PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR DAN AGENSIA HAYATI TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) PADA PEMBIBITAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.)
SKRIPSI
Oleh : RANI MAHNELI 010302044/ ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Rani Mahneli : Pengaruh Pupuk Organik Cair Dan Agensia Hayati Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.), 2008 USU Repository © 2008
PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR DAN AGENSIA HAYATI TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) PADA PEMBIBITAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.)
SKRIPSI
Oleh : RANI MAHNELI 010302044/ ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Judul Skripsi : PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR DAN AGENSIA HAYATI TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) PADA PEMBIBITAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) Nama : Rani Mahneli NIM : 010302044 Departemen : Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Jurusan : Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
( Ir. Zulnayati ) Ketua
( Ir. Kasmal Aripin, MSi. ) Anggota
ABSTRACT
Rani Mahneli, “Pengaruh Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) “. With the leader Ir. Zulnayati as a chief and Ir. Kasmal Aripin, M.Si as a member. The research hads been done in Green House of Faculty of Agriculture, North Sumatera University, Medan with high of place ± 25 m from sea level. Research is started in July until September 2007. The aim of the research is to know about the influences of Organic Liquid Fertilizer and Biological Agents for preventing of Antracnosa disease (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.)Sacc.) for seedling of cocoa (Theobroma cacao L.) Tise research use completely randomized design factorial by two factors. First factor is organic liquid fertilizer with 3 responses, they are P0 (control), P1 (2 cc/liter), P2 (4 cc/liter). The second factor is biological agents with 3 responses, they are A0 (control), A1 (0,0005 gr/seed), A2 (0,001 gr/seed). The parameter that is perceived is intensity of attack of Colletotrichum gloeosporioides (%). The result of research shows that the giving of organic liquid fertilizer is significant to 2-5 weeks after planting to intensity of attack Colletotrichum gloeosporioides. The highest average to respons of P0 is 8,81 % and the lowest is to respons of P2 is 0,55 %. The giving of biological agents is significant to 2-5 weeks after planting to intensity of attack Colletotrichum gloeosporioides. The highest average to respons of A0 is 5,96 % and the lowest is to respons of A2 is 1,78 %. The result of research shows that the giving of organic liquid fertilizer and biological agents is significantly to 2-5 weeks after planting to intensity of attack Colletotrichum gloeosporioides. The highest average to respons of P0A0 is 8,91 % and the lowest is to respons of A2P2 is 0,15%
ABSTRAK
Rani Mahneli, “Pengaruh Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) “. Dengan komisi pembimbing Ir. Zulnayati sebagai Ketua dan Ir. Kasmal Aripin, M.Si sebagai Anggota. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 m dari permukaan laut. Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai dengan September 2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor yang terdiri dari, faktor pertama Pupuk Organik Cair yang terdiri dari 3 taraf perlakuan yaitu P0 (kontrol/tanpa perlakuan), P1 (2 cc/liter), P2 (4 cc/liter). Faktor kedua dengan 3 taraf perlakuan yaitu A0 (kontrol/tanpa perlakuan), A1 (0,0005 gr/bibit), A2 (0,001 gr/bibit). Parameter yang diamati adalah intensitas serangan Colletotrichum gloeosporioides. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyakit Antraknosa Colletotrichum gloeosporioides 2-5 minggu setelah tanam. Rataan tertinggi terdapat pada perlakuan P0 sebesar 8,81% dan terendah pada perlakuan P2 sebesar 0,55%. Pemberian agensia hayati memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyakit Colletotrichum gloeosporioides pada pengamatan 2-5 minggu setelah tanam. Rataan tertinggi terdapat pada perlakuan A0 sebesar 5,96% dan terendah pada perlakuan A2 sebesar 1,78%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair dan agensia hayati berpengaruh nyata pada pengamatan 2-5 minggu setelah tanam terhadap intensitas serangan Colletotrichum gloeosporioides. Rataan intensitas serangan tertinggi pada perlakuan P0A0 sebesar 8,91 % dan terendah pada perlakuan P2A2 sebesar 0,15%.
RIWAYAT HIDUP
Rani Mahneli, dilahirkan di Medan pada tanggal 27 Januari 1983, anak ke-3 dari 5 bersaudara dari Ayahanda Ibrahim dan Ibunda Sulastri. Tahun 1995 tamat dari SD Negeri 060900 Medan. Tahun 1998 tamat dari SMP Negeri 2 Medan, dan Tahun 2001 tamat dari MAN 1 Medan dan pada Tahun yang sama
melanjutkan pendidikan di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, melalui jalur UMPTN. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Organisasi IMAPTAN dan Komunikasi Muslim (Komus) HPT di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, selain itu penulis juga melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) pada bulan Juli – Agustus 2005 di IP2TP (Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian) Pasar Miring Galang.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari skripsi ini adalah "Pengaruh Pupuk Organik Cair Dan Agensia Hayati Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.)Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)". Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk dapat menempuh ujian sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. Zulnayati dan Ir. Kasmal Aripin, MSi sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan dorongan, saran serta arahan dalam penyelesaian skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini bermanfaat. Medan, Nopember 2007
Penulis
DAFTAR ISI Hal ABSTRACT .................................................................................................... i ABSTRAK ..................................................................................................... ii RIWAYAT HIDUP......................................................................................... iii KATA PENGANTAR .................................................................................... iv DAFTAR ISI................................................................................................... v DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. ix PENDAHULUAN Latar Belakang................................................................................. Tujuan.............................................................................................. Hipotesis .......................................................................................... Kegunaan .........................................................................................
1 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Kakao Botani Tanaman ...................................................................... 4 Syarat Tumbuh ........................................................................ 6 Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Penyebab Penyakit .................................................................. 7 Faktor Yang Mempengaruhi ................................................... 8 Daur Hidup Penyakit .............................................................. 9 Gejala Serangan ..................................................................... 9 Pengendalian ........................................................................... 11 Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) ........................ 12 BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. Bahan dan Alat.................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................... Pelaksanaan Penelitian Persiapan Media Tanam .......................................................... Perlakuan Benih ....................................................................... Penanaman Benih .................................................................... Pengamatan Persentase Perkecambahan ................................. Persiapan Inokulum ................................................................ Persiapan Inokulasi .................................................................
15 15 15 17 17 18 18 18 19
Perlakuan Pemupukan ............................................................ Pemberian Agensia Hayati ..................................................... Pemeliharaan Tanaman .......................................................... Parameter Penelitian Intensitas serangan penyakit Antraknosa ...............................
19 20 20 20
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pupuk Organik Cair (P) terhadap Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides ..................................................... 22 Pengaruh Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides ..................................................... 24 Pengaruh Interaksi Pupuk Organik Cair (P) dan Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides 25
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ................................................................................... 28 Saran .............................................................................................. 28 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No. 1.
2.
3.
Judul
Halaman
Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada perlakuan Pupuk Organik Cair (P) untuk setiap waktu pengamatan
22
Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada perlakuan Agensia Hayati (A) untuk setiap waktu pengamatan
24
Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada perlakuan Pupuk Organik Cair (P) dan Agensia Hayati (A) untuk setiap waktu pengamatan
26
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
Halaman
1.
Jamur Colletotrichum gloeosporioides
8
2.
Gejala Serangan Antraknosa
10
3.
Histogram Interaksi Pupuk Organik (P) dan Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan C. gloeosporioides (%) pada setiap waktu pengamatan (MST)
25
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Judul
Halaman
1. Bagan Pelaksanaan Penelitian
31
2. Data Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides 2 MST
32
3. Data Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides 3 MST
34
4. Data Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides 4 MST
36
5. Data Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides 5 MST
38
6. Foto Lahan Penelitian
40
7. Foto Bibit Tanaman Kakao yang terserang Antraknosa
41
8. Data Pengamatan Temperatur (°C) dan Kelembaban Udara (%) di Rumah Kaca
42
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat sekarang ini komoditas non-migas mempunyai arti penting dalam ekspor Indonesia terutama tanaman perkebunan. Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mempunyai arti penting dalam perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu bidang usaha yang dapat memberikan sumber penghidupan bagi rakyat (Siswoputranto, 1978). Tanaman kakao termasuk tanaman tropis. dikenal masyarakat Indonesia pertama kali pada tahun 1780. Semula nilai komersialnya belum begitu diutamakan bagi penanamnya. Dan untuk mengembangkan ekspor non-migas, komoditas pertanian yang mempunyai prospek baik terus ditingkatkan. Salah satu yang diharapkan dapat membantu meningkatkan devisa negara adalah kakao. Lahan penanamannya setiap tahun, terus ditingkatkan. Sebab biji coklat mengandung lemak mencapai 50 - 60% dari berat biji, bisa dibuat berbagai macam produk makanan, bahkan juga bisa dimanfaatkan untuk pembuatan sabun, parfum, obatobatan, dan bahan dasar pembuatan kosmetik (Spilane, 1995). Produksi kakao di Indonesia dihasilkan dari perkebunan besar negara dan swasta yang terdapat didaerah Sumatera Utara dan Jawa Timur, selain itu juga produksi yang berasal dari perkebunan rakyat yang tersebar di daerah-daerah Maluku, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Irian Jaya. Meningkatnya usaha-
usaha dibidang pembudidayaan kakao ini telah dapat meningkatkan hasil devisa bagi negara melalui ekspor dan mendorong ekonomi daerah terutama
daerah pedesaan.
Untuk itu, sejak tahun 1980, Pemerintah memberikan prioritas terhadap produksi kakao sebagai salah satu mata dagang yang dikembangkan secara cepat (Siregar dkk, 2006). Benih dan bibit merupakan salah satu faktor produksi yang memegang peranan sangat penting dalam menentukan mutu dan produktifitas tanaman. Kekeliruan dalam pemilihan, penyediaan dan penanganan terhadap benih dan bibit akan berdampak fatal dan akan mengakibatkan kerugian yang terus menerus bagi petani/pengusaha perkebunan, serta untuk memperbaikinya memerlukan waktu yang lama (Anonim, 1995). Dalam hal ini faktor perlindungan terhadap benih/bibit khususnya terhadap gangguan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) memegang peranan yang sangat penting dan perlu ditingkatkan. OPT tidak hanya menyerang benih., tetapi juga dapat menyerang bibit di pembibitan. Akibat gangguan OPT tersebut dapat menyebabkan meningkatnya jumlah benih dan bibit yang tidak memenuhi persyaratan untuk ditanam. Apabila benih/bibit yang tidak baik terpaksa ditanam, dapat mengakibatkan kerugian yang besar karena akan mendapatkan tanaman dengan kualitas dan kuantitas produksi rendah dan akan berakibat fatal (Anonim, 1995). OPT pada bibit kakao yang sangat merugikan salah satunya adalah penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides). Jamur ini menyerang daun muda dengan gejala terjadinya bintik-bintik nekrosis berwarna coklat. Jika penyakit ini menyebar keseluruh daun muda dan terjadi berulangkali, maka bibit terserang akan
mengalami kematian karena bibit tidak mampu memproduksi asimilat yang cukup untuk pertumbuahan (Anonim, 1995). Salah satu pengendalian yang dapat dilakukan pada pembibitan kakao adalah pengendalian secara biologi. Teknologi pertanian yang tergantung pada bahan kimia berdasarkan pertimbangan fisik dan ekonomi dianggap berhasil menanggulangi kerawanan pangan, tetapi ternyata harus dibayar mahal dengan meningkatnya kerusakan yang terjadi dimuka bumi ini (Sutanto, 2002). Tanaman yang tumbuh ditanah yang kaya akan bahan organik dinyatakan lebih sehat dari gangguan penyakit meskipun patogen/parasit fakultatif terdeteksi keberadaannya. Hal ini disebabkan karena penambahan bahan organik kedalam tanah juga meningkatkan aktivitas dan populasi mikroba tanah yang mungkin juga berperan sebagai mikroorganisme antagonis yang dapat berfungsi sebagai antagonis bagi patogen penyakit tanaman (Yulianti dan Nidar, 1999).
Tujuan Penelitian Mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik cair dan agensia hayati terhadap pencegahan penyakit Antraknosa pada pembibitan tanaman kakao (Theobroma cacao L.)
Hipotesa Penelitian Ada pengaruh pemberian pupuk organik cair dan agensia hayati terhadap pencegahan penyakit Antraknosa pada pembibitan tanaman kakao (Theobroma cacao L.)
Kegunaan Penelitian -
Sebagai salah satu syarat untuk dapat meraih gelar sarjana di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan..
-
Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang memerlukan.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Tanaman kakao diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Devisio
: Spermatophyta
Subdevisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Malvales
Famili
: Sterculiceae
Genus
: Theobroma
Spesies
: Theobroma cacao L.
(Anonim, 2004) Kakao termasuk tanaman kauliflori yang artinya bunga dan buah tumbuh pada batang dan cabang tanaman. Dalam setiap buah terdapat sekitar 20 - 50 butir biji, yang tersusun dalam lima baris dan menyatu pada bagian poros buah. Biji dibungkus oleh daging buah atau pulp yang berwarna putih dan rasanya manis. Pulp tersebut mengandung zat penghambat perkecambahan, namun karena
biji
kakao tidak memiliki masa dorman maka seringkali biji dalam buah pun dapat tumbuh bila terlambat dipanen (Susanto, 1994)
Kakao biasanya bersifat dimorfismo, artinya mempunyai dua percabangan atau tunas vegetatif , yaitu tunas ortotrof yang tumbuh ke samping, cabang kipas atau fan. Tanaman yang berasal dari biji setelah mencapai tinggi sekitar 0,9 – 1,5 meter, akan membentuk jorket, yang kemudian tumbuh 3 - 6 cabang yang arahnya kesamping dengan sudut 0 - 900. Tanaman kakao yang diperbanyak secara vegetatif tidak membentuk jorket (Siregar, dkk, 2006). Daun kakao mempunyai dua persendian atau articullation yang terletak pada pangkal dan ujung tangkai daun. Masa tumbuh tunas-tunas baru disebut flush, dimana tunas membentuk 3 – 6 helai daun baru sekaligus. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertunasan adalah suhu udara. Perbedaan suhu siang dan malam yang besar akan memacu pertunasan. Suhu dan kelembaban berkaitan dengan intensitas naungan. Kakao yang tanpa naungan akan bertunas lebih sering dan lebih intensif. Pada saat bertunas tanaman kakao lebih peka terhadap serangan hama dan penyakit (Susanto, 1994). Perakaran kakao tumbuh cepat pada bibit dari biji yang baru berkecambah, dari panjang akar 1 cm pada umur 1 minggu tumbuh menjadi 16-18 cm pada umur 1 bulan dan 25 cm pada umur 3 bulan (Susanto, 1994). Bunga dari kakao terdiri dari 5 daun kelopak dan 5 daun mahkota. Bunga kakao berwarna putih-ungu atau kemerahan. Hampir 75 % penyerbukan bunga kakao dibantu oleh serangga (Anonim, 2004). Warna buah kakao beraneka ragam, namun pada dasarnya hanya ada dua macam yaitu : buah muda berwarna hijau putih dan bila masak menjadi warna kuning, dan buah muda yang berwarna merah setelah masak menjadi oranye. Buah muda sebagian besar layu dan kemudian mati, terutama pada umur sekitar
1–2
bulan. Hal ini merupakan gejala spesifik dari kakao yang disebut physiological effect thinning. Buah yang mengalami peristiwa ini panjangnya kurang dari 10 cm. Pada umumnya setelah umur 70 – 100 hari atau sepanjang
10 cm sudah bebas dari
proses ini (Susanto, 1994). Syarat Tumbuh Distribusi curah hujan yang merata sepanjang tahun lebih penting daripada jumlah hujan tahunan sebab tanaman kakao lebih cocok bila bulan kering tidak melebihi dari 3 bulan (Anonim, 2004) Suhu dapat mempengaruhi pembentukan flush, pembungaan dan kerusakan daun. Misalnya pebedaan suhu siang dan malam yang besar akan mendorong terjadinya flush. Suhu rata-rata di Indonesia sekitar 25 – 26 0C, maka kemungkinan untuk pengembangan kakao masih besar. Kelembaban udara relatif maksimum 100% pada malam hari dan 70% - 80 % pada siang hari. Kelembaban yang rendah akan mempengaruhi evapotranspirasi menjadi lebih cepat, sedangkan kelembaban yang tinggi mengundang perkembangan cendawan patogen. Pada pembibitan, sinar matahari yang banyak akan menyebabkan batang bibit menjadi kecil-kecil, daunnya sempit, dan bibit relatif pendek (Susanto, 1994). Faktor tanah yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao adalah sifat fisik tanah, sifat kimia tanah, dan kandungan bahan organik tanah. Tanah yang baik untuk kakao adalah yang bila musim hujan drainase baik dan pada musim kemarau dapat menyimpan air. Jadi tekstur tanah yang cocok bagi tanaman kakao adalah tanah liat berpasir dan lempung liat berpasir (Siregar, dkk, 2006). Tanaman kakao dapat tumbuh pada tanah yang memiliki kisaran pH
6,0
– 7,5. Namun pH yang ideal adalah 5,6 – 7,2 dimana unsur-unsur hara dalam tanah
cukup tersedia bagi tanaman. Pada pH yang tinggi misalnya lebioh dari 8,0 kemungkian tanaman akan kekurangan unsur hara, dan akan keracuan Al, Mn dan Fe pada pH yang rendah, misalnya kurang dari 4,0 (Siregar, dkk, 2006).
Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Penyebab Penyakit Penyakit disebabkan oleh jamur Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. Jamur ini memiliki sistematika sebagai berikut : Kingdom
: Fungi
Divisio
: Mycota
Sub Divisio
: Deuteromycotina
Kelas
: Dueteromycetes
Ordo
: Melanconiales
Famili
: Melanconiaceae
Genus
: Colletotrichum
Spesies
: Colletotrichum gloeosporioides (Penz.)Sacc.
(Semangun, 1996). Berikut adalah gambar jamur Colletotrichum gloeosporioides (Penz.)Sacc.
Keterangan : a. Acervulus dengan konidiofor dan konidia b. Konidia dengan konidiofor c. Konidia
(Barnett, 1960) Semua ordo Melanconiales dimasukkan ke dalam satu famili khusus yaitu Melanconiaceae dimana banyak spesiesnya yang hidup sebagai parasit dan penyakitnya dikenal sebagai antraknosa (Alexopoulus dan Mims, 1979) C. gloeosporioides mempunyai miselium yang jumlahnya agak banyak, hifa bersepta tipis, mula-mula terang kemudian gelap (Mehrotra, 1983). Konidiofor pendek, tidak bercabang, tidak bersepta dengan ukuran 7-8 x 3-4 μm (Weber, 1973). C. gloeosporioides khususnya pada daun muda yang agak dewasa menghasilkan konidium jamur yang bewarna merah jambu (Semangun, 2000). Massa konidia yang berwarna merah jambu ini akhirnya menjadi coklat gelap (Weber, 1973). Colletotrichum umumnya mempunyai konidium hialin, bersel satu, berukuran 9-24 x 3-6 μm, tidak bersekat, jorong memanjang, terbentuk pada ujung konidiofor yang sederhana. Pada saat berkecambah konidium yang bersel satu tadi membentuk
sekat.
Pembuluh
kecambah
membentuk
apresorium
sebelum
mengadakan infeksi. Diantara konidiofor biasanya terdapat rambut-rambut (seta) yang kaku dan berwarna coklat tua (Semangun, 2000). konidia C. gloeosporioides (sumber : daun kakao yang terinfeksi antraknosa)
Gambar 1. Colletotrichum gloeosporioides Sumber : Fhoto Langsung (Perbesaran 10 x 8 Keterangan
:
Faktor Yang Mempengaruhi Spora tumbuh paling baik pada suhu 25 - 28 0C, sedang dibawah 5 0C dan diatas 40 0C tidak dapat berkecambah (Semangun, 2000) Pada kondisi yang lembab, bercak-bercak pada daun akan menghasilkan kumpulan konidia yang berwarna putih (Anonim, 1995). Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti peneduh yang kurang, kesuburan tanah yang rendah, atau cabang yang menjadi lemah karena adanya kanker batang. Jamur juga dapat mengadakan infeksi melalui bekas tusukan atau gigitan serangga (Semangun, 2000).
Daur Hidup Penyakit Jamur Colletotrichum menghasilkan konidia dalam jumlah banyak. Konidia terbentuk pada permukaan bercak pada daun terinfeksi, dan konidia tersebut mudah lepas bila ditiup angin atau bila terkena percikan air hujan. Konidia sangat ringan dan dapat menyebar terbawa angin sampai ratusan kilometer sehingga penyakit tersebar luas dalam waktu yang singkat
(Soepena, 1995). Konidia mungkin juga
dipencarkan oleh serangga. Di Sumatera Utara diduga bahwa infeksi pada semai kakao di pembibitan berasal dari kebun karet yang ada didekatnya yang sedang terserang penyakit gugur daun Colletotrichum (Semangun, 2000). Gejala Serangan Colletotrichum umumnya menyerang daun muda. Daun-daun muda hanya rentan selama ± 5 hari pada waktu kuncup membuka dan selama 10 hari yang pertama pada waktu daun berkembang. Setelah itu daun sudah membuka penuh,
warnanya sudah berubah dari warna perunggu menjadi pucat. Pada waktu ini kutikula sudah terbentuk dan daun menjadi cukup tahan. Jika infeksi terjadi pada bagian awal dari masa 15 hari tersebut maka daun akan segera layu dan rontok. Tetapi jika infeksi terjadi pada tingkat yang lebih, kemudian daun sudah mempunyai ketahanan dalam mencegah terjadinya kerusakan yang meluas, sehingga meskipun sebagian daun berubah bentuk dan sangat banyak berbercak-bercak daun-daun tidak akan gugur (Semangun, 2000). Gejala serangan ditandai dengan terjadinya bintik-bintik nekrosis berwarna coklat. Setelah daun berkembang, maka bintik nekrosis tersebut berkembang menjadi bercak berlubang dengan ’halo’ berwarna kuning disekeliling jaringan yang sakit, dan terjadinya jaringan yang mati yang melekuk (antraknos). Pada daun yang terserang berat, akan mengalami kerontokan/gugur sehingga bibit akan menjadi gundul (Anonim, 1995).
Gambar 2. Gejala Serangan Antraknosa Sumber : Foto Langsung
Pengendalian 1. Menanam klon yang tahan. 2. Memperbaiki keadaan tanaman, antara lain dengan menambah pupuk dan mengatur naungan. 3. Untuk mengurangi sumber infeksi, ranting-ranting dan buah yang sakit dipotong dan dipendam dalam tanah. 4. Penambahan bahan organik untuk meningkatkan kesuburan tanah dan kesehatan tanaman. 5. Penggunan fungisida. (Anonim, 1995)
Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L. )
Dari data yang dilaporkan beberapa lembaga bahwa pertanian organik memiliki kelebihan atau keuntungan dibanding dengan pertanian non organik. Beberapa keuntungan tersebut antara lain sebagai berikut: a. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan OPT Pemberian pupuk organik menjadikan vigor akar dan batang tanaman lebih kokoh sehingga mengurangi serangan beberapa OPT b. Meningkatkan aktivitas mikroorganisme antagonis Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme yang menguntungkan bagi tanaman seperti rhizobium dan mikoriza. Selain itu, juga meningkatkan populasi dan aktivitas mikroorganisme antagonis seperti Trichoderma sp c. Membantu mencegah erosi d. Pemberian pupuk organik membantu menurunkan tingkat erosi pada tanah yang mudah terkikis oleh air dan angin. Penambahan bahan organik akan merangsang pertumbuhan fungi, bakteri, dan aktinomicetes. (Musnamar, 2003). Pupuk hijau dan pengembalian bahan organik tanah: pelapukan bahan-bahan organik alam tanah menghasilkan sejumlah zat-zat beracun, khususnya asam. Tetapi juga zat-zat yang dapat membunuh dan menghalangi keberadaan organisme parasitik. Penambahan secara terus-menerus bahan organik dapat memperbaiki tekstur tanah dan tingkat kesuburan tanah dari peningkatan kandungan humus dapat membantu
pertumbuhan tanaman yang lebih baik dan perkembangan akar yang lebih cepat. Hal ini memacu tanaman untuk menghasilkan akar-akar yang baru dan untuk menggantikan akar-akar yang sakit dan mati. Kehilangan atau kekurangan unsur hara dapat dikurangi (Singh, 1998). Pengendalian tanaman dengan fungisida dewasa ini telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, membunuh organisme non-target, menimbulkan resistensi dan pemborosan. Alternatif lain yang telah banyak digunakan dengan dampak terhadap lingkungan yang kecil sekali adalah pemanfatan musuh alami yang telah digunakan sebagai agen pengendali hayati. Jamur Trichoderma merupakan salah satu mikoparasit yang telah digunakan sebagai agen pengendali hayati bagi jamur-jamur patogen (Supeno, 1999). Pemberian agensia hayati atau mikroba antagonis dan perlakuan tertentu seperti pemberian bahan organik untuk meningkatkan aktivitas mikroba tanah adalah termasuk dalam usaha pengendalian secara hayati. Yang dimaksud dengan miroba antagonis adalah mikroba yang aktivitasnya berdampak negatif terhadap kehidupan patogen (Abadi, 2003). Selain penggunaan organisme antagonis, penggunaan bahan organik yang diberikan pada tanah dapat menurunkan keparahan penyakit. Hal ini dimungkinkan karena bahan organik dapat membawa berbagai macam organisme antagonis yang memang rata-rata adalah organisme saproba, sehingga penambahan bahan organik kedalam tanah dapat membuat
organisme antagonis berkembang lebih banyak.
Selain itu, bahan organik dapat meningkatkan ketahanan tanaman karena tanaman akan tumbuh lebih baik pada tanah yang kaya akan bahan organik (Abadi, 2003).
Pupuk Organik Cair NASA memiliki kandungan unsur hara Total (N+P2O5+K2O) 0,18 %, C organik 4,6%, Zn 41,04 ppm, Cu 8,43 ppm, Mn 80,12 ppm, Co 2,54 ppm, Fe 0,45 ppm, S 0,12 %, B 60,84 ppm, Si 0,01%, Al 6,38 ppm, NaCl 0,98%, dan Sc 0,11 ppm (Anonim, 2005). Agensia hayati Natural Glio mengandung bahan aktif Trichoderma sp. dengan kandungan 1015 spora yang berfungsi secara alami sebagai pengendali biologis terhadap penyakit dengan cara menghancurkan secara langsung penyebab penyakit. Selain itu juga dapat melindungi perkecambahan biji dan akar tanaman dari infeksi penyakit (Anonim, 2005). Pupuk Organik Cair NASA mempunyai kelebihan sebagai berikut : 1. Menngkatkan kuantitas dan kualitas produksi tanaman serta kelestarian lingkungan tanah. 2. Menjadikan tanah yang keras berangsur-angsur gembur. 3. Melarutkan sisa-sisa pupuk kimia dalam tanah, sehingga dapat dimanfatkan tanaman. 4. Membantu perkembangan mikroorganisme tanah yang bermanfaat bagi tanaman. (Anonim, 2005)
BAHAN DAN METODA
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan pada ketinggian + 25 m dpl, pada bulan
Juli sampai
dengan September 2007. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah benih kakao, tanah, pasir, kompos, pupuk organik cair NASA, agensia hayati Natural Glio, dan polibag ukuran
12 x
17 cm. Alat-alat yang digunakan antara lain
cangkul, gembor, handsprayer,
timbangan elektronik, papan nama, kamera, kalkulator dan alat tulis. Metoda Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan menggunakan 2 faktor perlakuan yaitu : 1. Faktor Pemberian Dosis Pupuk Organik Cair NASA dengan 3 taraf yaitu : P0 = kontrol P1 = 2 cc POC / liter air P2 = 4 cc POC / liter air 2. Faktor Pemberian Dosis Agensia Hayati Natural Glio dengan 3 taraf yaitu : A0 = kontrol A1 = 0,5 mg per tanaman
A2 = 1
mg per tanaman
Dengan demikian terdapat 9 kombinasi perlakuan yaitu : P0A0
P1A0
P2A0
P0A1
P1A1
P2A1
P0A2
P1A2
P2A2
Untuk ulangan perlakuan dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (t – 1) (r – 1) > 15 (9 – 1) (r – 1) > 15 9 ( r – 1) > 15 9r > 24 r > 2.67 r = 3 Jumlah tanaman untuk setiap perlakuan kombinasi adalah 30 tanaman (6 tanaman sebagai sampel) sehingga jumlah seluruh tanaman yang dibutuhkan adalah : ¾ jlh perlakuan kombinasi X ulangan X jlh tanaman tiap perlakuan = 9 x 3 x 30 tanaman = 810 tanaman Sedangkan jumlah tanaman sampel yang diamati adalah : ¾ jlh perlakuan kombinasi X ulangan X jlh tanaman sampel tiap perlakuan = 9 x 3 x 6 tanaman = 162 tanaman Bentuk Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dapat digambarkan dengan model linear sebagai berikut : Yijk
= μ + αi + βj + (αβ)ij + ∑ijk
Yijk
= Nilai pengamatan pada suatu percobaan yang memperoleh perlakuan ke-i dari faktor pupuk organik cair dan taraf ke-j pada faktor agensia hayati dan ulangan ke-k
μ
= Nilai tengah umum
αi
= Pengaruh taraf ke-i dari faktor pupuk organik cair
βj
= Pengaruh taraf ke-j dari faktor agensia hayati
(αβ)ij = Pengaruh interaksi dari taraf ke-i dan taraf ke-j ∑ijk
= Pengaruh galat pada satuan percobaan yang memperoleh perlakuan taraf ke-i dari faktor pupuk organik cair, taraf ke-j dari faktor agensia hayati dan ulangan ke-k Selanjutnya bila analisis sidik ragam menunjukkan hasil yang nyata, maka
dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Bangun, 1980)
Pelaksanaan Penelitian Persiapan Media Tanam Tanah terlebih dahulu dibersihkan dari akar, rumput-rumputan, batu dan kerikil. Kemudian tanah diberikan campuran pasir dan kompos dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Campuran tanah, pasir dan kompos tersebut kemudian disterilkan dengan cara dipanaskan didalam tong pengukus selama 1 – 2 jam. Setelah itu tanah dikeringanginkan selama 1 hari. Kemudian tanah dimasukkan kedalam masingmasing polibag yang berukuran 12 x 17 cm yang diisi ¾ bagian dari polibag. Perlakuan Benih Terlebih dahulu dilakukan
pengujian kesehatan benih dengan menggunakan
Most Chamber Technique (teknik dengan ruangan lembab). Biji yang akan diuji
kesehatannya ditempatkan dalam kotak tray diatas kertas filter yang dasarnya didukung oleh kawat kassa sebagai penyangga. Lalu diberi air/aquadest untuk mendapatkan kelembaban yang tinggi. Dan kemudian dilihat apakah ada patogen lain yang tumbuh selain Colletotrichum gloeosporioides, dan jika ada maka sebelum pananaman dilakukan pencegahan dengan merendam biji dalam air panas (Hot Water Treatment). Caranya yaitu : biji-biji yang akan digunakan pertama-tama harus didesinfeksi dahulu dengan larutan Clorox 0,1%, guna menghilangkan kontaminasi yang mungkin terdapat pada permukan biji. Kemudian biji-biji ini direndam dengan air panas ± 45 0C dalam beaker glass selama ± 10-15 menit. Dengan demikian diharapkan patogen benih akan mati. (Zulnayati, 1999). Penanaman Benih Selanjutnya benih kakao ditanam kedalam polibag, masing-masing berisi 1 benih kakao. Benih kakao akan segera berkecambah dalam waktu 3 – 4 hari (Anonim, 1995). Selain itu dipersiapkan pula tanaman sisipan sebanyak 6 tanaman tiap perlakuan untuk menggantikan benih yang tidak tumbuh.
Pengamatan Pesentase Perkecambahan Setelah benih kakao berkecambah, dilakukan pengamatan persentase perkecambahan benih kakao, diamati berapa jumlah benih yang tumbuh dan yang tidak tumbuh. Dan jika terdapat benih yang tidak tumbuh, maka akan disisip sesuai dengan masing-masing perlakuan. Diamati pula apakah benih tersebut tidak berkecambah karena terserang penyakit atau karena mutu benih yang kurang baik. Persentase perkecambahan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Persentase Perkecambahan = Jumlah benih berkecambah x 100% Jumlah benih seluruhnya
Persiapan Inokulum Inokulum jamur dibiakkan dan dimurnikan pada media PDA. Kemudian biakan murni tersebut dilihat terlebih dahulu dimikroskop apakah inokulum tersebut benar C. gloeosporioides. Selanjutnya biakan yang telah murni dikulturkan kembali. Untuk lebih jelasnya, konidia jamur C. gloeosporioides dapat dilihat pada Gbr 1. (halaman 8). Konidia C. gloeosporioides yang terbentuk diambil dengan cara sebagai berikut : biakan murni ditetesi dengan aquadest steril sebanyak 10 ml kemudian dikikis dengan jarum kait sehingga konidia yang ada terlepas dalam aquadest steril. Campuran ini disaring dengan kain muslin sehingga potongan-potongan miselium dan bagian yang kasar dari media akan tertinggal dan hanya konidia saja yang dapat lewat. Filtrat selanjutnya disentrifuge untuk mendapatkan suspensi konidia yang konsentrat. Kerapatan konidia dalam suspensi dihitung dengan menggunakan haemacytometer. Suspensi konidia ini diencerkan dengan menggunakan aqudest steril sehingga mencapai kerapatan 2 x 105 konidia per ml.
Persiapan Inokulasi Daun-daun yang baru berumur 3 - 5 hst dan telah tumbuh ± 2 – 3 helai daun sempurna, diinokulasi dengan suspensi konidia. Suspensi disemprotkan dengan
menggunakan hansprayer ke permukaan atas dan bawah daun secara merata. Inokulasi dilaksanakan pada sore hari pukul 17.00 WIB.
Perlakuan Pemupukan Pemupukan dilakukan pada saat penanaman benih dengan menggunakan pupuk organik cair yang terlebih dahulu dicampur air dengan 3 taraf perlakuan yaitu kontrol, 2 cc/liter air, dan 4 cc/liter air. Pemberian awal pupuk organik cair pada saat penanaman benih dilakukan dengan menyemprotkannya ke tanah. Selanjutnya, jika helaian daun telah membuka sempurna, maka pemberian pupuk organik tersebut akan disemprotkan kebagian daun. Perlakuan pemupukan dilakukan lagi hingga 5 kali perlakuan dengan interval 1 minggu.
Pemberian Agensia Hayati Pemberian agensia hayati dilakukan pada saat penanaman benih
dengan
menaburkan Natural Glio ke media tanah di polibag dengan 3 taraf yaitu kontrol, 0,5 mg per tanaman dan 1 mg per tanaman. Pemberian agensia hayati tersebut dilakukan lagi dengan interval 1 minggu hingga 5 kali perlakuan.
Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma, dan pengendalian hama. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Volume penyiraman disesuaikan dengan kondisi tanaman.
Penyiangan dilakukan terhadap gulma yang tumbuh baik didalam polibag. Interval penyiangan dilakukan disesuaikan dengan pertumbuhan gulma. Untuk mencegah serangan hama, cukup dilakukan tindakan mekanis dengan menyingkirkan/membuang hama-hama yang menyerang pembibitan.
Parameter Penelitian Intensitas serangan penyakit Anthraknosa Untuk pengamatan Intensitas serangan penyakit Antraknose dilakukan pada 1 minggu setelah tanam (mst), kemudian diamati setiap selang waktu 7 hari sampai 5 kali pengamatan dengan rumus :
IS =
∑
Keterangan : IS = Intensitas serangan (n x v)
N xZ
x 100%
n = Jumlah daun dalam tiap kategori serangan v = Nilai skala tiap kategori serangan N = Jumlah daun yang diamati Z = Nilai skala kategori tertinggi
Kunci lapangan yang digunakan untuk menghitung intensitas serangan antraknosa adalah: Skala 0
Deskripsi gejala serangan antraknosa Tidak ada serangan sama sekali
1
Luas permukaan daun terserang mencapai 1 - 20 %
2
Luas permukaan daun terserang mencapai 21 - 40 %
3
Luas permukaan daun terserang mencapai 41 - 60 %
4
Luas permukaan daun terserang mencapai 61 - 80 %
5
Luas permukaan daun terserang mencapai 81 - 100 %
( Abadi, 2
HASIL DAN PEMBAHASAN
¾ Pengaruh Pupuk Organik Cair Colletotrichum gloeosporioides (%)
(P)
terhadap
Intensitas
Serangan
Hasil analisa data Intensitas Serangan dapat dilihat pada lampiran 2-5. Dari daftar sidik ragam pada pengamatan 3, 4 dan 5 minggu setelah tanam (MST) diketahui terdapat perbedaan yang nyata antara Kontrol dengan perlakuan Pupuk Organik Cair dosis 2 cc/ltr (P1) dan dosis 4 cc/ltr (P2) . Tabel 1. Beda Uji Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada perlakuan Pupuk Organik Cair (P) untuk setiap waktu pengamatan Intensitas Serangan (%) 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 8.81 a 7.38 a 6.78 a 0.23 a P0 2.21 b 1.88 b 1.34 b 0.00 a P1 0.55 b 0.43 b 0.35 b 0.00 a P2 Ket : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan Uji Jarak Duncan Perlakuan
Dari tabel 1. dapat dilihat bahwa pada pengamatan 2 MST perlakuan Kontrol tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya yaitu dosis pupuk organik 2 cc/ltr (P1) dan dosis 4 cc/ltr (P2). Hal ini disebabkan karena pada minggu kedua setelah tanam, gejala serangan belum tampak pada kedua perlakuan dosis tersebut. Pada pengamatan 3 MST dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan Kontrol (6,78 %) dan terendah pada perlakuan dengan dosis pupuk organik 4 cc/ltr (0,35 %). Dari pengamatan intensitas serangan
C.
gloeosporioides setiap minggunya menunjukkan persentase intensitas serangan yang semakin meningkat. Intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan Kontrol
(8,81 %) yang berbeda nyata dengan perlakuan pupuk organik cair dosis 2 cc/ltr (2,21 %) dan dosis 4 cc/ltr (0,55 %). Hal ini disebabkan karena pada Kontrol, tanaman tidak memperoleh unsur hara tambahan. Unsur hara yang diperolehnya hanya bersumber dari tanah saja, sehingga kondisi tersebut memungkinkan mudahnya tanaman untuk terserang penyakit. Diketahui secara umum juga bahwa tanaman pada umur yang masih muda terlebih lagi dalam masa pembibitan sangat rentan terinfeksi patogen. Dari uraian diatas, maka pemberian pupuk terhadap tanaman terutama pada masa pembibitan sangatlah penting dilakukan. Pemberian pupuk organik yang ramah lingkungan, selain dapat menambah ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit juga dapat mengurangi residu bahan kimia yang dapat terakumulasi jika pemberiannya dilakukan secara terus menerus apabila menggunakan pupuk kimia ataupun pengendalian penyakit secara kimiawi. Hal ini sesuai dengan literatur dari Sutanto (2002) yang menyatakan bahwa teknologi pertanian yang tergantung pada bahan kimia berdasarkan pertimbangan fisik dan ekonomi dianggap berhasil menanggulangi kerawanan pangan, tetapi ternyata harus dibayar mahal dengan meningkatnya kerusakan yang terjadi dimuka bumi. Perlakuan dosis pupuk organik 2 cc/ltr berbeda nyata dengan Kontrol tetapi tidak berbeda nyata dengan dosis 4 cc/ltr. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan dosis yang diberikan tidak terlalu besar yaitu hanya berbeda 2 cc tiap perlakuan. Akan tetapi pemberian pupuk organik cair terbukti efektif untuk mencegah timbulnya infeksi serangan patogen C. gloeosporioides jika dibandingkan dengan Kontrol yang tanpa perlakuan. Hal ini disebabkan karena pupuk organik dapat meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap serangan OPT, yang juga sesuai dengan literatur Musnamar (2003) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk organik menjadikan vigor akar dan batang tanaman lebih kokoh sehingga mengurangi serangan beberapa OPT. Ini dapat dilihat dari observasi visual yang diperoleh pada tanaman yang diberi pupuk organik cair. Tanaman menjadi lebih subur dan memiliki jumlah daun yang lebih lebar dan banyak jika dibandingkan pada tanaman yang tidak diberikan pupuk organik cair. Unsur C organik sebesar 4.6 % (Anonim 2005) yang terkandung dalam pupuk tersebut mampu membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik jika dibandingkan tanpa pemberian pupuk. ¾ Pengaruh Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%)
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian agensia hayati yang berbahan aktif Trichoderma berpengaruh nyata terhadap pencegahan penyakit Antraknosa (C. gloeosporioides). Tabel 2. Beda Uji Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada perlakuan Agensia Hayati (A) untuk setiap waktu pengamatan (MST) Intensitas Serangan (%) 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 5.96 a 7.38 a 4.67 a 0.23 a A0 3.84 ab 1.88 a 2.62 a 0.00 a A1 1.78 b 0.43 b 1.18 b 0.00 a A2 Ket : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan Uji Jarak Duncan Perlakuan
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada pengamatan 2 MST perlakuan Kontrol tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya yaitu Trichoderma 0.5 mg/bibit (A1)
dan dosis 1 mg/bibit (A2). Hal ini disebabkan karena pada perlakuan A1 dan A2 gejala serangan belum rata terjadi. Sedangkan pada minggu ketiga dan keempat setelah tanam, perlakuan dengan dosis 0,5 mg/bibit tidak berbeda nyata dengan Kontrol tetapi berbeda nyata dengan dosis 1 mg/bibit. Hal ini dapat disebabkan karena dosis yang diberikan untuk dosis 0,5 gr/bibit terlalu kecil sehingga tidak begitu mampu untuk mencegah timbulnya penyakit. Sementara pada perlakuan dosis 1 mg/bibit minggu ketiga, keempat dan kelima terlihat perbedan yang nyata. Dari tabel tersebut juga diperoleh persentase intensitas serangan tertinggi terdapat pada minggu kelima perlakuan Kontrol yaitu sebesar 5,96 % dan terendah pada perlakuan dengan dosis 1 mg/bibit yaitu 1,78 %. Hal ini disebabkan karena agensia hayati pada perlakuan tersebut terbukti efektif dalam aktifitasnya yang antagonis terhadap kehidupan patogen. Agensia hayati yang digunakan mangandung bahan aktif Trichoderma yang mampu menjadi pengendali biologis terhadap penyakit. Dengan adanya pemberian agensia hayati, maka tanaman menjadi lebih tahan terhadap serangan penyakit jika dibandingkan tanpa pemberian agensia. Hal ini sesuai dengan literatur Abadi (2003) yang berisi bahwa mikroba antagonis aktivitasnya berdampak negatif terhadap kehidupan patogen. Dengan pemberian agensia tersebut, maka tanaman mampu berkembang lebih baik lagi karena penyakit tidak mampu menginfeksi tanaman sehingga pertumbuhannya juga lebih optimal. ¾ Pengaruh Interaksi Pupuk Organik Cair (P) dan Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%)
Dari hasil pengamatan intensitas serangan penyakit Antraknosa
C.
gloeosporioides pada pembibitan tanaman kakao dan dari daftar sidik ragam yang
telah dilakukan, diketahui bahwa interaksi pupuk organik cair dan agensia hayati memberikan pengaruh yang nyata pada beberapa waktu pengamatan. Berikut adalah histogram interaksi pupuk organik cair dan agensia hayati terhadap Intensitas Serangan C. gloeosporioides. 14.00
12.79 11.54
Intensitas Serangan (%)
12.00
10.61
10.00
8.87
8.00
7.14 6.40
6.00
4.78
4.00
3.48
3.33
2.00
0.72 0.41 0.24
2 mst
1.72
1.50
0.86 0.320.59 0.07 0.14
0.70
3 mst
0.16
4 mst
0.41 0.93 0.24 0.32
5 mst
Waktu Pengamatan (MST) P0A0
Gbr. 3
P0A1
P0A2
P1A0
P1A1
P1A2
P2A0
P2A1
P2A2
Histogram Interaksi Pupuk Organik Cair (P) dan Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan C. gloeosporioides (%) pada setiap waktu pengamatan (MST)
Tabel 3. Beda Uji Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada Interaksi Pupuk Organik Cair (P) dan Agensia Hayati (A) untuk setiap waktu pengamatan (MST) Perlakuan P0A0 P0A1 P0A2 P1A0 P1A1 P1A2 P2A0 P2A1 P2A2
2 MST 0.70 a 0.00 b 0.00 b 0.00 b 0.00 b 0.00 b 0.00 b 0.00 b 0.00 b
Intensitas Serangan (%) 3 MST 4 MST 5 MST 12.79 a 11.54 a 10.61 a 8.87 ab 7.14 b 6.40 b 4.78 b 3.48 cd 3.33 bc 4.67 b 3.91 bc 3.08 c 1.72 c 1.50 de 0.86 d 0.24 c 0.24 e 0.07 d 0.41 c 0.41 e 0.32 d 0.93 c 0.72 e 0.59 d 0.32 c 0.16 e 0.14 d
Rataan 8.91 5.61 2.89 2.91 1.02 0.17 0.29 0.56 0.15
Ket :
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan Uji Jarak Duncan
Dari tabel dan histogram diatas dapat dilihat bahwa pada pengamatan 2 MST perlakuan P0A0 (kontrol) tampak menunjukkan gejala serangan 0,70 % sedangkan pada perlakuan lainnya diketahui 0 % gejala serangan. Hal ini disebabkan karena pada pengamatan 2 MST C. gloeosporioides belum merata menginfeksi seluruh tanaman (sampel). Diketahui dari tabel 3 bahwa interaksi pupuk organik cair dan agensia hayati memberikan pengaruh yang nyata pada beberapa waktu pengamatan. Dari data rataan intensitas serangan
C. gloeosporioides pada semua
perlakuan diatas, diperoleh intensitas serangan tertinggi terdapat pada Kontrol sebesar 8,91 % dan terendah pada perlakuan P2A2 sebesar 0,15 %. Sedangkan jika dibandingkan tanpa perlakuan Kontrol, maka persentase intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan agensia hayati
0,0005 gr/bibit yaitu sebesar 5,61 %. Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk organik cair dan agensia hayati cukup berpengaruh pada perkembangan penyakit C. gloeosporioides pada pembibitan tanaman kakao. Pemberian pupuk organik cair dan agensia hayati dapat menambah ketahanan tanaman terhadap penyakit. Selain itu juga dapat menambah kesuburan tanaman karena dapat menambah unsur hara bagi tanaman. Hal ini sesuai dengan literatur Abadi (2003), selain penggunaan organisme antagonis, penggunaan bahan organik yang diberikan pada tanah dapat menurunkan keparahan penyakit. Hal ini dimungkinkan karena bahan organik dapat membawa berbagai macam organisme antagonis yang memang rata-rata adalah organisme saproba, sehingga penambahan bahan organik kedalam tanah dapat membuat organisme antagonis berkembang lebih
banyak. Selain itu, bahan organik dapat meningkatkan ketahanan tanaman
karena
tanaman akan tumbuh lebih baik pada tanah yang kaya akan bahan organik. Selain itu pada pupuk organik cair terdapat unsur Kalium yang diketahui dapat menambah ketahanan tanaman dalam menghadapi kekeringan dan penyakit. Hal ini dapat dilihat pada efektifitasnya pemberian pupuk tersebut dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit antraknosa yang menyerang bibit kakao. Tanaman kakao tampak lebih subur jika dibandingkan tanpa pemberian pupuk organik cair dan agensia hayati.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pemberian pupuk organik cair (P) pada pembibitan tanaman kakao berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan C. gloeosporioides yang terlihat pada pengamatan 5 MST intensitas serangan tertinggi pada Kontrol (P0) yaitu 8,81 % dan terendah pada perlakuan P2 (4 cc/ltr) yaitu 0,55 %. 2. Pemberian agensia hayati (A) pada pembibitan tanaman kakao berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan C. gloeosporioides yang terlihat pada pengamatan 5 MST dengan intensitas serangan tertinggi pada Kontrol (A0) 5,96 % dan terendah pada perlakuan 1 mg/bibit (A2) yaitu 1,78 %. 3. Pemberian pupuk organik cair dan agensia hayati pada pembibitan tanaman kakao berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan C. gloeosporioides dimana persentase intensitas serangan tertinggi pada Kontrol yaitu 8,91 % dan terendah pada perlakuan interaksi pupuk organik 4 cc/ltr (P2) dengan agensia hayati 1 mg/bibit (A2) sebesar 0,15 %. 4. Dosis pemberian agensia hayati yang tepat untuk mencegah intensitas serangan C. gloeosporioides adalah 1 mg/bibit. 5. Efektifitas perlakuan pupuk organik cair dengan dosis 2 cc/ltr sama dengan perlakuan dosis 4 cc/ltr.
Saran
Perlu dilakukan pengujian pemberian dosis pupuk organik cair yang lebih tinggi untuk mengetahui pencegahan yang efektif terhadap serangan penyakit Colletotrichum gloeosporioides pada pembibitan tanaman kakao.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A.L., 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Bayumedia Publishing. Malang. Hal : 68-71. Alexopoulus,C.J. and C.W.Mims. 1979. Introductory Mycology. Jhon Willey and Sons. New York. Page : 569. Anonim, 1995. Pedoman Perlindungan pada Masa Pra Tanam Kakao Terhadap Gangguan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Dep. Pertanian. Dirjen Perkebunan. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Jakarta. Hal : 1 - 2, 910,19. ________, 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka. Jakarta. Hal : 12. ________, 2005. Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati. Warta Natural Nusantara. 08 Januari 2005. Barnett, H.L. 1960. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Burgess Publishing Company. Morgantown West Virginia. Page : 195. Bangun, M.K. 1980. Perancangan Percobaan Untuk Analisis Data. FP USU. Medan. Hal : 91.
Mehrotra, R.S. 1983. Plant pathology. Tata MacGraw Hill. Publishing Company Limited. New Delhi. Page : 157.
Musnamar, E.I. 2003. Pupuk Organik Padat : Pembuatan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal : 42. Semangun, H., 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. UGM Press. Yogyakarta.Hal : 98 – 103. ____________, 2000. Penyakit – Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. UGM Press, Yogyakarta. Hal : 395-399, 414.
Singh, R.S. 1998. Plant Diseases. Seventh Edition. Oxford and IBH Publishing Co.Limited. New Delhi. Page : 653. Siregar, T.H.S, Riyadi, S. dan L.Nuraeni. 2006. Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Coklat. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal : 8,33, 21-22. Siswoputranto, P.S. 1978. Perkebunan Teh, Kopi dan Kakao Internasional. Gramedia. Jakarta. Hal : 10. Soepena, H. 1995. Colletotrichum gloeosporioides dan Colletotrichum acutatum sebagai Penyebab Penyakit Gugur Daun pada Tanaman. Warta Puslitbun Karet Sungei putih. Hal : 10 – 13. Spilane, J.J. 1995. Komoditi Kakao : Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius. Yogyakarta. Hal : 23. Susanto, F.X. 1994. Tanaman Kakao : Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius. Yogyakarta. Hal : 20, 34 – 69. Sutanto, R., 2002. Pertanian Organik, Kanisius, Yogyakarta. Hlm : 23. Supeno, B. 1999. Uji Patogenisitas Jamur Trichoderma harzianum yang Digunakan sebagai Agen Pengendalian Hayati. Prosiding : Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto, 2000. Hal : 477. Weber, G.F. 1973. Bacterial and Fungal Diseases of Plant in The Tropics. University of Florida Press. Gainessville. Page : 468. Yulianti, T. dan Nidar, I. 1999. Pertanian Organik dan Penyakit Tanaman, Prosiding : Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto, 2000. Hal : 592. Zulnayati, Ir. 1999. Patologi Benih. Fakultas Pertanian USU, Medan. Hal : 17-19
Lampiran 1.
1. Bagan Percobaan I
II
III
P0A0
P1A1
P2A0
P0A1
P1A2
P1A0
P0A2
P1A0
P0A0
P1A0
P2A2
P1A1
P1A1
P2A0
P2A1
P1A2
P2A1
P0A1
P2A0
P0A0
P1A2
P2A1
P0A2
P0A2
P2A2
P0A1
P2A2
15 cm
U
15 cm
S
2. Tanaman Sampel (tiap perlakuan) *)
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X X X X X
Keterangan :
X X *)
= = =
Tanaman Utama (30 tanaman) Tanaman Sampel (6 tanaman) Tanaman Sisipan (6 tanaman)
Lampiran 6. Foto Lahan Penelitian
Lokasi : Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan
Lampiran 7. Foto Bibit Tanaman Kakao yang terserang Antraknosa
Lokasi : Tempat Penelitian Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan
Lampiran 8. Data Pengamatan Temperatur (0C) dan Kelembaban Udara (%) di Rumah Kaca Tanggal
Suhu (°C)
Kelembaban (%)
27 Juli 2007 28 Juli 2007 29 Juli 2007 30 Juli 2007 31 Juli 2007 01 Agustus 2007 2 Agustus 2007 3 Agustus 2007 4 Agustus 2007 5 Agustus 2007 6 Agustus 2007 7 Agustus 2007 8 Agustus 2007 9 Agustus 2007 10 Agustus 2007 11 Agustus 2007 12 Agustus 2007 13 Agustus 2007 14 Agustus 2007 15 Agustus 2007 16 Agustus 2007 17 Agustus 2007 18 Agustus 2007 19 Agustus 2007 20 Agustus 2007 21 Agustus 2007 22 Agustus 2007 23 Agustus 2007 24 Agustus 2007 25 Agustus 2007 26 Agustus 2007 27 Agustus 2007 28 Agustus 2007 29 Agustus 2007 30 Agustus 2007 31 Agustus 2007 01 September 2007
34 33 32 30 28 29 29 28 30 31 29 29 32 33 30 28 27 28 29 31 30 32 32 33 35 36 35 34 33 34 36 37 37 36 38 35 35
94 93 94 95 94 93 91 92 90 90 90 88 87 87 89 92 95 94 95 90 89 85 84 80 78 70 70 69 71 70 68 67 62 62 61 63 64
Rata-rata
32.11
82.32