme tertuang dalam buku ini. Dijelaskan bahwa memasuki era modern, perhatian manusia terhadap dirinya sendiri sedikit berkurang. Ali Syari’ati mengutip Alexis Carrel yang mengatakan “Derajat keterpisahan manusia dari dirinya, berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia di luar
6
dirinya”. Kritiknya juga diarahkan kepada pandangan tradisi filsafat Barat dan Marxisme timur yang mempertentangkan antara humanisme dan nilainilai ketuhanan. Menurutnya nilai-nilai ketuhanan telah tertanam dalam diri setiap manusia.11 2. Buku berjudul Melawan Hegemoni Barat; Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia adalah kumpulan tulisan tentang sosok Ali Syari’ati oleh Azyumardi Azra, dkk. Sebagai editor, M. Deden Ridwan mengungkapkan bahwa buku ini adalah buah dari perhatian yang begitu besar dari kalangan cendekiawan Indonesia terhadap pemikiran tokohtokoh kiri yang revolusioner semacam Ali Syari’ati. Di dalamnya diuraikan mengenai gagasan-gagasan Syari’ati dalam mengawal reformasi di Iran. Pemikiran Syari’ati dalam buku ini disajikan dengan sangat jelas, mulai dari pemikiran politiknya hingga masalah poligami.12 3. Disertasi berjudul Pelaksanaan Pendidikan Humanistik-Islami Dalam Pesantren (Perbandingan antara Pesantren Apik dan Futuhiyah) yang ditulis oleh Dr. Mustofa, dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Disertasi ini memaparkan bahwa humanisme telah berkembang dalam kebudayaan Islam dengan karakter humanisasi yang khas. Gagasan itu telah berkembang ke ranah pendidikan, bahkan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan berbasis Islam menjadi lembaga humanisasi melalui pendidikan. 4. Skripsi berjudul Makna Simbolik Ka’bah (Kajian Terhadap Buku Haji Karya Ali Syari’ati) yang ditulis oleh Nur Asfahana, mahasiswa Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain pemaparan mengenai biografi hidup Ali Syari’ati, dipaparkan mengenai makna simbolik dalam
11
Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, hlm. 38-40
12
Nadirsyah, “Ketika Wasiat dan Syura Berganti Posisi: Beberapa Catatan untuk Ali Syari’ati”, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 105-194.
7
ibadah haji dan ka’bah sebagai simbol kesucian. Dijelaskan juga bahwa menurut Ali Syari’ati, esensi Haji adalah evolusi manusia menuju Allah. 13 Literatur yang diungkapkan di atas pada dasarnya memiliki kesamaan strategis, yaitu mengangkat sosok Ali Syari’ati sebagai pokok kajiannya. Perbedaan tema yang diangkat menunjukkan bahwa tokoh ini memiliki kontribusi penting dalam banyak bidang. Setidaknya tiga literatur di atas menunjukkan bukti perhatian Ali Syari’ati pada bidang filsafat, politik, dan syariat. Gagasan-gagasan yang diungkapkan begitu kritis dan tidak sematamata mengikuti para cendekiawan pendahulunya. Kritiknya terhadap humanisme Barat tergolong berani. Sehingga menyajikannya secara khusus dalam kajian humanisme akan sangat berbeda dengan sajian tokoh-tokoh humanis lainnya. Dalam penelitian ini penulis hendak melakukan penggalian lebih dalam mengenai gagasan filosofisnya mengenai humanisme dan ditarik ke ranah pendidikan sebagai bidang keilmuan yang menjadi fokus kajian penulis. Dengan begitu melakukan penelitian pemikiran Ali Syari’ati dalam konteks kontribusinya pada pembangunan paradigma pendidikan Islam akan menjadi wacana yang segar dan layak untuk dilanjutkan dalam penelitianpenelitian selanjutnya. E. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut : 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi tokoh karena mengkaji pemikiran satu tokoh sebagai fokus penelitian, yaitu pemikiran Ali Syari’ati. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis yaitu melakukan kajian secara kritis dan mendalam atas suatu pemikiran tokoh. Gagasan humanisme Ali Syari’ati adalah gagasan filosofis yang juga memerlukan pendekatan filosofis untuk mendalaminya. 13
Nor Asfahana, “Makna Simbolik Ka’bah (Kajian Terhadap Buku Haji Karya Ali Syari’ati)”, skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah, 2008), hlm.61.
8
Secara
umum
penelitian ini
termasuk
penelitian
kualitatif
kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun data dari berbagai literatur, baik berupa buku, majalah, jurnal, atau bahan tertulis lainnya guna menemukan teori, prinsip, dalil ataupun gagasan yang akan digunakan untuk menganalisa dan memecahkan masalah.14 Data-data yang diperoleh dari sumber literatur kemudian diklasifikasikan dan disajikan dengan sistematis menurut kategori masalah yang diteliti. Sedangkan menurut segi pemakaian hasil yang diperoleh, penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian murni (Pure Research). Penelitian ini
dilaksanakan
dalam
rangka
memperluas
dan
memperdalam
pengetahuan secara teoritis.15 Mestika Zed mengungkapkan setidaknya ada empat ciri penelitian kepustakaan. Pertama, peneliti berhadapan langsung dengan teks dan data angka dan bukan menggalinya dari lapangan. Mengingat tokoh Ali Syari’ati adalah tokoh sejarah yang sudah meninggal dan keterbatasan kemampuan peneliti untuk mengakses lingkungan hidupnya secara langsung, maka data-data primer hanya bisa didapat melalui sumber literatur. Kedua, data yang digunakan bersifat siap pakai. Biografi hidup dan pemikiran Ali Syari’ati telah banyak tertuang dalam berbagai bentuk literatur yang secara ilmiah telah diakui validitasnya sehingga data-data tersebut dapat langsung digunakan sebagai rujukan. Ketiga, secara umum data pustaka umumnya data sekunder, artinya tidak langsung didapat dari sumber tokoh utama karena telah melalui berbagai proses kedua sebelum sampai kepada peneliti. Namun beberapa data pustaka bersifat primer manakala obyek utama penelitian adalah teks itu sendiri. Khusus literatur karya Ali Syari’ati tentang humanisme dianggap sebagai sumber data primer karena sumber utama kajian humanisme menurut Ali Syari’ati
14
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007), hlm.33. 15
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, hlm. 32.
9
berasal dari teks-teks tersebut.
Keempat, kondisi data pustaka tidak
16
dibatasi ruang dan waktu.
Dalam penelitian ini, peneliti menggali data-data dari sumber literatur. Namun literatur yang ditulis oleh tokoh yang menjadi obyek kajian dianggap sebagai data primer. Karya-karya Ali Syari’ati telah banyak yang diterbitkan dan dapat menjadi sumber berharga bagi peneliti. 2. Sumber data Sumber data dalam penelitian ini tergolong data kualitatif, yaitu data-data yang bentuknya berupa kalimat atau uraian. Dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua kategori. a. Sumber Primer Sumber primer adalah sumber literatur yang merupakan pemikiran asli Ali Syari’ati tentang tema terkait atau karya penulis lain yang secara khusus mengulas pemikiran Ali Syari’ati tentang humanisme. Adapun sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Buku karya Ali Syari’ati yang berjudul “Humanise Antara Islam dan Madzhab Barat” (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996) sebagai referensi atas pemikiran Ali Syari’ati tentang humanisme. 2) Buku karya Ali Rahnema yang berjudul “Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual Revolusioner” (Jakarta: Erlangga, 2000) sebagai referensi biografi tokoh Ali Syari’ati. b. Sumber Sekunder Sumber data sekunder adalah literatur yang menunjang dalam pengayaan data dalam penelitian ini. Sumber ini di antaranya adalah: 1) Buku karya Bambang Sugiharto yang berjudul “Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan” (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) sebagai referensi teori umum humanisme dan kaitannya dengan pendidikan. 16
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm.4-5.
10
2) Buku karya Prof. Achmadi yang berjudul “Ideologi Pendidikan Islam” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) sebagai referensi kajian filosofis atas dasar-dasar humanis pendidikan Islam. 3) Buku karya Zainal Abidin yang berjudul “Filsafat Manusia Memahami
Manusia
Melalui
Filsafat”
(Bandung:
Remaja
Rosdakarya, 2000) sebagai referensi kajian filosofis atas hakikat manusia.
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik studi dokumenter.
Teknik
ini
dilakukan
dengan
menghimpun
dan
mengklasifikasikan bahan-bahan tertulis terkait masalah penelitian. Adapun alat yang dapat digunakan di antaranya berupa catatan-catatan khusus yang dihimpun menurut klasifikasi permasalahan masing-masing.17 Kualifikasi data dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu data terkait tokoh yang menjadi obyek kajian, data terkait teori umum humanisme, dan data terkait teori umum pendidikan Islam. Semua data digali dari dokumen-dokumen yang tidak diragukan validitasnya. 4. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul, maka data tersebut dianalisis dengan analisis isi atau content analisys. Analisis isi termasuk model analisis non statistik dan diterapkan untuk data-data deskriptif. Content analisis dilakukan untuk mengungkapkan isi sebuah literatur. Buku-buku atau sumber data lainnya dibandingkan antara yang satu dengan yang lainnya. Informasi yang diserap sangat berguna bagi penulisan literatur-literatur selanjutnya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Noeng Muhadjir juga menyebutkan analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara
17
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, hlm. 101-102
11
dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. 18 Dalam kajian pemikiran humanisme Ali Syari’ati, tahap analisis dilakukan dengan melakukan klasifikasi dan sistematisasi pemikiran Ali Syari’ati yang tertuang dalam berbagai literatur, baik yang ditulis sendiri oleh Ali Syari’ati maupun karya orang lain tentang pemikiran Ali Syari’ati, sesuai dengan kerangka penelitian ini. Rangkaian kajian pemikiran ini kemudian dibenturkan dengan konteks kehidupannya dan pemikiran-pemikiran tokoh lain yang terkait. Dari sini kemudian akan terbangun sebuah kerangka pemikiran utuh dan orisinal yang dapat dikontekstualisasikan kembali dalam lingkungan masyarakat yang lain dalam era tertentu agar lebih relevan dan kontributif.
F. Sistematika Pembahasan Penelitian ini pada dasarnya adalah kajian teoritis atas suatu pemikiran tokoh Ali Syari’ati tentang humanisme. Pada bab satu akan dimulai dengan pendahuluan dan metode penelitian. Pendahuluan mencakup gagasan utama yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini. Tentu saja berangkat dari suatu persoalan yang ada, yaitu gagasan humanisme yang semakin mengarah pada sekularisme. Sekularisasi tidak sesuai dengan spirit pendidikan Islam yang mengusung visi pembentukan manusia yang beriman dan bertakwa. Untuk itulah dipandang perlu ada kajian kritis yang mengembalikan paradigma humanis tanpa mengesampingkan aspek spiritualitas. Sedangkan metode penelitian menjelaskan teknis penelitian yang hendak dilakukan. Mengenai sosok Ali Syari’ati sendiri akan dibahas dalam bab dua. Bagian ini memuat data penelitian, yaitu berupa biografi tokoh Ali Syari’ati, kondisi sosial yang melingkupinya dan pengaruh pemikirannya. Kondisi sosial politik yang terjadi pada masa hidup Ali Syari’ati menjadi bahasan yang tidak bisa lepas dari penelitian ini karena pembentukan pemikiran Ali Syari’ati 18
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm. 104
12
sangat dipengaruhi oleh setting sosial kehidupannya. Termasuk bagaimana Ali Syari’ati memberikan kontribusi besar bagi perkembangan masyarakatnya. Kemudian dilanjutkan dengan bab tiga yang secara spesifik membahas tentang pemikiran Ali Syari’ati tentang humanisme. Pada intinya humanisme yang diungkapkan Ali Syari’ati adalah perenungan filosofis tentang manusia dan segala hal yang ada di sekitarnya. Pembahasan ini dimulai dari pemahaman karakter
khas
pemikiran
Ali
Syari’ati
yang
mewarnai
pemikiran
humanismenya. Kemudian pertanyaannya adalah atas asal usul penciptaan manusia dan serta bagaimana manusia diposisikan dalam kehidupan dunia. Semua pemahaman ini akan berpengaruh pada bagaimana kelompok manusia membentuk pola kehidupan kemasyarakatannya. Bab empat menjadi fokus peneliti untuk melakukan analisis terhadap implikasi humanisme menurut Ali Syari’ati dalam pendidikan Islam. Analisis ini bisa dilakukan dengan melakukan klasifikasi, interpretasi dan melakukan interaksi dengan pemikiran-pemikiran lainnya, bahkan yang bertentangan sekalipun. Data-data penelitian yang merupakan hasil studi dokumenter dikaji lebih dalam dan dilakukan secara sistematis untuk menemukan sebuah gagasan utuh. Kemudian pada bagian akhir, yaitu bab lima, hasil penelitian dicurahkan dalam poin-poin kesimpulan yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang
diungkapkan
dalam
rumusan
masalah.
Kesimpulan akan disertai saran atau rekomendasi agar hasil penelitian ini bisa lebih kontributif bagi perkembangan kehidupan masyarakat ataupun penelitian selanjutnya.
13
BAB II RIWAYAT HIDUP ALI SYARI’ATI Riwayat hidup Ali Syari’ati menjadi modal penting dalam meneliti pemikirannya karena gerakan intelektualnya sangat aplikatif tanpa harus mengulas teori-teori yang berlebihan. Ali Syari’ati sendiri menekankan bahwa teori yang muluk dan tidak didasarkan atas realitas sosial hanya akan melahirkan kesimpulan yang kosong. Maka penelusuran pemikirannya harus dengan memahami sepak terjang gerakannya.
A. Latar Belakang Kehidupan dan Kondisi Sosial Ali Syari’ati lahir pada tanggal 24 November 1933 di desa Mazinan, desa kecil di pinggiran kota Masyhad, propinsi Khorasan, Iran, dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani.1 Dia adalah anak pertama Muhammad Taqi Syari’ati dan memiliki tiga saudara perempuan. Lahir di tengah keluarga sederhana yang bernuansa religius, Ali Syari’ati banyak mendapat pelajaran dari pendidikan yang diterapkan keluarganya. Ayahnya adalah seorang aktivis politik sekaligus tokoh penyebar agama yang mengelola lembaga pusat pendidikan agama Markaz Nasyr ar-Haqa’iq al-Islamiyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad.2 Untuk menghidupi keluarganya, Muhammad Taqi mengajar di berbagai lembaga pendidikan dan harus bekerja hingga larut.3 Muhammad Taqi sebagai guru rohani Syari’ati yang utama bagi anakanaknya. Sosok ayah sekaligus guru ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan Ali Syari’ati. Hal itu terungkap dalam pernyataan Ali Syari’ati berikut. 1
Faqih Al Asy’ari, “Ali Syari’ati, Sang Arsitek Revolusi Iran”, dalam http://www.jelajahbudaya.com/kabar-budaya/ali-Syari’ati-sang-arsitek-revolusi-iran.html, diakses tanggal 29 Mei 2010. 2
Dudi Rustandi, “Ali Syari’ati: Sosok Aktivis Tangguh”, dalam http://politik.kompasiana.com/2009/12/01/ali-syari’ati-sosok-aktivis-tangguh/, diakses tanggal 29 Mei 2010. 3
Ali Rahnema, Ali Syari’ati; Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj., (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), hlm. 53-54.
14
“Ayahku telah membentuk dimensi pertama dari jiwaku. Dialah yang pertama mengajarkan kepadaku seni berpikir dan seni memanusia. Segera setelah ibuku menyapihku, ia memberikan padaku kelezatan kebebasan, kemuliaan, kesucian, keteguhan, keimanan, kebersihan rohani dan kebebasan hati. Dialah yang memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya, yaitu buku-bukunya. Buku-buku itu telah menjadi sahabatku dan abadi sejak tahun-tahun pertama masa sekolahku. Aku tumbuh dan berkembang di perpustakaannya, yang baginya adalah seluruh kehidupan dan keluarganya. Banyak sekali hal yang seharusnya aku pelajari pada waktu dewasa dan dengan waktu yang lama serta perjuangan yang panjang, telah diberikan oleh ayahku, sebagai hadiah di masa kecilku, secara sederhana dan spontan. Sekarang perpustakaan ayahku menjadi dunia yang penuh kenangan berharga bagiku. Masih dapat kuingat setiap bukunya, bahkan sampai bentuk jilidnya.”4 Dalam kehidupan yang dibelit kesulitan ekonomi, Ali Syari’ati dalam kutipan di atas menceritakan konsistensi yang dimiliki ayahnya dalam berjuang demi kebaikan umat. Bahkan khazanah keilmuan yang didapatnya pada masa awal pertumbuhannya berasal dari ajaran-ajaran ayahnya. Kekaguman pada ayahnya ini kemudian menjadi inspirasi yang berpengaruh pada arah hidupnya semasa dewasa. Perjuangan untuk masyarakat adalah tujuan dari apa yang dilakukannya. Maka semua upaya yang dilakukan harus didedikasikan pada masyarakat sekitar. Semangat membangun masyarakat diilhami atas kesadaran pada kondisi sosial kehidupannya yang tengah mengalami krisis politik dan keterpurukan ekonomi akibat perang. 1. Pemerintahan Represif Iran pada pertengahan abad ke 20 adalah sebuah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang diktator dan merupakan warisan pusat kerajaan besar kuno Persia.5 Pemimpin negara adalah mereka yang memiliki garis keturunan bangsawan sebagaimana negara-negara pada umumnya yang diperintah oleh dinasti. Masa perang menjadi faktor penting kisruhnya pemerintahan Reza Syah yang saat itu memimpin Iran. 4
Dudi Rustandi, “Ali Syari’ati: Sosok Aktivis Tangguh”, dalam http://politik.kompasiana.com/2009/12/01/ali-syari’ati-sosok-aktivis-tangguh/, diakses tanggal 29 Mei 2010. 5
Syafi’i, Memahami Teologi Syi’ah: Telaah atas Pemikiran Teologi Rasional Murtadha Muthahhari, (Semarang: RaSAIL, 2004), hlm. 54.
15
Reza Syah sendiri adalah pemimpin dari dinasti Pahlevi yang pada tahun 1925 menumbangkan Dinasti Qajar dengan melakukan kudeta. Berbagai bentuk kekerasan mewarnai transisi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya dinasti Qajar yang termasuk di dalamnya adalah lemahnya
pemerintahan
pusat
yang
mengakibatkan
terjadinya
pemberontakan-pemberontakan lokal dan efek dari pecahnya Perang Dunia I.6 Situasi ini menyeret Iran ke dalam arena pertempuran. Namun pemerintahan Reza Syah belum mampu mengubah keadaan. Situasi perang global telah menyeret negara di belahan dunia manapun ke dalam kekacauan dan ketidakpastian masa depan. Ali Syari’ati lahir dan tumbuh di tengah masa perang dunia, di mana keadaan dunia kacau dan hampir tidak ada stabilitas sistem pemerintahan. Perang dunia lantas melibatkan negara-negara seperti Iran dalam kancah perpolitikan global yang panas. Situasi semakin tidak stabil dengan kebijakan industrialisasi pemerintah yang dijalankan dengan tindakan represif.7 Militerisme rezim Pahlevi membawa situasi tertekan bagi rakyat. Penguasa menggunakan kekuatan polisi rahasia, SAVAK (Sazman-i Ittila’ a-i Va Amniyat-i Keshvar, Badan Keamanan dan Intelijen Nasional), yang dikendalikan sepenuhnya untuk kepentingan politik penguasa.8 Reza Syah melancarkan modernisasi pasukan militer di Iran. Secara politik ia mampu 6
Tumbangnya Dinasti Qajar paling tidak disebabkan beberapa faktor utama. Pertama, timbulnya protes dari pedagang dan kaum ulama terhadap menguatnya pengaruh Barat. Kedua, muncul tuntutan atas dirombaknya tatanan tradisional. Dan ketiga, terjadinya fragmentasi di kalangan penguasa Qajar sendiri. Lihat: Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi Ideologi Pemikiran dan Gerakan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 122 7
Pemerintahan Muhammad Reza cenderung sentralistik dan mengedepankan kekuatan militer untuk meneguhkan kekuasaan guna membawa Iran pada industrialisasi dan modernisasi yang berkiblat pada Barat. Reza juga membangun kekuatan militer modern dengan cara melakukan pelatihan pejabat-pejabat tentara di Prancis dan memberlakukan wajib militer. Untuk menjalankan niatnya, pemimpin diktator menggaet berbagai kelompok berpengaruh seperti kaum ulama. Lihat: Ali Rahnema, Ali Syari’ati; Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 1-2. 8
Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami “Kemelut” Tokoh Pemberontak”, dalam Melawan Hegemoni Barat; Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 78.
16
mendominasi negara. Ketika terdapat masyarakat melakukan oposisi politik, tidak setuju atas perintahnya, dan melawan, maka pemerintah membungkamnya serta melakukan represi brutal oleh militer terhadap mereka yang bersikeras untuk mempertahankan pendapatnya. Corak
pemerintahan
ini
segera
menimbulkan
segudang
permasalahan sosial keagamaan, di mana agama selalu diatur. Pola westernisasi melahirkan peraturan-peraturan baru yang absurd bagi konteks kebudayaan Iran yang merupakan pewaris tradisi kebudayaan Islam yang besar di masa lampau. Para lelaki diperintahkan untuk memakai pakaian barat, sedangkan wanita dilarang memakai cadar. Para ulama hanya sebagian saja diperbolehkan memakai pakaian panjang dan surban. Saat itu para ulama dipermalukan, karena diperintah untuk memakai pakaian barat.9 Ulama tidak bisa berbuat apa-apa, dikooptasi, ruang gerak dibatasi, dan cenderung pasif jauh dari politik. Pada akhirnya, tahun 1935 para ulama marah hingga mencapai klimaksnya, setelah pemerintah Reza Syah memerintahkan untuk merobohkan Masjid Gowhasyhad. Situasi dan kondisi seperti ini langgeng hingga tahun 1941, saat Reza Syah dipaksa turun. Saat itu Ali Syari’ati berumur delapan tahun, ketika pasukan sekutu menginvasi Iran, tepatnya pada Agustus 1941. Reza Syah, penguasa Iran yang cenderung pro-Jerman, diasingkan ke Afrika Selatan dan pemerintahan dilimpahkan kepada anaknya Muhammad Reza.10 2. Kolonialisme dan Westernisasi Kolonialisme sebenarnya telah menjalar sejak runtuhnya dinasti Qajar. Pemerintahan Pahlevi tak ubahnya sebuah boneka bagi Barat. Terutama sejak dilengserkannya Reza Syah yang otoriter dan digantikan Muhammad Reza yang saat itu baru berusia 20 tahun. Pemerintahannya tidak sekuat pendahulunya dan tidak mampu mempertahankan status quo. Negara-negara sekutu menunjukkan dominasinya, terutama Inggris dan 9
Ali Rahnema, Ali Syari’ati; Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 6.
10
Ali Rahnema, Ali Syari’ati; Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 1.
17
Rusia. Ditemukannya ladang minyak yang sangat besar di Iran Selatan cukup menggiurkan. Secara eksplisit cengkeraman Barat tampak pada terbentuknya perjanjian Anglo-Persian yang menjadikan Iran sebagai negara protektorat Inggris. Intervensi asing tidak semata-mata pada lini perekonomian, melainkan melebar secara sistematis pada persoalan kebijakan politik domestik dan luar negeri.11 Sebagai bentuk penegasan kolonialismenya, misi Barat di Iran adalah melakukan modernisasi dan menjadikan negara ini menjadi radar di Timur Tengah. Modernisasi telah membawa dampak westernisasi. Modal asing yang membawa budaya kapitalisme masuk dengan deras. Sejak pemerintahan Reza Syah, benih-benih westernisasi yang di inspirasi gerakan sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Turki. Gerakan ini menanggap Islam yang berbau kebudayaan Arab telah menghambat kemajuan.12 Dengan ambisi memajukan Iran agar dapat sejajar dengan negara-negara Eropa dan Amerika. Modernisasi ini terutama dilakukan dalam bidang industri dan militer dengan disokong penuh oleh Barat, baik berupa modal, teknologi, maupun teknisi. Modernisasi dengan berkiblat pada Barat membawa konsekuensi serius pada perkembangan sosial budaya. Interaksi budaya semakin kencang dengan masuknya para pengusaha Amerika. Akulturasi budaya 11
Tekanan asing terhadap urusan dalam negeri Iran pula yang memaksa Reza Syah turun. Kekosongan kekuasaan menjadikan kondisi semakin kacau akibat pertarungan politik kelompok-kelompok lokal yang ingin berkuasa. Namun kekuatan asing nampaknya telah menjelma menjadi kekuatan dominan dan lebih menentukan masa depan pemerintahan. Gerakan politik sekutu segera muncul dengan memobilisasi berbagai kelompok lokal prosekutu. Tujuannya adalah mengusung putra Reza Syah, yaitu Muhammad Reza, menjadi pemimpin baru yang akhirnya terlaksana dengan dinobatkannya pemuda tersebut menjadi pemimpin Iran pada 17 Desember 1941. Sedangkan dalam urusan luar negeri terlihat dari bagaimana upaya yang dilakukan Muhammad Reza untuk melawan pengaruh Rusia, yaitu dengan memberi tempat seluas-luasnya pada Barat, khususnya Inggris dan Amerika. Amerika menempatkan orang-orang kepercayaannya ke dalam posisi penting sebagai penasihat di bidang pemerintahan, militer, perdagangan dan industri. Gerakan kontra Rusia semakin nyata ketika pemerintah melarang aktivitas Partai Tudeh yang berhaluan sosialis. Lihat: Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi Ideologi Pemikiran dan Gerakan, hlm. 127-129. 12
Aris Adi Leksono, “Mustafa Kemal Ataturk dan Modernisasi Turki”, dalam http://www.pesantrennusantara.com/jendela-pesantren/114-mustafa-kemal-atarturk-danmodernisasi-turki.html, diakses tanggal 1 April 2011.
18
membawa dampak riil pada pola kehidupan masyarakat dengan timbulnya kasus-kasus di luar kebiasaan, yaitu menguatnya paham sekularisasi dan meluasnya kebudayaan Barat seperti pornografi, minuman keras, musik pop, hingga menjamurnya tempat-tempat hiburan. Kebijakan pemerintah menjadi cenderung pro-Barat dengan masuknya investor asing dan dukungan terhadap kepentingan Barat dalam hubungan luar negeri.13 Secara perlahan westernisasi membawa dampak perubahan mendasar dalam kebudayaan berupa dua hal. a. Tercerabutnya nilai-nilai Islam dalam lembaga-lembaga sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan hukum dan cenderung memanjakan kaum elit. b. Modernisasi secara inheren membawa kecenderungan birokratisasi dan sentralisasi eksklusif menjadi hegemoni kebudayaan. Pengekangan politis tidak lagi berwujud kekerasan fisik melainkan penetrasi kebudayaan.14 3. Revolusi Islam Krisis kebudayaan lambat laun melahirkan gerakan-gerakan ideologisasi berhaluan religius yang menentang sekularisasi. Hingga terjadilah keruntuhan dinasti yang telah diwariskan secara turun-temurun itu. Kekuatan ulama tetap kuat dengan gerakan pada lini yang berbeda. Sebelumnya ulama tergabung dalam institusi resmi yang otonom dan memiliki pengaruh besar dalam kinerja pemerintahan, terutama untuk mempertahankan
Islam
sebagai
dasar
negara.
Namun
pengaruh
institusional ulama terkikis ketika terjadi pemecatan ulama secara besarbesaran pada tahun 1963. Pemecatan disebabkan tentangan dari kubu ulama kepada pemerintahan Syah yang kebarat-baratan. Namun pengaruh ulama tidak kemudian surut dan tersisih, karena secara kultural para ulama tetap menjadi
pembimbing bagi
masyarakat. peran pada aspek
13
Syafi’i, Memahami Teologi Syi’ah: Telaah atas Pemikiran Teologi Rasional Murtadha Muthahhari, hlm. 56. 14
Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi Ideologi Pemikiran dan Gerakan, hlm. 131-133.
19
kemasyarakatan tetap efektif bukan karena ulama berupaya menggalang massa untuk kepentingan politik, melainkan sikap mayoritas masyarakat yang masih menempatkan mereka dalam posisi penting dalam kehidupan kemasyarakatan. Kalangan ulama tetap memiliki pengaruh dalam membentuk kebudayaan religius dan menentang modernisasi versi pemerintah.15 Puncaknya terjadi pada 1979 ketika Ayatullah Khomeini melancarkan revolusi Islam yang meruntuhkan rezim Pahlevi yang disokong Amerika Serikat. Revolusi Islam Iran 1979 disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu berkembangnya ideologi revolusioner, krisis ekonomi antara tahun 19731978, menjalarnya sejumlah konflik antara golongan kelas menengah dengan pemerintah, suksesnya mobilisasi massa oleh jaringan gerakan revolusi, dan kuatnya aliansi kekuatan oposisi yang berseberangan secara ideologis dengan rezim. Revolusi ini menandai mengantarkan Iran pada perubahan
fundamental
dalam
kehidupan
kemasyarakatan
dan
pemerintahan. Pada 3 Februari 1979 Ayatullah Khomeini membentuk Dewan Revolusi yang memaksa perdana menteri Shapur Bakhtiar, orang kepercayaan Syah, mengundurkan diri. Ini sekaligus menandai runtuhnya kekuatan monarki warisan Persia dan digantikan dengan pengangkatan pimpinan pemerintahan secara demokratis.16
B. Riwayat Pendidikan dan Karir Muhammad Taqi memberikan pendidikan kepada Ali Syari’ati sebagaimana anak-anak yang lain di pendidikan dasar yang dia tempuh di lembaga pendidikan Ibnu Yamin, pada tahun 1941. Saat itu Muhammad Taqi menjabat direktur di lembaga tersebut. Sekali lagi, sosok ayah seperti Muhammad Taqi adalah guru yang sangat berpengaruh bagi Ali Syari’ati. Aktivitas utamanya di lembaga pendidikan adalah bentuk upaya memberikan 15
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual, terj., (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 124-125. 16
Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi Ideologi Pemikiran dan Gerakan, hlm. 125-139.
20
pengabdian yang amat berharga kepada dakwah Islam dan pencerdasan pemikiran ilmiah Islam dalam bentuk yang realistis dan senantiasa seirama dengan kemajuan zaman. Muhammad Taqi adalah sosok pelopor pergerakan progresif di kalangan orang-orang yang giat dalam mencerdaskan para pemuda agar mereka mengoreksi konsep-konsep Barat yang sesat, untuk kemudian berpegang teguh pada Islam yang memberi petunjuk menuju kehidupan yang tercerahkan. Syari’ati banyak menyerap pelajaran berharga mengenai pembentukan karakter diri dari pribadi ayahnya yang dianggapnya sebagai tokoh pembaharu.17 Tapi pada masa ini terjadi pergolakan politik luar biasa di Iran. Instabilitas pemerintahan mengakibatkan krisis. Persoalan ekonomi semakin mempersulit kehidupan Ali Syari’ati. Namun, keluarga Syari’ati menjalani kehidupannya dengan normal meskipun semuanya dirasa semakin berat. Pada masa pendidikan dasarnya, Ali Syari’ati kecil mengalami fase perkembangan yang unik. Di sekolah dia sulit bersosialisasi dengan sebaya, cenderung pendiam, dan suka memisahkan diri dari aktivitas kawan-kawannya. Ketika berada di tengah keramaian, pikirannya melayang-layang, bahkan tak jarang dia berbicara, tersenyum, atau cemberut sendirian. Ali Rahnema, dalam bukunya tentang biografi Ali Syari’ati mendeskripsikan keadaan pribadi Ali Syari’ati yang sedikit berbeda dari kawan-kawan sebayanya. Ali tidak tertarik pada pelajaran sekolahnya dan tidak termotivasi untuk belajar keras. Dia tidak menyukai belajar dan akan mencoba melakukan apapun untuk menghindari pekerjaan rumahnya. Di sekolah ia sering bolos. Terkadang ia pergi ke sekolah tetapi bersembunyi di suatu tempat di gedung sekolah untuk menghindari masuk ke dalam kelasnya. Ia tidak menyukai apapun terkait sekolah, baik itu pergi ke kelas, belajar, mengerjakan pekerjaan rumah, atau bertindak dengan kedisiplinan yang harus ia kerjakan.18
17
Dudi Rustandi, “Ali Syari’ati, Sosok Aktivis Tangguh”, dalam http://politik.kompasiana.com/2009/12/1/ali-syari’ati-sosok-aktivis-tangguh/, diakses tanggal 25 Mei 2011. 18
Ali Rahnema, Ali Syari’ati, Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 57.
21
Keterangan ini menunjukkan betapa bengalnya Ali Syari’ati dengan kebiasaannya menentang sistem yang berlaku. Namun kebiasaan malas dan tidak disiplin di sekolahnya berbanding terbalik dengan ketertarikannya membaca. Sejak pendidikan dasar ia gemar membaca koleksi buku ayahnya hingga larut malam. Baginya belajar sendiri dirasakan lebih nyaman. Perkembangan intelektualnya pun terasah. Tak heran jika Ali Rahnema mengatakan bahwa Ali Syari’ati masa itu 100 kali lebih maju dari pada kawankawannya dan 99 kali lebih maju dari guru-gurunya. Ia menempatkan diri sebagai sosok yang lebih terdidik dari guru-gurunya, sekaligus paling malas di antara teman-temannya. Jenjang pendidikan selanjutnya dilaluinya mulai tahun 1947 di sekolah menengah Firdausi di Masyhad. Perkembangannya masih tidak jauh dari karakter asalnya di sekolah dasar. Siswa yang cerdas ini masih suka membuat onar hingga beberapa kali mendapat hukuman. Selepas pendidikan menengah, tahun 1950 atas permintaan ayahnya Ali Syari’ati melanjutkan pendidikan di institut keguruan. Ada dua alasan mengapa Muhammad Taqi memasukkan anaknya ke sekolah asrama tersebut. Pertama, profesi Muhammad Taqi sebagai guru dan menginginkan sang anak mengikuti jejaknya. Kedua, persoalan ekonomi yang membelit. Siswa yang telah masuk di sekolah tinggi ini seluruh biaya pendidikannya ditanggung oleh pemerintah sekaligus mendapat uang saku bulanan.19 Ali lulus dari institut keguruan pada tahun 1952 dan beberapa bulan kemudian ditugaskan untuk mengajar sekolah dasar di Ahmadabad. Tanggal 15 September 1955 di Mashad berdiri Universitas Mashad, di sinilah Ali Syari’ati melanjutkan pendidikannya, tepatnya di Fakultas Sastra. Di universitas ini juga, Syari’ati mengembangkan bakat sastranya, sehingga ia menjadi seorang yang populer atas keilmuan yang ditekuni.20 Sebagai mahasiswa yang progresif, ia selalu menunjukkan perbedaan pendapat dengan guru-gurunya, 19
Ali Rahnema, Ali Syari’ati, Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 60
20
Ali Rahnema, “Warisan Politik Ali Syari’ati”, dalam Ali Syari’ati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, terj., (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 1.
22
sehingga memicunya untuk lebih mengembangkan jalan pikirannya melalui buku-buku dan berdiskusi dengan orang-orang di sekelilingnya. Dengan menyelami beberapa ilmu, merenung, meneliti, dan berdiskusi, Ali Syari’ati termasuk dalam salah satu orang yang mendapatkan prestasi akademik di atas rata-rata, dengan itulah ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di Sorbone University Paris, Perancis. Kedatangannya ke Paris pada tahun 1950-an, menjadi periode yang sangat berpengaruh. Pada awalnya adaptasi dengan lingkungan dirasa sulit mengingat kontrasnya karakter kebudayaan antara kota besar di Eropa itu dengan tempat asalnya di Propinsi Khurosan. Ali Syari’ati yang telah lekat dengan budaya religius yang menjadi pendidikan utama sejak masa kecil, datang ke kota pusat ilmu pengetahuan dengan kultur yang berbeda.21 Bagi Ali Syari’ati, Paris adalah altar ilmu pengetahuan yang di dalamnya terdapat sumber ilmu dari berbagai bidang. Dalam masa belajar di Paris inilah dia berkesempatan untuk mendalami keilmuannya dengan lebih serius karena jauh dari hiruk-pikuk perpolitikan Iran yang tak jarang meresahkannya. Syari’ati mulai menelaah buku-buku yang tidak terdapat dan belum pernah diperolehnya di Iran dan kalaupun ada, sering sekali tidak orisinal lagi. Di perkaya dengan kemampuannya dalam berbagai bahasa, sehingga mempermudah untuk memahami buku-buku berbahasa lain. Dia juga berkenalan dengan berbagai aliran pemikiran, baik bidang filsafat maupun sosial, sekaligus mendapat kesempatan untuk bisa bertemu dengan tokoh-tokoh dunia, para sosiolog, filosof, cendekiawan serta penulis terkemuka.22 Di Parislah, Ali Syari’ati sangat tertarik dan secara formal mempelajari studi-studi Islam dan Sosiologi. Dengan pemahamannya tentang sosiologi dan Islam serta pandangan sosialnya yang menggabungkan ide dan aksi, dia terus
21
Ali Rahnema, Ali Syari’ati, Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 135.
22
Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami “Kemelut” Tokoh Pemberontak”, dalam Melawan Hegemoni Barat; Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, hlm. 81.
23
berusaha menafsirkan dan menganalisa kenyataan-kenyataan kehidupan rakyat yang tertindas. Sekembalinya ke Iran, Ali Syari’ati ditugaskan untuk mengajar di Masyhad. Inilah awal kontaknya Ali Syari’ati dengan mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang relatif tenang dan teduh, segera saja semarak. Kelas Syari’ati tak lama kemudian menjadi kelas favorit. Gaya orator Syari’ati yang
memukau
memikat
audiens,
memperkuat
isi
kuliahnya
yang
23
membangkitkan orang untuk berpikir. Pengalamannya selama menuntut ilmu mendorongnya untuk terlibat secara aktif dalam berbagai gerakan emansipasi. Gerakan intelektualnya ditekuni dengan aktif menulis dan memberikan ceramah dalam berbagai forum. Menurutnya, sebelum muncul perubahan dalam bentuk gerakan massal, terlebih dahulu perlu ditanamkan kesadaran dalam kalbu setiap orang dan inilah yang menarik Ali Syari’ati untuk giat melakukan gerakan-gerakan intelektual di institusi pendidikan yang setelah sekian lama mengalami stagnasi. Tidak jarang sepak terjangnya membuat resah penguasa. Bahkan kematiannya dikait-kaitkan dengan agen rahasia rezim Syah Reza, meskipun berita resmi merilis bahwa kematiannya dikarenakan sakit jantung.24 Sebelum kematiannya, pada tahun 1975 Ali Syari’ati menjalani hukuman penjara rumah. Akan tetapi dengan jiwa revolusionernya, ia pergi untuk membebaskan diri menuju Inggris pada bulan Mei 1977. Akhirnya pada tanggal 19 Juni 1977, Syari’ati gugur di rumah sewaannya tepatnya di Southampton, Inggris. Jenazah Syari’ati diterbangkan ke Damaskus, Suriah dan dikebumikan dekat kuburan Zainab, saudari Imam Husain.25
23
Satria Pramoedya Punta Dewa, “Pemikiran Ali Syari’ati tentang Pemerintahan Islam”, dalam http://selak.blogspot.com/2009/06/pemikiran-ali-Syari’ati-tentang.html, diakses 15 Mei 2011. 24
M. Riza Sihbudi, “Posisi Ali Syari’ati dalam Revolusi Islam Iran”, dalam Melawan Hegemoni Barat; Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 81. 25
Khaiirul Azhar Saragih, “Pandangan Ali Syari’ati Tentang Tanggung Jawab Sosial Intelektual Muslim (Perbandingan dengan Intelektual Muslim Indonesia)”, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 45.
24
C. Pengaruh Pemikiran Sejak muda, Ali Syari’ati telah menunjukkan ketertarikannya pada kajian-kajian mendalam. Itu terlihat dari minatnya membaca buku dalam berbagai bidang keilmuan. Paling tidak ada empat kategori bidang keilmuan yang banyak dipelajari dari buku, yaitu filsafat, sufisme, politik, dan sastra.26 Buku-buku bacaannya berpengaruh banyak pada pembentukan pemikirannya. Hingga ia berkesempatan untuk memperdalam ilmunya di Paris. Bekal keilmuan menjadi modal penting dalam menyongsong visi membangun masyarakat muslim yang ideal di tengah karut-marutnya kondisi sosial politik. Situasi politik di Iran masa pemerintahan Dinasti Pahlevi sangat menentukan perkembangan Ali Syari’ati dengan keterlibatannya secara aktif dalam berbagai kegiatan politik. Keterlibatannya dalam aktivitas politik secara aktif dimulai pada masa studi di Institut Keguruan dengan dukungannya pada Musaddeq, tokoh nasionalis Iran. Simpati politik pada mahasiswa yang berbeda-beda merefleksikan keadaan masyarakat Iran yang heterogen. Ketika belajar di sekolah tinggi ini, Shariati bergaul dekat dengan para pemuda golongan ekonomi lemah (Mustad’afin), sehingga ia menyaksikan dan merasakan sendiri kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu. Rasa empatinya memberi kontribusi penting dalam gerakan intelektualnya. Melihat kondisi masyarakat yang didera krisis dalam berbagai lini, Ali Syari’ati mencoba untuk memandangnya secara kritis demi perbaikan di masa datang. Ideologi gerakan intelektual revolusionernya ditebarkan kepada kaum muda sebagai harapan masa depan. Ali Syari’ati adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam menginspirasi revolusi Islam 1979.27 Pengaruhnya bukan pada tataran politik praktis dengan memposisikan diri sebagai pimpinan partai ataupun oposan, melainkan dengan jalan ideologisasi massa. Abrahamian, 26
Ali Rahnema, Ali Syari’ati, Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 69
27
John L. Esposito, dalam Pengantar Buku Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 9.
25
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, mengungkapkan tiga karakteristik Ali Syari’ati. Pertama, Ali Syari’ati adalah seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika antara teori dengan praktik, antara ide dan kekuatan-kekuatan sosial, antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Kedua, Ali Syari’ati adalah penganut Syi’ah fanatik yang membedakan dirinya dengan pergerakan radikal lain. Ia meyakini bahwa revolusi berangkat dari perubahan dan revitalisasi ideologi. Ketiga, Ali Syari’ati adalah penceramah yang dapat memukau banyak orang, terutama kaum muda. Dia sering menggunakan jargon kritisisme tajam terhadap institusi yang mapan, seperti pemerintahan rezim Pahlevi dan institusi keagamaan yang dikuasai ulama. Gerakan revolusioner Ali Syari’ati menimbulkan konfrontasi pada pihak sekaligus. Pertama, dia melakukan serangan terhadap kaum muslimin tradisional yang mengasingkan diri dari segala persoalan sosial sementara hanya sibuk dalam rutinitas peribadatan. Kelompok ini cenderung menanggapi negatif atas gagasan pembaharuan yang datang di tengah masyarakat dan bersikap eksklusif. Kedua, dia mencerca kalangan terpelajar yang telah kehilangan jati diri mereka dan mengikuti jejak para pendahulu mereka yang terbawa arus ilmu pengetahuan modern, hingga menggeser sumber keilmuan mereka yang asli, yaitu Al-Quran, dengan sumber-sumber Barat. Mereka menunjukkan sikap latah dan mudah terkontaminasi terhadap term yang berbau Barat.28 Gagasan segar yang dia sebarkan tentu saja membuat orang tidak mudah menerimanya. Gagasan kritis selalu menjadi momok bagi generasi tua konservatif yang getol menentangnya, sekaligus memberi inspirasi bagi kaum muda progresif yang kemudian menjadi pengagumnya. Itu semua memiliki konsekuensinya masing-masing. Deskripsi yang menarik ditulis oleh Ali Ramnema dalam epilog bukunya Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual Revolusioner sebagai berikut. Syari’ati adalah ayam jantan yang tidak diharapkan, yang membanggakan dan menikmati kokokannya di malam hari, yang 28
Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Barat, hlm. 19.
26
memecahkan keheningan dan mengganggu mereka yang tidur. Dia membangunkan semua jenis makhluk hidup, yang baik dan yang jahat, rakyat dan musuh rakyat. Dia membangkitkan rasa ingin tahu mereka yang penasaran atau para algojo. Tiap kokokannya menambah pengikutnya sekaligus musuhnya. Mengundang bahaya, dia mencoba untuk mengelabui musuhnya; dan ketika ia kehilangan akal, dia surut ke dalam dirinya sendiri, kadang-kadang menjadi penuh rasa penyesalan dan selalu dibayar dengan derita kepedihan yang panjang dan pengujian mendalam atas pemikirannya, yang sering menghasilkan revisionisme.29 Sikap Ali Syari’ati selalu menumbuhkan kesadaran kritis, yaitu menyadarkan orang-orang di sekitarnya akan realitas lingkungannya yang timpang. Praktek-praktek keagamaan tradisional yang telah mapan digoyahkan dengan gagasan yang lebih segar. Meskipun itu berbuntut panjang dan membuatnya kesulitan, naluri kritisnya tak terbendung untuk menjadikan masyarakat menjadi lebih baik. Transformasi sosial adalah sebuah keniscayaan manakala sistem yang terbangun telah menerjang nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi sebagai
nilai-nilai
dasar kehidupan masyarakat.
Formulasi
nilai-nilai
kemanusiaan itu diejawantahkan dalam gagasan humanisme yang mencoba untuk meletakkan dasar pemikiran mengenai eksistensi manusia di dunia. Humanisme dalam pandangan Ali Syari’ati adalah gagasan menarik yang tidak serta-merta ada tanpa dilatarbelakangi karakter pemikirannya. Pandangannya tentang hakikat manusia menunjukkan orisinalitas ide tanpa mengekor pada aliran humanisme yang diusung oleh ideologi tertentu, meskipun dalam beberapa aspek dia menunjukkan ketertarikannya pada pemikiran tokoh tertentu. Namun paling tidak ada dua corak pemikiran Ali Syari’ati yang dapat membantu dalam penjelajahan alam pikir Ali Syari’ati tentang humanisme, yaitu konsistensinya memegang ajaran tauhid sebagai dasar pembangunan epistemologi pemikiran yang dilandasi keimanan dan karakter intelektual progresif.
29
Ali Rahnema, Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 575-576.
27
a. Pola Pemikiran Religius Berbagai kajian mendalam atas berbagai bidang keilmuan yang dilakukan oleh Ali Syari’ati menemukan titik temu pada tataran visioner dengan aspek ketuhanan sebagai dasarnya. Prinsip ketauhidan ini menjadi orientasi dasar dari seluruh pemikirannya terutama tentang kemanusiaan dan kepemimpinan (imamah).30 Hal ini terkonsep dalam proses manusia menuju kematangan dirinya dengan melalui tiga faktor, yaitu pemikiran, pengetahuan, dan keyakinan. Pemikiran yang benar akan mengantarkan pada pengetahuan yang benar, dan pengetahuan yang benar akan mengantarkan pada keyakinan yang benar. 31 Keyakinan adalah capaian mulia dalam proses pematangan intelektual manusia. Tak selayaknya seorang intelektual berhenti pada garis pengetahuan yang semata mengandalkan kecerdasan, dan mengesampingkan dimensi yang paling dalam dari diri manusia, yaitu keimanan. Ketika keimanan hanya merupakan kulit luar tanpa disertai kesadaran penuh, maka pemikiran dan pengetahuan akan segera berubah menjadi wawasan yang sempit dan kepengikutan buta terhadap narasi ideologi tertentu. Selanjutnya tentu akan menjadi doktrin ideologis yang mewujud seperti batu kristal yang keras dan membawa kebekuan pada masyarakat sehingga selalu menghalanginya untuk mencapai kemajuan. 32 Semua gerakan intelektual yang dilakukan oleh Ali Syari’ati mengacu pada landasan dasarnya yaitu tauhid yang humanis. Menurutnya, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomis; materi-nonmateri, jasmani-rohani, alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat. Dengan kata lain 30
Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 37-38.
31
Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, terj., (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 27-28 32
Ali Rahnema, Ali Syari’ati, Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 28.
28
pandangan dunia Tauhid adalah pandangan dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal dan integral. Semua makhluk dan objek di alam semesta yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan. Pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan dunia yang integral. Pandangan dunia Tauhid memberikan ruang bagi manusia untuk mengembangkan kebebasannya, sehingga manusia bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya. Pandangan ini juga memandang bahwa manusia sebagai insan yang memiliki kemerdekaan dan martabat yang sangat tinggi. Karena itu diskriminasi manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya tidak bisa dibiarkan, karena ia dianggap berlawanan dengan nilainilai Ketuhanan.33 Dalam pandangan dunia Tauhid, Tuhan adalah tujuan di mana seluruh eksistensi dan makhluk bergerak secara simultan, dan hanya Dia yang menentukan tujuan dari alam semesta ini. Penyembahan terhadap kekuatan Absolut (Allah Yang Esa) yang merupakan seruan terbesar dari ajaran Ibrahim as, terdiri atas seruan kepada semua manusia untuk menyembah Penguasa tunggal di jagat raya ini. Penyembahan tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian manusia kepada satu tujuan penciptaan dan untuk mempercayai satu kekuatan yang paling efektif dari seluruh eksistensi dan sebagai tempat berlindung dan bergantung manusia sepanjang hayat dan sejarah. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa karakter religius Ali Syari’ati bukan semata berhenti pada urusan spiritualitas atau hubungan vertikal manusia dengan Tuhan. Islam baginya adalah filsafat pergerakan. Muslim ideal adalah mereka yang menempatkan agama bukan sematamata sebagai keyakinan teologis, melainkan pegangan secara ideologis. Tokoh muslim yang dijadikan teladan adalah Abu Dzar Al-Ghifari,
33
Anjar Nugroho, “Ideologisasi Islam: Jalan Menuju Revolusi (Pemikiran Ali Syari’ati)”, dalam http://pemikiranIslam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-Syari’ati-2/, diakses 15 Mei 2011
29
seorang muslim saleh yang berasal dari kalangan bawah.34 Kesederhanaan membawanya pada pemahaman Islam yang berkepedulian sosial. Abu Dzar dalam ungkapan Ali Syari’ati sebenarnya adalah personifikasi dari Islam Syi’ah awal, yaitu Syi’ah revolusioner yang diwariskan oleh Imam Husein.35 b. Intelektual Revolusioner Progresivitas Ali Syari’ati ditandai dengan visinya membangun pemikiran filosofis yang hanya didedikasikan untuk kesejahteraan masyarakat. Individu tidak hanya diposisikan sebagai individu yang otonom, melainkan juga sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat yang melingkupinya. Salah satu pernyataan Syari’ati, ”Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan”. Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati menurut Shahrough Akhlavi sebagaimana dikutip oleh Faqih Al-Asy’ari adalah ”Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah dunia”.36 Pandangan revolusioner ini dibangun atas pemahaman akan manusia sebagai khalifatullah. Manusia sebagai khalifah digambarkan oleh Syari’ati sebagai manusia individu yang dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan. Setiap individu manusia adalah pribadi yang memiliki tanggung jawab mengemban peran sebagai subyek yang menentukan arah kehidupan dunia. Karenanya, manusia adalah individu yang otonom, 34
Sosok Abu Dzar dalam beberapa literatur karya Ali Syari’ati adalah bentuk simbolisasi semangat revolusi yang diteladankan pada tokoh ini. Abu Dzar sendiri adalah seorang penulis kontemporer Mesir dengan nama asli Badul Hamid Judah As-Sahhar. Abu Dzar adalah seorang muslim kalangan kelas ekonomi menengah ke bawah yang berkomitmen dalam gerakan kemanusiaan dengan mengusung nilai-nilai revolusioner, kesetaraan, persaudaraan, keadilan dan kebebasan meskipun harus berhadapan dengan imperium Islam. Kekaguman yang besar ditunjukkan oleh Syari’ati kepada tokoh ini dan ajaran-ajarannya terus dipegang dalam setiap perjuangannya. Lihat: Ali Rahnema, “Warisan Politik Syari’ati”, dalam Ali Syari’ati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 2-4. 35
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 62. 36
Faqih Al-Asy’ari, “Ali Syari’ati, Sang Arsitek Revolusi Iran”, dalam http://www.jelajahbudaya.com/kabar-budaya/ali-Syari’ati-sang-arsitek-revolusi-iran.html, diakses tanggal 10 Mei 2011.
30
mempunyai kesadaran, mempunyai daya kreativitas, dan mempunyai kebebasan
kehendak.
Pemikiran
Syari’ati
ini
dipengaruhi
oleh
Eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan otonomi individual. Selain pada penekanan atas tindakan etis perorangan, Syari’ati menyatakan bahwa setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk perubahan masyarakatnya. Revolusi digerakkan pertama-tama dengan menggerakkan masing-masing individu. Gerakan individual itu akan mengarah pada gerakan massa. Hal ini terlihat secara konkret dalam ibadah haji. Syari’ati memberikan tafsiran haji pada penekanan pentingnya kualitas individual, tapi pada akhirnya harus melebur dengan gerakan massa. Sayri’ati memandang revolusi dapat digerakkan saat individu mampu menjalankan kewajibannya masing-masing, yang kemudian melebur dengan gerakan massa itu.37 Gerakan intelektual Ali Syari’ati demi kemajuan masyarakat tidak terbantahkan lagi. Pemikirannya didasarkan atas fakta-fakta sosial dalam konteks masyarakat kekinian. Untuk melakukan analisis sosial tidaklah cukup hanya dengan berpegang pada teori-teori sosial modern yang dibangun oleh para kaum intelektual Barat karena teori-teori tersebut muncul sebagai analisis dari masyarakat industri yang tentu saja berbeda dengan konteks masyarakat di belahan dunia lain. Metode analisis semacam ini hanya akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak realistis. Bagi Ali Syari’ati, kristalisasi konsep yang muluk dan terlalu idealis tidaklah berguna. Dia hendak menempatkan gagasan-gagasan filosofisnya di tengah realitas kehidupan yang ada. Konsistensinya pada sikap realistisnya memang luar biasa. Maka progresivitasnya tidak semata 37
Ilustrasi Ali Syari’ati tentang ibadah haji mengandung suatu gagasan filosofi sosial dalam aspek ritual, di mana para jemaat yang hadir dari berbagai penjuru berkumpul dalam penuh kesetaraan dengan mengenakan pakaian ihram. Ini mengekspresikan mencairnya warnawarni kehidupan individual setiap orang ke dalam kebersamaan dan persamaan. Lihat: Mun’im A. Sirry, “Drama Kolosal Haji: Membangun Pandangan Dunia Monoteistik”, dalam Melawan Hegemoni Barat; Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 164.
31
menjadi tradisi oral yang dilakukan dengan berbicara pada banyak orang. Visinya adalah pemikiran dan pergerakan (tought and action). Analisis terhadap fakta sosial yang ada, hanya bisa diterima manakala dilakukan dengan metode verifikatif dan wawasan yang luas tentang kebudayaan, ilmu sosial, dan agama. Fakta empiris bisa didapatkan dengan analisis nilai-nilai dan interaksi antar subyek yang berkembang di tengah masyarakat dan sesuai dengan inti kehidupan, perilaku sosial, dan fenomena sosial serta reaksi psikologis individu atas fenomena-fenomena tersebut.38 Gerakan intelektual Ali Syari’ati sangat berpengaruh terutama di kalangan intelektual muda, dalam memobilisasi perlawanan terhadap Syah Iran. Dia memosisikan sebagai tokoh intelektual yang lekat dengan nuansa ilmiah dan kritisisme, di samping juga seorang ahli politik dan ahli syariat. Selain sibuk menggeluti dunia pemikiran dan aktivitas politiknya, ia pun menjadi penyunting dua jurnal Persia serta menerjemahkan beragam buku yang menjadi referensi penting bagi kaum intelektual muslim. Ia sempat beberapa kali dipenjarakan dan diasingkan karena aktivitas politiknya menentang rezim Pahlevi.39 Setelah bebas ia tak surut begitu saja. Bahkan ia memulai aktivitas mengajarnya di beberapa perguruan tinggi dan beberapa tahun kemudian ditempatkan di Universitas Masyhad. Ia langsung mengabdikan diri untuk membina angkatan muda. Kesadaran kritis kembali ditularkan kepada generasi muda Iran agar senantiasa memandang realitas masyarakat secara terbuka. Karena metode mengajarnya yang bebas serta provokatif, akhirnya Syari’ati diberhentikan. Setelah Syari’ati pensiun dari mengajar tahun 1969, Syari’ati mengonsentrasikan aktivitasnya di lembaga pendidikan Husyainiah Irsyad (Petunjuk Imam Husain). lembaga yang didirikan bersama Murtadha
38
Ghulam Abbad Tawassuli, “Sepintas Tentang Ali Syari’ati”, dalam Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Barat, Terj., (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 30-31. 39
Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, hlm. 7-9.
32
Muthahari dan Sayyed Hosein Nasr pada 1965.40 Kegiatannya mencakup riset, pendidikan, dakwah dan distribusi logistik untuk keperluan propaganda Islam. Di lembaga inilah ide-ide segar Syari’ati mengalir untuk menentang rezim Syah Pahlevi. Selama dalam proses penyemaian ide-idenya, ceramah-ceramah Syari’ati banyak digemari kalangan muda berpendidikan hingga ke pelosok negeri. Dari kumpulan ceramah ini jadilah dalam bentuk kumpulan tulisan (buku). Selain hasil kumpulan ceramah, Syari’ati pun mengarang buku demi keperluan jihad intelektualnya. Lembaga Husainiyah Irsyad (Petunjuk Imam Husain) berkembang menjadi kekuatan baru penyebaran ideologi revolusioner Ali Syari’ati dan tokoh-tokoh lainnya. Lembaga ini sekaligus digunakan untuk mengenang kembali kisah syahidnya Imam Husein di Padang Karbala karena gerakan revolusionernya yang berani menentang penguasa. Ideologisasi dilakukan hingga di berbagai lembaga pendidikan, riset, hingga masjid-masjid. Dengan latar belakang pendidikan tradisional dan keilmuan sosiologi Sorbone, Ali Syari’ati menyeru utopis keagamaan kaum ulam Syi’ah yang terlalu idealis, untuk segera membumi dan tanggap realitas. Bahkan secara eksplisit Ali Syari’ati menyerukan pada kaum ulama Syi’ah untuk berkonsolidasi dengan kaum Sunni untuk bergerak bersama menyadarkan masyarakat bahwa pemerintahan rezim dinasti telah mendistorsi ajaran-ajaran Syi’ah untuk kepentingan mereka sendiri. Islam telah dikesankan menjadi sesuatu yang pasif dan negatif. Seruan Ali Syari’ati berisi tentang upaya ditumbuhkannya kesadaran moral masyarakat pada aktivisme politik dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang berorientasi pada tindakan aktif.41 Ideologisasi dipandang penting sebagai upaya untuk melakukan perombakan atas status quo yang melegitimasi tindakan politiknya dengan berbagai cara. Ideologi dapat menjadi alat perjuangan dengan cara dikonvensikan dan menjadi semangat moral bersama untuk menuju 40
Syafi’i, Memahami Teologi Syi’ah: Telaah atas Pemikiran Teologi Rasional Murtadha Muthahhari, hlm. 60 41
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual, hlm. 129.
33
perubahan.42
Melalui
proses
ideologisasi
ini
Ali
Syari’ati
berhasil
menunjukkan karakteristik revolusioner Islam. Islam adalah agama progresif yang menentang penindasan. Dia berhasil mempersatukan unsur-unsur modernisme dan revivalisme Islam dalam sebuah sintesis yang orisinal. Ia mencela kapitalisme dan imperialisme Barat dengan budaya konsumerisme yang telah menghegemoni dunia. Misi sejati Islam, menurutnya, adalah membebaskan golongan tertindas (mustad’afin). Ia melihat ideologi Islam dengan humanismenya yang dapat menyelamatkan rakyat Iran dan seluruh bangsa yang tertindas.43 Sebagai tokoh intelektual progresif, Ali Syari’ati memosisikan dirinya sebagai pembela kaum tertindas. Setidaknya ada dua pandangan mengenai intelektual progresif yaitu pertama, kaum intelektual yang menghasilkan pemikiran dan gagasan abstrak dan universal, karena mereka tidak dipaksa oleh kelompok atau kelas sosial tertentu. Dalam kata lain, intelektual bukan pesuruh, penafsir, dan menjalankan tugas kelas sosial tertentu, namun ia menjalankan aktivitasnya berdasarkan kesadaran akan kondisi sosial dengan gagasannya. Kedua, kaum intelektual bersifat progresif karena mereka berdiri di luar masyarakat dan oleh karena itu ia tidak mengabdi pada salah satu kepentingan sosial tertentu.44 Berdasarkan hal demikianlah intelektual tidak membela kelas tertentu, tetapi membela semua kelas yang benar demi perdamaian dan kepentingan publik belaka. Namun sejatinya intelektual tidak bebas nilai dan netral dan sudah selayaknya intelektual berpihak pada kelompok lemah dan tertindas. Dengan ideologisasi ini pula revolusi Islam 42
Ali Syari’ati menegaskan bahwa suatu ideologi tidak akan menjadi ideologi lagi manakala telah dikonvensikan dan disepakati bersama, terlepas dari apakah ideologi itu religius atau tidak. Bahkan Ali Syari’ati menekankan pentingnya agama sebagai ideologi, karena itulah yang dibangun oleh para nabi sejak awal pengutusannya. Agama sebagai ideologi dapat menjadi tonggak perubahan sosial, sebagaimana Islam telah mengangkat masyarakat Arab dari kejahiliyahan. Namun kemudian agama mengalami kemerosotan dengan merubah dirinya menjadi institusi sosial. Lihat: Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi Ideologi Pemikiran dan Gerakan, hlm. 63 dan 68. 43
Ridwan, “Islam dan Pandangan Tentang Dunia Menurut Ali Syari’ati”, dalam Jurnal DISKURSUS (Vol. 8, April/2009), hlm. 60. 44
Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, terj., (Yogyakarta: ArRuzz, 2002), hlm. 312.
34
1979 terjadi dan membawa transisi mendasar pada sistem tata nilai dan pemerintahan Iran. Peran Ali Syari’ati sebagai ideologi revolusi Iran sangat nyata. Pengaruhnya tampak dari pola ideologisasi kritisisme yang menentang rezim Syah. Peran pentingnya dalam merintis revolusi setidaknya dapat dilihat dari dua sisi. 1) Pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati baik di bidang sosial, politik, keagamaan yang memang dikenal revolusioner dan sangat mudah diterima oleh kaum muda Iran yang menjadi barisan terdepan dalam perlawanan melawan rezim. Pemikirannya banyak terlahir dalam masa produktif antara tahun 1965-1977 di mana dia tengah aktif dalam ideologisasi melalui pendidikan tinggi, ceramah-ceramah, maupun buku-buku yang ditulisnya. 2) Peranan melalui sejumlah kelompok atau organisasi politik dan ilmiah seperti Husayniyah Irsyad yang diperjuangkannya bersama Murtadha Mutahhari untuk menyebarkan ideologi progresif. 45 Secara visioner Husainyah Irsyad didirikan untuk memberi panduan kepada kaum intelektual berdasarkan aliran pemikiran, pandangan, dan kebijaksanaan Imam Husein, yang berlandaskan pemahaman akan zaman, masyarakat, Islam dan Syi’ah setelah secara sadar menerima tanggung jawabnya, menyusun semua program untuk semua tokoh intelektual demi kejayaan Islam dan kaum muslimin. Organisasi ini bergerak dalam bidang riset, pendidikan, dan propaganda.46 Ketiga bidang ini kemudian dilengkapi dengan bidang keempat, yaitu logistik yang dikhususkan untuk memfasilitasi program-program yang dicanangkan dalam ketiga bidang lainnya.
45
M. Riza Sihbudi, “Posisi Ali Syari’ati dalam Revolusi Islam Iran”, dalam Azyumardi Azra, dkk., Melawan Hegemoni Barat, hlm. 106. 46
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 133-
134.
35
BAB III PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI TENTANG HUMANISME
Di samping tema keagamaan dan politik pemerintahan, tema kemanusiaan mendapat perhatian utama bagi Ali Syari‟ati. Aspek kemanusiaan dalam konteks perbincangan seputar individu manusia menjadi titik tolak membangun peradaban yang maju. Memaknai manusia dengan perspektif tertentu akan memengaruhi penjelasan selanjutnya mengenai bagaimana sebuah komunitas dibangun. Maka, pola interaksi dan corak kehidupan suatu masyarakat sangat dipengaruhi akan kesadaran setiap individu yang ada di dalamnya. Pemikiran progresif yang dibangun oleh Ali Syari‟ati untuk kesejahteraan masyarakat didasarkan atas pemahaman yang utuh dan tepat terkait hakikat manusia itu sendiri. Aspek kemanusiaan menjadi bagian bahasan penting dalam pemikiran Ali Syari‟ati. Nilai-nilai kemanusiaan ini dibahas dalam teori humanisme. Humanisme sendiri oleh Ali Syari‟ati diartikan sebagai “aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia”.1 Tujuan ini hanya akan tercapai manakala didasarkan pada pemahaman yang tepat atas diri manusia itu sendiri. Penyelidikan atas manusia itu lebih luas selanjutnya akan dibahas dalam bab ini. Humanisme termasuk wacana pemikiran yang cukup rumit mengingat kajiannya terkait eksistensi manusia di dunia adalah persoalan yang kompleks. 2
1
Ali Syari‟ati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 39. 2
Secara etimologis humanisme berasal dari bahasa Latin “Humanitas” yang artinya pendidikan manusia. Istilah ini kemudian mengalami berbagai bentuk turunan. Pertama, kata humanismus yang digunakan untuk menunjuk sebuah proses pembelajaran yang menekankan pada studi karya-karya klasik berbahasa Latin dan Yunani di sekolah menengah. Kedua, humanista yang digunakan untuk menunjuk para profesor humanisme Italia. Ketiga, humanisties yang digunakan untuk menunjuk pendidikan liberal art yang menggunakan karyakarya penulis Romawi klasik. Sedangkan Secara terminologis, humanisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia. Persoalan dalam humanisme adalah mengenai apa itu manusia dan bagaimana kita menempatkan manusia di tengah alam semesta. Humanisme memandang
36
Tidak semua hal-hal terkait manusia bisa dipantau secara inderawi. Kajian ini menuntut pemikiran filosofis yang mendalam dan didasarkan atas teori yang kuat. Bahkan sejak zaman Yunani Kuno,3 sekitar abad ke 6 SM, perdebatan tentang hakikat manusia telah muncul. Humanisme menjadi gagasan yang paling mendapat perhatian besar di kalangan filsuf klasik hingga modern. Namun di sinilah manusia menunjukkan kesempurnaannya. Dia dapat berperan sebagai subyek, sekaligus menjadi obyek. Manusia mengkaji dirinya sendiri, untuk kepentingannya, dan demi kelangsungan hidupnya. Kemudian muncul berbagai teori yang dimiliki berbagai madzhab filsafat dan keyakinan keagamaan berupaya untuk memahami hakikat manusia. Atas polemik ini Ali Syari‟ati mengungkapkan bahwa memahami secara utuh mengenai manusia hampir tidak mungkin. Bahkan ilmu pengetahuan pun tidak sepenuhnya mampu menjelaskan kompleksitas dimensi manusia. Seperti yang dikutipnya dari Alexis Carrel, seorang tokoh peletak dasar Humaniora ilmiah, “Derajat keterpisahan manusia dari dirinya, berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya”.4
bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia. Dengan segala kemampuan akal budinya, manusia sadar akan eksistensinya di dunia dan mampu mencari kebenaran-kebenaran hidup demi kelangsungan kehidupannya. Paham ini menunjuk pada proyek membangun kehidupan manusia dan masyarakat menurut tatanan dan aturan akal budi. Lihat: Thomas Hidya Tjaya, Humanisme dan Skolatisisme Sebuah Debat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), hlm.20. 3 Gerakan humanisme memandang bahwa peradaban klasik adalah potret tatanan masyarakat ideal. Untuk itu literatur karya tokoh Yunani klasik seperti Aristoteles, kembali mendapat perhatian dan segera menjadi tradisi baru kehidupan intelektual Eropa. lihat: Thomas Hidya Tjaya, Humanisme dan Skolatisisme Sebuah Debat, hlm.18-22. Gagasan ini kemudian menyebar melalui kajian-kajian di berbagai institusi pendidikan yang mulai menerapkan studi liberal art. Model pendidikan seperti ini didorong oleh impian kembalinya kesejahteraan masyarakat Yunani kuno yang ditandai dengan adanya masyarakat demokratis yang dalam batas-batas tertentu memberi keluasan otonomi manusia untuk menentukan arah sejarahnya sendiri. lihat: Zainal Abidin, Filsafat Manusia, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.27 4
Ali Syari‟ati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, hlm. 37. Modernitas telah membentuk suatu konstruksi budaya masyarakat yang mencapai kemajuan mengesankan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun yang menjadi perhatian utama kemudian adalah perkembangan kapitalisme pasar yang membentuk masyarakat konsumer. Lihat: Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 199. Industrialisasi bukan didasarkan lagi pada kebutuhan manusia melainkan didasarkan atas hasrat demi mencapai perkembangan pasar. Kegairahan produksi akan terus berlanjut karena hakikat manusia yang tidak pernah puas dengan capaiannya. Akhirnya barang-barang produksi
37
Kesadaran terpenting yang harus dibangun dalam diri setiap manusia adalah kesadaran akan dirinya sendiri. Kesadaran ini akan menjadi bekal penting menentukan arah kehidupan manusia menuju keadaan yang terbaik baik dirinya dan lingkungan. Pembentukan kesadaran akan kondisi diri merupakan alasan pokok yang dikemukakan oleh Ali Syari‟ati untuk memulai gerakan
revolusionernya
dengan
pembahasan
mengenai
nilai-nilai
kemanusiaan itu sendiri. Karena pada dasarnya gerakan revolusionernya adalah gerakan progresif untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan melawan kekuatan-kekuatan di luar dirinya yang membelenggu.
A. Pengakuan atas Dualitas Manusia Manusia
bukan
semata-mata
makhluk
hewani
yang
sekedar
mempertahankan hidup di dunia. Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran diri dan berbagai dimensi. Ali Syari‟ati membagi manusia menjadi dua dimensi, yaitu dimensi fisik dan dimensi ruh. 1. Dimensi Fisik Dimensi fisik adalah aspek material diri manusia yang sifatnya menyerupai makhluk-makhluk yang lain, seperti binatang yang memiliki kebutuhan-kebutuhan biologis. Istilah yang digunakan adalah basyar, yaitu kapasitas manusia sebagai individu otonom yang memiliki hak-hak individual yang hakiki. 2. Dimensi Ruh Inti nilai kemanusiaan terdapat pada dimensi ruh yang mencakup potensi akal sebagai modal manusia menjadi khalifah di bumi. Potensi akal menjadi modal dalam menjalankan tugas-tugasnya di dunia. Istilah yang digunakan adalah insan, yaitu kapasitas individu manusia sebagai bagian dari masyarakat. Maka setiap individu memiliki tanggung jawab
tidak lagi menjadi komoditas kebutuhan, melainkan komoditas pemenuhan keinginan. Kondisi ini menuntut perubahan terus menerus dalam sektor produksi tanpa memikirkan lebih masak efek kemanusiaan yang ditimbulkannya. Lihat: Yasraf Amir Piliang, Hiper-realitas Kebudayaan, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 104-105.
38
untuk memberi kontribusi membangun masyarakat sebagai tugas kekhalifahannya. Sejalan dengan yang diungkapkan Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, bahwa akal adalah modal manusia mencari Tuhannya.
وليس خيفى أن العلوم الدينية وهي فقه طريق اآلخرة إمنا تدرك بكمال العقل وصفاء الذكاء والعقل أشرف صفات اإلنسان كما سيأيت بيانه إذ به تقبل أمانة اهلل وبه يتوصل إىل جوار اهلل Dan tidaklah tersembunyi bahwa ilmu agama ialah memahami jalan akhirat, yang dapat diketahui dengan kesempumaan akal dan kebersihan kecerdikan. Akal adalah yang termulia dari sifat-sifat insan sebagaimana akan diterangkan nanti. Karena dengan akal, manusia menerima amanah Allah. Dan dengan akal akan sampai kesisi Allah swt. Vitalitas potensi akal telah mengakar pada substansi yang paling penting, yaitu perjalanan hamba menuju Tuhannya. Maka semakin seseorang mengoptimalkan potensi akalnya, maka dia semakin dekat dengan Sang Pencipta. Dalam bukunya, Ali Syari‟ati menguraikan penciptaan manusia sebagai makhluk yang memiliki dimensi ganda, Allah menciptakan manusia sebagai wakil-Nya (khalifah) dari bentuk yang paling rendah, yaitu tanah, dan kemudian ditiupkan ruh kepadanya maka lahirlah manusia. Dengan demikian manusia diciptakan oleh Allah dari dua hakikat yang berbeda, yaitu tanah bumi dan ruh yang suci. Dalam bahasa manusia, tanah (lumpur) adalah simbol dari kerendahan dan kenistaan, dan dalam bahasa manusia juga, Tuhan adalah Dzat Maha sempurna dan Maha suci. Dalam setiap makhluk, bagian yang paling suci adalah ruhnya. Oleh karena itu, menurut Ali Syari‟ati, manusia adalah makhluk dua dimensional dengan dua arah kecenderungan, yang satu membawanya ke bawah, ke dalam
39
hakikatnya yang rendah, sementara dimensi lainnya (ruh) cenderung naik ke puncak spiritualnya yaitu ke Dzat yang Maha suci.5 Dengan mendasarkan pada asal kejadiannya, manusia merupakan makhluk yang mempunyai dua kutub yang kontradiktif. Akan tetapi kebesaran dan kejayaannya yang unik justru berasal dari kenyataan bahwa ia adalah makhluk yang bersifat dua dimensional. Dua kecenderungan yang dimiliki oleh manusia berebut ruang dominasi pada dirinya karena manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua pilihan di antara dua kutub yang kontradiktif tersebut. Setiap pilihan yang diambil manusia sebagai cermin kebebasan yang dimilikinya akan menentukan nasibnya. Setelah Allah menyelesaikan penciptaan atas manusia, Allah kemudian memberikan pengajaran tentang nama-nama, sebagai simbol gagasan tentang pengajaran dan pendidikan. Pada posisi demikian, Tuhan adalah guru pertama manusia, dan pendidikan pertama manusia bermula dengan menyebutkan nama-nama. Setelah itu Tuhan memerintahkan kepada seluruh malaikat untuk bersujud kepadanya dan bersujudlah para malaikat itu. Fakta inilah yang menurut Ali Syari‟ati merupakan arti sebenarnya dari humanisme.6 Menurut Ali Syari‟ati keutamaan paling menonjol dari manusia adalah kekuatan kemauannya. Ia adalah satu-satunya makhluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya; sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk lain. Kemauan bebas yang dimiliki manusia itulah yang dapat menjadi penghubung kedekatannya dengan Tuhan. Pertemuan kedekatan manusia dengan Tuhan adalah karena manusia lahir dari bagian Ruh Tuhan. Dengan demikian apa yang sama dari manusia dengan Tuhan adalah dimensi ruhnya yang melahirkan konsep kemauan bebas berkehendak.
5
Merupakan suatu kelebihan tersendiri ketika manusia memiliki dua kutub yang saling kontradiktif yang kemudian manusia memiliki kebebasan untuk memilih, untuk cenderung ke arah kutub suci atau kehinaan. Itu adalah pilihan hidup manusia karena dalam dirinya secara fitrah telah ada. Maka pendidikan adalah suatu upaya untuk mengoptimalkan kutub kesucian dalam diri manusia agar tumbuh optimal dalam keadaan yang positif. Ali Syari‟ati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 6-7. 6
Ali Syari‟ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 8-9.
40
Dalam keadaan demikian, manusia memerlukan kehadiran agama yang mampu menyeimbangkan dan menyelaraskan dimensi-dimensi yang saling bertentangan yang ada dalam dirinya dan masyarakatnya. Dalam Al-Qur‟an, ditemukan dua istilah untuk menyebut kata manusia; yaitu insan dan basyar. Sebagai contoh dalam Al-Qur‟an QS. Al-Kahfi: 110 disebutkan:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya. Dan pada tempat lain al-Qur‟an menyatakan:
Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.
Menurut Ali Syari‟ati, insan adalah makhluk yang mempunyai karakteristik tertentu yang dapat mencapai tingkat kemanusiaan (insaniyyat) tertentu lebih dari sekedar makhluk hidup dengan naluri instingtif yang bersifat alamiah. Sedangkan basyar adalah makhluk tertentu yang terdiri dari karakteristik fisiologis, biologis, psikologis yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa memandang ras, agama dan warna kulit atau bangsa. Dengan demikian, setiap manusia adalah basyar, tetapi tidak mesti Insan , karena tidak semua manusia dapat mencapai kualifikasi sebagai insan. Basyar adalah „makhluk,‟ sementara insan adalah „proses menjadi.‟ Insan memiliki tiga karakteristik dasar, yaitu kesadaran diri, kemampuan untuk
41
memilih, dan kemampuan untuk mencipta. Dengan karakteristik ini, maka manusia (insan) merupakan makhluk tiga dimensional. Ketiga karakter ini dimiliki Tuhan, dan manusia sama seperti Dia. Maksud kata ‟kesamaan‟ adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang mampu memanfaatkan dan mengembangkan sifat-sifat agung Tuhan yang ada dalam diri mereka, dan mampu terus menerus berubah. Insan-lah yang merupakan khalifatullah fil ardh, sedangkan basyar tidak lebih merupakan hasil akhir dari proses evolusi monyet yang lebih bersifat alamiah. Hanya insan yang dapat memberontak, dan memilih, yang akan mampu mencapai kesadaran dan berkreasi (secara relatif).7 Dualitas eksistensi ini tidak semata-mata sebuah kontradiksi, melainkan sebagai tanda kesempurnaan ciptaan. Dualitas ini pula yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya di dunia. Berbagai kekhasan karakter muncul dari corak ini sebagai konsekuensi kekhalifahannya di bumi. Dalam sebuah artikelnya Ali Syari‟ati menjaskan: The only superiority that man has over all other beings in the universe is his will. He is the only being that can act contrary to his nature, while no animal or plant is capable of doing so. It is impossible to find an animal which can fast for two days. And no plant has ever committed suicide due to grief or has done a great service. Man is the only one who rebels against his physical, spiritual, and material needs, and turns his back against goodness and virtue. Further, he is free to behave irrationally, to be bad or good, to be mud like or Divine. The point is that possession of "will" is the greatest characteristic of man and it throws light upon the kinship between man and God. 8 (Sebuah keunggulan khusus bahwa manusia memiliki lebih dari semua makhluk lain di alam semesta adalah kehendak-Nya. Dia adalah satusatunya makhluk yang dapat bertindak bertentangan dengan alam, sementara tidak ada hewan atau tumbuhan yang mampu melakukannya. Tidak mungkin menemukan binatang yang dapat cepat selama dua hari. Dan tanaman ada yang pernah bunuh diri karena kesedihan atau telah 7
Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Ego Memburu Revolusi: Memahami “Kemelut” Tokoh Pemberontak”, dalam Melawan Hegemoni Barat, Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 87. 8
Ali Syari‟ati, “Man and Islam”, dalam http://www.shariati.com/english/human.html, diakses tanggal 31 Mei 2011.
42
melakukan pelayanan besar. Manusia adalah satu-satunya yang memberontak terhadap fisik spiritualnya, kebutuhan material, dan berbalik melawan kebaikan dan kebajikan. Lebih lanjut, ia bebas untuk bersikap tidak rasional, untuk menjadi baik atau buruk, menjadi seperti lumpur atau memiliki sifat Ilahi. Intinya, memiliki "kehendak" adalah karakteristik terbesar manusia dan memancarkan cahaya kekerabatan antara manusia dan Allah). Manusia dengan tipe yang digambarkan oleh Ali Syari‟ati di atas erat kaitannya dengan konsep manusia sebagai khalifah di bumi. Konsekuensi kekhalifahan adalah adanya kebebasan berkehendak yang berperilaku untuk mengemban tugasnya. Dengan rasionalitasnya manusia mampu memilih jalan kehidupan untuk selalu senantiasa selaras dengan alam semesta, sekaligus mampu mengabaikan rasionalitas dan menerjang ke arah hal-hal absurd yang bahkan merugikan dirinya sendiri dan lingkungan. Semua itu bisa dilakukan dengan tuntutan tanggung jawab yang kelak akan dipertanyakan di hari pembalasan. Superioritas manusia bahkan melebihi malaikat sebagai makhluk Allah yang paling suci karena tidak pernah berbuat dosa dan selalu menaati perintahNya. Namun malaikat bukanlah makhluk yang diajarkan mengenai ilmu pengetahuan oleh Allah sebagaimana Adam mendapatkannya ketika pertama kali memijakkan kaki di bumi.9 Penguasaan ilmu pengetahuan menjadi aspek penting yang menegaskan kesempurnaan manusia atas malaikat.
B. Religiusitas sebagai Dasar Hidup Manusia Humanisme sebagai wawasan kemanusiaan menjadi topik penting untuk merumuskan kembali kehidupan yang ideal. Menurut Ali Syari‟ati, Setidaknya ada empat aliran utama yang mengklaim diri sebagai gagasan yang paling humanis, yaitu liberalisme Barat, marxisme, eksistensialisme, dan agama.10 Keempatnya mendasarkan atas pemahaman terhadap nilai-nilai 9
Ali Syari‟ati, “Man and Islam”, dalam http://www.shariati.com/english/human.html, diakses tanggal 31 Mei 2011. 10
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 21.
43
kemanusiaan dengan cara yang berbeda. Dialektika empat aliran ini menjadi perhatian penting dalam renungan filosofis Ali Syari‟ati. 1. Liberalisme Barat Pandangan liberalisme yang berkembang di Barat menjadi isu yang sangat populer di berbagai kalangan intelektual muslim dan tentu saja mendapat perhatian penting dari Ali Syari‟ati karena pengaruhnya yang luas. Akar genealogis pemikiran ini adalah tradisi filsafat Yunani kuno yang pada era modern melahirkan liberalisme sains, 11 kemudian membentuk dua kebudayaan besar di abad modern, yaitu borjuasi Barat dan Marxisme Timur.12 Liberalisme memandang manusia sebagai
11
Pada masa Yunani klasik, humanisme mewujud dalam suatu sistem pendidikan Yunani klasik yang dimaksudkan untuk menerjemahkan visi tentang manusia ideal. Dalam penelusuran akar istilah dan pengertian humanisme, peradaban Yunani klasik selalu menjadi rujukan penting. Manusia ideal menurut pandangan Yunani klasik adalah manusia yang mengalami keselarasan jiwa dan badan, suatu kondisi di mana manusia mencapai eudaimonia (kebahagiaan). Konsep keselarasan jiwa dan badan ini dapat ditemukan dalam doktrin paideia. Doktrin ini sangat populer dan menjadi ajaran umum yang diyakini oleh hampir seluruh masyarakat Yunani. Para tokoh besar abad Yunani seperti Plato dan Aristoteles menempatkan eudaimonia sebagai sebuah tujuan hidup. Hanya saja bagaimana cara mencapainya, terdapat perbedaan pandangan, khususnya antara kubu akademia Plato dan kaum sofis. Plato menekankan metode filsafat untuk mencapai kebijaksanaan tertinggi. Kebijaksanaan tertinggi yang dimaksud adalah keutamaan intelektual untuk memahami eksistensi diri, alam, dan Tuhan. Sedangkan Ajaran paideia oleh kaum sofis cenderung diarahkan kepada kepentingan di panggung politik demokrasi. Manusia dipandang bukan sebagai makhluk individual yang hidup dan berproses sendiri, melainkan tidak bisa lepas dari konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Konsekuensinya, kesempurnaan manusia hanya akan dicapai dengan menunjukkan dedikasinya terhadap pembangunan negara. Tentu saja dalam rangka mencapai cita-cita politik warga negara yang memimpikan terbentuknya negara demokratis yang cinta akan keadilan. Kaum sofis menekankan pengembangan potensi manusia dalam bidang retorika, yaitu seni berpidato untuk meyakinkan masyarakat akan gagasan-gagasan demokrasi. Muridmurid Plato di lingkungan Akademia Plato, sebagaimana Plato sendiri, cenderung menekankan pada pematangan individu manusia. Mereka mengkritik tradisi pidato kaum sofis yang mengedepankan kefasihan berbicara. Kebiasaan seperti itu hanya akan bersifat persuasif tanpa mampu mencapai kebenaran hakiki. Kubu akademia Plato berpandangan bahwa kesempurnaan akal budi adalah kuncinya karena dengan hanya dengan akal budi manusia bisa memahami dunia. Akal budi pula yang menempatkan manusia pada titik temu antara aspek ketuhanan sebagai simbol realitas jiwa dan aspek hewani yang merupakan simbol realitas materi. Lihat: Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya Bagi Pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 8-12 12
Pemantapan humanisme sebagai ideologi global terjadi pada era modern. Berawal dari gagasan Petrarca, seorang humanis renaisance asal Italia, dan Diderot, seorang humanis Perancis, berpendapat bahwa manusia merupakan asal dan tujuan. Manusia adalah titik pijak dan tujuan dan akhir yang dituju. Pandangan ini mengakibatkan lahirnya antroposentrisme dan kemudian diikuti dengan epistemologi barat yang berpandangan bahwa manusia sebagai pusat. Yang mana pada kodratnya manusia adalah makhluk rasional. Lihat: Antonius Subiyanto,
44
makhluk superbody yang menentang kekuatan di luar dirinya, termasuk kekuatan absolut Sang Pencipta. Mitologi Yunani kuno meyakini kekuasaan Dewa Zeus yang kemudian oleh para filsuf Yunani dianggap sebagai belenggu manusia. Maka segala macam dewa harus dimusnahkan demi kebaikan manusia. Begitu juga pada era selanjutnya, yaitu abad pertengahan.
Kejumudan
gereja
dengan
doktrin
ketuhanannya
membelenggu kemajuan peradaban Eropa. Para tokoh seniman humanis seperti Leonardo Da Vinci adalah tokoh yang berjuang untuk melakukan perlawanan. Masyarakat Eropa modern kembali membangun pemikiran yang menentang segala konsep ketuhanan karena dianggap membawa kemutlakan yang menuju kejumudan. Humanisme liberal memandang bahwa manusia akan benar-benar mendapatkan otonominya manakala keluar dari belenggu teisme dan meneguhkan akal budi di atas segalanya. Gagasan ini tidak bisa lepas dari pengalaman sejarahnya masing-masing.13 2. Marxisme Pandangan Marxisme Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikembangkan dalam tradisi liberalisme. Perbedaannya, jika liberalisme berasumsi bahwa pengembangan potensi-potensi manusia bisa dilakukan dalam http://niasmembangun.blog.com/2009/09/17/konsep-humanisme-kebebasan-manusia/, diakses 11 Mei 2011 13
Perbedaan konsepsi Islam dan Barat tentang humanisme tidak lepas dari latar belakang kemunculannya. Menurut Dr. Luthfi Assyaukanie, humanisme Barat lebih pada aksi pemberontakan atas dogmatisme Gereja yang menutup jalan kebenaran di luar gereja. Ajaran teologi yang disebarkan gereja masa itu adalah paham fatalisme di mana manusia adalah makhluk yang terikat sepenuhnya atas kehendak Tuhan dan selamanya tidak bisa melepaskan diri dari takdir itu. Manusia ada di dunia hanya untuk menjadi pelayan Tuhan, dan dengan begitu sentralnya peran Tuhan, manusia tidak memiliki pilihan. Situasi kegelapan seperti inilah yang kemudian mengilhami kesadaran masyarakat Barat untuk memberontak dan melepaskan diri menuju pencerahan. Pengalaman yang dirasakan umat muslim jelas berbeda. Sejak generasi awal perkembangan Islam, masyarakat muslim tidak bermasalah dengan ajaran teologinya. Teologi dan metafisika selalu menempati posisi sentral dan berjalan seiring dengan tema-tema pengetahuan dan obyek penelitian yang mereka geluti. Tokoh humanis muslim awal, Muhammad bin Idris al-Syafi‟i (Imam Syafi‟i) adalah seorang sarjana dengan perhatian pada dunia keilmuan sangat tinggi tapi sekaligus pelayan agama yang sangat loyal. Begitu juga tokoh humanis akhir pada masa keemasan Islam, Muhammad bin Rusyd (Ibn Rusyd) atau yang di dunia Barat lebih dikenal dengan Averroes (w. 1198) adalah seorang filsuf besar yang tak pernah meninggalkan jubah agamanya. Lihat: Luthfi Assyaukani, “Membaca Kembali Humanisme Islam”, Kuliah Umum: Memikirkan Kembali Humanisme, (Jakarta: Komunitas Salihara, 27 Juni 2009), hlm. 4.
45
dengan cara memberi kebebasan pada individu seluas-luasnya untuk mengaktualisasikan dirinya, baik dalam kehidupan sosial maupun ekonomi, maka marxisme timur memandang manusia sebagai bagian dari masyarakat yang harus diorganisir secara massal dalam bentuk masyarakat komunis. Namun nyatanya ateisme lebih subur dalam masyarakat ini. Bahkan Ali Syari‟ati menyebutkan bahwa masyarakat komunis lebih borjuis daripada borjuasi Barat sendiri, yaitu dengan memeratakan kelas borjuis pada seluruh elemen masyarakat.14 3. Eksistensialisme Sedangkan
eksistensialisme
memandang
manusia
telah
meneguhkan eksistensinya sejak lahir. Para tokoh eksistensialis, dengan tokoh utamanya Jean Paul Sartre, menyerukan untuk mengesampingkan “campur tangan Tuhan” dalam pembangunan kaidah moral dan kembali mengikuti kata hati karena manusia sendiri sejak lahir telah membawa moral bawaan. Cetak alamiah manusia telah membawa serta hati nurani sebagai watak kemanusiaan yang mampu memilih sistem nilai yang ideal baginya. Dalam bukunya Eksistensialisme dan Humanisme, Jean Paul Sartre memaparkan sebagai berikut. Eksistensialisme tidak lain adalah sebuah upaya menarik kesimpulan yang utuh dari posisi ateistik yang konsisten. Tujuannya bukan menjerumuskan manusia ke dalam keputusasaan. Dan apabila dengan keputusasaan orang memaksudkan –seperti orang Kristen-- sikap-sikap tidak percaya, keputusasaan kaum eksistensialis adalah berbeda. Eksistensialisme bukanlah teori ateis dalam pengertian bahwa teori ini akan berusaha mati-matian membuktikan ketiadaan Tuhan. Eksistensialisme menyatakan bahwa bahkan seandainya Tuhan ada, maka ini tidak akan berarti apa-apa pada sudut pandang kaum eksistensialis.15 14
Manusia dalam konteks masyarakat liberal dan komunis dalam konteks ketuhanan pada dasarnya dicitrakan dengan model yang sama. Selisih antara keduanya hanya sebatas pada persoalan ekonomi, yaitu masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pelaku industri dan pasar. Itulah mengapa Ali Syari‟ati membagi bahasan humanisme dalam bukunya menjadi dua bagian kategori besar, yaitu Islam dan Madzhab Barat. Dia lebih berbicara pada konteks humanisme sebagai pandangan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak bisa lepas dari konsep ketuhanan. Baca Ali Syari‟ati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, hlm. 42-44. 15
Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 105-106.
46
Paparan dari filsuf Prancis ini membuktikan sikap apatisme terhadap hakikat ketuhanan. Aspek teologis dikesampingkan dalam membangun pola humanis. Manusia dipandang sebagai makhluk yang ada secara sendirinya di dunia ini. Mereka adalah makhluk yang terdampar di dunia, hidup dengan segenap potensi yang dimilikinya dan menentukan arah hidupnya sesuai dengan yang dia butuhkan. Dengan begitu eksistensialisme menentang segala eksistensi di atas manusia. 4. Pandangan Agama Sedangkan pandangan agama tentang manusia lebih menampilkan citra optimistik. Manusia dipandang memiliki hubungan khusus dengan Tuhan. Seperti diajarkan dalam beberapa agama seperti Hinduisme, dapat ditemukan dalam tradisi sufisme Islam tentang ajaran pantheisme logos, yaitu Tuhan, manusia, dan cinta bersama-sama membangun alam semesta guna mewujudkan alam. Dengan begitu Tuhan dan manusia menyatu tanpa bisa dipisahkan. Terkait eksistensinya di dunia, manusia didefinisikan sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki ruh ilahi dan bertanggung jawab atas amanat Allah, yaitu dirinya dan alam semesta. Sedangkan cinta akan membebaskan manusia dari ketakutan dan menumbuhkannya ke tempat kearifan yang paling mendalam.16 Menurut Ali Syari‟ati, keberadaan manusia di bumi tidak bisa dilepaskan dari aspek ketuhanan. Pendirian Ali Syari‟ati tentang konsep manusia menunjukkan sikap kritisnya terhadap konsep Barat. Barat dinilai condong ke arah dunia kekinian yang bersifat pragmatis. Ali Syari‟ati meletakkan landasan yang tegas tentang proses penciptaan manusia sebagai proses evolutif yang bergerak menuju pada tingkat kesempurnaan ilahi.17 16
Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 197. 17
Perjalanan evolutif manusia menuju Tuhan tergambar secara simbolik dalam ajaran esensial ibadah Haji. Ali Syari‟ati, sebagaimana dikutip Mun‟im, mengatakah: “Pulang kepada Allah swt adalah sebuah gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan,
47
Walaupun evolusi kehidupan rohani banyak ditentukan oleh fisik, namun dalam perkembangan berikutnya kehidupan rohani justru mengatasi kehidupan fisik yang akhirnya sampai pada tahap kemampuan untuk membebaskan dirinya dari alam fisik. Pemikiran-pemikiran Ali Syari‟ati tentang filsafat kehidupan selalu menjadi bahan kajian bagi pengembangan pendidikan Islam ke depan. Tujuan pendidikan Islam untuk membantu individu mencapai aktualisasi diri untuk mengarah pada realitas tertinggi yaitu Allah SWT. Namun Ali Syari‟ati bukan berarti menolak sama sekali konsep-konsep kemanusiaan yang dikemukakan oleh ideologi-ideologi sekuler di atas. Sebagai contoh adalah
ketertarikannya
pada
gagasan
Marx
yang bernuansa
pemberdayaan masyarakat. Menurutnya marxisme pada sisi tertentu sangat mengagumkan, terutama bagaimana Marx membangun nilai-nilai moral kemanusiaan yang menjadi sumber keberanian menentang borjuisme yang berambisi menghegemoni kaum kelas ekonomi menengah ke bawah. Marx telah menghancurkan kapitalisme yang telah menghancurkan prinsip keadilan dan egalitarianisme di tengah masyarakat. 18
pengetahuan, dan nilai absolut”. Perjalanan itu bermula ketika manusia melepaskan segala perbedaan dan bersama sebagai makhluk yang sama menghadap kepada Allah. Secara simbolis ini tergambar dalam praktek ritual ibadah Haji. Lihat: Mun‟im A. Sirry, “Drama Kolosal Haji: Membangun Pandangan Dunia Monoteistik”, dalam Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, hlm. 163-165. 18
Ada dua sikap sekaligus yang ditunjukkan Ali Syari‟ati terhadap Marxisme. Ia menerima pandangan Marx tentang perjuangan kelas, antara kaum penindas dan tertindas, yang dia simbolkan ke dalam kaum Habil (tertindas) dan kaum Qabil (penindas). Namun konteks yang dijelaskan Ali Syari‟ati dengan menggunakan simbolisasi Habil dan Qabil bukanlah antara buruh melawan Kapitalis, melainkan antara dunia ketiga melawan Imperialisme Barat, mengingat perhatian Ali Syari‟ati bukan semata-mata urusan materi. Namun, ia menganggap bahwa Marx hanyalah seorang materialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal yang bersifat materi belaka. Dia juga mengecam gerakan sosialisme yang kemudian berevolusi menjadi gerakan politik praktis menjadi partai komunis. Syari‟ati berusaha menyelesaikan kontradiksi pandangannya itu dengan membagi kehidupan Marx dalam tiga fase. Pertama Marx muda sebagai filosof ateistik yang mengembangkan materialisme dialektis. Kedua, Marx dewasa, seorang ilmuwan sosial yang mengungkapkan bagaimana penguasa mengeksploitasi mereka yang dikuasai. Ketiga Marx tua yang merupakan politisi. Dari tiga fase itu, Syari‟ati menerima banyak gagasan dari Marx fase kedua, dan menolak fase pertama dan ketiga. Lihat: Dadang Nurjaman, “Pemikiran Ali Syari‟ati”, dalam http://www.infodiknas.com/pemikiran-ali-Syari’ati-diajukan-untuk-memenuhi-salah-satutugas-mata-kuliah-filsafat-Islam/, diakses tanggal 15 Mei 2011.
48
Begitu juga dengan nuansa eksistensialisme yang sangat tampak dalam pemikiran Ali Syari‟ati. Dia memaparkan persoalan eksistensi yang memusatkan perhatian kepada manusia. Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, mengalami proses tanpa henti, selalu berubah. Jika Sartre membatasi manusia pada becoming sebagai proses untuk membentuk esensinya, Syari‟ati lebih jauh lagi, yaitu potensi manusia menjadi lebih tinggi. Pemikiran ini berpangkal pada pandangan dunia Tauhid, dengan Tuhan sebagai sentral dari segala sesuatu. 19 Sebagaimana pemikiran eksistensialis lainnya, baginya manusia dapat dilihat sebagai being (ada/eksis) dan becoming (berproses/dinamis). Dari penyelidikannya terhadap teori-teori humanisme dari berbagai perspektif, Ali Syari‟ati mendeskripsikan tujuh asas dalam humanisme. 1. Manusia adalah makhluk asli, artinya memiliki substansi yang mandiri dan berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya dengan substansi fisik sekaligus ruh yang dimiliki. Substansi fisik membedakan manusia dengan malaikat yang gaib, dan substansi ruh membedakannya dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan. 2. Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas. Ini adalah kekuatan yang paling besar dalam diri manusia karena kehendak bebas adalah sifat manusia yang mencerminkan sifat ilahiyah. Kebebasan berkehendak memberi kesempatan pada manusia untuk menentukan sendiri arah hidupnya yang kemudian harus dipertanggungjawabkan pada Yang Maha Kuasa. 3. Manusia adalah makhluk yang sadar (berpikir). Dengan kesadaran yang dimiliki memungkinkan manusia memahami realitas. Potensi berpikir menjadi modal paling penting bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya karena dengan berpikir, manusia selalu mampu mencari jalan untuk bertahan hidup dan berkembang menuju kehidupan yang lebih baik.
19
Mun‟im A. Sirry, “Drama Kolosal Haji: Membangun Pandangan Dunia Monoteistik”, dalam Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, hlm. 165.
49
Ketika sebuah ancaman hadir, maka secara otomatis manusia memikirkan bagaimana menanganinya. 4. Manusia
adalah makhluk yang sadar akan dirinya
sendiri. Ini
memungkinkan manusia mempelajari dirinya sendiri sebagai subyek yang berbeda dengan hal-hal selain dirinya. Dengan begitu manusia memahami kebutuhannya, apa yang semestinya dilakukan, dan ke arah mana dia berjalan. Kepentingannya adalah tentu saja manusia harus memastikan bahwa dirinya berjalan ke arah yang lebih baik. 5. Manusia adalah makhluk kreatif. Kreativitas manusia menyatu dalam perbuatannya sendiri sebagai penegasan atas kesempurnaannya di antara makhluk lainnya dan di hadapan Tuhan. Dengan kreativitas, manusia dapat menutup kekurangannya dengan cara-cara yang diusahakannya. Misalnya keterbatasan fisik untuk melakukan pekerjaan berat, maka manusia akan mengerahkan daya kreatifnya untuk membuat peralatan yang bisa membantu memudahkannya bekerja. 6. Manusia adalah makhluk yang memiliki cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal. Visi tentang sebuah masa depan membuatnya tidak akan puas dengan keadaan kekinian dan membawa manusia selalu bergerak dinamis menuju perubahan positif. Bahkan ini dapat menegaskan bahwa perubahan itu ditentukan oleh manusia itu sendiri. 7. Manusia adalah makhluk moral yang memiliki nilai-nilai. Nilai-nilai diartikan sebagai ungkapan tentang hubungan manusia dengan fenomena, cara atau kondisi yang di dalamnya terdapat motif yang lebih luhur dari pada keuntungan.20
Potensi dasar yang paling dominan dalam diri manusia adalah potensi akal yang memungkinkan dia sadar dan berpikir.21 Ali Syari‟ati mengurutkan 20
Ali Syari‟ati, Humanisme Antara Islam dan Barat, hlm. 47-49.
21
Akal meniscayakan adanya rasionalitas yang menjadi lambang identitas manusia sebagai makhluk yang berpikir. Dengan akal, manusia dapat menangkap dan menganalisis fakta bahkan pada tahap yang paling kompleks, abstrak dan metafisik. Kemampuan ini dilakukan dengan mencerna, mengklasifikasi, dan menghubungkan tanda-tanda atau indikasi
50
orientasi pemikiran manusia, bahwa berpikir yang benar adalah jalan menuju pengetahuan yang benar, dan pengetahuan yang benar adalah pengantar menuju keyakinan. Keyakinan akan ketuhanan menjadi tujuan utama sekaligus modal bagi kehidupan manusia. Karena pemikiran yang tanpa didasari kesadaran ketuhanan akan melahirkan kesimpulan yang dangkal dan membentuk kebudayaan yang timpang karena manusia tidak mampu mengenal dirinya sendiri dengan benar. Dalam bingkai besar pemikiran humanisme, Ali Syariati tentu tidak lepas dari aliran humanisme tertentu dalam dialektika global. Bambang Sugiharto setidaknya menyebutkan ada tiga cabang aliran humanisme yang dikategorikan secara historis dan filosofis. Pertama, humanisme sekuler yang membatasi diri pada pandangan keduniaan dan menyangkal kekuatan ilahi. Benihnya muncul bahkan sejak abad pertengahan dan berkembang pesat pada abad pencerahan. Humanisme sekuler memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan berpikir demi kepentingannya sendiri tanpa terperangkap dalam kekuatan gaib yang mengaturnya. 22 Kedua, humanisme ateistik yang secara radikal menegaskan kemerdekaan manusia atas otoritas ketuhanan. Diajarkan secara terbuka sejak abad 18, pandangan ini menegaskan ketidakadaan tuhan. Abad ke 18 adalah era di mana modernisme mendapat tempat utama dalam perkembangan kebudayaan. Dibangun atas dasar dua pilar utama yaitu rasionalisme yang tumbuh di Perancis dan empirisme yang tumbuh di Inggris. Manusia mempercayai secara penuh kemampuannya untuk membangun kehidupan yang diharapkan dengan kekuatannya sendiri malalui pengembangan ilmu pengetahuan dan bukannya berharap pada tuhan.23 Ketiga,
indrawi yang ada di dunia. Lihat: Muhmidayeli, Teori-teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pekanbaru: Program Pasca Sarjana UIN Suska Riau dan LSFK2P, 2007), hlm. 111. Akal manusia memiliki hubungan interdependen dengan indera karena keduanya saling bekerja sama dalam menangkap dan mengolah realitas. Informasi dari realitas dapat ditangkap dengan fungsionalisasi indera manusia sebagai instrumen penangkap tanda, dan akal mengolahnya untuk kemudian melahirkan gagasan-gagasan teoritis. Muhmidayeli, Teori-teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, hlm. 141. 22
Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya Bagi Pendidikan,hlm. 35-36 Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya Bagi Pendidikan,hlm. 107109. 23
51
humanisme teistik, yang muncul pada awal abad 20 sebagai refleksi filosofis atas kekeringan spiritual masyarakat modern. Pada era modern humanisme ini terlihat dalam aliran eksistensialisme yang memandang manusia sebagai sosok yang optimistik. Sebagian tokoh eksistensialis, seperti Paul Sartre dan Albert Camus memang sering dianggap ateis, namun tokoh-tokoh ternama lainnya seperti Kierkegaard dan Karl Jespers jelas berbeda. Keberadaan tuhan tidaklah didasarkan atas pembuktian akan keberadaannya, melainkan sepahami secara reflektif filosofis eksistensi manusia di ambang kehidupan.24 Pemikiran humanisme Ali Syariati sangat dekat dengan pemikiran teistik ini. Pemahaman akan tuhan dipahami secara reflektif sebagai sebuah pola pikir dasar dalam kehidupan dan bukannya berkutat pada standarisasi ilmiah yang sering kali menjebak masyarakat pada proyeksi rasionalisme dan empirisme yang merupakan megaproyek modernisme.
C. Rausyan Fikr; Model Manusia Ideal Sebenarnya Ali Syari‟ati tidak memberikan definisi tentang intelektual secara eksplisit, namun dalam beberapa karyanya, rausyan fikr menjadi bahasan utama. Kata ini berasal dari bahasa Parsi yang dalam Bahasa Arab berarti munawwar al-fikr (pemikiran yang tercerahkan). Secara kontekstual kata itu biasa dimaknai dengan intelektual. 25 Rausyan fikr bukanlah suatu gelar tertentu melainkan seorang pribadi dengan kualifikasi tertentu. Sebutan ini digunakan untuk menunjuk pada orang yang melakukan perjuangan tertentu. Kaum intelektual, sebagian dari mereka adalah rausyan fikr karena intelektualitas adalah keunggulan utama dari rausyan fikr. Namun tidak menutup kemungkinan rausyan fikr bukan berasal dari kaum intelektual. Sedikit sekali orang yang termasuk dalam kaum intelektual, sekaligus rausyan fikr. Intinya, rausyan fikr atau orang-orang yang tercerahkan adalah orang yang memiliki kesadaran kemanusiaan dan keadaan sosial di masanya yang akan 24
Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya Bagi Pendidikan,hlm. 159161. 25 Iin Martini, “Konsep Intelektual Menurut Ali Syari‟ati”, skripsi (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2007), hlm. 71.
52
memberinya rasa tanggung jawab sosial. Jika orang yang tercerahkan berasal dari kalangan intelektual, maka akan semakin berpengaruh karena dia dapat memainkan peranan yang lebih penting.26 Tidak diragukan lagi keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah karena intelektualitasnya. Daya intelektualitas adalah karunia Allah yang paling besar, yang dapat membawa manusia pada pemahaman komprehensif tentang dunia. Dalam istilah Al-Quran, karunia intelektualitas itu diberikan dengan “mengajarkan nama-nama” kepada Nabi Adam As yang tidak diajarkan-Nya pada malaikat.27 Kemudian Tuhan menguji malaikat untuk menyebutkan nama-nama, tapi mereka tidak mengetahui nama-nama, sedangkan Adam dapat mengingat semuanya. Dengan demikian malaikat dikalahkan dalam ujian itu dan Adam memperoleh kemenangan atas para malaikat itu dalam hal ilmu pengetahuan, dan pengetahuan menjadi sumber keunggulan unik manusia. Sujudnya para malaikat di hadapan Adam membuktikan keadaan bahwa dalam pendangan Islam, keluhuran esensial manusia dan keunggulannya atas malaikat terletak pada ilmu pengetahuannya, bukan pada pertimbangan rasial apapun juga.28 Sebagai makhluk intelektual, manusia terus bekerja dinamis untuk mengembangkan pengetahuan yang telah didapatnya. Telah menjadi potensi dasar bahwa manusia adalah makhluk dinamis yang terus berkembang. Maka kesempurnaan manusia adalah tergantung bagaimana dia mematangkan dirinya menuju tingkat intelektualitas yang tinggi sebagai jalan menuju realitas ketuhanan yang paling tinggi. Atas pola pemikiran ini Ali Syari‟ati membangun term rausyan fikr (intelektual yang tercerahkan) sebagai istilah untuk menyebut citra pribadi manusia ideal yang dicita-citakan. Capaian derajat rausyan fikr hanya berhasil apabila manusia melepaskan diri dari empat penjara, yaitu sifat dasar, sejarah, masyarakat, dan ego manusia. Pertama, untuk melepaskan diri dari sifat dasar, manusia harus berusaha sendiri membangun ilmu pengetahuan, dengan begitu dia bisa 26
Ali Syari‟ati, Membangun Masa Depan Islam, terj., (Bandung: Penerbit Mizan, 1988), hlm . 27-28. 27
Ali Syari‟ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 7.
28
Ali Syari‟ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 8.
53
menempatkan sifat dasar manusia di bawah kendalinya. Kedua, untuk melepaskan diri dari penjara sejarah, manusia harus memahami tahap-tahap perkembangan sejarah dan hukum-hukum deterministik.29 Ketiga, melepaskan diri dari penjara masyarakat dilakukan dengan memahami secara mendalam kondisi masyarakat. Keempat, ego ada dalam diri manusia dan sulit untuk mengendalikannya. Pengendalian ego menurut Ali Syari‟ati hanya bisa dilakukan dengan cinta.30 Konsepsi rausyan fikr Ali Syari‟ati masih berkaitan dengan ideologi revolusionernya yang menekankan eksistensi manusia sebagai agen perubahan. Ini terlihat dari beberapa tulisannya yang mengemukakan tugas rausyan fikr sebagai manusia yang sadar realitas, tidak semata-mata kaum intelektual yang idealis. Sarbini, dalam sebuah keterangannya memaparkan: Orang yang tercerahkan (rausyan fikr) akan memanfaatkan potensi yang ada untuk perubahan. Bagi Ali Syari‟ati, rausyan fikr adalah kunci pemikiran karena tidak ada harapan untuk perubahan tanpa peran mereka. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang tidur panjang menuju revolusi melawan penindas. Hanya ketika dikatalisasi oleh rausyan fikr, masyarakat dapat mencapai lompatan kreatif yang besar menuju peradaban baru.31 Salah satu kualifikasi rausyan fikr adalah sikap kritis terhadap kondisi sosial dan konsistensinya membela kaum tertindas. Sifat katalis adalah sifat progresivitas yang dibarengi dengan konsistensi.32 Seorang katalisator selalu 29
Determinisme adalah pandangan bahwa pilihan manusia itu dikuasai oleh kondisi sebelumnya. Seluruh alam, termasuk manusia, merupakan rangkaian yang tak terputuskan dari sebab dan akibat. Deterministik berati tradisi baku yang mengikat individu dengan peristiwaperistiwa masa lalu. Lihat: Burhani MS dan Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, (Jombang: Lintas Media, t.th.), hlm. 89. 30
Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami “Kemelut” Tokoh Pemberontak, dalam M. Deden Ridwan (Ed.) Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 90. 31
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 88. 32
Secara definitif katalis adalah istilah dalam ilmu Kimia yang berarti zat atau bahan yang berperan dalam mempercepat proses reaksi kimia di dalam peristiwa kimiawi. Sedangkan katalisator adalah alat untuk mempercepat reaksi kimia (persenyawaan). Jika katalis adalah kata sifat, maka katalisator adalah kata benda subyek. Lihat: Burhani MA dan Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, (Jombang: Lintas Media, t.th.), hlm. 267.
54
mempercepat perubahan, namun dia sendiri tetap konsisten pada pendirian di tengah perubahan yang belum tentu searah dengan cita-cita. Dalam pembentukan deskripsi tentang sosok rausyan fikr perlu digarisbawahi bagaimana perhatian yang begitu besar ditunjukkan Ali Syari‟ati atas Abu Dzar Al-Ghifari. Konsepsi rausyan fikr sangat berinspirasi pada jejak langkah perjuangan sahabat nabi ini. Dalam sebuah karyanya menggambarkan kekagumannya pada Abu Dzar sebagai sosok religius dan revolusioner. Whenever I think about the wonderful life of Abu Dharr and I see his worship of God, I recall Pascal. Pascal says, "The heart has reasoning powers which the intellect does not attain. The heart bears witness to God's existence, not the intellect; faith comes in this way." Abu Dharr says, "In this unbounded existence, I have found signs by which I have been guided to God. There is no hope that the intellect will reach His Essence through discussion and analysis because He is greater than any of that, and there is no possibility of encompassing Him." Abu Dharr, just like Pascal, believed in God, knew God through the heart, and he had worshipped God for three years before he met the Prophet.33 (Setiap kali berpikir tentang kehidupan yang indah Abu Dzar dan ibadahnya kepada Tuhan, saya ingat Pascal. Pascal mengatakan, "Hati memiliki kekuatan penalaran yang intelek tidak bisa mencapainya. Hati menyaksikan keberadaan Tuhan, tidak dengan intelek; Iman datang dengan cara ini". Abu Dzar berkata, "Dalam keberadaan tak terbatas, aku telah menemukan tanda-tanda yang telah membimbing saya kepada Allah. Tidak mungkin intelek akan mencapai Dzat-Nya melalui diskusi dan analisis karena Dia lebih besar dari semua itu. Dan tidak ada kemungkinan menjangkau-Nya. " Abu Dzar, sebagaimana Pascal, percaya pada Tuhan, mengetahui Tuhan melalui hati, dan ia telah menyembah Allah selama tiga tahun sebelum ia bertemu Nabi). Ali Syari‟ati jelas seorang pengagum sosok Abu Dzar, dengan deskripsinya yang begitu mengagungkannya. Sisi positif yang dibanggakan dari sosok Abu Dzar adalah intelektualitasnya yang mumpuni dan keimanannya yang dalam. Deskripsi ini bertujuan memberikan contoh gambaran mengenai tipe manusia ideal yang dicita-citakan Ali Syari‟ati. Kekuatan akal dan hati berjalan selaras dalam satu pribadi membentuk citra kepribadian yang matang dan ideal. Dengan dua modal utama ini manusia 33
Ali Syari‟ati, “And Once Again Abu Dhar”, http://www.shariati.com/english/abudhar/abudhar1.html, diakses tanggal 1 Juni 2011.
dalam
55
memiliki kemampuan dan kapabilitas membentuk kehidupannya yang ideal, berdasarkan intelektualitas dan spiritualitas. When he was speaking of capitalism and the hoarding of wealth and he was strongly defending the wretched, and when he was turning against the aristocrats and the palace-dwellers of Damascus and Medina, he resembles an extreme socialist like Proudhon, but the truth is that Abu Dharr is one thing and Pascal and Proudhon are different. Abu Dharr knew God; from that day on, he never stopped upon God's Way; not for a moment did he weaken in thought or action. Neither does Proudhon have the purity, devotion and worship of Abu Dharr, nor does Pascal have his activity and enthusiasm. Abu Dharr had become a complete human being in the School of Islam, and this commentary alone is sufficient to demonstrate his greatness.34 (Ketika ia berbicara tentang kapitalisme dan penimbunan kekayaan, dia sangat mencegah kebatilan, dan ketika ia berbalik melawan kaum bangsawan dan penghuni istana Damaskus dan Madinah, ia mirip seorang sosialis ekstrem seperti Proudhon, tetapi kenyataannya, bahwa Abu Dzar adalah seseorang yang berbeda dengan Pascal dan Proudhon. Abu Dharr mengenal Tuhan; dari hari itu, dia tidak pernah berhenti pada Jalan Allah, bukan untuk sesaat dia mengendurkan pemikiran atau tindakan. Proudhon tidak memiliki kemurnian, pengabdian dan ibadah Abu Dzar, tidak juga dengan Pascal yang memiliki aktivitas dan antusiasme. Abu Dzar telah menjadi manusia lengkap di Sekolah Islam, dan komentar ini saja sudah cukup untuk menunjukkan kehebatannya). Penegasannya adalah bahwa Abu Dzar memiliki keunggulan daripada para pemikir progresif lainnya dalam keimanan. Keunggulan dalam aspek keimanan menjadi nilai lebih mengingat aspek keimanan termasuk modal utama. Sekedar bermodal intelektualitas saja belum cukup untuk bisa disebut sebagai intelektual yang tercerahkan. Namun lebih dari itu spiritualitas harus bisa menyeimbangkan. Tipe manusia ideal yang dicita-citakan Ali Syari‟ati adalah pribadi dengan kriteria tertentu yang dapat ditemukan dalam tiga kelompok masyarakat berikut.
34
Ali Syari‟ati, “And Once Again Abu Dhar”, http://www.shariati.com/english/abudhar/abudhar1.html, diakses tanggal 1 Juni 2011.
dalam
56
1. Orang yang sadar akan keadaan manusia di masanya, dan memahami realitas kesejarahannya, kemasyarakatannya, serta menerima rasa tanggung jawab sosial. Ia tidak harus berasal dari kalangan terpelajar. Para pelopor dalam revolusi dan gerakan ilmiah yang mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran untuk memberi arahan intelektual dan sosial kepada massa atau rakyat. 2. Para pemimpin yang mendorong terwujudnya pembenahan-pembenahan struktural yang mendasar di masa lampau sebagaimana dilakukan para Nabi besar pembawa agama. Mereka muncul dari kalangan rakyat jelata yang menciptakan semboyan-semboyan baru, memproyeksikan pandangan baru, melalui gerakan baru, dan melahirkan energi baru ke dalam jantung kesadaran masyarakat. gerakan mereka adalah gerakan revolusioner mendobrak, tetapi konstruktif. Dari masyarakat beku menjadi progresif, dan memiliki pandangan untuk menentukan nasibnya sendiri. 3. Golongan ilmuwan yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab untuk menghasilkan lompatan besar. Memiliki karakter dalam memahami situasi, menyebarkan gaya hidup moralitas dan anti status quo, konsumeristik, hedonistik, dan segala kebuntuan filosofis untuk mengubahnya menjadi masyarakat yang mampu memaknai moralitas hidup.35 Pola keagamaan manusia bagi Ali Syari‟ati tidak cukup pada urusan ritual ibadah vertikal. Agama adalah penuntun manusia dalam menjalankan kekhalifahannya dengan membangun masyarakat, yaitu pembebasan atas kaum yang tertindas karena praktek-praktek kotor para penguasa. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk otonom yang memiliki hak-hak dasar. Maka upaya emansipasi adalah merupakan proses penegakan hak-hak dasar kaum tertindas sebagai manusia yang memiliki kodrat kebebasan dan kemerdekaan.
35
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan, hlm. 87-88.
57
BAB IV IMPLIKASI HUMANISME MENURUT ALI SYARI’ATI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Suatu transisi besar dalam masyarakat yang menentukan arah pergerakan sejarah biasanya dimulai dari munculnya para pemikir yang melahirkan gagasan pemberontakan. Para pemikir ini menjadi representasi dari kegelisahan
massa
atas
lingkungannya.
Berbagai
ketimpangan
dan
ketidakjelasan masa depan menjadi cambuk bagi orang-orang tercerahkan yang sadar akan realitas untuk menyerukan sebuah perubahan. Pada akhirnya satusatunya kebenaran yang diakui adalah perubahan itu sendiri. 1 Pada pertengahan abad ke 20 muncul seorang pemikir “pemberontak” muslim yang lahir di tengah masyarakat Syi‟ah yang tengah resah, yaitu Ali Syari‟ati. Ketimpangan yang menjadi keresahannya adalah segenap patologi modernitas. Pada awalnya modernitas sendiri adalah sebuah gerakan pembaruan, muncul pertama kali pada abad 15 sebagai gerakan pembebasan atas hegemoni gereja. Turner memaknai modernitas sebagai proses luas rasionalisasi secara sosial, kultural, dan politik, yang mengusai dan mengatur dunia dengan etika penguasaan yang mencakup subordinasi diri, relasi-relasi sosial, dan alam, dengan sebuah program penguasaan dan pengaturan yang teliti.2 Namun kemudian modernisme itu sendiri membawa dampak hegemonik dan memperlebar sekat antar kelas ekonomi masyarakat dengan suburnya kapitalisme. Masyarakat dunia terbelah menjadi dua, borjuis dan proletar, menandai kasta masyarakat kelas atas dan kelas bawah. Hegemoni kelas borjuis atas proletar semakin kuat. Perkembangan
kapitalisme
telah
melahirkan
kolonialisme
dan
neokolonialisme yang deterministik. Kolonial menyetir kehidupan masyarakat 1
Listyono Santoso, “Patologi Humanisme (Modern): Dari Krisis Menuju „Kematian‟ Epistemologi Rasional”, dalam Jurnal Filsafat, (Jilid 3 No. 1, April/2003), hlm. 1. 2
Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 177.
58
menuju sistem pasar global yang dikehendakinya tanpa melihat bagaimana nasib masyarakat lokal. Akhirnya penindasan dalam kelas masyarakat tak terelakkan. Secara struktural masyarakat terjajah, dan secara kultural mereka mulai tercerabut dari akar budaya. Masyarakat di sekitar Ali Syari‟ati tak terkecuali ikut merasakan fenomena global ini. Ali Syari‟ati mengumandangkan pemikiran madzhab aksi dengan membawa nilai-nilai kemanusiaan sebagai landasan. Visi humanisasi bukanlah berhenti pada teorisasi dan perdebatan, melainkan emansipasi dan pembebasan yang berimplementasi dalam gerakan nyata. Bagi Syari‟ati, seorang pemikir harus menjadi agen perubahan. Perubahan itu akan terjadi dengan melakukan ideologisasi kritisisme pada masyarakat untuk bisa memandang realitas secara benar dan tidak mudah terhegemoni dengan kapitalisme Barat. Masyarakat adalah suatu entitas kemanusiaan yang memiliki otonomi dan berhak atas kemerdekaan sebagai nilai-nilai dasar kemanusiaan. Humanisme bukanlah ideologi yang berhenti pada dirinya sendiri. Gagasan-gagasannya tentang manusia berimplikasi panjang pada aspek lain, terutama pendidikan. Pemahaman akan nilai-nilai kemanusiaan akan sangat berpengaruh
pada
bagaimana
pendidikan
dilaksanakan.
Maka
untuk
membangun paradigma pendidikan yang ideal, perlu dilakukan kajian akan manusia dalam humanisme serta bagaimana konsep tentang manusia itu berimplikasi pada pendidikan. Implikasi ini awalnya tentang hakikat manusia itu sendiri dalam pendidikan, yaitu makhluk multidimensi yang memiliki potensi kesadaran religius. Pada akhirnya, muara dari penyelidikan kemanusiaan adalah melangsungkan gerakan ideologisasi pembebasan masyarakat melalui pendidikan humanis yang mencerahkan. Dalam pandangan Ali Syariati, manusia dipandang dari sudut pandang komprehensif, yaitu sudut ontologi, epistemologi dan aksiologi. Aspek ontologi membahas tentang hakikat eksistensi manusia di dunia dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam. Aspek epistemologi membahas tentang konsekuensi dari aspek ontologis mengenai bagaimana manusia meneguhkan dirinya sebagai manusia seutuhnya. Sedangkan aspek aksiologi membahas
59
tentang arah kehidupan manusia demi menjaga nilai-nilai yang dipegangnya. Dalam alur pemikiran filosofis secara umum, pemikiran Ali Syariati tentang humanisme dapat dipetakan dalam kerangka berikut. Aspek Ontologi
Nilai-nilai kemanusiaan Dalam dirinya Manusia memiliki dua dimensi yang saling tarik-menarik, yaitu dimensi fisik dan dimensi ruh. Dimensi fisik memungkinkan fungsionalisasi indera sebagai instrumen menangkap pengetahuan inderawi. Di dalam dimensi fisik terdapat karakter hewani yang menjadikan manusia juga memiliki sifat-sifat kebinatangan, yaitu nafsu. Sedangkan dimensi ruh memungkinkan fungsionalisasi akal sebagai alat kesadaran manusia guna menangkap pengetahuan yang noninderawi. Dimensi ini menjadikan manusia memiliki sifat ketuhanan, yaitu kesadaran.
Epistemologi
Dimensi paling hakiki dalam diri manusia adalah dimensi ruh. Dimensi ini berpangkal pada jiwa manusia yang merupakan pancaran
dari
cahaya
Tuhan.
Konsekuensi
manusia
seharusnya bisa mengoptimalkan potensi dalam diri manusia yang bersifat ruhiyah dengan mengedepankan akal daripada nafsu. Pembersihan diri dari hasrat nafsu dapat mendekatkan diri dengan hakikat tertinggi yaitu Tuhan sebagai tujuan hidup manusia. Aksiologi
Ali Syariati memaparkan pandangan dunia tauhid, bahwa tujuan hidup manusia adalah Tuhan. Pandangan dunia monoteistik ini merupakan bagian yang terpadu dengan kesadaran berketuhanan. Hidup manusia sejatinya adalah perjalanan evolutif mengarah pada hakikat tertinggi yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
60
A. Humanisme sebagai Dasar Paradigmatik Pendidikan Humanisme sebagai landasan pendidikan sejalan dengan pengertian pendidikan Islam sebagai segala upaya untuk mengembangkan fitrah dan potensi insaniyah manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. Konsepsi Ali Syari‟ati tentang multidimensi manusia menjadi panduan pokok dalam memaknai manusia seutuhnya yang hendak dibentuk melalui
pendidikan
Islam.
Dimensi pertama, fisik
(basyariyah), menuntut optimalisasi potensi kecakapan skill dalam setiap individu sebagai bekal kehidupannya di dunia. Sedangkan dimensi kedua, ruh (insaniyah) berimplikasi pada penekanan pendidikan kejiwaan sebagai upaya pendewasaan secara emosional dan pematangan spiritual sebagai bekal di dunia dan akhirat. Secara definitif pendidikan Islam diartikan sebagai segala upaya untuk mengembangkan fitrah dan potensi insaniyah manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. Konsepsi manusia seutuhnya secara umum dapat dipahami sebagai pribadi manusia yang beriman dan bertakwa serta memiliki kecakapan diri yang terwujud dalam kesalehan diri secara vertikal (hubungan dengan Allah swt) dan horizontal (hubungan dengan manusia dan alam). Prof. Achmadi membedakan pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam. Menurutnya, “pendidikan agama Islam ialah usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan (religiusitas) subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaranajaran Islam”.3 Definisi di atas menyiratkan cakupan yang berbeda antara pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam. Pendidikan Islam memiliki lingkup luas sebagai sebuah visi pengembangan segala potensi manusia dengan norma Islam sebagai batasannya, sedangkan pendidikan agama Islam dikhususkan pada upaya mengajarkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam. Pendidikan agama Islam yang fokus pada 3
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28-29.
61
internalisasi keilmuan Islam merupakan satu bagian dari keluasan pendidikan Islam yang mencakup semua bidang keilmuan secara integratif. Pendidikan dalam istilah Arab lebih pas dengan istilah tarbiyah (pendidikan) dan bukannya ta’limah (pengajaran). Lingkup tarbiyah lebih luas daripada ta’limah. Menurut Al-Baidhowi, pengertian pendidikan adalah sebagai berikut.
الرتبية هى تبليغ الشئ الىكماله شيئا فشيئا Pendidikan adalah usaha perlahan-lahan untuk mengembangakan sesuatu menuju kesempurnaannya.
Menurut H.A.R Tilaar, sebagaimana dikutip Jasa Ungguh Muliawan, pendidikan dalam arti umum dapat dibagi menjadi dua bentuk: pendidikan sebagai benda, dan pendidikan sebagai sebuah proses. 4 Pendidikan sebagai benda artinya menjadi obyek statis yang terstruktur dalam sistem tertentu dan diatur secara prosedural dan administratif. Wujud konkretnya bisa berupa lembaga pendidikan atau birokrat pendidikan. Sedangkan substansi pendidikan sebagai proses adalah “upaya untuk menjadi” menuju kesempurnaan. Pendidikan adalah proses pembudayaan yang berlangsung dalam kehidupan. Proses itu terjadi secara dinamis dalam masyarakat, karenanya dalam aspek ini masyarakat bisa juga disebut lembaga pendidikan. Lebih lanjut lagi, Muliawan memaparkan konsep pendidikan sebagai suatu proses tanpa henti dengan penjelasan berikut. Dengan demikian, pendidikan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengalami proses perubahan ke arah yang lebih baik. Apapun bentuknya, selama suatu konsep atas obyek yang diamati atau obyek itu sendiri mengalami “prose perbaikan” dalam arti perubahan ke arah yang lebih baik, maka obyek atau konsep tersebut berhak disebut sebagai pendidikan.5
4
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif; Upaya Mengitegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 9596. 5
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, hlm. 99.
62
Pendidikan Islam dalam prosesnya dimulai dari titik pemahaman atas penciptaan dasar manusia karena manusia adalah subyek utama dalam proses pendidikan. Dari kesadaran ini kemudian dirumuskan cita-cita pendidikan Islam yang berwawasan humanis. Relevansi humanisme bagi pendidikan bukanlah wacana baru. Pada dasarnya kedua entitas ini berbeda, jika humanisme berada pada tataran filosofis, maka pendidikan adalah sisi praksisnya. Bahkan lebih jauh lagi pendidikan dianggap sebagai upaya implementasi gagasan humanisme. Proses pendidikan yang langsung menyentuh individu memungkinkannya untuk itu. Tradisi gagasan humanisme sebagai landasan pendidikan sudah ditradisikan sejak abad Yunani Kuno. Namun secara utuh mewujud dalam bentuk kurikulum yang pakem pada abad pertengahan. Kurikulum liberal arts adalah formasi ideal pada masa itu. Kurikulum ini tidak saja mengedepankan aspek pikiran, namun juga perasaan dan kehendak. Ini erat kaitannya dengan pemahaman akan hakikat diri manusia yang terdiri dari beragam aspek.6 Pendidikan Islam berwawasan humanisme berangkat dari afirmasi akan kedaulatan manusia. Sebagai subyek yang memiliki kesadaran diri mengatur obyek-obyek di sekitarnya dan semua dilakukan semata-mata untuk kepentingan manusia. Sebagai makhluk yang berkehendak, manusia bebas dan otonom dalam bersikap. Namun kehendak bebas itu pun perlu diimbangi dengan tanggung jawab. Penekanan subjektivitas manusia dapat berdampak pada perilaku dominan dan eksploitatif terhadap alam sehingga menimbulkan krisis ekologis yang berdampak pada keseimbangan alam. Di sinilah pendidikan diartikan bukan semata-mata pada persoalan kedaulatan manusia, melainkan lebih jauh lagi menyangkut pula pada persoalan pembentukan tata nilai. Pendidikan Islam humanis tidak sekedar membawa manusia pada sikap yang semena-mena dan melakukan pembenaran atas apa yang dilakukan manusia. Bahkan dalam wacana kebebasan pun perlu adanya suatu sistem 6
Bambang Sugigarto, Humanisme dan Humaniora, Relevansinya Bagi Pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 63.
63
peraturan yang mengikat guna mempertahankan kelangsungan kehidupan yang harmonis. Maka tanggung jawab pendidikan adalah bagaimana agar dia benarbenar dilakukan untuk kepentingan manusia, yaitu menjaga eksistensinya.
B. Pembentukan Kesadaran Religius Aspek ketuhanan menjadi dimensi utama dalam diri manusia, di mana segala potensi pikir dan kesadaran manusia berorientasi pada pencarian realitas tertinggi. Secara personal, kesadaran religius menjadi modal membentuk pribadi yang utuh dengan mengoptimalkan segala potensi diri. Sedangkan dalam kehidupan sosial, dengan pembentukan kesadaran religius melalui pendidikan dapat terbentuk pribadi muslim yang dapat berpikir secara komprehensif guna menjawab persoalan yang mendera kehidupan masyarakat menuju kehidupan yang berkeadilan sosial. Secara global modernisme dijalankan dengan dasar rasionalisme Cartesian untuk membentuk masyarakat modern yang memandang dunia secara realistis tanpa elemen spiritual yang menggerakkan.7 Penyangkalan aspek spiritual merupakan bentuk pendangkalan atas pemahaman terhadap eksistensi manusia yang memiliki cetak dasar penciptaannya dengan membawa potensi kesadaran religius. Pandangan seperti ini tentu saja tidak mampu memahami manusia secara utuh yang berdampak pada pengesampingan aspek spiritualitas ini dalam pendidikan. 1. Religiusitas sebagai Potensi Dasar Penciptaan Merumuskan potensi dasar manusia terlebih dahulu perlu adanya penyelidikan tentang proses penciptaan manusia. Pada siklus penciptaan manusia, terdapat dua tahap krusial yang menjadi titik terpenting, yaitu proses fisik menuju kesempurnaan bentuk, dan proses ditiupkannya ruh dalam tubuh. Proses penciptaan fisik dapat dilihat dalam Q.S. AlMu‟minun ayat 12-14:
7
Listiyono Santoso, “Patologi Humanisme (Modern): Dari Krisis Menuju „Kematian‟ Epistemologi Rasional”, dalam Jurnal Filsafat (Jilid 33, Nomor 1, April/2003), hlm. 30.
64
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Selain proses penciptaan fisik yang disampaikan di atas, terrdapat pula penjelasan tentang penciptaan ruh dalam diri manusia sebagaimana disebutkan dalam Q.S. As-Sajdah ayat 8-9 berikut.
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. Dalam dua kutipan di atas terdapat penjelasan tentang satu siklus penciptaan manusia yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap menuju kesempurnaan fisik yang meliputi saripati tanah, air mani yang berdiam dalam rahim, segumpal darah, segumpal daging, tulang belulang, kemudian dibungkus dengan daging; dan dengan tahap kedua yaitu
65
ditiupkannya ruh sehingga terciptalah potensi pendengaran, penglihatan, dan hati (akal). Dua tahap penciptaan ini membantu kita dalam memahami eksistensi manusia di dunia. Eksistensinya memiliki dua substansi yang saling terkait, yaitu substansi jasad dan ruh. Kedua substansi ini menjadi dasar digagasnya pendidikan berbasis multidimensi. Namun terlepas dari itu, substansi paling esensial dalam diri manusia adalah substansi ruhnya, yang membentuk potensi inderawi dan kesadaran diri akan dirinya, alam, dan Tuhan. Substansi ruh kemudian melahirkan religiusitas dalam diri manusia. Itulah mengapa potensi keimanan disebutkan telah ada dalam diri setiap manusia sejak lahir, karena substansi utama dalam penciptaan manusia adalah jiwa manusia. Dalam jiwa telah terdapat potensi ketuhanan yang didapatnya sejak lahir.8 Potensi ini menjadi modal bagi manusia untuk mencari kebenaran Ilahiyah dalam hidupnya yang merupakan perjalanan panjang manusia menuju kebenaran hakiki.
2. Menciptakan Iklim Religius dalam Pendidikan Internalisasi nilai-nilai religius akan dapat dilakukan dengan optimal dengan menciptakan lingkungan dengan nuansa bagi anak didik. Ini tidak lepas dari hakikat pendidikan itu sendiri sebagai upaya sadar dan sistematis untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak didik dapat belajar dengan optimal. Iklim lingkungan pendidikan yang religius dapat membantu anak didik membiasakan dirinya dengan kehidupan religius dan membentuk kesadarannya berdasarkan nilai-nilai agama. Perlu dipahami bahwa religiusitas tidak selalu terkait dengan ajaran agama tertentu. Secara lahiriyah seseorang bisa menunjukkan ketaatannya pada ajaran agama. Namun implementasi ini masih sebatas pada dimensi fisik manusia. Inti religiusitas ada pada hati nurani secara personal yang 8
Achmad Mubarok, Sunnatullah dalam Jiwa Manusia, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), hlm. 31.
66
kemudian diimplementasikan secara lahiriyah. Artinya religiusitas mencakup dua dimensi manusia sekaligus, lahiriyah dan ruhaniyah. Penanaman kesadaran religius harus mencapai substansi paling dalam dari diri setiap manusia, yaitu dimensi ruhaniyah.9 Menurut Nur Ali, dkk sebagaimana dikutip oleh Muhaimin, internalisasi nilai-nilai religius di lingkungan pendidikan harus dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan pengalaman, yaitu memberikan pengalaman religius kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilainilai keagamaan; dan pendekatan pembiasaan, yakni memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya.10 Internalisasi nilai-nilai religius melalui pendidikan akan membuat manusia memegangnya secara teguh sebagai visi kehidupan. Dalam hal ini pendidikan memainkan perannya sebagai transfer of value. Peran ini lebih fokus pada pematangan aspek spiritualitas manusia. Dalam kapasitasnya sebagai hamba Tuhan, spiritualitas adalah modal utama untuk membentuk hamba yang taat pada segenap perintah-Nya. 3. Kesadaran religius sebagai filosofi pergerakan Religiusitas merupakan nilai-nilai yang paling utama dalam ajaran Islam. Kesadaran ketuhanan dan keimanan adalah pilar utama dalam sistem keyakinan keagamaan. Namun Islam dapat menunjukkan wajah yang beragam dalam kehidupan masyarakat. Kultur ekspresi keagamaan yang terbentuk di tengah masyarakat muslim tergantung pemikiran keagamaan yang berkembang. Menurut Ali Syari‟ati, Islam yang ideal adalah Islamnya Imam Husein, yang kesahidannya di Karbala menjadi sumber inspirasi utama pergerakan umat muslim melawan status quo yang tidak berpihak pada
9
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 288. 10
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, hlm. 300.
67
masyarakat bawah.11 Sejatinya, Islam yang humanis adalah Islam sebagai pergerakan memperjuangkan hak-hak rakyat, seperti hak kehidupan yang layak dan kebebasan bertindak tanpa merasakan resah dengan ancaman dari penguasa. Pergerakan itu sendiri pun seharusnya mengusung nilai religius di mana orientasinya adalah menegakkan nilai-nilai kesadaran ketuhanan dalam masyarakat. Pencitraan Islam sebagai agama progresif menuntut suatu gerakan nyata dalam mengimplementasikan agama dalam kehidupan sehari-hari. Ini selaras dengan hadits Nabi saw:
َّ أ- رضى اهلل عنهما- َع ْن َعْب ِد اللَِّه بْ ِن َع ْم ٍرو صلى اهلل عليه- َِّب َّ َِن َر ُجالً َسأ ََل الن ُّ أ- وسلم َّ ُ َوتَ ْقَرأ، َى ا ِإل ْسالَِم َخْي ٌر قَ َال تُطْعِ ُم الطَّ َع َام َ ْالسالَ َم َعلَى َم ْن َعَرف ْت َوَم ْن ََل ف ْ تَ ْع ِر Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW: 'Bagaimanakah Islam yang paling baik?' Nabi SAW menjawab: 'Memberi makan (orang-orang miskin), mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal.'" Hadits di atas jelas menekankan pentingnya pola keberagamaan yang mementingkan aspek sosial. Memberi makan orang miskin dan mengucapkan salam baik kepada orang yang dikenal maupun tidak, memberi tuntunan akan pentingnya pengentasan kemiskinan dan perdamaian sosial dengan siapa pun. Islam pergerakan ini sudah selayaknya menuntut seorang pemimpin pergerakan
yang
disebutnya
dengan
istilah
imam.
Sebagaimana
dikembangkan dalam tradisi syi‟ah, setiap generasi umat harus dipimpin oleh seorang imam. Konsep imam menurut Ali Syariati berbeda dengan khalifah. Jika khalifah adalah pemimpin politik struktural dalam suatu sistem kenegaraan, imam oleh Ali Syariati lebih dipandang dari sudut 11
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 61.
68
sosiologis. Imam adalah pemimpin ideologis umat yang hadir tanpa aklamasi atau pemilu. Pembuktian akan imam datang dari diri imam itu sendiri dengan membuktikan kapasitas keimamannya. Pengangkatannya dilakukan melalui wasiat nabi atau imam sebelumnya dengan tugas revolusioner guna membangun masyarakat dengan fondasi yang benar berdasarkan ajaran Islam Syi‟ah menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian.12 Namun di sini terdapat indikasi inkonsistensi dalam pemikiran Ali Syariati. Menurutnya kapasitas imamah dalam diri seseorang harus dibuktikan sendiri secara individual, dan legitimasi kepemimpinan didapatnya melalui pengakuan massa. Namun pengangkatannya yang melalui wasiat akan menimbulkan kerancuan. Wasiat tidak menjamin bahwa seorang imam akan mendapat pengakuan penuh dari umat. Tentu ini akan mengancam legitimasi kepemimpinan imam mengingat imam tidak memiliki legitimasi politis struktural. Pengakuan seharusnya benarbenar menjadi konvensi yang terbangun secara alami, dan bukannya wasiat. Dengan begitu seorang imam akan mendapat pengakuan penuh. Selain itu pemisahan antara imam dan khalifah berpotensi besar melahirkan sekularisme dalam tataran sistemik. Imam sebagai pemimpin religius dan revolusioner, menurut Ali Syariati, lebih ideal dibanding khalifah yang bertindak sebagai penguasa. Namun pemisahan wilayah otoritas keduanya seperti memisahkan urusan politik kenegaraan dan sosial keagamaan seperti yang dibangun di negara-negara sekuler. Padahal dengan tegas Ali Syariati menentang sekularisme. Pandangan Ali Syariati dalam aspek ini tentu akan sangat rancu jika dikonsumsi tanpa penelaahan yang lebih mendalam. Gagasan-gagasan ini perlu disorot secara lebih kritis untuk bisa melakukan koreksi dan penyempurnaan.
12
Nadirsyah, “Ketika Wasiat dan Syura Berganti Posisi: Beberapa Catatan Untuk Ali Syariati”, dalam Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 141.
69
C. Ideologisasi Pembebasan Kesenjangan sosial menjadi fenomena yang tak kunjung henti di tengah masyarakat modern, menandai semakin lebarnya sekat antar kelas masyarakat. Kaum kelas menengah ke bawah selalu menjadi pihak yang paling dirugikan dalam sistem masyarakat yang pincang. Maka proses humanisasi perlu dilakukan untuk mengangkat kembali martabat setiap anggota masyarakat untuk tercapainya kesetaraan sosial. Untuk itu perlu dilakukan ideologisasi menuju keberpihakan pada kaum tertindas untuk menyelamatkan mereka dari perlakuan yang tidak layak. Pendidikan Islam menjadi jalur utama ideologisasi visi pembebasan untuk membentuk watak generasi muda yang humanis. 1.
Pendidikan sebagai Ideologisasi Secara definitif ideologi dipakai untuk menunjukkan kelompok ideide yang teratur menangani bermacam-macam masalah politik, ekonomi dan sosial; asas haluan; pandangan hidup dunia. 13 Dalam hal ini Ali Syari‟ati mengartikan ideologi sebagai suatu keyakinan. Berasal dari kata ideo yang artinya pemikiran, konsep, gagasan, keyakinan; dan logi yang artinya logika atau ilmu. Ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita. Seorang ideologi berarti orang yang membela suatu keyakinan dan ideologisasi adalah proses penyampaian keyakinan.14 Ideologi berbeda dengan ilmu pengetahuan yang netral. Ideologi menuntut komitmen untuk memihak. Seorang ideologi diharapkan bersikap kritis kepada status quo dan memihak pada masyarakat bawah baik secara kultural, politik, maupun ekonomi. Hanya ideologi yang dapat melahirkan perubahan dalam masyarakat.15 Ali Syari‟ati menekankan pentingnya Islam sebagai ideologi, artinya memaknai Islam secara ideologis. Maka pendidikan Islam adalah 13
Burhan MS dan Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, (Jombang: Lintas Media, t.th.), hlm. 199. 14
Ali Syari‟ati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 157. 15
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi; Ideologi, Pemikiran dan Gerakan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 66-67.
70
upaya ideologisasi. Ideologisasi Islam melalui pendidikan menurut kepentingan dan sifatnya meliputi kepercayaan, pertanggungjawaban, keterlibatan dan komitmen.16 Pada awalnya ideologi tumbuh sebagai suatu kritik terhadap sistem budaya, ekonomi, dan politik menuju perubahan. Pendidikan menjadi proses internalisasi nilai-nilai tersebut secara sistematis dalam sebuah sistem terencana dan konstitusional. Term ideologisasi yang dikemukakan oleh Ali Syari‟ati berarti pembangunan pemikiran dengan prinsip keberpihakan pada rakyat sipil. Segala kegiatan intelektual, menurutnya adalah proses ideologisasi. Bahkan agama yang ideal baginya adalah agama sebagai ideologi. Seluruh sistem nilai yang dibangun dalam masyarakat hakikatnya adalah upaya memihak pada rakyat sipil dari terjangan tangan besi penguasa, baik pemerintahan yang korup maupun penetrasi kapitalisme Barat yang kolonialis.17 Progresivitas dan religiusitas adalah karakter utama ideologisasi Ali Syari‟ati. Yang perlu diingat adalah bahwa semangat yang mendasari gerakan intelektualnya adalah untuk kepentingan umat. Dia menekankan akan pentingnya pembangunan teori kemanusiaan yang realistis dan aplikatif. Terlepas dari segala teori, proses pendidikan sebagai proyek pencerahan sebenarnya telah dia tunjukkan sendiri ketika bertugas sebagai dosen di Universitas Masyhad. Artinya, yang dilakukannya adalah menjalankan proses pendidikan, bukannya menyosialisasikan teori pendidikan. Gerakannya dalam dunia pendidikan terekam jelas dalam alur sejarah kehidupannya, terutama ketika dia menunjukkan semangat progresifnya kepada para mahasiswanya di Universitas Masyhad.
16
Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami „Kemelut‟ Tokoh Pemberontak”, dalam Azyumardi Azra, dkk., Melawan Hegemoni Barat, Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 96. 17
Sarbini, Islam Islam di Tepian Revolusi, Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 66.
71
Ali Syari‟ati menyayangkan sistem pendidikan modern yang mendidik di dalam benteng-benteng yang terlindung dan tak tertembus. Begitu mereka masuk kembali ke dalam lingkungan masyarakat, mereka ditempatkan ke dalam kedudukan-kedudukan sosial yang sama sekali terpisah dari rakyat jelata. Maka kaum terpelajar itu bergerak dalam arah yang sama dengan masyarakat namun dia berada dalam sangkar emas kehidupan eksklusif. Mereka disibukkan dengan upaya mengejar kehidupan yang terpencil di atas menara gading tanpa memahami sama sekali keadaan masyarakat di lingkungannya. 18 Sikap demokratis jelas menjadi pilihan Ali Syari‟ati dalam proses pendidikannya dengan cara memberi stimulus kepada mahasiswanya untuk senantiasa berpikir kritis. Itu semua semata-mata ditujukan untuk membangkitkan kesadaran mereka atas realitas yang ada. Keadaan lingkungan selalu menuntut kesadaran kritis untuk bisa menghidupkan iklim dinamis dan senantiasa berkembang menuju keadaan yang lebih baik. 19 Sikap kritis menjadi modal utama dalam menyongsong sebuah era yang telah dijanjikan, yaitu kemenangan Islam sebagai sebuah kebenaran sejati, dengan jalan intidzar. Intidzar yang secara harfiyah berarti menunggu, oleh Ali Syari‟ati dimaknai dengan implementasi yang lebih aktif. Intidzar berarti penolakan atas keadaan yang ada dan berupaya mencari keadaan yang lebih baik. Orang-orang konservatif menjadi sasaran kritiknya karena dianggap tidak mau ber-intidzar dan takut menghadapi masa depan.20 2.
Intelektualisme Emansipatif
18
Ali Syari‟ati, Membangun Masa Depan Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1989),
hlm. 26. 19
Ali Rahnema, Ali Rahnema, Biografi Politik Intelektual Reolusioner, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), hlm. 275-276. 20
John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, terj., (Jakarta: CV. Rajawali, 1984),
hlm. 565.
72
Elemen terpenting dalam masyarakat bagi Ali Syari‟ati adalah kaum intelektual, karena merekalah yang dapat mengawal perubahan. Seorang cendekiawan dituntut untuk memahami ideologi dengan mendalam agar bisa melahirkan pemikiran yang progresif. Peran penting intelektual ini oleh Ali Syari‟ati dipaparkan dalam teori rausyan fikr (intelektual yang tercerahkan), yang dianggapnya sebagai potret manusia ideal. Intelektual yang tercerahkan adalah mereka yang sadar akan realitas sebagai tonggak pergerakan intelektualnya. Singkatnya, pendidikan dijalankan guna membentuk manusia yang tercerahkan (rausyan fikr) dan tugas rausyan fikr itu sendiri adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui pendidikan. Hubungan timbal balik antara individu dan masyarakat ini membentuk sebuah siklus keterkaitan erat antara realitas sosial dan tugas intelektual tercerahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Ali Syari‟ati membangun pemikiran humanisnya secara filosofis dengan realitas sosial sebagai referensinya. Maka humanisme bukan semata-mata teori humanisme, melainkan harus bisa menjadi modal humanisasi, dalam hal ini adalah semangat perjuangan emansipasi menegakkan
hak-hak
masyarakat
tertindas.
Ketertindasan
rakyat
menengah ke bawah tidak bisa lepas dari efek modernitas yang menimbulkan superioritas Barat atas belahan dunia lain, termasuk Iran. Kolonialisme membawa efek hegemoni yang dehumanis. Kesadaran akan realitas menjadi langkah awal yang dapat dibangun oleh pendidikan untuk melakukan transformasi sosial. Dalam konsep rausyan fikr tugas utama intelektual yang tercerahkan adalah mengawal transformasi sosial. Peran sentral kalangan ini menjadi bukti bagaimana pendidikan mencetak individu yang benar-benar kontributif bagi kepentingan publik. Secara ideologis, rausyan fikr memberi ruh dalam membangun ideologi pembebasan menentang status quo dan menyadarkan masyarakat akan keadaan sekitar. Menempatkan
manusia
di
tengah
masyarakatnya
menuntut
pendidikan lebih realistis dengan pendekatan problem solving. Pendekatan
73
ini berorientasi pada pengembangan kemampuan seseorang untuk memahami keadaan mereka secara kritis, melihat dunia sebagai realitas dinamis, dan sadar akan perubahan yang tengah berlangsung. Di samping itu, model pendidikan ini melatih individu untuk bersikap kritis terhadap kebohongan ideologis yang telah mengungkung masyarakat tertindas. Dalam alur utama pergerakan ini Ali Syari‟ati memanfaatkan dua kekuatan dalam setiap diri manusia, yaitu kekuatan akal (intelektualitas) dan kekuatan hati (spiritualitas) dalam memecahkan berbagai masalah sosial yang dihadapi kaum lemah. Dua kekuatan ini apabila dipadukan akan menjadi kekuatan yang luar biasa sehingga akan terjadi transformasi sosial yang sangat mendasar di bawah naungan al-Qur`an dan as-Sunnah. Pendidikan humanis dengan paradigma transformatif ini berangkat dari tugas dasar manusia mengemban amanat di dunia. Pendidikan tidak lain adalah upaya untuk menyukseskan tugas tersebut. Muhaimin, mengutip Al-Maraghi, mengemukakan beberapa macam amanah manusia sebagai berikut. a.
Amanat hamba kepada Tuhannya berupa kewajiban mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta menggunakan segala potensi dan kemampuannya untuk melakukan aktivitas yang dapat bermanfaat dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya.
b.
Amanat kepada sesama manusia, yakni menunaikan hak-hak individu orang lain, tidak melakukan penipuan dan bersikap arif dengan tidak mengumbar rahasia orang lain.
c.
Amanat manusia terhadap dirinya, yaitu berusaha melakukan hal-hal yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya untuk kepentingan agama
dan
dunianya;
dan
tidak
melakukan
hal-hal
yang
membahayakan jiwa dan agamanya. 21 Konsekuensinya adalah bahwa pendidikan tidak semata-mata berhenti pada pembentukan jati diri individu, namun lebih jauh lagi
21
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 20.
74
merancang visi pembangunan individu untuk kebaikan bersama dengan individu lainnya. Ini memungkinkan pendidikan berpengaruh pada transformasi masyarakat demi kemajuan peradaban.
D. Implementasi Praktis Sebagai upaya humanisasi, pendidikan Islam secara operasional dilakukan untuk dua tujuan. Pertama, proses emansipasi dari segala bentuk sistem dogmatis yang melumpuhkan kreativitas alamiah manusia. Dogmatisme di sini tidak identik dengan suatu agama atau ajaran keyakinan tertentu. Dalam tradisi Yunani, dogmatisme ini disebut sebagai mitos, atau suatu pernyataan tentang kebenaran yang tidak berdasar namun dipertahankan secara fanatis dan eksklusif. Kedua, proses transformasi diri dari sikap apatis dan fatalis menuju kesadaran kritis. Kesadaran kritis memungkinkan manusia menyadari apa yang tengah terjadi di lingkungannya serta apa yang sudah selayaknya dilakukannya. Dengan begitu manusia dapat mengembangkan dimensi individual sekaligus sosialnya secara seimbang.22 Dualitas eksistensi manusia sebagaimana diungkapkan Ali Syari‟ati menjadi dimensi utama manusia yang harus dikembangkan melalui pendidikan. Kapasitasnya sebagai individu otonom sekaligus anggota masyarakat menjadi dasar dari bagaimana pendidikan Islam dijalankan secara praktis. Implementasi humanisme dalam pendidikan Islam merupakan gagasan yang urgen mengingat vitalnya peran pendidikan dalam pembentukan individu dan pembangunan kebudayaan masyarakat. dalam konteks jalur pendidikan formal, Prof. Abdurrahman Mas‟ud menawarkan pola perubahan paradigmatik yang terbagi ke dalam berbagai aspek, yaitu aspek guru, aspek metode, aspek murid, aspek materi, dan aspek evaluasi.23 1. Aspek Guru
22
Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora, hlm. 343.
23
Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 193213.
75
Tanggung jawab
guru dalam
pendidikan humanis adalah
menyukseskan visi mencerdaskan masyarakat dan mempersiapkan anak didik yang bertanggung jawab dan mandiri. Proses pencerdasan ini harus dimulai dari kesadaran guru akan posisi anak didiknya sebagai manusia yang memiliki seperangkat potensi alamiah yang harus dihargai. Dalam praktiknya, guru harus memiliki kualifikasi dasar dalam menjalankan proses pendidikan, yaitu penguasaan terhadap materi, memiliki antusiasme dalam menjalankan tugasnya, dan bekerja berdasarkan cinta kasih terhadap sesama. Diharapkan peran guru bisa seefektif mungkin menjadi fasilitator bagi peserta didik dalam berproses. Seorang pendidik yang efektif, tidak hanya berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar secara formal pada jadwal pelajaran semata, melainkan harus dapat menjalin relasi individual, baik kepada peserta didik maupun kepada seluruh anggota komunitas sekolah sebagai proses pembelajaran nilai (transfer of value). Pendidikan humanis menekankan ciri pendidikan yang memandang penting kekhasan individu setiap peserta didik. Pribadi peserta didik akan dapat menginternalisasi nilai-nilai yang diajarkan manakala pendidik dapat menciptakan suasana persahabatan serta relasi pribadi yang efektif (personal relationship). Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada para peserta didik, namun merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuhkembangkan karakter dirinya secara optimal. Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun seseorang menghadirkan diri sedemikian sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuhkembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang.24
24
Theodore Suwariyanto, “Pendidikan Humanis, Pembelajaran Humanis”, dalam http://istpi.wordpress.com/2008/06/09/pendidikan-humanis-pembelajaran-humanis/, diakses tanggal 10 Mei 2011.
76
2. Aspek Metode Aspek metode di sini bukan berarti metode pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran kelas, melainkan mencakup keseluruhan proses pendidikan dalam melakukan perbaikan komprehensif dari semua elemen pendidikan sehingga membentuk iklim yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Metode humanis dalam pendidikan adalah metode yang mampu memberikan stimulus bagi peserta didik untuk terus belajar. Guru bukanlah kamus berjalan yang memberi jawaban pada setiap persoalan, melainkan pembimbing yang akan mengarahkan pada jalan yang tepat. Pepatah mengatakan “Berilah kail, jangan beri ikan”, artinya tidak selayaknya peserta didik dimanjakan dengan porsi materi yang siap telan, melainkan perlu didorong untuk berusaha sendiri mengejar apa yang dicita-citakan. Metode yang berwawasan humanis lebih menekankan pengembangan kreativitas penajaman hati nurani dan religiusitas, dan menekankan kepekaan sosialnya. T.B. Robert, sebagaimana disadur oleh Yuli Fajar, mengemukakan lima dimensi yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran humanis. a. Pilihan dan kendali diri Dalam hidupnya siswa dihadapkan dengan proses menetapkan tujuan dan membuat keputusan. Pendidikan humanistik memfasilitasi kemampuan tersebut dengan memberikan latihan mengambil keputusan terkait dengan tujuan sekolah maupun aktivitas harian. Siswa dapat dilatih melalui aktivitas kegiatan siswa dan belajar yang memungkinkannya memiliki pilihan dan kendali
dalam
merancang,
menetapkan
tujuan,
memutuskan,
dan
mempertanggung jawabkan keputusan yang telah dibuatnya. b. Memperhatikan minat dan perasaan siswa Kelas menjadi humanis
ketika kurikulum
dan pembelajaran
menunjukan perhatian pada minat dan perasaan siswa. Mengkaitkan materi pelajaran dengan minat, pengetahuan, dan pengalaman yang sudah dimiliki siswa dan meminta tanggapan siswa merupakan contoh aktivitas yang dinilai siswa memperhatikan minat mereka.
77
c. Manusia seutuhnya Perlu perubahan orientasi pembelajaran dan penilaian dari orientasi aspek kognitif menuju ke arah perhatian, penghormatan, dan penghargaan terhadap siswa sebagai manusia seutuhnya. Integrasi ketrampilan berpikir dengan kecakapan hidup yang lain sangat penting agar lebih efektif menjadi individu. d. Evaluasi diri Pendidikan humanistik bergerak dari evaluasi yang dikontrol guru menuju evaluasi yang dilakukan oleh siswa. Siswa perlu difalitasi untuk memantau kemajuan belajarnya sendiri baik melalui tes atau umpan balik dari orang lain. e. Guru sebagai fasilitator Guru perlu mengubah peran, yaitu berubah dari sebagai direktur belajar menjadi fasilitator atau penolong. Guru hendaknya lebih suportif daripada mengkritisi, lebih memahami daripada menilai, lebih real dan asli daripada berpura-pura. Jika keadaan tersebut dapat dilakukan maka akan berkembang hubungan menjadi resiprokal, yaitu guru sering menjadi pembelajar, dan siswa sering menolong dan mengajar juga. 25
3. Aspek Peserta Didik Penekanan pada aspek peserta didik tentu terletak pada diri masingmasing individu itu sendiri. Peserta didik adalah subyek utama pendidikan karena segala proses pendidikan berangkat dari kondisi riil peserta didik dan secara aktif peserta didik ikut menentukan arah dan corak pendidikan, sekaligus obyek pendidikan karena peserta didik menjadi sasaran dari segala upaya yang dilakukan dalam pendidikan.26 Posisi peserta didik sebagai subyek dan obyek pendidikan membawa konsekuensi tersendiri. Sebagai subyek pendidikan peserta didik perlu menata dirinya mulai niat dasar untuk belajar. Niat adalah modal awal agar proses
25
Yuli Fajar Susetyo, “Mengembangkan Perilaku Mengajar yang Humanis”, makalah, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2008), hlm. 2-3. 26
M. Slamet Yahya, “Pendidikan Islam dalam Pengembangan Potensi Manusia”, dalam Insania, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan (Vol. 12, Nomor 2, Mei-Agustus, 2000), hlm. 165.
78
pendidikan dapat dilalui dengan lancar dan optimal. Sedangkan sebagai obyek pendidikan, setiap pelaku pendidikan lain harus memperlakukan peserta didik sebagai elemen utama dalam pendidikan dengan memberi ruang kepada mereka untuk beraktualisasi diri. Humanisasi peserta didik pertama-tama adalah dengan sikap pengakuan atas orisinalitas individual yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Orisinalitas yang berupa potensipotensi dasar ini akan menjadi bekal perkembangannya jelang dewasa. 4. Aspek Materi Materi pendidikan secara terstruktur terangkum dalam kurikulum yang menjadi panduan dalam proses pendidikan, khususnya pendidikan formal. Kurikulum humanis selalu memperhatikan seluruh aspek kemanusiaan yang ada dalam diri setiap individu peserta didik. Multi potensi ini harus berakomodasi dalam materi yang diajarkan. Dengan begitu perkembangan peserta didik tidak akan timpang akibat penekanan berlebihan pada satu aspek saja. Optimalisasi semua potensi dapat membantu manusia menuju kedewasaannya secara lebih matang. Kurikulum juga memuat asas realistis untuk membawa pendidikan ke arah yang lebih konkret. Mengaitkan antara kurikulum dengan realitas sosial adalah strategi untuk menciptakan model pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. Kurikulum sengaja dibentuk untuk membaca realitas sosial. Kurikulum adalah “alat baca” dan panduan strategis bagi peserta didik untuk meneropong dunia sekitarnya. Sehingga, manakala mereka sudah selesai dari bangku sekolah formal, dengan hasil didikan yang diperolehnya selama ini maka itu bisa difungsikan untuk membaca realitas sekitarnya. Materi ajar dalam sebuah jenjang pendidikan tertentu menjadi beban belajar peserta didik. Beban yang berlebihan akan mempersempit ruang gerak peserta didik untuk melakukan kreasi dan pengembangan. Untuk itu materi ajar harus dikemas secara proporsional.
79
5. Aspek Evaluasi Evaluasi pada jalur pendidikan formal adalah bagian pokok dari keseluruhan proses pendidikan. Tahap ini dilakukan guna mengukur tingkat keberhasilan proses pendidikan selama kurun periode tertentu. Evaluasi sejauh ini dilakukan dengan berbagai cara tergantung capaian pada aspek mana yang hendak diukur. Yang masih menjadi catatan adalah penerapannya yang masih berlangsung satu arah. Penilaian hanya dilakukan atas kemampuan peserta didik tanpa memberinya kesempatan untuk melakukan umpan balik sebagai bahan evaluasi bagi pendidik. Akibatnya pendidik kurang bisa memahami atas apa yang menjadi kebutuhan bersama, termasuk alasan-alasan khusus manakala peserta didik menunjukkan hasil evaluasi yang kurang memuaskan. Dalam pandangan humanisme, setiap individu memiliki kesetaraan sama-sama sebagai bagian dari masyarakat. Baik pendidikan maupun peserta didik adalah entitas individual yang memiliki tanggung jawab vertikal dan horizontal, hanya saja secara horizontal posisi mereka berbeda yang berimplikasi pada tanggung jawab yang diembannya.
80
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Dari pembahasan bab satu sampai bab empat, dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin berikut. 1. Pemikiran humanisme Ali Syariati adalah gagasan yang orisinal karena tidak mengikuti begitu saja pada alur pemikiran Barat maupun Islam konvensional. Humanisme menurut Ali Syariati adalah gagasan tentang penyelidikan eksistensi manusia di dunia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran Tuhan. Kesadaran ini mutlak ada karena kapasitas manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi dasar religius. Religiusitas menandai kesempurnaan diri manusia yang memiliki dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi fisik dan dimensi ruh. Selain itu, religiusitas seorang muslim tidaklah cukup berhenti pada hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya. Sikap religius sebagai manusia yang tercerahkan harus bisa memberi kontribusi berarti bagi masyarakat sekitar demi perubahan sosial menuju peradaban masyarakat yang lebih baik. Perjuangan sosial inilah yang akan mengantarkan manusia pada realitas ketuhanannya yang hakiki. 2. Konsep humanisme Ali Syariati memiliki implikasi mendasar dalam landasan paradigmatik pendidikan Islam. Pendidikan Islam humanis dalam hal ini adalah pendidikan yang menghargai orisinalitas individu manusia, terutama dalam kodratnya sebagai hamba Allah (abdullah) dan wakil Allah di Bumi (khalifatullah). Pada hakikatnya pendidikan humanis adalah upaya untuk mematangkan potensi manusia menuju derajat rausyan fikr (intelektual yang tercerahkan) agar mampu menjadi agen perubahan membela kaum tertindas. Untuk itu pendidikan harus dibangun atas dasar realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
81
B. Saran 1. Semangat humanisme progresif hendaknya terus ditradisikan, terutama di kalangan kaum terpelajar agar mereka dapat memberi sumbangsih pada transformasi sosial kemasyarakatan. Paradigma progresif ini akan membekali kaum intelektual agar senantiasa menghormati nilai-nilai kemanusiaan dalam perjuangannya dan melihat kondisi masyarakat riil sebagai landasan pemikirannya. 2. Pendidikan Islam hendaknya dijalankan guna mengembangkan potensi dasar setiap individu dan memberikan ruang kepadanya untuk melakukan kreasi dan inovasi agar tercapai cita-cita membentuk manusia yang berkarakter dan berbudi luhur serta memiliki kesadaran berketuhanan. 3. Pendidikan Islam hendaknya dihadapkan pada realitas sosial kekinian agar kaum terpelajar mampu berpikir kritis dan sadar realitas. Pemikiran kritis dibutuhkan untuk menguak ketimpangan-ketimpangan sosial yang samar, dan sebagai modal untuk mencari solusi yang tepat dan terarah. Diharapkan mereka dapat membantu cita-cita menyongsong kehidupan yang sejahtera. 4. Penelitian-penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengeksplorasi lebih jauh lagi pemikiran tokoh Ali Syariati sebagai sosok yang sangat berpengaruh bagi perubahan masyarakatnya, karena sosok seperti inilah yang
sangat
dibutuhkan
bangsa
ini.
Gerakan-gerakan
religius-
progresifnya dapat menjadi inspirasi bagi para pejuang keadilan di Indonesia.
82
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abidin, Zainal, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000) Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) Al Asy‟ari, Faqih, “Ali Syari‟ati, Sang Arsitek Revolusi Iran”, dalam http://www.jelajahbudaya.com/kabar-budaya/ali-Syari’ati-sangarsitek-revolusi-iran.html, diakses tanggal 29 Mei 2010. Asfahana, Nor, “Makna Simbolik Ka‟bah (Kajian Terhadap Buku Haji Karya Ali Syari‟ati)”, skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah, 2008) Assyaukani, Luthfi, “Membaca Kembali Humanisme Islam”, Kuliah Umum: Memikirkan Kembali Humanisme, (Jakarta: Komunitas Salihara, 27 Juni 2009) Azra, Azyumardi, dkk., Melawan Hegemoni Barat; Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999) Dewa, Satria Pramoedya Punta, “Pemikiran Ali Syari‟ati tentang Pemerintahan Islam”, dalam http://selak.blogspot.com/2009/06/pemikiran-aliSyari’ati-tentang.html, diakses 15 Mei 2011. Esposito, John L., Islam dan Pembaharuan, terj., (Jakarta: CV. Rajawali, 1984) Insania, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan (Vol. 12, Nomor 2, MeiAgustus, 2000) Jurnal DISKURSUS (Vol. 8, April/2009) Leksono, Aris Adi, “Mustafa Kemal Ataturk dan Modernisasi Turki”, dalam http://www.pesantrennusantara.com/jendela-pesantren/114-mustafakemal-atarturk-dan-modernisasi-turki.html, diakses tanggal 1 April 2011. Martini, Iin, “Konsep Intelektual Menurut Ali Syari‟ati”, skripsi (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2007)
Mas‟ud, Abdurrahman, Menggagas Pendidikan Non-Dikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002) MS, Burhan dan Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, (Jombang: Lintas Media, t.th.) Mubarok, Achmad, Sunnatullah dalam Jiwa Manusia, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002) Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002) Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996) Muhmidayeli, Teori-teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pekanbaru: Program Pasca Sarjana UIN Suska Riau dan LSFK2P, 2007) Muliawan, Jasa Ungguh, Pendidikan Islam Integratif; Upaya Mengitegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007) Nugroho, Anjar, “Ideologisasi Islam: Jalan Menuju Revolusi (Pemikiran Ali Syari‟ati)”, dalam http://pemikiranIslam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-Syari’ati2/, diakses 15 Mei 2011 Nurjaman, Dadang, “Pemikiran Ali Syari‟ati”, dalam http://www.infodiknas.com/pemikiran-ali-Syari’ati-diajukan-untukmemenuhi-salah-satu-tugas-mata-kuliah-filsafat-Islam/, diakses tanggal 15 Mei 2011. Piliang, Yasraf Amir, Hiper-realitas Kebudayaan, (Yogyakarta: LKiS, 1999) Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual, terj., (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985) Rahnema, Ali, Ali Syari’ati; Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj., (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008)
Rustandi, Dudi, “Ali Syari‟ati, Sosok Aktivis Tangguh”, dalam http://politik.kompasiana.com/2009/12/1/ali-syari‟ati-sosok-aktivistangguh/, diakses tanggal 25 Mei 2011. Santoso, Listiyono, “Patologi Humanisme (Modern): Dari Krisis Menuju „Kematian‟ Epistemologi Rasional”, dalam Jurnal Filsafat (Jilid 33, Nomor 1, April/2003) Saragih, Khaiirul Azhar, “Pandangan Ali Syari‟ati Tentang Tanggung Jawab Sosial Intelektual Muslim (Perbandingan dengan Intelektual Muslim Indonesia)”, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, 2010) Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005) Sartre, Jean Paul, Eksistensialisme dan Humanisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) Subiyanto, Antonius, dalam http://niasmembangun.blog.com/2009/09/17/ konsep-humanisme-kebebasan-manusia/, diakses 11 Mei 2011 Sugiharto, Bambang, Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) Susetyo, Yuli Fajar, “Mengembangkan Perilaku Mengajar yang Humanis”, makalah, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2008) Suwariyanto, Theodore, “Pendidikan Humanis, Pembelajaran Humanis”, dalam http://istpi.wordpress.com/2008/06/09/pendidikan-humanispembelajaran-humanis/, diakses tanggal 10 Mei 2011. Syafi‟i, Memahami Teologi Syi’ah: Telaah atas Pemikiran Teologi Rasional Murtadha Muthahhari, (Semarang: RaSAIL, 2004) Syari‟ati Ali, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996) __________, Islam Agama Protes, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993) __________, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, terj., (Bandung: Penerbit Mizan, 1995) __________, Membangun Masa Depan Islam, (Bandung: Mizan, 1989)
__________, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) __________, “And Once Again Abu Dhar”, http://www.shariati.com/english/abudhar/abudhar1.html, tanggal 1 Juni 2011.
dalam diakses
__________, “Man and Islam”, dalam http://www.shariati.com/english/human.html, diakses tanggal 31 Mei 2011. Tawassuli, Ghulam Abbad, “Sepintas Tentang Ali Syari‟ati”, dalam Ali Syari‟ati, Humanisme Antara Islam dan Barat, Terj., (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996) Tjaya, Thomas Hidya, Humanisme dan Skolatisisme Sebuah Debat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004) Turner, Bryan S., Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002) Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004)
RIWAYAT HIDUP A. Identitas Diri 1. Nama Lengkap 2. Tempat & Tgl. Lahir 3. NIM 4. Alamat Rumah 5. No. Hp 6. Email B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal a. SDN 01 Tambakboyo b. MTs Darussalam c. MA Darussalam 2. Pendidikan Non-Formal a. Pon Pes Darussalam b. Pon Pes Darun Najah
: Quthfi Muarif : Batang, 30 November 1988 : 063111127 : Tambakboyo RT. 02 RW. 01 Reban, Batang, Jawa Tengah 51273 : 08995857884 :
[email protected]
1994-2000 2000-2003 2003-2006 2000-2006 2006-2008
C. Prestasi Akademik 1. Lulusan Terbaik SDN 01 Tambakboyo Tahun 2000 2. Lulusan Terbaik MA Darussalam Tahun 2006 D. Karya Ilmiah 1. Artikel berjudul “Martyrdom” dalam Majalah EDUKASI Edisi 42/Th. XVIII/Januari 2011 2. Artikel berjudul “Menggali Akar Visi Humanis Liberal Art Membentuk Manusia Berparadigma Holistik”, dalam Jurnal EDUKASI Volume VIII/Nomor 1/2011 Semarang, 9 Juni 2011
Quthfi Muarif NIM: 063111127