Syahrir dan Kebudayaan: Kesoesasteraan dan Ra’jat dalam Pemikiran Syahrir tahun 1930-an1 Oleh Rosida Erowati (Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia- Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Abstrak Rakyat Indonesia mengenal Syahrir sebagai tokoh politik. Dalam kehidupannya sebagai tokoh pergerakan di Indonesia, Syahrir dikenal sebagai ‘triumvirat’ bersama Soekarno dan M. Hatta. Tiga pilar kebangsaan Indonesia ini (oleh Tempo ditambahkan: Tan Malaka-sehingga menjadi Empat Serangkai) bahu membahu, berkawan sekaligus bersiasat untuk mewujudkan negara Indonesia yang ‘berdiri setara dengan seluruh bangsa lain di dunia’. Sebagai tokoh politik, pandanganpandangan Syahrir yang terkait dengan sastra dan kebudayaan masih luput dari perhatian publik. Padahal Syahrir merupakan salah satu pemerhati sastra pada masa Pujangga Baru. Tulisan ini bertujuan melakukan kajian tematik terhadap enam esai Syahrir yang ditulis antara tahun 1933-1936. Kajian ini diharapkan akan melengkapi kajiankajian lain tentang Syahrir yang telah dilakukan oleh para sejarahwan. Sebagai sebuah genre prosa, esai merupakan salah satu bentuk penyampai gagasan yang sangat digemari pada masa awal abad ke-20 karena secara retorika kebahasaan sangat lentur. Dengan demikian, kajian atas esai Syahrir dapat dikaitkan dengan kajian kesusastraan di masa tersebut. 1 Makalah telah diterbitkan dalam Prosiding Seminar Pekan Chairil Anwar di Fakultas Sastra Universitas Jember, 18-19 Mei 2011, berjudul RETROSPEKSI: Mengangan-Ulang Keindonesiaan dalam Perspektif Sejarah, Sastra, dan Budaya (Jember: FS Unej – Kepel Press, 2011), h. 154 – 165. 1
Ra’jat banjak jang tidak mempoenjai kesempatan oentoek penghidoepan keboedajaan didalam kesempitan hidoep-mentjari-makan sedia oentoek bersama dan bersatoe dengan pahlawan-pahlawan jang hendak mentjapai keboedajaan baroe, didalam mana ra’jat mendapat tempat. (Kesoesasteraan dan Ra’jat, Nomor Peringatan Poedjangga Baroe, 1938) Mendidik Rakyat melalui Sastra Buah kesusastraan adalah terbebaskannya jiwa dari belenggu. Perkataan Syahrir semacam ini dapat kita temukan di dalam artikelnya yang berjudul “Kesoesasteraan dan Ra’jat” (1938). Di sepanjang artikel tersebut, Syahrir membicarakan terutama bagaimana peranan kesusasteraan dalam membangun masyarakat baru Indonesia. Perdebatan mengenai hubungan sastra dan masyarakat telah mengemuka sejak Horatius merumuskan dua ukuran untuk menilai karya sastra, yaitu ‘dulce et utile’2. Sastra berfungsi menyajikan kelembutan dan kebermanfaatan bagi pembacanya. Ini berarti karya sastra mengandung dua wawasan: yang estetik dan yang etik. Perdebatan panjang tentang bagaimana sastra mampu mendidik masyarakat terlihat dari polemik antara yang mimetik dengan yang simbolik. Aristoteles, sebagaimana Horatius, melihat pentingnya karya sastra yang mampu menyerupai kenyataan, sebaik mungkin. Menurutnya, karya sastra harus menggambarkan keadaan masyarakat agar masyarakat menemukan kegunaan karya tersebut bagi kehidupannya. Inilah penyebab Aristoteles menjadi seteru utama bagi kisah-kisah mitologi Homer, yang menurutnya tak bernilai, karena tak menggambarkan kenyataan yang dialami manusia3.
2 Renee Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusasteraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993) h. 24-36 3 ibid.
2
Perdebatan semacam ini pun muncul dalam diskursus kebudayaan Indonesia pada tahun 1930-an4. Ukuran ‘dulce et utile’ merupakan diktum yang menjiwai pergulatan
para
pelaku
polemik
kebudayaan.
Pertanyaan-pertanyaan
mengemuka seputar ke manakah kita, kaum muda Indonesia, berpaling dalam rangka membangun kebudayaan Indonesia. Apakah ukuran timur ataukah ukuran barat yang seharusnya digunakan? Jika ukuran timur, yang seperti apakah itu? Jika ukuran barat, ukuran yang manakah? Eropa kah? Atau Amerika? Esai Syahrir yang saya bahas berikut ini merupakan salah satu sumbangan penting bagi diskursus seputar orientasi kebudayaan tahun 1930-an. Syahrir yang lebih dikenal sebagai seorang aktivis PNI Baru—bersama Hatta, memiliki pandangan yang kritis dan gagasan ideal terhadap peranan sastra dalam membangun jiwa masyarakat. Pandangan Syahrir tentang kesusastraan ini belum lagi dibahas secara mendalam oleh para penulis dan eseis sastra Indonesia5. Acuan-acuan karya Barat yang ia gunakan dalam membangun tesisnya tentang kesusastraan dan rakyat merupakan karangan-karangan terbaik di masa tersebut. Namun Syahrir mengutip nama-nama sastrawan dan karyanya bukan semata silau oleh nama besar yang mereka miliki, akan tetapi karya-karya tersebut mengandung ruh yang ia maksudkan untuk membangun jiwa rakyat. Kajian berikut ini berupaya menyajikan pandangan-pandangan Syahrir tentang kesusastraan dan signifikansi pandangan tersebut dalam sastra Indonesia, serta refleksi gagasan idealnya di dalam kesusastraan Indonesia pada periode setelah Pujangga Baru. 4 Polemik Kebudayaan yang melibatkan para sastrawan angkatan Pujangga Baru dengan beberapa eksponen lain dari dunia jurnalistik. Polemik ini dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Permasalahan utama yang mengemuka adalah orientasi kebudayaan masyarakat Indonesia baru. 5 Maman S. Mahayana sempat menyitir satu kalimat dalam tulisan Syahrir yang
saya bahas. Lebih lanjut tentang hal ini terdapat dalam bagian ‘Yang Tercecer dari Sejarah Sastra Indonesia’ dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik, (Jakarta: Bening Publishing, 2005). 3
Sutan Sjahrir sebagai aktivis pemuda tahun 30-an Syahrir merupakan salah satu dari triumvirat kemerdekaan Indonesia, bersama Soekarno dan Hatta. Generasi muda masa kini tidak akan banyak mendengar namanya disebut sebagai bapak Proklamasi. Situasi yang amat berbeda jika dibandingkan popularitas Soekarno-Hatta yang juga dikenal sebagai sang dwitunggal. Syahrir muda muncul bagai roket, ungkap Soedjatmoko di dalam tulisan penutupnya untuk buku Renungan dan Perjuangan-Surat Menyurat Syahrir (1990). Pengamatan Rosihan Anwar tak salah, mengingat Syahrir telah tampil sebagai wakil RI di New York dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri RI yang pertama (1945-1948) saat berusia 36 tahun. Pemuda yang dikenal ceria namun serius ini ternyata pandai berdiplomasi. Perhatian Syahrir pada dunia kebudayaan dimulai sejak sangat muda, yaitu ketika ia mengambil sekolah hukum di Bandung. Ia aktif di dalam sebuah grup teater dan memulai aktivitasnya sebagai seniman teater bersama kelompok, yang konon menjadi cikal bakal lahirnya Studi Teater Bandung. Pergaulan di dunia teater tersebut akan berbuah kembali ketika Syahrir memulai aktivitasnya sebagai Ketua Umum Partai Sosialis Indonesia. Bahkan sebelum periode berpartai, semasa dalam perjuangan bawah tanah—di bawah penjajahan Jepang—lingkaran pergaulan kebudayaan inilah yang menjadi pendukung utama Syahrir dalam pergerakannya ke berbagai kota di Jawa. Semasa mendapatkan beasiswa di Belanda, Syahrir dikenal lebih menyukai menghadiri berbagai acara kesenian di kota Amsterdam. Dan salah satu yang paling ia sukai di sela-sela kesibukannya kuliah dan melakukan pertemuan dengan anggota partai Sosialis Belanda, adalah pergi ke bioskop dan menonton film. Ia juga seorang pelahap karya sastra dunia, yang memungkinkannya mengenal berbagai tradisi dan aliran sastra. Tahun 1930-an merupakan masa ketika Syahrir dibuang ke Boven Digul, kemudian Banda Neira. Masa pembuangan ini membuatnya lebih banyak membaca dan menulis, dan yang utama adalah memberinya banyak waktu untuk bergaul dengan anak-anak. Salah satu anak angkat Syahrir yang ia bawa ketika 4
meninggalkan Banda Neira adalah Des Alwi. Des Alwi akan terus mendampingi ayah angkatnya dalam masa perjuangan bawah tanah. Sikap Syahrir yang progresif dan seperti Hatta, cenderung nonkooperatif terhadap penjajah, terlihat dalam banyak kesempatan. Ia selalu mengatakan bahwa Barat yang dinamis-lah yang akan menjadi pintu untuk membebaskan bangsa ini dari mentalitas lamanya, yang statis. Kegelisahan semacam ini pada hakikatnya jamak dialami oleh para pemikir-intelektual di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Namun, Syahrir termasuk salah satu yang sangat kritis terhadap perkembangan tersebut. Dalam banyak kesempatan, ia akan muncul mengungkapkan pandangannya secara vokal dan logis. Kelak, pikiran-pikiran Syahrir yang mengalami pergolakan hebat pada tahun 1930an, akan mengkristal dalam berbagai rancangan aktivitas politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan kekuasaan asing6. Refleksi Syahrir atas kebudayaan Bukan sekedar bernegosiasi, Syahrir juga seorang pemimpin yang visioner. Di dalam pamfletnya yang berupa risalah “Perjuangan Kita”, ia memperlihatkan kemampuannya untuk menyusun taktik perjuangan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada. Yang menjadi inti dan hilir dari semua pemikiran Syahrir adalah revolusi kerakyatan. Ia mengatakan di dalam risalahnya—pada bagian III (Revolusi Kerakyatan): “Oleh karena itu maka pergerakan rakyat kita dari sejak mula di dalam menentang penjajahan asing sebenarnya menentang feudal-bureau-kratie dan akhirnya autokratie dan fasisme jajahan Belanda, dan oleh karena itu pergerakan kerakyatan yang sejati. Tuntutan kedaulatan rakyat di dalam pergerakan kita itu memang sebagai gambaran yang sebenarnya tentang 6 Tulisan tentang biografi Syahrir telah diangkat oleh Rudolf Mrazek (Out of Exile), juga Liputan Khusus Tempo tentang Syahrir (selain itu, Tempo juga menerbitkan lipsus tentang Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka), serta Rosihan Anwar dalam Demokrat Sejati (2009). Pembahasan tentang Syahrir mulai muncul lagi dalam rangka Peringatan 100 Tahun Syahrir (2009). Yang saya sajikan dalam tulisan ini hanyalah sekilas kehidupan Syahrir dan keterlibatan serta ketertarikannya di bidang kebudayaan. 5
persoalan rakyat kita terhadap penjajahan asing yang autokratis dan fasistis itu. Rakyat di dalam perjuangan sebagai bangsa menuntut hak-hak kemanusiaannya, yang akan memberi ia jaminan, bahwa ia tak akan diperlakukan lagi sebagai budak-belian. Oleh karena itu maka di dalam pandangan kita revolusi kita sekarang adalah revolusi nasional dan revolusi kerakyatan....”7 Di sini terlihat obyektif dari revolusi kerakyatan yang dikonsepsikan oleh Syahrir. Pokok dari obyektif tersebut adalah masalah mental dan budaya, yaitu menentang birokrasi feodal, autokrasi, dan fasisme. Bagi Syahrir, semua alat yang dibutuhkan oleh negara dalam mewujudkan revolusi nasionalnya, berujung pada maujudnya revolusi di dalam mentalitas dan budaya rakyat, sehingga rakyat terlepas dari pasungan perbudakan dan penaklukan oleh bangsa asing. Konsistensi dari refleksi Syahrir atas kebudayaan ini dapat ditelusuri dalam surat-menyurat yang ia lakukan ketika mengalami pembuangan yang kedua, ke Cipinang, Digul kemudian Banda Neira (1934-1938). Surat-surat yang ia kirimkan kepada istrinya, Maria Duchateau, dikumpulkan dalam buku Renungan dan Perjuangan (terj. HB Jassin, 1990). Di dalam surat-surat tersebut, terutama pada bagian Banda Neira, terlihat perhatian Syahrir pada kebudayaan dan khususnya, kesusastraan di Indonesia. Kontak-kontak yang dibuat oleh Syahrir dengan para sastrawan Pujangga Baru juga sudah tampak pada masa itu. Dalam surat bertanggal 20 Januari 1937, Syahrir merenungkan tentang kesusastraan Amerika yang kian lama kian baik mutunya karena semakin banyak mempermasalahkan kejiwaan bangsa Amerika (h.165-168). Ia memperhatikan pengaruh yang diberikan oleh Presiden Roosevelt terhadap perkembangan mentalitas bangsa Amerika. Menurutnya, kini Amerika bukan lagi pandai memproduksi Kitsch (karya populer), tapi telah mampu menunjukkan kualitas karya yang mendalam dengan gaya bahasa yang sewajarnya, yaitu “pendek-pendek dan sangat hemat, padat, dan intens” (h.166). 7 Risalah Perdjoeangan Kita ditulis oleh Sutan Syahrir pada bulan November 1945, bertepatan dengan terjadinya peristiwa 10 November di Surabaya. Robertus Robet dalam pengantarnya untuk buku Pemikiran Politik Syahrir … (2008) menunjukkan bahwa dalam masa Revolusi fisik tersebut, hanya Syahrir dan Tan Malaka yang secara konsisten terus menyajikan perspektif mereka terhadap republik yang baru lahir. Sebagai ideolog, Soekarno justru tengah pasif saat itu. 6
Kualitas karya Amerika kemudian dibandingkan oleh Syahrir dengan kualitas karya-karya Eropa, khususnya Belanda, yang semakin berkurang karena yang terakhir ini hanya membahas ‘ropak mental kalau bukan kotoran mental’ (h.166). Keistimewaan karya pengarang Amerika bagi Syahrir terletak pada ‘kehidupan dan jiwa itu sendiri yang interesan; alat ekspresinya hanya bersifat sekunder’. Motif ‘relax’ dalam mencapai keseimbangan hidup, tengah menjadi pusat tematik di dalam karya-karya Amerika pada masa itu, dan ini menarik perhatian Syahrir, yang juga tengah mencari kesetimbangan di dalam kehidupan. Di dalam surat yang sama, Syahrir juga menunjukkan perhatiannya pada kesusastraan Indonesia di masa tersebut. Ia menganggap bahwa pokok pembicaraan di dalam kesusastraan Indonesia masih agak ketinggalan jaman. Komentarnya, “memang ada kemajuan, tapi pengetahuan mereka masih terlalu sedikit, sehingga segalanya masih sangat canggung dan sederhana. Dalam hal pikiran, kami belum mempunyai cukup bekal seperti Eropa” (h. 167). Ia telah mulai memperhatikan bagaimana pengaruh Angkatan 80 di Belanda terhadap para pengarang Indonesia waktu itu. Orientasi Syahrir terhadap Eropa yang mampu ‘membangun jiwa agar menjadi dinamis’ merupakan dasar bagi pandangannya yang akan ia kembangkan di dalam esainya ‘Kesusastraan dan Rakyat’. Ia memandang bahwa “Di Indonesia, masih harus dibangun suatu kultur baru, sebab yang lama masih ada, kelihatannya tidak bisa dipergunakan untuk zaman kita sekarang. Dan dalam bentuk-bentuk kebudayaan abad ke-15 tidak ada yang bisa menjadi titik tolak bagi pengembangan dan penyesuaiannya pada zaman sekarang” (h.167). Pandangannya yang berorientasi Barat ini menunjukkan suatu visi kebudayaan yang terbangun secara bertahap di dalam dirinya. Ia memaklumi bagaimana polemik yang dialami oleh para pemuda Indonesia yang harus menentukan orientasi namun ‘dengan bekal pengetahuan yang masih terbatas’ (h.167). Kemajuan yang tak dapat lagi didorong untuk lebih laju, karena itulah yang maksimal di masa itu. Dari perenungan semacam ini, dapat dipahami jika di akhir surat ini, Syahrir menunjukkan simpati dan kekagumannya pada majalah Ilmoe dan Masjarakat serta Poedjangga Baroe yang ‘masih termasuk majalahmajalah yang paling baik berkenaan dengan mutu pikirannya yang logis.” (h.168) 7
Kesusastraan dan Rakyat Esai Syahrir yang mengukuhkan visi kebudayaannya terlihat dalam “Kesoesasteraan dan Ra’jat” yang dimuat dalam Nomor Peringatan majalah Poedjangga Baroe tahun 1938. Pada esai ini, visi Syahrir terlihat bentukbangunnya tentang bagaimana peranan kesusastraan dalam mewujudkan revolusi kerakyatan. Syahrir menyadari bagaimana pentingnya semua media kebudayaan yang ada untuk membangunkan jiwa rakyat dari penaklukan. Sebagai ideolog, Syahrir juga memilih aliran kesusastraan semacam apa yang ia bayangkan mampu mendidik rakyat. Dalam hal ini, terlihat perspektif-perspektif Syahrir terhadap visi kebudayaan Indonesia di masa depan. Secara umum, esai ini menjelaskan sikap dan kepercayaan Syahrir terhadap peranan kesusastraan di dalam Indonesia masa depan. Bahwa ‘Pergerakan pembaroe keboedajaan di Indonesia boleh dikatakan pergerakan kesoesasteraan. Didalam penghidoepan keboedajaan jang lain selain dari penghidoepan agama dan ilmoe, semangat pembaroe itoe beloem ada’. Terlihat di sini, bahwa lokomotif pembaharu kebudayaan Indonesia pada masa itu adalah kesusastraan. Meski demikian, alih-alih bersikap mengamini begitu saja kenyataan tersebut, Syahrir justru menawarkan sikap kritis—sikap yang lahir dari kegelisahannya sebagai subyek kebudayaan yang tak lagi berkeinginan untuk kembali ke masa lalu, ‘soeatoe penghidoepan koeltoer di Indonesia, jang tidak berbaoe oedara moeseoem atau menjan’. Di sinilah Syahrir merasakan sejalan dengan pembaruan dalam bidang kesusastraan, khususnya dengan Pujangga Baru. Gagasan-gagasan Sutan Takdir Alisjahbana yang dapat kita temukan dalam Polemik Kebudayaan mendapatkan artikulasi penuh dalam visi kebudayaan Syahrir. Baik Syahrir maupun Pujangga Baru menginginkan bangkitnya kesadaran rakyat Indonesia yang pada masa itu tengah berada di persimpangan jalan. Syahrir memberikan perkiraan tentang apa yang akan terjadi pada Indonesia di masa berikutnya. ‘Djalan kekanan djalan ke-kesentosaan jang kekal, djalan, djalan kekoeboer – djalan kekiri djalan perdjoeangan teroes meneroes menoedjoe 8
keboedajaan baroe jang roepanja tidak pernah akan ditjapai, djalan perdjoeangan oentoek perdjoeangan, djalan doenia dinamis.’ Gagasan Syahrir tentang dinamika kebudayaan Indonesia telah dibayangkan sejak lama. Kebudayaan yang statis, bagi Syahrir, merupakan sekutu bagi langgengnya perbudakan jiwa rakyat. Syahrir menyadari bahwa pandangan-pandangannya yang lebih condong ke Barat dan bahkan mendorong agar kebudayaan Indonesia menjadi Barat agar mampu melampaui kemajuan Barat itu, bisa jadi tak diterima oleh para sastrawan yang berpengetahuan ‘terbatas’. Agaknya Syahrir dalam hal ini berhati-hati membangun retorikanya. Ia memaknai sepenuhnya semangat Pujangga Baru: ‘pembimbing semangat baroe jang dinamis oentoek membentoek keboedajaan baroe, keboedajaan persatoean Indonesia’, bahwa semangat tersebut merupakan bentuk ‘perdjandjian jang diberinja pada diri sendiri dan pada ra’jat Indonesia’. Maka, bagi Syahrir, Pujangga Baru akan menjadi lokomotif bagi pendidikan rakyat di bidang kebudayaan. Pemaknaan semacam ini menunjukkan optimisme sekaligus ironi, yang menunjukkan permakluman Syahrir terhadap kualitas karya yang dihasilkan oleh para pengarang Pujangga Baru di masa tersebut. Karya-karya yang telah dihasilkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane yang telah menunjukkan gambaran dinamika masyarakat pada waktu itu masih memiliki beberapa kelemahan jika ditilik dari ukuran kesusastraan yang dimaksud oleh Syahrir. Karya Sutan Takdir telah mengandung ruh semangat kebaruan, orientasi terhadap kehidupan dan pergerakan yang dinamis, namun dalam pembangunan tokoh belum lagi sepenuhnya logis. Kekuasaan pengarang atas hidup mati tokoh masih terasa dominan dan ini mengurangi keindahan karya STA di masa itu. Sementara Armijn Pane, yang telah berani memunculkan tema yang dianggap tabu dalam masyarakat puritan Batavia, memperlihatkan kualitas yang baik dalam pencapaian bahasa—hingga dapat dikatakan bahasa Indonesia benar-benar mendapatkan bentuknya dalam ‘Belenggu’—akan tetapi masih lemah dalam pemahaman terhadap ruh kebudayaan dinamis tersebut, sehingga ‘Belenggu’ menjadi karya yang terlalu mentah menggambarkan masyarakat dan belum mampu mendorong pembaca masa itu untuk
9
membangun gagasan yang ideal tentang dinamika kejiwaan di dalam sebuah masyarakat yang tengah melakukan orientasi. Perkembangan kesusastraan sejenis itu sempat mengundang kecam dari pihak yang mengatakan kelompok muda tersebut sebagai ‘ontworteld’ atau yang tercerabut dari akarnya. Namun bagi Syahrir, mereka adalah generasi yang penuh harapan, yang terbuka terhadap berbagai pengaruh yang mereka terima, yang optimis. Kekagumannya pada pencapaian yang telah dilakukan oleh Pujangga Baru terlihat dalam ungkapannya ‘Kaoem moeda ini sedia oentoek mentjapai segala tjita-tjitanja dengan tjepat dan berboeroe-boeroe.’ Di dalam kalimat tersebut, sekali lagi, tidak hanya mengandung harapan, akan tetapi juga ironi. Ironi tersebut dijawab oleh Syahrir dengan mengukur ‘boeah kesoesastraan kita’, bahwa kesusastraan tidak diukur berdasarkan siapa pengarangnya atau tendensi yang diajukan. Ukuran-ukuran kesusastraan yang digunakan Syahrir disajikan melalui paradigma semangat jaman. Syahrir memandang bahwa ukuran/nilai kesusastraan berubah mengikuti jaman yang membentuknya. Pandangan semacam ini menyentuh ke jantung perdebatan tentang orientasi kebudayaan serta ukuran yang digunakan untuk menilainya. Dua hal penting dalam ukuran tersebut: pertama, tentang teknik dalam kesusastraan dan kedua, bagaimana penyebaran atau distribusi kesusastraan. Hal kedua menurut Syahrir hanyalah masalah bagaimana mencari sarana murah yang dapat menyebarkan buku kesusastraan seluas-luasnya kepada masyarakat. Yang dinilai krusial justru teknik. Di sinilah letak modernitas pandangan Syahrir8. Ia menolak formalisme yang tengah berkembang pesat di Eropa pada awal abad XX. Baginya, yang utama adalah isi, baru diikuti oleh bentuk. Inilah sebabnya Syahrir pada masa itu mengagumi karya-karya Amerika yang terus 8 Kegemaran Syahrir untuk melanggan majalah-majalah kesusasteraan dari Eropa dan Amerika semasa pembuangannya agaknya membuat aktivis ini mengetahui peta kritik sastra yang tengah berkembang di belahan dunia lain. Sikap Syahrir yang mengutamakan ‘isi sebelum bentuk’ merupakan salah satu isu utama yang dibicarakan oleh kaum Formalis Rusia tahun 1920-an. Lebih lanjut tentang kaitan antara Revolusi di Rusia dengan kaum Formalis Rusia dapat dibaca dalam M.H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, pada entri Formalism. 10
mengembangkan tema-tema yang lebih bertujuan untuk menggambarkan dan mengarahkan mentalitas bangsa Amerika. Eropa, bagi Syahrir saat itu, mulai mengalami dekadensi karena terlalu berkutat dengan masalah bentuk dan meninggalkan kesusastraan yang bertujuan menumbuhkan kesadaran dan mentalitas masyarakatnya. Meski demikian, ia tetap melihat Eropa sebagai orientasi yang belum tergantikan karena dari sanalah lahirnya realisme—yang menurutnya paling sesuai untuk mendidik rakyat. Rakyat perlu membaca karya sastra yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Simbolisme bagi Syahrir, sama seperti romantisme, merupakan bagian dari masa lalu yang hanya perlu dipelajari, tidak untuk digunakan lagi. Dua aliran penting yang sangat digemari oleh pembaca Eropa adalah naturalisme dan realisme. Menurut Syahrir, untuk kedua aliran itu, perlu berguru pada Zola, Gorki, Adama van Scheltema dan A. M. de Jong. Yang pertama merupakan bapak naturalisme, yang kedua berhasil mengembangkan dari naturalisme ke realisme Rusia, yang ketiga dan keempat merupakan realis-realis Belanda. Pilihan Syahrir terhadap kesusastraan yang bertujuan mendidik rakyat ini agaknya dipengaruhi oleh Menno Terbraak (1902-1940), sastrawan Belanda, yang memimpin majalah kesusastraan ‘Forum’, salah satu majalah yang berhasil mengembangkan aliran realisme di Belanda dengan prinsipnya ‘isi mendahului bentuk’. Dengan demikian, Syahrir merumuskan bahwa karakter dari kesusastraan untuk rakyat adalah ‘realistis dan sosial’. Perspektif ini sesuai dengan pandangan Syahrir dalam bidang-bidang lain, terutama politik dan kemasyarakatan. Sosialisme merupakan epistemologi yang dibangun oleh Syahrir dalam mewujudkan revolusi kerakyatan yang ia tunjukkan dalam risalah “Perjuangan Kita”. ‘Isi’ dalam pandangan Syahrir meliputi ‘stof-bahan, pengertian (begrippemahaman, opvatting-pendapat) dan bahasa (kekoeasaan perkataan dan stijlgaya)’. Isi inilah yang menentukan nilai keindahan sebuah karya sastra. Posisi yang dipilih oleh Syahrir menunjukkan orientasi kebudayaan yang ia anggitkan. Sastra dengan isi yang realistis dan sosial merupakan wacana yang berkembang sejak abad ke-19 dan terus berkembang seiring tumbuhnya ideologi sosialis dan komunis. Keberpihakan Syahrir pada realisme yang sosial di masa Pujangga Baru dan masa sebelumnya sesungguhnya dapat ditemukan artikulasinya dalam 11
karya-karya sastra Melayu Rendah (bacaan liar), yang dalam asumsi saya, memiliki kekurangan terutama pada sisi pengertian dan bahasa. Pemahaman yang dangkal terhadap suatu masyarakat dapat mengakibatkan hasil kesusastraan yang tidak indah, atau malah bertentangan dengan kondisi riel itu sendiri. Refleksi realisme baru dalam karya angkatan ‘45 Pembahasan atas konsep kesusastraan untuk rakyat dalam pandangan Syahrir menghasilkan suatu refleksi bagi saya. Apa yang disebut oleh Syahrir sebagai realisme baru adalah realisme yang bertujuan untuk mendidik rakyat Indonesia agar lepas dari belenggu mentalitas perbudakan, yang kemudian ia definisikan dalam tiga hal: birokrasi feodal, autokrasi, dan fasis. Dengan demikian, yang dimaksud oleh Syahrir sebagai realisme yang sosial pada dasarnya adalah realisme yang berpihak pada kemanusiaan. Ini merupakan model realisme yang tak ditunggangi oleh suatu ideologi fasis, sebagaimana di Rusia-Sovyet. Model realisme baru itu kemudian baru dapat kita temukan bentuknya dalam karya-karya awal Angkatan ’45 seperti Idrus, Pramoedya A.Toer, Achdiat K. Mihardja, dan Ramadhan KH. Pada masa sesudahnya, masalah realisme ini mengemuka sebagai jantung perdebatan bukan sekedar dalam lapangan kesusastraan, namun juga dalam politik sastra. Refleksi realisme baru pada angkatan ’45 ada baiknya dibahas pada kesempatan lain, karena membutuhkan pendalaman materi yang lain. Dalam kajian ini setidaknya telah diperlihatkan satu gagasan penting dari tokoh politik Indonesia yang menurut saya, sangat layak untuk dijadikan acuan dalam penilaian karya sastra. Keterlibatan Syahrir dalam lapangan kebudayaan paling menonjol pada masa tahun 1930-an. Dan konsepsinya tentang kesusastraan untuk rakyat pada masa itu merupakan sebuah tantangan besar bagi masyarakat sastra. Pada masa sesudahnya, kita dapat mengetahui dari berbagai buku dan esai koran serta majalah tentang perkembangan realisme yang sosial di Indonesia.
12
Daftar Pustaka Abrams, M.H. A Glossary of Literary Terms. Boston: Heinle & Heinle, 1999. Alisjahbana, S. Takdir. Seni dan Sastra Ditengah-tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Dian Rakyat, 2008. Mahayana, Maman S. 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publishing, 2005. Nur Indro, P.Y. Pemikiran Politik Soetan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia: Tentang Sosialisme Demokratis. Bandung: Inisiatif Warga, UKM Media Parahyangan dan UKM PUSIK Parahyangan, 2009. Wellek, Renee dan Austin Warren. Teori Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Sjahrir, Sutan. Renungan dan Perjuangan. Jakarta: Djambatan dan Dian Rakyat, 1990. Liputan Khusus majalah Tempo, Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, Jakarta: KPG, 2010 Nomor Peringatan Majalah Poedjangga Baroe, 1938. www.mennoterbraak.nl. Diakses tanggal 27 April 2011 www.sutansjahrir.com Diakses tanggal 25 April 2011
13