1
KOMPLIKASI AKUT INTRADIALISIS Alwi Thamrin Nasution, Radar Radius Tarigan, Joshua Patrick Divisi Nefrologi-Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN Hemodialisis merupakan terapi paling sukses dan paling sering digunakan sebagai bentuk terapi pengganti ginjal. Keberhasilan dan penggunaan di seluruh dunia secara luas membuktikan manfaat dan keamanannya. Tanpa adanya terapi ini, lebih dari satu juta pasien di seluruh dunia akan mati dalam waktu beberapa minggu. Hemodialisis berhasil dilakukan untuk pertama kalinya pada tahun 1944 oleh Willem Kollf pada pasien dengan gagal ginjal. Hemodialisis juga dapat menyebabkan beberapa komplikasi. Selama tahun-tahun pertama setelah pengenalan hemodialisis, komplikasi yang umum disebabkan oleh permasalahan teknis yang terkait dengan dialysis mesin dan sistem air. Namun saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi terutama pada 20 tahun terakhir, komplikasi-komplikasi diatas sudah menurun. Adanya komplikasi lainnya selain mesin dialisis dan sistem air tetap sebagai penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas pada pasien hemodialisis saat ini.1 Komplikasi akut hemodialisis didefinisikan sebagai adanya manifestasi klinis terkait dengan hemodialisa yang terjadi selama sesi dialisis atau dalam 24 jam pertama setelah dialisis.2 Komplikasi kardiovaskular merupakan komplikasi akut yang paling umum dari hemodialisis saat ini. Di antara komplikasi kardiovaskular, gejala hipotensi intradialisis terjadi antara 20% sampai 50%, dan itu tetap merupakan masalah penting.3 Komplikasi lain yang menjadi perhatian adalah aritmia terkait hemodialisis, dengan data dilaporkan +5%-75%. Jenis paling umum dan mematikan dari aritmia adalah aritmia ventrikel dan ektopik. Tingkat hemodialisis terkait aritmia ventrikel kompleks adalah sekitar 35% dan tipe kedua yang paling umum dari aritmia adalah atrium fibrilasi sekitar 27%.4,5 Sekitar 62% dari kematian jantung mendadak dikaitkan dengan gangguan aritmia.6 Tahun pertama hemodialisis sangat berkaitan penting dengan kejadian kematian jantung mendadak, yang ditemukan pada 93 dari 1.000 pasien pada tahun pertama hemodialisis.7
Universitas Sumatera Utara
2
Komplikasi kram diamati pada 24% -86% dari kasus selama tahun-tahun pertama terapi dialisis, namun data menunjukkan bahwa hanya 2% pasien menderita kram setelah memiliki ≥2 sesi hemodialisis dalam seminggu.8 Komplikasi umum lainnya termasuk mual, muntah dengan kejadian 5% -15%, sakit kepala dengan kejadian 5% -10% dan gatal-gatal dengan kejadian 5% -10%.9 Meskipun kram, mual-muntah, sakit kepala dan gatal-gatal tidak menyebabkan kematian, namun dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Disequilibrium sindrom dan komplikasi yang terkait dengan dialiser, sistem air dan mesin dialisis saat ini jarang terjadi tetapi mungkin memiliki konsekuensi fatal. Hemodialisis masih menyebabkan banyak komplikasi meskipun sudah diikuti oleh kemajuan teknologi. Sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi terutama di masa awal hemodialisis dan komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Beberapa komplikasi mungkin tidak mengancam kehidupan pasien tetapi memperburuk kualitas hidup pasien. Manajemen yang tepat terhadap komplikasi ini akan memberikan kehidupan yang lebih panjang dan kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien.1
KLASIFIKASI KOMPLIKASI AKUT INTRADIALISIS Komplikasi akut hemodialisis dapat dikalsifikasikan sebagai berikut1 a. Komplikasi kardiovaskular - Hipotensi - Aritmia - Perikarditis - Sudden cardiac death - Nyeri dada b. Komplikasi terkait peralatan hemodialisis - terkait dengan alat hemodialisis - terkait dengan membran - terkait sistem air - terkait dengan akses vaskuler c. Komplikasi neurologi - Sindrom disequilibrium
Universitas Sumatera Utara
3
- Cerebrovaskulasr event - perubahan kesadaran - nyeri kepala - kejang - tremor d. Komplikasi terkait terapi antikoagulan - Heparin induced trombositopenia - diathesis perdarahan e. Komplikasi hematologi f. Lainnya seperti mual, muntah, gatal, kram.
KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR Hipotensi Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. Pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak memiliki standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda. Kebanyakan mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai munculnya gejala spesifik mulai dari asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG working group menekankan bahwa menurunnya tekanan darah, disertai dengan munculnya gejala klinis yang membutuhkan intervensi medis harus dipikirkan kemungkinan munculnya IDH. Beberapa literatur mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik ≥ 30 atau tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada dialisis bisa muncul dengan beberapa gambaran klinis: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20 mmHg diikuti dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti yang sebelumnya, namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik, yaitu hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap dalam kisaran 90-100 mmHg. Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi intradialisis (Intradialytic hypotension) sebagai suatu penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau penurunan Mean arterial pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan munculnya gejala-
Universitas Sumatera Utara
4
gejala seperti: perasaan tidak nyaman pada perut (abdominal discomfort); menguap (yawning); mual; muntah; otot terasa kram (muscle cramps), gelisah, pusing, dan kecemasan.10,11,12,13 Penyebab dari IDH adalah multifaktorial. Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah selama hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi. Pada sisi lain, faktor-faktor yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat berkontribusi terhadap instabilitas hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari membran dan lain-lain.10,11 Tabel 1. Faktor penyebab hipotensi Intadialisis14
IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskular dalam merespon penurunan volume darah secara adekuat. Respon adekuat dari sistem kardiovaskular termasuk refleks aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena yang merupakan respon dari cardiac underfilling dan hipovolemia. Adanya gangguan dalam mekanisme kompoensasi ini akan menyebabkan terjadinya IDH.
Universitas Sumatera Utara
5
Dalam konsep Plasma Refilling, Volume darah tergantung dari dua faktor utama, yaitu kapasitas plasma refilling dan laju ultrafiltrasi. Selama sesi HD, cairan dipindahkan langsung dari kompartemen intravaskular. Jumlah total cairan tubuh (TBW), sekitar 60% dari berat badan, didistribusikan di intraseluler (40% BW) dan sebagian lagi di kompartemen ekstraselular (20% BW). Ekstraselular dapat dibagi lagi menjadi interstisial (15% BW) dan intravaskular (5% BW). Sehingga hanya sekitar 5-8% dari TBW yang dapat diultrafiltrasi. Sehingga untuk memindahkan sejumlah cairan substansial dalam jangka waktu tertentu, kompartemen vaskular harus melakukan refilling secara terus menerus dari ruangan interstisial. Dalam lingkaran fisiologis, penurunan volume darah akan menginisiasi peningkatan resistensi vaskular perifer, dikarenakan vasokonstriksi, dan mempertahankan cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate dan kontraktilitas miokard dan konstriksi dari capacitance vessels. Orang sehat dapat mentoleransi penurunan volume sirkulasi darah sampai 20% sebelum munculnya hipotensi. Namun, pada pasien dengan HD, hipotensi dapat muncul hanya dengan penurunan volume darah dalam jumlah yang lebih sedikit. Terganggunya respon kardiak berupa peningkatan heart rate dan kontraktilitas miokardium dapat mencetuskan terjadinya IDH. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa adanya penyakit jantung, yang menyebabkan disfungsi sistolik atau diastolik meningkatkan resiko terjadinya IDH. Penurunan tekanan darah lebih besar pada pasien dengan disfungsi sistolik dibandingkan denga fungsi sistolik normal. Hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dan diastolic filling yang terganggu juga dijumpai pada pasien IDH.10,11 Plasma refill sebagian besar diperankan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Selama sesi HD awal, tekanan onkotik vaskular meningkat dan tekanan hidrostatik menurun sebagai hasil dari ultrafiltrasi yang progresif. Perubahan gradien tekanan menyebabkan cairan bergerak ke dalam vaskular sampai keseimbangan tercapai. Begitu seterusnya sampai sesi HD berakhir. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi laju plasma refilling adalah: status hidrasi kompartemen interstisial, osmolalitas plasma, dan konsentrasi plasma protein, konsentrasi sodium dialisat, permeabilitas vaskular, dan venous compliance. Sehingga, IDH dapat muncul ketika terjadinya ketidakseimbangan diantara laju ultrafiltrasidan kapasitas plasma refilling yang tidak bisa diatur oleh refleks kompensasi kardiovaskular.10-11
Universitas Sumatera Utara
6
Cardiac underfilling terutama ventricular underfilling merupakan salah satu mekanisme akibat terganggunya mekanisme kompensasi kardiovaskular yang dapat memicu sympaticoinhibitory cardiodepressor Bezold-Jarish reflex. Refleks ini berupa suatu keadaan bradikardia akibat gangguan respon simpatik yang terganggu. Beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa gangguan fungsi simpatik, dapat ditunjukkan dengan beberapa manifestasi, seperti berkurangnya frekuensi heart rate. Berkurangnya resistensi dan kapasitansi pembuluh darah selama penurunan volume darah dapat memicu IDH. Berkurangnya konstriksi dari arteriolar dapat mengganggu respon fisiologis terhadap keadaan hipovolemia. Berkurangnya konstriksi aktif dan pasif dari venula dan vena, yang menyebabkan berkurangnya venous return selama hipovolemia.10,11,15
Gambar 1. Patogenesis Intradialisis Hipotensi
Universitas Sumatera Utara
7
Gambar 2. Skema Mekanisme Intradialisis Hipotensi
Dalam tindakan prevensi dan manajemen hipotensi intradialisis, hal yang pertama dilakukan adalah edukasi kepada pasien untuk mencegah terjadinya hipotensi. Dalam proses pencegahan hipotensi, terdapat faktor utama yaitu faktor pasien dan faktor prosedur dialisis. Dalam penatalaksanaan terdapat 3 pendekatan dalam hipotensi intradialisis yaitu11 Pendekatan Lini Pertama - Konseling asupan makanan (restriksi garam) - Menghindari asupan makanan selama dialisis - Pengukuran berat badan kering - Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialisis - Penggunaan temperatur dialisat 36.5oC - Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi Pendekatan Lini kedua - Evaluasi performa jantung - Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC sampai 35oC - Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialisis - Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l Pendekatan Lini Ketiga
Universitas Sumatera Utara
8
- Pertimbangan pemberian midodrine - Pertimbangkan suplementasi L-carnitine
Tabel 2. Prevensi dan Manajemen Hipotensi Intradialisis
Aritmia Aritmia adalah komplikasi yang sering diamati pada pasien hemodialisis yang umumnya terjadi selama dan setelah dialisis. Prevalensi aritmia bervariasi antara 17-76%16 dan 5- 75% dalam penelitian lain.17 Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Severi S et al, peningkatan denyut jantung terlihat pada 30% pasien di akhir hemodialisis.18 Perbedaan angka dari studi terkait dengan karakteristik pasien dan jenis aritmia.
Universitas Sumatera Utara
9
Etiologi dari aritmia terkait hemodialisis adalah multi-faktorial. Terapi dialisis itu sendiri dapat menyebabkan perubahan yang menimbulkan rangsangan pada miokardium. Hal ini terjadi karena perubahan komposisi cairan dalam tubuh, PH dan konsentrasi panas dan elektrolit. Pasien dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani terapi dialisis rentan terhadap aritmia karena mereka biasanya memiliki pemberat iskemik penyakit jantung, hipertrofi ventrikel kiri atau neuropati otonom. Obat-obat anti aritmia yang digunakan oleh pasien mungkin juga terdialisis sehingga rentan terhadap aritmia selama atau setelah hemodialisis. Prevalensi fibrilasi atrium sebagai salah satu jenis aritmia dilaporkan sekitar 27%.17 Dua jenis aritmia yaitu kompleks aritmia ventrikel dan kompleks ventrikel prematur, meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. NKF-DOQI merekomendasikan bahwa karena kerentanan pasien hemodialisis untuk terjadi aritmia, maka setiap pasien dialisis harus menjalani 12-lead EKG terlepas dari usianya. Dalam hal atrial fibrilasi, penggunaan B blockers, calcium channel blockers dan amiodaron dapat bermanfaat untuk mengontrol rate.10 Sedangkan indikasi menggunakan antikoagulan dalam mencegah stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium masalah dalam kontroversial karena kelompok pasien HD rentan terhadap perdarahan.19 Saat ini, terapi antikoagulan dapat diterapkan dengan cara yang sama seperti pada normal populasi, tetapi kerentanan pasien terhadap perdarahan dan reaksi dengan obat lain yang mereka gunakan harus diingat dan dimonitor.20 Dosis harus disesuaikan tergantung apakah obat yang digunakan dalam pengobatan adalah dialyzable dan memiliki potensi efek samping yang harus dihindari.10
Perikarditis Terdapat 2 cara penyebab terjadinya pericarditis pada pasien hemodialisis, yaitu dalam bentuk uremik pericarditis dan perikarditis terkait dialisis. Jenis uremik pericarditis terjadi sebelum memulai dialisis atau pada 8 minggu pertama dialisis. Hal ini biasanya berhubungan dengan uremia. Sedangkan jenis perikarditis terkait dialisis dapat terjadi setiap saat setelah pasien mulai dialisis. Meskipun penyebab pasti yang tidak diketahui, insufisiensi dialisis dan kelebihan volume adalah faktor yang paling berperan. Prevalensi pericarditis pada pasien dialisis dilaporkan antara 2%.21 Secara klinis hadir sebagai keluhan seperti nyeri dada spesifik, kelemahan otot dan batuk, tetapi mereka juga bisa datang dalam sebagai hipotensi
Universitas Sumatera Utara
10
dan gagal jantung. Ditemukannya suara jantung yang menjauh dan perikarial rubbing, dan dalam kasus-kasus serius, hipotensi dapat diamati tergantung pada intensitas efusi selama pemeriksaan fisik. Perubahan EKG mungkin tidak muncul pada jenis uremik perikarditis. Diagnosis akhir dibuat menggunakan echocardiografi.22 Pengobatan tergantung pada gejala dan diameter efusi. Pada efusi minimal tanpa gejala biasanya tidak memerlukan mengambil langkah-langkah mendesak. Pada efusi perikard masif mungkin perlu menjalani drainase mendesak dengan cara pericardiotomy jika hemodinamik tidak stabil atau terapi hemodialisis intensif selama 7-14 hari dan menghindari heparinisasi selama hemodialisis jika hemodinamik stabil. Glukokortikoid dan non-steroid antiinflammatory drugs biasanya tidak efektif.21,22 Pada perikarditis uremik, respon terapi dapat diperoleh dari terapi hemodialisis intensif > 85% (76-100%) dari pasien dan dalam terkait dialisis perikarditis, respon <60% (12,5-66%) dari pasien.
Sudden Cardiac Death Kematian jantung mendadak bertanggung jawab atas 62% dari kematian terkait jantung. Pada tahun pertama hemodialisis kejadian kematian jantung mendadak dilaporkan 93 dari 1000 pasien. Penyakit jantung iskemik, kardiomiopati, perubahan ion cepat dan elektrolit selama hemodialisis, perubahan PH, penyakit mikrovaskuler atau disfungsi endotel menjadi faktor resiko dalam patogenesis.22 Dalam terapi, hal ini sama seperti pada populasi normal. Dianjurkan bahwa defibrillator eksternal tersedia dalam unit hemodialisis dan staf terlatih dalam menggunakannya.10
Nyeri dada Peningkatan prevalensi nyeri dada terjadi pada pasien koroner dengan stadium akhir gagal ginjal dan diikuti dengan terjadinya infark miokard (MI).23 Sebuah kematian terkait jantung terjadi 10 sampai 20 kali lebih banyak dalam kelompok pasien HD dibandingkan dengan populasi normal. Akut Miokard Infark didiagnosis dengan peningkatan enzim jantung yang tinggi, nyeri dada klasik dan perubahan EKG pada populasi normal. Namun, ada beberapa perbedaan manifestasi klinis dan laboratorium pada kelompok hemodialisis pasien. Hal ini menyebabkan penundaan dalam mendiagnosis MI dan penggunaan trombolitik serta
Universitas Sumatera Utara
11
angiografi koroner / aplikasi stent koroner untuk pengobatan MI dibandingkan dengan populasi normal. Nyeri dada klasik jarang terlihat pada pasien dengan gagal ginjal. Penyebabnya adalah penurunan fungsi saraf sensorik dan otonom pada pasien dengan gagal ginjal. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Komukai et al menyatakan bahwa meningkatnya gangguan fungsi ginjal, diikuti dengan peningkatan prevalensi “painless” MI.24 Enzim Jantung Troponin T (cTnT) dan creatine kinase-MB, yang merupakan dua dari enzim yang digunakan dalam verifikasi diagnosis infark miokard, terlihat pada kadar tinggi dalam kelompok pasien hemodialisis tanpa disertai kehadiran iskemia koroner. cTnT khususnya telah terbukti meningkat pada 17-23,8% dalam kelompok ini.25 Situasi ini menyebabkan kontroversi dalam mendiagnosis MI pada kelompok hemodialisis pasien. Penelitian masih berlangsung untuk menemukan penanda ideal yang mendukung diagnosis MI. Untuk saat ini, disarankan untuk memonitor kadar enzim jantung pada pasien secara klinis diduga memiliki MI. Hal lain untuk dipertimbangkan adalah bahwa 15 sampai 40% dari pasien terlihat memiliki ST depresi selama hemodialisis. Terapi dialisis sendiri dapat menyebabkan iskemia miokard subklinis pada kelompok pasien ini yang rentan terhadap aterosklerosis dan hipertrofi ventrikel kiri.26 Tidak ada data yang cukup tentang reabilitas melakukan dialisis dalam waktu 48 jam setelah infark miokard (MI). Pengobatan MI akut direkomendasikan sama seperti pada populasi normal.10
KOMPLIKASI TERKAIT PERALATAN HEMODIALISIS Kompliasi Terkait Alat Hemodialisis Salah satu komplikasi yang fatal yang sangat ditakuti dari terapi hemodialisis adalah emboli udara. Ada detektor udara ultrasonografi dalam mesin hemodialisis yang menangkap gelembung udara untuk mencegah emboli udara. Penyebab paling umum emboli udara adalah udara yang masuk dari bagian pra-pompa di mana ada sistem tekanan negatif dan jalur akses jarum ke arteri.27 Gejala-gejala dari emboli udara tergantung pada posisi pasien pada saat itu. Jika dalam posisi duduk, komplikasi neurologis terjadi karena embolus akan masuk ke sistem otak sedangkan gejala seperti sesak napas dan nyeri dada terjadi ketika emboli masuk ke paruparu diposisi terlentang. Langkah pertama dalam pengobatan adalah untuk menjepit tabung
Universitas Sumatera Utara
12
vena dan menghentikan pompa. Pasien kemudian berbaring ke arah kiri dengan kepalanya dan dada menghadap ke bawah dan 100% oksigen harus diberikan. Jika emboli ada di dalam hati, dapat dihilangkan dengan jarum perkutan dan terapi oksigen hiperbarik juga dapat digunakan. Tanda-tanda klinis dan terapi di atas adalah untuk emboli udara besar. Selain itu, terbentuknya gelembung mikro juga mungkin selama terapi hemodialisis. Mesin-mesin hemodialisis kontemporer tidak dapat mendeteksi infus udara kurang dari 0,1 ml / kg / menit pada infus bolus dan 0,03 ml / kg / menit pada infus kontinuous dan dengan demikian gagal untuk mengaktifkan sistem alarm.28 Oleh karena itu, mesin hemodialisis saat ini tetap tidak efektif untuk mencegah microbubbles memasuki sistem vena. Microbubbles biasanya tidak mengakibatkan gejala akut, tetapi diduga menyebabkan hipertensi pulmonal di paru-paru dan perubahan kronis pada otak dalam jangka panjang. Berbagai filter telah dikembangkan untuk mencegah mikrobubbles menembus sistem vena selama hemodialisis. Namun, penggunaan rutin filter tersebut belum disetujui karena menyebabkan tambahan resistensi aliran darah dan darah pasien menjadi terpapar berbagai bahan kimia yang terkandung dalam filter.27 Ada upaya dalam beberapa tahun terakhir untuk mengembangkan teknologi baru untuk mendeteksi dan menghilangkan mikro-gelembung melalui metode ultrasonografi.29
Komplikasi Terkait Membran Dalam proses hemodialisis, darah pasien akan melalui kompartemen extracorporeal berupa dialiser, blood tubing set, bahan kimia untuk sterilisasi dialyser dan dialisat. Dialyzer berisi membran dialisis dan produk sterilisasi. Dialyzers terdiri dari 2 geometri sebagai serat berongga dan dialyzers plat sejajar untuk struktur membran. serat berongga dialyzers terdiri dari ribuan serat berongga kecil, darah mengalir ke dalam kompartemen dan melewati ribuan kecil kapiler. Cairan dialisis mengalir dalam arah yang berlawanan dari aliran darah di sekitar kapiler. Darah melewati kapiler dikumpulkan di kompartemen lain diakhir dialyzer dan kembali ke pasien. Membran juga datang dalam berbagai jenis sehubungan dengan bahan yang digunakan di dalamnya; dalam bentuk selulosa, selulosa / sintetis (semi-sintetis), sintetis dan bioaktif (di dialyzers ditutupi oleh vitamin E). Yang paling umum digunakan adalah membran sintetik.30
Universitas Sumatera Utara
13
Reaksi dialiser terkait reaksi anafilaktoid pertama kali dilaporkan pada tahun 1975. Menurut data dari Food and Drug Administration, reaksi hipersensitivitas parah dilaporkan di 3,5 dari 100.000 sesi dialisis pada tahun 1982.31 Reaksi seperti terdiri dari serangkaian insiden yang melibatkan kedua reaksi anafilaksis dan reaksi dengan penyebab yang tidak diketahui. Klasifikasi yang dibuat oleh Daugirdas JT adalah yang paling umum digunakan. Klasifikasi melibatkan Type-A (hipersensitivitas) reaksi dan Type-B (nonspesifik) reaksi.1 Reaksi Type-A diikuto dengan gejala dyspnea, takut akan kematian, dan sensasi panas di seluruh tubuh dan akhirnya dengan episode anafilaksis. Dalam kasus yang lebih ringan, dengan gejala seperti gatal-gatal, batuk, bersin, nasal discharge, mual dan muntah. Ini umumnya terjadi pada awal dialisis, tetapi juga dapat muncul antara 15 dan 20 menit. Reaksi tersebut dapat terjadi lebih sering pada pasien dengan atopi dan atau eosinofilia.1 Kriteria yang dikembangkan oleh Daugirdas dan Ing. sebagian besar digunakan dalam diagnosis. Kriteria Mayor meliputi reaksi yang terjadi dalam 20 menit pertama setelah awal dialisis berupa dyspnea, sensasi terbakar atau panas di situs akses dan disebarkan ke seluruh tubuh dan angioedema sedangkan Kriteria Minor termasuk reaksi rekuren selama sesi
dialisis
berikutnya ketika jenis dialiser yang sama digunakan, urtikaria, rhinorrhea atau lakrimasi, kram perut dan gatal-gatal. Diagnosa tegak ketika tiga mayor atau dua kriteria mayor dan 1 minor terpenuhi. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh sterilisasi menggunakan etilen oksida, penyebab lainnya adalah penggunaan AN69 membran, reuse dialyser, faktor pelepasan complement dan eosinofilia. Dalam pengobatan, dialisis harus segera dihentikan dan darah di tabung darah set tidak dapat diberikan kembali kepada pasien. Antihistaminic, adrenalin atau steroid dapat diberikan tergantung pada beratnya reaksi. Pencegahan dengan mencuci dialyzers sebelum digunakan, dialyzer disterilkan dengan sinar γ atau uap jika reaksi terjadi karena penggunaan etilen oksida, menggunakan membran yang mengaktifkan faktor komplemen lebih ringan.1 Reaksi tipe-B dengan gejala utama adalah nyeri dada dan nyeri punggung bawah. Muncul setelah 20 sampai 40 menit setelah awal dialisis. Gejala membaik atau hilang mengikuti bertambahnya waktu dialisis. Aktivasi komplemen diangga menjadi etiologinya, namun patogenesis tidak sepenuhnya diketahui. Pengobatan sama dengan yang reaksi tipe A dan disesuaikan tergantung pada intensitas gejala.1
Universitas Sumatera Utara
14
Hipoksemia terkair hemodialisis dapat terjadi. Selama hemodialisis, Pa O2 turun sekitar 10-20 mmHg. Penurunan tersebut tidak akan menyebabkan masalah klinis yang signifikan pada pasien dengan oksigenasi normal, namun dapat menjadi masalah pada pasien dengan oksigenasi kurang. Salah satu faktor etiologi hipoksemia yang muncul selama hemodialisis adalah dialisat mengandung asetat. Dialisat dengan asetat dapat menyebabkan hipoksia dalam dua cara, pertama dengan peningkatan konsumsi oksigen selama proses konversi bikarbonat asetat dan kedua akibat hilangnya CO2 intradialisis. Biokompatibilitas membran yang digunakan adalah salah satu yang faktor penyebab hipoksemia. Penggunaan dialisat asetat bersama-sama dengan membran Cuprophan meningkatkan hipoksemia. Hipokapnia terkait dengan hilangnya CO2 intradialisis dan adaptasi kronis metabolik asidosis menyebabkan sesak periodik napas dan kecenderungan untuk sindrom sleep apnea Pengobatan dan pencegahan dengan meningkatkan tingkat CO2 di dialisat secara langsung atau dengan menggunakan dialisat mengandung bikarbonat menurunkan terjadinya hipoksemia.1
Komplikasi Terkait Sistem Air Pasien dengan terapi hemodialisis akan terpapar 18.000-36.000 liter air/tahun selama hemodialisis. Proses dialisat melibatkan pemurnian air, distribusi air murni untuk mesin hemodialisis, konsentrasi konsentrat asam dan basa dan akhirnya mencampur konsentrat dengan air yang dimurnikan. Banyak air digunakan dalam mempersiapkan dialisat dalam proses pemurnian air. Jika sistem air hemodialisis gagal untuk menghasilkan air yang tepat, pasien dapat terkena berbagai bahan kimia, bakteri dan kontaminasi beracun. Teknologi sistem air yang digunakan dalam proses hemodialysis meningkat dari hari ke hari untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan tersebut. Dua jenis pemurnian sistem air yang digunakan adalah “Pure Water” dan “Ultra Pure Water system”. The Pure Water Sistem digunakan dalam proses hemodialisis konvensional. Ultra Pure Water system digunakan dalam banyak modalitas dialisis termasuk hemodiafiltration, hemofiltration dan high flux dialysis.32 Sistem air hemodialisis konvensional mengalirkan air yang diambil dari pasokan air ke dalam unit hemodialisis setelah melewati melalui filter mekanis, water softener, karbon filter, reverse osmosis dan UV. Filter endotoksin juga tersedia dalam beberapa sistem. Setiap bagian
Universitas Sumatera Utara
15
dari sistem ini mungkin merupakan reservoir untuk bakteri. Selain itu, kontaminasi bahan kimia juga bisa terjadi. Untuk alasan ini, European Pharmacopeia telah mengembangkan standart air hemodialisis. Menurut standar ini, tingkat kontaminasi mikroba dan bakteri endotoksin yang direkomendasikan untuk menjadi <100 CFU / ml dan <0,25 IU / ml masingmasing dikonvensional sistem air hemodialisis reguler dan <0,1 CFU / ml dan <0,003 IU / ml dalam ultra murni sistem air.1
Tabel 3. Maksimum kadar kontaminasi rekomendasi European Pharmacopeia
Permasalahan terkait sistem air dapat menyebabkan komplikasi akut dan jangka panjang. Pada komplikasi akut, dapat terjadi sepsis yang disertai dengan gejala demam, gemetaran, mual, nyeri otot, nyeri kepala, hipotensi sampai syok jika terpapar bakteri atau endotoksin dalam jumlah banyak. Perlu dilakukan pengecekan secara berkala untuk kadar bahan kimia atau kontaminan. Pengambilan sampel dari sistem air untuk mikrobiologi dan kimia analisis dapat dilakukan setiap minggu sekali saat awal HD dan dapat diturunkan frekuensinya
Universitas Sumatera Utara
16
maksimal tidak melebihi sekali sebulan. Untuk kualitas tangki hars diperiksa minimal dua kali setahun.1
KOMPLIKASI NEUROLOGI Komplikasi neurologis terjadi pada pasien gagal ginjal stadium akhir akibat gangguan metabolisme yang disebabkan oleh penyakit ginjal kronis dan karena prosedur dialisis. Komplikasi ini dapat muncul dalam bentuk penurunan kesadaran, sakit kepala, mual, muntah, mioklonus, tremor, fokus dan kejang umum, serebrovaskular event (infark dan perdarahan) dan sindrom disequilibrium.
Sindrom Disequilibrium Dialisis Disequilibrium syndrome (DDS) pertama kali didefinisikan oleh Kennedy AC tahun 1970. Meskipun patogenesis DDS masih kontroversial, teori pertama penyebabnya adalah teori pembersihan urea cepat. Menurut teori ini, pembersihan cepat kadar urea dari plasma pada pasien yang baru memulai terapi hemodialisis akan menciptakan osmotic gradien antara sel-sel otak dan plasma dan cairan memasuki sel-sel otak karena gradien osmotic tersebut.33 Teori lainnya adalah efek osmole idiogenic. Menurut teori ini, difusi bikarbonat dari dialisat ke plasma meningkatkan PH. Bikarbonat transform menjadi karbon dioksida (CO2) di luar sel. Darah dengan CO2 menembus sawar otak dan memasuki sel-sel otak, menyebabkan asidosis intraselular. Kejadian ini kemudian menyebabkan sel protein pecah untuk membentuk osmol idiogenic. Peningkatan osmol idiogenic pada sel akan menimbulkan gradien osmotik dan akhirnya menyebabkan cairan masuk ke dalam sel. DDS biasanya terjadi sebagai akibat dari pengurangan cepat dari urea pada pasien dengan uremia berat. Faktor risiko meliputi usia muda, riwayat trauma kepala atau serebrovaskular event, dan ketidakseimbangan elektrolit seperti hipertensi maligna dan hiponatremia.34 DDS adalah diagnosis eksklusi, karena tanda-tanda klinis menyerupai kelainan neurologis. DDS adalah komplikasi neurologis akut dialisis. Hal ini biasanya dimulai menjelang akhir dialisis atau setelah berakhir. Gejala dan tanda berupa kelelahan, sedikit sakit kepala, HT, mual, muntah, penglihatan kabur, dan kram otot, dan dapat menyebabkan aritmia,
Universitas Sumatera Utara
17
kebingungan, tremor, kejang, dan koma. DDS jarang mengakibatkan kematian karena edema otak.34 Untuk mencegah sindrom Dialisis Disequilibrium, sesi dialisis awal mungkin dilakukan dengan aliran lambat dan dalam waktu yang lebih singkat, kadar natrium dapat dinaikkan pada dialisat. Dalam aliran lambat dan singkat dialisis, mungkin berguna untuk membatasi waktu sampai 2 jam dan laju aliran darah ke 200 ml / menit serta menggunakan dialyzer dengan luas permukaan kecil. Tujuan dalam meningkatkan tingkat Na di dialisat adalah untuk mengurangi perbedaan osmolaritas yang dihasilkan dari penghapusan urea cepat dengan meningkatkan Na plasma. Penggunaan profil Na dan fixed high-Na dialisat dapat digunakan dalam hal ini, tetapi tetap tidak terbukti efektif secara evidence. Oleh karena itu, penggunaan dialisat mengandung 143-146 mmmol / L dianjurkan pada pasien dengan risiko DDS.34 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perubahan osmolaritas dan DDS dapat dikurangi dengan pemberian dialisat dengan kadar glukosa yang tinggi dan pemberian 1 gr / kg manitol.1
Nyeri Kepala The International Headache Society ICHD tahun 2004 memasukkan nyeri kepala hemodialisis dalam klasifikasi sakit kepala. Untuk dapat disebut sebagai sakit kepala hemodialisis, sakit kepala harus muncul setidaknya setengah dari sesi hemodialisis, terdapat 3 serangan sakit kepala akut saat sesi hemodialisa dan sakit kepala harus lega dalam waktu 72 jam setelah hemodialisis.35 Meskipun data prevalensi tidak pasti, namun ditemukan 30% oleh Goksel35 dan Jesus AC et al9, menemukan prevalensi lebih rendah dari 6,7% pada tahun 2009. Patofisiologi sepenuhnya tidak jelas dan faktor pemicu sakit kepala mungkin disebabkan hipertensi, hipotensi, tingkat rendah natrium, penurunan osmolaritas serum, tingkat rendah rennin plasma, sebelum dan sesudah dialisis kadar Bun dan rendahnya tingkat magnesium Setelah memastikan bahwa tidak ada migrain, serebrovaskular event atau massa intrakranial, langkah pertama dalam pengobatan adalah menyelidiki apakah ada sakit kepala hemodialisis atau tidak. Jika diduga hemodialisis sakit kepala, faktor-faktor yang diduga memicu sakit kepala harus dicari dan penggantian elektrolit diperlukan.35
Universitas Sumatera Utara
18
Cerebrovaskular Event Cerebrovaskular event merupakan penyebab kematian ketiga pada populasi normal. Pasien dengan gagal ginjal kronis memiliki peningkatan resiko serebrovaskular dibandingkan dengan populasi normal.10 Meskipun tidak ada informasi yang jelas mengenai prevalensi, sebuah penelitian Jepang mengungkapkan bahwa kejadian serebrovaskular terjadi pada 8% dengan pendarahan otak sebagai penyebab terbanyak. Menurut data Amerika, kejadian stroke hemoragik dan stroke iskemik yang ditemukan sama, yaitu 5 sampai 10 kali dibandingkan pada populasi normal.36 Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Selinger SL et al, faktor risiko terjadinya serebrovaskular event adalah hipertensi, hemoglobin rendah dan indikator malnutrisi (berat badan rendah, rendahnya tingkat albumin. Frekuensi aterosklerosis arteri karotis meningkat pada pasien dengan stadium akhir gagal ginjal dan dapat meningkatkan resiko stroke iskemik. Hipertensi, pemakaian rutin heparin selama terapi dialysis memiliki resiko terjadinya perdarahan diatesis pada kelompok dan meningkatkan kejadian stroke hemoragik.36 Perbedaan manajemen antara stroke hemoragik dan stroke iskemik harus dilakukan sebelum memulai terapi hemodialisis, hal ini dikarenakan heparinisasi tidak digunakan dalam kasus stroke hemoragik.10
KOMPLIKASI TERKAIT TERAPI ANTIKOAGULAN Heparin Induced Trombositopenia Heparin sering digunakan sebagai antikoagulan dalam terapi hemodialisis dikarenakan biaya rendah dengan waktu paruh yang singkat. Namun heparin-induced trombositopenia (HIT) adalah situasi yang membatasi penggunaan heparin dan menyebabkan kematian. HIT diklasifikasikan sebagai Tipe-I dan Tipe-II. HIT Tipe-I adalah yang terbanyak. Hal ini terjadi akibat dari reaksi langsung antara heparin dan trombosit. Hal ini ditandai dengan sedikit penurunan jumlah trombosit pada tahap awal administrasi heparin dan jumlah trombosit akan kembali normal meskipun penggunaan heparin yang berulang.HIT Tipe-II memiliki kejadian jarang antara 0,5 sampai 5%.37 Hal ini terjadi akibat respon imun antibodi terhadap faktor trombosit 4 dan kompleks heparin.38 HIT umumnya muncul dengan reaksi akut sistemik, trombositopenia, trombosis, kulit nekrosis dan
Universitas Sumatera Utara
19
gangren vena di ekstremitas setelah bolus unfractioned heparin.39 Dalam mendiagnosis heparin-induced trombositopenia, kriteria yang digunakan (4T) adalah trombositopenia muncul 5-10 hari setelah inisiasi terapi heparin, adanya kejadian thrombotic, memiliki jumlah normal trombosit sebelum terapi heparin dan 50% penurunan jumlah trombosit dari baseline, tidak adanya alasan lain yang menyebabkan trombositopenia, trombosit kembali normal ketika heparin tidak digunakan dan adanya serokonversi HIT antibodi yang positif. Diagnosis kemungkinan HIT dibuat sesuai scoring kriteria ini dimana nilai 6-8 menunjukkan kemungkinan besar HIT, nilai 0-3 menunjukkan kemungkinan kecil HIT.1 Faktor risiko terjadinya HIT sangat bervariasi sesuai dengan jenis heparin digunakan. Sebagai contoh, ketika LMWH yang digunakan, kejadian HIT jarang terjadi dibandingkan dengan penggunaan heparin unfractioned (UFH). Pada manajemen HIT, pertama semua terapi heparin harus dihentikan dan kemudian alternatif non heparin terapi antikoagulan harus dimulai. LMWH dapat dilanjutkan pada pasien berisiko rendah sampai hasil HIT antibodi diperoleh. Pasien dengan HIT sebaiknya menggunakan dialisis non-heparin atau antikoagulan sitrat atau menggunakan inhibitor direct trombin lepirudin dan argatroban atau Faktor Xa inhibitor danaparoid. 39
Bleeding Diasthesis Pendarahan adalah faktor yang paling penting yang membatasi penggunaan heparin pada hemodialisis,
dengan
angka
kejadian
perdarahan
adalah
10%
-15%.
Perdarahan
Gastrointestinal terjadi pada sepertiga pasien uremik. Perdarahan gastrointestinal bagian atas lebih sering pada pasien uremik yang menjalani hemodialisis. Komplikasi hemoragik yang dilaporkan
lainnya
termasuk
stroke
hemoragik,
hematoma
subdural,
perdarahan
retroperitoneal spontan, hematoma spontan subkapsular hati, perdarahan intraokular, dan hemorrhagic pericarditis dengan tamponade jantung.1 Stroke hemoragik dan hematoma subdural lebih banyak terjadi pada hemodialisis dengan angka kejadian stroke hemoragik adalah 5-10 kali lebih besar dibanding populasi normal36, sedangkan kejadian hematoma subdural adalah 20 kali lebih besar dan angka kematian dalam kelompok hemodialisis adalah 40% lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Kesimpulannya, penggunaan terapi
Universitas Sumatera Utara
20
antikoagulan pada pasien yang menjalani hemodialisis meningkatkan kecenderungan perdarahan. Pendekatan yang tepat untuk mencegah komplikasi hemoragik selama hemodialisis adalah dengan pembatasan atau menghindari antikoagulan selama hemodialisis.
KOMPLIKASI HEMATOLOGI Hemolisis Hemolisis terjadi sekitar 2% pada tahun-tahun awal program dialisis dan semakin menurun jauh kejadiaannya saat ini. Berbagai faktor menyebabkan terjadinya hemolisis berupa peningkatan agent oksidator dan agent reduktor, gangguan termal dan mekanik atau kadar uremia berlebihan pada inisiasi dialisis. Agent Oksidator berasal dari kontaminasi dialisat dengan tembaga, seng, chloramine atau nitrat. Agen ini memicu hemolisis melalui proses oksidan damage dalam eritrosit. Gangguan termal berupa panas terjadi ketika suhu dialisat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari suhu tubuh. Cedera mekanik berhubungan dengan maloklusi pompa darah, kolaps arteri, tertekuk atau tubing yang obstruksi saat hemodialisa akibat kateter subklavia hemodialisis. Gejala reaksi hemolitik akut berupa malaise, mual, nyeri dada, sesak napas, sakit perut, nyeri punggung, emesis, sianosis dan sakit kepala. Tes merah muda positif (pink appearing serum) terlihat pada hemolisis masif. Tes Merah muda positif ini disebabkan oleh kehilangan haptoglobin, peningkatan kadar serum laktat dehidrogenase dan kehadiran hemoglobin bebas.40 hemolisis akut adalah mengancam jiwa yang dapat menyebabkan komplikasi seperti anemia, hiperkalemia, vasokonstriksi plasma dan pankreatitis. Dalam pengobatan, dialisis harus segera diakhiri dan pasien tidak boleh diberikan transfusi darah. Resusitasi darurat harus dilakukan tergantung pada kondisi klinis. Faktor etiologi yang menyebabkan hemolisis harus diselidiki dan dieliminasi.1
Neutropenia Neutropenia berkorelasi dengan biokompatibilitas membran selama hemodialisis. Hal ini biasanya dimulai dalam waktu 2-3 menit dari awal dialisis dan maksimum 10-15 menit, kemudian akan kembali ke kadar normal setelah dialisis. Neutropenia terjadi dikarenakan neutrofil terakumulasi pada permukaan membran hemodialisis. Ikatan C5 dan C5a des-arg
Universitas Sumatera Utara
21
terhadap reseptor spesifik akan merubah berbagai reseptor di permukaan neutrofil sehingga menginduksi neutropenia dialisis. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi antara aktivasi komplemen dan leukopenia.41 Keadaan neutropenia yang sementara umumnya tidak menyebabkan masalah klinis yang signifikan. Namun, dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kecenderungan infeksi pada pasien hemodialisis
LAINNYA Mual dan Muntah Mual dan muntah ditemui pada pasien hemodialisis sekitar 10%. Mual dan muntah dapat menjadi komplikasi terkait dengan dialisis seperti sindrom disequilibrium, hipotensi, reaksi alergi dan ketidakseimbangan elektrolit, mereka juga dapat menyertai sindrom koroner akut, cerebrovascular event dan infeksi. Pasien dengan mual dan muntah harus dicari penyebabnya. Salah satu hal yang perlu diingat adalah bahwa selain faktor disebutkan di atas, prevalensi keluhan dispepsia dan gastritis, duodenitis, ulkus peptikum dan colelithiasis juga meningkat pada kelompok pasien dialisis.42 Oleh karena itu, komplikasi mual muntah terkait hemodialisis harus disisihkan pada pasien hemodialisis. Jika penyebab ini tidak hadir, gejala gastrointestinal harus dinilai dan gastroskopi harus dilakukan. Mual dan muntah tidak terkait dengan hemodinamik dapat membaik dengan pemberian 5 sampai 10 mg metoclopramide sebelum dialisis.1
Gatal Gatal adalah salah satu gejala yang sering dijumpai pada penyakit ginjal kronis. Keluhan gatal ditemukan di 50 sampai 60% dari pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang sedang menjalani terapi dialisis.42 Meskipun etiologi uremik gatal tidak sepenuhnya diklarifikasi, faktor bertanggung jawab adalah xerosis, neuropati perifer, peningkatan ion divalen seperti kalsium,magnesium dan fosfor, peningkatan kadar hormon paratiroid, dan histamin.1 Dalam mendiagnosis uremik gatal, pertama penyebab lain gatal harus dikesampingkan. Berbagai terapi topikal dan sistemik telah dicoba dalam mengobati itu selama bertahun-tahun, tapi ada pasien yang tidak mendapatkan keuntungan dari setiap terapi tersebut. Untuk alasan ini, baik
Universitas Sumatera Utara
22
patogenesis dan pengobatan gatal terus diteliti hari ini. Direkomendasikan terapi topical saat ini berupa krim pelembab dan krim yang mengandung capsaicin. Metode pengobatan lainnya termasuk fototerapi, akupunktur, diet low protein, lidocaine, arang aktif, cholestramine, efisien dialisis, heparin, antagonis opioid, erythropoietin, paratiroidektomi, serotonin antagonis, thalidomide, anthistamin dan nicergoline.1
Kram Kejadian kram otot dijumpai sekitar 24-86 % terutama pada tahun pertama dilakukan hemodialisis. Saat ini angka kejadian kram otot menurun sampai 2% karena perbaikan dalam teknologi dialisis. Meskipun kram sebagian besar terlihat di ekstremitas bawah, juga dapat terjadi di bagian perut, lengan dan tangan. Patogenesis kram otot tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi penelitian elektromiografi menunjukkan bahwa penyebab berasal dari neuron pada otot itu sendiri. Metabolisme otot subnormal dianggap sebagai faktor yang paling penting dalam etiologi keram. Untuk alasan ini, hipotensi, perubahan plasma osmolaritas, hiponatremia, defisiensi karnitin, hipomagnesemia dan hipoksia jaringan juga diduga menyebabkan pengembangan kram. Dalam situasi di atas, metabolisme otot akan terganggu dan menimbulkan kram. Kram otot dapat terjadi saat mendekati akhir sesi dialisis. Glukosa hipertonik, garam dan manitol dapat diberikan dalam pengobatan akut kram. Tindakantindakan non-medis yang dapat diambil untuk mencegah kram termasuk menghindari intradialytic hipotensi dan perubahan osmolaritas, dan olahraga teratur. Ada penelitian menunjukkan bahwa kram otot dapat dikurangi dengan pemberian 320mg kina sulfat 1-2 jam sebelum memulai hemodialisis. Namun pemberian kina sulfat memiliki banyak efek samping seperti atrofi oprikus, trombositopenia, aritmia, interaksi obat dengan warfarin dan digoxin. Pemberian 400 mg / hari vitamin E, 250 mg / hari vitamin C43, 12 mg dari monohydrate kreatinin sebelum dialisis, prozosin (0,25-1 mg) dan L-carnitine dapat membantu menurunkan resiko kram. Namun, tingkat keamanan menggunakan vitamin C di atas 200 mg untuk waktu yang lama belum terbukti44 KESIMPULAN Komplikasi akut hemodialis merupakan adanya manifestasi klinis terkait dengan hemodialisa yang terjadi selama sesi dialisis atau dalam 24 jam pertama setelah dialisis.
Universitas Sumatera Utara
23
Dalam klasifikasi, komplikasi akut hemosialisis terbagi dalam komplikasi kardiovaskuler, komplikasi terkait peralatan hemodialisis, komplikasi neurologis, komplikasi terkait penggunaan heparin, komplikasi hematologi dan lainnya. Selama tahun-tahun pertama setelah pengenalan hemodialisis, komplikasi yang umum disebabkan oleh permasalahan teknis yang terkait dengan dialysis mesin dan sistem air, namun diikuti dengan kemajuan teknologi permasalahan tersebut sudah menurun. Hemodialisis masih menyebabkan banyak komplikasi meskipun sudah diikuti oleh kemajuan teknologi. Sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi terutama di masa awal hemodialisis dan komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Beberapa komplikasi mungkin tidak mengancam kehidupan pasien tetapi memperburuk kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA 1. Ozkan G, Ulusoy S. Acute Complication of Hemodialysis. In: Technical Problems in Patients on Hemodialysis. Editor: Penido MG. In Tech, Croatia 2011: 251-94 2. Kaze FF, Ashuntantang G, Kengne AP, et al. Acute Hemodialysis Complication in endstage renal disease patients: The burden and implication for the under-resourced SubSaharan African Health system. Hemosialysis International 2012 3. Cruz, D.N., Mahnensmith, R.L. & Perazella, M.A. Intradialytic hypotension: is midodrine beneficial in symptomatic hemodialysis patients? Am J Kidney Dis 1997 ;30:6:772-9. 4. Burton, J.O., Korsheed, S., Grundy, B.J. & McIntyre, C.W.Hemodialysis-induced left ventricular dysfunction is associated with an increase in ventricular arrhythmias. Ren Fail 2008; 30: 7: 701-9 5. Genovesi, S., Vincenti, A., Rossi, E., Pogliani, D., Acquistapace, I., Stella, A. & Valsecchi, M.G. Atrial fibrillation and morbidity and mortality in a cohort of long-term hemodialysis patients. Am J Kidney Dis 2008; 51: 2: 255-62. 6. Herzog, C.A., Mangrum, J.M., & Passman, R. Sudden cardiac death and dialysis patients. Semin Dial 2008 ; 21: 300-7 7. Shastri, S. & Sarnak, M.J. Cardiovascular disease and CKD: core curriculum 2010. Am J Kidney Dis 2010; 56:2:399-417 8. Kobrin, S.M. & Berns, J.S. Quinine--a tonic too bitter for hemodialysis-associated muscle cramps? Semin Dial 2007: 20: 396-401
Universitas Sumatera Utara
24
9. Jesus, A.C., Oliveira, H.A., Paixão, M.O., Fraga, T.P., Barreto, F.J. &Valença, M.M. Clinical description of hemodialysis headache in end-stage renal disease patients. Arq Neuropsiquiatr 2009 ;7: 4: 978-81 10. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Cardiovascular Disease in Dialysis patients :NKF KDOQI Guidelines, National Kidney Foundation Inc 2005 11. Kooman Jeroen et al, European Best Practice Guidelines (EBPG) Guideline on haemodynamic instability: Nephrology Dialysis Transpant 2007; Oxford University Press, pg ii22-ii44 12. Sulowicz W et al, Pathogenesis and treatment of dialysis hypotension: International Society of Nephrology 2006, pg s36-s39 13. Biff F. Palmer et al, Recent Advances in the Prevention and Management of Intradialytic Hypotension: J Am Soc Nephrol 2008;19: 8–11. 14. Perazella, M.A.Pharmacologic options available to treat symptomatic intradialytic hypotension. Am J Kidney Dis 2001; 38:S26-36 15. Guy Rostoker et al, Left Ventricular Diastolic Dysfunction as a risk factor for Dialytic Hypotension, Division of Nephrology and Dialysis Centre Hospitalier Privé Claude Galien, Quincy-sous-Sénart , France: Cardiology 2009;114:142–149 16. Buemi, M., Coppolino. G., Bolignano. D., Sturiale. A., Campo. S., Buemi, A., Crascì, E. & Romeo, A. Arrhythmias and hemodialysis: role of potassium and new diagnostic tools. Ren Fail 2009; 31:1:75-80. 17. Genovesi, S., Vincenti, A., Rossi, E., Pogliani, D., Acquistapace, I., Stella, A. & Valsecchi, M.G. Atrial fibrillation and morbidity and mortality in a cohort of long-term hemodialysis patients. Am J Kidney Dis 2008; 51: 2: 255-62. 18. Severi, S., Cavalcanti, S., Mancini, E. & Santoro, A. Heart rate response to hemodialysisinduced changes in potassium and calcium levels. J Nephrol.2001;14:488-96 19. Sood, M.M., Komenda, P., Sood, A.R., Rigatto, C. & Bueti, J. The intersection of risk and benefit: is warfarin anticoagulation suitable for atrial fibrillation in patients on hemodialysis? Chest 2009;136:4:1128-33 20. Abbott, K.C., Neff, R.T., Bohen, E.M. & Narayan, R. Anticoagulation for chronic atrial fibrillation in hemodialysis patients: which fruit from the decision tree? Am J KidneyDis 2007, 50:3: 345-8. 21. Banerjee, A. & Davenport, A. Changing patterns of pericardial disease in patients with end-stage renal disease. Hemodial Int 2006; 10: 249-55. 22. Shastri, S. & Sarnak, M.J.Cardiovascular disease and CKD: core curriculum 2010. Am J Kidney Dis 2010; 56:2:399-417 23. Winkelmayer, W.C., Charytan, D.M., Levin, R. & Avorn, J. Poor short-term survival and low use of cardiovascular medications in elderly dialysis patients after acute myocardial infarction.Am J Kidney Dis 2006; 47:2:301-8 24. Komukai, K., Ogawa, T., Yagi, H., Date, T., Suzuki, K., Sakamoto, H., Miyazaki, H., Takatsuka, H., Shibayama, K., Ogawa, K., Kanzaki, Y., Kosuga, T., Kawai, M., Hongo, K., Yoshida, S., Taniguchi, I. & Mochizuki, S. Renal insufficiency is related to painless myocardial infarction. Circ J 2007; 71: 9: 1366-9 25. Chew, H.C. Cardiac troponin T in acute coronary syndrome with renal insufficiency. Asian Cardiovasc Thorac Ann 2008; 16: 4: 284-7.
Universitas Sumatera Utara
25
26. Selby, N.M. & McIntyre, C.W. The acute cardiac effects of dialysis. Semin Dial 2007; 20:3:220-8 27. Barak, M., Nakhoul, F. & Katz, Y. Pathophysiology and clinical implications of microbubbles during hemodialysis. Semin Dial 2008; 21:3:232-8 28. Polaschegg , H.D.(2007) Hemodialysis machine air detectors need not detect microbubbles. Artif Organs, 31,12,911-2 29. Versluis, M., Goertz, D.E., Palanchon, P., Heitman, I.L., van der Meer, S.M., Dollet, B., de Jong, N. & Lohse,.(2010) Microbubble shape oscillations excited through ultrasonic parametric driving. Phys Rev E Stat Nonlin Soft Matter Phys, 82,2 Pt 2,026321. 30. Twardowski, Z.J.(2008) History of hemodialyzers' designs. Hemodial Int,12,173-210 31. Ebo, D.G., Bosmans, J.L., Couttenye, M.M. & Stevens, W.J. (2006). Haemodialysisassociated anaphylactic and anaphylactoid reactions. Allergy, 61, 211-20. 32. Montanari, L.B., Sartori, F.G., Cardoso, M.J., Varo, S.D., Pires, R.H., Leite, C.Q., Prince, K. & Martins, C.H.(2009) Microbiological contamination of a hemodialysis center water distribution system. Rev Inst Med Trop Sao Paulo, 51,1,37-43 33. Attur, R.P., Kandavar, R., Kadavigere, R. & Baig, W.W. (2008). Dialysis disequilibrium syndrome presenting as a focal neurological deficit. Hemodial Int, 12,3,313-5 34. Patel, N., Dalal, P. & Panesar, M.(2008) Dialysis disequilibrium syndrome: a narrative review. Semin Dial, 21,5,493-8 35. Goksel, B.K., Torun, D., Karaca, S., Karatas, M., Tan, M., Sezgin, N., Benli, S., Sezer, S. & Ozdemir, N. (2006). Is low blood magnesium level associated with hemodialysis headache? Headache, 46,1, 40-5. 36. Seliger, S.L., Gillen, D.L., Tirschwell, D., Wasse, H., Kestenbaum, B.R. & StehmanBreen, C.O.(2003) Risk factors for incident stroke among patients with end-stage renal disease. J Am Soc Nephrol, 14,10,2623-31 37. Kapa, S. & Qian, Q. (2009). 84-year-old woman with hemodialysis-associated shortness of breath. Mayo Clin Proc, 84, 2, 187-90 38. Suranyi , M. & Chow, J.S.(2010). Review: anticoagulation for haemodialysis. Nephrology (Carlton), 15,4,386-92 39. Syed, S. & Reilly, R.F.(2009) Heparin-induced thrombocytopenia: a renal perspective. Nat Rev Nephrol, 5,9,501-11 40. Malinauskas, R.A. (2008). Decreased hemodialysis circuit pressures indicating postpump tubing kinks: a retrospective investigation of hemolysis in five patients. Hemodial Int, 12, 3, 383-93 41. Takemoto, Y., Naganuma, T. & Yoshimura, R.(2011) Biocompatibility of the dialysis membrane. Contrib Nephrol, 68,139-45 42. Narita, I., Iguchi, S., Omori, K. &Gejyo, F. (2008)Uremic pruritus in chronic hemodialysis patients. J Nephrol. 21,161-5 43. Khajehdehi, P., Mojerlou, M., Behzadi, S. & Rais-Jalali, G.A. (2001). A randomized, doubleblind, placebo-controlled trial of supplementary vitamins E, C and their combination for treatment of haemodialysis cramps. Nephrol Dial Transplant, 16,7, 1448-51 44. Kobrin, S.M. & Berns, J.S. (2007). Quinine--a tonic too bitter for hemodialysisassociated muscle cramps? Semin Dial, 20, 396-401
Universitas Sumatera Utara