KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER ISLAMI (TELAAH KRITIS ATAS PEMIKIRAN NAJIB SULHAN)
SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana SI
MOHAMMAD YUSUF KHANAFI 063111059
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
ABSTRAK Mohammad Yusuf Khanafi ( NIM : 063111059 ). Konsep Pendidikan Karakter Islami (Telaah Kritis Atas Pemikiran Najib Sulhan). Skripsi. Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2011. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mulai ramai dibicarakan orang. Pendidikan karakter menawarkan solusi atas berbagai permasalahan anak bangsa, khususnya dalam degradasi moral. Sekarang ini banyak sekolah yang menerapkan pendidikan karakter dikarenakan melihat realitas sosial saat ini. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk mengkaji Konsep Pendidikan Karakter Islami menurut Najib Sulhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Konsep Pendidikan Karakter Islami menurut Najib Sulhan. (2) Implementasi pemikiran Najib Sulhan atas Pendidikan Karakter Islami dalam konteks pendidikan formal. Penelitian ini bersifat kualitatif, menggunakan pendekatan studi tokoh dengan teknik content analysis yang merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi untuk memecahkan atau mencari solusi suatu permasalahan. Data penelitian yang terkumpul di analisis dengan menggunakan pendekatan deduktif dan induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pendidikan karakter islami menurut Najib Sulhan merupakan konsep pendidikan yang bersandarkan pada tiga pilar, yaitu: (1) Manusia lahir dalam keadaan fitrah, (2) Setiap anak itu cerdas dan (3) Kebermaknaan pembelajaran. Sehingga dengan bersandar pada tiga pilar itu proses pendidikan karakter akan berjalan dengan efektif dan efisien, serta tujuan pembentukan karakter itu sendiri akan tercapai dengan baik. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi mahasiswa, para tenaga pengajar, para peneliti, dan semua pihak yang membutuhkan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
ii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS TARBIYAH Jl. Prof. Dr. Hamka KM 1 Ngaliyan Telp. (024)7601291 Semarang 50185 PENGESAHAN Nama
:
Mohammad Yusuf Khanafi
NIM
:
063111059
Fakultas/Jurusan
:
Tarbiyah / Pendidikan Agama Islam
Judul skripsi
:
Konsep Pendidikan Karakter Islami (Telaah Kritis Atas Pemikiran Najib Sulhan)
Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal: 15 Juni 2011 Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan studi Program Sarjana Strata I (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Tarbiyah. Semarang, 15 Juni 2011 Dewan Penguji Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Drs. H. Jasuri, M.SI NIP: 19671014 199403 1 005
Nur Asiyah, S.Ag, M.S.I NIP: 19710926 199803 2 002
Penguji I,
Penguji II,
Dra. Hj. Nur Uhbiyati, M.Pd NIP: 19520208 197612 2 001
Drs. Ahmad sudja’i, M.Ag NIP: 19511005 197612 1 001
Pembimbing I,
Pembimbing II
Ahmad Muthahar, M.Ag NIP: 19691107199603 1 001
Syamsul Ma’arif, M.Ag NIP. 19741030200212 1 002
iii
HALAMAN DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 25 Mei 2011 Penulis,
Mohammad Yusuf Khanafi NIM: 063111059
iv
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH Alamat: Prof. Dr. Hamka Kampus II Telp. 7601295 Fak. 7615387 Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING Semarang, 25 Mei 2011 Lamp : (2) Eksemplar Hal : Naskah Skripsi An. Mohammad Yusuf Khanafi
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudara: Nama NIM Jurusan Judul
: : : :
Mohammad Yusuf Khanafi 063111059 Pendidikan Agama Islam Konsep Pendidikan Karakter Islami (Telaah Kritis Atas Pemikiran Najib Sulhan)
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat dimunaqosahkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Pembimbing I
Pembimbing II
Ahmad Muthahar, M.Ag NIP. 19691107199603 1 001
Syamsul Ma’arif, M.Ag NIP. 19741030200212 1 002
v
HALAMAN MOTTO
∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ tΒ z>%s{ ô‰s%uρ ∩∪ $yγ8©.y— tΒ yxn=øùr& ô‰s% ∩∇∪ $yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θègé $yγyϑoλù;r'sù “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S. Asy-Syams: 8-10)
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan ke haribaan ayah bunda yang tercinta, kepada segenap keluarga tersayang, kepada para guru yang telah mengajar dan mendidik, dan sahabat-sahabatku yang selalu berbagi.
vii
HALAMAN TRANSLITERASI
NO
Huruf Hijaiyyah
Huruf latin
Bacaan
1
ﺍ
a
Alif
2
ﺏ
b
Ba’
3
ﺕ
T
Ta’
4
ﺙ
Ts
Tsa’
5
ﺝ
J
Jim
6
ﺡ
H
Ha’
7
ﺥ
Kh
Kho’
8
ﺩ
D
Dal
9
ﺫ
Dz
Dzal
10
ﺭ
R
Ro’
11
ﺯ
Z
Za’
12
ﺱ
S
Sin
13
ﺵ
Sy
Syin
14
ﺹ
Sh
Shod
15
ﺽ
Dl
Dlod
16
ﻁ
Th
Tho’
17
ﻅ
Dh
Zho’
18
ﻉ
A’
A’in
19
ﻍ
Gh
Ghoin
20
ﻑ
F
Fa’
21
ﻕ
Q
Qof
viii
22
ﻙ
K
Kaf
23
ﻝ
L
Lam
24
ﻡ
M
Mim
25
ﻥ
N
Nun
26
W
Wau
H
Ha’
28
ﻭ ه ﻻ
La
Lam-Alif
29
ﺀ
‘a
Hamzah
30
ﻱ
y
Ya’1
27
1
Drs. M. Ashim Yahya, Tajwid al-Qur’an Mudah dan Praktis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, t.th), hlm. 10-12.
ix
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segenap puja dan puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan petunjuk, bimbingan dan kekuatan lahir batin kepada diri peneliti, sehingga penelitian hasil dari usaha pemikiran ilmiah yang sederhana ini terselesaikan dengan sebagaimana mestinya. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, cahaya yang membawa umat manusia dari masa yang gelap gulita menuju masa yang penuh agung peradaban, juga kepada para keluarga, sahabat serta semua pewarisnya yang senantiasa menerangi zaman. Dengan kesadaran yang sepenuhnya penulis mengakui bahwa penulisan skripsi ini tidak berjalan dengan baik dan membuahkan hasil yang maksimal tanpa adanya bantuan baik berupa materiil maupun spiritual dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Dekan Fakultas Tarbiyah, Dr. Suja’i, M.Ag. 2. Bapak Ahmad Muthohar, M.Ag selaku Pembimbing 1 dan Bapak Syamsul Ma’ari, M.Ag. selaku Pembimbing 2 yang keduanya telah memberikan bimbingan dalam penulisan Skripsi ini. 3. Dosen Fakultas Tarbiyah dan segenap Staff Fakultas Tarbiyah. 4. Bapak Drs. Najib Sulhan, M.A selaku nara sumber yang telah membantu serta memberikan bimbingan dalam penelitian ini. 5. Ayah Bunda, H. Kasmadi dan Hj. Umi Nafisah yang selalu membimbing penulis untuk mengaji. Beliau berdua telah mengorbankan segenap kemampuannya agar penulis dapat menuntut dan cinta ilmu. Semoga beliau berdua mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. 6. Segenap pihak yang telah membantu dan tidak bisa saya sebut satu persatu.
x
Penulis menyadari bahwa di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan sehingga kritik dan saran perbaikan penulis harapkan. Akhirnya semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua dan penelitian bermanfaat adanya. Semarang, 25 Mei 2011
Mohammad Yusuf Khanafi Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... .... i HALAMAN ABSTRAK ............................................................................... .... ii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... .... iii HALAMAN DEKLARASI............................................................................ .... iv HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... .... v HALAMAN MOTTO ................................................................................... .... vi HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... .... vii TRANSLITERASI ........................................................................................ .... viii KATA PENGANTAR ................................................................................... .... x DAFTAR ISI ................................................................................................. .... xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. .... xiv BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................. .... 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................ .... 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................... .... 5 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ .... 5 D. Manfaat Penelitian ....................................................................... .... 5 E. Penegasan Istilah ......................................................................... .... 5 F. Metodologi Penelitian ................................................................. .... 6 G. Kajian Pustaka ............................................................................ .... 10 BAB II: LANDASAN TEORI ...................................................................... .... 13 A. Tinjauan Umum Tentang Karakter .......................................... .... 13 B. Konsep Pendidikan Karakter Islami ........................................ .... 20 BAB III: PEMIKIRAN NAJIB SULHAN TENTANG KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER ISLAMI ....................................... .... 40 A. Biografi ........................................................................................ .... 40 B. Pemikiran Najib Sulhan Tentang Konsep Pendidikan Karakter Islami ....................................................................... ........ 43 C. Strategi Pembentukan Karakter Menurut Najib Sulhan ................................................................................ .... 55
xii
BAB IV: ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER ISLAMI MENURUT NAJIB SULHAN ..................................................... .... 65 A. Kelebihan Dan Kekurangan Konsep Pendidikan Karakter Menurut Najib Sulhan ................................................................ .... 65 B. Prinsip-Prinsip Pengajaran Karakter Dalam Sekolah ............ .... 67 C. Implementasi Konsep Pendidikan Karakter Islami ................ .... 72 BAB V: PENUTUP ....................................................................................... .... 91 A. Kesimpulan ................................................................................... .... 91 B. Saran ............................................................................................ .... 92 C. Penutup ........................................................................................ .... 93 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
: Hasil Wawancara Via Email Kepada Najib Sulhan
Lampiran 2
: Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 3
: Surat Keterangan Penunjukkan Pembimbing
Lampiran 4
: Piagam KKN
Lampiran 5
: PASSKA Institut
Lampiran 6
: PASSKA Fakultas
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa kita sangat menaruh harapan terhadap dunia pendidikan. Dari pendidikan inilah diharapkan masa depan dibangun dalam landasan yang kuat. Landasan yang berpijak pada norma-norma moral agama. Landasan yang mampu memandirikan anak bangsa dengan berbagai potensi yang dimilikinya.1 Pendidikan
merupakan
persoalan penting bagi
semua umat.
Pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Pendidikan merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat, dan membuat generasi mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka. Jadi jika stabilitas suatu bangsa terguncang atau kemajuannya terhambat, maka yang pertama-tama ditinjau ulang ialah system pendidikan.2 Era globalisasi menuntut setiap bangsa memiliki sumber daya manusia yang berdaya tahan kuat dan perilaku yang andal. Sumber daya manusia yang berkualitas hanya dapat diperoleh melalui pendidikan yang bermutu unggul. Dari system pendidikan yang unggul inilah muncul generasi dan budaya yang unggul. Namun demikian, munculnya globalisasi juga telah menambah masalah baru bagi dunia pendidikan.3 Globalisasi komunikasi informasi yang seolah tak terbendung mengantar pada globalisasi budaya yang tengah merasuki masyarakat Indonesia. Konflik SARA, korupsi, kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, 1
Najib Sulhan,
Pendidikan Berbasis Karakter, (Surabaya, PT. Jepe Press Media
Utama, 2010), Cet. 1, hlm. 53. 2
Hery noer aly, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta, Friska Agung Insani, 2003), Cet 2,
3
Munawar Sholeh, Politik pendidikan, (Jakarta, Institute For Public Education (IPE),
hlm 2.
2005), Cet 1, hlm 11.
1
2
penyalahgunaan narkoba, seks bebas, adalah sebagian persoalan yang mendera bangsa Indonesia. Tentu menjadi pertanyaan kita semua mengapa hal ini sampai terjadi? Ada apa dengan bangsa yang dikenal akan adat ketimurannya ini? Apakah ada yang salah dalam mendidik dan memberikan pengajaran kepada generasi bangsa ini sehingga melahirkan berbagai persoalan tersebut diatas? Kenapa pendidikan yang kini tumbuh berkembang pesat, justru berefek samping melahirkan banyaknya koruptor dan teroris, walaupun tidak seluruh anak bangsa menjadi koruptor dan teroris, tetapi mereka para pelaku korupsi justru orang-orang yang umumnya sudah menyandang berbagai titel strata pendidikan. Apa yang salah dalam pendidikan di Indonesia? Dunia pendidikan khususnya di Indonesia pada saat sekarang memang sedang menghadapi tantangan yang sangat serius terkait dampak dari globalisasi. Di antara tantangan yang paling krusial adalah masalah karakter anak didik.4 Sebuah keresahan yang cukup beralasan bagi setiap orang tua jika melihat perkembangan saat ini. Dominasi hiburan kerap menyeret anakanak dalam keterlenaan. Sementara, agama masih jarang digunakan sebagai filter budaya yang sering menyesatkan. Bahkan, tidak jarang orang tua pun terseret dalam dunia mistik, dunia amoral yang berkedok hiburan dan sudah menjadi konsumsi setiap saat. Siapa yang tidak mengelus dada melihat pelajar yang tidak punya sopan santun, suka tawuran, munculnya gang dalam sekolah (Geng Nero) bagus nilainya untuk "pelajaran" pornografi, senang narkotika, dan hobi begadang dan kebut-kebutan. Itu jenis kenakalan pelajar yang paling umum, sedangkan kenakalan lainnya antara lain senang berbohong, membolos sekolah, minum minuman keras, mencuri, aborsi, berjudi, dan banyak lagi. Itu semua bersumber pada karakter.
4
hlm. 87
Herimanto, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), Cet. 3,
3
Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an, manusia adalah makhluk dengan berbagai karakter. Dalam kerangka besar, manusia mempunyai dua karakter yang berlawanan, yaitu karakter baik dan buruk.
z>%s{ ô‰s%uρ ∩∪ $yγ8©.y— tΒ yxn=øùr& ô‰s% ∩∇∪ $yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θègé $yγyϑoλù;r'sù ∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ tΒ “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.(Q.S. Asy-Syam: 8-10).5 Pendidikan diseluruh dunia kini sedang mengkaji kembali perlunya pendidikan karakter dibangkitkan kembali. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa dan masyarakat Indonesia, tetapi juga oleh Negara-negara maju. Bahkan di Negara-negara industri dimana ikatan moral menjadi longgar, ,masyarakatnya mulai merasakan perlunya revival dari pendidikan karakter yang pada akhir-akhir ini mulai ditelantarkan.6 Pembangunan karakter dan jati diri bangsa merupakan cita-cita luhur yang harus diwujudkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang terarah dan berkelanjutan. Penanaman nilai-nilai akhlak, moral, dan budi pekerti seperti tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus menjadi dasar pijakan utama dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
5
Al-Qur’an, Surat Asy-Syam Ayat 8-10, Yayasan Penyelenggara Penafsir Al-Qur’an,
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 1989. 6
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan.
(Jakarta, PT. Bumi Aksara 2008). Cet. 2, hlm 10.
4
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab(pasal 3).7 Melalui pendidikan secara bertahap dan berkelanjutan akan dapat dilahirkan generasi yang sadar dan terdidik. Pendidikan dimaksud mengarah pada dua aspek. Pertama, pendidikan untuk memberi bekal pengetahuan dan pengalaman akademis, ketrampilan profesioanl, ketajaman dan kedalaman intelektual, kepatuhan pada nilai-nilai atau kaidah-kaidah ilmu. Kedua, pendidikan untuk membentuk kepribadian atau jati diri menjadi sarjana atau ilmuwan yang selalu komited kepada kepentingan bangsa.8 Pendidikan karakter akhir-akhir ini ramai dibicarakan dan ingin dikembalikan lagi pada inti pendidikan kita. Pendidikan tanpa karakter hanya akan membuat individu tumbuh secara parsial, menjadi sosok yang cerdas dan pandai, namun kurang memiliki pertumbuhan secara lebih penuh sebagai manusia. Pendidikan karakter bangsa dipandang sebagai solusi cerdas untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian unggul, berakhlak mulia, dan menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Indonesian secara menyeluruh. Namun, hakekat pendidikan karakter masih menyisakan tanda tanya yang begitu dalam, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pendidikan karakter, mengapa
pentingnya
pendidikan
karakter,
dan
bagaimana
mengimplementasikan dalam konteks pendidikan? Hakekat dan konsep pendidikan karakter sebenarnya telah ditawarkan oleh Najib Sulhan sesuai dalam bukunya “Pendidikan Berbasis Karakter”. Buku tersebut mencoba menjawab permasalahan tentang karakter yang ada di Indonesia, yang didalamnya berisi konsep pendidikan karakter dan bagaimana mengimplementasikannya. Dari sinilah penulis mencoba menguraikan kembali konsep yang telah ditawarkan oleh Najib Sulhan. 7
Undang-Undang Republik Indonesia no. 20 Tahun 2003 Tentang System Pendidikan
Nasional (Bandung: Fokusmedia, 2005), hlm. 98 8
6, hlm. 1
Subagyo, Pendidikan Kewarganegaraan, (Semarang: UPT Unnes Press, 2006), Cet.
5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep pendidikan karakter Islami? 2. Bagaimana mengimplementasikan pendidikan karakter Islami dalam konteks pendidikan menurut Najib Sulhan?
C. Tujuan Penelitian Setelah diketahui permasalahan yang ada, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konsep pendidikan karakter Islami 2. Untuk mengetahui implementasi pendidikan karakter Islami dalam konteks pendidikan menurut Najib Sulhan.
D. Manfaat Penelitian Perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa penelitian yang diusulkan ini bertujuan untuk menyelidiki tentang konsep pendidikan karakter Islami dalam tantangan sesuai pemikiran Najib Sulhan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan informasi tentang Konsep Pendidikan Karakter Islami (Telaah Kritis Atas Pemikiran Najib Sulhan). Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan untuk bahan pertimbangan dalam peningkatan kualitas pendidikan saat ini sebagai upaya pertumbuhan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, penguasaan ketrampilan hidup, penguasaan akademik, seni dan pengembangan kepribadian yang paripurna.
E. Penegasan Istilah Untuk mempermudah pemahaman dan menjaga agar tidak terjadi kesalahpahaman tentang judul skripsi ini, maka perlu adanya penegasan istilah sebagai berikut:
6
1. Pendidikan Karakter Islami Pendidikan karakter islami merupakan keseluruhan dinamika relasional antar pribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luarnya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya, sehingga ia dapat semakin bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka yang sesuai ajaran Islam.9 2. Buku ‘Pendidikan Berbasis Karakter” Sebuah buku karya Najib Sulhan yang mengulas konsep pendidikan karakter yang bertumpu pada sifat dasar manusia dengan menekankan ada tiga pilar utama dalam membangun pendidikan karakter. Pertama, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua, setiap anak itu cerdas, Ketiga, setiap aktivitas mempunyai tujuan, begitu pula dalam pembelajaran, serta cara mengimplementasikannya, serta menjawab permasalahan pendidikan di Indonesia.10
F. Metodologi Penelitian Tanpa adanya penelitian, pengetahuan tidak akan bertambah maju. Padahal pengetahuan adalah dasar semua tindakan dan usaha. Jadi penelitian sebagai dasar untuk meningkatkan pengetahuan, harus diadakan agar meningkat pula pencapaian usaha-usaha manusia.11 Mengingat penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang Konsep Pendidikan Karakter Islami (Telaah Kritis Atas Pemikiran Najib Sulhan), maka kerangka metodologis yang digunakan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
9
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak Dizaman Global
(Jakarta: PT. Grasindo, 2010), Cet 2, hlm 3. 10
Najib Sulhan, Op.Cit, hlm 8.
11
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), Cet. 13, hlm 20
7
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk mengolah data tanpa menggunakan hitungan angka (statistik), namun melalui pemaparan pemikiran, pendapat para ahli atau fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.12 Atau jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, disamping juga tentang peranan organisasi, pergerakan social, atau hubungan timbal balik.13 Juga penelitian literer (Library research) yaitu study atau telaah kepustakaan yang terkait dengan obyek pendidikan. 2. Metode Pengumpulan Data Secara metodologis penelitian ini termasuk jenis library research. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan
bermacam-macam
material
yang
Terdapat
Di
ruangan
Perpustakaan, Seperti: Buku-Buku, Majalah, Dokumen, Catatan dan kisahkisah sejarah dan lain-lainnya.14 Yang berhubungan dengan penelitian yang akan penulis teliti. Dalam penelitian ini, penulis mengambil data-data yang berasal dari beberapa sumber, yaitu: a. Sumber Primer dan Sumber sekunder Sumber primer adalah sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama. Merupakan sumber data asli yaitu data yang ditulis oleh Najib Sulhan sendiri, yaitu Pendidikan Berbasis Karakter, yang dijadikan sebagai sumber utama dalam penelitian. 12
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2001), hlm, 1-3 13
Anselm Staruss, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), Cet. III, hlm. 4 14
Mardalis, Metode Penelitian (Suatu Penedekatan Proposal), (Jakarta: Bumi Aksara,
1999), hlm 28.
8
Sumber data sekunder adalah sumber yang mengutip dari sumber lain. Yaitu sumber yang diperoleh bukan berasal dari sumber utama, akan tetapi sumber-sumber yang mendukung dan berhubungan dengan penelitian yang meliputi karya-karya Najib Sulhan dan buku lain yang membahas pendidikan karakter Islami atau Najib Sulhan. b. Dokumentasi Menurut lexy J. Moleong, dokumentasi berasal dari kata dokumen yang berarti setiap bahan tertulis atau film.15 Sedangkan menurut koentjaraningrat dokumentasi yaitu metode pengumpulan data berdasarkan dokumentasi dalam arti sempit berarti kumpulan data dalam bentuk tulisan. Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh data-data yang berupa dokumen penting, arsip, majalah, surat kabar, catatan harian dan sebagainya. Metode dokumentasi ini dapat merupakan metode utama apabila peneliti melakukan pendekatan analisis isi (Content analysis).16 Data yang dikumpulkan adalah data yang ada kaitannya dengan data yang dibutuhkan. c. Interview (Wawancara) Wawancara atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam
percakapan
yang bertujuan memperoleh
informasi.17 Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang pemikiran Najib Sulhan dalam konsep pendidikan karakter islami dan biografinya. Kunci metode interview adalah dengan mengadakan komunikasi langsung dengan Najib Sulhan, atau bila dimungkinkan penulis berkomunikasi dengan Focus group discussion (FOG) sehingga penulis lebih mudah dalam mengumpulkan data yang diperlukan.
15
Lexy J. Moleong, Op.Cit, hlm 135.
16
Suharsimi Arikunto, Op Cit, hlm. 159
17
S. Nasution, Metode Research, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), Cet. 11, hlm. 113
9
3. Metode analisis data Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah mengadakan pembahasan dan menganalisanya. Dalam menganalisa pembahasan ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut: a. Metode Interpretasi Data Metode interpretasi data adalah merupakan isi buku, untuk dengan setepat mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna uraian yang disajikannya. Metode ini penulis gunakan untuk mempelajari dan memahami makna-makna yang ada, sehingga mudah untuk mengambil suatu kesimpulan. b. Metode Analisis Isi Analisis ini dilakukan untuk mengungkapkan isi sebuah buku yang menggambarkan situasi penulis dan masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis. Singkatnya kontent analisis adalah analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.18 Adapun
langkah-langkah
yang
penulis
tempuh
dalam
menganalisis data adalah dengan mendasarkannya pada prosedur yang ditetapkan Hadari Nawawi, yaitu sebagai berikut : 1. Menyeleksi teks (buku, majalah, dokumen) yang akan diselidiki yaitu dengan mengadakan observasi untuk mengetahui keluasan pemakaian buku tersebut, menetapkan standar isi buku di dalam bidang tersebut dari segi teoritis dan praktisnya. 2. Menyusun item-item yang spesifik tentang isi dan bahasa yang akan diteliti sebagai alat pengumpul data. 3. Menetapkan
cara
yang
ditempuh,
yaitu
dengan
meneliti
keseluruhan isi buku dan bab per bab
18
Noeng, Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi 4, (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2000), hlm 68
10
4. Melakukan pengukuran terhadap teks secara kualitatif dan kuantitatif, misalnya tentang tema dalam paragraph, pesan yang akan disampaikan. 5. Membandingkan hasil berdasarkan standar yang telah ditetapkan. 6. Mengetengahkan kesimpulan sebagai hasil analisis.19 Dengan panduan prosedur tersebut, hemat penulis akan lebih mudah dalam menganalisis data dalam penelitian ini.
G. Kajian Pustaka Pada dasarnya urgensi dari adanya telaah pustaka adalah sebagai bahan autokritik terhadap penelitian yang ada, baik mengenal kelebihan maupun kekurangannya, sekaligus sebagai bahan komparatif terhadap kajian yang terdahulu. Disamping itu telaah pustaka juga mempunyai andil besar dalam rangka memperoleh informasi secukupnya tentang teori-teori yang ada kaitannya dalam judul yang digunakan untuk memperoleh landasan teori ilmiah. Harus diakui bahwa penelitian dan penulisan tentang pendidikan karakter telah banyak dilakukan oleh pakar pendidikan dalam berbagai perspektif dan dimensi. Untuk menghindari duplikasi tentang penelitian ini, berikut akan diilustrasikan beberapa karya yang berhubungan penelitian yang diatas. 1. Pembangunan Karakter Pada Anak: Manajemen Pembelajaran Guru Merupakan salah satu buku yang ditulis oleh Najib Sulhan. Menyadari bahwa setiap anak memiliki karakter yang berbeda-beda. Untuk itu buku ini memberikan solusi untuk mengetahui cara memahami karakter anak dalam proses belajar mengajar. Selain itu untuk mengetahui problematika belajar pada anak.20 19
Soejono, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta,
1999), hlm 14 20
Pukul 19.00.
Najib Sulhan, Dunia Pendidikan Kita, Http://najibsulhan.blogspot.com, 27-02-2011,
11
2. Membangun Sekolah Berbasis Karakter: Mengintegrasikan Imtaq Dan Iptek Dalam Pembelajaran Karya Najib Sulhan ini berisi tentang pendidikan yang berorientasi pada pengembangan karakter Yaitu dengan memadukan antara iptek dan imtaq, sehingga mencetak manusia yang handal dalam menghadapi tantangan global. 3. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Ditulis oleh Doni Koesoema A. Karya ini membahas tentang konsep mendidik anak melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memiliki tujuan agar setiap pribadi semakin menghayati individualitasnya, mampu menggapai kebebasan yang dimilikinya, sehingga ia dapat semakin bertumbuh sebagai pribadi maupun sebagai warga Negara yang bebas dan bertanggungjawab, bahkan sampai pada tingkat tanggungjawab moral integral atas kebersamaan hidup menyalahi di dalam dunia. 4. Guru Sejati : Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas Karya M. Furqon Hidayatullah berisi tentang arti pentingnya pendidikan karakter. Pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari system pendidikan yang benar. Jika bukan mendidik dan mengasuh anak-anak untuk perkembangan tabiat yang luhur, buat apakah system pendidikan itu, baik dalam pendidikan rumah tangga maupun dalam sekolah, orangtua dan guru tetap sadar bahwa pembangunan tabiat yang agung adalah tugas mereka.21 Berbeda dengan tulisan diatas, pemikiran praktisi dan tokoh pendidikan, Drs. Najib Sulhan, M.A yang tertuang dalam buku pendidikan berbasis karakter ini disinyalir bertumpu pada sifat dasar manusia dengan menekankan bahwa ada tiga pilar utama dalam membangun pendidikan karakter. Pertama, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu 21
M. Furqon Hidayatullah, Guru Sejati : Membangun Insan Berkarakter Kuat dan
Cerdas (Surakarta: Yuma Pustaka, 2009), Cet 2, hlm 12
12
memiliki kecenderungan berbuat baik. Untuk itulah sifat-sifat Rasulallah menjadi teladan yang harus dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari agar fitrah itu terus terjaga. Kedua, setiap anak itu cerdas. Artinya, tidak ada anak yang bodoh. Setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Untuk itulah kecerdasan yang berbeda itu perlu dikembangkan sesuai potensinya. Ketiga, setiap aktivitas mempunyai tujuan, begitu pula dalam pembelajaran. Oleh karena itulah, setiap pembelajaran lebih menekankan pada kebermaknaan materi.22
22
Najib
Sulhan,
Jurnal
Menggagas
Http://SuaraGuru.Wordpress.com, 27-02- 2011, Pukul 19.00.
Sekolah
Berbasis
Karakter,
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Tentang Karakter 1. Pengertian Karakter Secara umum, seseorang sering mengasosiasikan istilah karakter dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi menekankan unsure psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Seseorang juga bisa memahami karakter dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsure somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir.1 Dalam kamus besar bahasa Indonesia karakter didefinisikan sebagai tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak, sedang kata berkarakter diterjemahkan sebagai mempunyai tabiat; mempunyai kepribadian; berwatak. Di dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.2 Istilah karakter sendiri sesungguhnya menimbulkan ambiguitas. Karakter, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “Karasso”, berarti “cetak biru”, “format dasar”, “sidik” seperti dalam sidik jari. Sedangkan menurut istilah, ada beberapa pengertian mengenai karakter itu sendiri. Secara harfiah Hornby dan Parnwell mengemukakan karakter artinya “kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi”.3
1
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global),
(Jakarta: PT Grasindo, 2007), Cet. 2, hlm. 80. 2
M. Furqon Hidayatullah, Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan
Cerdas, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2009), Cet. 2, hlm. 9. 3
Ibid, hlm. 9
13
14
Dali Gulo menyatakan bahwa karakter adalah “sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu: sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu”. Tentang ambiguitas terminology ‘karakter’ ini, Mounier, mengajukan dua cara interpretasi. Mounier melihat karakter sebagai dua hal, yaitu pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dari sananya, (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed).4 Dari beberapa pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa Karakter adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan.5 Seseorang dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Demikian juga, seorang pendidik dikatakan berkarakter jika ia memiliki nilai dan keyakinan yang dilandasi hakikat dan tujuan pendidikan serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.6 Aa Gym mengemukakan bahwa karakter itu terdiri empat hal. Pertama, ada karakter lemah; misalnya penakut, tidak berani mengambil resiko, pemalas, cepat kalah, belum apa-apa sudah menyerah, dan sebagainya. Kedua, karakter kuat: contohnya tangguh, ulet, mempunyai daya juang yang tinggi, atau pantang menyerah. Ketiga, karakter jelek; misalnya licik, egois, serakah, sombong dan pamer. Keempat, karakter baik; seperti jujur, terpercaya, rendah hati dan sebagainya. Nilai-nilai utama yang
4 5
Doni Koesoema A, Op Cit, hlm. 91 Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi
Publishing, 2010), Cet 1, hlm 1. 6
M. Furqon Hidayatullah, Op Cit, hlm. 9.
15
menjadi pilar pendidik dalam membangun karakter kuat adalah amanah dan keteladanan.7 Karakter sebagai suatu kondisi yang diterima tanpa kebebasan dan karakter yang diterima sebagai kemampuan seseorang untuk secara bebas mengatasi keterbatasan kondisinya ini membuat manusia tidak serta merta jatuh dalam fatalisme akibat determinasi alam, ataupun terlalu tinggi optimisme seolah kodrat alamiah manusia tidak menentukan pelaksanaan kebebasan yang manusia miliki. Melalui dua hal ini manusia diajak untuk mengenali
keterbatasan
diri,
potensi-potensi
serta
kemungkinan-
kemungkinan bagi perkembangan manusia. Orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja dari sananya. Sedangkan orang yang memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya.8 Sosok pribadi yang berkarakter itu tidak hanya cerdas lahir batin, tetapi juga memiliki kekuatan untuk menjalankan sesuatu yang dipandangnya benar dan mampu membuat orang lain memberikan dukungan terhadap apa yang dijalankannya tersebut.9 Cirri orang yang berbudi atau berkarakter adalah saraso (serasa), sahino (sehina), tenggang manenggang (toleransi), tulak ansua (kelonggaran).10 2. Dasar Pembentukan Karakter Al Ghazali memberi perhatian yang sangat besar untuk menempatkan pemikiran Islam dalam pendidikan. Al-Ghazali menekankan pentingnya pembentukan karakter. Dengan memberikan pendidikan karakter yang baik maka orang tua sudah membantu anak-anaknya untuk hidup sesuai jalan yang lurus. Namun, pendidikan yang buruk akan membuat karakter anak-anak
7
Ibid., hlm. 10.
8
Ibid., hlm. 91.
9
Abdullah Munir, Pendidikan Karakter (Membangun Karakter Anak Sejak Dari
Rumah), (Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani, Anggota IKAPI, 2010), Cet. 1 hlm 2. 10
Helmon Hoesien, “Pendidikan Moral Berdasarkan Adat Budaya Minangkabau”,
Mimbar Ilmiah, (No. 2, Desember/ 2009), hlm. 54
16
menjadi tidak baik dan berpikiran sempit sehingga sulit membawa mereka menuju jalan yang benar kembali.11 Ibnu Qayyim mengemukakan empat sendi karakter baik dan karakter buruk. Karakter yang baik didasarkan pada: a. Sabar, yang mendorongnya menguasai diri, menahan marah, tidak mengganggu orang lain, lemah lembut, tidak gegabah, dan tidak tergesa-gesa. b. Kehormatan diri, yang membuatnya menjauhi hal-hal yang hina dan buruk, baik berupa perkataan maupun perbuatan, membuatnya memiliki rasa malu, yang merupakan pangkal segala kebaikan, mencegahnya dari kekejian, bakhil, dusta, ghibah dan mengadu domba. c. Keberanian, yang mendorongnya pada kebesaran jiwa, sifatsifat yang luhur, rela berkorban, dan memberikan sesuatu yang paling dicintai; dan d. Adil, yang membuatnya berada dijalan tengah, tidak meremehkan, dan tidak berlebih-lebihan. Adapun karakter yang buruk juga didasarkan pada empat sendi yaitu: a. Kebodohan, yang menampakkan kebaikan dalam rupa keburukan, menampakkan keburukan dalam rupa kebaikan, menampakkan kekurangan dalam rupa kesempurnaan, dan menampakkan kesempurnaan dalam rupa kekurangan. b. Kedhaliman, yang membuatnya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, memarahi perkara yang mestinya diridhai, meridhai sesuatu yang mestinya dimarahi, dan lain sebagainya dari tindakan-tindakan yang tidak proporsional. c. Syahwat, yang mendorongnya menghendaki sesuatu kikir, bakhil, tidak menjaga kehormatan, rakus dan hina, dan d. Marah, yang mendorongnya bersikap takabur, dengki, dan iri, mengadakan permusuhan dan menganggap orang lain bodoh.12 Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif.
11
Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah, Metode Pendidikan Dalam Pandangan
Tiga Ilmuwan Islam, Http://Tanbihun.Com, 2011-04-09, Pkl 09.00. 12
M. Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa,
(Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), Cet 1, hlm 63.
17
Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilainilai yang amoral yang bersumber dari taghut (Setan). Nilai-nilai etis moral
itu
berfungsi
sebagai
sarana
pemurnian,
pensucian
dan
pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa: a. Kekuatan Spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa iman, Islam, ihsan dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm). b. Kekuatan Potensi Manusia Positif Berupa aqlus salim (akal yang sehat), qalbun salim (hati yang sehat), qalbun munib (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. c. Sikap dan Perilaku Etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: istiqamah (integritas), ikhlas, jihad dan amal saleh. Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).13 13
Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islami, Http://Keyanaku.Blogspot.Com,S
2011-02-26, Pkl 15.00.
18
Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilainilai thaghut (nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai material (thaghut) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilainilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari: Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thaghut itu
berupa
kufr (kekafiran), munafiq
(kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwim) menjadi makhluk yang serba material (asfala safilin); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah (pikiran sesat), qalbun maridl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, seks dan kekuasaan (thaghut). Ketiga, sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan thaghut dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur, hubb al-dunya (materialistik), dlalim (aniaya) dan amal sayyiat (destruktif). Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal al sayyiat (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thaghut ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut)
19
dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.14 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Karakter Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral (karakter), yaitu: a. Konsistensi dalam mendidik Orang tua harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anaknya. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila anak melakukan kembali pada waktu yang lain. b. Sikap orang tua dalam keluarga Secara tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah
terhadap
ibu,
atau
sebaliknya,
dapat
mempengaruhi
perkembangan moral (karakter) anak, yaitu ,melalui proses peniruan. c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut Orang tua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan iklim religious (agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik. d. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma Orang tua yang menghendaki anaknya tidak berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka orang tua harus menjauhkan diri dari perilaku berbohong atau tidak jujur. Selain faktor diatas, perkembangan moral (karakter) juga dipengaruhi oleh lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan teman-teman sebaya, segi keagamaan, dan aktivitas rekreasi.15
14
Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islami, Http://Keyanaku.Blogspot.Com,S
2011-02-26, Pkl 15.00.
20
B. Konsep Pendidikan Karakter Islami 1. Pengertian Pendidikan Karakter Islami Thomas Lickona menyimpulkan pendidikan karakter adalah upaya sengaja yang menolong orang agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. Karakter (watak) adalah istilah yang diambil dari bahasa yunani yang berarti to mark (menandai), yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Seseorang dapat disebut sebagai “orang yang berkarakter” (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.16 Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk “membentuk” kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain, kerja keras dan sebagainya. Hal ini dapat dikaitkan dengan tujuan takdib, yaitu pengenalan dan afirmasi atau aktualisasi hasil pengenalan. Pendidikan merupakan alat untuk pembentuk manusia Indonesia yang berkualitas, penyangga ekonomi nasional dan pembentuk bangsa berkarakter.17 Bila nilai-nilai pendidikan tersebut diambil dari sumber dan dasar ajaran agama Islam sebagaimana termuat dalam al-Qur’an dan Hadits, maka proses pendidikan tersebut disebut sebagai pendidikan Islam. Dengan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter Islami adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan
15
Alief Budiyono, “Meningkatkan Moralitas Remaja Melalui Dukungan Sosial”,
Komunika, (vol. IV, No. 2, Juli/ 2010), hlm. 239 16
Bambang Q-Anees, M.Ag, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), Cet. 1, hlm. 107. 17
Moh Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA,
2009), Cet. 1, hlm. 54.
21
Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Russel Williams mengilustrasikan bahwa karakter adalah ibarat “otot”, dimana “otot-otot” karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan kuat dan kokoh kalalu sering dipakai. Seperti seorang binaragawan (body buldler) yang terus menerus berlatih untuk membentuk ototnya. “otot-otot” karakter juga akan terbentuk dengan praktik-praktik latihan yang akhirnya akan menjadi kebiasaan (habit). Demikian pula disiplin dan kepribadian mandiri sangat diperlukan didalam membentuk karakter seorang olah-ragawan.18 Amsal Russel Williams sangatlah tepat, karena menjadikan otot (sesuatu yang sudah dimiliki badan manusia) sebagai model bagi pengembangan lebih lanjut. Ini berarti, hakikat dasar pendidikan karakter berarti, pada manusia terdapat bibit potensi kebenaran dan kebaikan, yang harus didorong melalui pendidikan untuk aktual.19 Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran, manusia adalah makhluk dengan berbagai karakter. Dalam kerangka besar, manusia mempunyai dua kecenderungan karakter yang berlawanan, yaitu karakter baik dan buruk.20
tΒ z>%s{ ô‰s%uρ
∩∪ $yγ8©.y— tΒ yxn=øùr& ô‰s%
∩∇∪ $yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θègé $yγyϑoλù;r'sù ∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (8), Sesungguhnya beruntunglah orang yang
18
Isjoni, Guru Sebagai Motivator Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
Cet. 1, hlm. 51. 19 20
Bambang Q-Anees,, op.cit., hlm 99. Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, (Surabaya, PT. Jepe Press Media
Utama, 2010), Cet. 1, hlm 2.
22
mensucikan jiwa itu (9), Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10)”. (Q.S. Asy-Syam:8-10)21 Yaitu menunjukinya kepada sesuatu yang dapat mengakibatkan kefasikannya dan ketakwaannya, lalu menjelaskan kepadanya tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Sungguh berbahagialah orang yang menyucikan jiwanya dengan menaati-Nya. Mungkin pula ayat ini berarti sungguh berbahagialah orang yang hatinya disucikan oleh Allah dan sungguh merugilah orang yang hatinya dibiarkan kotor oleh Allah.22 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.23 Pendidikan
adalah
investasi
masa
depan
bangsa
(social
investment), termasuk investasi untuk menancapkan perilaku social yang penuh dengan praktek etika. Dalam konteks ini, pendidikan selain berfungsi sebagai pelestari nilai-nilai kebudayaan yang masih layak untuk dipertahankan, pendidikan juga berfungsi sebagai alat transformasi masyarakat untuk dapat segera beradaptasi dengan perubahan social yang tengah terjadi.24 Tentunya dalam hal ini tanpa meninggalkan karakter asli masyarakat itu sendiri, khususnya karakter yang baik.
21
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:Diponegoro, 2000),
22
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
hlm. 476.
(Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Jilid 2, hlm. 989. 23 24
M. Furqon Hidayatullah, Op Cit, hlm. 12 M. Zainur Roziqin, Moral Pendidikan Di Era Global, (Malang: Averroes Press,
2007), Cet. 1, hlm. 39.
23
Pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang benar. Jika bukan mendidik dan mengasuh anak-anak untuk perkembangan tabiat yang luhur, buat apakah sistem pendidikan itu? Baik dalam pendidikan rumah tangga maupun pendidikan dalam sekolah, orang tua dan guru tetap sadar bahwa pembangunan tabiat yang agung adalah tugas mereka. Pembangunan watak, kepribadian, dan moral mengacu pada perilaku Rasulallah Muhammad. Hal ini didukung sabda Rasul:
ﺪ ﻤ ﺤ ﻣ ﺑ ﹺﻦ ﻳ ﹺﺰﻌ ﹺﺰ ﻪ ﺍﹾﻟ ﺍﻟﹼﻠﺒﺪﻋ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ : ﻮ ﹴﺭ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺼ ﻨﻣ ﺑ ﹺﻦ ﺪ ﻴﻌ ﺳ ﺙ ﹶﺃﺑﹺﻰ ﺪ ﹶ ﺣ ﻪ ﺪ ﺍﻟﹼﻠ ﺒﻋ ﻦ ﻋ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ: ﺑ ﹺﻦ ﺣﻜﻢ ﻋﻦ ﺍﰉ ﺻﺎﱀ ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻉ ﻌﻘﹶﺎ ﹺ ﻋ ﹺﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ ﺑ ﹺﻦ ﻋﺠﻼ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪ.ﻕ ﺧﻠﹶﺎ ﹺ ﻟ ﹺﺢ ﺍ َﻷﺎﻢ ﺻ ﻤّ ﺗﻟﹸﺎ ﺖ ﻌﹾﺜ ﺑ ﺎﻧﻤﺍ: ﺍﷲ ﺹ ﻡ “Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansyur berkata: menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin Ijlan Qo’qo’ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairah berkata Rasulallah SAW bersabda: sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.25 Adapun pendidikan karakter meski sebagai sebuah idealisme usianya setua usia pendidikan itu sendiri, namun baru sejak tahun 1990-an kembali lahir sebagai sebuah gerakan baru dalam pembinaan moral dan pembentukan karakter. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya The Return of Character Eduacation. Sebuah buku yang menyadarkan dunia Barat secara khusus di mana Lickona hidup, dan seluruh dunia pendidikan secara umum, bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Dalam konteks ini, sekolah sebagai institusi pendidikan sudah seharusnya terlibat secara formal dan strategis dalam membangun karakter. Inilah awal kebangkitan baru pendidikan karakter.26 25
Al Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Juz II, (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, t.th),
26
Marfu’, Terminology Yang Tepat Untuk Program Pembentukan Karakter ,
hlm. 504
http://aperspektif.com, 2011-02-26, Pkl 15.00
24
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa didik menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Menurut Ratna Megawangi, pembedaan ini karena moral dan karakter adalah dua hal yang berbeda. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk. Sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung didorong (drive) oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral selama ini. Itulah karenanya, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education). Walaupun secara substansial, keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.27 Seseorang dapat dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan dalam hidupnya.28 Ada dua pendapat tentang pembentukan atau pembangunan karakter. Di satu sisi, berpendapat bahwa karakter merupakan sifat bawaan dari lahir yang tidak dapat atau sulit diubah atau didikan. Disisi lain, berpendapat bahwa karakter dapat diubah atau dididik melalui pendidikan. Lepas dari kedua pendapat tersebut, penulis ingin mengkaji pada pendapat yang kedua, yaitu bahwa karakter dapat diubah melalui pendidikan.29 Hal ini sesuai dengan ayat yang berbunyi :
27
Marfu’, Terminology Yang Tepat Untuk Program Pembentukan Karakter ,
http://aperspektif.com, 2011-02-26, Pkl 15.00 28
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan,
(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), Cet. 2, hlm 15. 29
M. Furqon Hidayatullah, op.cit., hlm. 12-13.
25
3 öΝÍκŦàΡr'Î/ $tΒ (#ρçÉitóム4®Lym BΘöθs)Î/ $tΒ çÉitóムŸω ©!$# āχÎ) “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri sendiri”. (QS. Ar Ra’d/12: 11)30 Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibrahim, dia berkata: Allah mewahyukan kepada salah seorang nabi bani israil: Katakanlah kepada kaummu, “Tidaklah penduduk suatu negeri dan tidaklah penghuni suatu rumah yang berada dalam ketaatan kepada Allah, kemudian mereka beralih kepada kemaksiatan terhadap Allah melainkan Allah mengalihkan dari mereka apa yang mereka cintai kepada apa yang mereka benci.” Kemudian Ibrahim berkata: pembenaran atas pernyataan itu terdapat dalam kitab Allah, sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.31 Ada dua paradigma dasar Pendidikan karakter. Pertama, paradigma yang memandang Pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education). Pada paradigma ini disepakati telah adanya karakter tertentu yang tinggal diberikan kepada peserta didik. Kedua, melihat pendidikan dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas. Paradigma ini memandang Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi, menempatkan individu yang terlibat dalam dunia pendidikan sebagai pelaku utama dalam pengembangan karakter. Paradigma kedua memandang peserta didik sebagai agen tafsir, penghayat, sekaligus pelaksana nilai melalui kebebasan yang dimilikinya.32 Beberapa faktor penyebab rendahnya pendidikan karakter adalah: pertama sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter tetapi lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi pendidikan menekankan aspek kognitif atau akademik; 30
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Syaamil Cipta
Media, 1987), hlm. 250. 31
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Jilid 2, Hlm 906. 32
Bambang Q-Anees, M.Ag, dkk, op.cit., hlm. 103.
26
Ujian Nasional (UN). Kedua, kondisi social yang kurang mendukung pembangunan karakter yang baik.33 2. Tujuan Pendidikan Karakter Islami Memang tidak dapat diingkari bahwa sudah sangat mendesak pendidikan karakter diterapkan di dalam lembaga pendidikan kita. Alasanalasan kemerosotan moral, dekadensi kemanusiaan yang terjadi tidak hanya dalam diri generasi muda kita, namun telah menjadi cirri khas abad kita, seharusnya membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana lembaga pendidikan mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan kultur. Sebuah kultur yang membuat peradaban kita semakin manusiawi.34 Bagaimana meletakkan pendidikan karakter dalam kerangka perdebatan tentang tujuan pendidikan? Meletakkan tujuan pendidikan karakter dalam kerangka tantangan diluar kinerja pendidikan, seperti situasi kemerosotan moral dalam masyarakat yang melahirkan adanya kultur kematian sebagai penanda abad kita, memang bukan merupakan landasan yang kokoh bagi pendidikan karakter itu sendiri. Sebab dengan demikian, pendidikan karakter memperhambat diri demi tujuan korektif, kuratif situasi masyarakat. Sekolah bukanlah lembaga demi reproduksi nilai-nilai social, atau demi kepentingan korektif bagi masyarakat diluar dirinya, melainkan juga mesti memiliki dasar internal yang menjadi cirri bagi lembaga pendidikan itu sendiri. Manusia secara natural memang memiliki potensi di dalam dirinya untuk bertumbuh dan berkembang mengatasi keterbatasan dirinya dan keterbatasan budayanya. Di lain pihak manusia juga tidak dapat abai terhadap lingkungan sekitar dirinya. a. Meletakkan landasan karakter yang kuat.35 Dalam kerangka gerak dinamis dialektis, berupa tanggapan individu atas impuls natural (fisik 33
M. Furqon Hidayatullah, op.cit., hlm. 11.
34
Doni Koesoema A, Op Cit, hlm. 91
35
M. Furqon Hidayatullah, op.cit., hlm. 5
27
dan psikis), social, cultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa diri menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada di dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi. b. Semakin menjadi manusiawi berarti ia juga semakin menjadi makhluk yang mampu berelasi secara sehat dengan lingkungan diluar dirinya tanpa kehilangan otonomi dan kebebasannya sehingga ia menjadi manusia yang bertanggung jawab. Untuk ini, ia perlu memahami dan menghayati nilai-nilai yang relevan bagi pertumbuhan dan penghargaan harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam usaha dirinya untuk menjadi sempurna melalui kehadiran orang lain dalam ruang dan waktu yang menjadi ciri drama singularitas histories tiap individu. c. Dengan menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialektika proses pembentukan individu, para insan pendidik, seperti, guru, orangtua, staf sekolah, masyarakat, diharapkan semakin dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai saranan pembentukan pedoman perilaku, pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur keteladanan bagi anak didik dan menciptakan
sebuah
lingkungan
yang
kondusif
bagi
proses
pertumbuhan berupa, kenyamanan, keamanan yang membantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya (teknis, intelektual, psikologis, moral, social, estetis, dan religius). d. Memiliki tujuan jangka panjang yang mendasarkan diri pada tanggapan aktif kontekstual individu atas impuls natural social yang diterimanya yang pada gilirannya semakin mempertajam visi hidup yang akan diraih lewat proses pembentukan diri terus-menerus (on going formation). Sampai
kapan
pun
pendidikan
sebagai
suatu
upaya
menghadapkan manusia pada realitas yang terus saja berubah saat
28
ini.36 Tujuan jangka panjang ini tidak sekedar berupa idealisme yang penentuan sarana untuk mencapai tujuan itu tidak dapat diverifikasi, melainkan sebuah pendekatan dialektis yang semakin mendekatkan antara yang ideal dengan kenyataan, melalui proses refleksi dan interaksi terus-menerus, antara idealisme, pilihan sarana, dan hasil langsung yang dapat dievaluasi secara objektif. e. Pendidikan karakter lebih mengutamakan pertumbuhan moral individu yang ada dalam lembaga pendidikan. Untuk ini, dua paradigma pendidikan karakter merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Penanaman nilai dalam diri siswa, dan pembaharuan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu merupakan
dua
wajah
pendidikan
karakter
dalam
lembaga
pendidikan.37 3. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter Ada beberapa prinsip dasar pendidikan karakter: a. Manusia adalah makhluk yang dipengaruhi dua aspek, pada dirinya memiliki sumber kebenaran dan dari luar dirinya ada juga dorongan atau kondisi yang mempengaruhi kesadaran. Berkowitz membagi dua aspek emosi, yaitu selfcensorship (kontrol internal) dan prososial. Kontrol internal berkaitan dengan adanya perasaan bersalah (guilty feeling) dan malu (shame), dimana kontrol itu akan mencegah seseorang dari perilaku buruk dan selalu ada keinginan untuk memperbaiki diri. Sedang aspek prososial adalah terkait dengan emosi yang timbul karena melihat kesulitan atau penderitaan orang lain, dan ini biasa disebut dengan rasa empati atau simpati.38 Apabila control internal dan aspek prososial telah tertanam dalam diri individu, maka orang itu dapat dikatakan sebagai manusia 36
Nurani Soyomukti, Pendidikan Berspektif Global, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2010), Cet. 2, hlm. 41 37
Doni Koesoema A, op.cit, hlm.134-135.
38
Bambang Q-Anees, M.Ag, dkk, op.cit., hlm. 104
29
yang menjalani hidupnya hanya berdasarkan prinsip-prinsip moral (a principled person), atau telah menjadi manusia yang cerah budi. Inilah pribadi arif yang tidak akan terpengaruh oleh dorongan nafsu buruk di dalam dirinya, termasuk oleh nilai-nilai komunal atau kolektif yang bertentangan dengan hati nuraninya. Atas dasar prinsip ini, pendidikan karakter tidaklah bersifat teoritis (meyakini telah ada konsep yang akan dijadikan rujukan karakter), tetapi melibatkan penciptaan situasi yang mengkondisikan peserta didik mencapai pemenuhan karakter utamanya. Penciptaan konteks (komunitas belajar) yang baik, dan pemahaman akan konteks peserta didik (latar belakang dan perkembangan psikologi) menjadi bagian dari pendidikan karakter. b. Karena menganggap bahwa perilaku yang dibimbing oleh nilai-nilai utama sebagai bukti dari karakter, pendidikan karakter tidak meyakini adanya pemisahan antara roh, jiwa, dan badan. Hadis menyatakan bahwa iman dibangun oleh peran serta roh, jiwa dan badan yaitu melalui perkataan, peyakinan, dan penindakan. Tanpa tindakan, semua yang diucapkan dan diyakini bukanlah apa-apa, tanpa peyakinan maka tindakan dan perkataan tidak memiliki makna, kemudian tanpa pernyataan dalam kata, penindakan dan peyakinan tidak akan terhubung. c. Pendidikan karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi peserta didik untuk secara ikhlas mengutamakan karakter positif. Setiap manusia memiliki modal dasar (potensi dan kapasitanya yang khas) yang membedakan dirinya dengan orang lain. Aktualisasi dari kesadaran ini dalam dunia pendidikan adalah pemupukan keadaan khusus seseorang yang memungkinkannya memiliki daya tahan dan daya saing dalam perjuangan hidup. d. Pendidikan karakter mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia ulul albab yang tidak hanya memiliki kesadaran diri, tetapi juga kesadaran untuk terus mengembangkan diri, memperhatikan
30
masalah lingkungannya, dan memperbaiki kehidupan sesuai dengan pengetahuan dan karakter yang dimilikinya. Manusia ulul albab adalah manusia yang dapat diandalkan dari segala aspek, baik aspek intelektual , afektif maupun spiritual. Manusia semacam ini adalah manusia yang mempunyai competence, compassion, dan conscience. Manusia competence adalah manusia yang unggul dan menghargai proses. Disini ada kesadaran bahwa segala sesuatu tidak diperoleh dalam sekejap namun dalam waktu yang panjang dan lama. Perilaku KKN bermula dari pengingkaran
terhadap
prinsip
menghargai
proses.
Karena
mengingkari proses atau terlalu bersemangat menikmati hasil akhir banyak oknum yang menggunakan kedekatan, kekuatan uang dan kekuasaan sebagai jalan menuju hasil akhir. Sayangnya, mentalitas tidak menghargai proses ini telah dipupuk dibangku sekolah. Penghargaan pada nilai ujian akhir, misalnya, mencetak siswa untuk lebih mementingkan nilai akhir, seraya membangkitkan semangat ”menghalalkan segala cara” untuk mendapatkan prestasi akhir. Manusia yang memiliki compassion adalah manusia yang peduli dengan sesamanya. Lewat daya-daya manusiawinya, ia peka terhadap apa yang ada disekelilingnya. Ia memiliki kepedulian dan mampu menggunakan kepentingan banyak orang. Sedangkan manusia yang conscience adalah manusia yang sadar akan tujuan hidupnya. Dalam pendidikan karakter, tujuan hidup manusia adalah memuji, memuliakan dan mengabdi kepada Allah, sementara yang lain adalah sarana dan bukan tujuan hidup manusia. e. Karakter
seseorang
ditentukan
oleh
apa
yang
dilakukannya
berdasarkan pilihan. Individu mengukuhkan karakter pribadinya melalui setiap keputusan yang diambilnya. Hanya dari keputusannya inilah seseorang individu mendefinisikan karakternya sendiri. Oleh karena itu, karakter seseorang itu bersifat dinamis. Ia bukanlah kristalisasi pengalaman
31
masa lalu, melainkan kesediaan setiap individu untuk terbuka dan melatihkan kebebasannya itu dalam membentuk jenis manusia macam apa dirinya itu melalui keputusan-keputusan dalam hidupnya. Untuk inilah setiap keputusan menjadi semacam jalinan yang membingkai, membentuk jenis manusia macam apa yang diinginkannya.39 Setiap keputusan yang diambil menentukan akan kualitas seseorang dimata orang lain. Seseorang individu dengan karakter yang baik bisa mengubah dunia secara perlahan-lahan.40 4. Metode-Metode Pendidikan Karakter Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah,
mendorong
dan
memudahkan
seseorang
untuk
mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari.41 Pendidikan karakter di sekolah lebih banyak berurusan dengan penanaman nilai. Pendidikan karakter agar dapat disebut sebagai integral dan utuh mesti juga menentukan metode yang akan dipakainya, sehingga tujuan pendidikan karakter itu akan semakin terarah dan efektif. Bagaimana menerapkan metode yang integral bagi sebuah pendidikan karakter? Untuk mencapai pertumbuhan integral dalam pendidikan karakter, perlulah dipertimbangkan berbagai macam metode yang membantu mencapai idealisme dan tujuan pendidikan karakter. Metode ini bisa menjadi unsur-unsur yang sangat penting bagi sebuah projek pendidikan karakter sekolah. Al-ghazali mengemukakan dalam penerapan metode pendidikan akhlak atau karakter bagi anak adalah: a. Kerahmatan Illahi (fitrah) adalah dimana sebagian orang memiliki akal yang baik secara alamiah. Dengan kata lain, 39
Doni Koesoema A, op.cit, hlm.218
40
Bambang Q-Anees, M.Ag, dkk, op.cit., hlm. 106.
41
Ignas G Sasono, Tantangan Pendidikan Memecahkan Problem Bangsa, Tanggapan
Terhadap Pembatalan UU BHP, (Yogyakarta: Forkoma PMKRI, 2010), Cet. 1, hlm. 125.
32
sejak manusia diciptakan oleh allah telah diberikan kelimpahan karunia serta kesempurnaan dan ditakdirkan memiliki kepribadian yang baik, dimana mempunyai keseimbangan antara akal dan syahwat. b. Mengusahakan akhlak (karakter) anak yang baik dengan jalan latihan yang bersungguh-sungguh sebagaimana Al-Ghazali menjelaskan bahwa kalau kita mau melembutkan dan menuntut sifat marah dan nafsu syahwat dengan latihan dan mujahadah. c. Dengan pembiasaan (I’tiyad) dimana tujuannya supaya perbuatan atau perilaku anak tersebut dapat dikuasai dan menjadi kebiasaan anak. Imam Al-Ghazali memberi contoh dalam pembiasaan pendidikan akhlak pada anak yaitu seyogyanya anak itu dibiasakan bahwa ia tidak meludah pada tempat duduknya, dilarang menguap. d. Dengan keteladanan. Dimana pendidikan akhlak diberikan dengan metode keteladanan dapat dengan mudah untuk ditiru oleh anak, karena pada masa ini anak berada pada fase meniru, yakni suka mengikuti orang-orang yang berada disekitarnya, terutama meniru orang tuanya.42 Diantara cara untuk meningkatkan akhlaknya (karakter) ialah menguasakan sebagian sifatnya atas sifat lainnya, untuk itu anjurkanlah kepadanya agar bersikap dermawan dan pemurah melalui cara riya agar dia meninggalkan kekikiran dan kecintaan kepada duniawi serta kecintaan menghimpunkanya. Dan hendaknya dia meninggalkan pengaruh nafsu ghadhab dan nafsu sahwatnya agar dia menjadi orang yang terpuji karena menyandang sifat iffah dan berpegang kepada kebenaran. Setelah itu ia menanggulangi sifat riyanya dan memaksanya dengan kekuatan agamanya yang telah dihasilkanya selama mengolah jiwanya dan selama ia menghadapkan diri kepada Allah. 43 Karena akhlak (karakter) merupakan yang diajarkan dalam AlQuran tertumpu pada aspek fitrah yang terdapat dalam diri manusia, aspek
42
Nur Aeni, “Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak Bagi Anak Dalam
Kitab Ihya’ Ulumuddin Dan Implementasinya Dalam Pendidikan Islam”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo, 2007), hlm. 96-97. 43
Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2009), hlm. 279-280
33
wahyu, kemauan dan tekad manusia. Maka pendidikan akhlak atau karakter perlu dilakukan dengan cara: 1) Menumbuh kembangkan dorongan dari dalam yang bersumber pada iman dan taqwa, untuk itu perlu pendidikan agama. 2) Meningkatkan pengetahuan tentang akhlak al-Quran lewat ilmu pengetahuan pengamalan dan latihan, agar dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 3) Meningkatkan pendidikan kemauan yang menumbuhkan kebebasan manusia memilih dan melaksanakan yang selanjutnya kemauan itu mempengaruhi pikiran dan perasaannya.44 Secara umum, Ratna Megawangi menengarai perlunya penerapan metode 4 M dalam pendidikan karakter, yaitu mengetahui, mencintai, menginginkan, dan mengerjakan (knowing the good, loving the good, desiring the good, and acting the good) kebaikan secara simultan dan berkesinambungan. Metode ini menunjukkan bahwa karakter adalah sesuatu yang dikerjakan berdasarkan kesadaran yang utuh. Sedangkan kesadaran utuh itu adalah sesuatu yang diketahui secara sadar, dicintainya, dan diinginkan. Dari kesadaran utuh ini, barulah tindakan dapat menghasilkan karakter yang utuh pula. Pendidikan karakter yang mengakarkan dirinya pada konteks sekolah akan mampu menjiwai dan mengarahkan sekolah pada penghayatan pendidikan karakter yang realistis, konsisten, dan integral. Selain beberapa metode pendidikan karakter diatas, paling tidak ada lima metode pendidikan karakter (dalam penerapan di lembaga sekolah), yaitu mengajarkan, keteladanan, menentukan prioritas, praksis prioritas, dan refleksi. a. Mengajarkan Untuk dapat melakukan yang baik, yang adil, yang bernilai, kita pertama-tama perlu mengetahui dengan jernih apa itu kebaikan, 44
86
Erwin Yudi Prahara, “Konsep Pendidikan Akhlak”, Cendekia, (Januari/ 2005), hlm.
34
keadilan, dan nilai. Pendidikan karakter mengandalkan pengetahuan teoritis tentang konsep-konsep nilai tertentu. Memang, terkadang terjadi bahwa ada orang yang secara konseptual tidak mengetahui apa itu perilaku yang baik, atau apa itu keadilan, apa itu yang bernilai, namun ia mampu mempraktikan kebaikan dan keadilan itu dalam hidup mereka tanpa disadarinya. Perilaku berkarakter memang mendasarkan diri pada tindakan sadar si subjek dalam melaksanakan nilai. Meskipun tampaknya mereka tidak memiliki konsep-konsep jernih tentang nilai-nilai tersebut, sejauh tindakan itu dilakukan dalam kesadaran, tindakan tersebut dalam arti tertentu telah dibimbing oleh pemahaman tertentu. Tanpa adanya pemahaman dan pengertian tidak mungkin ada sebuah tindakan berkarakter. Lebih dari itu, sebuah tindakan dikatakan sebagai tindakan yang bernilai jika seseorang itu melakukannya dengan bebas, sadar, dan dengan pengetahuan yang cukup tentang apa yang dilakukannya. Ini mengandaikan adanya sikap reflektif atas tindakan sadar manusia. Perlu dimengerti bahwa perintah dan larangan adalah bagian yang sangat kecil dalam upaya pembentukan karakter. Hal pertama yang paling penting sesungguhnya adalah menanamkan kesadaran kepada anak tentang pentingnya sebuah kebaikan.45 Tindakan bebas dan sadar ini menjadi penanda dari tindakan yang sekadar instingtif atau ritual (yang lebih dekat dengan cara bertindak hewan daripada manusia). Sebuah tindakan yang tidak disadari, betapapun baiknya, betapapun adilnya, tidak akan memiliki makna bagi individu tersebut, sebab ia sendiri tidak menyadari dan tidak mengetahui makna tindakan yang dilakukannya sendiri. Karakter yang dewasa mengandaikan adanya pemahaman konseptual tentang norma perilaku tertentu, dan dengan kebebasannya,
45
Abdullah Munir, Op Cit, hlm 11
35
perilaku itu diterangi dan dituntun lewat pengetahuan tentang kebaikan tersebut. Pada dasarnya, perilaku kita banyak dituntun oleh pengertian dan pemahaman kita. Untuk inilah, salah satu unsure penting dalam pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-nilai itu sehingga anak didik memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bisa dikembangkan dalam mengembangkan karakter pribadinya. Pemahaman konseptual inipun juga mesti menjadi bagian dari pemahaman pendidikan karakter itu sendiri. Sebab, anak-anak akan banyak belajar dari pemahaman dan pengertian tentang nilai-nilai yang dipahami oleh para guru dan pendidik dalam setiap perjumpaan mereka. Proses diseminasi nilai ini tidak hanya dapat dilakukan secara langsung di dalam kelas, melalui sebuah proses pembelajaran dikelas, melainkan bisa memanfaatkan berbagai macam unsure lain dalam dunia pendidikan yang dapat membantu anak didik semakin menyadari sekumpulan nilai yang memang berharga dan berguna bagi pembentukan karakter dalam dirinya. Sarana lain dalam dunia pendidikan yang bisa dipakai membantu menyebarluaskan gagasan tentang nilai, misalnya proses perencanaan kurikulum. Dalam merencanakan kurikulum perlu dilihat apakah telah terdapat nilai-nilai etis yang menyerambah dalam kurikulum sehingga sekolah memiliki nilai-nilai yang ditawarkan (espoused values). Cara lain untuk mempertajam pemahaman tentang nilai-nilai adalah dengan cara mengundang pembicaraan tamu dalam sebuah seminar, diskusi, publikasi, dll, untuk secara khusus membahas nilainilai utama yang dipilih sekolah dalam kerangka pendidikan karakter bagi anak didik mereka.
36
b. Keteladanan Anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat. Verba movent exempla trahunt. Kata-kata itu memang dapat menggerakkan orang, namun teladan itulah yang menarik hati. Untuk ini, pendidikan karakter sesungguhnya lebih merupakan tuntutan terutama bagi kalangan pendidik sendiri. Sebab pengetahuan yang baik tentang nilai akan menjadi tidak kredibel ketika gagasan teoritis normatif nan apik itu tidak pernah ditemui oleh anak-anak dalam praksis kehidupan di sekolah. Uswatun Hasanah merupakan pendukung terbentuknya akhlak (karakter) mulia. Uswah hasanah lebih mengena apabila muncul dari orang-orang terdekat. Guru menjadi contoh yang baik bagi muridmuridnya, orang tua menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya, kiyai menjadi contoh yang baik bagi santri dan umatnya, atasan menjadi contoh yang baik bagi bawahannya.46 Keteladanan memang menjadi salah-satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah tujuan pendidikan karakter. Guru, yang dalam bahasa jawa berarti digugu lan ditiru, sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Kita ingat kata-kata Soekarno dihadapan para guru Taman Siswa. Dalam sambutan yang berjudul “Mendjadi goeroe dimasanja kebangoenan” itu Bung Karono berbicara tentang sebuah bangsa yang mendidik dirinya sendiri. Tumpuan pendidikan karakter ini ada di pundak para guru. Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak sekadar melalui apa yang dikatakan melalui pembelajaran didalam kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang guru, dalam kehidupannya yang nyata diluar kelas. Karakter guru menentukan (meskipun tidak selalu) warna kepribadian anak didik.
46
40
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: Rasail Media Group, 2009), Cet. 1, hlm.
37
Indikasi adanya keteladanan dalam pendidikan karakter adalah apakah terdapat model-model peran dalam diri insan pendidik (guru, staf, karyawan, kepala sekolah, direktur, pengurus perpustakaan, dll) demikian juga, apakah kelembagaan atau korporat terdapat contohcontoh dan kebijakan serta perilaku (institutional policy and behaviour) yang bisa diteladani oleh siswa sehingga apa yang mereka pahami tentang nilai-nilai itu memang bukan sesuatu yang jauh dari hidup mereka, melainkan ada dekat dengan mereka dan mereka dapat menemukan peneguhan dan afirmasi dalam perilaku individu atau lembaga sebagai manifestasi nilai. c. Menentukan Prioritas Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar proses evaluasi atas berhasil tidaknya pendidikan karakter dapat menjadi jelas. Tanpa prioritas, pendidikan karakter tidak dapat terfokus dan karenanya tidak dapat dinilai berhasil atau tidak berhasil. Pendidikan karakter menghimpukumpulan nilai yang dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi visi lembaga. Oleh karena itu, lembaga pendidikan memiliki beberapa kewajiban. Pertama, menentukan tuntutan standar yang akan ditawarkan pada peserta didik; kedua, semua pribadi yang terlibat dalam lembaga pendidikan harus memahami secara jernih apa nilai yang ingin ditekankan dalam lembaga pendidikan karakter; ketiga, jika lembaga ingin menetapkan perilaku standar yang menjadi ciri khas lembaga maka karakter standar itu harus dipahami oleh anak didik, orang tua dan masyarakat.47 d. Praksis Prioritas Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah bukti dilaksanakannya prioritas nilai pendidikan karakter tersebut. Berkaitan dengan tuntutan lembaga pendidikan atas prioritas nilai yang menjadi visi kinerja pendidikannya, lembaga pendidikan mesti mampu
47
Bambang Q-Anees, M.Ag, dkk, op.cit., hlm. 106.
38
membuat verifikasi sejauh mana visi sekolah telah dapat direalisasikan dalam lingkup pendidikan skolastik melalui berbagai macam unsure yang ada di dalam lembaga pendidikan itu sendiri. Untuk mencapai tujuan, maka pendidikan tidak hanya mengajarkan
berbagai
macam
ilmu
pengetahuan
dan
keterampilan,tetapi pendidikan harus juga mengajarkan nilai-nilai keutamaan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat dan membiasakan anak dengan berbagai macam kesopanan serta mempersiapkan mereka untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan kesucian dan kejujuran.48 Adanya verifikasi di lapangan tentang karakter yang dituntutkan itu, misalnya bagaimana sikap sekolah terhadap pelanggaran atas kebijakan sekolah. Demikian juga jika sekolah menentukan sebagai kriteria bagi pendidikan karakter dalam sekolah nilai-nilai demokratis, nilai ini mestinya dapat diverifikasi melalui berbagai macam kebijakan sekolah, seperti apakah corak kepemimpinan kelembagaan telah telah dijiwai oleh semangat demokrasi, apakah setiap individu dihargai sebagai pribadi yang memiliki hak yang sama dalam membantu mengembangkan kehidupan di dalam sekolah, dan lain-lain. Pertanyaan lain yang bisa diajukan tentang nilai demokrasi ini adalah apakah pemerintah yang demokratis itu dapat dirasakan seluruh anggota komunitas sekolah? Apakah di dalam sekolah terdapat pelayanan bagi komunitas yang merupakan wujud adanya perhatian bagi yang lain, tidak hanya di dalam lingkungan sekolah, melainkan sampai di lingkungan diluar sekolah? Apakah para siswa memiliki kesempatan untuk dapat belajar dari pengalaman, bukan hanya dari buku teks? Terhadap pelanggaran atas kebijakan kelembagaan yang berlaku secara adil dan transparan apakah sanksi objektif diterapkan secara transparan dan konsisten? 48
Imam Suraji, Etika Dalam Perspektif Al-Quran Dan Al-Hadits, (Jakarta:Pustaka Al
Husna Baru, 2006), Cet. 1, hlm. 40
39
e. Refleksi Pendidikan mempunyai tugas moral, bahwa produk dari pendidikan memang mempunyai kemampuan untuk bekerja baik.49 Karakter yang ingin dibentuk oleh lembaga pendidikan melalui berbagai macam program dan kebijakan senantiasa perlu dievaluasi dan direfleksikan secara berkesinambungan dan kritis. Sebab, sebagaimana dikatakan Sokrates, “hidup yang tidak direfleksikan merupakan hidup yang tidak layak dihayati”. Tanpa ada usaha untuk melihat kembali sejauh mana proses pendidikan karakter ini di refleksi, dievaluasi, tidak akan pernah terdapat kemajuan. Refleksi merupakan kemampuan sadar khas manusiawi. Dengan kemampuan sadar ini, manusia mampu mengatasi diri dan meningkatkan kualitas hidupnya dengan lebih baik. jadi, setelah tindakan dan praksis pendidikan karakter itu terjadi, perlulah diadakan semacam pendalaman, refleksi, untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter. Keberhasilan dan kegagalan ini lantas menjadi sarana untuk meningkatkan kemajuan yang dasarnya adalah pengalaman itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilihat, apakah para siswa setelah memperoleh kesempatan untuk belajar dari pengalaman dapat menyampaikan refleksi pribadinya tentang nilai-nilai tersebut dan membagikannya dengan teman lain? Apakah ada diskusi untuk semakin memahami nilai pendidikan karakter yang hasil-hasilnya bisa diterbitkan dalam jurnal, Koran sekolah, dan lain-lain.50
49
Slamet Imam Santoso, Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan, (Jakarta: UI
Press, 1981), Cet. 2, hlm.198 50
Doni Koesoema A, op.cit., hlm. 217
BAB III PEMIKIRAN NAJIB SULHAN TENTANG KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER
A. Biografi 1. Riwayat Hidup Najib Sulhan Najib Sulhan merupakan seorang praktisi pendidikan dan salah satu tokoh pendidikan karakter. Karya-karyanya sangat mewarnai khasanah pendidikan di Indonesia. Najib Sulhan lahir pada tanggal 28 September 1967 di Siraman, Dukun Gresik, Jawa Timur. Beliau lahir dari seorang ibu yang bernama Maghfiroh dan seorang ayah yang bernama Sulhan. Dalam kehidupannya Najib Sulhan, mempunyai istri bernama Ruchama dan dikarunia tiga orang anak, yaitu Nabila Hana Humairo, Rozanah Hana Muthi’ah dan Rizam Ali Azhar Rafsanjani. Dalam kehidupannya, keluarga Najib Sulhan dapat dikatakan merupakan keluarga yang berkecukupan. Sehingga beliau mampu mengenyam beberapa pendidikan di bangku formal. Adapun pendidikan Dasar sampai pendidikan menengah di tempuh di Pondok Pesantren Maskumambang Gresik tahun 1986. Beliau kemudian
melanjutkan
gelar
kesarjanaannya
di
Universitas
Muhammadiyah Surabaya dalam bidang Pendidikan Sastra dan Bahasa Indonesia (PBSI), dan diselesaikan tahun 1991. Tahun 2002 melanjutkan ke Pasca Sarjana dengan konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam di Universitas Muhammadiyah Yogjakarta dan lulus tahun 2004. Najib Sulhan memulai karir mengajarnya tahun 1988-1992. sedangkan tahun 1992-2004 diberi amanah sebagai Kepala Sekolah di SD Muhammadiyah 8 Surabaya. Kemudian Maret 2004-Juni2005, sebagai guru Bahasa Indonesia di SD Islam Al-Azhar Kelapa Gading Subabaya. Bulan Juli-September 2005 (3 bulan) menjadi Kepala SD Islam Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya.
40
41
Mulai Oktober 2005 diberi amanah menjadi Direktur Pergururan Islam AlAzhar Kelapa Gading Surabaya sampai 2011. Awal 2007 diberi amanah sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Surabaya.1 Selama perjalanan hidupnya hingga sekarang ini, selain menulis artikel dan menjadi editor beberapa buku Najib Sulhan juga pernah menjadi salah satu pengurus Majelis Penunjang Program Sekolah (MPPS), dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan berupa seminar, pendidikan dan pelatihan. 2. Hasil Karya-Karya Najib Sulhan a. “Pendidikan Berbasis Karakter; Sinergi Antara Sekolah dengan Rumah dalam Membentuk Karakter Anak”. Pendidikan karakter dengan menggunakan tiga pilar. Pertama, pembentukan moral, kedua, pengembangan kecerdasan majemuk, dan ketiga kebermaknaan pembelajaran. Selain itu ada langkah orang tua dalam membentuk karakter anak di rumah. b. “Anakku Investasiku”. Langkah-langkah strategis dalam mendidik anak. Mulai dengan memagami konsep dasar anak menurut Al-Qur’an. Mengenali dan meminij kecerdasan anak. Peran pendidikan di sekolah. Peran orang tua di rumah untuk mempersiapkan anak-anak menjadi anak yang solih-solihah. c. “Cara Mudah Bagi Guru Menjadi Penulis : Catatan Pengalaman dari Motivasi Hingga Penerbitan”. Motivasi bagi guru agar memiliki motivasi profesi alternatif sebagai penulis karena menulis itu mudah dan berdekatan dengan seorang guru. Ada beberapa langkah cara menulis buku ajar, buku teks, dan buku kerja. Selain itu ada langkah untuk mengirim buku ke penerbit. d. “Kumpulan Puisi Anak “Introspeksi””. Ada tiga kelompok puisi yang ada di dalam buku ini. Pertama, kelompok puisi yang terkait dengan bencana di Indonesia dengan nama “Air Mata Duka Anak Bangsa”. 1
Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, (Surabaya: PT. Jepe Press Media
Utama, 2010), Cet 1, hlm
42
Kedua, kelompok puisi tentang hari-hari besar yang diberi nama, “Cermin-cermin Kehidupan”. Ketiga, kelompok puisi tafsir dari Kitab suci (Al-Qur’an dan Hadits) yang diberi nama, “Janji-Janji dalam Kitab Suci”. e. “Piramida Bahasa Indonesia”. Berisi tentang ilmu kebahasaan, mulai dari pemahaman tentang huruf hingga wacana. Buku ini sebagai penunjang bagi siswa yang akan menghadapi Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD dan Unas untuk SMP. f. “Pembangunan Karakter Pada Anak: Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif”. Menyadari bahwa setiap anak memiliki karakter yang berbeda-beda. Untuk itu buku ini memberikan solusi untuk mengetahui cara memahami karakter anak dalam proses belajar mengajar. Selain itu untuk mengetahui problematika belajar pada anak. g. “Aku Bisa Memimpin”. Semua orang pada dasarnya adalah pemimpin. Namun demikian, tidak semua bisa memimpin dengan baik. Untuk itu, sejak kecil ada bekal-bekal yang perlu dimiliki oleh anak sehingga kelak menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin yang selalu dikagumi, diikuti, dan dirindukan. Semua itu dibentuk sejak dini. h. “Aku Ingin Menjadi Penulis Cilik”. Pada dasarnya menulis itu sangat mudah. Tapi sayang banyak yang takut untuk memulai. Buku ini memberikan motivasi kepada siswa yang memiliki hobi menulis. Selain itu ada langkah-langkah dan cara untuk menulis. Mulai dari membuat catatan harian hingga menjadi sebuah buku yang bisa diterbitkan. i. “Aku Ingin Menjadi Wartawan Cilik”. Wartawan menjadi profesi yang menarik untuk ditekuni. Buku ini berisi tentang cara menulis berbagai bentuk tulisan yang bisa dipublikasikan. Mulai dari cara menulis artikel, berita, feature, cerpen, puisi, dll. Selain itu cara membuat majalah dinding, buletin sekolah, dan majalah sekolah. j. “Anakku Penyejuk Jiwaku”. Setiap orangtua pasti mendambakan anak yang mampu menjadi penyejuk jiwanya. Namun perkembangan zaman
43
yang miskin dari nilai-nilai positif kerap menyeret anak-anak dalam kebobrokan. Mereka amat mudah menyerap perilaku yang buruk dan tak peka terhadap orang lain. Lalu apa yang harus dilakukan orangtua? Karya ini menjelaskan metode pengasuhan anak menurut Al-Quran, sikap dalam menghadapi dinamika mendidik anak, hal-hal penting yang harus diajarkan kepada anak, mengenali berbagai potensi anak dan mengarahkannya, sinergi antara pola asuh orangtua di rumah dan guru di sekolah. k. “Panduan Tertib Ibadah Untuk Sekolah Dasar” l. Buku teks kelas 1-6 “Bahasa Kita Bahasa Indonesia” m. “Special Goal: Program Berkelanjutan Tahfidz Al-Qur’an dan Doa n. “Membangun Sekolah Berbasis Karakter: Mengintetegrasikan Imtag dan Iptek dalam Pembelajaran” o. “Mari Belajar Kewarganegaraan” p. “Panduan Guru Mengajar:Mari Belajar Kewarganegaraan” q. “Cara Mudah Bagi Guru Menjadi Penulis Hebat”
B. Pemikiran Najib Sulhan Tentang Konsep Pendidikan Karakter Islami Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk membangun pendidikan yang berkualitas. Maka muncullah berbagai macam konsep pendidikan, baik itu pendidikan yang menekankan pada life skill, pendidikan yang berorientasi pada ujian nasional, pendidikan yang inklusif, bahkan kini ada kecenderungan untuk menengok ke luar negeri dengan sekolah bertaraf internasional. Namun, disisi lain terjadi fenomena yang cukup membuat kekhawatiran orang tua, bahwa merebaknya kasus pornografi, pornoaksi banyak terjadi di kalangan remaja. Tidak jarang dijumpai kasus korupsi yang kini sudah menjamur di mana-mana.2 Mengacu pada peran pendidikan yang begitu signifikan dalam mengatasi berbagai masalah-masalah diatas maka Najib Sulhan mencetuskan
2
Wawancara Najib Sulhan, Kamis, 12- Mei- 2011.
44
konsep pendidikan karakter. Dalam pemikirannya tentang pendidikan karakter Najib Sulhan mencoba menuangkan konsep pendidikan yang bertumpu pada sifat dasar manusia dengan menggunakan tiga pilar utama. Pertama, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu memiliki kecenderungan berbuat baik. Untuk itulah sifat-sifat Rosulullah Muhammad menjadi teladan yang harus dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari agar fitrah itu terus terjaga. Kedua, setiap anak itu cerdas. Artinya, tidak ada anak yang bodoh. Setiap anak memiliki kecerdasan, untuk itulah kecerdasan yang berbeda itu perlu dikembangkan sesuai dengan potensinya. Ketiga, setiap aktifitas mempunyai tujuan, begitu pula dalam pembelajaran. Oleh karena itulah, setiap pembelajaran lebih ditekankan pada kebermaknaan materi. Tentunya dengan pendekatan-pendekatan yang mampu menggugah anak untuk belajar mandiri dalam mencapai tujuannya. Dalam memahami tiga pilar yang ada, sekolah tidak bisa melangkah sendiri. Ketiga pilar itu perlu dukungan dari orang tua. Antara sekolah dengan orang tua harus saling memberikan dukungan sehingga akan terwujud sebuah harapan. Semua itu tidak lepas dari rasa tanggungjawab yang kuat dan kerja keras untuk tujuan membangun karakter anak bangsa. Setiap karakter dapat berubah.3 Dalam membangun karakter pendidikan di sekolah, ada tiga pilar yang perlu dijadikan pijakan. Adapun pilar yang dipakai untuk mewujudkan sekolah berkarakter meliputi tiga hal. Pertama,
membangun
watak,
kepribadian,
atau
moral.
Kedua,
mengembangkan kecerdasan majemuk. Ketiga, kebermaknaan pembelajaran.4 1. Pembentukan Moral Anak Manusia adalah makhluk yang paling mulia di antara para makhluk lain.5 Membangun watak anak bangsa tidak semudah membalik telapak 3
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. 1,
4
Najib Sulhan, op cit, hlm. 8
5
Muhsin Qira’ati, Mencegah Diri Dari Berbuat Dosa, (Jakarta: Lentera, 2005), Cet. 1,
hlm. 58
hlm. 162
45
tangan. Namun demikian, bukan berarti tidak bisa. Setiap manusia mempunyai watak yang berbeda satu sama lainya.6 Untuk membangun watak manusia, perlu mengikuti jejak perilaku Rosulullah Muhammad sebagai panutan umat. Beliau memilik karakter yang harus diteladani. Karakter tersebut adalah sidiq yang artinya benar atau jujur, amanah artinya dapat dipercaya, tablig artinya menyampaikan kebenaran, dan fathonah artinya cerdas. Oleh karena itu, contoh akhlak yang sesungguhnya mulia tercermin pada pribadi, perilaku, perkataan dan perbuatan rasulullah.7 Selanjutnya, pembangunan karakter perlu dijabarkan lebih terperinci. Agar mudah dipantau dan dinilai, maka perlu adanya indikator. Sekolah bukanlah ruang hampa makna. Bagi pendidikan karakter keseluruhan lembaga (fisik dan orang-orangnya) haruslah menjadi teladan. Semua pihak yang terlibat didalam sekolah harus menampilkan diri sebagai teladan pelaksanaan nilai-nilai, dan juga harus memberikan dorongan8 Adapun langkah-langkah pembentukan karakter atau moral yaitu: a. Memasukan konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara. 1). Menanamkan nilai kebaikan kepada anak (knowing the good) Menanamkan konsep diri pada anak setiap akan memasuki materi pelajaran. Baik itu dalam bentuk janji tentang karakter, maupun pemahaman tentang makna pada karakter yang akan disampaikan.
6
Gregory G Young, Membaca Kepribadian Orang, (Yogyakarta: Think, 2009), Cet.
13, hlm. 13. 7
Baihaqi, Pendidikan Anak Dalam Kandungan,Menurut Ajaran Pedagogis Islami,
(Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), Cet. 2, hlm. 127 8
Wawancara Najib Sulhan, Kamis, 12- Mei- 2011.
46
2). Menggunakan cara yang membuat anak memiliki alasan atau keingianan untuk berbuat baik (desiring the good) Memberikan beberapa contoh kepada anak mengenai karakter yang sedang dibangun. Misalnya melalui cerita dengan tokoh-tokoh yang mudah dipahami siswa. Tentunya tokoh-tokoh yang berhasil. Ini mempermudah anak untuk melakukan sesuatu hal karena ada alasan yang tepat untuk melakukan hal tersebut. Selain itu, anak juga diberitahu tentang manfaat atau alasan mengapa harus melakukan perbuatan itu. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh anak memiliki tujuan yang positif. 3). Mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik (loving the good) Agar anak mengembangkan karakter yang baik, maka ada penghargaan bagi anak yang membiasakan melakukan kebaikan. Begitupula dengan anak yang melakukan pelanggaran, supaya diberi hukuman yang mendidik. 4). Melaksanakan perbuatan baik (acting the good) Karakter yang sudah mulai dibangun melalui konsep diaplikasikan dalam proses pembelajaran selama disekolah. Selain itu,
juga
memantau
perkembangan
anak
dalam
praktek
pembangunan karakter di rumah. Dalam hal ini, guru sebagai model. Guru akan banyak dilihat oleh siswa. Apa yang dilakukan oleh guru, dianggap benar oleh siswa. Untuk itulah, guru harus mampu memberikan contoh yang positif.9 b. Membuat slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat sekolah. Beberapa slogan untuk membangun kebiasaan, misalnya: 1). Kebersihan: Kebersihan Sebagian dari Iman Kebersihan Pangkal Kesehatan
9
Najib Sulhan, op cit, hlm. 17
47
2). Kerjasama Tolong Menolong dalam Kebaikan, Jangan Tolong Menolong dalam Kejelekan Berat Sama Dipikul Ringan Sama Dijinjing 3). Jujur Kejujuran Modal Utama dalam Pergaulan Katakan yang Jujur Walaupun Itu Pahit 4). Menghormati Hormati Guru Sayangi Teman Surga Ditelapak Kaki Ibu 5). Sabar Sesungguhnya Allah Bersama dengan Orang yang Sabar Jadikan Sabar dan Sholat Sebagai Penolongmu 6). Sopan Keselamatan Manusia Terletak Pada Mulutnya c. Pemantauan secara kontinyu Dalam
penerapannya,
nilai-nilai
pembentukan
karakter
dimasukkan pada setiap kegiatan pembelajaran dan dalam prosesnya dipantau secara kontinyu, sehingga dalam prosesnya akan berjalan dengan benar dan mencapai tujuan dengan baik.10 Pemantauan
secara
kontinyu
merupakan
wujud
dari
pelaksanaan pembangunan karakter. Beberapa hal yang selalu dipantau antara lain: 1). Kedisiplinan masuk sekolah 2). Kebiasaan saat makan dikantin 3). Kebiasaan dikelas 4). Kebiasaan dalam berbicara (sopan santun berbicara) 5). Kebiasaan ketika dimasjid11
10
Wawancara Najib Sulhan, Kamis, 12- Mei- 2011.
11
Najib Sulhan, op cit, hlm. 18
48
Dalam pemantauan ini ada data yang dimiliki guru. Anak yang sudah melakukan pembiasaan berbuat baik, masuk dalam penilaian afektif. Bagi anak yang belum bisa melakukan pembiasaan berbuat baik atau masih sering melakukan aktifitas diluar aturan, perlu langkah persuasif agar bisa melakukan pembiasaan yang positif. Penanaman moral ini dilakukan dengan cara pendampingan guru. Selain sebagai modal perilaku sehari-hari dalam bentuk perilaku yang bisa diteladani, guru juga melakukan pemantauan secara berkelanjutan terhadap perkembangan moral anak. Guru juga bisa membangun komunikasi yang efektif dengan orang tua tentang perilaku anak dirumah. semua itu untuk menyiapkan anakanak dalam rangka mengokohkan konsep moral pada diri mereka, Penanaman moral ini dikelompokan dalam wilayah soft competencies, yaitu kemampuan paling dasar yang belum tampak yang harus ditampakan kepada anak. Soft competencies inilah yang akan menjadi penentu keberlangsungan anak hingga mencapai keberhasilan yang tampak, yakni kemampuan-kemampuan yang terukur dan bisa dirasakan oleh anak, yang sering disebut dengan hard competence. Soft competencies terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, perilaku yang meliputi kejujuran, sopan santun, empati dan lainlain. Kedua, konsep diri yang meliputi keberanian berpendapat, percaya diri, dan sebagainya. Ketiga, motivasi yang meliputi kesungguhan belajar, tanggung jawab, disiplin, dan lain-lain. Yang termasuk hard competencies antara lain kemampuan akademik, kemampuan berbahasa, kemampuan teknik (terampil komputer, seni dan lain-lain). Hard competencies bisa konsisten apabila apabila soft competencies memberikan dukungan yang kuat.12
12
Ibid, hlm. 19
49
Agar pendampingan bisa berjalan dengan baik, setiap guru mempunyai buku pemantauan siswa, khususnya berkaitan dengan soft competencies. Ini penting artinya untuk mengetahui database tentang kondisi yang paling utama bagi anak. Selanjutnya hal ini dikomunikasikan dengan orangtua. d. Penilaian Orang Tua Orang tua memiliki peranan yang sangat besar dalam membangun karakter anak. Waktu anak dirumah lebih banyak dibandingkan
dengan
disekolah.
Apalagi,
sekolah
merupakan
lingkungan yang dikendalikan. Anak bisa saja hanya takut pada aturan yang dibuat. Sementara, rumah merupakan lingkungan sebenarnya yang
dihadapi
anak.
Rumah
adalah
tempat
pertama
anak
berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Untuk itulah, orangtua diberikan kesempatan untuk menilai anak, khususnya dalam pembentuk moral anak. Di sekolah, guru mempunyai kewajiban untuk memantau perkembangan perilaku anak. Apa yang terjadi sudah menjadi tanggung jawab guru sehingga ada aturan yang diikuti oleh anak. Ada pendampingan guru agar anak bisa mengikuti apa yang dicontohkan guru.
Jika
dirumah,
tentunya
orangtualah
yang
memantau
perkembangan perilaku anak. Pemantauan guru terhadap perkembangan anak disekolah perlu disampaikan kepada orangtua. Begitu juga apa yang dilakukan oleh orang tua dirumah disampaikan kepada guru. Dengan demikian dalam mencermati perkembangan perilaku anak bisa sempurna, baik disekolah maupun dirumah. Orangtua dan guru tidak boleh berpurapura dalam memberikan laporan. Hal ini untuk kepentingan anak dimasa yang akan datang.13
13
Ibid, hlm. 21
50
Betapa indahnya apabila dalam membentuk moral anak terjadi sinergi antara sekolah dengan orangtua. Betapa baiknya apabila orangtua dan guru menyadari perannya dalam membangun mentalitas anak. Jika terjadi sinergi antara sekolah dan orangtua, maka anak-anak akan mampu menghadapi tantangan zaman di masa depan. Ada panduan yang bisa dipakai oleh orang tua dalam membuat penilaian, terutama dalam hal perkembangan perilaku atau moral anak. Adapun masalah akademik, penilaian diserahkan kepada sekolah. 2. Pengembangan Kecerdasan Majemuk Kecerdasan diartikan sebagai kesempurnaan perkembangan akal budi (kepandaian atau ketajaman pikiran). Dengan kata lain, setiap orang yang memiliki ketajaman pikiran disebut orang yang cerdas. Keceredasan
seseorang
memiliki
berbagai
dimensi.
Ada
kecerdasan yang muncul secara alami, ada pula yang muncul melalui proses. Kecerdasan yang muncul secara alami dan ini pemberian Allah sejak dari lahir disebut Intelligence Quotient (IQ). Ada kecerdasan yang muncul melalui proses pendewasaan pikiran, mengolah perasaan, dan hati, yang disebut Emotional Quotient (EQ). Ada juga kecerdasan yang muncul melalui penghayatan, pemahaman, dan pendalaman tentang agama, yang disebut Spiritual Quotient (SQ). Selain itu, ada juga kecerdasan yang muncul dari sebuah keinginan untuk mengubah hambatan menjadi peluang, yang disebut Adversity Quotient.14 Setiap kecerdasan yang muncul pada masing-masing pribadi merupakan ketajaman pikirannya, baik yang muncul secara alami, maupun yang muncul melalui proses pengasahan. Kecerdasan tersebut harus selalu dikembangkan agar potensinya terus melejit. Ini yang menjadi kata kunci bagi guru dan orang tua yang masih beranggapan bahwa IQ adalah segalagalanya, sehingga ketika melihat anak yang IQ-nya rendah, seolah-olah
14
Ibid, hlm. 25
51
sudah tidak memiliki masa depan. Padahal, masih ada kecerdasan lain yang perlu dikembangkan. Setiap anak memiliki kecerdasan, tidak ada anak yang bodoh. Jika dalam satu hal anak itu tidak bisa, di hal yang lain dia pasti memiliki keunggulan. Bukankah manusia itu makhluk yang sebagus-bagus bentuk? Memiliki rupa yang tidak bisa ditandingi oleh makhluk yang lain. Memiliki akal budi sebagai bekal khalifah dimuka bumi. Disinilah kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah kata kunci yang mesti dipahami oleh guru dan orang tua. Kecerdasan setiap anak ada yang dilihat melalui tes kecerdasan, dari talenta sejak kecil, ada pula pula yang muncul melalui pengasahan secara berulang-ulang. Dengan demikian,kita semua
tahu bahwa manusia
memiliki potensi untuk sukses dengan mengembangkan kecerdasan yang dimilikinya. Pendidikan harus mengembangkan semua potensi dalam diri seorang individu sampai batas optimum dalam hakikat individu tersebut.15 Agar kecerdasan yang dimiliki anak bisa dikembangkan secara maksimal, maka sekolah dan orang tua dituntut memiliki keperdulian dalam mengasah kecerdasan yang dimiliki anak. Sekolah dasar merupakan tempat yang sangat menentukan untuk mengetahui potensi kecerdasan anak. Diusia-usia ini lah munculnya berbagai keinginan anak. Pada satu saat itu anak ingin menjadi pelukis, dokter, penyanyi, olahragawan, tentara dan lain-lain. Untuk itulah disekolah dasar sangat diharapkan kepedulian dari guru dan orangtua untuk menemukan potensi kecerdasan anak. Agar potensi kecerdasan yang dimiliki bisa digali dengan baik perlu dirancang program yang terstruktur.16 Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menghargai konteks pribadi peserta didik. Setiap individu memiliki latar belakang keluarga, pengalaman masa lalu, dan kecerdasan yang berbeda-beda. Jadi, pola
15
Slamet Imam Santoso, Op cit hlm.196.
16
Najib Sulhan, op cit, hlm. 27
52
pendidikan tidak bisa disamaratakan antara satu individu dengan individu lainya.17 Pendidikan harus mengembangkan semua potensi dalam diri seorang individu sampai batas optimum dalam hakikat individu tersebut.18 Sedangkan bimbingan pendidikan itu berdiri diatas prinsip-prinsip dasar yang dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Manusia berbeda dari segi tingkat-tingkat kemampuan intelektualnya, dari segi minat, nilai-nilai dan berbagai potret pribadinya. Prinsip ini disebut perbedaan-perbedaan perseorangan. b. Bidang-bidang pendidikan berbeda satu sama lain dari segi kemampuan-kemampuan intelektual yang diperlukannya, sebagaimana juga berbeda satu sama lain dari segi tingkat yang diperlukan dari kemampuan-kemampuan ini. Juga bidang-bidang ini berbeda satu sama lain dari segi faktor-faktor motif yang diperlukannya. c. Adalah lebih baik bagi murid-murid jika ia mengambil jurusan pendidikan yang sesuai dengan potensi-potensinya. Sebab pada bimbingan ini ada peluang untuk mewujudkan potensi-potensinya, juga sebab kemungkinan untuk berhasil lebih besar.19 3. Kebermaknaan Pembelajaran a. Memahami Kebermaknaan Pembelajaran Pembelajaran haruslah bermakna, artinya apa yang dipelajari oleh anak harus bisa memberikan manfaat. Kadang guru berpendapat bahwa apa yang diajarkan kepada anak adalah sesuatu yang bermanfaat. Sementara disisi lain, banyak anak yang merasa kurang bermanfaat terhadap apa yang sudah dipelajari sehingga tidak ada minat dan gairah untuk belajar. 17
Bambang Q-Anees, M.Ag, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), Cet. 1, hlm. 127 18 19
Slamet Imam Santoso, Op cit, hlm. 196 Hasan langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka Al Husna,
1986), Cet. 1, hlm. 449
53
Untuk apa manusia harus belajar? pertanyaan ini sering kali muncul dalam benak anak dan orangtua. Setiap pagi anak berangkat sekolah dan pulang siang hari, bahkan ada yang sampai sore hari, apa yang didapatkan dari sekolah? Sudah
saatnya
sekolah
mengedepankan
nilai-nilai
kebermaknaan dalam pembelajaran. Banyak dijumpai anak yang sekolah tetapi pada hakikatnya tidak belajar. Waktu yang begitu panjang terbuang tanpa hasil. Mengapa yang demikian bisa terjadi? Semua itu terjadi karena nilai kebermaknaannya tidak ada. Jika itu yang terjadi, maka kejenuhan akan muncul pada anak. Kejenuhan yang memuncak pada anak akan memunculkan pemberontakan psikis. Akibat yang terjadi pada pemberontakan psikis adalah penyelewengan. Untuk kota-kota besar, sangat menghawatirkan jika kondisi ini terjadi. Sebelum kondisi seperti ini terjadi, maka perlu pembenahan
dalam
pendidikan,
terutama
dalam
menentukan
kebermaknaan pendidikan. Sekolah dituntut untuk mengerti kebutuhan anak. disinilah nilai-nilai kebermaknaan itu dibangun. Dimulai dari sebuah pertanyaan yang cukup sederhana yang harus dibuat oleh setiap guru. Untuk apa anak mempelajari materi ini (agama, bahasa, matematika, sains, IPS dan lain-lain)? Dengan mengetahui nilai-nilai kebermaknaan setiap materi pelajaran, maka guru juga akan membuat strategi agar materi itu betul-betul bermakna bagi anak. Jika guru sudah memahami nilai-nilai kebermaknaan mengenai pelajaran yang diberikan kepada anak, maka guru pula yang dituntut untuk memahamkan hal ini kepada anak. Jangan sampai muncul dari satu pihak. Untuk itu, berbagai pendekatan perlu dilakukan dengan melihat perkembangan anak.20
20
Najib Sulhan, op cit, hlm. 43
54
Pendidikan
dan
berkesinambungan
dengan
latihan
harus
memanfaatkan
dilakukan proses
belajar
secara yang
memampukan peserta didik menyerap dengan baik apa yang dipelajari dan tidak pernah melupakanya.21 Anak
akan
merasakan
nilai-nilai
kebermaknaan
dalam
pembelajaran apabila apa yang diberikan oleh guru sesuai dengan dunianya dan lingkungan terdekat dengannya. Sebaliknya, anak akan merasa asing bila pembelajaran itu menjauh dari realita yang dihadapi anak. dengan kata lain, pembelajaran akan bermakna jika melalui pendekatan kontekstual. Lebih jauh seorang pakar pendidikan, Prof. Muchlas Samani dalam bukunya Menggagas Pendidikan Bermakna: Integrasi Life SkillKBK-CTL-MBS mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual dan pembelajaran yang menyenangkan sejalan dengan prinsip bahwa pembelajaran harus bermakna (meaningful learning). b. Penetapan Tujuan Langkah
awal
untuk
mewujudkan
pembelajaran
yang
bermakna adalah menetapkan tujuan. Mengutip pernyataan Prof. Muchlas Samani, bahwa tujuan seseorang bersekolah (mengikuti program pendidikan) adalah untuk memperoleh bekal dalam menghadapi masa depannya sehingga mampu mencapai sukses. Wali murid menyekolahkan anaknya supaya pandai dan dengan kepandaian itu dapat memperoleh kesuksesan setelah dewasa. Tujuan mengajar dan mendidik pada hakikatnya adalah meletakkan landasan karakter yang kuat melalui internalisasi nilai dalam pendidikan.22
21
Soemarno Soedarsono, Membentuk Watak, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2002), Cet. 1, hlm. 148 22
M. Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa,
(Surakarta: Yuma Pustaka, 2010) Cet 1, hlm. 5
55
Untuk
mewujudkan
pembelajaran
yang
memiliki
kebermaknaan, maka ada langkah-langkah strategis untuk dilakukan oleh sekolah atau guru. Pertama, sekolah melihat kebutuhan lingkungan sekitar. Artinya, apa yang semestinya diberikan kepada anak-anak sehingga kelak dengan lingkungan yang ada akan sukses mengembangkan potensi lingkungannya. Kedua, berikan lembar isian untuk guru agar menentukan nilai-nilai kebermaknaan dari materi yang diajarkan dan langkah yang ditempuh untuk mencapai tujuan yang digambarkan dalam nilai-nilai kebermaknaan materi yang diajarkan. Ketiga, menanamkan kepada anak tentang nilai-nilai kebermaknaan dari meteri pelajaran yang diberikan.23 Setiap materi yang diajarkan pasti mempunyai nilai manfaat bagi anak, terutama bekal untuk masa depan. Cobalah sekarang membuat rancangan mengenai kebermaknaan materi yang bapak atau ibu kerjakan selama ini.
C. Strategi Pembentukan Karakter Menurut Najib Sulhan 1. Strategi Pembentukan Karakter Menurut Najib Sulhan Pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Berdasarkan pemikirian Najib Sulhan tentang konsep pendidikan karakter Islami, dapat dirumuskan bahwa ada beberapa strategi atau pendekatan dalam pendidikan karakter yang dapat dilakukan melalui sikap-sikap sebagai berikut: a. Menerapkan Model-Model Pembelajaran 1). Model Kolaborasi Bikin Betah Belajar di Kelas Pembelajaran yang muncul dikelas-kelas awal di SD, kelas 1, 2, dan 3, merupakan masa transisi dari pra-sekolah ke lembaga sekolah yang perlu mendapat sentuhan yang lebih halus. Untuk menghindari kejenuhan dan rasa takut, maka kelas di model dalam
23
Najib Sulhan, op cit, hlm. 44
56
bentuk berkelompok. Meja tertata dalam model kelompokkelompok dengan berbagai bentuk dan warna. Ada bentuk lingkaran, segitiga, jajaran genjang, belah ketupat, segi empat, dan lain-lain.24 Kelas model seperti ini, selain cocok untuk pembelajaran kooperatif dan kolaboratif, dan juga cocok untuk model kontekstual dan konstruktivis. Anak merasa seolah-olah dalam proses belajar itu sedang bermain, terutama berkolaborasi dengan teman yang lain untuk memahami perbedaan setiap individu. Mereka
saling
menghargai.
Meskipun
demikian,
karakter
individual tidak harus dihilangkan, karena itu merupakan ciri khas setiap individu. Pembelajaran
kolaboratif
(collaborative
learning)
merupakan model pembelajaran yang menerapkan paradigma baru dalam proses belajar. Pendekatan ini dapat digambarkan sebagai suatu model pembelajaran dengan menumbuhkan para siswa untuk bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama. Kelas model pembelajaran kolaborasi ini sebaiknya dipandu oleh team teaching, yaitu tim guru yang lebih dari satu. Setiap
guru
memiliki
job
description
untuk
memantau
perkembangan anak. Pada tahap-tahap awal inilah ada database yang diperoleh dari guru, sehingga permasalahan yang ada sudah mulai diketahui mulai awal dan sudah mulai ada pemecahanya. Ada beberapa hal yang perlu dipantau oleh guru dalam pembelajaran kolaborasi. Pertama, bagaimana gaya belajar anak. Setiap anak mempunyai gaya belajar yang berbeda. Kedua, mengenai kesulitan yang dihadapi oleh anak dalam berkolaborasi dengan yang lain. Ketiga, sikap anak dalam membangun kerjasama
24
Ibid, hlm. 124
57
antar teman. Keempat, komunikasi anak dalam berkolaborasi dengan teman lainya. Kelima, bagaimana respon anak terhadap pembelajaran yang sedang berlangsung. 2). Cegah Kebosanan dengan Rolling Class atau Moving Class Kegiatan yang membosankan biasanya mempercepat munculnya titik jenuh. Hal itu juga terjadi pada proses pembelajaran di dalam kelas. Kelas yang monoton dengan batas dinding tebal, menyebabkan anak merasa terkungkung pada pola yang sama dan pada akhirnya malas untuk mengikuti pembelajaran karena dianggap tidak menarik. Sementara konsep pembelajaran paradigma baru adalah enjoyful learning. Mengantisipasi persoalan itu bukan hal yang mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Kita semua sepakat bahwa untuk menumbuhkan gairah belajar anak, dibuat situasi yang kondusif bagi anak untuk belajar. Berbagai cara dilakukan agar anak senang belajar. Istilah rolling class atau moving class memang jarang didengar di Sekolah Dasar, namun ternyata model ini bisa juga dikembangkan. Dalam pembelajaran model rolling class atau moving class, situasi kelas disesuaikan dengan karakter bidang studi. Kelas bahasa sangat akrab dengan nuansa bahasa. Kelas sains, sesuai dengan karakter pembelajaran sains. Begitu pula dengan kelas-kelas yang lain seperti kelas matematika, IPS, kesenian, dan lain-lain. Semua mencerminkan karakter bidang studi.25 Banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari desain model rolling class atau moving class. Secara psikologis, anak lebih senang karena dapat mencegah kebosanan. Dengan menghindari kebosanan, maka akan tumbuh rasa senang untuk belajar. Apalagi
25
Ibid, hlm. 127
58
desain kelas kontekstual dapat membantu pembelajaran, karena proses pembelajaran berangkat dari hal yang konkret menuju yang abstrak. Dengan demikian, rasa ingin tahu anak semakin tinggi. Kegiatan model ini juga memberikan peluang bagi anak yang memiliki gaya belajar yang kinestetik. Anak yang kinestetik merasa dihargai karena potensi gerak yang dimiliki dapat tersalurkan. Pembelajaran rolling class atau moving class banyak membantu perkembangan motorik anak. 3). Motivasi Tumbuh Melalui Ramah Guru dan Ramah Anak Banyak cara yang dikembangkan dalam mendidik anak. Salah satunya adalah mendidik dengan cinta. Mendidik dengan cara seperti ini merupakan ciri pendidikan yang diterapkan oleh Rasulullah SAW. Kekerasan bukan jalan yang terbaik untuk mendidik anak. Apapun alasanya, kekerasan yang ditampilkan oleh seorang guru hanya akan menyebabkan rasa takut yang mendalam bagi anak. Belajar dengan rasa takut tidak akan memperoleh hasil yang maksimal. Bahkan dalam sebuah penelitian membuktikan bahwa kegagalan anak dalam belajar 80% disebabkan karena stress. Perkataan kasar dan pemberian hukuman yang berlebihan adalah hal yang tidak diingini oleh semua anak, walaupun menurut guru demi kebaikan anak. Yang dirasakan anak hanyalah bahwa kemarahan itu menjadi bukti ketidaksenangan guru kepadanya. Maka satu kata kunci paling ampuh dalam mendidik anak adalah dengan berlaku lemah lembut, penuh cinta kasih, walaupun dalam keadaan marah sekalipun.26 Berbuat lemah lembut kepada anak, bukan berarti harus menuruti semua kemauan anak. Seorang guru terlebih dahulu harus memahami karakter anak. Setiap anak pasti memiliki perbedaan.
26
Ibid, hlm. 129
59
Setiap anak tidak bisa disamaratakan dalam proses pembelajaran. Ada yang cepat menangkap pelajaran, ada pula yang lambat. Ada yang tenang didalam kelas, ada pula yang tidak mau diam. Gaya seperti itulah yang seharusnya dipahami oleh guru. 4). Membangun Pengetahuan Melalui Pembelajaran Konstruktivis Pengetahuan tidak begitu saja bisa ditransfer dari seorang guru kepada muridnya dengan model paradigma lama bahwa anak mampu memahami sesuatu pengetahuan cukup hanya dengan mendengar, mencatat dan menghafal. Pengetahuan akan lebih bermakna jika dibangun melalui sebuah pengalaman sedikit demi sedikit. Pengetahuan itu suatu konstruksi, suatu bentukan dari seseorang yang sedang mempelajari sesuatu. Pengetahuan bukan sekedar pengetahuan yang dihafalkan dari pengajar. Pengetahuan akan lebih bermakna apabila siswa mau belajar dan menemukan sesuatu melalui pengalaman belajar. Dalam paradigma baru bahwa pembelajaran bukan sekedar bagaimana guru mengajar, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana guru membuat siswa mau belajar. Dalam pandangan konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membentuk pengetahuan. Dalam model ini anak lebih banyak diajak untuk menemukan sesuatu melalui penelitian. Dari penelitian inilah, akan menemukan sesuatu dari pengalaman yang ada. Untuk selanjutnya, pengalaman itu dikonstruksi oleh anak melalui pengalaman belajar.27 Ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah produk akal manusia setelah akal memikirkan secara sistematis dan mendalam dengan menggunakan metode tertentu terhadap gejala alam. Orang yang memikirkan tumbuh-tumbuhan akan menghasilkan ilmu
27
Ibid, hlm. 131
60
tumbuh-tumbuhan. Orang yang memikirkan gerak dan gejala planet ruang angkasa akan menghasilkan ilmu antariksa. Orang yang memikirkan kehidupan binatang akan menghasilkan ilmu tentang fauna. Orang yang memikirkan kehidupan fisik manusia akan menghasilkan ilmu biologi, demikian seterusnya. Semua itu berangkat dari kegiatan aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan yang didapatkan. Dalam pendekatan konstruktivis, bekerja dimulai dengan masalah. Pendekatan ini lebih banyak pada problem solving. Dengan masalah yang muncul, guru memantau cara siswa dalam menyelesaikan masalah itu. Langkah-langkah apa yang dilakukan oleh
siswa.
memfasilitasi
Tugas anak
guru agar
disini proses
sebagai
fasilitator,
pembentukan
yaitu
(konstruksi)
pengetahuan pada tiap-tiap siswa terjadi secara optimal. 5). Menanamkan Konsep dengan Pembelajaran Kontekstual Siswa akan lebih senang apabila pembelajaran itu langsung dihadapkan kepada dunia nyata. Ketika materi demokrasi, misalnya, akan lebih menarik jika dilakukan dengan cara bermain peran. Sebuah contoh ketika anak-anak melakukan pemilihan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), maka dilakukan pemilihan sesuai dengan prosedur pemilihan kepala daerah. Pembelajaran kontekstual merupakan model pembelajaran yang menggabungkan materi pelajaran dengan pengalaman langsung sehari-hari. Pembelajaran kontekstual secara konkret melibatkan kegiatan secara hands on and minds on, yaitu pembelajaran yang secara langsung dialami dan diingat siswa. Dalam pembelajaran kontekstual, materi disampaikan dalam konteks yang sesuai dengan lingkunganya dan bermakna bagi siswa28
28
Ibid, hlm. 134
61
Konsep pembelajaran kontekstual yang ideal banyak melibatkan
lingkungan.
Seorang
guru
mengetahui
akan
keterbatasan tenaga ahli, butuh kerjasama dengan lingkungan yang ada, bisa orang tua atau wali murid, bisa juga yang lainya. 6). Pembelajaran Literasi Dapat Menumbuhkan Minat Membaca dan Menulis Membaca adalah jendela ilmu pengetahuan. Ungkapan ini tidaklah berlebihan karena dengan membacalah ilmu pengetahuan didapatkan. Namun ternyata dalam hal mambaca ini, menurut sebuah penelitian, kesadaran akan pentingnya membaca di negara Indonesia masuk urutan paling buncit. Apa sebabnya? Ada seorang pakar pendidikan mengatakan, “ Jika Anda ingin
mengetahui
sekolah
itu
berkualitas,
lihat
dulu
perpustakaanya.” Pernyataan yang sebenarnya sangat menggugah kesungguhan kita dalam dalam membangun sekolah. Apa jadinya siswa yang ada disekolah jika kegemaran membacanya tidak ada. Tampaknya memang masalah membaca ini terkadang dilupakan oleh sekolah. Sekolah sudah puas dengan siswanya membaca buku paket yang ada, sehingga untuk perpustakaan kurang mendapat perhatian. Padahal, dari perpustakaan inilah pengetahuan banyak diperoleh siswa.29 Dalam pembelajaran literasi menggunakan pendekatan whole language, yaitu keyakinan bahwa anak belajar sesuatu dengan cara menyeluruh dan dengan menggunakan seluruh kemampuanya
untuk
belajar.Dalam
pendekatan
ini,
yang
terpenting adalah bahwa anak tidak diajarkan membaca, tetapi lebih diutamakan dapat memaknai (making meaning) suatu kata dalam kegiatan membaca yang sesungguhnya. Pokok dari pendekatan whole meaning adalah bahwa membaca dan menulis
29
Ibid, hlm. 137
62
dipelajari melalui membaca dan menulis yang sesungguhnya, bukan melalui latihan membaca dan menulis. Pada prinsipnya, anak dapat membaca dan menulis untuk tujuan yang beragam, berarti, dan berguna. Untuk itulah, orang dewasa perlu mengetahui bahwa anak belajar dengan caranya sendiri. Anak-anak perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan diri menurut cara mereka sendiri. Untuk menumbuhkan minat membaca dan menulis ini, pembelajaran literasi menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Untuk merespon pembelajaran literasi, ada langkah-langkah yang seharusnya
dilakukan.
Pertama,
menyediakan
fasilitas
perpustakaan sekolah. Perpustakaan ini dimanfaatkan oleh semua kelas dengan jadwal yang telah ditentukan. Kedua, membuat perpustakaan kelas. Perpustakaan ini khusus dikelola oleh kelas yang ada. Buku-buku yang adapun terkumpul dari kelas tersebut. Selain itu, ada waktu khusus untuk membaca bersama. Ketiga, membiasakan anak untuk membuat tulisan. Tulisan yang ada ditempelkan di majalah dinding atau pun majalah sekolah, bahkan tidak jarang, karya anak banyak diminta media massa. Keempat, mengadakan pelatihan jurnalistik. Hal ini untuk menumbuhkan rasa percaya diri bagi anak bahwa memang membaca dan menulis itu perlu untuk dikuasai.30 7). Pembelajaran Quantum Menciptakan Kondisi yang fun Quantum mempunyai arti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Dengan demikian, pembelajaran quantum berarti suatu orkestra dari berbagai macam interaksi yang terjadi di dalam dan disekitar peristiwa belajar. Pembelajaran quantum juga menerapkan percepatan belajar dengan menyingkirkan hambatan-hambatan yang menghalangi
30
Ibid, hlm. 138
63
proses belajar alamiah dengan menggunakan musik, mewarnai lingkungan sekelilingnya, menyusun bahan pengajaran yang sesuai, cara penyajian yang efektif, dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Model pembelajaran quantum selalu menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, siswa bisa belajar dengan baik dalam kondisi yang fun (menyenangkan). Untuk itulah, hambatan-hambatan yang menyebabkan siswa tidak senang harus segera disingkirkan. Model pembelajaran quantum selalu memperhatikan tiga tipe modalitas belajar, yaitu visual, auditorial, dan kinestetik. Jika seorang guru dan murid mampu mengenali tipe belajar, maka akan terasa menyenangkan dan memberikan hasil yang optimal. Bagi yang bermodalkan visual, cara belajarnya cocok dengan melihat. Adapun bagi yang bermodalkan kinestetik, cara belajarnya dengan bergerak, bekerja, dan menyentuh.31 b. Menanamkan Moral Melalui Kisah-Kisah Teladan Kisah-kisah teladan memberikan kekuatan dalam pembentukan karakter anak. Banyak anak yang tidak suka dinasehati, tetapi dengan mendengarkan cerita anak, mereka lebih tertarik. Apalagi jika anakanak dilibatkan dalam cerita itu. Artinya, anak tidak sekedar mendengar, tetapi anak diajak diskusi mengenai isi cerita. Jangan pernah menganggap remeh cerita. Orang tua yang mau meluangkan waktu untuk anaknya dengan bercerita, terutama menjelang tidur, akan mampu membentuk karakter. Apalagi diimbangi dengan keteladanan dari orang tua. Apa yang diceritakan oleh orang lain kepada anak mudah untuk diingat. Bahkan, sampai dewasa pun cerita-cerita yang menarik perhatianya
31
Ibid, hlm. 140
akan
selalu
diingat.
Terutama
cerita-cerita
yang
64
mengangkat tema moral. Hal itu akan selalu diingat. Untuk itu, orang tua maupun guru dituntut bisa bercerita kepada anak dalam rangka membentuk karakter anak.32 Sejalan dengan perhatiannya yang amat besar terhadap pendidikan karakter, najib sulhan juga memberikan beberapa metode-metode pendidikan karakter. Adapun metode tersebut yang secara garis besar sama dengan metode-metode pendidikan karakter yang lainnya. Yaitu, Mengajarkan, Keteladanan, Menentukan Prioritas, Praksis Prioritas, Refleksi.
32
Najib Sulhan, Op cit, hlm. 124
BAB IV ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER ISLAMI MENURUT NAJIB SULHAN A. Kelebihan Dan Kekurangan Konsep Pendidikan Karakter Menurut Najib Sulhan Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan seseorang yang nyata, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain, kerja keras dan sebagainya. Konsep pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Najib Sulhan merupakan salah satu konsep pendidikan karakter yang sangat bagus dan brilian jika dibandingkan dengan dengan konsep-konsep pendidikan karakter yang lainnya selama ini. Jika selama ini konsep pendidikan karakter yang pernah ada hanya bersandarkan dan mengacu pada fitrah manusia saja, Najib Sulhan dalam pemikirannya justru mengembangkan lebih dalam dan kongkrit dasar dari pengembangan
pendidikan
karakter.
Dalam
mengembangkan
konsep
pendidikan karakter itu sendiri, beliau menambahkan dua dasar pembentukan karakter, yaitu bahwa setiap anak itu cerdas dan setiap aktifitas mempunyai tujuan atau kebermaknaan pembelajaran. Mengacu pada prinsip bahwa setiap anak itu cerdas maka setiap pendidik akan sadar jika setiap anak mempunyai keahlian atau skill yang berbeda-beda dan tidak ada anak yang bodoh. Sehingga seorang guru tidak bisa hanya menyalahkan anak pada saat anak mengalami masalah dengan problematika belajar, begitu juga guru dituntut memahami gaya belajar siswa dan mengimbangi dengan gaya mengajar yang sesuai dengan gaya belajar siswa. Dengan demikian, problem pembelajaran di kelas dapat diminimalisir. Anak pun akan merasa mendapat pelayanan yang baik, serta akan berkembang
65
66
menjadi manusia yang mempunyai pribadi yang tangguh dan mempunyai keterampilan tertentu (life skill). Dengan adanya kebermaknaan pembelajaran juga, tentunya dalam proses belajar-mengajar akan menjadi terarah dan pembelajaran yang dapat memberikan nilai manfaat untuk menyiapkan kemandirian anak. Sehingga pendidikan mempunyai tujuan yang kontekstual bukan tekstual. Selain bersandarkan pada tiga pilar diatas, konsep pendidikan karakter menurut
Najib
Sulhan
ini
mempunyai
beberapa
keunggulan
yaitu
tergambarnya dengan jelas upaya para pendidik dalam membangun karakter anak didik, serta akan mengisnpirasi pendidik yang mengajar dengan pola paradigma lama akan mencoba model pembelajaran dengan paradigma baru. Sedangkan mengenai strategi pembentukan karakter dalam pemikiran Najib Sulhan mempunyai kelebihan bahwa dalam penerapannya beliau mengintegrasikannya dengan beberapa model-model pembelajaran yang ada disekolahan pada umumnya dan sering dipakai, sehingga dengan begitu pendidikan karakter atau proses pembentukan karakter akan lebih efektif dan mudah tercapai sesuai tujuan yang dikehendaki. Namun dibalik beberapa kelebihan-kelebihan konsep yang dirumuskan oleh Najib Sulhan, ternyata terdapat juga beberapa kelemahan konsep itu sendiri yang tidak jauh berbeda dari konsep-konsep pendidikan karakter menurut beberapa tokoh. Konsep pendidikan karakter yang beliau ajukan memang sangatlah bagus, namun masih ada kekurangannya, yaitu kurangnya penyertaan control, evaluasi dan perbaikan berkelanjutan. Tentunya dengan adanya control, evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan, konsep itu akan berjalan dengan lancar dan baik. Dalam pembentukan karakter atau moral ternyata sebagian tokoh termasuk Najib Sulhan sendiri mempunyai kecenderungan lebih menekankan kepada sikap keteladanan. Memang sikap keteladanan merupakan salah satu hal yang penting dalam proses mewujudkan anak didik menjadi manusia yang
67
berkarakter. Akan tetapi sebenarnya masih ada beberapa cara baik itu pendekatan ataupun metode dalam membentuk karakter anak. Jika selama ini pendidikan karakter hanya bisa diterapkan hanya melalui cara keteladan, maka hendaknya harus ada beberapa terobosan baru baik itu melalui strategi atau metode dalam pembentukan karakter yang inovatif. Adapun strategi-strategi atau metode-metode yang dapat diterapkan yaitu: penanaman kedisiplinan, pembiasaan, menciptakan suasana yang kondusif, integrasi dan internalisasi. Selain beberapa hal diatas, terdapat juga kelemahan-kelemahan dalam pendidikan karakter itu sendiri. Adapun kelemahan itu adalah tidak adanya tahapan-tahapan pembentukan karakter dalam pemikiran Najib Sulhan. Sebenarnya dalam pendidikan karakter terdapat beberapa tahapan, hal ini sesuai dengan ajaran Islam. Dan tahapan-tahapan tersebut adalah: Adab (5-6 tahun), tanggung jawab diri (7-8 tahun), Carring-peduli (9-10 tahun), kemandirian (11-12 tahun), bermasyarakat (13 tahun >). Berdasarkan klasifikasi tersebut maka pendidikan karakter anak harus disesuaikan dengan dunia anak. Dengan kata lain, pendidikan karakter anak harus disesuaikan dengan tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak.
B. Prinsip-Prinsip Pengajaran Karakter Dalam Sekolah Pendidikan memikul harapan yang besar dari masyarakat. Dengan pendidikan diharapkan mampu membangun masyarakat yang kondusif. Untuk itu, butuh pembekalan mengenai keterampilan, baik yang menyangkut bekal sosial maupun keterampilan lainnya. Hal inilah yang perlu dipikirkan bersama, baik oleh sekolah maupun oleh orang tua dalam membentuk karakter anak.1 Berdasarkan konsep pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Najib Sulhan, dapat dirumuskan bahwa ada beberapa prinsip pengajaran karakter atau moral di sekolah yang dapat diambil, yaitu:
1
Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, (Surabaya: PT. Jepe Press Media
Utama, 2010), Cet 1, hlm 72
68
1. Dalam diri kaum muda haruslah ditanamkan semua keutamaan tanpa mengecualikannya satupun. Keutuhan dan kelurusan hati dalam pendidikan moral (karakter) ini mewajibkan bahwa tidak ada satu keutamaan pun yang dikecualikan, kalau tidak mau mengganggu harmoni dan keseluruhan proses pendidikan. Sebagai sebuah proses pembudayaan, pendidikan tidak dapat mengajarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Dengan demikian, hanya kultur yang baik, yang adi luhung sajalah yang boleh masuk dalam program pendidikan di sekolah. Untuk inilah, setiap keutamaan yang baik itu semestinya menjadi bagian integral pendidikan nilai di dalam sekolah, tanpa mengecualikan satupun. 2. Kemampuan dalam
mengarahkan pertimbangan
intelektual dalam
membedakan secara jernih apa yang baik dan buruk. Maksudnya berarti kemampuan untuk meramalkan dampakdampak dan hasil dari suatu perbuatan, terutama perbuatan moral. Kemampuan seperti ini hanya dapat diperoleh melalui pengajaran yang baik dan pendidikan yang baik, yang didalamnya individu belajar membedakan hal satu dari hal yang lain, nilai yang satu dari yang lain. Anak didik diajak untuk memiliki kemampuan dalam memberikan penilaian tentang banyak hal, yang baik dan yang buruk. Sebab, mampu menilai segala sesuatu merupakan dasar setiap keutamaan. 3. Keadilan Keutamaan
sejati
terdapat
dalam
kemampuan
diri
untuk
menimbang dan menilai segala sesuatu secara seimbang dan adil, atau dalam memberikan penghargaan terhadap sesuatu itu apa adanya, sesuai dengan halnya itu sendiri. Adil adalah titik tengah antara berbuat lalim dan dilalimi.2 Jadi, Keutamaan itu terutama bukan pada tindakan mengelakkan atau menjauhi hal-hal yang buruk, sebagaimana menerima hal-hal yang baik, atau mengejar kebaikan, sebagaimana menyingkirkan kejahatan, 2
53
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. 1, hlm.
69
memberikan pujian pada hal-hal yang baik, sementara mencela hal-hal yang jelek. Yang perlu dimiliki terutama adalah kemampuan untuk membedakan dan menilai secara adil mana yang baik dan mana yang buruk sesuai dengan kenyataan yang ada. Oleh karena itu, ketika anak tidak dibiasakan menilai secara objektif mana yang baik dan mana yang buruk, perilakunya pun akan terbiasa melakukan sesuai dengan pemahamannya tersebut. Sebab, kebiasaan baik maupun buruk itu terjelma bersama-sama dalam hidup manusia secara alamiah. 4. Sikap Ugahari Sikap Ugahari merupakan kemampuan untuk mengaktualisasikan dan memuaskan dorongan-dorongan keinginan dalam diri serta tuntutan insting secara seimbang melalui cara-cara yang tepat. Sikap ugahari ini perlu diajarkan dalam diri anak didik, misalnya berkaitan dengan makanan, minuman, saat istirahat atau tidur, saat bangun, bekerja dengan penuh kegembiraan, tahu kapan berbicara, tahu kapan harus diam. Untuk ini perlulah diingat pepatah latin, “bene stat medio” yaitu kebaikan senantiasa berada ditengah-tengah. Sikap seimbang merupakan sikap yang bijak. Bisa juga dalam diri anak didik ditanamkan prinsip ini, bahwa ”hal yang berlebihan itu melumpuhkan”. Sama seperti reaksi penglihatan terhadap cahaya. Jika terlalu silau atau terlalu redup, kita tidak akan dapat melihat apa-apa.3 5. Keteguhan Orang yang belajar tentang nilai-nilai keteguhan ini terutama melalui cara-cara mengalahkan diri sendiri, tahan menanggung kesulitan dan penderitaan, mampu bergembira dan optimis disetiap waktu, mampu menahan rasa tidak sabar, mengeluh atau amarah. Dasar untuk memenangkan keutamaan ini adalah bahwa para siswa itu belajar segala sesuatu dengan lebih mempertimbangkan rasio dan akal bukan ketimbang
3
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global),
(Jakarta: PT Grasindo, 2007), Cet. 2, hlm. 150
70
emosi dan perasaan. Prinsip rasiolah yang ditanamkan bukan prinsip senang tidak senang. 6. Bersikap Adil Melaksanakan keadilan dengan cara tidak melakukan hal yang jahat atau merusak bagi orang lain, memberikan kepada orang lain hakhaknya, menghindari diri dari keinginan untuk menipu dan mengelabuhi orang lain, dan menumbuhkan sikap melayani orang lain merupakan sikap-sikap yang sangat diperlukan agar individu dapat bertindak adil. Untuk mengembangkan ini, perlulah diperhatikan kanon-kanon yang berikutnya. 7. Keutamaan akan keteguhan itu memiliki dua macam wajah Yaitu, mengerjakan dengan kesungguhan apa yang sedang dihadapi dan kesediaan menanggung derita atas jerih lelah dan pekerjaan atau tugas-tugas. Inilah jenis kepandaian yang diperlukan anak-anak muda. Sebagaimana hidup itu penuh perjuangan yang harus dihayati, setiap siswa semestinya diajak untuk memandang hidup itu sebagai sebuah kerja keras, dimana rasa capai, lelah, bukanlah menjadi hal yang harus ditakuti. Awal pembinaan ketabahan dan keuletan tersebut dimulai dari diri seorang pribadi, pribadi ini dibina untuk mendapatkan ketahanan pribadi.4 Mereka mesti diajarkan bahwa jerih payah dan kerja keras itu merupakan bagian integral dari pertumbuhan kepribadian seseorang. Tanpa kerja keras tidak akan ada hasil yang dapat diperoleh dan dituai oleh manusia. Keutamaan itu terbentuk melalui fakta-fakta, bukan melalui kata-kata, melalui kerja, bukan bicara. 8. Mengerjakan dengan kesungguhan apa yang sedang dihadapi dapat dilihat dari kenyataan bahwa anak didik itu memiliki kemampuan untuk setia pada tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya Seorang yang berakhlak mulia selalu berusaha dengan semaksimal mungkin melaksanakan semua yang menjadi tanggung jawabnya dan 4
Soemarno Soedarsono, Membentuk Watak, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2002), Cet. 1, hlm. 166
71
melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh karena sadar bahwa itu merupakan tugas dan kewajibannya.5 Untuk inilah anak didik mesti diajar untuk menjadi cakap dalam banyak hal pelaksanaan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya, tetapi anak didik mampu bersikap dan bertindak wajar menghadapi siapa saja yang dijumpai dalam hidupnya. Ia mesti bergaul baik dengan semua orang, kaya-miskin, besar-kecil, tua-muda, cerdik pandai, dll. Oleh karena itu, pendidikan karakter semestinya memberikan sebuah pengajaran yang sifatnya universal sehingga anak didik mampu menghayati tugas-tugasnya dengan kesungguhan sesuai dengan tugas yang sedang dijalaninya. 9. Jika anak-anak muda mampu memberi makna atas jerih payah dan kerja keras mereka, mereka akan melakukan segala sesuatu secara sungguhsungguh dan menyenangkan Segala sesuatu akan dilakukan dengan penuh semangat dan kegembiraan. Bahkan ketika mereka bersenda gurau pun mereka tetap bisa mengambil hikmah dari masa-masa rekreatif tersebut. Jelas lah bahwa jerih payah dan kerja keras menjadi pemupuk semangat jiwa yang kokoh. Tanpa pernah mengalami jerih lelah dan kerja keras, seseorang tidak dapat menghayati apa arti keteguhan, semangat tahan banting, yang akan membantu individu merealisasikan apa yang diinginkannya dalam hidup. 10. Kesiapsediaan dan kemurahan hati melayani yang lain Menjadi manusia bagi orang lain, itulah keutamaan yang perlu ditambahkan pada empat keutamaan inti. Dalam kodrat alamiah kita terdapat kekuatan inheren yang membuat kita dapat menjadi orang yang sungguh-sungguh egois. Manusia memiliki kecenderungan terhadap banyak hal, diantaranya ada yang memberi manfaat secara fisik kepadanya.6 Apalagi dalam sebuah kultur masyarakat yang perlu lah keutamaan berupa kesiapsediaan membantu dan melayani orang lain. 5
Imam Suraji, Etika Dalam Perspektif Al-Quran Dan Al-Hadits, (Jakarta:Pustaka Al
Husna Baru, 2006), Cet. 1, hlm. 28 6
Murtadha Muthahhari, Fitrah, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1998) Cet. 1, hlm. 55.
72
Sebab, setiap orang itu menjaga kepentingan dirinya sendiri justru dengan menjaga dan menghormati kepentingan orang lain. Perlu lah ditumbuhkan dalam diri anak-anak muda bahwa kita terlahir dalam dunia ini bukan semata-mata untuk diri kita sendiri, melainkan untuk orang lain, untuk sesama, bahkan untuk Allah, sang pemberi kehidupan itu sendiri. Jika ini terjadi, kepentingan pribadi dan kepentingan umum akan menjadi sesuatu yang menyenangkan, kesediaan untuk bekerja sama untuk kepentingan orang banyak akan memberikan keberuntungan bagi pertumbuhan dan perlindungan kepentingan pribadi kita masing-masing. Tanpa keutamaan ini, masyarakat akan kacau dan perkembangan individu akan terhambat. 11. Penanaman keutamaan ini dimulai sejak kecil Sebab, jika sebuah ladang tidak disemai dengan benih yang baik, ia akan tetap menghasilkan, tetapi menghasilkan alang-alang dan rumput liar. Oleh karena itu, penanaman keutamaan ini semestinya dilakukan pada usia sedini mungkin. Jika kita menyebarkan benih yang baik dalam jiwa anak didik sejak dini, kita merawatnya dengan cara menyiangi alang-alang dan rerumputan yang mengganggu perkembangan mereka, dengan kesabaran kita akan melihat buah-buah pendidikan kita di masa panen. Terbentuknya karakter memerlukan proses yang relative lama dan terus menerus.7 Keutamaan itu mestilah ditanamkan dalam diri anak muda sejak dini, sebab saat itu lah akan menyemai harapan yang bagus akan panenan di masa datang.
C.
Implementasi Konsep Pendidikan Karakter Islami Dalam Sekolah Pendidikan di sekolah tidak lagi cukup hanya dengan mengajar peserta didik membaca, menulis, dan berhitung, kemudian lulus ujian, dan nantinya mendapat pekerjaan yang baik. Sekolah harus mampu mendidik peserta didik untuk mampu memutuskan apa yang benar dan salah. Sekolah
7
M. Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa,
(Surakarta: Yuma Pustaka, 2010) Cet 1, hlm. 51
73
juga perlu membantu orang tua untuk menemukan tujuan hidup setiap peserta didik. Mengingat pentingnya karakter dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang kuat, maka perlunya pendidikan karakter yang dilakukan dengan tepat. Dapat dikatakan bahwa pembentukan karakter merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan kepedulian oleh berbagai pihak, baik oleh pemerintah, masyarakat, keluarga, maupun sekolah. Kondisi ini akan terbangun jika semua pihak memiliki kesadaran bersama dalam membangun pendidikan karakter. Dengan demikian, pendidikan karakter harus menyertai semua aspek kehidupan termasuk di lembaga pendidikan. Idealnya pembentukan atau pendidikan karakter diintegrasikan ke seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan sekolah. Lembaga pendidikan, khususnya sekolah dipandang sebagai tempat yang strategis untuk membentuk karakter. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dalam segala ucapan, sikap, dan perilakunya mencerminkan karakter yang baik dan kuat.8 Sekolah jika dijiwai dengan semangat pendidikan karakter akan menjadi tempat yang efektif bagi pembentukan individu sehingga mereka bertumbuh dengan baik di dalam lingkungannya. Sejak dahulu sekolah memiliki dua tujuan utama dalam karya pendidikan mereka, yaitu membentuk manusia yang cerdas dan baik. Dengan dua keyakinan ini sekolah memiliki tanggung jawab besar dalam pendidikan karakter bagi anak didiknya, terutama melalui disiplin, keteladanan, dan organisasi sekolah (kebijakan dan kurikulum). Sekolah-sekolah harus memiliki keberanian untuk menanamkan dalam diri para muridnya bahwa pemahaman konseptual dan praksis yang dipandu oleh nilai-nilai luhur akan membantu menciptakan sebuah masyarakat yang lebih sehat dan manusiawi.9
8
Ibid, hlm. 3
9
Doni Koesoema A, Op Cit, hlm. 222
74
Di tengah-tengah perkembangan dunia yang begitu cepat dan semakin
kompleks
dan
canggih,
prinsip-prinsip
pendidikan
untuk
membangun etika, nilai dan karakter peserta didik tetap harus dipegang. Akan tetapi perlu dilakukan dengan cara yang berbeda atau kreatif sehingga mampu mengimbangi perubahan kehidupan.10 Konsep pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Najib Sulhan merupakan salah satu konsep pendidikan karakter yang sangat bagus dan brilian jika dibandingkan dengan dengan konsep-konsep pendidikan karakter yang lainnya selama ini. Jika selama ini konsep pendidikan karakter yang pernah ada hanya bersandarkan dan mengacu pada fitrah manusia saja, Najib Sulhan dalam pemikirannya justru mengembangkan lebih dalam dan kongkrit dasar dari pengembangan
pendidikan
karakter.
Dalam
mengembangkan
konsep
pendidikan karakter itu sendiri, beliau menambahkan dua dasar pembentukan karakter, yaitu bahwa setiap anak itu cerdas dan setiap aktifitas mempunyai tujuan atau kebermaknaan pembelajaran. Adapun implementasi konsep pendidikan karakter Islami menurut Najib Sulhan adalah: 1. Pembentukan Moral Anak Apa yang dipelajari di dalam lembaga pendidikan, misalnya pemahaman dan pendalaman tentang ilmu-ilmu tertentu, sesungguhnya merupakan sebuah pengantar bagi pembelajaran hal-hal yang lebih esensial dan mendalam dalam hidup manusia, yaitu belajar membentuk diri menjadi manusia yang baik (bermoral), yang mengerti membedakan mana yang baik dan buruk, dan berani mengambil keputusan untuk bertindak secara benar. Hal-hal yang seperti ini seringkali tidak secara langsung dipelajari disekolah, namun setiap individu di dalam sekolah semestinya memiliki pengalaman dalam melatihkan dan melaksanakan pembelajaran moral (karakter).11 10
M. Furqon Hidayatullah, Op cit, hlm. 22.
11
Doni Koesoema A, Op cit, hlm., hlm. 149
75
(#θà)−Gu‹ù=sù öΝÎγøŠn=tæ (#θèù%s{ $¸≈yèÅÊ Zπ−ƒÍh‘èŒ óΟÎγÏù=yz ôÏΒ (#θä.ts? öθs9 šÏ%©!$# |·÷‚u‹ø9uρ ∩∪ #´‰ƒÏ‰y™ Zωöθs% (#θä9θà)u‹ø9uρ ©!$# “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (Q.S. An-Nisaa’: 9)12 Hadist Rasulullah menegaskan bahwa tugas kenabian Muhammad Rasulullah adalah menyempurnakan akhlak.13 Ini berarti telah ada benih akhlak pada masing-masing manusia, tinggal bagaimana lingkungan pendidikan dapat mengoptimalkan benih-benih tersebut. Sejalan dengan hadist yang lain menegaskan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitri, bergantung pada bagaimana lingkungannya yang akan membentuk kefitrian itu dalam warna tertentu yang khas.
ﻣﺎ ﻣﻦ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ:ﻋﻦ ﺃﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺴﺎﻧﻪ )ﺭﻭﺍﻩﺮﺍﻧﻪ ﺃﻭ ﳝﺠﻣﻮﻟﻮﺩ ﺇﻻ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻓﺄﺑﻮﺍﻩ ﻳﻬﻮﺩﺍﻧﻪ ﺃﻭ ﻳﻨﺼ (ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ “Dari Abi Hurairah r.a. Ia berkata: Rasulallah Saw bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R. AlBukhari)14 Membangun watak anak bangsa tidak semudah membalik telapak tangan. Namun demikian, bukan berarti tidak bisa. Setiap manusia
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:Diponegoro, 2000),
13
Al Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Juz II, (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, t.th),
14
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 1,
hlm. 62
hlm. 504
(Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah, t.th), hlm. 413
76
mempunyai watak yang berbeda satu sama lainya.15 Untuk membangun watak manusia, perlu mengikuti jejak perilaku Rasulullah Muhammad sebagai panutan umat. Untuk menerapkan konsep ini dalam konteks sekolah, ada langkahlangkah yang harus dijalankan agar konsep ini berjalan dengan baik. Yaitu, memasukkan konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran dan pemantauan secara kontinyu. Selanjutnya, pembangunan karakter perlu
dijabarkan lebih
terperinci. Agar lebih mudah dipantau dan dinilai, maka perlu adanya indikator. Berikut ini contoh indikator pembangunan karakter: Karakter
Penjabaran
Rasulallah
Dalam Kehidupan
Sidiq
Karakter
Benar
Indikator
Berpijak pada Al-Quran dan Hadits
Ikhlas
Sepenuh hati dan tidak pamrih
Jujur
Apa
yang
dilakukan
berdasarkan kenyataan Sabar
Bisa
mengendalikan
emosi Amanah
Adil
Tidak memihak
Istiqomah
Tidak mudah dipengaruhi hal yang buruk
Berbakti kepada orang
Mengikuti nasihat orang
tua
tua
Waspada
Mempertimbangkan
apa
yang dilakukan Hormat
15
13, hlm. 13.
Menghormati guru dan
Gregory G Young, Membaca Kepribadian Orang, (Yogyakarta: Think, 2009), Cet.
77
orang tua Tabligh
Lemah lembut
Ramah dalam bergaul
Kebersihan
Bersih hati, tidak iri
Empati
Membantu
orang
yang
susah Rendah hati
Menunjukkan kesederhanaan
Sopan santun
Memiliki perilaku yang baik
Tanggung jawab
Melakukan tugas dengan sepenuh hati
Fathanah
Disiplin
Tepat waktu
Rajin belajar
Mengisi waktu dengan belajar
Gigih
Tidak mudah putus asa
Logis dalam berfikir
Berpikir
dengan
akal
pikiran dan bukan sekedar perasaan Ingin berprestasi
Melakukan yang terbaik
Kreatif
Memiliki inovasi
Teliti
Sistematis dalam suatu hal
Bekerjasama
Dapat
menghargai
perbedaan
2. Pengembangan Kecerdasan Majemuk Kecerdasan majemuk (multiple inteligensia) adalah berbagai jenis kecerdasan yang dapat dikembangkan pada anak, antara lain verballinguistic (kemampuan menguraikan pikiran dalam kalimat-kalimat, presentasi, pidato, diskusi, tulisan), logical-mathematical (kemampuan
78
menggunakan logika-matematik dalam memecahkan berbagai masalah), visual spatial (kemampuan berpikir tiga dimensi), bodily-kinesthetic (ketrampilan gerak, menari, olahraga), musical (kepekaan dan kemampuan berekspresi
dengan
bunyi,
nada,
melodi,
irama),
intrapersonal
(kemampuan memahami dan mengendalikan diri sendiri), interpersonal (kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain), naturalist (kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan).16 Setiap kecerdasan yang muncul pada masing-masing pribadi merupakan ketajaman pikirannya, baik yang muncul secara alami, maupun yang muncul melalui proses pengasahan. Kecerdasan tersebut harus selalu dikembangkan agar potensinya terus melejit. Ini yang menjadi kata kunci bagi guru dan orang tua yang masih beranggapan bahwa IQ adalah segalagalanya, sehingga ketika melihat anak yang IQ-nya rendah, seolah-olah sudah tidak memiliki masa depan. Padahal, masih ada kecerdasan lain yang perlu dikembangakan.
∩⊆∪ 5ΟƒÈθø)s? Ç|¡ômr& þ’Îû z≈|¡ΣM}$# $uΖø)n=y{ ô‰s)s9 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” .(Q.S. At-Tin: 4)17 Agar kecerdasan yang dimiliki anak bisa dikembangkan secara maksimal, maka sekolah dan orang tua dituntut memiliki keperdulian dalam mengasah kecerdasan yang dimiliki anak. Sekolah dasar merupakan tempat yang sangat menentukan untuk mengetahui potensi kecerdasan anak. Diusia-usia ini lah munculnya berbagai keinginan anak. Pada satu saat itu anak ingin menjadi pelukis, dokter, penyanyi, olahragawan, tentara dan lain-lain. Untuk itulah disekolah dasar sangat diharapkan kepedulian dari guru dan orangtua untuk menemukan potensi kecerdasan anak. Agar
16
Armstrong, Thomas, Setiap Anak Cerdas, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 27
17
Departemen2005 Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:Diponegoro,
2000), hlm. 478
79
potensi kecerdasan yang dimiliki bisa digali dengan baik perlu dirancang program yang terstruktur. Kecerdasan majemuk dipengaruhi 2 faktor utama yang saling terkait yaitu faktor keturunan (bawaan, genetik) dan faktor lingkungan. Seorang anak dapat mengembangkan berbagai kecerdasan jika mempunyai faktor keturunan dan dirangsang oleh lingkungan terus menerus. Orangtua yang cerdas anaknya cenderung akan cerdas pula jika faktor lingkungan mendukung pengembangan kecerdasaannnya sejak didalam kandungan, masa bayi dan balita. Walaupun kedua orangtuanya cerdas tetapi jika lingkungannya tidak menyediakan kebutuhan pokok untuk pengembangan kecerdasannya, maka potensi kecerdasan anak tidak akan berkembang optimal. Sedangkan orangtua yang kebetulan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi (belum tentu mereka tidak cerdas, mungkin karena tidak ada kesempatan atau hambatan ekonomi) anaknya bisa cerdas jika dicukupi kebutuhan untuk pengembangan kecerdasan sejak di dalam kandungan sampai usia sekolah dan remaja. 18 Untuk merangsang kecerdasan berbahasa verbal ajaklah bercakapcakap, bacakan cerita berulang-ulang, rangsang untuk berbicara dan bercerita, menyanyikan lagu anak-anak. Latih kecerdasan logikamatematik dengan mengelompokkan, menyusun, merangkai, menghitung mainan, bermain angka, halma, congklak, sempoa, catur, kartu, teka-teki, puzzle, monopoli, permainan computer. Kembangkan kecerdasan visual-spatial dengan mengamati gambar, foto,
merangkai
dan
membongkar
lego,
menggunting,
melipat,
menggambar, halma, puzzle, rumah-rumahan, permainan komputer dll. Melatih kecerdasan gerak tubuh dengan berdiri satu kaki, jongkok, membungkuk, berjalan di atas satu garis, berlari, melompat, melempar, menangkap, latihan senam, menari, olahraga permainan.
18
Haditono, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1990), hlm. 63
80
Merangsang kecerdasan musikal dengan mendengarkan musik, bernyanyi, memainkan alat musik, mengikuti irama dan nada. Melatih kecerdasan emosi inter-personal dengan bermain bersama dengan anak yang lebih tua dan lebih muda, saling berbagi kue, mengalah, meminjamkan
mainan,
bekerjasama
membuat
sesuatu,
permainan
mengendalikan diri, mengenal berbagai suku, bangsa, budaya, agama melalui buku, TV. Melatih kecerdasan emosi intra-personal dengan menceritakan perasaan, keinginan, cita-cita, pengalaman, berkhayal, mengarang ceritera dll. Merangsang kecerdasan naturalis dengan menanam biji hingga tumbuh, memelihara tanaman dalam pot, memelihara binatang, berkebun, wisata di hutan, gunung, sungai, pantai, mengamati langit, awan, bulan, bintang. Bila anak mempunyai potensi bawaan berbagai kecerdasan dan dirangsang terus menerus sejak kecil dengan cara yang menyenangkan dan jenis yang bervariasi maka anak kita akan mempunyai kecerdasan yang majemuk. Namun perlu dipahami juga, bahwa selain beberapa kecerdasan diatas kreativitas juga bagian dari kecerdasan. Karena struktur kecerdasan meliputi kreativitas, kepribadian, watak, pengetahuan, atau kebijaksanaan. Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk cirriciri aptitude maupun non aptitude, baik dalam karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.19 Berikut ini pola pengembangan kecerdasan majemuk: a. Kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini adalah kemampuan dalam memahami nilai-nilai keagamaan dan mampu mengaplikasikannya.
19
Hurlock, Perkembangan Anak 1, (Jakarta: Erlangga, 2005), Cet. 1, hlm. 47
81
Pemantauan kegiatan: 1). Penanaman konsep melalui pendidikan agama 2). Mengembangkan ekstra kurikuler keagamaan 3). Adanya buku agenda ibadah untuk pemantauan kegiatan ibadah dirumah dan disekolah 4). Melakukan pembiasaan dengan pendampingan guru dan orang tua Catatan: a). Sangat respon terhadap nilai-nilai agama: sopan, jujur dan amanah. b). Memiliki keunggulan dalam keterampilan keagamaan, misalnya: membaca Al-Quran, doa-doa, pidato keagamaan b. Kecerdasan lingusitik Kecerdasan ini adalah kemampuan dalam memahami konsepkonsep bahasa dan terampil dalam mengaplikasikan. Pemantauan kegiatan: 1). Penanaman konsep bahasa dan sastra 2). Pengembangan ekstra-kurikuler disekolah, antara lain: kegiatan jurnalistik, karya ilmiah remaja (KIR), majalah diniding. 3). Membukukan karya-karya siswa Catatan: a). Terampil dalam berbicara b). Terampil dalam membuat karya tulis c). Suka membaca puisi, bermain drama c. Kecerdasan logis-Matematis Kecerdasan ini adalah kemampuan dalam memahami konsepkonsep matematika dan mampu mengaplikasikan Pemantauan kegiatan: 1). Penamaan konsep dasar matematika dan sains 2). Mengadakan ekstra bina prestasi untuk matematika dan sains 3). Suplemen bioteknologi Catatan: a). Mampu dalam matematika dan sains
82
b). Muda memecahkan masalah hitung20
d. Kecerdasan Visual-Spasial Kecerdasan ini adalah kemampuan dalam memahami konsep seni lukis dan mampu mengaplikasikan Pemantauan kegiatan: 1). Penamaan konsep dasar seni lukis 2). Mengadakan
ekstra
seni
lukis
dan
memahat
dengan
mengedepankan ketrampilan proses Catatan: a). Terampil
dalam
melukis
dan
memahat.
Ditandai
dengan
kecenderungan menyukai lukis dan dibuktikan dengan prestasi bidang tersebut. e. Kecerdasan Kinestetik-Jasmaniah Kecerdasan ini adalah kemampuan dalam olah gerak jasmaniah. Pemantauan kegiatan: 1). Pengembangan pembelajaran olah raga dan kesehatan. 2). Ekstrakulikuler olah raga. 3). Meningkatkan
aktivitas
olah
raga
di
klub-klub
yang
memungkinkan untuk lebih baik perkembangannya. Catatan: a). Terampil dalam bidang olah raga. Ditandai dengan kecenderungan menyukai olah raga dan prestasi di bidang olah raga serta keterampilan gerak lainnya.21 f. Kecerdasan Musikal Kecerdasan ini adalah kemampuan dalam konsep musik dan mengaplikasikan. 20
Najib Sulhan, Op Cit, hlm. 40
21
Ibid, hlm. 41
83
Pemantauan kegiatan: 1). Penamaan konsep tentang seni musik. 2). Mengadakan ekstra musik, baik yang menyangkut vokal maupun musik. 3). Membuat kelompokmusik berupa band atau yang lain. Catatan: a). Terampil dalam bermain musik maupun olah vokal dan dibuktikan dengan kecenderungan menyukai vokal, musik, serta prestasi yang dimiliki. g. Kecerdasan Intrapersonal Kecerdasan ini adalah kemampuan dalam memahami orang lain yang ada disekelilingnya. Pemantauan kegiatan: 1). Penanaman konsep melalui pembelajaran PPKn dan agama 2). Pengembangan ekstrakurikuler pramuka 3). Kegiatan outbond yang terstruktur 4). Ada suplemen leadership Catatan: a). Mampu berkomunikasi baik dengan orang lain b). Memiliki empati yang besar kepada orang lain c). Mudah memahami orang lain h. Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan ini adalah kemampuan dalam memahami diri sendiri dan mengelola perasaan Pemantauan kegiatan: 1). Penanaman konsep melalui pembelajaran PPKn dan agama 2). Pengembangan ekstrakurikuler pramuka 3). Kegiatan outbond yang terstruktur 4). Ada suplemen leadership Catatan: a). Mampu memahami dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya)
84
b). Mampu mengembangkan potensi diri c). Konsep dirinya baik i. Kecerdasan Natural Kecerdasan ini adalah kemampuan dalam mengembangkan kecintaan terhadap makhluk hidup (binatang dan tumbuhan) Pemantauan kegiatan: 1). Penanaman konsep tentang binatang dan tumbuhan melalui pembelajaran sains 2). Penanaman nilai-nilai keseimbangan dalam hidup, terutama dalam menjaga ekosistem Catatan: a). Mencintai hal-hal yang bersifat alam, misalnya: menyukai binatang, tumbuhan bahkan memahami detail dalam persoalan tersebut. b). Sangat respon terhadap lingkungan, termasuk kebersihan dan dampak dari perilaku yang tidak seimbang 3. Kebermakanaan Pembelajaran Sudah saatnya sekolah mengedepankan nilai-nilai kebermaknaan dalam pembelajaran. Banyak dijumpai anak yang sekolah tetapi pada hakikatnya tidak belajar. Waktu yang begitu panjang terbuang tanpa hasil. Mengapa yang demikian bisa terjadi? Semua itu terjadi karena nilai kebermaknaannya tidak ada. Jika itu yang terjadi, maka kejenuhan akan muncul pada anak. Untuk mewujudkan pembelajaran yang memiliki kebermaknaan, maka ada langkah-langkah strategis untuk dilakukan oleh sekolah atau guru. Pertama, sekolah melihat kebutuhan lingkungan sekitar. Artinya, apa yang semestinya diberikan kepada anak-anak sehingga kelak dengan lingkungan
yang
ada
akan
sukses
mengembangkan
potensi
lingkungannya. Kedua, berikan lembar isian untuk guru agar menentukan nilai-nilai kebermaknaan dari materi yang diajarkan dan langkah yang ditempuh untuk mencapai tujuan yang digambarkan dalam nilai-nilai
85
kebermaknaan materi yang diajarkan. Ketiga, menanamkan kepada anak tentang nilai-nilai kebermaknaan dari meteri pelajaran yang diberikan. Dari penetapan tujuan oleh masing-masing guru dengan melihat nilai-nilai kemanfaatan bagi anak dan lingkungan masyarakat, maka perlu ditetapkan special goal oleh masing masing sekolah. Arah KTSP adalah pemberdayaan masing-masing satuan pendidikan. Untuk itu, setiap sekolah bisa membuat rumusan sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan yang ada. Berikut ini contoh pola kebermaknaan pembelajaran: a. Mata pelajaran: Pendidikan Agama Islam Nilai kebermaknaan pembelajaran: 1). SKL: a). memahami konsep tentang akidah, ibadah, dan muamalah b). memahami konsep bacaan al-Quran dengan baik dan benar 2). life skill: a). memiliki akidah yang kokoh b). istiqamah dalam ibadah tanpa paksaan, baik wajib maupun sunnah c). memiliki moral yang baik dalam pergaulan d). membiasakan membaca al-quran keterangan: 1). Ada pendampingan dalam pembiasaan setiap aktifitas di sekolah dan di rumah oleh guru dan orang tua. 2). pembelajaran yang kontekstual dan terarah b. Mata pelajaran PPKn Nilai kebermaknaan pembelajaran: 1). SKL: a). Memahami konsep tentang hidup bermasyarakat, memahami hak dan kewajiban b). Memahami nilai-nilai bela negara 2). Life skill:
86
a). Mampu bergaul dengan baik dalam berbagai situasi, baik dirumah, sekolah, maupun dimasyarakat b). Memahami
perbedaan
yang
ada
dimasyarakat
tanpa
terpengaruh budaya yang kurang baik c). Memiliki rasa cinta tanah air dan bangsa. Keterangan: 1). keteladanan c. Mata pelajaran Bahasa Indonesia Nilai kebermaknaan pembelajaran: 1). SKL: a). Memiliki konsep dasar yang kuat dengan pembelajaran tuntas b). Materi ujian nasional mengacu pada standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) atau KKM. Memiliki kebermaknaan 2). Life skill: a). Memiliki kegemaran membaca b). Memiliki kemampuan berbicara yang baik c). Memiliki kebiasaan untuk menulis Keterangan: 1). Melakukan pembelajaran yang variatif sesuai dengan materi 2). Ada keseimbangan antara kognitif dengan psikomotorik 3). Membuat data perkembangan anak tentang materi secara berkelanjutan d. Mata pelajaran Olah raga dan Kesehatan Nilai kebermaknaan pembelajaran: 1). SKL: a). Memahami konsep-konsep dasar olah raga b). Memahami pola hidup sehat 2). Life skill: a). Membiasakan hidup sehat dengan melakukan olah raga setiap hari b). Ada prestasi yang dihasilkan dari kegiatan olah raga
87
Keterangan: 1). Mengembangkan potensi anak yang memiliki gaya belajar kinestetik 2). Membentuk kedisiplinan anak melalui kegiatan olah raga 3). Mengikuti berbagai event e. Mata pelajaran Kesenian Nilai kebermaknaan pembelajaran: 1). SKL: a). Memahami konsep-konsep dasar kesenian b). Memahami pentingnya nilai-nilai seni dalam kehidupan 2). Life skill: a). Mampu mengapresiasikan seni b). Memunculkan anak yang berbakat dalam bidang seni c). Ada prestasi dari kegiatan seni Keterangan: 1). Mengembangkan potensi anak yang memiki hobi seni 2). Mengikutkan anak dalam berbagai event f. Mata pelajaran Komputer Nilai kebermaknaan pembelajaran: 1). SKL: a). Memiliki konsep-konsep dasar komputer b). Memahami pentingnya komputer dalam kehidupan global saat ini 2). Life skill: a). Mampu mengoprasikan komputer sesuai dengan jenjang b). Ada prestasi dalam lomba komputer Keterangan: 1). Memberikan materi sesuai dengan kebutuhan secara aplikatif 2). Mengikuti berbagai event lomba komputer
88
Merujuk pada konsep pendidikan karakter diatas, dapat penulis analisis
bahwa
hasil
pemikiran
Najib
Sulhan
tersebut
dapat
di
implementasikan melalui beberapa pendekatan. Pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan dan dapat berupa berbagai kegiatan yang dilakukan secara intra kurikuler maupun ekstra kurikuler. Kegiatan intra kurikuler terintegrasi ke dalam mata pelajaran, sedangkan kegiatan ekstra kurikuler dilakukan di luar jam pelajaran. Secara langsung, lembaga pendidikan dapat menciptakan sebuah pendekatan pendidikan karakter melalui kurikulum, penegakan disiplin, manajemen kelas, maupun melalui program-program pendidikan yang dirancangnya. Terlebih dengan pemberian otonomi sekolah melalui Kurikulum
Tingkat
Satuan
Pendidikan
(KTSP),
sekolah-sekolah
sesungguhnya diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum sekolah yang dijiwai dengan pendidikan karakter. Oleh karena itu, adanya KTSP semestinya menjadi tantangan bagi setiap pendidik untuk dapat memaknai setiap pembuatan kurikulum dalam lingkungan sekolah sehingga nilai-nilai pendidikan karakter di sekolah benar-benar menjadi jiwa dalam proses pembelajaran siswa di dalam kelas maupun diluar kelas.22 Adapun beberapa pendekatan dalam menerapkan pendidikan karakter yaitu melalui penerapan model-model pembelajaran, menanamkan moral melalui
kisah-kisah
teladan,
keteladanan,
penanaman
kedisiplinan,
pembiasaan, menciptakan suasana yang kondusif, integrasi dan internalisasi. Bila dalam konsepnya Najib Sulhan cenderung hanya menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan melalui penerapan model-model pembelajaran, menanamkan moral melalui kisah-kisah teladan dan keteladanan,
maka
disini
penulis
mencoba
menganalisis
dengan
menggabungkan atau menambahi beberapa pendekatan lagi yang dapat diterapkan.
22
Doni Koesoema A, Op cit, hlm. 223
89
Pendekatan yang ditawarkan oleh Najib Sulhan dalam konsepnya memanglah bagus, namun menurut asumsi penulis bahwa perlu adanya tambahan atau inovasi baru mengenai pendekatan dalam penerapan pendidikan karakter. Jika selama ini pendekatan melalui tiga hal tersebut terlihat sedikit kurang berhasil atau monoton, maka penulis menambahi dengan beberapa pendekatan sebagai berikut: 1. Penanaman atau Penegakkan Kedisiplinan Kedisiplinan menjadi alat yang ampuh dalam mendidik karakter. Banyak orang sukses karena menegakkan kedisiplinan. Sebaliknya, banyak upaya membangun sesuatu tidak berhasil karena kurang atau tidak disiplin. Banyak agenda yang telah ditetapkan tidak dapat berjalan karena kurang disiplin. Banyak cara dalam menegakkan kedisiplinan, terutama disekolah. Misalnya dalam mata pelajaran jasmani, guru selalu memanfaatkan pada saat perjalanan dari sekolah menuju lapangan olahraga,murid diminta berbaris secara rapi dan tertib,sehinga tampak kompak dan menarik jika dibandingkan dengan berjalan sendiri-sendiri. Jika hal ini dapat dilakukan, maka pengguna jalan akan menghormati dan mempersilahkan berjalan lebih dahulu,
bahkan dapat mengurangi resiko keamanan yang tidak
diinginkan. Nilai-nilai yang dapat dipetik antara lain kebersamaan, kekompakan, kerapian, ketertiban. Penegakkan disiplin antara lain dapat dilakukkan dengan beberapa cara,
seperti
peningkatan
motivasi,
pendidikan
dan
latihan,
kepemimpinan, penerapan reward and punishment, penegakkan aturan. 2. Pembiasaan Pendidikan karakter tidak cukup diajarkan melalui mata pelajaran dikelas, tetapi sekolah dapat juga menerapkanya melalui pembiasaan. Kegiatan pembiasaan secara spontan dapat dilakukan misalnya saling menyapa, baik antar teman, antar guru maupun antara guru dengan murid. Sekolah yang sudah melakukan pendidikan karakter dipastikan telah melakukan kegiatan pembiasaan. Pembiasaan diarahkan pada upaya
90
pembudayaan pada aktivitas tertentu sehingga menjadi aktivitas yang terpola atau tersistem.
3. Menciptakan Suasana yang Kondusif Pada dasarnya tanggung jawab pendidikan karakter ada pada semua pihak yang mengitarinya, mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah.Lingkungan dapat dikatakan merupakan proses pembudayaan anak dipengaruhi oleh kondisi yang setiap saat dihadapi dan dialami anak. Demikian halnya, menciptakan suasana yang kondusif di sekolah merupakan upaya membangun kultur atau budaya yang memungkinkan untuk membangun karakter, terutama berkaitan dengan budaya kerja dan belajar di sekolah. Tentunya bukan hanya budaya akademik yang dibangun tetapi juga budaya-budaya yang lain, seperti membangun budaya berperilaku yang dilandasi akhlak yang baik. Sekolah yang membudayakan warganya gemar membaca, tentu akan menumbuhkan suasana kondusif bagi siswa-siswanya untuk gemar membaca. Demikian juga, sekolah yang membudayakan warganya untuk disiplin, aman, dan bersih, tentu juga akan memberikan suasana untuk terciptanya karakter yang demikian. 4. Integrasi dan Internalisasi Pendidikan karakter membutuhkan proses intrnalisasi nilai-nilai. untuk itu diperlukan pembiasaan diri untuk masuk ke dalam hati agar tumbuh dari dalam. Nilai-nilai karakter seperti menghargai orang lain, disiplin, jujur, amanah, sabar, dan lain-lain dapat diintegrasikan dan diinternalisasikan ke dalam seluruh kegiatan sekolah baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun kegiatan yang lain. Pendekatan pelaksanaan pendidikan karakter sebaiknya dilakukan secara terintegrasi dan terinternalisasi kedalam kehidupan sekolah. Terintegrasi, karena pendidikan karakter memang tidak dapat dipisahkan dengan aspek lain dan merupakan landasan dari seluruh aspek termasuk seluruh pelajaran. Terinternalisasi, karena pendidikan karakter harus
91
mewarnai seluruh aspek kehidupan. Yang perlu mendapat perhatian bahwa yang diintegrasikan adalah nilai-nilai atau konsep-konsep pendidikan karakter.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan dari keseluruhan uraian dan analisis tentang “Konsep Pendidikan Karakter Islami Menurut Najib Sulhan”, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep pendidikan karakter Islami menurut Najib Sulhan. Setiap karakter dapat berubah. Dalam membangun karakter pendidikan di sekolah, ada tiga pilar yang perlu dijadikan pijakan. Adapun pilar yang dipakai untuk mewujudkan sekolah berkarakter meliputi tiga hal. Pertama, membangun watak, kepribadian, atau moral. Kedua, mengembangkan
kecerdasan
majemuk.
Ketiga,
kebermaknaan
pembelajaran. Dan ketiga pilar itu dalam pelaksanaannya tentu berlandaskan nilai-nilai islam yang terkandung dalam Al-Quran. 2. Urgensi pendidikan karakter Islami dalam pemikiran Najib Sulhan Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu
yang
bisa
membuat
keputusan
dan
siap
mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilainilai luhur bangsa serta agama.
91
92
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Untuk mengatasi permasalahan soial terkait moral bangsa tersebut diperlukan pendekatan yang komprehensif melalui pendidikan karakter yang berlandaskan nilai-nilai islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pendidikan juga harus diimplementasikan dalam pendidikan formal, yakni dengan menciptakan budaya sekolah yang sesuai karakter bangsa yang majemuk dan toleran serta mengintegrasikanya dalam setiap mata pelajaran. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis
B. Saran-saran Dari
hasil
penelitian
yang
telah
dilakukan
penulis
selama
menyelesaikan skripsi ini, penulis berkeyakinan bahwa skripsi ini mempunyai signifikansi bagi pengembangan pendidikan karakter tentunya secara islami. Untuk mengakhiri penulisan skripsi ini penulis mempunyai saran sebagai berikut: 1. Kajian tentang pendidikan karakter mungkin sudah banyak dilakukan, akan tetapi fokus tentang kajian yang bertumpu pada tiga pilar utama yaitu, Pertama setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua setiap anak itu cerdas. Ketiga setiap aktifitas mempunyai tujuan (kebermaknaan materi) masih sedikit atau bahkan belum ada. 2. Konsep pendidikan karakter Islami yang ditawarkan oleh Najib Sulhan sangat perlu untuk dikembangkan di Indonesia dalam rangka membangun masyarakat Indonesia yang berwibawa dan berkarakter kuat.
93
3. Dengan meneliti tentang konsep pendidikan karakter Islami, diharapkan akan memunculkan ide-ide kreatif serta warna baru dalam dunia pendidikan kita. Dengan demikian akan memperkaya khasanah kita tentang sistem dan metode pembelajaran yang tidak tekstual akan tetapi mengarah pada kebutuhan (kontekstual). 4. Penelitian tentang pendidikan karakter dalam skripsi ini difokuskan pada pendidikan yang gagasannya tentang pembentukan karakter dengan menjadikan masyarakat khususnya peserta didik sebagai subjek yang mandiri dalam membangun bangsa yang maju dan mempunyai peradaban yang tinggi berdasarkan pada ajaran agama islam.
C. Penutup Akhirnya, demikian kajian tentang konsep pendidikan karakter Islami menurut Najib Sulhan. Dengan harapan apa yang telah penulis lakukan dapat bermanfaat bagi pendidikan pada umumnya dan pendidikan islam pada khususnya. Dan pada kesempatan ini penulis wajib mengakui bahwa masih banyak kekurangan yang dimiliki, di antaranya: keterbatasan literature yang dimiliki, keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penulis sehingga analisis yang dimunculkan pun mempunyai keterbatasan. Namun demikian, karya tulis atau lebih tepat penulis sebut sebagai skripsi ini merupakan jerih payah penulis dalam rangka menyelesaikan studi. Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan yang ada dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan untuk perbaikan karya-karya di masa yang akan datang. Akhirnya, dengan mengucapkan syukur alhamdulillah penulis panjatkan rasa syukur yang tidak terkira kepada Ilahirobbi
dan mudah-
mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya bagi penulis. Amiin…
DAFTAR PUSTAKA Aeni, Nur, “Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak Bagi Anak Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin Dan Implementasinya Dalam Pendidikan Islam”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo, 2007) Al-Ghazali, Imam, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2009) Al-Qur’an, Surat Asy-Syam Ayat 8-10, Yayasan Penyelenggara Penafsir AlQur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 1989. Aly, Hery Noer, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta, Friska Agung Insani, 2003) Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006) Baihaqi, Pendidikan Anak Dalam Kandungan,Menurut Ajaran Pedagogis Islami, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001) Budiyono, Alief, “Meningkatkan Moralitas Remaja Melalui Dukungan Sosial”, Komunika, (vol. IV, No. 2, Juli/ 2010) Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 1987) Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:Diponegoro, 2000) Haditono, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1990) Hambal, Al Imam Ahmad bin, Musnad Juz II, (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, t.th) Hurlock, Perkembangan Anak 1, (Jakarta: Erlangga, 2005) Herimanto, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010) Hidayatullah, M. Furqon, Guru Sejati : Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas (Surakarta: Yuma Pustaka, 2009) Hidayatullah, M. Furqon, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010) Hoesien, Helmon, “Pendidikan Moral Berdasarkan Adat Budaya Minangkabau”, Mimbar Ilmiah, (No. 2, Desember/ 2009) Isjoni, Guru Sebagai Motivator Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Khan,Yahya, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010) Koesoema, A Doni, Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global), (Jakarta: PT Grasindo, 2007)
Langgulung, Hasan, Teori-Teori Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1986) Mardalis, Metode Penelitian (Suatu Penedekatan Proposal), (Jakarta: Bumi Aksara, 1999) Marfu’, Terminology Yang Tepat Untuk Program Pembentukan Karakter , http://aperspektif.com, 2011-02-26, Pkl 15.00 Matta, Anis, Membentuk Karakter Cara Islami, Http://Keyanaku.Blogspot.Com,S 2011-02-26, Pkl 15.00. Miskawaih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1994) Moleong, Lexy J., Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001) Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi 4, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000) Munir, Abdullah, Pendidikan Karakter (Membangun Karakter Anak Sejak Dari Rumah), (Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani, Anggota IKAPI, 2010) Muthahhari, Murtadha, Fitrah, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1998) Nasib, Ar-Rifa’i Muhammad, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) Nasib, Ar-Rifa’i Muhammad, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: Rasail Media Group, 2009) Nasution S, Metode Research, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009) Prahara, Erwin Yudi, “Konsep Pendidikan Akhlak”, Cendekia, (Januari/ 2005) Q-Anees, Bambang, M.Ag, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008) Qira’ati, Muhsin, Mencegah Diri Dari Berbuat Dosa, (Jakarta: Lentera, 2005) Roziqin, M. Zainur, Moral Pendidikan Di Era Global, (Malang: Averroes Press, 2007) Santoso, Slamet Imam, Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan, (Jakarta: UI Press, 1981) Sasono, Ignas G, Tantangan Pendidikan Memecahkan Problem Bangsa, Tanggapan Terhadap Pembatalan UU BHP, (Yogyakarta: Forkoma PMKRI, 2010) Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah, Metode Pendidikan Dalam Pandangan Tiga Ilmuwan Islam, Http://Tanbihun.Com, 2011-04-09, Pkl 09.00. Sholeh, Munawar, Politik pendidikan, (Jakarta, Institute For Public Education (IPE), 2005)
Soedarsono, Soemarno, Membentuk Watak, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2002) Soejono, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999) Soyomukti, Nurani, Pendidikan Berspektif Global, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010) Staruss, Anselm, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) Subagyo, Pendidikan Kewarganegaraan, (Semarang: UPT Unnes Press, 2006) Sulhan Najib, Pendidikan Berbasis Karakter, (Surabaya, PT. Jepe Press Media Utama, 2010) Sulhan,
Najib, Jurnal Menggagas Sekolah Berbasis Karakter, Http://SuaraGuru.Wordpress.com, 27 februari 2011, Pukul 19.00.
Sulhan, Najib, Dunia Pendidikan Kita, Http://najibsulhan.blogspot.com, 27-022011, Pukul 19.00. Suraji, Imam, Etika Dalam Perspektif Al-Quran Dan Al-Hadits, (Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2006) Thomas, Armstrong, Setiap Anak Cerdas, (Jakarta: Gramedia, 2002) Undang-Undang Republik Indonesia no. 20 Tahun 2003 Tentang System Pendidikan Nasional (Bandung: Fokusmedia, 2005), Wawancara Najib Sulhan, Kamis, 12- Mei- 2011. Yamin, Moh, Menggugat Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2009) Young, Gregory G, Membaca Kepribadian Orang, (Yogyakarta: Think, 2009) Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. (Jakarta, PT. Bumi Aksara 2008)
HASIL WAWANCARA VIA EMAIL
1. Apa yang melatar belakangi pemikiran bapak sehingga bapak mencetuskan konsep pendidikan karakter? Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk membangun pendidikan yang berkualitas. Maka muncullah berbagai macam konsep pendidikan, baik itu pendidikan yang menekankan pada life skill, pendidikan yang berorientasi pada ujian nasional, pendidikan yang inklusif, bahkan kini ada kecenderungan untuk menengok ke luar negeri dengan sekolah bertaraf internasional. Namun, disisi lain terjadi fenomena yang cukup membuat kekhawatiran orang tua, bahwa merebaknya kasus pornografi, pornoaksi banyak terjadi di kalangan remaja. Tidak jarang dijumpai kasus korupsi yang kini sudah menjamur di mana-mana. Lalu mereka pada bertanya, bagaimana peranan pendidikan saat ini? Berawal dari inilah saya mencetuskan pendidikan karakter. 2. Bagaimana bapak mengimplementasikan pendidikan karakter dalam konteks pendidikan? Dalam penerapannya, nilai-nilai pembentukan karakter dimasukkan pada setiap kegiatan pembelajaran dan dalam prosesnya dipantau secara kontinyu, sehingga dalam prosesnya akan berjalan dengan benar dan mencapai tujuan dengan baik. 3. Apa penyebab-penyebab rendahnya pendidikan karakter? Beberapa faktor penyebab rendahnya pendidikan karakter adalah system pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter, tetapi lebih menekankan pengembangan intelektual dan kondisi lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter yang baik. 4. Apa yang harus disiapkan sekolah untuk menerapkan pendidikan karakter? Sekolah bukanlah ruang hampa makna. Bagi pendidikan karakter keseluruhan lembaga (fisik dan orang-orangnya) haruslah menjadi teladan. Semua pihak yang terlibat didalam sekolah harus menampilkan diri sebagai teladan pelaksanaan nilai-nilai, dan juga harus memberikan dorongan.
97
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Mohammad Yusuf Khanafi
Tempat/ Tanggal Lahir
: Tegal, 25 Januari 1988
NIM
: 063111059
Alamat
: Jl. Raya Pagongan No 39 Ds. Pepedan, Kec. Dukuhturi, Kab. Tegal
Agama
: Islam
Status
: Belum Menikah
Jenjang Pendidikan Formal 1. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 01 Pepedan, Kab. Tegal (1994-2000) 2. MTs Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (2000-2003) 3. MA Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (2003-2006) 4. Masuk Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Tahun 2006
Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 25 Mei 2011 Peneliti,
Mohammad Yusuf Khanafi NIM: 063111059