KONFLIK YANG MENUKIK PADA DRAMA PANEMBAHAN RESO KARYA W.S. RENDRA
Budi Waluyo Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia JPBS FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstrak Dasar lakon drama adalah konflik manusia. Konflik ini sangat penting kedudukannya dalam sebuah drama. Konflik pada drama merupakan kualitas komunikasi dan situasi, yang dapat menimbulkan perhatian, kehebatan, ketegangan di mata penonton yang dilukiskan dengan gerak di atas panggung atau sebuah kehidupan yang fantastis yang dideskripsikan secara langsung di muka sendiri melalui percakapan atau dialog. Dalam drama dikenal dua konflik yang sama pentingnya, yaitu konflik fisik dan konflik batin. Keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Bisa disimpulkan bahwa kualitas drama bisa dilihat dari kualitas konflik yang ada di dalamnya.
Kata kunci: konflik, konflik fisik, konflik batin
PENDAHULUAN Menyebut istilah drama, maka kita berhadapan dengan dua kemungkinan, yaitu drama naskah dan drama pentas. Keduanya bersumber pada drama naskah. Oleh karena itu, pembicaraan tentang drama naskah merupakan dasar dari telaah drama. Drama, berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti: berbuat, berlaku, bertindak atau beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan atau action. Dalam kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang lebih luas ditinjau apakah drama sebagai salah satu genre sastra, ataukah drama itu sebagai cabang kesenian yang mandiri. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa. Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri, yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekor, panggung), seni kostum, seni rias, dan sebagainya. Jika kita membicarakan drama
pentas sebagai kesenian mandiri, maka ingatan kita dapat kita layangkan pada wayang, kethoprak, ludruk, lenong dan film. Dalam kesenian tersebut, naskah drama diramu dengan berbagai unsur untuk membentuk kelengkapan (Herman J. Waluyo, 2003: 2). Menurut Harymawan (1998: 1), kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, bertindak, beraksi dan sebagainya. Lebih lanjut Harymawan merumuskan pengertian drama sebagai berikut. Arti pertama, drama adalah kualitas komunikasi, action, segala apa yang terlihat dalam pentas yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting) dan ketegangan pada pendengar atau penonton. Arti kedua, menurut Moulton, drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action). Jika buku roman menggerakkan fantasi kita, maka dalam drama kita melihat kehidupan manusia yang diekspresikan secara langsung di muka sendiri. Menurut Ferdinand Brunetierre, drama haruslah melahirkan kehendak manusia dengan action. Arti ketiga, drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action di hadapan penonton. Marjourie Boulton (1959: 3) menyatakan bahwa drama (disebut play) adalah, “A true play is three dimensional; it is literary that walks and talk before our eyes. It is not intended that eyes shall perceive marks on paper and the imagination turn them into sight, sounds, and actions” Panuti Sujiman (1990: 22), mengungkapkan drama adalah karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog, dan lazimnya dirancang untuk pementasan di panggung. Selain didominasi oleh percakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh. Pengertian lain tentang drama yaitu menurut Christopher Russell Reaske, (1961: 5),
”A drama is a work of literature or a composition which delineates life and human activity by mean of presenting various actions of – and dialogues between – a group of characters. Drama is furthermore designed for theatrical presentation; that is, although we speak of a drama as a literary work or a composition, we must never forget that drama is designed to be acted on the stage. Even when we read aplay we have to real grasp of what the play is like unless we at least attempt to imagine how actors on a stage would present the material”.
Demikian juga pendapat Martin Esslin (1976: 9) tentang definisi drama adalah sebagai berikut. “Many thousands of volumes have been written about drama and yet there does not seem to exist one generally acceptable definition of the term. A composition in prose or verse, says my edition of the Oxford dictionary, adapted to be acted on the stage, in which a strory
is related by means of dialogue and action, and is
represented, with accompaying gesture, costume and scenary, as in real life; a play. Not only is this long - winded and clumsily put ; it is also downright incorrect”. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa drama adalah cerita konflik dan kualitas komunikasi, situasi, yang dapat menimbulkan perhatian, kehebatan, ketegangan penonton yang dilukiskan dengan gerak di atas panggung atau sebuah kehidupan yang fantastis yang dideskripsikan secara langsung di muka sendiri melalui percakapan atau dialog. Herman J. Waluyo (2003: 4 – 6), mengemukakan bahwa dasar lakon drama adalah konflik manusia. Konflik itu lebih bersifat batin dari pada fisik. Konflik manusia itu sering juga dilukiskan secara fisik. Dalam wayang, wayang orang, ketoprak, dan juga ludruk akan kita saksikan bahwa klimaks dari konflik batin itu adalah bentrokan fisik yang diwujudkan dalam perang. Konflik yang dipaparkan dalam lakon harus mempunyai motif. Motif dari konflik yang dibangun itu akan mewujudkan kejadian-kejadian. Motif dan kejadian haruslah wajar dan realistis, artinya benar-benar diambil dari kehidupan manusia. Konflik yang muncul dari kehidupan manusia. Jika dalam wayang persoalan yang dijadikan konflik adalah perebutan negara atau wanita, maka motif konflik dalam
drama modern janganlah negara atau wanita. Tokoh-tokoh manusia masa kini tidak akan berebutan negara dan jarang berebutan wanita. Seluruh perjalanan drama dijiwai oleh konflik pelakunya. Konflik itu terjadi oleh pelaku yang mendukung cerita (sering disebut pelaku utama) yang bertentangan dengan pelaku pelawan arus cerita (pelaku penentang). Dua tokoh tersebut disebut dengan tokoh protagonis dan antagonis. Konflik antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis itu hendaknya sedemikian keras, tetapi wajar, realistis, dan logis. Jika dalam wayang kita jumpai konflik antara arjuna dengan buto cakil, maka dalam drama modern konflik semacam itu dianggap tidak realistis dan tidak logis. Dalam benak pembaca (penonton) sudah timbul apriori yang menyatakan, Buto Cakil pasti kalah. Konflik yang logis adalah dalam suasana yang kurang lebih seimbang., dalam permasalahan yang rumit dan memang bisa terjadi sungguh-sungguh dalam kehidupan kita ini. Konflik itu tidak harus berupa konflik antara dua tokoh, tetapi dapat berupa konflik batin manusia itu sendiri. Konflik batin itu sering dihubungkan dengan kegelisahan manusia dalam meraba-raba rahasia Tuhan dan alam gaib. Dalam percakapan “Sollikui” banyak kita hayati konflik seorang tokoh itu. Dalam dramanya Di Bawah Bayangan Tuhan, Arifin C. Noer membeberkan konflik batin Sandek. Tokoh sandek itu diperankan oleh dua orang, yaitu Sandek yang melarat dan Sandek yang kaya. Hal ini sekadar menunjukkan bahwa konflik itu sering terjadi dalam diri manusia itu sendiri. Konflik ini sangat penting kedudukannya dalam sebuah drama, berikut ini dapat diberikan beberapa contoh. Drama Hamlet karya William Shakespeare merupakan konflik Hamlet dan juga antara Hamlet dan Claudius, pamannya. Konflik batin Hamlet juga merupakan potret konflik batin manusia dalam menjawab keraguan menjawab persoalan hidupnya. Konflik antara Hamlet dengan pamannya merupakan potret konflik antara sisi baik dan sisi jahat dalam kehidupan manusia. Konflik dibangun begitu rumit karena tiap pelaku terlibat dalam konflik batin dan konflik dengan tokoh lainnya, sehingga drama ini menjadi monumental. Claudius yang membunuh kakaknya, tidak saja mengalami konflik dengan Hamlet, kemenakannya, tetapi jerit batinnya selalu dikonfrontasikan dengan ambisinya untuk menguasai negara dan
kakak iparnya. Jerit batin itu disebabkan rasa berdosa karena telah membunuh kakak kandungnya. Gertrude, ibu Hamlet, juga menderita konflik batin yang hebat. Rasa berdosa karena telah mengkhianati suaminya, kiranya menjadi sumber konflik batin itu. Ia juga dihadapkan pada konflik dengan tokoh-tokoh di dekatnya, seperti Hamlet, Ophelia, Claudius, Polonius, dan sebagainya. Dalam dramanya Macbeth, konflik batin Macbeth dan Lady Macbeth lebih kuat dari pada konflik Macbeth dengan tokoh-tokoh lainnya. Konflik batin itu disebabkan oleh rasa bersalah karena Macbeth telah membunuh raja untuk merebut tahta kerajaan. Suara-suara batinnya menyatakan bahwa banyak orang yang mengetahui kedurjanaan Macbeth. Konflik dalam batinnya itulah, maka Macbeth terlibat konflik dengan tokoh lain. Pembunuhan demi pembunuhan dilakukan untuk menyingkirkan orang-orang yang diperkirakan mengetahui kedurjanaan Macbeth. Setiap konflik menjerit dan menolak perbuatan durjana lebih lanjut, suara yang dilukiskan dalam drama begitu hidup, realistis dan logis, maka Macbeth menjadi drama yang cukup monumental. Konflik Hamlet dan Macbeth adalah konflik manusia pada umumnya. Ambisi, keinginan membela kebenaran, hasrat untuk menghadapi penjahat, dan perasaan berdosa yang dilukiskan dalam drama tersebut mewakili jiwa setiap manusia. Konflik dalam lakon itu adalah konflik manusia pada umumnya. Motif dalam penulisan lakon merupakan dasar laku dan merupakan keseluruhan rangsang dinamis yang menjadi lantaran seseorang mengadakan respons. Motif dapat ditimbulkan oleh berbagai sumber, diantaranya oleh hal-hal berikut ini. a. Kecenderungan menusia untuk dikenal, untuk memperoleh pengalaman, ketenangan, kedudukan, dan sebagainya. b. situasi yang melingkupi manusia yang berupa keadaan fisik dan sosialnya. c. interaksi sosial yang ditimbulkan akibat hubungan dengan sesama manusia. d. watak manusia itu sendiri yang ditentukan oleh keadaan intelektual, emosional, ekspresif, dan sosiokultural. Motif yang dipilih bergantung pada selera penulis. Penulis menentukan motif itu dari sumber mana. Lakon, baik sebagai peniru kehidupan, sugesti atau ilusi kehidupan, atau penggambaran tentang konflik dan masalah kehidupan , selalu
diatur dan dikendalikan oleh proses tingkah laku manusia. Sikap dan tindakan manusia diharapkan akan mengatasi konflik dan masalah manusia itu. Penyajian secara dramatik konflik dan permasalahan hidup menjadi beban lakon dan pencipta. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah sesuatu yang sangat esensi dalam drama. Semakin dalam konflik yang dikembangkan, maka drama itu akan semakin menarik.
METODE PENELITIAN Penelitian ini tidak terikat tempat penelitian karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) sastra, yaitu naskah drama Panembahan Reso karya W.S. Rendra. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan sehingga memerlukan bahan pustaka sebagai referensi yang banyak didapatkan baik lewat buku, media massa maupun internet. Penelitian ini bukan penelitian lapangan yang statis melainkan sebuah analisis yang dinamis. Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Hal ini disesuaikan dengan rumusan masalah penelitian yang sudah ditetapkan. Dalam penelitian ini informasi yang bersifat kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis. Pendeskripsian meliputi struktur drama dan konflik. Penelitian kualitatif ini berhadapan dengan data khas, unik dan multi interpretable. Sebagaimana diungkapkan oleh Bodgan dan Taylor (dalam H.B. Sutopo, 2006: 176), yang menyatakan bahwa metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang tersebut, dalam hal ini adalah tokoh-tokoh dalam naskah drama tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktural yang penekannya pada konflik naskah drama tersebut. Pendekatan ini digunakan dalam rangka menafsirkan makna yang mendalam pada karya sastra yang diteliti. Data atau informasi yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui membaca naskah drama Panembahan Reso yang menjadi objek kajian. Dalam objek kajian ini didapatkan dokumen tentang struktur drama dan konflik.
Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah drama Panembahan Reso karya W.S. Rendra yang diterbitkan oleh PT. Pustaka Karya Grafika Utama Jakarta tahun 1988, biografi pengarang dan buku-buku hasil tulisan pengarang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beberapa teknik sebagai berikut. 1. Analisis Langsung Dengan teknik analisis ini, naskah drama dibaca berulang-ulang sambil memberi tanda khusus yang dilanjutkan dengan membuat pengelompokkan pada tanda-tanda tersebut sesuai kebutuhan untuk memudahkan pencatatan. 2. Pencatatan Pencatatan dilakukan dengan melihat tanda-tanda yang telah dibuat pada naskah drama sesuai dengan kelompoknya, yakni pencatatan mengenai struktur naskah drama dan konflik. 3. Analisis Dokumen Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis dengan mengelompokkan menurut masing-masing kelompok yang meliputi struktur dan konflik. Data yang sesuai digunakan untuk memaparkan hasil penelitian, sedangkan yang tidak sesuai disingkirkan. Data diolah dan disajikan dalam format yang terstruktur supaya mudah dipahami. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis) yang digunakan Miles dan Huberman. Model analisis interaktif meliputi tiga komponen-komponen penting yang selalu bergerak, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan simpulan (conclusing drawing). Prosedur penelitian merupakan suatu proses yang menggambarkan tentang kegiatan dari awal persiapan sampai pada simpulan penelitian. Adapun prosedur penelitian yang dilakukan meliputi tahap-tahap sebagai berikut. a. Tahap persiapan, yang meliputi: a) menentukan masalah penelitian dan mengajukan judul; b) melakukan prapenelitian untuk mendapatkan gambaran tentang objek penelitian; c) membuat proposal penelitian; d) mempersiapkan segala sesuatu untuk perlengkapan penelitian
b. Tahap pengumpulan data di mana pada tahap ini, peneliti mengumpulkan datadata. c. Tahap analisis data yang meliputi pengumpulan dan mengklasifikasi data dan menganalisis data. d. Tahap akhir yang meliputi membuat kesimpulan
PEMBAHASAN Kekuatan utama pada naskah drama ini adalah pada konfliknya. Rendra berhasil menciptakan dan mengolah konflik itu sehingga naskah drama ini menjadi sangat menarik. Keberhasilan menciptakan dan mengolah konflik ini diramu dan dipadukan dengan alur yang sukar ditebak. Hal-hal inilah yang menjadikan naskah drama ini tidak hanya menarik untuk dipentaskan, tetapi juga sangat indah ketika dibaca. a. Konflik Batin Secara umum, tema konflik yang diangkat dalam naskah ini adalah tentang suksesi (pergantian kekuasaan). Sebenarnya tema ini sederhana dan biasa saja, seperti halnya setiap ada pergantian kekuasaan. Biasanya, di sebuah kerajaan pergantian kekuasaan ini langsung diwariskan kepada putra tertua dari permaisuri, atau jika putra tertua berhalangan, diwariskan kepada adiknya. Namun pada naskah ini, Rendra berhasil menciptakan sebuah peristiwa yang sangat berpotensi menjadi sebuah konflik. Masalah itu adalah, di kerajaan yang tidak disebutkan namanya itu, Bagianda Raja Tua yang berkuasa mempunyai tiga istri yang ketiganya bukan permaisuri. Lebih rumit lagi ketika putra tertua justru dilahirkan oleh istri yang termuda, yang bernama Pangeran Rebo. Sebenarnya Pangeran Rebo sangat berpeluang menjadi raja yang baru karena dia adalah putra tertua. Namun muncul lagi masalah karena Pangeran Rebo tidak disukai Raja Tua dan segenap panji di kerajaan. Hal ini disebabkan Pangeran Rebo tidak mempunyai keahlian perang, tidak mempunyai sifat yang tegas dan mempunyai karakter yang “klemak-klemek” mirip seorang perempuan. 1) Konflik batin Panembahan Reso Hal-hal di atas itulah yang ditangkap dengan jitu oleh Panembahan Reso, yang saat itu masih bergelar Panji Reso. Ia dengan cerdas melihat hal itu sebagai
sebuah permasalahan yang sangat riskan akan timbulnya sebuah perpecahan. Dengan jeli, Panembahan Reso bisa mengetahui bahwa kelak hak-hal itu akan menimbulkan masalah besar, yakni perang saudara demi memperebutkan kekuasaan sebagai raja yang baru. Hal ini bisa dilihat pada dialog awal Panembahan Reso ketika drama ini dimulai. Seorang PERONDA lewat dan memukul kentongannya. Saat itu menjelang terang tanah. Begitu PERONDA pergi, muncullah PANJI RESO. RESO : Terang bulan! - Aku tidak bisa tidur. – Hampir terang tanah. – Rasanya aku seperti mengambang di alam mimpi, padahal mata melek tak bisa tidur. – Hm! Tidak bisa tidur karena sedang bermimpi. Mimpi buruk lagi. – Aku bermimpi wajah bulan tertikam pedang. Persis di mata kirinya. Darah mengucur, membanjir. Membanjiri istana si Raja Tua. – Asyik! – Gagakgagak menyerbu balai penghadapan. Ada yang bertengger di tahta. – Ular-ular juga menyerbu masuk istana. Para selir raja pada menjerit. Berlarian kian ke mari. Kacau. Ada seekor ular yang berhasil masuk ke dalam kain seorang selir. Karuan saja ia menjerit seperti orang gila, lalu pingsan. – Asyik! – Sepasukan ketonggeng dan lipan menyerbu tempat tidur raja. Seribu ketonggeng dan lipan mengerumuni tubuh Raja yang sedang beradu dan langsung menyengat tubuhnya. Ada juga yang masuk ke dalam lubang hidung dan telinganya. – Sang Raja menjerit-jerit, mengaduh, mengerang. – Ia lari kian ke mari. Tetapi, tak seorang pun mau menolongnya. – Syukur! – Akhirnya ia mati. Lima belas menit sebelum mati, ia sempat gila. – semua orang bersorak. Rakyat bergembira. Bendera dikibarkan. Tidak setengah tiang, tapi seluruh tiang! – Wah! – Gila! Dasar mimpi! Cuma mimpi! Semuanya serba gampang dan sempurna! – Apakah aku bermimpi karena pengaruh bulan purnama? – Ini bulan memang cantik, tetapi berhawa candu. Wajahnya yang molek memancarkan bius yang mesum, dan juga sesuatu yang bahwa mimpi sudah habis. Aku perlu tidur sedikit. Besok ulang tahun Raja. Aku mesti pergi ke istana. (Rendra: 7 – 8) Dari dialog awal di atas, telah muncul konflik batin yang sangat luar biasa pada diri Panembahan Reso. Dia telah menciptakan imajinasi sendiri dalam pikirannya. Ia menciptakan situasi kerajaan yang kacau yang pada akhirnya mengakibatkan meninggalnya raja. Dengan meninggalnya raja, maka dalam pikiran Panembahan Reso muncul berbagai rencana dan akibat yang ditimbulkan dari rencana itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, konflik batin Panembahan Reso semakin kelihatan, ketika ia dengan terus terang mengatakan kepada Nyi Reso bahwa ia menginginkan tahta kerajaan. Artinya Panembahan Reso ingin menjadi raja. Sesuatu yang tak lazim, karena Panembahan Reso bukanlah orang dari trah atau keturunan raja. Ia sama sekali tidak berhak untuk menjadi seorang raja. Namun, pikirannya selalu gelisah dan membara. Ia merasa bahwa ia sangat pantas untuk menjadi raja dengan alasan demi menyelamatkan negara. Hal ini bisa dilihat pada dialog berikut. Pagi hari yang cerah. RESO dilayani NYI RESO minum teh. NYI RESO : Kakanda tidak tidur di rumah semalam? RESO : Hm. NYI RESO : Para Panji diawasi, tidak boleh meninggalkan ibu kota. RESO : Hm. NYI RESO : Biasanya kalau ada badai dan topan orang berteduh lebih dulu. Baru setelah topan dan badai reda orang meneruskan perjalanannya. RESO : Jangan menilai. Jangan menerka. Kamu kekurangan bahan. NYI RESO : Bertahun-tahun saya hidup mendampingi Kakanda dengan jantung yang berdebar-debar. RESO : Setiap orang punya kewajiban yang harus diselesaikan. NYI RESO : Sungguh sayang kandunganku gersang. RESO : Siapa tahu justru benihku yang gersang. – Tidak punya anak tidak lagi menjadi masalah dalam hidupku. NYI RESO : Sangat sering kakanda duduk melamun. RESO : Hm. NYI RESO : Kelakuan Kakanda banyak menimbulkan pertanyaan di dalam diri saya. – Kakanda akhir-akhir ini sangat sering bersamadi, padahal Kakanda tidak suka bergaul dengan para resi dan tidak betah diajak bicara soal kebatinan. RESO : Aku samadi untuk mengerahkan diri. Tidak ada urusannya dengan kebatinan. NYI RESO : Saya mendapat kesan, sepertinya Kakanda prihatin besar … atau sedang kecewa – Apakah Kakanda kecewa kepada saya? RESO : Jangan cengeng. Aku tidak kecewa kepada apa saja. – Aku prihatin. – Aku punya cita-cita. NYI RESO : Semua cita-cita sudah Kakanda capai. Kakanda sudah mulia dan jaya. Semua orang menaruh rasa segan dan hormat kepada Kakanda. Sekarang masih kurang apa? RESO : Di balik gunung ada gunung, di balik cakrawala ada cakrawala. NYI RESO : Apakah yang Kakanda lihat di sana? RESO : Tahta raja.
NYI RESO RESO
: :
NYI RESO
:
RESO
:
NYI RESO
:
Duh Gusti Jagat Dewa Batara! Astaga! Kenapa kamu harus tahu! Cita-cita itu seperti rajawali galak yang menggelepar-gelepar di dalam dadaku. Kini akhirnya lepas terbang, ke luar dari kerongkonganku. – Nyi Mas, kalau kamu ingin aku selamat, jangan kamu buka rahasia batinku ini. Tidak seorangpun tahu. Hati-hati, Kakanda! Saya tidak bisa membayangkan apaapa, tetapi perasaan saya keruh dan rasa kecut mengalir ke dalam mulut saya. – Di depan Kakanda terbentang kenyataan ada sepuluh orang pangeran berdiri di sekeliling tahta, sedang di atas tahta duduk seorang raja yang sakti mandraguna. Dan, mereka semua dijaga oleh para senapati. – Duh Gusti Jagat Dewa Batara! Kini terbayang oleh saya banjir darah dan kilatan pedang. Gambaran yang terbentang di depanmu itu pakem-pakem yang tak ada kenyataannya. Rajanya pikun, para pangerannya saling berlaga, dan para senopatinya buyar berantakan tidak mampu mengatur barisan. Kalau aku yang bisa menyelamatkan negara, kenapa aku tidak menyelamatkannya sebagai raja! – Cukup! Aku akan bersamadi. Jangan diganggu oleh tapaku! (keluar) (Seorang diri. Sepi) Cita-cita demi cita-cita menjauhkan Kakanda dari saya. Cita-cita demi cita-cita merubah pribadi suami, sehingga saya harus berulang kali belajar mengenalnya kembali. Duh Gusti, pikiran dan kehendak saya terlalu sederhana. Ibarat ayam yang yang hanya mengenal pekarangan. Kakanda bagaikan rajawali, bisa melihat pemandangan yang sukar saya bayangkan. Ini membuat saya merasa putus asa. – Sekarang Kakanda terbang sudah terlalu tinggi. Apakah masih mungkin saya menjangkau Kakanda? – Dengan pedih saya menyadari keterbatasan diri saya. Dan, jauh di dalam hati, saya merasa: barangkali, sekali ini, saya tidak mampu mendampingi Kakanda. (Rendra: 50 – 53)
Pada dialog-dialog di atas tampak sekali bahwa panembahan Reso mengalami pergulatan batin yang sangat hebat. Niatnya untuk menjadi raja di kerajaan telah mendapat tantangan dari istrinya meskipun masih dalam taraf mengingatkan. Nyi Reso mengingatkan kepada Panembahan Reso bahwa tahta kerajaan sangat jauh dari diri Panembahan Reso. Tahta itu kini dihuni oleh raja yang sangat sakti dengan dikelilingi para pangeran yang lebih berhak mendapatkan tahta itu karena mereka adalah putra raja. Namun kenyataan ini ditutupi oleh
Panembahan Reso. Untuk menghindarkan diri dari jiwa yang berkecamuk, Penembahan Reso banyak melakukan samadi. Konflik batin Panembahan Reso juga muncul karena dipengaruhi oleh rasa ketertarikan antara dirinya dengan Ratu Dara, istri termuda Raja Tua. Ratu Dara tertarik kepada Panembahan Reso karena Panembahan Reso mempunyai karakter jiwa yang berani, tegas, cerdik dan ambisi yang besar untuk mewujudkan sesuatu. Hal itulah yang menjadikan Ratu Dara tertarik kepada Panembahan Reso. Sedangkan Panembahan Reso tertarik kepada Ratu Dara, di samping Ratu Dara cantik dan sintal, juga ia secara pribadi berambisi menjadi suami Ratu Dara, yang jika Raja Tua mati terbunuh, maka Panembahan Reso menjadi ayah tiri raja. Kedudukan yang sangat dekat dengan tahta raja. Sebenarnya ada sedikit perasaan yang ragu dalam diri Panembahan Reso, apakah ia mampu mewujudkan ambisinya menjadi seorang raja. Ia berpendapat, bahwa jika ia mampu mewujudkan cita-citanya menjadi seorang raja, maka taruhannya adalah jiwa yang berlumur dosa dan tahta yang terapung dalam danau darah. Artinya bahwa ia harus melakukan perbuatan yang banyak mengandung dosa dan banyak mempertaruhkan nyawa sebagai korbannya. Seperti yang terlihat pada nukilan berikut. Di suatu tempat, di saat terang tanah. ARYO RESO berdiri mengangkang. Kepala tunduk menatap tanah. Napasnya terengah-engah. Tangannya terkepal. Badannya tegang. Lalu, pada puncaknya badannya tergeliat, dan dari mulutnya keluar suara seperti lenguhan lembu. – Kini tubuhnya melemas. Lalu, kepalanya mendongak ke langit. RESO : Bulan sudah tergeser ke barat. – Sudah terang tanah. – Bagaimana aku memperhitungkan tindakanku? Betul juga kata isteriku: mimpi itu hantu dan peri sekalian. – Oh, tubuh dan payudara yang sintal bagai berlapis suasa! Rambut yang menguapkan bau kesturi! – Haaaah! Aku telah bernoda dosa. – Tetapi, bila Raja terbunuh aku bisa menjadi suaminya. Bayangkan: dari Panji menjadi Aryo, lalu menjadi ayah tiri Raja! Akan semakin dekat aku kepada tahta. Bukankah itu citacitaku? – Oh! Apakah cita-citaku harus terwujud dengan berlumur dosa? Tahta yang terapung di danau darah! Apakah aku ada nyali untuk meraihnya? – Oh! Duh Gusti Jagad Dewa Batara! (Berlutut dan akhirnya rebah ke tanah). (Rendra: 114 – 115)
Namun, karena ambisinya untuk menjadi raja sangat besar, segala keraguan yang ada pada diri Panembahan Reso pun hilang juga. Dia mencoba menyerahkan semua masalah yang dihadapinya kepada Gusti Jagad Dewa Batara sebagai pencipta manusia dan alam semesta. Apalagi setelah terjadinya beberapa peristiwa yang sangat berpengaruh terhadap situasi kerajaan. Yakni setelah Raja Tua wafat karena diracun dan kemudian Pangeran Rebo naik tahta, ternyata Pangeran Bindi dan Pangeran Kembar menyatakan memberontak, situasi dan kondisi kerajaan semakin bertambah kacau. Para panji dan senopati kerajaan menunggu langkah apa yang akan ditempuh oleh Pangeran Rebo sebagai seorang raja untuk mengatasi masalah itu. Namun sikap dan karakter Pangeran Rebo yang tidak cepat dan tegas menimbulkan rasa gelisan di semua kalangan panji dan senopati. Menghadapi situasi semacam itu, dalam diri Panembahan Reso muncul keyakinan bahwa hanya dialah yang mampu menyelamatkan kerajaan. Atas dasar inilah Panembahan Reso bertekad untuk mewujudkan ambisinya menjadi seorang raja. Seperti pada cuplikan dialog berikut. RESO
:
Salam! – (kini sendirian) – Semakin jelas sekarang bahwa aku hanya bisa menyelamatkan kerajaan. Percuma saja membina si Rebo yang lahir pada hari kamis itu! Tulang punggungnya bukan tulang punggung Raja! – Wahai induk angin puting beliung, aku butuh bantuanmu kini! Batara Surya, akan aku sedot racun hawa panasmu! Kepalsuan wajah rembulan akan aku tekuni, dan hawa tenung Sang Dewi Malam akan aku resapi di dalam samadi malamku. – Wahai, jagad Dewa Batara, demi keutuhan dan kejayaan kerajaan, aku tidak akan berhenti berusaha sebelum aku menjadi raja! – Panembahan Reso adalah aku! (Rendra: 176)
Konflik batin yang dialami Panembahan Reso sebenarnya cukup berat untuk dihadapi sendiri. Beruntung Panembahan Reso mempunyai seorang sahabat yang sangat setia yang mempunyai kemampuan berpikir dan olah kanuragan yang sama baiknya. Dia adalah Panji Sekti. Pada suatu kesempatan, Panembahan Reso dan Panji Sekti berbicara dari hati ke hati dan tak ada yang dipungkiri dalam pembicaraan itu. Panji Sekti rupanya sudah tahu dari awal apa yang direncanakan oleh Panembahan Reso. Panji Sekti dengan jeli bisa menangkap apa yang menjadi ambisi Panembahan Reso dari ketika awal mula Panji Tumbal menyatakan pemberontakannya, kemudian peristiwa terbunuhnya Raja Tua, peristiwa naiknya
Pangeran Rebo ke tahta kerajaan dan kemudian bersama-sama Ratu Dara akan melengserkan dan membunuh Pangeran Rebo. Panembahan Reso dengan rapi telah merencanakan semua peristiwa demi peristiwa itu. Panji Sekti tahu dengan semua yang telah direncanakan Panembahan Reso itu. Dan beruntunglah Panembahan Reso karena Panji Sekti selalu mendukung apa yang dilakukannya. Bisa dilihat pada cuplikan dialog berikut. Sore hari. Di rumah ARYO SEKTI. PANEMBAHAN RESO duduk berembuk dengan ARYO SEKTI. RESO : Anda tadi, di rumah saya, berkata bahwa hanya aku yang bisa menyelamatkan kerajaan dari bencana perpecahan. Benarkah itu? SEKTI : Tentu saja. Apakah Anda berpura-pura tidak menyadari kenyataan itu? Itu bukan kerendahan hati! RESO : Bukannya tidak menyadari, tetapi kurang menyakini. SEKTI : Ya, begitulah kenyataannya. Orang boleh suka atau tidak suka kepada Anda, tetapi toh harus mengakui kenyataan bahwa Anda sangat dibutuhkan oleh negara untuk mengatasi perpecahan. RESO : Jadi, Anda menganggap aku dibutuhkan oleh negara! Tetapi, mengenai suka atau tidak suka terhadap diriku itu bagaimana? SEKTI : Termasuk yang suka atau tidak suka. RESO : Apa yang tidak Anda suka pada diriku? SEKTI : Ada satu rahasia yang menyelubungi diri Anda yang membuat saya penasaran. RESO : Hm. Begitu. Memang ada sikap Anda yang agak mengganggu hubungan kita berdua. Tetapi, rupanya bukan soal yang menyangkut rasa tidak suka. melainkan menyangkut rasa curiga. SEKTI : Ya! Ya! Memang begitu! Betul! Saya punya rasa curiga pada diri Anda. RESO : Nah, sekarang jangan lagi ada rasa sungkan. Aku ingin ada pertemuan dari hati ke hati dengan Anda. SEKTI : Ini suatu kehormatan bagi saya. RESO : Syukurlah. Sekarang tuntaskan, uraikan seluruh kecurigaan Anda terhadap diriku. SEKTI : Panembahan! Sebetulnya Anda ingin menjadi Raja, bukan? RESO : Betul! SEKTI : Sejak dari permulaan gerakan para Panji? RESO : Ya! – Tepatnya, sejak Panji Tumbal mengajak aku ikut berontak. Waktu itu kita semua mulai menyadari bahwa keadaan karajaan yang buruk harus dirubah. Aku melihat, Baginda Raja Tua sudah pikun, tetapi ia masih lebih baik dari semua calon pengganti yang ada. Pada saat itu, meskipun aku masih Panji, aku sudah sadar bahwa akulah yang bisa menyelamatkan negara.
SEKTI : RESO : SEKTI : RESO
:
SEKTI : RESO :
SEKTI : RESO
:
SEKTI :
RESO : SEKTI : RESO :
SEKTI : RESO : SEKTI :
RESO
:
SEKTI : RESO :
SEKTI : RESO
:
SEKTI :
Jadi, penilaian terhadap Anda yang sekarang saya ucapkan wakti itu sudah Anda sadari? Ya, betul! Di dalam kehidupan sehari-hari manusia biasa, ini disebut kepongahan. Aku menyadari kekuranganku, aku menyadari kelebihanku. Itu saja! Takaran Anda memang bukan takaran manusia biasa. Penyadaran akan kelebihan dirinya menerbitkan cita-cita untuk menjadi Raja dan menyelamatkan negara! Lalu, cita-cita itu aku perjuangkan dengan rencana dan usaha. Itulah sebabnya Anda mengingkari pemberontakan Panji Tumbal. Ya. Untuk menguasai semua Adipati dan menghindari perpecahan wilayah di dalam kerajaan. Karena aku tidak sekadar ingin duduk di atas tahta, tetapi ingin membela dan menyelamatkan seluruh kerajaan. Jadi, Anda memilih merajakan Pangeran Rebo karena ia paling lemah di antara para calon yang ada, dan bisa diterka akan membutuhkan seorang Pemangku? Betul! Ya! Dan, hubungan dengan Ratu Dara yang sampai sejauh itu? Itu bukan rencanaku dari semula. Itu suatu unsur yng tidak terduga yang ternyata sangat membantu rencanaku. – Anda lihat, setiap rencana dan usaha kalau benar-benar diperjuangkan akan punya nasib sendiri. Nasib baik atau buruk, yang kita harus berani menanggung atau mensyukuri. Anda tidak merencanakan dari semula untuk punya hubungan asmara dengan Ratu Dara! – Lalu isteri Anda wafat … Aku menyuruh Siti Asasin untuk membunuhnya. Dan, lali kita bersama-sama merencanakan pembunuhan terhadap Raja Tua dengan bantuan Ratu Dara! – Tetapi siapa yang meracun Anda? Saya menduga Anda diracun oleh isteri Anda. Memang. Asasin yang mengungkapkan misteri rahasia ini! – Isteriku, karena ketakutan, menentang cita-citaku untuk menjadi Raja. Kenapa cita-cita segawat itu harus diungkapkan kepada isteri? Itulah kelemahanku! – Semakin ketakutan, tingkah laku isteriku semakin berbahaya untuk keamanan rahasia citacitaku. Lalu, aku bunuh dia. Alangkah kotornya isi tengkorak kekuasaan. Itulah sebabnya kepala Raja harus dihias dengan mahkota. Cita-citaku mulia, tetapi cara yang aku tempuh ternyata bersimbah darah dan berlumur noda. Apakah Anda berpikir bahwa dunia akan memaafkan cara Anda yang bernoda, karena cita-cita Anda bermanfaat dan bersifat mulia?
RESO
:
SEKTI : RESO : SEKTI : RESO : SEKTI :
RESO
:
SEKTI : RESO : SEKTI RESO SEKTI RESO SEKTI
: : : : :
Dunia yang mana? Dunia lahir manusia sudah berlumuran bedak dan gincu. Tetapi, dunia nurani manusia, termasuk nuraniku sendiri, tidak akan pernah memaafkan noda-nodaku. Saya merasa kagum dan sekaligus kasihan kepada Anda. Cukup! Aku telah membukakan diriku. Dari hari ke hari kita telah bertemu. Bagaimanakah sekarang sikap Anda kepadaku? Saya akan membantu Anda menjadi Raja dan menyelamatkan kerajaan. Sebagai jantan dengan jantan: tuluskah Anda? Tulus dan sadar. – Beribu-ribu pendeta dan orang beragama jua pernah mendukung Raja Asoka Wardana yang jalan kekuasaannya bersimbah darah, tetapi pada akhirnya lalu menjadi Raja Yang Mulia. Aku tidak akan menghibur nuraniku dengan persamaan seperti itu. Aku tetap ingin menjadi Raja dan membela negara, tetapi juga dengan rela akan menanggung akibat dari dosa-dosaku. Saya bersumpah setia kepada Anda. Terimakasih. – Jabatan tangan ini bersifat rahasia dan hanya antara kita berdua. Baik. – Saya akan menemani Anda di dalam kesepian Anda. Aku akan membunuh Sri Baginda Maharaja. Saya dan Siti Asasin akan melaksanakan rencana itu. Tunggu saja aba-aba dari aku. Siap, Panembahan. (Rendra: 202 – 207)
Puncak konflik batin yang dialami Panembahan Reso justru muncul setelah ia mampu mewujudkan ambisi dan cita-citanya untuk menjadi seorang raja. Sihir candu kekuasaan telah membuat pikirannya linglung. Barangkali karena saking puasnya, Panembahan Reso tidak mampu mengontrol kondisi jiwanya. Barangkali juga ia tidak mampu menerima wahyu sebagai seorang raja. Panembahan Reso menjadi gagap membaca keadaan. Ia bingung dengan semua yang tiba-tiba bisa diraihnya.
Demikianlah,
kekuasaan
yang
dikuasainya
dengan
tidak
sah
mengakibatkan bencana terhadap diri Panembahan Reso. Ia hilang kewaspadaan, sehingga pada akhirnya ia terbunuh oleh Ratu Kenari. Seperti pada cuplikan berikut. Tinggallah ARYO SEKTI dan PANEMBAHAN RESO SEKTI : Yang Mulia,hamba merasa bangga melihat Paduka duduk di atas tahta. Kita telah mengadakan pertemuan dari hati ke hati, dan dari hati ke hati pula hamba berkata bahwa sesungguhnyalah Paduka pantas menjadi Raja. RESO : Terima kasih karena kamulah yang telah mempersiapkan jalan terakhir menuju tahta. Kalau istriku tidak segera kamu
tikam, entah apapula yang bakal ia ocehkan. Barangkali rahasia kebusukanku bakal terbuka. SEKTI : Jangan terlalu menyesalkan noda di masa lampau. Karena nyatanya tahta telah mampu membentuk Paduka menjadi manusia baru. RESO : Tahta memang bukan tempat duduk biasa. Begitu aku duduk di sini aku merasa tuntutan tanggung jawab yang suci dan besar. Dari tempat dudukku ini aku mampu melihat nilai-nilai baik yang harus dipertahankan dan dilaksanakan. Aku merasa sudah mendapat semuanya sehingga aku tak memikirkan diriku lagi. –Oh, aku bersumpah untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada rakyatku. SEKTI : Paduka sudah memiliki kewibawaan secara wajar, sehingga Paduka tidak mengesankan sebagai orang yang gila wibawa. Itulah maksud hamba waktu mengatakan bahwa Paduka pantas menjadi Raja. Suara perempuan menembang. RESO : Suara wanita menembang? SEKTI : Hamba kira begitu, Yang Mulia. RESO : Oh! Apakah yang aku lihat ini? Aku melihat istriku Sang Ratu Dara mencuci rambut di telaga darah. -Itu! Aku juga melihat diriku duduk di atas tahta yang terapung di telaga darah! –Apakah aku bermimpi? SEKTI : Paduka capek, Yang Mulia. Dan, terpengaruh oleh suara wanita yang menembang itu. RESO : Biarkan aku! pimping-pimping tembaga ditiup angin senja kala. Langit merah dan kini tubuhku mengucurkan darah SEKTI : Yang mulia, jangan dibiarkan nurani Paduka tersiksa tanpa ada gunanya. Jasa Paduka di masa depan akan mampu menebus dosa-dosa Paduka. RESO : Aku melihat pedesaan sekarang. Sepi dan ditinggalkan orang. Rumpun bambu. Sumur lumutan. Pekuburan. Burung-burung gagak hinggap di pohon randu. Masuklah RATU KENARI yang dianggap seperti telanjang. Berjalan pelan sambil menembang. SEKTI : Ratu Kenari! Kenapa Anda? (memalingkan muka) Apakah sudah hilang kesadaran Anda? Kenapa Anda telanjang? RESO : Kenapa kamu menangis, anakku? – Kenapa kamu berdarah, anakku? RATU KENARI berjalan sambil menembang menuju RESO. RESO : Kenapa kamu tergeletak di atas debu jalanan desa? RESO bangkit, berjalan menuju KENARI. RESO : Kenapa ubun-ubunmu berdarah, dan badanmu penuh dihinggapi serangga? aku melihat kabut merayap di atas padang belukar. O, anakku di mana sekarang kamu? (membelai kepala Kenari)
KENARI menikam RESO dengan keris. SEKTI melihat tetapi sudah terlambat mencegah., RESO tertegun. KENARI menikam dada sendiri dengan keris itu. KENARI : Kerisku beracun! (roboh berlutut) Penjinah! Pembunuh! Kamu tega, aku juga tega! (mati) SEKTI : (Menghambur ke arah Reso) Yang Mulia! Ia tertegun karena RESO dengan gerakan tangan mengisyaratkan agar ia tidak mendekat. SEKTI jatuh berlutut karena terpana. RESO merintih dengan suara dari alam yang ganjl. (Rendra: 241 – 242) b. Konflik Fisik Konflik fisik yang muncul pada naskah drama Panembahan Reso ini muncul karena adanya tekanan dari konflik batin. Beberapa peristiwa yang merupakan konflik fisik yaitu: 1) Nyi Reso meracuni Panembahan Reso Nyi reso adalah wanita yang sangat mencintai suaminya. Begitu ia tahu bahwa Panembahan Reso berambisi menjadi raja maka terjadi perang batin dalam diri Nyi Reso. Ia yakin bahwa untuk mewujudkan ambisinya itu, Panembahan Reso akan memerlukan pengorbanan yang sangat besar, yaitu nyawa Panembahan Reso sendiri. Pun seandainya ambisi Panembahan Reso berhasil dan menjadi raja, Nyi Reso juga merasa bahwa ia akan kehilangan suaminya itu. Bagaimana tidak? Ia belum bisa memberikan keturunan kepada Panembahan Reso. Dan jika Panembahan Reso menjadi raja nanti, pastilah ia akan menikah lagi demi mendapatkan seorang keturunan untuk melanjutkan kekuasaan. Hal-hal inilah yang sangat ditakutkan oleh Nyi Reso. Batinnya yang bergejolak dengan dihantui rasa ketakutan akan kehilangan Panembahan Reso membuatnya bertindak nekad. Ia harus meracuni suaminya agar ia suaminya tidak bisa dimiliki orang lain dan tetap menjadi miliknya secara utuh. Seperti pada cuplikan dialog berikut. Di rumah ARYO RESO. Pagi hari. ARYO RESO terbaring tidur. NYI RESO berdiri di dekatnya, membawa selimut. NYI RESO : Karena capek ia tertidur di sini. Nampak tenang dan pulas ia. Tak perlu lagi saya bangunkan. Tak akan saya ganggu ketenangannya. (menyelimuti Aryo Reso, lalu bersimpuh di sisi tubuhnya) Sekarang ia menjadi Senapati. Seorang Aryo. Memang hebat dia. Seorang biasa yang bisa mendorong nasibnya sehingga menjadi bangsawan. Barangkali bisa juga akhirnya ia menjadi raja. – Lalu,
bagaimana saya? Akan menjadi permaisuri? Saya tidak tahu bagaimana menjadi Ratu. Saya akan makin tersisih dari pikirannya. Saya makin tak mampu ia ajak bicara karena urusannya semakin tinggi. Sedangkan sekarang saja saya sudah mulai tak tahu apa-apa. – Dan, juga saya tidak punya anak. Nanti kalau ia menjadi raja, Ia pasti ingin punya putra mahkota. Lalu, barangkali ia akan kawin lagi. – Oh! Saya tak akan tahan dimadu! (membelai suaminya) Kakanda, saya sangat mencintaimu. Tak mungkin saya bisa hidup tanpa Kakanda. Tetapi, saya tidak berdaya memiliki Kakanda seluruhnya. Itulah sebabnya saya menderita. – Saya mau minggat tidak bisa. Saya mau bunuh diri juga tidak bisa. Soalnya karena saya tidak ikhlas melepaskan Kakanda dari tangan saya. (mengeluarkn botol kecil dari kembennya) Lihatlah, ini racun yang tidak jadi saya minum. Apakah Kakanda akan tega kalau melihat saya bunuh diri? (mengusap wajah suaminya) Ia sangat tenang kalau tidur begini. Kalau ia seperti ini saya akan bisa memilikinya seluruhnya, dan selama-lamanya. (Menusuk leher suaminya pelan dengan jari) Kalau saya tusuk di sini, akan mati dan tidak bisa lari lagi dari tanganku, - Begitu pulas Kakanda tidur sehingga walau dibunuh tak merasa apa-apa. (Memandang botol racun dengan tegang) Duh Gusti Jagad Dewa Batara, hanya bila ia mati saya bisa bulat-bulat memilikinya. (dengan tegang dan pelan-pelan ia buka tutup botol racun., lalu membuka bibir bawah Aryo Reso dan meneteskan beberapa tetes caiaran racun ke mulutnya. Aryo Reso bereaksi sedikit dengan mengecap-ngecapkan mulutnya dan secara refleks menelan racun itu) – Cukup tiga tetes dulu. Rasanya manis. Ia akan bermimpi minum madu. Kalau saya bunuh dia seketika, akan ketahuan orang. Setiap hari akan saya tuang tiga tetes ke dalam minumannya. Itu akan membuat ia pelan-pelan sakit, dan lalu akhirnya akan mati dengan kelihatan wajar. (Membelai-belai suaminya). Maaf, Kakanda berani membulatkan tekad untuk mengejar cita-cita, yaitu tahta. Saya juga sudah membulatkan tekad untuk mengejar citacita, yaitu memiliki Kanda. (Rendra: 116 – 118) 2) Ratu Padmi melakukan bunuh diri Konflik fisik tentang bunuh dirinya Ratu Padmi juga disebabkan karena konflik batin yang sangat berat. Ratu padmi merasa sangat kecewa dan sedih atas sikap Raja Tua yang memenggal kepada dua putranya, yaitu Pangeran Gada dan Pangeran Dodot. Ia sadar dua putranya memang bersalah karena akan membantu pemberontakan Panji Tumbal, namun Ratu Padmi merasa bahwa kedua putranya
masih bisa untuk disadarkan. Tetapi nampaknya Raja Tua berpendapat lain. Kedua putranya itu harus dibunuh, sebab selain akan membantu pemberontakan Panji Tumbal, juga berusaha menyisihkan kakaknya yang lebih berhak untuk menjadi raja, yaitu Pangeran Bindi. Maka Pangeran Gada dan Pangeran Dodot pun ditumpas dan dibunuh oleh Panji Simo dan Panji Ombo atas perintah Raja Tua. Karena hal inilah, Ratu Padmi memutuskan untuk bunuh diri. Ia sangat sedih dan merasa kehilangan atas meninggalnya dua anaknya itu. Maka bunuh diri menurutnya menjadi jalan yang harus ditempuh. Seperti pada cuplikan naskah berikut. RATU PADMI muncul tiba-tiba sambil menangis terisak-isak. RATU PADMI : Maaf, Yang Mulia, hamba datang menerobos begitu saja. Kalau paduka murka biar kepala hamba dipenggal juga. – Yang Mulia, hamba tidak terima. Benar kedua anak hamba berdosa, tetapi mereka masih remaja, masih bisa diinsafkan. – Ratu Dara, Anda tidak mencegah kekejaman ini? Apakah Anda juga tidak punya putera? RAJA TUA : Nanti dulu! Ratu Dara tidak punya sangkut paut apaapa! Kamu kira aku punya kegemaran memenggal kepala orang? Kalau kepala pemberontak itu tidak dipenggal, mereka akan memenggal kepala Raja! Kecuali kalau si Raja mau diajak berunding dan rela melepaskan tahta. Tetapi, aku sebagai Raja, demi negara, tidak akan mau melepaskan tahta! PADMI : Hamba percaya anak-anak hamba sebetulnnya bisa diinsyafkan. RAJA TUA : Diinsyafkan! Mereka ingin menyingkirkan Putra Mahkota, sebab menjadi Putra Mahkota pun mereka tidak berhak, apalagi menjadi Raja. Tahukah kamu bahwa anakmu yang tertua, Pangeran Bindi, itu yang akan aku jadikan Putra Mahkota? Perempuan, sadarkah kamu! Raja memenggal kedua putramu untuk menjaga agar mereka tidak memenggal kepala putramu yang tertua. PADMI : Duh Gusti, apakah kita ini hidup di dalam rimba? RAJA TUA : Memang, ini mirip rimba! Bukalah lebar-lebar matamu! Di dalam rimba hutan belantara dan di dalam rimba kekuasaan, hubungan darah itu sama tipisnya! Kenapa hal ini tidak dulu-dulu kamu sadari begitu aku ambil kamu ke atas ranjangku?! PADMI : Sebetulnya hanya setengah hamba sadari. Tidak hamba tahu akan sebegini jauh. Hamba tidak kuat menanggungnya. Bahwa pangeran Bindi akan menjadi Putra Mahkota, seharusnya itu menjadi hiburan bagi hamba. Tetapi, ia juga sama seperti paduka. Di dalam
hidup sehari-hari hamba, ia tidak pernah menjadi kenyataan. Ia seperti kelana sebatang kara yang perkasa. Seakan-akan hamba bukan bundanya, sebab ia berbunda kepada cakrawala. Lelaki seperti itu hanya bisa berbicara dengan langit. Sebagai suami atau sebagai anak tidak pernah menjadi kenyataan. (hening … lalu ia menyembah) Hamba mohon diri … Sang Raja. (keluar) RAJA TUA : (Pelan-pelan menenggak arak, dan dengan tenang berkata) Minumlah arakmu. DARA : Baik, Yang Mulia. RAJA TUA : Kamu sudah makan? DARA : Belum. RAJA TUA : Aku juga belum. Nanti saja kita makan. Belum lapar, „kan? DARA : Belum. RAJA TUA : Tolong aku masakkan lidah sapi besok pagi. DARA : Baik, Yang Mulia. RAJA TUA : Aku juga kepengin ikan bandeng. DARA : Besok akan saya masakkan. Dari jauh terdengar orang berseru: “Tolong! Tolong!” RAJA TUA : Apa itu? DARA : Tidak jelas, Yang Mulia. Teriakan “Tolong! Tolong!” makin menjadi dan diteriakkan oleh beberapa orang. Lalu, disusul oleh derap kaki orang berlari menuju kamar. Akhirnya seorang PUNGGAWA masuk, napasnya terengah-engah. RAJA TUA : Ada apa? PUNGGAWA : Ratu Padmi wafat! RAJA TUA : Apa? PUNGGAWA : Sehabis ke luar dari sini kami melihat Sri Ratu berjalan gontai. Sampai di halaman beliau memegang pohon. Beliau menepuk-nepuk pohon itu, lalu bersandar ke batangnya. Tiba-tiba beliau mengeluarkan keris kecil dan menikam jantungnya sendiri. DARA : Duh Gusti Jagad Dewa Batara! RAJA TUA : Aaaaak! (menubruk Punggawa mau membantingnya tapi tak jadi) Bangsat! (kemudian dengan lunglai ia mengambil botol arak dan menenggaknya sampai tuntas. Ratu Dara memberinya satu botol lagi. Sambil menerima botol ia berjalan menuju ranjang. Hampir sampai ia keburu jatuh. Lalu, dengan susah payah bangkit lagi, dan merayap ke ranjang. Kemudian duduk di tepi ranjang) Uruslah jenazahnya. DARA : Baik, Yang Mulia. RAJA TUA menenggak botol lagi sampai tuntas, lalu merebahkan diri ke ranjang. RAJA TUA : Boleh aku tidur? (Rendra: 145 – 148)
3) Ratu Dara membunuh Pangeran Rebo dan Panji Sekti membunuh Ratu Dara Peristiwa Ratu Dara membunuh anaknya sendiri bersamaan dengan Pemberontakan yang dilakukan Pangeran Bindi yang dibantu oleh dua Pangeran Kembar sudah menguasai beberapa kadipaten. Ratu Dara dan para panji berharap ada perintah dari Pangeran Rebo untuk menumpas pemberontakan itu. Namun yang terjadi Pangeran Rebo malah menganjurkan ada perundingan antara kerajaan dengan pemberontak. Hal ini sangat mengecewakan dan membuat malu Ratu Dara. Ia berharap dengan merajakan Pangeran Rebo, maka Pangeran Rebo bisa menjadi raja yang tegas dan pemberani. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Pangeran Rebo menjadi raja yang penakut dan tidak tegas. Karena rasa kecewa dan malu itulah Ratu Dara menikam Pangeran Rebo dengan sebilah keris. Maka matilah Pangeran Rebo di tangan ibunya sendiri. Panji Sekti yang melihat hal demikian tidak bisa menahan diri. Dengan tiba-tiba Panji Sekti mencabut keris dan menikan Ratu Dara sampai mati. Seperti pada cuplikan dialog berikut. Muncul RATU DARA dalam keadaan yang kumuh dan lusuh. Tangannya berlumur darah. RESO : Isteriku, apa yang terjadi? DARA : Jangan sentuh aku! – Aku telah membunuh Sri Baginda Maharaja. Semua orang kaget dan membantu. DARA : Aku telah menikam jantung putra tunggalku dengan kerisnya sendiri. Ia bukan lelaki yang sejati. Ia tak mampu menggunakan kerisnya, jadi biarlah keris itu terhujam di dadanya. Ia membuat aku merasa malu. Kita dudukkan ia di atas tahta, dan di atas tahta itu ia akan mencincang negara, didorong oleh rasa takutnya. Sekarang aku merasa seperti mengambang di telaga darah. Apakah aku telah menjadi hantu? Apakah aku berada di alam gaib? Bau amis memenuhi udara. – Suamiku, membunuh orang ternyata tidak gampang. Begitu batang keris ke badan korban, serasa darah mengucur dari tubuhku sendiri. Seluruh diriku serasa menjadi ada dan tiada. Suamiku, pahamkah Anda? – Suamiku. SEKTI : (Tiba-tiba mencabut keris dan menikam mati Ratu Dara) Pengkhianat! Semua orang terkesiap. PANEMBAHAN RESO pelan-pelan membungkuk meraba mayat isterinya. (Rendra: 230 – 231)
4) Ratu Kenari membunuh Panembahan Reso Kematian Panembahan Reso akibat ditikam dengan keris oleh Ratu Kenari merupakan puncak dari konflik fisik pada naskah ini. Peristiwa ini juga diakibatkan oleh adanya konflik batin Panembahan Reso maupun Ratu Kenari. Panembahan Reso adalah seorang tokoh yang sangat cerdik dan licik. Hampir semua peristiwa yang menggegerkan kerajaan merupakan skenario yang dibuatnya. Tidak aneh apabila ia dapat selalu meraih jabatan yang tinggi di kerajaan, dan puncaknya ketika dia diangkat menjadi raja di kerajaan itu. Namun tak dapat dipungkiri bahwa dalam meraih jabatan itu, ia dibayangi oleh kecemasan juga. Seperti mimpi-mimpinya tentang telaga darah dan burung-burung gagak yang merupakan simbol kematian. Satu hal yang sangat mengganjal batinnya adalah ia tidak mempunyai garis keturunan raja. Di mana seseorang yang tidak mempunyai garis keturunan raja, mustahil akan menjadi raja karena seseorang yang menjadi raja biasanya berdasarkan faktor keturunan. Namun Panembahan Reso mencoba mendobrak halhal yang demikian. Namun naas, rupanya ia tidak kuat menerima “wahyu” yang didapatkan dengan tidak sah itu. Ketika ia naik tahta dan menjadi raja, kesadarannya telah hilang. Ia bukan lagi seorang panembahan yang cerdik, licik dan disegani. Ia menjadi seseorang yang linglung dan jauh dari batas kesadaran. Hal inilah yang mengakibatkan ia merasa kebingungan dengan munculnya Ratu Kenari yang menembang. Ia menganggap Ratu Dara seolah-olah adalah anaknya yang menangis dan berdarah. Ia jatuh iba. Di puncak ketidaksadarannya itulah, Ratu Dara menikamkan keris beracun ke dada Panembahan Reso sebelum akhirnya Ratu Dara juga menusuk dadanya sendiri. Keduanya mati tertikam keris beracun. Di sinilah akhir drama Panembahan Reso. Panembahan Reso mati setelah beberapa saat ia dapat mewujudkan ambisi dan mimpi-mimpinya untuk menjadi raja. Seperti pada cuplikan dialog berikut. Semua memohon diri dan pergi. Tinggallah ARYO SEKTI dan PANEMBAHAN RESO. SEKTI : Yang Mulia,hamba merasa bangga melihat Paduka duduk di atas tahta. Kita telah mengadakan pertemuan dari hati ke hati, dan dari hati ke hati pula hamba berkata bahwa sesengguhnyalah Paduka pantas menjadi Raja. RESO : Terimakasih karena kamulah yang telah menuju tahta. Kalau istriku tidak segera kamu tikam, entah apapula yang
bakal ia ocehkan. Barangkali rahasia kebusukanku bakal terbuka. SEKTI : Jangan terlalu menyesalkan noda di masa lampau. Karena nyatanya tahta telah mampu membentuk Paduka menjadi manusia baru. RESO : Tahta memamg bukan tempat duduk biasa. Begitu aku duduk di sini aku merasa tuntutan tanggung jawab yang suci dan besar. Dari tempat dudukku ini aku mampu melihat nilai-nilai baik yang harus dipertahankan dan dilaksanakan. Aku merasa sudah mendapat semuanya sehingga aku tak memikirkan diriku lagi. –Oh, aku bersumpah untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada rakyatku. SEKTI : Paduka sudah memiliki kewibawaan secara wajar, sehingga Paduka tidak mengesankan sebagai orang yang gila wibawa. Itulah maksud hamba waktu mengatakan bahwa Paduka pantas menjadi Raja. Suara perempuan menembang. RESO : Suara wanita menembang? SEKTI : Hamba kira begitu, Yang Mulia. RESO : Oh! Apakah yang aku lihat ini? Aku melihat istriku Sang Ratu Dara mencuci rambut di telaga darah. -Itu! Aku juga melihat diriku duduk di atas tahta yang terapung di telaga darah! –Apakah aku bermimpi? SEKTI : Paduka capek, Yang Mulia.Dan, terpengaruh oleh suara wanita yang menembang itu. RESO : Biarkan aku! pimping-pimping tembaga ditiup angin senja kala. Langit merah dan kini tubuhku mengucurkan darah SEKTI : Yang mulia, jangan dibiarkan nurani Paduka tersiksa tanpa ada gunanya. Jasa Paduka di masa depan akan mampu menebus dosa-dosa Paduka. RESO : Aku melihat pedesaan sekarang. Sepi dan ditinggalkan orang Rumpun bambu. Sumur lumutan. Pekuburan. Burung-burung gagak hinggap di pohon randu. Masuklah RATU KENARI yang dianggap seperti telanjang. Berjalan pelan sambil menembang. SEKTI : Ratu Kenari! Kenapa Anda? (memalingkan muka) Apakah sudah hilang kesadaran Anda? Kenapa Anda telanjang? RESO : Kenapa kamu menangis, anakku? – Kenapa kamu berdarah, anakku? RATU KENARI berjalan sambil menembang menuju RESO. RESO : Kenapa kamu tergeletak di atas debu jalanan desa? RESO bangkit, berjalan menuju KENARI. RESO : Kenapa ubun-ubunmu berdarah, dan badanmu penuh dihinggapi serangga? aku melihat kabut merayap di atas padang belukar. O, anakku di mana sekarang kamu? (membelai kepala Kenari)
KENARI menikam RESO dengan keris. SEKTI melihat tetapi sudah terlambat mencegah., RESO tertegun. KENARI menikam dada sendiri dengan keris itu. KENARI : Kerisku beracun! (roboh berlutut) Penjinah! Pembunuh! Kamu tega, aku juga tega! (mati) SEKTI : (Menghambur ke arah Reso) Yang Mulia! Ia tertegun karena RESO dengan gerakan tangan mengisyaratkan agar ia tidak mendekat. SEKTI jatuh berlutut karena terpana. RESO merintih dengan suara dari alam yang ganjl. (Rendra: 241 – 242)
PENUTUP Dasar lakon drama adalah konflik manusia. Konflik ini sangat penting kedudukannya dalam sebuah drama. Konflik pada drama merupakan kualitas komunikasi dan situasi, yang dapat menimbulkan perhatian, kehebatan, ketegangan di mata penonton yang dilukiskan dengan gerak di atas panggung atau sebuah kehidupan yang fantastis yang dideskripsikan secara langsung di muka sendiri melalui percakapan atau dialog. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada naskah drama Panembahan Reso, tersusun atas dua konflik, yaitu konflik fisik dan konflik batin, yang keduanya mempunyai karakter yang sangat kuat sehingga naskah drama ini menjadi naskah drama yang menarik, penuh daya kejut dan sama-sama nikmat baik ketika dipentaskan atau sekadar dibaca.
DAFTAR PUSTAKA Boulton, Marjorie. 1959. The Anatomy of Drama. London: Routledge & Keagan Paul. Herman J. Waluyo. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widya Sari Press. ______________. 2003. Drama Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita ______________. 2003. Teori Pengkajian Sastra. Surakarta: Program Pascasarjana UNS Marjoure Boulton. 1959. The Anatomy of Drama. Routledge & Kegan Ltd. Martin Esslin. 1976. An Anatomy of Drama. London: Hill and Wang. R.M.A. Harymawan. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda. Shakespeare, William. 1952. Macbeth. Jakarta: Yayasan Pembangunan Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. W.S. Rendra. 1988. Panembahan Reso. Jakarta: PT. Pustaka Karya Grafika Utama.
CV BUDI WALUYO
Budi Waluyo, S.S., M.Pd. Lahir di Karanganyar, 25 Agustus 1976. Menjadi dosen tetap di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Jurusan PBS FKIP UNS Surakarta pada tahun 2004. Merampungkan pendidikan S1 pada bidang Sastra di Fakultas Sastra UNS (tahun 2000) dan S2 Pendidikan Bahasa Indonesia, Pascasarjana UNS (tahun 2010). Pernah menjadi editor di penerbitan pada tahun 2001 – 2004. Menulis beberapa buku, di antaranya buku pelajaran Bahasa Indonesia SMK tingkat semenjana (BSE) tahun 2009, Buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SD (2009), Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi (2008), Biografi Andi Oktavian Latief, Sang Fenomena dari Pamekasan Madura (Anggota Tim Juara Dunia Olimpiade Fisika tahun 2007). Menulis naskah drama Owalah (1997) dan Esok Masih Ada Matahari (2009). Beberapa kali menulis jurnal tentang drama di Jurnal Langoe (Taman Budaya Jawa Tengah) dan melakukan penelitian tentang drama.*