BAB III KONSEP ALI SYARI’ATI TENTANG RAUSYANFIKR
A. Latar Belakang Kehidupan Ali Syari’ati Ali Syari’ati adalah seorang intelek, ideolog dan pemikir revolusi Iran terkemuka. Dia lahir 23 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar Propinsi Khorasan, Iran. Desanya di tepi gurun pasir Dasht-I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran,1 dan meninggal 19 Juni 1977 di South Hamton, Inggris.2 Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi’ Syari’ati, seorang ulama terkenal di Iran adalah gurunya yang pertama, yang mendidiknya sendiri secara langsung sejak kecil. Tahun-tahun pembentukan pribadi dalam kehidupan Syari’ati yang dijalaninya bersama dengan ayahnya, meninggalkan bekas yang kuat pada pribadinya. Sebagaimana diungkapkan oleh dia sendiri: Bapak saya menciptakan dimensi-dimensi pertama batinku. Dialah yang pertama-tama mengajarkanku seni berfikir dan seni menjadi manusia … Dialah yang memperkenalkanku kepada sahabatnya, yaitu buku-bukunya, mereka adalah teman-temanku yang tetap dan akrab sejak tahun-tahun permulaanku belajar. Aku menjadi besar dan matang dalam perpustakaannya, yang baginya merupakan seluruh kehidupan dan keluarganya. Banyak hal yang sebetulnya baru akan kupelajari kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian pengalaman yang panjang harus ku bayar dengan usaha dan perjuangan yang lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanak-kanak dan remaja secara mudah spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya, bahkan bentuk sampulnya. Taramatlah cintaku akan ruang yang baik dan suci itu, bagian ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah, tetapi jauh.3 Sungguh, yang menjadi masalah baginya bukanlah hidup itu sendiri, melainkan bagaimana melangsungkannya dan apa tujuannya. Karena itulah sejak awal dia sudah bergulat untuk memberi bentuk dan arti bagi hidupnya. 1
Hadi Mulyo, Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama; Pandangan Ali Syari’ati, dalam M. Dawam Raharjo, (Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1987), hlm. 167. 2 Ali Rahmena, “Warisan Politik Ali Syari’ati”, dalam Ali Syari’ati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 12. 3 Ali Syari’ati, “Menjawab Beberapa Soal”, dalam John L Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam, (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 237.
29
30 Selain itu, dia pun menyadari benar betapa berat amanah yang diwarisi dari leluhurnya. Dia ingin memikul amanah itu sebaik-baiknya sampai ke tempat tujuan, sehingga sekejap dia tidak pernah menyia-nyiakan atau membiarkan waktunya berlalu tanpa manfaat dan hasil.4 Di bandingkan dengan teman-teman seusianya, Syari’ati memang beda. Di Sekolah Dasar, dia telah membaca buku Les Mise’ables karya Victor Hugo yang diterjemahkan ke bahasa Persia, buku tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great Philosophies terjemahan Ahmad Aram. Dia juga mempelajari karya Saddeq-e Hedayat, Novelis Iran beraliran nihilis, Nima Yousheej, bapak syair modern Iran, Akhavan Saless, penyair kontemporer Iran, dan Maurice Maeterlinck, penulis Belgia yang memadukan mistisme dengan simbolisme.5 Sementara itu, karya Arthur Schopenhauer dan Tranz Kafka juga dibacanya. Sehingga tidak heran bila Syari’ati memiliki dua perilaku yang berbeda. Dia pendiam, tidak mau diatur tapi rajin. Dia dipandang sebagai penyendiri, tidak punya kontak dengan dunia luar, karena itu dia tampak tidak bermasyarakat. Menurut teman sekelasnya, dia tidak banyak bergaul dengan teman sekelas, tidak bermain sepak bola, olah raga yang lazim untuk anak seusianya. Di kelas, dia selalu memandang ke luar jendela, tidak memperhatikan dunia sekelilingnya. Namun bila suasana hatinya sedang baik, Syari’ati menjadi ramah dan akrab, memperhatikan kepentingan orang lain dan menyenangkan. Dia menjadi anak bandel yang ikut kelompok pelajar di kelas yang mengolok-olok guru.6 Secara jujur, Syari’ati sendiri mengakui, bahwa ia mengalami krisis kepribadian antara tahun 1946-1950, ini berarti antara usia 13-17 tahun. Kesejukan, ketenangan, dan keyakinan akan eksistensi Tuhan yang dirasakannya berubah menjadi kegelisahan karena keraguan. Baginya, gagasan
4
Ali Syari’ati, On The Sociology of Islam, (Bandung: Mizan Press, 1979 ), hlm. 13. Ali Rahmena, op. cit., hlm. xiv. Lihat pula, Ahmed Nurullah, “Genesis: Dari Dentuman Besar ke Revolusi”, dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 233. 6 Ibid. 5
31 tentang eksistensi tanpa Tuhan sempat dirasa menakjubkan, sepi dan asing. Hidup dirasakannya suram, kering dan hampa. Ia merasa jauh terseret ke jalan buntu filosofis yang jalan keluarnya ia akui hanya bisa ditembus dengan cara bunuh diri atau gila. Bahkan pada suatu malam di musim dingin, ia berpikirpikir untuk bunuh diri di estakhr-e koohsangi yang romantis, di Masyhad.7 Maka, Pabila kau hidup hanya untuk dirimu sendiri Pabila kau ingin ada hanya untuk dirimu sendiri, Hanya sendiri Pabila kau hanya mau bergandengan dengan nol-nol Hidupmu akan berputar kembali menuju dirimu Sendiri persis sebuah nol8 Ali
Syari’ati
rupanya
tidak
ingin
terus
“berputar-putar
dan
menggelinding seperti nol”. Ia mungkin tidak mau mengikuti jejak Schopenhaner, Saddeq-e Hedayat, apalagi Sartre yang dikenalnya kemudian. Maka jika filsafat Barat sempat membuatnya linglung, kemudian ia merasa menemukan kesejukan, makna dan ketenangan hidup lewat Masnawi-nya Maulawi (Jalaluddin Rumi), gudang spiritual filsafat Timur. Baginya kata-kata dan pemikiran Maulawi dirasakan menyejukkan dan bahkan ia akui sebagai penyelamat
dari
kehancuran
spiritual.
Mistisisme
Maulawi
dirasa
meninggalkan kesan yang tidak terhapuskan pada diri Syari’ati muda. Kemudian Syari’ati menyebutkan mistisisme, bersama persamaan dan kemerdekaan, sebagai tamu historis utama dan dimensi fundamental manusia ideal.9
B. Perjalanan Intelektual dan Sosiohistoris Ali Syari’ati Sebagaimana anak-anak dan bocah sebayanya, Syari’ati melalui pendidikan dasar dan menengahnya dengan biasa-biasa saja. Pendidikan dasar dan menengahnya diperolehnya di Ibn-e Yasin Primary School dan Firdowsi
7
Ahmad Amrullah, Karangka Masalah Perguruan Tinggi Islam, Sebuah Ikhtiar Mencari Pula Alternatif Telaah Kasus IAIN dalam Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991, hlm. 234. 8 Ali Syari’ati, Islam Madzab dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 144. 9 Ahmad Amrullah, op. cit. hlm. 235.
32 Secondary School di Masyhad.10 Di sekolah, dia juga melalui ujian-ujian dan naik kelas sebagaimana layaknya murid-murid yang lain. Di tengah-tengah pendidikan seperti itu, Syari’ati dengan tekun belajar bahasa Arab dan ilmuilmu keagamaan. Sesudah menyelesaikan sekolah menengahnya, dia melanjutkan ke Akademi Pendidikan Guru, dan itu dilakukannya karena minatnya yang besar terhadap seni mengajar. Sejak saat itu, Ali Syari’ati memulai karirnya dengan menjadi seorang penulis, buku karangannya semisal al-Madzhab al-Wasith dalam filsafat sejarah dan penguasannya yang baik terhadap
bahasa
Arab
dan
Perancis
telah
memungkinkan
dirinya
menerjemahkan beberapa kitab dari kedua bahasa tersebut ke bahasa Persia, antara lain Abu Dzar al-Ghifari (dari bahasa Arab) dan al-Du’a (dari bahasa Perancis), di samping memberikan kata pengantar yang amat berbobot untuk dua buku terjemahnya tersebut, yang di dalamnya dia memaparkan pemikirannya yang objektif.11 Selain menulis, Syari’ati mulai pula menyampaikan berbagai ceramah dan kuliah di Markaz Nasyr al-Haqa’iq al-Islamiyyah di Masyhad yang didirikan oleh ayahnya. Markaz Nasyir al-Haqaiq al-Islamiyyah di Masyhad mempunyai andil besar dalam berbagai aktivitas yang terjadi di samping dekade tiga puluhan, dan berpengaruh terhadap kehidupan para praktisi dan kaum terpelajar. Lembaga ini memainkan peran yang sangat besar dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran Syari’ati, dan sebaliknya, Syari’ati pun memberikan saham yang sama besarnya pula dalam mengembangkan aktivitas-aktivitas lembaga ini, melainkan kuliah-kuliah dan pidato ilmiahnya, menjawab berbagai persoalan dan memimpin berbagai pertemuan yang diselenggarakan dalam berbagai kesempatan di lembaga ini.12 Pada waktu yang sama, dia
10
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 106. 11 Ghulam ‘Abbas Tawassuli, “Sepintas tentang Ali Syari’ati”, terj. Afif Muhammad, Humanisme; Antara Islam dan Madzhab Barat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 17. 12 Ibid.
33 terlibat dalam urusan politik, ia menggabungkan diri dengan kelompok oposisi pro Mosaddeq.13 Ketika berumur 23 tahun, dia masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad. Di sinilah Syari’ati untuk pertama kali masuk penjara selama 8 bulan sebagai akibat gerakan oposisinya melawan rezim, di bawah pimpinan Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) Cabang Masyhad.14 Setelah lulus dari Universitas Masyhad15 ia melanjutkan pendidikan tingginya ke Universitas Sorbonne, Perancis atas beasiswa pemerintah Iran. Di Sorbone inilah, ia menjalin hubungan secara pribadi dengan para intelektual terkemuka, seperti Louis Massignon, seorang Islamolog Perancis beragama Katholik, Jean Paul Sartre, seorang filsuf Eksistensialism “Che” Guevera, dan Jacques Bergue. Dia juga bertemu dengan Henri Bergson dan Albert Camus.16 Ali Syari’ati sangat tertarik untuk mempelajari studi keislaman dan sosiologi. Aliran sosiologi Prancis yang analitis dan kritis rupanya sangat berkesan padanya, namun meskipun pernah tertarik oleh sosiologi semacam ini, pandangan sosiologi Syari’ati adalah gabungan antara ide dan aksi. Pendekatan positivis terhadap masyarakat yang menganggap sosiologi sebagai ilmu
mutlak,
maupun
pendekatan
Marxis
murni
baginya
tidaklah
menyakinkan. Pendekatan-pendekatan tersebut tidak mampu memahami atau menganalisa kenyataan-kenyataan di dunia non industri, yang sering disebut sebagai dunia ketiga. Karena itu, Syari’ati terus mencari sosiologi yang bisa menafsirkan dan menganalisa kenyataan-kenyataan kehidupan rakyat yang berada di bawah tindakan imperialisme, yang akhirnya disetujui oleh kaum komunis Eropa, dalam perjuangan mereka merebut kembali martabat dan kemerdekaan.17
13
Ali Rahnema, op. cit.,hlm. 4. Ibid., hlm. 5. 15 Ada beberapa riwayat yang berbeda tentang kapan Syari’ati lulus sebagai sarjana. Dari satu riwayat, Syari’ati dikabarkan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1959. Lihat Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, op. cit., hlm. 106. 16 Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 8. 17 Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas; Sebuah Kajian Sosiologi Islam, (Jakarta: alHuda, 2001), hlm. 21. 14
34 George Gurvich, profesor sosiologi Universitas Sorbonne sangat berpengaruh pada diri Syari’ati, Syari’ati tidak terpengaruh hanya dari segi intelektualitas, tetapi juga pengorbanannya melawan ketidakadilan. Gurvich adalah seorang komunis yang membelot melawan kediktatoran Stali, fasisme dan penjajahan Perancis atas Aljazair. Kombinasi sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan melawan ketidakadilan ini sedikit banyak membentuk semangat intelektual yang juga aktivis politik revolusioner. Dari dia pula, Syari’ati menyerap pandangan tentang konstruksi sosiologi Marx, khususnya analisis tentang kelas sosial dan “truisme” (Itsar). Dari Jaegues Berque, Syari’ati menyerap wawasan sosiologi Islam, sedangkan dengan Fanon, ia sering berkorespondensi dan saling bertukar ide tentang peran Islam seputar tema anti kolonialisme.18 Syari’ati mengaku lebih banyak dipengaruhi oleh Massignon, George Gurvich, Jean Paul Sartre, dan Franz Fanon. Masa tinggal Syari’ati di Perancis bersamaan dengan bergolaknya revolusi di Aljazair yang ikut menyibukkan berbagai kekuatan politik di Perancis. Bahkan para pemikir dan para sosiolog pun dilanda perpecahan pendapat, ada yang memandangnya positif dan ada pula yang negatif terhadap nasib bangsa muslim yang selama satu abad penuh berada di bawah. Syari’ati pun menggali “kapak perang”nya dan menyatakan hidup atau mati dalam pengertian yang jelas kepada Perancis.19 Syari’ati menaruh perhatian yang sangat tinggi terhadap masalah Aljazair, sebab dia merasakan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan kaum muslim yang ada di negeri itu. Bahkan dia melihat dirinya berada bersama nasib yang saat itu sedang diperjuangkan rakyat Aljazair. Masalah penting yang harus dipecahkan di sini adalah persoalan keadilan terhadap tuntutan kaum muslim, baik yang berada di wilayah Arab maupun yang berada di negeri-negeri lainnya. Mereka mendukung perjuangan tersebut sebagai masalah mereka pula. Melalui komando Panglima Tertinggi Rakyat Aljazair, beribu-ribu mahasiswa muslim meninggalkan bangku kuliah mereka, 18
Ekky Malaky, Ali Syari’ati Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 16. 19 Ghulam ‘Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 20.
35 yang sebagian di antaranya adalah murid-murid Syari’ati yang duduk di semester akhir di Fakultas Teknik dan Kedokteran. Mereka bergabung dengan para pejuang Aljazair dan memikul tugas dan tanggung jawab yang beraneka macam dalam upaya melawan musuh dan membebaskan negeri mereka.20 Aktivitas-aktivitas teoritis yang disaksikan oleh negeri Aljazair di samping pengorbanan praktis, dibahas berbagai artikel yang dipublikasikan dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Menarik sekali ialah tulisan-tulisan dan buku-buku Franz Fanon. Sebagai warga negara Aljazair asal Martinique, sejak awal dia telah turut aktif dalam revolusi Aljazair dan telah menulis berbagai buku, seperti “Yang Terkutuk di Bumi” dan “Tahun Kelima Revolusi Aljazair”. Fanon ditemukan dan ditampilkan di kalangan cendekiawan Eropa oleh Jean Paul Sartre. Tetapi Syari’atilah sebenarnya yang pertama kali membahas karya-karyanya dalam artikel yang ditulisnya pada tahun 1962 untuk suatu jurnal sosio-politik yang diterbitkan oleh mahasiswa-mahasiswa Iran di Eropa. Menurut pendapat Syari’ati, bahwa buku “Yang Terkutuk di Bumi” mengandung analisis sosiologis dan psikologis mendalam tentang revolusi Aljazair. Buku ini diakui sebagai bingkisan intelektual yang berharga bagi mereka yang sedang memperjuangkan perubahan di Iran. Dengan menjelaskan teori-teori Fanon, yang tadinya hampir tidak dikenal sama sekali serta dengan menterjemahkan dan menerbitkan beberapa pokok pikirannya, Syari’ati telah mengumandangkan ide-ide Fanon di kalangan rakyat Iran.21 Ide-ide Fanon telah disajikan secara tepat oleh Syari’ati yang bersimpati penuh kepadanya dan benar-benar menjiwai kebenaran pendapat-pendapatnya. Akibatnya, Fanon jadi terkenal dan dihormati di Iran, sehingga tidak sedikit cendekiawan yang mempelajari dan menterjemahkan karyanya. Syari’ati juga memperkenalkan ide-ide para penulis revolusioner Afrika lainnya, termasuk Umar Uzgan, yang menulis “Perjuangan Utama” (Afdal elJihad), maupun beberapa penulis dan penyair non-muslim lain, karena dia 20 21
Ibid., hlm. 21. Ali Syari’ati, Paradigma …, op. cit., hlm. 22.
36 yakin bahwa ide-ide yang sedang berkembang diberbagai gerakan rakyat maupun gerakan Islamiyah di Afrika bisa mengilhami suatu “dinamisme intelektual” baru bagi perjuangan sosial dan politik muslim di Iran. Dia selalu menyarankan kepada teman-teman maupun murid-muridnya agar mereka memetik manfaat intelektual dari setiap gerakan atau perjuangan Islamiyah yang murni di zamannya.22 Dalam kajiannya terhadap pemikiran para ahli dan pakar asing di Eropa, dan hubungan pribadinya dengan sebagian di antara mereka. Syari’ati sama sekali
tidak
terpengaruh
oleh
pemikiran-pemikiran
negatif
mereka
(sebagaimana yang dialami oleh sebagian pemikir), bahkan dia berhasil melahirkan pemikiran baru yang konstruktif dan orisinil yang kemudian disosialisasikan kepada orang banyak. Syari’ati juga sering mengamati dan bergabung dengan Gerakan Pembebasan al-Jazair (The Algerian Liberation Movement). Ia bahkan mengorganisir sejumlah demonstrasi untuk mendukung pembebasan itu. Salah satu tulisannya, What Should We Learn Upon dimuat di sebuah majalah Perancis.Syari’ati juga berpartisipasi aktif dalam Gerakan Nasional Anti Syah di Eropa, yaitu Gerakan Pembebasan Iran (Liberation Movement of Iran) dan kemudian berkenalan dengan Ibrahim Yazdi, Shadiq Quthzadah, Abu alHasan Bani Shadr dan Mustafa Chamran, yang semuanya menjadi orang penting di Iran pada masa awal pemerintahan pasca revolusi Iran 1979.23 Dalam pergerakan di Perancis itu, Syari’ati menjadi redaktur jurnal Iran-e Azad (free Iran) yang baru didirikan organisasi itu. Dia juga menulis di jurnal Nameh-e Par, dan menyumbangkan revolusioner al-Jazair, al-Mujahid. Karena peduli dengan gerakan revolusi dunia ketiga itulah, Syari’ati akrab dengan pemikiran, seperti Franz Fanon (wafat 1961), Aime
Cesaire dan
Amilcar Cabral (wafat 1973). Bahkan dia sempat ditahan karena memberikan kuliah kepada para mahasiswa revolusioner Kongo. Satu sumber menyatakan bahwa, Syari’ati 22 23
Ali Syari’ati, On The Sociology …, op. cit., hlm. 23. Ekky Malaky, op. cit., hlm. 18.
37 ditahan di Paris karena aktivitasnya dalam gerakan pembebasan Aljazair dan dikirim ke City Prison.24 Keberadaan Syari’ati di Paris bersamaan pula dengan masa-masa munculnya kebangkitan baru dalam mengembangkan sayap-sayap kemajuan gerakan keagamaan di dalam negeri Iran. Tidak memakan waktu lama, muncullah gelombang gerakan kebebasan yang melanda Iran. Dan penguasapun segera melakukan penangkapan-penangkapan terhadap tokohtokoh gerakan kebebasan negeri ini. Sebagian di antara mereka ditembak mati, dan sebagian lagi dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa secara keji, yang ditujukan pula untuk menghancurkan gerakan nasionalis dan keagamaan, khususnya para tokoh gerakan kebebasan Iran.25 Dalam gerakan inilah, Syari’ati termasuk dan melibatkan diri, tanpa henti dia menulis dan memproklamirkan apa yang diyakininya sebagai suatu yang hak serta menganalisa gerakan Islamiyah yang telah terbentuk di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini. Sementara itu, sebagian besar penerbitan berbahasa Persia di luar negeri selalu saja bernada non agama, bahkan anti agama, sekalipun gerakan di dalam negeri Iran secara fundamental adalah Islamiyah dan seluruh asasnya adalah ideologi keagamaan progresif. Para intelektual Iran di luar negeri cenderung mengabaikan kenyataan sosial dalam negeri Iran serta hakikat perjuangan rakyatnya, karena maksud buruk, persekongkolan diam-diam ataupun kebodohan mereka.26 Setelah memperoleh gelar doktor, pada 196427 ia kembali ke Iran. Dalam perjalanan pulang ke Iran, ia ditangkap di perbatasan lalu dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan bahwa ketika sedang kuliah di Prancis ia telah terlibat dalam berbagai aktivitas politik. Setelah dibebaskan pada tahun 1965 ia mulai mengajar di Masyhad University. Sebagai seorang pakar
24
Ibid. 19 Ghulam ‘Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 23. 26 Ibid., hlm. 24. 27 Gelar doktornya masih menimbulkan pertanyaan, menurut pendapat umum ia memperoleh dua gelar doktor: dalam sosiologi dan filsafat sejarah Islam. Namun, disertasinya yang membahas filologi Persia abad pertengahan menarik untuk mempertimbangkan gelar doktornya. 25
38 sosiologi muslim, menurut prinsip-prinsip Islam, menjelaskan28 dan mendiskusikan prinsip-prinsip itu bersama para mahasiswanya. Dalam waktu singkat ia meraih popularitas di kalangan mahasiswa dan berbagai golongan sosial yang berbeda di Iran. Inilah yang dijadikan alasan oleh rezim penguasa untuk menghentikan kuliah-kuliahnya di Universitas.29 Pemecatan Syari’ati dari universitas Masyhad tidak menghentikan kegiatan-kegiatannya. Bahkan, kejadian itu memberinya kesempatan untuk memasuki panggung baru sebagai pemikir dan aktivis revolusioner. Ia kemudian pindah ke Teheran dan menjadi anggota dewan pengurus Husayniyah Irsyad.30 Dengan menjadikan Husayniyah Irsyad sebagai lembaga pengetahuan, penelitian dan dakwah Islam yang besar, Syari’ati berusaha mempersiapkan generasi muda Iran untuk pergolakan revolusioner. Ia mengajari mereka, bahwa Islam bukan hanya susunan kepercayaan yang religius, melainkan pula sebuah ideologi revolusioner yang lain bisa menentang segala bentuk pelanggaran dan gangguan Barat terhadap Iran.31 Syari’ati, dalam artian sepenuhnya adalah seorang penganut tauhid, seorang intelektual yang memiliki rasa tanggung jawab sosial yang mendalam. Tidak pernah sekejappun dia mengelakkan tanggung jawab. Dia telah membuktikan, sungguhpun kebodohan begitu meraja lela, bagaimana mengabdikan seluruh kehidupan, penelaahan, karya-karyanya dan bahkan keluarganya, bagi cita-cita dan penyampaian dakwahnya. Dia mencurahkan seluruh waktunya untuk jihad, perjuangan dan bimbingan, dengan harapan agar generasi muda yang belum pandai itu dapat terbebas dari kebimbangan dan kegelapan yang selama ini membelit mereka.32
28
Terutama dalam bentuk ceramah dan kemudian ditranskrip dan diedarkan kepada para mahasiswa. 29 Ali Syari’ati, Makna Haji, (Jakarta: Yayasan Fatimah, 2002), hlm. 231-232. 30 Semacam pesantren atau Islamic Centre. Lembaga ini didirikan atas prakarsa Murtadha Muthahari pada tahun 1964 dan atas biaya Humamah Humayun. Lihat, M. Deden Ridwan, 1999, hlm. 79. 31 Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami Kemelut Tokoh Pemberontak”, dalam M, Deden Ridwan (ed..), Melawan Hegemoni Barat, (Jakarta: Lentera, 1994), hlm. 82-83. 32 Ghulam ‘Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 26.
39 Tahun 1969 adalah masa-masanya yang paling produktif. Salah satu kuliahya di bulan Oktober 1968, diterbitkan dengan judul Ravisy-I Syinakh-I33 (Approaches to the understanding of Islam, Cara Memahami Islam). Pada tahun 1969 ini juga, otobiografinya berjudul Kavir (Padang Garam) diterbitkan. Sejarah telah mencatat bahwa perjalanan hidup Ali Syari’ati ditumpahkan dalam perjuangan menegakkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan serta melawan segala bentuk eksploitasi dan penindasan dengan menandaskan Islam sebagai basis ideologinya. Perjuangan itu tidak hanya diwujudkan dalam dataran intelektual, namun juga melalui perjuangan praksis.34 Ali Syari’ati hidup saat Iran digoncang oleh persoalan yang sangat rumit, Iran di bawah pemerintahan Syah Pahlavi telah menggerogoti budaya religius Islam yang mestinya punya tanggung jawab moral terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan kultural masyarakat. Upaya meniadakan daya hidup ini secara lebih khusus ditujukan kepada generasi muda. Para pemuda didorong ke jurang pengasingan diri (self alienation). Hal ini mengakibatkan peranan mereka dalam masyarakat sangat dangkal dan adakalanya menyimpang.35 Sementara itu para cendekiawan Iran yang berpendidikan sekuler, yang seharusnya dapat memberikan tuntutan praktis yang diperlukan oleh pemuda Iran, malah berpuas diri, egosentris dan asyik dengan materialisme ketimbang menanggapi kesulitan yang ada. Mereka enggan bergaul dengan pemuda dan rakyat Iran yang dianggapnya bertradisi primitif. Umumnya mereka tidak menghargai nilai-nilai tradisi mereka sendiri.36 33
Terdapat dalam kumpulan tulisan on the Sociology of Islam. Ada tiga aspek kegiatan Syari’ati waktu itu yang membedakannya dri orang lain, yaitu perjuangan intelektual, perjuangan praktis dan perjuangan untuk menanamkan sistem pendidikan yang benar. Ketiga bentuk kegiatan tersebut berorientasi kepada rakyat. Karena itulah ia tidak membiarkan dirinya terlibat total dalam pergolakan kegiatan politik mahasiswa. Karena dia mendambakan sesuatu yang lebih langgeng serta berharga untuk rakyatnya. Lihat, “Introduction: A Bibliograpical Sketch”, dalam Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam, (Berkeley: Mizan Press, 1979), hlm. 24. 35 Abdul Aziz Sechedina, “Ali Syari’ati Ideolog Revolusi Iran”, dalam John L. Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam, (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 234. 36 Ibid., hlm. 235. 34
40 Kondisi itulah yang mengakibatkan Syari’ati tidak bisa tidur nyenyak dan selalu ingin melakukan perubahan. Belum lagi rakyat Iran yang saat itu dalam cengkraman Barat yang hegemonik, baik dalam wilayah politik, ekonomi, pendidikan dan budaya. Pada saat yang bersamaan, mereka harus hidup di bawah pemerintahan Syah Pahlavi yang sentralistik, diktator, menindas serta semua tatanan kehidupan menjiplak gaya Barat.37 Ketika Syah Iran hendak mengadakan pesta megah 2500 kerajaan Persia, dalam rangka tahun baru Iran (Naruz), Syari’ati bercerita tentang 5000 tahun penindasan di Iran. Pada 13 November 1971, ia melancarkan pidatonya yang terkenal “Tanggung Jawab Seorang Syi’ah”, yang berisi agitasi militan dan revolusioner untuk mengajak mahasiswa-mahasiswanya meruntuhkan rezim Syah. Syari’ati juga secara terang-terangan mengkritik ulama resmi yang disebutnya sebagai “Borjuasi Kecil” bahkan lebih pedas ia mencemooh mereka “sebagai anjing dan keledai”38 menurutnya, banyak ulama yang berpandangan sangat picik yang hanya bisa mengulang-ulang doktrin Fiqh secara bodoh.39 Karena kekritisannya, Syari’ati akhirnya dianggap pemerintah Syah sebagai “srigala ganas” yang harus disingkirkan dan dimusnahkan. Ia pun difitnah sebagai seorang “marxisme” dan kemudian dipenjarakan pada tahun 1973.40 Karena desakan masyarakat Iran dan juga protes dari dunia internasional41, pada 20 Maret 1975, terpaksa Syari’ati dibebaskan. Walaupun dibebaskan, ia tetap diawasi dengan ketat. Menyadari dirinya diawasi dan dibatasi serta tidak bisa berkembang di Iran, Syari’ati pergi ke London, 37
Dalam pandangan Syari’ati, bahwa rakyat dunia ketiga (terjajah) selalu diremehkan negara Barat, dilempar ke suatu ras dan kebudayaan yang inferior. Rakyat terjajah seringkali terpaksa meniru-niru sopan, santun, cara hidup dan kebiasaan-kebiasaan Barat, sehingga nampak lebih mirip dengan anak-anaknya dari pada menjadi bangsa sendiri. Lihat, Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 168. 38 Ahmad Amrullah, op. cit., hlm. 237. 39 Azyumardi Azra, “Akar-akar Ideologi Revolusi Iran: Filsafat Pergerakan Ali Syari’ati”, dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 65. 40 John L Esposito, Islam dan Negera; Dinamika Kebangkitan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 119. 41 Dari berbagai intelektual, antara lain di Persia dan Aljazair, bahkan Menlu Aljazair Abdul Aziz Bouteflika pada pertemuan OPEC di Aljazair meminta pembebasan Syari’ati.
41 Inggris. Tetapi pada 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di South Hamton, Inggris. Pemerintah Iran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran.42 Syari’ati lalu dikuburkan di Damaskus, Suriah, bersebelahan dengan makam Zainab, cucu Nabi dan Saudara perempuan Imam ketiga, Husain bin Ali, pada 27 Juni 1977. Upacara pemakamannya dipimpin oleh Musa al-Sadr pemimpin Syi’ah Lebanon. Kematiannya menjadi mitos “Islam militan”, popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Pebruari 1979. saat itu, fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran, berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.43
C. Karya dan Ide Ali Syari’ati Banyak karya dan pemikiran yang telah Syari’ati wariskan kepada generasi muda. Karya dan pemikiran Syari’ati itu berupa rekaman ceramahceramah, catatan-catatan kuliah, buku-buku serta berbagai artikel yang telah berkali-kali dicetak ulang atau diperbanyak dalam edisi sepuluh ribuan kopi atau lebih. Karya dan pemikirannya sangat menarik perhatian angkatan muda Iran dan sangat mendalam pengaruhnya, sehingga tidaklah mudah untuk menghapusnya begitu saja dari ingatan dan hati mereka. Semua tulisan dan pemikiran Syari’ati bersumber dari kejujuran dan keimanan terhadap apa yang dipandangnya bisa diterima oleh masyarakat banyak. Syari’ati jarang menulis sebuah buku utuh. Dari tulisan yang sengaja dibuat untuk sebuah buku utuh, bisa disebut di antaranya Kavir44 (The Salt Desert) dan Hajj. Karena jarang sekali menulis buku utuh, maka tidak heran
42
Ali Rahmena, “Warisan Politik ..., op. cit., hlm. Xii. Riza Sih Budi, “Posisi Ali Syari’ati dalam Revolusi Islam Iran” dalam Melawan Hegemoni Barat; Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Bandung: Lentera, t.th.), hlm. 105. 44 Semacam otobiografinya, sebagian petikannya bisa dibaca di On the Sociology of Islam. 43
42 bila kita temui buku Syari’ati dengan judul yang berbeda, tetapi sesungguhnya memuat tulisan-tulisan yang sama. Di Husayniah Irshad, Syari’ati memberikan banyak kuliah. Kuliahkuliahnya yang bertema “Sejarah Islam” dikumpulkan dan diterbitkan dalam judul Islam Syinasi (Islamologi). Sedangkan kuliah yang bertema Peradaban Dunia diterbitkan dengan judul Tarikh-e Tamaddun (The History of Civilization). Buku lainnya yang menarik adalah Hajj. Syari’ati menafsirkan haji secara filosofis dan mendalam berbeda dengan penafsiran para ulama konvensional. Baginya, haji adalah perjalanan eksistensial evolusi manusia menuju Allah, sebuah proses manusia untuk menjadi (becoming) “manusia sempurna”, sebuah contoh simbolis dari filsafat penciptaan Adam. Haji mengandung makna “penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi Islam dan umat”. Dalam kata pengantarnya, Steven Benson menyebut buku ini sebagai a mystical handbook for revolutionaries dan juga hasil kombinasi mistisisme dengan kesadaran sosial dan kebebasan individu yang membuat seorang muslim mampu secara penuh berpartisipasi dalam dunia modern.45 Pemikiran Syari’ati yang sarat dengan filsafat dan etika adalah Man and Islam dan Marxim and Other Western Fallacies. Kedua buku ini kurang lebih adalah representatif dari sistem pemikiran Syari’ati yang berkaitan dengan filsafat dan etika. Karya Syari’ati yang merupakan catatan-catatan kuliah di antaranya Husain, Pewaris Adam; Ali, Ajaran Tauhid dan Keadilan; Menanti Agama Protes; Ummah dan Imamah; Syi’ah Alawi dan Syi’ah Safawi; Abu Dzar alGhoffari; Salman Syahid; Pertanggungjawaban Penganut Syi’ah. Tulisan Syari’ati di atas mengumandangkan pembelaannya terhadap kebenaran Islam.46
45
Mun’im A Sirry, Drama Kolosal Haji: Membangun Pandangan dunia Monoteistik, dalam “Melawan Hegemoni” op. cit., hlm. 162. 46 Islam yang dimaksud Ali Syari’ati tentunya Islamnya Abu Dzar Islam yang revolusioner yang mengajarkan tanggung jawab dan kesadaran.
43 Karya pikir Syari’ati lainnya adalah tentang sosiologi syirik yang merupakan analisa realitas dan kritis tentang masyarakat dewasa ini. Dalam hubungan ini dia membahas peranan berbagai kelompok dan strata masyarakat, terutama golongan intelektual, tentang aneka ideologi dan aliran pemikiran di dunia dan tentang peran berbagai peradaban serta kebudayaan, yang kesemuanya tidak didasarkan atas tauhid. Menurut pendapatnya, manusia dewasa ini, tanpa tauhid pada hakikatnya mengalami alinasi dan bahwa ilmunya tanpa hati nurani, menjadi semacam neo-skolastisisme, sedangkan mereka berisikap sok dan pura-pura menggeser kedudukan intelektual sejati. Ditinjau dari sudut pandang sosiologis, boleh dikatakan tidak banyak sarjana Iran yang telah meneliti kenyataan masyarakat Islam dewasa ini dengan kaca mata realisme yang mendalam seperti halnya Syari’ati. Bagi Syari’ati, bahwa yang terpenting bukanlah konsep-konsep yang abstrak, melainkan realitas yang ada, nilai-nilai, cara-cara tingkah laku serta struktur-struktur ide dan kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat Islam.47 Sedangkan karya Syari’ati yang berbentuk tulisan yang lain adalah al‘Ilm wa al-Madaris al-Jadidah (Ilmu Pengetahuan dan Isme-isme Modern), al-Insan al-Gharib ‘an Nafsih (Manusia yang Tidak Mengenal Dirinya Sendiri), ‘Ilm al-Ijtima’ Hawl al-Syirik (Sosiologi Kemusyrikan), alMutsaqqah wa Mas’uliyyatuh fi al-Mujtama’ (Tanggung Jawab Kaum Cendekiawan
di
Masyarakat),
al-Wujudiyyah
wa
al-Firaqh
al-Fikri
(Eksistensialisme dan Kekosongan Pemikiran).48 Syari’ati memang mempunyai semangat intelektual yang tinggi. Ketika di Paris maupun di Masyhad, ia banyak menerjemahkan karya para penulis dunia. Di antaranya adalah The Wrethed of the Earth karya Fanon, Niyayesh (La Piere) karya Alexis Carrel, Paris 1338/1960, Guerilla Warfare karya Che Guerara, What is Poetry? Karya Jean Paul Sartre, Salman Park, Louis
47 48
Ali Syari’ati, Paradigma …, op. cit., hlm. 28. Ghulam ‘Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 30.
44 Massignon, Masyhad, 1965.49 Di satu sisi, Syari’ati juga menghargai dan mencintai seni, cinta akan seni itu dituangkannya dalam bentuk puisi.50 Karya Syari’ati yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga banyak, baik berupa terjemahan murni, maupun telah mengalami saduran, di antaranya adalah: Pertama, Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam, diterbitkan oleh Mizan Bandung (cet IV, 1992). Buku yang kata pengantarnya adalah Jalaluddin Rahmat ini diterjemahkan dari berbagai buku berbahasa Inggris karya Ali Syari’ati yang diterbitkan oleh Free Islamic Literature Inc. Kedua, Membangun Masa Depan Islam, Pesan untuk Para Intelektual Muslim, diterbitkan oleh penerbit Mizan Bandung (cet II, 1989). Buku yang kata pengantarnya oleh John L Esposito ini diterjemahkan dari buku berbahasa Inggris karya Ali Syari’ati yaitu What is to be Done; The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance, terbitan IRIS, Houston, 1989. Ketiga, Paradigma Kaum Tertindas, diterbitkan oleh al-Huda, Jakarta. Buku ini terjemahan dari karya Syari’ati, On the Sociology of Islam dan The Visage of Muhammad. Buku ini diawali dengan menampilkan sketsa bibliografis Ali Syari’ati yang ditulis oleh sahabat karibnya. Keempat, Tugas Cendekiawan Muslim. Buku ini diterjemahkan dari kuliah-kuliah Ali Syari’ati, edisi bahasa Inggris berjudul Man and Islam (Iran, University of Masyhad, 1982) edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh M.Amin Rais dan diterbitkan oleh Rajawali Press (cet. IV, 1994). Kelima, Pemimpin Mustadh’afin yang diterbitkan oleh Muthahari Paperbacks, Maret 2001. buku ini disadur ulang dari beberapa buku karya Ali Syari’ati. Keenam, Humanisme; Antara Islam dan Madzhab Barat, yang diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung (cet. II, 1996). Buku ini
49
Islam Agama Protes, op. cit., hlm. 8. Syari’ati menulis puisi dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul One Followed by Eternity of Zeroes serta diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Afif Muhammad menjadi Salah Satu Diikuti oleh Nol-nol yang Tiada Habis-habisnya, yang dimuat bersama larangan Ali Syari’ai, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi oleh Penerbit Mizan. 50
45 diterjemahkan dari buku al-Insan, al-Islam wa Madaris al-Gharb karya Ali Syari’ati, terbitan Dar al-Shahf li al-Nasyr. Ketujuh, Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir – Barat Lainnya, Mizan Bandung (cet. II, 1988). Buku yang diberi kata pengantar M. Dawam Raharjo ini diterjemahkan dari Marxisme and Other Western Fallacies karya Ali Syari’ati. Kedelapan, Islam Agama Protes, diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung (cet. II, 1996). Buku ini diterjemahkan dari beberapa karya Ali Syari’ati: A Glance at Tomorrow’s History, A Waiting The Religion of Protes dan An Approach to Understanding of Islam. Kesembilan, Makna Haji, diterbitkan oleh yayasan Fatimah Jakarta (cet. II, 2002). Buku ini merupakan terjemahan dari Hajj karya Ali Syari’ati. Kesepuluh, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi. Diterbitkan oleh Mizan Bandung (cet. II, 1992). Dan masih banyak lagi terjemahan karya Ali Syari’ati yang lain. Begitu banyak karya yang telah dihasilkan oleh Syari’ati. Pemikiranpemikirannya sangat berlian dan revolusioner serta berpihak pada keadilan. Ia menentang “status quo” dan penindasan, serta menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan. Dan ini tentunya bukan pendidikan konvensional formalnya, termasuk pendidikan tinggi di luar negerinya. Kegemarannya untuk belajar, membaca, berfikir, kreativitas dan tanggung jawab yang berasal dari keislamannya yang teguh yang telah membuatnya demikian. Begitupun lingkungan pertamanya yang selalu menuntunnya serta persinggungannya dengan para pemikir dunia sewaktu di Paris juga tidak bisa dilupakan. Termasuk pula di Husayyniyah Irshad di Masyhad juga punya andil besar terhadap kesuksesan Syari’ati. Lebih-lebih kondisi bangsa dan masyarakatnya yang menuntunnya untuk bangkit, berkarya dan sekaligus beraksi. Kendati syari’ati mewarnai pandangan atau pemikirannya dengan seruan untuk perpegang pada agama (Islam). Namun tulisan-tulisannya memuat epistemologi, dasar-dasar filsafat dan sejarah, serta prinsip-prinsip
46 sosiologi dalam bentuknya yang sangat jelas, yang didukung oleh usaha mengembangkan dialetika secara konsisten.51 Ide dasar pemikiran dan perjuangan Syari’ati adalah pembebasan manusia dari himpitan kekuatan ketidakadilan, baik dalam sistem sosial politik maupun sosial budaya.52 Syari’ati menempatkan Islam sebagai sebuah ideologi revolusioner yang bisa dipraktekkan dan membebaskan.53 Dan untuk keperluan ini, Syari’ati menempatkan pandangan dunia tauhid sebagai landasan dasar dan pokok dari seluruh pemikirannya. Syari’ati senantiasa berpegang pada realitas dan menghindari pemikiran abstrak. Dia adalah seorang sosiolog yang realistis dan komit. Dengan pandangan serta pemikiran Islamiyahnya yang khas dia berhasil mempelajari masyarakatnya sendiri, melampaui sosiologi positivis maupun Marxis. Dan dengan menggunakan metode historis dan religius yang mendalam dia telah menambahkan dimensi-dimensi baru pada sosiologi Islam. Dia telah membuat suatu analisa realistis dan kritik sosiologis mengenai dimensi statis masyarakat, susunan tingkah laku, nilai serta kepercayaan berbagai kelompok religius maupun kelompok non-religius dewasa ini. Begitupun mengenai dimensi dinamisnya, yakni perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan historis yang dihayati oleh umat Islam dan masyarakat Iran dalam berbagai era. Menurutnya, ilmu seperti sosiologi tidak pernah netral dan dia tidak bisa menerima pendapat bahwa seorang sosiolog hanya sekedar mengamati masyarakat. Apalagi sekarang ini umumnya konsep netralitas ilmu telah kehilangan arti, sehingga tugas sekedar observasi dan deskripsi telah berganti dengan komitmen dan partisipasi sosial. 51
Ghulam Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 27. Tim IAIN Syarif Hidayatullah, op. cit., hlm. 107. 53 Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi yang bisa dipraktekkan, Syari’ati menyajikan secara detail tahapan-tahapan ideologi, berkenaan dengan cara memahami dan menerima Tuhan, mengevaluasi segala sesuatu, ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kognitif masyarakat, serta metode praktis untuk merubah “status quo”. Tahap pertama, adalah penyadaran diri, pada tahap ini, Syari’ati memulai dari pertanyaan mendasar tentang kedudukan manusia berhubungan dengan Tuhan, dan alam semesta. Untuk menjawab pertanyaan itu, ia meletakkan terlebih dahulu pandangan dunia tauhid sebagai pandangan dasar. Tahap kedua, mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial dan mental. Lihat, M. Nafis, op. cit., hlm. 85. 52
47 Karena itu, tepatlah bila karya-karya seru ide-ide Syari’ati kita pelajari dari sudut pandang sosiologi. Dia telah meletakkan dasar-dasar sosiologi Islam yang benar dan multifalset. Dan yang penting bagi kita adalah bahwa dia telah mempelajari sejarah, filsafat dan semuanya dalam kerangka pandangan hidup tauhid. Dengan demikian tauhid menjadi landasan intelektual ideologis, baik untuk filsafat sejarah, mengenai nasib umat manusia dan masyarakat di masa silam, begitupun untuk meramalkan keadaan mereka di masa mendatang.54 Syari’ati menyatakan tauhid sebagai pandangan dunia. Menurutnya bahwa tauhid bukanlah pemahaman monoteisme sebagaimana yang dimengerti umat Islam pada umumnya. Tauhid versi Syari’ati memandang seluruh alam semesta sebagai satu kesatuan, tidak terbagi atas dikotomi alamiah, supra alamiah, dunia kini-nanti, jiwa raga dan sebagainya. Jadi, pandangan ini memandang seluruh eksistensi sebagai suatu bentuk tunggal, sebagai suatu organisme tunggal yang harmonis dan mempunyai tujuan, yang hidup dan memiliki kesadaran, cipta, rasa dan karsa. Tauhid adalah suatu pandangan hidup tentang kesatuan universal, kesatuan antara tiga hipositas yang terpisah, Allah, alam dan manusia karena ketiganya bersama asal.55 Kesemuanya mempunyai arah yang sama, kehendak yang sama, ruh yang sama, gerak yang sama serta hidup yang sama pula. Hubungan antara manusia, alam dan Tuhan adalah bagaikan hubungan antara cahaya dan pelita yang memancarkannya, atau seperti hubungan antara kesadaran seseorang tentang tangannya dengan tangan itu sendiri. Persepsinya tentang tangan tidak dapat dipisahkan dari tangannya, tetapi persepsinya tidak identik dengan tangan, dan juga bukan merupakan bagian dari tangan itu sendiri. Syari’ati, dengan tegas menyatakan bahwa pandangan dunia tauhid ini berbeda dengan panteisme, trinitarianisme, monisme, wihdatul al-wujud (kesatuan wujud, unity of being) ataupun dualisme. 54
Ali Syari’ati, Paradigma …, op. cit., hlm. 29. Maksud Syari’ati mengatakan, bahwa Allah, alam dan manusia bersamaan asal, ialah ketiganya tidak terpisah dan terasing satu sama lain, tidak saling bertentangan dan tidak terceraikan oleh sekat-sekat. Masing-masing tidak mempunyai arah sendiri-sendiri. 55
48 Konsekuensi dari pandangan ini adalah ditolaknya ketergantungan manusia dari sesuatu kekuatan sosial, dan dikaitkannya manusia maupun dalam semua dimensinya pada kesadaran dan kehendak Yang Maha Kuasa. Sumber bantuan, orientasi, kepercayaan dan pertolongan setiap orang adalah suatu titik sentral tunggal,suatu proses yang dikitari dengan radius benderang yang sama jarak dari pusatnya yang merupakan sumber utama segenap alam merupakan satu-satunya kekuatan yang ada dan menguasai jagad raya. Posisi manusia dalam alam, dalam pandangan tauhid adalah sebagai peragaan objektif dari kebenaran ini, yang terlihat jelas pada saat thawaf (ritual mengelilingi Ka’bah) dalam ibadah haji.56 Dengan mendasarkan eksistensinya pada tauhid, maka manusia pun mencapai kebebasan. Tauhid ini merupakan fundasi semua prinsip, termasuk kegiatan-kegiatan manusia yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa politik,
social,
ekonomi
dan
kebudayaan.
Tauhid
juga
menghapus
ketidakpedulian, kekhawatiran dan ketamakan serta menerima persamaan, kebebasan dan kemerdekaan.57 Maka wajib bagi orang-orang yang beriman pada tauhid untuk mendukung jihad dalam bentuk perbuatan nyata. Syari’ati yakin sepenuhnya bahwa manusia modern, manakala tidak memiliki ketauhidan, hanya akan menjadi “makhluk yang mengenal dirinya sendiri”, dan karya-karya mereka – pada saat mereka kehilangan nuraninya seperti itu – akan menjelma menjadi sejenis ajaran baru, yang di situ manusia mengklaim telah menggeser posisi kaum terpelajar pragmatis.58 Demikianlah gambaran sekilas pandangann dunia tauhid Syari’ati. Ide dasar (termasuk pemikirannya tentang rausyanfikr) tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan ide besarnya tersebut.
56
Ali Syari’ati, Makna Haji......op. cit., hlm. 49. Ekky Malaky, Dari Sayyid Qutb, Ali Syari’ati, The Lord od the Rings hingga Bollywood, (Jakarta: Lentera, 2004), hlm. 21-22. 58 Ghulam Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 30. 57
49 D. Pemikiran Ali Syari’ati tentang Rausyanfikr 1. Pengertian Rausyanfikr Di Iran, sejak belahan kedua abad ke-19, dikenal istilah rausyanfikr yang secara harfiyah diartikan sebagai “pemikir yang tercerahkan”.59 Tapi secara historis istilah itu menunjuk pada pengertian umum tentang kaum intelektual sekuler yang yang tumbuh di Iran pada waktu istilah itu mulai dipakai, yaitu kaum terpelajar didikan Barat yang sekaligus mengagumi dan dipengaruhi oleh para filosof Eropa abad ke-18 yang dikenal sebagai abad pencerahan. Rausyanfikr pada mulanya terbatas pengertiannya. Kaum intelektual yang berpaham modernis dan berkecenderungan liberal, yang bekerja dan berfikir secara professional, tetapi terpanggil untuk melakukan perubahanperubahan politik, sosial maupun kultural. Sehingga dengan sendirinya, kelompok ini berbeda dan membedakan diri dari mereka yang disebut Mullah atau ahli-ahli ilmu agama,60 yang di lingkungan dunia Islam dikenal sebagai ulama. Pembedaan seperti itu juga tidak asing di Indonesia. Kita mengenal kelompok “kyai” atau “ulama” di satu pihak dan “cendekiawan” atau “intelegensia” di lain pihak.61 Tapi, apakah para mullah atau ayatullah yang aktif dalan revolusi dapat disejajarkan dengan pemuka agama pendukung kekuasaan.62 Kedua kelompok itu malah mengandung ciri yang berkebalikan. Karena itu menjelang tahun 1978, pengertian rausyanfikr telah berubah atau berkembang, mencakup juga para ulama dan ahli-ahli ilmu agama yang
59
Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi MasalahMasalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 554. 60 Dalam konsep Ali Syari’ati, dikotomi itu dijembatani dan di dalamnya juga terkandung makna “Nabi sosial”. 61 M. Dawam Raharjo, Ali Syari’ati; Mujtahid-Intelektual, dalam Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 7. 62 Ali Syari’ati menentang atau mengkritik peranan sebagian pemuka agama yang menolak tanggung jawab sosial atau mendustakan sikap-sikap kemasyarakatan, walaupun mereka adalah pemuka-pemuka masyarakatnya. Itulah elit penguasa yang dapat dijumpai dalam masyarakat kuno atau modern, dan kritik Ali Syari’ati sudah jelas ditujukan kepada elit Iran pra1978. dan hal itu terjadi pula di lingkungan Syi’ah sendiri.
50 terlibat dalam gerakan revolusi. Untuk mereka ini ada predikat tambahan, sehingga menjadi alim-i rausyanfikr.63 Ringkasannya, tidak ada contoh universal untuk menjadi “yang tercerahkan”. Ada berbagai jenis orang yang tercerahkan. Seseorang dapat menjadi orang yang tercerahkan di Afrika Hitam, tetapi orang yang sama tidak dapat dikatakan demikian di kalangan komunitas Islam. Seseorang mungkin dapat dianggap sebagai orang yang tercerahkan di Prancis atau negara industri Eropa pasca perang, dan ia adalah orang yang sederhana dan jujur yang tercerahkan, yang sangat menonjol di kalangan masyarakatnya sendiri, tetapi orang yang sama di India tidak dapat dan mungkin tidak akan mampu memainkan peran sebagai orang yang tercerahkan di sama.64 Pendeknya, pencerahan secara langsung berkaitan dengan waktu, tempat, lingkungan sosial dan kondisi sejarah. Rausyanfikr adalah kata Persia yang artinya “pemikir yang tercerahkan”. Dalam terjemahan Inggris terkadang disebut intellectual atau enlightened thinkers.65 Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan menemukan kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya, rausyanfikr memberikan penilaian sebagaimana seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal, rausyanfikr seperti para Nabi, berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam menjalankan pekerjaannya, rausyanfikr harus melibatkan diri pada ideologinya.66 Berkaitan dengan hal di atas, Jalaluddin Rahmat membedakan sarjana, ilmuwan dan intelektual. Sarjana diartikan sebagai orang yang lulus dari Perguruan Tinggi dengan membawa gelar. Jumlahnya ini banyak, karena setiap tahun universitas memproduksi sarjana. Ilmuwan 63
Ibid., hlm. 14. Ali Syari’ati, Membangun …, op. cit., hlm. 33. 65 Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam in Transition: Muslim Perspective, (New York: Oxford University Press, 1982), hlm. 297. 66 Jalaluddin Rahmat, Ali Syari’ati: Panggilan untuk Ulil Albab dalam Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 14-15. 64
51 adalah orang yang mendalami ilmunya, kemudian mengembangkan ilmunya, baik dengan pengamatan maupun dengan analisisnya sendiri. Di antara sekian banyak sarjana, beberapa orang sajalah yang kemudian berkembang menjadi ilmuwan. Sebagian besar terbenam dalam kegiatan rutin, dan menjadi tukang-tukang professional. Kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana. Mereka juga bukan ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah.67 Memang,
kata
“intelektual”
memiliki
banyak
arti.
Begitu
beragamnya definisi intelektual, sehingga Raymond Aron melepaskan istilah itu sama sekali. Tetapi James Mac Gregor Burns, ketika bercerita tentang
intellectual
leadership
sebagai
transforming
leadership,
mengartikan intelektual seperti Syari’ati menjelaskan kata rausyanfikr. Menurut Burn, ciri utama intelektual adalah a devotee of ideas, knowledge, values. Seorang intelektual adalah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis.68 Dalam definisi ini, “orang yang hanya menggarap gagasan-gagasan dan data analitis adalah seorang teoritis, orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralis, orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya lewat imajinasi yang teratur adalah seorang intelektual”, kata Burns. Jadi,
intelektual
adalah
orang
yang
mencoba
membentuk
lingkungannya dengan gagasan-gagasan analitis dan normatifnya. Sedangkan menurut Edward A. Shils, dalam International Encyclopedia of 67
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 212. 68 Jalaluddin Rahmat, Ali Syari’ati ...., op. cit., hlm. 15.
52 the
Social
Science,
dijelaskan,
bahwa
tugas
intelektual
adalah
“menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik pemuda dalam tradisi dan ketrampilan masyarakatnya, melancarkan dan membimbing pengalaman astetis dan keagamaan berbagai sektor masyarakat ….”.69 Bagi Syari’ati, tidak semua yang tercerahkan adalah intelektual, dan tidak semua intelektual peraih gelar akademis adalah orang yang tercerahkan. Yang dimaksud “tercerahkan atau rausyanfikr” adalah orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya yang memberinya rasa tanggung jawab sosial. Mereka adalah individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab, yang tujuan dan tangung jawab utamanya adalah membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata. Karena hanya kesadaran dirilah yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bodoh menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif. Perubahan-perubahan itu akhirnya melahirkan jenius-jenius hebat dan menciptakan lompatan-lompatan hebat, yang pada gilirannya menjadi batu loncatan bagi timbulnya peradaban, kebudayaan dan pahlawanpahlawan yang agung. Mereka mengajarkan pada masyarakat bagaimana caranya “berubah” dan akan mengarahkan ke mana perubahan itu. Mereka menjalankan misi “menjadi” (becoming) dan merintis jalan dengan memberi jawaban kepada pertanyaan “akan menjadi apakah kita?”70 Peranan yang dimainkan rausyanfikr berbeda dengan peranan filosof. Seorang filosof, Aristoteles misalnya, tidak memiliki tipe kesadaran dan keyakinan seperti di atas. Aristoteles bukanlah seorang rausyanfikr, karena ia tidak memprakarsai gerakan sosial atau revolusi satupun dalam masyarakatnya, di samping tidak pernah mencoba membangkitkan kesadaran massa yang menderita terhadap fakta-fakta masyarakat mereka.
69 70
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif …. , op. cit., hlm. 12. Ekky Malaky, op. cit., hlm. 29-30.
53 Plato tidak pula berbeda dari Aristoteles, karena Plato tidak dapat mempengaruhi persoalan-persoalan masyarakatnya secara menentukan, meskipun memang ia berhasil membangun suatu madzhab berfikir. Ptolemy adalah seorang ilmuwan dan dokter dengan pengetahuan yang cukup banyak, tetapi ilmunya tidak berpengaruh sama sekali pada nasib zaman dan masyarakatnya. Andaikata bangsa Yunani mempunyai seribu orang seperti mereka, maka kehidupan bangsa Yunani akan sama saja seperti sebelumnya, malah mungkin lebih buruk, karena intelektualintelektual seperti itu merupakan konsumen-konsumen mulus yang hidup menggantungkan diri pada kekuatan para petani. Yang dibutuhkan Yunani bukanlah filosof atau ilmuwan, tetapi intelektual aktif untuk memperbaiki dan mengubah nasib para budak yang malang, walaupun intelektual tersebut mungkin dari kalangan orang biasa atau para hamba. Terbelenggu dalam pemikiran tentang misteri penciptaan sebagai materi utamanya dan esensinya, sang filosof tidak dapat melibatkan dirinya untuk memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan.71 Menurut Syari’ati, para Nabi datang bukan sekedar untuk mengajarkan dzikir dan do’a. Mereka datang membawa suatu ideologi pembebasan. Para Nabi adalah orang-orang yang lahir di tengah-tengah massa, lalu memperoleh tingkat kesadaran (hikmah) yang sanggup mengubah suatu masyarakat yang korup dan beku menjadi kekuatan yang bergejolak dan kreatif, yang pada gilirannya melahirkan peradaban, kebudayaan dan pahlawan.72 Nabi Ibrahim datang untuk membebaskan umat manusia dari penyembahan terhadap berhala dan dari kekejaman raja Namrud. Nabi Musa juga datang untuk membebaskan kaumnya dari cengkraman raja Fir’aun yang menganggap dirinya sebagai Tuhan. Demikian pula nabi Muhammad saw. datang untuk membebaskan umatnya dari kebudayaan Jahiliyyah. Oleh sebab itu, para nabi harus
71 72
Ali Syari’ati, op. cit., hlm. 223-224. Jalaluddin Rahmat, Ali Syari’ati...op. cit.,hlm. 13
54 dilihat secara terpisah dari kaum filosof, ilmuwan, artis dan manusia kebanyakan. Di dalam masyarakat Islam, seorang intelektual bukan saja seorang yang memahami sejarah bangsanya, dan sanggup melahirkan gagasangagasan analitis dan normatif yang cemerlang, melainkan juga menguasai sejarah Islam, seorang Islamologis. Untuk pengertian ini, al-Qur’an sebenarnya mempunyai istilah khusus tentang rausyanfikr, yaitu ulul albab. Dalam Al-Qur’an dan Terjemahannya terbitan Departemen Agama Republik Indonesia mengartikan ulul albab sebagai “orang-orang yang berakal”, “orang-orang yang mempunyai pikiran”, terjemahan yang tidak terlalu tepat. Terjemahan Inggris men of understanding, men of wisdom, mungkin lebih tepat. Untuk memahami siapa yang dimaksud ulul albab, baik kiranya kita memahami ayat 190 surat Ali Imran, yang dapat memberikan gambaran, walaupun secara umum, tentang siapa mereka menurut pandangan alQur’an, yang berbunyi:
ﺧ ﹾﻠ ِﻖ ﻭ ﹶﻥ ﻓِﻲﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮﻳﻭ ﻢ ﻮِﺑ ِﻬﺟﻨ ﻋﻠﹶﻰ ﻭ ﺍﻮﺩﻭﻗﹸﻌ ﺎﺎﻣﻪ ِﻗﻴ ﻭ ﹶﻥ ﺍﻟ ﱠﻠﻳ ﹾﺬ ﹸﻛﺮ ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ
ﺏ ﻋﺬﹶﺍ ﺎﻚ ﹶﻓ ِﻘﻨ ﻧﺎﺒﺤ ﺳ ﺎ ِﻃﻠﹰﺎﻫﺬﹶﺍ ﺑ ﺖ ﺧ ﹶﻠ ﹾﻘ ﺎﺎ ﻣﺑﻨﺭ ﺽ ِ ﺭ ﺍﹾﻟﹶﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻮ ﺴ ﺍﻟ
(191 :ﺎ ِﺭ )ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥﺍﻟﻨ (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang pencitaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.. (QS. Ali Imran: 190) 73 Dalam ayat tersebut secara jelas digarisbawahi ciri-ciri atau sifatsifat berikut: a) berdzikir atau mengingat Tuhan dalam segala situasi dan kondisi, b) memikirkan atau memperhatikan fenomena alam raya, yang pada saatnya memberi manfaat ganda, yaitu memahami tujuan hidup dan kebesaran Tuhan serta memperoleh manfaat dari rahasia alam raya untuk
73
Soenarjo, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 105.
55 kebahagiaan dan kenyamanan hidup duniawi, dan c) berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata, khususnya dalam kaitan hasil-hasil yang diperoleh dari pemikiran dan perhatian tersebut. Dari sini terlihat jelas, bahwa peran mereka tidak hanya terbatas pada perumusan dan pengarahan tujuan-tujuan, tetapi sekaligus harus memberikan contoh pelaksanaan serta sosialisasinya di tengah masyarakat. 74 Sedangkan Jalaluddin Rahmat menyebutkan lima tanda atau ciri ulul albab, di antaranya: 1. 2. 3. 4. 5.
Bersungguh-sungguh mencari ilmu Mau mempertahankan keyakinannya Kritis dalam mendengarkan pembicaraan Tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah SWT., dan Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya, bersedia memberikan peringatan kepada masyarakat kalau terjadi ketimpangan, dan diprotesnya kalau terdapat ketidakadilan. Dia tidak duduk berpangku tangan di laboratorium, dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan, dia tampil dihadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidakberesan di tengah-tengah masyarakat.75 Dengan demikian jelas, bahwa seorang ulul albab tidak jauh
berbeda dengan seorang rausyanfikr, apabila kita perhatikan tanda-tanda atau ciri-ciri ulul albab tersebut sama dengan ciri-ciri dari rausyanfikr sebagaimana disebutkan oleh Ali Syari’ati yakni orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan (human condition) di masanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya yang memberinya rasa tanggung jawab social. Mereka adalah individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab, yang tujuan dan tanggung jawab utamanya adalah membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata. Karena hanya kesadaran dirilah yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bodoh menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif.
74 75
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 389. Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif .. op. cit., hlm. 214..
56 2. Faktor Munculnya Rausyanfikr Sebagaimana telah penulis sebutkan pada sub bab pertama, pada bab ini bahwa rausyanfikr dikenal pada dekade belahan kedua abad ke-19 di Iran, yang istilah ini untuk menunjuk pada kaum intelektual sekuler atau kaum intelektual yang berpaham modernis, berkecederungan liberal, yang bekerja dan berfikir professional dan sekaligus terpanggil untuk melakukan perubahan-perubahan sosial, sampai istilah ini berkembang lebih luas. Faktor munculnya rausyanfikr ini dipicu adanya “gap” atau kesenjangan antara kaum terpelajar dengan rakyat jelata, kesenjangan kaum intelektual dengan Mullah atau Ayatullah, kesenjangan antara kutub teori dengan kutub praktek, jauhnya rakyat dari budayanya sendiri akibat pengaruh ide-ide Barat yang hegemonic dan fkator-faktor lain yang mempengaruhi munculnya rausyanfikr ini. Kesenjangan-kesenjangan tersebut banyak terjadi dan melanda di dunia ketiga dan masyarakatmasyarakat muslim pada khususnya. Tragedi
paling
menyedihkan
yang
menimpa
masyarakat-
masyarakat tradisional pada umumnya, dan masyarakat-masyarakat muslim pada khususnya, disebabkan oleh tidak adanya komunikasi dan besarnya perbedaan pandangan antara rakyat jelata dan golongan terpelajar. Sedangkan di negara-negara industri Barat, rakyat jelata dan kaum intelektual dapat saling memahami secara lebih baik dan mempunyai pandangan yang relatif serupa. Di Eropa, seorang professor universitas bisa dengan mudah berkomunikasi dengan rakyat jelata yang tak terpelajar. Juga, professor itu tidak memandang dirinya mempunyai status yang lebih tinggi atau rakyat memperlakukannya sebagai tokoh yang tak tersentuh, terbungkus di dalam kertas kaca. Bahkan dalam sejarah awal masyarakat-masyarakat Islam, kesenjangan besar yang ada sekarang ini antara kaum intelektual dan rakyat jelata tidak ada para cerdik pandai tradisional muslim, kaum ulama termasuk ahli hukum (fuqaha), ahli teologi dialektis (mutakallimun), ahli
57 tafsir al-Qur’an (mufassirun), para filosof dan para sastrawan (‘udaba’) mempunyai ikatan erat dengan masyarakat umum melalui agama. Meskipun mengajar dan belajar di dalam seminari-seminari (hawzah) yang tampaknya terpisah, mereka berhasil menghindari kerenggangan hubungan dengan rakyat. Hubungan semacam itu antara ulama dan rakyat bahkan masih ada sekarang ini. Sebagian besar rakyat jelata yang tidak terpelajar dapat duduk berdampingan dengan ulama, yang telah mencapai status kesarjanaan menonjol, dan membahas masalah-masalah mereka. Mereka merasa cukup santai bersama sang ulama untuk membicarakan kebutuhankebutuhan, keluhan-keluhan atau persoalan keluarga mereka.76 Sayangnya, dalam kebudayaan dan sistem pendidikan modern, kaum muda dididik dan dilatih di dalam benteng-benteng yang terlindung dan tak tertembus. Begitu mereka masuk kembali ke lingkungan masyarakat, mereka ditempatkan pada kedudukan-kedudukan social yang sama sekali terpisah dari rakyat jelata. Maka, kaum intelektual itu hidup dan bergerak dalam arah yang sama dengan rakyat, tetapi di dalam suatu sangkar emas lingkungan eksklusif. Ide-ide dan nilai-nilai cultural dan intelektual Barat telah membanjiri alam pikiran mereka dan karena itu mempengaruhi cara berpikir mereka. Dari dunia Barat masalah-masalah ilmiah, penilaianpenilaian yang telah diformulasikan, aturan-aturan dan metode-metode yang sudah distandarisasi, berbagai kritik dan konsep-konsep serta gagasan-gagasan yang telah mapan, semuanya dibungkus rapi dan diberi cap, persis seperti makanan kaleng yang diawetkan, kemudian dikirim kepada kaum intelektual Timur yang berorientasi ke Barat. Di sini mereka baca berbagai cap tersebut, kemudian mereka buka isinya dan mereka penuhi pikiran mereka dengan pemikiran-pemikiran yang diimpor, tanpa tergelitik sedikitpun untuk menanyakan relevansinya
76
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam; Pesan untuk Para Intelektual Muslim, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 25.
58 terhadap masyarakat, maupun terhadap cita-cita individual mereka sendiri dan tanpa kehati-hatian dalam membaca fikiran-fikiran Barat itu.77 Menurut Ali Syari’ati, cara kita meniru yang paling baik adalah menyelidiki jalan yang telah ditempuh oleh Barat yang telah mengantarkan Barat sampai pada tahap peradaban modernnya sekarang dan kita harus menempuh jalan yang sama secara sadar dan hati-hati.78
3. Tugas dan Tanggung Jawab Rausyanfikr Rausyanfikr sebagai orang yang tercerahkan atau nabi sosial memiliki peran dan tanggung jawab yang besar. Setelah nabi terakhir Muhammad saw., orang yang tercerahkanlah yang melanjutkan misi kenabian. Sebagaimana dikemukakan oleh Chandell, bahwa “Pencerahan adalah suatu bentuk kenabian”. Setelah nabi Muhammad saw., orang yang tercerahkanlah yang melanjutkan misi kenabiannya. Orang yang tercerahkan adalah individu yang sadar, yang diutus sebagai misi di kalangan masyarakat untuk memandu mereka untuk menuju tujuan, kebebasan, dan kesempurnaan manusiawi, dan membantu mereka untuk menyelamatkan diri sendiri dari kebodohan, kemusyrikan dan penindasan. Bersikap sosial, berada di tengah masyarakat, dan merasa bertanggung jawab atas nasib masyarakat yang diperbudak dan ditindas adalah karakteristik hakiki sifat tercerahkan. Orang yang tercerahkan adalah seorang nabi yang tidak menerima wahyu, tetapi mengemban tugas dan tanggung jawabnya. Jadi, meskipun bukan nabi, orang-orang yang tercerahkan harus memainkan peranan sebagai nabi bagi masyarakatnya. Dia harus menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan bagi telinga rakyat yang tuli dan tersumbat, menggelorakan suatu keyakinan baru di dalam hati mereka yang mandek.
77 78
Ali Syari’ati, Tugas......op.ci., hlm. 106. Ibid., hlm. 108.
59 Orang-orang yang tercerahkan, seperti nabi-nabi di masa lampau, berbeda dengan para filosof, sastrawan, ilmuwan, mistikus dan senimanseniman yang hidup bersama orang-orang yang mempunyai minat yang sama, terpencil, jauh dari masyarakat umum, dan berada pada lingkaran masyarakat mereka sendiri, di gunung-gunung, biara, kuil, universitas, sekolah, perpustakaan dan di rumah-rumah pribadi mereka. Yang terakhir ini dapat melahirkan tugas mereka sendiri, tanpa mengetahui sesuatupun tentang nasib masyarakat atau kesengsaraan-kesengsaraan dan kebutuhankebutuhan mereka, dan meraih kedudukan mulia sebagai filosof, pendeta yang saleh, mistikus pemuja Tuhan, atau jenius dalam bidang kesenian. Sebaliknya, segera setelah seorang nabi menerima tugas, ia melangkah langsung menuju jantung masyarakatnya untuk mencari rakyat. Wahyu pertama, misalnya memerintahkan Muhammad untuk keluar dari pengasingan individualnya, meninggalkan kehidupan pribadi, keluarga dan kelompoknya dan berdiri di tengah masyarakat memberi mereka harapan, peringatan,
menyerang
lambang-lambang
kebodohan,
kebohongan,
ketahayulan dan menghancurkan Tuhan-tuhan palsu yang telah diciptakan oleh masyarakatnya sendiri.79 Menjadi satu dengan masyarakat, bangkit dari kalangan mereka dan bersama-sama dengan mereka itulah salah satu makna dari kata sifat “ummi”.80 Menjadi satu dengan masyarakat merupakan ciri khas nabi dan orang yang tercerahkan, yang menjadi pewaris nabi. Dengan demikian, mereka tidak boleh hidup terpencil, tersembunyi dari rakyat dan sebagaimana dikatakan oleh orang-orang Eropa, berada dalam “menara gading” atau seperti dinyatakan al-Qur’an “terbungkus dalam selimut” mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri. Maka, seorang yang 79
Ali Syari’ati, Membangun … op. cit., hlm. 86. Ummi adalah turunan dari kata umat, yang diturunkan dari kata “umm” berarti jalan, dan orang yang tidak terpelajar, filosof, penyair dan sebagainya yang merupakan orang-orang terbaik dari kalangannya, dan menjadi pelindung tradisi-tradisi lama. Seorang nabi adalah ummi yang berasal dari rakyat jelata, orang yang sederhana dan tak terpelajar. Banyak penafsir mengartikan “ummi” sebagai buta huruf, padahal kebutahurufan bukan merupakan suatu sifat yang menjadi sumber kelestarian. Tidak berarti kemudian bahwa nabi Muhammad pandai baca tulis, tidak pula ia buta huruf, keduanya tidak sama. 80
60 tercerahkan harus turun dari “menara gading” dan bergabung dengan rakyat, sebab seperti dikatakan Chandell, berbicara tentang rakyat tanpa adanya mereka sama saja dengan kebohongan. Orang-orang yang berbicara tentang rakyat, masyarakat, kolonialisme, dunia ketiga, dan sebagainya. Sementara mereka duduk di restoran mewah di Teheran Utara atau di tempat-tempat lainnya, boleh menyebut dirinya ahli sosiologi, politisi, ilmuwan, penulis, filosof dan sebagainya, tetapi mereka bukan individu-individu tercerahkan. Plato boleh menutup pintu taman akademisnya untuk rakyat, dan menyatakan bahwa “barangsiapa tidak mengetahui tentang geometri dilarang memasuki taman ini”, berbincang-bincang dengan beberapa ilmuwan jenius yang memahami geometri dan memikirkan hanya tentang Republik Utopia, puisi, kebenaran, kepalsuan, moral dan keadilan. Maka, sebaliknya Muhammad tidak boleh berbuat begitu. Ia menjalani awal kehidupannya sendirian di Padang Pasir sebagai gembala, di rumah Khadijah (istrinya) atau di Gua Hira untuk bersemedi. Tetapi, segera setelah ditunjuk sebagai nabi, dari ketinggian gunung yang sepi dan lengang, cepat-cepat ia turun dan menuju jantung kota Mekkah. Ia menyampaikan pesannya di bukit Shafa, di hadapan Dar al-Nadwah yang merupakan tempat pertemuan (majlis) para bangsawan dan menentang keras
Tuhan-tuhan
palsu
sembahan
masyarakatnya.
Muhammad
meninggalkan batasan-batasan rumahnya dan tinggal di masjid dan membuka pintu kamarnya di masjid yang menjadi rumah rakyat. Itu berarti bahwa, karena ia kini telah menjadi utusan atau nabi yang terpercaya untuk menyampaikan pesan, ia menyibakkan selimut yang membungkus dirinya, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya. Ali Syari’ati menekankan pentingnya memahami masyarakat, keyakinan dan kepercayaan mereka, kebutuhan-kebutuhan mereka, sebabsebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan berbagai tipe sosialnya, maka setelah jelas semua ini, tanggung jawab paling besar dari orang-orang yang tercerahkan atau rausyanfikr adalah
61 menemukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya, lebih-lebih ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertindas, mengenai alasan-alasan dasar bagi nasib sosiohistoris mereka yang tragis. Dengan
berpijak
kebutuhan-kebutuhan
dan
pada
sumber-sumber,
penderitaan
tanggung
masyarakatnya,
ia
jawab, harus
menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang akan memungkinkan masyarakatnya membebaskan diri mereka dari “status quo”. Berdasarkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan harus berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan eksternal. Akhirnya, orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman di luar kelompok rekan-rekannya yang terbatas ini kepada masyarakat secara keseluruhan.81 Orang-orang yang tercerahkan yang cukup tanggap di abad ini telah menyadari betapa kaum intelektual yang kebarat-baratan telah demikian tergantung pada Barat dan kebudayaannya. Apa yang mereka pinjam dan impor dari Barat sering kali tidak relevan dengan maksudmaksud kita dan masalah kita. Timur menderita kelaparan, Barat menderita
kekenyangan.
Seseorang
yang
kata-katanya
bernada
kekenyangan tidak akan bermakna bagi seseorang yang sedang mati kelaparan. Pernyataan-pernyataan dari Barat adalah tepat dan bermakna bagi orang Barat. Hanya di tanah asal usulnya kata-kata itu dapat memetik hasil yang banyak, tetapi tidak di tanah asing. Jika di tanam di tanah Timur, maka rasa aslinya, keharuman dan kaitannya menjadi hilang.82 Dalam pada itu kondisi dan watak masyarakat kita sekarang bukanlah seperti masyarakat yang terdapat pada abad ke-19 di Eropa Barat. Bila kita buat perbandingan antara dua masyarakat tersebut. Kita 81 82
Ibid., hlm. 42. Lihat juga Ali Syari’ati, Tugas …, op. cit., hlm. 243-246. Ibid., hlm. 147.
62 akan menemukan bahwa masyarakat kita sesungguhnya mirip masyarakat Eropa abad ke-13. namun, kaum intelektual kita masih terus menyuguhnya pendapat-pendapat abad ke-19 kepada manusia abad ke-13, dan karena itulah mereka tidak mendapatkan pendengar yang paham, dan sebab itu pula mereka menjadi begitu tidak efektif dan mandul. Sementara intelektual dari masyarakat ini hidup pada suatu abad yang mirip dengan abad ke-13 di Eropa, ia menerima pendapat-pendapat, pemikiran dan gagasan-gagasan kaum intelektual Eropa dari dua abad terakhir. Tidak aneh jika kekurangan pendengar, sebab ia telah memisahkan diri dari waktu yang tepat.83 Maka sangat penting bagi intelektual untuk mengetahui secara riil yang menjadi kebutuhan dan kondisi sosial suatu masyarakatnya. Sebagai contoh, orang-orang yang tercerahkan dari suatu masyarakat terjajah terutama bertanggung jawab untuk menciptakan kesadaran kolektif guna melawan kolonialis, sehingga bangsanya dapat mengambil sikap tegas melawan kekuatan-kekuatan kolonialis. Jenis kesadaran seperti ini harus diciptakan oleh orang-orang yang tercerahkan di dalam alam pikiran massa. Dalam agama, dalam sejarah, dalam seni dan sastra, dalam prosa dan puisi dan di atas panggung dalam semua ini, orang-orang yang tercerahkan harus merefleksikan dan mendramatisasi jenis kesadaran tersebut. Rausyanfikr yang hidup dengan pandangan hidup tauhid juga memiliki peran dan tanggung jawab untuk terus menerus mempelajari kitab suci dalam rangka mengamalkan dan menjabarkan nilai-nilainya yang bersifat umum agar dapat ditarik darinya petunjuk-petunjuk yang dapat disumbangkan atau diajarkan pada masyarakat, bangsa dan negara, yang
selalu
berkembang,
berubah
dan
meningkat
kebutuhan-
kebutuhannya. Atau, agar dapat diterapkan dalam membangun dunia ini serta memecahkan masalah-masalahnya.
83
Ibid., hlm. 234.
63 Mereka juga dituntut untuk terus mengamati ayat-ayat Tuhan di alam raya ini, baik pada diri manusia secara perorangan maupun kelompok, serta mengamati fenomena alam, ini mengharuskan mereka untuk mampu menangkap dan selalu peka terhadap kenyataan-kenyataan alam dan sosial. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa peran mereka tidak hanya terbatas pada perumusan dan pengarahan tujuan-tujuan, tetapi sekaligus
harus
mampu
memberikan
contoh
pelaksanaan
serta
84
sosialisasinya.
4. Gerakan Sosial Politik dan Sosial Keagamaan Kalau diamati, ide dan pemikiran-pemikiran Ali Syar’ati selalu berorientasi atau beraroma revolusi, pergerakan menentang tatanan sosial politik yang tidak adil dan menindas. Hampir semua pemikirannya tidak luput dari pergerakan, seperti bagaimana Ali Syari’ati memaknai ritual ibadah haji, sejarah, agama dan manusia. Semua ini mengandung unsur pergerakan dan pemberontakan. Demikian pula tentang rausyanfikr, seorang rausyanfikr bagi Syari’ati tidak cukup hanya berpangku tangan, duduk-duduk manis di kantor-kantor, laboratorium ataupun tempat-tempat mewah lainnya tanpa mau turun langsung ke tengah-tengah masyarakat, menyatu dengan masyarakat untuk mengetahui apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan faktor-faktor apa yang menyebabkan kebodohan, kemunduran dan kemudian dengan analisisnya yang tajam mencarikan solusi demi perbaikan dan kemajuan masyarakatnya. Ali Syari’ati tidak hanya sekedar pandai mengkonsep saja. Namun Ali Syari’ati menjadikan dirinya sebagai ikon atau terlibat langsung di dalamnya. Pandangan atau pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari ide besarnya, yaitu untuk menjadikan Islam sebagai ideologi revolusioner yang bisa dipraktekkan dan membebaskan. Hal ini bisa dipahami, Syari’ati hidup dalam suasana gejolak revolusi, Iran di bawah rezim Syah yang pemerintahannya sentralistik, diktaktor, tiranik 84
M. Quraish Shihab, Membumikan … op. cit., hlm. 390.
64 dan menindas sangat menyengsarakan rakyat, sehingga wajar apabila pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati bersifat revolusioner dan beraroma perjuangan, kemerdekaan dan pembebasan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Bersama teman-temannya, Mustafa Chamran dan Ibrahim Yazdi mendirikan Gerakan Pembebasan Iran. Ia juga turut serta dalam Front Nasional dan juga ikut dalam gerakan al-Jazair. Ini sebagai bukti, bahwa Ali Syari’ati secara langsung ikut aktif bergerak dalam kegiatan-kegiatan politik menentang rezim Syah. Kalau ditelusuri sejarah, ketika demontrasi besar-besaran merebak di Iran antara tahun 1978-1979. pada saat revolusi Islam di Iran hampir mencapai klimaksnya. Ada dua foto yang mendominasi jalan-jalan di Teheran, yaitu foto Imam Khomeini dan Ali Syari’ati. Memang, seperti diakui banyak ahli masalah Iran, bahwa Ali Syari’ati di samping Khomeini merupakan figur terdepan dalam revolusi Islam Iran. Kedati Ali Syari’ati sudah meninggal dunia dua tahun sebelum kemenangan kaum revolusioner, ia sering disebut-sebut sebagai ideolog revolusi Islam di Iran. Ini antara lain, karena pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati dipandang mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat Iran, terutama kaum mudanya, yang tampil sebagai barisan terdepan dalam gerakan anti rezim Syah.85 Di samping pergerakan Ali Syari’ati bersifat pergerakan sosial politik, pergerakannya juga bersifat sosial keagamaan. Di mana, Syari’ati mengkritik tajam terhadap kaum ulama tradisional yang menjadikan agama mandul, tidak peduli dengan problem yang dihadapi umat dan lebih melanggengkan “status quo”. Menurut Syari’ati, kemunduran dalam masyarakat Islam tidak hanya disebabkan oleh imperialisme Barat, tetapi juga oleh kemapanan agama yang menjerumuskan ideologi revolusioner yang dinamis, yaitu Syiah yang asli menjadi agama kemapanan. Seperti banyak pembaharu 85
M. Riza Sihbudi, op.cit., hlm. 105.
65 Islam kontemporer, Syari’ati juga menyalahkan ulama atas banyak penyakit dalam masyarakat Islam. Di tangan kemapanan agama, Islam Syiah
menjadi
“skolastik”,
terlembagakan
dan
secara
historis
dimanfaatkan oleh penguasa Iran, sehingga memudarkan pesan sosial keagamaan yang revolusioner dan dinamis pada tahun-tahun awalnya. Islam tradisional di bawah para ulama telah menjadi tenggelam di masa lalu. Islam telah berhenti sebagai kekuatan sosial, yang memperhatikan realitas masyarakat yang berubah.86 Mazhab Syiah yang asli sebenarnya merupakan gerakan Islam intelektual yang progresif dan juga merupakan kekuatan sosial yang militan, dan sebagai mazhab Islam yang paling revolusioner. Dan Ali Syari’ati telah berhasil mengubah agama orang yang beriman dan patuh menjadi suatu ideologi politik revolusioner yang tangguh. Di sisi lain, di kalangan umat Syiah sendiri, Imamiyah hampir tidak dikenal istilah pemisahan agama dan politik, baik dalam dataran konseptual maupun politik praktis. Setiap bentuk ritual keagamnaan selalu dikaitkan dengan “ritual politik”. Syiah memang lahir karena faktor politis. Dalam pengertian lain, kekuasan, yaitu mengangkat masalah siapa yang berhak menggantikan nabi sebagai pemimpin umat Islam. Sebagai konsekuensi logis dari pandangan tersebut, maka bagi kaum Syiah Imamiah merupakan keyakinan yang paling penting setelah keyakinan akan wahyu kenabian dan kebangkitan di hari akhir. Mereka meyakini, bahwa imamah bukan sekedar berarti kepemimpinan masyarakat atau kepemimpinan politik, melainkan juga berarti sebagai pemimpin religius.87
86
A. Rahman Zainuddin, dkk., Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 68. 87 Ibid., hlm. 69.