SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN
KONSEP DIRI ETNISITAS MADURA PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR (Studi Kualitatif Pada Anak SD dalam Komunitas Blater di Kabupaten Bangkalan Bagian Utara) Muhaimin Dosen STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan, Guru SDN Aengtabar 1 Tanjungbumi Email:
[email protected]
Abstrak Selama ini belum banyak kajian tentang konsep diri etnisitas pada anak usia Sekolah Dasar terutama dengan rentang usia 10 - 12 tahun karena dipandang bahwa eksistensialisme mereka belum begitu mengenal konsep diri berkaitan dengan etnisitasnya, di luar pertalian darah, bahasa, dan dialek yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Menjadi menarik munculnya fenomena usia anak Sekolah Dasar terutama dalam masyarakat yang tumbuh dan besar dalam kultur Madura dan tradisi keblateran yang sangat kental. Konsep diri tentang etnisitas sudah muncul dalam diri mereka tidak hanya dalam darah, bahasa, dan dialek yang digunakan, tetapi juga sudah tumbuh dalam konsep diri yang lebih luas tentang etnisitas ke-Madura-annya, seperti: citra fisik, watak dan kepribadian, identitas sosial budaya, dan gaya berkomunikasi. Berdasarkan hasil penelitian, konsep diri etnisitas Madura anak usia sekolah dasar adalah sebagai berikut. (1) Pada umumnya mereka belum mengerti konsep diri berkaitan dengan etnisitasnya secara mendalam, terutama hakikat apa dan bagaimana mereka berpenampilan, berperilaku, dan berwujud perbuatan yang sesuai dengan etnisnya. Konsep diri mereka mengacu pada hal-hal yang masih sederhana sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan berpikir mereka. (2) Konsep diri etnisitas Madura sudah mulai tampak dalam diri mereka dengan terutama pada: citra fisik, seperti penggunaan sarung; watak dan kepribadian: seperti berbicara dengan lugas, tegas, keras, dan apa adanya; identitas sosial budaya: seperti memelihara hewan piaraan khas aduan Madura seperti merpati dan ayam; gaya berkomunikasi: seperti panggilan kacong untuk teman sebaya, penggunaan ungkapan atau parebhasan Madura dalam komunikasi seharihari yang sarat akan simbol khas etnis Madura seperti: Ja‘ dhe ngadha mon ta nghade‘, lebih becce pothe tholang daripadha pothe matah, ngalak ateh, dan sebagainya. Tumbuhnya konsep diri etnisitas Madura diperoleh anak dengan melakukan imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati dalam membentuk konsep diri sebagai generasi Madura. Kata kunci: Konsep Diri, Etnis, Madura, Anak Usia SD A. Pendahuluan Kajian etnisitas menjadi sangat menarik di tengah era globalisasi dan postmodernisme sekarang ini. Etnis menjadi simbol identitas dan jatidiri setiap individu yang melekat pertama kali mengenal konsep suku bangsa sebelum mengenal konsep bangsa. Glazer dan Moyinhan14 mengemukakan bahwa etnik adalah fenomena sosial yang berkembang pada dekade 1980-an. Mereka mengidentifikasi kepada kelompok yang memiliki tradisi, budaya, dan bahasa (dialek daerah) yang sama. Mereka juga, pada umumnya memiliki keturunan yang sama.
14
.Glaser, N & Moynihan, DP (Eds.) 1981. Etnicity: Theory and Experience. Cambridge: Harvard University Press.
247
http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN
Sehubungan dengan itu, Tilaar15 menyebutkan, bahwa identitas merupakan konsep yang sangat erat kaitannya dengan etnisitas. Identitas memiliki pengertian yang berbeda-beda dan sangat luas, misalnya kita mengenal dalam ungkapan sehari-hari seperti identitas Indonesia, identitas suku Dayak, identitas suku Madura, identitas suku Batak, identitas suku Jawa, identitas suku Sunda, identitas suku Bali, dan sebagainya. Tidak jarang identitas tersebut berupa stereotip-stereotip, baik yang positf maupun negatif dari suatu etnik. Seringkali pula terjadi generalisasi berlebihan terhadap suatu identitas; misalnya orang Cina identik dengan kerja keras atau bangsa Melayu diidentikkan sebagai bangsa pemalas. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa identitas suatu etnik melekat dalam etnik itu sendiri. Dalam etnis Madura, sebagaimana etnis lainnya kelekatan terhadap etnis sangat kuat. Simbol jatidiri dengan pertalian darah dan simbol identitas yang berkaitan dengan bahasa Madura melekat sejak usia dini dalam diri anak-anak etnis Madura. Sejak kecil mereka mengidentifikasi dirinya dalam ikatan kolektivitas etnis Madura. Regenerasi berbagai hal yang sesuai dengan konteks nilai dan budaya ditempa secara khusus dalam masyarakat sesuai dengan karakter masyarakat Madura. Mereka melakukan imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati dalam membentuk konsep diri sebagai generasi Madura. Selama ini belum banyak kajian tentang konsep diri etnisitas anak usia Sekolah Dasar terutama dengan rentang usia 10 - 12 tahun karena dipandang bahwa eksistensialisme mereka belum begitu mengenal konsep diri berkaitan dengan etnisitasnya, di luar pertalian darah, bahasa, dan dialek yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Menjadi menarik munculnya fenomena usia anak Sekolah Dasar terutama dalam masyarakat yang tumbuh dan besar dalam kultur Madura yang sangat kental. Konsep diri tentang etnisitas sudah muncul dalam diri mereka tidak hanya dalam darah, bahasa, dan dialek yang digunakan, tetapi juga sudah tumbuh dalam konsep diri yang lebih luas tentang etnisitas ke-Madura-annya, seperti: citra fisik, watak dan kepribadian, identitas sosial budaya, dan gaya berkomunikasi. Seiring dengan dinamika perubahan dalam masyarakat konsep diri dalam generasi Madura terutama kaitannya dengan tradisi dan eksistensi kemaduraan yang selama ini melekat pada lintas generasi Madura ataupun penilaian orang luar tentang orang Madura itu sendiri. Perubahanperubahan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik itu internal maupun eksternal. Dalam masyarakat Madura perubahan-perubahan tersebut merekonstruksi berbagai hal tanpa melepaskan diri dari identitas budaya Madura yang sebenarnya. Konsep diri menurut Rogers penekanannya lebih banyak pada sekumpulan persepsi tentang karakteristik ‖aku‖, yang memenuhi potensi manusianya. Rogers menyatakan mereka yang memiliki konsep diri yang luas, yang mampu memahami dan menerima berbagai perasaan dan pengalaman. Friedman & Schustack menyatakan bahwa kontrol diri yang berasal dari dalam diri seseorang adalah lebih sehat daripada kontrol yang dipaksakan dan berasal dari luar.16 Dalam hubungan ini Song dan Hatie mengetengahkan bahwa konsep diri terdiri atas: konsep diri akademis, konsep diri sosial, dan penampilan diri. 17 Selanjutnya Hurlock18 mengemukakan bahwa konsep diri mencakup citra fisik dan psikologis sebagai gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya. Konsep diri ini merupakan gabungan dari 15
. Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta. Hal: 16
. Friedman, H & Schustack, MW. (2008). Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga. Hal 343.
16 17
. Song, I & Hattie. (1984). Home Enveronment, Self – Concept and Academic Achievement: A Causal Modelling Approach. Jurnal Of Educational Psychology, Vol.76. No.6. 18 . Hurlock, E. B.(1993). Child Development. Alih Bahasa Dr. Med. Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga. Hal 58.
248
http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN
keyakinan yang dimiliki individu tentang mereka sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi, dan prestasi. Seseorang berperilaku sesuai dengan konsep dirinya dan akan mengontrol perilaku sehingga selalu melakukan evaluasi dari setiap tindakan yang dilakukan. Menurut Susana menyatakan bahwa konsep diri akan menuntun anak bagaimana mereka berperilaku, apakah itu positif atau negatif. Pandangan seseorang tentang dirinya akan menentukan tindakan yang akan diperbuatnya. Apabila seorang anak memiliki konsep diri yang positif, maka akan terbentuk penghargaan yang tinggi pula terhadap diri sendiri, atau dikatakan bahwa ia memiliki self esteem, yang selalu melakukan evaluasi dan refleksi untuk mengontrol tingkah lakunya sesuai dengan konsep diri yang positif. 19 Konsep diri yang sehat tidak sekedar positif, tetapi merupakan gambaran tentang diri yang sesuai dengan kenyataan dirinya (real self). Konsep diri bukanlah suatu bentuk yang statis, melainkan selalu berkembang secara dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Untuk itulah konsep diri yang berkenaan dengan moralitas lingkungan perlu dibentuk secara terus-menerus sehingga terbentuk kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan. Keunikan ―budaya persaudaraan‖ tersebut, menurut Glaser & Moynihan20 dapat terjadi karena adanya persamaan atau kesesuaian dengan keserupaan unsur-unsur penting primordial, misalnya genealogi (keturunan dan ikatan kekerabatan, sistem kepercayaan (agama dan ritulitasnya), dan kesamaan berbahasa. Dalam realitasnya, elemen primordial itu dapat membentuk identitas etnik baru sebagai identitas tersendiri yang yang teraktualisasikan dalam perilaku etnografinya. Oleh karenanya, elemen primordial di antara kelompok-kelompok etnik dapat menjadi unsur pembeda B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendeskripsikan dan memahami secara mendalam tentang konsep diri etnisitas Madura pada anak usia Sekolah Dasar. Subjek penelitian adalah siswa laki-laki SDN Aengtabar 1 Kecamatan Tanjungbumi Bangkalan Madura yang berusia 11 – 13 tahun, yaitu siswa kelas V dan VI. Pemilihan subjek penelitian merepresentasikan anak usia SD dengan konsep diri etnisnya yang didasarkan pada penguatan dan kekhasan konsep diri anak dengan etnisnya. Selain itu responden dipilih berdasarkan kebutuhan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Desa Aengtabar Kecamatan Tanjungbumi dipilih karena memiliki tradisi kblateran yang kuat di Kabupaten Bangkalan. Data diperoleh dengan data primer melakukan observasi dan wawancara secara mendalam terhadap subjek penelitian, serta kajian literatur yang relevan dengan penelitian. Konsep diri tentang etnisitas difokuskan pada citra fisik, watak dan kepribadian, identitas sosial budaya, dan gaya berkomunikasi. Data dianalisis secara kualitatif dengan analisis mendalam berdasarkan temuan penelitian. C. Pembahasan Konsep diri bertalian dengan konsepsi yang kita yakini tentang diri kita, melalui proses sosialisasi dan identifikasi yang terus-menerus dengan berbagai hal yang mempengaruhinya. Konsep diri berkaitan dengan pemahaman tentang identitas diri sebagai individu dan kelompok dimana kita terikat dalam konteks sosial dan budaya. Konsep diri sangat berkaitan dengan identitas. Identitas adalah sekelompok manusia yang mewarisi sifat-sifat yang mendefinisikan mereka sebagai jenis
19
. Susana, dkk. (2006). Konsep Diri Positif. Jakarta: Kanisius. Hal 18-19 .Glaser, N & Moynihan, DP (Eds.) 1981. Etnicity: Theory and Experience. Cambridge: Harvard University Press. Hal 50.
20
249
http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN
individu atau kelompok tertentu dan membentuk sebuah bagian integral bagi pemahaman diri tentang mereka. Identitas mengacu kepada bagaimana manusia membedakan dirinya dengan orang lain, baik sebagai individu maupun anggota kelompok sosial, dan orang lain pun mengakuinya, berdasarkan ciriciri tertentu yang melekat padanya. Dengan demikian, setiap manusia selain memiliki identitas diri, juga memiliki identitas kelompok sosial. Kelompok sosial amat penting bagi manusia, di mana kelompok sosial yang muncul atas dasar ikatan primordial antara lain berwujud sukubangsa atau etnik. Beberapa konsep diri yang berkaitan dengan identitas Madura dalam anak usia Sekolah Dasar di Desa Aengtabar Kecamatan Tanjungbumi Kabupaten Bangkalan adalah: 1. Citra Fisik Menggunakan sarung dalam tradisi masyarakat Madura merupakan salah bagian dari citra fisik yang berhubungan dengan dirinya. Sebagian besar anak dalam penelitian menggunakan sarung sebagai simbol identitas etnisnya. Sebenarnya mereka belum begitu memahami sarung dalam etnisitas Madura, tetapi sebagian besar mereka merasa nyaman menggunakan sarung dalam kegiatan sehari-hari, seperti: bermain, sekolah (madrasah) diniyah, aktivitas di surau atau musholla untuk mengaji, sholat, dan sebagainya. Pada saat aktivitas di Sekolah Dasar dan aktivitas tertentu mereka menggunakan celana panjang. Alasan kenyamanan ini diungkapkan oleh anak sebagai berikut. ―Lebih nyaman pakai sarung daripada pakai celana, longgar dan bebas. Saya memakai sarung kalau sekolah madrasah, ngaji, sholat, dan bermain.‖ 21 ―Teman-teman saya pakai sarung semua. Seragam madrasah juga sarungan, jadi saya pakai sarung.‖ 22 Selain alasan kenyamanan, menggunakan sarung juga didasari tradisi masyarakat sekitar siswa yang lebih banyak menggunakan sarung sebagai identitas etnis Madura yang kental dengan kehidupan religi mereka dalam hal ini Islam. Sarung merupakan ciri khas yang tampak dalam berbusana etnis Madura. ―Kalau sholat pasti pakai sarung, dan semua orang di rumah dan tetangga juga pakai sarung. Jadi saya juga pakai sarung.‖ 23 Ada ciri khas khusus yang menandakan etnisitas Madura yang kental dengan tradisi blater adalah memakai sarung dengan batas di bawah lutut. Anak-anak dalam penelitian ini juga menggunakan sarung serupa orang dewasa di sekitarnya. Meskipun tidak secara keseluruhan anakanak menggunakan sarung dengan model seperti itu, tetapi ada beberapa anak yang menggunakan sarung di bawah lutut dalam aktivitas sehari-hari, kecuali jika mereka sholat, mengaji, dan madrasah diniyah. Alasan utama mereka menggunakan sarung di bawah lutut karena mereka meniru sebagian orang dewasa di sekitar lingkungan etnis mereka. Pemakaian sarung semacam ini juga tampak pada sebagian masyarakat yang kental dengan etnis Maduranya dan sebagian blater di Madura, khususnya di Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Alasan memakai sarung di bawah lutut dideskripsikan sebagai berikut. ―Enak di bawa lari-lari, kalau jalan juga lebih cepat dibandingkan dengan sarung sampai kaki bawah.‖ 24 21
. Wawancara dengan seorang siswa kelas VI, yang hidup di lingkungan desa dengan komunitas blater. . Wawancara dengan seorang siswa kelas VI, yang hidup di lingkungan desa dengan komunitas blater. 23 . Wawancara dengan seorang siswa kelas V, yang hidup di lingkungan desa dengan komunitas blater. 24 . Wawancara dengan seorang siswa kelas VI, yang hidup di lingkungan desa dengan komunitas blater. 22
250
http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN
Kebiasaan memakai sarung merupakan salah satu identitas etnis Madura. Dengan tradisi sosial keagamaan yang kuat, budaya sarungan ini melekat meskipun gempuran modernisasi dengan model pakaian yang lain, tetapi sarung tetap lestari sampai saat ini. Model sarung sampai di bawah lutut identik dengan gaya sarungan komunitas blater jika melakukan aktivitas blaternya, tetapi jika mereka sholat, melakukan interaksi sosial dalam forum pengajian, hajatan warga, ada orang meninggal, ritual keagamaan mereka tetap menggunakan sarung sampai di mata kaki. 2.
Gaya komunikasi Hal lain yang sangat tampak dari konsep diri berkaitan dengan identitas etnis Madura adalah berbicara dengan tegas, lugas, dan cenderung apa adanya. Suara yang tegas dan ucapan yang apa adanya merupakan salah satu bentuk keseharian yang bisa dirasakan jika mereka berkumpul dengan teman sebanyanya. Gaya komunikasi yang tegas dan lugas adalah bentuk lain dari kepribadian umum yang dimiliki suku Madura. Sebagian besar anak, terbiasa berbicara dengan lugas dan keras, malah ada yang suka berteriak jika berbicara dengan temannya. Dalam hal ini jarang dijumpai anak laki-laki terutama dalam komunitas permainan sebaya berbicara dengan nada pelan. Pilihan kata juga lugas dan apa adanya, yang dilakukan sejak mereka usia dini. Hal ini juga tidak terlepas dari proses imitasi yang dilakukan dari orang dewasa di sekililingnya. Mereka meniru tidak hanya didasarkan pada kebiasaan, tetapi juga menyatukan diri dari pola kepribadian etnisnya. Selain bahasa yang lugas, tegas, dan apa adanya hal yang tampak pada konsep diri etnisitas anak usia Sekolah Dasar adalah memanggil teman sebaya dengan sebutan ―kacong‖. Hal ini merupakan panggilan yang lazim digunakan oleh orang dewasa di Madura apabila memanggil anak-anak. Mereka ikut-ikutan memanggil ―kacong‖ yang ditekankan di awal atau akhir kalimat percakapan yang digunakan. Inilah penanda konsep diri etnisitas yang membedakan dirinya dengan etnis lainnya. Menggunakan bahasa bersayap dengan majas, penggunaan ungkapan atau parebhasan Madura dalam komunikasi sehari-hari yang sarat akan simbol khas etnis Madura seperti: Ja‟ dhe ngadha mon ta nghade‟, lebih becce pothe tholang daripadha pothe matah, ngalak ateh, dan sebagainya. Hal ini lazim digunakan oleh komunitas blater dalam percakapan sehari-hari terutama dalam komunitas etnisnya. 3.
Memelihara Hewan Hal lain yang melekat berkaitan dengan konsep diri tentang etnis Madura adalah memelihara hewan piaraan khas aduan Madura, seperti: merpati dan ayam. Dalam tradisi komunitas blater Madura sabung ayam atau aduan balap merpati menjadi hal yang biasa dilakukan dan adakalanya dibungkus dengan judi dengan nominal tertentu. Mereka memelihara ayam atau merpati bukan untuk sabung ayam atau aduan balap merpati, hanya sekedar hobby dan menyenangi saja, setelah mereka melihat lingkungan sekitarnya melakukan hal tersebut. Hal ini dideskripsikan siswa sebagai berikut. ―Saya punya ayam dan merpati karena lebhur (senang). Senang dengan bulu-bulunya, senang dengan bentuk tubuhnya yang bagus-bagus berbeda dengan ayam dan merpati kebanyakan.‖ 25
25
. Wawancara dengan seorang siswa kelas VI, yang hidup di lingkungan desa dengan komunitas blater .
251
http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN
Sebagian besar anak yang memelihara ayam dan merpati karena melihat lingkungan etnisnya, yaitu orang dewasa memelihara ayam sabungan dan merpati balap, seperti yang dideskripsikan anak sebagai berikut. ―Awalnya saya melihat Abah dan Paman punya banyak ayam dan merpati yang jago-jago, saya juga ingin punya seperti Abah dan Paman. Mulai saya ngobhu ayam dan merpati‖ 26 Kecintaan terhadap hewan piaraan juga membuktikan bahwa anak memiliki empati terhadap bentuk kehidupan lainnya dengan memelihara dan menyayangi hewan piaraan. ―Saya memiliki 3 buah ayam aduan, 7 pasang merpati balap yang saya pelihara sejak 2 tahun yang lalu. Semuanya saya pelihara karena saya senang. Kalo dewasa saya tidak mau nyabung ayam karena takut dosa, hanya senang saja.‖ 27 Jika orang dewasa di Madura, terutama di lingkungan anak tinggal memelihara ayam atau merpati untuk diadu pada sabung ayam atau balap merpati, anak memelihara hanya untuk kesenangan semata, dan tidak untuk diadu karena mereka belum dewasa dan tidak diperbolehkan ikut dalam acara tersebut. Tetapi ada di antara mereka yang mulai mengadu ayamnya tetapi bukan di arena sabung ayam, seperti yang dideskripsikan sebagai berikut. ―Ayam itu sudah saya adu di rumah tapi bukan di tempat arena aduan.‖ 28 Kadang-kadang sebagian dari mereka ikut menonton dengan mencuri-curi kesempatan dalam arena tersebut. Ada juga anak kecil yang terlibat dalam aduan merpati sebagai pengumpan merpati dengan memanfaatkan kecepatan berlari dengan memperoleh upah atau bayaran tertentu, setiap menjadi pengumpan. Secara keseluruhan tumbuhnya konsep diri anak dengan etnisitasnya diperoleh dari lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat etnisnya, dengan melakukan imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati dalam membentuk konsep diri etnisitas ke-Maduraanya. Keluarga khususnya orangtua dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Predikat ini mengindikasikan betapa esensialnya peran dan pengaruh lingkungan keluarga dalam pembentukan konsep diri anak. Orangtua memegang peranan kunci dalam pembentukan struktur dasar kepribadian anak dan sangat berpengaruh pada kecerdasan emosional dan intelektual. Apa yang dilakukan dan diberikan oleh orangtua menjadi sumber perlakuan pertama yang akan mempengaruhi pembentukan karakteristik pribadi dan perilaku anak. Susana29 menyatakan bahwa pengalaman hidup pada masa awal ini akan menjadi pondasi bagi proses pekembangan konsep diri anak selanjutnya. Konsep diri anak berkembang dari hasil interaksi dengan lingkungan. Friedman & Schustack30 menyatakan pentingnya hubungan dengan individu lain dalam mendefinisikan kepribadian, dan mereka yakin bahwa self itu dibentuk secara sosial melalui interaksi interpersonal yang spesifik yang timbul secara alami. Pemahaman dalam interaksi sosial dapat membentuk konsep diri manusia menjadi lebih positif dalam memahami hakekat diri dan masyarakatnya. Berdasarkan gagasan tersebut terlihat bahwa identitas etnik lebih banyak mengacu kepada penanda kebudayaan. Begitu pula setiap etnik menempati lokalitas tertentu sebagai ruang hidupnya. Akibatnya, lokalitas sering dipakai sebagai label dan atau disatukan dengan nama etnik. 26
. Wawancara dengan seorang siswa kelas VI, yang hidup di lingkungan desa dengan komunitas blater. . Wawancara dengan seorang siswa kelas VI, yang hidup di lingkungan desa dengan komunitas blater. 28 . Wawancara dengan seorang siswa kelas VI, yang hidup di lingkungan desa dengan komunitas blater. 29 . Susana, dkk. (2006). Konsep Diri Positif. Jakarta: Kanisius. Hal 26. 30 Friedman, H & Schustack, MW. 2008. Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga.Hal: 151 . 27
252
http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN
Dengan demikian, etnik memiliki karakteristik budaya yang khas dan lokalitas tersendiri sebagai ruang hidupnya. Karakteristik ini tidak saja untuk membedakan dirinya dengan etnik lain, tetapi juga untuk menunjukkan orang kita, kelompok atau ingroup. Sebaliknya, di luar itu adalah orang luar, kelompok luar atau out-group. Pembedanya adalah karakteristik budaya etnik dan asal kedaerahan. Penguatan identitas etnik yang menyatu dengan identitas budaya dan lokalitas secara mudah bisa memunculkan faham kekitaan dan kemerekaan. Berdasarkan hasil penelitian, konsep diri etnisitas Madura anak usia sekolah dasar adalah sebagai berikut. 1. Pada umumnya mereka belum mengerti konsep diri berkaitan dengan etnisitasnya secara mendalam, terutama hakikat apa dan bagaimana mereka berpenampilan, berperilaku, dan berwujud perbuatan yang sesuai dengan etnisnya. Konsep diri mengacu pada hal-hal yang masih sederhana sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan berpikir mereka. 2. Konsep diri etnisitas Madura sudah mulai tampak dalam diri mereka dengan terutama pada: citra fisik, seperti penggunaan sarung; watak dan kepribadian: berbicara dengan lugas, tegas, dan keras; identitas sosial budaya: seperti memelihara hewan piaraan khas aduan Madura seperti merpati, ayam; gaya berkomunikasi: seperti panggilan kacong untuk teman sebaya, penggunaan ungkapan atau parebhasan Madura. 3. Tumbuhnya konsep diri etnisitas Madura diperoleh anak dengan melakukan imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati dalam membentuk konsep diri sebagai generasi Madura. Mereka mewarisi sifat-sifat yang mendefinisikan mereka sebagai jenis individu atau kelompok tertentu dan membentuk sebuah bagian integral bagi pemahaman diri tentang mereka. Konsep diri sangat penting berkaitan dengan identitas sekelompok manusia yang mewarisi sifat-sifat yang mendefinisikan mereka sebagai jenis individu atau kelompok tertentu dan membentuk sebuah bagian integral bagi pemahaman diri tentang mereka. Pendek kata, identitas mengacu kepada bagaimana manusia membedakan dirinya dengan orang lain, baik sebagai individu maupun anggota kelompok sosial, dan orang lain pun mengakuinya, berdasarkan ciri-ciri tertentu yang melekat padanya. Dengan demikian, setiap manusia selain memiliki identitas diri, juga memiliki identitas kelompok sosial. Kelompok sosial amat penting bagi manusia, di mana kelompok sosial yang muncul atas dasar ikatan primordial berwujud sukubangsa atau etnik. D. Penutup Konsep diri tentang etnisitas terutama dalam anak usia Sekolah Dasar, meskipun mereka belum mengerti sepenuhnya hakikat etnis, tetapi sudah mulai tumbuh dengan merelasikan diri dan mengidentifikasi mereka terhadap etnisnya. Proses ini dilakukan secara terus-menerus sampai mereka dewasa dengan konsep diri seutuhnya dengan berpenampilan, berperilaku, dan berwujud perbuatan yang sesuai dengan etnisnya. Tumbuhnya konsep diri etnisitas Madura diperoleh anak dengan melakukan imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati dalam membentuk konsep diri sebagai generasi Madura. DAFTAR PUSTAKA Degraaf, H.J & Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Grafiti. De Jonge, H.(ed). 1989. Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi: Studi-Studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali Press. De Jonge, H. 1993. Gewelddadige Eigenrichting op Madura dalam H. Slaats (ed). Liber Amicorum Moh. Koesnoe. Surabaya: Airlangga University Press. 253
http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download
SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN
De Jonge, Huub. 1995. Sterotypes of The Madurese dalam Van Dijk, K, De Jonge H. dan TouwnBouwsma, E (eds). Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde (KITLV) Press. Friedman, H & Schustack, MW. 2008. Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga. Hurlock, E. B.(1993). Child Development. Alih Bahasa Dr. Med. Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga. Glaser, Nathan dan Daniel P. Moynihan (eds.). 1981. Ethnicity. Theory and Experience. Cambridge: Havard University Press. Hurlock, E. B. 1993. Child Development. Alih Bahasa Dr. Med. Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga. Kuntowijoyo. 1988. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850 – 1940. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas (PAU) Studi Sosial, Universitas Gajah Mada. Lucnagtegaal. 1995. The Legitimacy of Rule in Early Modern Madura, dalam Huub de Jonge (ed) Across Madura Strait. Leiden: KITLV Press. Mashud, M. 1994. Carok sebagai Fenomena Budaya Masyarakat Madura. Suatu Studi Pola Cara Penyelesaian Sengketa pada Masyarakat yang sedang Bertransisi. Laporan Penelitian. Jakarta: The Toyota Foundation. Rifai, Mien A. 1993. Lintasan Sejarah Madura. Surabaya: Yayasan Lebur Legga. Rozaki, Abdur. 2004. Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura. Yogyakarta: Pustaka Marwa Song, I & Hattie. (1984). Home Enveronment, Self – Concept and Academic Achievement: A Causal Modelling Approach. Jurnal Of Educational Psychology, Vol.76. No.6. Suryakusumah, M. 1992. Sopan, Hormat, dan Islam: Ciri-ciri Orang Madura. Laporan Penelitian. Jember: Pelatihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Jember. Susana, dkk. (2006). Konsep Diri Positif. Jakarta: Kanisius. Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta. Wiyata, A. Latief. 2002. Carok dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS. Wiyata, A. Latief. 2013. Mencari Madura. Jakarta: Bidik Phronesis Publishing.
254
http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download