KONFLIK ETNIS DALAM SOSIO-KRIMINOLOGI Oleh : Syahrir Ibnu ABSTRAC Crime or criminal action is a form of social pathology that requires comprehensive analysis and handling. inter-ethnic conflict in Indonesia is a phenomenon that has emerged since the initial collapse of the Soeharto regime with a variety of different factors.Conflictis basically motivated by differentin terests whichthen affect thepattern of boththe difference in physical interaction, customs, belief sand so forth.socio-criminology is ascientific model that combines theanalysis of sociology and criminologyorin other wordsthe socio-criminology is thesociologyof crime. In the theoretical framework, hasmany sociological perspectiveon the occurrence of crime.Ethnic conflictis essentiallya scale contain selements of criminalityin it. Ethnic conflictin some of its aspectsisa form of crime. Despitethedemands for economi candpoliticaljusticebut, in practice broughtto the excessive useof ethnicconflictintoa crime.Socialexclusionbyanestablishedsocialgroupsboth economic,socialandpoliticsis
astructuralfactorofaninter-ethnic
ConflictsbetweenethnicinIndonesiaheavilyinfluencedby ofmorestructuralthanpersonalanalysissuch ascharacterandstreotif.
Dosen Universitas Khairun Ternate Prov. Maluku Utara
inthe conflictsinIndonesia. theviews
PENDAHULUAN Kejahatan atau tindakan criminal merupakan sebuah bentuk patologi social yang membutuhkan analisis dan penanganan yang komprehensif.Tingkat perkembangan teknologi semakin memperkompleks sebuah tindak kejahatan.Kejahatan tidak hanya menyentuh lapisan masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah tetapi juga menyentuh lapisan teratas masyarakat.Istilah “white Collar crime” atau kejahatan kerah putih bukan lagi hal yang baru dalam analisis dunia kejahatan. Sementara itu, konflik antar etnis merupakan sebuah fenomena yang muncul semenjak awal keruntuhan rezim Soeharto.Kerusuhan etnik yang meledak pada awal reformasi disebabkan, salah satunya, oleh adanya kesenjangan ekonomi yang merupakan warisan dari pemerintahan Soeharto.Pada awalnya gerakannya diawali oleh sebuah protes kultural dan politik atas kesenjangan yang terjadi.Patut untuk diketahui bahwa salah satu bentuk kebijakan pemerintahan orde baru adalah menciptakan struktur social yang timpang.Pengistimewaan etnis tertentu turut memancing adanya kecemburuan social.Penduduk asli merasa bahwa ekslusifitas yang diterima oleh kelompok tertentu telah menciptakan formasi sosiologis yang timpang, menciptakan kesenjangan secara ekonomi dan politik yang signifikan. Oleh karena itu, potensi konflik formasi sosiologis seperti ini tentunya sangat besar.Konflik yang awalnya hanya kecil kemudian membesar menjadi konflik yang berskala besar yaitu sebentuk gerakan pemusnahan etnik didaerah konflik.Apa yang terjadi dengan bangsa yang dari dulu di kenal sebagai bangsa yang penuh toleran. Bagaimana menganalisis permasalahan konflik etnis dari9 kacamata teoritik sosiokriminologi. Konflik pada dasarnya dilatarbelakangi oleh perbedaan kepentingan yang kemudian mempengaruhi pola interaksi baik perbedaan secara fisikal, adat istiadat, keyakinan dan sebagainya.Konflik bertentangan dengan salah satu pola interaksi yakni integrasi.Meskipun demikian pada dasarnya konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus dalam hokum masyarakat. Konflik dengan sendirinya akan mencapai titik
puncak yang akan bertransformasi menjadi sebuah integrasi namun bila integrasi ini bermasalah maka akan memunculkan konflik.
TEORI KONFLIK Dalam sosiologi, salah satu paradigm yang paling popular di kaji adalah paradigm konflik. Menurut RahoBernard (2007) teori konflik adalah : “Teori yang memandang bahwa perubahan social tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. “ Paradigama konflik mendasarkan pandangannya bahwa struktur masyarakat adalah sebuah struktur yang saling menegasi dan selalu dalam pertumbuhan rivalitas yang emrupakan sebuah keniscayaan. Perubahan social tidak akan pernah terjadi diluar tabiat dasar masyarakat ini yakni konflik. Konflik merupakan inti atau core dari pertumbuhan masyarakat.Teori konlik memandang bahwa masyarakat tidak dalam keadaan serba teratur selamanya.Bahkan dalam konteks tertentu maka konflik sangatlah dibutuhkan dalam evolusi masyarakat. Dalam perkembangan sosiologi kontemporer, Alan Sears (2008) menjelaskan secara lugas keyakinan dasar teori konflik sebagai berikut : 1. Masyarakat
didefenisikan
oleh
ketimpangan
yang
menghasilkan
konflik
disbanding didsarkan atas tatanan yang tertib dan consensus. Konflik didasarkan atas adanya ketimpangan yang hanya dapat diatasi melalui transformasi fundamental hubungan yang ada dalam masyarakat dan selanjutnya akan menghasilkan hubungan social yang baru. 2. Kelompok yang kurang beruntung secara structural akan menjadi pionir untuk melakukan perlawanan pada status quo yang menciptakan dengan sendirinya sebuah perubahan social. Jadi mereka dilihat sebagai agen bukan sebagai sesuatu yang harus dikasihani dan diberi simpati
3. Manusia yang memiliki potensi seperti kapasitas untuk kreatif ditekan oleh kondisi yang eksploitatif dan menindas, yang mana hal ini dibutuhkan dalam masyarakat yang tidak memiliki persamaan akibat oleh pembagian kerja yang berbeda. Kondisi ini dan kualitas lainnya tidak selalu harus terhambat oleh sesuatu yang bernama proses pembudayaan dan keharusan fungsional. Kreatifitas bagaimanapun merupakan sebuah mesin bagi perubahan dan pembangunan ekonomi. 4. Peran sebuah teori pada dasarnya adalah mewujudkan potensi manusia dan mentransformasi masyarakat disbanding hanya menjelaskan struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Sebagai lawan dari tujuan yang semestinya dari teori adalah pandangan objektivitas yang diasosiasikan dengan positivism dimana aliran ini berpandangan bahwa teori adalah netral dan hanya merupakan alat untuk menjelaskan fenomena social. 5. Konsensus adalah sebuah penghalusan dari ideology. Secara mendasar consensus tidak akan pernah tercapai. Yang sebenarnya adalah bahwa yang terkuat dalam masyarakat akan memaksakan konsep mereka kepada orang lain dan mengharuskan orang lain menerima wacananya. Konsensus pada dasarnya juga tidaklah mempertahankan tertib social tapi menciptakan stratifikasi misalnya mimpi-mimpi Amerika 6. Negara melayani kepentingan tertentu yang paling kuat sambil mengklaim bahwa hal ini demi kepentingan semua golongan. Sementara kelompok yang kurang beruntung dalam proses bernegara dapat mengolah gagasan dan berpartisipasi didalamnya, tapi sesungguhnya klaim ini hanyalah ilusi 7. Ketimpangan pada tingkat global ditandai dengan konsep keterbelakangan Negara dunia ketiga, baik selama masa kolonialisasi maupun setelah mereka merdeka. Sistem global (yakni, pengembangan lembaga seperti Bank Dunia dan IMF)
akan
menguntungkan
perusahaan=perusahaan
Negara
multinasional.
yang Mereka
paling
kuat
bukan
dan
subjek
pembangunan baik secara ekonomi, politik maupun militer. (terj-penulis) KARAKTER KONFLIK ETNIS
pada dalam
Konflik etnis dan agama sudah merupakan sebuah fenomena yang menjadi sebuah permasalaha social sejak pasca runtuhnya orde baru. Ada bebearapa kejadian yang menjadi potret konflik etnik di Indonesia anatara lain : 1. Kerusuhan etnit yang korbannya etnis China yang berlangsyung dan terbesar pada tahun 1997 di Jakarta yang menyebabkan puluhan atau ratusan etnis China menjadi korban baik pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan. 2. Pergolakan di Papua dan Aceh lewat GAM dan GPM yang pada dasarnya menuntut keadilan pembangunan ekonomi namun kemudian meningkat menjadi tuntutan merdeka. 3. Kasus Sidoarjo dan Kasus Rengasdenklok tahun 1996 4. Kerusuhan etnik antara etnik Madura dan etnis Dayak yang terjadi di Kalimantan Barat dan kemudian menyebar ke Kalimantan Selatan pada akhir tahun 1990-an. Koetjaraningrat (1969) menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multi etnik.Multi etnisitas ini tentunya sangatlah berpotensi menciptaka konflik.Akibat pola pembangunan yang timpang sejak masa orde baru muncullah kecurigaan antar vetnik yang semakin membesar.Prasangka dan diskriminasi yang terjadi tentunya merupakan sumber utama dari seluruh konflik yang ada dan tentunya hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Warnaen (2002) menyatakan beberapa hal berkaitan konflik etnis yang terjadi sebagai berikut : 1. Kontak ternyata berpengaruh baik terhadap beberapa dimensi stereotif maupun terhadap persepsi kesamaan. Semakin terjadi kontak, isi streotif semakin jelas dan semakin seragam, tetapi preferensi etnis tidak selalu menjadi semakin positif, bahkan bis amenjadi semakin negative. Semakin banyak terjadi kontak, golongan etnis yang daerah asalanya berdekatan atau menganut agama yang sama semakin dipersepsi sama 2. Rasa kesukubangsaan dari setiap golongan subyek, yang ternyata lebih kuat dari pada rasa kebangsaannya, tidak dipengaruhi oleh bertambanhnya kontak yang terjadi antar golongan etnis. Bila isi streotif tentang dua golongan etnis
banyak berbeda akan terjadi gejala konstraktif, yaitu bahwa kedua golongan etnis itu akan melihat satu sama lain sangat berbeda, melebihi perbedaan yang sebenarnya. Sebaliknya bila isi streotif tentang dua golongan sedikit sekali perbedaannya maka kedua golongan etnis itu akan melihat satu sama lain sama. Beragam teori yang dapat dipaparkan dalam konteks konflik etnik salah satunya Teori Motivasi oleh Schwarts (1992) yang menyatakan bahwa ada 56 nilai motivasi yang dapat di kategorikan dalam 10 nilai motivasi utama. Kesepuluh nilai motivasi itu kemudia dipolakan kedala 2 dimensi yang masing-masing memilki 2 kutub sebagai berikut : 1. Openess to change versus conservatism a. Openess to change yang bermakna keterbukaan pada perubahan
Self direction yang bermakna keinginan atau motivasi mencari jalan sendiri
Stimulation
yang
bermakna
motivasi
untuk
menerima
stimulasi/rangsangan dari luar b. Conservatism yang bermakna keengganan dalam menerima sesuatu yang baru dari orang/kelompok lain
Conformity yang bermakna keinginan atau motivasi untuk ingin menyesuaikan diri dengan orang lain
Tradition yang bermakna adat istiadat
Security yang bermakna keinginan untuk mencari aman dalam kelompok
2. Self Transendence versus self-enhancement a. Self Transendence yang bermakna keinginan atau motivasi untuk menyatu dengan orang lain
Universalism yang bermakna bahwa dunia ini satu
Benevolenceyang bermakna keinginan untuk menghargai orang lain
b. Self Enhancement yang bermakna keinginan atau motivasi untuk maju sendiri
Achievement yang bermakna keinginan untuk berprestasi
Power yang bermakna keinginan untuk berkuasa
3. Hedonism yang juga terkait dengan openness to change dan self enhancement Demikianlah factor-faktor yang mempengaruhi konflik etnis di Indonesia SEKILAS SOSIO-KRIMINOLOGI Kriminologi sebagai sebuah disiplin ilmu berfokus pada perilaku yang melanggar hokum
pidana
dan
mencari
penjelasan
untuk
perilaku
seperti
itu.
Dalam
www.en.wikipedia.org didefenisikan bahwa kriminologi adalah : “Criminology is the scientific study of the nature, extent, causes and control of criminal behavior in both the individual and its society . Criminology is an interdisciplinary field in the behavioral science, drawing especially upon the research of sociologists (particularly in the sociology of deviance) and social anthropologists as well as on writings in law” Kriminologiadalahstudiilmiahdarisifat,
tingkat,
penyebab,
danpengendalianperilakukriminalbaikdimasyarakatmaupun
individu.
Kriminologiadalahbidanginterdisiplinerdalamilmuperilaku, terutamapadapenelitiansosiolog(terutama
dalamsosiologipenyimpangan)
danantropologsosialsertapadatulisan-tulisandalamhukum. Mathieu Deflen (2006) meyatakan bahwa : “areas of research in criminology include the incidence, form, cause and consequences of crime, as well as social and governmental regulation and reaction to crime. Daerahpenelitiandikriminologimeliputikejadian, penyebabdanakibatdarikejahatan,
bentuk,
sertaperaturansosialdanpemerintahdanreaksi
terhadapkejahatan. Sementara sosio-kriminologi adalah model ilmu yang menggabungkan analisis sosiologi dan kriminologi atau dengan kata lain sosio-kriminologi adalah sosiologi
kejahatan. Dalam kerangka teoritik, telah banyak persfektif sosiologi atas terjadinya tindak kejahatan antara lain : 1. Teori Struktur Sosial mendasarkan diri pada analisis structural dan adanya keragaman posisi social yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan. 2. Teori Disorganisasi Sosial yang mempostulatkan bahwa lingkungan social terutama kehidupan bertetangga terganggu dengan kemiskinan dan perampasan seiring semakin meningkatnya tingkat populasi disuatu daerah. Disamping itu heterogenitas penduduk yang semakin tinggi dan kegagalan struktur social yang informal
untuk
mengontrol
masyarakat
merupakan
aspek-aspek
yang
menjadikan ketertiban social menjadi koyak yang selanjutnya menimbulkan tindakan criminal. Hal diatas diungkapkan oleh J Robert dan Bursik Jr (1988). 3. Teori Ekologi Sosial yang menitik beratkan pada teori disorganisasi social. Kembali J Robert dan Bursik Jr (1988) menemukan bahwa banyak studi yang menemukan bahwa tingkat kejahatan terkait dengan kemiskinan, gangguan, bangunan-banguna tinggi yang ditinggalkan atau diabaikan, dan tanda lain dari sebuah bentuk kerusakan masyarakat. Karena bekerja kelompok kelas menegah meningglkan lingkungan yang buruk yang dapat memancing kejahatan. 4. Strain Theory. Dimunculkan oleh sosiolog Amerika Robert Merton (1957) yang menyatakan bahwa bahwa budaya yang dominan, terutama di Amerika Serikat, menjadi jenuh dengan kesempatan, kebebasan dan kemakmuran. Kebanyakan orang membeli mimpi dan ini merupakan budaya dan motivasi psikologis yang kuat. Jadi menurut Merton terdapat kesenjangan antara apa yang diharapkan oleh masyarakat dengan penduduknya yang seharusnya setiap penduduk mampu mewujudkannya. Oleh karena itu, jika suatu struktur social memiliki kesempatan yang tdak seimbang dan menghalangi kelompok mayoritas dalam merealisasikan mimpi mereka maka disinilah akan terjadi tindak kejahatan. 5. Teori Subkultur. Menurut Kornhauser (1978) kenakalan dikalangan kelas social yang rendah terhadap norma social dari kelas menengah menjadi pemicu terjadinya kejahatan. Beberapa pemuda terutama didaerah-daerah miskin dimana kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang layak langka maka mereka akan mengadopsi norma-norma social tertentu yang cenderung tidak
menghormati otoritas. Tindak criminal dapat terjadi bila pemuda tersebut menganut norma-norma dari subkultur yang menyimpang. Keseluruhan teori diatas dengan tegas menjelaskan analisis sosiologis terhadap terjadinya tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat. PEMBAHASAN Konflik etnis pada dasarnya dalam skala tertentu amat memuat unsur kriminalitas didalamnya.Apa yang terjadi pada penghilangan nyawa komunitas seperti yang terjadi di Kalimantan Barat tentulah tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Konflik etnis dalam beberapa aspeknya merupakan sebuah bentuk kejahatan. Meski dengan tuntutan akan keadilan ekonomi maupun politik namun dalam prakteknya tindakan berlebihan membawa konflik etnis menjadi sebuah tindakan kejahatan. Dari beberapa teori diatas dengan jelas memaparkan bahwa struktur konflik etnis juga
disebabkan,
misalnya,
oleh
ketimpangan
social
dan
ekonomi
yang
menganga.Dalam penelitian Warnaen (2002) ditemukan bahwa stereotif sangat mempengaruhi tingakt konflik etnis di Maluku yang pada dasarnya orang Maluku distreotifkan sebagai suku yang kasar, emosional, agresif dan cepat tersinggung. M,eski penelitian ini menganggap bahwa orang Maluku tidak dianggap religious namun justru konflik di Ambon berciri Agama. Beda dengan konplik yang terjadi di Kalimantan Barat.Yang konfliknya mewujud dalam tindak kekerasan sampai tingkat sadis.Konflik antar 3 etnik di Kalimantan Barat (Dayak dan Melayu versus Madura) mencapai puncaknya pada tahun 1999 dan 2000, dengan ribuan orang terbunuh dengan sangat kejam, harta-benda dan hak milik musnah dibakar, dijarah atau dirusak dan ratusan ribu jiwa dari etnik Madura sampai saat tulisan ini dibuat masih terlunta sebagai pengungsi di berbagai pusat pengungsian (Singkawang, Pontianak, Surabaya dan pulau Madura sendiri) dan menjadi beban untuk pemerintah, baik karena harus menyediakan milyaran rupiah untuk bantuan hidup mereka, maupun karena harus menghadapi tekanan politik sehubungan dengan isyu pengungsi ini. Disamping factor-faktor psikologi social seperti yang diungkap oleh penemuan Warnaen, namun analisis structural juga dapat diterapkan pada konflik etnis yang
terjadi di Indonesia.Beragam teori sosiologi yang berciri structural semisal teori struktur social, teori disorganisasi social, teori subkultur dan sebagainya telah membrikan kekuatan analisis dalam membedah konflik etnis di Indonesia. Eksklusi social oleh kelompok social yang mapan baik secara ekonomi, social dan
politik
merupakan
factor structural
dari
sebuah
konflik
antar
etnis
di
Indonesia.Pertentangan antar etnis di Indonesia lebih berat dipengaruhi oleh pandangan structural dibandingkan analisis personal misalnya watak dan streotif.
KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat dihasilkan dalam tulisan ini adalah : 1. Bahwa
konflik
adalah
sesuatu
yang
merupakan
kecendrungan
dalam
masyarakat dan pada tingkat tertentu konflik sangat dibutuhkan dalam upaya mencapai transformasi masyarakat 2. Konflik etnis merupakan sebuah konflik yang memiliki latar belakang yang beragam. Namun pada prinsipnya konflik etnik dapat dianalisis dalam bingkai personal dan structural yang keduanya dapat tercermin dalam teori sosiologi yang telah ada 3. Diperlukan tindakan komprehensif dalam mengelola konflik etnik di Indonesia baik dari segi hokum, politik, sosiologis maupun militer. 4. Eksklusi social oleh kelompok social yang mapan baik secara ekonomi, social dan politik merupakan factor structural dari sebuah konflik antar etnis di Indonesia. Pertentangan antar etnis di Indonesia lebih berat dipengaruhi oleh pandangan structural dibandingkan analisis personal misalnya watak dan streotif.
DAFTAR PUSTAKA Bernard Raho, 2007, Teori Sosiologi Modern, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta Bursik Jr., Robert J. (1988). "Social Disorganization and Theories of Crime and Delinquency: Problems and Prospects". CriminologyVol.26, p p. 519–539. Deflen, Mathieu, 2006, Sociological Theory and Criminological Research: Views From Europe and The United States, Journal Elsevier, Vol 23. No 7, pp.279 Koentjaraningrat, 1969, Atlas Etnografi Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta. Kornhauser, R., 1978, Social Sources of Delinquency, University of Chicago Press, USA Merton, Robert , 1957, Social Theory and Social Structure, Free Press, USA. Sears, Alan., 2008, A Good Book, In Theory: A Guide to Theoretical Thinking, Higher Education University of Toronto Press, Canada. Schwartz, S.H, 1992, Universal in The Context and Structure of Values : Theoretical Advances and Empirical Test in 20 Countries, Journal of Advances in Experimental Social Psychology, Vol.25, Academic Press New York Warnaen, S., 2002, Streotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis, Mata Bangsa, Jakarta.