KONDISI KENYAMANAN THERMAL BANGUNAN GEREJA BLENDUK SEMARANG Dwi Suci Sri Lestari Abstrak Dalam perancangan arsitektur, pengaruh iklim merupakan salah satu faktor pertimbangan. Antara lain meliputi pengaruh-pengaruh: sinar matahari, angin, hujan, radiasi dan kelembaban. Implementasinya dalam desain bangunan meliputi: orientasi, bentuk atap, dinding, struktur, ataupun pemilihan bahan bangunan. Terkait hal itu, mengkaji karya arsitek bangsa asing: Belanda di bumi tropis Indonesia seperti halnya Gereja Blenduk Semarang dari aspek kenyamanan thermalnya, yang dipengaruhi oleh angin, suhu, radiasi panas dan kelembaban, sangatlah menarik. Hasil kajiannya, juga dapat untuk mengingatkan kepada setiap arsitek, bahwa keberhasilan perancangan bukan semata-mata dari pandangan arsiteknya sendiri, melainkan juga penilaian pengguna, antara lain melalui pengalamannya merasakan kenyamanan thermal bangunannya. Kajian dilakukan dengan alat ukur anemometer, psychometer dan thermometer, serta analisis kondisi interiornya. Ternyata hasil kondisi kenyaman thermal interiornya: kurang nyaman, disebabkan suhu Corected Effective Temperature (CET) interior: 29º C - 30,2º C adalah di atas persyaratan kenyamanan thermalnya: 22º C - 27º C. Kata kunci : kenyamanan thermal, bangunan Gereja Blenduk Semarang. 1. PENDAHULUAN Indonesia yang terletak di daerah katulistiwa, beriklim tropis lembab berpotensi besar untuk dimanfatkan dalam perancangan bangunan dalam aspek penghematan penggunaan energi di dalam bangunan. Hal itu antara lain dilakukan melalui langkah-langkah serentak untuk pemanfaatan potensi iklim yang baik dan menguntungkan ke dalam bangunan serta pencegahan pengaruh buruk dari iklim. Faktor iklim yang perlu dipertimbangkan antara lain pengaruh-pengaruh: sinar matahari, angin, hujan, radiasi dan kelembaban. Setiap bangunan yang akan memanfaatkan iklim, seharusnya mempertimbangkan faktor di atas. Dengan demikian implementasinya ke
dalam unsur-unsur maupun elemen bangunan: orientasi, bentuk atap, dinding, struktur, ataupun pemilihan bahan bangunan, dapat dirancang dengan cermat. Sesuai dengan maksud kajian ini adalah untuk melakukan kajian kondisi thermal pada Bangunan Gereja Blenduk Semarang, perlu digambarkan kondisi-kondisi yang terkait dalam perancangannya. Dalam hal ini, bangunan ini menggunakan penerangan dan ventilasi alami; hal yang rasional dilakukan untuk perancangan arsitektur di wilayah iklim tropis, termasuk juga iklim tropis lembab seperti di Indonesia seumumnya. Tentang estetika desain bangunannya, meskipun dalam artikulasi estetika asing, dapat
dikatakan menarik dan menonjol dibandingkan lingkungan seorangrnya, sehingga sudah lama bangunan ini menjadi tetenger (landmark) lingkungan kota lama (kolonial Belanda) di Semarang. Perpaduan dua aspek di atas, membuat bangunan ini menarik untuk dikaji kondisi thermalnya. 1.
TINJAUAN DATA DAN PUSTAKA 1.1. Kota Semarang Kota Semarang di pantai utara Jawa, selain merupakan sebuah kota besar di antara keseluruhan 12 besar kota di Indonesia, juga merupakan ibukota daerah Provinsi Jawa tengah. Terkait untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor iklim yang berpengaruh, dikemukakan data geografisnya sebagai berikut. Tentang batas-batas fisik wilayah administrasinya; sebelah utara: Laut Jawa, sebalah selatan: wilayah Kabupaten Demak, sebelah barat: wilayah Kabupaten Kendal, dan sebelah timur: wilayah Kabupaten Semarang. Tentang batas-batas fisik geografisnya sebagai berikut. Wilayah fisik utara: 6º 50' garis Lintang Selatan (LS); wilayah fisik selatan: 7º 50' garis Lintang Selatan (LS), wilayah fisik barat: 109º 45' garis bujur timur (BT), dan wilayah fisik timur: 110º 30' garis bujur timur (BT). Untuk kondisi geografisnya, secara garis besar kota Semarang, sebagian merupakan bukit-bukit – disebut Zona Kota Atas-, sebagian lainnya merupakan dataran rendah –
disebut Zona Kota Bawah-, serta daerah pantai yang disebut Zona Pantai. 2.2.
Bangunan Gereja Blenduk Bangunan kuno Gereja Blenduk, berlokasi di jalan Letjend Suprapto no. 32, Semarang, kawasan kota lama (kolonial) Semarang. Bangunan gereja ini, merupakan tetenger (landmark) kawasan yang sudah sangat dikenal dan merupakan salah satu peninggalan Belanda ini, yang dibangun pada abad XVIII. Kawasan kota lama Semarang, awalnya adalah daerah permukiman terawal bagi orangorang Belanda di kota Semarang, Indonesia. Dalam perkembangannya, lingkungan ini merupakan asal mula pembentukan kota (modern) Semarang, yang pada bagian selatannya ’menindih’/overlap dengan halaman kabupaten Bupati Semarang, yang kemudian menjadi tapak bangunan-bangunan kolonial lain: Kantor Pos, Kantor Telepon dan Pasar Johar.. Sejak dibangun, gereja ini merupakan tempat peribadahan umat Kristen Protestan, hal ini berkaitan dengan mayoritas bangsa Belanda yang datang ke Indonesia (Nusantara) pada awalnya –tak terkecuali anggota Persekutuan Dagang Hindia Belanda/Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)ketika itu, adalah pemeluk agama Kristen Protestan. Hingga kini, gereja ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah bagi umatnya. Visualisasi tata letak dalam lokasinya, disajikan dalam gambar 2.1. berikut
Bangunan Gereja Blenduk
Jalan Letjend Suprapto Kawasan Kota Lama Semarang
Gambar 2.1. situasi Gereja Blenduk Semarang Bangunan dua lantai berpenataan close plan ini, lantai satu/dasarnya diperuntukkan bagi Ruang Jemaat, sedangkan lantai
Gambar 2.2. Denah lantai satu/dasar
dua/atas berupa balkon. Visualisasinya disajikan dalam gambar-gambar berikut ini.
Gambar 2.3. Denah lantai dua/balkon
Gambar 2.4. Tampak depan bangunan Gereja Blenduk Semarang
2.3. Kenyamanan Thermal Bangunan 2.3.1. Pengertian kenyaman thermal Manusia secara fisik hanya tahan untuk hidup pada rentang suhu yang kecil. Di luar rentang dimaksud, kegiatan manusia sangat terganggu baik oleh panas maupun dingin. Sehubungan dengan hal itu, kemudian manusia mengembangkan api, pakaian, dan rumah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi iklim setempat. Manusia melepaskan panas pada lingkungannya, sebaliknya dia juga menyerap panas dari lingkungan dan ke duanya harus seimbang. Agar tetap nyaman, tubuh melepas panas melalui penguapan. Pada suhu panas lembab, penguapan ini sulit dan terlihat dalam bentuk keringat. Pergerakan udara melalui permukaan kulit membantu proses penguapan dan dengan demikian menyejukkan tubuh. Manusia selalu berusaha agar keseimbangan panas pada tubuhnya
tetap terjaga. Jika badan mereka dingin, dia akan memakai baju tebal atau duduk meringkuk, atau justru meningkatkan kegiatan agar badan menjadi panas. Sebaliknya jika udara panas, orang akan berkeringat atau akan mengipasi dirinya agar lebih sejuk, atau akan memakai baju yang lebih tipis. Kenyamanan thermal akan tercapai, jika terdapat keseimbangan panas tubuh manusia. Jika dikaitkan antara proses penyerapan dan pengeluaran panas pada tubuh manusia dengan faktor-faktor iklim lingkungannya, maka dapat dikatakan bahwa bahwa kenyamanan thermal tercapai jika terdapat keseimbangan antara: suhu, aliran udara, kelembaban, dan radiasi matahari sesuai dengan kebutuhan manusia dalam melakukan kegiatannya. Tentang faktor-faktor pelepasan panas dan faktor-faktor kenyaman thermal pada manusia, dapat dilihat pada gambar 2.5.berikut ini.
Gambar 2.5. Faktor-faktor pelepasan panas dan faktor kenyamanan thermal pada manusia (Sumber: Egan, M.D.,1975:xiii)
Dalam upayanya menjaga keseimbangan panas, manusia mulai membangun rumahnya agar tidak kehujanan dan kepanasan, agar tidak silau dan merasakan nyamannya keteduhan. Dengan demikian, rumah merupakan bagian dari keseluruhan sistem yang membantu manusia mencapai kenyamanan thermal. 2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kenyaman thermal Iklim mempengaruhi tubuh manusia melalui empat variable yang saling bekaitan, yaitu: suhu udara, kelembaban, radiasi dan aliran udara. Suhu yang digunakan adalah suhu bola kering (Dry Bulb Temperature /DBT), yang diambil dari termometer. Rentang suhu DBT yang masih nyaman adalah 16 - 28º C. Dalam suhu lebih rendah dari 16ºC orang akan membutuhkan baju tambahan, sedangkan di atas suhu 30ºC diperlukan lebih banyak pergerakan udara dan pengeluaran keringat (Evan, 1980:19).
Kelembaban merupakan faktor lain yang penting, kelembaban diukur dengan alat hygrograph yang mencacat langsung kelembaban nisbi di lokasi. Kelembaban nisbi adalah prosentasi jumlah air yang menguap di udara dibanding dengan jumlah uap air yang dapat ditampung pada udara dengan suhu tertentu. Kelembaban kurang dari 20% menimbulkan ketidak nyamanan karena udara terlalu kering, yang dapat menyebabkan bibir pecah, mata pedih dan tenggorokan kering. Kelembaban lebih dari 90% terasa tidak enak, karena timbul kepengapan dan lengket karena keringat (Evan, 1980:20). Radiasi merupakan faktor penentu kenyamanan yang ke tiga, dan cara pengukurannya dengan alat solarimeter. Di dalam bangunan, yang penting adalah mengukur keseimbangan nisbi antara radiasi dari semua bidang, dari satu titik pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan Globe Thermometer, juga diukur Mean Radiant Temperature/MRTnya, yaitu suhu di
sekeliling globe dimaksud. Kenyamanan tercapai jika suhu pada Globe Temperature berkisar antara 16º -28º C, dan perbedaan antara MRT dan DBT lebih kecil dari 5ºC. Faktor penentu kenyamanan terakhir, adalah aliran udara. Pengukuran aliran udara dilakukan dengan alat anemometer. Dalam keadaan kecepatan angin kurang dari 0,1 m/detik menimbulkan rasa pengap. Kecepatan angin sampai 1 m/detik di dalam ruangan, cukup nyaman. Tetapi lebih besar dari 1 m/detik mulai timbul ketidak nyamanan (Evan, 1980:20). Aliran udara berkaitan dengan suhu dan kelembaban. Suhu yang tinggi sampai batas tertentu dapat dikurangi melalui aliran udara. Pada suhu rendah, orang akan lebih merasakan ketidak nyamanan angin yang bertiup. Ketidak nyamanan akibat naiknya suhu, dapat dikurangi dengan meningkatkan aliran udara dan mengurangi suhu radiasi serta kelembaban. Sebaliknya suhu yang rendah dapat dicegah dengan cara mengurangi aliran udara atau oleh peningkatan suhu radiasi. Untuk dapat mencapai kenyamanan thermal, interaksi di antara ke empat faktor (suhu udara, kelembaban, kecepatan aliran udara, dan radiasi panas ) adalah sangat penting, satu sama lain mempunyai hubungan yang erat.
2.3.3. Mengukur kenyamanan thermal Untuk merancang bangunan yang memberikan kenyamanan thermal, harus dapat diatur ke empat faktor penentu iklim (suhu udara, kelembaban, kecepatan aliran udara dan radiasi panas) yang mempengaruhi kenyamanan thermal secara bersama-sama. Dengan demikian diperlukan suatu ukuran yang menggabungkan efek dari ke empat faktor dimaksud secara serentak. Ukuran dimaksud sering disebut sebagai ’indek thermal’ atau ‘ skala kenyamanan’. Berbagai percobaan telah dilakukan orang untuk mengetahui gabungan dari ke empat faktor yang menimbulkan rasa nyaman, rasa terlalu panas atau sejuk. Cara pengukuran kenyamanan di antaranya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut. a. Temperatur efektif (Effective Temperature/ET) Skala ini digambarkan pada peta pcychometric yang menghasilkan ‘garis kenyamanan yang setara'. Skala ini dinamakan temperatur efektif dan didefinisikan sebagai suhu udara tenang yang jenuh dengan kelembaban nisbi 100 %, tanpa terkena radiasi. Jadi, temperatur efektif menggabungkan tiga variabel, yaitu suhu, kelembaban dan aliran udara. Untuk lebih jelasnya, diilustrasikan dalam gambar 2.6. berikut ini.
Gambar 2.6. Diagram Psychometric
b. Temperatur efektif yang diperbaiki (Corected Effective Temperature/CET) 1) Perbaikan skala Effective Temperature (ET) CET mengintegrasikan ke empat variabel kenyamanan thermal, yaitu suhu, kelembaban, aliran udara dan radiasi. Skala CET merupakan perbaikan dari skala ET. Suhu pada ET diukur berdasarkan DBT (Dry Bulb Temperature). Ini ternyata agak mengabaikan pentingnya aliran udara sedang pada suhu tinggi, pada saat yang sama menganggap kelembaban tinggi sangat merugikan. Pada CET, suhu diukur berdasarkan DBT (Dry Bulb Temperature) dan WBT (Wet Bulb Temperature) dan dibuat nomogram, yang sesuai untuk orang yang memakai baju normal, ringan dan di dalam rumah. Skala ini masih belum memperlihatkan pertukaran panas akibat radiasi dari tubuh dengan lingkungannya. Jika
Gambar 2.7. Nomogram Temperatur Efektif (Effective Temperature) dalam nomogram ini dipergunakan globe thermometer sebagai pengganti DBT, maka reaksi subyektif terhadap pertukaran panas akibat radiasi ikut tercatat. Nilai yang dicapai inilah yang disebut CET (Corected Effective Temperature). Lihat gambar di atas. 2) Cara mengukur Corected Effective Temperature (CET) Untuk mengukur CET, dilakukan sebagai berikut. a) Ukur suhu berdasarkan Globe Thermometer. b) Ukur Wet Bulb Temperature (WBT). c) Ukur kecepatan angin dengan anemometer, atau jika kecepatan rendah digunakan thermometer kata. d) Tentukan Globe Thermometer (GT) pada skala vertikal sebelah kiri nomogram.
e) Tentukan Wet Bulb Temperature (WBT) pada skala vertikal sebelah kanan. f) Hubungkan ke dua titik dengan garis. g) Pilih kurve yang sesuai dengan kecepatan angin, skala terdapat pada sisi paling kiri. h) Tentukan titik potong antara kurve kecepatan angin dengan garis lurus yang tadi digambar. i) Baca nilai pada garis pendek yang menghubungkan ke dua titik tadi, inilah nilai CET. c. Zona Nyaman pada CET (Corected Effective Temperature) Jika 80% orang merasa nyaman, maka dapat dikatakan bahwa zona kenyamanan sudah tercapai. Untuk Singapura zona ini berkisar antara 22º - 27º C. Batas ET dapat dilihat pada gambar 2.7. di atas, zona kenyamanan juga dibatasi kecepatan angin. Di bawah 0,15 m/detik, meskipun kondisi nyaman, orang akan merasa pengap. Di atas 1,5 m/detik aliran angin dapat menimbulkan efek sampingan yang kurang enak, seperti kertas beterbangan. Dengan demikian, zona nyaman adalah CET sebesar 22º C27º C dengan kecepatan angin antara 0,15 m/detik–1,5 m/detik pada daerah beriklim tropis. 3. ANALISIS KONDISI KENYAMAN THERMAL
BANGUNAN GEREJA BLENDHUK Dari pembahasan yang telah dilakukan, terlihat bahwa kenyamanan thermal dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut. a. Suhu udara b. Kelembaban udara c. Kecepatan angin d. Radiasi panas Faktor-faktor di atas saling terkait satu sama lainnya. Selanjutnya untuk mengetahui kondisi thermal di dalam ruang bangunan Gereja Blenduk akan dilakukan pengukuran seperti dijelaskan berikut ini. 3.1. Pengukuran Kondisi Ruang Pengukuran kenyamanan thermal pada bangunan Gereja Blenduk dilakukan dengan cara sebagai berikut. a. Alat ukur yang digunakan Alat ukur yang yang digunakan, sebagaimana diuraikan di bawah. 1) Anemometer: alat untuk mengukur kecepatan aliran udara. 2) Psychometer: alat mengukur Dry Bulb Temperature (DBT), Wet Bulb Temperature (WBT), dan Relative Humidity (RH). 3) Termometer: alat untuk mengukur suhu udara. Visualisasi alat-alat ukur dimaksud di atas, disajikan dalam gambar-gambar 3.1. dan 3.2. berikut ini.
Gambar 3.1. Anemometer (pengukur kecepatan angin)
b. Hasil Pengukuran Pengukuran dilakukan pada jam 09.00 WIB., 12.00 WIB., dan jam 15.00 WIB., ilustrasinya disajikan
Gambar 3.3. Hasil pengukuran kecepatan angin pada pagi hari jam 09.00 WIB
Gambar 3.2. Psychometer (pengukur DBT,WBT, dan RH)
dalam gambar-gambar 3.3., 3.4. dan 3.5. Hasil pengukuran kondisi ruang dalam bangunan Gereja Blenduk itu juga disajikan dalam table 3.1. berikut.
Gambar 3.4. Hasil pengukuran kecepatan angin pada siang hari jam 12.00 WIB
Gambar 3.5. Hasil pengukuran kecepatan angin pada sore hari jam 15.00 WIB.
Tabel 3.1. Hasil pengukuran kondisi ruang dalam Bangunan Gereja Blenduk Ruang
Macam
Ruang Utama
Temperatur Bola Kering/ DBT (ºC) Temperatur Bola Basah / WBT (ºC) Kelembaban/ RH (%) Kecepatan Angin / V ( m/s)
3.2.
Kondisi Kenyamanan Thermal Untuk mengetahui kondisi kenyamanan thermal, hasil pengukuran di atas diterapkan pada nomogram temperatur efektif (effective temperature) sebagai berikut.
Jam pengukuran (WIB.) 09.00 12.00 15.00 31,4 32,5 31,6 29,2 29,7 29,4 83 80 83 0,1 – 0,5 0,1 – 0,5 0,1- 0,5
a. Kondisi kenyaman thermal pada pada jam 09.00 WIB. Ilustrasi penerapan hasil pengukuran kondisi kenyamanan thermal pada jam 9.00 WIB pada nomogram temperatur efektif, di dalam gambar 3.6. berikut.
Keterangan: 1. Temperatur Bola Kering/DBT hasil pengukuran sebesar 31,4ºC ditempatkan pada skala vertikal sebelah kiri, yaitu pada titik A. 2. Temperatur Bola Basah/WBT hasil pengukuran sebesar 29,2ºC ditempatkan pada skala vertical sebelah kanan, yaitu pada titik B. 3. Titik A dan titik B dihubungkan, menjadi garis A-B. 4. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,1 m/detik pada titik C, menunjukkan sebesar 29,5 ºC. 5. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,5 m/detik pada titik D, menunjukkan sebesar 29 ºC.
Gambar 3.6. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 09.00 WIB. Berdasarkan pembahasan teoritis, zona nyaman CET adalah sebesar 22º C - 27º C, sedangkan hasil yang didapat sebesar 29 º- 29,5ºC. Ini berarti kondisi kenyamanan thermal pada jam 09.00 adalah kurang nyaman. Sebab suhunya masih di atas 27ºC.
b. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 12.00 WIB Ilustrasi penerapan hasil pengukuran kondisi kenyamanan thermal pada jam 12.00 WIB pada nomogram temperatur efektif, di dalam gambar 3.7. berikut.
Keterangan: 1. Temperatur Bola Kering/ DBT hasil pengukuran sebesar 32,5ºC ditempatkan pada skala vertikal sebelah kiri, yaitu pada titik A. 2. Temperatur Bola Basah / WBT hasil pengukuran sebesar 29,7ºC ditempatkan pada skala vertical sebelah kanan, yaitu pada titik B. 3. Titik A dan titik B dihubungkan, menjadi garis A-B. 4. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,1 m/detik pada titik C, menunjukkan sebesar 30,2 ºC. 5. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,5 m/detik pada titik D, menunjukkan sebesar 29,8 ºC.
Gambar 3.7. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 12.00 WIB.
Berdasarkan pembahasan teoritis, zona nyaman CET adalah sebesar 22º C - 27º C, sedangkan hasil yang didapat sebesar 29,8 º30,2ºC. Ini berarti kondisi kenyamanan thermal pada jam 12.00 adalah kurang nyaman. Sebab suhunya masih di atas 27ºC.
c. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 15.00 WIB. Ilustrasi penerapan hasil pengukuran kondisi kenyamanan thermal pada jam 15.00 WIB pada nomogram temperatur efektif, di dalam gambar 3.8. berikut.
Keterangan. 1. Temperatur Bola Kering/DBT hasil pengukuran sebesar 31,6º C ditempatkan pada skala vertikal sebelah kiri, yaitu pada titik A. 2. Temperatur Bola Basah/WBT hasil pengukuran sebesar 29,4º C ditempatkan pada skala vertical sebelah kanan, yaitu pada titik B. 3. Titik A dan titik B dihubungkan, menjadi garis A-B. 4. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,1 m/detik pada titik C, menunjukkan sebesar 30 ºC. 5. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,5 m/detik pada titik D, menunjukkan sebesar 29,2 ºC. Gambar 3.8. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 15.00 WIB.
Berdasarkan pembahasan teoritis di atas, zona nyaman CET adalah sebesar 22º C - 27º C, sedangkan hasil yang didapat sebesar 29,2 º- 30ºC. Ini berarti kondisi kenyamanan thermal pada jam 15.00 adalah kurang nyaman. Sebab suhunya masih di atas 27ºC. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Dari analisis yang telah dilakukan tentang kondisi kenyamanan thermal bangunan Gereja Blenduk Semarang, disimpulkan sebagai berikut.
a. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 09.00 WIB adalah kurang nyaman. b. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 12.00 WIB adalah kurang nyaman. c. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 15.00 WIB adalah kurang nyaman. d. Hal ini berarti dari pagi sampai dengan sore hari, kondisi kenyamanan thermal bangunan Gereja Blenduk dalam kualitas kurang nyaman.
e. Kualitas kekurang nyamanan kondisi thermal yang dirasakan oleh pengguna, dapat menjadi pertimbangan bagi arsitek, untuk mengantisipasi aspek-aspek yang dapat mendukung peningkatan kualitas kenyamanan thermalnya secara alami, antara lain dalam aspek kondisi bangunan yang terkait untuk peningkatan kecepatan pergerakan udaranya (tambahan luas bukaan dinding). 4.2. Saran Untuk meningkatkan kenyamanan thermal di dalam ruang Gereja Blenduk Semarang, perlu dilakukan langkah-langkah alternatif sebagai berikut. a. Menambah kecepatan udara, dengan melakukan tambahan luas bukaan dinding/jendela. b. Memasang alat pengkondisian udara (kipas, air conditioning/AC) -untuk pendinginan udara ruangan-, angin yang dihasilkan untuk membantu meningkatkan kecepatan aliran udara. Namun hal terakhir ini sudah bersifat artifisial/buatan. 5. DAFTAR PUSTAKA Amirudin, Saleh. (1969) Iklim dan Arsitektur di Indonesia, Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Aronim, Jeffrey Ellis. (1953). Climate & Architecture, penerbit
Progressive Architecture Book, Reinhold Publishing Coorporation, USA, 1953. Egan, M. David.(1975). Concepts in Thermal Comfort, penerbit Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs, New Jersey. Evans,
Martin. (1980). Housing Climate and Comfort, penerbit The Architectural Press Ltd, London.
Fry, Maxwell and Jane Drew. (1956). Tropical Architecture in The Humid Zone, penerbit B.T. Batsfort Ltd, London. Kukreya, CP, Tropical Architecture, penerbit Mc. Graw Hill, New Delhi. Lippsmeier, George. (1980). Tropenbau Building in The Tropic, penerbit Callwey Verlay, Munchen,. Biodata Penulis: Dwi Suci Sri Lestari, alumnus S-1 Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (FT. UNDIP) Semarang ( 1985), S-2 Teknik Arsitektur pada alur Sejarah dan Teori Arsitektur Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung (1994), dan pengajar Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan (FT. UTP) Surakarta (1987- sekarang).