SKENARIO GLOBAL PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR BAGI PENINGKATAN DAYA SAING NASIONAL Oleh Bambang Tata Samiadji1
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan ekonomi suatu Negara banyak dipacu oleh kemantapan pembangunan infrastruktur di Negara yang bersangkutan, tetapi tidak selalu bahwa pembangunan infrastruktur kemudian dapat sesegera memacu kemajuan ekonominya. Ada faktor keunggulan lokasi yang juga mempengaruhi. Begitu pun terjadi bagi daerah-daerah. Ada daerah-daerah yang sangat sensitif terhadap kebutuhan pembangunan infrastruktur, dan ada juga daerah-daerah yang geming saja sehingga pembangunan infrastruktur sering “underutilized”. Indonesia adalah Negara besar dan berpulau-pulau dengan spektrum geografi yang luas dan kultur beragam serta keunggulan lokasi yang heterogen. Tidak dapat dielakkan terjadinya kesenjangan antar wilayah akibat keunggulan wilayah-wilayah tertentu dan ketertinggalan banyak bagian wilayah lain. Diferensiasi wilayah ini juga menjadi tantangan dalam pembangunan infrastruktur dikarenakan “outcome” atas pembangunannya tidak berdampak sama. Dalam kontek investasi beberapa wilayah unggul mempunyai daya saing tinggi dan sebaliknya bagi wilayah-wilayah lain dengan daya saing yang tertatih-tatih. Di tingkat global. keunikan (keberagaman) wilayah Indonesia di satu pihak memberi peluang untuk dipacu pembangunan infrastrukturnya sehingga mampu menjadi “anchor” kemajuan ekonomi nasional, sementara banyak wilayah lain yang harus dijaga agar tetap tumbuh dan menjadi bagian dari satuan nasional. Untuk itu Indonesia memerlukan skenario (scenario) strategi jitu dalam pembangunan infrastruktur agar tidak tertinggal di kancah global. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia sudah memiliki strategi yang dimaksud yang secara global dulu tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang seterusnya diwujudkan dalam jangka menegah dalam format Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kemudian, setelah adanya perubahan politik dan sistem pemerintahan melalui Keketapan MPR yang diteruskan dengan amandemen UUD 1945, strategi global dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dalam bentuk Undang-undang No. 17/2007 dan diwujudkan dalam jangka lima tahunan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) berupa Perpres. RPJP dan RPJM ini secara struktural diikuti sampai tingkat daerah (provinsi, kabupaten/kota) dalam format RPJP-Daerah dan RPJM-Daerah pada masing-masing daerah. Kendati Indonesia telah memiliki strategi yang dimaksud, berkenaan dengan perkembangan zaman, fokus dan titik berat pembangunan infrastruktur strategi global dalam pembangunan sangat berbeda. Dulu manakala pemerintahan masih bersifat sentralisme dengan kemajuan teknologi masih terbatas, melalui GBHN dan Repelita, infrastruktur juga pergaulan internasional juga masih terbatas pada lalu lintas barang dengan bergerak ikut dalam “outlet/inlet” pada titik-titik tertentu (utamanya Jakarta sebagai “hub”). Namun irama global yang manakala terjadi revolusi teknologi informasi dan komunikasi, serta sistem pemerintahan yang semakin liberal, RPJP dan RPJM memperoleh tekanan- lebih terbuka tekanan baru yang mau tak mau harus mengikuti arus global. Dengan demikian strategi global dalam pembangunan infrastruktur juga bergerak ikut dalam irama global yang lebih terbuka. Tak bisa dielakkan dalam irama global terbuka ini semakin terangkai ketergantungan, saling isi, dan kompetisi. Dalam perdagangan, arena ketergantungan dan kompetisi sangat terasa, sampai kemudian diperlukannya organisasi semacam WTO dan institusi-institusi pembiayaan.
1
Penulis adalah konsultan free-lancer di bidang Infrastruktur dan Keuangan Publik.
1
Dalam pembangunan infrastruktur, RPJP mengamanatkan : 1. Terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan; 2. Terwujudnya Indonesia sebagai Negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Adapun pembangunannya pada prinsipnya diarahkan kepada : 1. Peningkatan pembangunan infrastruktur dengan sebanyak mungkin melibatkan pihak swasta; 2. Pembangunan prasarana sumber daya air diarahkan untuk mewujudkan fungsi sebagai sumber daya sosial (social goods) dan sumber daya ekonomi (economic goods); 3. Pembangunan transportasi diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah; 4. Pembangunan pos dan telematika diarahkan untuk mendorong terciptanya masyarakat berbasis informasi (knowledge-based society) melalui penciptaan landasan kompetisi jangka panjang penyelenggaraan pos dan telematika dalam lingkungan multioperator; 5. Pembangunan sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan; 6. Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan diperlukan sistem jaringuntuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta an nasional untuk memkebutuhan sektor-sektor terkait lainnya. Berdasarkan arahan pembangunan infrastruktur di atas, tampak jelas diperlukan sistem jaringan nasional untuk memfasilitasi pembangunan infrastruktur jangka panjang dan sistematis.
fasilitasi pembangunan infrastruktur jangka panjang dan sistematis.
Sistem Jaringan Nasional Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Untuk memfasiltasi jaringan bagi pembangunan infrastrukutur jangka panjang, telah dirumuskan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) melalui Peraturan Pemerintah No. 26/2007 dalam bentuk pengembangan struktur ruang yang meliputi : 1. Peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah; 2. Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana. Kedua lingkup pengembangan struktur ruang tersebut divisualisasikan dalam Peta Struktur Wilayah Nasional yang di dalamnya terdapat : 1. Jaringan prasarana transportasi, kelistrikan, dan telekomunikasi; dan 2. Simpul-simpul bandar udara, pelabuhan, kota-kota pusat kegiatan nasional (PKN), kota-kota pusat kegiatan wilayah (PKW), kota-kota pusat kegiatan strategis nasional (PKSN), dan metropolitan. Yang menjadi problem dalam membangun infrastruktur yang berwawasan jaringan dan ruang berjangka panjang tersebut adalah implementasinya. Prolem implementasi ini karena kurang adanya “intermittent target” jangka menengah sehingga sulit untuk dapat di-prognosis agar dapat dilakukan langkah-langkah praktis pembangunan dan penyediaan infrastruktur di kawasan nusantara ini sesuai dengan RTRWN. Langkah-langkah praktis selama ini berdasarkan prognosis linier, bercermin masa lalu dan kebutuhankebutuhan nyata jangka pendek sampai jangka menengah sesuai dengan kapasitas fiskal yang dimiliki secara nasional maupun daerah-daerah di Indonesia. Problem lain bahwasanya pembangunan infrastruktur dalam konteks struktur ruang selain dimensi waktu perencanaan yang terlalu lama, juga terlalu banyak bertumpu pada peran Pemerintah terutama untuk
Dengan adanya RTRWN dengan segala arahan lokasi dan jaringannya, maka cukup jelas dan tegas ke mana strategi global sektor-sektor pem bangunan infrastruktur nasional kini dan masa mendatang. 2
jangkauan daerah-daerah yang kurang beruntung atau tertinggal. Sementara kapasitas fiskal Pemerintah juga terbatas yang tidak mungkin mampu mengatasi semuanya. Pembiayaan Infrastruktur Bagaimanapun pembangunan infrastruktur memerlukan banyak biaya. Pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia relatif masih sangat rendah. Sebelum krisis lalu (1998), rata-rata pembiayaan infrastruktur baru mencapai 2,2% terhadap GDP, kemudian meningkat menjadi 5-6% terhadap GDP. Berdasarkan kebutuhan RPJP bahwasanya total kebutuhan dana bagi pembangunan infrastruktur sebesar Rp 1400 triliun, sementara itu kemampuan Pemerintah maksimal hanya Rp 452 triliun sehingga masih ada kekurangan sekitar Rp 948 triliun. Dari mana kekurangan dana ini bisa diperoleh 2? Sudah menjadi wacana umum bahwa pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan daya saing global sesuai dengan struktur ruang nasional (RTRWN) memerlukan biaya besar yang tak mungkin bertumpu pada kapasitas fiskal Pemerintah. Untuk itu perlu kerja sama antara Pemerintah dengan pihak swasta maupun bersama masyarakat. Diharapkan peran swasta dan masyarakat mampu mengisi kekurangan dana sebesar Rp 948 triliun tersebut. Untuk itu Pemerintah mengeluarkan peraturan bagi terwujudnya kerja sama yaitu : 1. Perpres No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur 2. Perpres No. 42/2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) 3. Perpres No. 36/2005 jo Perpres No. 65/2006 ttg Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum . Pada dasarnya kerja sama antara pemerintah dan swasta tersebut terkait dengan kerja sama pengadaan investasi. Secara konvesional kerja sama selama ini dalam bentuk kontrak layanan (Service Contract) yang hampir seluruhnya adalah investasi publik (dari Pemerintah), kemudian perlu pengembangan yang lebih banyak peranan investasi dari pihak swasta mulai dari semacam kontrak operasi dan pemliharaan (O&M Contract), BLT (Leasing), BOT/ROOT, BOOT (DBFO)/ROOT, BOO/ROO, sampai dengan semua investasi dari swasta dalam bentuk privatization/divestiture (lihat gambar 1). Model Kerja Sama Pemerintah-Swasta 3
Investasi Pemerintah
Service
Contract
O&M Contract
BLT (Leasing)
BOT ROT
BOOT (DBFO) ROOTROO
BOO ROO
Privatization
Divesti ture
Investasi Swasta
Gambar 1. Model Kerja Sama Pemerintah-Swasta Keterangan : O&M Contract BLT (Leasing) BOT ROT BOOT DBFO BOO ROO 2 3
Operation and Maintenance Build and Transfer Build Operate Transfer Rehabilitate Operate Transfer Build Own Operate Transfer Develop Build Finance Operate Build Own Operate Rehabilitate Operate Own
Penjelasan Direktur Pengembangan Kerja Sama Pemerintah Swasta-Bappenas, Water Forum, 30 Maret 2009. Courtesy to Pak Bastary P. Indra (Dir. Peng. Kerja Sama Pemerintah-Swasta – Bappenas).
3
Perkembangan kerja sama antara Pemerintah dan swasta belum menunjukkan gelagat yang lebih baik dalam arti masih banyak kendala-kendala, khususnya dalam penggalakan dana dari “financier” perbankan umum dengan harga uang dalam bentuk “interest” yang masih mahal. Kemahalan dana perbankan umum utamanya disebabkan pleh risiko yang masih tinggi berhubungan dengan kurang teguhnya peraturan perundangan, terutama berhadapan dengan kebutuhan masyarakat yang dinilai melalui tarif. Oleh karena itu Pemerintah terus berusaha menelorkan berbagai regulasi dan sekaligus bertindak sebagai operator (bila perlu) untuk meningkatkan akses pembiayaan ini antara lain melalui : 1. Peraturan Pemerintah No. 1/2008 tentang Investasi Pemerintah. Dalam konteks ini Pemerintah telah membentuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP). PIP ini menyediakan dana yang cukup murah untuk keperluan pembangunan infrastruktur. 2. Pendirian PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) berupa persero. Kelak PT SMI ini akan mendirikan anak perusahaan dan joint venture dengan Bank Dunia dan ADB yang sudah mendirikan Indonesian Infrastructure Finance Pada dasarnya, kelembaFacility (IIFF). gaan pembiayaan sebagai 3. Penjaminan Pinjaman (untuk infrastruktur air minum dan kelistrikan) dan Unit Pengelolaan Risiko (Management Risk katalisator bagi pembaUnit) yang berada di Departemen Keuangan (Peraturan ngunan prasarana nasional Menteri Keuangan No. 38/2006). Pada dasarnya, kelembagaan pembiayaan yang dibentuk tersebut sebagai katalisator bagi pembangunan prasarana nasional dalam rangka meningkatkan daya saing global dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri khususnya.
dalam rangka meningkatkan daya saing global dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri khususnya.
Peranan Daerah Apapun yang telah dilakukan oleh Pemerintah dengan RPJP, RTRWN, belanja APBN, kerja sama dengan swasta, maupun pembentukan lembaga-lembaga pembiayaan dan pengelolaan risiko tersebut merupakan langkah-langkah yang strategis, tetapi tetap dalam kapasitas yang masih terbatas dan masih banyak kendala. Akan lebih elok bila pembangunan infrastruktur itu juga didukung sepenuh hati oleh pemerintah daerah. Selama ini pemerintah daerah masih saja ada yang terus membebani Pemerintah dengan permintaan bantuan-bantuan langsung. Alasan daerah bahwasanya dana yang dimiliki sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur bagi daerahnya sendiri. Memang ada benarnya bahwa dana daerah berupa Belanja Modal bagi pembangunan infrastruktur masih sangat kecil. Rata-rata Belanja Modal daerah adalah sebesar 20% dari total APBD4. Rendahnya Belanja Modal ini lebih karena sebagian besar APBD digunakan untuk Belanja Operasional seperti gaji pegawai, biaya perjalanan, ATK, dan banyak kebutuhan operasional lainnya yang mencapai 80% sehingga hanya tersisa 20% bagi pembangunan infrastruktur. Angka 20% ini semakin kecil bagi pemerintah kota yang rata-rata hanya 13% saja. Gambaran ini menunjukkan bahwa pemerintahan di daerah masih kurang efisien karena terlalu banyak dana yang dipakai untuk operasional ketimbang pembangunan infrastruktur yang mampu mengangkat ekonomi daerahnya. Terlepas dari persoalan ketidakefisienan pemerintah daerah sehingga kurangnya dukungan terhadap pembangunan prasarana, pemerintah daerah sebenarnya masih memiliki dana selain dari pendapatan, yaitu berupa Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). SILPA umumnya berupa akumulasi Surplus (Pendapatan dikurangi Belanja) tiap tahun. Rata-rata Surplus daerah adalah 12,6% dari total APBD tiap tahun yang terkumpul dan sebagian digunakan untuk pembiayaan lain dan tersisa menjadi SILPA. Karena pembiayaan lain yang dilakukan daerah masih relatif kecil, sehingga jumlah SILPA jumlahnya semakin meningkat. Pada tahun 2006 yang lalu, dari sekitar 360 kabupaten/kota, jumlah SILPA ini 4
pemerintahan di daerah masih kurang efisien karena terlalu banyak dana yang dipakai untuk operasional ketimbang pembangunan infrastruktur yang mampu mengangkat ekonomi daerahnya
Penelitian Penulis dari 360 kabupaten/kota tahun 2006.
4
mencapai Rp 33,6 triliun dan kabarnya pada tahun 2007 sudah mencapai Rp 45 triliun. Dan bila jumlah ini ditambah dengan SILPA milik provinsi (33 provinsi), maka bisa mencapai Rp 60 triliun lebih. SILPA ini umumnya disimpan dalam bentuk Deposito “On call” di Bank Pembangunan Daerah (BPD) setempat dan oleh karenanya banyak yang ditempatkan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Jadi apabila daerah bekerja efisien dan mampu memanfaatkan dana-dananya, termasuk SILPA untuk penyertaan modal, pinjam meminjam, menutupi defisit, dan kegiatan pembiayaan lainnya yang ditujukan bagi pembangunan infrastruktur, maka sebenarnya akan sangat membantu Pemerintah dalam mewujudkan strategi pembangunan infrastruktur yang berdaya saing global. Kesimpulan Pembangunan infrastruktur merupakan kunci bagi kemajuan ekonomi suatu Negara walaupun pembangunan infrastruktur itu sendiri bukan faktor satu-satunya. Dari pembahasan di atas, sebenarnya secara formal Indonesia telah memiliki strategi pembangunan infrastruktur yang mampu meningkatkan daya saing nasional di kancah global sebagaimana komitmen yang ada dalam RPJP dan RTRWN serta Rencana-rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pemerintah maupun di daerah. Dalam pelaksanaan strateginya masih ditemui banyak kendala, pelajaran, dan kekurangsinkronan dalam mengelola sumber-sumber yang ada. Sudah banyak upaya mulai dari regulasi dan kebijakan fiskal, tetapi masih dalam proses dan hasilnya belum tampak nyata. Beberapa upaya seperti diarahkan dalam RTRWN, khususnya dalam pembentukan struktur ruang, dan upaya kerja sama swasta, serta pembentukan lembaga-lembaga pembiayaan masih berjalan dan memerlukan pembelajaran. Potensi-potensi yang ada juga belum digunakan terutama potensi pemerintah daerah yang semestinya punya sumbangan besar. Tapi belum terjadi karena juga masih memerlukan pembelajaran. Pada akhirnya Pemerintah yang baru diharapkan mampu mengatasi dan memberi stimulus-stimulus yang memungkinan seluruh potensi dapat berkoalisi dalam rangka mendongkrak percepatan pembangunan infrastruktur agar berdaya saing kuat di kancah global.
5