TESIS
KOMPRES TETRACHLORODECAOXIDE (TCDO) MEMBERIKAN EFEK PENUTUPAN LUKA LEBIH CEPAT DIBANDINGKAN KOMPRES NORMAL SALINE PADA PENGOBATAN LUKA TERBUKA DENGAN FULL THICKNESS SKIN LOSS PADA TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS)
SAGITHA INDRAYANA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
KOMPRES TETRACHLORODECAOXIDE (TCDO) MEMBERIKAN EFEK PENUTUPAN LUKA LEBIH CEPAT DIBANDINGKAN KOMPRES NORMAL SALINE PADA PENGOBATAN LUKA TERBUKA DENGAN FULL THICKNESS SKIN LOSS PADA TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS)
R. SAGITHA INDRAYANA NIM. 0914118103
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
KOMPRES TETRACHLORODECAOXIDE (TCDO) MEMBERIKAN EFEK PENUTUPAN LUKA LEBIH CEPAT DIBANDINGKAN KOMPRES NORMAL SALINE PADA PENGOBATAN LUKA TERBUKA DENGAN FULL THICKNESS SKIN LOSS PADA TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS)
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
R. SAGITHA INDRAYANA NIM. 0914118103
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 21 Maret 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II
Prof. Dr. dr. I Ketut Siki kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K). NIP: 194809091979031002
dr. K.G.Mulyadi Ridia, Sp.OT.(K) NIP: 19600201 198610 1 001
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS NIP 19461213 197107 1 001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji Tanggal : 21 maret 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, No. : 753/H14.4.9/DT/2014
Ketua
: Prof. Dr. dr. I Ketut Siki kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K).
Sekretaris
: dr. K.G.Mulyadi Ridia, Sp.OT.(K)
Anggota
:1. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS 1. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH,Ph.D 1. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penelitian ini dapat selesai sesuai waktu yang telah ditentukan. Penelitian yang berjudul ”Kompres Tetrachlorodecaoxide (TCDO) Memberikan Efek Penutupan Luka Lebih Cepat Dibandingkan Kompres Normal Saline Pada Pengobatan Luka Terbuka Dengan Full Thickness Skin Loss Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus)” ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan masukan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana atas ijin yang telah diberikan. 2. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan. 3. Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K), selaku Kepala Program Studi Orthopaedi dan Traumatologi Universitas Udayana/ RSUP Sanglah atas kesempatan yang diberikan 4. dr. K. G. Mulyadi Ridia, Sp.OT. (K), selaku Kepala Bagian Orthopaedi dan Traumatologi, atas ijin yang telah diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.
5. Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K), dan dr.K.G. Mulyadi Ridia, Sp.OT.(K), selaku pembimbing I dan pembimbing II yang telah banyak memberikan petunjuk, masukan serta bimbingan. 6. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. 7. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS, selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana. 8. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS, Prof. dr. . N. Tigeh Suryadhi, MPH., Ph.D. dan Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH., selaku Penguji 1, 2 dan 3, yang telah memberikan banyak koreksi dan perbaikan demi kesempurnaan penelitian ini. 9. Semua dosen pengajar Combined Degree Pasca Sarjana Universitas Udayana 10. Segenap staf pengajar di Bagian/SMF Orthopaedi dan traumatologi FK Udayana/RSUP Sanglah 11. Rekan residen serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu semua saran dan kritik demi kesempurnaan tulisan ini sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga penelitianyang dilaksanakan ini nantinya dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu kedokteran, khususnya di bidang Orthopaedi dan Traumatologi. Denpasar, Januari 2014
Penulis
ABSTRAK KOMPRES TETRACHLORODECAOXIDE (TCDO) MEMBERIKAN EFEK PENUTUPAN LUKA LEBIH CEPAT DIBANDINGKAN KOMPRES NORMAL SALINE PADA PENGOBATAN LUKA TERBUKA DENGAN FULL THICKNESS SKIN LOSS PADA TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS) Luka terbuka diharapkan sembuh dengan penyembuhan sekunder, melalui proses granulasi, reepitelisasi dan kontraksi luka dan akhirnya alami penutupan luka. Suasana luka yang lembab penting untuk penyembuhan luka optimal. Bahan standar untuk pertahankan kelembaban luka adalah normal salin. Selain kompres normal saline, banyak bahan yang diajukan sebagai kompres penutup luka. Pada penelitian ini digunakan bahan Tetrachlorodecaoxide (TCDO), suatu senyawa klorit dengan efek bakterisidal, imunomudolator, mitogenik dan kemotaktik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemakaian kompres Tetrachlorodecaoxide menyebabkan penutupan luka lebih cepat dibandingkan dengan kompres normal salin pada tikus putih (Rattus norvegicus). Pre post test control group design, menggunakan sample tikus putih (Rattus norvegicus) sebanyak 16 ekor tiap kelompok. Luka full thickness dengan punch biopsy diameter 8 mm dan dalam 3 mm. Dilakukan perawatan luka tehnik aseptik kemudian pada Kelompok Perlakuan diberi kompres TCDO sedangkan Kelompok Kontrol dengan kompres normal salin. Dilakukan penghitungan persentase penutupan luka hari ke tiga dan ke tujuh serta lamanya penutupan luka, Data dianalisis dengan SPSS for Windows versi 21.0 Persentase penutupan luka pada hari ke tiga dan hari ke tujuh lebih besar secara bermakna pada Kelompok Perlakuan dibandingkan Kelompok Kontrol (p<0,05) serta waktu penutupan luka lebih cepat secara bermakna pada Kelompok Perlakuan dibandingkan Kelompok Kontrol (p<0,05). Kompres Tetrachlorodecaoxide memberikan efek persentase penutupan luka lebih besar serta waktu penutupan lebih cepat dibandingkan kompres normal saline pada pengobatan luka terbuka dengan full thickness skin loss pada tikus putih (Rattus norvegicus). Kata kunci: luka terbuka, kompres TCDO, kompres normal salin, penutupan luka, tikus putih.
ABSTRACT
TETRACHLORODECAOXIDE COMPRESS CAUSED WOUND HEALING FASTER THAN NORMAL SALINE ON THE TREATMENT OF FULL THICKNESS SKIN LOSS IN WHITE RATS (RATTUS NORVEGICUS) An open wound was expected heal with secondary attention, with the formation of granulation tissue, epitelisation, wound contraction and finally wound clossure. Moist is the best conditions for open wound healing. Standard material for wound dressing is normal saline. There are numerous materials that can be use for wound dressing. This research used Tetrachlorodecaoxide(TCDO) which have bactericidal, immunomodulator, mitogenic and chemotactic effect as a wound compress, caused faster wound clossure compared with normal saline compress on white rats (Rattus norvegicus). Pre test Post test control group design was used, with 16 white rats (Rattus norvegicus) as a subject for each group. Full thickness wounds were made using a punch biopsy diameter 8 mm and 3 mm depth. Wound treated with aseptic technique and covered with TCDO compress in the research group and normal saline compress in control group. Percentage on wound clossure measured on day 3th and 7th and the period for totally wound clossured. The results analised with SPSS for Windows version 21.0 Percentage wound clossure in day 3th and 7th in the TCDO group was bigger than normal saline group and proved statistically significant (p<0.05). Wound closure time in the TCDO group was faster than the normal saline group and also statistically significant (p<0,05). TCDO compress caused wound healing faster than normal saline compress on the treatment of open wound with full thickness skin loss on white rats (Rattus norvegicus). Keywords: open wound, TCDO compress, normal saline compress, wound closure, white rats.
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM ............................................................................................. .. ii PRASYARAT GELAR ...................................................................................... . iii LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... . iv PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................... ..v UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... . vi ABSTRAK .......................................................................................................... viii ABSTRACT ........................................................................................................ .ix DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ............................................................................................... .xiv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ...xv
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah ........................................................................ 3
1.3
Tujuan Penelitian........................................................................... 4
1.4
Manfaat Penelitian......................................................................... 4
BAB II 2.1
1.4.1 Manfaat bagi ilmu pengetahuan .........................................
4
1.4.2 Manfaat klinis……………………………………. ...............
4
1.4.3 Manfaat sosial………………………………………………
5
KAJIAN PUSTAKA ........................................................................ 6 Kulit ............................................................................................. 6 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit ............................................ 6 2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Kulit Mencit ............................... 11 2.2 Luka ..... .................................................................................... 13 2.2.1 Definisi Luka ................................................................... 13 2.2.2 Pembagian Luka .............................................................. 13 2.3 Penutupan Luka .......................................................................... 14 2.3.1 Sejarah Penutupan Luka .................................................. 14 2.3.2 Mekanisme Penutupan Luka ........................................... 16
2.3.3 Faktor Faktor Mempengaruhi Penyembuhan .................. 23 2.3.4 Penatalaksanaan Luka ..................................................... 27 2.4 Bahan Penutup Luka .................................................................. 33 2.4.1 NaCl 0,9% ....................................................................... 33 2.4.2 TCDO………………………………………………… ... 34 2.5 Tikus Putih................................................................................ 36 2.6 Penyembuhan Luka pada Tikus Putih ..................................... 38
BAB III : KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS .................. 41 3.1
Kerangka Berpikir ....................................................................... 41
3.2
Konsep ........................................................................................ 43
3.3
Hipotesis ..................................................................................... 43
BAB IV : METODE PENELITIAN ................................................................... 44 4.1
Rancangan Penelitian .................................................................. 44
4.2
Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 45
4.3
Populasi dan Sampel ................................................................... 45 4.3.1 Variabilitas Populasi .......................................................... 45 4.3.2 Kriteria Subjek ................................................................... 45 4.3.3 Besaran Sampel .................................................................. 46 4.3.4 Tehnik Penentuan Sampel.................................................. 47
4.4
Variabel Penelitian ...................................................................... 47 4.4.1 Klasifikasi Variabel ........................................................... 47 4.4.2Definisi operasional variabel .............................................. 47
4.5
Instrumen Penelitian ................................................................... 49
4.6
Prosedur Penelitian ..................................................................... 49 4.6.1 Persiapan sebelum penelitian ............................................. 49 4.6.2Pelaksanaan penelitian ........................................................ 50
4.7
Alur Penelitian ............................................................................ 52
4.8
Analisa data ................................................................................. 53
BAB V : HASIL PENELITIAN ......................................................................... 54 5.1
Umur Tikus Pada Tiap Kelompok .............................................. 57
5.2
Berat Badan Tikus Pada Tiap Kelompok.................................... 57
5.3
Persentase Penutupan Luka Hari Ke tiga dan ke tujuh ............... 58
5.4
Waktu Penutupan Luka ............................................................... 61
BAB VI : PEMBAHASAN ................................................................................ 63 6.1
Subjek Penelitian ........................................................................ 63
6.2
Pengaruh Kompres TCDO dan Kompres Normal Salin Terhadap Penyembuhan Luka ..................................................................... 63
BAB VII : SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 67 7.1
Simpulan ..................................................................................... 67
7.2
Saran ........................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 68 LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1
Epidermis Normal ....................................................................... 7
Gambar 2.2
Dermis Normal............................................................................ 11
Gambar 2.3
Bagan Alur Penatalaksanaan Luka ............................................. 28
Gambar 3.1
Skema Konsep ............................................................................ 43
Gambar 4.1
Skema Rancangan Penelitian ...................................................... 44
Gambar 4.2
Skema Alur Penelitian ................................................................ 52
Gambar 5.1
Instrument Penelitian .................................................................. 55
Gambar 5.2
Luka Full Thickness Skin Loss ................................................... 55
Gambar 5.3
Perkembangan Luka hari ketiga dan Ketujuh ............................. 56
Gambar 5.4
Grafik Persentase Penutupan Luka ............................................. 59
Gambar 5.5
Grafik Waktu Penutupan Luka .................................................... 61
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1
Zat-zat di Daerah Luka ............................................................... 20
Tabel 2.2
Faktor Pemilihan Metode Debridement ...................................... 31
Tabel 5.1
Rerata Umur Tikus Tiap Kelompok............................................ 57
Tabel 5.2
Rerata Berat Tikus Tiap Kelompok ............................................ 58
Tabel 5.3
Rerata Persentase Penutupan Luka Hari Ketiga ......................... 60
Tabel 5.4
Rerata Persentase Penutupan Luka Hari Ketujuh ....................... 60
Tabel 5.5
Rerata Waktu Penutupan Luka ................................................... 62
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1
Analisis Deskriptif, Normalitas Dan Uji Kemaknaan Umur dan Berat Tikus .............................................................................................. 75
Lampiran 2
Analisis Deskriptif, Normalitas Data Persentase Penutupan Luka Hari Ketiga,Ketujuh dan Waktu Penutupan Luka .................................. 81
Lampiran 3
Transformasi data dan Analisa Deskriptif Normalitas dan Uji Kemaknaan data waktu Penutupan Luka ................................................ 85
Lampiran 4
Analisis Uji Kemaknaan Data Persentase Penutupan Luka Hari Ketiga dan Ketujuh ................................................................................. 89
Lampiran 5
Surat Keterangan Ethical Clearance ....................................................... 92
KOMPRES TETRACHLORODECAOXIDE (TCDO) MEMBERIKAN EFEK PENUTUPAN LUKA LEBIH CEPAT DIBANDINGKAN KOMPRES NORMAL SALINE PADA PENGOBATAN LUKA TERBUKA DENGAN FULL THICKNESS SKIN LOSS PADA TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS)
Tesis untuk Memperoleh Gelar Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi pada Bagian/SMF Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
R. SAGITHA INDRAYANA NIM. 0914118103
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH DENPASAR 2014
ABSTRAK KOMPRES TETRACHLORODECAOXIDE (TCDO) MEMBERIKAN EFEK PENUTUPAN LUKA LEBIH CEPAT DIBANDINGKAN KOMPRES NORMAL SALINE PADA PENGOBATAN LUKA TERBUKA DENGAN FULL THICKNESS SKIN LOSS PADA TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS) R. Sagitha Indrayana
Latar Belakang: Luka terbuka diharapkan sembuh dengan penyembuhan sekunder, melalui proses granulasi, reepitelisasi dan kontraksi luka dan akhirnya alami penutupan luka. Suasana luka yang lembab penting untuk penyembuhan luka optimal. Bahan standar untuk pertahankan kelembaban luka adalah normal salin. Selain kompres normal saline, banyak bahan yang diajukan sebagai kompres penutup luka. Pada penelitian ini digunakan bahan Tetrachlorodecaoxide (TCDO), suatu senyawa klorit dengan efek bakterisidal, imunomudolator, mitogenik dan kemotaktik., sebagai kompres luka. Bahan dan Cara Kerja: Pre post test control group design, menggunakan sample tikus putih (Rattus norvegicus) sebanyak 16 ekor tiap kelompok. Luka full thickness dengan punch biopsy diameter 8 mm dan dalam 3 mm. Dilakukan perawatan luka tehnik aseptik kemudian pada Kelompok Perlakuan diberi kompres TCDO sedangkan Kelompok Kontrol dengan kompres normal salin. Dilakukan penghitungan persentase penutupan luka hari ke tiga dan ke tujuh serta lamanya penutupan luka, Data dianalisis dengan SPSS for Windows versi 21.0 Hasil: Pada Kelompok Perlakuan didapatkan persentase penutupan luka hari ke tiga dan hari ke tujuh yang lebih besar secara bermakna serta waktu penutupan luka yang lebih cepat secara bermakna (p<0,05) dibandingkan Kelompok Kontrol. Simpulan: Kompres Tetrachlorodecaoxide memberikan efek persentase penutupan luka lebih besar serta waktu penutupan lebih cepat dibandingkan kompres normal saline pada pengobatan luka terbuka dengan full thickness skin loss pada tikus putih (Rattus norvegicus). Kata kunci: luka terbuka, kompres TCDO, kompres normal salin, penutupan luka, tikus putih.
ABSTRACT TETRACHLORODECAOXIDE COMPRESS CAUSED WOUND HEALING FASTER THAN NORMAL SALINE ON THE TREATMENT OF FULL THICKNESS SKIN LOSS IN WHITE RATS (RATTUS NORVEGICUS)
R. Sagitha Indrayana
Background: Open wound will heal with seccondary attention, with the formation of granulation tissue, epitelisation, wound contraction and finally wound clossure. Moist is the best conditions for open wound healing. Standard material for wound dressing is normal saline. There were numerous materials that can be used for wound dressing. This research used Tetrachlorodecaoxide(TCDO) which have bactericidal, immunomodulator, mitogenic and chemotactic effect as a wound compress. Material and Methods: Pre test Post test control group design was used, with 16 white rats (Rattus norvegicus) as a subject for each group. Full thickness wounds were made using a punch biopsy diameter 8 mm and 3 mm depth. Wound treated with aseptic technique and covered with TCDO compress in the research group and normal saline compress in control group. Percentage on wound clossure measured on day 3th and 7th and the period for totally wound clossured. The results analised with SPSS for Windows version 21.0 Results: The TCDO group had bigger percentage wound clossure in day 3th and 7th and faster wound closure than the normal saline group and statistically significant (p<0,05). Conclusions: TCDO compress caused wound healing faster than normal saline compress on the treatment of open wound with full thickness skin loss on white rats (Rattus norvegicus). Keywords: open wound, TCDO compress, normal saline compress, wound closure, white rats.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Di dalam praktek sehari hari seorang dokter akan sering berhadapan dengan luka. Luka membutuhkan perawatan yang baik untuk dapat terjadinya penutupan luka yang optimal. Luka adalah hilangnya atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan. Proses yang terjadi pada jaringan yang mengalami kerusakan ini adalah proses penyembuhan kembali kepada kondisi normal. Jenis penyembuhan luka ada dua tipe, yaitu penyembuhan primer atau sanatio per primum intentionem. Jenis penyembuhan ini terjadi bila luka diusahakan segera bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Parut yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil. Jenis penyembuhan kedua adalah penyembuhan sekunder atau sanatio per secundam intentionem (Lipincott, 2003) Seringkali dalam praktek sehari-hari didapatkan luka yang telah terinfeksi atau luka yang luas dengan kehilangan jaringan kulit atau bahkan kedua duanya yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penutupan luka secara primer. Cara terbaik penanganan luka seperti ini adalah dengan perawatan luka terbuka. Penutupan luka seperti ini (full thickness open wound), terjadi melalui kontraksi luka, reepitilisasi dan terbentuknya jaringan granulasi. Dalam lima sampai tujuh hari setelah trauma, akan terbentuk jaringan granulasi yang akan menutupi luka.
20
Proses epitilisasi terjadi saat sel epidermis tumbuh dari tepi luka menutupi jaringan granulasi (Adams dkk, 2008). Perawatan terbaik dan optimal dalam penanganan luka terbuka adalah dengan menggunakan bahan-bahan dan metode yang dapat mempercepat kontraksi luka, mencegah terbentuknya jaringan granulasi yang berlebihan, mencegah pertumbuhan bakteri, mampu mempertahankan pH normal dan sebagai pelembab yang sesuai untuk mempercepat penutupan luka (Thomas, 2005). Perawatan luka terbuka yang dilakukan adalah dengan melakukan debridemen, membersihkan luka dari krusta, dan menutupnya dengan kassa steril yang dibasahi dengan cairan fisiologis (normal saline 0,9%). Kassa steril diganti tiap hari sampai luka mengalami granulasi, epitelisasi dan akhirnya tepi tepi luka menutup dan terjadi penutupan luka (Ayodeji dkk, 2006). Tetrachlorodecaoxide
(TCDO)
adalah
senyawa
klorit
yang bisa
dipergunakan topikal sebagai cairan steril dengan pengenceran 1:55. Karena efek oksidasinya, TCDO dapat menghancurkan sebagian besar bakteri patogen, walaupun TCDO bukanlah suatu antibiotika. Salah satu alasan penggunaannya sebagai penutup luka adalah karena efek bakterisidal yang dimiliknya. Selain itu TCDO juga bersifat sebagai imunomodulator yang bekerjanya dengan stimulasi sistem imun dari tubuh. TCDO dikombinasi dengan bagian haem dari hemoglobin, myoglobin dan peroksidase, akan membentuk TCDO-haemo komplek. Kompleks ini akan mengaktivasi makrofag dan mempercepat proses fagositosis yang akan menghancurkan sebagian besar patogen dan sel debris yang terdapat pada permukaan luka, sehingga akan membersihkan permukaan luka, dan
21
mempercepat proses regenerasi. TCDO juga bersifat mitogenik dan kemotaktik. Sifat mitogenik akan merangsang dua faktor yaitu MDGF (Macrophage derived growth factor) dan WAF (Wound angiogenesis faktor). MDGF akan merangsang pembentukan fibroblast dan mensintesa serat kolagen yang akan mengisi celah diantara luka, sedangkan WAF membantu pembentukan kapiler kapiler yang baru sehingga akan mempercepat proses penutupan. Rangsangan kemotaktik bekerja pada sel otot dan menyebabkan kontraksi, sehingga membuat ujung-ujung luka menutup dan mengurangi permukaan luka. Seluruh efek ini secara simultan akan mempercepat penutupan luka dengan jaringan parut minimal (Giese dkk, 2004). Berdasarkan hal-hal diatas, penulis ingin mengetahui apakah perawatan luka terbuka dengan menggunakan kompres TCDO
akan memberikan efek
penutupan luka terbuka lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan kompres normal saline. Pada penelitian ini, penulis mengunakan hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus), Hewan ini relatif lebih mudah dipelihara, lebih mudah didapatkan, memiliki struktur anatomi, fisiologis dan histologis kulit yang mirip dengan kulit manusia, sehingga diharapkan dapat diaplikasikan dan dilanjutkan dengan penelitian pada manusia.
1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dicari jawabannya melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui:
22
Apakah kompres Tetrachlorodecaoxide (TCDO) memberikan efek penutupan luka lebih cepat dibandingkan kompres normal saline pada pengobatan luka terbuka dengan full thickness skin loss pada kulit tikus?
1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui kompres Tetrachlorodecaoxide dapat menyebabkan penutupan luka terbuka dengan full thickness skin loss yang lebih cepat dibandingkan dengan kompres normal salin pada kulit tikus putih (Rattus norvegicus)
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat bagi ilmu pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan tentang
pemberian
kompres
Tetrachlorodecaoxide
(TCDO)
yang
dapat
memberikan efek penutupan luka terbuka yang lebih cepat pada kulit tikus dan selanjutnya dapat dipergunakan sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut pada manusia.
1.4.2 Manfaat klinis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi praktisi kesehatan didalam penanganan luka terbuka dengan full thickness skin loss untuk mendapatkan penyembuhan yang lebih cepat.
23
1.4.3 Manfaat sosial Sebagai acuan bagi masyarakat diharapkan mendapat manfaat dari kompres Tetrachlrodecaoxide (TCDO) untuk penyembuhan luka terbuka yang lebih baik.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kulit 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit Manusia Kulit merupakan organ kompleks yang melindungi dari lingkungan, pada saat bersamaan memungkinkan interaksi dengan lingkungannya. Kulit merupakan perpaduan yang dinamis, kompleks, terintegrasi dari sel, jaringan, dan elemen matriks yang memediasi berbagai fungsi, yaitu: kulit merupakan barier permeabilitas fisik, menjaga dari agen infeksius, termoregulasi, proteksi sinar ultraviolet, penutupan luka dan regenerasi, dan memberikan penampilan fisik luar (Kochevar dkk, 2008). Kulit terdiri dari tiga lapisan besar, yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis. 1)
Epidermis Epidermis merupakan struktur yang terus memperbaharui diri secara
kontinyu, yang memberikan tempat tumbuh bagi struktur turunan yang disebut appendage (kelompok pilosebaseus, kuku, dan kelenjar keringat). Ketebalan epidermis berkisar antara 0,4 sampai 1,5 mm dibandingkan dengan kedalaman kulit 1,5 sampai 4,0 mm. Sebagian besar epidermis terdiri dari sel keratinosit yang mengelompok menjadi empat lapisan, yang diberi nama sesuai dengan posisi atau sel pembentuk strukturnya. Sel tersebut berdiferensiasi progresif dari sel basal
24
25
proliveratif, melekat dengan epidermal membran basal, menuju diferensiasi akhir stratum korneum terkeratinisasi, yang merupakan lapisan terluar dan barier kulit.
Gambar 2.1 Epidermis Normal (Melton dan Swanson, 1996)
Epidermis terdiri dari 5 lapis, yaitu stratum germinativum (SG), stratum spinosum (SS), stratum granulosum (SGR), stratum lusidum dan stratum korneum (SC) dimana keratinosit bermigrasi ke permukaan dan kemudian terlepas, yang disebut dengan proses deskuamasi. (Melton dan Swanson, 1996). Lapisan epidermis terdiri dari : a)
Lapisan basal/stratum germinativum, lapisan ini aktif bermitosis , terdiri dari sel keratinosit berbentuk kolumnar yang melekat melalui filamen keratin pada membran basal pada hemidesmosom, melekat pada sel sekitar lainnya sepanjang desmosom, dan memberikan pertumbuhan bagi sel yang lebih superfisial untuk membentuk lapisan epidermis. Analisis ultrastruktur
26
menunjukkan adanya membran yang berikatan dengan vakuola yang mengandung melanosom berpigmen yang ditransfer dari melanosit melalui fagositosis.
Pigmen
sepanjang
melanosom
memberikan
keseluruhan
pigmentasi kulit secara makroskopis. Lapisan basal merupakan lokasi primer dari sel epidermis yang aktif membelah. b)
Lapisan spinosum, bentuk, struktur, bagian subseluler dari sel spinosus berhubungan dengan posisinya pada pertengahan epidermis. Lapisan ini diberi nama karena penampakannya yang menyerupai spine (duri) pada bagian tepinya dilihat secara histologis. Sel spinosus suprabasal berbentuk polihedral dengan inti bulat. Sel ini berdiferensiasi dan bergerak ke atas sepanjang epidermis, dan secara progresif memipih dan berkembang menjadi organel yang dikenal sebagai granula lamelar.
c)
Lapisan granular, lapisan ini diberi nama sesuai dengan granula keratohialin basofilik yang prominen disekitar sel. Lapisan granuler adalah tempat pembentukan komponen struktural yang akan membentuk barier epidermal. Granula keratohialin terbentuk utamanya dari profilagrin, filament keratin, dan lorikrin. Profilagrin akan berubah menjadi filagrin, dimana filagrin berperan pada hidrasi stratum korneum dan membantu filter radiasi ultraviolet.
d)
Stratum korneum, lapisan ini terbentuk dari difrensiasi komplit sel granular yang menghasilkan tumpukan sel tak berinti dan berbentuk kerucut memipih. Lapisan ini memberikan proteksi mekanik kulit dan barier kehilangan air dan permeabilitas terhadap substrat yang larut dari lingkungan. Barier stratum
27
korneum terbentuk dari dua sistem kompartemen dengan lemak tipis, korneosit yang kaya protein dikelilingi oleh matriks lemak ekstraseluler. Kedua kompartemen bekerja bersama-sama membentuk barier aktivitas epidermis. Fungsi primer dari dari matriks lemak ekstraseluler adalah regulasi permeabilitas, deskuamasi, aktivitas peptida antimikrobial, eksklusi toksin, dan absorpsi kimia selektif. Korneosit berperan pada penjagaan mekanik, hidrasi, inflamasi yang dimediasi oleh sitokin, dan proteksi dari kerusakan akibat sinar matahari.
2)
Dermal-epidermal junction Dermal-epidermal junction adalah daerah membrane
basal yang
membentuk batas antara epidermis dan dermis. Fungsi utamanya adalah melekatkan antara epidermis dan dermis sehingga memberikan resistensi terhadap bahaya dari luar. Ini menunjang epidermis, membedakan polaritas pertumbuhan, organisasi sitoskleton sel basal, memberikan sinyal pertumbuhan, dan bertindak sebagai barier semipermiabel.
3)
Dermis Dermis merupakan sistem integrasi dari fibrus, filamentus, difus, dan
elemen seluler jaringan penghubung yang mengakomodasi saraf, jaringan pembuluh darah, appendage epidermal, dan terdiri dari berbagai tipe sel, termasuk fibroblas, makofag, sel mast, dan sel yang berperan pada sistem imun. Dermis merupakan komponen terbesar pembentuk kulit sehingga mempertahankan
28
viabilitas, elastisitas dan kekuatan peregangan kulit. Ini melindungi tubuh dari trauma mekanik, mengikat air, dan berperan pada termoregulasi, dan mengandung reseptor berbagai stimulus. Dermis bekerjasama dengan epidermis dalam mempertahankan komponen masing-masing serta berinteraksi dalam perbaikan dan pembentukan kembali kulit setelah perlukaan. Dermis terdiri dari dua bagian, yaitu : papiler dermis dan retikuler dermis. Kedua bagian tersebut dapat dibedakan secara histologis, dan keduanya berbeda dalam hal organisasi jaringan penunjang, densitas sel, bentuk saraf dan pembuluh darah. Papiler dermis berbatasan dengan epidermis, dengan ketebalan tidak lebih dari dua kalinya. Retikuler dermis benjolan jaringan dermal. Ini terbentuk sebagian besar dari serat kolagen berdiameter besar, menyatu membentuk rangkaian, cabang serat elastin mengelilingi rangkaian tersebut. Pada orang normal, serat elastin dan rangkaian kolagen meningkat ukurannya secara progresif sampai ke hipodermis. Bagian terbawah dari retikuler dermis dikatakan transisi dari jaringan penunjang fibrus dengan jaringan penunjang lemak dari hipodermis.
4)
Hipodermis (subkutis) Jaringan hipodermis menyekat tubuh, sebagai bantalan dan pelindung
kulit, dan memungkinkan mobilitas kulit dari jaringan di bawahnya. Jaringan ini juga memberikan efek kosmetik dengan memberikan bentuk tubuh.
29
Gambar 2.2 Dermis Normal (Melton dan Swanson, 1996)
Lapisan retikuler dermis (RD) terdiri dari jaringan ikat yang rapat, yang dibedakan dari lapisan papiler dermis (PD), terutamanya dibentuk dari jaringan ikat longgar. Elastisitas dan regangan kulit terutama ditentukan oleh lapisan RD, yang juga merupakan tempat struktur lain seperti kelenjar dan folikel rambut. (Melton dan Swanson, 1996)
2.1.2 Anatomi Kulit Mencit Kulit mencit dibagi menjadi epidermis, dermis dan sub kutis. Epidermis terdiri dari epitel skuamosa bertingkat sedangkan dermis disusun oleh jaringan ikat yang padat. Epidermis berkembang baik pada waktu lahir dan menebal dalam 4-5 hari setelah lahir, kemudian menipis seiring dengan perkembangan folikel
30
rambut. Ketebalan epidermis berbeda antara daerah berambut dan tidak berambut. Daerah tidak berambut atau relatif sedikit berambut seperti kaki, ekor, puting susu, hidung, genital dan anal epidermisnya lebih tebal dan dapat dibedakan stratum-stratumnya (Hoyt dkk., 2007). Epidermis terdiri dari 3 stratum atau lebih dengan beberapa lapis sel pada masing-masing stratum. Paling dalam adalah stratum germinativum di membrana basalis terdiri dari sel yang tersusun vertikal dengan bentuk tidak teratur, nukleus oval dan jernih dengan beberapa sel polihidral yang masing-masing dihubungkan dengan tonofibril. Di sebelah luarnya adalah stratum granulosum yang terdiri dari 4-5 lapis sel yang tersusun horizontal dan mengandung granula keratohialin. Lapisan paling luar adalah stratum korneum yang terdiri dari sel tanduk. Epidermis pada daerah tidak berambut atau relatif sedikit berambut terdiri dari lebih dari enam lapis sel dan stratum-stratumnya sulit dibedakan. Stratum germinativum dan granulosum tampak sebagai sel yang tersebar berjumlah sangat sedikit, sedangkan stratum korneum terdiri dari 1-2 lapis sel saja. Tidak terdapat pembuluh darah dan saraf pada epidermis. Melanosit biasanya tidak terdeteksi pada epidermis (Kusmiati dkk, 2006). Jaringan ikat dermis mengandung kolagen, serabut elastis, pembuluh darah, saraf, lemak dan beberapa utas otot halus yang menyisip pada serabut dermis yang berbatasan dengan subkutan. Papila dermis pada daerah berambut sulit dikenali karena batas antara dermis dan epidermis hampir rata (Hoyt dkk, 2007).
31
2.2 Luka 2.2.1 Definisi Luka Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perbahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
2.2.2 Pembagian Luka Pembagian luka secara umum diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu luka akut dan luka kronis. Luka akut merupakan luka trauma yang segera mendapat penanganan dan akan dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak, dan penutupannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan (Lipincott, 2003). Pada luka akut akan alami fase-fase penutupan sistemik untuk mengembalikan integritas kulit seperti semula. Contoh dari luka akut adalah luka bakar, luka tusuk atau sayat dan luka luka operasi juga dikategorikan luka akut yang dibuat oleh ahli bedah seperti luka jahit, skin graft (Fowler, 2000). Luka kronik adalah luka yang berlangsung lama atau seringkali kambuh dimana terjadi gangguan pada proses penutupan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktorial dari penderita. Pada luka kronik luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali (Lippincott, 2003). Pada luka kronis juga akan mengalami sebagian besar fase fase penutupan seperti pada luka akut, tetapi tidak menghasilkan pengembalian integritas kulit seperti sedia kala. Sesuai dengan rule
32
of thumb, luka yang gagal untuksembuh sempurna sampai tiga bulan sudah dikatakan sebagai luka kronis. Tetapi pembagian berdasarkan definisi ini tidak mempertimbangkan ukuran, lokasi anatomi luka, dan dan hal hal yang merintangi penutupan luka (Adams dkk, 2008).
2.3 PENUTUPAN LUKA 2.3.1 Sejarah Penutupan Luka Usaha untuk penutupan luka mempunyai sejarah yang sudah sangat panjang. Bangsa Sumerians pada tahun 2000 SM, memperkenalkan dua metode penutupan luka. Metode pertama adalah spiritual dengan menggunakan mantera dan jampi-jampi, sedangkan metode kedua adalah metode fisik dengan memberikan ramuan ramuan di atas luka. Bangsa Mesir yang pertama kali membedakan antara luka yang terinfeksi dan berpenyakit serta luka yang tidak terinfeksi. Pada 1650 SM Edwin Smith mendeskripsikan adanya 48 jenis luka dan pada 1550 SM Eberrs menuliskan penggunaan madu (memiliki efek antibiotik), kain tiras (efek menyerap), dan pelumas (efek barier) untuk perawatan luka. Dimana hal hal ini masih relevan digunakan dalam perawatan luka sampai saat ini (Barbul, 2005). Bangsa
Yunani
setelah
mempelajari
pengetahuan
bangsa
Mesir
sebelumnya, mampu mendefinisikan luka menjadi luka akut dan luka kronis. Galen (tahun 120-201 M) seorang dokter Roma pada masa gladiator menemukan betapa pentingnya mempertahankan kelembaban luka untuk mencapai penutupan luka yang optimal. Penemuan-penemuan penting lainnya dalam hal perawatan
33
luka adalah penemuan antiseptik dan pentingnya untuk pencegahan infeksi luka (Ignaz Philipp Semmelweis, 1818-1865). Louis Pasteur (1822-1895) membantah teori tentang kuman yang tumbuh spontan dari jaringan dan membuktikan bahwa pertumbuhan kuman pada luka disebabkan karena interaksi dengan lingkungan luar. Joseph lister mungkin merupakan orang yang paling signifikan kontribusinya di dalam perawatan luka. Saat kunjungannya ke Kota Glasgow, Skotlandia, Dia memperhatikan bahwa beberapa selokan di daerah tertentu airnya lebih bersih di bandingkan daerah lainnya. Dia menemukan bahwa air dari selokan yang mengandung asam karbol (Phenol) airnya lebih jernih dari selokan lain. Lister kemudian mulai mencuci peralatannya dengan phenol dan menyemprotkannya pada kamar operasi. Tindakannya ini mampu menurunkan angka mortalitas dari 50% menjadi hanya 15%. Robert Wood, setelah menghadiri kuliah dari Lister, dia mulai melakukan penelitian selama 10 tahun dan akhirnya menemukan pembalut antiseptik dalam bentuk kassa katun yang mengandung iodoform. Semenjak saat itu berbagai bahan telah digunakan untuk mengisi kassa katun untuk antiseptik (Leong dan Phillips, 2004) Sejak tahun 1960 an dan 1970 an mulai dikembangkan penggunaan pembalut polimer. Pembalut polimer ini dapat disesuaikan sesuai kebutuhan seperti tingkat permeabilitas (occlusive atau semiocclusive ), berbagai tingkatan kemampuan absorbsi, dan berbagai varian bentuk. Sejalan dengan perkembangan jaman ketersediaan bahan bahan untuk membantu perawatan luka berkembang dengan pesat. Belakangan ini perawatan luka mencakup manipulasi penggunaan dari sitokine sel radang, growth factors, dan bioengineered tissue. Kombinasi
34
semua modalitas ini akan memungkinkan penutupan luka secara optimal (Barbul, 2005).
2.3.2 Mekanisme Penutupan Luka Perbaikan luka adalah usaha jaringan untuk mengembalikan struktur dan fungsi normal setelah alami trauma, untuk mengembalikan fungsi perlindungan terhadap kehilangan cairan, terhadap infeksi, membatasi masuknya organisme serta benda asing, mengembalikan aliran darah dan aliran limfe kembali ke kondisi normal dan mengembalikan integritas mekanik dari jaringan yang terluka. Pengembalian struktur kulit yang sempurna seringkali dikorbankan demi untuk pengembalian darurat fungsi dari kulit (Leong dan Phillips, 2004). Regenerasi, berbeda dengan perbaikan luka, merupakan suatu pemulihan sempurna seperti struktur jaringan semula tanpa pembentukan jaringan bekas luka. Walaupun regenerasi merupakan hal yang paling ideal di dalam penutupan luka, tetapi hal ini hanya ditemukan pada pertumbuhan embrio, pada organisme yang lebih rendah seperti kepiting dan salamander, dan pada manusia hanya ditemukan pada beberapa jaringan seperti pada tulang dan hati (Leong dan Phillips, 2004). Hasil penutupan pada organ lain adalah jaringan fibrosis dan scar (Lorenz dan Longaker, 2001). Penutupan luka normal mengikuti pola pola yang dapat diperkirakan yang dapat dibagi menjadi beberapa fase yang saling tumpang tindih dibedakan berdasar perubahan selular dan aktivitas biokimia (Barbul, 2005). Fase fase penutupan luka terdiri dari tiga fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase
35
maturasi (Lorenz dan Longaker,2001; Leong dan Phillips, 2004; Barbul, 2005; Adams dkk, 2008)
Fase inflamasi Fase Inflamasi merupakan fase pertama dari proses penutupan luka dan sering disebut juga fase reaktif. Tujuan utama fase ini adalah menghentikan perdarahan, mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan bakteri yang timbul (Leong dan Phillips, 2004; Adams dkk, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah, terjadinya migrasi dari berbagai sel ke daerah luka secara kemotaksis, sekresi dari cytokine dan growth factors ke daerah luka, dan aktivasi dari sel sel migrasi (Leong dan Phillips, 2004) Pada fase inflamasi, akibat terjadinya luka maka akan terjadi kerusakan pembuluh darah yang akan mengakibatkan terjadinya perdarahan, dari yang hanya merembes dari pembuluh darah kapiler, sampai perdarahan hebat bila mengenai pembuluh darah arteri atau vena yang besar. Dalam usaha menghentikan perdarahan, proses koagulasi dari darah harus terjadi dengan pengaturan yang sangat ketat, sehingga pembekuan darah hanya terjadi terbatas pada luka dan tidak sampai meluas ke pembuluh darah lain. Kerusakan pembuluh darah menyebabkan terpaparnya subendothelial, menyebabkan terikatnya zat prokoagulan dan akan mengaktivasi platelet. Aktifnya platelet akan memicu terjadinya reaksi berantai yang akhirnya akan menyebabkan terbentuknya sumbat platelet. Secara bersamaan aktifnya platelet ini akan menjadi pemicu interaksi faktor-faktor
36
pembekuan sehingga akan terbentuk suatu fibrin dari fibrinogen di sirkulasi. Jala fibrin ini akan terikat secara cross-linked dan akan memerangkap eritrosit dalam sirkulasi dan akan menambah platelet yang aktif yang akan menghasilkan suatu sumbat hemostatik yang kuat (Santoro dan Gaudino, 2005). Dalam hitungan menit setelah vasokontriksi sementara pembuluh darah yang dirangsang oleh faktor platelet, selanjutnya akan terjadi dilatasi dari pembuluh darah lokal sebagai efek dari koagulasi dan complement cascade. Complement cascade akan menghasilkan C3a dan C5a anaphylatoxin yang secara langsung akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan akan menarik neutrofil dan monosit ke daerah luka. Komponen komplemen ini juga merangsang pelepasan histamin dan leukotrien C4 dan D4 dari sel mast (Santoro dan Gaudino, 2005). Sel sel darah putih, diawali dengan neutrofil, diikuti oleh monosit dan protein plasma masuk ke daerah luka. Neutrofil yang masuk pertama kali membersihkan sisa sisa sel sel mati, benda asing, dan bakteri. Bagian komplemen yang teraktifasi membantu penghancuran bakteri melalui pembentukan membran komplek dan opsonisasi bakteri yang akan membantu proses fagositosis. (Adams dkk, 2008). Peranan utama dari neutrophil adalah untuk mensterilkan luka. Itulah sebabnya infiltrasi neutrophil pada awal luka akan lebih rendah pada luka operasi yang bersih dibandingkan pada luka yang terkontaminasi atau luka yang terinfeksi (Lorenz dan Longaker, 2001). Pada hari kedua sampai hari ketiga, populasi sel radang berubah didominasi oleh monosit. Sel sel monosit dalam sirkulasi ditarik dan berinfiltrasi
37
ke dalam luka. Hal ini menyebabkan monosit berdiferensiasi menjadi makrofag, dan bersama-sama dengan makrofag lokal mempercepat penutupan luka. Makrofag tidak hanya melanjutkan fagositosis jaringan dan bakteri yang mati, tetapi juga mensekresi berbagai growth factors. Growth factors ini mengaktivasi dan menarik sel endotelial lokal, fibroblas dan keratinosit untuk memulai tugasnya masing masing. Lebih dari 20 jenis sitokin dan growth factors berbeda yang diketahui disekresi oleh makrofag (Perdanakusuma, 2002). Kurangnya monosit dan makrofag menyebabkan perubahan drastis pada penutupan luka dengan akibat debridement yang tidak sempurna, proliferasi fibroblas yang terhambat, dan angiogenesis yang tidak adekuat. Makrofag adalah satu satunya sel radang yang merupakan syarat utama untuk perbaikan luka (Lorenz dan Longaker, 2001).
38
Tabel 2.1 Berbagai Macam Zat yang Dilepaskan Pada Daerah Luka Jenis Zat
Efek Biologis
Alpha granules Platelet-derived growth factor
Matrix deposition
Transforming growth factor-β
Matrix deposition
Transforming growth factor-α
Epithelialization
Insulin like growth factor-BP3
Matrix deposition
Platelet factor-4
Activation of growth factors
Β-Thromboglobulin
Activation of growth factors
Dense granules Adenosine diphosphate
Platelet agregation
Calcium
Platelet agregation
Serotonin
Vasoconstriction
Cytosol Von Willebrand factor VIII
Mediator of platelet adhesion
Fibronectin
Ligand for platelet aggregation
Fibrinogen
Ligand for platelet aggregation
Thrombospondin
Ligand for platelet aggregation
Factor V
Hemostasis
Platelet activating factor
Platelet activation
Thromboxane A2
Vasokonstrictor
39
Fase Proliferasi Fase proliferasi dimulai setelah respon akut dari hemostasis dan inflamasi mulai berhenti, ancang-ancang perbaikan luka mulai dilakukan dengan angiogenesis, Fibroplasia dan epithelialization. Pada fase ini ditandai dengan penyusunan jaringan granulasi yang terdiri dari anyaman kapiler, fibroblasts, makrofag, jaringan kolagen longgar, fibronektin dan asam hyaluronat (Leong dan Phillips, 2004). Fase ini biasanya dimulai sekitar hari ketiga yang ditandai dengan peningkatan drastis dari koloni sel dan produksi kolagen. Produksi kolagen sebenarnya telah dapat dideteksi mulai sepuluh jam setelah trauma, mencapai puncaknya pada hari ketujuh, dimana luka telah terisi penuh oleh jaringan kolagen dan produksi kolagen menurun (Lawrence dan Lowenstein, 2001). Banyaknya jaringan granulasi pada luka tergantung dari ukuran dan dalam dari luka, jika luka dibiarkan menyembuh secara sekunder. Luka yang besar perlu untuk diisi dengan jaringan granulasi sehingga sel epitel dari pinggir pinggir luka dapat bermigrasi dan membuat epitel baru pada luka. Akhirnya jaringan granulasi yang terdiri dari ikatan fibrin-fibronectin yang merupakan pembentuk bekuan darah bersama dengan jaringan pengganti sementara matriks luka yang terdiri dari proteoglikan, glikosaminoglikan, dan asam hyaluronat akan digantikan oleh kolagen, kapiler kapiler baru, berbagai sel radang dan fibroblas (Adams dkk, 2008). Pada luka yang dibiarkan menyembuh secara sekunder dan pada sebagian kecil luka yang menyembuh secara primer, akan mengalami fenomena yang disebut kontraksi luka. Kontraksi luka merupakan suatu proses dimana pinggir
40
pinggir luka dan kulit sekitarnya ditarik menuju ke pusat luka. Proses kontraksi luka ini biasanya terjadi sekitar minggu pertama setelah terjadinya luka, dan mencapai puncaknya pada hari ke sepuluh, dengan kecepatan sekitar 0,75 mm per hari. Proses ini merupakan cara yang paling efisien untuk mengurangi luas permukaan luka sehingga menurunkan kebutuhan pembentukan epitel untuk menutup luka (Lazarus dkk, 2004).
Fase Remodeling Walaupun terlihat bertolak belakang, ternyata degradasi kolagen terjadi bersamaan dengan pembentukannya supaya tercapai penutupan luka normal. Saat sintesis kolagen seimbang dan sebanding dengan derajat degradasi kolagen, saat ini lah dikatakan bahwa luka mengalami fase remodeling atau maturasi. Fase ini terjadi sampai beberapa bulan bahkan ada yang sampai tahunan terutama pada luka-luka yang besar dan dibiarkan menyembuh secara sekunder (Adams dkk, 2008). Kekuatan dari luka perlahan meningkat dengan didegradasinya kolagen tipe III yang terbentuk pada fase-fase awal, oleh MMPs dan secara perlahan digantikan dengan kolagen tipe I. Aktivitas dari MMPs sendiri diatur oleh TIMMPs (Tissue Inhibitors of matrix Metalloproteinase) sehingga keseimbangan dari sintesis, deposisi dan degradasi dari matriks ekstraselular dapat dipertahankan (Barbul, 2005). Setelah kolagen tipe I mulai terdapat pada luka dengan posisi sejajar dengan garis tekanan, maka kekuatan dari luka meningkat. Peningkatan kekuatan
41
ini paling cepat pada awal minggu ke enam, dan kemudian akan melambat tetapi akan tetap meningkat bahkan sampai tahunan. Kekuatan regangan dari luka mencapai 50% seperti kulit normal dalam waktu tiga bulan, dan akhirnya secara perlahan mencapai 80% pada akhir fase remodeling walaupun proses ini berjalan sangat lambat dan menghabiskan waktu sampai beberapa tahun. Jaringan parut yang awalnya berwarna kemerahan atau keunguan, akibat dari begitu banyaknya jumlah kapiler yang dikandungnya, secara perlahan berubah warna menjadi putih karena telah diserap kembali dan digantikan oleh kolagen tipe I. Hasil akhir dari fase penutupan luka ini adalah suatu jaringan parut yang kurang elastis, avascular dan rapuh yang sama sekali tidak terdapat jaringan kulit tambahan seperti folikel rambut dan kelenjar keringat serta tidak akan kembali melebihi 80% dari kekuatan regangan kulit normal yang tidak pernah terluka (Adams dkk, 2008).
2.3.3 Faktor Faktor Mempengaruhi Penutupan Luka Usia Faktor
penuaan
akan
menyebabkan
perubahan
fisiologis
yang
mengakibatkan terhambatnya atau terganggunya penutupan luka. Seiring peningkatan usia maka kolagen akan mengalami perubahan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kandungan kolagen di dermis menurun dan alami perubahan bentuk dan susunannya (Barbul, 2005). Penelitian pada hewan menunjukkan terjadinya penurunan re-epitelisasi, penurunan sintesa kolagen, terganggunya proses angiogenesis dengan penurunan jumlah berbagai growth factors. Selain itu seiring dengan usia didapatkan juga
42
reaksi inflamasi yang terganggu, terganggunya aktifitas makrofag sehingga menurunkan fagositosis serta terjadi hambatan infiltrasi dari makrofag dan β limfosit ke daerah luka (Leong dan Phillips, 2004).
Nutrisi Pentingnya peranan nutrisi dalam hal penutupan setelah suatu trauma telah diketahui sejak jaman Hippocrates. Penutupan luka merupakan suatu peristiwa anabolik yang menbutuhkan tambahan asupan nutrisi ekstra. Selain nutrisi seimbang, zat zat yang dibutuhkan untuk penutupan luka optimal diantaranya adalah protein yang berfungsi dalam hal sintesis kolagen. Berbagi vitamin dan trace mineral juga dibutuhkan untuk penutupan luka yang optimal, terutama adalah vitamin C, vitamin A, vitamin B6, zinc dan copper (Lorenz dan Longaker, 2001).
Hipoksia Tekanan oksigen yang rendah akan sangat mengganggu berbagai proses pada penutupan luka. Proses fibroplasia walaupun pada fase awal di stimulasi oleh kondisi lingkungan luka yang hipoksia, namun pada fase berikutnya akan terganggu jika kondisi luka tetap hipoksia. Pembentukan kolagen yang optimal juga membutuhkan oksigen yang memadai sebagai kofaktor, terutama pada fase hidroksilasi (Barbul, 2005). Pada kondisi hipoksia, energi yang berasal dari proses glikolisis mungkin memadai untuk memulai sintesis kolagen, tetapi oksigen sangat dibutuhkan pada
43
proses hidroksilasi prolin dan lysin untuk pembentukan formasi triple-helix dan cross-linked dari serat kolagen. Meskipun hipoksia akan merangsang suatu angiogenesis, tetapi proses penting pertautan serat kolagen akan sangat terhambat bila tekanan oksigen dibawah 40 mmHg. Tekanan oksigen optimal untuk sintesis kolagen diperlukan pada pinggir luka sementara bagian tengah luka tetap berada dalam kondisi hipoksia (Leong dan Phillips, 2004).
Steroid dan obat kemoterapi Penggunaan steroid baik topikal maupun sistemik akan mengganggu proses penutupan luka terutama jika diberikan pada 3 hari pertama setelah terjadinya luka (Lorenz dan Longaker, 2001). Pengaruh utama dari steroid adalah menghambat fase inflamasi dari penutupan luka (proses angiogenesis, migrasi dari neutrofil dan makrofag, dan proliferasi dari makrofag), serta menghambat pelepasan enzym lisosomal. Karena steroid menurunkan reaksi inflamasi, maka steroid bisa menurunkan daya tangkis terhadap bakteri dan meningkatkan resiko infeksi pada luka. Penggunaan steroid setelah 3 – 4 hari post trauma tidak akan mempengaruhi penutupan luka separah jika langsung diberikan post operatif (Barbul, 2005).
Penyakit metabolik Penyakit metabolik yang paling mempengaruhi peningkatan resiko infeksi dan kegagalan penutupan luka adalah diabetes mellitus. Diabetes yang tidak terkontrol akan menyebabkan kemunduran reaksi inflamasi, angiogenesis dan
44
sintesa kolagen.Selain itu gangguan pada pembuluh darah baik yang besar maupun perifer yang merupakan tanda dari diabetes fase lanjut, akan menyebabkan terjadinya lokal hipoksemia. Selain itu pada penderita diabetes terjadi juga gangguan fungsi dari granulosit, gangguan perkembangan kapiler, dan gangguan proliferasi dari fibroblast. Kegemukan, resistensi terhadap insulin, hiperglikemia, diabetic renal failure, semua memneri pengaruhnya masing masing terhadap kegagalan penutupan luka. Koreksi terhadap kadar gula darah sebelum dilakukan operasi pada penderita diabetes akan meningkatkan penutupan luka secara significan (Barbul, 2005).
Infeksi Infeksi pada luka terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh dan pertumbuhan bakteri (Lorenz dan Longaker, 2001). Infeksi akan memperpanjang fase inflamasi, mengganggu epitelisasi, kontraksi dan deposisi kolagen. Endotoksin yang dihasilkan akan merangsang fagositosis dan akan melepaskan kolagenase yang akan menyebabkan degradasi kolagen dan kerusakan pada jaringan normal sekitarnya (Lazarus dkk, 2004) Jika koloni bakteri pada luka melebihi 105 organisme per gram jaringan atau terdapat suatu infeksi dari streptokokus β hemolitikus maka luka tidak akan dapat menyembuh, hal ini berlaku juga pada penutupan luka dengan flap, penggunaan skin graft, atau pada luka yang dijahit primer (Leong dan Phillips, 2004).
45
2.3.4. Penatalaksanaan Luka Pernyataan dari Paracelcus (1433-1541), bahwa “Wounds and injuries heal according to certain laws, nature does not follow tou, you must follow nature”, masih sangat relevan sampai saat sekarang. Metode perawatan luka telah berkembang selama beberapa abad, terutama dari pengalaman empiris. Prinsip utama perawatan luka telah dikemukakan di Mesir sejak 1900 SM. Dan masih digunakan sampai saat ini yaitu : (Lippincolt, 2003) 1. Pembersihan luka (wound cleansing) 2. Penutupan luka (wound closure) 3. Perlindungan luka (coverage) Hal yang membedakan tekhnik perawatan luka yang lama dengan yang baru adalah pada material perawatan luka yang tersedia dan digunakan untuk mengupayakan kondisi ideal untuk proses penutupan luka (Myers, 2004). Penatalaksanaan luka secara umum adalah: (Wiseman dkk, 2002) 1. Penilaian luka 2. Preparasi luka 3. Penutupan luka 4. Dressing luka
46
Penilaian Pasien
Diagnosis Luka
Preparasi Dasar Luka
Kontrol Bakteri
Pengelolaan jar. Non Vital
Kontrol Eksudat
Antibiotika
Debridement
Absortif
Luka Telah Tereparasi
Penutupan Luka
Primer
Sekunder
Graft
Luka Sembuh
Gambar 2.3 Bagan Alur Penatalaksanaan Luka
Flap
47
Preparasi dasar luka Merupakan suatu proses pembuangan barrier untuk menyiapkan penutupan luka yang dapat dilakukan dengan cara melakukan debridement, bacterial balance dan exudat management (Falanga, 2001).
Debridement Debridement merupakan suatu usaha menghilangkan jaringan mati dan jaringan yang sangat terkontaminasi dari bed luka dengan mempertahankan secara maksimal struktur anatomi yang penting. Debridemen ini harus dilakukan baik pada luka akut maupun kronis. Tanpa debridement, proses penutupan luka tidak dapat dimulai. Terdapat empat tehnik debridement yaitu surgical, mechanical, autolytic, enzymatic dan biological debridement. (Baharestani, 2009). Surgical debridement atau disebut juga sharp debridement menggunakan peralatan seperti gunting, skalpel, kuret atau instrumen lain, disertai irigasi untuk membuang jaringan mati dari luka. Cara ini merupakan cara paling cepat dan efisien. Membuang jaringan non vital merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk kesuksesan pengelolaan luka. Pada luka akut sebelum membuang jaringan non vital perlu dilakukan penilaian tes vitalitas jaringan, dilakukan suatu split thickness skin excision (STSE) yang berfungsi baik diagnostik maupun terapi (Zip dkk, 2003). Mechanical debridement atau disebut juga gauze debridement, prinsip kerjanya adalah wet to drydressing. Luka ditutup dengan kassa yang telah dibasahi normal saline, setelah kering kassa akan melekat dengan jaringan yang
48
mati. Saat penggantian balutan maka jaringan mati akan ikut terangkat. Tindakan ini biasanya sebagai pelengkap surgical debridement. Autolytic debridement (invivo enzymes self digest devitalized tissue) merupakan suatu proses usaha tubuh untuk melakukan pembuangan jaringan mati. Pada luka akan muncul enzim yang berefek mencairkan jaringan non vital. Keadaan ini perlu dibantu dengan mempertahankan suasana luka supaya tetap lembab menggunakan penutup luka yang dapat mempertahankan kelembaban luka. Pada suasana lembab tubuh mampu membersihkan jaringan non vital. Produk produk yang dapat mempertahankan suasana lembab serta menjadikan autolytic debridement berhasil adalah hydrocolloid, transparant film, dan hydrogels. Bahan-bahan ini akan mengoptimalkan suasana untuk debridement oleh sel fagosit dan membuat suasana yang mampu melisiskan jaringan serta timbulnya jaringan granulasi (Kennedy dan Trich, 2001). Enzymatic debridement adalah suatu tehnik debridement menggunakan topical oinment. Topical oinment yang populer saat ini adalah kolagenase (santyl) yang telah digunakan secara luas. Enzym kolagenase adalah hasil fermentasi dari Clostridium histolyticum yang mempunyai kemampuan untuk mencerna kolagen dalam jaringan nekrotik. Kolagenase dapat membersihkan luka dari jaringan mati dan menjadikan bed luka siap untuk penutupan. Kolagenase terutama efektif untuk luka ulkus kronis seperti pressure ulcers, arterial ulcers, venous ulcers, diabetes ulcers dan juga luka bakar (Perdanakusuma, 2002). Biological debridement merupakan upaya debridement secara biological menggunakan larva sebagai Maggot Debridement Therapy(MDT). Larva yang
49
digunakan adalah Phaenicea sericata (green blow fly) yang mulai sering digunakan sejak perang dunia II.
Prosedur ini dapat membersihkan jaringan
nekrotik, membunuh bakteri dan stimulasi penutupan luka (Thomas, 2005). Faktor faktor yang penting sebagai pertimbangan dalam pemilihan metode debridement untuk pengelolaan luka adalah faktor kecepatan, kemampuan seleksi jaringan, nyeri luka, eksudat, infeksi dan biaya (Thomas, 2005).
Tabel 2.2 Faktor Faktor dalam Pemilihan Metode Debridement Faktor
Surgical
Enzymatic
Autolytic
Mechanical
Kecepatan
1
2
4
3
Selektivitas
2
1
3
4
Nyeri
4
2
1
3
Eksudat
1
4
3
2
Infeksi
1
3
4
2
Biaya
4
2
1
3
Catatan: 1 (Pilihan utama), 4(Kurang dipilih) (Falanga, 2008)
Infeksi bakteri Infeksi pada luka ditentukan oleh keseimbangan daya tahan tubuh pada luka dengan jumlah mikroorganisme. Bila jumlah mikroorganisme < 104/gram jaringan maka kemungkinan terjadi infeksi adalah 6%, bila >104/gram jaringan kemungkinan infeksi 89% sedangkan bila >105/gram jaringan hampir dapat dipastikan terjadi infeksi dan penutupan luka akan gagal, sehingga dalam hal ini
50
mungkin diperlukan pemberian antibiotika selain tindakan debridement (Perdanakusuma, 2002). Pada penelitian eksperimental menunjukan jumlah antara 105-106 organisme/gram di bed luka akan mengganggu penutupan luka. Ada pula beberapa kuman yang tidak tergantung jumlahnya dalam bed luka seperti streptococcus
bisa menimbulkan masalah walaupun terdapat dalam jumlah
sedikit (Dow dkk, 2001).
Exudate management Pengelolaan eksudat sangat penting dalam pengelolaan luka. Cara terbaik untuk melihat bed luka yang tidak sembuh pada luka kronik adalah dengan menilai jumlah eksudat. Pengelolaan eksudat dapat dilakukan secara direct dan indirect. Cara direct dilakukan dengan cara balut tekan disertai dengan highly absorbent dressing atau dengan sistem vacum mechanical. Bisa juga dengan pencucian dan irigasi dengan normal saline. Tindakan ini tidak hanya membuang eksudat dan sel debris, tetapi juga dapat menurunkan jumlah bakteri yang sering menyebabkan timbulnya eksudat berlebihan. Sedangkan cara indirect merupakan suatu prosedur yang ditujukan untuk mengurangi penyebab yang mendasari koloni bakteri yang ekstrim (Falanga, 2005).
51
Dressing luka Dressing luka bertujuan melindungi luka dari trauma dan infeksi Dalam kondisi yang lembab maka penutupan luka akan lebih cepat 35% dibandingkan pada suasana kering. Perawatan luka dalam suasana lembab akan membantu penutupan luka dengan memberikan suasana yang dibutuhkan untuk pertahanan lokal oleh makrofag, mempercepat angiogenesis dan mempercepat proses penutupan luka. Suasana yang lembab membuat suasana yang optimal untuk mempercepat penutupan dan memacu pertumbuhan jaringan. Perawatan luka tertutup akan didapatkan peningkatan migrasi dini epitel pada proses penutupan dibandingkan perawatan terbuka (Adams dkk, 2008).
Penutupan luka Penutupan luka dapat dilakukan bila keadaan luka sudah bersih dan tidak terinfeksi. Luka dapat menutup tanpa prosedur pembedahan (persecundum) dimana terjadi proses epitelialisasi. Selain itu dapat juga dilakukan penjahitan primer, atau dilakukan skin graft dan flap. Semua itu tergantung lokasi, besar defek dan tehnik yang dikuasai oleh ahli bedah (Preuss dkk, 2000).
2.4.
Bahan Penutup Luka
2.4.1 NaCl 0,9% Penutupan luka yang baik merupakan proses yang sangat penting didalam proses penyembuhan luka. Bahan penutup luka hendaknya bersifat inert, fisiologis terhadap tubuh dan murah (Bohdan dkk, 2009). Bahan penutup luka
52
juga harus mampu membuat suasana luka tetap lembab, karena pada suasana lembab secara fisiologis akan merangsang migrasi sel dan dan pembentukan bahan pembentuk jaringan yang akan mempercepat penyembuhan luka. Sampai saat ini pencarian bahan penutup luka yang efektif, murah dan mudah didapatkan masih terus dalam pencarian (Myers, 2004). Suasana luka dengan osmolaritas yang tinggi juga dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang mempercepat penyembuhan luka dan menurunkan jumlah pathogen. Normal saline sebagai bahan penutup luka merupakan salah satu bahan yang bersifat osmolaritas tinggi (Ayodeji dkk, 2006). Pemberian normal saline dalam kassa steril sebagai pembalut luka bersifat sangat ekonomis, mudah didapat dan tidak memiliki sifat sitotoksik. Selain itu penggunaan penutup luka lembab menggunakan normal saline juga memiliki keefektifan yang hampir sama dalam hal autolyttic debridement dibanding penutup luka lembab lainnya tetapi dengan keunggulan dalam hal kemudahan penggunaan, biaya dan kemudahan dalam perawatan luka. Penutupan luka dengan normal saline dalam kassa steril akan menjadi hiperosmolar saat mulai terjadinya evaporasi dari air pada kassa. Normal saline akan memiliki sifat anti inflamasi dan meningkatkan aliran darah lokal dengan mengurangi edema dengan cara menyerap cairan luka keluar dan mencegah luka menjadi basah yang akan mempercepat proses granulasi dan epitelisasi (Lim dkk, 2000). 2.4.2 TCDO Penelitian yang dilakukan oleh Dimethaid Research Inc pada 2002 menemukan suatu zat yang disebut Tetrachlorodecaoxide (TCDO). TCDO adalah
53
suatu senyawa yang mengandung chlorite dengan rumus kimia H2Cl4O11-4 ,dengan berat molekul 319,82g/mol dan dengan rumus bangun:
.
Cara kerja dari zat ini berkaitan dengan adanya komponen chlorooxygen,
hydrogen peroxide dan pemecahan molekul pada kehadiran dari suatu chelated iron (Fenton system) yang merupakan suatu oksidan pada proses biologi. Hemoglobin dari sel darah merah memiliki senyawa iron yang akan mengaktivasi TCDO. Karena kemampuannya mengoksidasi, TCDO dapat menghancurkan sebagian besar patogen walaupun sebenarnya bukanlah sejenis antibiotika. Zat ini ditujukan sebagai suatu imunomodulator yang bekerja dengan merangsang sistem kekebalan tubuh alami. Saat dikombinasikan dengan haem yang merupakan bagian dari haemoglobin, myoglobin dan peroksidase, akan membentuk suatu TCDO-haemo complex. Complex ini akan mempengaruhi aktivitas dari makrofag dan akan mempercepat proses fagositosis yang akan memakan sebagian besar pathogen dan sel debris yang muncul di permukaan luka. Hal ini akan membersihkan permukaan luka dan membantu mempercepat proses regenerasi (Giese dkk, 2004). TCDO juga bersifat mitogenic dan chemotactic. Rangsangan mitogenic akan meningkatkan 2 faktor, yaitu MDGF (Macrophage Derived Growth factor) dan WAF (Wound Angiogenesis Factor). MDGF akan menyebabkan terjadinya deposit dari fibroblast dan sintesis dari serat kolagen yang akan mengisi celah dari luka. WAF akan membantu pembentukan kapiler yang baru yang akan mempercepat proses penutupan. Rangsangan chemotactic akan bekerja pada
54
myocite (sel otot) dan akan menyebabkan kontraksi sehingga akan mendekatkan pinggiran luka dan memperkecil permukaan luka. Semua ini secara simultan akan mempercepat penutupan luka dengan pembentukan jaringan parut minimal (Santoro dan Gaudino, 2005). Produk prototipe dari TCDO yang diberi nama WF10 merupakan suatu dilusi 1:10 dari TCDO diformulasikan sebagai injeksi intravena. WF10 telah menunjukan penggunaan yang aman dan menjanjikan sebagai tambahan dalam terapi sistemik melawan suatu infeksi kronik pada pasien pasien dengan immunocompromised dan untuk menekan reaksi penolakan jaringan pada transplantasi. Pada penelitian ini kami ingin mendapatkan manfaat lebih dari TCDO pada perawatan lokal luka terbuka dengan full thickness skin loss. (Kemp dkk, 2002)
2.5 Tikus putih (Rattus norvegicus) Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan salah satu hewan percobaan yang paling sering digunakan dalam penelitian penelitian oleh karena memiliki strukturanatomi, fisiologi dan histologi organ yang secara sistematis hampir sama dengan organ manusia. Selain itu, tikus putih lebih mudah didapatkan, lebih mudah dipelihara, lebih cepat berkembang menjadi dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman dan umumnya lebih mudah berkembang biak.Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya (Gunter dan Dhand, 2002).
55
Klasifikasi tikus putih adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
Tikus dan manusia mempunyai jumlah gen pengkode protein yang sama, yaitu sekitar 30.000, dengan tingkat kemiripan sebesar 99%. Dalam sebuah penelitian oleh Dermitzakis yang langsung membandingkan urutan kromosom 21 pada manusia dengan kromosom pada tikus, didapatkan bahwa bahkan daerah kromosom yang
miskin gen menunjukkan kesamaan yang luas antara dua
organisme ini (Gunter dan Dhand, 2002). Umumnya berat tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35-40 gram, dan berat dewasa pada umur lima sampai enam bulan rata-rata adalah 200-250 gram. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 gram tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 gram. Dalam penelitian ini digunakan galur Wistar yaitu turunan galur albino dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala lebar, telinga panjang dan ekornya lebih pendek daripada badannya. (Gunter dan Dhand, 2002).
56
2.6 Penyembuhan luka pada tikus putih Tikus putih dan manusia mempunyai tingkat homologi yang tinggi. Sehingga dalam proses perbaikan luka,tikus putih memiliki fase-fase perbaikan luka yang sama dengan manusia, dengan aktivitas mediator yang juga sama (Sheid dkk, 2000). Fase pertama yaitu fase inflamasi, dimana terjadi reaksi vaskuler dan seluler akibat luka yang terjadi pada jaringan lunak. Pada fase ini terjadi penghentian perdarahan serta pembersihan daerah luka dari benda asing, sel-sel mati serta bakteri sebagai persiapan mulainya penyembuhan luka. Pada awal fase, kerusakan pembuluh darah menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai hemostasis. Platelet akan membentuk clot yang akan menutupi pembuluh darah yang rusak selain itu juga dilepaskan zat vasokonstriktor yang akan akibatkan vasokonstriksi pembuluh darah kapiler, dan akan terjadi penempelan endotel pada pembuluh darah (Hoyt dkk, 2007). Fase ini tidak berlangsung lama, setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler serta pelepasan vasodilator seperti histamin, serotonin dan sitokin. Histamin akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan luka menjadi asidosis. Eksudasi ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka selama dua sampai tiga hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag yang
57
berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses penyembuhan luka. Fase inflamasi dapat berlangsung sampai hari ketiga (Hoyt dkk, 2007). Fase berikutnya yaitu fase proliferasi. Peran fibroblas sangat besar pada fase ini, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan ikat. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berproliferasi serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam membangun jaringan baru. Akan terbentuk jaringan granulasi berupa sel-sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan. Selain itu juga akan terjadi angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh kapiler baru di dalam luka (Falanga dan Iwamoto, 2008). Setelah itu akan dimulai proses selanjutnya yaitu epitelisasi. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesis kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk (Hoyt dkk, 2007). Pada suatu penelitian menggunakan tikus putih, dilaporkan bahwa tiga hari setelah perlukaan, luka pada tikus putih sudah mulai mengalami pembentukan jaringan granulasi yang diikuti dengan reepitelisasi sehingga membuktikan fase
58
perbaikan luka terjadi secara tumpang tindih. Fibroplasia pada luka juga meningkat pada hari ke lima sampai ke tujuh (Kusmiati dkk, 2006). Fase selanjutnya yaitu Fase remodelling yang dimulai sekitar minggu kedua setelah perlukaan dan berakhir kurang lebih 12 bulan. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke sepuluh setelah perlukaan. Sintesis kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik (Sheid dkk, 2000). Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama, namun outcome atau hasil yang dicapai ternyata tidak sama dengan manusia, bahkan tidak sama untuk masing-masing individu tikus putih. Hal ini sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka (Hoyt dkk, 2007).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Luka
pada
kulit
memerlukan
perhatian
cukup
serius
dalam
penanganannya, apalagi luka yang terjadi adalah luka terbuka (full thickness skin loss). Karena pada luka terbuka efek proteksi kulit terhadap masuknya kuman menjadi hilang sehingga sangat rentan terjadi infeksi, apalagi bila disertai perawatan luka yang tidak maksimal. Ada banyak faktor yang menpengaruhi penutupan luka terbuka yang dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah umur, daya tahan tubuh, hormonal, jenis kelamin dan gen. Faktor eksternal yang utama berperanan adalah kontaminasi lingkungan, nutrisi, gaya hidup dan perawatan luka. Kerangka konsep penelitian ini didasarkan pada teori dan hasil penelitian bahwa luka terbuka (full thickness skin loss) memerlukan perhatian serius dalam perawatannya, karena memiliki resiko infeksi yang sangat tinggi akibat hilangnya efek proteksi dari kulit. Luka terbuka harus selalu berada dalam kondisi paling optimal untuk dapat terjadinya penutupan luka. Standar perawatan luka terbuka yang dilakukan adalah dengan membalut luka terbuka dengan mempergunakan kassa steril yang dibasahi dengan cairan fisiologis (saline 0,9%), dimana kassa diganti setiap hari dengan selalu membersihkan krusta krusta yang muncul. Standar perawatan luka full thickness adalah dengan menggunakan kompres kasa steril yang dibasahi dengan cairan fisiologis (NaCl 0,9%). Perawatan ini
59
60
bertujuan untuk menciptakan suasana lembab pada luka dengan kondisi sefisiologis mungkin untuk meningkatkan epitelisasi pada luka. Akan tetapi, sebagai bahan kompres luka larutan normal salin juga memiliki beberapa kelemahan, seperti relatif kurang praktis karena untuk mendapatkan hasil yang optimal larutan normal salin harus dihangatkan terlebih dahulu hingga mencapai suhu 37-42oC, tidak mempunyai efek antimikroba, kecepatan perbaikan luka lebih lambat dibandingkan bahan yang lain, tidak dapat digunakan terlalu lama sebagai kompres tertutup karena dapat menyebabkan difusi pasif yang berlebih dari cairan eksudat sehingga justru dapat menghambat pembentukan jaringan granulasi dan menyebabkan nyeri pada saat penggantian perban. Tetrachlorodecaoxide (TCDO) memiliki efek bakterisida terhadap kuman patogen melalui efek oksidasinya. Selain itu alasan penggunaannnya dalam penutupan luka adalah karena memiliki efek imunomodulasi yang bekerja dengan merangsang sistem kekebalan tubuh. Tingkat kesembuhan dari luka terbuka dapat dilihat dari terbentuknya jaringan granulasi, epitelisasi luka dan mulai menutupnya luka dari tepi luka.
61
3.2 Konsep Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka maka disusun kerangka konsep sebagai berikut:
Luka Terbuka Pada Kulit Tikus Tetrachlorodecaoxide (TCDO) Normal Saline
FAKTOR INTERNAL
Penutupan Luka Terbuka
Spesies Umur Jenis kelamin Berat badan
Keterangan:
-Persentase Penutupan Luka Hari III & VII -Waktu Penutupan Luka
Variabel kendali;
Variabel bebas;
FAKTOR EKSTERNAL
Lingkungan Nutrisi Gaya hidup Perawatan luka
Variabel tergantung
Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep
3.3 Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir dan konsep, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah : Kompres Tetrachlorodecaoxide (TCDO)
memberikan efek penutupan
luka lebih cepat dibandingkan kompres normal saline pada pengobatan luka terbuka dengan full thickness skin loss pada kulit tikus.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan pre post-test control group design dengan subyek tikus putih. Pada kelompok subyek penelitian dilakukan pengambilan sampel yang memenuhi persyaratan inklusi penelitian secara acak dan diberikan perlakuan pengobatan luka terbuka dan dilakukan pembalutan luka dengan kasa steril yang telah diberi kompres TCDO. Sedangkan pada kelompok kontrol perawatan luka dilakukan dengan kompres normal salin. Penyembuhan pada luka dengan full thickness skin loss dinilai dari terbentuknya jaringan granulasi yang diikuti epitelisasi dan kontraksi pada luka sehingga terjadi penutupan luka mulai dari tepi luka. Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :
O1 P
S
Kontrol (NS)
O3
R O2
TCDO
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian
62
O4
63
Keterangan: P : populasi. S : Sampel. R : Random. O1: Kondisi awal luka kelompok kontrol O2: Kondisi awal luka kelompok perlakuan O3: Kondisi luka kelompok kontrol yaitu persentase penutupan luka hari ke tiga, ke tujuh dan lamanya waktu penutupan luka (hari). O4: Kondisi luka kelompok perlakuan yaitu persentase penutupan luka hari ke tiga, ke tujuh dan lamanya waktu penutupan luka (hari).
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Variabilitas populasi Populasi pada penelitian adalah tikus putih yang sesuai dengan sampel yang telah ditentukan dalam penelitian
4.3.2 Kriteria subyek Sampel dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) dewasa, yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut:
64
Kriteria Inklusi: a) Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dan sehat. b) Umur 6 bulan karena umur mencit 6 bulan memiliki persamaan dengan manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan intrinsik. c) Berat 200-250 gram (Sheid, 2000). Kriteria Eklusi : Tikus putih tidak mau makan. Kriteria Drop Out: Tikus putih mati pada saat penelitian.
4.3.3 Besaran Sampel Besar sampel dihitung berdasarkan rumus Pocock (2008) yaitu: p1 x (100-p1) + p2 x (100-p2) n=
x f (α,β) 2
(p1 – p2)
35 x (100-35) + 78 x (100-75) n=
x 6,2 (35 - 75)
2
n = 13,85 ~ 14
Keterangan : n = besar sampel tiap kelompok p1 = proporsi penutupan luka pada kelompok subjek yang mendapat kompres NaCl p2 = perkiraan proporsi penutupan luka pada kelompok subjek yang mendapat kompres TCDO Dari hasil perhitungan di atas, didapatkan besar sampel sebesar 14 ekor, ditambahkan sebesar 10%, jadi sampel yang digunakan sebesar 16 sampel dalam satu kelompok.
65
4.3.4 Teknik penentuan sampel Teknik penentuan sampel penelitian dilakukan dengan cara berikut : a)
Dari populasi tikus putih (Rattus norvegicus) diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi.
b)
Dari sampel yang telah memenuhi syarat diambil secara random untuk mendapatkan jumlah sampel.
c)
Dari sampel yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi dua kelompok secara random yaitu kelompok kontrol (normal saline) dan
kelompok
Tetrachlorodecaoxide (TCDO).
4.4
Variabel Penelitian
4.4.1
Klasifikasi variabel
a) Variabel bebas: Kompres Tetrachlorodecaoxide (TCDO) dan kompres normal saline (NaCl 0,9%) b) Variabel tergantung: Persentase penutupan luka dan waktu penutupan luka, yang dihitung berdasar hari. c) Variabel kendali: spesies, jenis kelamin, umur, berat badan, lingkungan, nutrisi, gaya hidup dan tehnik perawatan luka pada tikus putih
4.4.2 Definisi Operasional Variabel 1.
Luka terbuka adalah luka buatan dengan full thicknes pada bagian punggung dengan mengambil epidermis, dermis dan subkutis menggunakan punch biopsy dengan diameter 8 mm dan kedalaman 3mm
66
2.
Perawatan luka adalah tindakan penanganan luka dengan pembersihan eksudat, pembersihan luka, evaluasi luka, pengompresan luka serta penutupan luka yang semuanya dilakukan dengan tehnik aseptik dan dilakukan setiap hari pukul 14.00-16.00 WITA.
3.
Kompres
TCDO
adalah
kompres
dengan
menggunakan
larutan
tetrachlorodecaoxide dengan kandungan 0,002% dalam kassa steril yang digunakan untuk menutup luka setelah luka dibersihkan dengan normal saline. 4.
Kompres normal saline adalah kompres luka dengan cairan fisiologis (normal saline 0,9%) dalam kassa steril yang digunakan untuk menutup luka setelah luka dibersihkan dengan normal saline.
5.
Evaluasi luka adalah pengukuran luka yang dilakukan secara digital, dimana luka difoto dengan menggunakan kamera digital setting makro pada jarak 20 cm tegak lurus dari luka. Dan dilakukan penghitungan lebar luka dengan menggunakan
Scion
program
Image
Release
Beta
4.0.2,
dengan
menggunakan komputer. 6.
Persentase penutupan luka adalah ukuran luka pada hari tertentu (x) dibandingkan pada hari ke 0, yang dihitung dengan rumus : Ukuran luka pd hari tertentu (mm2)
x 100 %.
2
Ukuran luka awal (mm ) Penghitungan persentase penutupan luka dihitung pada hari ke tiga dan ke tujuh.
67
7.
Waktu penutupan luka adalah waktu yang dibutuhkan luka untuk alami epitelisasi dan kontraksi luka sehingga sehingga terjadi penutupan luka total dari seluruh permukaan luka. Waktu dihitung dalam satuan hari.
4.5 Instrumen Penelitian 1. Timbangan digital (Merk: Camry) 2. Kandang tikus individual 3. Silet kuris untuk mencukur bulu tikus putih di daerah coba 4. Kasa steril dan larutan desinfektan 5. Punch out biopsy 6. Plester 7. Ketamin sebagai anestesi 8. Larutan normal salin 0,9 % 9. Larutan TCDO 10. Spuit 11. Kamera digital (merk Samsung GT, setting makro) 12. Buku dan alat tulis untuk pencatat data 13. Komputer untuk interpretasi dan pengolahan data
4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1 Persiapan sebelum penelitian 1. Menghubungi laboratorium yang terkait dan pihak yang membantu menyiapkan binatang percobaan.
68
2. Pemilihan sampel binatang percobaan sesuai kriteria inklusi yang telah ditetapkan. 3. Penyediaan kandang dan makanan untuk binatang coba. 4. Persiapan kelengkapan instrumen penelitian.
4.6.2 Pelaksanaan penelitian 1. Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) jenis kelamin jantan, umur lima sampai enam bulan dan rentang berat badan 225 sampai 255 gram, berjumlah 32 ekor. 2. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, berjumlah 16 ekor untuk tiap kelompok. 3. Tikus diadaptasi selama satu minggu dan dievaluasi jika ada tikus yang sakit atau mati. 4. Membuat luka buatan dengan full thickness skin loss berukuran 8 mm dan kedalaman 3 mm, pada setiap sampel. Dengan sebelumnya melakukan anestesi umum menggunakan ketamin dengan dosis 20 mg/kg berat badan secara intramuskular. Di daerah punggung dilakukan pencukuran bulu dan dilakukan pembuatan luka buatan full thickness skin loss dengan teknik aseptik dengan menggunakan alat punch biopsy. 5. Perawatan luka dilakukan setiap hari dengan teknik aseptik berupa debridement luka, dilakukan pengamatan dan dokumentasi luka dan setelah itu
69
dilakukan pengompresan luka dengan menggunakan larutan TCDO untuk Kelompok Perlakuan dan larutan normal salin untuk Kelompok Kontrol, dan dilakukan penutupan luka dengan menggunakan plester. 6. Pengamatan luka dilakukan dengan mengambil foto menggunakan kamera digital setting makro pada jarak 20 cm tegak lurus dari luka. 7. Dilakukan penghitungan terhadap persentasi penutupan luka pada hari ke tiga dan ke tujuh serta lamanya waktu yang dibutuhkan luka untuk mengalami penutupan luka total baik pada Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol. 8. Penghitungan persentasi penutupan luka dilakukan dengan komputer dengan menggunakan program Scion Image Release Beta 4.0.2 9. Hasil dibandingkan dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 21. 10. Setelah penelitian selesai tikus akan dipelihara, tidak dibunuh.
70
4.7 Alur Penelitian
Tikus putih
Prosedur steril
Luka terbuka Ø 8 mm (pre-test) Full thickness skin loss
TCDO
Kontrol (NS)
(post-test) Persentase penutupan luka Hari ke tiga Hari ke tujuh Waktu dibutuhkan untuk penutupan luka total
Gambar 4.2 Skema Alur Penelitian
71
4.8 Analisis Data Data yang didapatkan pada penelitian dianalisis sebagai berikut : 1.
Analisis Deskriptif
2.
Analisis Normalitas: Uji Normalitas data dengan Saphiro wilk Test untuk mengetahui rerata data sampel berdistribusi normal.
3. Analisis Inferensial : A. Dari penelitian didapatkan data persentase penutupan luka hari ke tiga dan ke tujuh terdistribusi normal dan dilakukan uji compare means dengan Independent-Samples t Test. B. Sedangkan pada waktu penutupan luka didapatkan data yang tidak terdistribusi normal, dan dilakukan uji Non Parametrik dengan MannWhitney Test
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan subjek penelitian tikus putih (Rattus norvegicus), berjumlah 32 ekor dengan jenis kelamin jantan dengan umur lima sampai enam bulan dan berat 242 sampai 255 gram. Subjek penelitian yang telah memenuhi syarat diambil secara acak sederhana untuk dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok Pertama adalah Kelompok Perlakuan setelah mendapat perawatan dan evaluasi luka dilakukan kompres luka dengan cairan TCDO. Kelompok ke dua adalah Kelompok Kontrol, di mana setelah mendapat perawatan dan evaluasi luka dilakukan kompres luka hanya dengan normal saline. Jumlah untuk tiap kelompok masing masing 16 ekor tikus putih. Setelah dilakukan adaptasi terhadap tikus putih selama satu minggu dan dilakukan pengamatan jika ada tikus yang sakit. Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya tikus yang sakit dan semua subjek penelitian bisa melanjutkan ke tahap penelitian berikutnya. Dilakukan penyiapan instrument penelitian (Gambar 5.1) dan pembuatan luka buatan dengan full thickness skin loss dengan teknik aseptik menggunakan punch biopsy untuk tiap subjek penelitian dengan diameter delapan milimeter dan kedalaman tiga milimeter (Gambar 5.2). Perawatan luka dilakukan setiap hari dengan teknik aseptik, dan dilakukan pengamatan perkembangan luka pada hari ke tiga dan ke tujuh (Gambar 5.3) dan penghitungan persentase penutupan luka dengan menggunakan program Scion Image- Release Beta 4.0.2. Pada hari ke delapan sudah didapatkan
72
73
penutupan luka total pada subjek Kelompok Perlakuan dan dilanjutkan dengan pengamatan lamanya waktu yang dibutuhkan seluruh luka untuk menutup total. Waktu dihitung dalam satuan hari. Data yang didapatkan kemudian dibandingkan antara Kelompok Kontrol dan
Kelompok Perlakuan dan dianalisa dengan
menggunakan program SPSS for Windows versi 21.
Gambar 5.1. Instrument Penelitian
Gambar 5.2. Luka full thickness dibuat di daerah punggung menggunakan punch biopsy ukuran diameter 0,8 cm dan kedalaman 0,3 cm
74
No Subyek
Hari ke-3 Perlakuan Kontrol
Hari ke-7 Perlakuan Kontrol
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Gambar 5.3. Perkembangan luka pada hari ketiga dan ketujuh pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
75
Selanjutnya akan diuraikan mengenai analisis deskriptif, uji normalitas data dan uji efek perlakuan.
5.1 Umur Tikus Pada Tiap Kelompok Data rerata umur tikus putih pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol, disajikan pada Tabel 5.1. Dilakukan uji normalitas data dengan uji shapiroWilk, diperoleh nilai p=0,255 pada Kelompok Perlakuan dan p=0,213 pada Kelompok Kontrol. Hal ini berarti data berdistribusi normal (p>0,05). Data yang berdistribusi normal, dilanjutkan uji komparasi antara kedua kelompok dengan uji independent t test dan didapatkan nilai p=0,878, Hal ini berarti umur tikus pada ke dua kelompok tidak berbeda secara bermakna (p>0,05).
Kelompok
Tabel 5.1 Rerata Umur Tikus Pada Tiap Kelompok dan Uji Normalitas Data (Shapiro-Wilk) n Mean Median Std. p (bulan)
Distribusi
Deviasi
Perlakuan
16
5,54
5,5
0,28
0,255
Normal
Kontrol
16
5,56
5,5
0,29
0,213
Normal
Keterangan: p= normalitas (Normal jika p>0,05)
5.2 Berat Badan Tikus Pada Tiap Kelompok Data rerata berat badan tikus putih pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol, disajikan pada Tabel 5.2. Dilakukan uji normalitas data dengan uji shapiroWilk, diperoleh nilai p=0,311 pada Kelompok Perlakuan dan p=0,070 pada
76
Kelompok Kontrol. Hal ini berarti data berdistribusi normal (p>0,05). Data yang berdistribusi normal, dilanjutkan uji komparasi antara kedua kelompok dengan uji independent t test dan didapatkan nilai p=0,928, Hal ini berarti berat badan tikus pada ke dua kelompok tidak berbeda secara bermakna (p>0,05).
Kelompok
Tabel 5.2 Rerata Berat Badan Tikus PadaTiap Kelompok dan Uji Normalitas Data (Shapiro-Wilk) n Mean Median Std. p (gram)
Distribusi
Deviasi
Perlakuan
16
249,19
249,5
4,10
0,311
Normal
Kontrol
16
251,28
250,0
3,70
0,070
Normal
Keterangan: p= normalitas (Normal jika p>0,05)
5.3 Persentase Penutupan Luka hari ke tiga dan hari ke tujuh pada tiap kelompok. Pada Kelompok Perlakuan didapatkan rerata persentase penutupan luka pada hari ke tiga sebesar 22,13% dan pada hari ke tujuh sebesar 94,85%. Sedangkan pada Kelompok Kontrol didapatkan penutupan luka pada hari ke tiga sebesar 14,85% dan pada hari ke tujuh sebesar 82,30%. Data disajikan pada Gambar 5.4.
77
100 90 80
Persentase
70 60 50
Perlakuan
94.85 82.3
40
Kontrol
30 20 10
22.13
14.85
0 Hari ketiga
hari ketujuh
Gambar 5.4 Persentase Penutupan Luka hari Ketiga dan Hari Ketujuh
Data persentase penutupan luka hari ke tiga, sebelum dilakukan analisis inferensial, dilakukan uji normalitas data dengan uji Saphiro-wilk didapatkan p=0,620 pada Kelompok Kontrol dan p=0,183 pada Kelompok Kontrol. Hal ini berarti data berdistribusi normal (p>0,05). Uji inferensial dengan uji Independent T test didapatkan nilai p=0,000. Ini berarti terdapat perbedaan bermakna persentase penutupan luka pada kedua kelompok (p<0,05). Data persentase penutupan luka pada hari ke tiga dan uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk disajikan pada Tabel 5.3
78
Tabel 5.3 Rerata Persentase Penutupan Luka Pada Hari Ketiga PadaTiap Kelompok dan Uji Normalitas Data (Shapiro-Wilk) Kelompok n Mean Median Std. P Distribusi (%)
(%)
deviasi
Perlakuan
16
22,13
22,05
0,03
0,620
Normal
Kontrol
16
14,85
14,6
0,04
0,183
Normal
Keterangan: p= normalitas (Normal jika p>0,05)
Persentase penutupan luka hari ke tiga, dilakukan uji normalitas data dengan uji Saphiro-wilk didapatkan p=0,192 pada Kelompok Kontrol dan p=0,700 pada Kelompok Kontrol. Hal ini berarti data berdistribusi normal (p>0,05). Uji Independent t test didapatkan nilai p=0,000. Ini berarti terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok (p<0,05). Data disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Rerata Persentase Penutupan Luka Pada Hari Ketujuh PadaTiap Kelompok dan Uji Normalitas Data (Shapiro-Wilk) Kelompok n Mean Median Std. p Distribusi (%)
(%)
Deviasi
Perlakuan
16
94,85
95,25
0,30
0,192
Normal
Kontrol
16
82,39
83,4
0,65
0,700
Normal
Keterangan: p= normalitas (Normal jika p>0,05)
79
5.4 Waktu Penutupan Luka pada tiap kelompok. Rerata waktu penutupan luka pada Kelompok Perlakuan adalah 8,81 hari sedangkan pada Kelompok Kontrol sebesar 10,44 hari. Data disajikan pada Gambar 5.5.
11 10.5 10
Waktu
9.5
Perlakuan
9
10.44
Kontrol
8.5 8.81
8 7.5
Gambar 5.5 Grafik Lamanya Waktu Penutupan Luka
Data lamanya waktu penutupan luka pada kedua kelompok dilakukan uji normalitas data dengan uji Saphiro-wilk, didapatkan pada Kelompok Perlakuan p=0,004 dan Kelompok Kontrol p=0,049, Dimana data tidak berdistribusi normal (Normal jika p>0,05).
Karena data tidak berdistribusi normal maka dilakukan
transformasi data dan dilanjutkan dengan tes normalitas kembali dengan uji Saphiro-
80
Wilk. Didapatkan pada Kelompok Perlakuan p=0,004 dan pada Kelompok Kontrol p=0,053, berarti data data tetap tidak berdistribusi normal. Data disajikan Tabel 5.5 Tabel 5.5 Waktu Penutupan Luka PadaTiap Kelompok dan Uji Normalitas Data (Shapiro-Wilk) Kelompok
n
Mean
Median
(Hari)
Std.
p
Deviasi
p
Keterangan
Trans
Perlakuan
16
8,81
9,00
0,75
0,004
0,004
Tidak normal
Kontrol
16
10,44
10,00
1,03
0,049
0,053
Tidak normal
Keterangan: p= normalitas (Normal jika p>0,05)
Karena data berdistribusi tidak normal, maka dilakukan analisis inferensial data dengan uji Mann-Whitney Test, didapatkan nilai p=0,000. Berarti terdapat perbedaan bermakna antara waktu penutupan luka antara Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol (p < 0,05).
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Subjek Penelitian Pada penelitian ini, digunakan subjek penelitian tikus putih dari spesies Rattus norvegicus. Tikus putih ini dipilih karena memiliki banyak keunggulan dibandingkan mamalia lain. Pertama, banyak gen tikus relatif mirip dengan gen manusia dengan tingkat kemiripan hampir mencapai 99%, sehingga memiliki struktur anatomi, fisiologis dan histologis sistem organ yang mirip dengan manusia. Kedua, diantara mamalia, kemampuan berkembangbiak yang sangat tinggi, sehingga lebih mudah didapatkan, lebih mudah dipelihara dan lebih murah. Ketiga, tikus berumur pendek (23 tahun), sehingga pada umur lima sampai enam bulan telah mencapai tingkat dewasa muda dan belum mengalami penuaan intrinsik, sehingga selain cepat untuk mendapatkan subjek dewasa yang siap untuk menjadi subjek penelitian, juga akan didapatkan efek terhadap perlakuan yang lebih cepat juga. Hal-hal inilah yang menyebabkan tikus putih sangat populer didunia penelitian dan juga digunakan pada penelitian ini.
6.2. Pengaruh Kompres TCDO dan Kompres Normal Salin Terhadap Penyembuhan Luka Banyak faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka, baik faktor intrinsik seperti usia, genetik, hormonal, penyakit metabolik, maupun faktor eksternal seperti,
luasnya
luka,
adanya
infeksi
81
serta
penatalaksanaan
luka.
82
Pada penelitian ini dilakukan kendali atas faktor internal yaitu spesies, umur, jenis kelamin dan berat badan, serta terhadap faktor eksternal yaitu lingkungan, nutrisi, gaya hidup serta teknik perawatan luka. Sehingga dari tahapan perawatan luka yang diteliti disini adalah bahan penutupan luka. Masih banyak kontroversi dan penelitian yang terus berjalan untuk mendapatkan bahan penutupan luka yang terbaik. Satu hal yang telah disepakati oleh para peneliti adalah pentingnya memelihara suasana lembab pada luka. Hal ini karena suasana lembab dibutuhkan oleh makrofag sebagai pertahanan lokal untuk mempercepat proses autolytic debridement, angiogenesis dan menstimulasi terbentuknya jaringan granulasi lebih dini sehingga terjadi epitelisasi yang lebih cepat. Suasana luka yang lembab merupakan suasana yang optimal untuk mempercepat penutupan luka serta memacu pertumbuhan jaringan. Pada perawatan luka tertutup dengan suasana steril yang lembab akan didapatkan peningkatan migrasi dini epitel pada proses penyembuhan luka dibandingkan dengan perawatan terbuka (Santoro dan Gaudino, 2005). Bahan standar yang umum digunakan saat ini adalah kompres NaCl, yang telah terbukti mampu mempertahankan kelembaban luka dan meningkatkan penyembuhan luka sebesar 35% dibandingkan suasana kering (Falanga dan Iwamoto, 2008). Madu juga telah luas diteliti sebagai bahan penutup luka dan memiliki efek antibiotika, efek menyerap eksudat serta efek pelumas untuk pertahankan kelembaban luka (Barbul 2005). Tetapi penggunaannya kurang populer dikalangan medis modern oleh karena tidak adanya madu yang terstandar
83
internasional untuk
bisa digunakan sebagai standar medis penutupan luka
(Wiseman dkk, 2002). Penggunaan antibiotika topikal juga telah diteliti dan memberi hasil yang tidak berbeda bermakna dengan pemakaian kompres NaCl, dan terdapat kelemahan antibiotika topikal untuk mempertahankan kelembaban topikal dan kemungkinan terjadi reaksi alergi dan resistensi kuman dalam pemakaian jangka panjang. Hal semakin membatasi penggunaan antibiotika topikal didalam pengobatan luka terbuka (Bohdan dkk, 2009). Senyawa Chlorhexidine juga telah diteliti sebagai senyawa yang baik untuk kompres luka, karena efek antiseptik yang dimiliki. Tetapi dari penelitian didapatkan hasil yang sama dibandingkan bila dikompres NaCl, dan memiliki kekurangan berupa iritasi jaringan serta kemungkina alergi (Ayodeji dkk, 2006). Senyawa Tetrachlorodecaoxide (TCDO)pertama kali diperkenalkan pada tahun 2002 dan mulai diperkenalkan sebagai injeksi intravena dan terbukti aman digunakan sebagai terapi sistemik pada kondisi pasien dengan kanker serviks (Veerasarn dkk, 2004), immunocompromised (Raffanti dkk, 2003) dan untuk menekan reaksi penolakan jaringan pada transplantasi (Kemp dkk, 2002). Senyawa TCDO ini sebenarnya memiliki empat efek utama yaitu efek oksidasi sehingga mampu menghancurkan sebagian besar patogen, Efek imunomodulator yang merangsang aktivitas makrofag dalam proses fagositosis, Efek mitogenic yang akan merangsang pembentukan kolagen, fibroblast serta pembentukan
kapiler-kapiler
baru,
serta
efek
chemotactic
meningkatkan kontraksi dan penutupan luka (Kemp dkk, 2002).
yang
akan
84
Penelitian ini membuktikan TCDO mampu untuk memberikan penutupan luka terbuka yang lebih besar dan lebih cepat dibandingkan kompres NaCl. Sehingga sangat menjanjikan untuk bisa digunakan sebagai alternatif kompres luka dengan keuntungan berupa, kemampuan penutupan luka terbuka yang lebih besar, waktu penutupan yang lebih cepat, resiko infeksi yang lebih kecil, secara sosial ekonomi hal ini akan menguntungkan karena akan mempercepat pasien untuk bisa kembali ke aktifitas normal dengan menurunkan angka long of stay di rumah sakit.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemakaian kompres TCDO untuk perawatan luka terbuka dengan full thickness skin loss pada kulit tikus putih (Rattus norvegicus) didapatkan persentase penutupan luka yang lebih besar pada hari ketiga dan hari ketujuh, serta waktu penutupan luka yang lebih cepat dibandingkan dengan kompres normal salin pada tikus putih.
7.2 Saran Beberapa saran yang perlu dipertimbangkan berdasarkan hasil penelitian ini adalah: 1. Perlu ada penelitian lanjutan dengan subjek manusia yang mengalami luka full thicknes skin loss untuk lebih mengetahui efektivitas dari kompres TCDO terhadap penyembuhan luka. 2. Kompres TCDO dapat dipertimbangkan sebagai alternatif didalam perawatan luka terbuka terbuka dengan full thickness skin loss untuk pasien sehari-hari.
85
DAFTAR PUSTAKA
Adams, C.A., Biffl, W.L., Cioffi, W.G. 2008. Wounds, Bites, and Stings. In: feliciano, D.V., Mattox K.L., Moore E.E., editors. Trauma. 7th. Ed. New York: McGraw-Hill. p. 1029-1048. Ayodeji, A.S., Innocent, O.I., Olatunde, O.O. 2006, A comparison of the effect of chlorhexidine, tap water and normal saline on wound healing, Int J Morphol;24.p.673-676. Baharestani, M. 2009. The clinical relevance of debridement. In: Bahrestani,M., Goltrup,F.,Holstein,P.,Vansceidt,W. Editors. The Clinical Relevance of Debridement. Berlin: Springer-Verlag .p.97-99 Barbul, A. 2005. Wound Healing. In: Brunicardi,F.C., Anderson,D.K., Billir,T.R., Dunn,D.L., Hunter,J.G., Pollock,R.E., editors. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th. Ed. New York: McGraw-Hill. p.223-246. Bohdan,P., Tobias, H. Elof,E., 2009. Wound Management in:Bahman,G., Elof,e., John,AP. Editors. Plastic Surgery. 1st ed. Philadelphia: Saunders Elseivier.p.31-32 Dow, G., Browne, A., Sibbald, R.G. 2001. Infection in chronic wounds: Controversies in diagnosis and treatment. Wound Management, 45: 2340 Falanga, V.2001. Introducing the concept of wound bed preparation. Int Forum Wound Care;16(Suppl.1):1- 4 Falanga, V., Iwamoto, S. 2008. Wound Repair: Mechanism and Practical consideration. In: Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Ed. New York: McGraw-Hill. p. 2342-2349. Falanga,V. 2005. Wound Bed Preparation, Juli. URL:http://www.by.edu/woundbiotech/index.html
86
Available
from:
87
Fowler, E. 2000. Chronic Wounds: an Overview. In: Krasner D, editor. Chronic Wound Care: A Clinical Sourcebook for Healthcare Professional Pennsylvania: Health Management Publications Inc. Giese,T., McGrath,M.S., Stumm,S., Schempp,H., Elstner,E. 2004.Differential effects on innate versus adaptive immune responses by WF10. Cell Immunol; 229(Suppl.2): 149-158 Gunter,
C., Dhand, R. 2002. doi:10.1038/420509a.
The
Mouse
Genome.
Nature
420;
Hoyt, R.F., Hawkins, J.V, St. Claire, M.B., Kennett, M.B. Mouse Physiology. 2007. In: Fox, J.G., Barthold, S.W., Davisson, M.T., Newcomer, C.E., Quimby, F.W., Smith, A.L. The Mouse in Biomedical Research. 2nd Ed. California: Elsevier. p. 23-91. .Kemp,K., Dieperink,H., Hansen,A., Horn,T., Johansen,A. 2002. Immunosuppression in xenotransplantation with Wf10. Pharmacol Toxicol; 90(Suppl.6): 346-348. Kennedy,K.L., Trich,D.L. 2001. Debridement, in:Krasner,D., Kane,D., editors. Chronic Wound Case: a Clinical Source Book for Healthcare Professionals. 2nd ed.Pennyslavania: Health Management Publications Inc.p.227-235 Kochevar, I.E., Taylor, C.R., Krutmann,. 2008. Disorder Due To Ultraviolet Radiation. In: Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest B.A., Paller, A.S., Jeffell, D.J., editors. Fitzpatrick’sDermatology in General Medicine. 7th edition volume 1. Amerika Serikat : Mc-Graw-Hill, Inc. p. 59-63, 383-384, 797-799. Kusmiati, Rachmawati, F., Siregar, S., Nuswantara, S., Malik, A. 2006. Produksi Beta-1,3 Glukan Dari Agrobacterium Dan Aktivitas Penyembuhan Luka Terbuka Pada Tikus Putih. Makara, Sains, April; 10 (1): 24-29. Lawrence, W.T., Lowenstein,A. 2001. Wounds: Biology, Pathology, and management. In: Norton,J.A., Bollinger,R.R., Chang,A.E., Lowry,S.F., Mulvihill,S.J., Pass,H.I., Thompson,R.W., editors. Surgery:Basic Science and Clinical Evidence. 2th. Ed. New York: Springer-Verlag. P.221-236. Lazarus, G.S., Cooper D.M., Knighton D.R. 2004. Definition and guidelines for assesment of Wounds and Evaluation of Healing. Arch Dermatol, 130(4): 489-93.
88
Leong M., Phillips L.G., 2004. Wound Healing. In: Beauchamp, R.D., Evers, B.M., Mattox,K.L., editors. Sabiston Textbook of Surgery. 17th. Ed. Philadelphia: Elsevier.p.182-204. Lim, J.K., saliba,L.,Smith,M.J., 2000, Normal saline wound dressing-Is it really normal? BrJ Plast Surg;53.p.42-45 Lippincolt,W. 2003. Wound Care Made Incredible easy. Philadelphia: Lippincolt Williams, wilkin.p. 71-126. Lorenz,H.P., Longaker,M.T. 2001. Wounds: Biology, Pathology, and management. In: Norton,J.A., Bollinger,R.R., Chang,A.E., Lowry,S.F., Mulvihill,S.J., Pass,H.I., Thompson,R.W., editors. Surgery: Basic Science and Clinical Evidence. 2th. Ed. New York: Springer-Verlag. P.221-236. Melton, J. L., Swanson, J.R.1996. Anatomy and Histology of Normal Skin. [cited2009August.3].Availablefrom:http://www.meddean.luc.edu/lumen/ MedEd Myers,B.A., 2004, Wound management principles and practice, new Jersey (NJ), Pearson education inc, p. 80-81 Perdanakusuma,D.S., 2002. Enzymatic debridement. Jurnal bedah plastik Indonesia; 1(Suppl.1): 1-2 Pocock, S. J. (2008). Clinical trials: a practical approach. Chichester: Wiley. Preuss, S., Breuing,K.H., Eriksson,E. 2000. Plastic surgery techniques . In:Achauer,B.M., Erickson,E., Guyuron,B., Coleman,J.J., Russell,R.C., Vanderkolk,C.A., editors. Plastic Surgery Indications, Operations, and Outcomes. St.Louis: Mosby A Harcourt Health Sciences Company.p.147-161 Raffanti, S.P., Schaffner,W., Federspiel,C.F., Blackwell,R.B., Ching,O.A. 2003. Randomized, double-blind, placebo-controlled trial of the immune modulator WF10 in patients with advanced AIDS. Infection ;26(Suppl.4): 202-207 Santoro, M.M., Gaudino,G. 2005. Cellular and Molecular facets of Keratinocytes Reepithelization during Wound Healing. Experimental Cell Research 304 : 274. Sheid, A., Meuli, M., Gassmann, M., Wenger, R.H. 2000. Genetically Modified Mouse Models In Studies On Cutaneous Wound Healing. Experimental Physiology, 85; 687-704.
89
Sjamsuhidayat, R. Jong, W.D. 2005. Luka. In Sjamsuhidayat, R. Jong, W.D Karnadiharja, W. Prasetyono, T . editors. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. Jakarta: EGC. P. 314-17 Thomas,S. 2005. Introduction to Maggot Therapy, Jan’ Available from: URL:http://www.larve.com.maggot_manual. Veerasarn, V., Khorprasert,C., Lorvidhaya,V., Sangruchi,S., Tantivatana,T. 2004. Reduced recurrence of late hemorrhagic radiation cystitis by WF10 therapy in cervical cancer patients. a multicenter, randomized, two-arm, open-label trial. Radiother Oncol ;73(Suppl.2): 179-185. Wiseman, D.M., Rovee, D.T., Alvare, O.M. 2002. Wound Dressings: design and use. In:Cohen, I.K., Diegelman, R.F., Linbald, W.J. editors. Wound Healing Biochemical and Clonical aspect. Philadelphia: WB saunders Company.p.562-580 Zip, I., Zeligowski, A., Mosheiff, R. 2003. Split thickness skin excision in severe open fractures. K Bone Joint Surg , 70B: 23-26
90
Lampiran 1 Analisa Deskriptif Normalitas dan Uji kemaknaan Data Umur dan Berat badan Tikus EXAMINE VARIABLES=Umur BB BY TCDO /PLOT BOXPLOT STEMLEAF NPPLOT /COMPARE GROUPS /STATISTICS DESCRIPTIVES /CINTERVAL 95 /MISSING LISTWISE /NOTOTAL.
Explore Notes Output Created
25-JAN-2014 09:32:15
Comments Data
Input
C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav
Active Dataset
DataSet1
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
32
File User-defined missing values for Definition of Missing
dependent variables are treated as missing.
Missing Value Handling
Statistics are based on cases with no Cases Used
missing values for any dependent variable or factor used. EXAMINE VARIABLES=Umur BB BY TCDO /PLOT BOXPLOT STEMLEAF NPPLOT
Syntax
/COMPARE GROUPS /STATISTICS DESCRIPTIVES /CINTERVAL 95 /MISSING LISTWISE /NOTOTAL. Processor Time
00:00:01.56
Elapsed Time
00:00:01.55
Resources
91
[DataSet1] C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav
TCDO Case Processing Summary TCDO
Cases Valid N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Tidak
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Ya
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Tidak
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Ya
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Umur
BB
Descriptives TCDO
Statistic Mean
5.5469
95% Confidence Interval for
Lower Bound
5.3914
Mean
Upper Bound
5.7024
5% Trimmed Mean
5.5521
Median
5.5000
Variance Tidak
Std. Error .07295
.085
Std. Deviation
.29182
Minimum
5.00
Maximum
6.00
Range
1.00
Umur Interquartile Range
.50
Skewness
-.125
.564
Kurtosis
-.777
1.091
5.5625
.07034
Mean
Ya
95% Confidence Interval for
Lower Bound
5.4126
Mean
Upper Bound
5.7124
5% Trimmed Mean
5.5694
Median
5.5000
92
Variance
.079
Std. Deviation
.28137
Minimum
5.00
Maximum
6.00
Range
1.00
Interquartile Range
.44
Skewness Kurtosis Mean
Tidak
-.241
.564
-.398
1.091
249.31
.925
95% Confidence Interval for
Lower Bound
247.34
Mean
Upper Bound
251.28
5% Trimmed Mean
249.40
Median
250.00
Variance
13.696
Std. Deviation
3.701
Minimum
243
Maximum
254
Range
11
Interquartile Range
8
Skewness
-.490
.564
Kurtosis
-1.158
1.091
Mean
249.19
1.026
BB
Ya
95% Confidence Interval for
Lower Bound
247.00
Mean
Upper Bound
251.37
5% Trimmed Mean
249.26
Median
249.50
Variance
16.829
Std. Deviation
4.102
Minimum
242
Maximum
255
Range Interquartile Range
13 7
Skewness
-.445
.564
Kurtosis
-.873
1.091
93
Tests of Normality a
TCDO
Kolmogorov-Smirnov Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Tidak
.194
16
.108
.926
16
.213
Ya
.185
16
.146
.931
16
.255
16
*
.896
16
.070
*
.937
16
.311
Umur Tidak
.176
.200
BB Ya
.136
16
.200
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
T-TEST GROUPS=TCDO(1 0) /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=Umur BB /CRITERIA=CI(.95).
T-Test Notes Output Created
25-JAN-2014 09:35:52
Comments Data
Input
C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav
Active Dataset
DataSet1
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
32
File Missing Value Handling
Definition of Missing
User defined missing values are treated as missing.
94
Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-
Cases Used
range data for any variable in the analysis. T-TEST GROUPS=TCDO(1 0) /MISSING=ANALYSIS
Syntax
/VARIABLES=Umur BB /CRITERIA=CI(.95). Processor Time
00:00:00.00
Elapsed Time
00:00:00.00
Resources
[DataSet1] C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav
Group Statistics TCDO
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Ya
16
5.5625
.28137
.07034
Tidak
16
5.5469
.29182
.07295
Ya
16
249.19
4.102
1.026
Tidak
16
249.31
3.701
.925
Umur
BB
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of
t-test for Equality of
Variances
Means
F Equal variances assumed Umur
Sig. .062
t .805
Equal variances not
df .154
30
.154
29.960
-.090
30
-.090
29.687
assumed Equal variances assumed BB
.113
.739
Equal variances not assumed Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
95
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error
95% Confidence
Difference
Interval of the Difference Lower
Equal variances assumed
.878
.01563
.10134
-.19134
Equal variances not assumed
.879
.01563
.10134
-.19135
Equal variances assumed
.928
-.125
1.381
-2.946
Equal variances not assumed
.928
-.125
1.381
-2.947
Umur
BB
Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Upper Equal variances assumed
.22259
Equal variances not assumed
.22260
Umur Equal variances assumed
2.696
Equal variances not assumed
2.697
BB
96
Lampiran 2 Analisa Deskriptif Normalitas Data Persentase Penutupan Luka Hari ketiga, ketujuh dan Waktu Penutupan Luka EXAMINE VARIABLES=Hari3 Hari7 Waktu_Penutupan BY TCDO /PLOT BOXPLOT NPPLOT /COMPARE GROUPS /STATISTICS DESCRIPTIVES /CINTERVAL 95 /MISSING LISTWISE /NOTOTAL.
Explore Notes Output Created
25-JAN-2014 09:45:51
Comments Data
Input
C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav
Active Dataset
DataSet1
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
32
File User-defined missing values for Definition of Missing
dependent variables are treated as missing.
Missing Value Handling
Statistics are based on cases with no Cases Used
missing values for any dependent variable or factor used. EXAMINE VARIABLES=Hari3 Hari7 Waktu_Penutupan BY TCDO /PLOT BOXPLOT NPPLOT /COMPARE GROUPS
Syntax
/STATISTICS DESCRIPTIVES /CINTERVAL 95 /MISSING LISTWISE /NOTOTAL. Processor Time
00:00:02.23
Elapsed Time
00:00:02.20
Resources
97
[DataSet1] C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav
TCDO Case Processing Summary TCDO
Cases Valid N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Tidak
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Ya
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Tidak
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Ya
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Tidak
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Ya
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Hari3
Hari7
Waktu_Penutupan
Descriptives TCDO
Statistic Mean
.14856
95% Confidence Interval for
Lower Bound
.12771
Mean
Upper Bound
.16942
5% Trimmed Mean
.14779
Median
.14600
Variance Tidak
Hari3
Std. Error .009785
.002
Std. Deviation
.039141
Minimum
.098
Maximum
.213
Range
.115
Interquartile Range
.075
Skewness
.248
.564
Kurtosis
-1.308
1.091
Mean
.22138
.007665
95% Confidence Interval for
Lower Bound
.20504
Mean
Upper Bound
.23771
Ya 5% Trimmed Mean
.22019
Median
.22050
Variance
.001
98
Std. Deviation
.030661
Minimum
.177
Maximum
.287
Range
.110
Interquartile Range
.051
Skewness
.375
.564
-.390
1.091
.82394
.016357
Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for
Lower Bound
.78907
Mean
Upper Bound
.85880
5% Trimmed Mean
.82660
Median
.83400
Variance Tidak
.004
Std. Deviation
.065426
Minimum
.704
Maximum
.896
Range
.192
Interquartile Range
.120
Skewness Hari7
-.497
.564
Kurtosis
-1.174
1.091
Mean
.94856
.007683
95% Confidence Interval for
Lower Bound
.93219
Mean
Upper Bound
.96494
5% Trimmed Mean
.94918
Median
.95250
Variance Ya
.001
Std. Deviation
.030731
Minimum
.898
Maximum
.988
Range
.090
Interquartile Range
.051
Skewness Kurtosis Mean
Waktu_Penutupan
Tidak
-.196
.564
-1.390
1.091
10.44
.258
95% Confidence Interval for
Lower Bound
9.89
Mean
Upper Bound
10.99
5% Trimmed Mean
10.43
Median
10.00
99
Variance
1.063
Std. Deviation
1.031
Minimum
9
Maximum
12
Range
3
Interquartile Range
1
Skewness Kurtosis Mean
Ya
.191
.564
-.945
1.091
8.81
.188
95% Confidence Interval for
Lower Bound
8.41
Mean
Upper Bound
9.21
5% Trimmed Mean
8.79
Median
9.00
Variance
.563
Std. Deviation
.750
Minimum
8
Maximum
10
Range
2
Interquartile Range
1
Skewness Kurtosis
.334
.564
-1.004
1.091
Tests of Normality TCDO
a
Kolmogorov-Smirnov Statistic
Tidak
.141
df
Sig. 16
Hari3 Ya Hari7
.121
Shapiro-Wilk
16
Statistic
df
Sig.
*
.922
16
.183
*
.958
16
.620
*
.200 .200
Tidak
.171
16
.200
.896
16
.070
Ya
.141
16
.200
*
.924
16
.192
Tidak
.227
16
.027
.886
16
.049
Ya
.236
16
.018
.809
16
.004
Waktu_Penutupan
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
100
Lampiran 3 Transformasi Data dan analisa Deskriptif Normalitas dan Uji kemaknaan Data waktu Penutupan Luka EXAMINE VARIABLES=trans_waktu BY TCDO /PLOT BOXPLOT NPPLOT /COMPARE GROUPS /STATISTICS DESCRIPTIVES /CINTERVAL 95 /MISSING LISTWISE /NOTOTAL.
Explore Notes Output Created
25-JAN-2014 10:50:20
Comments Data
Input
C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav
Active Dataset
DataSet1
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
32
File User-defined missing values for Definition of Missing
dependent variables are treated as missing.
Missing Value Handling
Statistics are based on cases with no Cases Used
missing values for any dependent variable or factor used. EXAMINE VARIABLES=trans_waktu BY TCDO /PLOT BOXPLOT NPPLOT /COMPARE GROUPS
Syntax
/STATISTICS DESCRIPTIVES /CINTERVAL 95 /MISSING LISTWISE /NOTOTAL.
Resources
Processor Time
00:00:00.73
101
Elapsed Time
00:00:00.73
[DataSet1] C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav
TCDO Case Processing Summary TCDO
Cases Valid N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Tidak
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Ya
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
trans_waktu
Descriptives TCDO
Statistic Mean
1.0166
95% Confidence Interval for
Lower Bound
.9938
Mean
Upper Bound
1.0394
5% Trimmed Mean
1.0166
Median
1.0000
Variance Tidak
Std. Error .01071
.002
Std. Deviation
.04284
Minimum
.95
Maximum
1.08
Range
.12
Interquartile Range
.04
trans_waktu Skewness
Ya
.039
.564
Kurtosis
-.947
1.091
Mean
.9436
.00917
95% Confidence Interval for
Lower Bound
.9241
Mean
Upper Bound
.9632
5% Trimmed Mean
.9428
Median
.9542
Variance Std. Deviation
.001 .03668
102
Minimum
.90
Maximum
1.00
Range
.10
Interquartile Range
.05
Skewness Kurtosis
.224
.564
-1.145
1.091
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova
TCDO
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Tidak
.213
16
.050
.889
16
.053
Ya
.241
16
.014
.809
16
.004
trans_waktu
a. Lilliefors Significance Correction
NPAR TESTS /M-W= Waktu_Penutupan BY TCDO(1 0) /MISSING ANALYSIS.
NPar Tests Notes Output Created
25-JAN-2014 10:50:51
Comments Data
Input
C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav
Active Dataset
DataSet1
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
32
File Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing values are treated as missing.
103
Statistics for each test are based on all Cases Used
cases with valid data for the variable(s) used in that test. NPAR TESTS /M-W= Waktu_Penutupan BY TCDO(1
Syntax
0) /MISSING ANALYSIS. Processor Time
Resources
00:00:00.02
Elapsed Time
00:00:00.01 a
Number of Cases Allowed
112347
a. Based on availability of workspace memory.
[DataSet1] C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav
Mann-Whitney Test
Ranks TCDO
Waktu_Penutupan
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Tidak
16
22.72
363.50
Ya
16
10.28
164.50
Total
32
a
Test Statistics
Waktu_Penutup an Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] a. Grouping Variable: TCDO
28.500 164.500 -3.870 .000 .000b
104
b. Not corrected for ties.
0Lampiran 4 analisa Uji kemaknaan Data Persentase Penutupan Luka Hari Ketiga dan Ketujuh T-TEST GROUPS=TCDO(1 0) /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=Hari3 Hari7 /CRITERIA=CI(.95).
T-Test Notes Output Created
25-JAN-2014 11:40:39
Comments Data
Input
C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav
Active Dataset
DataSet1
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
32
File Definition of Missing
User defined missing values are treated as missing. Statistics for each analysis are based
Missing Value Handling Cases Used
on the cases with no missing or out-ofrange data for any variable in the analysis. T-TEST GROUPS=TCDO(1 0) /MISSING=ANALYSIS
Syntax
/VARIABLES=Hari3 Hari7 /CRITERIA=CI(.95). Processor Time
00:00:00.00
Elapsed Time
00:00:00.00
Resources
105
[DataSet1] C:\Users\Orthopaedi Bali\Desktop\Data Sagitha.sav Group Statistics TCDO
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Ya
16
.22138
.030661
.007665
Tidak
16
.14856
.039141
.009785
Ya
16
.94856
.030731
.007683
Tidak
16
.82394
.065426
.016357
Hari3
Hari7
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of
t-test for Equality of
Variances
Means
F Equal variances assumed Hari3
Sig. 1.209
t .280
Equal variances not
df
5.858
30
5.858
28.374
6.896
30
6.896
21.311
assumed Equal variances assumed Hari7
11.613
.002
Equal variances not assumed
Independent Samples Test t-test for Equality of Means Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error
95% Confidence
Difference
Interval of the Difference Lower
Hari3
Equal variances assumed
.000
.072813
.012430
.047427
Equal variances not
.000
.072813
.012430
.047366
.000
.124625
.018071
.087719
assumed Hari7
Equal variances assumed
106
Equal variances not
.000
.124625
.018071
.087078
assumed
Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Upper Equal variances assumed
.098198
Equal variances not assumed
.098259
Equal variances assumed
.161531
Equal variances not assumed
.162172
Hari3
Hari7
107