IKATAN AHLI GEOLOGI INDONESIA PENGDA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Simposium Geologi Yogyakarta 23 Maret 2010
MENYONGSONG POLA FIKIR GEOLOGI MASA DEPAN Makalah ini dipresentasikan pada Geological Symposium of Yogyakarta 2010, kerjasama IAGI PENGDA DIY dengan IST AKPRIND 23 Maret 2010 di YOGYAKARTA
oleh Febri Hirnawan Guru Besar Geologi
Laboratorium Geologi Teknik
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran 2010 Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan
1
IKATAN AHLI GEOLOGI INDONESIA PENGDA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Simposium Geologi Yogyakarta 23 Maret 2010
MENYONGSONG POLA FIKIR GEOLOGI MASA DEPAN oleh Febri Hirnawan Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran 2010 Abstrak Pendidikan geologi di Indonesia sudah berlangsung lebih dari 60 tahun. Riset-riset di bidang geologi secara kumulatif terus bertambah setiap tahun, menjadikannya sebagai asset data dan informasi, dan juga ilmu yang diperoleh lewat riset-riset tersebut. Namun dibalik itu semua timbul pertanyaan yang sangat mendasar, mengapa dalam pendidikan geologi tidak dilibatkan filsafat. Filsafat dalam arti luas adalah the mother of the sciences dan dalam arti sempit adalah loving wisdom, sehingga sangat tepat dilibatkan dalam proses pembelajaran ilmu, yang sekaligus membekali para peserta didik dalam membentuk integritas kepribadian mereka di perguruan tinggi. Kita telah melupakan hal yang sangat mendasar ini, sehingga para lulusan kita kehilangan kesempatan emas baik untuk memahami maupun memanfaatkan filsafat sebagai panduan dalam berfikir luas tak terbatas, khususnya di ranah ilmiah (scientific unsurpassed thinking), maupun pembinaan jati diri ilmiawan. Pembinaan pola fikir berbasis kurikulum tanpa keterlibatan filsafat ilmu dan metodologi riset tersebut mengkarakterisasi riset-riset geologi yang lebih cenderung interpretatif, bahkan mengarah kepada spekulatif, sehingga produk riset yang dihasilkan belum dapat meraih kriteria ilmu yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi. Pengakuan geologi oleh komunitas ilmiawan non-geologi betapapun sangat penting dan sudah seharusnya mampu diraih oleh geologi melalui keberhasilan pembinaan pola fikir geologi masa depan. Kata Kunci : paradigma riset geologi, dongeng geologi, metodologi riset geologi, geologi produk kontemplasi, geologi produk interpretasi, geologi produk verifikasi Abstract Geological education in Indonesia has been longer than 60 years. The results of researches in geology cumulatively increase every year, as asset of data, informations, and also sciences obtained through the researches themselves. But, the problem is that philosophy is not involved in the education. Philosophy meaning in broader sense is the mother of the sciences, while in narrower sense is loving wisdom, which is very important to be involved in the process of scientific learning and also integrity building in higher educations.
Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan
2
We have forgotten this very fundamental issue, which cause our alumni lost their golden opportunity to understand and use the philosophy as a guidance for doing both scientific unsurpassed thinking and integrity building as scientists. Scientific-paradigm building being based on curriculum without the involvement of both philosophy and research methodology has characterized results of geological researches as interpretive, and even speculative, of which the sciences obtained through the researches are not able to gain the criteria of science of high degree of confidence. Recognition of geology from non-geological scientific communities, however, is very important, which should be gained by geology through a successful future geological scientific-paradigm building. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sudah sekitar 60
tahun pendidikan geologi di Indonesia berjalan. Wajar apabila
kurikulumnya berkembang sejak dulu, tetapi yang menjadi pertanyaan mengapa tidak dilibatkan filsafat? Apakah tidak perlu di dalam kurikulum geologi disertakan filsafat ? Mengapa para mahasiswa aneka program studi bidang-bidang ilmu lainnya sejak junior telah diperkenalkan dengan nama filsafat, yang konon menurut banyak orang dianggap “angker” ini, tetapi mereka justru menikmatinya. Sementara itu, para mahasiswa geologi tidak mengenal nama yang satu ini ? Bahkan, setelah mereka menjadi geologists senior tetap tidak mengenalnya ?. Padahal, filsafat itu di satu sisi merupakan loving wisdom, sementara di sisi lain (pisau bermata dua) adalah the mother of the sciences, yang sangat relevan untuk diajarkan di institusi-institusi pendidikan tinggi (higher education).
Geologi telah berkembang melalui pola fikir dan metodologi riset yang sederhana (metode diagnostika; utak-atik data untuk mendapat penafsiran; bukan kesimpulan), tanpa difasilitasi oleh pemahaman filsafat, khususnya ontology (hakekat realita dalam konteks objek riset), epistemology (baca; filsafat ilmu), sebagai alat kritisi ilmu hasil riset, apakah ilmu tersebut bisa diterima oleh scientific communities yang tidak hanya sebatas komunitas geologists. Bisakah geologi diterima oleh komunitas para ahli di bidang-bidang lain, selain geologi ?. Pertanyaan ini sangat penting menjadi bahan renungan kita sebagai geologists untuk dijawab, khususnya bagi para dosen. Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan
3
Untuk menuju ke sana maka metodologi riset geologi yang sederhana itu perlu ditunjang dan dipadukan dengan filsafat ilmu, sehingga para penggunanya (geologists) dalam mengembangkan ilmu geologi faham benar, bahwa mereka sedang berada di domain mana; di domain kontemplasi, di domain empiris, atau di domain kedua-duanya. Betapapun, filsafat
dengan
ilmu
sejak
dahulu
sampai
sekarang
saling
berinteraksi
menumbuhkembangkan metodologi riset menuju penemuan-penemuan ilmu yang powerful (Hancock & Skinner, 2000; Hirnawan, 2007, 2009).
Latar belakang, alasan ilmiah, dan harapan bagi geologi berikut ini mendorong ke arah perkembangan pola fikir masa depan dalam menghadapi semua itu menuju perubahan yang lebih baik.
Harapan dan masalah
1) Geologi, sampai saat ini, sudah mampu menarik minat para pelaku pembangunan, stakeholders, yang menyadari bahwa Indonesia membangun berbasis sumber daya alam (sumber daya geologi dan hayati; termasuk kendala-kebencanaan geologi). Perlakuan pembangunan terhadap sumber daya itu memerlukan pendekatan (metodologi) yang tepat, bijak, dan berkelanjutan, menuju manfaat yang optimal;
2) Geologi memerlukan pengakuan komunitas luas ilmiawan aneka bidang, agar geologi makin mampu membuka jalan yang lebar dan kondusif bagi kiprah kontribusinya dalam pembangunan secara optimal;
3) Geologi
harus
mampu
membentuk
kebersamaan
para
ilmiawan,
planners,
environmentalists, penguasa, stakeholders, dalam pembangunan nasional, dengan upaya sungguh-sungguh meraih kepercayaan komunitas luas ilmiawan melalui hasil-hasil riset geologi sebagai ilmu yang powerful, sehingga memenuhi kriteria ilmu yang akan dibahas di belakang;
Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan
4
4) Geologi harus mampu digunakan untuk meraih temuan-temuan baru, tidak hanya yang bersifat discoveries (tidak bisa dipatenkan) tetapi justru inventions, sebagaimana teknologi yang lebih cenderung mengkreasi invensi (berpeluang meraih paten);
5) Melalui pendidikan, para lulusan dihantarkan oleh institusi-institusi penyelenggara pendidikan geologi menuju ilmiawan geologi masa depan yang memiliki paradigma riset berbasis filsafat ilmu khususnya epistemologi dan metodologi penelitian geologi secara terpadu, sebagai bekal dalam menjalankan misi ilmiah mereka menuju ketercapaian visi dari semua butir di atas.
Tujuan
Kita perlu membina geologi sejak sekarang untuk bekal bagi generasi mendatang yang akan makin giat membangun Nusantara yang kita sama-sama cintai ini menjadi lebih baik. Pemahaman mengenai pembangunan berkelanjutan (sustainable development) melalui himpunan aneka metodologi memerlukan pola fikir geologi masa depan berbasis keterpaduan filsafat ilmu dan metodologi riset menuju pengembangan penemuanpenemuan ilmu geologi sebagai invensi yang powerful.
Pola fikir
Pola fikir adalah paradigma ilmiah, yang selanjutnya disebut paradigma. Paradigma adalah kerangka logika dan teoritis, sinergisme pemikiran yang konsisten, dan seperangkat dasar keyakinan ataupun pemikiran, yang menjadi tuntunan seseorang mampu menentukan dan mengambil keputusan untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari ataupun kegiatan ilmiah (Thomas Kuhn, 1970). Paradigma sangat ditentukan oleh pemahaman filsafat dan metodologi riset secara terpadu. Oleh karenanya, pola fikir geologi masa depan sebagai ujung tombak bagi keberhasilan pembinaan geologi dengan aneka tantangannya di negeri tercinta ini sangat membutuhkan dukungan pemahaman keterpaduan kedua subjek tersebut untuk dijadikan bekal bagi anak didik.
Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan
5
TANTANGAN BAGI GEOLOGI
Filsafat bermain dalam domain kontemplasi, yaitu perenungan, kegiatan berfikir luas tak terbatas (scientific unsurpassed thinking), yang betul-betul sangat penting digunakan dalam pengembangan ilmu pada umumnya dan geologi pada khususnya. Sementara itu, ilmu bermain dalam domain empiris, data, analisis, kenyataan (factual empirics), uji fakta. Para ilmiawan dan filsuf sepakat, bahwa tidak akan ada ilmu tanpa dukungan filsafat. Walaupun demikian, penggunaan filsafat dalam pengembangan ilmu yang berlangsung tanpa pembuktian, akan menghasilkan kesimpulan ilmiah yang spekulatif sifatnya. Salah satu karakteristik filsafat yang justru paling menonjol adalah spekulatif. Banyak contoh kasus geologi yang spekulatif ini, karena hanya diperoleh melalui kontemplasi tanpa ditunjang fakta, data, atau bukti yang memadai, dan uji fakta (kasus Lusi misalnya sampai harus melalui voting), sehingga geologi mendapat posisi tempat menjadi dongeng bukan ilmu; ilmu tidak mengenal voting. Maka sang geologist “pembaca” fenomena geologi terkait bukan sedang berada dalam domain ilmu tetapi di domain filsafat, atau sedang berfilsafat.
Lalu, ilmu yang bagaimana yang dapat diterima oleh kalangan ilmiawan yang luas, selain hanya oleh bidang geologi saja ?. Jawaban untuk pertanyaan inilah yang sangat mendasar dan penting untuk difahamkan kepada seluruh mahasiswa kita, mahasiswa geologi strata S1, S2, dan S3 melalui kurikulum pendidikan geologi Indonesia, apabila kita inginkan produk ilmu yang diperoleh melalui riset-riset geologi dapat diterima secara luas (bukan hanya dongeng geologi).
Jadi jelaslah sudah, bahwa ilmu dan filsafat berbeda. Ilmu mengharuskan verifikasi (uji fakta) dan validasi (pembuktian), sedangkan filsafat boleh tanpa pembuktian empiris (spekulatif). Tetapi, perolehan suatu ilmu selalu diawali melalui perenungan atau berfikir ilmiah luas tak terbatas – scientific unsurpassed thinking (kontemplasi, cari idea, inspirasi), dan seharusnya diakhiri dengan uji fakta dan/atau pembuktian empirik, agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka, pemahaman filsafat ilmu dan metodologi riset adalah sangat mendasar di dalam menunjang pembinaan pola fikir geologi masa depan menuju perolehan invensi-invensi ilmu geologi mendatang, yang sebelumnya tidak pernah diperkenalkan kepada para anak didik di bidang ini; sungguh disayangkan. Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan
6
Sudahkah paradigma geologi yang seharusnya demikian ini dipegang secara teguh menuju kriteria ilmu di bawah ini ?.
KRITERIA ILMU
Ilmu adalah alat untuk menjelaskan fenomena. Fenomena adalah keterlibatan aneka faktor/parameter/variabel
yang
saling
berinteraksi
dan/atau
berinterrelasi
yang
menghasilkan produk, peristiwa, atau kejadian (Hirnawan, 2007, 2009). Apabila fenomena ini diteliti melalui riset, maka ilmu yang diperoleh berfungsi sebagai alat yang menjelaskan fenomena yang diteliti itu (dari ilmu inilah lahir teori). Agar dapat diterima orang banyak (baca; para ilmiawan aneka bidang) maka ilmu itu harus memenuhi kriteria.
Untuk itu diperlukan filsafat ilmu dan metodologi riset yang universal sifatnya, sebab dalam suatu aktivitas penelitian, sejak pola fikir, desain risetnya, pengambilan sampel, editing data, analisis, dan keputusan yang keluar dari hasil analisis, senantiasa mendapatkan kritisi filsafat ilmu, maka hasil riset harus absah dan berkekuatan (powerful), artinya kesimpulan yang diperoleh itu semata-mata merupakan kehendak dari riset itu sendiri (bukan kehendak sang peneliti); barulah ilmu itu diterima. Dalam aktivitas riset, secara filosofis, seorang atau tim peneliti seyogianya lebih cenderung bertindak sebagai fasilitator saja, agar riset mengeluarkan kesimpulannya sendiri. Kita ingat kasus Lusi, justru kesimpulan merupakan kehendak para pengkajinya (mau bencana alam ?), bukan kehendak dari fenomena itu sendiri, yang keluar melalui hasil riset yang berkekuatan (powerful) tersebut. Inikah profil ilmu geologi saat ini ?.
Kriteria ilmu adalah benar, relatif, ajeg (konsisten), dan universal. Benar artinya ilmu mengandung tingkat kesamaan yang tinggi dengan kondisi sebenarnya di alam. Relatif adalah kebenaran dengan tingkat tidak 100%, melainkan ada error-nya pada batas yang dapat diterima, misalnya kurang dari 5% (bila 100% benar malah tidak diterima; ditengarai hasil rekayasa). Ajeg (konsisten) diartikan apabila dilakukan oleh orang lain dengan metode yang sama akan diperoleh hasil yang juga sama. Universal diartikan sebagai berlaku umum tanpa memihak apa dan siapapun, karena ilmu bersifat netral.
Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan
7
KARAKTERISTIK GEOLOGI PRODUK KONTEMPLASI
Dengan menggunakan metodologi riset geologi selama ini, maka ilmu geologi yang diperoleh agaknya belum dapat mencapai kriteria tersebut. Contoh klasik, apabila ada 5 orang geologiwan memetakan suatu wilayah, maka akan dihasilkan 6 peta yang semuanya tidak sama; tiap pemeta menghasilkan masing-masing 1 peta dengan versi sendiri-sendiri (berbeda-beda), dan 1 peta lagi sebagai hasil ”kompromi” mereka. Bila ini benar demikian, maka ”ilmu” yang diperoleh tidak ajeg (konsisten) dan tidak universal, sehingga tidak akan masuk kepada kriteria ilmu yang bisa diterima secara luas. Masih banyak contoh lain, misalnya karya Van Bemmelen tentang Geologi Indonesia (konon) hanya ditunjang oleh 20 % data dan fakta saja, sisanya produk kontemplasi. Artinya, sisanya itu tidak selalu ada di alam melainkan hanya ada di benak sang penulis saja (ia sedang berfilsafat, bukan menghasilkan ilmu).
Anehnya, mengapa banyak geologists yang tidak belajar filsafat tetapi selalu ”berfilsafat” (baca; berspekulasi) ?. Justru ini tidak aneh, karena apabila ia memahami filsafat ia tidak akan ”berfilsafat”, melainkan ia akan melakukan verifikasi (= uji fakta). Dalam pembelajaran filsafat, berlanjut dengan filsafat ilmu, semua ilmu hasil riset akan diterima apabila telah melalui verifikasi dan/atau validasi dengan prosedur ataupun metodologi riset yang diakui secara universal.
Akibat dari semua itu, geologi (yang hanya produk kontemplasi saja; dan ini sangat banyak) sampai saat ini belum mendapat tempat yang layak dan strategis di khasanah keilmuan, masih dipandang sebelah mata oleh bidang teknik sipil, teknik planologi, dll., dan dianggap dongeng (contoh, perencanaan tata ruang, termasuk zonasi wilayah calon pengembangan, belum secara optimal ditentukan oleh kondisi geologi setempat). Pengalaman penulis berbincang dengan para perencana (ahli planologi) dalam pengambilan keputusannya, mereka hanya akan menggunakan informasi geologi untuk wilayah yang bermasalah geologi saja (rawan bencana geologi), selain itu tidak; tentu tidak seyogianya demikian. Bagaimana dengan kasus Jalan Tol Cipularang
yang melintas wilayah
pergerakan tektonik aktif (neotektonik) ?.
Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan
8
Demikian halnya, bagaimana dengan PIT IAGI sejak tahun 1960an sampai sekarang yang hanya dihadiri oleh para geologists saja? Mengapa para ahli di bidang lain tidak ada yang hadir ? Apa benar ilmu geologi itu tidak menarik bagi mereka ?. Menurut Prof. Rubini Suriaatmadja, alm (komunikasi lisan) selama ini PIT IAGI lebih bersifat jambore, bukan diseminasi ilmu tetapi diseminasi informasi atau dongeng saja. Demikian pula kasus International Workshop BRR Aceh, yang tidak ada undangan untuk para geologists.
KARAKTERISTIK GEOLOGI PRODUK METODE DIAGNOSTIKA
Dalam Kamus Encarta tahun 2008 diagnostika (diagnostics) adalah identifikasi penyebab suatu kejadian terutama yang menimbulkan permasalahan. Metode diagnostika, senantiasa digunakan di dalam mencari penyebab penyakit yang diderita pasien oleh para dokter. Adakah hubungannya dengan geologi ?. Ada kesamaan sudut pandang para geologists dengan para dokter.
Setidak-tidaknya ada tokoh-tokoh besar (dokter) yang telah turut andil dalam mengukir sejarah perkembangan ilmu geologi. Tercatat di antaranya Ibn Sina atau Avicenna, dokter dari Persia (980 – 1037), Georgius Agricola, dokter kelahiran Jerman Timur yang kemudian menjadi bapak mineralogi, Nicolas Steno (1638-1686), dokter kelahiran Copenhagen
ahli
anatomi
yang
kemudian
menjadi
ahli
stratigrafi
dan
fosil
(geochronology), dan James Hutton (1726-1797) dokter kelahiran Edinburg yang kemudian menjadi ahli geologi; plutonism (Anon., 1980).
Pada awal perkembangan geologi, pendekatan metode diagnostika banyak dilakukan oleh para ahli (dokter) ketika itu di samping para ahli geologi non-dokter lainnya, mulai dengan cara identifikasi objek telaahan dengan peralatan sederhana, yang terus berkembang dengan peralatan semakin canggih. Bahkan sampai saat ini instrument identifikasi objek riset geologi sudah sedemikian canggih, perlengkapan mutakhir sebagai produk teknologi tinggi. Identifikasi ini masih terus berlangsung sampai sekarang, bedanya sekarang digunakan alatalat canggih. Dengan alat secanggih apapun paradigma riset masih mengandalkan identifikasi saja. Sama halnya dengan kemajuan di bidang kedokteran ditandai oleh perlengkapan teknologi tinggi untuk mengidentifikasi penyebab aneka penyakit para Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan
9
pasien. Ada kemiripan antara ilmu geologi dan ilmu kedokteran. Pembelajaran baik ilmu dan teknik geologi atau geological sciences and engineering, maupun ilmu dan ”teknik” kedokteran, yang lebih umum dikenal sebagai medical sciences and treatment, tidak terpisahkan. Artinya, seseorang tidak mungkin dapat belajar teknik geologi tanpa memahami ilmu geologi terlebih dahulu, demikan juga di bidang kedokteran (komunikasi lisan antara penulis dengan rekan guru besar kedokteran - dokter senior). Pendidikan kedua bidang itu menyatu tidak bisa dipisahkan secara tegas.
Tapi, benarkah kemajuan geologi tertinggal oleh bidang kedokteran ?. Ini adalah pertanyaan yang bagus yang penting kita jawab sebagai geologists.
Metode diagnostika banyak menandai karakteristik geologi, yang lebih kualitatif sifatnya, karena bertumpu dari hasil identifikasi melalui deskripsi suatu objek riset, sama dengan produk diagnostika para dokter. Bedanya, pengembangan ilmu kedokteran tidak berhenti sampai tahapan identifikasi saja, melainkan berlanjut terus melalui riset-riset populasi para pasien dengan memanfaatkan pendekatan probabilistik disertai uji-uji fakta (verifikasi hipotesis). Hasilnya berbeda dengan perkembangan ilmu geologi yang tanpa ditunjang oleh verifikasi hipotesis ataupun uji-uji fakta tersebut. Ilmu kedokteran merupakan simpulansimpulan fenomena yang mewakili populasi besar, bukan simpulan individu-individu sampel saja. Dengan demikian ilmu kedokteran menggeser sedikit-demi sedikit ”ilmu kontemplasi” atau ilmu spekulatif, yang makin berbeda dengan geologi.
Metodologi riset ilmu kedokteran menggunakan desain riset beralur deducto-hipoteticoverifikatif menuju kesimpulan fenomena yang ditunjukkan oleh populasi, sedangkan riset geologi menggunakan tipe grounded research dalam penyimpulan profil wilayah, keberadaan suatu objek dalam suatu wilayah (what is where dan where is what) dengan menggunakan pakem-pakem yang ”seolah-olah sakral” yang telah disepakati para geologists sebelumnya; sulit berubah.
Kita dapat perhatikan, apabila hanya berdasarkan diagnostika saja, tiap dokter tidak jarang mempunyai kesimpulan sendiri-sendiri tentang penyakit seorang pasien (first, second, third
Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan 10
opinions...dst), yang identik dengan pendapat para geologists terhadap kesimpulan suatu objek riset geologi (contoh kasus Lusi lagi).
Maka, kesimpulan geologi yang hanya didasarkan metode diagnostika saja tidak akan powerful, melainkan masih diperlukan verifikasi/validasi. Pembelajaran proses ilmiah ini sangat penting dalam mereformasi pendidikan geologi di Indonesia.
PROSES ILMIAH Ilmu diperoleh melalui riset sebagai kegiatan menggulirkan proses ilmiah (scientific process), yang merupakan dinamika perjalanan akumulasi perolehan ilmu melalui sederetan langkah-langkah kegiatan ilmiah. Makin lengkap urutan langkah-langkah kegiatan ilmiah tersebut, makin powerful pula ilmu yang dihasilkan. Langkah-langkah tersebut ialah (Hirnawan, 2007, 2009) : 1. IDENTIFIKASI 2. DESKRIPSI 3. KLASIFIKASI REKONSTRUKSI ANALISIS (kualitatif dan/atau kuantitatif) INTERPRETASI Sampai tahap ke-3 ini tipe riset dikenal sebagai grounded research. Grounded research menghasilkan grounded theory, yakni teori yang dibentuk berdasarkan penafsiran data (Haig, 1995). Dengan data langsung diperoleh interpretasi melalui rekonstruksi dan analisis. Riset-riset geologi tergolong jenis grounded research, sehingga yang diperoleh adalah interpretasi (= penafsiran) bukan kesimpulan. Interpretasi memberi peluang banyak penafsiran lain (opini-opini lain), sehingga kurang powerful. Interpretasi menurut paradigma post-positivism masih berstatus hipotesis yang belum diuji. Produk riset ini adalah discoveries bukan inventions. Ribuan penelitian geologi yang telah dilakukan di Indonesia menggunakan tipe riset ini. Hasil riset tersebut sudah sangat lengkap dan berbobot, yang merupakan sumber potensial untuk dilanjutkan ke riset tahap ke-4 dst., di bawah ini, menuju perolehan invensi-invensi Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan 11
yang powerful. Sayang apabila sumber potensial ini tidak digunakan untuk bahan riset lanjutan tersebut menuju pengakuan geologi secara universal oleh komunitas ilmiawan non-geologists. Kondisi ini merupakan pendorong menuju pola fikir masa depan. 4. HIPOTESIS VERIFIKASI / VALIDASI (kuantitatif) diperolehnya TEORI yang powerful Sampai tahap ke-4 riset memperoleh kesimpulan melalui uji hipotesis, baik dengan menggunakan statistik untuk uji hipotesis probabilistik (verifikasi) atau matematik untuk hipotesis deterministik (validasi). Hasil kesimpulan teruji (powerful). Riset sampai tahap ini dikenal dengan jenis hypothetico-deductivism research (Haig, 1995), atau deductohipotetico-verifikatif dan deducto-hipotetico-validatif dengan alur fikir deduksi-induksi disertai uji fakta. Hasil riset pada tahapan ini, yang kemudian dilanjutkan ke tahap ke-5 dan ke-6 berpeluang besar meraih hak paten-proses karena riset tersebut menghasilkan invensi. 5. PREDIKSI via SIMULASI 6. IMPLEMENTASI (APLIKASI) feedback untuk validasi Sampai dengan tahap ke-6 riset adalah riset teknologi untuk memperoleh metode dalam merubah fenomena yang tidak dikehendaki menjadi fenomena yang diinginkan (hak paten).
GEOLOGI PRODUK RISET DEDUCTO-HIPOTETICO-VERIFIKATIF
Riset-riset geologi tipe deducto-hipotetico-verifikatif dan validatif sudah banyak dilakukan di luar negeri dan di dalam negeri untuk memperoleh kesimpulan spesifik (bukan interpretasi), bisa diukur dan tidak mengundang perdebatan (measurable, undebatable), sehingga memberikan kepastian diterima ataupun ditolak oleh komunitas ilmiah luas, tidak sebatas kompromi bidang ilmu atau rumpun ilmu terkait saja, melainkan universal.
Riset-riset tersebut merupakan kelanjutan riset-riset geologi tahap ke-1 s/d ke-3 (grounded research), menerus ke tahap ke-4 melalui verifikasi hipotesis (hypothetico deductivism research). Riset-riset demikian justru perlu dikembangkan sebagai implementasi pola fikir geologi masa depan, dengan upaya nyata menghindari baik perdebatan maupun penolakan Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan 12
produk riset-riset geologi oleh komunitas ilmiawan secara luas. Tanpa diawali grounded research, maka hypothetico deductivism research sulit untuk dikembangkan. Oleh karena itu grounded research sampai tahap tertentu tetap diperlukan dan seyogianya diperkuat baik ruang-lingkup dimensi risetnya maupun kualitasnya, agar riset selanjutnya semakin berbobot. Hasil riset ini sudah banyak sebagai sumber potensial untuk riset-riset lanjutan.
Sebagian besar data multivariat jang dihimpun dalam pekerjaan geologi diperoleh dari analisis aneka batuan dari berbagai asal usul kejadiannya (origins) dan kompleksitas. Data ini menyangkut kimiawi dan sedimentologi, yang pada umumnya berupa sumber observasi multidimensional. Data berikut ini, yang memerlukan pendekatan multivariat, sangat banyak dijumpai oleh para geologists, yaitu analisis kimia batuan, determinasi petrografi komposisi batuan-batuan, kelas-kelas besar butir komponen sediment, frekuensi aneka spesies fosil, frekuensi aneka spesies mineral dalam sedimen, kadar aneka mineral bijih dalam sampel, observasi pada karakteristik fisik kerak bumi, hasil pengukuran dimensi fosil, fragmen batuan (kerikil s/d bongkah), butiran mineral (Reyment and Savazzi, 1999).
Beberapa contoh riset dalam memverifikasi pengaruh tektonik terhadap perkembangan (respons) morphometri daerah-daerah aliran sungai pada sistem kronostratigrafi Paleogen, Neogen, dan Kuarter di Kulon Progo telah memberikan konfirmasi, bahwa pola tektonik Jawa, Sumatera dan Meratus, menentukan perkembangan morfometri tektonik setempat, disertai kejelasan kontinuitas pergerakan tektonik dari seluruh rangkaian periode, yang tetap aktif (neotektonik), sebagaimana verifikasi menghasilkan signifikansi yang tinggi atau sangat meyakinkan (Budiadi, 2008). Demikian juga neotektonik di wilayah Jawa Barat (G. Ciremai) sampai Jawa Tengah (G. Slamet menerus ke Pegunungan Kulon Progo) telah diteliti, hasilnya menunjukkan peranannya yang sangat meyakinkan pada taraf nyata yang tinggi, dalam menentukan perkembangan morfometri tektonik hampir di semua formasi yang terlibat (dua sistem kronostatigrafi) pada sedimen Neogen dan Kuarter (Hirnawan, 1997; Hirnawan & Muslim, 2006; Sophian, 2009; Hirnawan, 2009).
Contoh lain, melalui pendekatan deterministik model erosi di cekungan Bandung telah dihasilkan validasi model erosi yang memiliki error di bawah 5%, sebagai perbaikan USLE (Unified Soil Loss Equation) dan dengan pendekatan probabilistik kejelasan perbedaan Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan 13
besaran erosi pada tanah lanau dan lempung dapat diperoleh secara signifikan (Sukiyah, 2009).
Dalam riset batuan volkanik Paripurno (2009) memverifikasi melalui analisis
ukuran butir, komposisi aneka ukuran butir, dan analisis geokimia produk erupsi G. Merapi Holosen. Dari hasilnya diperoleh kejelasan peranan erupsi terhadap fenomena interaksi dan interrelasi produk yang dihasilkan secara signifikan. Kemudian Hartono (2010) melalui hasil risetnya tentang fasies-fasies produk gunung api purba di Wonogiri berdasarkan verifikasi komposisi ukuran butir dan geokimia memperoleh kejelasan signifikan batasbatas fasies, yang sebelumnya melalui karakterisasi kualitatif sangat sulit dilakukan pemisahan. Hasil riset ini sangat mendukung implementasi stratigrafi secara lebih spesifik dan terukur di wilayah setempat dan sekitarnya, serta membuktikan keberadaan dan peranan gunung api purba dalam membentuk fasies-fasies produk erupsinya, sekaligus verifikasi perbedaannya secara terukur dengan fasies sedimenter batuan volkanik dari ”Formasi Andesit Tua”. Invensi ilmiah ini telah memberikan solusi keterbatasan kemampuan jangkauan stratigrafi yang menghadapi kesulitan dalam menata unit-unit stratigrafi di wilayah sebaran endapan volkanik, yang kerap kali mengklasifikasikannya sebagai ”undifferentiated volcanic products”, tetapi melalui verifikasi telah diperoleh kejelasan sebagai kelas-kelas facies masing-masing sebagai unit-unit stratigrafi tersendiri.
POLA FIKIR GEOLOGI MASA DEPAN
Pola fikir masa kini
Pola fikir geologi masa kini tidak terluput dari proses pembelajaran geologi masa lalu berbasis kurikulum dengan ciri grounded research. Pola fikir ini telah membuktikan kepada kita semuanya, betapa geologi di rumahnya sendiri tidak digunakan secara optimal dalam pembangunan nasional, melainkan tergeser peranannya dengan ilmu-ilmu teknik lainnya. Semua itu berpangkal dari persepsi salah para ilmiawan bidang-bidang nongeologi, yang kemudian menjadi penguasa pengambil keputusan. Tidak seyogianya demikian, melainkan seharusnya geologi bahu-membahu, berdiri sama tinggi duduk sama rendah bersama-sama dengan bidang-bidang teknik lainnya itu, berkolaborasi dan berkontribusi optimal dalam pembangunan. Mampukah geologi mencapai visi tersebut ?.
Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan 14
Menurut Shields (2000) sebenarnya peran geologi di dalam lingkaran wewenang kebijakan pemerintah
sangat
menentukan
produk
ketetapan
hukum
menuju
keberhasilan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Namun demikian, untuk menuju ke sana pola fikir geologi masa depan penting dibina dahulu sejak sekarang sebagai ujung tombak dalam meraih ketercapaian kriteria keberhasilan pembangunan bangsa.
Maka, kita perlu menyongsong pola fikir geologi masa depan. Caranya, kita harus konsisten, yaitu secara bersama-sama memperbaiki dan mengembangkan kurikulum, sebagaimana bidang-bidang ilmu lainnya yang sudah sejak lama melakukan hal ini, misalnya bidang kedokteran (penulis mengajar filsafat ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi Unpad kelas internasional - kelas pengantar bahasa inggeris/KPBI Unpad), kemudian juga bidang farmasi, pertanian, peternakan, psikologi, biologi, sosial, dlsb. Pengalaman penulis melaksanakan RUT tiga tahun berturut-turut tahun 1995-1998 menjelaskan bahwa tiap tahun hasil riset dievaluasi dalam suatu sidang ilmiah (bila hasil riset tidak bisa diterima, maka penugasan gugur dengan sendirinya). Para penguji kebanyakan guru besar dan doktor, dan tidak satupun dari mereka itu geologist. Mengapa ilmu yang diperoleh melalui riset penulis pada tiap tahap itu tidak tumbang oleh tahapan kritisi yang sudah selayaknya diketengahkan ?. Jawabannya semua terpulang kepada metodologi riset dan epistemologi yang telah dapat diterima komunitas ilmiawan, yang justru menunjang hasil riset tsb.
Melalui Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), khususnya IAGI PENGDA DIY sebagai pelopor pembaharu pola fikir geologi yang telah membahasnya dalam simposium ini, sudah saatnya setelah 60 tahun pendidikan geologi di negeri ini berlangsung, dilakukan pengembangan maupun pembaharuan kurikulum dalam meletakkan dasar-dasar pembinaan keilmuan geologi menuju ketercapaian kriteria ilmu secara luas berbasis paradigma riset sebagai sinergisme dukungan filsafat beserta metodologi riset yang universal. Melalui simposium-simposium pada waktu mendatang nampaknya tema ini masih perlu dikupas secara lebih mendalam menuju kejelasan betapa paradigma riset geologi saat ini semakin jelas memerlukan dukungan pembaharuan kurikulum, untuk pencapaian visi yang telah dikemukakan di depan.
Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan 15
Pola fikir masa depan
Pola fikir geologi masa depan merupakan paradigma riset yang perlu dibina dengan ditunjang oleh pembelajaran kontemplasi (filsafat) dan verifikasi fakta empiris (metodologi riset) secara terpadu, tidak boleh terpisah satu dengan lainnya. Paradigma yang menunjang untuk ini dikenal dunia dengan sebutan post positivism, yaitu pola fikir yang hanya mau menerima hasil riset apabila sudah lulus kritisi filsafat ilmu (epistemologi) dan melalui mekanisme verifikasi dan/atau validasi (metodologi riset). Alur fikir deduktif-induktif, data harus absah dan berketerandalan (valid and reliable; diuji sebelum digunakan untuk analisis), editing sampai verifikasi terbuka (semua data, semua tahap analisis dapat dipantau dan transparan) harus lulus kritisi filsafat ilmu, sehingga mampu dicapai hasil keputusan uji menuju kesimpulan yang merupakan kehendak dari riset itu sendiri, sebagaimana diutarakan di atas. Maka dijamin hasil riset akan diterima khalayak ilmiawan aneka bidang, tidak hanya kompromi para geologists saja, yang pada gilirannya akan merubah persepsi masyarakat luas yang salah tentang geologi.
Betapapun, di negeri tercinta ini sudah saatnya dilakukan reformasi kurikulum geologi menuju pembentukan pola fikir geologi masa depan dengan dipelopori oleh saudarasaudaraku dan dilanjutkan oleh anak-cucu kita menuju kualitas geologi yang memenuhi kriteria ilmu untuk dapat dibanggakan di rumahnya sendiri. Bangkitlah geologi menuju kesetaraan dengan kemajuan bidang-bidang ilmu lain, diterima dalam komunitas ilmiah secara luas lintas bidang. Semoga !!!. Produk riset-riset geologi masa depan diarahkan agar mampu meraih banyak hak paten proses, yang berbeda dengan paten produk, sebagai modal dasar menuju pengakuan geologi oleh komunitas ilmiawan non-geologi secara luas. DAFTAR PUSTAKA Anon., 1980, The Encyclopedia Americana, International edition, Americana Corporation, Connecticut, Vol. 12, p.446-452 Budiadi, Ev., 2008, Peranan tektonik dalam perkembangan Pegunungan Kulon Progo, Yogyakarta, Disertasi, Universitas Padjadjaran, tidak diterbitkan Hancock, P., & Skinner, B.J.,2000, Philosophy and geology, The Oxford Companion to the Earth. 2000. Oxford University Press. Encyclopedia.com.. Retrieved 7 Jan. 2010, from http://www. encyclopedia.com.
Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan 16
Haig, Brian D. (1995). Grounded Theory as Scientific Method, Philosophy of`Education. University of Canterbury. Retrieved August 8, 2006, from http://www.ed.uiuc.edu/EPS/PES-Yearbook/95_ docs/haig.html Hartono, H.G., 2010, Peranan paleovulknisme dalam tataan produk batuan gunung api Tersier di Gunung Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa tengah, Disertasi, Universitas Padjadjaran, 338 hal., tidak diterbitkan Hirnawan, F., 1997, Karakteristik morfometri sistem pengaliran di wilayah pengaruh pergerakan tektonik aktif – Studi kasus di wilayah pengaliran Sungai Cijolang dan Cimuntur : Analisis Sistem, BPPT, Kedeputian Bidang Analisis Sistem, No. 9, IV, pp. 67-77*) Hirnawan, F., & Muslim, D., 2006, Drainage morphometry characterizing active tectonism in West Java. Proceeding of 2006 MapAsia International Conference Agustus-September 2006, Bangkok, Thailand : 18 p. Hirnawan, Febri, 2007, 2009, Riset, bergulirlah Proses Ilmiah, Unpad Press, 296 hal. Hirnawan, F., 2009, A Measure of intense tectonism in West and Central Java through manifestation of river basin morphometry development on quaternary volcanic deposits : Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4, No. 4, Desember 2009, p. 285-300. Kuhn, Thomas, 1970, The structure of scientific revolutions, International Encyclopedia of Unified Science, The University of Chcago Press, Vol. I and II, 2nd Ed., 210 p. Paripurno, E.T., 2009, Karakter lahar Gunung api Merapi sebagai perbedaan jenis erupsi sejak Holosen, Disertasi, Universitas Padjadjaran 456 hal., tidak diterbitkan Reyment, Richard A. & Savazzi, E., 1999, Aspect of multivariate analysis in Geology, Elsevier, Amsterdam, 285 p. Shields, Deborah, 2000, Sustainable Development and Mineral Resources – an introduction, USDA Forest Service Research and Development, Retrieved tgl.29 Juli 2008 from http://www.unr.edu/mines/ mlc/presentations_ pub/SME_introasp Sophian, R.I., 2009, Kontribusi aktivitas neotektonik terhadap perkembangan morfometri daerah aliran sungai pada formasi-formasi batuan Tersier dan endapan volkanik Kuarter di Derah Rancah, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Tesis Magister, Universitas Padjadjaran, tidak diterbitkan Sukiyah, E., 2009, Model erosi bentang alam volkanik Kuarter di Cekungan Bandung bagian selatan, Disertasi, Universitas Padjadjaran, 357 hal., tidak diterbitkan
Pola fikir geologi masa depan - Febri Hirnawan 17