KONFERENSI GURU BESAR PTKAI 2015 Jumat, 04 Desember 2015 09:30
KONFERENSI GURU BESAR PTKAI 2015
QUA VADIS, INTEGRITAS DAN REPUTASI AKADEMIK
OLEH:
DUSKI SAMAD
Guru Besar Ilmu Tasawuf
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Padang
Sekali waktu setiap orang atau lembaga harus mau dan mampu mengkritik dirinya sendiri. Kementerian Agama RI, dalam hal ini Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Direktorat Jendral Pendidikan Islam mengelar kegiatan Konferensi Guru Besar PTKIN di Hotel The Media Jakarta, dari tanggal 29 November sampai 1 Desember 2015 yang intinya menyediakan forum mengkritik peran, fungsi dan konstribusi guru besar bagi kemajuan perguruan tinggi keagamaan Islam negeri. Konferensi guru besar yang pertama dilakukan ini mendapat respon positif dan menjadi ajang berbagi (share) pendapat dan pengalaman antar guru besar dalam menanggapi masalah pendidikan tinggi Islam, birokrasi dan masa depan umat Islam.
Dinamika pertemuan guru besar tentu akan berbeda dengan pertemuan biasa, karena memang mereka adalah pemikir dan praktisi yang sudah cukup pengetahuan dan pengalaman. Issue be sar yang mengemuka cukup luas, dan di antara yang banyak mendapat sorotan adalah berkaitan dengan pertanyaan pokok yang dilontarkan oleh pengagas acara yaitu qua vadis guru besar?. Qua vadis guru besar PTKIN mengisyaratkan ketidak jelasan keadaan guru besar yang
1/8
KONFERENSI GURU BESAR PTKAI 2015 Jumat, 04 Desember 2015 09:30
ada sekarang, begitu juga para doktor yang akan jadi guru besar. Nyatanya hampir 10 (sepuluh) tahun terakhir sedikit sekali dosen yang bisa mencapai jabatan guru besar dilingkungan PTKIN, misalnya UIN Jakarta 10 tahun terakhir hanya 2 orang guru besar, papar Azyumardi Azra, sebagai pembicara utama.
Masalah yang harus diperhatikan adalah berkenaan dengan terbatas dan susahnya mencapai kualitas akademik guru besar, karena ada dilemma antara kuantitas dengan kualitas guru besar, sementara untuk akreditasi sebuah prodi diperlukan guru besar. Sulit menerima alasan apa yang digunakan penentu kebijakan di Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi dan Kementrian Agama RI yang menjadikan persyaratan untuk menjadi guru besar sering tidak masuk akal, seperti masalahnya non akademik yang dihubungkan dengan yang bukan akademik misalnya kata seorang Dirjen, baru kemaren jadi Doktor mau profesor, mereka ingin jadi guru karena mau tunjangan, itu keliru, tegas Azra.
Pimpinan perguruan tinggi keagamaan Islam mestinya memiliki pandangan bahwa keberadaan guru besar tidaklah sebatas kepentingan akademik murni saja, tetapi juga dimengerti sebagai kebutuhan bangsa yang lebih luas. Konsep Profesor ataupun Doktor pengadaan yang disampaikan Harun Nasution di awal tahun 1980 lalu perlu dipertimbangkan kembali sebagai wujud dari misi keberpihakan pada pengembangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (affirmatif action).
Siapapun yang menentukan kebijakan di level atas, perlu diberikan pandangan yang lebih dalam dan luas bahwa kehadiran Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri di Indonesia melebihi dari perguruan tinggi umum biasa. Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) bukanlah sebagai lembaga akademik an sich, tetapi juga lembaga perjuangan umat, dan malah dapat disebut sebagai simbol eksistensi Islam Indonesia.
Mengatasi keterbatasan jumlah guru besar dibanding dengan lembaga dan mahasiswa PTKIN dan sulitnya Doktor mencapai gelar tertinggi akademik profesor itu maka kedepan perlu disiapkan sedemikian rupa. Langkah strategis haruslah diambil oleh Direktur Perguruan Tinggi Islam Negeri bersama Rektor agar mengadakan program percepatan bagi pengadaan profesor, yang disertai dengan alokasi dana penelitian bagi doktor. Bisa juga dipertimbangkan melaksanakan pendapingan yang serius, katakanlah dalam bentuk kegiatan program pembibitan profesor.
Kebutuhan mendesak pada jumlah dan mutu guru besar di lingkungan PTKIN adalah
2/8
KONFERENSI GURU BESAR PTKAI 2015 Jumat, 04 Desember 2015 09:30
keniscayaan yang harus dipersiapkan menghadapi tantangan yang sedang dan akan dihadapi dunia perguruan tinggi Islam. Ekspansi PTAIN dari IAIN menjadi UIN, STAIN menjadi IAIN dan bertambahnya jumlah mahasiswa yang begitu signifikan adalah berkah kemajuan yang sekaligus medan perjuangan untuk mewujudkan lembaga yang kredibel dan dipercayai baik nasional maupun internasional.
Bersamaan dengan beban berat akademik yang harus dipikul oleh guru besar di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri mereka juga dihadapkan pada kendala biroktisasi pendidikan yang mestinya dapat dihilangkan. Kehadiran guru besar yang harus mengunakan teknologi sidik jari, piger print, sehari penuh harus di kampus, sedangkan ruangan guru besar dan dosen tidak memadai di kampus tertentu masih seadanya, kewajiban beban kerja dosen (BKD), terakhir ada pula pendaftaran on line berupa e pupns adalah mempelihatkan betapa biroktisasi, dan kebijakan prasangka buruk suuzdhan , pandangan dosen punya bakat koruptif, ditambah lagi dosen harus membuat laporan kekayaan itu bentuk pelanggaran HAM yang menghadang aktivitas akademik guru besar.
Kepemimpinan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri akhir ini tengah menghadapi tantangan kolonialisasi perguruan tinggi, penjajahan tertutup terhadap kebebasan dan otonomi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri, adalah masalah lain yang menjadikan guru besar terjebak pada rutinitas. Statuta terakahir di seluruh PTKIN yang memberikan wewenang Rektor yang menjadi penguasa tunggal di kampus, jajaran kepemimpinan kampus yang harus satu paket dengan Rektor, Wakil Rektor, Dekan, wakil Dekan, ketua prodi dan lembaga-lembaga orang-orangnya Rektor adalah bentuk baru dari penjajahan terhadap eksistensi otonomi kampus, yang tanpa disadari memepengaruhi pola pikir guru besar dalam berkarya.
Penguasaan Rektor yang super kuat terhadap semua kepemimpinan di kampus pada dasarnya menjadikan kampus monolog dan tidak lagi bergairah dalam melahirkan demokratisasi yang bermartabat. Kondisi yang jelas tidak kondusif, ke depan akan dialihkan ke level yang lebih birokratis dan membungkam. Kelahiran Peraturan Mentri Agama (PMA) nomor 68 tahun 2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian Rektor yang sepenuhnya ditentukan Mentri Agama RI adalah regulasi yang diminta guru besar untuk dikaji secara matang dan lebih terbuka. Senat Perguruan Tinggi tidak lagi memiliki hak suara memilih kandidat Rektor, senat hanya mengusulkan nama-nama yang memenuhi syarat, kemudian tim panel yang menseleksi, lalu ditetapkan Mentri Agama belum tentu akan membuat gairah akademik di kampus.
Sisi lain yang juga mendapat sorotan tajam adalah inkonsistensi Direktur Pendidikan Tinggi Islam (DIKTIS) dalam mengakomodir acuan dan ketentuan yang berlaku di Kementrian
3/8
KONFERENSI GURU BESAR PTKAI 2015 Jumat, 04 Desember 2015 09:30
Ristekdikti yang tidak memberikan advokasi memadai. Tidak semua yang disodorkan pihak Kementrian Ristekdikti yang baik dan sesuai untuk PTKIN, perlu pertimbangkan kondisi yang ada. Lurus tabuang (menerima sepenuhnya tanpa ada penyesuaian) dalam mengelola perguruan tinggi tidak akan jadi apapun dan akan terus membuat institusi semangkin sulit, pungkas Azyumardi Azra.
Berkaitan dengan ditandatanginya PMA 68 thn 2015 tentang kewenangan Mentri Agama yang sudah begitu kuat sebelumnya, kini sejak proses hak-hak otonomi dan kebebasan kampus sudah dicabut. Penjelasan Mentri Agama saat membuka Konferensi Guru Besar bahawa latar belakang muncul PMA Nomor 68 tahun 2015 adalah sebagai upaya menyehatkan kehidupan kampus dari politisasi. Kondisi ini pada dasarnya hanyalah memindahkan politisasi kampus dari bawah (Perguruan Tinggi) ke atas (Kementrian Agama). Bisa dipastikan kelak akan terjadi apa yang disebut dengan mafia rektor, dan itu akan mereduksi kewenangan civitas akademika, khususnya guru besar sebagai senator otonomatis. Untuk menghidari kondisi yang tidak baik, perlu sosialisasi dan aturan yang mengakomodir semangat otonomi kampus.
Suara yang cukup nyaring juga bergema dalam diskusi pada Konforensi guru besar adalah proses administrasi pengangkatan guru besar. Direktur Diktis diminta untuk melakukan lobby tingkat tinggi bahwa pengangkatan guru besar cukup di Kementrian Agama saja, dengan segala impilaksi yang dibawanya, karena memang disiplin ilmu-ilmu agama berada di bawah kewenangan Kementrian Agama RI. Begitu juga halnya dengan guru besar diminta lebih menfokuskan diri bagi pengembangan akademik, bukan merebut jabatan struktural yang justru membuat mandegnya karir akademik dan tergerusnya eksistensi guru besar.
Bagaimana menumbuhkan iklim akademik yang bergairah maka dapat belajar pada pengalaman di perguruan tinggi ternama di luar negeri, profesor diberikan fasilitas dana penelitian yang besar, dan ruang kerja yang nyaman dikampus, lalu kemudian mereka ditagih meneliti, menulis di junal internasional, menulis buku dan membimbing dosen muda dan mahasiswa. Kebijakan affirmatif dan intervensi yang terukur dan terencana untuk pemberdayaan guru besar harus segara dilakukan DIKTIS, guna menjadikan guru besar sebagai key person bagi kemajuan lembaga. Tunjangan yang diperoleh guru besar di Indonesia masih belum seberapa di banding negara maju, akan tetapi lumayan untuk ukuran negara berkembang. Upaya mendorong guru besar menjadi pakar internasional dan menjadi dosen terbaik dilingkungan kampusnya adalah agenda mendasar yang harus dilakukan pimpinan lembaga. Penyediaan ruang kerja yang representatif bagi guru besar harus segara menjadi perhatian Rektor. Mengembalikan kampus dengan atmosfir akademik yang dinamis, membentuk kultur akademik di kampus dan gairah akademik di kampus, dimulai dari penguatan peran dan fungsi guru besar.
4/8
KONFERENSI GURU BESAR PTKAI 2015 Jumat, 04 Desember 2015 09:30
INTERNASIONALISASI DAN NETWORKING
Sesi diskusi kelompok ketiga yang berkaitan dengan internasionalisasi dan networking guru besar dengan narasumber Bachtiar Effendi dari UIN Jakarta dan Nurhaidi Hasan dari UIN Jokyakarta cukup bernas dan dinamis. Kritik terhadap layunya dinamika akademik di lingkungan kampus PTKIN pada dasarnya adalah kesadaran kolektif guru besar yang diharapkan dapat menjadi modal akselerasi. Keberadaan perguruan tinggi Islam yang belum bisa menembus salah satu dari 400 rangking perguruan tinggi terbaik di dunia, seperti misalnya UNS di Singapore yang menduduki rangking 12 di dunia adalah masalah bersama yang harus dihadapi secara kolektif. Walaupun perguruan tinggi di bawah Kemenristekdikti satu 2015 ini tidak ada yang masuk rangking dunia.
Hadirnya undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi adalah pengakuan keberadaan perguruan tinggi Islam yang belum maksimal dapat dipenuhi. Perguruan tinggi Islam tidak harus ikut-ikutan pada cara sloganisasi, seperti World Class University, akan tetapi yang harus mendapat perhatian lebih adalah mendorong percepatan untuk menjadikan kampus sebagai pabrik keilmuan ( production of knowladge) . Ukuran yang dapat ditunjukkannya kampus perguruan tinggi adalah berkembangnya produksi ilmu pengetahuan dalam bidang-bidang yang diperlukan masyarakat.
Maindset pengelolaan perguruan tinggi Islam diminta untuk secara serius dan berkelanjutan menjadikan sistim akademik yang dikembangkan lebih menekankan pada reseach university , mengantikan teaching university yang begitu kental dalam pikiran guru besar dan akademisi kampus. Komitmen pada pengembangan ilmu pengetahuan, pengembangan metode pembelajaran yang bermutu, partisapasi guru besar dan akademisi dalam jaringan ilmu pengetahuan dunia adalah agenda unversitas riset yang disusun secara berkelanjutan dan tidak dihambat oleh kendala birokrasi. Budaya akademik genuine yang belum terbangun, tradisi meneliti dan menuliskan hasil penelitian pada jurnal berstandar internasional serta menerbitkan buku dengan publikasi internasional adalah kehidupan kampus yang harus diciptakan Rektor atas dukungan guru besar.
Tradisi riset kalaboratif yang sudah kuat di perguruan tinggi negara maju, harus dapat dilakukan oleh guru besar dan akademisi Indonesia. Riset kalaboratif bersama teman sejawat, kandidat
5/8
KONFERENSI GURU BESAR PTKAI 2015 Jumat, 04 Desember 2015 09:30
doktor dan team dosen muda adalah bentuk pembelajaran yang akan melahirkan karya bermutu. Pada perguruan tinggi ternama riset kalaboratif dilakukan dalam bentuk postdok, riset kandidat doktor dan pembuatan karya sendiri, monograf, yang berkualitas, tentu dengan pembiayaan yang lebih dari cukup.
Kritik terhadap diri sendiri dan institusi perguruan tinggi yang anomali, seperti kuatnya intervensi birokrasi, sistim akreditasi yang masih artifisial, dan pengelola yang asal-asalan, akal-akalan serta menservice asessor adalah bentuk melemahnya daya juang pengelola. Jejaring penelitian yang seharusnya dilakukan oleh guru besar di antaranya dapat dapat dilakukan untuk penguatan penelitian, artikel pada jurnal internasional, membuat book chapter dan monograf sebagai karya pribadi guru besar.
Peserta diskusi mengajukan rumusan bijak bahwa tujuan internasinalisasi dan netrworking guru besar hakikatnya adalah menjadikan guru besar melahirkan karya bernilai tinggi. Islam global dan Islam lokal itu posisinya sama-sama penting bagi perguruan tinggi Islam. Guru besar semuanya dan tidak mesti diberi tugas untuk internasionalisasi dan networking, akan tetapi guru besar harus mendorong dan mencontohkan bagaimana menjadi dosen yang baik dan berkualitas. Guru besar memiliki tanggung jawab moral menjadikan kampus tempat mengabdinya sebagai perguruan tinggi yang baik, yang pada akhirnya automaticly akan internasionalisasi.
Internasionalisasi tidak perlu menjadi momok yang menakutkan, ulama zaman dulu menulis dengan kualitas bermutu, secara tidak langsung akhirnya menjadi referensi internasional. Guru besar harus menulis, boleh dengan bahasa Indonesia, yang paling penting adalah tulisan baik, bermutu dan layak dibaca di dunia internasional. Kendala bahasa tidak boleh menjadi hambatan untuk menulis, bahasa dapat saja dibantu oleh pakar bahasa. Perguruan tinggi Islam membutuhkan jurnal ilmiah berbahasa Indonesia yang baik dan bermutu.
Mengenai kritik lambannya budaya akademik dilingkungan PTKIN, karena kebutuhan guru besar belum terpenuhi, lingkungan kerja kurang mendukung, penelitian pembiayaannya sedikit dan birokratis, adiministrasi kampus yang menyusahkan seperti absen sidik jari, figer print, beban kerja dosen (BKD) adalah bentuk hambatan yang tidak boleh menghilangkan integritas dan pada akhirnya menjauhkan dari tujuan menjadikan Perguruan tinggi lebih baik. Keadaan apapun seorang guru besar dituntut mengembangkan akademik cultur dan integritas diri, berbuatlah sesuai keahlian dan kemampuan, tidak bisa profesor diatur dengan semangat kini, padahal dulu tidak ada aturanya.
6/8
KONFERENSI GURU BESAR PTKAI 2015 Jumat, 04 Desember 2015 09:30
Kembali ke internasionalisasi dan networking guru besar maka yang harus mendapat perhatian guru besar adalah pikirannya sebenarnya sudah diiternasionalisasi lewat penelitian orang asing. Yang harus dipacu adalah agar terus saja menulis, kalau pikiran itu dibutuhkan akan dicari orang saja nanti. Tulisan yang baik itu dapat dari aktivitas yang dilakukan berulang-ulang dan lama. Cara yang mestinya dimotori oleh kampus adalah membangun kerjasama internasional untuk merancang penelitian yang baik. Banyak kolega internasional perlu conterp art orang Indonesia, itu adalah peluang. Guru besar diminta untuk berikhitiar untuk sejajar untuk menjadi produsen ilmu pengetahuan.
Patut diingatkan bahwa semua guru besar tidak harus menjadi go internasional, yang harus dan wajib itu adalah menjadikan guru besar sebagai dosen yang bagus dan bermartabat, bukan dosen yang “berjojo” kesana kesini. Hal yang harus ada dan dilakukan oleh guru besar adalah mengajar, membimbing, meneliti dan mengasuh meskipun dengan fasilitas terbatas yang disediakan kampus. Menyediakan ruangan kerja guru besar dan lingkungan kampus yang bergairah, memassifkan pembiayaan untuk luar negeri, memberikan kesempatan satu tahun tidak mengajar, tetapi meneliti diluar negeri, lalu kemudian melahirkan karya buku,dan jurnal adalah upaya menginternasionalisasikan guru besar.
Keberanian Diktis dan Rektor PTKAI menegaskan distingsi, membuat program yang guru besar tidak terisolir dengan riset individu, riset lanjutan kalaborasi, memobilitiy guru besar dilingkungan kampus adalah langkah lain yang punya nilai strategis bagi networking guru besar. Menjelaskan posisi PTKAI dengan risalah agama yang akan dinilai beda, hegemony akademik dan birokrasi yang dipaksakan adalah hambatan yang harus dituntaskan. Penajaman profesionalitas, ilmu Islam yang tinggi, etos kerja, konsep pembelajaran, penelitian kurang uman balik, kurang dihargai, dan menjadikan PTKAI sebagai model tranformasi Islam dan kemoderenan adalah hal lain yang harus mendapat perhatian dari para guru besar.
Pada akhir diskusi kelompok internasionalisasi dan networking guru besar didapatkan beberapa kesimpulan, antara; (1). Diktis dan Rektor diminta untuk menyiapkan program dan komitmen bersama untuk memperperbaiki kualitas dan iklim akademis yang lebih baik, mengelompokkan dosen internasional, dan dosen yang menjadi dosen terbaik dilingkungan institusinya. (2). Internasionalisasi dan networking guru besar dengan penelitian, jurnal dan buku sebagai ungulan yang berbenturan dengan adminsitrasi hendaknya diupayakan lebih moderat dan mesti disiapkan regulasi akademik yang berpihak pada keunggulan. (3). PTKAI dalam mengejar ketertinggalan dari Perguruan Tinggi di Kementristekdikti bukanlah pada bidang eksakta, akan tetapi adalah dalam bidang sosial dan humaniara, inklusif studi, gender serta studi agama dalam kemoderenan. (4). Berkenaan dengan kesulitan adminstrasi pengangkatan guru besar maka Kemenag diminta untuk melakukan loby agar birokrasi guru besar dilakukan di Kemenag. (5). Karya guru besar yang bagus pada bidang studi Islam yang bisa diakses secara
7/8
KONFERENSI GURU BESAR PTKAI 2015 Jumat, 04 Desember 2015 09:30
internasional, perlu ada standar yang tidak saja mempedomani kemenristekdikti. (6) Penelitian yang kurang dihargai terhenti dilaporan, karena reward masih kecil, penelitian guru besar studi Islam, mestinya ditentukan oleh ahlinya.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa Konferensi Guru Besar PTKIN pertama di tahun 2015 ini adalah momentum mengairahkan guru besar untuk menjadi kunci perubahan di lingkungan kampus masing. Menjadikan guru besar sebagai sosok dosen yang baik, benar, berintegritas dan bereputasi akademik adalah harapan semua pihak. Kesadaran kolektif guru besar dengan amanah ilmu, jabatan dan eksistensinya adalah modal yang akan berkonstribusi besar bagi pencapaian misi besar Islam di nusantara. Selamat, berkarya untuk kebaikan lebih luas. The Media dan Tower Hotel, Gunung Sahari, Jakarta, 01122015.ds. ed.En.
8/8