Kompleks Lipatan Alaskobong: laboratorium alam geologi struktur Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika 02 Yogyakarta 55281 email:
[email protected]
Aswin Mustofa Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM
Angga Matikayuda Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM
Ignatius Sudarno Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika 02 Yogyakarta 55281
Sari Kompleks Lipatan Alaskobong terletak di Desa Alaskobong, Kecamatan Sumberlawang Kabupaten Sragen, Propinsi Jawa Tengah. Lokasi ini merupakan suatu bukit landai sepanjang 300 m yang terpotong oleh lintasan rel (railcut) kereta api jurusan Solo-Gundih dengan arah utara-selatan dan membagi bukit tersebut menjadi tebing timur dan tebing barat. Deformasi tektonik yang berkembang pada perselingan batupasir karbonatan dan napal Formasi Kerek menghasilkan bentuk dan jenis struktur geologi yang berbeda pada kedua tebing tersebut. Lipatan utama terdiri dari sinklin yang mengalami pembalikan topografi (inversed topography) dengan orientasi arah memanjang sumbu yang berbeda, relatif timurlaut-baratdaya pada tebing timur dan relatif timurbarat pada tebing barat. Struktur penyerta lainnya juga berbeda pada kedua tebing yang hanya terpisah jarak 20 m. Bagian utara dicirikan oleh kehadiran antiklin pada tebing timur dan dip perlapisan relatif besar pada tebing barat. Bagian selatan dicirikan oleh kehadiran perlapisan tegak pada tebing timur dan perlapisan landai pada tebing barat. Kompleksitas tersebut menjadikan Bukit Alaskobong menjadi lokasi yang menarik dan ideal untuk sarana pembelajaran geologi struktur di lapangan.
Pendahuluan Zona Kendeng merupakan suatu zona fisiografi Pulau Jawa yang terbentang dari timur Semarang, Jawa Tengah hingga Sidoarjo, Jawa Timur (Gambar 1). Zona ini telah lama menarik perhatian para ahli kebumian karena mengandung potensi hidrokarbon. Zona ini mengalami proses tektonik yang kompleks, terutama di bagian barat yang dicirikan oleh struktur perlipatan dan pensesaran yang rumit (de Genevraye and Samuel, 1972). Dikenalnya struktur perlipatan sebagai salah satu perangkap hidrokarbon membuat studi tentang perlipatan pada Zona Kendeng menjadi sangat menarik dan dapat memberikan kontribusi bagi khasanah ilmu kebumian Pulau Jawa khususnya. Salah satu lokasi yang ideal untuk mempelajari struktur perlipatan terdapat pada sebuah bukit di Desa Alaskobong, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen. Letaknya tidak jauh dari jalan raya Sumberlawang – Kedungombo, dengan koordinat UTM 485454E, 9191714N (Gambar 2). Struktur yang dijumpai adalah sinklin dan antiklin berikut sesarsesar penyertanya, yang untuk selanjutnya akan disebut sebagai Kompleks Lipatan Alaskobong. Jurusan Teknik Geologi FT UGM semenjak tahun 2001 telah menjadikan lokasi ini sebagai tempat praktikum lapangan. Di sepanjang tebing timur bukit tersebut, para mahasiswa melakukan pengamatan, pengukuran dan analisis berbagai unsur struktur Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
E6-1
geologi, seperti lipatan (folds), sesar (faults), kekar (joints), gores-garis (lineations) dan urat (veins). Selain itu beberapa field trip profesional, seperti BP-Migas (tahun 2005) dan AAPG Student Chapter Universitas Diponegoro (tahun 2007) juga telah menjadikan Bukit Alaskobong tersebut sebagai lokasi pengamatan. Makalah ini bermaksud memaparkan tinjauan geologi struktur deskriptif untuk Kompleks Lipatan Alaskobong tersebut.
Geologi Regional Zona Kendeng disebut pula sebagai Kendeng Anticlinorium atau Kendeng Ridge, karena tersusun oleh kompleks antiklin berarah timur-barat. Nama lain yang juga sering dipergunakan adalah Kendeng Deep, yang mengindikasikan konfigurasi dasar cekungan sedimentasinya yang sangat dalam. Dimensi Zona Kendeng memiliki panjang sekitar 250 km dan lebar sekitar 40 km di bagian barat, semakin menyempit ke arah timur hingga selebar 20 km (van Bemmelen, 1949). Ketinggian topografinya jarang ada yang melebihi 500 m. Di utara Ngawi terbentuk depresi pada sumbu perlipatan yang dapat dilalui oleh Bengawan Solo, dan sekaligus membagi Zona Kendeng menjadi bagian dua bagian, yaitu bagian barat dan bagian timur. Zona Kendeng terlipatkan secara kuat dan seringkali terpotong oleh banyak sesar. Proses tektoniknya sangat muda dan kemungkinan masih aktif. Pembentukannya diperkirakan pada batas Pliosen Awal dan Pliosen Akhir (~ 3,5 juta tahun lalu), bersamaan dengan semakin aktifnya volkanisme modern Pulau Jawa (Lunt et al., 1996). Zona Kendeng bagian timur umumnya terlipat kuat, namun jarang yang mengalami pensesaran, setidaknya tidak terekspresikan di permukaan. Umur batuannya pun relatif semakin muda ke arah timur. Sebaliknya pada Zona Kendeng bagian barat dimana batuan-batuan tua yang berumur Miosen Tengah tersingkap dan menunjukkan perlipatan dan pensesaran yang kompleks (Gambar 3). Stratigrafi Zona Kendeng dicirikan oleh dua kelompok batuan utama. Kelompok pertama tersusun oleh endapan pada lingkungan laut dengan pengaruh sedimen asal volkanik, berupa napal, batupasir tufan dan kalkarenit, yang menyusun formasi Pelang, Kerek, Kalibeng, dan Sonde. Kelompok pertama tersebut diendapkan dalam rentang waktu Oligosen Akhir – Pliosen (Gambar 4). Secara tidak selaras kelompok pertama tersebut ditutupi oleh kelompok kedua yang disusun oleh endapan pada lingkungan darat, yaitu lingkungan rawa dan sungai dengan pengaruh sedimen volkanik yang kuat. Kelompok kedua tersebut terdiri dari formasi Pucangan, Kabuh, dan Notopuro, yang diendapkan selama Pleistosen hingga Holosen (Gambar 4). Pada beberapa tempat di sepanjang aliran Bengawan Solo, seperti di Watualang dan di Ngandong, diatas permukaan erosional pada formasi Kabuh dan Notopuro diendapkan endapan teras sungai berumur Pleistosen Akhir - Resen yang tersusun oleh batupasir dan konglomerat polimik. Lehmann (1936) dan Van Bemmelen (1949) menginterpretasikan endapan teras tersebut sebagai bukti pengangkatan Zona Kendeng yang menerus hingga saat ini, dimana Bengawan Solo dapat mempertahankan jenis aliran anteseden ke arah utara.
E6-2 Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
Kompleks Lipatan Alaskobong Singkapan geologi di Bukit Alaskobong merupakan suatu seri perselingan lempung, napal lempungan, batupasir tufan gampingan dan batupasir tufan dari Formasi Kerek yang terkena deformasi tektonik dan membentuk sebuah struktur sinklin. Berdasarkan pada pengamatan struktur mikro dan stratigrafi terukur, Anggara and Pramumijoyo (2007) menginterpretasikan terjadinya deformasi sin-sedimentasi yang bertanggungjawab terhadap pola struktur di Kompleks Lipatan Alaskobong. Selanjutnya proses eksogenik yang berlangsung pasca pengangkatan daerah tersebut menyebabkan terbentuknya pembalikan topografi (inversed topography), dimana sumbu sinklin menjadi puncak bukit Alaskobong. Pada awal abad ke-20, Pemerintah kolonial Hindia Belanda memotong Bukit sepanjang 300 m tersebut dengan arah utara-selatan untuk membuat lintasan rel kereta api SoloGundih. Lintasan rel tersebut memisahkan kedua tebing bukit (rail-cut) pada jarak 20 m menjadi tebing barat dan tebing timur dan menampakkan jenis serta pola struktur geologi yang berbeda (Gambar 5). Tebing timur Pada tebing timur secara keseluruhan merupakan bentukan struktur sinklin dengan kedudukan sayap-sayap yaitu N550E/460 dan N2570E/260 (Gambar 6). Dari data tersebut diperoleh kedudukan sumbu sinklin yaitu N640E/780 (Gambar 7). Berdasarkan besarnya sumbu antarsayap (intelimb angle), yaitu 700, sinklin pada tebing timur ini dapat diklasifikasikan sebagai tipe tertutup (close) menurut Fleuty (1964). Pada bagian utara dari tebing timur terdapat struktur antiklin yang dimensinya relatif lebih kecil. Antiklin ini mempunyai kedudukan sayap N2850E/220 dan N1000E/190 dengan kedudukan sumbunya N1020E/890 (Gambar 8). Struktur antiklin tersebut juga menunjukkan adanya kehadiran sesar-sesar pada sayap maupun puncak antiklinnya (Gambar 6, 8a). Pada sayap utara antiklin terdapat sesar naik dengan kedudukan N900E/510 dan sesar turun dengan kedudukan N2400E/400 pada puncak antiklinnya. Sesar-sesar tersebut diduga terbentuk akibat strain pada tubuh batuan selama deformasi berlangsung, dimana sesar naik terbentuk karena adanya proses pemendekan (shortening), sedangkan sesar turun terbentuk karena adanya proses pemanjangan (lengthening). Proses yang sama diduga juga menyebabkan terbentuknya sesar-sesar horisontal yang memotong sayap antiklin bagian selatan. Interpretasi berbeda dikemukakan oleh Anggara and Pramumijoyo (2007), dimana mereka menduga antiklin dan sesar-sesar penyertanya tersebut merupakan bentuk struktur bunga (flower structure) positif akibat adanya pengaruh Sesar Ngrau yang merupakan sesar geser sinistral dan terletak sekitar 15 km di utara Bukit Alaskobong. Pada bagian selatan tebing timur dijumpai adanya perlapisan batuan yang relatif tegak dengan kedudukan batuan N2600E/750. Pada bagian selatan ini juga terdapat struktur lipatan minor (microfold) yang mempunyai kedudukan sayap-sayapnya N2350E/420 dan N1050E/520. Anggara and Pramumijoyo (2007) menduga lipatan minor tersebut terbentuk akibat deformasi sin-sedimentasi. Selain itu perlapisan batuan yang relatif tegak tersebut terpotong oleh banyak sesar dengan pola yang rumit. Diantaranya kehadiran suatu sesar geser dekstral dengan jurus N2280E/670.dan pitch dari gores-garis 150 NE dan lebar zona hancuran sekitar 5 m (Gambar 9).
Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
E6-3
Tebing barat Pada tebing barat secara keseluruhan juga merupakan bentukan struktur sinklin yang mempunyai kedudukan sayap-sayapnya yaitu N790E/200 dan N2780E/480 (Gambar 10). Dari data tersebut diperoleh kedudukan sumbu sinklin yang relatif miring ke arah utara, yaitu N930E/760 (Gambar 11). Berdasarkan besarnya sumbu antarsayap (intelimb angle), yaitu 640, sinklin pada tebing barat ini dapat diklasifikasikan sebagai tipe tertutup (close) menurut Fleuty (1964). Pada bagian utara dari tebing barat tidak dijumpai struktur antiklin seperti halnya di tebing timur, akan tetapi hanya terdapat perlapisan batuan yang relatif tegak yaitu dengan kedudukan N600E/480. Pada bagian selatan dari tebing barat terdapat beberapa jenis sesar naik dengan kedudukan N2570E/440 dan N2860E/560. Batupasir tufan yang tergeser oleh sesar-sesar tersebut mengindikasikan proses pematahan ketika proses pengendapan masih berlangsung (sinsedimentasi), yang ditunjukkan oleh ujung tubuh batuan yang tidak beraturan (Gambar 12). Sesar naik N2570E/440 membentuk lipatan minor (microfold) yang sumbunya berarah relatif barat-timur. Selain itu pada tebing timur bagian selatan terdapat perlapisan batuan yang mempunyai kedudukan N1850E/330. Perlapisan batuan ini menunjukkan adanya perlapisan yang relatif miring ke arah barat. Perlapisan tersebut terpotong oleh sayap sinklin sebelah selatan dengan kedudukan N2230E/280, yang mengindikasikan adanya gejala onlap (Gambar 13).
Penutup Deskripsi struktur geologi yang tersingkap di Bukit Alaskobong menunjukkan pola struktur yang rumit. Kerumitan pola tersebut tercermin dari perubahan jenis struktur geologi dari tebing timur ke tebing barat, dimana kedua tebing tersebut hanya dipisahkan oleh rail-cut selebar 20 m saja. Sumbu sinklin yang memiliki orientasi timur-barat pada tebing barat berubah orientasinya menjadi timurlaut-baratdaya pada tebing timur. Perubahan orientasi sumbu sinklin tersebut diduga akibat adanya pengaruh seretan sesar geser dekstral yang dijumpai pada bagian selatan tebing timur. Antiklin yang dijumpai pada bagian utara tebing timur tergantikan oleh perlapisan yang relatif besar kemiringannya pada tebing barat. Perlapisan yang tegak dan terpotong oleh suatu zona sesar geser dekstral pada bagian selatan tebing timur berubah menjadi perlapisan yang relatif landai dan miring ke arah barat pada tebing barat. Meskipun indikasi adanya deformasi sin-deposisi turut berperan dalam proses tektonik yang membentuk Bukit Alaskobong, namun kerumitan struktur geologi yang dipaparkan di atas menuntut adanya keterlibatan tektonik multi-fase. Sejarah panjang proses geologi semenjak awal pengendapan di Cekungan Kendeng pada Oligo-Miosen hingga awal pengangkatannya pada Plio-Pleistosen membentuk Antiklinorium Kendeng yang terus berlanjut hingga sekarang memungkinkan terbentuknya sejarah deformasi yang kompleks. Berdasarkan pada nilai kepentingan Kompleks Lipatan Alaskobong sebagai tempat pembelajaran geologi struktur secara umum dan penelitian aspek perangkap struktural hidrokarbon pada Cekungan Kendeng secara khusus, dirasa perlu untuk lebih mengembangkan penelitian geologi struktur berbasis data permukaan (surface geology) yang didukung dengan pendekatan geofisika dangkal untuk mendapatkan informasi E6-4 Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
struktur geologi bawah permukaan (shallow sub-surface geology). Selanjutnya data-data tersebut dapat dikembangkan untuk membangun suatu model 3 dimensi (3D structural model) yang dapat memotret secara tepat sistem perlipatan pada Zona Kendeng.
Referensi Anggara, F. and S. Pramumijoyo (2007). Sinistral Strike-Slip Fault along Kendeng Zone, Outcrop Data from Alas Kobong Area, Central Java. Proceedings Joint Convention Bali 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition, Bali, JCB2007-078, 4 pp. Fleuty, M.J. (1964). The Description of Folds. Proceedings of Geological Association of London, 75, pp. 461-492. de Genevraye, P. and L. Samuel (1972). Geology of the Kendeng Zone (Central & East Java). Proceedings Indonesian Petroleum Association, First Annual Convention, Jakarta, pp.17-30. Lehmann (1936). Morphologische Studien auf Java. Geogr. Abh. 3 Reihe H9, Frankfurt, 74 pp. Lunt, P., D. Schiller, and T. Kalan (1996). East Java Geological Field Trip. Indonesian Petroleum Association, 57 pp. Marshak, S. and G. Mitra (1988). Basic Methods of Structural Geology. Prentice Hall, New Jersey, 442 pp. Pringgoprawiro, H. (1983). Biostratigrafi dan Paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara, Suatu Pendekatan Baru. Desertasi Doktor, ITB Bandung, 1983. van Bemmelen, R.W. (1949). The Geology of Indonesia, Gov. Printing Office, The Hague: Matin Nijhoff, 732 pp.
Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
E6-5
Gambar 1. Pembagian fisiografi Pulau Jawa bagian timur (de Genevraye and Samuel, 1972). Kotak berwarna merah mengunjukkan lokasi daerah penelitian.
Gambar 2. Peta geologi Zona Kendeng bagian barat (de Genevraye and Samuel, 1972). Kotak berwarna merah mengunjukkan lokasi daerah penelitian.
E6-6 Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
Gambar 3. Peta lokasi Bukit Alaskobong (ditunjukkan oleh kotak bergaris kuning) dengan rujukan beberapa kota kabupaten di Jawa Tengan (Solo, Salatiga dan Purwodadi).
Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
E6-7
Gambar 4. Kolom stratigrafi Zona Kendeng bagian barat (Pringgoprawiro, 1983).
E6-8 Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
Gambar 5. Lintasan rel kereta api Solo-Gundih yang memotong Bukit Alaskobong. Kamera menghadap ke arah utara. Di bagian kanan foto merupakan tebing timur dan di bagian kiri foto merupakan tebing barat.
Gambar 8a
Gambar 9
Gambar 6. Mosaik foto tebing timur. Arah utara menghadap ke arah kiri foto.
Gambar 7. Penentuan sumbu sinklin tebing timur dengan analisa stereografis. Metode menurut Marshak and Mitra (1988).
Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
E6-9
a
b Gambar 8. a. Foto antiklin tebing timur bagian utara, beberapa mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT UGM tengah melakukan pengukuran struktur. Arah utara menghadap ke arah kiri foto. b. Analisa stereografis penentuan sumbu antiklin. Metode menurut Marshak and Mitra (1988).
E6-10 Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
Gambar 9. Foto sesar geser dekstral yang memotong perlapisan tegak di bagian selatan tebing timur. Arah utara menghadap ke arah kiri foto. Tampak beberapa mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT UGM tengah melakukan pengukuran struktur.
Gambar 13
Gambar 12
Gambar 10. Mosaik foto tebing barat. Arah utara menghadap ke arah kanan foto.
Gambar 11. Penentuan sumbu sinklin tebing barat dengan analisa stereografis. Metode menurut Marshak and Mitra (1988).
Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
E6-11
Gambar 12. Sesar naik pada sayap selatan tebing barat. Arah utara menghadap ke arah kanan foto. Bentuk tidak beraturan dari ujung lapisan batupasir tufan yang tergeser mengindikasikan proses terpotongnya batuan tersebut ketika sedimentasi tengah berlangsung (sin-sedimentasi).
Gambar 13. Perlapisan batuan yang relatif miring ke arah utara pada bagian selatan tebing barat (pada bagian kanan foto) dan menumpang secara menyudut terhadap batuan yang relatif miring ke arah barat (pada bagian kiri foto). Arah utara menghadap ke arah kanan foto.
E6-12 Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional” 15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta