KOMPETENSI DAN DAYA SAING GLOBAL BERBASIS KEUNGGULAN LOKAL Oleh Prof. DR. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA.1
I. Globalisasi dan Daya Saing Globalisasi adalah sebuah proses perubahan sosial yang ditandai masuknya kedalam tatanan kehidupan dunia difasilitasi oleh perkembangan teknologi informasi dan transportasi. Semua bangsa dan negara terikat dalam interkorelasi disemua bidang kehidupan dalam satu sistem yang terbangun secara mendunia. Bahkan dalam sistem sosial budaya sekalipun turut dikendalikan dalam suatu sistem budaya modern yang sangat mengagungkan inovasi dan teknologi. Thomas Friedman (2006) dalam bukunya The World is Flat menjelaskan bahwa globalisasi periode terkini tampil dalam bentuk keseragaman dunia dalam satu tatanan yang datar baik secara fisik, kultural dan ekonomi. Dalam dunia tanpa batas yang datar memberikan kesempatan siapa saja bisa masuk bersaing, tidak mengenal apakah unit itu besar atau kecil, bahkan tidak hanya negara, setiap individu juga bisa bersaing dalam tatanan global sepanjang bisa bergerak dalam kodisi cepat (fast) dan focus. kemampuan bergerak secara cepat menjadi tuntutan utama, dalam arti tidak ada batasan yang sesuatu bangsa dan negara harus melewati tahapan besar dan kaya dulu baru bisa unggul. Atau tidak ada batasan yang sesuatu yang baru tidak bisa berkarya dibandingkan yang lebih terdahulu. Semua unit harus bergerak dengan cepat menciptakan sesuatu, bukan memenuhi sesuatu. Tengoklah seperti Vietnam, tingkat daya saing globalnya bisa bergerak cepat menggungguli negara Asia lainnya seketika konflik internal terhenti dinegaranya, tanpa melewati satu dekade. Ini disebabkan karena Vietnam tahu, pada sector mana ia harus mempercepat gerak pembangunannya. Perkembangan ekonomi dunia yang semakin interpendent dan global memberikan konsekuensi meningkatkan arus perdagangan barang dan uang antar negara sebagai suatu pasar bebas. Untuk mendapatkan manfaat dari globalisasi, maka produk-produk Indonesia harus dapat menembus bukan saja pasar dalam negeri melainkan juga pasar dunia. Oleh karena semua produksi mau tidak mau harus mengandalkan mutu dengan harga bersaing. Salah satu yang menjadi permasalahan yang muncul di era pasar bebas adalah persoalan peningkatan daya saing ekonomi. Permasalahan ini merupakan persoalan yang sangat serius harus diperhatikan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam mendesain program ekonomi ke depan. Dimana, daya saing menyangkut arti elemen produktivitas, efisiensi dan profitabilitas sebagai suatu cara untuk mencapai peningkatan standar hidup dalan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Daya saing yang buruk menyebabkan sebuah perekonomian sangat rentan terhadap gejolak 1
Rektor Universitas Hasanuddin. Turut memperkaya tulisan: Prof. Ir. J. Jompa, Phd, Prof. Ir. Sudirman B., PhD., Drs. Aspianor, MA. Disampaikan pada Dies Natalis Universitas Nusa Cendana, 1 September 2014.
1
eksternal yang pada akhirnya mudah sekali didera krisis ekonomi yang berkepanjangan. Namun sebaliknya, daya saing sebuah negara yang baik, perekonomian akan mampu segera pulih dari krisis ekonomi. Bahkan, suatu negara akan bangkit kembali untuk menjadi perekonomian yang tangguh dan terhormat di fora internasional. Bukti empirisnya menunjukkan bahwa negara-negara yang sudah bangkit perekonomiannya merupakan negara-negara yang memiliki daya saing yang baik, sebagaimana diperlihatkan Jepang dan Malaysia yang mampu meningkatkan perekonomiannya melalui berbagai aktifitas. Daya saing dapat dikatakan sebagai akumulasi dari berbagai faktor, termasuk kebijakan dan kelembagaan yang dapat mempengaruhi produktivitas suatu negara. Daya saing yang tinggi ditingkat global akan dapat menentukan tercapainya kesejahteraan rakyat dalam sistem perekonomian nasional. Negara Indonesia yang memiliki banyak keunggulan kompetitif untuk bisa menguasai pasar global bukanlah hal yang mudah. Persaingan tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan daya saing yang tinggi, niscaya tidak akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan, dapat mengancam posisi pasar domestik dengan masuknya produk import yang lebih bersaing. Dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia, Indonesia masih jauh dalam hal kompetisi daya saingnya. Realitas ini tentunya menjadi tantangan bagi Bangsa Indonesia yang tidak mau menjadi bangsa yang hanya menjadi pasar bagi produk bangsa lain, terutama dari negara-negara Asia Tenggara dalam ASEAN Community 2015. Pengalaman telah mengajarkan kita, dalam perdagangan bebas antara ASEAN-China (ACFTA), Januari 2010. Pemerintah RI tidak siap, yang mengakibatkan membanjirnya produk-produk buatan China di Indonesia dengan harga murah dan kualitas bersaing. Sehingga, industri menengah dan kecil sempat mengalami gangguan. Bangsa Indonesia tentunya bukan hanya menjadi bangsa konsumeris yang hanya tergantung pada produk-produk bangsa lain. Berpegang pada paham Presiden RI pertama, Soekarno, bahwa perlunya Indonesia berdiri di atas kaki sendiri (berdikari), sangat relevan untuk menjadi penyemangat laju-langkah Bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa lain dengan produktifitas andalannya. Bangsa Indonesia adalah asset yang ikut menentukan produktivitas perekonomian dunia. Kuncinya pemerintah, khususnya pemerintah daerah memiliki political will untuk kembali pada jalur pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centerd development) untuk meningkatkan produktifitas melalui pengembangan perekonomian yang kreatif. Suatu contoh negara dengan perekonomian kreatif yang sukses adalah Jepang. Sasha Issenberg (2007) dalam bukunya ‘The Sushi Economy Globalization and the Making of a Modern Delicacy’ dengan lugas mengulas bagaimana kreatifitas bangsa Jepang menjadikan sushi (gulungan nasi yang didalamnya diisi ikan, daging, sayur-sayuran dll), menjadi paduan sempurna antara budaya makan dan industry dalam pasar global. Gulungan sushi umumnya dibungkus dengan pelapis berbahan rumput laut. Biasa dimakan dengan penyedapnya, ada kecap asin, acar jahe, sayatan lobak, daun mint, dan “sambal” wasabi. Semua bahan itu mungkin hanya nasi koshihikari dan wasabi yang benar-benar asli Jepang, sementara selebihnya sebagian besar didatangkan dari luar. Sushi memberikan banyak nilai tambah kepada semua bahan yang diimpor dari luar Jepang. Juga memberi untung pada pabrik pisau penyayat dan mesin penggulung, serta kerajinan anyaman bambu dan piring-mangkok porselen karena menjadi tempat khusus yang menjadi ciri piring untuk makan sushi. Globalisasi sushi di manca
2
negara membuat Jepang secara kreatif melakukan sweeping sushi. Kini Jepang telah menciptakan sistem standarisasi Sushi yang sertifikasinya hanya dikeluarkan Jepang. Dengan alasan Jepang sangat mengkhwatirkan rasa dan budaya makan sushi berubah karena restaurant Jepang di manca negara yang menyajikan Sushi dikelola oleh non Jepang. Namun sebenarnya ini adalah langkah cantik Jepang mendongkrak hasil pengolahan produk ikan Jepang ke Pasar dunia. Untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Pertama, meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan kualitas SDM yang produktif dan penguasaan Iptek yang tinggi. Oleh karenanya pengembangan pranata yang meliputi kelembagaan dan perangkat yang mendukung peningkatan kualitas SDM menjadi penting. Kualitas SDM yang baik tidak hanya menyangkut skills dan pendidikan saja, melainkan juga memiliki mentalitas bangsa mandiri, kewirausahaan dan etos kerja yang inovatif, kreatif dan dan profesionalisme dalam mengembangkan berbagai usaha. Kedua, mengembangkan industri kreatif yang mengangkat keunggulan lokal dengan meningkatkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan agar memenuhi standar yang dibutuhkan pasar global. Dalam hal ini Pemerintah yang berfungsi sebagai regulator memberikan kemudahan dan akses bagi setiap masyarakat untuk mengembangkan berbagai usahanya guna memenuhi kebutuhan dalam negeri dan kebutuhan ekspor. Ketiga, perlu dihilangkan berbagai problem struktural yang menjadi penghambat upaya untuk mengembangkan sains dan teknologi. Perbaikan struktural dimaksud tidak hanya terbatas pada penyediaan sistem insentif yang berkaitan dengan kebijakan makro ekonomi, melainkan juga pada kebijakan mikro baik yang berkaitan dengan industri, investasi dan perdagangan melalui perampingan sistem birokrasi yang ada. II. MP3EI Mengangkat Keunggulan Lokal Pemerintah menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada tahun 2011 melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011, yang direvisi dengan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2014. Dengan MP3EI, Indonesia diharapkan dapat menjadi negara maju pada tahun 2025, dengan pendapatan per kapita 14.250 - 15.500 dollar AS, dan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0-4,5 triliun. Namun disadari bahwa peningkatan pendapatan tersebut harus disertai dengan pemerataan dan kualitas hidup seluruh bangsa. Melalui MP3EI, kegiatan pembangunan dan perekonomian didorong untuk tersebar merata ke seluruh wilayah Indonesia, dan tidak hanya berpusat di bagian barat Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Salah satu strategi utama MP3EI adalah penetapan 6 (enam) koridor ekonomi, yakni Koridor Sumatera, Koridor Jawa, Koridor Kalimantan, Koridor Sulawesi, Koridor Bali-Nusa Tenggara, dan Koridor PapuaKepulauan Maluku. Penetapan koridor ekonomi tersebut dilakukan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah. Pembangunan 6 (enam) koridor ekonomi tersebut dilakukan melalui pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di setiap koridor dengan mengembangkan kluster industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang berbasis sumber daya unggulan di setiap koridor ekonomi, disertai dengan penguatan konektivitas antar pusat-pusat
3
pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi serta infrastruktur pendukungnya. Bali dan Nusa Tenggara telah ditetapkan sebagai salah satu koridor yang menjadi andalan pariwisata dan pendukung pangan nasional dari keunggulan lokal yang ada. Terdapat tiga potensi unggulan di koridor Bali-Nusa Tenggaran yang bisa dikelola dengan kompetensi dan berdaya saing global yakni lahan kering, peternakan, perikanan dan pariwisata. III. Lahan Kering, Potensi dan Tantangan Untuk Pengembangan Pertanian Lahan kering di Indonesia cukup luas, dengan taksiran sekitar 60,7 juta hektar atau 88,6% dari luas lahan yang ada. Sedangkan luas lahan sawah hanya 7,8 juta hektar atau 11,4%. Sebagian besar lahan kering banyak tersebar pada dataran rendah yakni hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m dari permukaan laut (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl (39,35%) dari total luasan lahan kering di Indonesia (Hidayat dan Mulyani, 2002). Survai Pertanian-BPS memberikan angka-angka luasan lahan kering khususnya dalam hal penggunaannya dan secara ringkas dapat disebutkan dari yang terbesar berturutturut adalah hutan rakyat (16,5%), perkebunan (15,8%), tegalan (15,0%), ladang (5,7%), padang rumput (4,0%). Lahan kering yang kosong dan merupakan tanah yang tidak diusahakan seluas (14,0%) dari total lahan kering, sudah barang tentu merupakan potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan dan dikembangkan. Lahan kering dataran rendah memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian tanaman pangan yang dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanaman, dengan pembukaan lahan baru dan peningkatan intensitas pertanaman (IP) pada areal yang sudah diusahakan. Lahan tersebut ditinjau dari segi lereng, sangat potensial untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, namun masih harus memperhatikan tingkat hambatannya baik sifat tanah maupun sifat fisik lingkungan yang lain. Lahan dengan relief berbukit mencapai luas 39% dari luas wilayah lahan kering dataran rendah, dapat digunakan untuk pengembangan tanaman keras secara selektif, dengan memperhatikan faktor pembatasnya. Kendala umum yang dijumpai adalah ketersediaan air yang terbatas, batuan di permukaan, erosi, dan singkapan batuan. Kendala lain pada sifat tanah yang dangkal, tekstur kasar tanah yang retak-retak. Kendala secara umum adalah masalah kesuburan tanah yang rendah utamanya pada tanah-tanah yang telah berkembang lanjut seperti yang tergolong Ultisols dan Oxisols. Tanah-tanah ini sangat miskin hara dan rentan erosi (utamanya yang di daerah curah hujan tinggi). Meskipun potensi tanahnya rendah, akan tetapi karena potensi luasnya sangat besar, lahan kering bagaimanapun juga harus dipandang sebagai aset nasional yang perlu diperhatikan dan dimanfaatkan. Pemanfaatan lahan kering perlu mendapat perhatian serius oleh karena rasio luas lahan pertanian dengan jumlah penduduk yang belum memadai. Setiap hektar lahan pertanian Indonesia harus mendukung 12 orang, sedangkan negara lain di Asia Tenggara hanya mendukung 4,5 orang dan keseluruhan negara maju rata-rata 1,8 orang Angka ini menunjukkan bahwa luas lahan pertanian
4
Indonesia masih terlalu sempit untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya, apalagi angka produktivitas pertanian Indonesia masih jauh dibawah rata-rata produktivitas pertanian di negara-negara maju Peluang pengembangan pertanian lahan kering untuk tanaman pangan seperti jagung, kedelai, padi gogo masih terbuka lebar khususnya di luar Pulau Jawa yang memiliki lahan luas yang belum digunakan. Tim peneliti Badan Litbang Pertanian melaporkan bahwa lahan kering yang berpeluang dikembangkan untuk tanaman palawija dan padi gogo sekitar 5,1 juta hektar yang tersebar di berbagai propinsi. Dalam memanfaatkan lahan tersebut, perlu persiapan teknologi maju untuk mengatasi masalah-masalah, baik aspek agronomis maupun aspek sumberdaya lahan. Pada wilayah lahan kering beriklim basah diperlukan input yang tinggi termasuk tindakan konservasi maupun peningkatan produktivitas. Pada wilayah lahan kering beriklim kering diperlukan penanggulangan masalah ketersediaan air dan erosi yang serius. Penelitian-penelitian berkaitan dengan teknologi penggunaan pupuk secara efisien dan efektif dengan peningkatan produktivitas lahan tanpa mengurangi kualitas lingkungan dan teknologi konservasi tanah telah banyak dilakukan. Pendekatan pengelolaan lahan berdasarkan agroekosistem efektif dan efisien baik dalam transfer teknologi maupun pemilihan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif untuk masing-masing agroekosistem. Teknologi menjadi key factor untuk menciptakan prospek cerah. Khusus bagi pengusahaan lahan kering, diperlukan teknologi sepadan (apprioritas), baik bagi lingkungan biofisik maupun bagi lingkungan sosial ekonomi. Teknologi ini berasaskan LISA (Low Input Sustainable Agriculture). Bentuk penggunaan lahan yang sesuai dengan berasakan LISA adalah: 1. Pertanian pangan dengan menerapkan bioteknologi tanah 2. Pertanian pangan dengan pemeliharaan ternak yang dikandang 3. Pertanian pangan dengan sistem hutan tani (wanatani)/agroforestry 4. Peternakan dengan penggembalaan bergilir (paddock system) 5. Perkebunan Adapun teknologi yang efektif dan efisien dalam mengelola lahan kering untuk pertanian antara lain melalui (1) Perbaikan kesuburan tanah dengan pemupukan berimbang atau pengelolaan bahan organik; (2) Konservasi tanah dengan olah tanah konservasi (Olah Tanah Minimum, Tanpa Olah Tanah) atau alley cropping dan strip cropping; (3) Rehabilitasi lahan alang-alang (luas lahan alang-alang Indonesia mencapai 9 juta hektar); dan (4) Pengelolaan pastura dan peningkatan produktivitas lahan penghasil pakan ternak. IV. Strategi Pengembangan Peternakan Sektor peternakan yang berada pada Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara bisa menjadi andalan untuk peningkatan daya saing global Indonesia. Namun sayangnya, sebagian besar populasi ternak di koridor ini masih dikonsumsi secara lokal dan hanya dipasarkan ke provinsi lain dalam jumlah sedikit. Sementara potensi lahan untuk pengembangan peternakan masih sangat luas, terutama pada lahan-lahan marginal atau lahan kering, yang tidak termanfaatkan oleh sektor pertanian dan perkebunan. Jenis populasi ternak yang paling potensial dikembangkan di koridor ini 5
adalah Sapi Bali yang sudah dikenal luas sebagai sapi potong asli Indonesia. Selain sapi Bali di koridor ini juga banyak dikembangkan terutama di daerah Nusa Tenggara, seperti sapi Peranakan Onggole (PO), sapi Hissar, Kerbau, kuda dan kambing. Semua jenis ternak tersebut dapat dikembangkan untuk menghasilkan tujuh jenis emas, yaitu emas merah (daging), emas putih (susu), emas putih batangan (tulang), emas kuning (urin), emas cokelat (kulit), emas biru dan emas hijau (kotoran). Urin ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik, sedangkan kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau dan energi biogas. Saat ini terdapat sentra pemurnian dan pembibitan Sapi Bali di tiap provinsi yang umumnya dikelola secara individual dan skala rumah tangga. Dengan tingginya jumlah rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan peternakan, diharapkan pengembangan kegiatan peternakan ini akan dapat mendukung percepatan pembangunan ekonomi di Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara ke depannya. Pengembangan Peternakan diarahkan untuk mencapai paling sedikitnya tiga tujuan utama, yakni (1) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat; (2) Pemenuhan Pangan Nasional dan ketahanan Nasional; dan (3) Peningkatan PDRB. Beberapa strategi bisa difokuskan untuk pencapaian tujuan-tujuan tersebut, yakni: (1) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan ekonomi pada bidang peternakan harus dilakukan secara holistic dan terintegrasi antara semua sector, dan bukan saja pada bagian hulunya tetapi juga pada hilirnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penguatan mulai dari proses produksi (on farm) sampai pascapanen dan pemasaran, serta kelembagaannya. (2) Penguatan Pengetahuan dan skill peternak terhadap teknologi aplikatif dan manajemen produksi pada sektor hulu (on farm) dan hilir (pascapanen atau produk-produk olahan) sehingga produktifitas dan efisiensi produksi ternak dapat ditingkatkan seoptimal mungkin. (3) Penguatan proses produksi melalui penerapan teknologi aplikatif atau modelmodel pengembangan berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal (kearifan lokal), dan dikembangkan dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktifitas ternak. Sehingga, dapat menghasilkan produksi ternak yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal). (4) Penguatan Pascapanen atau diversifikasi produk-produk olahan seperti nugget, bakso, sosis, dll. Sehingga unit-unit usaha (UKM) pengolahan hasil ternak berkembang, dan dengan demikian proses produksi di hulu berkembang dan berkelanjutan. (5) Penguatan teknologi pengolahan sisa hasil ternak/limbah menjadi produk kompetitif. Untuk strategi ini diperlukan inovasi dan kreatifitas teknologi berbasis bahan sisa hasil ternak dan limbah ternak menjadi produk yang berdaya saing dan bernilai ekonomi tinggi. Misalnya, teknologi kulit menjadi sepatu, pakaian dan kapsul obat, teknologi pengolahan urin dan limbah ternak menjadi pupuk organik dan biogas, ataupun teknologi tulang menjadi bahan pakan. (6) Penguatan strategi pemasaran dan pasar bukan hanya dilakukan di pasar hewan. Namun diperlukan penguatan konektifitas antar daerah, regional dan nasional
6
sehingga harga dan distribusi produksi peternakan dapat dioptimalkan dan kompetitif. (7) Penguatan kelembagaan peternak. Strategi ini perlu diperkuat untuk menyediakan dan medistribusikan kebutuhan peternak yang diperlukan yaitu tepat jumlah, tepat waktu dan tepat guna sehingga produktifitas dan efisiensi meningkat. (8) Regulasi dan dukungan Pemerintah. Diperlukan komitmen semua pihak (stakeholder) terhadap pengembangan peternakan pada daerah-daerah potensial. V. Perikanan yang Berdaya Saing Global Indonesia dalam lingkaran Wallace Line dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut di planet bumi ini (contoh Coral Triangle). Para ilmuan kelautan dunia telah menetapkan wilayah Indonesia (sebagai bagian terbesar dan terpenting the coral triangles dan sebagai the center of marine biodiversity). Potensi ini bukan hanya menggambarkan begitu banyaknya spesies, tapi juga menggambarkan potensi sumber kedaulatan pangan masa depan dan menjadi daya tarik pariwisata yang luar biasa (dengan ribuan kharismatik spesies yang tidak dimiliki oleh negara lain). Indonesia sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar dengan sekitar 17.000 pulau (13.466 pulau telah terdaftar) dan garis pantai 95.181 (terpanjang kedua setelah Canada), dengan luas laut 5,8 juta km2. Potensi ini menyimpan kekayaan yang luar biasa mulai dari wilayah pesisir dengan ekosistem yang sangat produktif, sampai ke dasar laut yang sangat kaya. Potensi perikanan sangat berlimpah (budidaya dan tangkap) dan terbesar (~65 juta ton/thn) dimana saat ini baru menghasilkan ~14 jt ton/th. Jika potensi ini dapat terkelola dengan baik (optimal dan lestari), maka kita tidak hanya sanggup menyiapkan kebutuhan ikan buat bangsa Indonesia puluhan tahun ke depan, tapi juga bisa memberi kontribusi untuk mensuplai kebutuhan ikan dunia (sehingga menjadi sumber eknomi yang sangat besar). Potensi SDM untuk mengembangkan sangat memungkinkan mengingat Indonesia sebaga negara dengan penduduk terbesar ke empat dimana paling sedikit 60% bermukim di wilayah pesisir/50 km dari pantai. Tentu saja ini menjadi potensi pasar domestik untuk sektor kelautan dan perikanan. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar ini, maka berbagai produk yang dihasilkan dari optimalisasi hasil laut dapat diserap oleh pasar domestik yang sangat besar sehingga dapat mendorong pertubuhan ekonomi dengan cepat. Dari segi posisi geografisdan geo-ekonomi paling strategis di dunia (45% seluruh barang yang diperdagangkan di dunia lewat ALKI/Alur Laut Kepulauan Indonesia). Posisi negara kepulauan Indonesia yang menghubungkan dua Samudra (Pasifik dan India) sungguh memiliki peluang yang luar biasa. Potensi kekayaan alam lainnya (termasuk biotek), non-conventional, dan jasa lingkungan yang sangat besar. Berbagai spesies yang ada di laut Indonesia (ikan menurut defenisi Undang-undang: semua biota yang sebagian atau seluruh hidupnya berada dalam air) berpotensi memiliki nilai ekonomi besar melalui sentuhan bioteknologi.
7
Potensi ini harus dikembangkan dalam skala global, namun jika berbagai aspek diperkuat. Antara lain: (1) Kualitas SDM di bidang kemaritiman harus ditingkatkan utamanya para nelayan yang pada umumnya hanya tamat SD. (2) Peningkatan penguasan dan pemanfaatan teknologi kemaritiman. Modernisasi kemaritiman harus segera dipercepat, termasuk modernisasi kapal perikanan. Optimalisasi pemanfaatan sumberaya yang berdaya saing tinggi bisa dicapai dengan cepat jika difasilitasi oleh teknologi tinggi. (3) Peningkatan nilai tambah terhadap produk hasil laut dengan kreatifitas. Saat ini kita masih berorientasi pada ekspor bahan mentah (~70%). Dengan mengekspor hasil olahan laut bukan hanya akan memberi manfaat ekonomi yang lebih besar, tapi juga dapat membuka banyak lapangan kerja baru. (4) Peningkatan peran swasta dan perbangkan dalam mendukung bisnis dibidang kemaritiman. Harus diakui jumlah dan kualitas entrepreneurs kemaritiman masih minim. Beberapa hal terkait dengan issu ini antara lain adalah adanya stigma bahwa bisnis kemaritiman/kelautan/perikanan memiliki resiko tinggi. Berbagai hal yang dibutuhkan untuk pengembangan bisnis kemaritiman termasuk infrastruktur, perizinan, kepabeanan, SDM, dll dianggap masih kurang memadai. (5) Infrastruktur dasar yg mutlak dibutuhkan dlm pengembangan kemaritiman seperti listrik, pabrik es, pelabuhan, jalan, sangat lemah. (6) Pengembangan IPTEK dan inovasi harus dipacu untuk peningkatannya. (7) Keberpihakan kebijakan pemerintah/Political will (pemerintah pusat-daerah) masih lemah dengan strategi yang masih parsial. Walaupun peran pemerintah bukanlah segalanya, namun sangat dibutuhkan strategi dan kebijakan pemerintah yang dapat mengawal dan mempercepat proses pembangunan kemaritiman. Jika aspek ini diperkuat maka keunggulan-keunggulan lokal kita dibidang perkanan tidak lagi semata mengandalkan pada potensi sumber daya alam yang makin menipis.
VI. Wisata Kreatif Indonesia kini semakin meningkatkan peran sector pariwisata dan ekonomi kreatif untuk menopang ekonomi nasional dan ekonomi daerah. Banyak contoh negara lain yang menunjukkan bahwa sector pariwisata bisa menjadi andalan, misalnya Jepang dan Korea Selatan, ketika sector industry lain sedang tidak begitu bagus, inovasi di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif menjadi andalan kedua negara ini. Inovasi dan kreatifitas dalam sector pariwisata sangat diperlukan, mengingat keindahan alam yang natural tidak lagi memiliki daya saing tinggi. Dunia Tourisme membutuhkan pariwisata yang bisa menghasilkan minat tinggi bagi pelancong untuk menikmati secara berulang, bukan hanya sekali kunjung. Situs budaya dan objek alam yang indah memang masih jadi anda utama, namun sector ini perlu dikemas dalam paduan yang kreatif agar menjadi daya tarik untuk pelancong datang berulang kali, bukannya hanya sekali kunjung sebagai panggilan untuk sekedar ‘pernah’ datang atau menikmati.
8
Di Indonesia, wisata bahari masih menjadi primadona terutama keindahan pantai tropis yang eksoktik. Terlebih lagi di Indonesia bagian timur, yang saat ini telah mengkonsentrasikan wisata pantai dan laut, termasuk pulau-pulau kecil yang memiliki species unik dan langka, seperti Pulau Komodo yang telah ditetapkan oleh Unesco sebagai situs warisan alam dunia dan cagar biosfir. Namun untuk menjadikan sector wisata berdaya saing global maka mengandalkan pada keaslian dan kekayaan alam semata tidak tepat lagi. Ada masa dimana para wisatawan mengalami kejenuhan pada suasana yang tidak berubah. Saat ini perlu dikembangkan creative tourism, yaitu suatu kondisi yang harus diciptakan secara kreatif agar menjadi magnet wisata baru. Creative tourism adalah sector wisata olahan manusia, seperti wisata belanja, wisata kuliner, wisata seni dan budaya. Sektor creative tourism juga bisa menyatu dengan objek wisata alam yang telah ada. Saat ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah menjadikan creative tourism sebagai satu program yang terus digiatkan dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut berperan secara optimal. Contoh-contoh creative tourism adalah wisata lomba foto Borobudur, sail komodo, wisata karya membatik, dan masih banyak lainnya. Untuk wisata di koridor Bali-Nusa Tenggara yang mengandalkan wisata bahari, perlu dikembangkan upaya-upaya terobosan lain dimana wisatawan dapat menggali potensi diri yang dimilikinya sambil menikmati objek wisata lain yang ada. Misalnya saja, karya tenun ikat NTT yang pembuatannya masih alamiah bisa jadi satu wisata unik, dimana wisatawan secara kreatif mengikut paket belajar tenun dengan desain dan warna disesuaikan minatnya. Dengan potensi wisata yang besar di koridor lima, maka ada banyak hal harus dibenahi. Infrastruktur seperti pelabuhan, bandara dan akses transportasi ke daerah tujuan harus memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi wisatawan. SDM juga harus tersedia dna masyarakat harus dibangun sadar wisata karena bisini wisata adalah melayani dan memberi kepuasan pada wisatawan. Sistem promosi dan penawaran juga harus mendukung dengan pemanfaatn IT dan menggunakan multi bahasa yang menjangkau manca negara.
----------------
9